Tiroiditis Hanin Lusi
-
Upload
hilwy-al-hanin -
Category
Documents
-
view
278 -
download
5
description
Transcript of Tiroiditis Hanin Lusi
REFERAT
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN TIROIDITIS
Oleh:
Hilwy Al Hanin (03011133)
Lusi Jelita Sari (03011171)
Pembimbing:
dr. Soebijanto Sp.PD, MM
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PERIODE SEPTEMBER - NOVEMBER 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan anugerah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tiroiditis” ini. Referat ini dibuat dalam rangka melengkapi tugas kepaniteraan klinik di SMF
Ilmu Penyakit Dalam RSUP Fatmawati. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada Dr. Soebijanto, Sp.PD, MM selaku dokter pembimbing, serta tak lupa
penulis ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sejawat yang ikut membantu memberikan
kontribusi dalam penyelesaian referat ini.
Jakarta, Oktober 2O15
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Tiroiditis adalah istilah umum yang mengacu pada peradangan kelenjar tiroid. Tiroiditis
meliputi sekelompok gangguan individu yang seluruhnya menyebabkan peradangan tiroiditis dan
sebagai hasilnya banyak penyebab yang berbeda presentasi klinisnya. Sebagai contoh, tiroiditis
Hashimoto adalah penyebab yang paling umum hipotiroidisme di Amerika Serikat. Tiroiditis
postpartum, yang menyebabkan tirotoksikosis transien (hormone tiroid yang tinggi dalam darah)
diikuti oleh hipotiroidisme sementara, umumnya merupakan penyebab masalah tiroid setelah
melahirkan. Tiroiditis subakut adalah penyebab utama dari nyeri pada tiroid. Tiroiditis juga dapat
terlihat pada pasien yang memakai obat interferon dan amiodarone.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi dan Fisiologi Tiroid
Kelenjar tiroid merupakan kelenjar endokrin murni terbesar. Pada orang dewasa beratnya
berkisar antara 20-25 gram tergantung pada umur, berat badan, dan asupan yodium
seseorang.terletak tepatdi bawah larynx, kelenjar tiroid normal terdiri atas lobus kiri dan lobus
kanan yang berbentuk seperti buah pir. Kedua lobus ini meluas dari kartilago tiroidea hingga ke
cincin trakea ke-6. Di bagian anterior kedua lobus dihubungkan oleh isthmus setinggi cincin
trakea ke-2 hingga ke-4. Kadang-kadang pada isthmus terdapat satu penonjolan ke kranial yang
disebut sebagai lobus piramidalis. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar tiroid pada fasia
pratrakea, sehingga pada gerakan menelan, kelenjar akan terangkat ke arah kranial. Dalam
pemeriksaan fisik diagnostik, keadaan ini digunakan untuk membedakan apakah pembesaran di
daerah leher adalah kelenjar tiroid atau lainnya. Di bagian ventral kelenjar tiroid ditutupi oleh
muskulus sternotiroid dan sternohioid. Pada bagian posterior, terdapat sulkus trakeoesofagus
yang di dalamnya terdapat nervus laringeus rekuren.1
Vaskularisasi kelenjar tiroid terdiri atas arteri tiroidea superior berasal dari arteri carotis
eksterna dan arteri tiroidea inferior yang berasal dari arteria subclavia. Isthmus kelenjar tiroid
mendapatkan vaskularisari dari arteri tiroid ima yang merupakan cabang dari arkus aorta atau
arteri brakhiosefalika. Aliran darah ke kelenjar tiroid berkisar antara 4-6 mL/menit per gram.
Pembuluh darah vena dari kelenjar tiroid berasal dari pleksus pada permukaan kelenjar dan di
anterior trakea menuju ke vena tiroidea superior dan media yang bermuara ke vena jugularis,
vena tiroidea inferior bermuara ke vena brakhiosefalika. Inervasi kelenjar tiroid berasal dari
sistem saraf simpatis melalui ganglia cervicalis inferior dan medialis.1
Kelenjar tiroid menghasilkan tiroksin (T4), bentuk aktifnya adalah triyodotironin (T3)
yang berasal dari konversi hormone T4 di perifer dan sebagian kecil dibentuk langsung di
kelenjar tiroid. Yodida inorganic diserap saluran cerna merupakan suatu bahan baku dari
hormone tiroid, bahan ini mengalami oksidasi menjadi menjadi organik dan selanjutnya
berikatan dengan tirosin yang terdapat dalam tiroglobulin membentuk monoyodotirosin(MIT)
atau diyodotirosin (DIT). Senyawa ini menghasilkan T3 dan T4 disimpan di dalam koloid
4
kelenjar tiroid. T3 dan T4 membantu sel mengubah oksigen dan kalori menjadi tenaga
(ATP=adenosis trifosfat). T3 bersifat lebih aktif dari T4. T4 yang tidak aktif itu kemudian diubah
menjadi T3 oleh enzim 5-deiodinase yang ada di dalam hati dan ginjal. Proses ini juga berlaku
di organ-organ lain seperti hipotalamus yang berada di otak tengah. Dalam sirkulasi hormon
tiroid terkait pada globulin yang dikenal dengan tiroid-binding-globulin (TBG). Sekresi hormon
tiroid dikendalikan oleh suatu hormone stimulator tiroid (thyroid stimulator hormone) yang
dihasilkan di lobus anterior kelenjar hipofisis dan perlepasannya dipengaruhi oleh thyrotropin
releasing hormone (TRH) di hipotalamus. Hormone tiroid mempunyai pengaruh terhadap organ
tubuh yang pada umumnya berhubungan dengan metabolisme sel. Pada kelenjar tiroid
didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan kalsitonin. Kalsitonin merupakan suatu sel
polipeptida yang turut mengatur metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum
melalui pengaruhnya terhadap tulang.2
Fungsi hormon tiroid adalah: 2,3
a) Merangsang laju metabolik target cell dengan meningkatkan metabolisme protein,
lemak, dan karbohidrat.
b) Merangsang kecepatan pompa natrium-kalium di target cell. Kedua fungsi bertujuan
meningkatkan penggunaan energi oleh sel, terjadi peningkatan laju metabolisme basal,
pembakaran kalori, dan peningkatan produksi panas oleh setiap sel.
c) Meningkatkan responsivitas target cell terhadap katekolamin sehingga meningkatkan
frekuensi jantung.
d) Meningkatkan respositivitas emosi
e) Meningkatkan kecepatan depolarisasi otot rangka sehingga meningkatkan kecepatan
kontraksi otot rangka.
