eksoftalmus
-
Upload
astri-anggreini -
Category
Documents
-
view
53 -
download
1
description
Transcript of eksoftalmus
1
BAB I
PENDAHULUAN
Mata bukanlah suatu organ vital bagi manusia, tanpa mata manusia masih dapat
hidup, namun keberadaan mata sangatlah penting. Mata adalah jendela kehidupan, tanpa mata
manusia tidak dapat melihat apa yang ada di sekelilingnya. Oleh karena itu pemeliharaan
mata sangatlah penting.
Salah satu struktur penting yang menyokong mata adalah orbita. Struktur tulang orbita
yang kaku, dengan lubang anterior sebagai satu-satunya tempat untuk ekspansi, setiap
penambahan isi orbita yang terjadi di samping atau di belakang bola mata akan mendorong
organ tersebut ke depan dan akan menimbulkan perubahan letak dari bola mata ke depan dan
mengakibatkan eksoftalmus (proptosis, protrusio bulbi). Penonjolan bola mata adalah tanda
utama penyakit orbita. Lesi-lesi ekspansif dapat bersifat jinak atau ganas dan dapat berasal
dari tulang, otot, saraf, pembuluh darah, atau jaringan ikat. Massa dapat bersifat radang,
neoplastik, kistik, atau vaskular. Penonjolan itu sendiri tidak bersifat mencederai kecuali
apabila kelopak mata tidak mampu menutup kornea. Namun penyebab yang mendasari
biasanya serius dan kadang-kadang membahayakan jiwa.2,3
Anamnesis dan pemeriksaan fisik memberikan banyak petunjuk mengenai penyebab
proptosis. Kelainan bilateral umumnya mengindikasikan penyakit sistemik. Eksoftalmometer
Hertel adalah metode pengukuran standar untuk mengukur tingkat proptosis. Oleh karena itu,
pada makalah ini kami mencoba membahas beberapa penyakit yang dapat menyebabkan
eksoftalmus.4
2
BAB II
ANATOMI RONGGA ORBITA
Ruang orbita merupakan suatu piramid yang puncaknya di sebelah posterior dibentuk
oleh foramen optikum dan basisnya di bagian anterior di bentuk oleh margo orbita. Dinding
medial dari mata kanan dan kiri sejajar. Dinding lateralnya dari mata kanan tegak lurus
terhadap dinding lateral mata kiri. Pertumbuhan penuh dicapai pada umur 18-20 tahun
dengan volume orbita dewasa ± 30cc, tinggi 35 mm dan lebar 40 mm. Bola mata hanya
menempati sekitar 1/5 bagian ruangannya. Lemak dan otot menempati bagian terbesarnya.
Otot-otot mata terdiri dari m. levator palbebra, m. rektus superior, m. rektus inferior, m.
rektus lateralis, m. rektus medialis, m. obliqus inferior, m. obliqus superior.1,5
Tulang-tulang orbita terdiri dari:
Bagian atas : os frontalis, os sphenoidalis
Bagian medial : os maksilaris, os lakrimalis, os sphenoidalis, os ethmoidalis, lamina
papyracea hubungan ke os sphenoidalis. Dinding ini paling tipis.
Bagian bawah : os maksilaris, os zigomatikum,os palatinum.
Bagian lateral : os zigomatikum, os sphenoidalis, os frontalis. Dinding ini paling
tebal.5
Di ruang orbita terdapat 3 lubang yang dilalui oleh pembuluh darah, serat saraf, yang
masuk ke dalam mata, yang terdiri dari:
1. Foramen optikum yang dilalui oleh N. Optikus, A. Oftalmika.
2. Fisura orbita superior yang dialalui oleh v. Oftalmika, N. III, IV, VI untuk otot-otot
dan N.V (saraf sensibel).
3. Fisura orbita inferior yang dialalui oleh nervus, vena, dan arteri infra orbita.
Ruang orbita dikelilingi sinus-sinus, yaitu :
Atas : Sinus frontalis
Bawah : Sinus maksilaris
Medial : Sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan ruang hidung
3
4
Dinding Orbita :
Atap :
- facies orbitais ossis frontalis
- Ala parva ossis sphenoidalis (bgn posterior) mengandung kanalis optikus
Dasar :
- pars orbitais ossis maksilaris (bgn sentral yang luas)
- pars frontalis ossis maksilaris (medial)
- os zygomaticum (lateral)
- processus orbitais ossis palatini (daerah segitiga kecil di posterior)
Lateral :
- anterior : facies orbitais ossis zygomatici (malar)
Medial :
- os ethmoidale
- os lakrimale
- korpus sphenoidale
- crista lacrimalis anterior : dibentuk oleh processus frontalis ossis maksilaris
- crista lacrimalis posterior yg dibentuk oleh :
Atas : processus angularis ossis frontalis
Bawah : os lacrimale
Diantara kedua crista lacrimalis terdapat sulkus lakrimalis dan berisi sakus lakrimalis.
