BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik...

230
KAJIAN MUSIKAL DAN FUNGSI PERTUNJUKAN BARONGSAI PADA PERAYAAN CAP GO MEH MASYARAKAT TIONGHOA DI MAHA VIHARA MAITREYA, KOMPLEK PERUMAHAN CEMARA ASRI, MEDAN SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H YUDHISTIRA SIAHAAN NIM: 080707018 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

Transcript of BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik...

Page 1: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

KAJIAN MUSIKAL DAN FUNGSI PERTUNJUKAN BARONGSAI

PADA PERAYAAN CAP GO MEH MASYARAKAT TIONGHOA

DI MAHA VIHARA MAITREYA, KOMPLEK PERUMAHAN

CEMARA ASRI, MEDAN

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

OLEH

YUDHISTIRA SIAHAAN

NIM: 080707018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

MEDAN

2012

Page 2: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

KAJIAN MUSIKAL DAN FUNGSI PERTUNJUKAN BARONGSAI PADA

PERAYAAN CAP GO MEH MASYARAKAT TIONGHOA DI MAHA VIHARA

MAITREYA, KOMPLEK PERUMAHAN CEMARA ASRI, MEDAN

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

YUDHISTIRA SIAHAAN

NIM: 080707018

Dosen Pembimbing I,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

NIP 196512211991031001

Dosen Pembimbing II,

Dra. Heristina Dewi, M.Pd.

NIP 1966

Skripsi ini diajukan kepada Paniti Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan,

untuk melengkapi salah satui syarat Ujian Sarjana Seni

dalam bidang disiplin Etnomuskologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

MEDAN

2012

ii

Page 3: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

PENGESAHAN

DITERIMA OLEH:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah

satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU,

Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A.

NIP

Panitia Ujian: Tanda Tangan

1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D

2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.

3.Drs. Kumalo Tarigan, M.A.

4.

5.

iii

Page 4: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

KETUA,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

NIP 196512211991031001

iv

Page 5: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

KATA PENGANTAR

v

Page 6: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

vi

Page 7: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Barongsai adalah salah satu jenis seni pertunjukan yang terpusat pada

olah gerak tubuh (tari dan bela diri atau akrobatik), menggunakan kostum singa,

dan gerakannya mengikuti hentakan ritme yang dihasilkan oleh pemain musik.

Pertunjukan Barongsai sering ditampilkan dalam upacara-upacara hari besar

maupun peristiwa-peristiwa penting pada kebudayaan masyarakat Tionghoa.1

Istilah barongsai di Indonesia berasal dari dua kata, yakni barong dan

sai/say. Kata barong berasal dari bahasa Melayu yang artinya topeng, mirip

dengan kesenian barong asal Jawa dan Bali. Kata sai/say berasal dari dialek

Hokkien yang bermakna singa. Sehingga ketika digabungkan, maknanya

memiliki arti topeng singa.2 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995),

barongsai adalah “tarian masyarakat Cina yang memakai kedok dan kelengkapan

sebagai binatang buas (singa), dimainkan oleh dua orang (satu bagian kepala dan

satu bagian ekor) dan dipertunjukan pada perayaan Imlek.”

1Istilah masyarakat Tionghoa merujuk pada pengertian orang Indonesia dengan akar keturunan berasal dari Cina. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkian), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari Cina Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang (lebih lanjut lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia).

2Wawancara dengan Candra Tio (seniman Tionghoa dan Ketua Tim Barongsai Maha Vihara Maitreya), 07 Februari 2012

1

Page 8: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Kesenian barongsai diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar abad ke-17

pada saat migrasi besar-besaran dari Cina Selatan ke Indonesia. Keberadaan

barongsai sebagai salah satu kesenian masyarakat Tionghoa sempat mengalami

fase “mati suri,” terkait dengan Inpres No. 14 Tahun 1967 yang dikeluarkan pada

masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang berisikan bahwa masyarakat

Tionghoa tidak boleh mengembangkan kebudayaannya, melarang membangun

klenteng, tidak boleh menggunakan bahasa Cina, dan diharuskan mengubah

nama Cina menjadi nama Indonesia.

Setelah rezim Orde Baru tumbang, baru memasuki pemerintahan Presiden

Abdurrahman Wahid, beliau mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 dan

menetapkan Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Republik Indonesia yang menetapkan bahwa orang Tionghoa yang

berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam

lingkup nasional Indonesia (en.wikipedia.org/wiki/Chinese_Indonesians). Setelah

itu barulah masyarakat Tionghoa di Indonesia dapat menghirup aroma bebas

dalam merayakan hari besar mereka dan kegiatan-kegiatan lainnya. Sejak

ditetapkannya status masyarakat Tionghoa di Indonesia sebagai kelompok

masyarakat yang resmi serta dilindungi haknya oleh negara, kesenian masyarakat

Tionghoa, seperti barongsai perlahan tapi pasti kembali muncul ke permukaan

dan mendapatkan popularitasnya kembali.

2

Page 9: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

William Y. K. Lee (2001) mengungkapkan bahwa pertunjukan barongsai

sebagai salah satu kebudayaan tradisional Tionghoa berkaitan dengan makna

yang sangat luas. Barongsai dapat dihubungkan dengan aspek-aspek seperti:

agama/filsafat (Taoisme-Feng Shui, Buddha, Khonghucu dan astrologi),

sastra (mitos, fabel, legenda, dan sejarah), seni (opera Cina, akrobat, bela diri,

musik, dan kaligrafi), ilmu pengetahuan (astronomi, musim, dan pertanian),

bahasa, dan bahkan makanan. Barongsai juga sering disalahartikan oleh

masyarakat awam sebagai tarian naga (liong), padahal pembedanya cukup jelas.

Barongsai dimainkan dengan dua orang, sedangkan liong dimainkan oleh

sedikitnya sepuluh orang.

Pertunjukan Barongsai dimainkan oleh dua orang pemain pada saat

perayaan hari-hari besar masyarakat Tionghoa seperti Tahun Baru Imlek dan Cap

Go Meh.3 Ketika ditampilkan, pertunjukan barongsai diyakini dapat membawa

keberuntungan dan menolak semua bala dan hawa kejahatan.

Tarian Singa atau barongsai dalam masyarakat Tionghoa terdiri dari dua

jenis, yaitu barongsai Utara dan barongsai Selatan. Singa Utara memiliki surai

ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip

singa ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang

3Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek dimulai di hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam Tahun Baru Imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti “malam pergantian tahun.” Ini juga berkaitan dengan perayaan para petani untuk menyambut datangnya musim semi. Perayaan Cap Go Meh, sebagai penutup rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek dikatakan sebagai malam terakhir “bersukacita” dan dimulainya masa “bekerja kembali.”

3

Page 10: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

bervariasi antara dua atau empat serta kepalanya yang dilengkapi dengan tanduk.

Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan

terkenal dengan gerakan kepalanya yang tegas dan melonjak-lonjak seiring

dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah

dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki.4

Tio menjelaskan bahwa setiap gerakan yang ditampilkan dalam

pertunjukan barongsai memiliki maknanya sendiri. Gerakan-gerakan barongsai

tidaklah selalu sama dari awal hingga akhir, Tio menjelaskan setiap langkah

barongsai bukanlah gerakan yang dilakukan asal-asalan. Setiap gerakan

barongsai menampilkan gerakan antara lain gembira (ci hua to), penghormatan

(sing li), ragu-ragu (tampuk), dan masih banyak lagi. Nama-nama gerakan ini

juga dipakai sebagai nama repertoar musik yang dimainkan.

Ketika bermain, barongsai diiringi oleh alat musik yang didominasi

dengan pembawa ritme, dan tidak mengandung unsur melodi sedikitpun. Alat-

alat musik yang dipakai untuk mengiringi barongsai adalah: simbal (钹/bó), gong

(锣 /luó), dan tambur/gendang (鼓 /gǔ). Pertunjukan barongsai sendiri tidak dapat

dimainkan bila tanpa iringan musik. Bisa dikatakan, barongsai tidak dapat

dikatakan sebagai satu pertunjukan yang utuh tanpa adanya iringan musik. Ini

sudah menjadi kesatuan yang sahih.

Permainan musik barongsai, dalam kasus ini ritme, memiliki aspek

struktur musikal. Struktur musikal alat musik dalam pertunjukan barongsai

4Wawancara dengan Candra Tio, 6 Februari 2012

4

Page 11: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

tidaklah terus menerus sama, melainkan memiliki bagian-bagiannya, alias berdiri

sendiri. Setiap pola ritme yang dimainkan sangatlah berpengaruh dan saling

mengisi dalam gerakan atau langkah pemain barongsai.

Sejalan dengan makna warna yang terdapat pada masyarakat Tionghoa,

maka para pemain barongsai juga mengadopsinya ke dalam kostum yang

dipakai. Setiap warna yang diterapkan pada kostum barongsai memiliki

maknanya masing-masing, tiap warna mewakili elemen-elemen utama yang

dipercayai oleh masyarakat Tionghoa. Warna-warna tersebut adalah kuning

emas, merah, hitam, hijau, kuning-jingga, dan putih.

Menilik fungsinya, seperti yang diuraikan di atas, yaitu membawa

keberuntungan dan menolak bala, maka sekarang ini pertunjukan barongsai

semakin bertambah fungsinya, tidak khusus ditampilkan pada hari-hari besar

saja, tapi juga ditampilkan saat momen-momen yang dianggap penting oleh

masyarakat Tionghoa, seperti memasuki rumah baru dan peresmian klenteng,

disini Barongsai berfungsi untuk menyucikan tempat dari energi negatif.

Karena pertunjukan barongsai ini adalah kesenian masyarakat Tionghoa,

maka penelitian dilakukan di Maha Vihara Maitreya, Komplek Perumahan

Cemara Asri, Medan, pada saat perayaan Cap Go Meh. Maha Vihara Maitreya

memiliki tim barongsai sendiri, yang bernama Group Barongsai Maha Vihara

Maitreya Medan.

Berdasar uraian di atas, penulis memberi judul pada skripsi ini: Kajian

Musikal dan Fungsi Pertunjukan Barongsai pada Perayaan Cap Go Meh

5

Page 12: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Masyarakat Tionghoa di Maha Vihara Maitreya, Komplek Perumahan

Cemara Asri, Medan. Melalui tulisan ini, penulis berharap dapat memberikan

gambaran umum struktur musikal pada pertunjukan barongsai dan juga

mengungkapkan fungsi-fungsi serta perubahan-perubahan yang terjadi dalam

pertunjukan barongsai sekarang ini.

1.2 Pokok Permasalahan

Beberapa hal pokok yang menjadi perhatian utama dalam skripsi ini,

antara lain:

1. Bagaimana format struktur musikal yang terkandung dalam permainan

musik (dalam hal ini ritme) pada pertunjukan barongsai?

2. Apa fungsi dan makna pertunjukan Barongsai dalam kehidupan

masyarakat Tionghoa?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan batasan pokok permasalahan, tujuan dari penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui secara jelas format musikal dalam permainan musik

pertunjukan barongsai.

2. Unguk mengetahui dan memahami secara etnomusikologis tentang fungsi

dan makna pertunjukan barongsai dalam kehidupan masyarakat

Tionghoa.

6

Page 13: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memperdalam pengetahuan tentang pertunjukan barongsai.

2. Untuk menambah referensi, wawasan, serta dokumentasi kesenian

masyarakat Tionghoa.

3. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai materi

dasar bagi penelitian selanjutnya.

4. Untuk menambah bahan kajian di bidang etnomusikologi, khususnya

tentang barongsai yang berada di Indonesia, dan kemungkinan nantinya

untuk dibandingkan dengan barongsai yang ada di berbagai negeri seperti

daratan Cina, Korea, Taiwan, Amerika, Eropa, Asia Tenggara, dan lain-

lainnya.

1.5. Konsep

Barongsai adalah seni pertunjukan masyarakat Tionghoa yang terpusat

pada olah gerak tubuh, dimainkan oleh dua orang dan menggunakan kostum

singa dalam penampilannya. Pertunjukan barongsai diiringi oleh iringan ritme

dari instrumen perkusi. Dalam pertunjukan barongsai tidak dijumpai istrumen

musik yang memainkan melodi, melainkan didominasi oleh permainan ritme.

Pertunjukan barongsai biasa dimainkan dalam perayaan-perayaan hari besar

Tionghoa, namun seiring perkembangannya pertunjukan Barongsai juga

7

Page 14: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

ditampilkan di acara-acara penting seperti memasuki rumah baru, dan memasuki

klenteng. Fokus pertunjukan Barongsai yang dimaksud penulis di sini adalah

pertunjukan Barongsai yang dimainkan saat perayaan Cap Go Meh.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) mengkaji adalah

mempelajari, memeriksa, dan menyelidiki suatu hal. Dalam konteks tulisan ini,

titik fokus kajian yang dimaksud adalah aspek musikal dari permainan alat musik

pada pertunjukan Barongsai, yakni simbal ( 钹 /bó), gong ( 锣 /luó), dan

tambur/drum ( 鼓 /gǔ). Dikarenakan tidak terdapatnya unsur melodis dalam

permainan alat-alat musik ini, maka yang diperhatikan adalah pola ritme, kualitas

suara, dan keras lembutnya suara.

Fungsi berarti manfaat atau kegunaan dari suatu hal. Fungsi yang

dimaksud dalam tulisan ini adalah pertunjukan barongsai sebagai simbol

kemakmuran dan menolak bala seperti yang sudah diyakini selama ini.

Pertunjukan barongsai yang dimainkan pada malam Cap Go Meh tidak hanya

memiliki fungsi yang hanya dapat dirasakan oleh masyarakat Tionghoa, namun

juga oleh pemainnya, serta juga penonton (penikmat) yang turut melihat perayaan

Cap Go Meh berlangsung di Maha Vihara Maitreya.

Richard Schechner (dalam Sal Murgianto, 1995: 161) mengungkapkan

bahwa pertunjukan adalah sebuah proses yang memerlukan waktu dan ruang.

Sebuah pertunjukan memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Struktur dasar

pertunjukan meliputi: (1) persiapan bagi pemain maupun penonton, (2)

pementasan, (3) aftermath, yakni apa-apa saja yang terjadi setelah pertunjukan

8

Page 15: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

selesai. Singer (dalam Sal Murgianto, 1995:165) menjelaskan bahwa setiap

pertunjukan memiliki: (1) waktu pertunjukan yang terbatas. (2) awal dan akhir,

(3) acara kegiatan yang terorganisir, (4) sekelompok pemain, (5) sekelompok

penonton, (6) tempat pertunjukan, (7) kesempatan untuk mempertunjukkannya.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Barongsai memenuhi setiap syarat seperti

yang telah diuraikan sebagai suatu pertunjukan bagi masyarakat Tionghoa.

Koentjaraningrat (2002:146-147) menjelaskan masyarakat adalah

kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat

yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Para

ahli antropologi mendeskripsikan masyarakat sebagai wadah hidup bersama dari

individu-individu yang terjalin dan terikat dalam hubungan interaksi serta

interelasi sosial. Masyarakat adalah golongan besar atau kecil dari berbagai

manusia, yang dengan atau sendirinya bertalian secara golongan dan mempunyai

pengaaruh kebatinan satu sama lain hidup dengan realitas-realitas baru yang

berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri dan berkembang menurut pola

perkembangan yang tersendiri (Hassan Shadily dan Auguste Comte dalam Abdul

Syani, 1995: 46-47).

Masyarakat Tionghoa yang dimaksud penulis di sini adalah masyarakat

Tionghoa yang merayakan perayaan Cap Go Meh, khususnya masyarakat

9

Page 16: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Tionghoa yang menganut aliran kepercayaan Maitreya5 dan merayakannya di

Maha Vihara Maitreya, Kompleks Perumahan Cemara Asri, Medan.

1.6 Kerangka Teori

Etnomusikologi sebagai salah satu ilmu saintifik memerlukan teori

sebagai landasan berpikir dalam membahas suatu permasalahan. Oleh karena itu

penulis menggunakan beberapa teori yang dianggap perlu sebagai bahan acuan

dan referensi dalam penulisan skripsi ini.

Dalam mengkaji musik dalam pertunjukan Barongsai, penulis memakai

teori Weighted Scale oleh William P. Malm. Malm menjelaskan tentang langkah-

langkah penting apa saja yang perlu dilakukan dalam mengamati/menganalisis

musik, lamgkah-langkah tersebut yakni:

1. Langkah awal: mendeskripsikan sifat seni pertunjukan.

2. Langkah kedua: menganilisis waktu, hal-hal yang diamati adalah meter,

pulsa dasar, unit-unit birama.

3. Langkah terakhir: menganalisis melodi, meliputi wilayah nada, tangga

nada, nada dasar, jumlah nada, jumlah interval, pola kadensa, formula

melodi.

5Maitreya adalah Bodhisattva, yang dalam tradisi Buddhis memiliki misi untuk muncul di bumi, mencapai pencerahan lengkap, dan mengajarkan dharma murni. Menurut tulisan suci, Maitreya akan menjadi penerus dari sejarah Buddha Sakyamuni. Nubuat kedatangan Maitreya digambarkan pada saat Dharma akan telah dilupakan di Jambudvipa. Hal ini ditemukan dalam literatur kanonik dari seluruh sekte Buddha (Theravada, Mahayana, Vajrayana), dan diterima oleh sebagian besar umat Buddha sebagai pernyataan tentang suatu peristiwa yang akan terjadi ketika Dharma akan dilupakan di Bumi. Maitreya mengacu pada bentuk kasih sayang dan kebahagiaan (Wawancara dengan Yulisa, 23 Januari 2012).

10

Page 17: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Namun demikian, penulis tidak mengadopsi keseluruhan bagian teori

yang dicetuskan oleh Malm ini, dikarenakan alat musik yang dipakai saat

pertunjukan barongsai adalah alat musik yang didominasi oleh pembawa ritme

dan tidak ada melodi sedikitpun, maka penulis menggunakan langkah

menganalisis waktu (Malm dalam terjemahan Takari 1993: 12), yang di

dalamnya termasuk meter, pulsa dasar, serta unit-unit birama.

Slobin dan Titon (1984) menjelaskan aspek-aspek yang menjadi perhatian

dalam mentranskripsikan dan mengkaji permainan musik, yaitu: (a) elemen nada

(tangga nada, modus, melodi, harmoni, sistem tuning), (b) elemen waktu (pola

ritme, birama), (c) elemen warna suara (kualitas suara, warna bunyi

instrumental), dan (d) elemen intensitas suara (keras lembutnya suara). Aspek-

aspek ini akan penulis jadikan sebagai pedoman dalam mengkaji musik dalam

pertunjukan barongsai, dengan pengecualian elemen yang tidak perlu dianalisis,

yakni elemen nada.

Berkaitan dengan fungsi, penulis mengacu pada teori use and function

(penggunaan dan fungsi) yang dikemukakan oleh Alan P. Merriam (1964).

Menurut penulis fungsi music yang berkaitan dengan pertunjukan barongsai

adalah sebagai berikut: (i) fungsi pengungkapan emosional, (ii) fungsi

penikmatan estetika, (iii) fungsi hiburan, (iv) fungsi komunikasi, (v) fungsi

representasi simbolis, (vi) fungsi respons fisikal, (vii) fungsi validasi lembaga-

lembaga sosial dan ritual keagamaan, (viii) fungsi kontribusi demi kelangsungan

dan stabilitas budaya, dan (ix) fungsi pengintegrasian masyarakat.

11

Page 18: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Spiro dalam Koentjaraningrat (2002) mengutarakan pemakain kata fungsi

dalam konteks budaya, yaitu: (1) pemakaian yang menerangkan fungsi itu

sebagai hubungan guna antara sesuatu hal dengan sesuatu tujuan yang tertentu.

(2) Pemakaian yang menerangkan kaitan kolerasi antara satu hal dengan hal yang

lain. (3) Pemakaian yang menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal

dengan hal-hal lain dalam suatu sistem yang terintegrasi.

1.7 Metode Penelitian

Dalam penelitian yang dilakukan, penulis menggunakan metode

penelitian kualitatif, yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan

berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang

ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas

itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran

tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian eksplorasi dan memainkan

peranan yang amat penting dalam menciptakan hipotesis atau pemahaman orang

tentang berbagai variabel sosial, jadi tidak bertujuan menguji hipotesis atau

membuat suatu generalisasi, tetapi membangun teori (Bungin, 2008: 68-69).

Sejalan dengan itu Miles dan Huberman (2007: 15) mengungkapkan

bahwa kejernihan sangat dituntut dalam prosedur analisis kualitatif, suatu

tanggung jawab yang mensyarakatkan banyak struktur. Data yang muncul

12

Page 19: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka, yang dapat dikumpulkan dalam

aneka cara (observasi, wawancara, intisari dokumen, dan rekaman).

Skripsi ini nantinya akan menyertakan transkripsi musik yang dimainkan

oleh pemain musik Barongsai, maka dalam pentranskripsian, penulis mengacu

pada yang diungkapkan oleh Nettl (1964:99-103) yang menganggap transkripsi

merupakan cara yang baik untuk dapat mempelajari aspek-aspek detail pada

suatu musik dengan dua pendekatan, pertama menganalisa dan mendeskripsikan

apa yang didengar, dan kedua mendeskripsikan apa yang dilihat dan

menuliskannya di atas kertas dengan suatu cara penulisan tertentu. Apa yang

dikemukakan oleh Nettl ini akan dijadikan pedoman bagi penulis untuk mengkaji

struktur musikal permainan musik dalam pertunjukan barongsai.

Metode-metode yang dilakukan oleh penulis dalam pengerjaan skripsi ini

adalah: studi kepustakaan, penelitian lapangan, metode transkripsi, metode

penelusuran data online, dan kerja laboratorium. Untuk lebih jelas lagi, kelima

metode ini akan dijelaskan selanjutnya.

1.7.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni

dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan

pengetahuan dasar tentang objek yang diteliti. Sumber-sumber bacaan ini dapat

berupa buku, ensiklopedia, jurnal, buletin, artikel, maupun laporan penelitian

sebelumnya. Dengan melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat

13

Page 20: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan

penyusunan skripsi ini. Dan juga, melalui studi kepustakaan ini, penulis juga

akan mendapat masukan tentang apa yang sudah dan belum diteliti.

Penulis kemudian mengadakan penelusuran kepustakaan untuk

memperoleh pengetahuan awal mengenai apa yang akan diteliti. Dalam hal ini,

penulis mempelajari skripsi yang sudah pernah ditulis oleh sarjana

Etnomusikologi, yaitu Gita Viswana Berutu dengan judul Dari Ketertindasan

Menuju Kemerdekaan: Studi Kasus Kesenian Barongsai di Kota Medan (2004).

Dengan mempelajari skripsi ini, penulis merasa terbantu untuk mendapatkan

gambaran umum tentang Barongsai. Namun demikian, skripsi tersebut lebih

berfokus pada kritik pada pemerintahan Soeharto tentang keberadaan kesenian

Tionghoa, khususnya barongsai.

Masih dengan karya para sarjana Etnomuswikologi, penulis dalam rangka

penelitian ini juga membaca skripsi yang ditulis oleh Eben Ezer yang berjudul

Studi Deskriptif Upacara Sacapme dan Pengguaan Musik Pada Sembahyang

Malam Tahun Baru Gong Xi Fat Cai di Vihara Pekong Kelurahan Polonia

dalam Budaya Masyarakat Tionghoa Kota Medan. Skripsi ini membahasa secara

detil tentang upacara pada tahun baru di Vihara Pekong Polonia. Skripsi ini

menjadi bahan acuan penulis untuk memahami bagaimana keberadaan upacara

tahun baru dan nilai-nilai filsafat yang terkandung di dalamnya.

Di samping mempelajari skripsi Gita Viswana Berutu dan Eben Ezer,

penulis juga mendapatkan informasi dari dari beberapa buku seperti William

14

Page 21: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Y.K. Lee (2004) dan Sylvia Lim, Ellen Conny (2010). Informasi yang diperoleh

dari buku-buku tersebut adalah berupa pengetahuan tentang pertunjukan

barongsai, asal-usulnya, makna pertunjukan, serta instrumen musik

pendukungnya.

