Restorative Justice Dan Penerapannya Dalam Hukum Nasional

download Restorative Justice Dan Penerapannya Dalam Hukum Nasional

of 15

Transcript of Restorative Justice Dan Penerapannya Dalam Hukum Nasional

Restorative Justice dan Penerapannya Dalam Hukum NasionalSenin, 06 Desember 2010 15:53

Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, pada hari ini Senin, 6 Desember 2010 mengadakan Pendalaman materi Peraturan Perundang-undangan yang dilaksanakan oleh Sub Bidang Industri, Perdagangan, Riset dan Teknologi, membahas tentang Restorative Justice beserta penerapannya dalam hukum kita. Restorative Justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Terlepas dari kenyataan tersebut bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoritis, akan tetapi pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restorative menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana, seperti yang tergambar dari definisi yang dikemukakan oleh Dignan sebagai berikut: Restorative justice is a new framework for responding to wrong doing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by edsucational, legal, social work, and counceling professionals and community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the person causing the harm, and the affected community. Definisi tersebut mensyaratkan adanya suatu kondisi tertentu yang menempatkan keadilan restorative sebagai nilai dasar yang dipakai dalam merespon suatu perkara pidana. Dalam hal ini disyaratkan adanya keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat. Karena kelemahan dari peradilan pidana yang ada saat ini adalah pada posisi korban dan masyarakat yang belum mendapatkan posisinya sehingga kepentingan keduanya menjadi terabaikan. Sementara dalam model penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative peran aktif kedua pihak ini menjadi penting disamping peran pelaku.

Berkaitan dengan posisi pelaku dan korban maka dari berbagai model penyelesaian perkara dalam sistem peradilan pidana terdapat sejumlah kelemahan. 1. Korban, bahwa korban yang semestinya hadir sebagai pihak yang menjadi pusat dari mekanisme yang berjalan diluar pelaku terlihat belum menjadi bagian dari berbagai mekanisme yang ada.

Keberadaan korban menyebabkan pertimbangan penerapan pendekatan keadilan restorative tidak dapat diterapkan untuk semua jenis tindak pidana. Keinginan korban untuk ikut berpartisipasi secara sukarela merupakan tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan penanganan perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative.

Contoh kasus, kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian korban terlihat bahwa pertemuan antara pelaku dan keluarga korban dapat dilakukan sepanjang hal ini dapat difasilitasi oleh mediator. Demikian juga pada kasus perkosaan, meskipun bukan gambaran utuh dari penerapan pendekatan restorative baik pelaku dan keluarga korban, tetapi keluarga pelaku dan keluarga korban dapat bertemu muka untuk sama-sama mencapai suatu kesepakatan yaitu menikahkan putra putrinya. Melihat contoh kasus tersebut, pernyataan yang dikemukakan oleh korban atau keluarga korban seperti : 1) Keinginan untuk secepatnya menyelesaikan masalah

2) Tak ingin berurusan dengan petugas penegak hukum (kalau sudah ditangan hukum terlalu lama) 3) a) b) c) d) Menginginkan hasil yang nyata dan memuaskan, misalnya : Pengembalian uang atau barang Pemulihan nama baik Perkawinan yang terselenggara Memperoleh biaya pengobatan dan lain sebagainya;

2. Pelaku, Dalam memenuhi salah satu unsur dari penyelenggaraan penanganan perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative, maka syarat bahwa pelaku yang mau melakukan evaluasi diri untuk menyadari kesalahan dan bertanggung jawab yang harus dipenuhi. Dalam penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative, terutama yang dilakukan diluar sistem peradilan pidana maka hal ini amat rentan untuk

