FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN SINDROM PRAMENSTRUASI (PMS) PADA
SISWI SMA 112 JAKARTA TAHUN 2015
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
INDAH RATIKASARI
1111101000115
PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1436 H/2015 M
ii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMNINATAN GIZI
Skripsi, Juli 2015
Indah Ratikasari, NIM: 1111101000115
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi
(PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
xviii + 161 halaman, 22 tabel, 2 bagan, 11 grafik, 7 lampiran
ABSTRAK
Sindrom pramenstruasi (PMS) merupakan kumpulan gejala psikis dan
fisik yang dialami oleh wanita usia subur (WUS) antara 7 – 10 hari sebelum
menstruasi. PMS merupakan gangguan yang umum terjadi pada WUS, namun
akan berdampak buruk bila gejala dirasakan berat. Pada remaja, PMS dapat
berdampak pada aktivitas sosial dan prestasi di sekolah. Untuk itu penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
PMS pada siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai dengan
Juni 2015. Penelitian ini merupakan studi epidemiologi dengan desain studi cross
sectional. Sampel dalam penelitian berjumlah 127 orang siswi kelas X dan XI
dengan metode simple random sampling dan menggunakan uji statistik chi
square.
Hasil penelitian menunjukan bahwa siswi yang mengalami PMS gejala
sedang hingga berat sebanyak 32%. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa
riwayat keluarga (pvalue = 0,001), asupan kalsium (pvalue = 0,011), dan pola
tidur (pvalue = 0,013) berhubungan dengan kejadian PMS.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti menyarankan kepada
pihak sekolah SMA 112 Jakarta dapat memberikan promosi kesehatan baik secara
langsung seperti penyuluhan, maupun tidak langsung melalui media kesehatan,
yang berhubungan dengan sindrom pramenstruasi, pentingnya mengkonsumsi
kalsium sesuai kebutuhan, serta pentingnya pola tidur yang baik dan cukup, yang
mudah dipahami dan menarik bagi siswi.
Daftar Bacaan: 108 (1984 – 2015)
Kata Kunci: Sindrom pramenstruasi, Remaja, SMA
iii
ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
SPECIALIZATION OF NUTRITION
Undergraduate Thesis, July 2015
Indah Ratikasari, NIM: 1111101000115
Factors Associated with Premenstrual Syndrom (PMS) in Female Students of
112 Senior High School Jakarta in 2015
xviii + 161 pages, 22 tables, 2 charts 11 graphs, 7 attachments
ABSTRACT
Premenstrual syndrome (PMS) is a collection of psychological and
physical symptoms that usually happen at women of reproductive age (WUS)
between 7 – 10 days before the menstruation. PMS is a common disorder on
WUS, but it would be bad if the symptoms felt heavy. In adolescents PMS can
impact on social activities and its perfomance at school. So, the main purpose of
this study is to determine the factors associated with the PMS in female students
of 112 Senior High School in Jakarta on 2015.
The research was conducted on November 2014 up to June 2015. This
study is an epidemiological study with cross sectional study design. The total of
sample is for 127 female students of classes X and XI by simple random sampling
technique. The statistical test used was chi square.
The results were showed that the students who has experience moderate to
severe PMS symptoms are 32%. Based on the analysis, it is known that family
history (pvalue = 0.001), Calcium intake (pvalue = 0.011), and sleep patterns
(pvalue = 0.013) associated with the PMS.
Based on this research, we recommend to 112 State Senior High School
Jakarta to provide health promotion, such as trough the education and health
media related to premenstrual syndrome, the importance of taking calcium as
needed, and the importance of good sleep patterns, that easy to understand and
attractive to the female students.
References: 108 (1984 – 2015)
Keywords: Premenstrual Syndrome, Adolescent, Senior High School
vi
LEMBAR PERSEMBAHAN
Syukurku kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kemudahan,
dan karunia, sehingga akhirnya karya yang sederhana ini dapat
terselesaikan. Sholawat dan salam tak lupa terlimpahkan kepada Rasul-Mu,
Muhammad SAW.
Karya ini kupersembahkan untuk :
Bunda dan Ayah Tercinta
Sebagai tanda bakti dan rasa terima kasih Indah yang tak terhingga, Indah
persembahkan karya ini kepada bunda dan ayah yang telah memberikan
kasih sayang, cinta, dukungan, dan sujudnya setiap malam untuk
mendoakan Indah. Tak mungkin dapat Indah balaskan hanya dengan
selembar kertas ini. Namun semoga ini menjadi langkah awal untuk
membuat bunda dan ayah bangga .
Kedua Adikku Tersayang
Adik-adik kakak, Ibnu dan Iman terima kasih untuk kasih sayang, cinta,
dukungan, dan nasehat yang tiada pernah berhenti kalian berikan kepada
kakak. Maaf karena belum bisa menjadi panutan yang baik bagi kalian, tapi
insyaallah kasih sayang kakak akan selalu ada untuk kalian berdua.
حد من العلم أطلب (مسلم رواه) اللهد إل ى الم
“Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahat”
(HR. Muslim)
Jakarta, 9 Juli 2015
Indah Ratikasari
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi / Personal Details
Nama / Name : Indah Ratikasari
Tempat & Tanggal Lahir / Place & Date of Birth : Jakarta, 9 Juli 1993
Jenis Kelamin / Sex : Perempuan / Female
Status Marital / Marital Status : Belum Menikah / Single
Kewarganegaraan / Nationality : WNI
Agama / Religion : Islam
No. HP / Mobile Phone Number : 081298183008
E-mail : [email protected]
Jenjang Pendidikan / Education Information
1. 1996 – 1997 Karang Balita Komplek DKI Joglo
2. 1997 – 1999 TK Islam Al-Azhar 19 Pamulang
3. 1999 – 2005 SD Islam Al-Azhar 08 Kembangan
4. 2005 – 2008 SMP Islam Al-Azhar 10 Kembangan
5. 2008 – 2011 SMA Negeri 112 Jakarta (IPA)
6. 2011 – 2015 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (Strata
1 Peminatan Gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan)
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015” ini. Shalawat
dan salam tak lupa pula dihanturkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Di kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga,
kepada:
1. Ibu Euis Sari Susanti, S.Ag dan Bapak Ir. Deslison, selaku kedua orang tua
yang senantiasa memberikan doa dan dukungan dalam penyusunan skripsi
ini.
2. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembimbing
akademik.
3. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D, selaku Kepala Program Studi
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Febrianti, Sp., M.Si dan Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes, selaku dosen
pembimbing skripsi, yang senantiasa memberikan waktunya untuk
membimbing saya dalam penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Riastuti Kusumawardani, SKM, MKM, Ibu Dewi Utami, M.Kes, Ph.D,
dan Ibu Laily Hanifah, SKM, M.Kes, selaku dosen penguji skripsi, yang telah
memberikan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.
6. Bapak Dr. Saryono, M.Si, selaku Kepala Sekolah dan Ibu Triyem, S.Pd,
M.Si, selaku Wakil Kepala Sekolah SMA 112 Jakarta yang telah memberikan
izin penelitian dan bantuan selama proses proses pengambilan data.
ix
7. Bapak Anang Burhan, S.Pd, selaku Kepala Sekolah dan Ibu Gayatri, S.Pd,
selaku Wakil Kepala Sekolah SMA 65 Jakarta yang telah memberikan izin
penelitian dan bantuan selama proses proses pengambilan data.
8. Seluruh guru, staf dan siswi SMA 112 Jakarta dan SMA 65 Jakarta yang telah
berpartisipasi dalam proses pengambilan data.
9. Donna Pertiwi, SKM dan Hasanah Putri, SKM, selaku sahabat tercinta, yang
senantiasa memberikan bantuan, doa, nasihat, hiburan, dan semangat selama
kita bersama.
10. Teman-teman gizi 2011 yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang
senantiasa berbagi ilmu, canda, tawa, pengalaman, dan pelajaran hidup
selama kita bersama.
11. Semua pihak lainnya yang senantiasa memberikan bantuan dan dukungan dari
awal perkuliahan hingga skripsi ini selesai.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun skripsi ini,
namun tentu masih ada berbagai kekurangan. Sesuai kata orang bijak, “tidak ada
yang sempurna di dunia ini, kecuali hanya Allah SWT”. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca
sekalian, untuk dapat menyempurnakan hasil akhir dari skripsi ini. Akhir kata,
penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat, menambah wawasan dan ilmu bagi
kita semua.
Jakarta, 9 Juli 2015
Indah Ratikasari
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................. ii
ABSTRACT ........................................................................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ...................................................................... iv
PENGESAHAN PANITIA SIDANG .................................................................. v
LEMBAR PERSEMBAHAN .............................................................................. vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xvi
DAFTAR GRAFIK ........................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 7
C. Pertanyaan Penelitian ............................................................................... 7
D. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 9
1. Tujuan Umum ........................................................................................... 9
2. Tujuan Khusus .......................................................................................... 9
E. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 11
1. SMA 112 Jakarta .................................................................................... 11
2. Siswi SMA 112 Jakarta .......................................................................... 12
3. Peneliti Lainnya ...................................................................................... 12
F. Ruang Lingkup ........................................................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ........................ 13
A. Definisi Sindrom Pramenstruasi (PMS) ................................................. 13
B. Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS) ................................................... 14
C. Dampak Sindrom Pramenstrasi (PMS) .................................................. 15
xi
D. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) ......................................................................................... 16
1. Faktor Hormonal .................................................................................... 17
2. Faktor Kimiawi ....................................................................................... 19
3. Faktor Genetik ........................................................................................ 20
4. Faktor Psikologis .................................................................................... 21
5. Faktor Gaya Hidup ................................................................................. 22
6. Faktor Sosio-Demografi ......................................................................... 33
E. Kerangka Teori........................................................................................... 39
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN
HIPOTESIS ......................................................................................................... 42
A. Kerangka Konsep ................................................................................... 42
B. Definisi Operasional ............................................................................... 45
C. Hipotesis Penelitian ................................................................................ 47
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 48
A. Desain Penelitian .................................................................................... 48
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 48
C. Populasi dan Sampel .............................................................................. 48
1. Populasi .................................................................................................. 48
2. Sampel .................................................................................................... 49
D. Pengumpulan dan Pengolahan Data ....................................................... 51
E. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ........................................................ 57
1. Teknik Pengolahan Data ........................................................................ 57
2. Analisis data ........................................................................................... 59
BAB V HASIL ..................................................................................................... 61
A. Gambaran Karakteristik Responden di SMA 112 Jakarta ...................... 61
B. Analisis Univariat ................................................................................... 62
1. Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015 ...................................................................................... 62
2. Gambaran Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .. 64
3. Gambaran Riwayat Keluarga pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
66
4. Gambaran Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 67
xii
5. Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015 .............................................................................................................. 68
6. Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015 .............................................................................................................. 69
7. Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015 .................................................................................................. 70
8. Gambaran Pola Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .......... 71
9. Gambaran Status Gizi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ......... 73
C. Analisis Bivariat ..................................................................................... 74
1. Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ................ 74
2. Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ................ 74
3. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ................ 75
4. Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ........................... 76
5. Hubungan antara Asupan Kalsium (Ca) dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ................ 76
6. Hubungan antara Asupan Magnesium (Mg) dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ................ 77
7. Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi
(PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ....................................... 78
8. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi
(PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ....................................... 79
BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................... 81
A. Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 81
B. Analisis Univariat dan Bivariat .............................................................. 82
1. Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015 ...................................................................................... 82
2. Gambaran Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ... 87
3. Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015 .............................................................................................................. 90
4. Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015 .............................................................................................................. 92
xiii
5. Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015 .................................................................................................. 96
6. Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ................ 98
7. Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ............. 101
8. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .............. 104
9. Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .............. 106
10. Hubungan antara Asupan Kalsium (Ca) dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 .............. 108
11. Hubungan antara Asupan Magnesium (Mg) dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ......................... 110
12. Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi
(PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ..................................... 112
13. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi
(PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015 ..................................... 117
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 119
A. Simpulan ............................................................................................... 119
B. Saran ..................................................................................................... 121
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia........................................ 121
2. SMA 112 Jakarta .................................................................................. 121
3. Siswi SMA 112 Jakarta ........................................................................ 122
4. Peneliti Lain ......................................................................................... 122
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 123
LAMPIRAN ....................................................................................................... 124
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Judul Tabel Halaman
2.1 Angka Kecukupan Piridoksin (B6) Perempuan
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013
25
2.2 Angka Kecukupan Kalsium (Ca) Perempuan
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013
27
2.3 Angka Kecukupan Magnesium (Mg) Perempuan
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013
29
2.4 Kategori Indeks Massa Tubuh Menurut Umum 33
3.1 Definisi Operasional 45
4.1 Besar Sampel Minimal Menurut Variabel yang
Diteliti Berdasarkan Hasil Penelitian Sebelumnya
50
5.1 Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi
(PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
62
5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Jenis Gejala Sindrom Pramenstruasi yang
Dialami pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015
63
5.3 Gambaran Usia Menarche pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
65
5.4 Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi
SMA 112 Jakarta Tahun 2015
68
5.5 Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi
SMA 112 Jakarta Tahun 2015
69
5.6 Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi
SMA 112 Jakarta Tahun 2015
71
5.7 Gambaran Pola Tidur pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
72
5.8 Analisis Hubungan antara Usia Menarche dengan
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada
Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
74
5.9 Analisis Hubungan antara Riwayat Keluarga
dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS)
pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
75
5.10 Analisis Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada
Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
75
xv
Nomor Tabel Judul Tabel Halaman
5.11 Analisis Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6)
dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS)
pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
76
5.12 Analisis Hubungan antara Kalsium (Ca) dengan
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada
Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
77
5.13 Analisis Hubungan antara Magnesium (Mg)
dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS)
pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
77
5.14 Analisis Hubungan antara Pola Tidur dengan
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada
Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
78
5.15 Analisis Hubungan antara Komponen Pola Tidur
dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS)
pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
79
5.16 Analisis Hubungan antara Status Gizi dengan
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada
Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
79
xvi
DAFTAR BAGAN
Nomor Bagan Judul Bagan Halaman
2.1 Kerangka Teori 41
3.1 Kerangka Konsep 44
xvii
DAFTAR GRAFIK
Nomor Grafik Judul Grafik Halaman
5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada
Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
63
5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Jumlah Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS)
yang Dialami pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
64
5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
65
5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Riwayat Keluarga pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
66
5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Anggota Keluarga yang Memiliki Riwayat
Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA
112 Jakarta Tahun 2015
67
5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
67
5.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
69
5.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
70
5.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
71
5.10 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Pola Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015
72
5.11 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Status Gizi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015
73
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran Judul Bagan Halaman
1 Kuesioner Penelitian 133
2 Perhitungan Kuesioner PSQI 141
3 Perhitungan Recall Aktivitas Fisik 143
4 Surat Izin Studi Pendahuluan 144
5 Surat Izin Penelitian 146
6 Surat Bukti Penelitian 147
7 Hasil Analisis Data 148
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menstruasi atau pendarahan periodik normal uterus merupakan
proses katabolisme yang terjadi akibat adanya pengaruh dari hormon
hipofisis dan ovarium, seperti hormon estrogen dan progesteron (Benson
dan Pernoll, 1994). Umumnya menstruasi akan terjadi secara normal setiap
bulan pada wanita usia subur (WUS).
