Post on 09-Aug-2015
description
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Evolusi filsafat hukum, yang melekat dalam evolusi filsafat secara
keseluruhan, berputar di sekitar problema tertentu yang muncul berulang-ulang.
Di antara problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang
persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum.1
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang
hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam
hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu.
Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung
dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.
Hal ini dikarenakan hukum
atau aturan perundangan harusnya adil, tapi nyatanya seringkali tidak.
2
1 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004, hal 24. 2 Ibid.. hlm. 23.
Orang
dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan
mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa
didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau
orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau
filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat mendefinisikan
keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain dari pandangan ini. Keadilan
Universitas Sumatera Utara
12
dalam filsafat hukum menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui
hukum yang ada.3
Aristoteles menegaskan bahwa keadilan sebagai inti dari filsafat
hukumnya.
4 Baginya, keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, antara
kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik
mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Kesamaan proporsional
memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya,
prestasinya, dan sebagainya. Dia juga membedakan keadilan menjadi jenis
keadilan distributif dan keadilan korektif.5 Pertama, berlaku dalam hukum publik,
kedua, dalam hukum perdata dan pidana. John Rawls dengan teori keadilan
sosialnya menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi
kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu memberi hak dan
kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan
yang sama bagi setiap orang dan mampu mengatur kembali kesenjangan sosial
ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal
balik (reciprocal benefits)6
Dalam kaitannya dengan teori keadilan tersebut diatas, dalam sebuah
negara penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan”
hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan
bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari
kelompok beruntung maupun tidak beruntung.
3 Ibid. 4 Ibid. hlm. 25. 5 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta: kanisius,
1995 hal. 196. 6 John Rawls, A Theory of Justice, terjemahan Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori
Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Universitas Sumatera Utara
13
hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan
interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-
kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama.
Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata mata dianggap sebagai
proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses
penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat
tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku
manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa
problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema law in
action bukan pada law in the books. Saat ini dapat dilihat dan dirasakan bahwa
penegakan hukum berada dalam posisi yang tidak menggembirakan. Masyarakat
mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi,
merebaknya mafia peradilan, dan pelanggaran hukum.7
Beberapa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun
terakhir, yang dimulai dengan bergulirnya agenda reformasi, telah menghasilkan
berbagai perubahan besar di tanah air, khususnya dalam hal demokratisasi dan
sistem ketatanegaraan. Dimana agenda yang paling mendasar dalam proses
transisi menuju demokrasi adalah reformasi konstitusi sebagai syarat utama dari
sebuah Negara demokrasi konstitusional. Karena proses transformasi kearah
pembentukan sistem demokrasi hanya dimungkinkan bila didahului oleh
perubahan fundamental dalam aturan konstitusi yang memberikan dasar bagi
7 Prof. Zudan Arif Fakrulloh, SH., MH., Penegakan Hukum Sebagai Peluang
Menciptakan Keadilan, Sebuah Tulisan yang diterbitkan dalam Majalah Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005, hlm. 22 - 34
Universitas Sumatera Utara
14
berbagai agenda demokrasi lainnya.8 Reformasi politik dan Ekonomi yang
bersifat menyeluruh tidak mungkin dilakukan tanpa diiringi oleh reformasi
hukum. Namun menurut Prof. Jimly Assiddiqie, S.H.,9
Dalam sebuah Negara, tidak ada konstitusi yang memasukkan semua
peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan.
Karena itu, konstitusi merupakan dokumen yang hanya memuat prinsip-prinsip
pemerintahan yang bersifat fundamental. Artinya ia hanya mengandung hal-hal
yang bersifat pokok, mendasar, atau asas-asasnya saja.
reformasi hukum yang
menyeluruh juga tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh agenda reformasi
ketatanegaraan yang mendasar, dan itu artinya diperlukan sebuah constitutional
reform yang tidak setengah hati.
10
Karena itu, sifat dan karakteristik konstitusi yang demikian dimaksudkan
agar ia tidak selalu diubah karena perkembangan zaman dan masyarakat.