tidak dipenuhi dan tak jarang diabaikan. Posisi yang mendudukan seseorang sebagai pelaku bisa jadi sangat instan dan subjektif, tak jarang korban yang sebenarnya justru didudukan sebagai pelaku dan dimintai pula pertanggungjawabannya. Dalam memposisikan salah satu pihak sebagai korban perlu kehati-hatian. Oleh karenanya perlu diperhatikan bilamana penyelesaian perkara diluar sistem ingin dilakukan. Mekanisme pembuktian tetap harus ditempuh untuk menjamin bahwa yang bertanggungjawab adalah korban yang sesungguhnya dapat dilihat dalam kacamata yang obyektif. http://www.djpp.depkumham.go.id/kegiatan-umum/927-restorative-justice-danpenerapannya-dalam-hukum-nasional.html MA Diminta Kaji ulang Perma Tipiring Ketua MA M Hatta Ali merasa bingung melihat respons publik terhadap Perma No 2 Tahun 2012. ash Dibaca: 1065 Tanggapan: 3

Share:

Ketua MA M Hatta Ali merasa bingung lihat respons publik terhadap Perma No 2 Tahun 2012. Foto: SGPAda yang mendukung, ada yang mengkritik. Begitulah respons yang muncul terhadap langkah Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Perma No 2 Tahun 2012. Advokat senior

Adnan

Buyung

Nasution

masuk

kalangan

yang

mengkritik.

Menurut Buyung, penerbitan Perma berjudul Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP itu terlalu terburu-buru. MA dinilai terlalu responsif terhadap kritikan masyarakat terkait penanganan kasus-kasus kecil yang kontroversial, seperti kasus pencurian sandal jepit yang menghukum AAL (15) atau Mbok Minah yang mencuri kakao. Padahal, Buyung memprediksi penerapan Perma ini akan menimbulkan persoalan baru. Sebab, kenaikan nilai denda atau kerugian dalam tindak pidana ringan (tipiring) maksimal sebesar Rp2,5 juta tak bisa disamakan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Terbitnya Perma ini tak bisa diterapkan secara serta merta karena tingkat penghasilan setiap daerah berbeda-beda. Di Jakarta Rp2,5 juta mungkin tidak ada artinya, tetapi di daerah-daerah pelosok jumlah itu memiliki nilai yang besar, kata Buyung saat ditemui di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (1/3). Ia mencontohkan kalau ada sesorang yang mencuri jemuran, beras, ayam hingga kambing yang nilainya kurang dari Rp2,5 juta, apakah dia tidak perlu ditangkap, dan ditahan jika perbuatan itu dilakukan berulang-ulang? Ini kan akan menimbulkan keresahan dan kemarahan masyarakat jika dia ditangkap, terus dilepas lagi, terus mengulangi perbuatannya, efeknya masyarakat bisa main hakim sendiri, nanti kasihan polisi kita karena harus melepas orang gara-gara barang yang diambil nilainya kecil. Jadi kita harus melihat persoalan ini secara berimbang (masyarakat dan korban, red), jelas Buyung. Karena itu, menurutnya, Perma ini perlu dikaji ulang terkait besaran nilai denda atau nilai kerugian dari tipiring yang ditetapkan maksimal Rp2,5 juta. Penahanan bagi pelaku tipiring sebenarnya masih diperlukan untuk melindungi si pelaku juga dari tindakan penghakiman dari masyarakat. Di daerah-daerah masih banyak orang yang penghasilannya hanya Rp500-600, ini akan menimbulkan persoalan yang besar dan dampak negatif karena orang yang mencuri/menggelapkan barang yang nilainya bawah Rp2,5 juta akan seenaknya lantaran tak ditahan, ini bisa membuat masyarakat bertindak main hakim sendiri, seperti yang terjadi di Medan pelaku dibakar hidup-hidup, ujarnya mencontohkan. Meski demikian, ia memahami bahwa nilai filosofis terbitnya Perma ini didasarkan rasa keadilan dari sisi si pelaku tipiring. Saya bisa memahami maksud MA baik untuk melindungi rasa keadilan masyarakat, tetapi respons terbitnya kebijakan Perma MA ini terburu-buru karena belum mencerminkan pemerataan, seharusnya dipikir-pikir terlebih dulu, kritiknya. Seperti diketahui, MA baru saja menerbitkan Perma No 2 Tahun 2012 yang mengatur kenaikan nilai uang denda atau nilai kerugian, khususnya kenaikan nilai denda yang tercantum dalam Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penipuan ringan), 379 (penggelapan ringan), 384, 407, dan 482 KUHP yakni sebesar Rp250 menjadi Rp2,5 juta atau mengalami kenaikan sebesar 10.000 kali lipat. Perma ini untuk menghindari digunakannya pasal pencurian biasa (Pasal 362 KUHP) terhadap tindak pidana yang diatur pasal 364 KUHP atau pasal sejenis, sehingga tidak perlu