Biasanya 7-10 hari sebelum terjadi menstruasi, wanita akan
mengalami beberapa gejala perubahan tertentu, dari segi fisik (nyeri
payudara, sakit kepala, jerawat, nyeri panggul bahkan edema (Andrews,
2001, NIH, 2014) maupun emosional (perubahan mood, penurunan fungsi
sosial, penurunan konsentrasi, bahkan depresi (Andrews, 2001, Souza
dkk., 2012, Freeman, 2007, Delara dkk., 2012) yang akan mereda ketika
siklus menstruasi dimulai (NIH, 2014). Namun pada beberapa wanita juga
dapat terjadi gejala yang terus berlanjut hingga 24-48 jam pertama siklus
menstruasi dan akan mereda selama beberapa hari ke depan (O'Brien dkk.,
2007). Gejala-gejala tersebut biasa dikenal dengan sindrom pramenstruasi
(PMS).
Sindrom pramenstruasi merupakan salah satu masalah yang umum
terjadi pada wanita, dengan demikian maka sindrom pramenstruasi
2
merupakan masalah kesehatan masyarakat (Balaha dkk., 2010). Pada
dasarnya sindrom ini pernah dialami hampir seluruh wanita di dunia.
Dimana sebanyak 90% wanita mengalami setidaknya satu gejala dalam
beberapa siklus menstruasi selama masa usia subur mereka (Zaka dan
Mahmood, 2012) dan 5-10% wanita mengalami gejala yang bersifat
sedang sampai berat (Freeman, 2007).
Dari hasil meta analisis pertama yang pernah dilakukan, diketahui
bahwa prevalensi sindrom pramenstruasi dari seluruh dunia adalah 47,8%
(Moghadam dkk., 2014). Dari hasil tersebut terlihat, bahwa dari tahun ke
tahun kejadian sindrom pramenstruasi berbeda di setiap negara. Sebagai
contoh, di negara Pakistan, kejadian sindrom pramenstruasi pada tahun
1996 sebanyak 41% dan meningkat pada tahun 2004 menjadi 53%.
Sedangkan di Brazil, kejadian sindrom pramenstruasi stabil dari tahun
2003 hingga 2009 yaitu sebesar 60% (Moghadam dkk., 2014).
Selanjutnya pada remaja putri (usia 14-19 tahun) di Iran,
ditemukan bahwa dari 602 orang, 100% dilaporkan setidaknya pernah
mengalami satu gejala sindrom pramenstruasi (Delara dkk., 2012).
Penelitian lainnya pada remaja putri di Turki, ditemukan sebanyak 61,4%
mengalami sindrom pramenstruasi (49,5% sindrom pramenstruasi ringan
dan 50,5% sedang hingga berat) dengan gejala yang paling umum seperti
stres (87,6%) dan kegelisahan (87,6%) (Derman dkk., 2004).
Di Indonesia dari 260 orang wanita usia subur, ditemukan
sebanyak 95% memiliki setidaknya satu gejala sindrom pramenstruasi,
dengan tingkat sindrom pramenstruasi sedang hingga berat sebesar 3,9%
3
(Emilia, 2008). Penelitian yang dilakukan di kota Padang menunjukkan
bahwa 51,8% siswi SMA mengalami sindrom pramenstruasi (Siantina,
2010). Sedangkan penelitian yang dilakukan di kota Purworejo pada siswi
SMA, prevalensi sindrom pramenstruasi sebanyak 24,6% (Nurmiaty dkk.,
2011). Penelitian lainnya juga dilakukan pada siswi SMA di kota Bogor,
ditemukan bahwa seluruh responden mengalami sindrom pramenstruasi,
dengan jenis keluhan ringan sebanyak 32,2% dan keluhan sedang sampai
berat sebanyak 67,8% (Aldira, 2014).
Penelitian yang dilakukan di Jakarta terhadap siswi SMK Jakarta
Selatan didapatkan sebanyak 45% siswi mengalami sindrom pramenstruasi
(Devi, 2009). Penelitian selanjutnya di SMA “X” di Kecamatan Pulo
Gadung Jakarta Timur didapatkan bahwa sebanyak 43,9% siswi
mengalami sindrom pramenstruasi (Sianipar dkk., 2009). Kemudian
penelitian yang dilakukan di MAN 4 Jakarta Selatan menemukan sebanyak
28,66% siswi yang mengalami sindrom pramenstruasi.
Diketahui bahwa berdasarkan berbagai penelitian tersebut, kejadian
sindrom pramenstruasi cukup banyak dan bervariasi jenis gejalanya pada
setiap individu. Bagi beberapa wanita, gejala ini ada yang masuk dalam
kategori berat, sehingga dapat mengganggu aktivitas mereka (NIH, 2014).
Khusus bagi para remaja putri yang bersekolah, dapat menganggu kualitas
kesehatan, konsentrasi, prestasi dan keaktifan kegiatan belajar di sekolah.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh
Delara dkk. (2012) yang menunjukkan bahwa siswi dengan gangguan
pramenstruasi mengalami beberapa penurunan, seperti: kondisi mental,
4
peran fisik, dan fungsi sosial. Di samping itu sindrom pramenstruasi juga
dapat berhubungan dengan kasus bunuh diri, tingkat kecelakaan, dan
masalah kejiwaan akut (Tolossa dan Bekele, 2014). Oleh karena itu, perlu
diketahuinya penyebab dari kejadian sindrom ini, agar masalah yang
terjadi dapat dikurangi atau bahkan dicegah.
Namun sampai saat ini penyebab dari sindrom pramenstruasi
belum diketahui secara pasti (Wiley dan Sons, 2012). Walaupun dari
beberapa literatur yang ada, dikatakan bahwa faktor penyebab utamanya
adalah akibat adanya ketidakseimbangan kerja dari hormon estrogen dan
progesteron (Andrews, 2001, Dickerson dkk., 2003) serta adanya
perubahan kadar serotonin (Saryono dan Sejati, 2009). Pada sebuah
penelitian ditemukan bahwa PMS biasanya lebih mudah terjadi pada
wanita yang peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid
(Saryono dan Sejati, 2009).
Selain faktor hormonal, ada beberapa faktor lain yang berhubungan
dengan timbul dan parahnya gejala sindrom pramenstruasi. Salah satu
faktor tersebut adalah riwayat keluarga (Saryono dan Sejati, 2009, Amjad
dkk., 2014) dan gaya hidup (Saryono dan Sejati, 2009). Riwayat keluarga
memainkan peran yang penting. Dimana faktor ini erat kaitannya dengan
insidens sindrom pramenstruasi, yang biasanya terjadi dua kali lebih tinggi
(93%) pada kembar satu telur (monozigot) dibanding kembar dua telur
(44%) (Zaka dan Mahmood, 2012). Di samping itu, terdapat penelitian
yang menemukan bahwa ada hubungan antara riwayat keluarga dengan
PMS (Abdillah, 2010).
5
Untuk faktor gaya hidup, terbagi menjadi beberapa faktor lainnya
seperti status gizi berdasarkan IMT (Masho dkk., 2005); dan aktivitas fisik
(Saryono dan Sejati, 2009). Faktor status gizi memiliki peranan yang
cukup penting pada tingkat keparahan kejadian sindrom pramenstruasi.
Berdasarkan sebuah penelitian, ditemukan bahwa obesitas memiliki
keterkaitan yang dengan kejadian PMS (Masho dkk., 2005). Sependapat
dengan penelitian tersebut, penelitian lainnya juga mendapatkan bahwa
setiap kenaikan 1 kg/m2 pada IMT dikaitkan dengan peningkatan yang
signifikan terhadap risiko sindrom pramenstruasi sebesar 3% (Johnson
dkk., 2010).
Sedangkan faktor aktivitas fisik merupakan faktor yang dapat
mengurangi rasa sakit akibat sindrom pramenstruasi, dimana dengan
rendahnya aktivitas fisik juga dapat meningkatkan keparahan gejala,
seperti rasa tegang, emosi, dan depresi. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, ditemukan bahwa aktivitas fisik secara signifikan dapat
menurunkan resiko gejala sindrom pramenstruasi, seperti perubahan nafsu
makan, hipersensitivitas emosi, dan sakit kepala (Sianipar, dkk., 2009,
Kroll, 2010).
Berdasarkan berbagai ulasan di atas, maka peneliti tertarik untuk
mengetahui lebih mendalam tentang hubungan kejadian sindrom
pramenstruasi dengan faktor-faktornya pada siswi di SMA 112 Jakarta.
Dasar dari pemilihan SMA untuk penelitian ini karena peneliti
menganggap bahwa hampir seluruh remaja putri di SMA sudah
mengalami menstruasi, berbeda halnya dengan remaja putri yang masih
6
duduk di bangku SMP. Sindrom pramenstruasi umumnya mulai terjadi
sekitar usia 14 tahun atau 2 tahun setelah menarche (Zaka dan Mahmood,
2012). Di samping itu, remaja di SMA merupakan remaja yang memiliki
rentang umur 16-17 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Delara,
dkk. (2012), didapatkan bahwa usia 16-17 tahun paling banyak (52%)
mengalami sindrom pramenstruasi, disusul oleh remaja berusia 14-15
tahun sebesar 44%, dan remaja berusia 18-19 tahun sebesar (3,8%).
Selanjutnya dipilihnya SMA 112 Jakarta didasarkan karena SMA
ini merupakan salah satu sekolah peringkat kelima terbesar yang memiliki
jumlah siswi terbanyak di Jakarta Barat (Kemdikbud, 2014). Berdasarkan
studi pendahuluan di SMA 112, ditemukan bahwa dari 30 orang siswi,
seluruh siswi mengalami gejala sindrom pramenstruasi (sedikitnya
mengalami nyeri payudara dan perut), dimana 36,7% mengalami sindrom
pramenstruasi gejala sedang hingga berat. Berbeda dengan di SMA 112, di
SMA 65 ditemukan sebesar 19,0% siswi mengalami sindrom
pramenstruasi gejala sedang hingga berat. Di samping itu, di SMA 112 ini
juga belum ada peneliti yang meneliti tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS), bahkan di
Jakarta Barat. Melihat kondisi tersebut, maka peneliti tertantang untuk
memilih SMA 112 Jakarta sebagai lokasi penelitian tentang kejadian
sindrom pramenstruasi dan faktor-faktornya.
7
B. Rumusan Masalah
Diketahui berdasarkan hasil studi pendahuluan, kejadian PMS
merupakan masalah yang banyak terjadi di SMA 112 Jakarta. Dari paparan
latar belakang diketahui bahwa pada remaja kejadian PMS dapat
mengganggu kualitas kesehatan, konsentrasi belajar, keaktifan kegiatan
belajar, dan prestasi di sekolah. Dampak terparah dari kejadian PMS
adalah dapat meningkatkan risiko tingkat kecelakan, masalah kejiwaan
akut, bahkan kasus bunuh diri. Faktor utama dari kejadian PMS adalah
ketidakseimbangan hormon dan kadar serotonin. Namun terdapat beberapa
faktor lainnya yang memiliki asosiasi dengan kejadian PMS, yaitu riwayat
keluarga dan gaya hidup.
C. Pertanyaan Penelitian
Sebagai landasan awal untuk memulai penelitian dan
merangkumnya dalam skripsi ini, peneliti mengajukan beberapa
pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada
siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015?
2. Bagaimana gambaran usia menarche pada siswi SMA 112 Jakarta
tahun 2015?
3. Bagaimana gambaran riwayat keluarga pada siswi SMA 112 Jakarta
tahun 2015?
8
4. Bagaimana gambaran aktivitas fisik pada siswi SMA 112 Jakarta tahun
2015?
5. Bagaimana gambaran asupan piridoksin (B6) pada siswi SMA 112
Jakarta tahun 2015?
6. Bagaimana gambaran asupan kalsium (Ca) pada siswi SMA 112
Jakarta tahun 2015?
