optimalisasi penerapan prinsip kerja restorative justice

21
LEMBAGA PENDIDIKAN POLRI SEKOLAH STAF DAN PIMPINAN MENENGAH OPTIMALISASI PENERAPAN PRINSIP KERJA RESTORATIVE JUSTICE GUNA EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PENEGAKAN HUKUM DALAM RANGKA TERPELIHARANYA KAMTIBMAS BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang “Fiat Justitia Ruat Coelum” adalah sebuah pepatah latin yang memiliki arti: Meski langit runtuh, keadilan harus ditegakkan. Pepatah ini sangat popular karena sering didengar ketika terjadi perdebatan hukum. Namun pepatah ini mengesampingkan kemanfaatan hukum bagi terpeliharanya kamtibmas hanya demi penegakan hukum semata. Penegakan hukum, Pemeliharaan kamtibmas, dan pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat adalah tugas-tugas pokok Polri 1 dimana Polri harus mampu meramunya sehingga saling menguatkan satu sama lain. Kapolri seringkali menyampaikan bahwa penegakan hukum Polri harus legal dan legitimate 2 . Hal tersebut berarti bahwa bukan an sich penegakan hukum semata, namun penegakan hukum untuk mencapai keadilan yang diinginkan masyarakat. Beberapa kali Polri menjadi sorotan yang merugikan nama baik Polri ketika harus 1 UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri pasal 13. 2 Pidato Kapolri dalam rangka HUT Bhayangkara ke-68, Juli 2013.

description

restorative justice, penegakan hukum,

Transcript of optimalisasi penerapan prinsip kerja restorative justice

Page 1: optimalisasi penerapan prinsip kerja restorative justice

LEMBAGA PENDIDIKAN POLRISEKOLAH STAF DAN PIMPINAN MENENGAH

OPTIMALISASI PENERAPAN PRINSIP KERJA RESTORATIVE JUSTICE GUNA EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PENEGAKAN HUKUM DALAM

RANGKA TERPELIHARANYA KAMTIBMAS

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

“Fiat Justitia Ruat Coelum” adalah sebuah pepatah latin yang memiliki

arti: Meski langit runtuh, keadilan harus ditegakkan. Pepatah ini sangat

popular karena sering didengar ketika terjadi perdebatan hukum. Namun

pepatah ini mengesampingkan kemanfaatan hukum bagi terpeliharanya

kamtibmas hanya demi penegakan hukum semata.

Penegakan hukum, Pemeliharaan kamtibmas, dan pelindung, pengayom,

dan pelayan masyarakat adalah tugas-tugas pokok Polri1 dimana Polri harus

mampu meramunya sehingga saling menguatkan satu sama lain. Kapolri

seringkali menyampaikan bahwa penegakan hukum Polri harus legal dan

legitimate2. Hal tersebut berarti bahwa bukan an sich penegakan hukum

semata, namun penegakan hukum untuk mencapai keadilan yang diinginkan

masyarakat. Beberapa kali Polri menjadi sorotan yang merugikan nama baik

Polri ketika harus menangani kasus yang relatif ringan kerugiannya namun

dilanjutkan hingga ke pengadilan.

Pendekatan hukum restorative justice (RJ) adalah pendekatan dengan

menekankan keadilan berupa pemulihan kepada korban kejahatan yang

dilakukan oleh pelaku dengan mengikutsertakan komponen masyarakat sekitar

selaku pemangku kepentingan3. Pendekatan ini perlu dioptimalkan oleh Polri

guna efektifitas dan efisiensi penegakan hukum yang dilakukan dalam rangka

tetap terpeliharanya kamtibmas dan legitimasi tindakan Polri.

1 UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri pasal 13.2 Pidato Kapolri dalam rangka HUT Bhayangkara ke-68, Juli 2013.3 http://www.unodc.org/pdf/criminal_justice/06-56290_Ebook.pdf diakses pada tanggal 17 september 2013

Page 2: optimalisasi penerapan prinsip kerja restorative justice

2. Permasalahan

Adapun permasalahan dalam NKP ini adalah “ Bagaimana

mengoptimalkan penerapan prinsip kerja RJ guna efektifitas dan efisiensi

penegakan hukum dalam rangka terpeliharanya kamtibmas ? “.