ditahan penahanan dan diajukan upaya hukum kasasi. Pemeriksaannya pun dilakukan dengan acara cepat. Buah Simalakama Terpisah, Ketua MA M Hatta Ali mengaku bingung dengan respons masyarakat terkait keluarnya Perma No. 2 Tahun 2012 ini. Sebab, ketika hakim menghukum terdakwa kasus pencurian sandal dan kakao, masyarakat tak ada yang mendukung putusan itu. Mana ada masyarakat yang mendukung putusan itu, hampir semua masyarakat mengkritik meski putusannya sudah berdasarkan fakta. Sekarang kita keluarkan Perma malah terbalik lagi komentarnya, kenapa dulu tak memikirkan korban yang dipikirkan hanya terdakwa agar bebas. Jadi maunya masyarakat ini apa? Ini seperti makan buah simalakama, nanti yang bingung kita semua, kata pria yang baru saja dilantik sebagai Ketua MA ini. Ditegaskannya, dikeluarkannya Perma No 2 tahun 2012 ini untuk lebih mengedepankan nilai silaturahimnya terutama antara pelaku dan korban agar terpenuhinya restorative justice (pemulihan keadilan). Karena nilainya (denda atau kerugian) terlalu kecil, lebih bagus ditonjolkan silahturahminya, yang penting pelaku sudah meminta maaf, korban sudah memaafkan, dan ada kemungkinan kerugian korban sudah dibayar atau barang yang sudah diambil sudah dikembalikan, jelasnya. Hatta menjelaskan penerapan prinsip restorative justice ini agar keseimbangan dalam masyarakat tidak terganggu, sehingga gangguan kepentingan pelapor, korban, dan masyarakat itu terpenuhi. Ini justru merupakan terobosan yang sangat baik jika diterapkan. Desertasi saya juga menyangkut restorative justice yang mengutamakan hubungan silahturahmi agar tetap terjaga dengan baik, katanya. Menurutnya, adanya prinsip restorative justice dalam Perma itu agar tidak timbul lagi seperti kasus sendal jepit, kakao randu, curi piring hingga harus sampai ke tingkat kasasi. Kasihan hakim agung yang seharusnya menangani perkara besar, harus menangani kasus kecil yang cukup menyita konsentrasi, katanya. Namun, ia mengakui bahwa materi Perma Tipiring ini memang belum masuk dalam KUHP dan KUHAP. Maka dalam desertasi saya menyarankan agar prinsip restorative justice dimasukkan dalam KUHAP dan KUHP supaya punya landasan agar tidak ribut-ribut terus. Ya sebaiknya Perma ini dijalankan saja dulu, harapnya.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f524b02bd7e8/ma-diminta-kaji-ulang-permatipiringNASIONAL - HUKUM Sabtu, 03 Maret 2012 , 01:25:00 LPSK Pertanyakan Hak Korban di PERMA JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengapresiasi diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 Tentang