Vaskularisasi Orbita
Arteri utama : Arteri Oftalmika yang bercabang menjadi :
1. Arteri retina sentralis memperdarahi nervus optikus
2. Arteri lakrimalis memperdarahi glandula lakrimalis dan kelopak mata atas
3. Cabang-cabang muskularis berbagai otot orbita
5
4. Arteri siliaris posterior brevis memperdarahi koroid dan bagian-bagian nervus
optikus
5. Arteri siliaris posterior longa memperdarahi korpus siliare
6. Arteri siliaris anterior memperdarahi sklera, episklera,limbus, konjungtiva
7. Arteri palpebralis media ke kedua kelopak mata
8. Arteri supraorbitais
9. Arteri supratrokhlearis
Arteri-arteri siliaris posterior longa saling beranastomosis satu dengan yang lain serta
dengan arteri siliaris anterior membentuk circulus arterialis mayor iris.
Vena utama : Vena Oftalmika superior dan inferior. Vena Oftalmika Superior
dibentuk dari :
Vena ini membentuk hubungan langsung antara kulit wajah dengan sinus kavernosus
sehingga dapat menimbulkan trombosis sinus kavernosus yang potensial fatal akibat infeksi
superfisial di kulit periorbita.mempercepat penguapan. Air mata tidak meleleh melalui pipi
juga, karena isi dari glandula meibom, menjaga margo palpebra tertutup rapat pada waktu
berkedip.
6
BAB III
EKSOFTALMUS
Eksoftalmus (proptosis, protrusio bulbi) merupakan keadaan dimana bola mata
menonjol keluar. Penonjolan bola mata adalah tanda utama penyakit orbita. Penyebabnya
bisa bermacam-macam, diantaranya:4
1. Kavum orbita terlalu dangkal.
2. Edema, radang, tumor, perdarahan di dalam orbita.
3. Pembesaran dari bola mata.
4. Dilatasi dari ruangan di sinus-sinus di sekitar mata dengan berbagai sebab, radang,
tumor, dan sebagainya.
5. Trombosis dari sinus kavernosus.
6. Eksoftalmus goiter.
Semua penyebab di atas mengakibatkan timbul bendungan di palpebra dan
konjungtiva, gerak mata terganggu, diplopia, rasa sakit bila bengkak hebat, lagoftalmus
karena mata tidak bisa menutup sempurna sehingga menyebabkan epifora. Tarikan pada N. II
menyebabkan gangguan visus.4
Gambar 3. Penderita eksoftalmus
Pada orang dewasa, thyroid orbitopathy adalah penyebab paling umum dari
eksoftalmus unilateral dan bilateral. Penyebab lainnya adalah neoplasma seperti hemangioma
kavernosa, limfangioma, limfoma Wegener granulomatosis dan selulitis orbital.3,5
Pada anak – anak, eksoftalmus unilateral sering disebabkan oleh selulitis; dan bila
pada kasus eksoftalmus bilateral sering disebabkan oleh neuroblastoma dan leukemia.5
7
Apapun penyebab dari eksoftalmus, mekanisme terjadinya tonjolan pada bola mata
merupakan akibat sekunder karena meningkatnya volume maupun ukuran dari struktur
penyokong bola mata, khususnya orbita.3
Pemeriksaan pada eksoftalmus yang harus dilakukan adalah:
1. Riwayat penyakit.
2. Pemeriksaan mata secara sistematis dan teliti, dapat dilakukan dengan penyinaran
oblik, slit lamp, funduskopi, tonometri, eksoftalmometer, dimana normal penonjolan
mata sekitar 12-20 mm. Selain itu dapat pula dilakukan tes lapangan pandang dan
pemeriksaan visus. Protrusi dari mata merupakan gejala klinik yang penting dari
penyakit mata. Eksoftalmometer Hertel adalah sebuah alat yang telah diterima secara
umum untuk menilai kuantitas proptosis. Diperlukan metode untuk mengukur
diameter antero-posterior bola mata terhadap tepian tulang orbita. Tepian orbita
lateral adalah penunjuk yang jelas dan mudah diraba serta dipakai sebagai titik
rujukan. Eksoftalmometer adalah suatu instrumen manual dengan dua alat pengukur
yang identik (satu untuk masing-masing mata), yang dihubungkan dengan balok
horizontal. Jarak antar kedua alat itu dapat diubah dengan menggeser salah satunya
agar mendekat atau menjauh , dan masing-masing memiliki takik yang pas untuk
menahan tepian orbita lateral yyang sesuai. Bila diposisikan dengan tepat, satu set
cermin yang dipasang akan memantulkan bayangan samping masing-masing mata di
sisi sebuah skala pengukur, yang terkalibrasi dalam millimeter. Ujung bayangan
kornea yang sejajar dengan bayangan skala menunjukkan jaraknya dari tepian orbita.7
Pasien didudukkan menghadap pemeriksa. Jarak antara kedua alat pengukur
disesuaikan sehingga masing-masing berjajar dan menempel pada tepian orbita yang
sesuai. Agar pengukuran dapat diulang dengan standar yang sama dikemudian hari,
jarak antara kedua alat ini dicatat – berupa skala tambaham di balok horizontal.
Dengan menggunakan skala cermin pertama, posisi mata kanan pasien diukur saat
menatap mata kiri pemeriksa. Mata kiri pasien diukur saat menatap mata kanan
pemeriksaan.7
Jarak dari kornea ke tepian orbita biasanya berkisar 12 sampai 20 mm, dan ukuran
kedua mata biasanya tidak lebih dari 2 mm. jarak yang lebih besar terdapat pada
eksoftalmus, bisa uni- atau bilateral. Penonjolan mata yang abnormal ini dapat
8
disebabkan oleh penambahan masa orbita apapun, ,mengingat ukuran rongga orbita
tetap. Penyebabnya antara lain perdarahan orbita, neoplasma, radang atau edema.7
3. Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium, USG, CT-Scan, arteriografi,
dan venografi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis.