Menurut, Miriam Budiarjo
11
Sejalan dengan prinsip konstitusionalisme, gagasan konstitusi sebagai
alat pembatasan kekuasaan, tidak dapat dilepaskan lagi dari gagasan hak asasi
manusia, demokrasi dan Negara hukum. Dimana konstitusi merupakan kristalisasi
, konstitusi merupakan sebuah piagam yang
menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu
bangsa. Dimana dalam konstitusi terdapat berbagai aturan pokok yang berkaitan
dengan kedaulatan, pembagian kekuasaan, lembaga-lembaga Negara, cita-cita dan
ideology Negara, masalah ekonomi dan sebagainya.
8 Ni’ matul Huda, S.H.,M.Hum. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta:
Rajawali Pers, 2008, hlm. 193. 9 Ibid. 10 Ibid. hlm.6. 11 Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 107.
Universitas Sumatera Utara
15
normatif atas tugas Negara dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia
dan melaksanakan pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat disertai batas-
batas kekuasaan secara hukum yang diarahkan bagi kepentingan masyarakat
secara keseluruhan.12
Dalam setiap perubahan konstitusi harus didasarkan pada paradigma atau
pandangan mengenai perubahan yang harus dipatuhi oleh pelaku perubahan, yang
terarah dan sesuai dengan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Paradigma
ini digali dari kelemahan sistem bangunan konstitusi yang lama, dengan
argumentasi diciptakan sebagai landasan agar dapat menghasilkan sistem yang
menjamin stabilitas pemerintahan dan memajukan kesejahteraan rakyat. Sebuah
ide untuk melakukan perubahan ini muncul dari Majelis Permusyawaratan Rakyat
hasil pemilu tahun 1999, yang mencetuskan sebuah gagasan yaitu untuk
menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial yang diwujudkan dalam pelembagaan
Pada awal bergulirnya gerakan reformasi, tekad untuk
memberantas segala penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan-
penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, ternyata belum diikuti
dengan langkah nyata dan kesungguhan pemerintah termasuk juga aparat penegak
hukum dalam usaha penegakan hukum di Indonesia. Sebagai reaksi dari adanya
tuntutan reformasi tersebut, pada akhirnya membawa perubahan mendasar dalam
sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk bidang hukum dan politik,
yang seakan telah membawa Negara Republik Indonesia ke arah yang demokratis
dan konstitusional.
12 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta,
2003, hlm.142.
Universitas Sumatera Utara
16
organ-organ Negara yang sederajat dan menjalankan fungsi check and balance.
Masing-masing organ Negara tidak lagi terstruktur secara hierarkhi, tetapi
terstruktur menurut fungsinya.13 Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan salah satu pilar utama yang menandai
upaya penyempurnaan dan pengembangan demokrasi dalam aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara.14
Dengan adanya perubahan UUD 1945 telah mengimplikasikan berbagai
kemajuan terutama terkait dengan semangat dalam penguatan sendi-sendi
berdemokrasi termasuk penjaminan terhadap kebebasan sipil. Dan untuk
menciptakan pemerintahan yang demokratis dan konstitusional. Dimana dalam
menjalankan fungsi check and balances tersebut, diperlukan sebuah lembaga yang
memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan yudisial (judicial control)
terhadap penyelenggaraan Negara. Di Indonesia sendiri, terdapat upaya untuk
memperbaiki penegakan hukum di Indonesia melalui melalui perubahan konstitusi
Hal ini akan hanya memiliki arti yang sangat besar
dan bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara apabila seluruh elemen
masyarakat telah memiliki satu kesamaan dalam pemahaman yang menyeluruh
terhadap konstitusi. Dimana perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada tataran
implementasi, membawa perubahan baik penghapusan maupun pembentukan
lembaga-lembaga Negara, kedudukan masing-masing Lembaga Negara
tergantung kepada tugas dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar 1945.
