Manajemen Airway

23
Manajemen Airway (Jalan Napas) pada resusitasi jantung paru Tujuan tinjauan Metode yang optimal untuk manajemen jalan napas selama henti jantung masih belum diketahui. Tinjauan ini meringkas bukti terbaru yang membandingkan fungsi intervensi jalan napas dasar dan lanjut [penyisipan alat jalan napas supraglotik (SGA) dan intubasi trakea], termasuk kegunaan capnografi selama henti jantung. Temuan terkini Penelitian observasional dalam skala besar [649 359 kejadian henti jantung di rumah sakit (OHCAs)] telah menunjukkan risiko yang disesuaikan untuk perbaikan secara neurologis lebih tinggi pada mereka yang ditangani menggunakan ventilasi sungkup-dengan kantong (bag-mask) dibandingkan dengan penyisipan alat jalan napas supraglotik atau intubasi trakea. Dua penelitian terbaru, penelitian observasional dalam skala besar mengusulkan penggunaan intubasi trakea pada OHCA lebih baik dibanding SGA. Penelitian observasional mempunyai kelemahan besar: mereka bergantung pada statistika dalam menilai suatu risiko tambahan sebagai faktor lainnya yang dapat mempengaruhi hasil, dan menyembunyikan hal berlawanan

description

Manajemen Airway

Transcript of Manajemen Airway

Page 1: Manajemen Airway

Manajemen Airway (Jalan Napas) pada resusitasi jantung paru

Tujuan tinjauan

Metode yang optimal untuk manajemen jalan napas selama henti jantung masih belum

diketahui. Tinjauan ini meringkas bukti terbaru yang membandingkan fungsi intervensi

jalan napas dasar dan lanjut [penyisipan alat jalan napas supraglotik (SGA) dan intubasi

trakea], termasuk kegunaan capnografi selama henti jantung.

Temuan terkini

Penelitian observasional dalam skala besar [649 359 kejadian henti jantung di rumah sakit

(OHCAs)] telah menunjukkan risiko yang disesuaikan untuk perbaikan secara neurologis

lebih tinggi pada mereka yang ditangani menggunakan ventilasi sungkup-dengan kantong

(bag-mask) dibandingkan dengan penyisipan alat jalan napas supraglotik atau intubasi

trakea. Dua penelitian terbaru, penelitian observasional dalam skala besar mengusulkan

penggunaan intubasi trakea pada OHCA lebih baik dibanding SGA. Penelitian

observasional mempunyai kelemahan besar: mereka bergantung pada statistika dalam

menilai suatu risiko tambahan sebagai faktor lainnya yang dapat mempengaruhi hasil, dan

menyembunyikan hal berlawanan yang mungkin dapat memberikan hasil berbeda

sehubungan dengan tiap strategi manajemen jalan napas.

Kesimpulan

Kebanyakan bukti menyangkut manajemen jalan napas selama henti jantung berasal dari

penelitian observasional. Pilihan jalan napas terbaik tampaknya berbeda bagi penolong

yang berbeda pula, dan pada keadaan berbeda selama proses resusitasi. Uji secara acak,

prospektif, serta uji yang dirancang dengan baik diperlukan untuk membantu menentukan

strategi jalan napas yang optimal. Dari pandangan kami, kini terdapat peralatan yang

mencukupi untuk mendukung uji tersebut.

Page 2: Manajemen Airway

Kata Kunci

Manajemen jalan napas, ventilasi sungkup-dengan kantong, resusitasi jantung paru, jalan

napas supraglotik, intubasi trakea

PENDAHULUAN

Manajemen jalan napas selama resusitasi jantung paru (CPR) marupakan pilihan. Ajaran

konvensional yang mana bebasnya jalan napas dan ventilasi merupakan hal penting selama

CPR, dan teknik jalan napas lanjut sebagai ‘baku emas’ sudah tidak lagi didukung secara

universal. Hal ini masih dibenarkan, namun, dalam beberapa hal selama proses resusitasi,

bebasnya jalan napas, ventilasi dan oksigenai yang adekuat merupakan hal yang sangat

penting. Tanpa hal ini tampaknya tidak mungkin untuk mengembalikan dan/atau menjaga

irama perfusi jantung. Juga perlu untuk melindungi paru dari perlukaan yang mungkin

akibatkan aspirasi dari isi lambung. Pendekatan jalan napas terbaik mungkin berbeda untuk

pasien yang mengalami henti jantung di luar rumah sakit (OHCA) dan di dalam rumah sakit

(IHCA). Dalam tinjauan ini kita akan mendiskusikan penelitian terkini dari manajemen

jalan napas untuk henti jantung dan menentukan untuk menyediakan beberapa penjelasan

akan keadaan saat kejadian.