- Pemeriksaan laboratorium dapat berupa uji antibodi (anti-tiroglobulin, anti-
mikrosomal, dan anti-tirotropin reseptor) dan kadar hormon-hormon tiroid
(T3, T4 dan TSH).8
- Pemeriksaan Ultrasound merupakan suatu penilaian terhadap jaringan lunak
dengan menggunakan getaran suara. Ada 2 cara pemeriksaan yaitu A scan dan
B scan. A scan adalah penilaian hasil ekho, untuk mengetahui struktur
jaringan, sedangkan B scan memberikan penilaian topografis, untuk
mengetahui besar, bentuk, dan lokalisasi jaringan. USG dapat digunakan untuk
mendeteksi secara cepat dan awal orbitopati Grave’s pada pasien tanpa gejala
klinik. Yang dapat ditemukan adalah penebalan otot atau pelebaran vena
oftalmica superior.8
- CT-Scan dan MRI dibutuhkan jika dicurigai keikutsertaan nervus optic. CT-
Scan sangat bagus untuk menilai otot ekstraokular, lemak intraconal, dan
apeks orbital. Sedangkan untuk MRI lebih baik dalam menilai kompresi
nervus optik dibandingkan CT-Scan. Dengan bantuan kontras dapat
membedakan tumor ganas dari yang jinak, dimana tumor ganas akan
meningkatkan densitas akibat adanya pertambahan vaskularisasi, sedang pada
tumor jinak tidak ada pertambahan vaskularisasi.9,10,11
- Arteriografi bisa dilakukan dengan penyuntikan kontras melalui a. Karotis
dapat dilihat bentuk dan jalannya arteri oftalmika.
- Venografi untuk melihat bentuk dan kaliber vena oftalmika superior.
Di bawah ini akan dibahas beberapa penyakit yang dapat menyebabkan eksoftalmus,
yaitu Tiroid oftalmopati, periostitis orbita, selulitis orbita, dan trombosis sinus kavernosus.
9
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1. Tiroid Oftalmopati
Pada pendertia kelainan tiroid akan terlihat gejala eksoftalmus ini yang disebut
sebagai eksoftalmus goiter. Bemacam penyebab yang diduga sebagai eksoftalmus goiter
seperti menebalnya jaringan otot penggerak bola mata, bertambahnya jaringan lemak,
lumpuhnya otot muller kelopak. Kelainan ini biasanya binocular akan tetapi dapat juga
monocular. Pada kelainan tirotoksikosis akan terlihat kelainan lain sepeti tanda Grafe,
Stellwag, dan Mobius.4
4.1.1. Definisi
Tiroid oftalmopati (Graves thyroid-associated atau dysthyroid orbitopathy) adalah
suatu kelainan autoimun yang menyerang jaringan orbital dan periorbital mata, dengan
karakteristik retraksi kelopak mata atas, edema, eritem, konjungtivitis, dan penonjolan mata
(proptosis).12
4.1.2. Epidemiologi
Dari berbagai macam penelitian berpendapat bahwa tiroid oftalmopati mengenai
wanita 2,5-6 kali lebih sering daripada pria tetapi kasus berat lebih sering dijumpai pada pria.
Tiroid oftalmopati mengenai penderita dengan usia 30-50 tahun dan kasus berat lebih sering
dijumpai pada pasien dengan usia di atas 50 tahun.13
4.1.3. Patogenesis
Autoantibodi menyerang fibroblast pada otot mata, dan fibroblast tersebut dapat
berubah menjadi sel-sel lemak (adiposit). Sel-sel lemak dan pembesaran otot dan menjadi
radang. Vena-vena terjepit, dan tidak dapat mengalirkan cairan, menyebabkan edema.8
Gambaran utama adalah distensi nyata otot-otot okular akibat pengendapan
mukopolisakarida. Mukopolisakarida bersifat sangat higroskopik sehingga meningkatkan
kandungan air didalam orbita.8
10
Sekarang diperkirakan terdapat dua komponen patogenik pada penyakit Graves:
1. Kompleks imun tiroglobulin-antitiroglobulin berikatan dengan otot-otot ekstraokular
dan menimbulkan myositis
2. Zat-zat penyebab eksoftalmos bekerja dengan imunoglonulin oftalmik untuk
menyingkirkan thyroid stimulating hormone dari membran retro-orbita, yang
menyebabkan peningkatan lemak retro-orbita.12
4.1.4. Gambaran Klinis
Tanda mata penyakit Graves mencakup retraksi palpebra, pembengkakan palpebra
dan konjungtiva, eksoftalmos dan oftalmoplegia. Pasien datang dengan keluhan nonspesifik
misalnya mata kering, rasa tidak enak, atau mata menonjol.14
The American Thyroid Association membuat penentuan derajat tanda okular
berdasarkan peningkatan keparahan.14
Retraksi kelopak mata patognomonik untuk penyakit tiroid, terutama apabila
berkaitan dengan eksoftalmos. Mungkin unilateral atau bilateral dan mengenai kelopak mata
atas dan bawah. Kelainan ini sering disertai oleh miopati restriktif, yang mula-mula mengenai
rektus inferior dan menimbulkan gangguan elevasi mata.12
Patogenesis retraksi kelopak mata bermacam-macam, antara lain:
1. Hiperstimulasi sistem saraf simpatis
2. Infiltrasi peradangan langsung pada otot levator
11
3. Miopati restriktif otot rektus inferior dapat menimbulkan retraksi kelopak mata akibat
peningkatan stimulasi levator sewaktu mata mencoba melihat ke atas.