Untuk melengkapi wawasan pengetahuan penulis dalam menulis skripsi

ini, penulis juga melakukan studi kepustakaan terhadap topik-topik lain yang

berhubungan dengan penelitian ini, seperti pengetahuan tentang sejarah,

antropologi, sosiologi, etnografi, dan musikologi. Selanjutnya hasil yang didapat

dari penelusuran kepustakaan tersebut akan digunakan sebagai pembahasan

informasi dalam penulisan skripsi ini.

1.7.2 Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dilakukan agar penulis dapat mengetahui secara

keseluruhan mengenai objek yang diteliti. Dengan melakukan penelitian

lapangan, penulis dapat terlibat langsung dengan objek yang sedang diteliti dan

mendapat lebih banyak informasi melalui interaksi tersebut. Dalam kerja

lapangan penulis melakukan pengamatan dan mendapatkan data melalui

perekaman terhadap jalannya pertunjukan Barongsai secara keseluruhan.

Selain melakukan perekaman, peneliti juga melaksanakan wawancara

dengan informan kunci, yakni ketua tim Barongsai Maha Vihara Maitreya

Medan. Metode wawancara yang dilakukan penulis adalah wawancara mendalam

(in-depth), yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan

15

Page 22: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan

atau orang yang diwawancarai. Bentuk wawancara bersifat individu dengan

individu, yaitu wawancara yang dilakukan antara seorang dengan lainnya

(Bungin, 2008: 108, 111), dalam kasus ini antara penulis dengan informan kunci.

Perekaman audio-visual juga dilakukan saat pertunjukan berlangsung.

Perekaman menggunakan handycam SONY DCR-SR65. Selain menggunakan

handycam, penulis juga menggunakan kamera ponsel BlackBerry 9700 untuk

mendokumentasikan detail-detal kecil yang dianggap penting. Saat wawancara

berlangsung, penulis merekam jalannya wawancara dengan menggunakan

perangkat tablet Samsung P6200 Galaxy Tab 7.0 Plus.

1.7.3 Metode Transkripsi

Nettl (1964:98) menyatakan bahwa transkripsi adalah proses penotasian

bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual. Pentranskripsian bunyi adalah

suatu usaha untuk mendeskripsikan musik, hal ini merupakan bagian penting

dalam disiplin Etnomusikologi.

Dalam perekaman musik yang dimainkan ketika pertunjukan Barongsai

berlangsung, penulis merekam setiap bagian, dari awal hingga akhir. Alasan

penulis merekam semua bagian permainan musik adalah karena penulis ingin

mengetahui perbedaan apa-apa saja yang terdengar dalam setiap bagian-bagian.

Ketika mentranskripsikan ritme yang telah direkam, penulis tidak

mentranskripsikan semua bagian permainan musik, melainkan hanya membatasi

16

Page 23: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

pada beberapa bagian saja. Penulis juga mendapatkan bantuan dari sang informan

kunci, Chandra Tio, ketika menanyakan bagaimana permainan musik yang

dimainkan saat pertunjukan berlangsung, dan beliau menjabarkan contohnya, dan

juga memberitahu penulis bahwa penulisan notasi Tionghoa tidaklah sama

dengan penulisan notasi Barat.

Namun demikian dalam memindahkan hasil transkripsi, penulis tetap

memakai sistem notasi Barat, karena penulis ingin tahu pasti berapa meter yang

digunakan dan ingin mengetahui aspek musikal seperti tanda jeda, bagian mana

yang mendapatkan penekanan, serta keras-lembutnya suara.

Pendekatan transkripsi yang penulis gunakan dalam skripsi ini

berpedoman pada metode transkripsi yang diutarakan oleh Charles Seeger, yakni

pendekatan transkripsi preskriptif dan deskriptif. Transkripsi preskriptif adalah

kegiatan penulisan yang bertujuan sebagai petunjuk atau suatu alat untuk

membantu mengingat bagi seorang penyaji bagaimana ia harus menyajikan

sebuah komposisi musik, bisa dikatakan transkripsi preskriptif adalah blue print

dari sebuah musik. Sedangkan tranksripsi deskriptif adalah kegiatan mencatat

semua detail-detail fenomena bunyi musikal yang dapat didengar, dengan kata

lain, transkripsi deskriptif adalah sebuah laporan tentang bagaimana sebuah

pertunjukan musik “bersuara.” Untuk mentranskripsi aspek musikal pertunjukan

Barongsai, penulis menggunakan metode transkripsi preskriptif.

1.7.4 Metode Penelusuran Data Online

17

Page 24: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Perkembangan internet yang sudah semakin maju pesat serta telah

menjawab berbagai kebutuhan masyarakat saat ini memungkinkan para

akademisi, mau ataupun tidak, menjadikan media online seperti internet sebagai

salah satu medium atau ranah yang sangat bermanfaat bagi penelusuran berbagai

informasi, mulai dari informasi teoritis maupun data-data primer ataupun

sekunder yang diinginkan oleh peneliti untuk kebutuhan penelitian. Sehubungan

dengan itu, mau ataupun tidak, kita harus menciptakan metode untuk

memanfaatkan data online yang begitu banyak tersebar di internet dan begitu

banyak yang dapat dimanfaatkan (Bungin, 2008:124).

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat banyak tambahan

pengetahuan dan informasi seputar barongsai. Penulis merasa sangat terbantu

karena bahan referensi secara tekstual tentang pertunjukan barongsai sendiri

sangatlah terbatas, melalui penelusuran online, penulis mendapatkan banyak

sekali bahan acuan dan gambaran umum seputar pertunjukan barongsai.

1.7.5 Kerja Laboratorium

Dalam kerja laboratorium, dimulailah proses pengkajian terhadap semua

data-data yang telah didapat. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan

dan bahan dari studi kepustakaan terkumpul, langkah selanjutnya dilakukan

pengolahan data dan penyusunan tulisan. Pada hasil rekaman, dilakukan

pentranskripsian dan selanjutnya dikaji. Pada akhirnya, dara-data hasil olahan

dan kajian disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.

18

Page 25: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

1.8 Lokasi Penelitian

Tempat yang dipilih penulis sebaggai lokasi penelitian adalah Maha

Vihara Maitreya, Kompleks Perumahan Cemara Asri, Medan. Alasan penulis

memilih Vihara ini sebagai lokasi penelitian adalah karena Vihara Maitreya

sendiri sudah sangat terkenal di Sumatera Utara, bukan hanya sebagai tempat

peribadahan umat Buddha, tapi juga sudah menjadi situs wisata di Medan. Jadi

ketika pertama kali tercetus untuk meneiliti Barongsai, maka Vihara inilah yang

langsung tercetus dalam pikiran penulis, dan memang Maha Vihara Maitreya

selalu menampilkan pertunjukan barongsai di saat perayaan hari besar, seperti

perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Lokasinya yang masih dalam lingkup kota

Medan juga sangat memudahkan penulis dalam hal menghemat biaya untuk

transportasi dan konsumsi penulis. Akses ke Vihara ini juga tidaklah sulit dijalani

karena tempatnya yang terjangkau dan mudah dicapai.

19

Page 26: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

BAB II

LATAR BELAKANG SEJARAH DAN KEBUDAYAAN

MASYARAKAT TIONGHOA DI MEDAN

Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya

etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang

gambaran sosial budaya masyarakat Tionghoa di kota Medan, seperti Bahasa,

Karya Sastra, Sistem Kepercayaan, dan Hari-Hari Besar. Akan dibahas juga

mengenai polemik penggunaan istilah Tionghoa dan Cina di Indonesia.

2.1 Etnik Tionghoa di Kota Medan dalam Konteks Indonesia

2.1.1 Asal-Usul Etnik Tionghoa di Indonesia

Para imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia hampir seluruhnya

berasal dari kelompok etnik Han dari daerah yang sekarang merupakan Provinsi

Fujian dan Guangdong di Cina Selatan, daerah ini dikenal dengan keragaman

wilayahnya (Suryadinata, 2008:12). Sejumlah besar etnik Cina-Han, yakni

kelompok etnik terbesar di dunia, tinggal di Asia Tenggara (Skinner, 1963:101).

Hampir semua orang Tionghoa-Indonesia, baik yang merupakan keturunan

patrilineal dari para imigran awal maupun para imigran baru, lahir di Cina

daratan (Gernet, 1996:6).

20

Page 27: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Sebagai kelompok pertama orang Tionghoa yang menetap dalam jumlah

yang besar, bangsa Hokkien dari Fujian Selatan merupakan kelompok imigran

yang mendominasi hingga pertengahan abad ke-19. Kebudayaan maritim sambil

berdagang mereka dipercaya muncul dari kegiatan berdagang mereka sewaktu di

Indonesia. Keturunan Hokkien adalah kelompok etnik yang dominan di Indonesia

Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan pantai barat Sumatera.

Kemudian bangsa Tiochiu, bangsa yang menetap di sebelah selatan

daerah Hokkien, dapat dijumpai di seluruh pantai timur Sumatera, Kepulauan

Riau, dan Kalimantan Barat. Mereka memilih bekerja sebagai buruh perkebunan

di Sumatera, tetapi kemudian menjadi pedagang di daerah dimana tidak

derdapatnya bangsa Hokkien (Skinner, 1963:97).

Selanjutnya Bangsa Hakka. Tidak seperti bangsa Hokkien dan Tiochiu,

bangsa Hakka berasal dari daerah pedalaman Pegunungan Guangdong dan tidak

mengenal budaya maritim (Skinner, 1963:97). Dikarenakan daerahnya yang

sangat tidak produktif dalam menghasilkan sumber daya alam di daerah asal

mereka, bangsa Hakka memutuskan untuk hijrah keluar dari daerah mereka

akibat desakan ekonomi. Gelombang migrasi mereka terjadi di sekitar tahun 1850

hingga 1930 dan merupakan yang paling miskin di antara kelompok imigran

Tionghoa. Meskipun pada awalnya mereka menetap di pusat pertambangan di

Kalimantan Barat dan Pulau Bangka, bangsa Hakka kemudian didapati

bertumbuh dengan pesat di daerah Batavia dan Jawa Barat pada akhir abad ke-19

(Skinner, 1963:102).

21

Page 28: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Terakhir adalah bangsa Kanton. Seperti halnya bangsa Hakka, orang-

orang Kanton terkenal sebagai pekerja tambang di seluruh Asia Tenggara.

Migrasi mereka di abad ke-19 sebagian besar langsung diarahkan menuju daerah

tambang timah di Bangka, lepas pantai timur Sumatera. Mereka juga terkenal

sebagai pengrajin tradisional yang sangat terampil. Bangsa Kanton mendapatkan

keuntunguan yakni pengetahuan tentang kesuksesan mesin dan industri dari

bangsa Eropa ketika mereka di Guangdong dan Hongkong. Mereka bermigrasi ke

Jawa di waktu yang sama dengan bangsa Hakka, namun untuk tujuan yang

berbeda. Di kota-kota di Indonesia mereka berprofesi sebagai pengrajin, pekerja

mesin, dan memiliki usaha kecil seperti restoran dan hotel. Orang-orang Kanton

tersebar merata di seluruh Nusantara namun jumlahnya jauh lebih sedikit

ketimbang jumlah orang-orang Hokkien atau Hakka. Kepentingan peran mereka

kemudian dinilai sebagai kepentingan sekunder di dalam komunitas Tionghoa

(Skinner, 1963:102).

2.1.2 Awal Kedatangan Bangsa Tionghoa ke Indonesia

Kedatangan awal suku bangsa Tionghoa ke Indonesia diperkirakan ketika

kedatangan bangsa Mongolia dibawah arahan Kubilai Khan masuk melalui

daerah maritim Asia Tenggara di tahun 1293. Bangsa Mongol kemudian

memperkenalkan kemajuan teknologi Tionghoa, yang pada saat itu mencakup

teknologi pembuatan kapal dan dalam hal alat tukar, yakni uang berbentuk koin.

Kedatangan mereka diyakini memicu timbulnya kerajaan baru, yakni Majapahit

22

Page 29: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

(Reid, 2001:17). Beberapa sumber mengindikasikan bahwa para pedagang

Tionghoa pertama kali tiba di daerah Ternate dan Tidore, di Kepulauan Maluku

untuk membeli cengkeh, namun kemudian mereka diusir keluar oleh para

pedagang Jawa seiring berkembangnya ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan

Majapahit (Reid, 2001: 20-21).

Kemudian di abad ke-15, para pedagang Muslim Tionghoa dari pantai

timur Cina tiba di daerah-daerah pesisir Indonesia dan Malaysia. Para pedagang-

pedagang ini dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho, yang mengepalai berbagai

ekspedisi di Asia Tenggara sekitar tahun 1405-1430. Dalam buku The Overall

Survey of the Ocean's Shores (瀛涯勝覽), Ma Huan mendokumentasikan kegiatan-

kegiatan yang dilakukan oleh pedagang Muslim Tionghoa di Nusantara dan

peninggalan yang diwarisi oleh Cheng Ho dan anak buahnya (Ma, 2005: 113-

124). Para pedagang ini bermukim di sepanjang pesisir pantai Jawa, namun

kemudian tidak ada data yang mendokumentasikan keberadaan para pedagang ini

setelah abad ke-16. Para Muslim Tionghoa ini diperkirakan telah melebur ke

dalam polulasi Muslim di Asia Tenggara (Tan, 2005: 796).

Di antara tahun 1450 hingga 1520, ketertarikan Kerajaan Ming terhadap

Asia Tenggara mencapai titik yang rendah. Perdagangan, baik secara legal

maupun ilegal, jarang yang mencapai kepulauan ini (Reid, 1999: 52). Bangsa

Portugis juga tidak menyebutkan adanya kependudukan orang Tionghoa ketika

mereka tiba di Indonesia pada awal abad ke-16 (Reid, 2001:33). Kegiatan

perdagangan dari utara mulai kembali terjadi ketika pemerintah Cina melegalkan

23

Page 30: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

perdagangan swasta di tahun 1567 dan mulai mengizinkan lima puluh kapal yang

berlayar per tahun. Beberapa tahun kemudian uang mulai mengalir ke kawasan

itu, dimulai dari Jepang, Meksiko, dan Eropa, dan kegiatan perdagangan mulai

berkembang lagi. Koloni Cina yang berbeda-beda berdatangan ke ratusan

pelabuhan di Asia Tenggara, termasuk juga ke pelabuhan lada di Banten (Reid,

1999: 52).

Para pedagang Tionghoa kemudian memboikot para pedagang Portugis

ketika Malaka jatuh ke tangan bangsa Portugis. Di tahun 1511, para pedagang

Muslim membantu etnik Tionghoa di Jawa dalam rangka menduduki kembali

daerah kota dengan menggunakan kapal. Partisipasi orang Tionghoa-Jawa dalam

mengambil alih Malaka dicatat dalam buku “The Malay Annals of Semarang and

Cirebon” (Guillot, Lombard & Ptak, 1998: 179). Pedagang Tionghoa memilih

untuk terlibat kerja sama dalam bisnis dengan orang Melayu dan Jawa ketimbang

dengan orang Portugis (Borschberg, 2004:12).

2.1.3. Status Etnik Tionghoa di Masa Kolonial Belanda

Seiring dengan kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia di awal abad ke-

17, mayoritas etnik Tionghoa bermukim di sepanjang pantai timur Jawa.

Kebanyakan dari mereka adalah para pedagang, namun mereka juga melakukan

kegiatan bercocok tanam. Pemerintah kolonial mengontrak banyak dari mereka

sebagai pengrajin yang terampil dalam pembangunan Batavia (sekarang Jakarta)

di pantai barat laut Jawa (Tan, 2005: 796). Sebuah pelabuhan buatan dipilih oleh

24

Page 31: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

pemerintah kolonial sebagai markas baru bagi Pemerintah Hindia Belanda

(Vereenigde Oost-Indische Compagnie, VOC) di tahun 1609 oleh Jan

Pieterszoon Coen. Daerah ini menjadi pusat utama untuk perdagangan dengan

etnik Tionghoa dan India. Daerah Batavia menjadi rumah terbesar bagi

komunitas Tionghoa di Nusantara hingga saat ini (Heidhues, 1999:152). Coen

dan para gubernur jenderal lainnya mempromosikan masuknya para imigran

Tionghoa ke pemukiman yang baru “untuk kepentingan kedua negara tersebut

dan untuk tujuan mengumpulkan rempah-rempah seperti cengkeh dan pala”

(Phoa, 1992:9). Jumlah penduduk di pelabuhan tempat etnik Tionghoa bermukim

berkembang pesat dari 300-400 jiwa di tahun 1619 menjadi setidaknya 10.000

jiwa di tahun 1740 (Phoa, 1992:7). Namun demikian, pemerintah Belanda juga

menerapkan sistem klasifikasi rasial yang memisahkan penduduk keturunan

Tionghoa dari mereka yang merupakan pribumi (Chang, 2010:2).

Kebanyakan dari etnik Tionghoa yang menetap di Nusantara telah

memutuskan hubungan dengan daerah asal mereka, yakni Cina, dan menyambut

dengan baik perlakuan yang menyenangkan serta perlindungan yang ditawarkan

oleh pihak Belanda (Phoa, 1992:8). Beberapa dari mereka menjadi “petani

pajak,” pedagang perantara di dalam struktur pemerintahan VOC, ditugaskan

untuk mengutip pajak ekspor-impor, mengatur penjualan tanah, dan mengatur

kegiatan panen sumber daya alam (Phoa, 1992:10).

Setelah meletusnya peristiwa pembantaian besar-besaran di Batavia pada

tahun 1740 dan kemudian diikuti dengan meletusnya perang, pemerintah Belanda

25

Page 32: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

terpaksa membatasi kuota jumlah populasi etnik Tionghoa yang ingin masuk ke

Indonesia. Amoy (pelabuhan di Provinsi Fujian, Cina Selatan) dijadikan satu-

satunya pelabuhan untuk bermigrasi ke Nusantara, dan jumlah kru serta

penumpang dari kapal-kapal yang hendak berlayara dibatasi sesuai dengan

ukuran kapal. Penetapan kuota ini ditetapkan pada waktu itu untuk pemenuhan

keperluan akan pekerja, seperti pada saat di bulan Juli 1802, ketika pabrik gula

dekat Batavia sangat membutuhkan kehadiran tenaga kerja (Hellwig dan

Tagliacozzo, 2009: 168).

Ketika VOC dinasionalisasikan pada 31 Desember 1799, kebebasan yang

sebelumnya dirasakan etnik Tionghoa dibawah kerjasama dengan pihak koloni

dihapuskan oleh pemerintah Belanda. Salah satu bentuk penghapusan yang

didapatkan adalah pemerintah VOC mengubah monopoli yang selama ini

diterapkan oleh etnik Tionghoa terhadap perdaganan garam (Phoa, 1992:11).

Sebuah regulasi di tahun 1816 memperkenalkan sebuah syarat bagi penduduk

pribumi dan etnik Tionghoa yang hendak melakukan perjalanan di dalam wilayah

pemerintahan Belanda harus mengurus izin perjalanan terlebih dahulu. Bagi

mereka yang kedapatan tidak membawa surat izin beresiko besar untuk ditangkap

dan ditahan oleh petugas. Gubernur jenderal juga memperkenalkan sebuah

resolusi di tahun 1852 yang berisikan larangan bagi “orang Asia dari daerah yang

tidak sama, seperti Melayu, Bugis, dan Tionghoa” untuk hidup dalam lingkungan

yang sama sebagai penduduk asli (Phoa, 1992:12) Setelah berakhirnya Perang

Jawa (1825-1830) yang menghabiskan dana sangat banyak, pemerintah Belanda

26

Page 33: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

memperkenalkan sistem agraria dan budidaya baru yang memaksa para petani

untuk “menghasilkan produksi sebagian dari lahan mereka dan mengembangkan

tanaman yang cocok untuk pasar Eropa.” Sistem tanam paksa memulihkan

perekonomian Belanda, tetapi di lain sisi mengakhiri sistem pajak tanah yang

telah dilakukan dibawah pemerintahan VOC.

Etnik Tionghoa dianggap sebagai penduduk sementara dan menghadapi

kesulitan dalam memperoleh hak atas tanah. Bangsa Eropa yang ada disitu

diprioritaskan dalam memilih areal perkebunan, sementara para pejabat kolonial

percaya bahwa daerah-daerah yang tersisa harus dilindungi dan dilestarikan bagi

penduduk pribumi. Sistem sewa jangka pendek dan yang dapat diperpanjang

kemudian diperkenalkan sebagai tindakan sementara, namun sebagian besar etnik

Tionghoa memilih untuk menetap di lahan-lahan tersebut ketika berakhirnya

kontrak dan akhirnya menjadi penghuni liar (Phoa, 1992:13) Pada paruh kedua

abad ke-19, pemerintah kolonial kemudian bereksperimen dengan sebuah ide,

yakni “Politik Etis” untuk melindungi para penduduk pribumi dan kemudian

menjadikan etnik Tionghoa sebagai “musuh utama negara”. Dibawah kebijakan

baru ini pemerintah kolonial meningkatkan pembatasan pada kegiatan

perekonomian etnik Tionghoa (Heidhues, 2001:179).

Di Kalimantan bagian barat, etnik Tionghoa mendirikan pemukiman

pertambangan besar pertama mereka pada tahun 1760 dan menggulingkan

kependudukan Belanda dan para pangeran Melayu lokal, termasuk membentuk

republik mereka sendiri di Republik Lanfang. Pada tahun 1819 mereka terlibat

27

Page 34: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

konflik dengan pemerintah Belanda yang baru dan dipandang sebagai sesuatu

yang “tidak sesuai” dengan tujuan mereka, namun di lain sisi sangat diperlukan

untuk kepentingan pengembangan kawasan ini (Phoa, 1992:14). Kepulauan

Bangka Belitung juga menjadi contoh dari pemukiman utama etnik Tionghoa di

daerah pinggiran. Tercatat hanya 28 orang etnik Tionghoa yang tinggal di pulau

itu di tahun 1851, namun di tahun 1915 jumlah populasinya meningkat pesat

menjadi hampir 400.000 jiwa. Industri perikanan dan tembakau menjadi mata

pencaharian utama dan berkembang pada masa itu. Para kuli didatangkan ke

wilayah ini sesudah akhir abad ke 19. Sebagian besar kuli disewa dari daerah

Negeri-Negeri Selat6 karena kendala perekrutan yang terjadi di Cina pada saat itu

(Phoa, 1992:16).

2.1.4 Tinjauan Historis Masyarakat Tionghoa di Medan

Dalam bukunya The Overall Survey of the Ocean's Shores (瀛涯勝覽), Ma

Huan mengungkapkan bahwa daerah Haru (Sumatera Timur) dapat dicapai dari

Malaka dalam waktu pelayaran empat hari empat malam. Ma Huan

menggambarkan keadaan demografi pada saat memasuki negeri itu yakni

terdapat teluk air tawar, di sebelah barat ada pegunungan besar, di sebelah timur

laut ada laut, sebelah utara berbatasan dengan Samudera Pasai, dan di sebelah

6Negeri-negeri Selat (Straits Settlements) adalah sekelompok wilayah kekuasaan Perusahaan Hindia Timur Britania yang diberikan pemerintahan terkelompok sejak tahun 1926. Negeri-Negeri Selat ini terdiri dari negeri Penang, Melaka, dan Singapura. Ketiga negeri ini dahulu di bawah jajahan Britania (Inggris). Kini semua negara-negera merdeka bekas jajahan Inggris membentuk sebuah persekutuan yang disebut dengan Commonwealth Countries atau Negara-Negara Persemakmuran Inggris. Di dalamnya termasuklah Malaysia, Singapura, Australia, Bangladesh, India, Pakistan, Selandia Baru, Kanada, dan lain-lainnya.

