Step 1-4 Sken 4 Epistaksis
-
Upload
dewandaru-i-a-b -
Category
Documents
-
view
237 -
download
2
description
Transcript of Step 1-4 Sken 4 Epistaksis
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Apa penyebab terjadinya keluar darah dari kedua lubang hidung pada
pasien?
2. Mengapa pasien merasa seperti darahnya dapat tertelan?
3. Diagnosis banding kasus?
BAB III
ANALISIS MASALAH
3.1. Penyebab terjadinya keluar darah dari hidung (epistaksis) pada pasien
Menurut Adams, Boeis, & Higler (2012), Cho & Kim (2012) dan Soepardi,
Iskandar, Bashiruddin & Resuti (2014) berdasarkan daerah asal pendarahan
epistaksis dibagi atas 2 kategori yaitu (1) epistaksis anterior; (2) epistaksis
posterior.
1) Epistaksis antrior : daerah asal pendarahan yang paling sering adalah pleksus
Kiesselbach yaitu daerah septum anterior tempat pembuluh darah yang
berasal dari arteri karotid internal dan karotid ekstrrnal bertemu (Gambar 1).
Daerah ini memiliki mukosa tipis sehingga rentan terhadap paparan udara dan
trauma. Epistaksis ini paling sering diderita oleh anak-anak (Lubis & Saragih,
2007; Cho & Kim, 2012).
2) Epistaksis posterior : biasanya berasal dari cavum nasi posterior yang
divaskularisasi oleh percabangan arteri sfenopalatina, dan biasa terjadi di belakang
konkha media atau di bagian posterior superior atap kavum nasi yaitu pada daerah
pleksus Woodruff (Gambar 2), dimana epistaksis posterior sering terjadi pada
orang dewasa (Cho & Kim, 2012).
Berdasarkan hal tersebut, maka penyebab terjadinya keluar darah dari hidung
pasien yang berusia 75 tahun tersebut adalah adanya kejadian epistaksis posterior.
Cho & Kim (2012) menyatakan bahwa penyebab epistaksis posterior dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor lokal dan faktor sistemik.
Beberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis posterior
antara lain :
Obat semprot hidung (nasal spray). Penggunaan obat semprot hidung secara
terus menerus, terutama golongan kortikosteroid, dapat menyebabkan
epistaksis intermitten.
Kelainan anatomi: adanya spina, krista dan deviasi septum.
Tumor intranasal atau sinonasal.
Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika. Seperti dekongestan topikal dan
kokain.
Kelainan vaskuler. Seperti kelainan yang dikenal dengan Wagener’s
granulomatosis (kelainan yang didapat)
Adapun penyebab epistaksis yang bersifat sistemik antara lain :
Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic telangectasia)
merupakan kelainan bawaan yang diturunkan secara autosom dominan.
Trauma ringan pada mukosa hidung akan menyebabkan perdarahan yang
hebat. Hal ini disebabkan oleh melemahnya gerakan kontraktilitas pembuluh
darah serta terdapatnya fistula arteriovenous.
Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia (heparin, warfarin) dan
antiplatelets (aspirin, clopidogrel).
Kegagalan fungsi organ seperti uremia dan sirosis hepatis.
Atheroslerosis, hipertensi dan alkohol.
Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormon adrenokortikosteroid atau
hormon mineralokortikoid, pheochromocytoma, hyperthyroidism atau
hypothyroidism, kelebihan hormon pertumbuhan dan hyperparathyroidism.
Berdasarkan hal tersebut, dan mengingat usia pasien yang sudah lanjut,
maka penegakkan diagnosis pasien adalah epistaksis posterior yang disebabkan
oleh adanya faktor lokal tumor atau faktor sistemik hipertensi.
Budiman & Al-Hafiz menyatakan bahwa epistaksis pada pasien hipertensi
merupakan suatu kompensasi dari tubuh terhadap adanya tekanan darah yang
tinggi. Pecahnya pembuluh darah di hidung, dapat mengurangi tekanan aliran
darah ke otak sehingga penyakit stroke dapat dicegah.
Menurut Herkner et al. (2000) ada dua hipotesis yang menerangkan kenapa
epistaksis dapat terjadi pada pasien-pasien dengan hipertensi :
1) Pasien dengan hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh darah
yang kronis. Hal ini berisiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan
tekanan darah yang abnormal.
2) Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan
berulang pada bagian hidung yang kaya dengan persarafan autonom yaitu
bagian pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka
inferior.
Gambar 1. Epistaksis anterior pada area Kiesselbach
Gambar 2. Epistaksis posterior pada area Woodruff plexus
3.2. Pasien merasa seperti darahnya dapat tertelan
Menurut Cho & Kim (2012) epistaksis posterior terjadi pada bagian hidung
yang letaknya jauh di belakang, yang biasa terjadi pada daerah pleksus Woodruff
(Gambar 2). Dimana daerah asal pendarahan tersebut sangat dekat dengan organ
tenggorokan, sehingga sangat wajar apabila pasien merasa seperti darahnya
tertelan.
3.3. DD kasus pasien
Menurut Budiman & Al-Hafiz serta Cho & Kim (2012) diagnosis banding dari
penyakit epistaksis yang diderita pasien adalah :
Epistaksis posterior yang disebabkan hipertensi
Epistaksis posterior yang disebabkan tumor
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G.L., Boeis, L.R. & Higler, P.H. (2012). BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran EGC.
Budiman, J.K. & Al-Hafiz. (2010). Epistaksis dan Hipertensi : Adakah Hubungannya?. Padang : Bagian Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala dan Leher, FK Universitas Andalas.
Cho, J.H. & Kim, Y.H. (2012). Epistaxis. In. B.S. Gendeh (Ed.). Otolaryngology. (pp. 26-44). Rijeka, Croatia : InTech.
Herkner H, Laggner, A.N., Muller. M., Formanek, M., & Bur, A. (2000). Hypertension in patients presenting with epistaxis. Annals of Emergency Medicine, 35(2), 126-30.
Lubis, B. & Saragih, R.A.C. (2007). Tatalaksana epistaksis berulang pada anak. Sari Pediatri, 9(2), 75-79.
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin,J. & Resuti, R.D. (2014). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Eddisi 7. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.