13Dr. Abdul Rsyid Thalib, SH., Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 2. 14Materi Sosialisasi Putusan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, tentang
Ketetapan MPR RI dan Keputusan MPR RI Tahun 2006
Universitas Sumatera Utara
17
dan sebuah reformasi ketatanegaraan. Terutama dalam lembaga peradilan dan
kekuasaan kehakiman.15
Menurut Moh. Mahfud MD
16
15 Sebuah Tulisan Moh. Mahfud MD, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD
1945, yang kemudian dimuat dalam Buku Komisi Hukum Nasional “Gagasan Amandemen UUD 1945: Suatu Rekomendasi” Vol. 1, Desember 2008, hlm. 15.
16 Ibid.
, ada tiga hal yang terkait dengan wacana
untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia melalui reformasi. Pertama,
maraknya mafia peradilan (judicial corruption) yang melibatkan hakim-hakim
dan para penegak hukum lainnya (catur wangsa penegak hukum). Jucial
corruption terasa menyengat tetapi tidak dapat terlihat atau dibuktikan secara
formal karena pelaku-pelakunya terdiri dari orang-orang yang pandai
memanipulasi hukum untuk saling melindungi. Kedua, banyaknya peraturan
perundang-undangan, termasuk produk undang-undang, yang secara substantif
dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
termasuk dengan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi tidak ada lembaga atau
mekanisme pengujian yang efektif melalui lembaga yudisial (judicial review).
Yang ada saat itu hanyalah pengujian oleh legislatif (legislative review) dan
pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review) yang bergantung pada
keputusan Presiden, sesuai dengan system politik executive heavy yang
mendasarinya. Maka setelah adanya perubahan Undang-Undang Dasar, terlihat
salah satu capaian penting dari Perubahan Ke III adalah kehadiran lembaga baru
dalam sistem kekuasaan kehakiman yang dinamakan Mahkamah Konstitusi, yang
ditasbihkan sebagai the Guardian and the Protector of the Constitution.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam system ketatanegaraan Indonesia dapat
Universitas Sumatera Utara
18
dikatakan sebagai sebuah lembaga baru, yang tidak dapat dipungkiri terinspirasi
oleh Mahkamah Konstitusi di Negara lain.
Namun, konsep mengenai Mahkamah Konstitusi tidak diadopsi secara
keseluruhan, karena setiap Negara memiliki karakteristik system ketatanegaraan
yang berbeda. Dan saat ini, terdapat 78 negara yang telah memiliki Mahkamah
Konstitusi, dan merupakan trend di negara-negara yang baru mengalami
perubahan dari rezim otoriter ke arah rezim demokrasi.17
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
merupakan tuntutan atau konsekuensi teoritis dari perubahan Undang-Undang
Dasar 1945. Gagasan utama yang melandasi perubahan tersebut adalah keinginan
untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara hukum (rule of law, rechsstaat) dan
Negara demokrasi yang berdasarkan konstitusi (constitutional democracy).
18
17 I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial review, dan Welfare State,
Jakarta: Konstitusi Press, 2008, hlm.3. 18 Ibid., hlm. 47.
Bersama Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi adalah pemegang kekuasaan
kehakiman di Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan kehakiman mahkamah
konstitusi diharapkan dapat menjadi ujung tombak penegakan keadilan. Banyak
yang berharap bahwa pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat menjamin hak
konstitusioanal warganegara. Sebab selama masa orde baru hak-hak dasar
warganegara selalu diabaikan oleh penguasa pada saat itu. Masyarakat pada masa
itu sering menjadi korban kebijakan pemerintah yang selalu mangabaikan hak
masyarakat. Keberadaan mahkamah konstitusi dapat menjadi wadah bagi
Universitas Sumatera Utara
19
masyarakat untuk mendapatkan perlindungan akan hak-haknya yang telah diatur
dalam konstitusi, dalam hal ini adalah undang-undang dasar 1945.19
Salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan cermin
pelaksanaan mekanisme check and balances di Indonesia, dimana kekuasaan
pembuat undang-undang yang selama ini berada pada badan legislatif tidak dapat
diuji oleh lembaga yudisial. Dengan berwenangnya kekuasaan kehakiman,
melalui Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang, maka semua pengadilan
dan lembaga Negara, dan lembaga lainnya termasuk pemerintah daerah harus
terikat dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Namun, dalam pengujian
ini, terdapat ketentuan beracara seperti yang tercantum dalam ketentuan pasal 28
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945, merupakan tugas yang mendominasi kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana terlihat dalam permohonan yang masuk dan
terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Sebagai data, dapat dikemukakan
Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, telah
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24, dan mengenai
kewenangannya diatur dalam pasal 24C. Serta, sesuai dengan ketentuan di dalam
pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945, dibentuk pula sebuah peraturan
sebagai pelaksana Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan peraturan ini tidak membatasi
pelaksanaan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945.