28

Page 35: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

selatan negerinya merupakan daratan. Di dalam peta yang digambar oleh Mao

K’un, Ma Huan menceritakan bahwa kota Haru terletak di Deli (Fatima, 1991).

Sejalan dengan Ma Huan, Anderson pada tahun 1823 pernah memasuki

daerah Deli melalui Fresh Water Channel (Terusan Air Tawar), kota Cina―saat

itu labuhan Deli―merupakan pelabuhan bagi Haru hingga abad ke ke-13 dimana

pada akhirnya pelabuhan itu hancur. Banyak dugaan yang menjelaskan

kehancuran pelabuhan itu, yakni akibat penyerangan Kerajaan Majapahit pada

tahun 1350 M, atau diakibatkan oleh meletusnya Gunung Sibayak yang

menyebabkan gempa dahsyat dan menimbun semua ritus-ritus Tionghoa tersebut

(Fatima, 1991).

Hingga kemudian ketika memasuki masa kolonial Belanda, daerah Deli

didatangi oleh orang-orang Tionghoa dikarenakan terdapatnya banyak

perkebunan di sana. Meskipun pada saat itu bangsa Tionghoa sebagian besar

berprofesi sebagai buruh perkebunan, namun menurut catatan sejarah terdapat

orang Tionghoa yang pertama kali diangkat menjadi Mayor oleh pemerintah

Belanda, dia adalah Tjong Yong Hian, dan berselang beberapa lama kemudian,

Tjong A Fie diangkat sebagai Mayor menggantikan posisi Tjong Yong Hian

(Fatima, 1991:67).

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, setiap keturunan Tionghoa

kemudian diintegrasikan serta dibaurkan ke dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara Indonesia berdasarkan asas-asas Pancasila. Sejak saat itu juga, bangsa

Tionghoa menyebar ke seluruh daerah di Indonesia, termasuk ke daerah

29

Page 36: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Sumatera. Pemerintahan Pantai Timur Sumatera dibagi ke dalam lima wilayah,

yaitu Deli dan Serdang, Langkat, Asahan, Bengkalis, Simalungun dan Karo. Pada

tahun 1980-an daerah ini dikenal sebagai daerah yang miskin dengan jumlah

penduduk yang sangat sedikit. Hingga akhirnya pengusaha Belanda, J. Nienhuis

menemukan wilayah Deli dan merintis usaha perkebunan tembakau, sejak saat

itulah wilayah Deli semakin dikenal. Akibatnya, banyak pendatang-pendatang

Tionghoa yang tertarik untuk bekerja di perkebunan yang ada di Sumatera,

khususnya Deli.

Adanya perluasan dalam bidang perkebunan tembakau, karet, dan teh,

serta dimulainya kegiatan pengeboran minyak di Langkat pada tahun 1920-an

menyebabkan ribuan etnik Tionghoa berbondong-bondong dan kemudian

bermukim di Pantai Timur Sumatera untuk memulai usaha seperti berdagang dan

bertukang. Kebanyakan dari mereka datang dengan kondisi yang melarat, namun

sesuai dengan etos kerja mereka yang sangat giat dan gigih, perlahan tapi pasti

berubah menjadi pedagang yang sangat makmur. Bahkan sampai saat ini mereka

mengukuhkan diri sebagai pedagang yang sukses. Mereka memperluas jenis

usaha mereka demi meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga dapat terus

bertahan hingga kini.

Hingga saat ini jumlah etnik Tionghoa di kota Medan kian bertambah,

bahkan di kota Medan sendiri terdapat daerah-daerah tertentu yang jumlah

masyarakat Tionghoa-nya banyak dijumpai. Berikut ini gambaran penduduk

30

Page 37: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Tionghoa menurut wilayah administrasi di kota Medan dilihat secara per kepala7

adalah sebagai berikut.

Tabel 2.1:

Statistik Penduduk Masyarakat Tionghoa di Medan Tahun 2000

Kecamatan Pria WanitaMedan Tuntungan 77 58Medan Johor 4.958 4.757Medan Amplas 368 355Medan Denai 3.011 2.957Medan Area 14.877 15.369Medan Kota 12.245 12.988Medan Maimun 4.402 4.484Medan Polonia 3.269 3.343Medan Baru 572 588Medan Selayang 519 465Medan Sunggal 6.110 5.920Medan Helvetia 1.388 1.286Medan Petisah 8.502 8.814Medan Barat 9.198 9.717Medan Timur 9.885 10.309Medan Perjuangan 6.146 6.379Medan Tembung 5.600 5.386Medan Deli 3.470 3.193Medan Labuhan 2.603 2.520Medan Marelan 1.713 1.545Medan Kota Belawan 1.792 1.701

Jumlah 100.705 102.134

7Hasil pengolahan data SP 2000 BPS Kota Medan

31

Page 38: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

2.2 Bahasa

Empat kelompok bahasa utama yang ada di Indonesia adalaha Hokkien,

Mandarin, Hakka, dan Kanton, sedangkan orang Tiochiu berbicara dengan dialek

yang hampir sama dengan bahasa Hokkien. Tercatat sekitar 2 juta penutur asli

bahasa dari ragam dialek Tionghoa yang berbeda terdapat di Indonesia pada

tahun 1982, yakni 700.000 penutur rumpun bahasa Min Nan (termasuk

didalamnya bahasa Hokkien dan Tiochiu); 640.000 penutur bahasa Hakka;

460.000 penutur bahasa Mandarin; 180.000 penutur bahasa Kanton, dan 20.000

penutur rumpun bahasa Dong Min (termasuk Xinghua). Sisanya, diperkirakan

20.000 berbicara dalam bahasa Indonesia (Lewis, 2005: 391).

Banyak orang Indonesia, termasuk orang Tionghoa percaya adanya

pengaruh dialek bahasa Melayu dalam bahasa Tionghoa di Indonesia, secara

lokal dikenal sebagai bahasa Melayu-Tionghoa atau Melayu-Cina. Pertumbuhan

karya sastra “peranakan” di paruh kedua abad ke-19 memunculkan semacam

varian dalam bahasa Tionghoa. Karya sastra ini dipopulerkan melalui kisah-kisah

silat (seni bela diri) yang diterjemahkan dari bahasa Tionghoa atau ditulis dalam

bahasa Melayu dan Indonesia.

Para ahli bahasa yang membahas tentang bahasa Melayu-Tionghoa

kemudian mencatat bahwa tidak semua etnik Tionghoa menggunakan dialek

Melayu yang sama di setiap daerah di Nusantara (Kahin, 1991:55). Lebih jauh

lagi dijelaskan bahwa meski pemerintah kolonial Belanda merupakan pihak yang

pertama kali memperkenalkan ortografi berbahasa Melayu di tahun 1901, namun

32

Page 39: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

surat-surat kabar Tionghoa tidak mengikuti standar ini hingga masa setelah

kemerdekaan (Kahin, 1991:61). Dilihat dari faktor-faktor ini, etnik Tionghoa

dianggap memainkan sebuah “peranan penting” dalam perkembangan bahasa

Indonesia modern (Kahin, 1991:65).

2.3 Karya Sastra

Pengaruh budaya Tionghoa dapat dilihat dalam karya sastra Melayu-

Tionghoa lokal, yang menggambarkan keadaan akhir abad ke-19. Salah satu

karya paling awal dan paling komprehensif dalam hal literatur Melayu-Tionghoa

adalah buku karangan Claudine Salmon yang diterbitkan di tahun 1981 yang

berjudul Literature in Malay by Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated

Bibliography (Karya Sastra di Melayu oleh Tiionghoa-Indonesia: Sebuah

Bibliografi Beranotasi Sementara) yang berisikan 3.000 karya sastra. Salah satu

karya dalam buku ini ada juga yang dipublikasikan ke dalam koleksi enam jilid,

berjudul “Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Tan,

2005:806).

2.4 Sistem Kepercayaan

Hanya sedikit saja ditemukan karya ilmiah yang membahas tentang

kehidupan beragama etnik Tionghoa-Indonesia. Buku keluaran Prancis di tahun

1977 berjudul Les Chinois de Jakarta: Temples et V́ie Collective (“The Chinese

of Jakarta: Temples and Collective Life”) adalah satu-satunya studi yang

33

Page 40: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

membahas kehidupan beragama orang Tionghoa di Indonesia (Coppel, 2002:

256). Kementerian Agama menetapkan agama yang resmi diakui di Indonesia,

yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Atas dasar

Undang-Undang Administrasi Kependudukan Tahun 2006 mengakibatkan tidak

mungkinnya masyarakat Indonesia memilih agama di luar dari enam kepercayaan

yang telah diresmikan negara untuk dicantumkan di kartu tanda pengenalnya.

Menurut data sensus tahun 2000, hampir 90 persen orang-orang Tionghoa

Indonesia memeluk agama Buddha dan Kristen Katolik dan Protestan (Ananta,

Arifin, dan Bakhtiar, 2008:30). Perpindahan agama dari “agama tradisional

Tionghoa” menjadi agama Kristen banyak terjadi pada generasi muda. Tidak

jarang didapati di dalam sebuah keluarga yang anak-anaknya sudah memeluk

Kristen, namun orangtua mereka masih memeluk agama tradisional (Kahin,

1991:122).

Gelombang pertama perpindahan dari agama tradisional menjadi agama

Kristen terjadi di rentang tahun 1950 hingga 1960an, sebagai respon adanya

intoleransi terhadap budaya Tionghoa, dan jumlah orang Tionghoa yang

memeluk agama Katolik selama periode ini meningkat hingga lebih dari 400

persen. Gelombang kedua terjadi setelah pemerintah mencabut status agama

Khonghucu sebagai agama yang diakui oleh negara di tahun 1970an.

Diperkirakan pada tahun 2006 bahwa 70 persen dari populasi Tionghoa memeluk

agama Kristen. Pengamat demografi Aris Ananta melaporkan pada tahun 2008

“bukti bersifat anekdot” menunjukkan bahwa sebagian besar etnik Tionghoa

34

Page 41: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

yang beragama Buddha menjadi agama Kristen sejalan dengan meningkatnya

taraf pendidikan mereka.

Indonesia, yang hampir 90 persen penduduknya adalah beragama Muslim,

etnik Tionghoa yang memeluk agama Islam sangatlah sedikit. Sensus di tahun

2003 menyebutkan bahwa hanya 5,41 persen etnik Tionghoa yang memeluk

agama Islam (Ananta, Arifin, dan Bakhtiar, 2008: 30). Asosiasi seperti Persatuan

Islam Tionghoa Indonesia (PITI) telah berdiri sejak akhir abad ke-19. PITI

kemudian dibentuk kembali di tahun 1963 sebagai organisasi modern, namun

acapkali mengalami periode tidak aktif (Ma, 2005: 120).

Khonghucu menduduki posisi terakhir dengan menyumbang 3,91 persen

dari total populasi Tionghoa Indonesia (Ananta, Arifin, dan Bakhtiar, 2008: 30).

Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) memperkirakan

bahwa 95 persen penganut Khonghucu di Indonesia adalah etnik Tionghoa.

Meskipun pada akhirnya pemerintah telah kembali menetapkan Khonghucu

sebagai agama yang diakui resmi di Indonesia, masih banyak pemerintah daerah

yang tidak mematuhi keputusan itu dan menolak masyarakat etnik Tionghoa

untuk menetapkan agama Khonghucu di kartu tanda pengenal mereka

(Suryadinata, 2008:10).

2.4.1 Buddha Maitreya

35

Page 42: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Dalam agama Buddha, Maitreya (bahasa Sanskerta), Matteyya (bahasa

Pali), Jampa (bahasa Tibet), 彌勒菩薩 – Mile Pusa (bahasa Mandarin) sebelumnya

sudah dinubuatkan sebagai Buddha masa depan dunia ini dalam eskatologi

Buddhis. Dalam beberapa literatur Buddhis, seperti Sutra Amitabha dan

Saddharma Pundarika Sutra, Ia disebut sebagai Ajita Bodhisattva (calon

Buddha).8

Dalam agama Buddha, Maitreya adalah Bhodisattva, yang dalam tradisi

agama Buddha adalah sosok yang akan muncul di bumi, mencapai pencerahan

lengkap, dan mengajarkan darma murni. Menurut tulisan di kitab suci, Maitreya

akan menjadi penerus ajaran Buddha Sakyamuni. Nubuat kedatangan Maitreya

diperkirakan terjadi saat Dharma akan atau telah dilupakan di Jambudvipa. Hal

ini dicatat dalam literatur kanonik dari sebuah sekte Buddha (Theravada,

Mahayana, dan Vajrayana), dan diterima oleh sebagian besar umat Buddha

sebagai pernyataan tentang suatu peristiwa yang akan terjadi ketika Dharma akan

dilupakan di bumi.

Maitreya bertempat tinggal di Surga Tusita, yang merupakan tempat

tinggal bagi para Bhodisattva sebelum mencapai tingkat ke-Buddha-an. Buddha

Sakyamuni juga bertempat tinggal disana sebelum terlahir sebagai Siddharta

Gautama di dunia.

8Dalam agama Buddha diajarkan bahwa Buddha merupakan sebuah gelar, sehingga Buddha bukanlah menunjuk kepada Buddha Sakyamuni (Buddha Gautama) saja. Buddha yang akan datang setelah Buddha Sakyamuni adalah Buddha Maitreya yang sekarang ini masih bergelar sebagai Bodhisattva (calon Buddha).

36

Page 43: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Buddha Maitreya biasanya digambarkan duduk di atas takhta, dengan

kedua kaki saling menyilang di mata kaki, menunggu waktunya tiba. Dia

digambarkan mengenakan pakaian seorang Biksu atau bangsawan India. Sebagai

Bhodisattva, dia juga digambarkan berdiri terbalut dalam perhiasan. Biasanya dia

menggunakan sebuah stupa kecil sebagai hiasan di kepalanya yang merupakan

relik stupa Buddha Sakyamuni untuk membantunya mengidentifikasi ketika

masanya tiba untuk mengklaim suksesi. Sakyamuni juga sering digambarkan

terlihat memegang Dharmacakra (Roda Dharma atau Roda Kehidupan). Sebuah

Khata (selendang upacara tradisional bangsa Tibet dan Mongolia yang

melambangkan kesucian dan kemurnian) dililitkan sebagai ikat pinggang.

2.5 Hari-Hari Besar Etnik Tionghoa

Berikut ini adalah hari-hari besar yang dirayakan oleh etnik Tionghoa

berdasarkan penanggalan kalender Tionghoa9:

9Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Imlek dan http://en.wikipedia.org/wiki/ Chinese_ calendar

37

Page 44: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Tabel 2.2:

Hari-hari Besar Etnik Tionghoa

Tanggal Nama Bahasa Indonesia Nama Mandarin KeteranganBulan 1, hari 1 Tahun Baru Imlek (Festival

Musim Semi)春節 (chūnjié) Pertemuan keluarga dan

perayaan besar selama tiga hari; secara tradisional selama 15 hari

Bulan 1, hari 15 Festival Lampion (Cap Go Meh)

元宵節 (yuánxiāojié) Pemasangan lampion dan memakan Yuanxiao

4 atau 5 April Festival Membersihkan Makam (Ching Min atau Cheng Beng)

清明節 (qīngmíngjié) Pertemuan keluarga dan ziarah ke makam keluarga/leluhur

Bulan 5, hari 5 Festival Perahu Naga (Peh Cun)

端午節 (duānwǔjié) Lomba perahu naga dan memakan zhongzi

Bulan 7, hari 7 Festival Meminta Keterampilan (Malam ketujuh)

七夕 (qīxī) Hari kasih sayang, para gadis mempelajari keterampilan rumah tangga dan ‘meminta’ perkawinan yang lebih baik

Bulan 7, hari 15 Festival Para Roh 中元節 (zhōngyuánjié) Memberikan penghormatan kepada leluhur

Bulan 8, hari 15 Festival Pertengahan Musim Gugur (Festival Bulan)

中秋節 (zhōngqiūjié) Pertemuan keluarga dan memakan kue bulan

Bulan 9, hari 9 Festival Sembilan Ganda (Festival Yang Ganda)

重陽節 (chóngyángjié) Mendaki gunung dan pertunjukan bunga

Bulan 10, hari 15 Festival Kedamaian (Xia Yuan)

下元節 (xiàyuánjié) Doa meminta tahun yang damai kepada dewa air

21 atau 22 Desember Festival Titik Balik Matahari Musim Dingin

冬至 (dōngzhì) Pertemuan keluarga dan memakan Tong yuen

Bulan 12, hari 23 Festival Dewa Dapur (Festival Masakan Arwah)

謝灶 (xièzào) Mengucapkan puji dan syukur kepada dewa dapur. Bekerja untuk memasak agar para arwah terhormat)

2.6 Tahun Baru Imlek

Tahun Baru Cina (Imlek) adalah perayaan yang paling panjang dan

penting dalam tradisi perayaan etnik Tionghoa. Di Cina tradisi ini disebut dengan

“Festival Musim Semi”, terjemahan langsung dari bahasa Tionghoa 春 節 (Chūnjié). Perayaan ini menandakan berakhirnya musim dingin. Tahun Baru

38

Page 45: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Imlek dimulai pada hari pertama, bulan pertama ( 正 月 – Zhēngyuè) menurut

sistem penanggalan kalender tradisional Tionghoa dan berakhir pada malam Cap

Go Meh (除夕 – Chúxī) pada hari ke-15. Tahun Baru Imlek, dikenal juga sebagai

“Malam Pergantian Tahun”, adalah hari dimana keluarga etnik Tionghoa

berkumpul untuk malan malam bersama. Karena penanggalan kalender Tionghoa

berpedoman pada lunisolar (pergerakan bulan), maka Tahun Baru Imlek sering

disebut sebagai “Tahun Baru Bulan Purnama.”

Sejarah dirayakannya Tahun Baru Imlek telah berkembang sejak berabad-

abad yang lalu berdasarkan pada mitos dan tradisi yang turut berkembang dalam

masyarakat Tionghoa. Tahun Baru Imlek dirayakan di negara-negara dan

wilayah-wilayah dengan jumlah populasi etnik Tionghoa yang signifikan seperti

Daratan Cina, Hong Kong, Makau, Taiwan, Singapura, Thailand, Indonesia,

Malaysia, Mauritius, Filipina, dan Vietnam atau negara-negara lain atau daerah

dengan populasi suku Han, Tahun Baru Imlek juga dirayakan, dan pada berbagai

derajat, telah menjadi bagian dari budaya tradisional dari negara-negara tersebut.

Tahun Baru Imlek dianggap dan memiliki pengaruh pada perayaan tahun baru di

tetangga geografis Cina, serta budaya yang dengannya orang Tionghoa

berinteraksi meluas. Ini termasuk Korea, Mongolia, Nepal, Bhutan, Vietnam, dan

Jepang (sebelum 1873).10

Kebiasaan dan tradisi perayaan Tahun Baru Imlek bervariasi di tiap

daerah, namun pada umumnya sama. Orang-orang Tionghoa akan

10 http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_Baru_Imlek

39

Page 46: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

membelanjakan uang mereka untuk membeli berbagai macam hadiah, dekorasi,

perlengkapan, makanan, serta pakaian. Kebiasaan tradisional mereka pada saat

Tahun Baru Imlek yakni membersihkan rumah, tujuannya adalah untuk menyapu

bersih semua kesialan dan hawa jahat dan membuat jalan untuk masuknya

kebaikan. Jendela dan pintu akan dihiasi dengan kertas potong berwarna merah

dan untaian hiasan dengan tema-tema yang populer seperti “keberuntungan” atau

“kebahagiaan”, “kekayaan”, dan “umur yang panjang”. Di malam Tahun Baru

Imlek, dilaksanakan pesta makan malam dengan keluarga. Menu makanan yang

disajikan berupa babi, bebek, ayam, dan hidangan manis. Tiap keluarga akan

mengakhiri malam dengan pesta kembang api. Keesokan paginya, anak-anak

akan bersilaturahmi ke rumah orang tua mereka dengan harapan mendapat

kesehatan dan kebahagiaan yang lebih lagi di tahun yang baru, para orang tua

akan memberi uang yang dimasukkan ke dalam amplop berwarna merah

(angpao) kepada anak atau cucu mereka yang belum bekerja dan berkeluarga.

Tradisi Tahun Baru Imlek bertujuan untuk saling berdamaian, melupakan semua

dendam di masa lampau, dan dengan tulus mengharapkan kedamaian dan

kebahagiaan bagi semua orang.

Di Indonesia, selama tahun 1968-1999, perayaan Tahun Baru Imlek

dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun

1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang

segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek. Masyarakat keturunan

Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan Tahun Baru

40

Page 47: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres

Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya

dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April

2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi

mereka yang merayakannya). Baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan

sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri

mulai tahun 2003.

2.6.1 Mitos Awal Mula Perayaan Tahun Baru Imlek

Menurut dongeng dan legenda yang berkembang di masyarakat Tionghoa,

awal dari perayaan Tahun Baru Imlek dimulai ketika perang melawan hewan

mitos yang disebut Nian ( 年 – Nián). Nian akan datang pada hari pertama di

tahun baru untuk memangsa ternak, tanaman, bahkan penduduk desa, terutama

anak-anak. Untuk melindungi diri, rakyat desa menaruh makanan di depan pintu

mereka pada setiap awal pergantian tahun. Mereka percaya apabila Nian

memakan makanan yang telah disediakan, maka hewan tersebut tidak akan

memangsa mereka lagi. Suatu ketika, para penduduk desa menyaksikan bahwa

Nian ketakutan pada seorang anak yang memakai baju berwarna merah,

penduduk desa akhirnya mengetahui bahwa Nian sangat takut kepada benda yang

berwarna merah. Sejak saat itu, setiap kali malam tahun baru tiba, penduduk desa

akan menggantungkan lampion serta gulungan doa berwarna merah di tiap

jendela dan pintu mereka. Warga desa juga menggunakan kembang api dan

41

Page 48: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

petasan untuk menakut-nakuti Nian. Sejak saat itu Nian tidak pernah datang dan

mengganggu warga desa lagi. Dikisahkan pada akhirnya Nian ditangkap oleh

seorang biksu Tao kuno bernama Hongjun Laozu, dan Nian diubah menjadi

gunung dan dikenal sebagai Gunung Hongjun Laozu.11

2.6.2 Rangkaian Perayaan

(a) Sebelum hari H. Pada hari kedelapan bulan lunar sebelum Tahun Baru

Imlek, bubur tradisional yang dikenal sebagai làbāzhōu (臘八粥) disajikan untuk

mengingat tradisi perayaan kuno, yang disebut Là, yang berlangsung tak lama

setelah titik balik matahari musim dingin. Bubur ini disiapkan oleh para wanita

dalam setiap rumah tangga di hari pertama munculnya cahaya bulan,

menggunakan mangkuk pertama yang dipersembahkan kepada nenek moyang

keluarga dan para dewa rumah tangga. Setiap anggota keluarga mendapatkan

masing-masing satu mangkuk làbāzhōu, dan sisanya akan dibagikan kepada

teman serta kerabat. Hingga saat ini làbāzhōu masih sering dijadikan sebagai

santapan spesial di tiap rumah tangga warga Tionghoa.

Pada hari-hari tepat sebelum perayaan Imlek, setiap keluarga Tionghoa

melakukan kegiatan pembersihan rumah secara menyeluruh. Ada istilah dalam

bahasa Kanton berbunyi “menyapu bersih kotoran pada saat nin’ya’baat (年廿八 – hari/tanggal 28, bulan 12), namun pada praktiknya tidak terbatas pada saat

nin’ya’baat. Dipercayai kegiatan pembersihan ini dilakukan untuk menyapu

11http://www.theholidayspot.com/chinese_new_year/origin.htm

42

Page 49: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

bersih segala nasib buruk dari tahun sebelumnya dan menyiapkan rumah mereka

untuk tibanya keberuntungan. Sapu dan pengki disingkirkan pada hari pertama

sehingga datangnya keberuntungan diyakini tidak akan hilang. Beberapa orang

menghiasi rumah mereka, pintu dan jendela dilapisi dengan tirai berwarna merah.

