Tugas Filsafat Hukum

28
FILSAFAT HUKUM PENERAPAN AFFIRMATIVE ACTION DI INDONESIA DALAM MENINGKATKAN PERAN WANITA DALAM DUNIA POLITIK DITINJAU DARI FEMINIST JURISPRUDENCE Dosen: Dr. Agus Brotosusilo, S.H., M.H. Disusun Oleh: Nama : Sanny Hayati Sinaga (Pembanding) NPM : 1406585715 FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL UNIVERSITAS INDONESIA 2015

Transcript of Tugas Filsafat Hukum

Page 1: Tugas Filsafat Hukum

FILSAFAT HUKUM

PENERAPAN AFFIRMATIVE ACTION DI INDONESIA DALAM

MENINGKATKAN PERAN WANITA DALAM DUNIA POLITIK DITINJAU

DARI FEMINIST JURISPRUDENCE

Dosen:

Dr. Agus Brotosusilo, S.H., M.H.

Disusun Oleh:

Nama : Sanny Hayati Sinaga (Pembanding)

NPM : 1406585715

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

UNIVERSITAS INDONESIA

2015

Page 2: Tugas Filsafat Hukum

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Penerapan

Affirmative Action di Indonesia Dalam Meningkatkan Peran Wanita Dalam Dunia

Dalam Politik ditinjau dari Feminist Jurisprudence”.

Makalah ini berisikan perbandingan dari makalah penyaji tentang penerapan

affirmative action pada peningkatan partisipasi politik oleh wanita di Indonesia yang

dikaitkan dengan feminist jurisprudence yang sekarang menjadi isu hukum yang

sangat hangat.

Namun Penulis menyadari bahwa makalah ini terdapat ketidaksempurnaan,

maka atas hal tersebut penulis memohon maaf jika terdapat kesalahan dan semoga

makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca

Salemba, April 2015

Penulis

Page 3: Tugas Filsafat Hukum

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I: PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 4

1.3 Tujuan Penulisan 4

1.4. Manfaat Penulisan 4

1.5 Kerangka Konseptual 5

1.6 Landasan Teori 5

1.6.1 Feminist Jurisprudence 6

1.6.2 Partisipasi dan Keterwakilan Politik Perempuan 7

1.7 Methodeologi Penulisan 7

BAB II: HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Feminist Jurisprudence dan Affirmative Action 10

2.1.1 Perkembangan Feminist Jurisprudence 10

2.1.2 Perlembagaan Peran Politik Perempuan di Parlemen 15

2.1.3 Affirmative Action dan sistem kuota dalam perspektif teori politik 17

BAB III: PENUTUP

3.1 Kesimpulan 21

3.1 Saran 22

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: Tugas Filsafat Hukum

iii

Page 5: Tugas Filsafat Hukum

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Issue ketidakadilan gender dalam ruang publik tampaknya akan tetap menjadi

isu aktual, segar, kontroversial sekaligus menjadi agenda tematik dari tahun ke tahun.

Isu ketidakadilan gender pertama kali diusung oleh gerakan feminisme di dunia barat,

aliran ini berangkat dari sebuah kesadaran bahwa ketidakseimbangan kondisi antara

laki-laki dan perempuan telah menyebabkan perempuan tertindas, terampas hak

asasinya dan terpojokkan oleh tatanan masyarakat yang “male dominated”. Dalam

perkembangannya, gerakan feminisme tidak berjalan homogen akan tetapi terpecah

kedalam berbagai aliran seperti gerakan feminisme liberal, feminisme sosialis,

feminisme radikal dan sebagainya. Namun, heterogenitas aliran tersebut memiliki

satu kesamaan mendasar, yakni idiologi patriaki yang meletakkan laki-laki secara

istimewa sangat merugikan posisi perempuan.1

Pergerakan kesetaraan gender atau pergerakan hak-hak wanita atau dalam

dunia hukum dikenal dengan istilah “feminis jurisprudensi” muncul dalam bentuk

embrionya di Amirika Serikat pada akhir 1980-an. Cukup banyak dan beberapa dari

1 SurajI, M. H., Jurnal: Kesehatan Gender di Indonesia ditinjau dari Teori-Konsep dan

Pendekatan Sosiologi Hukum,

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=

0CCEQFjAB&url=http%3A%2F%2Fpawonogirikab.go.id%2Fstatic%2Ffile%2FMakalah_Suraji.pdf

&ei=DNsgVZiJGYewuATHpIHgAQ&usg=AFQjCNHTEJKf6TZK4kegtKzeDPx1vQhDrw&sig2=zB4k

10cXUf6a-Qn1YjMsQ&bvm=bv.89947451,d.c2E

Page 6: Tugas Filsafat Hukum

pergerakan ini (tidak semuanya) berakar atau berkaitan dengan hukum kritis (critical

legal studies movement), namun sebagian besar gerakan berada diluar jalur tradisi-

tradisi CLS bahkan pada kenyataannya dikembangkan justru sebagai suatu respon

kritis terhadap gerakan ini.2

Politik sebagaimana dipahami bersama adalah interaksi antara pemerintah dan

masyarakat dalam rangka proses pembuatan keputusan yang mengikat tentang

kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.

