201219002_penelitian_849
-
Upload
khoirul-umami -
Category
Documents
-
view
14 -
download
0
Transcript of 201219002_penelitian_849
TOPIKAL PAPER
NATURAL ENVIRONMENT
PENCEMARAN PERAIRAN TELUK BUYAT
SULAWESI UTARA INDONESIA
Pengajar:Prof. Dr. Shalihudin Djalal Tandjung, M. Sc.
Yudhi Apriyadi Sukirman
08/277583/PEK/12911REGULER ANGKATAN 22
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMENFAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADAJAKARTA
2009
PENCEMARAN PERAIRAN TELUK BUYAT
SULAWESI UTARA INDONESIA
1. PENDAHULUAN
Kasus Buyat mendapatkan rating tertinggi dalam kasus pencemaran lingkungan
hidup di dunia di tahun 2004. Jika itu adalah album lagu, barangkali sudah mendapatkan
hadiah “piringan emas" akibat menjadi “the best seller in the world 2004”. Kasus
pencemaran lingkungan di dunia yang nyaris mampu menyamakan rekor kasus
“Minamata Deases” di Teluk Minamata Jepang dimasa itu. Bumi Sulawesi Utara (Sulut)
yang menjadi lokasi terciptanya kasus menghebohkan dunia yang sebetulnya sejak tahun
2001 sudah sangat menghebohkan dunia internasional, sehingga tercipta suatu kerjasama
internasional untuk mengadakan suatu “International Conference” tentang “System
Tailing Displacement (STD)” di Kota Manado (ibukota Sulut). Tak kurang dari 10 negara
hadir di acara tersebut dan sempat menerbitkan “deklarasi Manado”. Kerjasama Jaringan
Tambang Indonesia (JATAM), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Pusat
maupun daerah Sulut serta berbagai organisasi internasional yang menghadirkan negara-
negara yang menjadi korban perusahaan-perusahaan tambang emas skala besar dan kecil
seperti Papua Nugini, Pilipina.
Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, Usaha dan / atau kegiatan yang
kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL), wajib
melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan
hidup yang pembinaannya berada pada instansi yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan. Perlu diketahui juga dalam peraturan pemerintah tersebut, Bagi usaha dan atau
kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup wajib melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL).
Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 juga menentukan bahwa dokumen
AMDAL terdiri dari dokumen KA, ANDAL serta dokumen RKL/RPL merupakan
dokumen studi kelayakan lingkungan. Dokumen ANDAL merupakan suatu dokumen
hasil kajian ilmiah tentang dampak lingkungan, sedangkan dokumen RKL/RPL
merupakan dokumen yang akan menjadi prasyarat atas putusan kelayakan lingkungan
yang akan menjadi syarat atas izin yang akan dikeluarkan oleh instansi yang berwenang
mengeluarkan izin usaha. Setiap kegiatan berpotensi dalam perubahan atau bahkan
terjadinya pencemaran lingkungan hidup baik disengaja atau tidak. Dengan adanya
mekanisme diatas diharapkan pemrakarsa dapat mengikuti prosedur yang berlaku dan
menaatinya sehingga tercapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan, selain itu dengan adanya mekanisme pemantauan lingkungan merupakan
salah satu cara untuk deteksi dini terhadap kerusakan lingkungan maupun pencemaran
lingkungan.
Usaha atau kegiatan pertambangan merupakan suatu eksploitasi sumber daya
alam yang tak terbaharui. Kegiatan ini berpotensi mengakibatkan pengubahan bentuk
lahan dan bentang alam, terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup
sehingga akan terjadi kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya. Selain itu
dengan adanya lahan pekerjaan baru dan datangnya pekerja pekerja dari luar daerah
tersebut akan mempengaruhi lingkungan sosial dan budaya lokal sekitar kegiatan
(Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999). Permasalahan lingkungan hidup yang
menyangkut pertambangan dan cukup kontroversial, salah satunya adalah masalah
lingkungan hidup di daerah Buyat (pencemaran di perairan Teluk Buyat di Minahasa
Selatan Sulawesi Utara), dimana disana terdapat perusahaan tambang (PT Newmont
Minahasa Raya) yang melakukan kegiatan pertambangan “emas” dengan sistem terbuka
yang menggunakan sistem penempatan tailing di dasar laut dan terdapat keluhan-keluhan
masyarakat mengenai kesehatan yang dianggap diakibatkan dari pengelolaan lingkungan
hidup yang kurang baik.