Di dalam rumah juga sering dihiasi dengan guntingan kertas hias berupa kalimat

keberuntungan dalam bahasa Tionghoa. Membeli pakaian dan sepatu baru, serta

mengganti model potongan rambut juga melambangkan sebuah awal yang baru.

Hutang dalam binis harus dilunasi sebelum tibanya malam tahun baru, dan

diganti menjadi hutang budi. Oleh karena itu, adalah suatu kebiasaan untuk

mengirimkan hadiah dan beras kepada rekan-rekan bisnis dan anggota keluarga

besar.

Pada rumah tangga yang menganut aliran agama Buddha dan Tao, lazim

untuk membersihkan altar rumah dan patung secara keseluruhan. Altar yang

dihiasi oleh hiasan dari tahun lalu diturunkan kemudian dibakar seminggu

sebelum tahun baru tiba, dan diganti dengan dekorasi yang baru. Penganut agama

Tao (dan sebagian kecil penganut Buddha) juga akan melakukan ritual

“mengirimi para dewa” ( 送 神 – sòngshén), sebagai contoh, mereka akan

membakar patung kertas sosok Zao Jun sang Dewa Dapur, yang mengawasi

tingkah laku tiap keluarga. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar sang Dewa

Dapur dapat melaporkan tiap pelanggaran dan perbuatan baik tiap keluarga

kepada Kaisar Langit. Tiap keluarga kadang-kadang mempersembahkan

43

Page 50: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

makanan-makanan manis (seperti permen) dengan maksud untuk “menyuap”

para dewa supaya melaporkan hal-hal yang baik saja.

Sebelum makan malam bersama, tiap keluarga akan menaikkan doa syukur

untuk merenungkan perjalanan hidup yang telah dilalui. Para penganut

Khonghucu menggunakan kesempatan ini untuk mengingat para leluhur dan

menghormati orang-orang yang hidup sebelum mereka,

Acara terbesar dalam Malam Tahun Baru Imlek adalah makan malam

bersama. Menu wajib yang dihidangkan di atas meja makan keluarga adalah ikan.

Menu ikan ini memang selalu disajikan ketika Malam Tahun Baru Imlek.

Makanan wajib ini ibarat Makan Malam Natal dalam tradisi Barat. Di Cina Utara,

biasanya mereka akan membuat pangsit ( 餃 子 – jiǎozi) setelah makan malam

untuk disantap ketika tengah malam. Pangsit ini melambangkan kemakmuran

karena bentuknya yang menyerupai tael (simbol kemakmuran etnik Tionghoa,

biasanya berbentuk perak). Sebaliknya, di Selatan, kebiasaan yang dilakukan

adalah membuat kue ketan tahun baru (年糕 – niángāo) dan mengirimkan setiap

potongnya sebagai hadiah kepada kerabat dan teman-teman dekat dalam

beberapa hari menjelang tahun baru. Niángāo secara harafiah berarti “kue tahun

baru”, namun juga memiliki makna homofon yakni “semakin bertambahnya

kemakmuran di tahun yang baru.” Setelah makan malam, para keluarga akan

pergi ke vihara-vihara lokal beberapa jam sebelum tahun baru tiba dan mulai

berdoa untuk tahun yang semakin baik sambil menyalakan dupa. Namun dalam

praktik modern, banyak juga keluarga yang mengadakan pesta di rumah sambil

44

Page 51: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

menghitung mundur waktu ke tahun baru. Dalam kebiasaan tradisional, petasan-

petasan dinyalakan untuk menakut-nakuti roh jahat sambil menutup pintu rapat-

rapat, dan tidak akan dibuka sampai keesokan paginya dalam ritual yang disebut

“membuka pintu keberuntungan” (開財門 – kāicáimén).

(b)Hari Pertama, Hari Pertama di Tahun Baru Imlek dirayakan untuk

menyambut para dewa langit dan bumi, secara resmi dimulai pada tengah malam.

Kembang api dinyalakan, batang bambu dan petasan dibakar untuk menciptakan

suara sebising mungkin dengan tujuan menangkap roh-roh jahat. Namun di

beberapa tempat di Indonesia, termasuk di Medan sendiri, praktik menghidupkan

petasan sudah sangat jarang dilakukan, karena peraturan pemerintah yang

melarang menghidupkan petasan ketika hari-hari besar.

Penganut agama Buddha menjauhkan diri dari konsumsi daging pada hari

pertama karena diyakini bahwa ini akan menjamin umur panjang untuk mereka.

Beberapa juga beranggapan bahwa menyalakan api dan menggunakan pisau bisa

mendatangkan nasib yang buruk pada Hari Tahun Baru, maka semua makanan

yang akan dikonsumsi dimasak pada hari-hari sebelumnya. Pada hari ini juga,

dianggap sial untuk menggunakan sapu.

Yang paling penting, pada hari pertama Tahun Baru Imlek adalah saatnya

untuk menghormati orang tua, setiap anggota keluarga akan mengunjungi orang

tua mereka dan anggota keluarga yang dianggap paling tua dalam keluarga besar

mereka seperti kakek-nenek dan kakek-nenek buyut.

45

Page 52: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Bagi para penganut Buddha Maitreya, hari pertama Tahun Baru Imlek juga

diperingati sebagai hari ulang tahun Bodhisattva Maitreya, sang calon Buddha.

Penganutnya juga menjauhkan diri dari praktik membunuh hewan. Pada malam

Tahun Baru Imlek, di vihara-vihara, termasuk Vihara Maitreya akan mengadakan

pertunjukan Barongsai sebagai ritual simbolis untuk menyambut Tahun Baru

Imlek serta perlambang mengusir roh jahat serta kesialan.

Tiap anggota keluarga yang sudah menikah memberikan amplop merah

berisikan uang tunai, atau biasa dikenal dengan angpao, sebuah simbol

perlambang berkat, kepada sanak saudaranya biasanya anak-anak kecil dan

remaja. Para manajer bisnis juga memerikan bonus melalui amplop merah kepada

para karyawannya untuk memperoleh nasib baik, kesehatan, dan kemakmuran.

(c)Hari Kedua. Pada hari kedua Tahun Baru Imlek, dupa dibakar di makam

leluhur sebagai bagian dari persembahan ritual dan doa. Hari kedua ini juga

dikenal sebagai “awal tahun” (开年 – kāinián). Di hari ini juga kesempatan bagi

anak perempuan yang sudah menikah untuk mengunjungi orang tua, kerabat,

serta teman-teman dekatnya (karena pada umumnya, anak-anak perempuan yang

sudah menikah jarang memiliki kesempatan untuk mengunjungi keluarga dan

teman-teman mereka).

Sejarah mengatakan pada zaman kekaisaran Cina, para pengemis dan

pengangguran akan berkeliling dari rumah ke rumah tiap keluarga, membawa

sebuah gambar Dewa Kemakmuran, sambil berteriak, “Chai Shen dao!” (“Dewa

46

Page 53: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Kemakmuran telah datang!”). Para keluarga yang dikunjungi akan memberi

mereka “uang keberuntungan” untuk menghargai mereka (Kong (1989: 48).

Para pebisnis beretnik Kanton akan mengumandangkan doa ‘Hoi Nin’

untuk memulai bisnis mereka di hari kedua Imlek ini, sehingga nantinya mereka

akan dikaruniai dengan keberuntungan dan kemakmuran dalam bisnis mereka di

tahun yang baru.

Beberapa juga percaya bahwa hari kedua ini juga merupakan hari jadi

semua anjing, maka mereka pun memperlakukan anjing-anjing yang ada dengan

perlakuan spesial.

(d) Hari Ketiga. Hari Ketiga ini dikenal sebagai Chìkǒu ( 赤 口 ), jika

diterjemahkan secara langsung, artinya adalah “mulut merah”. Chìkǒu juga biasa

disebut dengan Chìgǒurì (赤狗日). Chìgǒu berarti “Dewa Angkara Murka” (熛怒之神 ). Warga pedesaan melanjutkan perayaan dengan memanjatkan doa-doa di

samping tempat pembakaran sampah terbuka, dimana benda-benda yang sudah

tidak dipakai serta sampah-sampah dibakar bersama-sama dengan persembahan.

Hari ketiga ini umumnya juga dikenal dengan hari yang tidak baik untuk

bersosialisasi ataupun mengunjungi kerabat serta teman-teman dekat.

Penduduk desa etnik Hakka di daerah pinggiran Hongkong pada tahun

1960 menyebut hari ini sebagai Hari Iblis Miskin dan mempercayai bahwa semua

orang harus tinggal di rumah (Berkowitz dan Brandauer, 1969:49). Hari ketiga

ini juga dianggap sebagai hari yang tepat untuk mengunjungi kuil Dewa

Kemakmuran untuk mendapatkan petunjuk akan masa depan.

47

Page 54: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

(e)Hari Keempat, bagi etnik Tionghoa yang hanya merayakan Tahun Baru

Imlek selama dua atau tiga hari, hari keempat ini adalah hari dimana kegiatan

bisnis serta berdagang kembali berjalan normal.

(f) Hari Kelima. Hari kelima dirayakan sebagai hari ulang tahun Dewa

Kemakmuran. Di bagian utara Daratan Cina, orang-orang akan memakan jiǎozi

( 饺 子 ; 餃 子 ), atau pangsit di pagi hari Pòwǔ ( 破 五 ). Di Taiwan, usaha bisnis

biasanya akan dimulai kembali pada keesokan harinya (hari keenam), disertai

dengan dibunyikan petasan.

Di hari kelima ini juga di daerah yang banyak etnik Tionghoanya, orang-

orang akan menghidupkan petasan dalam upaya untuk menarik perhatian Guan

Yu, agar mendapatkan keberuntungan serta nasib yang baik di tahun yang baru.

(g) Hari Ketujuh. Hari ketujuh, biasanya dikenal sebagai Rénrì (人日 – hari

ulang tahun semua orang), hari dimana semua orang bertambah umur setahun

lebih tua. Di komunitas Tionghoa di Asia Tenggara, pada hari ini mereka akan

memakan yusheng, salad ikan mentah, yang diyakini dapat meneruskan kekayaan

dan kemakmuran.

Bagi kebanyakan penganut Buddha, di hari ini adalah hari tanpa konsumsi

daging, mereka juga memperingati hari ketujuh sebagai hari kelahiran Sakra,

penguasa para dewa dalam kosmologi Buddha.

(h)Hari Kedelapan. Semua orang harus sudah kembali bekerja pada hari

kedelapan. Semua instansi pemerintahan dan bisnis akan berhenti mengadakan

perayaan di hari kedelapan ini. Para pemilik toko akan mengadakan jamuan

48

Page 55: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

makan siang atau makan malam dengan pegawai-pegawai mereka, berterima

kasih kepada mereka atas pekerjaan yang telah mereka lakukan sepanjang tahun.

(i) Hari Kesembilan. Di hari kesembilan ini etnik Tionghoa memanjatkan

doa kepada Kaisar Langit ( 天 公 – Tiāngōng) di kuil karena hari ini diperingati

sebagai hari kelahiran sang Kaisar Langit. Hari kesembilan juga merupakan hari

yang sangat penting bagi orang Hokkien. Pada tengah malam hari kedelapan

tahun baru, mereka akan membawa persembahan dan menaikkan doa syukur

kepada Kaisar Langit. Persembahan yang mereka bawa termasuk didalamnya

tebu, karena diyakini tebu telah melindungi leluhur-leluhur mereka dari

kepunuhan di zaman dahulu. Dupa, teh, buah, makanan vegetarian atau babi

panggang, dan kertas emas disajikan sebagai protokol adat untuk menghormati

para tetua.

(j) Hari Kesepuluh. Di hari kesepuluh, orang-orang masih merayakan hari

kelahiran Kaisar Langit.

(k)Hari Kesebelas dan Dua belas. Tidak ada kegiatan adat/tradisional yang

dilakukan pada hari kesebelas dan dua belas.

(l) Hari Ketigabelas. Di hari ketigabelas, orang-orang Tionghoa akan

memakan makanan vegetarian murni dengan tujuan membersihkan perut mereka

karena telah mengkonsumsi terlalu banyak makanan di dua minggu sebelumnya.

Hari ini didedikasikan untuk Jenderal Guan Yu, dikenal juga sebagai Dewa

Perang. Guan Yu dilahirkan semasa Dinasti Han dan dipercaya sebagai jenderal

49

Page 56: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

terhebat dalam sejarah Tionghoa. Dia melambangkan loyalitas, kekuatan,

kebenaran, dan keadilan.

Hampir setiap organisasi dan penggiat bisnis memanjatkan doa kepada Guan

Yu di hari ini. Diyakini sebelum hidupnya berakhir, Guan Yu telah

memenangkan lebih dari seratus pertempuran, dan ini jugalah gol yang ingin

dicapai oleh semua pengusaha bisnis Tionghoa. Di lain sisi, orang menganggap

Guan Yu sebagai Dewa Kemakmuran atau Dewa Kesuksesan.

(m) Hari Kelimabelas. Hari kelimabelas dari Tahun Baru Imlek

disebut Cap Go Meh (di Cina disebut dengan Festival Yuanxiao/Yuánxiāojié – 元宵 节 atau Festival Shangyuan/Shàngyuánjié – 上 元 节 jika diartikan yakni Festival

Lentera). Hari kelimabelas ini adalah hari terakhir dari rangkaian perayaan Tahun

Baru Imlek.

Di zaman dahulu kala, bentuk lentera-lentera yang dihidupkan sangatlah

sederhana, dan hanya kaum bangsawan serta orang-orang terhormat saja yang

bisa memiliki lentera dengan bentuk yang besar dan kompleks. Namun di masa

modern ini, bentuk dan ukuran lentera sudah bervariasi. Sebagai contoh, lentera-

lentera ini dapat dibentuk dengan bentuk binatang. Di Vihara Maitreya, setelah

melakukan sembahyang, orang-orang Tionghoa mulai menyalakan lentera dan

melepaskan lentera-lentera yang telah diisi gas tersebut ke langit. Lentera yang

dinyalakan melambangkan tiap orang melepaskan masa lalunya dan

menyongsong masa depan yang baru dan sejahtera.

50

Page 57: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Malam Cap Go Meh adalah malam pertama orang-orang dapat melihat

bulan purnama pada tahun lunar ini. Menurut tradisi masyarakat Tionghoa, pada

permulaan tahun baru, jika terdapat bulan purnama yang terang di langit,

diharuskan untuk melepaskan banyak lentera ke langit untuk menghargainya.

Pada malam ini juga, tiap keluarga akan memakan yuanxiao (元宵 – beras ketan

dibentuk bola) dan berkumpul serta makan malam bersama keluarga.

Diyakini bahwa Malam Cap Go Meh adalah malam terakhir untuk

bersenang-senang (dalam istilah tradisional masa panen) dan keeseokan harinya

sudah dimulai hari baru untuk kembali bekerja keras untuk mendapatkan

kemakmuran (masa bercocok tanam). Di Malam Cap Go Meh ini juga diadakan

pertunjukan Barongsai, pertunjukan ini dilakukan dengan maksud untuk menolak

semua kesialan di tahun yang telah lalu dan menyongsong hari baru dengan

semangat baru dan keberuntungan yang baru.

2.7 Penggunaan Istilah “Cina” dan “Tionghoa” di Indonesia

Istilah Cina berasal dari nama Ahala (wangsa atau dinasti) Qin (baca:

Ch’in). Dinasti Chin (abad ke-3 SM) merupakan dinasti pertama yang

mempersatukan seluruh daratan Tiongkok di bawah pemerintahan pusat yang

sangat kuat dan besar pengaruhnya. Walaupun masa pemerintahan dinasti itu

tidak lama (sekitar 225 hingga 210 SM), dinasti ini mendirikan kerjaan pertama

dan merintis bentuk kerajaan yang berjalan terus selama lebih dari 2000 tahun

sampai revolusi republik pada tahun 1913.

51

Page 58: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Keberatan akan istilah Cina di Indonesia dilatarbelakangi oleh sikap

Kaisar Qin yang dikenal sangat kejam, ia pemeluk aliran Legalis (Fajia) yang

ajarannya sangat berlawanan dengan ajaran Khonghucu. Atas perintahnya

dilakukanlah pembakaran buku-buku ajaran Khonghucu, dan memerintahkan

hukuman dikubur hidup-hidup terhadap 500 sarjana Khonfusianisme. Akibat dari

tindakan brutal Kaisar Qin itu, sebagian besar orang Cina lebih suka menyebut

diri mereka dengan kata “Tangren” yang kurang lebih berarti “keturunan Ahala

Tang”, salah satu dinasti yang meninggalkan zaman keemasan terutama dalam

kesenian dan kesusastraan dalam sejarah Cina. Di kalangan etnik Cina di

Indonesia, terutama yang berasal dari provinsi Fujian (Hokkian), sebutan itu

menjadi “Tenglang.”

Setelah keberatan-keberatan yang muncul, akhirnya sekitar abad ke-19

diambillah jalan tengah yaitu penggunaan istilah Tionghoa yang diambil dari

terjemahan Chung Kuo. Presiden pertama Cina, Dr. Sun Yat-sen kemudian

menggunakan itu untuk nama negara baru di Tiongkok: Zhonghua Minguo

(Republik Cina). Mao Zedong meneruskan penggunaannya ketika membentuk

Republik Rakyat Cina (RRC) dalam bahasa Mandarin disebut dengan Zhonghua

Renmin Gongheguo.

Istilah Tionghoa mulai mulai muncul di kalangan golongan etnik Cina di

Indonesia sekitar tahun 1900-1901 ketika Tiong Hoa Hwee Kuan (THHK)

dibentuk sebagai sebuah organisasi yang bergerak terutama di bidang pendidikan

dan kehidupan keagamaan, khususnya Konfusianisme. Organisasi ini dipimpin

52

Page 59: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

oleh Kang Yu Wei, Liang Chi Chao, dan Phoa Keng Hek di Jakarta. Akan tetapi

THHK sendiri masih mencampuradukkan penggunaan Tiongkok, Tionghoa, dan

Cina dalam konstitusi mereka. Sehingga muncullah kata-kata bangsa Cina, negeri

Cina, atau surat Cina (huruf Kanji) yang berdampingan dengan kata-kata

Tionghoa dan Tiongkok yang kini dianggap sebagian etnik Tionghoa sebagai

politically correct.12

Dengan demikian secara tidak langsung menunjukkan bahwa istilah Cina,

setidak-tidaknya sampai akhir abad ke-19, masih dianggap netral. Penggunaan

istilah Tionghoa dan Tiongkok semakin populer sejalan dengan naiknya

gelombang nasionalisme Cina di kalangan golongan Tionghoa di Indonesia yang

terjadi pada dasawarsa kedua abad ke-20. Sama seperti saudara-saudara mereka

di daratan Cina, golongan etnik Tionghoa di Indonesia memandang kata

Tionghoa dan Tiongkok sebagai manifestasi dari semangat nasionalisme dan

persatuan di kalangan mereka. Namun, perlu dicatat, nasionalisme di kalangan

golongan etnik Cina di Indonesia lebih banyak diakibatkan oleh perlakuan

pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menganggap mereka sebagai warga

negara kelas dua.

Pada tahun 1928, tokoh pergerakan Indonesia yang merasa ‘berhutang

budi’ kepada masyarakat Tionghoa, karena koran-korannya banyak memuat

tulisan pemimpin pergerakan tersebut, sepakat mengganti sebutan Cina dengan

Tionghoa. Koran Sin Po adalah koran pertama yang mengganti sebutan Hindia-

12http://www.ceritanet.com/15cina.htm

53

Page 60: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Belanda menjadi Indonesia pada setiap penerbitannya, dan juga koran pertama

yang memuat teks lagu Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman. Dalam teks

penjelasan UUD 1945, kata yang digunakan adalah Tionghoa, bukan Cina. Sejak

itu istilah “Tionghoa” digunakan bersama sebagai padanan istilah “Cina” yang

sudah populer lebih dahulu.

Setelah itulah istilah Tiongkok dan Tionghoa nampaknya menjadi istilah

baku untuk mengacu kepada Cina sebagai negeri dan golongan Cina sebagai

kelompok etnik. Apalagi ketika istilah Cina dipakai untuk memaki dan diembel-

embeli dengan kata lain seperti “Cina Loleng,” “Cina Mindring,” dan sebutan-

sebutan degeneratif lainnya, kata Tionghoa lebih disukai ketimbang Cina.

Sebutan Cina sebagai hinaan lebih ditekankan lagi ketika Seminar Angkatan

Darat di Bandung pada 1968 memutuskan dan menganjurkan kepada pemerintah

agar kata Tiongkok dipakai sebagai istilah baku untuk mengacu kepada negeri

Cina dan sebutan bagi etnik Cina di Indonesia sebaiknya menggunakan kata

Tionghoa. Alasannya, menurut usul yang ditelurkan oleh seminar tersebut, adalah

untuk menjamin bahwa etnik Tionghoa yang tinggal di Indonesia tidak merasa

rendah diri. Sejak saat itu, mereka menyebut diri mereka dengan istilah

Tionghoa, yaitu dialek Hokkian dari kata bahasa Mandarin Chung Hwa, dan

menolak disebut Cina.

54

Page 61: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

BAB III

KAJIAN FUNGSI

PERTUNJUKAN BARONGSAI

Memahami seni pertunjukan barongsai berarti juga memahami

kebudayaan Tionghoa. Kemungkinan besar tidak ada kebudayaan Tionghoa

lainnya yang mengandung berbagai macam aspek budaya dalam beberapa bentuk

seperti pertunjukan barongsai. Di dalam pertunjukan barongsai terkandung nilai-

nilai seperti agama/filsafat (Taoisme-Feng Shui, Buddha, Khonghucu, dan

astrologi), sastra (mitos, fabel, legenda, dan sejarah), seni (opera Tionghoa,

akrobat, bela diri, musik, dan kaligrafi), ilmu pengetahuan (astronomi, musim,

dan pertanian), bahasa, hingga makanan (Lee, 2010). Banyak yang bertanya-

tanya darimana asalnya Singa Cina–cikal bakal Barongsai–karena diyakini

bukanlah berasal dari Cina. Kenyataannya adalah bahwa pada awalnya singa

tersebut hanyalah hadiah langka yang diberikan kepada Kaisar untuk

mengamankan hak-hak serikat. Seiring berjalannya waktu, keanehan dan

kelangkaan yang didapati pada singa tersebut, ditambah dengan pengenalan akan

ajaran agama Buddha, dan status sang singa sebagai penjaga dan pelindung

agama, menjadikan posisi sang singa perlahan terangkat menjadi makhluk yang

55

Page 62: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

membawa keberuntungan. Sampai sekarang, sosok singa berkembang menjadi

ikon tradisi masyarakat Tionghoa.

Tarian barongsai seringkali disalahartikan sebagai tarian naga (liong).

Padahal pembedanya cukup jelas, tarian naga biasanya dimainkan oleh sepuluh

orang (satu orang memegang mutiara yang terpisah dari badan naga), sedangkan

dalam tarian barongsai penarinya hanyalah dua orang. Sangat menarik untuk

diperhatikan bahwa ada catatan yang menceritakan bahwa sang singa adalah anak

kesembilan dari sang naga dan namanya adalah Jiao Tu (Lee, 2010:34).

Gambaran sang singa dapat ditemukan dipahat di pintu atau digambarkan

di dermaga pintu gerbang istana, taman, dan tempat-tempat tinggal. Sementara

itu, bentuk dari tarian singa mulai didokumentasikan penampilannya di masa

Dinasti Han (206 SM – 24 M) dan semakin berkembang semasa Dinasti Tang

(618 M – 906 M), meskipun dapat dikatakan bahwa penampilan kostum singa

yang dipakai kemungkinan besar tidak terlihat seperti gambaran sang Singa.