3. Pokok persoalan

Pokok-pokok persoalan yang diangkat dalam NKP ini adalah:

a. Bagaimana kesiapan SDM dalam penerapan prinsip kerja RJ ?

b. Bagaimana metode yang digunakan dalam penerapan prinsip kerja RJ ?

4. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup NKP ini adalah penerapan prinsip kerja pada proses

RJ berupa mediasi korban dan pelaku (Victim Offender Mediation) beserta

pertemuan warga masyarakat dan keluarga yang terlibat (Community and

Family Groups Congerence) pada tingkat penyidikan di Sat Reskrim Polres X.

BAB II

PEMBAHASAN

5. Fakta-fakta

Di dalam Handbook on Restorative Justice Programmes4 yang

dikeluarkan oleh UNODC (United Nations Office on Drugs and Crimes)

disebutkan bahwa RJ adalah

“any programme that uses restorative processes and seeks to achieve restorative outcomes”. The emphasis is on participatory processes …in which the victim and the offender, and, where appropriate, any other individuals or community members affected by a crime, participate together actively in the resolution of matters arising from the crime, generally with the help of a facilitator”.

RJ adalah semua program yang menggunakan proses restoratif (pemulihan)

dan berupaya mencapai hasil yang memulihkan keadaan. Proses restoratif

adalah proses dimana korban, pelaku, dan individu-individu lain atau warga

masyarakat yang terkena dampak dari sebuah kejahatan berpartisipasi aktif

secara bersama-sama dalam pemecahan masalah yang timbul dari kejahatan

4 ibid

Page 3: optimalisasi penerapan prinsip kerja restorative justice

tersebut, pada umumnya dengan bantuan fasilitator. Yang dimaksud dengan

hasil yang memulihkan keadaan adalah sebuah perjanjian yang dicapai melalui

proses restoratif. Perjanjian itu dapat berupa kegiatan reparasi (perbaikan),

restitusi (pembayaran ganti rugi), dan pelayanan masyarakat, yang diarahkan

pada perpaduan antara kebutuhan individu dan kolektif, tanggung jawab

seluruh pihak, serta pemulihan hubungan antara korban dan pelaku. Hal

tersebut dapat dikombinasikan dengan tindakan lain apabila menyangkut

pelanggaran hukum yang serius.

RJ ini merupakan pendekatan terkini yang sedang diterapkan hampir di

seluruh dunia. RJ diberlakukan setelah masyarakat melihat proses peradilan

pidana yang selama ini menggunakan pendekatan retributive justice5 tidak

berhasil membuat keadaan menjadi lebih baik. Adapun beberapa keadaan

tersebut adalah :

a. Semakin tingginya tingkat hunian Lapas, bahkan hampir semua

Lapas melebihi kapasitas (overloaded) yang seharusnya. Kondisi

lapas yang melebihi kapasitas ini menyebabkan berbagai

permasalahan hingga akhir-akhir banyak terjadi kerusuhan dalam

Lapas yang tidak dapat dikendalikan oleh petugas Lapas yang

menyebabkan kerusakan berat dan kaburnya beberapa napi6.

Sementara negara memiliki keterbatasan dalam mengembangkan

dan memperluas Lapas.

b. Tingginya beban pemerintah dalam membiayai proses peradilan

pidana apabila semua perkara diajukan hingga tingkat pengadilan

dan diputuskan vonis penjara.

c. Terjadinya pergeseran budaya dalam Lapas sehingga tujuan Lapas

untuk membina napi menjadi lebih baik tidak tercapai. Overloaded-

nya Lapas ternyata menimbulkan banyak keuntungan bagi para

oknum petugas Lapas yang justru merusak tujuan Lapas didirikan.