f) Hormon tiroid penting untuk pertumbuhan dan perkembangan normal semua sel tubuh
dan dibutuhkan untuk fungsi hormon pertumbuhan
II. Definisi Tiroiditis
Tiroiditis adalah peradangan dari kelenjar tiroid yang mungkin memberikan rasa nyeri,
perabaan yang keras bila disebabkan oleh infeksi, radiasi, atau trauma, atau tidak menimbulkan
sakit bila disebabkan oleh kondisi autoimun, obat-obatan atau sebagai hasil proses fibrotik yang
5
idiopatik. Penyebab yang paling sering adalah penyakit Hashimoto, tiroiditis subakut
granulomatosa, tiroiditis pasca persalinan, tiroiditis subakut limfositik dan tiroiditis karena obat-
obatan. Pasien mungkin didapatkan dalam keadaan eutiroid, hipertiroid, ataupun hipotiroid atau
terjadi perubahan dari satu kondisi ke kondisi lainnya.1
III. Klasifikasi Tiroiditis
Terdapat beberapa cara pembagian atau klasifikasi penyakit tiroiditis, misalnya dengan
melihat dari penyebabnya yang membagi tiroiditis menjadi tiroiditis infeksi, tiroiditis autoimun,
tiroiditis subakut, dan tiroiditis akibat obat.4 Ada lagi yang membagi tiroiditis menurut gejala
klinisnya menjadi tiroiditis dengan rasa nyeri dan tiroiditis tanpa rasa nyeri.
Menurut buku Penatalaksanaan Penyakit-Penyakit Tiroid bagi Dokter oleh PERKENI
(2008), tiroiditis dibagi menjadi:1
Jenis Tiroiditis
Tipe penyebab saat terjadi fungsi tiroid RAIU 24
jam
anti TPO prevalensi
dengan nyeri
subakut
granulomatos
a
infeksi
(virus)
Subakut hipertiroid→hipotir
oid→normal
<5 % titer sedikit atau
tanpa titer
4-5 kasus
Supuratif infeksi
(non
virus)
akut (non
bacterial
mungkin
subakut)
Normal normal tidak ada sangat jarang
radiasi atau
trauma
destruksi
parenkim
tiroid
Akut hipertiroid→hipotir
oid→
normal
<5 % tidak ada 1% dari
pasien
graves pasca
ablasi
Tanpanyeri
hashimoto’s
disease
autoimun Kronik normal/hipo normal titer tinggi
persistent
5-10%
post partum autoimun Subakut hiper,hipo,atau
keduanya lalu
menjadi normal
<5 % titer tinggi
persistent
5-9% post
partum
6
limfositik sub
akut
autoimun Subakut hiper,hipo,atau
keduanya lalu
menjadi normal
<5 % ada, persistent 10-15
kasus/100.00
0 orang
karena obat
amiodaron inflamasi akut/subakut hiper/hipo rendah tidak ada 10
interleukin
alfa
inflamasi akut/subakut hiper/hipo rendah 5-10% positif 10-15%
interleukin-2 inflamasi akut/subakut hiper/hipo rendah <10% positif tak tergolong
Lithium inflamasi akut/subakut normal/hipo rendah 33% positif 13
kasus/100.00
0 orang
riedel’s autoimun Kronis normal/hipo normal/
rendah
ada tak tergolong
Dikutip dari Archana Bindra, M.D., and Glenn D. Braunstein, M.D., Cedars-Sinai Medical Center, Los
Angeles, California Am Fam Physician. 2006 May 15;73(10):1769-1776.
7
Menurut American Thyroid Association, tiroiditis dibagi menjadi:Menurut Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, tiroiditis dibagi menjadi:
Tiroiditis akut dan disertai rasa sakit
a. Tiroiditis infeksiosa akut = tiroiditis supurativa
b. Tiroiditis oleh karena radiasi
c. Tiroiditis traumatika
Tiroiditis subakut
a. Yang disertai rasa sakit : tiroiditis granulomatosa = tiroiditis non supurativa =
tiroiditis de Quervain
b. Yang tidak disertai rasa sakit : tiroiditis limfositik subakut, tiroiditis post partum,
tiroiditis oleh karena obat obatan
Tiroiditis kronis
a. Tiroiditis hashimoto
b. Tiroiditis riedel
8
c. Tiroiditis infeksiosa kronik oleh karena mikrobakteri, jamur dan sebagainya
IV. Pembahasan
Tiroiditis Subakut Granulomatosa
Disebut juga sebagai giant cell thyroiditis, subacute thyroiditis, atau de Quervain’s
thyroiditis. Tiroiditis granulomatosa subakut (TGS) penyebab yang pasti belum jelas, diduga
penyebabnya adalah infeksi virus atau proses inflamasi post viral infection. Kebanyakan pasien
memiliki riwayat infeksi saluran pernapasan bagian atas beberapa saat sebelum terjadinya
tiroiditis. Kejadian tiroiditis ini juga berkaitan dengan adanya infeksi virus Coxsackie, parotitis
epidemika, campak, adenovirus. 5 Penyakit ini diduga melibatkan adanya predisposisi genetik
untuk individu yang berisiko tinggi karena ditemukannya HLA-B 35 pada sekitar 70% pasien
dan dijumpai pada kembar identik.1 Kemungkinan bahwa sebelumnya terjadi infeksi virus
subklinis yang akan menyebabkan terbentuknya antigen dari jaringan tiroid yang rusak akibat
virus. Kompleks antigen HLA-B35 mengaktifkan cytotoxic T lymphocytes yang akan merusak
sel folikel tiroid. Berbeda dengan penyakit tiroid autoimun, pada TGS reaksi imun tersebut tidak
berlangsung terus, proses ini hanya sementara. Penyakit ini sering ditemukan pada wanita.5
Inflamasi TGS akan mengakibatkan kerusakan folikel tiroid dan mengaktifkan proteolisis
dari timbunan tiroglobulin. Akibatnya terjadi pelepasan hormone T3 dan T4 yang tidak
terkendali di dalam sirkulasi dan terjadilah hipertiroid. Hipertiroid ini akan berakhir kalau
timbunan hormone telah habis karena sintesis hormone yang baru tidak terjadi karena kerusakan
folikel tiroid maupun penurunan TSH akibat hipertiroid tersebut. Pada keadaan ini dapat diikuti
terjadinya hipotiroid. Bila radangnya sembuh, terjadi perbaikan folikel tiroid, sintesis hormon
kembali normal.5
Gambaran patologi anatomi yang karateristik dari folikel tiroid adalah adanya inti tengah
koloid yang dikelilingi oleh sel yang berinti banyak, lesi ini kemudian berkembang menjadi
granuloma. Di samping itu didapatkan infiltrasi neutrofil, limfosit, histiosit. Disruption dan
kolaps folikel tiroid, nekrosis sel tiroid.5
Gambaran kliniknya dapat sangat hebat dengan nyeri di daerah tiroid yang menyebar
sampai ke telinga dan rahang bawah. Demam, malaise, anoreksia, myalgia, anemia, dan
peningkatan alkali fosfatase sering terjadi. Kelenjar tiroid membesar difus dan sakit pada palpasi.