7. Bagaimana gambaran asupan magnesium (Mg) pada siswi SMA 112
Jakarta tahun 2015?
8. Bagaimana gambaran pola tidur pada siswi SMA 112 Jakarta tahun
2015?
9. Bagaimana gambaran status gizi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun
2015?
10. Apakah ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian sindrom
pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?
11. Apakah ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian
sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun
2015?
12. Apakah ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian sindrom
pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?
13. Apakah ada hubungan antara asupan piridoksin (B6) dengan kejadian
sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun
2015?
9
14. Apakah ada hubungan antara asupan kalsium (Ca) dengan kejadian
sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun
2015?
15. Apakah ada hubungan antara asupan magnesium (Mg) dengan
kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta
tahun 2015?
16. Apakah ada hubungan antara pola tidur dengan kejadian sindrom
pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?
17. Apakah ada hubungan antara status gizi dengan kejadian sindrom
pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun
2015.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran kejadian sindrom pramenstruasi (PMS)
pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.
b. Diketahuinya gambaran usia menarche pada siswi SMA 112
Jakarta tahun 2015.
10
c. Diketahuinya gambaran riwayat keluarga pada siswi SMA 112
Jakarta tahun 2015.
d. Diketahuinya gambaran aktivitas fisik pada siswi SMA 112 Jakarta
tahun 2015.
e. Diketahuinya gambaran asupan piridoksin (B6) pada siswi SMA
112 Jakarta tahun 2015.
f. Diketahuinya gambaran asupan kalsium (Ca) pada siswi SMA 112
Jakarta tahun 2015.
g. Diketahuinya gambaran asupan magnesium (Mg) pada siswi SMA
112 Jakarta tahun 2015.
h. Diketahuinya gambaran pola tidur pada siswi SMA 112 Jakarta
tahun 2015.
i. Diketahuinya gambaran status gizi pada siswi SMA 112 Jakarta
tahun 2015.
j. Diketahuinya hubungan antara usia menarche dengan kejadian
sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun
2015.
k. Diketahuinya hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian
sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun
2015.
l. Diketahuinya hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian
sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun
2015.
11
m. Diketahuinya hubungan antara asupan piridoksin (B6) dengan
kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112
Jakarta tahun 2015.
n. Diketahuinya hubungan antara asupan kalsium (Ca) dengan
kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi di SMA 112
Jakarta tahun 2015.
o. Diketahuinya hubungan antara asupan magnesium (Mg) dengan
kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112
Jakarta tahun 2015.
p. Diketahuinya hubungan antara pola tidur dengan kejadian sindrom
pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.
q. Diketahuinya hubungan antara status gizi dengan kejadian sindrom
pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.
E. Manfaat Penelitian
Peneliti berharap penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk beberapa
pihak:
1. SMA 112 Jakarta
a. Memberikan tambahan informasi tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS).
b. Menjadi bahan dalam pemberian promosi kesehatan reproduksi
kepada siswi terkait sindrom pramenstruasi (PMS).
12
2. Siswi SMA 112 Jakarta
a. Memberikan wawasan tentang faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS).
b. Menjadi bahan pembelajaran tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS).
3. Peneliti Lainnya
a. Memberi informasi pada peneliti lainnya tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian sindrom pramenstruasi (PMS).
b. Sebagai pengalaman dan pembelajaran untuk peneliti lainnya
dalam melakukan penelitian lanjutan.
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini merupakan studi epidemiologi dengan desain studi
cross sectional tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
sindrom pramenstruasi (PMS) pada siswi SMA 112 Jakarta yang dimulai
pada November 2014 sampai Juni 2015. Penelitian ini dilatarbelakangi
oleh kejadian PMS yang masih banyak terjadi di kalangan siswi SMA 112
Jakarta dan dapat berdampak buruk. Penelitian ini dilakukan oleh
mahasiswi peminatan Gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menggunakan jenis data primer.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah chi-square.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
A. Definisi Sindrom Pramenstruasi (PMS)
Menstruasi adalah peristiwa paling penting pada masa pubertas
remaja putri dan merupakan penanda biologis terjadinya kematangan
seksual (Almatsier dkk., 2011). Menstruasi atau pendarahan periodik
normal uterus merupakan proses katabolisme yang terjadi akibat adanya
pengaruh dari hormon hipofisis dan ovarium, seperti hormon estrogen dan
progesteron, dengan interval siklus normal antara 24-32 hari dan
pengeluaran darah sekitar 35-90 ml (Benson dan Pernoll, 1994). Pada
beberapa wanita, sebelum siklus menstruasi berlangsung akan mengalami
beberapa perubahan hormonal dan fisiologis menstruasi, seperti nyeri
payudara, kembung, dan perubahan psikologis yang biasa disebut dengan
sindrom pramenstruasi (Nelson, 2012).
Sindrom pramenstruasi atau PMS merupakan kumpulan gejala
fisik, psikologis, dan emosi yang terkait dengan siklus menstruasi wanita,
terjadi selama fase luteal (pasca ovulasi) dari siklus menstruasi yang
berhubungan dengan siklus saat ovulasi (pelepasan sel telur dari ovarium)
dan menstruasi (Saryono dan Sejati, 2009). PMS ini biasanya akan terjadi
pada rentang 1-2 minggu, atau lebih tepatnya 7-10 hari sebelum terjadi
menstruasi dan akan berhenti saat dimulainya siklus menstruasi (NIH,
2014). Akan tetapi, pada beberapa wanita juga bisa terjadi gejala PMS
14
yang terus berlanjut hingga 1-2 hari atau 24-48 jam pertama siklus
menstruasi dan akan segera mereda selama beberapa hari ke depan siklus
menstruasi (O'Brien dkk., 2007). Pada remaja umumnya PMS mulai
dialami sekitar usia 14 tahun atau 2 tahun setelah menarche dan akan
berlanjut sampai menopause (Zaka dan Mahmood, 2012).
B. Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS)
Terdapat macam-macam gejala PMS yang terjadi pada wanita.
Gejala-gejala tersebut dapat mempengaruhi hampir seluruh sistem tubuh.
Namun setiap individu mungkin akan mengalami gejala yang berbeda.
Berikut merupakan beberapa gejala yang umum terjadi (Saryono dan
Sejati, 2009):
1. Perubahan fisik
a. Gejala gastrointestinal: sakit punggung, perut kembung, perubahan
nafsu makan, daerah panggul terasa berat tertekan, mual, muntah,
penambahan berat badan, kram abdominal.
b. Gejala-gejala pada payudara: payudara terasa penuh, bengkak,
mengeras, nyeri.
c. Permasalahan pada kulit: kulit wajah, leher, dada, tampak merah
dan terasa terbakar, kelainan kulit(misalya jerawat).
d. Gejala vaskuler dan neurologi: pusing, pingsan, sakit kepala, tidak
bertenaga, kelelahan, nyeri sendi,dan kejang otot.
e. Keluhan mata: gangguan pengelihatan.
15
f. Permasalahan pernapasan: alergi, peradangan.
2. Perubahan suasana hati: mudah marah, cemas, depresi, mudah
tersinggung, gelisah, agresif, tertekan, gugup, hipersensitivitas secara
emosional, kemurungan.
3. Perubahan mental: kalut, bingung, sulit berkonsentrasi, dan pelupa.
4. Perubahan tingkah laku: perubahan pada libido, pola tidur, dan nafsu
makan.
C. Dampak Sindrom Pramenstrasi (PMS)
Bagi beberapa wanita gejala PMS dapat terjadi cukup parah,
sehingga dapat menimbulkan dampak yang merugikan. Umumnya dampak
dari PMS tersebut adalah gangguan aktivitas harian (NIH, 2014), seperti
penurunan produktivitas kerja, sekolah, dan hubungan interpersonal
penderita (Suparman, 2010). Di samping itu PMS yang berat juga dapat
berhubungan dengan kasus bunuh diri yang tinggi, tingkat kecelakaan, dan
masalah kejiwaan akut (Tolossa dan Bekele, 2014).
Dari segi aktivitas harian, penelitian membuktikan bahwa sebanyak
17% dari penderita PMS merasakan dampak klinis yang signifikan pada
ADL (activities daily life) dan 9% yang terkena dampak serius terhadap
ADL (Dennerstein dkk., 2010). Sedangkan dari segi produktivitas,
penelitian yang dilakukan Borenstein (2004) menemukan bahwa
penurunan produktivitas lebih banyak dialami oleh penderita PMS
dibandingkan dengan bukan penderita PMS, yang dikaitkan dengan
16
keluhan sulit berkonsentrasi, menurunnya entusiasme, menjadi pelupa,
mudah tersinggung, dan labilitas emosi (Borenstein dkk., 2004). Di
samping itu penderita PMS juga lebih banyak mengalami gangguan hobi,
peningkatan frekuensi kunjungan ke dokter rawat jalan dan peningkatan
hari tidak bekerja dengan alasan kesehatan.
Kemudian khusus untuk para remaja putri yang bersekolah, PMS
dapat mengganggu kualitas kesehatan, konsentrasi, prestasi dan keaktifan
kegiatan belajar di sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Delara dkk.
(2012) menunjukkan bahwa siswi dengan gangguan pramenstruasi
mengalami beberapa penurunan, seperti: kondisi mental, vitalitas, peran
fisik, fungsi sosial, dan kesehatan secara keseluruhan.
D. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS)
Sampai saat ini penyebab PMS belum dapat dijelaskan secara pasti
(Wiley dan Sons, 2012). Beberapa teori menyebutkan PMS terjadi karena
ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron (Andrews,
2001, Dickerson dkk., 2003, Saryono dan Sejati, 2009, Zaka dan
Mahmood, 2012) serta adanya perubahan kadar serotonin (Saryono dan
Sejati, 2009). Sedangkan beberapa penelitian lainnya menemukan bahwa
PMS berhubungan dengan faktor riwayat keluarga (Abdillah, 2010, Amjad
dkk., 2014), status gizi (Johnson dkk., 2010, Masho dkk., 2005), dan
aktivitas fisik (Kroll, 2010).
17
Namun secara umum diketahui bahwa ada beberapa faktor yang
memiliki hubungan dengan PMS, yaitu faktor hormonal, faktor kimiawi,
faktor genetik, faktor psikologi, dan faktor gaya hidup (Saryono dan
Sejati, 2009). Kemudian terdapat faktor lainnya yang berhubungan dengan
kejadian PMS, yaitu faktor sosio-demografi (Saryono dan Sejati, Amjad
dkk., 2014). Di bawah ini merupakan penjelasan masing-masing faktor
dari kejadian PMS, antara lain:
1. Faktor Hormonal
Hormon berasal dari kata Yunani, hormein, yang berarti
memacu atau menggalakan (Wijaya, 2006). Hormon merupakan
senyawa khas yang dihasilkan oleh organ tubuh, yang bekerja dalam
memacu fungsi organ tubuh tertentu sehingga akan terlihat hasilnya
(Wijaya, 2006). Pengertian lain menyebutkan bahwa hormon adalah
zat yang dihasilkan oleh suatu kelenjar endokrin, yang disekresikan ke
dalam darah untuk sampai ke sel sasaran di jaringan lain dalam tubuh
tempat hormon tersebut menimbulkan efek fisiologis (William dan
Wilkins, 2000).
Hormon tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia,
termasuk dari kejadian PMS yang dialami oleh para wanita. Dalam
beberapa literatur yang ada, dikatakan bahwa faktor hormon adalah
faktor yang paling utama yang dapat menyebabkan PMS, yaitu akibat
adanya ketidakseimbangan kerja dari hormon estrogen dan progesteron
(Andrews, 2001, Dickerson dkk., 2003). Teori lain menunjukkan
bahwa ternyata, adanya kelebihan estrogen atau defisit progesteron
18
dalam fase luteal dari siklus menstruasi akan menyebabkan PMS
(Brunner dan Suddarth, 2001, Saryono dan Sejati, 2009). Kadar
hormon estrogen dalam darah yang meningkat, disebut-sebut dapat
menyebabkan gejala depresi dan beberapa gangguan mental. Kadar
estrogen yang meningkat ini akan mengganggu proses kimia tubuh
termasuk vitamin B6 (piridoksin) yang dikenal sebagai vitamin anti
depresi karena berfungsi mengontrol produksi serotonin (Brunner dan
Suddarth, 2001, Saryono dan Sejati, 2009). Di samping itu, pada
sebuah penelitian ditemukan bahwa PMS biasanya lebih mudah terjadi
pada wanita yang peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid
(Saryono dan Sejati, 2009).
Untuk mengetahui kadar estrogen dan progesteron di dalam
tubuh, diperlukan pengukuran metabolit urin. Pengukuran ini telah
lama dilakukan dan masih dilakukan sampai saat ini untuk
memperkirakan fungsi hormonal secara keseluruhan, walaupun sudah
tersedia pemeriksaan-periksaan spesifik untuk mengukur kadar
hormon serum (Sacher dan McPherson, 2004). Ekskresi di urin
merupakan 70-95% dari estrogen total yang diproduksi, dimana hasil
yang disajikan akan terlihat estrogen total atau sebagai proporsi Estriol
(E1), Estradiol (E2), dan Estron (E3) yang ada (Sacher dan McPherson,
2004). Sedangkan aktivitas progesteron tercemin dari pregnanediol
(produk ekskretorik progesteron) urin (Sacher dan McPherson, 2004).