Oknum petugas Lapas semakin leluasa melakukan pungli terhadap

para napi dan keluarga napi yang berkunjung. Bahkan oknum

5 Retributive Justice adalah pendekatan keadilan dengan menekankan pemberian hukuman setimpal kepada pelaku kejahatan guna memberikan efek jera. 6http://nasional.kompas.com/read/2013/07/12/1100384/ Kerusuhan.di.Lapas.Tanjung.Gusta.Tidak.Mengejutkan diakses pada tanggal 17 september 2013

Page 4: optimalisasi penerapan prinsip kerja restorative justice

petugas Lapas memberikan perlakuan khusus kepada beberapa napi

yang sanggup membayar sejumlah uang7. Praktik ketidakadilan di

Lapas ini sedikit banyak menyebabkan napi tidak berhasil menerima

konsep Lapas yang bertujuan memperbaik dirinya sebelum kembali

ke masyarakat.

d. Adanya fenomena Lapas justru membuat napi kejahatan ringan

menjadi penjahat yang lebih besar. Belum ada pemisahan antar jenis

kejahatan yang berjalan efektif di Lapas. Kondisi Lapas yang tidak

tertib seperti di atas membuat pengaruh penjahat karir8 kepada

pelaku kejahatan ringan semakin besar dan membentuk penjahat-

penjahat baru dalam jaringan kejahatan yang lebih luas setelah

keluar dari Lapas.

e. Retributive justice yang dijalankan pengadilan berlandaskan

pemikiran bahwa kejahatan merupakan pelanggaran hukum yang

dibentuk oleh negara. Pelanggar hukum dikatakan berhadapan

dengan negara dengan sedikit memberikan perhatian kepada

kepentingan korban. Hal tersebut dapat menyebabkan penegakan

hukum melalui pendekatan di atas justru tidak menimbulkan

keuntungan bagi semua pihak. Beban negara bertambah, korban

tidak dipulihkan kerugiannya/akibat yang diderita, pelaku menerima

stigma baru sebagai seorang napi, hubungan korban dan pelaku

menjadi tidak lebih baik, dan beban masyarakat sekitar menjadi

bertambah.

Dengan demikian, maka tujuan hukum sebagai alat rekayasa masyarakat

untuk menjadi lebih tertib dan damai tidak tercapai9 sebagaimana

dimaksudkan Roscoe Pound dalam kalimat “Law is a tool of social

engineering”. Efektifitas dan efisiensi proses penegakan hukum dalam

sistem peradilan pidana tidak optimal.

Sementara RJ melihat kejahatan sebagai bentuk pelanggaran terhadap

manusia dan hubungan antar manusia serta merusak kedamaian di dalam 7 http://www.suarapembaruan.com/home/denny-persoalan-utama-lapas-adalah-pungli/39370 diakses pada tanggal 17 September 20138 Penjahat karir adalah penjahat yang menjadikan kejahatan sebagai mata pencaharian.9 Ashari, Adi SH MH. 2013. Perkembangan Hukum di Indonesia. Hanjar Sespimmen 53 T.A. 2013: Lembang

Page 5: optimalisasi penerapan prinsip kerja restorative justice

masyarakat, bukan sekedar perbuatan melawan negara. RJ menekankan pada

pemulihan keadaan yang tertib dan damai sebagaimana sebelum terjadinya

kejahatan.

RJ tidak dapat diberlakukan terhadap semua kejahatan. RJ diberlakukan

khususnya terhadap tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang ditimbulkan

oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi yang

telah “rusak” dapat dikembalikan menuju keadaan semula.

DR. Setyo Utomo , SH, MHum menyampaikan bahwa sasaran akhir RJ

adalah10 :

a. Berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara;

b. Menghapuskan stigma/cap dan mengembalikan pelaku kejahatan

menjadi manusia normal;

c. Pelaku kejahatan dapat menyadari kesalahannya;

d. Memberdayakan masyarakat dalam mengatasi kejahatan;

e. Pengintegrasian pelaku kejahatan kembali ke masyarakat.

Dari sasaran akhir RJ tersebut di atas, maka dapat dikatakan RJ adalah

solusi tepat dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam sistem

peradilan pidana (SPP) di Indonesia.

Salah satu bagian dari RJ sebagaimana disebutkan di awal bab ini adalah

proses restoratif. Adapun proses restoratif dimaksud antara lain adalah.

Mediasi korban dan pelaku (Victim Offender Mediation- VOM) beserta

pertemuan warga masyarakat dan keluarga yang terlibat ( Community and

Family Group conference) guna menunjang proses tersebut hingga tercapai

hasil restoratif. Dalam pelaksanaannya, pada umumnya dibantu oleh

fasilitator. Apabila proses restoratif tersebut dilaksanakan pada proses

penyidikan di kepolisian, maka salah satu fasilitator mediasinya adalah

penyidik kepolisian itu sendiri.