PEDOMAN TERBARU

Berdasarkan pedoman terbaru untuk pasien OHCA dewasa [1,2]:

(1) Seorang penolong awam yang tidak terlatih memberikan kompresi saja untuk CPR

yang dipandu oleh seorang pelayan kesehatan emergensi (EMS) lewat telepon.

(2) Seorang penolong terlatih dapat memberikan ventilasi mulut ke mulut bila bersedia dan

dapat melakukannya.

(3) Saat kedatangan penolong EMS dapat menggunakan berbagai teknik jalan napas dan

ventilasi perdasarkan protokol lokal. Pilihan termasuk CPR dini hanya dengan

kompresi serta oksigen aliran tinggi melalui sungkup wajah [3], ventilasi sungkup-

Page 3: Manajemen Airway

dengan kantong, penyisipan satu dari beberapa jenis alat jalan napas supraglotik

(SGA), atau intubasi trakea.

Dalam praktiknya, pada banyak kejadian henti jantung akan digunakan lebih dari satu

teknik jalan napas, baik selama CPR dan setelah kembalinya sirkulasi secara spontan

(ROSC). Pilihan untuk teknik jalan napas dan ventilasi bergantung pada keahlian dan

pengalaman penolong.

POIN-POIN PENTING

Metode optimal untuk manajemen jalan napas selama henti jantung masih belum

diketahui

Pilihan jalan napas terbaik tampaknya berbeda-beda untuk penolong yang berbeda, dan

keadaan selama proses resusitasi.

Pasien bisa mendapatkan lebih dari satu jenis intervensi jalan napas selama resusitasi

jantung paru.

Uji secara acak, prospektif, dan yang dirancang secara baik diperlukan dalm

memebantu menentukan strategi jalan napas yang optimal selama henti jantung.

Terdapat peralatan klinik yang mencukupi untuk mendukung uji yang membandingkan

intervensi jalan napas dasar dan lanjut selama resusitasi jantung paru

APAKAH MANAJEMEN JALAN NAPAS DAN VENTILASI SECARA DINI

DIPERLUKAN SELAMA RESUSITASI JANTUNG PARU ?

Sebuah meta analisis dari tiga kelompok data uji acak dari EMS yang melakukan instruksi

CPR menunjukkan bahwa CPR yang hanya dengan kompresi dada saja berhubungan

dengan meningkatnya angka kehidupan dibandingkan dengna CPR yang standar [14

(211/1500) dengan 12% (178/1531); risk ratio 1.22, 95% confidence interval (CI) 1.01-

1.46] [4,5]. Analisis jangka panjang berkelanjutan dari dua penelitian ini telah

menunjukkan bahwa keuntungan angka mortalitas dari orang yang dibimbing untuk

Page 4: Manajemen Airway

melakukan CPR kompresi dada saja diteruskan hingga 5 tahun [6*]. Alasan yang mungkin

menguntungkan akan penolong yang dibimbing untuk melakukan CPR kompresi dada saja

dibandingkan CPR yang standar termasuk :

(1) Darah arteri dapat tetap tersaturasikan dengan oksigen selama beberapa menit saat

henti jantung primer [7, 8].

(2) Penolong tidak ingin atau tidak mampu untuk melakukan ventilasi mulut ke mulut

secara efektif [9].

(3) Implementasi program CPR hanya dengan kompresi dapat meningkatkan CPR oleh

awam yang berada disekitarnya.

(4) Penundaan yang berkelanjutan untuk melakukan kompresi dada, bahkan bila ventilasi

efektif diberikan akan mengurangi kemungkinan untuk bertahan hidup [11, 12].