Berbagai media masa dan elektronik memberitakan adanya dugaan kasus
pencemaran lingkungan yang berdampak terhadap kesehatan masyarakat khususnya
penduduk Desa Buyat Pantai. Sebagai tindak lanjut atas pemberitaan tersebut maka
Pemerintah melalui rapat Menko Kesra meminta Kementerian Lingkungan Hidup segera
menindaklanjuti dengan membentuk “Tim Penanganan Kasus Pencemaran Dan/Atau
Perusakan Lingkungan Hidup Di Desa Buyat Pantai Dan Desa Ratatotok Kecamatan
Totok Timur Kabupaten Minahasa Selatan Propinsi Sulawesi Utara” melalui Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 97 Tahun 2004. Tim penanganan kasus
pencemaran tersebut mempunyai tugas dan fungsi membantu Menteri Negara
Lingkungan Hidup dalam memberikan (supervisi pengarahan) saran masukan sebagai
bahan pengambilan kebijakan dalam penyelesaian kasus pencemaran dan/atau perusakaan
lingkungan hidup yang didasarkan pada kajian hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
berbagai pihak maupun pengambilan sampel dan analisis kualitas lingkungan di sekitar
Teluk Buyat.
2. PEMBAHASAN
Setiap kegiatan yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup harus
memiliki AMDAL sebagai dokumen studi kelayakan lingkungan. Hanya saja, kegiatan
ini tidak digubris oleh pemerintah pusat maupun daerah, sambutan dingin dan tidak
bersahabat cenderung tercipta antara para masyarakat (nasional & internasional) terhadap
kegiatan tambang yang cenderung merampas hak hidup (termasuk hak mendapatkan
lingkungan hidup bersih) orang-orang kecil (local community). Sudahlah, semuanya juga
sudah tahu bahwa, investasi skala besar akan lebih diperhatikan di negara ini
dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakatnya. Padahal, dalih meningkatkan
kesejahteraan masyarakat selalu menjadi kata-kata pembuka bagi rangkaian pidato-pidato
saat indstri skala besar beroperasi, urusan benar-benar masyarakat benar sejahtera atau
tidak, urusan lain. PT NMR telah menyelesaikan syarat ini walaupun belum memiliki ijin
untuk membuang tailing ke perairan / laut. Perlu diketahui juga dalam pembuangan
tailing oleh NMR. KLH memberikan syarat agar NMR membuat ERA (ecological risk
assesment), ERA ini sendiri telah diserahkan kepada KLH, akan tetapi berhubung tidak
sesuai akhirnya ERA ini ditolak. Hal ini berarti ijin pembuangan tailing belum dimiliki
oleh NMR. ERA sendiri merupakan suatu proses yang mengevaluasi kemungkinan yang
terjadi atau telah terjadinya efek-efek ekologis yang merugikan akibat pemaparan saru
atau beberapa stressor. Sehingga diharapkan setelah adanya ERA maka risk manager
dapat memperhitungkan atau menyusun strategi bagaimana meminimasi resiko yang
terjadi. Dengan belum dimilikinya ijin pembuangan tailing oleh NMR dan perusahaan ini
tetap membuang tailingnya menunjukkkan ketaatan perusahaan terhadap pemerintah
diragukan. Terlepas dari berbahaya atau tidaknya tailing tersebut.