Penyesuaian Batasan Tindak ringan dan Jumlah Denda. Menurut Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, upaya Mahkamah Agung (MA) itu merupakan bagian dari reformasi peradilan pidana yang selama ini pengaturannya sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini dan merupakan upaya percepatan terhadap proses peradilan pidana. Hanya saja, kata Semendawai, upaya yang dilakukan MA harusnya diimbangi dengan pengaturan perlindungan terhadap korban. Pasalnya, keberadaan korban tindak pidana selama ini luput dari keadilan dalam proses penanganan tindak pidana. Dengan tidak dimasukkannya tindak pidana ringan ke pengadilan dan dibebaskannya pelaku, seharusnya perlu dipikirkan nasib korbannya. Bagaimana korban dapat ganti rugi dan keadilan bila pelaku tidak di proses hukum? kata Semendawai di Jakarta, Jumat (2/3). Karenanya, ia berharap Mahkamah Agung dapat mengeluarkan peraturan lainnya yang berpihak pada keadilan korban tindak pidana.Pendekatan perspektif restorative justice seharusnya digunakan dalam setiap pengaturan dan penanganan tindak pidana di Indonesia, pintanya. Perlindungan terhadap korban tindak pidana saat ini telah diatur dalam sejumlah peraturan. Salah satunya adalah Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengatakan Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. Jika kasus tindak pidana ringan tidak masuk pengadilan, bagaimana korban dapat mengajukan haknya? ucapnya. Ketua LPSK. Semendawai melanjutkan dengan adanya PERMA tersebut, perlu dipastikan agar proses peradilan dalam kasus yang masuk kategori Tindak Pidana Ringan itu berjalan dengan lancar, selain itu perlu dibuat aturan lebih lanjut mengenai penyelesaian kasus Tindak Pidana Ringan yang dapat dilakukan melalui Mediasi. Dengan mekanisme mediasi, penyelesaian penanganan tindak pidana ringan dapat dilakukan dengan persetujuan korban, sehingga hak korban tetap tidak terabaikan dan dapat meminimalisir tindakan main hakim sendiri jika korban tidak puas terhadap proses peradilan, pungkasnya. (awa/jpnn)

Mencegah Predator HukumKamis, 08/3/2012 | | Dilihat: 1662 Kali

SHARE THIS:

Baca Juga:

SEGEL KANTOR PERTAMINA UWIT: Jaman Industri Dadi Pawitan Rusake Alam KEMACETAN JALAN NUNUN MENDENGARKAN KESAKSIKAN TOPPING OFF SCP

Muhammad Taufiq, Advokat Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret. (FOTO/Dok) Pada Kamis (1/3/2012) lalu saya dihubungi jurnalis Radio SOLOPOS FM yang meminta pendapat saya terkait terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 2/2012 yang intinya menyatakan terdakwa pencurian di bawah Rp2,5 juta tidak dikenakan penahanan. Benarkah demikian? Sejatinya tidak. Wawancara itu begitu singkat, hasilnya pasti kurang dimengerti masyarakat. Masyarakat menafsirkan segala bentuk pencurian, asalkan nilainya di bawah Rp2,5 juta, akan memperoleh pengampunan alias tidak ditahan. Tulisan ini bermaksud menjelaskan untuk lebih memahami latar belakang lahirnya Perma tersebut. Hukum yang berlaku di Indonesia manakala dilihat dari sejarah perkembangannya sejak abad XVII dipengaruhi hukum modern yang berpaham civil law yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sistem hukum tersebut mempengaruhi dengan cara