Dalam pemahaman tersebut, maka tidak ada perbedaaan sama sekali antara

laki-laki dan negara terhadap perempuan, karena hal ini bertentangan dengan prinsip-

prinsip perempuan. Perempuan, seperti juga laki-laki adalah warga negara dengan

hak-hak kewarganegaraan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi demokrasi dan

hak-hak asasi manusia yang universal. Setiap orang dengan jenis kelamin apapun

punya peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam ranah politik.

Gerakan perempuan atau lebih dikenal sebagai gerakan gender sebagai

gerakan politik sebenarnya berakar pada suatu gerakan yang dalam akhir abad ke -19

di berbagai negara Baratdikenal sebagai gerakan “suffrage”, yaitu suatu gerakan

untuk memajukan perempuan baik disisi kondisi kehidupannya maupun mengenai

status dan perannya. Inti dari perjuangan merekaadalah bahwa mereka menyadari

bahwa di dalam masyarakat ada satu golongan manusia yang belum banyak

terpikirkan nasibnya. Golongan tersebut adalah kaum perempuan.

2 Otje Salman dan Susanto, Teori Hukum, Bandung: Rafika Aditama, 2004, hal. 130.

Page 7: Tugas Filsafat Hukum

Berbicara tentang politik saat ini bukan hanya bagaimana kemudian partai

politik berkuasa tapi juga membahas mengenai bagaimana kemudian perempuan

dalam partai dan parlemen.

Pencapaian ini bukan berarti tanpa perjuangan, melainkan melalui pergerakan-

pergerakan politik yang pada akhirnya dapat diterima oleh pemerintah. Perjuangan

politik kaum perempuan di berbagai negara melalui proses yang berbeda-beda dan

mendapatkan respon yang berbeda-beda pula. Hal ini tergantung dari ideologi negara

tersebut.

Secara demografis jumlah penduduk perempuan di Indonesia lebih besar dari

pada jumlah penduduk laki-laki. Dengan deikian juga dengan jumlah pemilih

perempuan lebih besar dari pemilih laki-laki.3

Peluang perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional

sesungguhnya telah terakomodasikan oleh berbagai kebijakan dan peraturan

perundang-undangan. Apabila ditelusuri dengan sistem hirarki ketatanegaraan di

Indonesia yang merujuk pada landasan hukum keberlakuan sistem hirarki tersebut

yakni melalui Undang-Undang (selanjutnya disebut dengan UU) Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan bahwa

urutan perundang-undangan yang tertinggi adalah Undang-Undang Dasar

(selanjutnya disebut dengan UUD) Republik Indonesia (selanjutnya disebut dengan

RI) 1945. Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945 menegaskan bahwa segala warga Negara

3 Teuku Mulkan, Makalah: Penerapan Affirmative Action di Indonesia dalam Meningkatkan

Peran Wanita Dalam Dunia Politik Ditinjau dari Feminist Jurisprudence, Salemba: Program Magister

Pascasarjana FHUI 2015, hal. 2.

Page 8: Tugas Filsafat Hukum

bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung

hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

1.2. Rumusan Masalah

Sesuai dengan Rumusan Masalah yang disajikan oleh Penyaji dalam makalah

Penyaji maka Rumusan Masalah dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana perkembangan prinsip feminist jurisprudence dan affirmative

action secara umum?

2. Bagaimana penerapan affirmative action dalam meningkatkan peran wanita

dalam berpartisipasi politik di Indonesia ditinjau dari feminist jurisprudence?

1.3. Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas perkuliahan Filsafat Hukum.

Selain itu makalah ini memiliki tujuan lain yaitu menjelaskan mengenai penerapan

affirmative action dalam rangka meningkatkan partisipasi politik yang dilakukan oleh

wanita.

1.4. Manfaat Penulisan

Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan

pengetahuan yang lebih mendalam mengenai pemahaman tentang Penerapan

Affirmative Action di Indonesia dalam meningkatkan Peran Wanita dalam Dunia

Politik ditinjau dari Feminist Jurisprudence. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan

dapat menjadi bahan informasi ilmiah yang dapat digunakan oleh pihak-pihak lainnya

untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.

Page 9: Tugas Filsafat Hukum

1.5. Kerangka Konseptual

Kerangka Konseptual yang digunakan oleh penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Affirmative Action dapat diartikan sebagai ketentuan atau kebijakan yang

mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian kompensasi

dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi

yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan okupasi. Tindakan ini

merupakan diskriminasi positif (positive discrimination) yang dilakukan untuk

mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana

terpenting untuk menerapkannya adalah hukum dan jaminan pelaksanaannya

harus ada dalam konstitusi dan undang-undang.4

2. Partisipasi politik merupakan tindakan seperti memberikan suara dalam

pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok

kepentingan, melakukan kontrak dengan pejabat pemerintah atau anggota

parlemen5

1.6. Landasan Teori

1.6.1. Feminist Jurisprudence

Feminist Jurisprudence adalah teori pendekatan hukum yang menggunakan

perspektif perempuan yang didasarkan pada kesetaraan gender dibidang politik,

ekonomi, dan sosial. Jurisprudensi feminisme itu muncul antara lain disebabkan

4 Op., Cit, Teuku Mulkan, Makalah Penyaji, hal 6.

5 Ibid.

Page 10: Tugas Filsafat Hukum

meningkatnya pemahaman perempuan akan hukum, peranan dan dampaknya pada

kehidupan manusia secara umum, termasuk perempuan.