3.1 Mitos dan Legenda Mengenai Asal-usul Kesenian Barongsai

Banyak cerita yang berkembang di masyarakat berhubungan dengan asal

mula kebudayaan barongsai di masyarakat Tionghoa serta predikatnya sebagai

simbol keberuntungan ataupun pembawa berkah. Berikut adalah beberapa cerita

tentang asal-usul barongsai yang berhasil penulis dapat dari wawancara dengan

informan dan dari sumber pustaka yang membahas tentang barongsai.

56

Page 63: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Cerita pertama yang berkembang di kalangan etnik Tionghoa adalah

cerita tentang seorang utusan asing dari barat atau lebih tepatnya dari Kerajaan

Partia diutus untuk menjalin hubungan perdagangan yang bersahabat dengan

Cina pada masa Dinasti Han dan disambut dengan jamuan besar-besaran dan

hiburan. Bagian dari hiburan yang ditampilkan adalah tarian yang menampilkan

para penari memakai berbagai macam kostum hewan. Utusan tersebut kemudian

tidak melihat adanya sosok singa di antara kostum-kostum yang dipakai oleh

penari. Melalui hasil penelusurannya, ia mendapati fakta bahwa bangsa Cina

sama sekali belum pernah melihat singa sebelumnya. Sang utusan kemudian

menjelaskan pada anggota dewan kekaisaran bahwa di negaranya singa dianggap

sebagai Raja Hewan. Waktupun berselang, sang utusan kembali dan membawa

singa yang dikirim oleh Raja Partia sebagai bagian dari penghormatan kepada

kaisar (hadiah yang dianggap langka dan eksotis dianggap sebaai penghargaan

tertinggi oleh dewan kekaisaran) dan dengan demikian berhasil menjalin

hubungan kerjasama yang baik. Sejak saat itu sosok singa diyakini sebagai

simbol keberuntungan karena membawa pembaharuan perdamaian, kebahagiaan,

dan kemakmuran bagi masyarakat Tionghoa.

Diyakini bahwa singa yang telah diperkenalkan kepada bangsa Cina

sebagai penghargaan kepada kekaisaran kadang-kadang akan dibawa keluar

untuk menjadi tontonan publik. Karena kelangkaan dan kesulitan dalam

penanganannya, dimunculkanlah suatu bentuk tarian atau sandiwara yang

menirukan penampilan singa dan gerakannya. Seiring berjalannya waktu, cerita-

57

Page 64: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

cerita tentang mitos dan ajaran agama Buddha ditambahkan ke dalam cerita

pertunjukan tersebut.

Cerita kedua adalah suatu saat di masa lalu, ada seorang kaisar yang

memelihara berbagai macam hewan eksotis. Di antara koleksi hewan-hewan itu,

favoritnya adalah singa. Hingga pada suatu hari, singa itu jatuh sakit dan mati

tidak lama setelahnya. Dengan kematian singa peliharaan favoritnya, kaisar

memutuskan turun dari singgasananya dan jatuh dalam kesedihan yang

mendalam hingga kemudian ia sendiri jatuh sakit. Cemas, para pejabat kekaisaran

bingung harus melakukan apa karena tidak ada cara yang berhasil untuk

mengembalikan keceriaan sang kaisar. Akhirnya, seorang anggota kekaisaran

mengambil mayat singa dan membuat kostum dari kulitnya. Dua pemuda yang

memiliki badan lentur dan atletis kemudian dilatih untuk menirukan gerakan

singa. Berselang beberapa hari kemudian singa itu diserahkan kepada kaisar.

Melihat singa kesayangannya, kaisar segera memperoleh kesenangannya

kembali. Pada waktu kejadian itu tersebar ke publik, merekapun membuat tiruan

kostum singa dan menirukan gerakannya serta menambah unsur musik dan tarian

ke dalam pertunjukannya.

Ada juga cerita yang berkembang dari sisi agama, diyakini bahwa seekor

singa ditugaskan oleh Kaisar Langit untuk menjaga bunga keabadian. Namun

sang singa tergoda dan akhirnya memakan bunga tersebut. Ketika Kaisar Langit

mengetahui perihal ini, ia marah besar, karena ini bukanlah kecerobohan pertama

yang pernah dilakukan oleh sang singa. Kemudian kaisar memerintahkan untuk

58

Page 65: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

memotong tanduknya (sumber hidupnya) dan mengusirnya dari langit. Dewi

Welas Asih, Guan Yin, melihat apa yang terjadi dan merasa kasihan kepada singa

(sang singa, meskipun tanduknya telah dipotong, tidak mati karena telah

memakan bunga keabadian). Dewi Guan Yin mengikat kembali tanduknya ke

kepala singa dengan pita merah dan dedaunan emas. Sang singa merasa sangat

bersyukur dan menyesali tindakan cerobohnya kemudian berjanji untuk

melakukan perbuatan baik. Oleh karena itu, jika kita melihat singa Barongsai dari

dekat, dapat dilihat adanya pita merah yang melilit pada tanduknya.

Barongsai masuk ke Indonesia diperkirakan bersamaan dengan masuknya

para pedagang Tionghoa ke Nusantara atau sekitar 500 tahun yang lalu. Pada saat

itu tujuan para etnik Tionghoa datang ke Nusantara tidak hanya untuk kegiatan

perdagangan tapi juga ingin menjalin hubungan persahabatan yang erat antara

kedua negara. Salah satu jenis kesenian yang ditampilkan adalah pertunjukan

barongsai. Hal ini juga dilakukan untuk memperkenalkan kebudayaan etnik

Tionghoa kepada warga pribumi pada waktu itu.

Pada saat itu orang-orang Tionghoa yang datang melalui jalur laut di

bawah komando Panglima Sam Poo Kong pada masa dinasti Yang Wang yang

bergelar Kaisar Yung Lee tiba pertama kali di Semarang dan membangun sebuah

klenteng yakni Klenteng Gedung Batu. Setelah kaisar dan orang-orang keturunan

Tionghoa mengalami kesuksesan dalam kegiatan perdagangan mereka, sebagian

dari mereka pun enggan untuk kembali ke negara asalnya. Kemudian mereka

59

Page 66: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

banyak yang menetap dan berbaur dengan warga pribumi, sejak itu pula kesenian

barongsai mulai berkembang di Indonesia.

Dari wawancara penulis dengan informan diketahui bahwa awal mulanya

kesenian barongsai tumbuh di daerah Binjai, vihara-vihara di sana kemudian

menanungi para tim-tim barongsai ini dan mulai mengembangkannya dibawah

asuhan mereka. Kesenian barongsai yang awalnya tumbuh pesat di Binjai pada

akhirnya mulai menyebar ke beberapa daerah lainnya di Sumatera Utara seperti

Medan dan Brastagi.

3.2 Jenis Barongsai

Dalam penampilan tarian singa (barongsai), ada dua jenis singa yang

terkenal, yakni Tarian Singa Utara dan Tarian Singa Selatan. Berikut ini adalah

deskripsi serta perbedaan dari keduanya.

(1) Singa Utara. Bentuk Singa Utara sering diidentikkan dengan

bentuk anjing pug Peking. Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah kenapa

menyerupai bentuk anjing dan bukannya singa? Hal ini disebabkan karena pada

zaman dahulu kala, sosok singa yang sebenarnya sangatlah jarang dapat dilihat

oleh bangsa Cina pada saat itu kecuali orang-orang yang tinggal dalam

lingkungan kerajaan. Para seniman zaman dulu menggunakan sosok pug Peking

mungkin dikarenakan anjing jenis ini sering disebut sebagai Shizi Gou ( 獅 子 狗 )

atau Anjing Singa. Nama ini diberikan kepada jenis anjing ini kemungkinan

karena ditemukannya kemiripan sosok antara patung-patung singa yang menjaga

60

Page 67: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

gerbang istana dengan anjing pug. Jenis anjing pug ini diyakini telah lama

eksistensinya di negeri Cina, seperti ditemukannya gambar anjing ini pada

tembikar-tembikar dalam kuburan-kuburan dari Dinasti Tang hingga Dinasti

Han. Fakta lain terdapat pada sebuah buku berisikan sejarah anjing pug Cina,

menyatakan bahwa pihak kerajaan sering mengadakan kontes tahunan anjing,

kontes ini dimenangkan oleh pemilik yang dapat mengembangbiakkan anjingnya

menyerupai figur singa. Seringkali pejabat-pejabat istana dan pembantunya

mengawinsilangkan anjing pug dengan anjing jenis lainnya untuk mendapatkan

penampilan menyerupai singa demi memperoleh penghargaan dan gelar

bergengsi (Lee, 2000).

Gambar 3.1:

Perbandingan Figur Anjing Pug Cina dengan Kostum Singa Utara

(Sumber gambar: http://chineseliondancers.webs.com/Lion_In_General.htm)

61

Page 68: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Seiring berjalannya waktu, para seniman yang merancang kostum Singa

Utara semakin menambahkan lebih lagi detail figur anjing pug kedalamnya,

apalagi sejak tidak ada lagi singa yang tersisa di istana. Dalam gerakan-gerakan

yang dilakukan oleh Singa Utara, banyak juga ditemukan gerakan-gerakan anjing

pug. Yang menjadikan Singa Utara ini menarik adalah gerakan-gerakan yang

ditampilkan, yakni gerakan akrobatik menggunakan meja, kursi, bola raksasa,

papan jungkat-jungkit, dan kawat. Pada umumnya Singa Utara dipertunjukkan

untuk tujuan hiburan saja dan tidak untuk memberikan berkah. Jenis singa ini

memiliki versi jantan dan betina, yang dibedakan melalui warna pita yang

dikenakan di puncak kepalanya, warna merah untuk jantan dan warna biru atau

hijau untuk betina. Terkadang ditampilkan pula sosok bayi Singa Utara yang

dimainkan oleh satu orang saja.

Bahan untuk kostum badan Singa Utara adalah rami, nilon, dan benang.

Material-material lain dijahit dan dilapiskan pada kain untuk memberikan kesan

bulu dan rambut singa, kemudian diwarnai dengan warna kuning. Warna kuning

ini tidak hanya menggambarkan warna bulu singa saja, namun juga merupakan

simbol warna Kekaisaran, karena pada awal mula kemunculannya pertunjukan

Singa Utara hanya ditampilkan di kalangan kerajaan. Bagian kepala Singa Utara

awalnya terbuat dari kayu, namun kemudian digantikan oleh bahan yang lebih

ringan, yaitu bambu atau rotan kemudian dilapisi dengan kertas. Nantinya

pertunjukan Singa Utara ini dapat dikenal oleh seluruh dunia akibat jasa para

pemain Tim Opera atau Tim Kesenian Akrobat Cina yang selalu

62

Page 69: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

mengikutsertakan pertunjukan Singa Utara dalam setiap pertunjukan mereka

ketika melakukan perjalanan keliling dunia.

(2) Singa Selatan. Jenis yang kedua adalah jenis yang paling populer,

yakni Singa Selatan. Dua singa yang terkenal dari jenis Singa Selatan ini adalah

Singa Fat San/Fo Shan ( 佛 山 ) dan Singa Hok San/He Shan ( 鹤 山 ), dinamakan

demikian berdasarkan daerah keduanya diciptakan. Sebenarnya terdapat ada lagi

jenis singa yang lain, namun dikarenakan kebanyakan orang Tionghoa

beremigrasi dari Provinsi Guangdong (Kwangtung – 廣 東 省 ) maka hanya kedua

jenis ini lah yang dikenal di luar Cina. Kedua jenis singa ini biasa ditampilkan

oleh tim kung-fu dan para praktisi kung-fu pada suatu ketika menyebut

pertunjukan Singa Selatan sebagai “tarian yang istimewa” karena berdasarkan

fakta bahwa singa adalah simbol keagungan. Tiap vihara ataupun asosiasi yang

memiliki timnya sendiri akan memanggil seorang guru/master Tari Barongsai

untuk mengajar bibit-bibit muda dapat menampilkannya pada perayaan-perayaan

hari besar ataupun kegiatan lainnya, sembari mengajar tentang gerakannya, tugas

dari sang master ini adalah mengajarkan tentang kebudayaan Tionghoa.

Di awal kemunculannya di Cina, tarian Barongsai ditampilkan oleh para

aktor dan penari lokal ataupun rombongan opera keliling. Tarian Singa Selatan

ditampilkan untuk tujuan memberikan berkah sejalan juga untuk kepentingan

hiburan, suatu ketika di zaman dinasti Ching ditampilkan oleh para pemberontak

untuk mengumpulkan dana serta menjadi untuk menelurkan informasi rahasia di

antara mereka.

63

Page 70: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Singa Selatan adalah jenis kesenian yang relatif baru karena dibentuk

semasa Dinasti Ching. Setelah meletusnyan pemberontakan Taiping di

pertengahan 1800, opera Kanton dilarang untuk tampil dan kapal-kapal merah

yang mengangkut mereka dibajak oleh golongan Manchu untuk beberapa waktu.

Meskipun pemberontakan ini diduga dilakukan oleh kaum Kristen-Cina miskin,

pemerintah Ching lebih meyakini kegiatan pemberontakan dilakukan oleh

organisasi Hung Mun (perkumpulan rahasia yang melawan rezim Ching Manchu)

yang menggunakan media rombongan opera Kanton dan kapal-kapal merah demi

melancarkan pekerjaan mereka. Satu-satunya kegiatan kesenian yang tidak

dilarang adalah tarian singa. Namun, pada saat itu, kesenian ini hanya

ditampilkan selama masa Tahun Baru Imlek dan perayaan-perayaan tertentu.

Kemudian pemerintah menyarankan untuk mempraktikkan kegiatan Huo-Shih

(pada dasarnya untuk menghilangkan segala jenis nasib buruk). Dengan maksud

untuk menolak roh jahat, nasib buruk, kedengkian, dan bentuk yin lainnya yang

bersifat negatif, dibutuhkan kekuatan/energi yang (positif) yang lebih besar.

Dalam menciptakan kostum Singa Selatan, penciptanya memakai elemen-elemen

dari Feng Shui, Taoisme, opera Kanton, filosofi Buddha, dan Hung Mun. Dari

komponen-komponen ini diharapkan dapat menjadikan sosok sang singa menjadi

sosok yang mampu memberikan rahmat dan berkat. Tidak ada dokumentasi

ataupun catatan tentang siapa nama pasti yang menciptakan jenis singa Fat San,

namun tidak sama dengan singa Hok San, hampir semua praktisi Barongsai

setuju bahwa penciptanya adalah seorang laki-lai bernama Feng Geng Zhang

64

Page 71: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

yang menciptakan beberapa dekade setelah ia selesai mempelajari tentang gaya

singa Fat San.

Bentuk kepala Fat San adalah bundar dengan bentuk mulut melengkung

ke atas, sementara figur wajah Hok San lebih panjang dan mulutnya datar dan

berbentuk seperti paruh bebek (kadang-kadang jenis Hok San ini dinamakan

singa moncong bebek). Biasanya bingkai kepala Singa Selatan terbuat dari rotan

dan anyaman bambu kemudian akan dilapisi berkali-kali hingga tebal dengan

kain kasa. Langkah ini akan diulang berkali-kali, kemudian kepala Barongsai akn

diberi cat dasar sebelum kemudian ditambah lagi varian warna derta symbol-

simbol yang memiliki makna-makna tertentu di atas cat dasar tersebut. Setelah

itu, ditambahkan berbagai ornamen di atas kepalanya seperti pom-pom dan

cermin. Bagian-bagian yang dapat digerakkan seperti kelopak mata, telinga, dan

mulut dimaksudkan untuk memberi kesan hidup dan nyata bagi sosok singa.

Kedua matanya terbuat dari kayu dengan sebuah lubang ditengahnya yang

dilapisi kaca atau plastik. Pada praktik modern, bola lampu mini atau L.E.D.

yang digerakkan oleh baterai dipasang pada kedua mata untuk memberikan

tampilan nyata.

Bagian kepala Singa Selatan cenderung berat; satu kostum barongsai

lengkap beratnya bervariasi antara 14-16 kilogram tergantung pada jumlah

ornamen-ornamen serta dekorasi-dekorasi yang dikenakan. Kostum Singa Selatan

tidak sepenuhnya menutupi badan pemainnya (tidak seperti Singa Utara) dan

bagian badan/ekor berukuran panjang dan terbuat dari kain yang warnanya

65

Page 72: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

bervariasi. Singa Selatan ini ditampilkan tidak hanya ditujukan untuk

kepentingan agama, namun juga untuk keperluan pelatihan ilmu bela diri. Berat

kostum singa ini akan membantu memperkuat bagian tubuh dan atas mereka.

Dapat dikatakan melalui gerakan-gerakan singa ini bagaikan pelatihan aerobik

menggunakan beban.

Ketika menirukan gerakan binatang, sebagian besar praktisi akan meniru

gerakan kucing. Bahkan ada beberapa pelatih yang mewajibkan murid-murid

mereka untuk mempelajari gerakan kucing terlebih dahulu sebelum mereka

diajari gerakan tarian singa. Cara ini biasa dilakukan oleh mereka yang beraliran

Singa Hok San. Pemilihan jenis singa apa yang akan dipakai oleh sebuah sekolah

atau asosiasi tergantung pada aliran Kung Fu apa yang mereka anut. Sebagai

contoh, penganut aliran Kung Fu Hung Gar biasanya meggunakan Singa Fat San,

sementara penganut aliran Choy Li Fut dan Bangau Putih akan menggunakan

Singa Hok San. Perlu dicatat bahwa ini adalah keputusan yang general dan bukan

sebuah keputusan baku yang harus selalu diikuti. Di negara-negara seperti

Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Taiwan, jenis Singa Hok San lebih sering

ditampilkan, sementara di negara-negara seperti Hong Kong, Amerika Serikat,

dan Kanada, jenis Singa Fat San lah yang sering ditampilkan.

Seiring dengan berkembang-pesatnya teknologi, laser, alumunium, PVC,

kertas warna-warni sekarang sudah semakin sering digunakan. Sejalan dengan

tidak lagi dipakai ornamen-ornamen dan penggunaan kain kasa dan kertas. Di

masa sekarang, bagian kepala singa sudah menjadi sangat ringan. Desain singa

66

Page 73: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

yang baru juga telah menggunakan bentuk ekor yang pendek. Perubahan-

perubahan besar yang terjadi pada desain dan bahan Barongsai ini dinilai sangat

penting seiring semakin populernya kompetisi dan perlombaan pertunjukan

Barongsai. Salah satu gerakan yang sering dinilai dapat menambah poin besar

adalah jika para pemain Barongsai dapat melakukan atraksi berdiri dan menari di

atas tiang-tiang yang tinggi (dikenal dengan jong), tentu akan sangat

memudahkan pergerakan dan atraksi mereka jika massa tubuh Barongsai yang

dimainkan tidak berat seperti massa tubuh Barongsai yang lama. Hampir semua

para pemain Barongsai modern memakai celana yang satu tipe dan satu jenis

dengan badan atau ekor singa.

Gambar 3.2:

(Dari Kiri ke Kanan) Singa Fat San dan Hok San pada

Tahun 1950-an dan Masa Sekarang.

(Su

mber

gambar: http://chineseliondancers.webs.com/Lion_In_General.htm)

67

Page 74: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Perbedaan lain antara singa modern dan singa tradisional adalah sosok

singa modern memiliki tampilan yang bersahabat, sedangkan singa tradisional

memiliki tampilan dan pembawaan yang sangar. Perubahan yang terjadi, yakni

bagian kepala yang lebih ringan dan ekor yang lebih pendek13 menjadikan sosok

Singa Selatan tampak nyata, selain itu dengan massa tubuh lebih ringan

memudahkan para penari untuk dapat melakukan gerakan-gerakan akrobatik

yang rumit.

Pada malam perayaan Cap Go Meh di Maha Vihara Maitreya, kedua jenis

Singa Selatan, Fat San dan Hok San, sama-sama ditampilkan oleh tim kesenian

barongsai.

3.3 Makna-makna yang Terdapat pada Kostum Singa Selatan

Dalam wawancara dengan informan, yakni Chandra Tio, diperkuat juga

dengan tulisan Lee, berikut ini adalah makna-makna yang terkandung dalam

kostum Singa Selatan:

1. Empat Hewan Langit Menjadi Satu

Kedua jenis Singa Selatan, baik Fat San ( 佛 山 ) maupun Hok San ( 鶴 山 )

diciptakan dengan menggunakan beberapa aspek yang berbeda dari kebudayaan

Tionghoa untuk menghidupkan maknanya. Yang pertama adalah aspek agama

13Sumber mengatakan bahwa zaman dahulu kala, seorang sifu (guru) yang timnya mengalami kekalahan dalam sebuah kompetisi merobek/memotong setengah ekor singa oleh karena frustasi. Setelah kemarahannya reda, dia menyadari kesalahannya dan kemudian membetulkan bagian ekor yang tersisa. Sejak saat itu dia menyadari bahwa sangat banyak keuntungan yang diperoleh jika ekor pada kostum singa menjadi pendek. Pada kompetisi berikutnya, tim pemainnya menggunakan kostum singa yang telah dimodifikasi di bagian ekor dan kemudian keluar menjadi juara (Lee, 2000).

68

Page 75: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

dan sistem kepercayaan (Taoisme/Feng-Shui). Para seniman Tionghoa

menggambar Empat Hewan Langit ke dalam sosok Singa.

Mereka memasukkan Naga, Phoenix, Chi Lin (Unicorn Cina14), dan Kura-

kura dengan ular melilit sekujur tubuhnya. Dari Naga (lung/long) mereka

memakai karakteristik dahi yang besar dan menonjol (dahi yang besar

melambangkan tingkat kecerdasan yang tinggi dalam kebudayaan Tionghoa) dan

jenggot; dari chi lin mereka mengambil karakteristik telinga dan ekor; cangkang

kura-kura dipakai untuk punuk bagian belakang kepala singa, ular

direpresentasikan pada tulang pungung singa; karakteristik yang diambil dari

Phoenix adalah kedua mata dan jambul (kadang tanduk). Kemudian, sosok macan

putih direpresentasikan melalui gigi-gigi dalam mulut singa. Empat hewan utama

disebut dengan hewan-hewan langit. Macan putih dan hewan lainnya, kecuali chi

lin dikenal sebagai penjaga keempat arah mata angin.

Dengan menggunakan karakteristik para hewan-hewan suci ini, diyakini

akan memberkahi singa dengan ciri-ciri dari masing-masing hewan. Naga adalah

penjaga arah timur, warnanya hijau, musim yang dibawanya adalah musim semi,

dan elemennya adalah kayu, Naga melambangkan keperkasaan dan karakteristik

yang yang kuat karena kakuatannya mampu mengarah ke kahyangan. Phoenix15

14Chi lin atau unicorn dalam kebudayaan Tionghoa tidaklah sama gambarannya dengan Unicorn dalam cerita-cerita klasik Barat.

15Banyak orang yang juga menggunakan istilah burung Varmelleon (burung mitologi berbulu merah) ketimbang Phoenix. Namun, kedua istilah ini tetap lah mengacu pada sosok Phoenix karena Phoenix dianggap sebagai raja dari semua hewan berbulu, sama halnya dengan Kura-kura yang awalnya hanya disebut sebagai Ksatria Hitam namun juga merupakan raja dari semua hewan bercangkang.

69

Page 76: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

menjaga arah selatan, warnanya hijau, dan elemennya adalah api, Phoenix

memiliki karakteristik yin yang kuat, musim yang dibawanya adalah musim

panas, diketahui membawa kebaikan, kebijakan, dan perdamaian pada karakter

Singa. Kura-kura adalah penjaga arah utara, warnanya hitam (kadang-kadang

digelari sebagai Ksatria Hitam), membawa musim dingin, dan elemennya adalah

air, membawa ciri-ciri umur panjang, kemakmuran, dan perlindungan bagi sang

Singa. Sosok ular yang melilit di sekeliling tubuh kura-kura diyakini memberikan

berkah kelahiran kembali, pembaharuan, dan penyembuhan. Chi Lin memberikan

penangkal melawan panah-panah beracun, dan disebutkan bahwa sosoknya akan

muncul apabila seorang bijak lahir atau meninggal. Yang terakhir adalah Macan,

penjaga arah barat, warnanya putih, membawa musim gugur, dan elemennya

adalah logam. Macan Putih dipercaya dapat memangsa roh-roh jahat dan

merupakan simbol dari keberanian dan ketegasan.