10 Wiratama, KBP Adithya SH dan KBP Drs Makmur Ginting. 2013. Kajian Perkembangan Hukum di Indonesia. Hanjar Sespimmen 53 T.A. 2013: Lembang

Page 6: optimalisasi penerapan prinsip kerja restorative justice

Dalam melaksanakan fungsinya sebagai fasilitator mediasi (mediator)

dalam RJ, terdapat 4 prinsip kerja (working principles)11 yang dapat

diaplikasikan oleh penyidik Polres X, yaitu:

a. Penanganan konflik (Conflict Handling): Tugas mediator ada

membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong

mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada

ide bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal.

Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.

b. Berorientasi pada proses (Process oriented): Mediasi penal lebih

berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu: menyadarkan

pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan

konflik akan terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut, dan

sebagainya.

c. Proses Informal (Informal Process): Mediasi penal merupakan suatu

proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari

prosedur yang ketat.

d. Partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous

Participation) : Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai

obyek dalam prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subyek

yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan kemampuan untuk

berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kemauan sendiri.

Adapun fakta-fakta yang didapatkan di Polres X terkait dengan pokok-

pokok persoalan adalah sebagai berikut:

a. Kesiapan SDM dalam penerapan prinsip kerja RJ

1) Pengetahuan dan keterampilan

a) Penyidik belum memahami dengan benar tentang pendekatan RJ

dalam menegakkan hukum. Masih terdapat anggota yang masih

berpedoman pada kerangka hukum dimana perdamaian hanya sekedar

meringankan dalam proses hukum di pengadilan. Masih berpedoman

bahwa alasan yang bisa menghentikan penyidikan adalah tidak cukup

bukti, bukan merupakan tindak pidana, dan demi hukum ( tersangka

11 Mulyadi, Lilik. 2013. Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia: pengkajian asas, norma, teori, dan praktik. Yustisia Edisi 85 Januari-April 2013.

Page 7: optimalisasi penerapan prinsip kerja restorative justice

mati, Kadaluwarsa, Nebis in idem, dan delik aduan yang dicabut

pengaduannya).

b) Penyidik kurang mempunyai keterampilan sebagai mediator. Dalam

hal ini, terkait kemampuan komunikasi menjembatani antara pelaku

dan korban (VOM) sehingga akhirnya kedua belah pihak menyepakati

penyelesaian permasalahan hukum melalui pendekatan RJ. Kestabilan

emosi penyidik dalam mengatasi konflik antara pelaku dan korban

sangat diperlukan karena seringkali korban atau bahkan pelaku

merasa benar dan melepaskan kekesalannya dalam proses RJ tersebut.

2) Perilaku

a) Masih adanya sikap penyidik yang melaksanakan pemerasan terhadap

pelaku yang menempuh proses RJ.

b) Masih adanya sikap penyidik yang enggan atau tidak mempedulikan

pendekatan RJ dalam melakukan penyidikan. Penyidik dimaksud

hanya menekankan pendekatan formal yuridis tanpa mau melakukan

proses informal untuk memediasi pelaku dan korban dengan

melibatkan warga masyarakat dan keluarga terkait (stakeholders).

b. Metode yang digunakan terkait penerapan prinsip kerja RJ

1) Penyidik dan atasan penyidik masih seringkali hanya percaya pada yang

tertulis di atas kertas berupa surat penyataan perdamaian antara pelaku

dan korban serta surat permohonan untuk diselesaikan secara RJ tanpa

terlebih dahulu melakukan pengecekan kepada para pihak apakah

dilakukan tanpa tekanan atau dengan kata lain dilakukan secara aktif

berpartisipasi dan otonom.

2) Penyidik seringkali hanya melibatkan pelaku dan korban dalam proses

RJ. Warga masyarakat dan keluarga yang terkait, baik langsung maupun

tidak langsung, dengan permasalahan tidak dilibatkan. Kearifan lokal

(local genus / local wisdom) kurang didayagunakan, seperti adat istiadat

setempat, Banjar, Desa adat/pekraman, dan aparatnya.

3) Penyidik jarang bahkan tidak pernah melibatkan peran satuan fungsi lain

yang mempunyai peranan Polmas dan berada di tengah-tengah

masyarakat, yaitu: Bhabinkamtibmas dan FKPM, dalam proses RJ yang

sedang ditangani.