Feminist Jurisprudence atau bisa disebut juga dengan Legal

Theory didasarkan pada pandangan gerakan feminist bahwa dalam sejarah, hukum

merupakan instrumen untuk melanggengkan posisi wanita dibawah subordinasi kaum

pria. Sejarah yang ditulis kaum pria telah menciptakan bias dalam konsep kodrat

manusia, potensi dan kemampuan gender, serta dalam pengaturan masyarakat.

Dengan menyatakan ke-pria-an sebagai norma, maka ke wanita an adalah deviasi dari

norma dan hal ini merupakan hegemoni dalam konsep dan penguatan hukum dan

kekuasaan patriakal. Budaya patriaki tersebut memunculkan apa yang disebut dengan

diskriminasi terhadap gender, dimana kedudukan wanita atau perempuan dalam

hukum dan masyarakat dianggap setingkat atau bahkan beberapa tingkat lebih rendah

dari kedudukan pria atau laki-laki. Padahal sebagaimana disebutkan dalam sebuah

adagium equality before the law, yaitu kedudukan setiap orang adalah sama di hadapan

hukum tanpa membedakan gender, ras, status sosial seseorang, dan lain sebagainya.

Untuk itu feminist jurisprudence atau feminist legal theory muncul sebagai bentuk

kritik terhadap aliran atau paham paham mengenai hukum yang telah ada. Kaum

Feminists menantang dan membongkar kepercayaan atau mitos bahwa pria dan

wanita begitu berbeda, sehingga perilaku tertentu bisa dibedakan atas dasar perbedaan

gender. Gender menurut kaum feminist diciptakan atau dibentuk secara sosial bukan

secara biologis. Gender menentukan penampilan fisik, kapasitas reproduksi, tetapi

tidak menentukan ciri-ciri psikologis, moral atau sosial. Dengan kata lain, feminist

Page 11: Tugas Filsafat Hukum

jurisprudence mencoba untuk mempelajari hukum dari sudut pandang wanita dan

berdasarkan pada teori-teori feminist.

1.6.2. Partisipasi dan Keterwakilan Politik Perempuan6

Kaum perempuan, sebagai warga negara memiliki hak-hak politik yang

memungkinkannya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, tempat dimana mereka

dapat mempertahankan dan mengembangkan kepentingan-kepentingannya. Namun

ideology berkembang mapan menyebabkan perempuan dieksklusikan dari dunia

politik.

1.7. Methodologi Penulisan

Menurut Soetandyo Wignyosubroto, terdapat 5 (lima) jenis atau tipe penelitian

hukum, yaitu:

1. Tipe kajian filsafat hukum yang bertolak dari pandangan bahwa hukum adalah

asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal. Tipe

kajian ini berorientasi kefilsafatan, dengan menggunakan metode logika-

deduksi dari premis normatif yang diyakini bersifat self-evident.

2. Tipe kajian hukum murni yang mengkaji “law as it is written in the books”

yang bertolak dari pandangan bahwa hukum adalah norma-norma positif di

dalam sistem perundang-undangan hukum nasional. Berorienrasi positivistis,

6 Ibid, hal. 7.

Page 12: Tugas Filsafat Hukum

dan menggunakan metode doktrinal bersaranakan logika deduksi untuk

membangun sistem hukum positif.

3. Tipe kajian American sociological jurisprudence yang mengkaji law as it is

by judges through judicial process, yang bertolak dari pandangan bahwa

hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inkonkreto dan tersistematisasi

sebagai judge made law. Berorientasi behavioural dan sosiologik serta

menggunakan metode doktrinal dan nondoktrinal bersaranakan logika induksi

untuk mengakaji “court behaviours”.

4. Tipe kajian sosiologi hukum yang mengkaji “law as it is an society” yang

bertolak dari pada pandangan bahwa hukum adalah pola perilaku sosial yang

terlembaga dan eksis sebagai variable sosial yang empirik. Berorientasi

struktural, dan menggunakan metode sosial/ nondoktrinal dengan pendekatan

struktural/ makro dan umumnya kuantitatif.

5. Tipe kajian sosiologi dan/ atau antropologi hukum yang mengkaji law as it is

in (human) action, yang bertolak dari pandangan bahwa hukum adalah

manifestasi makna-makna simbolik pelaku sosial sebagaimana tampak dalam

interaksi mereka. Berorientasi simbolik interaksional, dan menggunakan

metode sosial/ nondoktrinal dengan pendekatan interaksional/ mikro dengan

analisis kualitatif.