A. Eksoftalmus
Derajat eksoftalmus dapat sangat bervariasi. Pengukuran dengan menggunakan
eksoftalmometer Hertel atau Krahn memberikan kisaran hasil dari ringan (kurang dari 24
mm) sampai berat (28 mm atau lebih). Kondisi ini biasanya asimetrik dan mungkin unilateral.
Peningkatan isi orbita yang menimbulkan eksoftalmos terjadi akibat peningkatan massa otot-
otot okular dan lemak orbita; dengan demikian, secara klinis perlu dilakukan perkiraan
resistensi terhadap retropulsi bola mata secara manual. MRI atau CT scan dapat
membedakannya dari eksoftalmus akibat suatu tumor orbita. Pada sebagian kasus otot okular
mungkin terbatas pada otot tertentu saja – umumnya otot rektus inferior atau rektus medialis.7
Gambar 4. Eksoftalmus pada tiroid oftalmopati
B. Oftalmoplegia
Kelainan ini lebih sering dijumpai pada penyakit Graves oftalmik, biasanya mengenai orang
tua dan asimetrik. Keterbatasan elevasi adalah kelainan yang paling sering dijumpai, terutama
disebabkan oleh adhesi antara otot rektus inferior dan oblikus inferior. Kelainan ini dapat
dikonfirmasi dengan mengukur tekanan intraokular sewaktu elevasi, di mana terjadi
peningkatan tekanan intraokular yang mengisyaratkan adanya pertautan. Sering terjadi
pembatasan-pembatasan gerakan mata pada semua posisi menetap. Pasien mengeluhkan
diplopia.7
Gambar 5. Oftalmoplegia pada pasien tiroid oftalmopati
12
C. Kelainan Saraf Optikus dan Retina
Kompresi bola mata oleh isi orbita dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraokular dan
strie retina atau koroid. Diskus optikus dapat membengkak dan menyebabkan gangguan
penglihatan akibat atrofi optikus.7
Neuropati optikus yang berkaitan dengan penyakit Graves kadang-kadang terjadi akibat
penekanan dan iskemia saraf optikus sewaktu saraf ini menyeberangi orbita yang tegang,
terutama di apeks orbita.7
D. Kelainan Kornea
Pada sebagian pasien, dapat ditemukan keratokonjungtivitis limbik superior. Pada
eksoftalmos yang parah, dapat terjadi pemajanan dan ulserasi kornea.7
E. Tanda Spesifik
1. Tanda dari Von Graef : Palpebra superior tak dapat mengikuti gerak bola mata, bila
penderita melihat ke bawah palpebra superior tertinggal dalam pergerakannya.
2. Tanda dari Dalrymple : Sangat melebarnya fisura palpebra, sehingga mata menjadi
melotot.
3. Tanda dari Stellwag : Frekwensi kedipan berkurang dan tak teratur.
4. Tanda Mobius : Kekuatan kkonvergensi menurun.
5. Tanda dari Gifford : Timbulnya kesukaran untuk mengangkat palpebra superior
karena menjadi kaku.
Patogenesis kelainan mata
Proses penyakit graves menimbulkan pengaruh otot-otot ekstraokular, lemak orbita, kelenjar
lakrimalis, dan jaringan ikat interstisial orbita. Otot-otot ekstraokular dapat mengalami
distensi besar-besaran. Secara histologis, otot-otot tersebut tampak edema akibat peningkatan
kandungan mukopolisakarida, yang dibentuk oleh fibroblast orbita karena rangsangan
limfosit yang teraktivasi. Pada akhirnya, terjadi fibrosis otot.7
Oftalmopati graves adalah suatu kelainan autoimun. Antigen spesifik yang terkena
masih belum diketahui walaupun semakin banyak bukti yang menunjuk pada reseptor TSH
13
yang diekspresikan di fibroblast praadiposit retroocular. Pasien biasanya memiliki antibodi
serum terhadap mikrosom tiroid (tiroperoksidase), tiroglobulin, dan immunoglobulin
perangsang tiroid.7
4.1.5. Diagnosis
Tiroid oftalmopati secara klinis di diagnosa dengan munculnya tanda dan gejala pada
daerah mata, tetapi uji antibodi yang positif (anti-tiroglobulin, anti-mikrosomal, dan anti-
tirotropin reseptor) dan kelainan kadar hormon-hormon tiroid (T3, T4 dan TSH) membantu
menegakkan diagnosa.12
Pemeriksaan pencitraan dapat membantu menegakkan diagnosa, antara lain:
1. CT Scan dan MRI
CT scan dan MRI memberikan gambaran yang sangat baik dari otot-otot ekstraokular,
perlekatan otot, lemak intrakonal, dan anatomi apeks orbital. Pembesaran otot muncul
dalam berbagai bentuk diantara perut otot, dan penebalan biasanya lebih dari 4 mm.
