Post on 30-Nov-2015
REFERAT
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
TIROIDITIS
Oleh:
Sari Bestya Rakhmaisya
Pembimbing:
dr. Soebijanto Sp.PD, MM
MODUL KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Diagnosis dan Penatalaksanaan Tiroiditis” ini. Referat ini dibuat dalam rangka
melengkapi tugas kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP
Fatmawati. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada Dr. Soebijanto, Sp.PD, MM selaku dokter pembimbing, serta tak
lupa penulis ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sejawat yang ikut membantu
memberikan kontribusi dalam penyelesaian referat ini.
Jakarta 23 Maret 2O13
Penulis
I. PENGERTIAN TIROIDITIS1
Istilah tiroiditis mencakup segolongan kelainan yang ditandai dengan adanya
inflamasi tiroid. Termasuk di dalamnya keadaan yang timbul mendadak dengan
disertai rasa sakit yang hebat pada tiroid (misalnya subacute granulomatous
thyroiditis dan infectious thyroiditis) dan keadaan dimana secara klinis tidak ada
inflamasi dan manifestasi penyakitnya terutama dengan adanya disfungsi tiroid atau
pembesaran kelenjar tiroid (misalnya subacute lymphocytic painless thyroiditis). Pada
golongan tiroiditis subakut pola perubahan fungsi tiroid biasanya dimulai dengan
hipertiroid diikuti dengan hipotiroid dan akhirnya kembali eutiroid. Hipotiroid terjadi
karena kerusakan sel sel folikel tiroid dan pemecahan timbunan tiroglobulin,
menimbulkan pelepasan yang tidak terkendali dari T3 dan T4. Hipertiroid ini
berlangsung sampai timbunan T3 dan T4 habis. Sintesis hormone yang baru terhenti
tidak hanya karena kerusakan sel sel folikel tiroid tapi juga karena penurunan TSH
akibat kenaikan T3 dan T4. Hipotiroid yang terjadi biasanya sementara. Bila
inflamasi mereda, sel sel folikel tiroid akan regenerasi, sintesis dan sekresi hormone
akan pulih kembali.
II. KLASIFIKASI TIROIDITIS1
Tiroiditis dapat dibagi berdasarkan etiologi, patokogi atau penampilan
klinisnyam penampilan klinis dapat berupa perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa
sakit pada tiroid. Ada tidaknya rasa sakit ini penting karena merupakan pertimbangan
utama untuk menegakkan diagnosis. Berdasarkan perjalanan penyakit dan ada
tidaknya rasa sakit tiroiditis dapat dibagi atas:
Tiroiditis akut dan disertai rasa sakit
a. Toroiditis infeksiosa akut = tiroiditis supurativa
b. Tiroiditis oleh karena radiasi
c. Tiroiditis traumatika
Tiroiditis subakut
a. Yang disertai rasa sakit : tiroiditis granulomatosa = tiroiditis non supurativa =
tiroiditis de Quervain
b. Yang tidak disertai rasa sakit : tiroiditis limfositik subakut, tiroiditis post
partum, tiroiditis oleh karena obat obatan
Tiroiditis kronis
a. Tiroiditis hashimoto
b. Tiroiditis riedel
c. Tiroiditis infeksiosa kronik oleh karena mikrobakteri, jamur dan sebagainya
Harrison’s Principle of Medicine 18th Ed 2
III. TIROIDITIS AKUT 1
Tiroiditis pada golongan ini diantaranya adalah tiroiditis infeksiosa akut baik
karena bakteri gram (+) maupun gram (-), tiroiditis karena radiasi dan tiroiditis
karena trauma.
a. TIROIDITIS INFEKSIOSA AKUT = TIROIDITIS SUPURATIVA
Terjadi melalui penyebaran homogen atau lewat fistula dari sinus piriformis
yang berdekatan dengan laring yang merupakan anomaly congenital yang sering
terjadi pada anak-anak. Sebetulnya kelenjar tiroid ini sendiri resisten terhadap
infeksi karen abeberpaa hal diantaranya berkapsul, mengandung iodium tinggi,
kaya suplai darah dan saluran limfe untuk drainase. Karenanya tiroiditis
infeksiosa ini jarang terjadi, kecuali keadaan-keadaan tertentu seperti mereka
yang sebelumnya mempunyai penyakit tiroid (Ca tiroid, tiroiditis hashimoto,
stuma multinodular) atau adanya supresi system imun seperti pada orang tua,
debilated, dan AIDS.
