Drug Eruption,
description
Transcript of Drug Eruption,
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
Erupsi obat dapat timbul akibat pemakaian suatu obat tertentu, yakni obat
yang diberikan oleh dokter dalam resep atau obat yang dijual bebas, termasuk
jamu jamuan. Obat dalam hal ini ialah zat yang dipakai untuk menegakkan
diagnosis, profilaksis dan pengobatan. Pemberian obat secara topical juga dapat
menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan oleh kulit.1
Erupsi obat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang
mengancam jiwa manusia. Obat makin lama makin banyak digunakan oleh
masyarakat, sehingga reaksi terhadap obat juga sering meningkat yaitu reaksi
simpang obat (adverse drug reaction) atau disingkat RSO.1 Berdasarkan WHO
yang dimaksud dengan Reaksi simpang obat (RSO) adalah setiap efek berbahaya
dan tidak diharapkan pada penggunaan suatu obat dengan dosis yang digunakan
pada manusia untuk pencegahan, diagnostic ataua pengobatan. Reaksi simpang
obat tipe A didasari mekanisme non-imunologis, dose related, umumnya
berhubungan dengan efek farmakologik obat dan dapat terjadi pada setiap
individu. Sebaliknya dengan RSO tipe B yang meliputi intoleransi, idiosinkrasi
dan reaksi hipersensitivitas (Gell dan Coombs tipe 1 4).2
Manifestasi reaksi obat pada kulit disebut erupsi obat alergik (EOA). Satu
macam obat daapat mengakibatkan lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu
jenis erupsi dapat disebabkan oleh bermacam macam obat. Obat masuk dalam
tubuh secara sistemik berarti melalui mulut, hidung, telinga, vagina, suntikan atau
infuse. Juga sebagai obat kumur, obat mata, tapal gigi dan obat topical.1
-
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada
kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang
biasanya sistemik. Obat dalam hal ini adalah zat yang dipakai untuk menegakkan
diagnosis, profilaksis dan pengobatan. 1,3
2.2 Epidemiologi
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi
obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji
klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat
adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan
efek samping pemakaian obat-obatan.4,5,6
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative
Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul
terhadap pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat
pada bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993. Sekitar 3% seluruh
pasien yang dirawat di rumah sakit ternyata mengalami erupsi kulit setelah
mengkonsumsi obat-obatan. Selain itu, data di Amerika Serikat menunjukkan
lebih dari 100.000 jiwa meninggal setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang
serius. Beberapa jenis erupsi obat yang sering timbul adalah: 4,5
eksantem makulopapuler sebanyak 91,2%,
urtikaria sebanyak 5,9%, dan
vaskulitis sebanyak 1,4%
Faktor-faktor yang memperbesar resiko timbulnya erupsi obat adalah:
1. Jenis kelamin4
Wanita mempunyai resiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi
jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun
ahli yang mampu menjelaskan mekanisme ini.
-
3
2. Sistem imunitas4,5
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami
penurunan sistem imun. Pada pasien AIDS misalnya, penggunaan obat
sulfametoksazol justru meningkatkan resiko timbulnya erupsi
eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal.
3. Usia4,5,6
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-
anak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena
perkembangan sistim immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya,
pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa
berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan
memperlambat munculnya onset erupsi obat tetapi menimbulkan
mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat.
4. Dosis5,6
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan
timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang
sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin
sering obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi
alergi pada pasien yang peka.
5. Infeksi dan keganasan1
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada pasien erupsi obat berat
yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan
human herpes virus (HHV) umumnya ditemukan pada mereka yang
mengalami sindrom hipersensitifitas obat.
6. Atopik4
Faktor resiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan.
Walaupun demikian, berdasarkan studi komprehensif terhadap pasien yang
dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa timbulnya reaksi obat ini
ternyata tidak menunjukkan angka yang signifikan bila dihubungkan
dengan umur, penyakit penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah
saat menyelesaikan perawatannya.6,7
-
4
2.3 Pathogenesis
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah
mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya
erupsi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme
imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi
antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non
imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat
dan perubahan dalam metabolisme.
Tabel 1. Reaksi imunologis dan non imunologis4
-
5
A. Mekanisme Imunologis
Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan oleh
Coomb dan Gell. Satu reaksi alergik dapat mengikuti salah satu dari ke-4
jalur ini.