Masih diambil dari ajaran Taoisme dan Feng Shui, kita akan dapat

melihat adanya dua tonjolan pada sisi tanduk. Dikatakan bahwa bentuk ini

mewakili tonjolan gaya rambut para rahib-rahib muda Tao. Hal ini menunjukkan

bahwa pertunjukan singa erat kaitannya dengan ajaran Taoisme. Sebagai

tambahan, gambaran artistik tambahan dari bunga krisantemum dilukiskan pada

bagian atasnya. Bunga krisantemum merupakan metafora dari umur panjang

sebagaimana dalam bahasa Tionghoa, kata ‘bunga’ pengucapannya mirip dengan

kata ‘selamanya’. Di sekitar cermin pada dahi singa, dapat dilihat motif-motif

seni seperti lima awan dan lima kelelawar untuk beberapa nama. Kata untuk

70

Page 77: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

awan adalah “Yun/Wan ( 雲 )” dan bunyinya seperti kata “Yun/Wan ( 運 )” yang

berarti beruntung. Motif awan yang tersebut juga mirip dengan batang Ruyi dan

Ling Zhi atau lebih dikenal dengan jamur/bunga keabadian. Dengan bentuk pola

yang diulang-ulang, awan ini menjadi simbol untuk keberuntungan yang tidak

pernag berakhir. Sementara itu, lima kelelawar disini melambangkan lima

berkat/rahmat. Karena kata untuk kelelawar fu/fuk ( 福 ) merupakan representasi

berkat/kebahagiaan/keberuntungan yang baik. Kelima berkat tersebut adalah

umur yang panjang, kesehatan, kemakmuran, cinta kebajikan, dan kematian yang

tenang. Gambaran artistik lainnya yang terdapat pada tubuh Barongsai adalah

ikan mas (liyu) yang pengucapan mirip seperti sebuah frasa “kelebihan dari

keuntungan”.

2. Tanduk Pada Kepala Singa

Tonjolan pada kepala Singa disebut dengan Jaio Chi (角髻); Jiao berarti

tanduk dan Chi berarti kepala. Ada peribahasa Tionghoa yang bunyinya “Tou

Jiao Cheng Yung”, berarti “Tanduk Pada Kepalamu Memberikan Penampilan

yang Istimewa”. Ungkapan ‘tanduk’ disini tidak dimaksudkan sebagai arti

harafiah, namun dimaksudkan sebagai gaya rambut atau penutup kepala yang

digunakan di atas kepala orang-orang Tionghoa di masa sebelum datangnya

Bangsa Manchu untuk menaklukkan Cina. Sementara ketika masa pemerintahan

Manchu, orang-orang disana dipaksa untuk mennguncir rambut mereka, dan bagi

yang menolak untuk memakainya kepala mereka akan dipenggal. Beberapa orang

71

Page 78: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

bertanya-tanya mengapa singa Barongsai memiliki sebuah tanduk di atas

kepalanya. Hal ini diduga bermula di awal pemerintahan Dinasti Tang, patung-

patung singa pada saat itu digambarkan memiliki semacam tonjolan di kepalanya,

dan banyak orang yang menganggap tonjolan itu sebagai tanduk. Kemudian

dipercayai bahwa tanduk dalam kebudayaan Tionghoa merupakan simbol dari

kekuatan supranatural.

Di awal kedatangannya singa merupakan sebuah hadiah yang langka dari

negara lain untuk diberikan kepada pemerintah Cina. Setelah itu gagasan sosok

singa sebagai hewan suci mulai diterapkan seiring dengan pengenalan agama

Buddha dimana sosok singa dianggap sebagai penjaga dari agama Buddha. Dari

gambarannya kita dapat menentukan jenisnya, jika memiliki taring yang panjang,

maka disebut sebagai seekor hewan karnivora, jika memiliki tanduk yang lancip,

merupakan seekor hewan yang memakan tumbuhan (herbivora). Hal yang aneh

adalah banyak hewan-hewan yang dianggap membawa kebaikan bagi bangsa

Tionghoa memiliki taring panjang dan tanduk lancip, dipercaya bahwa orang-

orang di zaman dahulu dalam hal menunjukkan keistimewaan status hewan-

hewan mulia itu, memberikan gambaran kepada hewan-hewan mulia memiliki

tanduk lancip dan taring panjang, alasannya adalah untuk menggambarkan bahwa

hewan-hewan mulia ini memiliki kekuatan dari hewan karnivora dan sifat mulia

dari karakter hewan herbivora yang tidak haus darah. Hal ini sejalan dengan

tradisi agama Buddha yang pendiri serta para biksunya merupakan vegetarian.

72

Page 79: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Dua jenis tanduk yang paling dikenal terdapat pada Singa Selatan adalah

batang bambu di puncak kepala dengan ujung yang runcing (dinamakan begitu

karena penampilan fisiknya dan biasanya dijumpai pada kepala Singa Fat San).

Kemudian ada tanduk yang bentuk ujungnya menyerupai kepalan tangan

(biasanya dijumpai namun tidak terbatas pada kepala Singa Hok San). Dalam

masyarakat Tionghoa, bambu merupakan simbol dari panjang umur dan

keberanian di tengah-tengah kesulitan serta kesopanan. Batang bambu disini

merupakan representasi dari jiwa muda serta langkah-langkah yang sigap dari

para prajurit muda, sedangkan tanduk yang menyerupai kepalan tangan

menggambarkan tanduk singa tua yang telah menjadi tumpul karena telah

melewati banyak waktunya dalam medan pertempuran.

Gambar 3.3:

Tanduk Batang Bambu

/

Gambar 3.4

73

Page 80: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Tanduk Kepalan Tangan

Seiring berjalan waktu tanduk ini kemudian dicat dengan warna hitam.

Warna hitam dikenal sebagai warna langit dalam Yi Jing (Kitab Perubahan).

Ungkapan yang menyebutkan “langit dan bumi adalah hal yang misterius dan

hitam (gelap)” berakar dari perasaan orang-orang zaman dahulu ketika melihat

langit utara menunjukkan warna hitam misterius untuk periode waktu yang lama.

Mereka mengira bahwa Bintang Utara adalah tempat Tian Di (Kaisar Langit)

bertakhta. Oleh karena itu, warna hitam dianggap sebagai raja dari semua warna

dalam tradisi kuno Tionghoa. Warna hitam juga merupakan satu-satunya warna

yang diagungkan dalam kebudayaan Tionghoa. Dalam diagram Taiji masyarakat

Tionghoa, hitam dan putih digunakan untuk melambangkan kesatuan dari Yin

dan Yang.

3. Bunga Pita Merah

74

Page 81: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Sebelum membahas tentang bunga pita merah, yang pertama kali harus

dipahami adalah makna warna merah yang dianggap sebagai simbol pembawa

keberuntungan bagi masyrakat Tionghoa. Warna merah merupakan warna yang

mewakili matahari (melamabangkan kekuatan) yang warnanya sama dengan

warna api (yang digunakan untuk melawan hewan buas). Selain itu, warna merah

juga dianggap memancarkan perasaan kehangatan dan kebahagiaan. Kemudian,

warna merah juga adalah metafora dari warna darah, darah sendiri merupakan

kekuatan hidup yang mendorong semua kehidupan. Dalam bahasa Tionghoa

untuk kata-kata “besar” (宏) dan “luas” (洪) pengucapannya mirip dengan kata

merah (红), oleh karena itu setiap hal yang mengandung warna merah memiliki

kekuatan yang besar.

Sebagai tambahan, kata “pita” dalam bahasa Tionghoa adalah dai ( 带 )

yang juga memilki arti lain yakni “membawa”. Karakter huruf Tionghoa lainnya

yang memiliki pengucapan yang sama yakni “generasi” (代). Ketika sebuah pita

terlihat mengikat dua atau lebih benda-benda yang membawa kebaikan, makna

yang tersirat tentang pita merah ini adalah “membawa (sifat-sifat baik seperti

nasib baik, keberuntungan) kepada tiap generasi”.

Gambar 3.5

75

Page 82: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Bunga Pita Merah

Berdasarkan mitologi rakyat Tionghoa tentang pita merah, seekor singa

dijinakkan oleh seorang biksu Buddha dengan selempang merahnya setelah

melihat kekacauan yang telah dilakukan terhadap penduduk setempat oleh sang

singa. Setelah mempelajari ajaran agama Buddha, sang singa kemudian melayani

sebagai penjaga bagi masyarakat yang semula diganggunya. Cerita lain

mengungkapkan bahwa sang singa dipenggal dan diusir dari kahyangan oleh

Kaisar Langit setelah dia memakan bunga keabadian yang seharusnya dijaganya.

Dewi Guan Yin kemudian berbelas kasihan kepada sang singa dan

menyambungkan lagi kepalanya dengan menggunakan pita merah, pita ini

kemudian juga membantu singa dalam melawan roh-roh jahat dan kemalangan.

4. Cermin Pencerahan Nirwana

76

Page 83: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Pada dahi Barongsai terdapat sebuah piringan berbahan besi yang

melambangkan Cermin Pencerahan Nirwana. Cermin berbentuk bulat ini

dimaksudkan untuk melambangkan keabadian, tapi lebih khususnya adalah

pencerahan dan kebijaksanaan yang abadi. Cermin ini dimaksudkan untuk

menyerap tiga sumber cahaya yang hebat, yakni matahari, bulan, dan bintang.

Namun, cermin ini tidak hanya digunakan untuk hanya menerima ketiga sumber

cahaya ini untuk meningkatkan kekuatan, namun juga dapat melepaskan

kekuatan baik dari cahaya-cahaya ini untuk menyingkap, menangkal, menekan,

dan menghilangkan sifat-sifat jahat. Dan juga, diyakani pada saat roh-roh jahat

melihat bayangan mereka di cermin itu akan kekejian mereka sendiri. Hal ini

sama ibaratnya ketika seseorang telah melakukan suatu tindakan yang salah,

kemudian melihat bayangan dirinya sendiri di cermin lalu tidak dapat

menghadapainya karena dia melihat sikap jahat dan buruk yang terpancar ke luar.

77

Page 84: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Gambar 3.6

Cermin Pencerahan Nirwana terletak

pada dahi di antara kedua mata Barongsai

Terdapat juga alasan mengapa menempatkan cermin di atas kepala singa.

Dalam kebudyaaan Tionghoa, hal ini melambangkan dengan apa yang disebut

dengan “mata ketiga”, “mata Buddha”, “mata kahyangan”, “mata batin”, atau

“mata dewa”. Dalam kebudayaan kuno agama Buddha dan Hindu, cermin ini

menjadi simbol dari bentuk pencerahan dan disebut juga sebagai “mata

kebijaksanaan”. Dalam agama Tao, disebut dengan mata batin dan merupakan

salah satu pusat chakra utama. Diyakini ketika seseorang mengasah mata batin

mereka, maka mereka juga membangun intuisi mereka serta membangun

kemampuan untuk menggunakan indra subjektif mereka.

78

Page 85: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

3.4 Barongsai dan Kaitannya dengan Warna

Pada awal penciptaannya, seniman yang menciptakan Barongsai Selatan

terinspirasi dari novel “Romansa Tiga Kerajaan”. Warna-warna dari Barongsai

Selatan ini didasari pertama kali berdasarkan ketiga karakter utamanya.16

Karakter pertama yang menginspirai warna Barongsai adalah Lau Pei

(Liu Bei – 劉 備 ), digambarkan dengan warna dasar kuning/emas di wajahnya.

Secara simbolis, warna ini mewakili beberapa hal. Pertama merupakan warna

kulitnya, kedua menggambarkan kebijaksanaannya, dan yang ketiga adalah

karena warna kuning (atau warna dari Kekaisaran seperti yang sudah diketahui di

Cina) hanya diperuntukkan bagi Kaisar. Pada bagian wajah terdapat janggut putih

panjang yang menggambarkan kebijaksanaan dan kedudukan yang lebih tinggi.

Kadang-kadang ditampilkan juga sebuah ao yu atau jambul elang di tempat

tanduk bambu berada. Ekornya berwarna-warni yang melambangkan lima

elemen dalam tradisi Tionghoa. Pada ikatan lehernya terdapat tiga koin, masing-

masing mewakili kebijaksanaan, kebajikan, dan keberanian (智, 仁, 勇 – zhi, ren,

dan yong). Bagi masyarakat Tionghoa jenis singa ini disebut sebagai Singa

Pembawa Keberuntungan (Rui Shih).

16“Romansa Tiga Kerajaan” mengambil setting waktu ketika runtuhnya kejayaan Dinasti Han. Tiga lelaki kemudian mengucapkan sumpah persaudaraan di taman persik untuk sama-sama mengembalikan kejayaan Dinasti Han. Adalah yang tertua bernama Lau Pei (Liu Bei), merupakan keturunan bangsa Han, dia juga sosok yang menemukan Kerajaan Shu dan menjadi penguasa pertamanya. Saudara yang kedua bernama Kwan Yu (Guan Yu). Yang terakhir bernama Jeung Fei (Zhang Fei). Kemungkinan besar mengapa warna kostum Barongsai didasari pada ketiga karakter ini dikarenakan sebagian besar etnik Tionghoa percaya bahwa mereka adalah keturunan bangsa Han, sehingga ketika menciptakan suatu bentuk kesenian pun haruslah berdasarkan latar belakang sejarah mereka.

79

Page 86: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Gambar 3.7:

Singa Hitam dan Singa Kuning/Emas

Kedua adalah Kwan Yu (Guan Yu – 關 羽 ), dikenal memiliki wajah

kemerahan (diceritakan wajah merah Guan Yu didapat ketika dia berusaha

melindungi seorang gadis dari gangguan penjahat lokal. Ayahnya, seorang

pejabat korup, berusaha membalas dendam padanya dengan cara menjebaknya

dalam sebuah kuil kemudian membakarnya hidup-hidup). Warna dasar merah

juga dicampur dengan warna hitam melambangkan kebajikan, kesetiaan, dan

keberanian Jenderal Guan. Singa jenis kedua ini menggunakan apa yang disebut

dengan mata burung phoenix. Pada ikatan lehernya terdapat dua koin, mewakili

kebijaksanaan an keberanian. Janggutnya panjang dan hitam, seperti Jenderal

Guan yang dikenal sebagai Bangsawan dengan Janggut Indah. Ekornya berwarna

merah dengan hiasan berwarna hitam. Singa jenis ini dikenal sebagai Singa

Bangun (Xing Shi).

80

Page 87: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Gambar 3.8:

Singa Merah

Yang ketiga adalah Jeung Fei (Zhang Fei – 張 飛 ), singa ini memiliki

wajah hitam karena dikatakan bahwa Jenderal Jeung memiliki warna kulit muka

yang gelap. Warna hitam juga melambangkan jiwa muda, lugas, dan bersifat

memberontak yang merupaka ciri-ciri Zhang Fei. Singa jenis ini juga memiliki

ciri janggut hitam yang pendek dan tebal, kedua mata berwarna merah,

tekinganya menyerupai bentuk kembang kol, dan taring. Semua ciri-ciri ini

ditambahkan untuk memberi kesan mengancam pada singa. Ekornya diwarnai

dengan warna hitam dan putih dengan lonceng menghiasi tubuhnya, fungsi

lonceng ini untuk memberi peringatan, kira-kira sama dengan fungsi derik pada

ular derik. Selain itu, lonceng juga dipercaya memiliki kekuatan pada dunia

spiritual. Pada ikatan lehernya terdapat satu koin yang melambangkan

keberanian. Tanduk yang dipakai pada singa ini adalah tanduk besi, hal ini

81

Page 88: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

didasari pada fakta bahwa singa ini merupakan Singa Petarung (Dou Shi) karena

sifat Jenderal Zhang yang senang bertarung.

Kemudian tiga jenis Singa ditambahkan pada jenis singa-singa Barongsai.

Yang pertama adalah Jiu Wan (Zhao Yun – 趙雲) atau Jiu Ji Lung (Zhau Zi Long

– 子 龍 ). Singa ini memiliki buntut berwarna hijau dengan janggut dan bulu

berwarna hitam serta sebuah tanduk besi. Zhao sering disebut sebagai saudara

keempat. Cerita yang berkembang menyebutkan ketika pasukan Lau Pei

dikalahkan dan kotanya dirampas oleh musuh, mereka dipaksa untuk keluar dari

kotanya. Di tengah kekacauan, Lau Pei terpisah dari keluarganya. Ketika

mendengar kabar ini, Jiu Wan pergi ke daerah kekuasaan musuh dan berhasil

menemukan dan menyelamatkan bayi laki-laki Lau Pei dengan cara menerobos

jutaan orang pasukan tentara musuh. Singa hijau ini dikenal sebagai Singa

Heroik/Perwira (Ying Xiong shi).

82

Page 89: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Gambar 3.9:

Singa Hijau

Singa berwajah kuning (lebih tepatnya kuning dengan corak jingga dan

kadang dikatakan memiliki warna dasar putih dengan pola kuning) dan tubuhnya

berwarna kuning serta janggut dan bulu berwarna putih/perak mewakili Wong

Jung (Huang Zhong – 黃忠), dia diberikan warna ini pada saat Lau Pei diangkat

menjadi Kaisar dan sejalan dengan nama depannya Wong yang jika diartikan

berarti warna “Kuning.” Untuk tanduknya, singa ini menggunakan jambul elang.

Singa ini dijuluki sebagai “Singa Kebenaran”.

83

Page 90: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Gambar 3.10:

Singa Kuning dengan corak jingga

Yang terakhir adalah singa dengan warna dasar putih yang dikenal

sebagai Ma Chiu (Ma Chao – 馬 超 ); Ma Chiu dilambangkan dengan warna ini

dikarenakan dia selalu menggunakan kain putih yang digulungkan di lengannya

ketika bertarung melawan Kaisar Negeri Wei, Chao Chao (Cao Cao), kain putih

ini berfungsi sebagai pengingat dukanya atas ayah dan adiknya yang dibunuh

oleh Chao Chao. Hal ini dikarenakan karena Chou Chou yang baru diangkat

sebagai Perdana Menteri yang baru mengetahui rencana mereka untuk

mengembalikan kejayaan Dinasti Han dengan cara merebut kekuasaan darinya.

Kemudian dalam peperangan Ma Chiu memiliki sepasukan tentara berjumlahkan

84

Page 91: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

20.000 yang keseluruhannya menggunakan pakaian putih ketika melawan Chao

Chao. Berdasarkan cerita inilah singa putih sering disebut sebagai “Singa

Pemakaman”, sementara yang lain menyebutnya sebagai “Singa Berbakti”.

Gambar 3.11:

Singa Putih

Satu-satunya warna lain yang juga digunakan pada singa ini adalah hitam.

Pita putih dililitkan di daerah sekitar tanduk untuk melambangkan kain putih

yang digunakan oleh Ma Chiu. Singa jenis ini hampir tidak pernah

dipertontonkan untuk kepentingan umum kecuali untuk pemakaman seorang Sifu

(guru), petinggi-petinggi penting kelompok pertunjukan Barongsai (presiden),

dan bahkan dalam beberapa kasus Barongsai ini juga ikut dibakar untuk dapat

menemani jiwanya di akhirat. Namun seiring perkembangannya mengikuti

85

Page 92: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

konteks hiburan, dalam pertunjukan Barongsai, jenis Singa Putih acapkali

ditampilkan. Pada saat penampilan di Vihara Maitreya pun singa ini turut

ditampilkan.

Oleh karena itu kelima jenis singa ini sering dikenal sebagai “Lima

Jenderal Macan Shu”, dan kelimanya juga disebut sebagai perwakilan dari lima

warna oleh kelima elemen.

3.5 Alat Musik

Bangsa Tionghoa membagi alat musik kedalam delapan kategori

berdasarkan pembagian oleh Ba Gua. Yang mengiringi pertunjukan Barongsai

adalah termasuk dalam kategori besi, kayu, dan kulit, yakni gong dan simbal

(besi), anak genta/clappers (kulit), dan tambur/gendang (kulit). Namun demikian,

seiring perkembangan waktu, penggunaan anak genta telah lama diganti

fungsinya dengan efek suara yang ditimbulkan dari pukulan stik pemukul pada

lingkaran sisi gendang, keduanya, sisi gendang maupun stik pemukul gendang

terbuat dari bahan kayu, sehingga menghasilkan bunyi yang sama seperti yang

dihasilkan oleh anak genta. Jumlah pemain musik pada pertunjukan Barongsai

yang ditampilkan pada perayaan Cap Go Meh adalah enam orang. Satu orang

memainkan gendang, satu orang memainkan gong, dan empat orang memainkan

simbal.

86

Page 93: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Gambar 3.12:

Pemain musik memainkan

alat musik pengiring Barongsai

Dalam pertunjukan musiknya, gendang dimainkan oleh satu orang

menggunakan sepasang pemukul/stik dari kayu. Bagian yang dipukul dari

gendang ini adalah bagian atas yang terbuat dari kulit dan juga bagian sisi luar

yang terbuat dari kayu. Suara gendang melambangkan suara singa atau raungan

singa yang mewakili suasana hati dan emosinya. Pemain gendang mengatur

bunyi yang pas untuk singa, namun apabila dimainkan dalam kelompok yang

telah terlatih, pemain gendang tidak perlu diberi komando, karena sudah dapat

mengikuti langkah dan pergerakan penari Barongsai. Banyak orang yang

berpikiran bahwa ritme yang dihasilkan oleh alat ensambel ini bersifat random

dan monoton, padahal terdapat aturan ketukan atau pola yang digunakan dalam

87

Page 94: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

sebuah pertunjukan. Contohya dengan memainkan tempo yang cepat, pemain

mengarahkan Barongsai dalam suasana bahwa dia dalam keadaan bersemangat,

tempo yang cepat dengan suara pukulan-pukulan yang kuat, menandakan bahwa

sang singa sedang marah. Jika pemain musik memainkan tempo yang lambat dan

suara pukulan lembut, menandakan bahwa sang singa sedang behati-hati dan

berpikir, tempo lambat dan suara pelan serta sesekali ketukan irama yang

tersentak-sentak menandakan bahwa sang singa sedang sedih. Alat musik

gendang mewakili sosok Master dalam sebuah kelompok pertunjukan. Oleh

karena itu, apabila sang Master tidak ikut dalam pertunjukan, singa Barongsai

akan memberikan hormat kepada gendang dengan menekukkan ketiga kakinya.

Dan pula dalam tradisi etnik Tionghoa, gendang merupakan instrumen yang

dianggap paling penting, seperti dapat dilihat fungsinya yang dipakai saat perang,

dalam kehidupan sosial, fungsi dalam agama, dan juga untuk kepentingan

hiburan musikal.

88

Page 95: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Gambar 3.13

Alat Musik Gendang/Tambur (鼓/gǔ)

Terdapat kekeliruan terhadap bahan kulit yang dipakai untuk gendang,

banyak yang meyakini bahwa kulit itu adalah berasal dari kulit sapi dikarenakan

terjemahan langsung dari kata bahasa Tionghoa untuk kata lembu jantan. Lebih

tepatnya kulit bahan gendang berasal dari kulit kerbau air kemudian dikeringkan

oleh bahan minyak khusus. Kulit ini dipasang pada bingkai kayu kemudian

dipaku, setelah itu diketatkan menggunakan tali khusus, selain itu kertas kasa

yang juga digunakan pada tubuh Barongsai digunakan untuk melapisi bingkai

kayu. Pernis digunakan untuk memoles bahan kayu, bahan pernis berfungsi untuk

menjaga suara yang dihasilkan agar tidak keluar dari sisi-sisi yang terbuka. Untuk

89

Page 96: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

mengeringkan kulit, biasanya dengan cara alami yaitu menjemurnya di bawah

sinar matahari.