Penonjolan lemak intrakonal dapat menyebabkan proptosis. Kedua pemeriksaan ini
dapat mendiagnosa tiroid oftalmopati dengan atau tanpa penekanan saraf optik.12
2. Ultrasonografi Orbital
Pemeriksaan ini sangat baik untuk diagnosa tiroid oftalmopati, dan kekhasan
reflektivitas internal otot-otot ekstraokular dari sedang sampai tinggi, sama halnya
dengan pembesaran perut otot. Perlekatan dari otot ekstraokular dapat digambarkan
dengan mudah. Pasien dengan tiroid oftalmopati menunjukkan peak-systolic rendah
dan percepatan end-diastolic yang dapat dinilai dengan pencitraan Doppler.12
3. Pencitraan Nuklir
Infiltrasi orbital dengan sel-sel mononuklaer pada tiroid oftalmopati dapat
diidentifikasikan oleh reseptor pencitraan dengan octreotide, sebuah analog
somatostatin teradiasi. Pasien dengan tiroid oftalmopati aktif menunjukkan
pengambilan octreotide yang tinggi dan merespon pengobatan lebih baik, misalnya
dengan kortikosteroid atau terapi radiasi. Pasien dengan kelainan inaktif, tidak
merespon pengobatan ini.12
14
Pemeriksaan histologis memberikan gambaran:
1. Infiltrasi sel limfositik
2. Pembesaran fibroblast
3. Penumpukan mukopolisakarida
4. Edema interstisial
5. Peningkatan produksi kolagen
6. Fibrosis dengan perubahan degeneratif pada otot-otot mata.12
4.1.6. Diagnosis Banding
1. Selulitis Orbital : infeksi yang serius dari jaringan mata dengan keluhan demam,
proptosis, pergerakan mata terbatas, kelopak mata merah dan berair.
2. Selulitis Preseptal : inflamasi dan infeksi dari kelopak mata dan bagian kulit di sekitar
mata dengan gejala mata berair, mata merah, kotoran mata, nyeri, injeksi konjungtiva
dan demam.15
4.1.7. Penatalaksanaan
A. Pengobatan Medis
1. Kontrol adekuat terhadap hipertiroidisme
2. Terapi untuk pemaparan kornea (karena penutupan palpebra tak adekuat
malam hari) harus dengan tetes mata metilselulosa sepanjang hari dan salep
kloramfenikol malam hari
3. Tetes mata guanetidin dapat menghasilkan perbaikan retraksi kelopak
temporer, yang mungkin berguna secara kosmetik
4. Prisma yang diselipkan pada kacamata penderita bisa membantu mengoreksi
setiap diplopia
5. Kasus-kasus parah dengan gejala hilangnya penglihatan, edema diskus, atau
ulserasi kornea yang harus diterapi segera dengan kortikosteroid dosis tinggi
(mis. Prednisolon 100-120 mg per hari) selama tiga sampai empat hari dan
kemudian dikurangi. Jika tidak ada perbaikan dalam beberapa hari, maka
harus dipertimbangkan dekompresi bedah dan radioterapi orbita.7
15
B. Pengobatan Bedah
Dekompresi orbita biasanya dilakukan dengan mengangkat dinding medial dan
inferior melalui pendekatan etmoidal. Dekompresi apeks orbita perlu dilakukan agar
hasil akhir baik. Dekompresi bedah orbita bertujuan menghilangkan tekanan
intraorbita. Pembedahan pada otot-otot yang menggerakkan bola mata mungkin perlu
dilakukan untuk meluruskan pandangan pada penderita yang sudah lama mengidap
diplopia.7
4.1.8. Komplikasi
Dengan tiroid eksoftalmos, dapat terjadi infeksi atau keterlibatan kornea.
4.1.9. Prognosis
Prognosis umumnya baik. Kebanyakan pasien tidak memerlukan tindakan
pembedahan. Faktor-faktor resiko untuk tiroid oftalmopati yang progresif dan berat yang
membuat prognosis menjadi buruk antara lain:
1. Jenis kelamin laki-laki
2. Usia lebih dari 50 tahun
3. Onset gejala cepat dibawah 3 bulan
4. Merokok
5. Diabetes
6. Hipertiroidisme berat atau tidak terkontrol
7. Kemunculan miksedema pretibia
8. Kadar kolesterol tinggi (hiperlipidemia)
9. Penyakit pembuluh darah perifer.12
16
4.2. Periostitis Orbita
4.2.1. Definisi
Periositis orbita adalah peradangan dari periost tulang-tulang orbita. Dapat bersifat
dakut atau kronik dan dapat terbatas pada margo orbita atau lebih dalam. Pada perjalanan
penyakitnya mungkin dapat terjadi penebalan periost, pembentukan tulang, abses, timbulnya
nekrosis atau karies tulang orbita.16
4.2.2. Etiologi
1. Peradangan dari kulit atau sinus-sinus di sekitar mata.
2. Trauma yang disertai infeksi di orbita.
3. TBC terutama pada anak-anak. Biasanya mengenai margo orbita lateralis. Pada
tempat ini timbul benjolan berwarna merah tanpa rasa sakit yang disebut cold abses.