1. Tipe I (reaksi cepat)
Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap
obat tidak menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi pajanan
selanjutnya dapat menimbulkan reaksi. Antibody yang terbentuk adalah
antibody IgE yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan
basofil.
Pada pemberian obat yang sama, antigen dapat menimbulkan peerubahan
berupa degranulasi sel mast dan basofil dengan dilepaskannya bermacam
macam mediator, antara lain histamine, serotonin, bradikinin, heparin
dan SRSA.
Mediator mediator ini mengakibatkan bermacam macam efek antara
lain urtikaria, dan yang lebih berat adalah angioedema. Yang paling
berbahaya ialah terjadi syok anafilaktik. Penisilin merupakan penyebab
utama erupsi obat hipersensitivitas tipe cepat yang IgE-dependant.
Gambar 1. Reaksi hipersentivitas tipe 1
-
6
2. Tipe II (reaksi sitostatik)
Reaksi tipe ini disebabkan oleh obat (antigen) yang memerlukan
penggabungan antara IgG dan IgM di permukaan sel. Hal ini akan
menyebabkan efek sitolitik oleh sel efektor yang diperantarai komplemen.
Gabungan obat antibody komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai
sel sasaran ialah berbagai macam sel biasanya eritrosit, leukosit, trombosit
yang mengakibatkan lisis sel, sehingga tipe II tersebut disebut sebagai
reaksi sitotoksik atau sitolisis. Contohnya penisilin, streptomysin,
sulfonamide, dan isoniazid.
EOA yang berhubungan dengan tipe ini ialah purpura, bila sel sasarannya
trombosit. Obat lain menyebabkan alergik tipe ini ialah penisilin,
sefalosporin, klorpromazine, sulfonamide, analgesic dan antipiretik.
Gambar 2. Reaksi hipersensitivitas tipe 2
3. Tipe III (reaksi kompleks imun)
Reaksi ini ditandai dengan pembentukan kompleks antigen, antibody (IgG
dan IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan
komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan berbagai
-
7
mediator diantaranya enzim enzim yang dapat merusak jaringan.
Kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi dan kemudian dideposit
pada sel sasaran. Contohnya adalah penisilin, eritromysin, sulfonamide,
salisilat dan isoniazid.
Gambar 3. Reaksi Hipersensitivitas tipe III
4. Tipe IV (reaksi alergik selular tipe lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit, APC (Antigen Presenting Cell) dan sel
Langerhans yang mempresentasi antigen kepada limfosit T. Limfosit T
yang tersensitisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut
reaksi tipe lambat yaitu terjadi 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen
menyebabkan pelepasan serangkaian limfokin. Contoh reaksi tipe ini
adalah dermatitis kontak alergi.
-
8
Gambar 4. Reaksi Hipersensitivitas tipe IV
B. Mekanisme non-imunologis
Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-
dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan
kontras media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme
yang terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi
langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme
enzim asam arachidonat sel.7
Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat
menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan
kemoterapi anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif
ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan
gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata diffuse.7
2.4 Gambaran Klinis
A. Morfologi dan Distribusi
Beberapa gambaran karakteristik kearah dugaan adannya erupsi obat
alergik adalah:
- Reaksi hanya terjadi setelah pajanan ulang dengan obat. Pada penggunaan
obat pertama kali, waktu reaksi sekitar 8-9 hari.
-
9
- Manifestasi erupsi obat tidak bergantung pada kegunaan farmakologik dan
kimiawi obat tersebut.
- Jumlah obat yang sangat sedikit dapat memacu reaksi yag berat meskipun
obat tersebut telah dipakai dalam jangka waktu lama.
- Obat yang sama dapat menyebabkan reaksi yang berbeda pada orang yang
sama pada waktu yang berlainan; sebaliknya berbagai obat dapat
menyebabkan reaksi atau manifestasi klinis yang sama.