Page 8: optimalisasi penerapan prinsip kerja restorative justice

6. Analisa

a. Kesiapan SDM dalam penerapan prinsip kerja RJ

1) Pengetahuan dan keterampilan

a) Kurangnya pemahaman penyidik terkait dengan pendekatan RJ dalam

proses penyidikan atau penegakan hukum dikarenakan kurangnya

pengarahan dari atasan penyidik tentang konsep RJ. Hal tersebut

diperparah dengan belum adanya SOP tentang penerapan RJ dalam

penegakan hukum. Beberapa arahan dari Bareskrim (terlampir)

tentang penerapan RJ tidak segera diturunkan oleh Polda ke Polres

jajaran, termasuk Polres X akibat sikap saling menunggu antara Dit

Reskrimsus dan Dit Reskrimum. Selanjutnya, hal tersebut juga cukup

dimaklumi karena secara formal yuridis, pendekatan RJ atau sebagian

orang mengatakan dengan istilah mediasi penal tidak dikenal dalam

hukum positif Indonesia saat ini. Keadaan seperti ini dapat

menghambat proses RJ yang dikembangkan untuk mengatasi

permasalahan yang terjadi dalam SPP.

b) Penyidik memang tidak dipersiapkan atau dilatih sebagai mediator

dalam permasalahan pidana yang ditangani. Ketidakmampuan

penyidik dalam berkomunikasi sebagai mediator dapat menghambat

bahkan menggagalkan proses RJ yang berlangsung. Terdapat

tahapan-tahapan dalam proses mediasi yang harus dipahami dan

dikuasai serta teknik-teknik untuk tercapainya tujuan mediasi, yaitu

kesepakatan RJ.

2) Perilaku

a) Pemerasan yang merupakan tindakan menyimpang oleh penyidik

dikarenakan adanya sikap mental yang buruk penyidik dalam

mengartikulasikan kewenangan diskresi penyidik untuk memilih

pendekatan RJ atau melanjutkan kasus tersebut secara formal yuridis

melalui sidang pengadilan. Pengawasan dalam proses RJ kurang

optimal sehingga tindakan pemerasan masih terjadi. Tindakan ini

tentunya menghilangkan tujuan luhur RJ untuk menciptakan proses

penegakan hukum yang cepat, mudah, terjangkau, dan untuk

Page 9: optimalisasi penerapan prinsip kerja restorative justice

kepentingan terciptanya kedamaian bagi pihak yang terlibat. Dan

tentunya mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri

secara umum.

b) Hal tersebut terjadi karena keengganan melakukan perubahan cara

berpikir ke dalam pendekatan baru penegakan hukum yaitu RJ.

Disamping itu, beberapa penyidik masih belum paham benar tentang

proses RJ dan takut disalahkan oleh pimpinan. Hal ini menyebabkan

pendekatan RJ tidak optimal diaplikasikan guna mencapai sasaran

akhirnya sebagaimana telah dijelaskan di atas.

b. Metode yang digunakan terkait dengan prinsip kerja RJ

1) Hal tersebut terjadi karena penyidik dan atau atasan penyidik masih

berpikir secara formal. Mereka tidak menekankan atau berorientasi pada

proses untuk mengetahui bahwa proses RJ yang dilakukan betul-betul

dilakukan melalui partisipasi aktif para pihak dan dilakukan secara

otonom. Hal tersebut dapat menyebabkan hasil RJ berupa perjanjian

perdamaian dilakukan secara semu. Artinya, terdapat tekanan dari satu

pihak terhadap pihak lain sehingga tidak tercapai keadilan yang

diinginkan bersama. Hal ini dapat menyebabkan sikap dari pelaku yang

menganggap remeh proses RJ dan kemungkinan dapat terulang di

kemudian hari dengan korban yang sama atau berbeda.

2) Hal tersebut terjadi karena berdasarkan peraturan, tidak ada kewajiban

bagi penyidik untuk melibatkan stakeholders selain pelaku dan korban.