(5) Dengan bebasnya jalan napas, kompresi dada akan menghasilkan aliran udara dari dan

ke jantung, walaupun perkiraan jumlah volume tidalnya sedikit dan secara umum tidak

lebih dari ruang hampa secara anatomis [13]

Beberapa protokol sistem EMS untuk dewasa terutama henti jantung termasuk

pembebasan jalan napas dan oksigen aliran tinggi lewat sungkup wajah, dan ventilasi pasif

dari kompresi dada selama 6 menit pertama pada CPR. Peningkatan hasil telah dilaporkan

dengan pendekatan CPR ‘penundaan minimal’ walaupun masih diperlukan penelitian lebih

lanjut [14]. Analisi retrospektif pada pasien OHCA dewasa menunjukkan peningkatan

secara neurologis setelah OHCA dengan fibrilasi ventrikel/takikardi ventrikel (VF/VT)

yang dilihat langsung (witnessed) menggunakan ventilasi pasif dibandingkan dengan

ventilasi sungkup-dengan kantong. Angka kelangsungan hidup serupa untuk VF/VT yang

tidak dilihat lagsung dan ritme tanpa syok. Data observasional yang teregristrasi secara

besar di Jepang, namun, disarankan bahwa pentingnya ventilasi untuk CPR pada anak,

setelah henti jantung dengan penyebab utama respirasi dan selama henti jantung yang

berkepanjangan [15, 16].

Page 5: Manajemen Airway

APAKAH TEKNIK JALAN NAPAS DASAR LEBIH BAIK SELAMA RESUSITASI

JANTUNG PARU ?

Penggunaan ventilasi sungkup-dengan kantong secara dini dengan self-inflating bag telah

menjadi alur utama bagi penolong profesional dalam manajemen jalan napas untuk henti

jantung. Ventilasi sungkup-dengan kantong, biasanya dengan alat tambahan untuk

membantu jalan napas (oropharyngeal atau nasopharyngeal airway), biasanya digunakan

hingga teknik jalan napas lanjut seperti penyisipan SGA atau intubasi trakea dapat

dilakukan. Ventilasi sungkup-dengan kantong dilakukan disela-sela kompresi dada, dapat

mengakibatkan mengembangnya lambung, dan tidak melindungi paru dari aspirasi isi

lambung. Namun, beberapa penelitian baru-baru ini tetap menyarankan penggunaan

sungkup kantong sebagai pilihan terbaik untuk henti jantung dibandingkan teknik lanjut

[17**, 18*, 19-21].

Bukti yang sangat menekankan untuk penggunaan sungkup-dengan kantong berasal

dari sebuah prospektif, yang diteliti secara nasional, dari 649 654 pasien OHCA Jepang

dewasa yang terdaftar secara berurutan yang mana menunjukkan bahwa ventilasi sungkup-

dengan kantong berhubungan dengan perbaikan ROSC, angka kehidupan selama satu-bulan

dan hasil secara neurologis dibandingkan baik dengan intubasi trakea dan SGA [17**].

Semuanya pasien temasuk yang sementara dibawa ke rumah sakit dan mengalami serangan

antara Januari 2005 dan Desember 2010. Ventilasi sungkup-dengan kantong telah

digunakan pada 367 837 (57%) pasien SGA [laryngeal mask airway (LMA), pipa laringeal

atau ‘oesophageal-tracheal twin lumen’ ] pada 281 522 (43%), dan intubasi trakea pada 41

972 (6%). Penggunaan jalan napas lanjut (SGA atau intubasi trakea) berhubungan dengan

perburukan keadaan neurologis dibandingkan dengan penggunaan sungkup-dengan kantong

[1.1 dengan 2.9%; odds ratio (OR), 0.38; 95% CI 0.36-0.39]. Regresi logistik

multivariabel, dengan menambahkan faktor yang mempengaruhi hasil (usia, jenis kelamin,

etiologi serangan, irama awal yang tercatat, kejadian yang disaksikan, CPR oleh orang yang

melihat, akses publik untuk melakukan defibrilator eksternal, penggunaan adrenalin,

Page 6: Manajemen Airway

interval waktu), memberikan tambahan odds ratio untuk kemungkinan perubahan

neurologis pada jalan napas lanjut sebesar 0.38 (95% CI 0.37-0.40). Terdapat hasil yang

lebih buruk dibandingkan dengan ventilasi sungkup-dengan kantong dengan intubasi trakea

(OR yang disesuaikan, 0.41; 95% CI 0.37–0.45) ataupun SGA (OR yang disesuaikan, 0.38;

95% CI 0.36–0.40). Angka kecenderungan dicocokkan dengan kohort pada 357 228 pasien

juga mendukung observasi ini dan menunjukkan perburukan yang serupa yang tampak pada

kelainan neurologis untuk kelangsungan hidup baik pada penggunaan intubasi trakea dan

SGA.