Pasien tiroiditis supurativa bacterial ini biasanya mengeluh rasa sakit yang
hebat pada kelenjar tiroid, panas, menggigil, disfagia, disfonia, sakit leher depan,
nyeri tekan, adanya fluktuasi dan eritema. Fungsi tiroidnya umumnya normal
sangat jarang terjadi tirotoksikosis atau hipotiroid. Jumlah leukosit dan LED
meningkat. Pada skintigrafi didapatkan pada daerah supuratiftidak menyerap
iodium radioaktif (dingin). Pasien harus segera dilakukan aspirasi dan drainase
dari daerah supuratif dan diberikan antibiotic yang sesuai. Pada pasien AIDS
beberapa kuman pathogen opportunistic dapat menyerang kelenjar tiroid. Pada
pemeriksaan postmortem terbanyak adalah kuman CMV, walau demikian laporan
tiroiditis oleh karena CMV tidak ditemukan. Tiroid merupakan organ diluar
pulmo yang rentan terhadap pneumonitis carinii yang sering menyerang pulmo
pada pasien AIDS. Pada autopsy didapatkan lebih dari 2O% adanya pneumonitis
carinii pada tiroid walaupun tanpa gejala.
b. TIROIDITIS AKUT KARENA RADIASI
Pada penyakit graves yang diterapi dengan iodium radioaktif sering
mengalami kesakitan dan nyeri tekan pada tiroid 5-1O hari kemudian. Keadaan
ini disebabkan terjadinya kerusakan dan nekrosis akibat reaksi radiasi tersebut.
Rasa sakitnya biasanya tidak hebat dan membaik dalam beberapa hari.
c. TIROIDITIS AKUT KARENA TRAUMA
Manipulasi kelenjar tiroid dengan memijat-mijat terlalu keras pada
pemeriksaan dokter atau oleh pasien sendiri dapat menimbulkan tiroiditis akut
yang disertai rasa sakit dan mungkin dapat timbul tirotoksikosis. Trauma ini dapat
juga terjadi akibat pemakaian sabuk pengaman mobil yang teralu kencang.
IV. TIROIDITIS SUBAKUT 1
Tiroiditis subakut dapat dibagi atas ada tidaknya rasa sakit.
a. TIROIDITIS SUBAKUT YANG DISERTAI DENGAN RASA SAKIT
(SUBACUTE PAINFUL THYROIDITIS)
Tiroiditis ini dikenal dengam beberapa nama diantaranya tiroiditis
granulomatosa subakut, tiroiditis nonsupurativa subakut, tiroiditis de quervain,
tiroiditis sel raksasa, subacute painful thyroiditis. Tiroiditis granulomatosa
subakut (TGS) penyebab yang pasti belum jelas, diduga penyebabnya adalah
infeksi virus atau proses inflamasi post viral infection. Kebanyakan pasien
memiliki riwayat infeksi saluran pernapasan bagian atas beberapa saat sebelum
terjadinya tiroiditis. Kejadian tiroiditis ini juga berkaitan dengan adanya infeksi
virus Coxsackie, parotitis epidemika, campak, adenovirus. Antibody terhadap
virus juga sering didapatkan tetapi keadaan ini dapat merupakan nonspecific
anamnestic response. Tidak didapatkan adanya inclution body pada jaringan
tiroid. Tampaknya proses autoimun tidak berperan pada terjadinya TGS ini. TGS
berkaitan dengan HLA-B35. Kemungkinan bahwa sebelumnya terjadi infeksi
virus subklinis yang akan menyebabkan terbentuknya antigen dari jaringan tiroid
yang rusak akibat virus. Kompleks antigen HLA-B35 mengaktifkan cytotoxic T
lymphocytes yang akan merusak sel folikel tiroid. Berbeda dengan penyakit tiroid
autoimun, pada TGS reaksi imun tersebut tidak berlangsung terus, proses ini
hanya sementara.
Inflamasi TGS akan mengakibatkan kerusakan folikel tiroid dan mengaktifkan
proteolisis dari timbunan tiroglobulin. Akibatnya terjadi pelepasan hormone T3
dan T4 yang tidak terkendali di dalam sirkulasi dan terjadilah hipertiroid.
Hipertiroid ini akan berakhir kalau timbunan hormone telah habis karena sintesis
hormone yang baru tidak terjadi karena kerusakan folikel tiroid maupun
penurunan TSH akibat hipertiroid tersebut. Pada keadaan ini dapat diikuti
terjadinya hipotiroid. Bila radangnya sembuh, terjadi perbaikan folikel tiroid,
sintesis hormone kembali normal.
Gambaran patologi anatomi yang karateristik dari folikel tiroid adalah adanya
inti tengah koloid yang dikelilingi oleh sel raksasa yang berinti banyak, lesi ini
kemudian berkembang menjadi granuloma. Didamping itu didapatkan infiltrasi
neutrofil, limfosit, histiosit. Disruption dan kolaps folikel tiroid, nekrosis sel
tiroid.
Awitan dari TGS biasanya pelan pelan tapi kadang mendadak. Rasa sakit
berupa keluahn yang selalu didapatkan dan mendorong pasien berobat. Rasa sakit
dapat terbatas pada kelenjar tiroid atau menjalar sampai bagian leher depan,
telinga, rahang, tenggorokan yang terkadang menyebabkan pasien ke THT.