Perlu diketahui bahwa erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai
kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan
diantaranya :
a. Urtikaria
Kelainan kulit terdiri atas urtika yang tampak eritem disertai edema akibat
tertimbunnya serum dan disertai rasa gatal. Bila dermis bagian dalam dan
jaringan subkutan mengalami edema, maka timbul reaksi yang disebut
angioedema. Angioedema ini biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat
hilang dalam jangka waktu 1-2 jam. Tetapi kadang dapat bertahan selama
dua sampai lima hari. Pelepasan mediator inflamasi dari suatu aktifasi
yang bersifat non imunologis juga dapat menimbulkan reaksi urtikaria.
Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan dengan Ig-E sebagai suatu
respon cepat terhadap penisilin maupun antibiotik lainnya. Obat lain
misalnya angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dalam jangka
waktu satu jam juga dapat menimbulkan urtikaria. 1,3
Gambar 5. Urtikaria yang disebabkan oleh penggunaan penisilin
-
10
b. Eritema
Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah
akan hilang pada penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam.
Jika besarnya lentikuler maka disebut eritema morbiliformis, dan bila
besarnya numular disebut eritema skarlatiniformis. 1
c. Dermatitis medikamentosa
Gambaran klinisnya memberikan gambaran serupa dermatitis akut, yaitu
efloresensi yang polimorf, membasah, berbatas tegas. Kelainan kulit
menyeluruh dan simetris. 1
d. Purpura
Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan pada kulit yang
tidak hilang bila ditekan. Purpura dapat timbul bersama-sama dengan
eritem dan biasanya disebabkan oleh permeabilitas kapiler yang
meningkat.. 1
e. Erupsi eksemantosa
Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi
eksantematosa. Erupsi yang muncul dapat berbentuk morbiliformis atau
makulopapuler. Pada mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat
eksantematosa pada kulit tanpa didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi
bermula pada daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara
simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Erupsi baru muncul sekitar
satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri dalam
jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan perubahan
warna kullit dari merah terang ke warna coklat kemerahan, yang disertai
dengan adanya deskuamasi kulit. 1,3
Erupsi eksantematosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk
penisilin, sulfonamid, dan obat antiepiletikum. Dari hasil data
laboratorium diketahui bahwa T sel juga ikut terlibat dalam reaksi ini
karena sel T dapat menangkap jenis obat tanpa perlu memodifikasi protein
dari hapten.3
Jika kelainan ini timbul berkali-kali ditempat yang sama
maka disebut eksantema fikstum. 1
-
11
Table 2. Beberapa obat yang dapat menimbulkan erupsi eksemantosa5
Tempat predileksi disekitar mulut, terutama di daerah bibir dan daerah
penis pada laki-laki, sehingga sering disangka penyakit kelamin. Apabila
adanya residif di tempat yang sama maka disebut dengan eksantema
fikstum.1
Gambar 6. Sejumlah papul berwarna pink pada daerah dada disebabkan
oleh penggunaan obat golongan sefalosporin.
f. Eritema nodosum
Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala
umum berupa demam, dan malaise. Tempat perdileksi ialah di regio
ekstensor tungkai bawah. 1
g. Eritroderma
Eritroderma pada pasien alergi obat berbeda dengan eritroderma pada
umumnya yang biasanya disertai eritem dan skuama. Pada pasien alergi
obat terlihat adanya eritema tanpa skuama, skuama justru baru akan timbul
pada stadium penyembuhan.2
-
12
h. Erupsi pustule
Ada jenis erupsi, pertama erupsi akneiformis dan kedua Pustulosis
Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA).