Tipe kajian hukum (1) (2), dan (3) berada dalam tipe penelitian hukum yang

mengacu konsep hukum sebagai kaidah yang disebut penelitian normatif. Metodenya

disebut dengan metode doktrinal-monologik yang bertolak dari kaidah sebagai ajaran

Page 13: Tugas Filsafat Hukum

yang mengkaidahi perilaku. Tipe kajian hukum yang mengacu konsep hukum sebagai

kaidah dan metode doktrinal adalah metode yang digunakan dalam kegiatan

pengembanan teori hukum dan ilmu hukum.

Oleh karena penelitian ini mengacu pada kasus Penerapan Affirmative Action

di Indonesia dalam Meningkatkan Peran Wanita dalam Dunia Politik Ditinjau Dari

Feminist Jurisprudence maka penelitian ini termasuk dalam tipe penelitian hukum

normatif. Penelitian hukum dilihat dari pelaksanaannya melalui adalah norma-norma

positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional.

Page 14: Tugas Filsafat Hukum

BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Feminist Jurisprudence dan Affirmative Action

2.1.1. Perkembangan Feminist Jurisprudence

Feminist Jurisprudence adalah filsafat hukum yang didasarkan pada

kesetaraan dalam bidang politik, ekonomi dan sosial. Feminisme Jurisprudence atau

bisa disebut Feminist Legal Theori dimana kita mempelajari hukum dari sudut

pandang teori-teori feminist. Yang melatarbelakangi teori Feminisme Jurisprudence

ini adalah karena untuk mengurangi ideologi patriarkhi melalui penggunaan ideologi

hukum dan sejak dulu badan-badan hukum sangat didominasi oleh laki-laki. Teori

Feminisme Jurisprudence didasari pada pandangan gerakan feminis bahwa dalam

sejarah, hukum merupakan instrumen untuk melanggengkan posisi wanita dibawah

subordinasi kaum pria.7

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut Feminisme Jurisprudence menggunakan

metode bertanya pada perempuan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh perempuan,

mempertimbangkan segala pengalaman konkrit dan unik dari perempuan (perempuan

yang banyak mengalami diskriminasi).8

Masuknya teori Feminisme Jurisprudence di Indonesia tidak begitu saja

langsung dapat diterima oleh masyarakat termasuk para perempuan Indonesia, hal

7 Anonim, Feminist Jurisprudence, http://qitah-qitah.blogspot.com/2012/07/feminisme-

jurisprudence.html, diakses: 21 Juni 2012. 8 Ibid.

Page 15: Tugas Filsafat Hukum

tersebut dikarenakan masyarakat Indonesia telah memiliki adat istiadat, budaya

ketimuran yang kental dengan adat melayu (Islam) sehingga tidak mudah menerima

budaya dari negeri barat.9

Melalui beberapa pendekatan, feminist telah mengidentifikasi unsur-unsur

gender dan akibatnya pada hukum yang netral serta pelaksanaannya. Hukum akan

mempengaruhi masalah-masalah perkawinan, perceraian, hak reproduksi, perkosaan,

dan kekerasan terhadap wanita.10

Walaupun feminist memiliki komitment umum

untuk kesetaraan, feminist jurisprudence terpisah ke dalam tiga aliran besar yaitu:

a. Feminist tradisional menyatakan bahwa wanita sama rasionalnya dengan laki-

laki dan karenanya harus memiliki kesempatan yang sama dalam memilih.

b. Feminist liberal menentang asumsi danya kewenangan kaum laki-laki dan

berusaha menghapus perbedaan gender yang disebabkan oleh hukum yang

sekaligus membuat wanita mampu bersaing di dalam pasar bebas.

c. Feminist kultural memfokuskan diri pada perbedaan antara laki-laki dan

wanita. Kelompok ini menekankan pentingnya relasi antara dua golongan

tersebut dan tujuannya adalah memberikan pengakuan setara kepada wanita

bahwa wanita memiliki nilai-nilai moral untuk komunitasnya dalam hal

pemberian kasih sayang.11

Seperti yang disampaikan dalam makalah penyaji yang mengutip pendapat

dari Omas Ihromi yang mengatakan bahwa telah banyak sekali rumusan dalam

Undang-undang kita yang sudah adil dari segi gender, namun dalam kenyataan masih

9 Ibid.

10 Teuku Mulkan, Op., Cit, hal. 17.

11 Ibid.

Page 16: Tugas Filsafat Hukum

belum terwujud. Masyarakat masih tertinggal dalam sikap, dalam pemikiran, dalam

konsep gender.

Tetapi disini saya melihat bahwa sering kali orang lupa bertanya kepada

perempuan, adakah hukum telah menajamin dia dalam memperoleh hak-hak dasarnya

sebagai manusia yang bermartabat? Apakah hukum sedah menjamin perempuan

untuk didengar suaranya dalam ruang-ruang public pengambilan keputusan penting

dalam bernegara dan bermasyarakat? Apakah hukum sudah melindungi diri

perempuan dari kekerasan, kelaparan, kebodohan? Apakah hukum sudah menjamin

perempua untuk dapat mengekspresikan dirinya apa adanya dan mengontrol tubuhnya

sendiri?