19
2. Faktor Kimiawi
Faktor kimiawi juga berhubungan dengan kejadian PMS. Zat
kimia tertentu seperti serotonin dan endorfin dapat mengalami
perubahan selama siklus menstruasi (Saryono dan Sejati, 2009).
Menurut Saryono dan Sejati (2009), perubahan senyawa kimia
serotonin merupakan salah satu penyebab dari PMS. Serotonin
merupakan suatu zat kimia yang diproduksi tubuh secara alami, yang
dapat berguna untuk kualitas tidur yang normal (Lau, 2011). Hal ini
dikarenakan, zat ini sangat mempengaruhi suasana hati seseorang yang
berhubungan dengan gejala depresi, kecemasan, ketertarikan,
kelelahan, perubahan pola makan, kesulitan untuk tidur, agresif dan
peningkatan selera (Saryono dan Sejati, 2009).
Sedangkan endorfin merupakan senyawa kimia mirip opium
yang dibuat di dalam tubuh yang terlibat dalam sensasi euphoria dan
persepsi nyeri (Saryono dan Sejati, 2009). Namun, dikarenakan kadar
endorfin di dalam darah berfluktuasi, tetapi tidak mencerminkan
aktivitas di dalam otak, penjelasan keterkaitan endorfin dengan
kejadian PMS ini belum memiliki cukup teori yang mendukung
(Saryono dan Sejati, 2009).
Pernyataan terkait serotonin di atas diperkuat dengan hasil dari
sebuah penelitian, yang menemukan bahwa SSRI (selective serotonin
reuptake inhibitors) efektif dalam mengurangi gejala PMS, khususnya
mual (Marjoribanks dkk., 2013). SSRI itu sendiri merupakan zat kimia
yang mengandung serotonin, yang digunakan untuk terapi para
20
penderita PMS. SSRI dapat dikonsumsi baik pada fase luteal (pasca
ovulasi) atau terus menerus (setiap hari). SSRI umumnya dianggap
efektif untuk mengurangi gejala pramenstruasi namun dapat
menyebabkan efek samping bila dikonsumsi secara berkelanjutan.
Untuk mengukur kadar serotonin di dalam tubuh, terdapat dua
metode utama, yaitu metode konvensional dan metode positron
emission tomography (PET) (Visser dkk., 2011). Metode konvensional
merupakan metode yang invasif dan tidak langsung mengukur tingkat
sintesis dari serotonin itu sendiri, namun metode ini dapat memberikan
hasil pada tingkat turnover, seperti pengukuran melalui sampel darah.
Sedangkan pengukuran PET adalah teknik non-invasif yang dapat
melacak proses metabolisme dari serotonin tersebut, seperti dengan
cara autoradiography.
3. Faktor Genetik
Genetik merupakan faktor yang memainkan peran penting pada
kejadian PMS. Dimana, gen sangat erat kaitannya dengan insidens
(kasus baru) PMS, yang biasanya terjadi dua kali lebih tinggi (93%)
pada kembar satu telur (monozigot) dibanding kembar dua telur (44%)
(Zaka dan Mahmood, 2012, Saryono dan Sejati, 2009). Hal ini
dikarenakan faktor genetik ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan
perubahan hormon dan serotonin di dalam tubuh. Penelitian terbaru
pada perilaku manusia, telah meneliti peran genetik dalam etiologi dari
PMS, dimana terdapat varian pada gen reseptor estrogen alpha yang
dapat menyebabkan risiko kejadian PMS (Huo dkk., 2007). Di
21
samping itu, varian di promotor untuk gen serotonin transporter juga
memiliki efek pada ekspresi serotonin 5-HT transporter molekul
(Praschak-Rieder dkk., 2002). Varian promotor ini berhubungan
dengan depresi dan gangguan afektif.
Faktor genetik dapat dilihat dari riwayat keluarga. Sebuah
penelitian menemukan bahwa ada hubungan secara signifikan antara
riwayat keluarga dengan PMS (Abdillah, 2010). Di samping itu, hasil
penelitian Amjad, dkk (2014) juga menemukan bahwa terdapat
hubungan antara riwayat ibu dan saudara kandung perempuan dengan
kejadian PMS. Dimana seseorang yang memiliki ibu dan/atau saudara
kandung perempuan yang mengalami PMS lebih banyak yang
menderita PMS, dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki
ibu dan/atau saudara kandung perempuan yang mengalami PMS
(Amjad dkk., 2014). Namun, hal tersebut bertentangan pada penelitian
lain yang tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan terhadap
faktor gen pembawa PMS dengan kejadian PMS itu sendiri (Magnay
dkk., 2006).
4. Faktor Psikologis
Faktor psikologis yang dimaksud adalah stres (Saryono dan
Sejati, 2009). Stres inilah yang akan memperberat gangguan PMS
(Saryono dan Sejati, 2009). Menurut sebuah teori, dikatakan bahwa
seorang wanita akan lebih mudah menderita PMS apabila wanita
tersebut lebih peka terhadap perubahan psikologis, khususnya stres
(UMM, 2013).
22
Stres ini sebenarnya memiliki hubungan dengan hormon
progesteron. Berdasarkan hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh
Michel dan Bonnet (2014) pada marmut, ditemukan bahwa konsentrasi
progesteron dapat menurun sebesar 50,9% setelah terjadinya stres
(Michel dan Bonnet, 2014).
Penelitian lainnya ditemukan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara tingkat kecemasan dengan PMS. Hubungan ini
membentuk kecenderungan semakin tinggi tingkat kecemasan
seseorang maka sindrom yang dialami seseorang juga akan semakin
berat (Siyamti dan Pertiwi, 2011) Hasil yang sejalan juga dihasilkan
oleh penelitian lainnya yang menemukan bahwa terdapat hubungan
positif dengan korelasi yang sedang antara tingkat stres dengan
kejadian PMS (Mayyane, 2011).
5. Faktor Gaya Hidup
Faktor gaya hidup yang berhubungan dengan PMS terdiri atas
aktivitas fisik (Saryono dan Sejati, 2009, Lustyk dan Gerrish, 2010,
Zaka dan Mahmood, 2012), pola tidur (Saryono dan Sejati, 2009,
Shechter dan Boivin, 2010), asupan zat gizi mikro (Saryono dan Sejati,
2009), dan status gizi (Masho dkk., 2005). Berikut penjelasan dari
masing-masing dari faktor tersebut:
a. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang
dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi
23
(WHO, 2014b). Aktivitas fisik merupakan faktor yang dapat
mengurangi rasa sakit akibat PMS, sehingga apabila aktivitas fisik
rendah dapat meningkatkan keparahan dari PMS, seperti rasa
tegang, emosi, dan depresi. Sebuah teori menyebutkan, dengan
adanya aktivitas fisik akan meningkatkan produksi endorfin,
menurunkan kadar estrogen dan hormon steroid lainnya,
memperlancar transpor oksigen di otot, menurunkan kadar kortisol,
dan meningkatkan perilaku psikologis (Harber dan Sutton, 1984).
Hal ini juga diperkuat sebuah review, yang menyatakan bahwa
melakukan aktivitas fisik merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kadar serotonin di otak (Young, 2007). Menurutnya
serotonin ini sangat erat kaitannya dengan depresi dan perubahan
mood yang berujung pada masalah kesehatan.
Selain itu berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
ditemukan bahwa aktivitas fisik secara signifikan dapat
menurunkan resiko gejala PMS, seperti perubahan nafsu makan,
hipersensitivitas emosi, dan sakit kepala (Sianipar, dkk., 2009,
Kroll, 2010). Namun terdapat penelitian lain, yang mendapatkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan tingkat
keluhan sindrom pramenstruasi (Aldira, 2014, Pujihastuti, 2012).
Menurut WHO (1985) modifikasi WNPG VIII (2004),
terdapat 3 (tiga) kategori aktivitas fisik, yaitu (Dinkes, 2014):
24
1) Ringan, jika 75% dari waktu yang digunakan adalah untuk
duduk atau berdiri dan 25% untuk kegiatan kerja khusus dalam
bidang pekerjaannya;
2) Sedang jika 40% dari waktu yang digunakan adalah untuk
duduk dan berdiri dan 60% untuk kegiatan kerja khusus dalam
bidang pekerjaannya;
3) Berat, jika 25% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk
dan berdiri dan 75% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang
pekerjaannya.
b. Asupan Zat Mikro
Asupan zat mikro memiliki keterkaitan sendiri terhadap
PMS. Menurut Saryono dan Sejati (2009), salah satu penyebab
PMS adalah karena kurang asupan piridoksin (B6), kalisum (Ca),
dan magnesium (Mg). Berikut ini merupakan penjelasan dari
masing-masing zat mikro
1) Asupan Piridoksin (B6)
Piridoksin atau B6 merupakan bagian dari vitamin larut
air, yang wujudnya seperti kristal putih dan tidak berbau;
memiliki sifat yang tahan terhadap panas; serta tidak tahan
terhadap cahaya dan tidak stabil dalam larutan alkali (Almatsier,
2010). Piridoksin memiliki keterkaitan sendiri dengan kejadian
sindrom pramenstruasi. Menurut Saryono dan Sejati (2009)
salah satu penyebab PMS adalah karena kurang asupan
piridoksin.
25
Hal ini dikarenakan piridoksin sangat penting dalam
pembentukan serotonin yang berkaitan dengan kejadian sindrom
pramenstruasi (Almatsier, 2010). Sehingga apabila tubuh
mengalami kekurangan piridoksin, akan terjadi gejala-gejala yang
berhubungan dengan metabolisme protein, seperti lemah, mudah
tersinggung, dan sukar tidur yang. merupakan gejala dari sindrom
pramenstruasi (Almatsier, 2010). Piridoksin juga diketahui dapat
memperbaiki gejala-gejala gangguan mood dan perilaku yang
berlangsung selama PMS, seperti kegelisahan, hidrasi,depresi,
dan mual (Lustyk dan Gerrish, 2010). Di samping itu,
berdasarkan hasil literature review, didapatkan juga bahwa
dengan mengonsumsi suplemen 50-100 mg/hari piridoksin
dapat mencegah dan menurunkan risiko terjadinya PMS
(Lustyk dan Gerrish, 2010).
Berikut merupakan angka kecukupan piridoksin untuk
perempuan usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun menurut AKG
2013 (Kemenkes, 2014):
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Piridoksin (B6) Perempuan
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013
Untuk memenuhi asupan piridoksin di atas, dibutuhkan
bahan makanan yang memiliki kandungan piridoksin tinggi.
Usia Asupan B6 (mg)
13-15 tahun 1,2
16-18 tahun 1,3
Rata-rata 1,25
Sumber: Kemenkes (2014)
26
Bahan makanan tersebut adalah kecambah gandum, hati, ginjal,
serealia, kacang-kacangan, kentang dan pisang (Almatsier,
2010).
2) Asupan Kalsium (Ca)
Kalsium atau Ca merupakan mineral yang paling banyak
disimpan di dalam tubuh (± 1 kg), dengan distibusi 99% berada di
tulang dan gizi (Almatsier, 2010). Kalsium berfungsi dalam
mengatur fungsi sel (transmisi saraf, kontraksi otot, dan
penggumpulan darah), mengatur kerja hormon, dan faktor
pertumbuhan (Almatsier, 2010).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui
bahwa kalsium berhubungan dengan kejadian PMS, sebab
kalsium berperan dalam meringankan dan menekan resiko
terjadinya PMS (Nurmalasari dkk., 2013). Di samping itu,
berdasarkan hasil literature review, didapatkan juga bahwa
dengan mengonsumsi suplemen 1200-1600 mg/hari kalsium
dapat mencegah dan menurunkan risiko terjadinya PMS
(Lustyk dan Gerrish, 2010).
Kemudian hasil penelitian yang dilakukan oleh Thys-
Jacobs (2000) diketahui bahwa kalsium merupakan salah satu
mineral yang terbukti secara signifikan menghasilkan 50%
pengurangan dari gejala sindrom pramenstruasi, seperti gangguan
mood dan perilaku yang berlangsung selama sindrom
pramenstruasi, kegelisahan, hidrasi, depresi, dan mual. Kalisum
27
juga memiliki keterkaitan dengan hormon, karena pada
dasarnya hormon estrogen mempengaruhi metabolisme
kalsium, penyerapan kalsium dalam usus, dan memicu fluktuasi
siklus menstruasi (Thys-Jacobs, 2000). Perubahan kalsium di
dalam tubuh (hipokalsemia dan hiperkalsemia) telah lama
dikaitkan dengan banyak gejala PMS, seperti depresi dan
kecemasan. Hal ini dikarenakan kalsium juga memiliki efek
terhadap metabolisme dan regulasi serotonin (Thys-Jacobs,
2000).
Berikut merupakan angka kecukupan kalsium untuk
perempuan usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun menurut AKG
2013 (Kemenkes, 2014):
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Kalsium (Ca) Perempuan
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013
Untuk memenuhi asupan kalsium di atas, dibutuhkan
bahan makanan yang memiliki kandungan kalsium tinggi.
Bahan makanan tersebut adalah susu dan hasil produksi susu,
seperti keju dan yoghurt (Almatsier, 2010).
Usia Asupan Ca (mg)
13-15 tahun 1200
16-18 tahun 1100
Rata-rata 1150
Sumber: Kemenkes (2014)
28
3) Asupan Magnesium (Mg)
Magnesium atau Mg adalah kation nomor dua paling
banyak setelah natrium di dalam cairan interselular dan banyak
terlibat pada berbagai proses metabolisme (Almatsier, 2010).