mereduksi hukum yang sudah ada sebelumnya yang waktu itu dikenal dengan sistem hukum yang hidup dalam masyarakat. Menggunakan istilah Prof Satjipto Raharjo, sistem hukum itu merupakan bentuk khas dari kehidupan sosial di situ (a piculair form of social life). Pada waktu itu, sistem hukum yang merupakan bentuk khas kehidupan masyarakat sebelum abad XVII dikenal dengan sebutan hukum agama (Islam, Hindu) dan hukum adat, yang oleh Daniel S Lev diartikan sebagai hukum lokal. Dalam umur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sudah tiga puluh tahun ini, terungkap berbagai kelemahan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia. KUHAP yang secara normatif merupakan pijakan hukum pelaksanaan sistem peradilan pidana tidak dapat lagi dianggap sebagai karya agung bangsa Indonesia. Kelemahan itu di antaranya ketidakseimbangan hak antara hak-hak tersangka/terdakwa dengan hak-hak korban. Ini sering memicu munculnya disparitas dalam penetapan putusan pidana. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya Perma di atas. Kenyataan lain yang harus dihadapi KUHAP bahwa komponen yang bekerja di dalam sistem peradilan pidana di negara hukum ini adalah institusi negara yang telah tercoreng kewibawaannya. Insitusi kepolisian, kejaksaan sampai kehakiman terlibat dalam praktik penyalahgunaan kekuasaan maupun berbagai jenis tindak pidana. Dalam bahasa saya, mereka yang sesungguhnya penegak hukum telah berubah menjadi predator hukum akibat kegagalan mereka menjaga kewibawaan hukum. Akhirnya perkara sampah atau remeh seperti pencurian sepasang sandal (di Makassar), pencurian tiga biji kakao (di Purwokerto), pencurian sebuah semangka (di Kediri) justru sampai ke persidangan, sementara kasus kakap seperti korupsi di daerah banyak yang lolos dan skandal Bank Century atau bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) justru tidak terendus. Mahal Wajah lain dari hukum dan proses hukum formal yang terdapat dalam KUHAP adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal di Indonesia ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah dan yang lebih parah lagi penuh dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Salah satu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini terlihat problematik adalah mengingat terdapat dan dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis masalah (one for all mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian atas masalah hukum yang timbul. Berkaca dari contoh kasus di atas, menurut saya, teori restorative justice sesungguhnya dapat dijadikan landasan dalam penyelesaian perkara pidana seperti ini. Restorative justice merupakan salah satu model alternative dispute resolution yang lebih ditujukan pada kejahatan terhadap sesama individu/anggota masyarakat daripada kejahatan terhadap negara. Restorative justice menekankan pendekatan yang seimbang antara kepentingan pelaku, korban dan masyarakat di mana terdapat tanggung jawab bersama antarpihak dalam membangun kembali sistem sosial di masyarakat. Banyak contoh menunjukkan ketidakmampuan negara untuk mengambil langkah-langkah hukum yang tepat terhadap mereka yang melakukan kesalahan jika hanya bertumpu pada hukum formal. Hukum materiil kita (KUHP) diberlakukan sejak 1856 di zaman pemerintahan kolonial Belanda. Saat itu kerugian di bawah Rp25 dianggap sebagai tindak

pidana ringan. Seiring perkembangan zaman, pada 1960 diubah menjadi maksimal Rp250. Sekarang setelah lebih dari 50 tahun diubah lagi nilainya menjadi Rp 2,5 juta. Jadi Perma No 2/2012 di atas sejatinya hanya perubahan nilai nominal dari pencurian sebagaimana yang diatur pada Pasal 364 KUHP, yakni kejahatan yang masuk kategori tindak pidana ringan. Proses persidangan pelanggar pasal ini cukup sehari dan tidak perlu dikenakan penahanan. Bagaimana dengan bentuk kejahatan lain seperti penodongan, penjambretan, mengutil di swalayan dengan nilai barang kurang dari Rp2,5 juta? Untuk bentuk kejahatan seperti itu, pelaku tetap ditangkap dan ditahan, bahkan bisa lebih berat, jika dia seorang residivis atau kejahatan itu dilakukan saat musibah seperti kebakaran, banjir, gempa bumi dan bencana lainnya. http://www.solopos.com/2012/kolom/mencegah-predator-hukum-168689