Perjalanan penyakinya menahun.
4. Lues stadium III pada dewasa. Biasanya mengenai margo orbita superior. Perjalanan
penyakitnya akut.16
4.2.3. Gejala Klinik
Mengenai margo orbita
1. Terasa sakit terutama pada penekanan margo orbita.
2. Timbul benjolan yang sukar digerakkan dari dasarnya.
3. Palpebra dan konjungtiva bengkak.
4. Bila berat, keadaan umum dapat terganggu. Sering berakhir dengan absorbsi total dari
peradangan tersebut bila pengobatan diberikan segera secara intensif. Jarang timbul
abses yang dapat menyebabkan perforasi si kulit.16
Mengenai periost yang lebih dalam
1. Sakitnya lebih hebat disertai pembengkakan yang hebat dari palpebra dan
konjungtiva.
2. Terdapat eksoftalmus
17
3. Keadaan umum terganggu, dapat berakhir dengan absorbsi total atau menyebabkan
penebalan periost dan nekrosis tulang.
4. Jika terbentuk abses keadaan menjadi lebih buruk dan sukar dibedakan dari selulitis
orbita. Pus dapat menjalar ke depan tetapi lambat. Yang lebih berbahaya jika pus
masuk ke dalam tulang tengkorak sehingga dapat menyebabkan meningitis atau abses
otak.16
4.2.4. Penatalaksanaan
Lokal diberikan kompres hangat. Pada yang supuratif dilakukan insisi sepanjang
margo orbita untuk mengeluarkan pusnya. Kemudian dimasukkan tampon yodoform untuk
mengeluarkan pusnya dari fistula dan tampon ini harus diganti setiap hari sampai pus tidak
keluar lagi. Bila ada karies dari tulang yang nekrotik harus dikeluarkan dengan operasi.16
4.3. Selulitis Orbita
4.3.1. Definisi
Selulitis orbita merupakan peradangan supuratif jaringan ikat jarang intraorbita di
belakang septum orbita.4
Septum orbita adalah lapisan dari fascia yang meluas secara vertikal dari periosteum
di bagian orbita ke aponeurosis levator pada bagian kelopak mata atas dan batas inferior
lempeng tarsal pada bagian bawah kelopak mata. Selulitis orbital (selulitis post septal) dan
selulitis preseptal merupakan infeksi tersering yang menyerang jaringan di orbita dan adneksa
18
mata. Selulitis orbita merupakan penyakit yang menyerang jaringan halus pada bagian orbita
posterior yang meluas sampai ke septum orbita dan bisa dibedakan dengan selulitis preseptal
yang merupakan penyakit yang menginfeksi jaringan halus pada kelopak mata dan regio
periocular anterior dari septum orbita. Penyakit ini merupakan penyebab tersering proptosis
pada anak-anak. Walaupun sebagian besar kasus timbul pada anak-anak, orang dewasa, dan
yang mengalami gangguan kekebalan juga dapat terkena. Penyebab dari penyakit ini sangat
bervariasi dan dapat mengakibatkan komplikasi serius jika tidak ditangani segera.17
4.3.2. Epidemiologi
Penyakit ini biasanya terjadi pada negara yang terdapat musim dingin akibat
meningkatnya insiden sinusitis. 90% kasus selulitis orbita disebabkan oleh Sinusitis
Ethmoid dan biasanya diikuti oleh penyakit-penyakit seperti dakriosistisis, ostiomielitis pada
tulang orbita, pleblitis pada vena fasial, dan infeksi pada gigi. Di Amerika Serikat terdapat
bukti peningkatan insiden penyakit selulitis orbita pada mereka yang memiliki memiliki
riwayat resisten metisilin pada Staphylococcus Aureus salah satu bakteri penyebab selulitis
orbita. Berdasarkan ketersediaan antibiotik penderita yang mengalami selulitis orbital
mempunyai rasio mortalitas 17 % dan 20% yang hidup mengalami kebutaan. Namun dengan
diagnosa segera dan pemberian antibiotik yang tepat rasio penyakit ini menurun hingga 11 %.
Pada kasus selulitis orbita dengan penyebab jamur, mempunyai angka mortalitas yang tinggi
pada pasien dengan keadaan imunosupresi. Namun perlu dicatat bahwa pada kasus selulitis
orbita dengan resisten metisilin pasien tetap akan mengalami kebutaan meskipun mendapat
terapi antibiotik. Secara umum penyakit ini lebih sering menyerang anak-anak pada usia
pertengahan daripada dewasa pada usia 7 – 12 tahun. Pada usia dewasa penyakit ini bisa
terjadi dengan rasio perbandingan yang sama baik pria maupun wanita,kecuali pada kasus
resisten metisilin dimana wanita lebih sering daripada pria dengan rasio perbandingan 4:1,
sedangkan pada anak-anak pria lebih sering daripada wanita.17
4.3.3. Etiologi
Selulitis orbita biasanya disebabkan oleh :
Infeksi pada jaringan halus pada orbita akibat penyebaran infeksi dari bagian
periorbital.
19
Trauma yang mengakibatkan perforasi pada septum oribita yang dapat mengakibatkan
reaksi inflamasi dalam waktu 48-72 jam setelah terjadinya trauma.