Biasanya terjadi demam, malaise, anoreksia, mialgia. Kelenjar tiroid membesar
difus dan sakit pada palpasi. Separuh pasien menunjukan klinis gejala hipertiroid,
tetapi gejala rasa sakit lebih mendominasi. Inflamasi dan hipertiroiditis bersifat
sementara, berlangsung sekitar 2-6 minggu, kemudian diikuti terjadinya
hipotiroid yang asimtomatik yang berlangsung 2-8 minggu dan diikuti
penyembuhan. Pada 2O% pasien dapat terjadi kekambuhan dalam beberapa bulan
kemudian.
Walaupun gejala klinis hipertiroid hanya terjadi pada separuh pasien TGS,
tetapi pemerikasaan lab hampir selalu didapatkan T4 dan T3 meningkat serta
terdapat penurunan dari TSH. Uptake iodium radioaktif rendah, kadar tiroglobulin
serum tinggi, anemia ringan, leukositosis dan LED meningkat. Biasanya tidak
didiapatkan peningkatan antibody terhadap tiroid peroksidase (TPO) maupun
tiroglobulin.
Pada dasarnya diagnosis TGS cukup diagnosis klinis. Adanya pembesaran
kelenjar tiroid difus disertai adanya rasa sakit dan nyeri pada palpasi yang
menjalar ke leher depan cukup untuk menduga adanya TGS. Gejala hipertiroid
belum ada, tetapi T4 selalu naik dan TSH menurun. Meningkatnya LED
memperkuat diagnosis TGS. Ultrasonografi, RAIU, AJH dapat membantu
memastikan diagnosis. Diferensial diagnosis adalah tiroiditis infeksiosa akut dan
perdarahan pada nodul. Kedua keadaan tersebut menimbulkan rasa sakit pada
tiroid dan nyeri tekan tetapi kelenjar tiroid yang sakit biasanya unilateral dan
fungsi tiroid normal.
Terapi TGS bersifat simtomatis. Rasa sakit dan inflamasi diberikan NSAID
atau aspirin. Pada keadaan yang berat dapat diberikan kortikosteroid, misalnya
prednisolon 4O mg perhari. Tirotoksikosis yang timbul biasanya tidak berat, bila
berat diberikan obat beta bloker misalnya propanolol 4O-12O mg/hari atau
atenolol 25-5O mg/hari. Pemberian PTU atau metimasol tidak diperlukan karena
tidak terjadi peningkatan sinteis atau sekresi hormone. Pada perjalanan
penyakitnya kadang kadang dapat timbul hipotiroid yang ringan yang berlangsung
tidak lama, karenanya tidak memerlukan pengobatan. Bila hipertiroidnya berat
dapat diberikan L-tiroksin 5O-1OO mcg perhari selama 6-8 minggu dan tiroksin
kemudian dihentikan.
b. TIROIDITIS SUBAKUT YANG TIDAK DISERTAI RASA SAKIT
Ada tiga penyakit pada golongan ini, yaitu tiroiditis limfositik subakut, tiroiditis
post partum, tiroiditis karena obat.
TIROIDITIS LIMFOSITIK SUBAKUT TANPA RASA SAKIT (TLSTRS)
TLSTRS merupakan varian dari tiroiditis autoimun kronis diduga
merupakan bagian dari spectrum penyakit tiroid autoimun. Banyak pasien
TLSTRS mempunyai konsentrasi antibody yang tinggi baik terhadap tiroid
peroksidase maupun tiroglobulin. Disamping itu banyak didapatkan riwayat
keluarga yang menderita penyakit tiroid autoimun. Beberpa pasien berkembang
menjadi tiroiditis autoimun kronis beberapa tahun kemudian. TLSTRS berkaitan
dengan HLA haplotipe yang spesifik yaitu HLA-DR3 yang menunjukan adanya
inherited suscepribility walaupun asosiasinya lemah.
Faktor yang diduga sebagai pencetus TLSTRS antara lain intake iodium
yang berlebihan dan sitokin. Suatu sindrom yang menyerupai TLSTRS dapat
terjadi pada pasien yang mendapat terapi amiodaron yang kaya iodium, interferon
alfa, interleukin 2 dan litium. Keadaan ini menunjukan bahwa pelepasan sitokin
sebagai akibat dari kerusakan jaringan atau inflamasi mungkin sebagai awal dari
proses terjadinya TLSTRS.
Inflamasi yang terjadi pada TLSTRS akan menyebabkan kerusakan folikel
tiroid dan mengaktifkan proteolisis tiroglobulin yang berakibat pelepasan
hormone T3 dan T4 ke dalam sirkulasi dan terjadilah hipertiroid. Hipertiroid ini
terjadi sampai timbuan T3 dan T4 habis. Oleh karena tidak terjadi pembentukan
hormone baru. Keadaan ini akan diikuti dengan terjadinya hipotiroid yang
diperberat oleh adanya penurunan dari TSH pada saat hipertiroid. Bila inflamasi
mereda, sel folikel akan regenerasi maka pembuatan hormone tiroid akan pulih
kembali.