LPSK Pertanyakan Hak Korban Dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2012PERS RELEASE LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR : 14/PR/LPSK/III/2012 LPSK Pertanyakan Hak Korban Dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2012 (Jakarta, Jumat 2 Maret 2012) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) turut mengapresiasi dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak ringan dan Jumlah Denda. Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai mengatakan upaya Mahkamah Agung tersebut merupakan bagian dari reformasi peradilan pidana yang selama ini pengaturannya sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini dan merupakan upaya percepatan terhadap proses peradilan pidana. Namun, Ketua LPSK mengatakan upaya seharusnya diimbangi dengan pengaturan perlindungan terhadap korban. Hal ini mengingat keberadaan korban tindak pidana selama ini luput dari keadilan dalam proses penanganan tindak pidana. Dengan tidak dimasukkannya tindak pidana ringan ke pengadilan dan dibebaskannya pelaku, seharusnya perlu dipikirkan nasib korbannya, bagaimana korban dapat ganti rugi dan keadilan bila pelaku tidak di proses hukum? ungkap Ketua LPSK. Ketua LPSK juga mengatakan, pihaknya berharap Mahkamah Agung dapat mengeluarkan peraturan lainnya yang berpihak pada keadilan korban tindak pidana. Pendekatan perspektif restorative justice seharusnya digunakan dalam setiap pengaturan dan penanganan tindak pidana di Indonesia, Ungkap Ketua Sebagaimana diketahui, perlindungan terhadap korban tindak pidana dekade ini telah diatur dalam sejumlah peraturan. Sebut saja, ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengatakan Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. Jika kasus tindak pidana ringan tidak masuk pengadilan, bagaimana korban dapat mengajukan hak nya? ungkap Ketua LPSK. Selanjutnya, Ketua LPSK mengatakan dengan adanya Perma tersebut, perlu dipastikan agar proses peradilan dalam kasus yang masuk kategori Tindak Pidana Ringan itu berjalan dengan

lancar, selain itu perlu dibuat aturan lebih lanjut mengenai penyelesaian kasus Tindak Pidana Ringan yang dapat dilakukan melalui Mediasi. Dengan mekanisme mediasi, penyelesaian penanganan tindak pidana ringan dapat dilakukan dengan persetujuan korban, sehingga hak korban tetap tidak terabaikan dan dapat meminimalisir tindakan main hakim sendiri jika korban tidak puas terhadap proses peradilan, ungkap Ketua LPSK.

Humas LPSK Maharani Siti Shopia

http://www.lpsk.go.id/page/4f50a1522b9ce

Minggu, 09 Oktober 2011Implementasi Program Restorative Justice Dengan Menggunakan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternative Dispute Resolution Oleh Penyidik Satuan Reskrim Polres MalangKepustakaan Konseptual 2.2.1 Konsep Restorative Justice. Dalam penelitian ini yang menjadi kepustakaan konseptual adalah pendapat pakar hukum mengenai Restorative Justice, yaitu menurut pendapat Adrianus E. Meliala dalam makalahnya sebagai narasumber pada acara diskusi kelompok Rapat Kerja Teknis Fungsi Reskrim Polri Tahun 2011, yang dikutip oleh Zakarias Poerba pada Jurnal Studi Kepolisian, mengatakan bahwa ; Bagaimana pelaksanaan Restorative Justice dalam konteks Sistem Peradilan Pidana ? Restorative Justice dalam konteks Sistem Peradilan Pidana, harus dimengerti sebagai : (1) Kehadiran kelembagaan baru yang melengkapi lembaga yang sudah ada : (2) Cara pandang, semangat, motivasi yang tumbuh di kalangan pelaksana peradilan (termasuk Polri) ; (3) Peraturan, regulasi atau manual yang baru atau khusus (termasuk bagi Polri) 1 [1] Pelaksanaan Restoratif Justice oleh penyidik sebagai program Polri yaitu dengan seperangkat pilihan mekanisme resolusi sengketa pidana (termasuk Alternative Dispute Resolution) sangat rentan dengan terhadap pertanggungjawaban penyidik, seperti : penerbitan SP3 tetapi unsur pasal pidananya terpenuhi, SPDP terlanjur sudah dikirim ke 1