1. Erupsi Akneiformis dihubungkan dengan penggunaan obat seperti
iodida, bromida, ACTH, glukokortikoid, isoniazid, androgen, litium
dan actinomisin. Erupsi timbul pada daerah-daerah yang atipikal
seperti lengan dan kaki berbentuk monomorf berbentuk akne tanpa
disertai komedo.3
2. Penyakit Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA)
memberikan gambaran pustul miliar non folikular yang eritematosa
disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul
bila seseorang mengalami demam tinggi (>380
C). Pustul tersebut cepat
menghilang dalam jangka waktu kurang dari 7 hari kemudian diikuti
oleh deskuamasi kulit. Pada pemeriksaan histopatologis didapat pustul
intraepidermal atau subcorneal yang dapat disertai edema dermis,
vaskulitis, infiltrat polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil
atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit. Walaupun demikian, penyakit
ini sangat jarang terjadi.2
i. Erupsi bulosa
Erupsi bulosa ini ditemukan pada; pemphigus foliaceus, fixed drug
eruption (FDE), erythema multiforme major (EM-major), SSJ dan TEN
1. Pemphigus. Obat yang dapat menyebabkannya adalah golongan
penisilin dan golongan thiol. Drug-induced bullous pemphigoid dapat
terlihat dalam beberapa bentuk. Dimulai dari urtikaria hingga
terbentuk bulla yang luas dengan melibatkan kavitas mukosa mulut,
dapat juga berupa beberapa bulla dalam ukuran sedang atau berupa
plak dan nodul yang disertai skar dan bulla. Gangguan ini dapat
muncul kembali pada 35-50 persen kasus sebagai pemphigus
foliaceus.3,5
2. Fixed Drug Eruption (FDE). Lesi baru akan timbul satu minggu
sampai dua minggu setelah paparan pertama kali dan akan diikuti
-
13
timbul lesi berikutnya dalam jangka waktu 24 jam. FDE ini akan
terlihat sebagai makula yang soliter, eritematosa dan berwarna merah
terang dan dapat berakhir menjadi suatu plak edematosa. Lesi
biasanya akan muncul di daerah bibir, wajah, tangan, kaki dan
genitalia. Apabila pasien memakan obat yang sama, maka FDE akan
muncul kembali ditempat yang sama. Histologisnya, FDE serupa
dengan erythema multiformis yang ditandai dengan adanya limfosit di
dermal-epidermal junction dan perubahan degeneratif dari epitel yang
disertai diskeratosis. FDE kronis memberikan gambaran acanthosis,
hiperkeratosis, dan hipergranulosis dan dapat ditemukan eosinofil dan
neutrofil. Terdapat peningkatan jumlah sel T helper dan sel T supresor
pada tempat lesi. 1,3
Gambar 7. Macula eritematosa yang berbatas tegas di daerah lengan
pada pasien FDE
3. Eritema multiformis merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada
kulit dan/atau selaput lendir dengan tanda khas berupa lesi iris (target
lesion).
Gambar 8. Eritema multiformis
-
14
4. Sindrom Stevens-Johnson (ektodermosis erosiva pluriorifisialis,
sindrom mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema
multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan
kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang
mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk.3
5. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit kulit akut dan
berat dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh,
disertai kelainan pada selaput lendir di orifisium genitalia eksterna dan
mata. Kelainan pada kulit dimulai dengan eritema generalisata
kemudian timbul banyak vesikel dan disertai purpura di wajah,
ekstremitas, dan badan. Kelainan pada kulit dapat disertai kelainan
pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi dan ekskoriasi. Lesi
kulit dimulai dengan makula dan papul eritematosa kecil
(morbiliformis) disertai bula lunak (flaccid) yang dengan cepat meluas
dan bergabung. Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis,
yaitu epidermis terlepas dari dasarnya dengan gambaran klinisnya
menyerupai luka bakar.8
Adanya epidermolisis menyebabkan tanda
Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan
dan digeser maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat
pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni punggung, aksila, dan
bokong. Pada sebagian pasien kelainan kulit hanya berupa
-
15
epidermolisis dan purpura tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula. Pada
NET, kuku dapat terlepas dan dapat terjadi bronkopneumonia.
Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan di traktus gastrointestinal.
Umumnya NET terjadi pada orang dewasa. NET merupakan penyakit
berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan
keseimbangan cairan/elektrolit atau sepsis. 8
B. Perjalanan Penyakit
Penggolongan alergi obat dapat didasarkan pada selang waktu timbulnya
gejala-gejala alergik sesudah pemberian obat sebagai berikut:
Reaksi alergik yang segera (immediate), terjadi dalam beberapa menit dan
ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan jiwa
maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat (accelerated) timbul dari 1
sampai 72 jam sesudah pernberian obat dan kebanyakan bermanifestasi sebagai
urtikaria. Kadang-kadang berupa rash morbilliform atau edema laring. Reaksi
yang lambat (late) timbul lebih dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan
lambat ini ditimbulkan oleh antibodi IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan
exanthem dihubungkan dengan antibodi IgM.3,5
2.5 Diagnosis
Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah : 1
A. Anamnesis yang teliti mengenai :
Adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat
o Obat obatan yang dipakai
o Kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa
hari sesudah masuknya obat
-
16
o Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya
subfebris
B. Pemeriksaan Klinis:
Adanya kelainan klinis sesuai dengan jenis masing-masing reaksi.