Penelitian dalam skala yang lebih kecil juga mendukung temua orang Jepang ini.

Sebuah retrospektif tunggal yang berpusat di US yang meninjau 1294 OHCA non traumatik

antara 1994 dan 2008 menunjukkan intubasi trakea oleh paramedis berhubungan dengan

perburukan kelangsungan hidup setelah keluar dari rumah sakit (OR sungkup-dengan

kantong dengan intubasi trakea 4.5, 95% CI 2.3-8.9) [19]. Asosiasi negatif ini juga tampak

pada penelitian EMS tunggal lainnya di US dengan dasar manajemen jalan napas yang

berhubungan dengan OR dari 2.33 (95% CI 1.63-3.33) dibandingkan dengan keberhasilan

intubasi untuk kelangsungan hidup hingga keluar dari rumah sakit [20]. Sebuah data PHCA

Korea dengan kecenderungan kecocokan yang serupa untuk intubasi trakea, ventilasi

sungkup-dengan kantong atau penyisipan LMA [18**, 22]. Kelangsungan hidup dari mulai

masuk dan kelar rumah sakit serupa untuk intubasi trakea dan sungkup-dengan kantong:

OR 1.32 (95% CI 0.81–2.16) dan 1.44 (0.66–3.15). Kelangsungan hidup hingga masuk

serupa untuk LMA dan sungkup-dengan kantong: OR 0.72 (0.50–1.02). Walaupun begitu,

angka kelangsungan hidup hingga keluar dari rumah sakit lebih rendah secara signifikan

untuk LMA dibandingkan sungkup-dengan kantong: OR 0.45 (0.25–0.82). Nagao

mengobservasi bahwa tidak terdapat perbedaan akan kelainan neurologis pada saat keluar

rumah sakit untuk jalan napas lanjut (n = 199, pipa trakea 10, LMA 147, combitube (pipa

kombinasi) 42 pasien) dan ventilasi sungkup-dengan kantong (n = 156) untuk pasien

OHCA. Akhirnya, penelitian IHCA yang kecil (n = 105) juga melaporkan peningkatan

Page 7: Manajemen Airway

kelangsungan hidup secara neurologis hingga dikeluarkan dari rumah sakit pada ventilasi

sungkup-dengan kantong dengan jalan napas tambahan (oro-pharyngeal atau naso-

pharyngeal airways) dibandingkan intubasi trakea [23].

Perbedaan hasil yang terdapat bila dibandingkan antara teknik jalan napas dasar dan

lanjut mungkin berperan para teknik, atau faktor yang tidak dilaporkan yang mungkin dapat

mempengaruhi kelangsungan hidup pasien henti jantung termasuk saat intervensi jalan

napas, keahlian dari penolong, kualitas CPR dan non-flow fraction (fraksi yang cukup) [11,

12, 24]. Sebuah analisis data kualitas CPR dari OHCA menunjukkan nilai median dari 2

[rentang interkuartil (IQR) 1-3; rentang 1-9] interupsi ontubasi trakea oleh paramedis,

dengan hampir lebih sepertiga dalam 1 menit dan lebih seperempat dalam 3 menit [25].

APAKAH JALAN NAPAS LANJUT MASIH BERPERAN DALAM PENANGANAN

PASIEN HENTI JANTUNG ?