Nyatanya tidak, hukum bahkan telah membatasi ruang gerak perempuan,

menentukan jam berapa perempuan boleh keluar rumah, menggunakan pakaian

seperti apa, berperilaku seperti apa, dan sudah sejak lama hukum menempatkan

perempuan kawin tidak layak untuk sebagai nahkoda keluarga bersama dengan

suaminya.

Hukum bahkan telah menyebabkan perempuan, keluar dari hutan-hutan tamah

leluhurnya, ketika masyarakat adat kehilangan aksesnya kepada tanah dan sember

daya alam, menjadi “budak” dinegara orang lain, hanya demi sesuap nasi bagi

keluarga dan dirinya sendiri, dan kehilangan haknya sebgai orang merdeka.

Pertanyaan dalam mengakaji persoalan hukum dari perspektif perempuan

ialah, benarkan bahwa hukum sungguh netral dan objektif? Benarkah prinsip

“Equality before the law” memang menjamin setiap orang berada dalam posisi yang

setara dan adil? Dalam hal ada kelompok tertinggal yang tidak mendapatkan akses

kepada keadilan dalam masyarakat, dan untuk dapat mengejar ketertinggalan itu,

maka dibuatkan “Affirmative Action”, apakah dalam arti ini hukum berpihak,

bolehkah? Kebijakan pemberian kuota 30% kepada perempuan untuk duduk

diparlemen, adalah salah satu contohnya.

Dalam perjalanannya, feminist jurisprudence membongkar dan menjelaskan

bagaimana hukum memainkan peran untuk melegalkan status wanita dalam posisi

Page 17: Tugas Filsafat Hukum

subordinasi pria, dengan kata lain hukum menjadi sarana untuk melestarikan status

quo yaitu dominasi pria atas kaum wanita. Selain itu, feminist jurisprudence juga

berusaha untuk melakukan perubahan / transformasi merubah status kaum wanita

dengan merubah hukum dan pendekatannya dan pandangannya terhadap

perkara gender menjadi lebih adil dan berimbang. Ini adalah proyek emansipatoris

kaum wanita dibidang hukum. Sehingga pada akhirnya Feminist

jurisprudence mempengaruhi pemikiran hukum dalam setiap bidang hukum,

diantaranya hubungan rumah tangga (domestic relations) seperti perkawinan,

perceraian dan keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, pekerjaan, pelecehan sexual,

hak-hak sipil, perpajakan, hak asasi manusia dan hak-hak reproduksi.

Di Indonesia perjuangan perempuan sudah dimulai sejak kartini pertama kali

memberi apinuansa kebangkitan kaum perempuan Indonesia dalam upaya membela

diri. Kartini kemudian menjadi sosok perintis hingga kemudian bermunculanlah

tokoh perempuan lainnya seperti RadenDewi Sartika dan Rohanna Kudus yang

mendirikan lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi kaum perempuan dan terus

berkembang hingga pada waktu tercapainya kongres perempuan Indonesia pertama

kalinya pada 22 Desember 1928 yang dihadiri 30 organisasi perempuan.12

Feminisme Jurisprudence mendorong emansipatoris kaum perempuan

dibidang hukum di Indonesia, yaitu dimana kaum perempuan banyak melakukan

usaha perubahan kearah kesetaraan gender di Indonesia telah mulai terasa dengan

segala polemiknya. Usaha pembuatan Rancangan Undang-Undang seperti

perlindungan kekerasan dalam rumah tangga, perlindungan pekerja wanita migran,

12

Sekretariat Negara,

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id+2260&Itemid+219,

diakses: Selasa, 10 April 2013.

Page 18: Tugas Filsafat Hukum

perlindungan korban anak perempuan telah diperjuangkan. Berdirinya lembaga-

lembaga yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan LSM banyak menyadarkan

kaum perempuan atas adanya struktur dominasi kaum laki-laki yang tertanam

didalam pikiran, struktur dan budaya dengan melakukan kajian kritis terhadap

berbagai produk kebijakan yang tidak berperspektif gender serta melakukan berbagai

upaya untuk mengadvokasi usulan-usulan perubahan kebijakan dalam berbagai

bentuk seperti, dialog publik, seminar, talkshow, dan loka karya.

Melalui pendekatan di atas, nampaknya sudah sejak lama upaya berkaitan

dengan kesetaraan gender diperjuangkan. Terlepas dari apakah seseorang akan

cenderung pada salah satu isme, tetapi perjuangan para pegiat gender melalui

feminisme terbukti sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan telah mengubah persepsi,

pemahaman, dan perlakuan masyarakat secara luas.

Setidaknya dibidang perundang-undangan, Indonesia mempunyai Undang-

Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Undang-Undang

Perlindungan Anak, Undang-Undang Trafficking, Undang-Undang Partai Politik dan

Pemilu, Undang-Undang Kewarganegaraan, Undang-Undang Pornografi, rencana

revisi Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lain.