Penghentian obat yang diikuti dengan penurunan gejala klinis merupakan
petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut.
Kelainan kulit yang ditemukan :
Distribusi : menyeluruh dan simetris
Bentuk kelainan yang timbul
C. Pemeriksaan Khusus:
Saat ini belum ditemukan cara yang cukup sensitive dan dapat dipercaya
untuk mendeteksi erupsi obat alergik
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari
jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya.
Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya,
data kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara
pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi
ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi, terutama pada pasien yang
mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami
erupsi reaksi obat yang bersifat persisten.4
-
17
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan
penyebab erupsi obat alergi adalah :
1. Pemeriksaan in vivo
Uji tempel (patch test)
Uji tusuk (prick/scratch test)
Uji provokasi (exposure test)
2. Pemeriksaan in vitro
b. Yang diperantarai antibody
Hemaglutinasi pasif
Radioimmunoassay
Degranulasi basofil
Tes fiksasi komplemen
c. Yang diperantarai sel
Tes transformasi limfosit
Leucocyte migration inhibition test
Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis yang
mendasari erupsi obat.
Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya.
Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang
dicurigai adalah yang paling membantu untuk saat ini. Tetapi, resiko dari
timbulnya reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara
hati-hati dan harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko legalnya. 4,7
Sejumlah tes yang dilakukan dengan teknik invitro didesain untuk
membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut
disebabkan karena obat atau bukan. Belum ditemukan uji fisik maupun
laboratorium in-vitro yang cukup reliabel untuk digunakan secara rutin. Derajat
sensitifitas maupun spesifitasnya cara ini masih dalam tahap penelitian. Oleh
sebab itu, pemeriksaan ini hanya sedikit sekali membantu dalam penegakkan
diagnosis klinis. 4,7
-
18
Biopsi kulit boleh dilakukan pada pasien yang ditakutkan dapat mengalami
reaksi obat yang serius seperti pada pasien yang memiliki gejala awal seperti
eritroderma, blister, purpura dan pustulasi karena kasus SSJ baru akan timbul
beberapa setelah penggunaan obat. Perlu diketahui pula bahwa lebih dari 50%
kasus SSJ dan hampir 90% pasien TEN terkait dengan penggunaan obat.6
2.7 Penatalaksaan
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah
dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh.,
epinephrine adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis
lainnya, dapat digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan
kortikosteroid. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus
dihentikan secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya pemeriksa
dihadapkan dua pilihan antara resiko erupsi obat dengan manfaat dari obat
tersebut. 3,6
A. Penatalaksanaan Umum
Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi
kulit harus dihentikan segera.4,5
Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk
mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps
setelah berada pada fase pemulihan. 4,5
Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan
tubuhnya. Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan
cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat
menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat
menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5%
dan larutan Darrow.5
Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari;
khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus
dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau
1000 mg intravena sehari dan hemostatik. 9
-
19
B. Penatalaksanaan Khusus
Sistemik
1. Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi
obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah
prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis
medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum, dan
PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa
adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema
multiforme major, SSJ dan TEN pertama kali adalah menghentikan
obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat
suportif seperti perawatan luka dan perawatan gizi pasien.
Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan TEN masih
kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian intravenous
immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas
penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG
diberikan sebanyak 0.2-0.75 g/kg selama 4 hari pertama. 1,3
2. Antihistamin. Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan,
jika terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika
dibandingkan dengan kortikosteroid. 1
Topikal
1. Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering
atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2%
ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol -1% untuk mengurangi
rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya
larutan asam salisilat 1%.1,8
2. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan
topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan
krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2 %.1,8
3. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan
mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan
sebagian-sebagian. 1
-
20
4. erapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk
lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin
perak. 8
2.8 Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa
bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom
Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.
Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan kulit. 1,3,8
-
21
-
22
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : KA
Umur : 28 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : DesaTejakula
Pekerjaan : Swasta
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Pendidikan : SMA
Status perkawinan : Menikah
Tanggalpemeriksaan : 16 April 2012
3.2 Anamnesis
Keluhanutama :
Kulit tangan, kaki dan badan terkelupas
Perjalananpenyakit :
Pasiendatangke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Buleleng (16 April
2012) dengan keluhan kulit tangan, kaki dan badan terkelupas sejak 3 minggu
yang lalu. Keluhan ini diawali dengan munculnya ruam kulit disertai rasa
panas seperti terbakardan gatal-gatal di kedua telapak tangannya dan menjalar
ke lengannya pada tangga 27 Maret 2012. Kemudian keesokan harinya (28
Maret 2012), gejala yang sama juga terjadi pada kedua kakinya dan seluruh
badannya. Sebelum muncul keluhan ruam kulit disertai panas dangatal,
awalnya pasien sempat mengkonsumsi obat-obatan ARV dan Kotrimoksazol
pada tanggal 16 Maret 2012 karena pasien positif terinfeksi HIV. Kemudian
pada tanggal 31 Maret 2012, pasien datang lagi ke RSUD Buleleng untuk
kontrol obat karena sudah habis dan untuk memeriksakan dirinya karena
-
23
pasien merasa kondisinya tidak baik. Akhirnya, pasien disarankan untuk
opname di Jempiring RSUD Buleleng selama 2 minggu. Dari tanggal 31
Maret 2012, pemberian obat kotrimoksazol yang dicurigai sebagai penyebab
timbulnya ruam kulit tersebut dihentikan sedangkan obat ARV tetap
dilanjutkan. Sejak saat itu, pasien tidak lagi merasakan rasa panas dan gatal-
gatal. Namun kulitnya mulai terkelupas. Saat pasien diopname, pasien
diberikan obat untuk keluhan kulitnya dan disarankan untuk kontrol 1 minggu
lagi ke poli Kulit dan Kelamin.
Riwayatpengobatan :
Pasien pertama kali diberikan obat ARV dan kotrimoksazol pada
tanggal 16 Maret 2012. Namun tanggal 31 Maret 2012, obat kotrimoksazol
yang dicurigai sebagai penyebab timbulnya merah-merah, gatal dan rasa
panas seluruh tubuh telah dihentikan pemberiannya. Namun setelah itu kulit
pasien mulai terkelupas. Untuk jenis obat kulit yang diberikan saat opname
tanggal 31 Maret 2012, pasien tidak mengetahuinya nama obatnya.
Riwayatpenyakitterdahulu :
Pasien memiliki riwayat alergi obat namun tidak mengetahui jenis
obat yang menyebabkan alergi. Satu tahun yang lalu, pasien mengaku sempat
diberi antibiotik saat batuk, kemudian kelopak mata pasien langsung bengkak
dan gatal-gatal. Pasien juga mengaku memiliki riwayatalergi makanan telur
dan ayam. Ketika memakan makanan tersebut, mulai terasa gatal-gatal di
seluruh tubuh. Riwayatpenyakit sistemik seperti penyakit jantung, tekanan
darah tinggi, kencing manis dan asma disangkal oleh pasien.
Riwayatpenyakitdalamkeluarga :
Ibu pasien dikatakan memiliki riwayat alergi dan tekanan darah tinggi.
Riwayatsosial :
Pasien merupakan anak keempat dalam keluarganya. Pasien sudah
menikah namun telah bercerai 2 tahun yang lalu. Pasien memiliki 1 anak laki-
-
24
laki yang kini tinggal bersama pasien. Pasien bekerja di Kuta di bagian spa.
Pasien mengaku mengidap HIV/AIDS yang ditularkan oleh mantan suaminya.
Pasien baru mengetahui hal ini sekitar 6 bulan yang lalu.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present :
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit reguler
Respirasi : 22 x/menit
Temperatur : 36,8 o C
Status General :
Kepala : Normocephali
Mata : Anemia -/-, ikterus -/-, refleks pupil +/+ isokor
THT : Dalam batas normal
Thoraks : Cor : S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdoment : dalam batas normal, hepar dan lien tidak teraba
Ektremitas : dalam batas normal
Status Dermatologi :
Lokasi : tangan, kaki, badan
Effloresensi : makula hiperpigmentasi, mutipel, bentuk geografika, batas
tidak tegas, ukuran 0,1x0,2 cm 0,5x 1 cm, ditutupi dengan
skuama putih tipis di atasnya.