Magnesium memegang peranan penting dalam > 300 jenis sistem
enzim di dalam tubuh, karena magnesium bertindak di dalam
semua sel jaringan lunak sebagai katalisator, termasuk
metabolisme zat gizi makro (Almatsier, 2010). Sehingga
magnesium sangat penting baik tubuh, seperti mengendorkan otot,
melemaskan saraf, dan mencegah kerusakan gigi (Almatsier,
2010).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui
bahwa magnesium berhubungan dengan kejadian PMS, sebab
magnesium berperan dalam meringankan dan menekan resiko
terjadinya PMS (Nurmalasari dkk., 2013). Di samping itu,
berdasarkan hasil literature review, didapatkan juga bahwa
dengan mengonsumsi 400-800 mg/hari magnesium dapat
mencegah dan menurunkan risiko terjadinya PMS (Lustyk dan
Gerrish, 2010). Magnesium juga memiliki keterkaitan dengan
hormon. Karena pada dasarnya hormon estrogen
mempengaruhi metabolisme magnesium (Thys-Jacobs, 2000).
Magnesium juga berfungsi dalam membantu relaksasi otot,
transmisi sinyal syaraf, mengurangi migren, dan sebagai
29
penenang ilmiah yang dibutuhkan oleh perempuan saat
mengalami PMS (Lustyk dan Gerrish, 2010).
Berikut merupakan angka kecukupan magnesium untuk
perempuan usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun menurut AKG
2013 (Kemenkes, 2014):
Tabel 2.3 Angka Kecukupan Magnesium (Mg) Perempuan
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2013
Untuk memenuhi asupan magnesium di atas,
dibutuhkan bahan makanan yang memiliki kandungan
magnesium tinggi. Bahan makanan tersebut adalah sayuran
hijau, serealia tumbuk,biji-bijian, dan kacang-kacangan
(Almatsier, 2010).
4) Metode Pengukuran Asupan Zat Mikro
Dalam mengukur asupan zat mikro digunakan food
recall 3x24 jam., sebab food recall yang dilakukan selama 3
hari dapat melihat kebiasaan asupan zat gizi seseorang
(Gibson, 2005). Dalam metode food Recall, responden
diwawancarai oleh enumerator yang telah terlatih dalam
melakukan wawancara terhadap jenis dan jumlah makanan
yang dikonsumsi responden selama 24 jam yang lalu (Gibson,
Usia Asupan Mg (mg)
13-15 tahun 220
16-18 tahun 310
Rata-rata 265
Sumber: Kemenkes (2014)
30
2005). Untuk meningkatkan keakuratan hasil dari food recall
ini, berikut beberapa hal yang dapat dilakukan (Gibson, 2005):
a) Memberikan pelatihan kepada enumerator terkait estimasi
ukuran porsi sebelum recall dilakukan
b) Menyediakan alat makan, seperti mangkuk, piring dan
gelas untuk membantu responden membayangkan jumlah
makanan yang dikonsumsi
c) Menimbang ukuran porsi dari makanan yang dikonsumsi
oleh responden.
Kemudian untuk memvalidasi food recall, digunakan
food record 3x24 jam. Dalam penggunaan food record,
responden melakukan pencatatan sendiri terhadap jenis dan
jumlah makanan yang dikonsumsinya selama periode yang
ditentukan (Gibson, 2005).
c. Pola Tidur
Tidur merupakan keadaan hilangnya kesadaran secara
normal dan periodik (Lanywati, 2008). Dengan tidur, maka akan
dapat diperoleh kesempatan untuk beristirahat dan memulihkan
kondisi tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis (Lanywati,
2008). Hal ini dikarenakan pusat saraf tidur yang terletak di otak
akan mengatur fisiologis tidur yang sangat penting bagi kesehatan
(Lanywati, 2008).
31
Tidur tidur merupakan salah satu faktor yang memiliki
keterkaitan dengan PMS. Dimana pola tidur yang baik (tidur tanpa
gangguan) ternyata dapat memperingan gejala PMS. Hal ini
dikarenakan baik dan buruknya pola tidur akan mempengaruhi
sekresi berbagai hormon yang ada di dalam tubuh (Shechter dan
Boivin, 2010). Di samping itu menurut Baker, dkk (2007),
meskipun pola tidur yang buruk merupakan salah satu gejala dari
PMS yang parah, namun berdasarkan hasil penelitiannya diketahui
bahwa pola tidur yang buruk akan meningkatkan keparahan dari
gejala PMS yang dirasakan (Baker dkk., 2007).
Menurut penelitian yang dilakukan di Surabaya, diketahui
bahwa prevalensi kejadian insomnia pada wanita yang sedang
mengalami sindroma pramenstruasi lebih tinggi, yaitu sebesar
66,67% dari jumlah responden yang mengalami insomnia (Hapsari,
2010). Kemudian, dari hasil analisis data yang dilakukan ditarik
kesimpulan bahwa ada perbedaan insomnia antara wanita yang
mengalami sindroma pramenstruasi dan wanita yang tidak
mengalami sindroma pramenstruasi. Di samping itu, penelitian
yang serupa dengan menggunakan kuesioner PSQI, menemukan
bahwa PMS memiliki hubungan dengan buruknya kualitas tidur
(Cheng dkk., 2013, Karaman dkk., 2012).
d. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh adanya
keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah
32
yang dibutuhkan (required) oleh tubuh untuk berbagai fungsi
biologis, seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas atau
produktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya (Depkes,
2006). Status gizi ini memiliki peranan yang cukup penting pada
tingkat keparahan kejadian PMS. Hal ini dikarenakan seseorang
yang mengalami kegemukan atau obesitas dapat meningkatkan
risiko terjadinya peradangan (inflamasi) yang berujung pada
meningkatnya risiko mengalami gejala PMS (Bussell, 2014).
Berdasarkan sebuah penelitian, ditemukan bahwa obesitas
memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kejadian PMS
(Masho dkk., 2005). Sependapat dengan penelitian tersebut,
penelitian lainnya juga mendapatkan bahwa teradapat hubungan
yang kuat antara IMT pada awal dan risiko kejadian PMS, dengan
setiap kenaikan 1 kg / m2 pada IMT , yang dikaitkan dengan
peningkatan yang signifikan terhadap risiko PMS sebesar 3%
(Johnson dkk., 2010). Sedangkan menurut Dickerson, dkk. (2003),
pada wanita obesitas terjadi peningkatan kadar serotonin, yang
berujung pada terjadinya gejala PMS.
Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian Aminah, dkk.
(2011) yang juga diketahui bahwa terdapat hubungan antara status
gizi menurut IMT dengan PMS, dimana siswi dengan status gizi
tidak normal (obesitas, overweight iatau under weight) memiliki
kemungkinan mengalami PMS 3,3 kali lebih besar dibandingkan
dengan siswi yang memiliki status gizi normal. Namun, ada juga
33
penelitian lain yang menemukan bahwa ternyata tidak ada
hubungan antara status gizi dengan kejadian PMS pada remaja
puteri (Munthe, 2013).
Pada remaja status gizi dilihat berdasarkan indeks massa
tubuh menurut umur (IMT/U) dengan 5 (lima) kategori, yaitu
(Kemenkes, 2011):
Tabel 2.4 Kategori Indeks Massa Tubuh Menurut Umur
Kategori Standar Deviasi
Sangat kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 1 SD
Gemuk > 1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas > 2 SD
6. Faktor Sosio-Demografi
Faktor sosio-demografi yang berhubungan dengan kejadian
PMS adalah umur (Saryono dan Sejati, 2009, Amjad dkk., 2014),
status perkawinan (Saryono dan Sejati, 2009, Amjad dkk., 2014),
pernah atau tidak melahirkan (Saryono dan Sejati, 2009), pendidikan
(Amjad dkk., 2014), pendapatan (Amjad dkk., 2014), usia menarche
(Amjad dkk., 2014), dan tempat tinggal (Amjad dkk., 2014). Berikut
penjelasan masing-masing faktor:
a. Umur
Umur menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan
kejadian PMS. Dimana PMS akan terjadi pada saat wanita berada
pada usia subur hingga saat wanita mengalami menoupause.
Sumber: Kemenkes (2014)
34
Karena pada saat menopause, ovarium akan berhenti memproduksi
hormon estrogen dan progesteron, sehingga siklus menstruasi
berhenti (North American Menopause Society, 2010). Menurut
Saryono dan Sejati (2009), seiring bertambahnya usia tingkat risiko
kejadian PMS akan semakin bertambah, terutama antara usia 35-40
tahun. Pernyataan tersebut juga didukung oleh pernyataan yang
dikemukakan oleh UMM (2013), yang menyatakan bahwa kejadian
PMS akan cenderung terjadi lebih parah pada wanita yang berada
di akhir 20-an dan di awal 40-an.
Hal ini juga diperkuat dengan sebuah penelitian yang
meneliti pada dua populasi, yaitu populasi wanita muda dan wanita
setengah baya, bahwa gejala PMS lebih sering ditemukan pada
wanita setengah baya (Brahmbhatt dkk., 2013). Meskipun hal ini
tidak dapat secara jelas dipaparkan penyebabnya, namun hal ini
mungkin dapat terjadi karena adanya konsumsi kontrasepsi
hormonal dan kurangnya aktifitas fisik pada rentang usia tersebut
(Brahmbahtt dkk., 2013).
Tetapi pernyataan di atas tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Amjad, dkk. (2014) yang menemukan terdapat
hubungan (P value < 0,05) antara usia wanita dengan PMS. Dari
hasil penelitiannya, ditemukan bahwa wanita dengan rentang usia
15-24 tahun lebih banyak (64,67%) menderita PMS dibandingkan
dengan wanita yang memiliki rentang usia 25-34 tahun (22,75%)
35
dan 35-45 tahun (12,57%). Namun terkait hal ini belum dapat
dijelaskan secara pasti.
b. Status perkawinan
Saryono dan Sejati (2009) menjelaskan bahwa status
perkawinan juga dapat meningkatkan risiko kejadian PMS.
Menurutnya, wanita dengan kesulitan untuk menikah akan
memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kejadian PMS. Hal ini
sangat erat kaitannya dengan masalah psikologis yang dialami pada
wanita tersebut.
Sejalan dengan Saryono dan Sejati (2009), hasil penelitian
Amjad, dkk. (2014) menemukan bahwa status perkawinan
memiliki hubungan (P value < 0,05) dengan kejadian PMS. Dari
hasil tersebut diketahui bahwa wanita yang belum menikah lebih
banyak yang mengalami PMS (59,88%) dibandingan dengan
wanita yang sudah menikah (39,52%) dan wanita yang sudah
menjanda (0,6%).
c. Pernah atau tidak melahirkan
Kejadian PMS akan semakin berat setelah melahirkan
beberapa anak, terutama bila pernah mengalami kehamilan dengan
komplikasi seperti toksima (pre-eklampsia) (Saryono, 2009).
d. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecepatan
seseorang secara intelektual dan emosional (Notoatmodjo, 2007).
Sejatinya pendidikan memiliki keterkaitan yang erat dengan
36
kejadian PMS. Dengan adanya tingkat pendidikan yang tinggi akan
sejalan dengan tingginya pengetahuan terhadap kesehatan,
khususnya dalam hal ini kejadian PMS, sehingga kejadian PMS
dapat disikapi dengan lebih baik (Dewi, 2010).
Hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang menemukan
bahwa sebanyak 52,6% responden yang memiliki pengetahuan
baik, memberikan sikap positif dalam menghadapi PMS,
sedangkan 92,9% responden yang memiliki pengetahuan kurang
baik, memberikan sikap negatif dalam menghadapi PMS (Dewi,
2010). Dari hasil penelitian tersebut juga didapatkan bahwa
terdapat hubungan (P value < 0,05) antar pengetahuan dengan
sikap remaja dalam menghadapi PMS.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Amjad, dkk. (2014)
menemukan bahwa terdapat hubungan (P value < 0,05) antara
pendidikan dengan PMS. Dimana hasil tersebut menunjukan
bahwa wanita dengan tingkat pendidikan yang tinggi, lebih banyak
mengalami PMS dibandingan wanita dengan tingkat pendidikan
yang rendah. Hal ini mungkin berhubungan dengan tingkat stres
yang dialami dari tuntutan urusan di bidang pendidikan (Amjad
dkk., 2014).
e. Pendapatan
Pendapatan memiliki hubungan yang tidak langsung
dengan kejadian PMS. Dimana besar kecilnya pendapatan dapat
mempengaruhi kepuasaan seseorang terhadap hidup (Lustyk dan
37
Gerrish, 2010). Sehingga, apabila seseorang memiliki pendapatan
yang cukup, tentunya risiko seseorang mengalami stres akan
menurun. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan
oleh Amjad, dkk. (2014) yang menemukan bahwa terdapat
hubungan antara kejadian PMS dengan pendapatan seseorang.
f. Usia menarche
Menarche adalah kata lain dari menstruasi pertama, yang
biasanya di Indonesia terjadi pada usia ±12 tahun (Amaliah dkk.,
2012) atau 13 tahun (Kemenkes, 2010). Sedangkan kategori usia
menarche dibagi menjadi 3, yaitu (Bagga dan Kulkarni, 2000):
1) Cepat, jika usia menarche ≤11 tahun.
2) Normal, jika usia menarche 12-13 tahun.