Karena urusan sejahtera atau tidak inilah yang menjadi problem di setiap negara
yang menduduki suatu wilayah, dimana selalu saja masyarakatnya hidup di bawa garis
kemiskinan, termasuk yang terjadi di daerah kita Teluk Buyat Sulawesi Utara. Akibat
kegiatan pertambangan skala besar oleh PT. Newmont Minahasa Raya (NMR), ekosistem
perairan laut di teluk Buyat rusak parah akibat buangan 2000 ton tailing setiap hari.
Bukan saja itu, kondisi masyarakat di sekitar Teluk Buyat yang mengantungkan hidupnya
dari hasil laut dan harus bertahan hidup di wilayah tersebut karena tekanan kemiskinan
harus menerima akibat dari pencemaran dan perusakan ekosistem Perairan Teluk Buyat.
Terkontaminasi logam berat arsen, lahan tangkapan ikan berpindah jauh ketengah laut,
yang semuanya itu menurunkan kualitas hidup sebagian masyarakat Desa Buyat tepatnya
masyarakat di dusun V Desa Buyat Pante.
Pelanggaran lain adalah mengenai informasi AMDAL, dengan tidak validnya titik
termoklin (karena perairan tersebut sangat dinamis, terdapat perubahan-perubahan
lingkungan yang menyebabkan titik termoklin tidak diketahui secara pasti) maka tailing
dapat menyebar keseluruh perairan sekitar dan pada akibatnya akan memncemari
ekosistem perairan tersebut. NMR pun telah mengetahui bahwa titik tersebut tidak valid,
akan tetapi agaknya belum memiliki itikad baik untuk memperbaikinya. Kemudian
berdasarkan evaluasi Laporan pelaksanaan RKL dan RPL kadar logam berat setelah
detoksifikasi yang dilakukan NMR masih diatas standar yang ditentukan. Pemerintah
telah mengetahui terjadinya pelanggaran terhadap RKL/RPL akan tetapi tidak dapat
berbuat apa-apa. Setelah pencemaran tersebut diangkat ke media massa dan menjadi
berita yang besar, pemerintah baru menentukan sikapnya. Padahal seharusnya bila ada
kehendak sebelum pemberitaan muncul pemerintah harus segera memperbaiki kesalahan
yang dilakukan.
Limbah yang akan mengakibatkan biaya tambahan bagi masyarakat akibat
kegiatan perusahaan yang seharusnya tidak keluar ke alam bebas, justru sengaja
dikeluarkan melalui pipa sepanjang 900 meter dari tepi pantai Teluk Buyat. Akibatnya
menimbulkan biaya pencemaran bagi masyarakat sekitar Teluk Buyat atau eksternal cost.
Seharusnya ini menjadi biaya internal bagi perusahaan tersebut. Laut? ya, itulah pilihan
PT. NMR untuk membuang sampahnya, dengan harapan eksternal costnya hilang. Lucu
dan sungguh sangat tolol, bahwa memikirkan laut adalah lahan bebas yang tidak akan
berhubungan dengan kehidupan manusia. Indikasi terjadinya pencemaran lingkungan
dapat dilihat dari : Konsentrasi arsen, merkuri dan sianida di teluk buyat lebih tinggi
dibanding di titik kontrol. Konsentrasi Arsen yang terdapat di 4 sumur penduduk desa
buyat diatas baku mutu yang dipersyaratkan, padahal pada rona awal tidak ditemukan
konsentrasi Arsen di sumur penduduk. Hal ini menunjukkan telah terjadi leachate dari
kegiatan tambang di NMR. Melalui pemantauan dari segi biologis seperti indeks
diversitas, plankton, phitoplankton dan ikan telah terjadi perubahan kualitas yang
melebihi baku mutu yang ditetapkan. Kondisi ini dapat menimbulkan dampak terhadap
kualitas lingkungan serta kesehatan manusia.