Data yang mendukung pendekatan jalan napas dasar tidak mengharuskan kita untuk

berhenti menggunakan jalan napas lanjut pada pasien henti jantung. Walaupun beberapa

pasien henti jantung mendapatkan ROSC dan sadar kembali tanpa perlu menggunakan jalan

napas lanjut, beberapa akan memerlukan jalan napas lanjut pada beberapa tahapan selama

proses resusitasi, bisa selama CPR di tempat kejadian, selama di fasilitas transpor, atau

sebagai bagian pasca resusitasi setelah ROSC pada mereka yang berada dalam keadaan

koma. Pilihan menggunakan alat jalan napas lanjut antara intubasi trakea dan SGA

syangnya masih merupakan salah satu hal yang penting. Hal yang perlu dipertimbangkan

dalam membandingkan termasuk:

(1) Tidak semua SGA sama dan angka kesuksesan dalam penyisipan alat tersebut

bervariasi [26, 27]. SGA biasanya dikembangkan bersamaan dalam analisa.

(2) Kebanyakan penelitian tidak menggunakan SGA yang lebih baru (generasi kedua)

seperti LMA Supreme atau i-gel [28*].

Page 8: Manajemen Airway

(3) SGA biasanya digunakan sebagai alat penolong pada keadaan ‘tidak dapat diintubasi

tidak dapat diventilasi’.

Jalan napas supraglotik dengan intubasi trakea?

Kita telah membahas hal-hal yang pro dan kontra untuk intubasi trakea dan SGA pada

tinjauan sebelumnya [29]. Dua penelitian observasional baru-baru ini menyatakan bahwa

penggunaan intubasi trakea pada OHCA lebih baik dibanding penggunaan SGA [30**,

31*]. Penelitian PRIMED oleh Resuscitation Outcomes Consortium (ROC) Amerika

Slatan menunjukkan tidak terdapat perbedaan pada hasil saat dibandingkan penggunaan

alat impendance treshold device (ITD) aktif dengan ITD palsu pada pasien OHCA selama

CPR standar [32]. Analisis sekunder dari penelitian ini membandingkan intubasi trakea (n

= 8487) dengan SGA (pipa laringeal, combitube, atau LMA; n = 1968) menunjukkan

bahwa keberhasilan intubasi trakea berhubungan dengan peningkatan angka kelangsungan

hidup hingga keluar dari rumah sakit dengan skor modifikasi Rankin 3 atau kurang (OR

yang disesuaikan 1.40; 95% CI 1.04-1.89), ROSC (OR yang disesuaikan 1.78; 95% CI

1.54-2.04) dan kelangsungan hidup selama 24 jam (OR 1.74; 95% CI 1.49-2.04) bila

dibandingkan dengan keberhasilan penyisipan SGA [30**]. Pada sebuah penelitian Jepang

OHCA, intubasi trakea (16 054 pasien, 12%) dan jalan napas penghambat esofagus (88

069, 63%) selama 3 tahun (2005-2007). OR yang disesuaikan untuk kelangsungan hidup 1

bulan lebih rendah untuk LMA ( 0.77 , 95% CI 0,64-0,94 ) dan esofagus penggunaan

obturator ( 0.81, 95 % CI 0,68-0,96 ) dibandingkan dengan intubasi trakea. Kedua

penelitian observasional memiliki kelemahan yang sama yang berkaitan dengan penelitian

yang membandingkan penggunaan jalan napas dasar dan lanjut : meskipun data risiko

disesuaikan dalam upaya untuk menjelaskan semua pembaur potensial , masih ada

kemungkinan kuat bahwa terdapat faktor tersembunyi dalam temuan.

Penyisipan dari SGA ( LTS - D , LMA Fleksibel , Combitube ) selama CPR pada

model babi menyebabkan kompresi arteri karotis internal dan eksternal dan penurunan

Page 9: Manajemen Airway

aliran darah arteri karotis bila dibandingkan dengan intubasi trakea [ 33* ]. Pengaruh SGA

pada aliran darah karotis belum dipelajari pada manusia yang mengalami henti jantung

tetapi studi pencitraan dari pasien yang dibius menunjukkan bahwa AirQ SGA tidak

menyebabkan kompresi arteri karotis [34].