Infeksi post operatif.
Infeksi bakteri seperti Streptococcus Sp, Staphylococcus Aureus, Haemophilus
influenzae type B. Pseudomonas, Klebsiella, Eikenella, dan Enterococcus sangat
jarang.
Infeksi jamur seperti Mucor dan Aspergillus sp.17
4.3.4. Patofisiologi
Dinding bagian medial orbita sangat tipis dan dapat dilalui oleh pembuluh darah dan
saraf. Dengan adanya keadaan tersebut dapat memudahkan terjadinya penyebaran
mikroorganisme penyebab infeksi khususnya antara rongga ethmoid dan ruang subperiorbital
pada bagian medial orbita. Lokasi yang paling tersering terkena abses subperiorbital adalah
sepanjang dinding medial orbita, karena pada medial orbita bagian ini termasuk jaringan
penyambung jarang sehinga memudahkan penyebaran material-material abses tersebut ke
arah lateral, superior dan inferior didalam ruang subperiorbital.17
Disamping itu penyebaran dari bagian otot-otot ekstraokular dan septum
intermuskular terjadi diantara otot rektus yang satu dan yang lain serta berinsersi pada bagian
posterior annulus zinii. Pada bagian posterior fascia diantara otot-otot rektus yang tipis dan
tidak sempurna ini dapat memudahkan penyebaran infeksi di bagian intra dan ekstra piramid
pada ruang orbita.17
Penyebaran infeksi juga dapat terjadi melalui vena orbitalis yang memperdarahi
sepertiga bagian medial wajah terutama sinus paranasal.17
Pada kasus selultis orbita dengan penyebabnya jamur terutama mucor dan aspergillus
sp bisa terdapat dua keadaan mucomycosis dan aspergillosis.17
20
4.3.5. Diagnosis
Penelusuran riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik merupakan salah satu elemen
penting dalam mendiagnosa selulitis orbital. Pasien biasanya mengeluhkan demam, malaise,
riwayat sinusitis dan infeksi saluran nafas bagian atas. Perlu untuk ditanyakan riwayat
trauma, operasi yang pernah dilakukan atau ada tidaknya infeksi sistemik yang sedang atau
mungkin pernah dialami.17
Selain gejala-gejala diatas juga terdapat gejala-gejala tambahan yaitu :
1. Kemosis konjungtiva
2. Penurunan penglihatan
3. Peningkatan tekanan intraocular
4. Nyeri pada saat mengerakan mata
5. Sakit kepala
6. Edema palpebral
7. Rhinorhea
21
Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan :
Proptosis dan oftalmoplegia (tanda cardinal dari selulitis orbital) biasanya di ikuti
oleh gejala 1-4 ditambah beberapa gejala seperti :
o Penglihatan yang awalnya normal namun semakin bertambah sulit dievaluasi
pada anak yang mengalami edema palpebra.
o Discharge cairan nasal yang purulent
o Konjungtiva yang hiperemis dan adanya kemosis
o Palpebra yang berwarna merah tua
Pembedaan antara selulitis orbita dan selulitis periorbita penting dilakukan. Proptosis,
nyeri tekan , resistensi terhadap tekanan pemeriksa pada mata, keterbatasan gerakan
ekstraokular, dan perubahan penglihatan seperti penglihatan ganda atau penurunan ketajaman
menunjukkan selulitis orbita. CT scan wajib dilakukan untuk pasien yang dicurigai
mengalami selulitis orbita. Pasien dengan temuan CT normal tetapi mengalami tanda dan
gejala yang menunjukkan selulitis orbita harus dipertimbangkan menderita selulitis orbita.
MRI dapat membantu menujukkan tingkat keparahan penyakit ini.15
4.3.6. Diagnosa banding
o Retinoblastoma
o Sarciodosis
o Gigitan laba-laba
o Oftalmopati tiroid
4.3.7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Hitung sel darah : leukositosis (leukosit >15.000) dengan netrofilnya shift to the left.
Kultur darah untuk dan papsmear untuk mengetahui penyebab penyakit dan terapi
yang akan digunakan.
Pemeriksaan radiologi
CT-Scan dengan kontras dengan dua cara pengambilan :
22
Axial : untuk mengetahui ada tidaknya pembentukan abses otak pada bagian peridural
dan parenkim.
Koronal : untuk mengetahui ada tidaknya abses subperiorbital, namun pda potongan
ini sangat sulit dilakukan pada anak-anak yang tidak kooperatif dan yang sedang
mengalami onset akut penyakit ini. Hal ini diakibatkan karena membutuhkan
hiperfleksi atau hiperekstensi dari leher.
MRI : untuk mengetahui ada tidaknya abses orbital dan kemungkinan terjadinya
penyakit sinus kavernosa.
Jika terdapat gejala-gejala menigeal pungsi lumbar sangat penting untuk dilakukan.17
4.3.8. Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa
Antibiotik :
o Vancomycin
o Clindamycin
o Ceftazidime
o Nafcilin
o Chloromycetin
Dekongestan nasal
Phenylephrine nasal
Anti fungal
o Amphotericin B
Drug of choice dalam pengobatan selulitis orbital karena jamur. Diberikan
secar intravena dan sangat baik diberikan sebelum konfirmasi hasil
laboratorium pada kasus infeksi berat.