Pada masyarakat Tionghoa, gong (luo) masuk kedalam kategori alat

musik lonceng. Alat musik ini dimainkan oleh satu orang menggunakan

pemukul/stik. Gong terbuat dari bahan metal dan stiknya dari bahan kayu.

Biasanya, gong dengan bentuk kecil kadang disebut dengan ling ( 鈴 ). Kata

‘lonceng’ dalam bahasa Tionghoa merupakan homonim untuk kata ‘perintah’ (令)

dan ‘dunia spiritual’ ( 靈 ). Oleh karena itu gong diyakini memiliki kuasa atas

dunia spiritual dan dapat memerintah mereka.

Gambar 3.14

Alat musik gong (锣/luó)

90

Page 97: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Dalam pertunjukan Barongsai yang dimainkan di Maha Vihara Maitreya,

simbal dimainkan oleh empat orang yang masing-masing memainkan sepasang

simbal. Simbal terbuat dari bahan metal. Berdasarkan tradisi Taoisme, alat musik

simbal (Nao Ba – 鐃 鏺 ) adalah sebuah alat musik ritual. Menurut sebuah buku

berjudul “Jade Book of Supreme Clarity” (Taiqing Yuche – 太清玉冊), dikisahkan

Chi You mengendarai harimau dan leopard dalam melawan Kaisar Kuning.

Kaisar Kuning kemudian membunyikan simbal untuk mengusir mereka, karena

binatang-binatang buas tersebut takut akan bunyi simbal. Selain itu, tulisan dalam

Buku YiBao (Yibao Jing Zhu – 夷寶經注) disebutkan bahwa “Dewa Tertinggi

Maha Suci dan Ptnyelamat dari Segala Kesengsaraan” (Taiyi Jiuku Tianzun – 太乙救苦天尊) menunggangi singa berkepala sembilan (Jiu Tou Shizi – 九 頭 獅 子)

yang ketika mengaum mengeluarkan suara seperti yang dihasilkan oleh simbal

dan dapat menghancurkan berbagai tingkatan neraka dengan suaranya (Lee,

2000).

91

Page 98: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Gambar 3.15

Alat musik simbal (钹/bó)

3.6. Delapan Emosi Utama Singa – Baht Ying (八形)

Para penari dalam memainkan kepala serta tubuh singa seiring dengan

permainan musik haruslah mampu menirukan/mencerminkan emosi manusia.

Ketika orang-orang menonton pertunjukan Barongsai, mereka harus dapat

melihat dan merasakan apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh singa. Penonton

harus dapat mengerti emosi yang dirasakan singa ketika menonton tingkah

lakunya serta ketika mendengarkan ritme dari tabuhan gendang. Awalnya hanya

terdapat delapan emosi singa yang ditampilkan, namun kemudian ditambahkan

dalam cakupan yang lebih. Emosi yang awalnya delapan, kemudian dibagi lagi

ke dalam beberapa kelompok, namun Delapan Emosi Utama Singa (Baht Ying –

92

Page 99: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

八 形 ) dibawah ini adalah yang umumnya dipakai oleh tim kesenian Barongsai,

begitu juga oleh tim Barongsai Maha Vihara Maitreya.

1. Hei/Xi (喜): senang, suka, cinta, menikmati hal-hal yang menggembirakan.

2. Nou/Nu (怒): marah

3. Ging/Jing (驚): takut

4. Lok/Le (樂): senang, puas, bangga, bahagia

5. Yi (疑): curiga, ragu, bertanya-tanya, waspada

6. Jeui/Zui (醉): mabuk

7. Seui/Shui (睡): tidur

8. Sing/Xing (醒): waspada, bangun, terkejut

Tambahan:

Oi/Ai (哀): sedih

Sīwéi (思维): berpikir

Yù (欲): menginginkan, hasrat

Dēngshān (登山): naik gunung

Xiàshān (下山): turun gunung

Delapan emosi utama dan cara penonton melihat Barongsai menunjukkan

perasaannya:

1. Tidur: tabuhan gendang bergulir, penari masuk dalam posisi hampir duduk

sementara kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, kelopak mata secara

93

Page 100: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

perlahan tertutup dan terbuka secara berulang-ulang hingga akhirnya

matanya benar-benar tertutup.

2. Kaget/terkejut: Barongsai dimainkan seperti mencari air minum, ketika dia

melihat bayangannya sendiri atau bayangan sesuatu yang terlihat di

pandangannya, Barongsai akan mengedipkan matanya dan lompat ke

belakang kemudian mengedipkan matanya lagi.

3. Curiga/waspada/berpikir: Barongsai melihat kepada suatu objek atau situasi,

memerhatikannya dari atas ke bawah dan kiri ke kanan dengan gerakan yang

lambat dan waspada, sementara musik yang dimainkan bersifat lembut,

pelan, lambat, dan berulang-ulang.

4. Ketakutan: Badan Barongsai gemetaran. Beberapa kelompok pertunjukan

Barongsai cenderung menggoyangkan badannya terlalu cepat dan bukan

terlihat ketakutan, Barongsai justru kelihatan seperti seekor anjing yang

terengah-engah.

5. Mabuk: Seperti halnya manusia yang kakinya goyah kemudian tersandung

dan jatuh apabila dalam keadaan mabuk, begitu pula dengan Barongsai ini.

Sama juga seperti orang mabuk, Barongsai akan mencoba untuk bangkit,

namun kemudian jatuh lagi. Matanya terlihat sayu dan berat, antara

membuka dan menutup, terlihat canggung. Gerakan mulut dimainkan sama

dengan gerakan mata.

6. Marah: mulut ditutup, kepala diangkat tinggi, melangkah dengan cepat dan

mantap, kepala bergerak-gerak dari atas ke bawah dengan kecepatan tinggi.

94

Page 101: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Melakukan gerakan kaki menghusap janggut (terkadang sering

disalahartikan dengan membersihkan janggut).

7. Senang/bahagia: mulut terbuka, langkah dan gerakannya mirip dengan

seorang anak kecil yang mendapatkan hadiah yang diinginkannya disaat hari

ulang tahunnya. Ekor bergerak-gerak seperti seekor anjing yang gembira

melihat tuannya.

8. Sedih: emosi ini utamanya ditampilkan pada saat pemakaman. Barongsai

akan akan bergerak sangat perlahan dengan berat hati, berkalan selangkah,

dua langkah, berhenti pada interval, kemudian melangkah lagi. Disaat

berjalan, matanya setengah tertutup kemudian tertutup, dan berulang terus.

Barongsai akan terlihat seolah-olah mengambil napas yang dalam kemudian

menghembuskannya seolah-olah sedang mendesah dengan beratnya. Emosi

ini tidak akan ditampilkan pada perayaan yang ditujukan untuk membawa

kebahagiaan dan keberuntungan untuk menghidupkan perayaan.

Pada tambahan emosi Barongsai terdapat pergerakan dimana Barongsai

diceritakan melakukan perjalanan naik gunung dan turun gunung. Disini para

pemainnya melakukan atraksi akobatik. Gunung dilambangkan dengan tiang-

tiang dari besi. Ketua tim Barongsai Maitreya, Chandra Tio, menjelaskan bahwa

pada fase ini adalah fase terlama dalam rangkaian pertunjukan Barongsai, karena

dikisahkan medan yang dihadapi oleh singa hingga sampai ke puncak gunung

sangatlah panjang, begitu juga perjalanannya untuk turun gunung.

95

Page 102: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

3.7 Etika Dalam Pertunjukan Barongsai

Terdapat banyak etika yang harus dipatuhi ketika barongsai akan

dipertontonkan ke depan publik. Di manapun barongsai dimainkan, etika yang

harus dipatuhi adalah harus memberikan hormat/salam di awal dan akhir

pertunjukan. Dalam melakukan penghormatan, Barongsai akan menekukkan

kakinya sebanyak tiga kali. Hal ini untuk melambangkan surga, bumi, dan

manusia. Terdapat beberapa arah penghormatan dalam pertunjukan Barongsai.

Arah yang pertama dimulai dari kiri, kanan, dan berakhir di tengah. Arah-arah ini

melambangkan naga hijau, macan putih, dan pusat segala sesuatu. Yang kedua

adalah dimulai dari tengah, kanan, dan kiri. Cara ini mengikuti tradisi dimana

tempat pertunjukan baik kuil maupun halaman istana, bagian tengah adalah

bagian yang terpenting, tempat bertahtanya dewa-dewa penting atau Kaisar.

Sementara dewa-dewa golongan kedua atau para menteri sipil duduk di sebelah

kanan. Dan yang terakhir adalah dewa-dewa umum atau para jenderal duduk di

sebelah kiri.

96

Page 103: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Gambar 3.16

Pemain Barongsai memulai pertunjukan

dengan memberi hormat

Dengan memakai figur singa yang sikapnya selalu waspada, Barongsai

akan selalu mengecek belakang mereka memerhatikan apakah ada yang

membuntutinya. Jika Barongsai dalam menolak bala dan mengusir kesialan pada

sebuah rumah, terlebih dahulu mereka akan membaca tulisan di ambang pintu

setelah menggigit pintunya. Kemudian Barongsai akan mengintip ke dalam

rumah melalui ambang pintu melalui kedua sisi kiri dan kanan untuk melihat

apakah situasi aman. Sebelum masuk, Barongsai akan membersihkan pintu

masuk dari segala nasib buruk. Barongsai akan bergerak dari arah kiri ke kanan,

dan mengitari pintu searah jarum jam. Gerakan ini dilakukan untuk

menggambarkan urutan alami dari matahari terbit hingga tenggelam. Setelah

97

Page 104: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

masuk ke dalam rumah, Barongsai akan membungkuk kepada para penghuni

rumah sebelum dan sesudah menerima angpao.

3.8 Pertunjukan Barongsai

Pada awalnya barongsai merupakan jenis tarian upacara yang bersifat

sakral dan magis, meskipun seiring perkembangannya hingga sekarang,

Barongsai dapat dikategorikan pula sebagai tarian untuk kepentingan pertunjukan

sebagai hiburan. Untuk itu penulis merasa perlu mengikuti jalannya pertunjukan

Barongsai dengan menggunakan instrumen yakni wawancara, observasi dan

dokumentasi, agar penelitian lebih akurat. Berikut jalannya pertunjukan.

Pada hari Selasa, tanggal 7 Februari 2012, peneliti mengamati masyarakat

Tionghoa di Maha Vihara Maitreya menyelesaikan kegiatan sembahyang Cap Go

Meh pukul 18.00 WIB. Setelah selesai sembahyang, barulah pertunjukan

barongsai dimulai pada pukul 19.00 WIB. Pertama-tama yang tampil adalah tiga

barongsai, yakni Singa Hijau, Putih, dan Hitam yang diiringi dengan musik–

terdiri dari gendang, simbal, dan gong–yang dimainkan oleh enam orang. Pada

saat memulai pertunjukan, terlebih dahulu pemain Barongsai memberikan

penghormatan kepada para dewa di tempat terpisah dari penonton (bagian dalam

vihara) dengan sikap menekukkan ketiga kaki mereka menghadap ke arah tengah,

kanan, dan kiri. Arah tengah ini diyakini sebagai pusat segala sesuatu, dan dewa

98

Page 105: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

tertinggi duduk di tengah.17 Setelah itu mereka berbalik dan keluar ke arah

penonton.

Selanjutnya barongsai terus menari dengan iringan musik. Gerakan tarian

yang ditampilkan ini berdasarkan pada emosi-emosi utama Barongsai, jadi

mereka tidak hanya asal memperagakan gerakan.18 Pertunjukan Barongsai ini

terbagai ke dalam dua sesi. Sesi pertama merupakan pertunjukan yang

menampilkan emosi-emosi dasar, seperti bangun tidur, waspada, bingung,

mengamati dengan menampilkan gerakan sederhana dan tidak terlalu akrobatik

diringi musik yang lambat menuju sedang.

Gambar 3.17

rtunjukan Barongsai di sesi pertama

17Wawancara dengan pengurus Vihara bernama Salim

18 Wawancara dengan salah satu pemain Barongsai bernama Vincent

99

Page 106: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Sesi pertama berkahir pada pukul 20.30 WIB, dan para pemain jeda

selama 30 menit. Sesi kedua dimulai pada pukul 21.00 WIB. Dalam sesi kedua

ini mereka melanjutkan pertunjukan dengan menampilkan gerakan-gerakan yang

lebih kompleks dan akrobatik, seperti gerakan marah, mabuk, kaget, dan

gembira. Jenis Barongsai yang ditampilkan adalah Singa Hijau, Kuning, Merah,

dan Hitam, dengan iringan musik dari tempo sedang menuju cepat. Klimaks

pertunjukan sesi kedua ini adalah adegan Barongsai menaiki gunung dan

menuruni gunung (pada pertunjukan ini gunung dilambangkan dengan tiang-tiang

serta meja). Adegan terakhir ini merupakan adegan dengan durasi terlama, karena

memang disiapkan untuk menjadi sajian pertunjukan yang spektakuler.

Gambar 3.18

Pertunjukan Barongsai di sesi kedua

100

Page 107: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Pertunjukan Barongsai berakhir dengan turunnya Barongsai dari gunung,

yang dilanjutkan dengan masuknya Singa Hitam, Putih, dan Hijau yang berjalan

mengelilingi arena pertunjukan. Selama barongsai berkeliling, para penonton

memberikan angpao yang dimasukkan melalui mulut barongsai.

Setelah pertunjukan usai, peneliti mewawancarai tiga orang penonton,

terdiri dua orang Tionghoa, penonton tua dan muda, dan satu orang penonton dari

kalangan non-Tionghoa guna meminta tanggapan mereka akan pertunjukan

Barongsai yang baru usai. Di bawah ini adalah hasil wawancara dengan

ketiganya:

Saya sebagai orang Tionghoa yang gemar menonton Barongsai, sehingga setiap tahun seusai sembahyang saya tidak pernah melewatkannya. Menurut saya pertunjukan tadi sangatlah menghibur, tapi dibalik sifatnya yang menghibur tadi, saya meyakini bahwa pertunjukan Barongsai yang ditampilkan juga menyajikan nilai-nilai spiritual karena kami meyakini fungsinya untuk menolak segala kesialan dan bala di perayaan Cap Go Meh ini. (Wijaya, 57 tahun).

Saya senang dan terhibur lihat Barongsai. Ikut mami papi lihat ini. Saya paling senang kalau Barongsai sudah naik ke atas tiang. Lebih senang lagi ketika memasukkan angpao ke dalam mulutnya, karena saya bisa memegang Barongsai. (Shilin, 11 tahun).

Saya baru kali ini menyaksikan pertunjukan Barongsai, kesan yang saya dapat, warna merah yang paling mencolok. Barongsai ini seperti hewan hidup yah, apalagi ketika dia mengedipkan matanya. Unsur ritme musiknya kental, tanpa melodi, saya dengarnya sama terus dari awal sampai akhir, yang kedengaran suara gendang sama simbalnya itu. Karena penonton yang menyaksikan ramai sekali, saya jadi sedikit bosan. Nggak ada interaksi. Overall penilaian saya untuk Barongsai ini cukup menghibur lah (Andro, 22 tahun)

101

Page 108: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

3.9 Fungsi Pertunjukan Barongsai

Pertunjukan barongsai adalah pertunjukan yang menampilkan gerakan

tari, meskipun sebagian juga mengelompokkannya ke dalam seni bela diri

ataupun akrobatik. Pada pembahasan ini terlebih dahulu akan dibahas fungsi

Barongsai dalam perspektif tari. Substansi tari adalah gerak. Gerak adalah

pengalaman fisik yang paling elementer dalam kehidupan manusia. Gerak ini

tidak hanya terdapat dalam denyutan-denyutan di seluruh tubuh manusia untuk

tetap dapat bertahan hidup, namun gerak juga terdapat pada ekspresi dari segala

pengalaman emosional manusia. Gerakan ekspresif itu disebut dengan Tari

(Martin, 1933).

Menurut pola garapannya, awalnya pertunjukan Barongsai merupakan

jenis tarian tradisional. Disebut sebagai tari tradisional karena Barongsai telah

mengalami perjalanan sejarah yang lama dan selalu bertumpu pada pola-pola

yang sudah ada. Tari tradisional sendiri dibagai lagi ke dalam tiga sub-divisi,

yakni tari primitif, tari klasik, dan tari rakyat.19 Berdasarkan sub-divisi ini ini

pertunjukan Barongsai dapat diklasifikasi sebagai tarian klasik dan tarian rakyat.

19Dalam bukunya Praktik Tari Minang (1999), Arifni Netriroza menyebutkan tiap pengertian dari tari: Tarian primitif (sederhana) adalah tarian yang memiliki bentuk gerak yang belum digarap secara koreografis, gerakan dan iringan musiknya masih sangat sederhana, begitu juga dengan pakaian dan tata riasnya. Tarian klasik adalah bentuk tarian yang semula berkembang di kalanagan raja/bangsawan dan telah mencapai kristalisasi artistik yang tinggi dan telah menempuh perjalanan sejarah yang cukup panjang, sehingga memiliki nilai tradisional. Tarian rakyat adalah jenis tarian yang berasal dari rakyat, dan berkembang di kalangan rakyat itu sendiri

102

Page 109: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Jika dilihat berdasarkan fungsinya, maka pada mulanya Barongsai

dikelompokkan ke dalam jenis tarian upacara20 yang bersifat sakral dan magis,

meskipun seiring perkembangannya hingga sekarang, Barongsai dapat

dikategorikan pula sebagai tarian untuk kepentingan pertunjukan sebagai hiburan

atau concert dance21.

Beberapa alasan yang mendukung pengelompokan tarian Barongsai

sebagai tarian upacara adalah:

1. Gerakan tarinya yang imitatif. Pertunjukan Barongsai menirukan gerakan

seekor singa.

2. Penghayatan tari terbatas pada lingkungan adat dan tradisi masyarakat

empunya kesenian.

3. Terdapat suasana mistis, magis, dan religius. Awal kesenian Barongsai

bertolak pada keyakinan bahwa singa adalah pelindung ajaran agama

Buddha, sehingga Barongsai yang menirukan sosok singa memiliki

peranan yang sama dalam tradisi Tionghoa. Selain itu Barongsai juga

memiliki fungsi sebagai sosok pengusir roh-roh jahat dan kesialan, dan

Barongsai diyakini juga sebagai utusan para dewa untuk melindungi umat

manusia.

4. Iringan musik baik ritme maupun instrumennya sangat sederhana,

terdengar monoton namun menggugah.

20Tarian upacara adalah jenis tarian yang khusus berfungsi sebagai sarana upacara agama dan adat dan banyak dijumpai pada tradisi-tradisi yang memiliki tradisi kuat.21 Concert dance adalah jenis tarian yang ditujukan untuk pertunjukan sebagai hiburan bagi khalayak ramai.

103

Page 110: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

5. Dalam konteks tradisional dan kepentingan ritual, Barongsai tidak

mengenakan properti, make up, dan tata panggung (sound system,

lighting, dan dekorasi) yang begitu rumit.

Curt Sach mengutarakan bahwa fungsi tari secara garis besar dapat

dikelompokkan menjadi dua, yakni untuk tujuan-tujuan magis dan sebagai

tontonan (dalam Soedarsono, 1985a: 18). Sedangkan Soedarsono mengkaji tari

dan mengelompokkan tari ke dalam tiga kelompok, yakni: (1) tari sebagai sarana

upacara, (2) tari sebagai hiburan pribadai, dan (3) tari sebagai tontonan

(Soedarsono (1985a:18).

Penggolongan yang telah dibuat oleh pakar tari ini mengindikasikan

bahwa Barongsai, sebagai suatu tindakan simbolik, merupakan sarana

komunikasi manusia ke tiga arah: (1) “Yang Ilahi”, (2) “Alam-dunia”, dan (3)

“Sesama Manusia”, termasuk dirinya sendiri. Dalam komunikasi itu, manusia

mencoba mengekspresikan diri lewat gerak-gerak tertentu dari bagian tubuh

tertentu. Ekspresi itu dapat berupa penggambaran pendambaan, kemarahan,

kegembiraan, kesedihan. Menilik sifatnya, secara garis besar Barongsai dapat

digolongkan sebagai tarian sakral/religius dan profan/sekuler.

Sifat sakral atau religius pertunjukan Barongsai dapat dilacak pada fungsi

aslinya sebagai upacara ritual pembersihan roh jahat dan penolak bala. Sifat ini

dapat dilihat juga melalui penciptaan awal ksotum Barongsai yang memiliki

filosofi dan nilai seni tinggi menurut tradisi masyarakat Tionghoa. Ciri-ciri

Barongsai yang bersifat ritual juga dapat ditilik dari awal sejarah kemunculannya

104

Page 111: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

yang selalu dimainkan pada waktu, tempat, dan golongan penonton yang telah

terpilih.

Pergeseran makna terjadi di masa kini ketika Barongsai ini mulai

dipertunjukkan dalam konteks hiburan dan tontonan umum. Bahkan Barongsai

kini juga sudah mulai dipentaskan untuk kepentingan lomba. Penonton yang

menyaksikan pertunjukan Barongsai tidak terbatas pada masyarakat Tionghoa

saja, namun dapat disaksikan oleh siapa saja. Barongsai juga tidak hanya

ditampilkan di kuil saja, namun dapat dipanggil ke rumah, dan juga mengisi

hiburan untuk perayaan hari kemerdekaan, peresmian gedung. Meskipun untuk

tujuan hiburan, pertunjukan Barongsai masihlah tetap berakar pada filosofi dan

keyakinan untuk menolak segala bala dan nasib buruk.

Berkaitan dengan fungsi mengacu pada teori Use and Function oleh Alan

P. Merriam, fungsi pertunjukan Barongsai adalah sebagai berikut:

1. Pengungkapan Emosional

Dalam pertunjukan Barongsai, terdapat delapan emosi utama (Baht Ying).

Penonton yang menyaksikan pertunjukan diharapkan mampu menangkap maksud

dari setiap pergerakan yang dilakukan Barongsai. Oleh karena itu, setiap gerakan

yang dimainkan oleh pemain Barongsai tidaklah sama dari awal hingga akhir,

namun berbeda-beda tiap fasenya. Pengungkapan emosi Barongsai disini dapat

dikatakan meniru ekspresi manusia, dimana ada emosi takut, senang, marah,

mabuk, dan lain sebagainya.

2. Kenikmatan Estetis

105

Page 112: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Dalam pertunjukan Barongsai menggunakan topeng dan kostum

menyerupai singa. Topeng dan kostum ini memiliki warna-warna yang indah bila

dipandang mata. Setiap gerakan yang ditampilkan oleh Barongsai pun

mempertontonkan gerakan yang bersemangat dan indah ketika ditampilkan.

3. Hiburan

Seperti yang sudah diungkapkan di atas, Barongsai berkembang sifatnya

menjadi tontonan hiburan. Setiap masyarakat, baik masyarakat Tionghoa maupun

di luar masyarakat Tionghoa diharapkan mampu mendapatkan kesenangan ketika

menonton Barongsai serta musik pengiringnya ditampilkan. Bahkan sekarang

pun kesenian Barongsai sudah banyak yang dilombakan, untuk menambah kesan

menghibur pada sifatnya.

4. Komunikasi

Dalam konteks sebagai pertunjukan tradisional dan sakral, Barongsai

bertujuan untuk mengkomunikasikan makna yang terkandung di dalamnya. Para

pemain pun dididik untuk dapat menyampaikan pesan apa yang dibawa

Barongsai dalam masing-masing gerakannya.

5. Representasi Simbolis

Topeng dan kostum Barongsai mengandung simbol-simbol berdasarkan

filosofi dan sejarah masyarakat Tionghoa. Dalam setiap pertunjukan, setiap

topeng dan kostum Barongsai harus memiliki tiap simbol yang ada, karena

simbol-simbol ini memiliki peran krusial dan harus dipatuhi bila Barongsai

ditampilkan dalam konteks pertunjukan tradisional.