Hal tersebut mengakibatkan kebijakan yang diambil penyidik dalam

proses RJ tidak sesuai dengan kondisi masyarakat lainnya yang terkena

dampak kejahatan tersebut. Hal tersebut dapat mengakibatkan

masyarakat tidak mempunyai nilai tawar lebih dalam mengawasi pelaku

untuk bertindak tertib pada masa selanjutnya jika dibandingkan apabila

masyarakat sekitar dilibatkan dan dibutuhkan persetujuannya dalam

proses RJ dimaksud.

3) Tidak dilibatkannya satuan fungsi lain dalam proses RJ terkait proses

penyidikan yang dilakukan dikarenakan adanya ego sektoral Sat

Reskrim bahwa hal tersebut adalah pekerjaan intern Sat Reskrim. Hal

tersebut menghilangkan peluang FKPM dan Bhabinkamtibmas untuk

lebih berperan di tengah-tengah masyarakat sehingga masyarakat

Page 10: optimalisasi penerapan prinsip kerja restorative justice

merasakan manfaat FKPM dan BKPM yang pada gilirannya

menimbulkan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas FKPM

dan BKPM.

7. Upaya Optimalisasi penerapan prinsip kerja RJ

a. Kesiapan SDM dalam menerapkan prinsip kerja RJ

1) Pengetahuan dan Keterampilan

a) Pemberian pengarahan secara khusus tentang RJ kepada seluruh

anggota, khususnya penyidik. Selanjutnya dalam setiap kesempatan

ditekankan tentang RJ sebagai pendekatan terkini dalam penegakan

hukum. Arahan-arahan dari satuan atas terkait RJ diminta secara pro

aktif ke Polda untuk selanjutnya diarahkan kepada seluruh anggota

penyidik Polres X dan dikompulir menjadi satu.

b) Memberikan pelatihan tentang teknik-teknik mediasi dan

pentahapannya. Meminta satuan fungsi lain yang mempunyai anggota

dengan kualifikasi atau kemampuan mediasi untuk memberikan

kemampuannya kepada anggota sat reskrim.

2) Perilaku

a) Pemberian hukuman terhadap anggota yang melakukan pemerasan.

Pemberian hukuman (punishment) merupakan salah satu cara dalam

teori perubahan perilaku sebagaimana dimaksud Joel Fischer dkk

(1979)12. selanjutnya diberdayakan pengawasan terhadap penyidik,

yaitu: Pengawas Penyidikan yang ditunjuk sesuai kasus dimaksud,

kasat reskrim, kanit reskrim yang menangani, Sie Propam, dan Sie

Was.

b) Coch and French (1948)13 menyatakan terdapat teknik untuk

menangani resistensi anggota terhadap anak buah. Pertama-tama

dengan cara memberikan pendidikan dan komunikasi agar segenap

anggota jelas tentang RJ selanjutnya diambil keputusan secara

partisipatif guna tindak lanjut RJ dalam penyidikan. Dan akhirnya

memaksa anggota sat reskrim untuk mengikuti keputusan bersama

tersebut

12 Fischer, Joel &Gochros, Haevey L. 1979. Planned Behavior Change: Behavior Modification in Social Work. The Free Press13 L. Coch dan J.R.P.French,Jr. 1948. Overcoming Resistance to change.

Page 11: optimalisasi penerapan prinsip kerja restorative justice

b. Metode yang digunakan terkait dengan prinsip kerja RJ

1) Pembuatan SOP tentang penerapan pendekatan RJ dalam penegakan

hukum di Polres X. Salah satu contoh SOP dimaksud sebagaimana yang

dibuat oleh Polres Pariaman.14

2) Melakukan kerjasama dan penggalangan terhadap tokoh-tokoh

masyarakat dan adat tentang dukungan terhadap pelaksanaan RJ dalam

penegakan hukum di Polres X. Selanjutnya juga mendorong agar

masyarakat mampu untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri

sesuai pranata sosial yang berlaku. Dan Polres X beserta jajarannya

mendukung upaya tersebut apabila diperlukan sewaktu-waktu.

3) Memberikan pemahaman tentang HTCK antar fungsi terkait dengan

penyelesaian permasalahan hukum di tengah-tengah masyarakat dengan

melibatkan sat fungsi terkait. Selanjutnya, HTCK tersebut dituangkan

kembali dalam SOP penerapan RJ di Polres X.