-
25
3.4 Diagnosis Banding
- Eritroderma
3.5 Resume
Perempuan, 28 tahun, dikeluhkan kulit tangan, kaki dan badan yang
terkelupas sejak 3 minggu yang lalu diawali dengan munculnya ruam kulit
disertai rasa panas seperti terbakar dan gatal-gatal sejak meminum obat
kotrimoksazol dan ARV yang diberikan 4 minggu lalu. Kemudian, 3 minggu
lalu, pemberian obat kotrimoksazol dihentikan dan dikatakan tidak terasa lagi
rasa panas, gatal dan merah-merah. Namun kulitnya mulai terkelupas.Riwayat
alergiobat dan makanan diakui oleh pasien. Terdapat pula riwayat alergi dalam
keluarga pasien yaitu ibu pasien.
-
26
Pemeriksaan fisik :
Status present : dalam batas normal
Status general : dalam batas normal
Status Dermatologi :
-Lokasi :tangan, kaki dan badan
-Effloresensi : makulahiperpigmentasi, mutipel, bentuk
geografika, batas tidak tegas, ukuran 0,1x0,2 cm
0,5x 1 cm, ditutupi dengan skuama putih tipis di
atasnya.
3.6 Diagnosis Kerja
Erupsi Obat tipe Erupsi Eksematosa ec kotrimoksazol + HIV/AIDS
3.7 Penatalaksanaan
Antihistamin 3x1
Sohobion 2x1
Topikal :
o Salep campuran desoximethason 30 gr dan asam fusidik 10 gr
dioleskan 2x1 di tempat lesi
KIE :
3.8 Prognosis
Baik
-
27
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan teori, erupsi obat alergi adalah reaksi alergi pada kulit atau
daerah mukokutan yang terjadi sebagai pemberian obat yang biasanya sistemik.
Berdasarkan anamnesis dari kasus didapatkan pasien wanita, 28 tahun dengan
keluhan kulit tangan, kaki dan badannya terkelupas sejak 3 minggu yang lalu.
Diawali dengan timbulnya ruam kulit disertai rasa panas dan gatal-gatal 5 hari
sebelum keluhan kulit terkelupas. Hal ini terjadi setelah 1 minggu pasien
mengkonsumsi obat ARV+kotrimoksazol. Kotrimoksazol diduga sebagai
penyebab timbulnya reaksi alergi dimana setelah pemakaian obat ini dihentikan
pada tanggal 31 Maret 2012, pasien tidak lagi merasakan gatal dan panas, hanya
kulitnya saja yang terkelupas. Dilihat dari segi definisi, hal tersebut di atas
mendukung bahwa peristiwa yang terjadi pada pasien ini merupakan suatu bentuk
erupsi obat. Alasannya adalah reaksi alergi yang timbul pada pasien terjadi setelah
pasien mengkonsumsi suatu jenis obat tertentu dimana dengan penghentian
pemakaian obat tersebut terjadi pengurangan gejala alergi.
Faktor-faktor yang memperbesar resiko timbulnya erupsi obat antara lain
jenis kelamin dimana wanita memiliki resiko yang lebih tinggi dari pria walaupun
belum ada yang dapat menjelaskan mekanisme ini. Selain itu, sistem imunitasjuga
berpengaruh dimana erupsi obat alergi lebih mudah terjadi pada seseorang dengan
penurunan sistem imun. Penggunaan obat sulfametoksazol pada pasien dengan
penurunan sistem imun justru meningkatkan resiko timbulnya erupsi
eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal. Pada
kasus, yang mengalami erupsi obat alergi adalah seorang wanita dengan positif
terinfeksi HIV dan mengkonsumsi obat kotrimoksazol yang merupakan gabungan
sulfametoksazol dan trimethoprim.
Bila dilihat dari patogenesisnya berdasarkan teori, terdapat 2 macam
mekanisme dalam erupsi obat alergik yaitu mekanisme imunologi dan non
imunologi dimana umumnya lebih sering timbul karena reaksi hipersensitivitas
berdasarkan reaksi imunologi. Dilihat dari rentang waktu munculnya gejala dari
awal pemakaian obat pada kasus, reaksi alergi yang terjadi pada pasien adalah
-
28
reaksi alerti tipe IV (reaksi alergi selular tipe lambat) dimana reaksi ini melibatkan
limfosit, APC dan sel Langerhans yang terjadi 12-48 jam setelah pajanan terhadap
antigen.