19 http://wongbanyumas.com, Senin, 30 November 2009. (diakses pada 04 Februari 2010)
Universitas Sumatera Utara
20
bahwa sejak terbentuk tahun 2003 sampai bulan Juni 2008, Mahkamah Konstitusi
sudah memeriksa dan memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945 (judicial review) sebanyak 137 kali dan permohonan yang
sedang dalam proses pemeriksaan sebanyak 11 kasus.20
Mahkamah Konstitusi dalam melakukan tugasnya, mengacu pada
Peraturan Mahkah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005 tentang pedoman beracara
dalam perkara pengujian undang-undang. Dan menurut banyak pakar, kekosongan
hukum dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi memang menyulitkan bagi para
hakim dalam menjalankan praktek beracara Mahkamah Konstitusi.
21 Dalam
menjalankan kewenangan menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang,
Mahkamah Konstitusi banyak mendapat kritik mengenai substansi perkaranya dan
bagaimana hukum formilnya, khususnya masalah ultra petita atau putusan yang
melebihi tuntutan pemohon.22
20 Moh. Mahfud MD, op. cit., hlm.22 21 http://wongbanyumas.com 22 http://www.miftakhulhuda.com
Hal ini dapat dilihat dalam salah satu Putusan
Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 yang menguji Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam putusannya,
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Dengan kekuatan mengikat dari putusan Mahkamah
Konstitusi ini, selain mengikat pihak-pihak yang berperkara (interpartes), namun
juga mengikat bagi semua orang, dan lembaga-lembaga hukum serta badan
hukum di wilayah Republik Indonesia. Hal inilah yang menjadi kelemahan bagi
Universitas Sumatera Utara
21
Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, karena dalam
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005 ini, tidak mengatur
batasan apakah Mahkamah Konstitusi boleh melakukan ultra petita. Oleh karena
itulah Mahkamah Konstitsi mengadopsi berbagai aturan dalam hukum acara
terutama hukum acara peradilan tata usaha negara. Selain itu, Mahkamah
Konstitusi juga mengadopsi peraturan yang berasal dari negara lain yang memiliki
lembaga Constitutional Courts.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang, penulis
berpendapat bahwa studi terhadap Kewenangan dalam Mahkamah Konstitusi
masih belum banyak menjadi perhatian para ahli hukum terutama ahli hukum tata
Negara. Hal ini disebabkan karena Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana
Kekuasaan Kehakiman yang tergolong baru dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia akan terus-menerus berupaya untuk memperbaiki segala hal yang
belum sempurna dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan untuk
dibahas secara lebih terperinci dalam tulisan ini. Adapun permasalahan tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Konstitusi
setelah perubahan UUD 1945?
2. Bagaimana pengaturan putusan ultra petita dalam Hukum Acara pada
Pengadilan Umum di Indonesia?
Universitas Sumatera Utara
22
3. Bagaimana akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Ketentuan
Beracara di Mahkamah Konstitusi?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini dapat diuraikan
sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui yang menjadi dasar legitimasi teori konstitusi dalam
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 terhadap kekuasaan kehakiman
yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi.
b. Untuk mengetahui ketentuan beracara di Pengadilan Umum dan secara
khusus ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan
uji materil Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945
menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
c. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari putusan Mahkamah
Konstitusi.
2. Manfaat Penulisan
A. Secara Teoritis
Pembahasan terhadap permasalahan-permasalahan sebagaimana
diuraikan diatas, diharapkan akan menimbulkan pemahaman dan pengertian bagi
pembaca mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam perkembangan
Universitas Sumatera Utara
23
pelaksanaan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Jadi, secara teoritis, manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai sumbangan
pikiran untuk memperkaya ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi koleksi
karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran yang membahas fungsi
judicial review terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai salah
satu lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Selain itu, manfaat
penulisan skripsi diharapkan mampu menemukan konsep baru dan argumentasi
baru mengenai keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia.