Meski demikian, beberapa perundangan tersebut masih memerlukan kajian

gender yang lebih mendalam, terutama soal implementasi di lapangan. Dengan

demikian, untuk mencapai tujuan tersebut, kaum perempuan tetap harus

mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi sumber daya manusia yang potensial.

Page 19: Tugas Filsafat Hukum

2.1.2 Pelembagaan Peran Politik Perempuan di Parlemen

Peran perempuan yang berkiprah dibidang parlemen mungkin telah menjadi

format perjuangan baru di Indonesia terutama di era reformasi. Tuntutan reformasi

dalam segala aspek kemudian terejewantahkan dan terlembagaka dalam berbagai

kekuatan social yang berkembang. Menuju masyarakat yang demokratis inilah

kemudian peran perempuan mulai nampak dalam berbagai kegiatan social politik

yang ada. Perempuan yang dulu diidentikan hanya sebagai seorang yang hanya

mengurus rumah tangga, merawat anak dan mengurus suami, kini melakukan

transformasi identitas dan etos kerja yang lebih luas tanpa melupakan kewajiban

utamanya sebagai seorang perempuan.

Budaya patriarki menghambat perempuan memperoleh pendidikan agama

yang tinggi. Dengan alasan, perempuan hanya bertugas di ranah domestik, yaitu

rumah tanggal. Dikemukakan pula bahwa sebab-sebab wanita gagal untuk

mempergunakan kesempatan dalam bidang ekonomi, sosial dan politik yang

diberikan kepada mereka dinegara-negara tersebut adalah karena sikap tradisional dan

kerendahan atau kekurangan wanita sendiri.

Faktanya, kehidupan politik, termasuk partai politik dan parlemen di

Indonesia merupakan bidang-bidang yang berbias gender. Untuk waktu yang cukup

lama dan hingga saat ini, hamper keseluruhan bidang politik Indonesia dikuasai oleh

laki-laki, sementara perempuan hanya berperan sangat kecil didalamnya. Paling tidak

ada dua persoalan perempuan dalam bidang politik, yaitu pertama masalah

keterwakilan perempuan yang sangat rendah di ruang publik dan yang kedua adalah

Page 20: Tugas Filsafat Hukum

masalah belum adanya partai yang secara kongkrit membela kepentingan kaum

perempuan. Masalah keterwakilan perempuan dalam politik menjadi isu dan menjadi

persoalan hangat dalam gerakan perempuan di Indonesia.

Bagi perempuan, konsep demokrasi bisa jadi suatu hal yang diidam-idamkan

namun sekaligus bisa menjadi sebuah mimpi buruk. Paling tidak ada dua persoalan

perempuan dalam politik, pertama masalah keterwakilan perempuan yang sangat

rendah pada ruang publik dan yang kedua adalah belum adanya platform partai yang

secara konkrit membela kepentingan perempuan. Malahan kalangan feminis yakin,

bahwa memberi tempat lebih banyak kepada perempuan dalam dunia politik akan

memberi angin segar dan harapan bagi perubahan politik yang arogan, korup dan

patriakis.

Itulah sebabnya mengapa mematok kuota 30% perempuan di parlemen dalam

pemilu 2009 harus konsisten dipenuhi dalam rangka tindakan afirmatif (affirmative

action), tidak seperti kejadian pada pemilu 2004 dimana kuota 30% tidak bisa

dicapai, alasannya karena tidak ada komitmen dari parpol yang menjadi peserta

pemilu (apakah parpol islam, nasionalis) memenuhi kuota tersebut. Hanya sedikit dari

parpol yang bisa melaksanakan amanat UU No 12 tahun 2003 dalam pasal 6513

tersebut. Memang pasal tersebut tidak secara tegas, karena dia tidak bersifat imperatif

dan tidak menyediakan dasar bagi KPU untuk menjatuhkan sanksi sekiramya partai-

partai politik tidak mentaatinya. Pasal tersebut juga tidak secara tegas mengatur,

13

Pasal 65 ayat 1 tersebut menegaskan bahwa setiap partai politik peserta pemilu dapat

mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten atau kota untuk setiap daerah

pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang- kurangnya 30%.

Page 21: Tugas Filsafat Hukum

apakah keterwakilan 30 % yang diinginkan terletak pada level pencalonan atau pada

level perolehan suara.14

Pada titik seperti ini perempuan hanya digunakan sebagai alat oleh partai

politik demi alasan ’pembaharuan dunia’. Mereka semata- mata hanya dijadikan

sebagai alat politik dan akhirnya lagi - lagi menjadi kaum mayoritas yang inferior dan

terbungkamkan. Perempuan oleh masyarakat dipaksa untuk menerima mereka

sebagai pembawa hal baru dalam tahap-tahap perpolitikan, namun minimnya

pengalaman dan pengetahuan serta akses yang sulit ke kancah politik membuat

mereka hanya menjadi sebuah pemain figuran.