Pada biopsy kelenjar tiroid didapatkan adanya infiltrasi limfosit, kadang
kadang terdapat germinal centre dan sedikit fibrosis. Dibandingakan dengan
tiroiditis autoimun kronis gambaran PA tersebut jauh lebih ringan.
Manifestasi klinis dari TLSTRS adalah terjadinya hipertiroid yang timbul 1-
2 minggu dan berakhir 2-8 minggu. Gejala hipertiroidnya biasanya ringan.
Kelenjar tiroid membesar ringan, difus dan biasanya tidak disertai dengan rasa
sakit. Gejala hipertiroid ini akan diikuti dengan adanya perbaikan atau terjadinya
hipotiroid selama 2-8 minggu yang biasanya juga ringan atau malah asimtomatik
dan diikuti perbaikan. Kadang-kadang dapat diikuti terjadinya tiroiditis autoimun
kronis dnegan hipotiroid permanent 2O-5O%.
Pada saat terjadi hipertiroid terjadi peningkatan kadar T4 dan T3 dan
penurunan TSH. Kadang kadang hanya terjadi penurunan TSH saja yang
menunjukan adanya hipertiroid subklinis. Pada pasien yang mengalami hipotiroid
kadar T3 dan T4 turun disertai dengan peningkatan dari TSH. Kadang kadang
ditemui hanya peningkatan TSH saja yang menunjukan hipotiroid subklinis.
Antibody terhadap tiroid yaitu tiroid peroksidase dan antitiroglobulin menigkat
pada 5O% pasien saat terdiagnosis TLSTRS. Titer antibody ini akan menurun
(berbeda pada tiroiditis post partum yang persisiten). Junlah leukosit biasanya
normal dan laju endap darah hanya sedikit meningkat.
Biasanya pasien TLSTRS tidak memerlukan pengobatan baik pada fase
hipotiroid maupun pada hipertiroid karena gejalanya ringan. Bila gejala
hipertiroid berat perlu diberikan beta bloker propanolol (4O-12O mg/hari) atau
atenolol (25-5O mg.hari). pemberian PTU dan metimasol tidak perlu karena tidak
ada peningkatan dari sintesis hormone. Pemberian prednisone dapat
memperpendek masa hipertiroid. Kadang kadang gejala hipotiroid cukup berat
dan perlu diberikan L- tiroksin (5O-1OO mcg/hari) selama 8- 12 minggu, yang
penting pada pasein ini perlu diapantau kemungkinan terjadi tiroiditis autoimun
kronik.
POSTPARTUM TIROIDITIS (PPT)
Tiroiditis ini terjadi dalam kurun waktu 1 thn pasca persalinan. Dapat juga
terjadi sesudah abortus spontan atau yang dibuat. Gambarannya menyerupai
subacute lymphocytes painless thyroiditis, perbedaanya pada PPT lebih bervariasi
dan selalu terjadi sesudah persalinan.
Seperti halnya pada TLSTRS, PPT diduga merupakan varian dari
penyakit tiroid autoimun kronis. Lima puluh persen wanita yang titer antibodinya
terhadap peroksidase meningkat akan berkembang menjadi PPT sesudah
persalinan.
Tiga puluh persen pasien PPT menunjukan gambaran klinis yang
berurutan yaitu hipertiroid yang timbul 1-4 bulan sesudah persalinan yang
berlangsung 2-8 minggu, diikuti hipotiroid yang juga berlangsung 2-8 minggu
dan akhirnya eutiroid. Kadang kadang pada 2O-4O% gejala yang muncul hanya
hipertiroid dan 4O-5O% hanya muncul hipotiroid saja. Hipertiroid dan hipotiroid
yang muncul biaanya ringan. Pada 2O-5O% PPT dapat terjadi hipotirod yang
permanen, keadaan ini berhubungan dengan tingginya titer antibody terhadap
peroksidase. 7O% pasien dapat kambuh pada kehamilan berikutnya. Kelenjar
tiroid pada PPT biasanya sedikit membesar, difus dan tidak terasa sakit pada
hipertiroid.
PPT harus dibedakan dengan penyakit graves yang bisa juga terjadi
seusai persainan. Bedanya pada PPT gejala hipertiroidnya ringan dan tidak ada
oftalmopati, pembesaran tiroidnya juga minimal. Bila sulit dibedakan dapat
ditunggu 3-4 minggu, biasanya pada penyakit graves gejalanya akan memberat.
Dapat juga dilakukan RAIU diamana pada penyakit graves akan meningkat
sedangkan pada PPT akan rendah.