Keahlian untuk intubasi trakea tidak terdapat di setiap keadaan. Penggunaan SGA

sebagai 'alternatif yang lebih mudah' telah membuatnya populer digunakan baik bagi

IHCA dan OHCA [35-37]. Sebagai contoh, sebuah rumah sakit di Inggris melaporkan 82%

pada upaya pertama dan 99% tingkat keberhasilan secara keseluruhan untuk penggunaan i-

gel selama CPR [35]. Keberhasilan penempatan ( ventilasi untuk kenaikan dada , tidak ada

suara lambung, suara paru-paru bilateral, dan ketika terpasang, nilain kuantitatif end-tidal

CO2 akan terbaca) oleh paramedis serupa untuk LTS - D dan intubasi trakea (intubasi

trakea 80,2 dibandingkan LTS - D 80,5 %; P = 0,97 ) [38]. Dalam studi OHCA lain,

tingkat keberhasilan LT - D pada percobaan pertama oleh responden bantuan hidup dasar

lebih tinggi dari intubasi trakea oleh paramedis ( 87,8 dengan 57,6% , OR 5,3 , 95% CI

2,9-9,5 ) [39].

Masalah yang timbul pada intubasi trakea

Intubasi trakea dalam keadaan darurat seperti henti jantung merupakan hal yang menantang

dan berhubungan dengan komplikasi signifikan [40,41]. Kejadian sulitnya intubasi di

rumah sakit (tingkat Cormack dan Lehane minimal 3, atau setidaknya tiga kali upaya

intubasi) adalah 10,3% pada 3423 intubasi darurat oleh dokter ( distres pernapasan pada

52%, henti jantung 45%, perlindungan jalan napas 2%, lainnya 1% ) [42]. Sebuah kejadian

serupa (13%) dari intubasi yang sulit, dan faktor predisposisi (kurangnya ruang , leher

pendek, obesitas ,cedera wajah/leher ) telah dilaporkan oleh staf dokter sistem EMS [43].

Kejadian ini sekitar dua kali kejadian intubasi sulit yang tak terduga untuk anestesi umum

5,8% ( 95% CI 4,5-7,5% ) [44]. Data yang diharapkan untuk intubasi trakea pada 10 bagian

gawat darurat Jepang (1486 intubasi, 502 untuk henti jantung) dilaporkan tingkat

Page 10: Manajemen Airway

keberhasilan pada percobaan pertama di kisaran 40-83%, dan keberhasilan setelah tiga kali

upaya atau kurang 74-100% dari bagian tersebut [45]. Efek sampings secara keseluruhan

adalah 11 % dan kesalahan intubasi esofagus adalah 3,9%. Sebuah penelitian meta-analisis

observasional untuk pengelolaan jalan nafas di OHCA diperkirakan tingkat

keberhasilannya 91,2% (95% CI 88,8-93,1) untuk intubasi trakea [26]. Penelitian ini juga

mengamati penurunan dalam keberhasilan intubasi trakea non-dokter dari 0,49% per tahun.

Hal ini mungkin mencerminkan pelaporan dan perekaman data yang lebih baik, atau

sebenarnya keterampilan yang memburuk. Data terakhir dari Sistem Informasi Pelayanan

Medis Darurat Nasional US melaporkan tingkat keberhasilan intubasi trakea dari 78%

(3494/4482) untuk OHCA [46] . Lyon dkk . [41] melaporkan data dari Inggris untuk

tinjauan retrospektif selama 4 tahun dari 794 OHCA dan 628 percobaan intubasi. Intubasi

pra-rumah sakit berhasil dalam tiga upaya atau kurang sebanyak 573 (91,2%), dan 55

memiliki komplikasi signifikan (beberapa usaha yang gagal sebanyak 32, kesalahan

mengenali intubasi esofagus sebanyak 15, perpindahan pipa selama transportasi sebanyak

tiga, intubasi endobronkial sebanyak tiga, pipa balon di atas korda sebanyak dua).