2.1.3. Affirmative Action dan sistem kuota dalam perspektif teori politik

Sebenarnya tindakan affirmative terhadap perempuan merupakan sebagai

suatu pemahaman kita terhadap persoalan politik perempuan yang intinya bukan

untuk menguasai, saling menjajah atau saling menjegal. Tujuan utamanya adalah

membuka peluang terhadap perempuan agar mereka sebagai kelompok yang marginal

bisa terintegrasi dalam kehidupan public secara adil. affirmative action disini bisa kita

jadikan sebagai alat penting untuk mempertahankan paling tidak 30 % perempuan

14

Berdasarkan dari hasil penelitian Pusat Studi Otonomi Daerah Universitas Anadalas yang

dilakukan diwilayah KPU Sumatera Barat memperlihatkan bahwa hanya 2 partai politik yaitu PPP dan

PKS yang dapat memenuhi ketentuan kuota 30 % perempuan.

Page 22: Tugas Filsafat Hukum

agar tetap berada pada tingkat pembuatan keputusan sehingga bisa meminimalisir

aturan- aturan yang tidak sah untuk mencapai kesetaraan gender.15

Tindakan affirmative 30% merupakan sebagai alat atau sarana kita untuk

mencapai ”gong” yang lebih besar, yaitu masyarakat yang demokrartis. Keberhasilan

kebijakan tersebut sangat bergantung pada aktor, diantaranya memerlukan perubahan

secara simultan di tingkat makro dan mikro yang bisa kita sebut sebagai “berpolitik

dengan cara baru”.

Berbicara tentang konsep affirmative dalam prakteknya dilapangan

dilaksanakan dengan sistem kuota. Sistem ini memang banyak menimbulkan pro dan

kontra tersendiri. Dalam penelitian ini peneliti memakai konsepnya Melanie

Reyes,salah satu peneliti dari centre for legislative development, menurut Melanie

Reyes sistem kuota adalah sebuah pilihan antara mendapatkan kutukan atau

anugerah.16

Ada makna dalam sistem kuota ini yaitu

(1) Sistem kuota pada dasarnya meletakan persentase minimum bagi kedua jenis

kelamin yakni laki- laki dan perempuan, untuk memastikan adanya

keseimbangan posisi dan peran gender dari keduanya dalam dunia politik,

atau khususnya dalam pembuatan keputusan.17

15

Kalliope Migirou, (1999). Menuju implementasi efektif mengenal legislasi dan hak azazi

perempuan internasional. Hal 26. Dalam Nadezhda Shvedovan (1999) . kendala terhadap partispasi

perempuan dalam parlemen. Dalam Azza Karam dkk. (eds). Perempuan parlemen bukan sekedar

jumlah, bukan sekedar hiasan (terj). Jakarta: YJP dan IDEA.hal 24. 16

Melanie Reyes et all. (2000). The quota system : Women’s Boon or bane? The centre for

legislative development. Vol 1, No3, April 2000. 17

Argumen yang digunakan dalam penggunaan sistem kuota ini adalah untuk mengatasi

masalah ketidaksetaraan atau ketidakadilan gender akibat dari UU atau hukum dan budaya yang bias

gender

Page 23: Tugas Filsafat Hukum

(2) Sistem kuota dimaknai sebagai pemeberian kesempatan dengan memaksakan

sejumlah pesentase tertentu pada keleompok tertentu (perempuan) sistem

kuota ini pada dasarnya tidak memiliki basis hukum yang kuat alias tidak

konstitusional. Belum lagi pernyataan yang menyatakan bahwa sistem kuota

bertentangan dengan hak- hak azazi manusia ( baca: mendiskriminasi laki),

dan bahkan merendahkan kemampuan perempuan itu sendiri.

Kebijakan affirmative menurut Ani Soetjipto, berbeda dengan kuota karena

kebijakan ini bukan hanya sekedar menetapkan persentase tertentu dimana kebijakan

affirmative mempunyai tiga sasaran yaitu:

(1) Memberikan dampak positif kepada suatu institusi agar lebih cakap

memahami sekaligus mengeliminasi berbagai bentuk rasisme dan seksisme di

tempat kerja

(2) Agar institusi tersebut mampu mencega terjadinya bias gender maupun bias

ras dalam segala kesempatan

(3) Sifatnya lebih sementara tapi konsisten, ketika sasaran untuk mencapai

kegiatan telah tercapai, dan jika kelompok yang telah dilindungi terintegrasi.

Maka kebijakan tersebut bisa dicabut.

Yang menjadi penekanan dalam terhadap affirmative ini adalah persamaan dalam

kesempatan dan persamaan terhadap hasil yang dicapai.

Tapi affirmative action bukan sebuah obat yang mujarab yang bisa

menyelesaikan permasalahan diatas dalam sekejap. Tindakan affirmative 30%

merupakan sebagai alat atau sarana kita untuk mencapai ”gong” yang lebih besar,

Page 24: Tugas Filsafat Hukum

yaitu masyarakat yang demokrartis. Keberhasilan kebijakan tersebut sangat

bergantung pada aktor, diantaranya memerlukan perubahan secara simultan di tingkat

makro dan mikro yang bisa kita sebut sebagai “berpolitik dengan cara baru”.