B. Secara Praktis
Penulis berharap, semoga hasil penulisan ini bermanfaat bagi semua
orang, terutama bagi setiap orang yang berminat untuk mengikuti perkuliahan di
fakultas hukum di setiap perguruan tinggi, dan menjadi sumbangan pemikiran
ilmiah bagi hukum positif di Indonesia, berkaitan dengan salah satu ciri dari
Negara Indonesia, yang demokratis dengan menjunjung tinggi supremasi hukum
(supremacy of law). Hal ini tidak terlepas dari penempatan Hukum Tata Negara
sebagai unsur terpenting dalam sistem hukum Indonesia. Dimana, dengan adanya
penulisan skripsi ini, diharapkan mampu memberikan pandangan baru terhadap
perubahan sistem ketatanegaraan ketika Mahkamah Konstitusi hadir sebagai salah
satu Pelaksana Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.
Manfaat lain dari penulisan ini adalah masyarakat diharapkan dapat
mengetahui bagaimana pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia, ketika terdapat produk perundang-undangan yang inkonstitusional
Universitas Sumatera Utara
24
dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa ke Mahkamah Konstitusi,
dan dapat dijadikan dasar untuk melakukan pengawasan terhadap perbuatan
komponen konstitusi (institusi) pemerintah.
D. Keaslian Penulisan
Sebelum tulisan ini dimulai, penulis telah terlebih dahulu melakukan
penelusuran terhadap tulisan-tulisan terdahulu, dan sepanjang penelusuran
tersebut, diketahui di Lingkungan Fakultas Hukum USU, penulisan tentang
“Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Ultra Petita oleh Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia” belum pernah ada. Kemudian, permasalahan
yang dimunculkan dalam penulisan ini merupakan hasil olah pikir dari penulis
sendiri. Kendatipun terdapat tulisan atau skripsi yang menyerupai tulisan ini,
penulis yakin bahwa substansi pembahasannya berbeda dengan skripsi ini.
Dimana dalam skripsi ini, penulis mencoba untuk mengarahkan pembahasannya
mengenai proses pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan
ketentuan beracara di Lembaga ini, dan dalam implementasi putusan perkara dari
Mahkamah Konstitusi ini. Oleh sebab itu, keaslian dari tulisan ini dapat dijamin
oleh penulis.
E. Tinjauan Kepustakaan
Kegagalan dewan konstituante dalam membentuk sebuah undang-undang
dasar sebagai pengganti Undang-Undang Dasar 1945 merupakan salah satu
penyebab keluarnya Dekrit Presiden, yang merupakan salah satu langkah
Universitas Sumatera Utara
25
pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan negara ini dari ketidakjelasan dalam
sistem konstitusi. Dengan keluarnya dekrit 5 Juli 1959 tersebut, maka Indonesia
memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Setelah pemberlakuan
kembali Undang-Undang Dasar 1945, tampaknya masyarakat Indonesia tidak
memiliki keinginan untuk mengadakan perubahan, namun ketika tuntutan
reformasi bergulir, terdapat sebuah tuntutan untuk mengubah Undang-Undang
Dasar 1945, yang terlaksana pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002.
Menurut Sri Soemantri, suatu Undang-Undang Dasar memungkinkan untuk
diubah. Hal ini terlihat dari pendapat beliau :
“perubahan Undang-Undang Dasar pada dasarnya merupakan suatu keniscayaan karena pertama, generasi yang hidup saat ini tidak dapat mengikat generasi yang akan datang. Kedua, hukum konstitusi hanyalah salah satu bagian dari hukum tata negara, dan ketiga, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu konstitusi atau undang-undang dasar selalu dapat diubah.”23
23 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Undang-Undang Dasar, Bandung:
Penerbit Alumni, 2006, hlm. 272.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR yang dahulu berkedudukan sebagai
Lembaga Tertinggi Negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan
rakyat, kini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berkedudukan sebagai
lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan
lembaga negara lainnya, yaitu Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Universitas Sumatera Utara
26
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai special tribunal secara
terpisah dari Mahkamah Agung, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh
sebelum keberadaan Negara bangsa yang modern, yang pada dasarnya menguji
konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum yang
lebih tinggi. Sejarah modern judicial review dapat dilihat sebagai perkembangan
yang berlangsung selama 250 tahun sebagai cirri utama Mahkamah Konstitusi,
dengan adanya penerimaan yang luas terhadap hal ini, namun ada juga menerima
dengan rasa kebencian terhadap lembaga ini.
Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk sebagai lembaga yang
mempunyai kewenangan melakukan judicial review, Indonesia telah memiliki
Mahkamah Agung yang juga mempunyai kewenangan yang sama. Namun,
judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung adalah judicial
review terhadap peraturan perundang-undangan yang berada dibawah undang-
undang. Sedangkan judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
adalah pengujian atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Berkaitan dengan hal diatas, Jimly Asshiddiqie menjelaskan:
“Pengujian konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang itu, baik dari segi formil maupun materil. Karena itu pada tingkat pertama, pengujian konstitusionalitas itu haruslah dibedakan dari pengujian legalitas. Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, sedangkan Mahkamah Agung melakukan pengujian legalitas, bukan pengujian konstitusionalitas.”24
Didalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi
lahir untuk menjaga kestabilan sistem pemerintahan serta menjadi penjaga dan
24 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi
Press, 2006, hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
27
pelindung bagi konstitusi. Sehingga ketika Mahkamah Konstitusi melaksanakan
kewenangannya, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Mahkamah Konstitusi telah
muncul sebagai lembaga Negara yang independent dan cukup produktif
mengeluarkan putusan-putusan yang sangat mendukung bagi kehidupan
ketatanegaraan yang demokrat.25
Namun dalam menjalankan kewenangan
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, terdapat beberapa
putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap kontroversial karena dianggap
melampaui batas kewenangan dan melanggar atau memasuki wilayah legislatif.
Yaitu, memutuskan melebihi apa yang diminta oleh pemohon atau yang lebih
lazim disebut sebagai ultra petita.
Ketentuan mengenai larangan ultra petita,dapat dilihat dalam Pasal 178
ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya
dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus
melebihi apa yang dituntut (petitum). Ketentuan HIR merupakan hukum acara
yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia. Namun seperti yang kita ketahui
juga, bahwa dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi tidak dikenal ketentuan
ultra petita.
25 Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Jakarta:Rajawali
Pers, 2009, hlm. 275.
Universitas Sumatera Utara
28
F. Metode Penelitan
Metode dapat diartikan sebagai cara atau jalan untuk mencapai sesuatu.
Namun, menurut kebiasaan metode dapat dirumuskan dalam beberapa
kemungkinan26
a. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian;
yaitu :
b. Suatu teknik yang umum digunakan dalam ilmu pengetahuan;
c. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.
Dalam pembahasan skripsi ini, metode yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Jenis dari penelitian ini adalah dengan menggunakan metode Penelitian
Hukum Normatif (legal research), yaitu dengan mengacu pada berbagai
norma hukum, dalam hal ini adalah perangkat hukum tata negara yang
terdapat di dalam berbagai sumber terkait dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi yang dibahas dalam skripsi ini.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode pendekatan
yuridis (legal approach), mengingat permasalahan yang diteliti dan dibahas
dala skripsi ini adalah ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi dan
tinjauan yuridis mengenai ketentuan ultra petita dalam putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006 terkait dengan pengujian Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
29
3. Alat Pengumpul Data
Pengumpulan data yang diperlukan oleh penulis berkaitan dengan
penyelesaian skripsi ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library
research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-
literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan
sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini.
Tujuan dari tinjauan kepustakaan (library research) ini adalah untuk
memperoleh data-data sekunder27
4. Analisis Data
yang meliputi peraturan perundang-
undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun bahan
bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
Data yang diperoleh penulis dari tinjauan kepustakaan ini akan dianalisis
secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif yang
berpedoman kepada bagaimana putusan ultra petita tersebut dalam ketentuan
hukum acara yang terdapat dalam proses peradilan di Indonesia.