3) Lambat, jika usia menarche >13 tahun
Usia menarche juga merupakan salah satu faktor yang
berhubungan dengan PMS. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Aminah, dkk. (2011) diketahui bahwa terdapat hubungan (P
value < 0,05) antara usia menarche siswi dengan PMS. Menurut
penelitian tersebut, siswi dengan usia menarche cepat (< 12 tahun)
berisiko 2,3 kali lebih besar untuk menderita PMS dibandingkan
dengan siswi yang mengalami menarche lebih lambat (Aminah
dkk., 2011). Hal ini sejalan dengan penelitian Amjad, dkk. (2014)
yang juga menemukan hal yang serupa.
Sebenarnya mekanisme antara usia menarche yang
dikaitkan dengan PMS masih belum jelas (Amjad dkk., 2014).
38
Namun ada kemungkinan bahwa proses pematangan dari sisi
fisiologi dan psikologis yang belum sepenuhnya sempurna pada
awal fungsi ovariumlah yang mungkin bertanggung jawab atas
hubungan tersebut (Aminah dkk., 2011, Amjad dkk., 2014).
Namun terdapat juga penelitian lain yang menemukan
bahwa tidak ditemukannya hubungan antara usia menarche dengan
gejala pra menstruasi dan gejala PMS (Padmavathi dkk., 2013,
Silvia dkk., 2008), meskipun terlihat bahwa tingkat prevalensi
gejala dan sindrom pramenstruasi lebih tinggi pada wanita usia
yang pada menarche kurang dari 11 tahun (Silvia dkk, 2008).
g. Tempat Tinggal
Tempat tinggal juga merupakan faktor yang berhubungan
dengan PMS. Tempat tinggal yang dimaksud adalah daerah rural
(pedesaan) dan urban (perkotaan) (Amjad dkk., 2014). Amjad, dkk.
(2014) menemukan bahwa terdapat hubungan (P value < 0,05)
antara tempat tinggal dan PMS. Dimana menurut hasil peneitian
tersebut, wanita yang tinggal di daerah perkotaan lebih banyak
(85,62%) yang mengalami PMS, dibandingankan dengan wanita
yang tinggal di daerah pedesaan (12,57). Hal ini sejalan dengan
penelitian lainnya, yang menemukan bahwa remaja putri yang
mengalami PMS lebih banyak ditemukan pada remaja putri yang
tinggal di kota (70,3%), dibandingkan dengan remaja putri yang
tinggal di desa (56,6%) (Emilia dkk., 2013, Ray dkk., 2010).
39
Kejadian PMS tersebut disebabkan karena adanya faktor
stres pada siswi, dimana siswi yang tinggal di kota lebih banyak
mengalami stres (Emilia dkk., 2013). Kehidupan yang penuh stres
akan mempengaruhi dan memperparah gejala-gejala fisik maupun
psikologis dari PMS (Emilia dkk., 2013).
E. Kerangka Teori
Saat ini penyebab dari sindrom pramenstruasi (PMS) belum
diketahui secara pasti. Namun terdapat beberapa literatur yang
menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbul
dan parahnya gejala PMS. Menurut Saryono (2009), terdapat empat faktor
umum yang menyebabkan PMS, yang meliputi, faktor genetik (riwayat
keluarga (Amjad dkk., 2014)), faktor psikologis (stres), faktor gaya hidup
(aktivitas fisik, asupan piridoksin, asupan kalsium, dan asupan
magnesium, dan aktivitas fisik), faktor hormonal (kadar estrogen dan
progestreron), dan faktor kimiawi (kadar serotonin dan endorfin).
Selanjutnya menurut Amjad, dkk. (2014), diketahui bahwa terdapat
faktor lain, yaitu sosio-demografi yang dapat menyebabkan PMS, seperti
umur, status perkawinan, pendidikan, pendapatan, usia menarche, dan
tempat tinggal. Faktor sosio-demografi ditambah lagi dengan faktor pernah
atau tidaknya melahirkan yang dikemukakan oleh Saryono dan Sejati
(2009).
40
Kemudian Shecter dan Boivin (2010), menyatakan bahwa pola
tidur dapat mempengaruhi sekresi hormon, yang berkaitan dengan
kejadian PMS. Sedangkan penelitian Masho (2005) menyatakan bahwa
status gizi yang dilihat dari indeks massa tubuh (IMT) juga dapat menjadi
salah faktor yang menyebabkan PMS.
Adapun kerangka teori dari kelima literatur tersebut dapat terlihat
pada bagan 2.1:
41
ba
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Sumber: 1. Saryono dan
Sejati (2009), 2. Masho, dkk
(2005), 3. Shecter dan
Boivini (2010), 4. Amjad,
dkk. (2014) Status gizi2
Faktor Genetik
Faktor Psikologis
Faktor Gaya Hidup
Aktifitas fisik1
Asupan piridoksin (B6)1
Pola tidur3
Asupan kalsium (Ca)1
Asupan magnesium (Mg)1
Stres1
Riwayat keluarga1,4
Faktor Hormonal
Peningkatan kadar hormon
estrogen1
Penurunan kadar hormon
progesteron1
Gejala sindrom
pramenstruasi
Faktor Kimiawi
Perubahan kadar serotonin1
Defisiensi endorfin1
Kejadian sindrom
pramenstruasi
Faktor Sosio-Demografi
Umur1,4
Status perkawinan1,4
Pernah/ tidak melahirkan1
Pendidikan4
Pendapatan4
Usia menarche4
Tempat tinggal4
Keterangan:
Perbedaan garis hanya
untuk memudahkan dalam
membaca.
42
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep
Pada penelitian ini terdapat dua variabel penelitian, yaitu variabel
dependen yang meliputi kejadian sindrom pramenstruasi (PMS) dan
variabel independen yang meliputi usia menarche, riwayat keluarga,
aktivitas fisik, asupan sumber piridoksin, asupan sumber kalsium, asupan
magnesium, pola tidur, dan status gizi.
Peneliti tidak meneliti semua faktor yang ada. Beberapa faktor
yang tidak diteliti adalah faktor karakteristik wanita (kecuali usia
menarche), faktor psikologis, dan faktor kimiawi. Faktor karakteristik
wanita yang meliputi umur, pendapatan, pendidikan, status perkawinan,
tempat tinggal, dan pernah atau tidaknya melahirkan tidak diteliti karena
apabila faktor ini diteliti kemungkinan akan terjadinya kehomogenan data.
Hal ini disebabkan objek penelitian ini adalah anak sekolah yang secara
umum memiliki karakteristik yang sama. Kemudian faktor lainnya yang
tidak diteliti meliputi faktor psikologis, faktor hormonal, dan kimiawi
karena sudah banyak penelitian yang meneliti ketiga hal tersebut dan
mendapatkan hasil yang sama, yaitu memiliki hubungan dengan kejadian
PMS.
43
Sedangkan variabel independen akan dijelaskan secara lebih rinci
di bawah ini:
1. Usia menarche memiliki hubungan dengan PMS karena dengan
terjadinya usia menarche yang cepat, perkembangan remaja putri dari
segi fisiologis dan psikologis belum maksimal, sehingga dapat
menyebabkan risiko lebih tinggi untuk mengalami gejala PMS.
2. Riwayat keluarga memiliki hubungan dengan PMS karena adanya gen
yang dapat membawa gejala PMS kepada keturunan. Sehingga apabila
ada seorang ibu yang mengalami PMS berat, dapat menurunkan PMS
tersebut kepada anak-anaknya.
3. Asupan zat mikro, khususnya piridoksin, kalsium, dan magnesium
dapat berhubungan dengan PMS karena ketiga zat tersebut merupakan
zat-zat yang dapat menurunkan keparahan dari PMS. Dimana
metabolisme ketiga zat tersebut berhubungan dengan kadar estrogen,
progesteron dan serotonin di dalam tubuh yang berhubungan langsung
dengan PMS.
4. Pola tidur dan aktivitas fisik memiliki hubungan dengan faktor kimia,
yaitu perubahan kadar serotonin di dalam tubuh. Kadar serotonin ini
merupakan faktor langsung yang dapat menyebabkan timbulnya gejala
PMS.
5. Status gizi juga berhubungan dengan PMS, khususnya bagi status gizi
lebih (overweight dan obesitas). Dimana seseorang dengan status gizi
lebih akan mengalami peningkatan jaringan adipositas yang dapat
44
menyebabkan inflamasi pada jaringan, termasuk jaringan pada organ
reproduksi.
Sehingga berdasarkan kerangka teori yang ada, maka peneliti
menyusun kerangka konsep yang terlihat pada bagan 3.1 berikut:
Variabel Independen Variabel Dependen
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Kejadian Sindrom
Pramenstruasi pada
Remaja
3. Aktivitas fisik
4. Asupan piridoksin (B6)
5. Asupan kalsium (Ca)
6. Asupan magnesium (Mg)
1. Usia menarche
7. Pola tidur
8. Status gizi
2. Riwayat keluarga
45
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Variabel Dependen
1. Kejadian
sindrom
pramenstruasi (PMS)
Kumpulan gejala fisik dan psikis yang
dialami oleh wanita pada 7 hari sebelum
menstruasi (keluarnya darah normal) dimulai, dalam siklus menstruasi terakhir.
Pengisian
kuesioner
Shortened
premenstrual
assessment form (sPAF)
(Allen dkk., 1991)
1. Tidak ada gejala hingga gejala ringan,
jika skor total < 30.
2. Gejala sedang hingga berat, jika skor total ≥ 30.
(Allen dkk., 2010, Anggrajani dan Muhdi, 2011, Lustyk dan Gerrish, 2010)
Ordinal
Variable Independen
1. Usia menarche Umur responden pada saat pertama kali
mendapatkan menstruasi (keluarnya darah
normal).
Pengisian kuesioner
Kuesioner usia menarche
1. Cepat, jika usia menarche ≤11 tahun.
2. Normal, jika usia menarche 12-13 tahun.
3. Lambat, jika usia menarche >13 tahun
(Bagga dan Kulkarni, 2000)
Ordinal
2, Riwayat keluarga
Ada atau tidaknya anggota keluarga (ibu
dan/atau saudara kandung perempuan) yang
memiliki riwayat mengalami PMS yang
sampai mengganggu aktivitas harian, yang
diketahui berdasarkan pengakuan ibu dan/atau saudara kandung perempuan.
Pengisian kuesioner
Kuesioner riwayat keluarga
1. Ada, jika terdapat anggota keluarga
yang memiliki riwayat mengalami PMS.
2. Tidak ada, jika tidak terdapat anggota
keluarga yang memiliki riwayat
mengalami PMS.
Nominal
3. Aktivitas fisik Setiap gerakan tubuh yang membutuhkan
pengeluaran energi (pembakaran kalori),
seperti duduk, berjalan, berlari, dsb.
Wawancara Recall aktivitas
fisik 2x24 jam
WHO (1985)
modifikasi WNPG VIII (2004)
1. Ringan, jika 75% dari waktu yang
digunakan adalah untuk duduk atau
berdiri dan 25% untuk kegiatan kerja
khusus dalam bidang pekerjaannya.
2. Sedang jika 40% dari waktu yang
digunakan adalah untuk duduk dan berdiri dan 60% untuk kegiatan kerja
Ordinal
46
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
khusus dalam bidang pekerjaannya.
3. Berat, jika 25% dari waktu yang
digunakan adalah untuk duduk dan
berdiri dan 75% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang pekerjaannya.
(Dinkes, 2014)
4. Asupan
magnesium (Mg)
Rata-rata magnesium yang biasa
dikonsumsi oleh responden dalam sehari.
Wawancara
dan pengisian kuesioner
Food recall 24 jam
3x dan Food Record 24 jam 3x
1. Kurang, jika < 80% AKG (< 212 mg)
2. Cukup, jika ≥ 80% AKG (≥ 212 mg)
(Kemenkes, 2010)
Ordinal
5. Asupan kalsium (Ca)
Rata-rata kalsium yang biasa dikonsumsi oleh responden dalam sehari.
Wawancara
dan pengisian kuesioner
Food recall 24 jam
3x dan Food Record 24 jam 3x
1. Kurang, jika < 80% AKG ( <1150 mg) 2. Cukup, jika ≥ 80% AKG (≥ 1150 mg)
(Kemenkes, 2010)
Ordinal
6. Asupan piridoksin (B6)
Rata-rata piridoksin yang biasa dikonsumsi oleh responden dalam sehari.
Wawancara
dan pengisian kuesioner
Food recall 24 jam
3x dan Food Record 24 jam 3x
1. Kurang, jika < 80% AKG (< 1 mg) 2. Cukup, jika ≥ 80% AKG (≥ 1 mg)
(Kemenkes, 2010)
Ordinal
7. Pola tidur Kebiasaan tidur yang biasa dilakukan oleh
responden selama satu bulan terakhir, yang
dinilai berdasarkan tujuh komponen utama
yaitu kualitas tidur, latensi tidur (kesulitan
memulai tidur), durasi tidur, efisiensi tidur,
gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan
gangguan aktivitas di siang hari
Pengisian kuesioner
Pittsburgh Sleep
Quality Index
(PSQI)
(Buysse dkk., 1989)
1. Baik, jika skor PSQI ≤ 5
2. Buruk, jika skor PSQI > 5
(Buysse dkk., 1989)
Ordinal
8. Status gizi Keadaan tubuh sebagai akibat dari
konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat
gizi yang diukur dengan indeks
antropometri IMT/U dan disesuaikan
dengan standar z-score berdasarkan
Kepmenkes RI No: 1995/MENKES/SK/
XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.
Pengukuran antropometri
Timbangan berat
badan dan microtoise
1. Sangat kurus, jika IMT/U < -3 SD
2. Kurus, jika IMT/U -3 SD s/d < -2 SD
3. Normal, jika IMT/U -2 SD s/d 1 SD
4. Gemuk, jika IMT/U > 1 SD s/d 2 SD
5. Obesitas, jika IMT/U > 2 SD
(Kemenkes, 2011)
Ordinal
47
C. Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian sindrom
pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.
2. Ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian sindrom
pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.
3. Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian sindrom
pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.
4. Ada hubungan antara asupan piridoksin (B6) dengan kejadian sindrom
pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.
5. Ada hubungan antara asupan kalsium (Ca) dengan kejadian sindrom
pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.
6. Ada hubungan antara asupan magnesium (Mg) dengan kejadian
sindrom pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.
7. Ada hubungan antara pola tidur dengan kejadian sindrom
pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.
8. Ada hubungan antara status gizi dengan kejadian sindrom
pramenstruasi pada siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015.
48
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan
desain studi cross-sectional. Studi ini dilakukan untuk melihat gambaran
dan hubungan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan sindrom
pramenstruasi (PMS).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA 112 Jakarta. Waktu pelaksanaan
penelitian ini dilaksanakan pada November 2014 sampai Juni 2015.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Berikut merupakan kriteria populasi pada penelitian ini, antara
lain:
a. Populasi target adalah seluruh siswi di SMA 112 Jakarta yang telah
mengalami menstruasi sebanyak 445 orang.
49
b. Populasi terjangkau adalah siswi kelas X dan XI di SMA 112
Jakarta yang telah mengalami menstruasi sebanyak 295 orang.
2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah bagian dari populasi terjangkau,
yang meliputi siswi kelas X dan XI di SMA 112 Jakarta.
a. Besar Sampel
Besar sampel ditentukan dengan rumus uji beda dua
proporsi untuk two tail. Hal ini dikarenakan penelitian ini ingin
menguji hipotesis yang memiliki sifat two tail, yaitu ingin melihat
adanya atau tidaknya hubungan antara variabel dependen dan
variabel independen. Berikut perhitungan besar sampel
berdasarkan rumus, yaitu:
{ ⁄ √ ( ) √ ( ) ( )}
( )
Keterangan:
n = Besar sampel minimum
Z1-α/2 = 1,96 (derajat kemaknaan 95% CI dengan α = 5%)
Z1-β = 0,84 (kekuatan uji pada 1-β = 80%)
P1 = 74,5 % = 0,583 (proporsi kejadian sindrom
pramenstruasi pada remaja putri yang memiliki pola tidur
baik (Kusumawarddhani, dkk., 2014).
P2 = 61,9 % = 0,399 (proporsi kejadian sindrom
pramenstruasi pada remaja putri yang memiliki pola tidur
buruk (Kusumawarddhani, dkk., 2014).
P = (P1 P2)
2= 0,682
50
Tabel 4.1 Besar Sampel Minimal Menurut Variabel yang
Diteliti Berdasarkan Hasil Penelitian Sebelumnya
Variabel Kejadian PMS Ʃ
Sampel P1 P2
Usia menarche (Aminah dkk., 2011) 0,198 0,471 46
Status gizi (Aminah dkk., 2011) 0,562 0,172 23
Riwayat keluarga (Abdillah, 2010) 0,882 0,434 17
Asupan magnesium (Mg)
(Nurmalasari, 2013)
0,758 0,468 44
Asupan kalsium (Ca) (Nurmalasari,
2013)
0,860 0,270 10
Asupan piridoksin (B6) (Pujihastuti,
2012)
0,100 0,000 9
Pola tidur (Kusumawardhani dkk.,
2014)
0,583 0,399 115
Aktivitas fisik (Sianipar, dkk., 2009) 0,670 0,330 44
Berdasarkan perhitungan besar sampel pada setiap variabel
dengan menggunakan nilai P1 dan P2 hasil penelitian sebelumnya
maka jumlah sampel minimal terbanyak yaitu 115 orang siswi.
Namun peneliti mempertimbangkan faktor non respon sebesar
10%, sehingga jumlah sampel menjadi 11,5 = , dan
dibulatkan menjadi 127 orang.
b. Teknik Pengambilan Sampel
Pada penelitian ini, sampel diambil dengan teknik simple
random sampling (SRS), yaitu suatu metode pengambilan sampel
yang didasarkan bahwa setiap anggota atau unit pada populasi
memiliki kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel
(Groves dkk., 2009). SRS ini dapat dilaksanakan hanya jika
populasi tidak begitu banyak variasinya dan secara geografis tidak
terlalu menyebar, di samping itu harus tersedianya daftar populasi
51
(sampling frame) (Hastono dan Sabri, 2008). Dalam penelitian ini,
SRS dilakukan dengan melakukan pengundian nama siswi yang
sebelumnya didapatkan dari absen (frame sampling) yang
diberikan oleh pihak sekolah.
D. Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Sumber Data
Jenis sumber data yang dikumpulkan pada penelitian ini,
adalah data primer. Data primer tersebut digunakan untuk seluruh data
variabel penelitian, yang terdiri dari variabel dependen (kejadian PMS)
dan variabel independen (usia menarche, riwayat keluarga, aktivitas
fisik, asupan piridoksin, asupan kalsium, asupan Magnesium, pola
tidur, dan status gizi).
2. Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan dengan bantuan instumen
penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner, yang digunakan untuk mengumpulkan seluruh data variabel
yang diteliti, kecuali variabel status gizi yang didapatkan dengan
pengukuran antropometri.
Terdapat dua jenis kuesioner yang digunakan dalam penelitian
ini, yaitu jenis kuesioner dengan pertanyaan yang bersifat tertutup
(variabel kejadian PMS, usia menarche, riwayat keluarga dan pola
tidur) dan jenis kuesioner dengan pertanyaan yang bersifat terbuka
52
(variabel asupan zat gizi mikro dan aktvitas fisik). Pertanyaan yang
bersifat tertutup maksudnya adalah pertanyaan yang sudah memiliki
pilihan jawaban tersendiri, sehingga mempunyai keuntungan mudah
dalam mengarahkan jawaban responden (Notoatmodjo, 2010).
Sedangkan untuk kuesioner yang bersifat terbuka adalah pertanyaan
yang belum memiliki jawaban. Dalam penelitian ini, penggunaan
kuesioner terbuka recall akan dilakukan dengan cara wawancara oleh
peneliti.
3. Instrumen Pengumpulan Data
a. Sindrom pramenstruasi (PMS)
Data sindom pramenstruasi (PMS) diperoleh dari hasil
pengisian shortened premenstrual assessment form (sPAF) oleh
responden. Kuesioner ini merupakan ringkasan dari premenstrual
assessment form (PAF) yang terdiri dari 95 pertanyaan(Allen dkk.,
1991). SPAF merupakan kuesioner yang sudah dibakukan, bersifat
tetap, dan sudah teruji validitas dan reabilitasnya (Allen, dkk.,
1991). Dimana berdasarkan penelitian yang dilakukan di Korea,
diketahui bahwa keandalan dari kuesioner ini adalah 0,80,
konsistensi internal (Cronbach alpha) adalah 0,91, dan korelasi
antara coeffeciecy score adalah 0,92 (Lee dkk., 2002). Di samping
itu instrumen ini juga sudah banyak digunakan oleh berbagai
penelitian PMS di luar maupun di dalam negeri dan masih
dipergunakan hingga sekarang.
53
Kuesioner ini berisi 10 (sepuluh) pertanyaan terkait gejala
PMS yang diderita responden, yang terdiri atas tiga sub skala (nyeri
(pertanyaan #1, #6, dan #8), emosi (pertanyaan #2 sampai #5) dan
retensi air (pertanyaan #7, #9, #10)), dengan setiap pertanyaan
memiliki bobot nilai 1-6 poin(1 = tidak mengalami, 2 = sangat
ringan, 3 = ringan, 4 = sedang, 5 = berat, dan 6 = ektrim)
tergantung jawaban yang dipilih oleh responden (Allen dkk., 1991).
Hasil dari kuesioner ini dikategorikan menjadi dua, yaitu: 1. Tidak
ada gejala hingga gejala ringan, jika skor total < 30; dan 2. Gejala
sedang hingga berat, jika jika skor total ≥ 30 (Allen dkk., 2010,
Anggrajani dan Muhdi, 2011, Lustyk dan Gerrish, 2010)
b. Usia menarche
Data usia menarche juga didapatkan dengan cara
menyebarkan kuesioner kepada responden dengan mengisi kolom
usia menarche pada kuesioner identitas diri. Hasil dari data ini
dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu: 1. Cepat, jika usia
menarche ≤11 tahun; 2. Normal, jika usia menarche 12-13 tahun;
dan 3. Lambat, jika usia menarche >13 tahun (Bagga dan Kulkarni,
2000).
c. Riwayat Keluarga
Data riwayat keluarga juga didapatkan dengan cara
menyebarkan kuesioner kepada responden. Kuesioner terdiri dari
tiga pertanyaan terkait ada atau tidaknya riwayat kejadian PMS
pada anggota keluarga. Hasil dari data ini dikelompokkan ke dalam
54
dua kategori, yaitu: 1. Ada, jika ada riwayat kejadian PMS dalam
keluarga; 2. Tidak, jika tidak ada riwayat kejadian PMS dalam
keluarga.
d. Aktivitas Fisik
Data aktivitas fisik didapatkan dengan cara melakukan
penyebaran recall aktivitas fisik 2x24 jam WHO (1985) modifikasi
WNPG VIII (2004) kepada responden. Kuesioner ini merupakan
kuesioner dengan pertanyaan terbuka, dimana peneliti melakukan
wawancara kepada responden untuk mengisi kuesioner ini sesuai
dengan aktivitas yang dilakukannya selama 24 jam sebelumnya.
Kemudian peneliti akan menghitung persentase kegiatan yang
dilakukan oleh responden (cara hitung terdapat pada lampiran 3).
Hasil ukur dari variabel ini dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu: 1. Ringan, jika 75% dari waktu yang digunakan adalah untuk
duduk atau berdiri dan 25% untuk kegiatan kerja khusus dalam
bidang pekerjaannya; 2. Sedang jika 40% dari waktu yang
digunakan adalah untuk duduk dan berdiri dan 60% untuk kegiatan
kerja khusus dalam bidang pekerjaannya; 3. Berat, jika 25% dari
waktu yang digunakan adalah untuk duduk dan berdiri dan 75%
untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang pekerjaannya (Dinkes,
2014).
55
e. Asupan Zat Mikro (Piridoksin, Kalsium, dan Magnesium)
Data untuk variabel asupan zat mikro didapatkan dari
pengisian kuesioner food record 24 jam selama tiga hari oleh
responden dan food recall 24 jam selama tiga hari oleh peneliti.
Dalam penggunaannya, setelah kuesioner tersebut diisi, kemudian
peneliti melakukan input data bahan makanan yang dikonsumsi
responden ke dalam software khusus untuk menghitung asupan zat
gizi. Kemudian software tersebut akan menghasilkan zat-zat gizi
total dari makanan yang dikonsumsi oleh responden. Hasil ukur
dari variabel ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1. Kurang, jika
<80% AKG; 2. Cukup, jika ≥80% AKG (Kemenkes, 2010).
f. Pola Tidur
Data pola tidur didapatkan dari kuesioner Pittsburgh Sleep
Quality Index (PSQI) yang secara subjektif diisi oleh responden
dengan penilaian terhadap 7 komponen utama yaitu latensi, durasi,
kualitas, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan
gangguan aktivitas di siang hari (Buysse dkk., 1989). Kuesioner
PSQI merupakan kuesioner yang sudah dibakukan, bersifat tetap,
dan sudah teruji menghasilkan sensitivitas diagnostik 89,6% dan
spesifisitas 86,5% (kappa = 0,75, p kurang dari 0,001) dalam
membedakan yang pola tidur baik dan yang buruk (Buysse dkk.,
1989). Di samping itu validitas instrumen PSQI juga sudah teruji,
yaitu sebesar 0,89 (Cunha dkk., 2008) dan 0,84 (Fauziah, 2013),
56
sedangkan reliabilitasnya sebesar 0,88 (Cueller dan Ratcliffe, 2008)
dan 0,766 (Agustin, 2012).
Kuesioner ini berisi sembilan pertanyaan utama tentang
kuantitas dan kualitas tidur responden. Cara perhitungan untuk
kuesioner ini dijelaskan pada lampiran 2. Sedangkan hasil ukur
variabel aktivitas ini dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: 1.
Baik, jika skor PSQI ≤ 5; 2. Buruk, jika skor PSQI > 5 (Buysse,
dkk., 1989).
g. Status Gizi
Data untuk variabel status gizi dilihat dari indeks IMT/U.
Data ini didapatkan dari pengukuran antropometri, yang dilakukan
dengan penimbangan berat badan (dalam kg) menggunakan
timbangan (ketelitian 0.1 kg) dan pengukuran tinggi badan (dalam
cm) menggunakan microtoise (ketelitian 0.1 cm).
Dalam melakukan penimbangan berat badan, responden
diukur tanpa menggunakan alas kaki. sweater, kaca mata, jam
tangan juga dilepaskan. Sedangkan dalam melakukan pengukuran
tinggi badan, responden berdiri tegak dengan posisi membelakangi
dinding (kepala, tulang belikat, pinggul dan tumit menempel pada
dinding), microtoise harus berada tepat di tengah kepala serta arah
pandang responden harus tepat lurus ke depan.