9
Separuh pasien menunjukan klinis gejala hipertiroid, tetapi gejala rasa sakit lebih mendominasi.
Inflamasi dan hipertiroiditis bersifat sementara, berlangsung sekitar 2-6 minggu, kemudian
diikuti terjadinya hipotiroid yang asimtomatik yang berlangsung 2-8 minggu dan diikuti
penyembuhan. Pada 20% pasien dapat terjadi kekambuhan dalam beberapa bulan kemudian.1,5
Walaupun gejala klinis hipertiroid hanya terjadi pada separuh pasien TGS, tetapi
pemerikasaan lab hampir selalu didapatkan T4 dan T3 meningkat serta terdapat penurunan dari
TSH. Uptake iodium radioaktif rendah, kadar tiroglobulin serum tinggi, anemia ringan,
leukositosis dan LED meningkat. Biasanya tidak didiapatkan peningkatan antibody terhadap
tiroid peroksidase (TPO) maupun tiroglobulin.5
Pada dasarnya diagnosis TGS cukup diagnosis klinis. Adanya pembesaran kelenjar tiroid
difus disertai adanya rasa sakit dan nyeri pada palpasi yang menjalar ke leher depan cukup untuk
menduga adanya TGS. Gejala hipertiroid belum tentu ada, tetapi T4 selalu naik dan TSH
menurun. Meningkatnya LED memperkuat diagnosis TGS. Ultrasonografi, RAIU, AJH dapat
membantu memastikan diagnosis. Diferensial diagnosis adalah tiroiditis infeksiosa akut dan
perdarahan pada nodul. Kedua keadaan tersebut menimbulkan rasa sakit pada tiroid dan nyeri
tekan tetapi kelenjar tiroid yang sakit biasanya unilateral dan fungsi tiroid normal.5
Terapi TGS bersifat simtomatis. Rasa sakit dan inflamasi diberikan NSAID atau aspirin.
Pada keadaan yang berat dapat diberikan kortikosteroid, misalnya prednisolon 40 mg perhari.
Tirotoksikosis yang timbul biasanya tidak berat, bila berat diberikan obat beta bloker misalnya
propanolol 40-120 mg/hari atau atenolol 25-50 mg/hari. Pemberian PTU atau metimasol tidak
diperlukan karena tidak terjadi peningkatan sinteis atau sekresi hormone. Pada perjalanan
penyakitnya kadang kadang dapat timbul hipotiroid yang ringan yang berlangsung tidak lama,
karenanya tidak memerlukan pengobatan. Bila hipotiroidnya berat dapat diberikan L-tiroksin 5-
100 mcg perhari selama 6-8 minggu dan tiroksin kemudian dihentikan.5
Tiroiditis Supuratif
Bentuk yang sangat jarang dari tiroiditis yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Streptococcus pyogenes, Streptococcus aureus, atau Streptococcus pneumonia, bias juga
disebabkan oleh infeksi jamur, mikrobakteria, atau infeksi parasite. Terjadi melalui penyebaran
homogen atau lewat fistula dari sinus piriformis yang berdekatan dengan laring yang merupakan
10
anomaly congenital yang sering terjadi pada anak-anak. Sebetulnya kelenjar tiroid ini sendiri
resisten terhadap infeksi karena beberapa hal diantaranya berkapsul, mengandung iodium tinggi,
kaya suplai darah dan saluran limfe untuk drainase. Karenanya tiroiditis infeksiosa ini jarang
terjadi, kecuali keadaan-keadaan tertentu seperti pasien yang sebelumnya mempunyai penyakit
tiroid (Ca tiroid, tiroiditis hashimoto, stuma multinodular) atau adanya supresi sistem imun
seperti pada orang tua, debilated, dan AIDS.5
Pasien tiroiditis supurativa bakterial ini biasanya mengeluh rasa sakit yang hebat pada
kelenjar tiroid, panas, menggigil, disfagia, disfonia, sakit leher depan, nyeri tekan, adanya
fluktuasi dan eritema. Fungsi tiroidnya umumnya normal, sangat jarang terjadi tirotoksikosis
atau hipotiroid. Jumlah leukosit dan LED meningkat. Pada skintigrafi didapatkan pada daerah
supuratif tidak menyerap iodium radioaktif (dingin). Biopsi aspirasi jarum halus untuk
pewarnaan Gram dan kultur adalah tes diagnostik terbaik. Pasien harus segera dilakukan aspirasi
dan drainase dari daerah supuratif dan diberikan antibiotik yang sesuai. Pada pasien AIDS
beberapa kuman patogen oportunistik dapat menyerang kelenjar tiroid. Pada pemeriksaan
postmortem terbanyak adalah kuman CMV. Tiroid merupakan organ diluar pulmo yang rentan
terhadap Pneumonitis carinii yang sering menyerang pulmo pada pasien AIDS. Pada autopsi
didapatkan lebih dari 20% adanya Pneumonitis carinii pada tiroid walaupun tanpa gejala.1.5
Tiroiditis Pasca Radiasi
Satu persen dari pasien yang mendapatkan terapi yodium radioaktif karena hipertiroid
akan mengalami tiroiditis antara hari kelima sampai hari kesepuluh. Kerusakan yang cepat dari
parenkim tiroid menimbulkan rasa nyeri, perabaan yang keras dan eksaserbasi dari hipertiroid
karena dikeluarkannya T4 dan T3 yang masih tersimpan. Pemberian NSAID ditujukan untuk
mengurangi rasa sakit, kadang-kadang prednison perlu diberikan.1
Tiroiditis juga sering terjadi pasca radiasi tumor daerah leher atau limfoma. Faktor risiko
utama adalah tingginya dosis radiasi, usia muda, jenis kelamin (wanita lebih sering), dan adanya
hipertiroid sebelumnya.1
Tiroiditis Sesudah Trauma
Tiroiditis sementara dengan adanya rasa nyeri dan pengerasan kelenjar bisa juga
dijumpai sesudah adanya trauma fisik di daerah kelenjar tiroid. Trauma fisik dapat terjadi karena
manipulasi kelenjar tiroid dengan memijat-mijat terlalu keras pada pemeriksaan dokter atau oleh
11
pasien sendiri dan juga akibat pemakaian sabuk pengaman mobil yang teralu kencang. Gambaran
fungsi tiroid amat tidak khas. Thyroid stimulating hormone (TSH) kadang normal tapi bias juga
tertekan.1,5
Penyakit Hashimoto
Penyakit ini sering disebut sebagai tiroiditis autoimun kronis, merupakan penyebab
utama hipotiroid di daerah yang iodiumnya cukup. Karakter klinisnya berupa kegagalan tiroid
yang terjadi pelan-pelan, adanya struma atau kedua-duanya yang terjadi akibat kerusakan tiroid
yang diperantarai autoimun. Hampir semua pasien mempunyai titer antibodi tiroid yang tinggi,
infiltrasi limfositik termasuk sel B dan sel T dan apoptosis sel folikel tiroid. Infiltrasi limfosit ke
seluruh kelenjar tiroid menyebabkan dekstrusi progresif folikel kelenjar. Dalam beberapa tahun
akan terjadi atrofi kelenjar dengan fibrosis.