Dalih 82 meter sebagai zona termoklin, sungguh sangat tidak masuk akal, coba
saja bapak-bapak yang mengatakan itu, menyelam dan masuk ke kedalaman tersebut,
apakah tailing (sludge dan air) tidak bercampur dengan air laut atau tidak naik ke
permukaan? Tahun 2001, Walhi Sulut sudah melakukan penyelaman dan terlihat sungguh
sangat keruh air dikedalaman itu, di mana menandakan bahwa sedimen betul-betul naik
ke permukaan. Jadi, teori termoklin yang selalu digunakansebagai pelindung bagi
buangan PT. NMR perlu direvisi, apakah zona termoklin indikatornya karena kedalaman
ataukah kondisi suhu tertentu suatu perairan yang permanen dan bukan temporer (seperti
yang terjadi di daerah tropis). Pencemaran Teluk Buyat adalah bentuk bencana ekologis
yang merupakan suatu bukti tidak bertanggungjawabnya kita melindungi bumi Sulut
sebagai tempat tinggal dan hidup. Perusakan ekosistem laut akibat timbunan “tailing”
yang mengandung logam-logam berat yang mengkontaminasi biota dan bahkan meracuni
masyarakat sekitar yang bermukim di sekitar “point source” yang sangat mengantungkan
hidupnya dari hasil laut perairan tersebut. Barangkali kontaminasi itupun telah tersebar di
sebagian masyarakat Sulawesi Utara melalui ikan-ikan yang telah dikonsumsikan karena
dampak pencemaran ini secara ekologi akan melintasi wilayah administrasi suatu
wilayah.
Pencemaran logam berat terutama logam arsen dan logam merkuri oleh PT. NMR
sudah jelas-jelas terbaca pada laporan-laporan RKL/RPL dan sejak tahun 2000 semua itu
sudah terlihat, namun masih saja dianggap perusahaan raksasa ini tidak melakukan
pencemaran di perairan Teluk Buyat. Celakanya, hampir ahli-ahli dari seluruh Indonesia
bahkan luar negeri melalui pernyataan-pernyataan yang di up-load di media internet
menyatakan paham bagaimana PT. NMR melakukan pencemaran, malahan
penyelenggara pemerintahan dan sebagian dokter dan akademisi dari Sulut masih
menyangsikan bahwa PT. NMR melakukan pencemaran. Sudah jelas-jelas ada
masyarakat yang memiliki banyak benjolan di sekujur tubuhnya dan ikan karangpun
demikian, masih saja kepala Bapedal Sulut mengatakan bahwa mereka bukan orang-
orang asli dari dusun V Desa Buyat Pantai. Padahal sejak tahun 1999-2000 masyarakat
Buyat sudah di pantau. Dan masih saja dikatakan itu adalah penyakit biasa menimpa
masyarakat pesisir, padahal dimana-mana benjolan tidak ditemukan di masyarakat pesisir
Pantai lainnya seperti di Teluk Jakarta, masyarakat Bajo sebagian masyarakat kota
Manado yang tinggal di pesisir.
Jadi, jelas sekali PT NMR masih lebih diuntungkan dibandingkan dengan
masyarakatnya sendiri, padahal dengan adanya atau tanpa perusahaan semacam ini
kesejahteraan masyarakat Sulut tidak berubah atau tidak ada perubahan positif yang
siknifikan dibandingkan jika harga cengkih dan kopra naik. Malahan, sebetulnya kita
mengeluarkan biaya atau “cost” tambahan akibat kita harus menanggung “external cost”
perusahaan ini akibat pencemaran dan perusakan lingkungan alam. Artinya, terjadi
penurunan kualitas hidup dalam waktu yang panjang, apalagi ketika 2 perusahaan
semacam ini akan beroperasi di Likupang dan di Bolaang Mongondow, pastilah kualitas
hidup masyarakat Sulut akan menurun dengan tajam di masa datang. Jadi untuk
kesejahteraan masyarakat yang mana jika ada perusahaan raksasa beroperasi di Sulut?
Untuk seluruh masyarakatkah atau untuk sebagian masyarakat yang dipilih oleh investor?