Pengobatan didasarkan atas gejala klinis dan bukan dari hasil
laboratorium. Pemberian PTU dan metimasol tidak doanjurkan karena tidak
terjadi peningkatan sintesis hormone. Bila gejala hipertiroid nyata dapat diberikan
propanolol (4O-12O mg/hari) atau atenolol (25-5O mg/hari) sampai gejala klinis
membaik. Bila gejala hipotiroid cukup berat dan perlu diberikan L- tiroksin (5O-
1OO mcg/hari) selama 8- 12 minggu.
Pasien PPT perlu diberitahukan atas kemungkinan terjadi hipotiroid
atau struma di kemudian hari, karenanya pasien diberitahu gejala awa hipotiroid.
Pasien juga diberitahukan bila hamil lagi PPT ini dapat kambuh.
TIROIDITIS KARENA OBAT
Beberapa obat dapat menimbulkan tiroiditis yang tidak disertai rasa
sakit diantaranya interferon alfa, interleukin 2, amiodaraon dan litium.
Pasien hepatitis B dan C yang mendapat interferon alfa 1-5% dapat
mengalami disfungsi tiroid, baik hipotiroid maupun hipertiroid. Terjadinya
disfungsi berkaitan dengan adanya titer antibody tiroid yang tinggi.
Amiodaron obat antiaritmia mengandung 35% iodium. Amiodaron
dapat menimbulkan hipertiroid maupun hipotiroid. Hipertiroid yang terjadi dapat
karena terjadinya tiroiditis tiroidnya normal atau meningkatnya sintesis hormone
yang biasanya terjadi pada pasien struma nodusa atau penyakit graves yang laten.
Tiroiditis yang terjadi menyerupai subacute lymphocytic painless tiroiditis.
Hipotiroid yang terjadi merupakan efek dari kelebihan iodium.
V. TIROIDITIS KRONIS 1
Tiroiditis kronis meliputi tiroiditis hashimoto, tiroiditis riedel dan tiroiditis
infeksiosa kronis.
a. TIROIDITIS HASHIMOTO
Penyakit ini sering disebut sebagai tiroiditis autoimun kronis, merupakan
penyebab utama hipotiroid di daerah yang iodiumnya cukup. Karakter klinisnya
berupa kegagalan tiroid yang terjadi pelan pelan, adanya struma atau kedua
duanya yang terjadi akibat kerusakan tiroid yang diperantarai autoimun. Hampir
semua pasien mempunyai titer antibody tiroid yang tinggi, infiltrasi limfositik
termasuk sel B dan sel T dan apoptosis sel folikel tiroid.
Penyebab tiroiditis hashimoto diduga kombinasi dari faktor genetic dan
lingkungan. Suseptibilitas gene yang dikenal adalah HLA dan CTLA-4.
Mekanisme imunopatogenetik terjadi karena adanya ekspresi HLA antigen sel
tiroid yang menyebabkan presentasi langsung dari antigen tiroid pada system
imun. Adanya hubungan familial dengan penyakit graves dan penyakit graves
sering terlibat pada tiroiditis hashimoto atau sebaliknya.
Ada 2 bentuk tiroiditis hashimoto yaitu bentuk goitrus 9O% dimana terjadi
pembesaran kelenjar tiroid dan bentuk atrofi 1O% dimana kelenjar tiroidnya
mengecil. Tiroiditis hashimoto umumnya terdapat pada wanita dengan resiko
wanita dan laki-laki 7:1.
Pada perjalanan tiroiditis hashimoto terjadi hipertiroid oleh karena proses
inflamasi, tetapi kemudian diikuti dengan penurunan fungsi tiroid yang terjadi
pelan-pelan. Sekali muali timbul hipotiroid maka gejala ini akan menetap.
Gambaran PA nya berupa infiltrasi limfosit yang profus, lymphoid germinal
centers dan destruksi sel-sel folikel tiroid. Fibrosis dan area hiperplasi sel
folikuler oleh karena TSH yang meningkat akan terlihat pada tiroiditis hashimoto
yang berat.
Ada 4 antigen yang berperan pada tiroiditis hashimoto yaitu tiroglobulin,
tiroid peroksidase, reseptor TSH dan sodium iodine symporter. Hampir semua
pasien tiroiditis hashimoto mempunyai antibody terhadap tiroglobulin dan tiroid
peroksidase dengan konsentrasi yang tinggi. Pada penyakit tiroid yang lain dan
pada orang normal kadang-kadang didapatkan juga antibody ini namun jumlahnya
tidak terlalu tinggi. Antibody terhadap reseptor TSH bersifat stimulasi atau
memblok reseptor TSH. Pada penyakit graves antibody yang bersifat memacu
lebih kuat dan karenanya menimbulkan hipertiroid, sedangkan pada tiroiditis
hashimoto antibody yang bersifat memblok lebih kuat dan karenanya timbul
hipotiroid. Antibody pada reseptor TSH ini lebih spesifik pada penyakit graves
dan tiroiditis hashimoto.