Pengalaman merupakan hal yang penting untuk intubasi trakea

Intubasi trakea membutuhkan pelatihan yang ekstensif [47**] dan latihan teratur untuk

menghindari berkurangnya keahlian. Diantara 21 753 pasien OHCA yang dirawat oleh

penolong EMS di Pennsylvania, odds yang disesuaikan untuk bertahan hidup lebih tinggi

untuk pasien diintubasi oleh tim penolong dengan pengalaman intubasi trakea yang 'sangat

tinggi’ (kumulatif intubasi trakea> 50) dibandingkan dengan mereka dengan pengalaman

intubasi trakea yang rendah (kumulatif intubasi trakea1-10): OR yang disesuaikan 1.48,

95% CI 1,15-1,89 [48]. Dalam sebuah penelitian EMS dari Jerman, meningkatnya

pengalaman dokter (median 304 intubasi per tahun di semua pengaturan berbanding 18

intubasi per tahun) dikaitkan dengan kejadian yang lebih rendah intubasi trakea dari pra-

rumah sakit sulit (8,9 dibanding 17,7%, P <0,05) [49*]. Pengalaman intubasi ini jauh lebih

Page 11: Manajemen Airway

besar dari angka yang dilaporkan dari banyak sistem EMS di mana beberapa individu

hanya akan melakukan satu intubasi per tahun [50-52].

PERAN KAPNOGRAFI

Bentuk gelombang kapnografi dianjurkan untuk identifikasi penempatan pipa trakea yang

benar selama CPR [2, 53]. Resusitasi jantung paru akan menghasilkan aliran darah paru

yang cukup untuk menghasilkan jejak end-tidal CO2, kecuali henti jantung telah

berkepanjangan ( > 30 menit). Audit jalan napas nasional Inggris (NAP4) menunjukkan

bahwa kapnografi tidak rutin digunakan selama CPR, dan ketika digunakan jejak datar

capnografi disalahartikan sebagai akibat dari henti jantung, bukan intubasi esofagus [54].

Selain konfirmasi penempatan pipa trakea, gelombang kapnografi juga mungkin

berperandalam menilai kualitas kompresi dada selama CPR , dan memberikan indikasi awal

ROSC [55,56**] . Heradstveit dkk. [56**] menjelaskan data kapnografi dari 575 pasien

OHCA. Mereka mengamati bahwa pasien dengan ROSC cenderung memiliki nilai end-

tidal karbon dioksida (ETCO2) yang tinggi. Pembaur seperti penyebab serangan, irama

awal, dan orang yang berada disekitar CPR mempengaruhi nilai ETCO2, dan karena itu

membatasi peran prognostik gelombang kapnografi selama CPR [57]. Nilai dan peran

kapnografi selama CPR menggunakan ventilasi sungkup-dengan kantong atau SGA

membutuhkan penelitian lebih lanjut .

PERLUNYA PENELITIAN ACAK MANAJEMEN JALAN NAPAS SELAMA

RESUSITASI JANTUNG PARU

Bukti saat ini yang mendukung manajemen jalan napas selama CPR didasarkan pada

penelitian observasional dengan potensi resiko bias yang tinggi. Dalam tajuk rencana baru-

baru ini, Wang dan yealy [24] secara tegas menyatakan 'pengamatan secara kolektif ini

menunjukkan bahwa keseimbang secara ilmiah ada di antara berbagai pilihan manajemen

airway'. Saat ini ada kelangkaan penelitian yang sedang berlangsung melihat intervensi

Page 12: Manajemen Airway

jalan napas pada henti jantung (Tabel 1). Banyak bukti untuk intervensi jalan napas selama

CPR yang terekstrapolasi dari studi manikin atau pada pasien selama anestesi umum. Nilai

dari penelitian pada manikin khususnya telah dipertanyakan, terutama karena hasil

tergantung pada loyalitas dan ini jarang cukup baik untuk memungkinkan ekstrapolasi

handal pada manusia [58]. Merancang sebuah penelitian yang menguji intervensi jalan

napas secara spesifik merupakan hal yang menantang karena pendekatan yang benar akan

bervariasi sesuai dengan pelatihan dan pengalaman penolong, dan waktu keadaan di saat

henti jantung. Kelompok penolong yang berbeda mungkin juga tidak dapat mengimbangi

intubasi trakea seperti yang masih terlihat oleh banyak orang sebagai 'baku emas' dari

manajemen jalan napas. Ketersediaan perangkat jalan napas baru seperti video laringoskop

dan modifikasi perangkat yang ada, juga membuat keputusan yang tepat untuk perangkat

jalan napas berdasarkan penyulit. Difficult Airway Society Inggris telah mebuat pedoman

untuk mengevaluasi perangkat jalan napas baru sebelum penggunaan secara klinis [59].