Penyebab tiroiditis hashimoto diduga kombinasi dari faktor genetik dan lingkungan.
Suseptibilitas gen yang dikenal adalah HLA dan CTLA-4. Mekanisme imunopatogenetik terjadi
karena adanya ekspresi HLA antigen sel tiroid yang menyebabkan presentasi langsung dari
antigen tiroid pada sistem imun. Adanya hubungan familial dengan penyakit graves dan penyakit
graves sering terlibat pada tiroiditis hashimoto atau sebaliknya.
Ada 2 bentuk tiroiditis hashimoto, yaitu bentuk goitrus 90% dimana terjadi pembesaran
kelenjar tiroid dan bentuk atrofi 10% dimana kelenjar tiroidnya mengecil. Tiroiditis Hashimoto
umumnya terdapat pada wanita dengan perbandingan risiko wanita dan laki-laki 7:1. Insidens
kejadian Tiroiditis Hashimoto ini biasanya banyak didapatkan pada umur kurang dari 50 tahun.
Pada perjalanan tiroiditis hashimoto terjadi hipertiroid oleh karena proses inflamasi, tetapi
kemudian diikuti dengan penurunan fungsi tiroid yang terjadi pelan-pelan. Setelah timbul
hipotiroid maka gejala ini akan menetap.
Gambaran patologinya berupa infiltrasi limfosit yang profus, lymphoid germinal centers
dan destruksi sel-sel folikel tiroid. Fibrosis dan area hiperplasi sel folikuler oleh karena TSH
yang meningkat akan terlihat pada tiroiditis hashimoto yang berat.
Ada 4 antigen yang berperan pada tiroiditis hashimoto yaitu tiroglobulin, tiroid
peroksidase, reseptor TSH dan sodium iodine symporter. Hampir semua pasien tiroiditis
hashimoto mempunyai antibodi terhadap tiroglobulin dan tiroid peroksidase dengan konsentrasi
yang tinggi. Pada penyakit tiroid yang lain dan pada orang normal kadang-kadang didapatkan
12
juga antibodi ini namun jumlahnya tidak terlalu tinggi. Antibodi terhadap reseptor TSH bersifat
stimulasi atau memblok reseptor TSH. Pada penyakit Graves, antibodi yang bersifat memacu
lebih kuat dan karenanya menimbulkan hipertiroid, sedangkan pada Tiroiditis Hashimoto
antibodi yang bersifat memblok lebih kuat dan karenanya timbul hipotiroid. Antibodi pada
reseptor TSH ini lebih spesifik pada penyakit Graves dan Tiroiditis Hashimoto.
Mekanisme kompleks imunologi mungkin berperan pada kematian sel tiroid (tirosit).
Sensitasi dari autoreactive CD4 + T-helper cell ke antigen tiroid memberikan gambaran awal
kejadian. Kematian tirosit adalah dampak mekanisme sebagai berikut(2,4,6):
CD8 + cytotoxic T cell-mediated cell-death T cell-mediated cell death : CD8 + cytotoxic T cell-
mediated mungkin menyebabkan dekstruksi tirosit oleh satu dari dua jalur, eksositosis dari granula
perforin/granzyme atau reaksi death receptor, CD95 pada sel target.
Cytokine-mediated cell-death: CD4 + T cells menghasilkan sitokin inflamasi seperti IFN-ƴ
dalam waktu cepat dalam tirosit,dengan akibat pengerahan dan pengaktifan makrofag dan merusak
folikel.
Ikatan antitiroid-antibodi ( anti-TSH receptor antibodies, antithyroglobulin dan antithyroid
peroxidase antibodies) diikuti oleh antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC ).
Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitasi (sensitized T-lymphocyte)
dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan
reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid
yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak
sebagai autoantigen.
Pengobatan ditujukan pada hipotiroid dan pembesaran tiroid. Levotiroksin diberikan
sampai kadar TSH normal. Pada pasien dengan struma baik hipotiroid maupun eutiroid
pemberian levotiroksin selama 6 bulan dapat mengecilkan struma 30%. Dosis standar
penggunaan levotiroksin yaitu 1,6-1,8 mcg/kgBB/hari. Namun dapat berbeda-beda pada setiap
individu.(8)
Pasien dengan usia dibawah 50 tahun tanpa riwayat penyakit jantung, dapat diberikan
dosis awal penuh.
Pasien diatas 50 tahun atau pasien muda dengan penyakit jantung, diberikan dosis
rendah 25mcg (0,025mg) per hari, dengan evaluasi pengobatan setiap 6-8 minggu.
13
Pada pasien usia lanjut, dosis yang diberikan lebih rendah, kadang bisa mencapai 1
mcg/kgBB/hari.
Intervensi bedah dapat dilakukan atas beberapa indikasi, diantaranya:
Pembesaran kelenjar dengan gejala obstruksi seperti disfagia, suara serak, dan stridor
karena adanya obstruksi pada jalan napas.
Terdapatnya nodul maligna yang bisa ditemukan pada pemeriksaan sitology dengan
FNA
Terdapatnya limfoma pada FNA : limfoma tiroid memberi respon yang baik terhadap
radioterapi dan merupakan modalitas terapi pilihan.
Alasan kosmetik untuk struma yang cukup besar.
Pada pasien disertai nodul perlu dilakukan AJH untuk memastikan ada tidaknya limfoma
atau karsinoma. Walaupun jarang, risiko limfoma tiroid ini meningkat pada tiroiditis hashimoto.
Postpartum Tiroiditis5
Tiroiditis ini terjadi dalam kurun waktu 1 tahun pasca persalinan. Dapat juga terjadi
sesudah abortus spontan atau yang dibuat. Gambarannya menyerupai subacute lymphocytes
painless thyroiditis, perbedaanya pada PPT lebih bervariasi dan selalu terjadi sesudah persalinan.
Seperti halnya pada TLSTRS, PPT diduga merupakan varian dari penyakit tiroid
autoimun kronis. Lima puluh persen wanita yang titer antibodinya terhadap peroksidase
meningkat akan berkembang menjadi PPT sesudah persalinan.
Tiga puluh persen pasien PPT menunjukan gambaran klinis yang berurutan yaitu
hipertiroid yang timbul 1-4 bulan sesudah persalinan yang berlangsung 2-8 minggu, diikuti
hipotiroid yang juga berlangsung 2-8 minggu dan akhirnya eutiroid. Kadang kadang pada 20%-
40% gejala yang muncul hanya hipertiroid dan 40%-50% hanya muncul hipotiroid saja.