Pengobatan ditujukan pada hipotiroid dan pembesaran tiroid. Levotiroksin
diberikan sampai kadar TSH normal. Pada pasien dengan struma baik hipotiroid
maupun eutiroid pemberian levotiroksin selama 6 bulan dapat mengecilkan
struma 3O%.
Pada pasien disertai nodul perlu dilakukan AJH untuk memastikan ada
tidaknya limfoma atau karsinoma. Walaupun jarang resiko limfoma tiroid ini
meningkat pada tiroiditis hashimoto.
b. TIROIDITIS RIEDEL
Tiroiditis riedel merupakan penyakit yang terbatas pada kelenjar tiroid saja
atau dapat merupakan bagian dari penyakit infiltratis umum suatu multifocal
fibrosklerosis yang dapat mengenai retroperitoneal, mediastinum, ruang
retroorbital dan traktus billiaris. Kelenjar tiroid membesar secara progresif dan
tidak disertai rasa sakit, keras, bilateral. Proses fibrotic ini berkaitan dengan
adanya inflamasi sel mononuclear yang menjorok melewati tiroid sampai ke
jaringan lunak peritiroid. Fibrosis peritiroidal ini dapat mengenai kelenjar
paratiroid yang menyebabkan hipoparatiroid, n. laryngeus rekuren yang
menyebabkan suara serak, ke trakea menyebabkan kompresi, juga ke
mediastinum dan dinding depan dada.
Penyebab Tiroiditis riedel belum jelas, diduga proses autoimun, mengingat
adanya infiltrasi mononuclear dan vaskulitis desertai danya peningkatan titer
antibody terhadap tiroid. Walaupun demikian, kemungkinan peningkatan
antibody tersebut karena lepasnya antigen yang terjadi akibat kerusakan jaringan
tiroid. Tampaknya fibrosklerosis multifolak yang terjadi adalah kelainan fibrotic
primer dimana proliferasi fibroblast terpacu oleh sitokin yang berasal dari sel
limfosit B dan T.
Tiroiditis riedel jarang dijumpai hanya O,O5% dari seluruh operasi tiroid.
Wanita lebih sering terkena dari pada laki-laki 4:1, dengan umur 3O-5O tahun.
Pembesaran tiroid yang terjadi pelan-pelan dan tanpa rasa sakit. Pembesaran ini
menekan leher depan mengakibatkan terjadinya disfagia, suara serak, sesak napas
kadang-kadang hipoparatiroid. Hipotiroid sendiri terjadi 3O-4O% pasien,
walaupun tidak hipotiroid pasien sering mengeluh malaise umum dan kelelahan.
Kelenjar tiroid yang membesar bisa kecil atau besar, biasanya keldua lobus
walaupun tidak simetris. Kelenjar ini teraba seperti batu dan melekat pada
jaringan otot sekitarnya dan keadaan ini menyebabkan tiroiditis riedel tidak
bergerak waktu menelan. kadang-kadang didapatkan pembesaran kelenjar limfe
sekitarnya. Semua keadaan tersebut menyebabkan kesan suatu karsinoma.
Kebanyakan pasien tiroiditis riedel kadar T3 T4 dan TSH normal, sekitar
3O-4O% didapatkan hipotiroid subklinis atau hipotiroid nyata. Pada 2/3 pasien
didapatkan peningkatan antibody terhadap tiroid. Perlu juga diperiksa kadar
kalsium dan fosfot untuk mengetahui kemungkinan adanya hipoparatiroid.
Skintigrafi tiroid menunjukan gambaran yang heterogen atau adanya uptake yang
rendah.
Secara mikroskopis gambaran tiroiditis riedel adalah keras, putih, avaskular.
Secara histology didapatkan hyalinized fibrosis tissue dengan sedikit sel limfosit,
plasma dan eosinofil, disertai tidak adanya folikel tiroid. Jaringan fibrosis tersebut
menembus ke jaringan sekitarnya. Fibrosis tiroid ini juga terdapat pada tiroiditis
riedel atau Ca papilare tetapi tidak menembus jaringan disekitarnya.