Dari gambaran klinisnya, pada kasus didapatkan effloresensi
berupamakulahiperpigmentasi, mutipel, bentuk geografika, batas tidak tegas,
ukuran 0,1x0,2 cm 0,5x 1 cm, ditutupi dengan skuama putih tipis di atasnya,
tersebar merata di tangan, kaki dan badan. Dari gambaran klinis, erupsi yang
terjadi lebih mengarah pada erupsi eksematosa. Erupsi eksematosa ini terjadi lebih
dari 90% erupsi obat yang dapat berbentuk morbiliformis atau makulopapuler.
Pada kasus, erupsi eksematosa yang terjadi adalah bentuk makulopapuler. Gejala
pada erupsi eksematosa ini sendiri dimana pada mulanya akan terjadi perubahan
yang bersifat eksematosa pada kulit tanpa didahului blister atau pustulasi, bermula
pada daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan
hampir selalu disertai pruritus. Erupsi muncul sekitar 1 minggu setelah pemakaian
obat dan dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7-14 hari. Pada kasus, keluhan
yang dirasakan adalah munculnya ruam kulit disertai rasa panas dan gatal-gatal
yang terjadi sekitar 1 minggu setelah mengkonsumsi kotrimoksazol. Pemulihan
ditandai dengan perubahan warna kulit dari merah terang menjadi coklat
kemerahan disertai deskuamasi kulit. Salah satu obat yang dapat menyebabkan
erupsi eksematosa adalah penggunaan obat sulfonamid. Hal tersebut menguatkan
bahwa telah terjadi erupsi obat berupa erupsi eksematosa bentuk makulopapular
pada pasien yang disebabkan oleh obat sulfonamid yaitu kotrimoksazol.
-
29
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Dari pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan:
Erupsi obat alergik adalah reaksi alergik pada kulit atau mukokutan yang
terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik.
Terdapat beberapa faktor memperbesar resiko timbulnya erupsi obatantara lain
jenis kelamin, sistem imunitas,usia, dosis, infeksi dan keganasan serta atopik.
Pada erupsi obat alergi terdiri dari 2 mekanisme yaitu mekanisme imunologis
san non imunologis.
Gambaran klinis pada erupsi obat alergi dapat memiliki kemiripan dengan
gangguan kulit lain pada umumnya antara lain: urtikaria, eritema, dermatitis
medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eritroderma, erupsi pustule, dan
erupsi bulosa.
Lebih dari 90% erupsi obat yang muncul adalah erupsi eksematem
makulopapuler.
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk memastikan penyebabb erupsi obat
alergi.
Penatalaksaan pada erupsi obat alergi yang utama adalah penghentian obat-
obatan yang dicurigai sebagai penyebabnya. Setelah itu dapat dilakukan
penatalaksanaan umum maupun khusus.
5.2 Saran-Saran
-
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Hamzah, M. Erupsi Obat Alergik;In Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi keempat. Hal.154-161 (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta 2006)
2. Daili ESS, Menaldi SL dan Wisnu IM. 2005. Penyakit Kulit yang Umum
di Indonesia. Jakarta. Medical Multimedia Indonesia. Hal.79-83
3. Shear NH, Knowles SR and Shapiro H. Cutaneus Reaction to Drugs; In
Fitzpatrrick Dermatology in General Medicine. 7th
ed. Page 355-262 (Mc
Graw Hill, New York 2008)
4. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology.
Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of
America. 2003. p: 333-352
5. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd
ed. Pharmaceutical Press. 2006. Access on: April16, 2012. Available at:
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
6. Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6.
1976. Accessed on: April 16, 2012. Available from: www-portalkalbe-
files-cdk-files-07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht
7. Andrew J.M, Sun. Cutaneous Drugs Eruption.In: Hong Kong Practitioner.
Volume 15. Department of Dermatology University of Wales College of
Medicine. Cardiff CF4 4XN. U.K.. 1993. Access on: April 16, 2012.
Available at: http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf
8. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi
Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002.
p:133-139
9. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment
Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003.
Access on: April 16, 2012. Available at: www.aafp.org/afp