Penuntut Umum sehingga menjadi beban bagi penyidik, adanya pemeriksaan oleh Tim Pengawas masalah penyidikan, dan sebagainya. Selain itu, Pelaksanaan Program Restoratif Justice (dengan Alternative Dispute Resolution) oleh penyidik juga rentan terhadap penyimpangan oleh oknum. Ada dua hal yang dapat terjadi, yang pertama yaitu adanya salah pengertian oleh pihak- pihak berperkara terhadap penyidik bahwa penyidik bermaksud meminta imbalan. Yang kedua, yaitu adanya keinginan dari penyidik untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Maka pengawasan ketat perlu dilakukan bilamana Program Restoratif Justice (dengan Alternative Dispute Resolution) dilakukan dalam proses penyidikan. 2.2.2 Konsep Permasalahan sosial (Sengketa Pidana). Mengenai konsep sengketa pidana dalam penelitian ini akan dijelaskan melalui konsep permasalahan sosial karena sengketa pidana merupakan bagian dari permasalahan sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Menurut pendapat Soerjono Soekanto dalam bukunya berjudul Sosiologi (Suatu Pengantar) mengatakan bahwa ; Masalah sosial [sengketa pidana] adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur- unsur kebudayaan dan masyarakat, yang dapat membahayakan kehidupan kelompok sosial, atau menghambat terpenuhinya keinginan- keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial.2[2] Masalah dalam hal sengketa pidana diatas juga menyangkut masalah moral, tentang nilai yang perlu sarana sebagai penilai dan pengukurnya, sehingga ketidaksesuaian dapat diungkap sebagai sesuatu yang baik atau yang buruk dan dapat diterima oleh kelompok sosial atau tidak. 2.2.3 Konsep Alternative Dispute Resolution. Tujuan Alternative Dispute Resolution adalah terwujudnya Win-win solution sebagai bentuk penyelesaian perkara, sementara dalam hukum positif di Indonesia masih menganut 2

sifat Win-lose solution. Dalam artikel yang dibuat oleh Prof. dr. Adrianus Meliala mengatakan bahwa masyarakat (khususnya tingkat lokal) sebenarnya memiliki kapasitas tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan perilaku seseorang atau beberapa orang warganya yang dianggap menyimpang atau melanggar pidana3[3], mengandung arti bahwa upaya penerapan Alternative Dispute Resolution sudah mendapatkan pembenaran oleh para pakar pidana. Oleh Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian dilakukan upaya koordinasi pemberlakuan ADR ini sebagai altenatif dalam penyelesaian sengketa, maka Polri mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 7 tahun 2008 tentang Implementasi polmas dengan menerapkan ADR oleh petugas polmas. Sedangkan pendapat pakar hukum lainnya yaitu menurut H. Priyatna Abdurasyid mengatakan bahwa ; Sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternative atau pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk APS / arbitrase [negosiasi dan mediasi] agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak. Secara umum, tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independen yang diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketa tersebut.4[4] Penekanan konsep ADR yang membedakan dengan konsep ADR yang dikemukakan Prof. dr. Adrianus Meliala diatas adalah tidak selalu ada intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independen dalam penyelesaian sengketa pidana. Pakar hukum lainnya adalah konsep ADR menurut Philip D. Bostwick yang mengatakan bahwa ; A set of practices and legal techniques that aim : a) To permit legal disputes to be resolved outsidethe courts for the benefit of all disputants. b) To reduce the cost of conventional ligitation and the delay to which it is ordinary subjected. 3 4