Mengenai keberhasilan kuota ke depan, hal ini tentu saja diperlukan upaya

dan perjuangan yang terus menerus agar semangat melakukan perubahan tetap hidup

dengan terus memelihara kontinuitas aktivitas politik sehingga politik membawa

manfaat bagi kehidupan perempuan dan masyarakat sipil lainnya. Semoga

cara berpikir dan berlakumasyarakat politik dan juga masyarakat sipil

tentang melakukan perlawanan terhadaph egem o n i d an i d e l o g i ,

m em b an gk i tk an h eg em o ni d an id eo log y m as ya r ak a t s ip i l menjadi

budaya, hegemoni baru yang mampu mengkonstruksi realitas masyarakat yang lebih

baik.

Page 25: Tugas Filsafat Hukum

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesipulan

1. Dengan melihat ketentuan kuota telah berhasil dimasukkan ke

dalam UU Pemilu tahun 2003. Hal itu adalah suatu keberhasilan

yang luar biasa dari perjuangan kaum perempuan. Dan dapat pula

dilihat dengan banyaknya peraturan yang mengatur mengenai kepentingan

hukum wanita itu sendiri. Dengan adanya kepastian, perlindungan, dan

kemudahan untuk setara atau sejajar dengan kaum pria. Jadi,

perkembangan Feminist Jurisprudence dan Affirmative Action telah

mengalami perkembangan yang luar biasa tentunya.

2. Meski potensi perempuan dalam percaturan bidang politik terhalang dengan

budaya atau kulturan yang masih mengaggap bahwa perempuan dalam bidang

politik merupakan sesuatu yang lain dan tabu tetapi penerapan affirmative

action dalam meningkatkan partisipasi politik wanita di Indonesia dapat

dikatakan cukup berhasil dan mengupas satu persatu elemen-elemen yang

berada dalam pemenuhan keadilan untuk perempuan sebagai orang yang

merdeka dan bermartabat. Meski, affirmative action bukan sebuah obat yang

mujarab yang bisa menyelesaikan permasalahan feminist dalam sekejap.

Page 26: Tugas Filsafat Hukum

3.2. Saran

Masih banyak peraturan perundangan-undangan di Indonesia harus memerlukan

kajian feminist yang lebih mendalam, terutama soal implementasi di lapangan.

Dengan demikian, untuk mencapai tujuan tersebut, kaum perempuan tetap harus

mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi sumber daya manusia yang potensial.

Hal itu bisa membuat persepsi, eksistensi, dan peluang perempuan yang telah

terstruktur dalam masyarakat menjadi makin terbuka, termasuk membangun kaum ibu

melalui pembangunan keluarga berkualitas.

Page 27: Tugas Filsafat Hukum

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Brotosusilo Agus, Bahan Bacaan Program Magister, Filsafat Hukum, FHUI: 2015.

Otje Salman dan Susanto, Teori Hukum, Bandung: Rafika Aditama, 2004. Kalliope.

Migirou, (1999). Menuju implementasi efektif mengenal legislasi dan hak azazi

perempuan internasional. Dalam Nadezhda Shvedovan (1999). kendala

terhadap partispasi perempuan dalam parlemen. Dalam Azza Karam dkk.

(eds). Perempuan parlemen bukan sekedar jumlah, bukan sekedar hiasan

(terj). Jakarta: YJP dan IDEA.

JURNAL

Mulkan Teuku, Makalah: Penerapan Affirmative Action di Indonesia dalam

Meningkatkan Peran Wanita Dalam Dunia Politik Ditinjau dari Feminist

Jurisprudence, Salemba: Program Magister Pascasarjana FHUI 2015.

Melanie Reyes et all. (2000). The quota system : Women’s Boon or bane? The centre

for legislative development. Vol 1, No3, April 2000.

Jurnal Konstitusi, PSHK-FH UI dengan Mahkamah Konstitusi RI.

Patricia A. Cain, Feminist Jurisprudence: Grounding The Theories, Berkeley Journal

of Gender, Law & Justice, Volume 4, Issue 2, September 2013.

INTERNET

Page 28: Tugas Filsafat Hukum

SurajI, M. H., Jurnal: Kesehatan Gender di Indonesia ditinjau dari Teori-Konsep dan

Pendekatan Sosiologi Hukum,

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&

cad=rja&uact=8&ved=0CCEQFjAB&url=http%3A%2F%2Fpawonogirikab.

go.id%2Fstatic%2Ffile%2FMakalah_Suraji.pdf&ei=DNsgVZiJGYewuATHpI

HgAQ&usg=AFQjCNHTEJKf6TZK4kegtKzeDPx1vQhDrw&sig2=zB4k10cX

Uf6a-Qn1YjMsQ&bvm=bv.89947451,d.c2E.

SekretariatNegara,http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=vie

w&id+2260&Itemid+219, diakses: Selasa, 10 April 2013.

Anonim, Feminist Jurisprudence, http://qitah-qitah.blogspot.com/2012/07/feminisme-

jurisprudence.html, diakses: 21 Juni 2012.