Hipertiroid dan hipotiroid yang muncul biaanya ringan. Pada 20%-50% PPT dapat terjadi
hipotirod yang permanen, keadaan ini berhubungan dengan tingginya titer antibody terhadap
peroksidase. 70% pasien dapat kambuh pada kehamilan berikutnya. Kelenjar tiroid pada PPT
biasanya sedikit membesar, difus dan tidak terasa sakit pada hipertiroid.
PPT harus dibedakan dengan penyakit graves yang bisa juga terjadi seusai persainan.
Bedanya pada PPT gejala hipertiroidnya ringan dan tidak ada oftalmopati, pembesaran tiroidnya
14
juga minimal. Bila sulit dibedakan dapat ditunggu 3-4 minggu, biasanya pada penyakit graves
gejalanya akan memberat. Dapat juga dilakukan RAIU diamana pada penyakit graves akan
meningkat sedangkan pada PPT akan rendah.
Pengobatan didasarkan atas gejala klinis dan bukan dari hasil laboratorium. Pemberian
PTU dan metimasol tidak doanjurkan karena tidak terjadi peningkatan sintesis hormone. Bila
gejala hipertiroid nyata dapat diberikan propanolol (40-120 mg/hari) atau atenolol (25-50
mg/hari) sampai gejala klinis membaik. Bila gejala hipotiroid cukup berat dan perlu diberikan L-
tiroksin (50-100 mcg/hari) selama 8- 12 minggu.
Pasien PPT perlu diberitahukan atas kemungkinan terjadi hipotiroid atau struma di
kemudian hari, karenanya pasien diberitahu gejala awal hipotiroid. Pasien juga diberitahukan
bila hamil lagi PPT ini dapat kambuh.
Tiroiditis Karena Obat5
Beberapa obat dapat menimbulkan tiroiditis yang tidak disertai rasa sakit diantaranya
interferon alfa, interleukin 2, amiodaron dan litium.
Pasien hepatitis B dan C yang mendapat interferon alfa 1-5% dapat mengalami disfungsi
tiroid, baik hipotiroid maupun hipertiroid. Terjadinya disfungsi berkaitan dengan adanya titer
antibody tiroid yang tinggi.
Amiodaron obat antiaritmia mengandung 35% iodium. Amiodaron dapat menimbulkan
hipertiroid maupun hipotiroid. Hipertiroid yang terjadi dapat karena terjadinya tiroiditis tiroidnya
normal atau meningkatnya sintesis hormone yang biasanya terjadi pada pasien struma nodusa
atau penyakit graves yang laten. Tiroiditis yang terjadi menyerupai subacute lymphocytic
painless tiroiditis. Hipotiroid yang terjadi merupakan efek dari kelebihan iodium.
Tiroiditis Riedel5
Tiroiditis riedel merupakan penyakit yang terbatas pada kelenjar tiroid saja atau dapat
merupakan bagian dari penyakit infiltratis umum suatu multifocal fibrosklerosis yang dapat
mengenai retroperitoneal, mediastinum, ruang retroorbital dan traktus billiaris. Kelenjar tiroid
membesar secara progresif dan tidak disertai rasa sakit, keras, bilateral. Proses fibrotic ini
berkaitan dengan adanya inflamasi sel mononuclear yang menjorok melewati tiroid sampai ke
jaringan lunak peritiroid. Fibrosis peritiroidal ini dapat mengenai kelenjar paratiroid yang
15
menyebabkan hipoparatiroid, n. laryngeus rekuren yang menyebabkan suara serak, ke trakea
menyebabkan kompresi, juga ke mediastinum dan dinding depan dada.
Penyebab Tiroiditis riedel belum jelas, diduga proses autoimun, mengingat adanya
infiltrasi mononuclear dan vaskulitis desertai danya peningkatan titer antibody terhadap tiroid.
Walaupun demikian, kemungkinan peningkatan antibody tersebut karena lepasnya antigen yang
terjadi akibat kerusakan jaringan tiroid. Tampaknya fibrosklerosis multifolak yang terjadi adalah
kelainan fibrotic primer dimana proliferasi fibroblast terpacu oleh sitokin yang berasal dari sel
limfosit B dan T.
Tiroiditis riedel jarang dijumpai hanya 0,05% dari seluruh operasi tiroid. Wanita lebih
sering terkena dari pada laki-laki 4:1, dengan umur 30-50 tahun. Pembesaran tiroid yang terjadi
pelan-pelan dan tanpa rasa sakit. Pembesaran ini menekan leher depan mengakibatkan terjadinya
disfagia, suara serak, sesak napas kadang-kadang hipoparatiroid. Hipotiroid sendiri terjadi 30-
40% pasien, walaupun tidak hipotiroid pasien sering mengeluh malaise umum dan kelelahan.
Kelenjar tiroid yang membesar bisa kecil atau besar, biasanya keldua lobus walaupun tidak
simetris. Kelenjar ini teraba seperti batu dan melekat pada jaringan otot sekitarnya dan keadaan
ini menyebabkan tiroiditis riedel tidak bergerak waktu menelan. kadang-kadang didapatkan
pembesaran kelenjar limfe sekitarnya. Semua keadaan tersebut menyebabkan kesan suatu
karsinoma.
Kebanyakan pasien tiroiditis riedel kadar T3 T4 dan TSH normal, sekitar 30-40%
didapatkan hipotiroid subklinis atau hipotiroid nyata. Pada 2/3 pasien didapatkan peningkatan
antibody terhadap tiroid. Perlu juga diperiksa kadar kalsium dan fosfot untuk mengetahui
kemungkinan adanya hipoparatiroid. Skintigrafi tiroid menunjukan gambaran yang heterogen
atau adanya uptake yang rendah.
Secara mikroskopis gambaran tiroiditis riedel adalah keras, putih, avaskular. Secara
histologi didapatkan hyalinized fibrosis tissue dengan sedikit sel limfosit, plasma dan eosinofil,
disertai tidak adanya folikel tiroid. Jaringan fibrosis tersebut menembus ke jaringan sekitarnya.
Fibrosis tiroid ini juga terdapat pada tiroiditis riedel atau Ca papilare tetapi tidak menembus
jaringan disekitarnya.
Tiroiditis riedel yang tidak diobati biasanya pelan pelan progresif kadang kadang stabil
atau malah regresi. Pengobatan ditujukan pada hipotiroid yang terjadi dan penekanan yang
16
terjadi karena fibrosklerosis terutama pada trakea dan esophagus. Operasi terbatas pada obstruksi
saja karena reseksi yang luas sulit karena medan yang sulit dan resiko merusak struktur
sekitarnya. Pemberian glukokortikoid dan tamoksifen dapat diberikan walaupun belum banyak
dilakukan karena kasusnya jarang.