c) To prevent legal disputes that would otherwise likely be brought to the courts.5[5] (Sebuah perangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan : a) Menyelesaikan sengketa hukum diluar pengadilan demi keuntungan para pihak. b) Mengurangi biaya ligitasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi. c) Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan.) Dari ketiga pendapat pakar hukum diatas maka peneliti menarik kesimpulan tentang konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) yaitu merupakan model atau mekanisme penyelesaian sengketa pidana yang berlaku pada sekelompok orang /masyarakat khususnya tingkat lokal, berupa sekumpulan prosedur atau mekanisme agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak, secara umum tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independen, dan tujuannya demi keuntungan para pihak, efisiensi biaya dan waktu, serta mencegah sengketa jalur pengadilan. 2.2.4 Konsep Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Dalam konsep ini akan diuraikan tentang beberapa hal pokok yang sangat penting dan merupakan bagian dari mekanisme penyelesaian sengketa pidana dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia. Konsep ini akan menguraikan setidaknya tentang pengertian Sistem Peradilan Pidana, tujuan dan manfaat Sistem Peradilan Pidana, serta asas- asas yang diberlakukan. Menurut pendapat Prof. Dr. H.R. Abdussalam, SIK., S.H., M.H. tentang defenisi Sistem Peradilan Pidana, mengatakan bahwa ; Sistem Peradilan Pidana merupakan proses penegakkan hukum yang saling berkaitan dan ketergantungan antara sub system polisi selaku penyidik, jaksa selaku penuntut umum, hakim, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran materiil untuk membuktikan terjadi tindak pidana kejahatan dan siapa tersangka/ terdakwanya.6[6] 5 6

Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa dalam Sistem Peradilan Pidana harus melibatkan polisi, jaksa, dan hakim untuk memutuskan perkara (pengadilan). Pelaksanaannya bekerja secara linear sejak penanganan yang dimulai oleh Polisi hingga adanya putusan hakim, kemudian pelaksanaan pidana oleh lembaga pemasyarakatan. Tujuan Sistem Peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro dalam bukunya Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana Karangan Buku Ketiga, yang dikutip oleh Prof. Dr. H.R. Abdussalam, SIK., S.H., M.H. dan Irjen Pol. Drs. DPM Sitompul, S.H., M.H. dalam buku Sistem Peradilan Pidana , dijelaskan dalam beberapa tujuan yaitu mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Selain itu, Mardjono Reksodiputro juga menguraikan manfaat Sistem Peradilan Pidana yaitu ; 1. menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu polisi, 2. mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam penanggulangan kejahatan, 3. 4. data statistik kriminal dan keberhasilan/ kegagalan sub sistem menjadi masukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan sosial pembangunan, dan memberikan jaminan kepastian hukum (keadilan tidak disebutkan) kepada individu maupun masyarakat. Ciri pendekatan sistem dalam peradilan pidana7[7] yang digunakan dalam penyelesaian sengketa pidana yang dianut dalam sistem peradilan pidana di Indonesia menurut Romli Atmasasmita adalah ; 1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan), 7

2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana, 3. Efektifitas system penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara, dan 4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan the administration of justice. 2.2.5 Teori Peran dan Status. Teori ini digunakan oleh peneliti untuk melihat peran dari pihak- pihak yang bersengketa atau pihak- pihak yang dimaksud menurut H. Priyatna Abdurasyid , termasuk didalamnya adalah pihak ketiga. Teori tentang peran dan status yang disampaikan oleh Paul B. Horton dalam bukunya berjudul Status and Role Theory mengatakan bahwa Peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status tertentu, sedangkan status adalah kedudukan seseorang dalam suatu kelompok dalam kaitannya dengan kelompok lain., dikandung maksud ada hubungan antara peran dan status dalam kelompok atau dapat dimaknai bahwa setiap anggota dalam kelompok memiliki status dan anggota kelompok tersebut dituntut mentaati peran yang diemban. http://hukumonlinesiboro.blogspot.com/2011/10/implementasi-program-restorative.html