106

Page 113: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

6. Fungsi Respon Fisikal

Ketika musik mulai dimainkan, para penari Barongsai akan merespon

dengan bergerak dan mengatur langkah sejalan dengan ritme. Hentakan ritme

dari alat musik tidak hanya berpengaruh pada pemain saja, namun juga

berpengaruh terhadap penonton, dimana mereka menjadi bersemangat ketika

terlibat dalam euforia yang terjalin antara gerakan-gerakan Barongsai dan

hentakan-hentakan dari alat musik.

7. Fungsi Validasi Lembaga-lembaga Sosial dan Ritual Keagamaan

Dalam konteks tradisional dan religi, Barongsai dipercaya memiliki

fungsi untuk mengusir bala serta hawa jahat dari tempat suci seperti kuil maupun

istana. Setelah Barongsai mengusir segala macam bala kejahatan, dipercaya

keberuntungan akan datang melingkupi tempat dimana Barongsai dimainkan.

Figur singa pada sosok Barongsai juga diyakini sebagai hewan pelindung agama

Buddha. Dalam praktik modern, pertunjukan Barongsai tidak lagi hanya sebatas

dimainkan di dalam kuil ataupun istana tempat tinggal raja, melainkan mereka

dapat diundang untuk mengisi perayaan Hari Kemerdekaan, juga diundang untuk

bermain dalam peresmian gedung atau institusi baru. Kebiasaan ini diyakini

berangkat dari kepercayaan tradisional, yang mana diyakini Barongsai akan

membawa keberuntungan pada tempat dia bermain.

107

Page 114: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

8. Fungsi Kontribusi Demi Kelangsungan dan Stabilitas Budaya

Barongsai dinilai sebagai warisan budaya masyarakat Tionghoa.

Pelakasanaan pertunjukannya haruslah tetap dilaksanakan, karena dalam

pertunjukan Barongsai terkandung banyak sekali nilai-nilai filosofi budaya

Tionghoa, seperti contohnya Barongsai merepresentasikan cerita rakyat dalam

sejarah permainannya, dalam pertunjukan Barongsai juga sangat lekat dengan

kesenian pertunjukan Opera Cina serta ilmu bela diri Tionghoa, yang

kesemuanya haruslah tetap dipertahankan eksistensinya, dan Barongsai

merupakan salah satu media untuk meneruskan nilai-nilai dan tradisi-tradisi

kepada generasi muda masyarakat Tionghoa.

9. Pengintegrasian Masyarakat

Ketika pertunjukan Barongsai dimainkan, masyarakat Tionghoa sebagai

pemilik kebudayaan sudah pasti akan berkumpul untuk menyaksikannya, mereka

berkumpul untuk memetik makna pertunjukan tersebut, yakni mengusir roh jahat

dan kesialan, serta mengundang keberuntungan dan nasib baik. Pada praktik

modern, seperti yang terjadi pada perayaan Cap Go Meh di Maha Vihara

Maitreya, masyarakat non-Tionghoa pun banyak yang hadir untuk menyaksikan

pertunjukan Barongsai, ini dikarenakan mereka ingin melihat pertunjukan yang

sifatnya menghibur mereka. Jadi dapat dilihat disini, bahwa fungsi Barongsai

untuk mengintegrasikan masyarakat bukan hanya terhadap masyarakat pemilik

kebudayaannya, namun juga masyarakat diluar kebudayaannya.

108

Page 115: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

BAB IV

TRANSKRIPSI DAN ANALISIS

4.1 Transkripsi

Transkripsi dan analisis musik penting dilakukan untuk mendeskripsikan

apa yang penulis dengar dan menuliskannya ke dalam bentuk visual (tulisan), dan

kemudian menganilisis peristiwa musik yang terjadi ketika pertunjukan sedang

berlangsung. Nettl (1964:98) menyatakan bahwa transkripsi adalah proses

penotasian bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual. Pentranskripsian

bunyi adalah suatu usaha mendeskripsikan musik.

Dalam pentranskripsian musik, penulis tidak mentranskripsikan

keseluruhan repertoar musik, namun membatasi hanya pada beberapa bagian

saja. Sistem pentranskripsian ini menggunakan notasi Barat, karena penulis ingin

tahu pasti aspek-aspek musikal seperti ritme dan tanda jeda. Metode yang

digunakan adalah metode preskriptif.

4.2 Analisis Struktur Ritme

Musik Barongsai dimainkan dengan durasi 210 menit dan menggunakan

birama 4/4. Repertoar Barongsai terdiri dari tiga pola ritme, yakni pembuka, isi,

dan penutup. Dalam hal ini bahagian pembuka disebut dengan Barongsai I.

109

Page 116: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Kemudian bahagian isi disebut barongsai II. Sedangkan bahagian penutup disebut

barongsai III. Dari hasil transkripsi ritme, penulis mendapat ritme sebanyak 204

birama.

4.2.1 Bahagian Pembuka atau Barongsai I

Dengan menggunakan teknik transkripsi seperti diurai di atas, maka hasil

yang terlihat dalam system yaitu hubungan antara simbal, gendang (drum), dan

gong adalah seperti dapat dilihat dalam bentuk visual notasi-notasi berikut ino.

Khusus untuk bahagian pembuka atau Barongsai I ini dalam bentuk notasi adalah

seperti pada Notasi 4.1 berikut ini.

110

Page 117: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Notasi 4.1:

Bahagian Pembuka atau Barongsai I

1

111

Page 118: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Bagian pembuka dimainkan dengan tempo cepat Allegro =152, MM

(cepat, gembira, dan hidup) terdiri dari 16 birama. Formulanya terdiri dari ritme

(1/4), (1/8), dan (1/16). Sifat ritme yang dimainkan berupa repetisi yang

terdiri dari 16 birama, dengan tempo konstan, yakni tidak ada ritme yang

Accelerando (makin lama makin cepat) maupun Rallentando (makin lama makin

lambat), sehingga dapat dikatakan bahwa permainan ketiga instrumen tetap

konsisten.

Hubungan antara simbal, drum, dan gong adalah sebagai berikut. Simbal

membawakan ritme yang berkecederungan dupel yaitu dalam satu ketukan dasar

dibagi dua. Juga dalam beberapa ketukan dasarnya menggunakan tanda istirahat.

Sementara gendang memainkan ritme yang cenderung kuadrupel dan dupel, dan

paling banyak memunculjan kuadruple, yaitu dalam satu ketukan dasar dibagi

empat. Sementara gong secara konsisten mengisi setiap dua ketukan, yang terdiri

dari pengisian ketukan pertama dan ketiha, dan menggunakan tanda istirahat not

seperempat pada ketukan kedua dan keempat.

Ketiga permainan alat musik ini yaitu simbal, gendang, dan gong

dihubungkan oleh persamaan jatuh pada pukulan arsis (pukulan kuat). Hanya

sesekali saja gendang memainkan pukulan di bahagian tesis (lemah). Ini

menandakan bahwa ritme yang dibangun adalah tegas pada ketukan-ketukan kuat

bukan sebaliknya.

Pola-pola penggarapan masing-masing a;at musik pembawa ritme ini

adalah terikat dalam meter empat dalam birama 4/4. Dalam konteks ini

112

Page 119: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

penggarapan durasi berdasarkan pengisian birama tersebut dapat digambarkan

pada notasi 4.2 berikut ini.

Notasi 4.2:

Penggarapan Durasi Tiga alat Musik

pada Repertoar Barongsai I Berdasarkan Birama

Selanjutnya, stiap alat musik, baik itu gong, simbal, dan gendang,

menghasilkan pola-pola ritme dan motifnya, terutama gendang dan simbal.

Sedangkan gong hanya menghasilkan satu motif ritme saja, yaitu gabungan not

seperempat dan tanda istirahat seperempat setiap dua ketukan dasar. Sementara

gendang memiliki pola ritme dan motif yang relative banyak (kaya) dibandingkan

dua alat music lainnya. Kemudian simbal juga memiliki beberapa pola ritme dan

motif-motifnya. Selengkapnya pola-pola ritme dan motif-motif ritme pada music

113

Page 120: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

barongsai bahagian pembuka (Barongsai I) adalah seperti analisis pada notasi 4.3

berikut ini.

Notasi 4.3:

Pola Ritme dan Motif Ritme Simbal, Gendang, dan Gong

pada Repertoar Barongsai I

114

Page 121: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

4.2.2 Bagian Isi (Barongsai II)

Pada bagian isi, permainan musik terdiri dari 67 birama, dimainkan

dengan tempo cepat Allegreto = 100 MM, dengan formula ritme (1/4),

(1/8), dan (1/16), dan bersifat repetisi. Dalam fase ini, pada birama 1-5, terdapat

Accelerando-Rall. Emosi yang ditampilkan pada bagian ini adalah baru bangun

dari tidurnya dan hendak meminum arak dalam keadaan terkantuk-kantuk. Pada

birama 6-9, kembali bersifar Accelerando-Rall, dimana singa terus meminum

arak sembari mengelilingi area pertunjukan. Pada birama 10-22 terdapat simbol

(fermata), dimana singa mulai terhuyung-huyung karena mabuk. Pada

birama 23-31 adalah bagian ketika singa mabuk dan menaiki meja sambil

berputar-putar. Pada birama 32-56 adalah bagian singa terus berputar di atas meja

tetap dalam keadaan mabuk sambil memandang ke sekeliling. Pada birama 57-67

adalah bagian singa turun dari meja dan sesampai di lantai barulah singa menjadi

sadar.

Hubungan permainan ritme antara simbal, gendang dan gong adalah

sebagai berikut. Alat musik simbal membawakan ritme yang berkecederungan

dupel yaitu dalam satu ketukan dasar dibagi ke dalam dua not yang sama

nilainya, yakni masing-masing setengah ketukan. Kemudian dalam beberapa

ketukan dasarnya menggunakan tanda istirahat. di sisi lain alat music gendang

memainkan ritme yang cenderung kuadrupel dan dupel, dan paling banyak

memunculkan kuadruple, yaitu dalam satu ketukan dasar dibagi empat.

115

Page 122: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Sementara gong secara konsisten mengisi setiap dua ketukan, yang terdiri dari

pengisian ketukan pertama dan ketiha, dan menggunakan tanda istirahat not

seperempat pada ketukan kedua dan keempat.

Notasi 4.4:

Bahagian Isi atau Barongsai II

116

Page 123: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

117

Page 124: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

118

Page 125: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

119

Page 126: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Permainan ketiga alat musik dalam ensambel barongsai ini yaitu simbal,

gendang (drum), dan juga gong, dihubungkan oleh persamaan jatuh pada pukulan

arsis (pukulan kuat). Hanya sesekali saja gendang memainkan pukulan di

bahagian tesis (lemah). Teknik permainan seperti ini menandakan bahwa ritme

yang dibangun adalah tegas pada ketukan-ketukan kuat bukan sebaliknya.

Dampak musikalnya adalah untuk menguatkan kesan gerakan-gerakan penari

barongsai dalam melangkah sesuai dengan ketukan kuat.

Formula atau format penggarapan masing-masing a;at musik pembawa

ritme ini adalah terikat dalam meter empat dalam tanda birama atau tanda sukat

4/4. Dalam kaitan ini, penggarapan durasi berdasarkan pengisian birama tersebut

dapat digambarkan pada notasi 4.5 berikut ini.

Notasi 4.5:

Penggarapan Durasi Tiga alat Musik

pada Repertoar Barongsai II Berdasarkan Birama

120

Page 127: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Seterusnya masing-masing alat musik ensambel pengiring tarian

barongsai ini, yaitu gong, simbal, dan gendang, menghasilkan pola-pola ritme

dan motifnya, terutama gendang dan simbal. Di lain sisi, gong secara khusus

hanya menghasilkan satu motif ritme saja, yaitu gabungan not seperempat dan

tanda istirahat seperempat setiap dua ketukan dasar. Alat musik gendang (drum)

memiliki pola ritme dan motif yang relatif lebih bervariasi atau variatif,

dibandingkan dua alat music lainnya, yatu gong dan simbal. Sementara itu

simbal juga memiliki beberapa pola ritme dan diperkaya dengan motif-mor=tif

ritmenya. Secara lengkap pola-pola ritme dan motif-motif ritme pada musik

barongsai Bahagian Isi (Barongsai II) adalah seperti analisis pada Notasi 4.6

berikut ini.

121

Page 128: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Notasi 4.6:

Pola Ritme dan Motif Ritme Simbal, Gendang, dan Gong

pada Repertoar Barongsai II

122

Page 129: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

123

Page 130: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

124

Page 131: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

125

Page 132: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

4.2.3 Barongsai III

Akhirnya di bagian penutup, permainan musik dimainkan dengan tempo

sangat cepat Vivace = 172 MM, terdiri dari 124 birama. Pada birama 1-15

permainan musik sangatlah bersemangat, karena bagian ini merupakan bagian

singa ketika berjalan menuju gunung. Pada birama 60-86, permainan instrumen

menjadi Spicanto (pukulan ritme dimainkan dengan jelas satu per satu), saat ini

singa sedang menari dengan gerakan akrobatik di puncak gunung, melambangkan

keperkasaan. Pada birama 87-124, permainan ritme menjadi Vigoroso

(bersemangat dan bertenaga) dan Maestoro (mulia, agung), dimana singa mulai

turun gunung dengan mantap dan berkahir dengan berjalan di area bawah

(kembali turun ke bumi) dengan bangganya karena sudah berhasil menaklukkan

gunung yang tinggi. Pada akhir not diberikan dinamik Sforzato-piano, fp. ,

yakni ditekan kuat lalu segera menjadi lembut.

126

Page 133: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Notasi 4.7:

Bahagian Penutup atau Barongsai III

127

Page 134: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

128

Page 135: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

129

Page 136: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

130

Page 137: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

131

Page 138: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Formula atau format penggarapan dimensi waktu untuk masing-masing

alat musik pembawa ritme ini adalah terikat dalam meter empat dalam tanda

birama atau tanda sukat 4/4. Dalam kaitan ini, penggarapan durasi berdasarkan

pengisian birama tersebut dapat digambarkan pada notasi 4.8 berikut ini.

Notasi 4.8:

Penggarapan Durasi Tiga alat Musik

pada Repertoar Barongsai III Berdasarkan Birama

Setelah itu, maka masing-masing alat musik ensambel pengiring tarian

barongsai ini, yaitu gong, simbal, dan gendang, menghasilkan pola-pola ritme

dan motifnya, yang bervariasi adalah terutama gendang dan simbal. Di tempat

yang lain, gong secara khusus hanya menghasilkan satu motif ritme saja, yaitu

gabungan not seperempat dan tanda istirahat seperempat setiap dua ketukan

dasar. Alat musik gendang (drum) memiliki pola ritme dan motif yang relatif

132

Page 139: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

lebih variatif, dibandingkan dua alat music lainnya, yatu gong dan simbal.

Sementara itu simbal juga memiliki beberapa pola ritme dan diperkaya dengan

motif-mortif ritmenya. Pola-pola ritme dan motif-motif ritme secara lengkap pada

musik barongsai Bahagian Penutup (Barongsai III) adalah seperti analisis pada

Notasi 4.9 berikut ini.

133

Page 140: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Notasi 4.9:

Pola Ritme dan Motif Ritme Simbal, Gendang, dan Gong

pada Repertoar Barongsai III

134

Page 141: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

135

Page 142: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

136

Page 143: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

137

Page 144: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

138

Page 145: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Setelah diuraikan secara terperinci dari bab satu sampai empat, maka pada

Bab V ini, penulis akan menyimpulkan dan memberikan saran terhadap

penelitian ini. Adapun kesimpulan dibuat untuk mmenjawab dua pokok masalah

utama seperti yang telah ditentukan di Bab I, yaitu bagaimana fungsi dan bentuk

musikal pertunjukan barongsai. Maka penulis membuat kesimpulan sebagai

berikut.

Pertama, fungsi pertunjukan Barongsai pada masyarakat Tionghoa di

perayaan Cap Go Meh adalah sebagai pertunjukan hiburan, namun tetap berakar

pada nilai filosofi tradisional, yakni untuk menolak kesialan dan bala di

rangkaian perayaan Tahun Baru, dan mereka meyakini pertunjukan Barongsai

mampu mendatangkan keberuntungan yang baik dalam menyongsong hari yang

baru setelah Cap Go Meh.

Kedua, format struktur musikal yang terkandung dalam permainan musik

pertunjukan Barongsai adalah bervariasi dan tidak sama dari awal hingga akhir.

Ritme yang dimainkan untuk mengiringi gerakan Barongsai sama saja, namun

setelah diadakan penelitian didapati fakta bahwa tiap gerakan diiringi oleh

139

Page 146: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

repertoar musik yang berbeda bergantung pada emosi dan gerakan apa yang

ditampilkan. Dalam hal ini, fungsi musik pada pertunjukan Barongsai hanya

sebagai musik pengiring yang dimainkan secara Metronomic Sence, yakni pola

ritme sudah termemori di dalam pikiran pemain musik dan juga penari karena

adanya hubungan emosional musikal dan dimainkan secara ad. libitung

(tergantung kepada pemain).

Selain itu, perubahan yang terjadi terkait fungsi dan makna dalam

pertunjukan Barongsai adalah, jika zaman dahulu pertunjukan ini ditampilkan

bagi kalangan raja dan vihara saja dengan penonton yang terbatas. Tetapi kini

pertunjukan Barongsai sudah dapat disaksikan oleh masyarakat umum, baik

kalangan Tionghoa maupun non-Tionghoa. Perubahan terakhir yang terjadi

adalah sifat pertunjukannya yang sekarang sudah menjadi pertunjukan hiburan,

meskipun akar nilai-nilai religius tetap dipertahankan.

5.2 Saran

Untuk mendata dan menuliskan kajian musikal dan fungsi pertunjukan

Barongsai dalam bentuk tulisan ilmiah seperti ini tidaklah mudah, karena

sebenarnya dibutuhkan waktu panjang untuk menyelesaikannya lebih baik lagi.

Untuk ini penulis mendapat pengalaman baru, agar penelitian dapat dilakukan

dengan sempurna, sebaiknya dilakukan hal-hal seperti seniman yang menjadi

pelatih Barongsai, terutama grup Barongsa Maha Vihara Maitreya Medan dapat

140

Page 147: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

memberikan informasi yang transparan tentang musik, fungsi pertunjukan, serta

sejarah perkembangan Barongsai pada masyarakat Tionghoa.

141

Page 148: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

DAFTAR PUSTAKA

Ananta, Aris, Evi Nurvidya Arifin, dan Bakhtiar. 2008. “Chinese Indonesians in Indonesia and the Province of Riau Archipelago: A Demographic Analysis”, dalam Suryadinata, Leo: Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Berkowitz dan Barandauer. 1969. Folk Religion in an Urban Setting. Hongkong.

Berutu, Gita Viswana. 2004. Dari Ketertindasan Menuju Kemerdekaan: Studi Kasus Kesenian Barongsai di Kota Medan. Medan: Skripsi Sarjana Etnomusikologi USU (tidak dipublikasikan).

Borschberg, Peter. 2004. Iberians in the Singapore-Melaka Area and Adjacent Regions (16th to 18th Century). Otto Harrassowitz Verlag.

Brazier, Roderick. In Indonesia, the Chinese go to the Church, dalam International Herald Tribune, edisi 27 April 2006.

Bungin, Burhan. 2008. Pendidikan Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Chang, Yau Hoon. 2010. “Mapping ‘Chinese’ Christian Schools in Indonesia: Ethnicity, Class and Religion”, dalam Asia Pacific Education Review. Seoul: Springer.

Chunjiang, Fu. 2008. Asal-Usul Musik Tionghoa. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Coppel, Charles A. 2002. Studying Ethnic Chinese in Indonesia, Asian Studies Monograph Series. Singapore: Singapore Society of Asian Studies.

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.

Fatima. 1991. Sejarah Indonesia Kuno. Medan: USU-Press.

Gernet, Jacques. 1996. A History of Chinese Civilization. Cambridge: Cambridge University Press.

Guillot, C., Denys Lombard, dan Roderich Ptak. 1998. From the Mediterranean to the China Sea: Miscellaneous Notes. Otto Harrassowitz Verlag.

142

Page 149: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Heidhues, Mary Somers. 1999. “Indonesia” dalam Pan, Lynn: The Encyclopedia of the Chinese Overseas. Cambridge: Harvard University Press.

Heidhues, Mary Somers. 2001. “Chinese Settlements in Rural Southeast Asia: Unwritten Histories”, dalam Reid, Anthony: Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese. Honolulu: University of Hawaii Press.

Hellwig, Tineke dan Eric Tagliacozzo. 2009. The Indonesia Reader: History, Culture, Politics. Durham: Duke University Press.

Kahin, Audrey. 1991. Indonesia: The Role of the Indonesian Chinese in Shaping Modern Indonesian Life. Ithaca: Cornell Southeast Asia Program.

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: P.T. Rineka Cipta.

Kong, Shiu L. 1989. Chinese Culture and Lore. Hongkong: University of Toronto Press.

Lee, William Y. K. 2010. The Chinese Art of Lion Dance.

Lewis, M. Paul. 2005. “Indonesia”, Ethnologue: Languages of the World. Dallas: SIL International.

Martin, John Joseph. 1933. The Modern Dance. Dance Horizons.

Lim, Sylvia dan Ellen Conny. 2010. Barongsai. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Ma, Rosemary Wang. 2005. “Hui Dispora”, dalam Ember, Melvin, Carol R. Ember, dan Ian Skoggard: Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugee Cultures Around the World. New York: Springer Science+Business Media.

Malm, William P. 1977. Music Cultures of the Pacific, The Near East, and Asia (Terjemahan oleh Takari, Muhammad: Kebudayaan Musik Pasifik, Timur Tengah, dan Asia. 1993). New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Illinois: North-Western University Press.

143

Page 150: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI-Press.

Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: The Free Press of Glencoe.

Phoa, Liong Gie. 1992. “The Changing Economic Position of the Chinese in Netherlands India”, dalam Fernando, M. R. dan David Bulbeck: Chinese Economic Activity in Netherlands India: Selected Translations from the Dutch. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Reid. Anthony. 1999. “Chinese and Southeast Asia Interactions”, dalam Pan, Lynn: The Encyclopedia of the Chinese Overseas. Cambridge: Harvard University Press.

Reid, Anthony. 2001. “Flows and Seepages in the Long-term Chinese Interaction with Southeast Asia”, Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese. Honolulu: University of Hawaii Press.

Salmurgianto. 1995. “Cakrawala Pertunjukan Budaya, Mengkaji Batas dan Arti Pertunjukan” dalam Seni Pertunjukan Indonesia. Yogyakarta: MSPI.

Skinner, G. William. 1963. “The Chinese Minority”, dalam McVey, Ruth: Indonesia, Survey of World Cultures. New Haven: Yale University Southeast Asia Studies.

Soedarsono, R.M. 1985. “Traditional Performing Arts in Indonesia”, Makalah, disampaikan dalam International Meeting on the Establishment of a Unesco Video Collection of Traditional Performing Arts, Yogyakarta, 21-28 September 1992.

Suryadinata, Leo. 2008. “Chinese Indonesians in an Era of Globalization: Some Major Characteristics”, dalam Suryadinata, Leo: Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Syani, Abdul. 1995. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. P.T. Dunia Pustaka Jaya.

Tan, Melly G. 2005. “Ethnic Chinese in Indonesia”, dalam Ember, Melvin, Carol R. Ember dan Ian Skoggard: Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugee Cultures Around the World. New York: Springer Science+Business Media.

144

Page 151: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

Titon, Jeff Todd. 1984. World of Musics: An Introduction to the Music of the World’s People. New York: Schirner Book A Division of Macmillan, Inc.

http://en.wikipedia.org/wiki/Chinese-Indonesians

http://en.wikipedia.org/wiki/Lion_dance

http://id.wikipedia.org/wiki/Penggunaan_istilah_Cina,_China,_dan_Tiongkok#cite_note-4

http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_Baru_Imlek

http://www.theholidayspot.com/chinese_new_year/origin.htm

145

Page 152: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

DAFTAR INFORMAN

146

Page 153: BAB I · Web viewPada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang gambaran sosial budaya

147