Apakah negeri ini harus mengorbankan sebagian besar masyarakatnya untuk memberikan
keuntungan pada sebagian masyarakat Sulut yang terpilih itu? Nah inilah yang menjadi
persoalan yang banyak terjadi dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kasus Buyat,
menjadi salah salah satu model pengelolaan lingkungan hidup yang harus mengorbankan
masyarakat yang hidup di garis kemiskinan (yang terlihat) dan mengorbankan seluruh
masyarakat Sulut sebetulnya (bencana ekologis) di masa datang. Inilah kenyataan yang
mesti masyarakat Sulut hadapi, terpilihnya daerah kita sebagai lahan eksploitasi emas dan
terpilihnya tanah kita sebagai ajang buang sampah beracun akibat kegiatan pengelolaan
emas yang bakal mengancam keberadaan masyarakat Sulut dimasa datang.
Saran saran dari tim teknis dapat menunjukkan pula kekurangan-kekurangan yang
terdapat di lokasi pencemaran.
A. Mengenai pemantauan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah seakan masih
dibawah standar baik itu melalui hal teknis maupun dari pembiayaan yang
terbatas.
B. Perizinan pembuangan tailing harus ditetapkan apakah pembuangan ini benar –
benar aman, karena bila terjadi kesalahan dari pemrakarsa dan sulit diperbaiki
akan menjadi kesulitan tersendiri bagi pemerintah dan terlanjur terjadi
pencemaran. Ada baiknya bahwa ijin pembuangan tailing ini dicermati dengan
seksama dan apabila memungkinkan mencari alternatif lain karena pemantauan
dan pengawasan pemerintah terbukti sangat terbatas.
C. Terpisahnya persyaratan AMDAL dengan perijinan pembuangan tailing
mempersulit pemrakarsa dalam berproduksi. Ketika AMDAL telah disetujui tetapi
ijin pembuangan limbah belum selesai akan mengganggu dalam proses produksi
sehingga pemrakarsa menjadi bingung, yang pada akhirnya cenderung untuk
melupakan ijin pembuangan limbahnya.
D. Pengolahan biji emas dalam kegiatan PETI tidak mendapat bimbingan dan arahan
yang dapat memberikan pengetahuan tentang pengelolaan limbah dan akibat dari
pencemaran akibat dari kegiatan tersebut.
E. Pemantauan dari sedimen yang tercemar tailing harus dilakukan mengingat batas
termoklin yang berubah-rubah. Pemantauan ini dilakukan sampai 30 tahun
mendatang atau hingga terjadi pemulihan secara alamiah
F. Keterbatasan pemerintah dalam menyusun peraturan dan kemampuan
laboratorium harus segera diperbaiki mengingat limbah yang terkait adalah
limbah yang termasuk dalam limbah B3.
3. KESIMPULAN DAN SARAN
Tahap-tahap dalam pengelolaan lingkungan hidup masih tidak terlaksana dengan
baik di bumi Sulut. Jika ada perencanaan, sering kali tidak didasari oleh hasil evaluasi
dari kegiatan yang sudah berjalan. Pelaksanaan suatu kegiatan seringkali tidak sesuai
dengan rencana, selalu disesuaikan dengan budget yang ada, dan seringkali kenyataannya
biaya kegiatan yang dikeluarkan lebih kecil dari biaya yang sudah diajukan, dalihnya ada
pemotongan dimana-mana (korupsi?), yang sudah menjadi lazim dilaksanakan pabila
berurusan dengan pemerintah. Demikian pula dengan pengawasan terhadap suatu
kegiatan, apakah merusak lingkungan atau tidak, selalu juga terbentur pada biaya
pengawasan atau lebih tepat sesuai saja dengan biaya pengawasan sehingga pengawasan
hanya dilakukan sepanjang mata memandang. Padahal kegiatan pengawasan adalah
kegiatan yang amat penting untuk tetap membuat rencana dan pelaksanaan konsisten
dengan komitmen mensejahterakan masyarakat Sulut. Akhirnya, kegiatan evaluasi tidak
dapat dilakukan dengan baik, padahal hasil evaluasi merupakan data yang akan
dimasukkan (input) kembali pada suatu proses perencanaan. Tahap-tahap inilah dalam
pengelolaan yang semestinya sangat diperhatikan tapi justru inilah tahap yang rawan dan
seringkali terjadi manipulasi (data maupun uang).