Diuretik
Acetazolamide
Tindakan operatif
- Terjadi penurunan penglihatan.
- Defek aferen pupil terjadi
23
- Proptosis tetap terjadi meskipun telah diberikan antibiotik.
- Ukuran dari abses pada sinus tidak berkurang pada CT scan dalam jangka waktu 48-
72 jam pasca pemberian terapi antibiotik.
- Dapat dilakukan crainiotomy jika terdapat abses pada otak.17
4.3.9. Komplikasi
Komplikasi selulitis orbital dapat terjadi di bagian orbita itu sendiri atau menyebar ke
bagian intracranial. Abses subperiorbital dapat terjadi (7-9%). Kehilangan penglihatan
permanen dapat terjadi akibat kerusakan kornea atau neurotropik keratitis, rusaknya jaringan
intraokular, glaukoma sekunder, neuritis optik, dan oklusi arteri centralis retina. Kebutaan
juga bisa terjadi secara sekunder akibat peningkatan tekanan intraorbital atau infeksi secara
langsung pada nervus optikus melalui sinus sfenoid dan nervus okulomotor sehingga dapat
mengakibatkan kelemahan otot-otot ekstraokular. Komplikasi intrakranial meliputi
meningitis (2%), trombosis sinus kavernosus (1%), abses intrakranial, subdural dan
epidural.17
4.4. Trombosis Sinus Kavernosus
4.4.1. Definisi
Trombosis Sinus Kavernosis adalah penyumbatan vena besar di dasar otak (sinus
kavernosus). Trombosis sinus kavernosus sangat jarang terjadi. 30% penderitanya meninggal
dan yang bertahan hidup mengalami cacat mental atau cacat saraf yang serius meskipun telah
menjalani pengobatan.18
4.4.2. Penyebab
Penyumbatan ini biasanya disebabkan oleh penyebaran infeksi bakteri dari sinus atau
di sekitar hidung. Infeksi menyebar dari sinus atau kulit di sekitar hidung ke otak secara
langsung maupun melalui vena.18
4.4.3. Gejala
Gejalanya berupa:
- Penonjolan bola mata
24
- sakit kepala hebat
- koma
- kejang
- kelainan sistem saraf lainnya
- demam tinggi
4.4.4. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk
menentukan bakteri penyebab infeksi dilakukan pemeriksaan terhadap darah dan contoh
cairan, lendir maupun nanah dari tenggorokan dan hidung. Biasanya juga dilakukan CT scan
sinus, mata dan otak.18
4.4.5. Pengobatan
Segera diberikan antibiotik dosis tinggi secara intravena (melalui pembuluh darah).
Jika dalam waktu 24 jam keadaan penderita tidak membaik, dilakukan pembedahan untuk
mengeringkan sinus (drainase).18
25
DAFTAR RUJUKAN
1. Petruzzelli GJ. Orbit anatomy. Updated : 29 october 2013. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/835021-overview#showall
2. Rene C. update on orbital anatomy. Nature publishing group all right reserved 0950-
222X/06.(2006). Available from : www.nature.com/eye
3. Wikipedia. Exophthalmos. Updated : 18 january 2014. Available from :
http://en.wikipedia.org/wiki/Exophthalmos
4. Ilyas HS. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2003.
Jakarta
5. Wikipedia. Orbit (anatomy). Updated : 01 june 2013. Available from :
http://en.wikipedia.org/wiki/Orbit_%28anatomy%29
6. Mercandetti M. Exopthalmos. Updated : 24 may 2012. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1218575-overview#showall
7. Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum. Penerbit buku kedokteran EGC. 20120.
Jakarta
8. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep-konsep dasar penyakit volume 2. Penerbit
buku kedokteran EGC. 2006. Jakarta
9. NHS choices. Exophthalmos. Updated : 2013. Available from :
http://www.nhs.uk/conditions/Exophthalmos/Pages/Introduction.aspx
10. MNT. What is exophthalmos? What causes exophthalmos?. Updated : 5 november
2009. Available from : http://www.medicalnewstoday.com/articles/169869.php
11. WebMD. Exophthalmos – diagnosing exophthalmos. Updated : 2013. Available
from : http://www.webmd.boots.com/a-to-z-guides/tc/exophthalmos-diagnosing-
exophthalmos
12. Ing E. Thyroid-associated orbitopathy. Updated : 29 january 2014. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1218444-overview#showall
13. Wikipedia. Grave’s ophthalmopathy. Upated : 20 January 2014. Available from :
http://en.wikipedia.org/wiki/Graves%27_ophthalmopathy#Epidemiology
14. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadribata M, Setiati S. buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III edisi IV. Pusat Penerbitan FK UI. 2007. Jakarta
26
15. Greenberg I. teks – atlas kedokteran kedaruratan. Penerbit erlangga medical series.
2007. Jakarta
16. MedMantic. Orbital Periostitis. Updated : 2013. Available from :
http://medmantic.com/wiki/Orbital_Periostitis
17. Harrington JN. Orbital Cellulitis. Updated : 14 Juny 2012. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1217858-overview#showall
18. Sharma R. Cavernous Sinus Thrombosis. Updated : 7 March 2013. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/791704-overview#showall