Tiroiditis Infeksiosa Kronis5
Penyakit ini jarang terdapat. Penyebabnya diantaranya jamur, mikrobakteri, parasit,
sifilis. Tiroiditis karena mikroba tuberculosis hanya sekitar 19 kasus yang pernah dilaporkan.
Tiroiditis TBC biasanya dikaitkan dengan TB milier dan gejalanya berlangsung selama beberapa
bulan. Rasa sakit dan demam jarang didapatkan.
DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit tiroiditis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisis, dan juga pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis :
Biasanya pasien datang dengan keluhan benjolan pada leher sebagai tanda pembesaran
kelenjar tiroid yang tidak menimbulkan nyeri atau rasa penuh di leher. Jika pasien sudah
mengalami keadaan hipotiroid, maka pasien menunjukkan beberapa keluhan seperti fatique,
kulit kering, konstipasi, retensi urin, berat badan bertambah, tidak tahan dengan suhu dingin,
menorrhagia, depresi, kelemahan otot, kehilangan memori dan rambut rontok.(5)
2. Pemeriksaan fisis:
Pembesaran kelenjer tiroid disebut struma (goiter). Pembesaran generalisata disebut sebagai
struma difusa, sedangkan bila pembesaran bersifat iregular atau benjolan disebut struma
nodusa. Kelenjer tiroid berada disebelah anterior trakea, antara lekuk sternal dan kartilago
17
tiroid. Pemeriksaan tiroid meliputi inspeksi, palpasi dan auskultasi. Langkah-langkah
pemeriksaan tiroid :
a. Inspeksi
Pemeriksa berdiri didepan pasien denga cahaya yang cukup dari arah belakang
pemeriksa. Inspeksi dilakukan dari arah depan dan samping pasien untuk melihat ada
tidaknya massa, perubahan warna kulit dan vena yang melebar atau jaringan parut bekas
tiroidektomi didaerah tiroid. Daerah lidah diperiksa untuk melihat kemungkinan tiroid
lingual dan kista duktus tiroglosus (dapat dileher).
Struma yang besar terutamayang terletak retrosternal dapat menyebabkan obstruksi pada
lubang masuk rongga dada yang ditandai dengan dilatasi vena-vena dinding dada bagian
atas, distensi vena jugularis, dan eritema fasialis. Tes pemberton untuk menilai obstruksi
rogga masuk torak oleh struma retrosternal dilakukan dengan meminta pasien
menggangkat kedua lengan setinggi mungkin selama beberapa saat. Tanda adanya
obstruksi adalah kongesti pada wajah (plethora), sianosis, sesak nafas, dan stridor
inspirasi.
Pasien diminta melakukan gerakan menelan atau diberikan air minum untuk ditelan.
Pembengkakan dileher yang disebabkan oleh goiter atau kista tiroglosus, akan bergerak
keatas saat proses menelan sekitar 2 cm bersamaan dengan trakea,kemudian berhenti
sejenak selama ½ detik sebelum turun kembali.
b. Palpasi
terdapat dua cara untuk palpasi pada kelenjar tiroid. Cara anterior dilakukan
dengan pasien dan pemeriksa duduk berhadapan. Dengan memfleksi leher pasien atau
memutar dagu sedikit ke kanan, pemeriksa dapat merelaksasi muskulus 18
sternokleidomastoideus pada sisi itu, sehingga memudahkan pemeriksaan. Tangan kanan
pasien menggeser laring ke kanan dan selama menelan, lobus tiroid kanan yang tergeser
di palpasi dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri. Lakukan hal serupa pada lobus
kiri. Pada cara posterior, pemeriksa meletakkan kedua tangannya pada leher pasien,
yang posisi lehernya sedikit ekstensi. Pemeriksa memakai tangan kirinya mendorong
trakea ke kanan. Pasien diminta menelan sementara tangan kanan pemeriksa meraba
tulang rawan tiroid. Lakukan cara yang sama saat pemeriksaan tiroid kiri.
Konsistensi kelenjar harus dinilai. Kelenjar tiroid yang normal mempunyai
konsistensi mirip jaringan otot. Keadaan padat keras terdapat pada kanker atau luka
parut. Keadaan lunak atau mirip seperti spons sering dijumpai pada goiter toksik. Nyeri
tekan pada kelenjar tiroid terdapat pada infeksi akut atau perdarahan ke dalam kelenjar.
Pada palpasi, didapatkan kelenjar tiroid yang teraba membesar, padat keras dan
berbatas tegas. Namun dapat pula ukurannya normal ataupun lebih kecil lagi bila
terdapat fibrosis yang luas. Kadang-kadang pembesarannya simetris dan teraba
berbenjol-benjol.(5)
19
Cara pemeriksaan kelenjar tiroid
(Dikutip dari kepustakaan 10)
c. Perkusi
Pemeriksaan perkusi jarang diperlukan pada pemeriksaan tiroid. Pada kasus
kecurigaanadanya goiter retrosternal, di atas manubrium sterni ditemukan perubahan
suara sonor ke redup atau pekak dari satu sisi ke sisi yang lainnya.
d. Auskultasi
Pada penyakit graves dapat didengar adanya bunyi desis (bruit) pada auskultasi dan
dapat pula teraba geratan (thrill) pada palpasi kelenjer tiroid.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pada kecurigaan adanya kelainan tiroid maka dilakukan pemeriksaan darah dengan tujuan
untuk menguji fungsi tiroid (thyroid function test = TFT). Parameter yang tersedia adalah T4
total, T3 total, T3 uptake dan TSH. Penetapan T4 total tidak tepat menggambarkan fungsi
tiroid sebab dipengaruhi oleh Thyroid binding globulin (TBG) sehingga hasil dapat tinggi
atau rendah palsu, juga bisa kerna dipengaruhi oleh obat-obatan tertentu. Oleh karena itu ada
parameter hitungan yaitu Free thyroxin index (FTI) yang didapatkan dari nilai T4 total x T3
20
uptake sebagai perkiraan kadar T4 bebas. FTI ini lebih baik daripada hanya kadar T4 total.
Hasil yang tinggi sesuai dengan hipertiroidisme dan yang rendah sesuai dengan
hipotiroidisme. TSH lama kurang peka, hanya dapat mendeteksi kadar tinggi sehingga hanya
mendiagnosis hipotiroid.
Dengan perkembangan teknik pengukuran yang makin peka maka kemungkinan untuk
mengukur kadar T4 bebas (FT4), T3 bebas (FT3) dan TSHS sensitive (TSHs). Dengan
adanya FT4 dan FT3 maka FTI tidak diperlukan lagi. TSHs dapat mengukur kadar TSH baik
yang tinggi maupun rendah sehingga juga dapat mendiagnosis hipertiroid atau tirotoksikosis.