Tiroiditis riedel yang tidak diobati biasanya pelan pelan progresif kadang
kadang stabil atau malah regresi. Pengobatan ditujukan pada hipotiroid yang
terjadi dan penekanan yang terjadi karena fibrosklerosis terutama pada trakea dan
esophagus. Operasi terbatas pada obstruksi saja karena reseksi yang luas sulit
karena medan yang sulit dan resiko merusak struktur sekitarnya. Pemberian
glukokortikoid dan tamoksifen dapat diberikan walaupun belum banyak
dilakukan karena kasusnya jarang.
c. TIROIDITIS INFEKSIOSA KRONIS
Penyakit ini jarang terdapat. Penyebabnya diantaranya jamur, mikrobakteri,
parasit, sifilis. Tiroiditis karena mikroba tuberculosis hanya sekitar 19 kasus yang
pernah dilaporkan. Tiroiditis TBC biasanya dikaitkan dengan TB milier dan
gejalanya berlangsung selama beberapa bulan. Rasa sakit dan demam jarang
didapatkan.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid III 1
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat
dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu
sebagai berikut :
Table 335-5 Signs and Symptoms of Hypothyroidism (Descending Order of Frequency)
Symptoms
Tiredness, weakness
Dry skin
Feeling cold
Hair loss
Difficulty concentrating and poor memory
Constipation
Weight gain with poor appetite
Dyspnea
Hoarse voice
Menorrhagia (later oligomenorrhea or amenorrhea)
Paresthesia
Impaired hearing
Signs
Dry coarse skin; cool peripheral extremities
Puffy face, hands, and feet (myxedema)
Diffuse alopecia
Bradycardia
Peripheral edema
Delayed tendon reflex relaxation
Carpal tunnel syndrome
Serous cavity effusions
Harrison’s Principle of Medicine 18th Ed 2
VI. PENGOBATAN
Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah
komplikasi.3
Penggantian Hormon Tiroid
Levotiroksin merupakan terapi pilihan untuk pasien hipotiroidsme.
1. Levothyroxine (Synthroid, Levoxyl, Levothroid, Unithroid)
Dalam bentuk aktif, mempengaruhi pertumbuhan dan pematangan jaringan.
Terlibat dalam pertumbuhan normal, metabolisme, dan perkembangan.
Membuat tingkat T3 dan T4 stabil. Diberikan sebagai dosis tunggal di pagi
hari saat perut kosong. Dapat diberikan PO / IV / IM. Memiliki waktu paruh
yang panjang (7-10 hari), dan dosis parenteral jarang diperlukan (kecuali jika
obat oral tidak tersedia, pasien sedang dalam pemberian makanan enteral
secara kontinu misalnya melalui NGT , atau dalam keadaan darurat, seperti
koma myxedema). Dosis subterapeutik awal dianjurkan untuk menghindari
stres pada perubahan metabolic yang cepat pada pasien usia lanjut dan pada
mereka yang memiliki penyakit arteri koroner atau PPOK berat.4
Dewasa
1,6 µg/kg/hari per oral; dosis yang lebih tinggi mungkin diperlukan dalam
kehamilan; pada lanjut usia dan orang-orang dengan penyakit koroner atau
PPOK berat, mulai dari 25-50 µg/hari per oral, meningkat 25-50 µg/hari
setiap 4-8 minggu sampai respon yang dikehendaki tercapai.Maintenance: 50-
200 µg per oral setiap pagi.5
Hipotiroidisme subklinis: Jika diobati dosis awal L-T4 25-50µg/hari dapat
digunakan dan dititrasi setiap 6-8wk untuk mencapai target TSH antara 0,3
dan 3 mIU/mL.5
Koma myxedema: 200-250 µg IV bolus, diikuti dengan 100 µg pada hari
berikutnya dan kemudian 50 µg/hari per oral atau IV bersama dengan T3;
menggunakan dosis lebih kecil pada pasien dengan penyakit jantung; pasien
harus terlebih dulu menerima dosis stress steroid jika mereka memiliki
insufisiensi adrenal primer atau sekunder yang beriringan.5,6,7
Anak
Neonatus - 6 bulan : 25-50 µg/hari PO
6-12 bulan : 50-75 µg/hari PO
1-6 tahun : 75-100 µg/hari PO
6-12 tahun : 100-150 µg/hari PO
>12 tahun : 150 µg/hari PO
Interaksi:
Fenitoin dapat meningkatkan degradasi, agen antidiabetik, teofilin,
adrenocorticoids, digoksin, dan antikoagulan, yang mungkin memerlukan
penyesuaian dosis. Fenitoin iv dapat melepaskan hormon tiroid dari
thyroglobulin; efek dari TCAs dan sympathomimetik dapat ditingkatkan;
cholestyramine, sucralfate, zat besi dapat menurunkan absorpsi; estrogen
dapat menurunkan respons terhadap terapi hormon tiroid pada pasien dengan
kelenjar tiroid yang tidak berfungsi; aktivitas dari beberapa beta-blocker dapat
menurun bila pasien dengan hipotiroidisme dikonversi menjadi stadium
eutiroid; beta-blocker dapat menurunkan konversi T3 ke T4.5,7
Kontraindikasi :Hipersensitivitas, insufisiensi adrenal yang tidak dikoreksi;
infark myocardial akut yang tidak diperparah oleh hipotiroidisme;
tirotoksikosis yang tidak diobati.4
Perhatian
Pasien usia lanjut dan pasien dengan gagal ginjal, hipertensi, iskemia, angina,
dan penyakit kardiovaskular lainnya; harus secara berkala dipantau status
tiroidnya; karena risiko krisis adrenal, T4 tidak boleh diberikan tanpa
kortikosteroid pada setiap pasien yang diduga insufisiensi adrenal, baik primer
atau sekunder.4,6
2. Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.
Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol
dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid
lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.
Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi
biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan
organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur
molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan
mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T-4
menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas
dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih
dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon
tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan
biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan
sebagai dosis tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan
jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan
menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan
sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6
bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat
antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan
eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan
secara tunggal pagi hari).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-
150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg,
1 atau 2 kali sehari. Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan
methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga
efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari
penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat
diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis
methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 5 – 20 mg perhari. 8
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis
tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai
dengan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40
mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis
dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila
respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU
50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat
mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas
normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan
biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu
dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien
minum obat, aktivitas fisis dan psikis. 9
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya
efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping
agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome,
yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis
merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan
Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium
radioaktif. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan,
dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi
dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic
edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi
timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan
laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang
kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek
samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali
fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang
lain atau operasi. 8,9
Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat
dicoba ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol
atau sebaliknya. 9
Obat golongan penyekat beta 8,9
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat
bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic
state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada
reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga
dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya terhadap
konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari.
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan
durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal
atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa
dengan propranolol.
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek
samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan
depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan
trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien
asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi
atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena
Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase.
Obat lain 8,9
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast,
potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan
kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan
penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid,
untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan
ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat
Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu
pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi.
Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi
setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%. Kekambuhan
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan, kepatuhan
pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi didalam
makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT.
Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk memantau respons
terapi, dimana yang paling bermakna adalah pemeriksaan kadar FT4 dan TSH.
VII. KESIMPULAN
Istilah tiroiditis mencakup segolongan kelainan yang ditandai dengan adanya
inflamasi tiroid. Tiroiditis diawali dengan hipertiroid, hipotiroid lalu eutiroid
dalam jangka waktu yang tidak lama. Gejala klinisnya tergantung pada fase
hipertiroid atau hipotiroid. Untuk pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan
terhadap kadar T4, T3, TSH, uptake iodium radioaktif, kadar tiroglobulin serum,
leukosit LED, antibody terhadap tiroid peroksidase (TPO) maupun tiroglobulin.
Bila perlu dilakukan pemeriksaan Ultrasonografi, RAIU, AJH. Pengobatan
tiroiditis ersifat simtomatis, rasa sakit dan inflamasi diberikan NSAID atau
aspirin. Pada keadaan yang berat dapat diberikan kortikosteroid, misalnya
prednisolon 4O mg perhari. Bila gejala hipertiroid berat perlu diberikan beta
bloker propanolol (4O-12O mg/hari) atau atenolol (25-5O mg.hari), sedangkan
untuk hipotiroid berat diberikan L- tiroksin (5O-1OO mcg/hari) selama 8- 12
minggu. Pemberian PTU dan metimasol tidak perlu karena tidak ada peningkatan
dari sintesis hormon.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo W A, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. Juni 2009.
2. Harrison TR, Hauser SL, Braunwald E, Longo DL, Fauci AS, Jameson JL.
Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran.
EGC. Jakarta. Volume 5. 2000.
3. Gyamfi C, Wapner RJ, D'Alton ME. Thyroid dysfunction in pregnancy: the
basic science and clinical evidence surrounding the controversy in
management. Obstet Gynecol. Mar 2009;113(3):702-7. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/122393. Accessed on February, 26,
2010.
4. Peleg RK, Efrati S, Benbassat C, Fygenzo M, Golik A. The effect of
levothyroxine on arterial stiffness and lipid profile in patients with subclinical
hypothyroidism. Thyroid. Aug 2008;18(8):825-30. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/122393. Accessed on February, 26,
2010.
5. Cinemre H, Bilir C, Gokosmanoglu F, Bahcebasi T. Hematologic effects of
levothyroxine in iron-deficient subclinical hypothyroid patients: a
randomized, double-blind, controlled study. J Clin Endocrinol
Metab. Jan 2009;94(1):151-6. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/122393. Accessed on February, 26,
2010.
6. American Association of Clinical Endocrinologists. American Association of
Clinical Endocrinologists medical guidelines for clinical practice for the
evaluation and treatment of hyperthyroidism and hypothyroidism. Endocr
Pract. Nov-Dec 2002;8(6):457-469. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/122393. Accessed on February, 26,
2010.
7. Wartofsky L. Myxedema coma. Endocrinol Metab Clin North Am. Dec
2006;35(4):687-698, vii-viii. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/122393. Accessed on February, 26,
2010.
8. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi
Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18
9. Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment
Pengelolaan Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001 : hal 1-5