Data pengamatan yang tersedia menunjukkan desain studi kedepannya harus mencakup

kelompok yang menggunakan intervensi jalan napas dasar sebagai strategi awal jalan

napas.Penggunaan gelombang kapnografi untuk mengkonfirmasi penempatan pipa trakea

harus menjadi kebutuhan pada penelitian di masa depan . Penelitian REVIVE - Airways

merupakan studi kelayakan EMS tunggal yang membandingkan standar penatalaksanaan

berdasarkan preferensi penolong, dan dua SGA ( i- gel dan LMA Supreme ) [28*]. Temuan

yang didapatkan dari penelitian ini diharapkan akan memberikan wawasan yang berguna

bagi mereka dalam merancang penelitian multisenter besar .

Tabel 1. Uji terdaftar yang sementara berlangsung untuk manajemen jalan napas untuk henti jantung pada dewasa

Nomor registrasi Judul Jenis penelitian Hasil utama

NCT01295749 Efek dari ventilasi pipa laringeal pada saat

Uji intervensi acak Membandingkan saat tidak ada aliran antara

Page 13: Manajemen Airway

tidak ada aliran selama henti jantung yang terjadi di luar Rumah Sakit

kelompok A (ventilasi menggunakan sungkup-dengan kantong dan diselingi dengan kompresi dada) dan Kelompok B (ventilasi dengan pipa laringeal dan dilanjutkan dengan kompresi dada).

Ukuran hasil : tidak adanya aliran selama resusitasi oleh staf paramedis terlatih pada pasien henti jantung di luar rumah sakit

ISRCTN18528625

Pembandingan acak dari efektifitas Laryngeal Mask Airway Supreme, i-gel, dan yang sudah dilakukan selama ini dalam manajemen jalan napas secara dini pada pasien henti jantung di Rumah Sakit: penelitian berdasarkan kemungkinan (REVIVE-Airways)

Uji intervensional acak Menilai bila mungkin dilakukan penelitian dengan skala penuh

(Data dari http://www.controlled-trials.com pada 31 Januari 2013)

Tabel 2. Teknik Jalan napas dan ventilasi untuk henti jantung

Page 14: Manajemen Airway

Teknik CPR dengan

kompresi saja

Mulut

ke mulut

Sungkup-

dengan

kantong

Jalan

napas

supragloti

k

Intubasi

trakea

Kesulitan teknik Termudah + +++ ++ +++++

Penghentian selama

kompresi

Memerlukan ventilasi

Tidak perlu ++++ ++ + Tidak

perlu

Pengembangan

lambung

Tidak ++ +++ + Tidak

Risiko aspirasi lambung +++ ++++ ++++ ++ +

Perlunya tingkat

pelatihan dan

pengalaman

Orang tidak terlatih

yang berada disekitar

biasanya diberikan

instruksi oleh EMS

lewat telepon

+ +++ ++ +++++

KESIMPULAN

Terdapat berbagai pendekatan untuk manajemen jalan napas untuk henti jantung (tabel 2).

Sebagian besar bukti yang tersedia berasal dari studi observasional. Tidak ada bukti yang

dapat mendukung teknik jalan napas lanjut melebihi teknik dasar seperti ventilasi sungkup-

dengan kantong. Pilihan terbaik untuk jalan napas mungkin berbeda bagi penolong yang

berbeda, dan pada keadaan waktu yang berbeda dari proses resusitasi. Satu-satunya yang

dapat diandalkan sebagai cara untuk menentukan strategi manajemen jalan napas yang

optimal selama henti jantung adalah dengan melakukan uji acak, prospektif, yang dirancang

dengan baik.

Page 15: Manajemen Airway

Ucapan terima kasih

tidak ada.

Konflik penting

J.S. adalah anggota kelompok pengarah untuk penelitian REVIVE airway, ALS satuan

tugas asisten ketua untuk ILCOR, dan wakil ketua konsili resusitasi (Inggris) (semua belum

dibayar). Dia menerima honorarium sebagai editor jurnal Resuscitation.

J.P.N. merupakan penyidik untuk studi revive saluran udara (tidak dibayar). Ia menerima

honorarium sebagai editor-in-chief dari jurnal Resuscitation.