Analisis deskriptif maksudnya adalah penulis semaksimal mungkin berupaya
untuk memaparkan data-data yang sebenarnya.
Metode Deduktif maksudnya adalah berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia tentang ultra petita dan hukum acara di
Pengadilan Umum dan Mahkamah Konstitusi yang dapat dijadikan sebagai
27 Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku,
hasil penelitian, laporan, buku harian surat kabar, dan lain sebagainya, dalam keadaan yang siap tersaji dan telah dibentuk serta diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu.
Universitas Sumatera Utara
30
pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data
yang diperoleh dari penelitian.
Metode induktif artinya adalah melalui data-data khusus mengenai
implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi akan dapat ditarik
kesimpulan umum yang akan digunakan dalam pembahasan selanjutnya.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang dasar-dasar pemikiran dan gambaran
umum tentang permasalahan yang akan dibahas, serta berisi
tentang teknis penulisan skripsi ini yang dimulai dengan
mengemukakan latar belakang pemilihan judul, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI
KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
Bab ini merupakan awal dari pembahasan terhadap
permasalahan yang telah dirumuskan dalam pendahuluan. Jika
melihat skripsi ini, maka penulis melakukan penelusuran yang
dimulai dari pandangan umum mengenai Penyelenggaraan
Kekuasaan Kehakiman Sebelum Amandemen UUD 1945
maupun Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman pasca
Universitas Sumatera Utara
31
amandemen UUD 1945, serta sejarah pembentukan dan
perkembangan kedudukan mahkamah konstitusi sebagai bagian
dari kekuasaan kehakiman, di Indonesia.
BAB III : KETENTUAN ULTRA PETITA DALAM HUKUM
ACARA DI INDONESIA
Didalam bab ini, diberikan gambaran mengenai pengaturan ultra
petita didalam hukum acara di pengadilan umum di Indonesia.
Selain itu, dalam bab ini juga dijelaskan bagaimana akibat
hukum dari sebuah putusan yang bersifat ultra petita dalam
sitem peradilan Republik Indonesia. Dilanjutkan dengan
pembahasan mengenai Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi.
Yaitu, mulai dari Konstitusionalitas Undang-Undang, serta legal
standing pemohon dalam pengajuan perkara. Selain itu, dalam
bab ini juga dibahas mengenai akibat hukum putusan Hakim
Konstitusi termasuk Putusan Hakim yang melebihi tuntutan
pemohon (ultra petita).
BAB IV : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN ULTRA
PETITA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI Bab ini merupakan inti dari permasalahan yang dibahas dalam
skripsi ini. Dalam bab ini, penulis melakukan pembahasan dan
analisi mengenai pelaksanaan kewenangan Mahkamah
Konstitusi yang merupakan Lembaga Negara Yudikatif dalam
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Dan berdasarkan ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi,
Universitas Sumatera Utara
32
uji materil dilakukan mulai dari pemeriksaan mengenai
inkonstitusionalitas undang-undang, objek pengujian, serta legal
standing pemohon, terhadap pengujian terhadap Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi, serta putusan terhadap Perkara Nomor 6/PUU-
IV/2006. Dalam putusan tersebut diatas dapat dianalisis
mengenai ketentuan ultra petita yang dilakukan oleh Hakim
Konstitusi. Dan dicentumkan juga pendapat berbeda (dissenting
opinion) oleh Hakim Konstitusi mengenai ultra petita yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dari hal ini, kiranya dapat ditarik kesimpulan untuk selanjutnya
memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan.
BAB V : PENUTUP
Bab ini merupakan akhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi
kesimpulan dari tiga pembahasan yang telah ada sebelumnya
diatas, kiranya dapat memberikan gambaran yang jelas
mengenai pelaksanaan kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah
Konstitusi serta implementasi dari Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, sehingga dapat memberikan saran-saran
konstruktif yang tentunya didasarkan pada pemikiran yuridis
yang didapat dari proses penulisan ini.
Universitas Sumatera Utara