BAB III

PENUTUP

8. Kesimpulan

a. Kesiapan SDM Polres X dalam menerapkan prinsip kerja belum optimal.

Hal tersebut dikarenakan pendekatan RJ ini dalam penegakan hukum relatif

baru sehingga semangat RJ belum terinternalisasi dalam mind set dan

culture set penyidik dimana penyidik masih menekankan pada kerangka

hukum formal yang belum mengakomodir RJ. Aturan hukum secara formal

terkait RJ belum siap sementara perkembangan hukum sudah mendesak

diberlakukannya pendekatan RJ dalam penegakan hukum. Di lain pihak,

aturan-aturan internal kepolisian tentang penerapan RJ berupa arahan

Bareskrim tidak disalurkan dengan baik kepada satuan bawah oleh Polda.

Pemerasan masih terjadi terhadap pihak-pihak dalam proses RJ, terutama

terhadap pelaku. Oleh karena itu, pendidikan latihan, penanaman kode etik

Polri, serta pengawasan perlu dilakukan untuk mengoptimalkan kesiapan

SDM dimaksud.

14 http://polrespariaman.com/sop/fungsi-operasional/sop-restoratif-justice/ diakses pada tanggal 19 September 2013

Page 12: optimalisasi penerapan prinsip kerja restorative justice

b. Metode yang digunakan terkait dengan penerapan prinsip kerja RJ belum

Optimal. Hal ini dikarenakan masih adanya tekanan-tekanan pada pihak-

pihak yang terlibat dalam proses mencapai hasil restoratif. Partisipasi aktif

dan otonom para pihak belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Orientasi

prosess belum dilaksanakan untuk memastikan pendekatan RJ yang

dilakukan sudah sesuai dengan konsep pemberdayaan korban, pelaku, dan

stakeholders, bukan hanya melihat hasil berupa surat perdamaian dan surat

permohonan penyelesaian secara RJ yang dibuat para pihak. SOP adalah

salah satu upaya untuk memberikan pedoman kepada penyidik.

9. Rekomendasi

a. Direkomendasikan kepada Kapolda cq Dir reskrimum/sus untuk

memberikan arahan dan pelatihan terkait RJ termasuk teknik-teknik

mediasi untuk efektifitas dan efisiensi penegakan hukum melalui

pendekatan RJ. Disamping itu untuk menghindari kesalahan yang

berimplikasi baik disiplin maupun kode etik profesi dalam penerapan RJ.

b. Direkomendasikan kepada Kapolda untuk membuat peraturan Kapolda

tentang prosedur RJ dan HTCK antar fungsi teknis kepolisian yang terkait

serta pelibatan potensi masyarakat. Peraturan Kapolda tersebut dapat

dijadikan pedoman dan penyesuaian SOP Polres X dalam menerapkan

prinsip kerja RJ guna efektifitas dan efisiensi penegakan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Page 13: optimalisasi penerapan prinsip kerja restorative justice

Ashari, Adi SH MH. 2013. Perkembangan Hukum di Indonesia. Hanjar

Sespimmen 53 T.A. 2013: Lembang

Fischer, Joel &Gochros, Haevey L. 1979. Planned Behavior Change: Behavior

Modification in Social Work. The Free Press

L. Coch dan J.R.P.French,Jr. 1948. Overcoming Resistance to change.

Mulyadi, Lilik. 2013. Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia:

pengkajian asas, norma, teori, dan praktik. Yustisia Edisi 85 Januari-

April 2013.

http://nasional.kompas.com/read/2013/07/12/1100384/

Kerusuhan.di.Lapas.Tanjung.Gusta.Tidak.Mengejutkan diakses pada

tanggal 17 september 2013

http://polrespariaman.com/sop/fungsi-operasional/sop-restoratif-justice/ diakses

pada tanggal 19 September 2013

http://www.suarapembaruan.com/home/denny-persoalan-utama-lapas-adalah-

pungli/39370 diakses pada tanggal 17 September 2013

http://www.unodc.org/pdf/criminal_justice/06-56290_Ebook.pdf diakses pada

tanggal 17 september 2013

UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Wiratama, KBP Adithya SH dan KBP Drs Makmur Ginting. 2013. Kajian

Perkembangan Hukum di Indonesia. Hanjar Sespimmen 53 T.A. 2013:

Lembang