Terlepas era kapan PT. NMR diijinkan untuk beroperasi di bumi Sulut, tetap saja
saat kini yang menentukan apakah perlu dipertahankan atau ditutup sama sekali dan jika
ada kegiatan yang serupa yang akan beroperasi di Sulut, tidak diperbolehkan sama sekali
untuk membuang tailing di dasar laut. Perencanaan investasi di era Presiden Suharto,
bukan tidak bisa dievaluasi di era Presiden Susilo Bambang Yodoyono kini, itulah yang
disebut dengan evaluasi dalam suatu pengelolaan lingkungan hidup. Hasil evaluasi
tersebut akan menjadi suatu perencanaan baru. Jika kegiatan tersebut hanya untuk
menyengsarakan masyarakat Sulut saat ini dan di masa datang (10-20 tahun), lebih baik
tidak diperbolehkan lagi berkegiatan di bumi Sulut dan tentunya harus melakukan
kegiatan perbaikan (rehabilitasi) akibat pengrusakan yang telah dilakukan pada seluruh
komponen alam dan manusia.
Kesimpulan dari uraian diatas adalah
A. Pelanggaran mengenai pencemaran lingkungan hidup yang terjadi di buyat
disebabkan kurangnya ketegasan dari pemerintah. Walaupun telah terdapat hasil
evaluasi Laporan pelaksanaan dari RKL/RPL, pemerintah tidak dapat berbuat
apa-apa.
B. Itikad baik dari perusahaan sangat dibutuhkan untuk mendukung terlaksananya
persyaratan dari pemerintah mengenai peraturan peraturan.
C. Peraturan-peraturan dan dokumen seperti halnya AMDAL dalam suatu kegiatan
yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup dapat digunakan
untuk mengetahui ketaatan pemrakarsa terhadap pemerintah dan kehendak untuk
melestarikan lingkungan hidup.
D. Peraturan – peraturan mengenai pembuangan tailing perlu segera ditetapkan,
mengingat keterbatasan dalam hal pengawasan oleh pemerintah.
Saran
A. Perlu dikaji ulang apakah pembuangan tailing ke dasar laut merupakan satu-
satunya cara.
B. Pemantauan lingkungan di daerah penduduk dan sumber makanan (dalam hal ini
perairan laut) mutlak dilakukan selama kegiatan berlangsung. Apabila terdapat
indikasi pencemaran dapat dievaluasi darimana sumber pencemaran dan dengan
segera dapat diperbaiki.
C. Pemeriksaan kesehatan penduduk dapat dilakukan selama kegiatan berlangsung
dan setelah kegiatan ditutup, sehingga dapat diketahui kecendrungan kesehatan
apakah akibat bahan pencemar dari kegiatan atau akibat lain.
D. Diperlukan ketegasan pemerintah untuk menghentikan kegiatan bila terdapat
indikasi pemrakarsa tidak taat pada peraturan.
4. DAFTAR PUSTAKA
A. Kepmen LH No 86/ tahun 2002 tentang pedoman pelaksanaan upaya pengelolaan
lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan.
B. PP RI no 27/ tahun 1999, tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
C. KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP, 2004, LAPORAN PENELITIAN
Penanganan Dugaan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup
Di Desa Buyat Pantai Dan Desa Ratatotok Kecamatan Ratatotok Timur
Kabupaten Minahasa Selatan Propinsi Sulawesi Utara ,
D. http://www.menlh.go.id/i/art/pdf_1102322765.pdf