Sekarang dengan TSH yang dimaksud adalah TSHs. Pada sangkaan adanya kelainan tiroid
baik gangguan fungsi maupun morfologi maka TFT dimulai dengan TSH, diteruskan dengan
FT4 atau FT3.(7)
b. Pemeriksaan sitology diperoleh dengan biopsy aspirasi jarum halus ( fine needle aspiration
biopsy/FNA). Pada hasil pemeriksaan ini ditemukan adanya infiltrasi sel-sel limfosit pada
kelenjar tiroid.
Ciri mikroskopis dari penyakit Hashimoto adalah tampak potongan jaringan tiroid dengan
struktur folikel yang rusak. Terdapat bentukan limfoid folikel dengan germinal center di
bagian tengah. terdapat bentukan sel hurtler yaitu sel berukuran besar, sitoplasma granuler
dan eosinofilik.
c. Sidik radioaktif/thyro-scan dengan unsur radioaktif teknesium (tc99m) atau yodium 131 (I
131) dapat menunjukkan gambaran fungsional jaringan tiroid dengan melihat kemampuan
pengambilan terhadap unsur radioaktif tersebut diatas. Cara ini berguna untuk menentukan
apakah nodul dalam kelenjar tiroid bersifat hiperfungsi ( nodul panas = hot nodule),
hipofungsi ( nodule dingin = cold nodule ), atau normal ( nodul hangat/warm nodule).
21
Kemungkinan keganasan ternyata lebih besar pada nodul dingin meskipun karsinoma tiroid
dapat juga ditemukan pada nodul hangat atau bahkan nodul panas, seperti pada anak-anak.
d. Teknik ultrasonografi digunakan untuk menentukan apakah nodul tiroid, baik yang teraba
pada palpasi maupun yang tidak, merupakan nodul tunggal atau multiple padat atau kistik.
Pemeriksaan ultrasonografi ini terbatas nilainya dalam menyingkirkan kemungkinan
keganasan dan hanya dapat mendeteksi nodul yang berpenampang lebih dari setengah
sentimeter.(10)
Algoritma untuk Diagnosis Suspek Tiroiditis
22
V. PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan tiroiditis diberikan sesuai dengan tipe dan presentasi
klinisnya.5
1. Tiroiditis Akut
Tiroiditis akut membutuhkan penanganan cepat dengan menggunakan antibiotik
parentreal sebelum pembentukan abses dimulai. Untuk terapi awal, dapat diberikan
penisilin atau ampisilin untuk kokus gram postifi, dan kuman anaerob yang biasanya
menyebabkan tiroiditis. Pada pasien yang alergi terhadap penisilin, dapat digunakan
antibiotik golongan sefalosporin.6
2. Tiroiditis Subakut
Tiroiditis subakut merupakan self-limiting disease. Tujuan terapi adalah untuk
memperbaikan rasa tidak nyaman dan mengontrol fungsi tiroid yang abnormal. Rasa
tidak nyaman biasanya dapat diperbaiki dengan pemberian aspirin dosis rendah. Pada
beberapa kasus (jarang), pemberian aspirin tidak dapat mengatasi rasa nyeri, sehingga
dapat diberikan prednisone selama seminggu, kemudian dilakukan tappering off.6
Propanolol dapat digunakan untuk mengurangi tanda dan gejala dari hipertiroid. Dosis
rendah levotiroksin dapat diberikan untuk pasien dengan hipotiroid.6
3. Tiroiditis Kronis Autoimun
Pengobatan diberikan tergantung dari hasil laboratorium fungsi tiroid. Pasien dengan
gejala hipotiroid yang nyata, dengan TSH tingi dan FT4 yang rendah perlu diberikan
levotiroksin. Dosis yang diberikan sesuai dengan umur. Selama pengobatan, kadar
TSH tetap perlu dimonitor.6
Pengobatan pada hipotiroid subklinis pada pasien dengan TSH meningkat dan FT4
normal masih kontroversi.
Penggunaan tiroksin pada pasien dengan goiter akibat tiroiditis autoimun dengan kadar
TSh dan FT4 normal juga masih kontroversial. Beberapa studi menunjukkan
terjadinya pengecilan ukuran kelenjar, namun studi yang lain mengatakan bahwa
pengecilan ukuran kelencar hanya terjadi pada anak-anak dengan kadar TSH yang
meningkat.
23
Sesuai dengan presentasi klinisnya maka pengobatan yang diberikan pada tiroiditis
adalah sebagai berikut:7
Penggantian Hormon Tiroid
Levotiroksin merupakan terapi pilihan untuk pasien hipotiroidsme.
1. Levothyroxine (Synthroid, Levoxyl, Levothroid, Unithroid)
Dalam bentuk aktif, mempengaruhi pertumbuhan dan pematangan jaringan.
Terlibat dalam pertumbuhan normal, metabolisme, dan perkembangan. Membuat tingkat
T3 dan T4 stabil. Diberikan sebagai dosis tunggal di pagi hari saat perut kosong. Dapat
diberikan PO / IV / IM. Memiliki waktu paruh yang panjang (7-10 hari), dan dosis
parenteral jarang diperlukan (kecuali jika obat oral tidak tersedia, pasien sedang dalam
pemberian makanan enteral secara kontinu misalnya melalui NGT , atau dalam keadaan
darurat, seperti koma myxedema). Dosis subterapeutik awal dianjurkan untuk
menghindari stres pada perubahan metabolic yang cepat pada pasien usia lanjut dan pada
mereka yang memiliki penyakit arteri koroner atau PPOK berat.7
Dewasa
1,6 µg/kg/hari per oral; dosis yang lebih tinggi mungkin diperlukan dalam
kehamilan; pada lanjut usia dan orang-orang dengan penyakit koroner atau PPOK berat,
mulai dari 25-50 µg/hari per oral, meningkat 25-50 µg/hari setiap 4-8 minggu sampai
respon yang dikehendaki tercapai.Maintenance: 50-200 µg per oral setiap pagi.8
Hipotiroidisme subklinis: Jika diobati dosis awal L-T4 25-50µg/hari dapat
digunakan dan dititrasi setiap 6-8wk untuk mencapai target TSH antara 0,3 dan 3
mIU/mL.8
Koma myxedema: 200-250 µg IV bolus, diikuti dengan 100 µg pada hari
berikutnya dan kemudian 50 µg/hari per oral atau IV bersama dengan T3; menggunakan
dosis lebih kecil pada pasien dengan penyakit jantung; pasien harus terlebih dulu
menerima dosis stress steroid jika mereka memiliki insufisiensi adrenal primer atau
sekunder yang beriringan.8,9,10
24
Anak
Neonatus - 6 bulan : 25-50 µg/hari PO
6-12 bulan : 50-75 µg/hari PO
1-6 tahun : 75-100 µg/hari PO
6-12 tahun : 100-150 µg/hari PO
>12 tahun : 150 µg/hari PO
Interaksi:
Fenitoin dapat meningkatkan degradasi, agen antidiabetik, teofilin,
adrenocorticoids, digoksin, dan antikoagulan, yang mungkin memerlukan penyesuaian
dosis. Fenitoin iv dapat melepaskan hormon tiroid dari thyroglobulin; efek dari TCAs dan
sympathomimetik dapat ditingkatkan; cholestyramine, sucralfate, zat besi dapat
menurunkan absorpsi; estrogen dapat menurunkan respons terhadap terapi hormon tiroid
pada pasien dengan kelenjar tiroid yang tidak berfungsi; aktivitas dari beberapa beta-
blocker dapat menurun bila pasien dengan hipotiroidisme dikonversi menjadi stadium
eutiroid; beta-blocker dapat menurunkan konversi T3 ke T4.7,10
Kontraindikasi :Hipersensitivitas, insufisiensi adrenal yang tidak dikoreksi; infark
myocardial akut yang tidak diperparah oleh hipotiroidisme; tirotoksikosis yang tidak
diobati.6
Perhatian
Pasien usia lanjut dan pasien dengan gagal ginjal, hipertensi, iskemia, angina, dan
penyakit kardiovaskular lainnya; harus secara berkala dipantau status tiroidnya; karena
risiko krisis adrenal, T4 tidak boleh diberikan tanpa kortikosteroid pada setiap pasien
yang diduga insufisiensi adrenal, baik primer atau sekunder.6,8
2. Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil
dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama
25
metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol
yang isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi
intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-
4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling
iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis
tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat
konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas
dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam
pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer.
Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih
panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka
waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan
bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi
spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah
pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid
biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis,
diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap
6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg, 1 atau 2 kali sehari.
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat
menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon
secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis
tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama
1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 – 20 mg perhari.11
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada
beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3x100-200 mg/hari
26
dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu
pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis
dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis
terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat
mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila
dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di
naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor
penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis.12
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping,
yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih
kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa
bulan pertama pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga
perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi
alternatif yaitu yodium radioaktif. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan
sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan
Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular
toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut,
sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah
dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila
ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki
kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain
atau operasi.11,12
Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti
dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.12
Obat golongan penyekat beta11,12
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat untuk
mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor,
cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek
27
antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3
melalui penghambatannya terhadap konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya
berkisar 80 mg/hari.
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi kerja
lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50
mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol.
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping yang
dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih
jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan
penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung
yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan
bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat
monoamin oksidase.
Obat lain11,12
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast, potassium
perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid,
tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat
tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau
setelah terapi iodium radioaktif.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan ukuran
kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT)
mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan
sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah
angka kekambuhan yang tinggi setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai
90%. Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan,
kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi didalam
makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT.
Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk memantau respons terapi,
dimana yang paling bermakna adalah pemeriksaan kadar FT4 dan TSH.
28
BAB III
Kesimpulan
Tiroiditis adalah inflamasi yang terjadi pada kelenjar tiroid yang dapat menyebabkan
kelainan fungsi hormon yang bervariasi. Biasanya tiroiditisi disebabkan oleh autoimun, namun
selain itu dapat juga disebabkan oleh infeksi.
Berdasarkan perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit, maka tiroiditis dibagi
menjadi 3 golongan, tiroiditis akut, subakut, dan kronis. Gejalanya bervariasi tergantung
kelainan yang disebabkan.
Pemeriksaan penunjang yang bermakna untuk diagnosis tiroiditis antara lain fungsi tiroid,
pemeriksaan antibodi tiroid, LED, radioactive iodine uptake (RAIU), dan apabila disebabkan
oleh bakteri, dapat dilakukan fine needle aspiration biopsy (FNAB).
Penatalaksanaan yang diberikan pun variatif sesuai dengan kelainan fungsi tiroid yang
terjadi. Pada penderita tiroiditis dengan tiroroksikosis, dapat diberikan beta bloker untuk
mengatasi gejala yang muncul. Pemberian obat-obatan anti tiroid tidak diberikan karena pada
kasus tiroiditis, kelenjar tiroid tidak aktif, peningkatan hormon disebabkan oleh penghancuran
sel folikel oleh autoantibodi. Untuk pasien dengan hipotiroid subklinis, tidak diperlukan subtitusi
hormon, namun bila gejala hipotiroid yang muncul berat, dapat diberikan terapi pengganti
hormon (levotiroksin).
29
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. SIbarani RP. Tiroiditis. Penatalaksanaan penyakit-penyakit tiroid bagi dokter. Jakarta:Interna Publishing;2008.p.56-62
2. Guyton, Arthur C,Johan E Hall. Hormon metabolic tiroid. In: Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta:ECG.2007
3. Djokomoeljanto R, Sudoyo AW, Setiyohadi B. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme dan hipertiroidisme. Dalam:Buku ajar ilmu penyakit dalam: Pusat penerbitan departemen IPD,FKUI Jilid 3 Edisi keempat;2006.hal.1955-65
4. Pearce EN. Farwell AP, Braverman LE. Thyroiditis. [Published correction appears in N Engl J Med 2003;349:620]. N Engl J Med 2003;348: 2646-55
5. Sudoyo W A, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Juni 2009.
6. Gyamfi C, Wapner RJ, D'Alton ME. Thyroid dysfunction in pregnancy: the basic science and clinical evidence surrounding the controversy in management. Obstet Gynecol. Mar 2009;113(3):702-7. Available at http://emedicine.medscape.com/article/122393. Accessed on October 21th, 2015.
7. Peleg RK, Efrati S, Benbassat C, Fygenzo M, Golik A. The effect of levothyroxine on arterial stiffness and lipid profile in patients with subclinical hypothyroidism. Thyroid. Aug 2008;18(8):825-30. Available at http://emedicine.medscape.com/article/122393. Accessed on October 21th, 2015.
8. Cinemre H, Bilir C, Gokosmanoglu F, Bahcebasi T. Hematologic effects of levothyroxine in iron-deficient subclinical hypothyroid patients: a randomized, double-blind, controlled study. J Clin Endocrinol Metab. Jan 2009;94(1):151-6. Available at http://emedicine.medscape.com/article/122393. Accessed on October 21th, 2015.
9. American Association of Clinical Endocrinologists. American Association of Clinical Endocrinologists medical guidelines for clinical practice for the evaluation and treatment of hyperthyroidism and hypothyroidism. Endocr Pract. Nov-Dec 2002;8(6):457-469. Available at http://emedicine.medscape.com/article/122393. Accessed on October 21th, 2015.
10. Wartofsky L. Myxedema coma. Endocrinol Metab Clin North Am. Dec 2006;35(4):687-698, vii-viii. Available at http://emedicine.medscape.com/article/122393. Accessed on October 21th, 2015.
30
11. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18
12. Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001 : hal 1-5
31