57
Kemudian, hasil dari kedua pengukuran tersebut dihitung
dengan menggunakan rumus IMT dan dibandingkan dengan
standar Kemenkes (2011). Berikut rumus IMT:
Hasil dari pengukuran tersebut dikelompok menjadi 5
(lima) kategori berdasarkan Kemenkes (2011), yaitu: 1. Sangat
kurus, jika IMT/U < -3 SD; 2. Kurus, jika IMT/U -3 SD s/d < -2
SD; 3. Normal, jika IMT/U -2 SD s/d 1 SD; 4. Gemuk, jika IMT/U
> 1 SD s/d 2 SD; 5. Obesitas, jika IMT/U > 2 SD (Kemenkes,
2011).
E. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
1. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data merupakan tahapan yang dilakukan
sebelum data dianalisis. Terdapat empat langkah dalam teknik
pengolahan data, yaitu:
a. Editing
Editing adalah langkah dimana peneliti melakukan
pengecekan ulang terhadap kelengkapan pengisian jawaban pada
kuesioner yang telah diisi oleh responden pada setiap saat
kuesioner selesai diisi oleh responden. Apabila ada kuesioner yang
IMT = Berat badan (kg)
(Tinggi badan)² (m²)
58
tidak diisi dengan lengkap, maka peneliti akan mengembalikan
kuesioner dan meminta responden mengisi kuesioner kembali
dengan lengkap. Sehingga dapat dipastikan bahwa kuesioner diisi
dengan lengkap, dan tidak akan mempengaruhi analisis data dan
ke-valid-an hasil penelitian.
b. Coding
Coding adalah langkah pemberian kode pada setiap
pertanyaan dan jawaban pada kuesioner agar siap di-entry ke dalam
software statistik. Pada penelitian ini, coding di mulai dari angka 1
untuk setiap hasil ukur variabel, seperti yang telah disebutkan pada
definisi operasional dan pengumpulan data.
c. Entry
Entry atau pemasukan data adalah langkah dimana peneliti
memasukan data ke dalam software statistik agar siap dianalisis.
Pada tahap ini dilakukan editing atau pengecekan ulang kembali
terhadap setiap data yang telah dimasukan, untuk mencegah
terjadinya pengisian cell yang tidak lengkap.
d. Cleaning
Cleaning adalah langkah dimana peneliti melakukan
pengecekan ulang terakhir kalinya pada data yang sudah di-entry
untuk mencegah adanya error dan missing dalam menganalisis
data. Sehingga data yang sudah di-entry dapat dipastikan sudah
benar-benar lengkap sebelum dianalisis.
59
2. Analisis data
Terdapat dua analisis data yang digunakan pada penelitian ini,
yaitu analisis univariat dan bivariat. Dalam menganalisis keduanya
peneliti menggunakan program komputer, yaitu software uji statistik.
Berikut penjelasan masing-masing analisis data, antara lain:
a. Analisis Univariat
Analisis univariat adalah sebuah analisis yang bertujuan
untuk menjelaskan atau menggambarkan karakteristik (distribusi
frekuensi) setiap variabel penelitian, yang mencakup variabel
dependen (kejadian sndrom pramenstruasi (PMS)) dan variabel
independen (usia menarche, riwayat keluarga, aktivitas fisik,
asupan piridoksin, asupan kalsium, asupan magnesium, pola tidur,
dan status gizi). Analisis ini ditampilkan dalam bentuk persentase
yang disajikan dalam grafik dan tabel.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan dengan
menggunakan uji statistik untuk menguji hipotesis penelitian. Uji
statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah chi square test
karena variabel dependen dan independen yang ada dalam
penelitian ini bersifat kategorik. Ada pun rumus chi-square adalah
sebagai berikut:
X2 = Σ (O – E)
2
E
Df = (b-1) (k-1)
60
Keterangan:
X2 = Nilai chi-square
O = Nilai observasi (nilai yang diamati)
E = Nilai ekspektasi (nilai yang diharapkan)
b = Jumlah baris
k = Jumlah kolom
Namun dalam penggunaan uji tersebut perlu diperhatikan
syarat uji chi square, yaitu tidak boleh lebih dari 20% jumlah sel
(dalam tabulasi) yang mempunyai nilai harapan (expected count) <
5 (Dahlan, 2009). Apabila tidak memenuhi syarat tersebut, maka
hal yang harus dilakukan adalah dengan melakukan uji alternatif
chi-square, yaitu uji Fisher’s Exact Test (Dahlan, 2009).
Interpretasi hasil dari chi square adalah dengan melihat
pvalue. Jika pvalue > 0,05, maka keputusannya adalah Ho gagal
ditolak, artinya Ho diterima atau tidak ada hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen. Sebaliknya jika
pvalue < 0,05, maka keputusannya adalah Ho ditolak atau hipotesis
penelitian diterima, artinya ada hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen.
61
BAB V
HASIL
A. Gambaran Karakteristik Responden di SMA 112 Jakarta
SMA 112 Jakarta terletak di Jalan Sanggrahan No. 2 Meruya Utara
Kembangan Jakarta Barat. Jumlah seluruh siswa SMA 112 Jakarta
sebanyak 790 orang, dengan jumlah siswi sebanyak 445 orang. Sedangkan
jumlah kelas yang terdapat di SMA 112 Jakarta sebanyak 22 kelas, yang
terdiri dari kelas X sebanyak 8 kelas, kelas XI sebanyak 7 kelas, dan kelas
XII sebanyak 7 kelas. Namun pada penelitian ini, yang menjadi responden
penelitian hanya siswi kelas X (6 kelas) sampai dengan XI sebanyak (7
kelas).
Berdasarkan hasil sampling menggunakan teknik simple random
sampling, didapatkan sampel sebesar 127 orang, dengan distribusi
frekuensi karakteristik responden berdasarkan kelas sebesar 44,1% (56
orang) siswi kelas X dan 55,9% (71 orang) siswi kelas XI. Sedangkan
distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan umur sebagian
besar responden berusia 16 tahun, yakni sebesar 47,2% (60 orang), yang
diikuti dengan usia 15 tahun sebesar 27,6% (35 orang), usia 17 tahun
23,6% (30 orang), dan usia 14 tahun sebesar 1,6% (2 orang).
62
B. Analisis Univariat
1. Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi
SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Kejadian PMS dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi
dua kelompok, yaitu tidak ada gejala hingga ringan apabila skor total <
30 dan gejala sedang hingga berat apabila skor total ≥ 30. Kejadian
PMS pada siswi di SMA 112 Jakarta terlihat pada tabel 5.1 berikut.
Tabel 5.1 Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS)
pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Skor Kejadian PMS (poin)
Median 27
Nilai Minimum 11
Nilai Maksimum 49
Dari tabel di atas diketahui bahwa skor kejadian PMS memiliki
nilai tengah sebesar 27 poin. Nilai tengah digunakan karena hasil uji
normalitas menunjukkan data tidak normal. Arti dari nilai tengah pada
tabel 5.1 adalah umur pertengahan kejadian PMS pada siswi di SMA
112 Jakarta, berada pada kelompok tidak ada gejala hingga gejala
ringan. Kemudian bila dilihat dari nilai terendah sebesar 11 poin, dapat
diartikan bahwa tidak ada siswi yang tidak mengalami gejala PMS
(skor < 10).
Kemudian untuk lebih jelasnya, berikut ini distribusi frekuensi
responden berdasarkan kejadian PMS yang dapat dilihat pada grafik
5.1.
63
Grafik 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian
Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Dari grafik 5.1 dapat disimpulkan bahwa kejadian PMS gejala
sedang hingga berat sebesar 32,3% (41 orang). Adapun jenis gejala
yang dialami digambarkan pada tabel 5.2 berikut.
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis
Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS) yang Dialami pada Siswi
SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Jenis Gejala
PMS yang
Dialami
Tidak
mengalami
(skor 1)
%
Sangat ringan
hingga ringan
(skor 2-3)
%
Sedang
(skor 4)
%
Berat hingga
ekstrim
(skor 5-6)
%
Mudah
tersinggung
8,7 38,6 20,5 32,3
Nyeri perut 8,7 45,7 19,7 25,9
Sedih, tidak
bersemangat
10,2 44,1 23,6 22,1
Sakit panggul,
nyeri sendi
12,6 44,1 18,1 25,2
Kewalahan atas
persoalan
22,0 44,1 25,2 8,7
Nyeri payudara 26,0 50,4 21,3 10,3
Tertekan 26,8 39,4 16,5 17,3
Peningkatan
berat badan
37,8 39,4 18,9 3,9
Perut kembung 44,1 40,9 10,2 4,7
Adanya edema 85,8 12,6 1,6 0
67.7%
32.3%
Tidak ada gejala hingga ringan Gejala sedang hingga berat
64
Dari tabel 5.2 dapat diketahui bahwa gejala PMS yang paling
banyak dialami adalah mudah tersinggung dan nyeri perut, yang
keduanya memiliki persentase yang sama, yakni 91% (116 orang).
Sedangkan tiga gejala PMS yang paling berat dialami adalah mudah
tersinggung 32,3% (49 orang), nyeri perut 25,9% (33 orang), dan nyeri
panggul 25,2% (33 orang).
Kemudian untuk banyaknya gejala PMS yang dialami oleh
siswi dapat dilihat pada grafik 5.2 berikut.
Grafik 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jumlah
Gejala Sindrom Pramenstruasi (PMS) yang Dialami pada Siswi
SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Dari grafik 5.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar siswi
SMA 112 Jakarta mengalami gejala PMS > 5 gejala, yakni sebesar
86,6% (110 orang).
2. Gambaran Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015
Usia menarche pada penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu cepat, jika usia menarche ≤ 11 tahun; normal, jika usia menarche
12-13 tahun; dan lambat, jika usia menarche > 13 tahun. Hasil uji
13.4%
86.6%
≤ 5 gejala > 5 gejala
65
normalitas menunjukkan data tidak normal, sehingga nilai yang
digunakan adalah median. Berikut median usia menarche pada siswi di
SMA 112 Jakarta terlihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Gambaran Usia Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Usia Menarche (tahun)
Median 13
Nilai Minimum 10
Nilai Maksimum 16
Dari tabel 5.3 diketahui bahwa usia menarche memiliki nilai
tengah 13 tahun. Yang artinya usia pertengahan menarche pada siswi
SMA 112 Jakarta berada pada usia menarche normal.
Untuk lebih jelasnya, berikut grafik 5.3 yang menyajikan data
distribusi frekuensi responden berdasarkan usia menarche.
Grafik 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia
Menarche pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Grafik 5.3 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112
Jakarta mengalami menstruasi pertama di usia 12-13 tahun, yakni
sebesar 68% (86 orang).
13.4%
67.7%
18.9%
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
80.0%
Cepat Ideal Lambat
66
3. Gambaran Riwayat Keluarga pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015
Riwayat keluarga pada penelitian ini terbagi atas dua kategori,
yaitu ada riwayat keluarga dan tidak ada riwayat keluarga. Berikut
distribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat keluarga pada
siswi di SMA 112 Jakarta terlihat pada grafik 5.4.
Grafik 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat
Keluarga pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Grafik 5.4 menggambarkan bahwa sebagian besar siswi SMA
112 Jakarta, yakni 52% (66 orang) memiliki riwayat keluarga yang
mengalami sindrom pramenstruasi.
Ada pun untuk lebih jelasnya, di bawah ini grafik 5.5
menggambarkan distribusi frekuensi anggota keluarga yang memiliki
riwayat sindrom pramenstruasi:
52.0% 48.0%
Ada Tidak ada
67
Grafik 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Anggota
Keluarga yang Memiliki Riwayat Sindrom Pramenstruasi (PMS)
pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Grafik 5.5 menunjukan bahwa riwayat pada ibu lebih banyak
dimiliki oleh siswi SMA 112 Jakarta, yakni sebesar 37% (47 orang).
4. Gambaran Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015
Aktivitas fisik pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam tiga
kelompok, yakni ringan, sedang, dan berat. Berikut distribusi frekuensi
responden berdasarkan aktivitas fisik yang terlihat pada grafik 5.6.
Grafik 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Aktivitas
Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Grafik 5.6 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112
Jakarta memiliki aktivitas fisik ringan, yakni sebesar 75,6% (96
orang). Selanjutnya untuk memudahkan dalam melakukan uji statistik,
26% 37%
74% 63%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Riwayat saudara kandung Riwayat ibu
Ada Tidak ada
75.6%
24.4% 0% 0.0%
20.0%
40.0%
60.0%
80.0%
100.0%
Ringan Sedang Berat
68
peneliti menggabungkan kelompok aktivitas sedang dengan aktivitas
berat. Sehingga variabel aktivitas dikelompokkan kembali menjadi dua
kelompok, yakni aktivitas ringan dan aktivitas sedang.
5. Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Asupan piridoksin pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam
dua kelompok yakni kurang (< 80% AKG) dan cukup (≥ 80% AKG).
Hasil uji normalitas menunjukkan data tidak normal, sehingga nilai
yang digunakan adalah median. Berikut median asupan piridoksin
pada siswi di SMA 112 Jakarta terlihat pada tabel 5.4 berikut.
Tabel 5.4 Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
Asupan B6 (mg)
Median 0,7
Nilai Minimum 0,2
Nilai Maksimum 1,8
Dari tabel 5.3 diketahui bahwa nilai tengah asupan piridoksin
adalah 0,7 mg, yang berarti nilai pertengahan asupan piridoksin siswi
SMA 112 Jakarta berada pada asupan yang kurang (< 1 mg).
Untuk lebih jelasnya, berikut distribusi frekuensi responden
berdasarkan asupan piridoksin yang terlihat pada grafik 5.7.
69
Grafik 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asupan
Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Grafik 5.7 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112
Jakarta yang memiliki asupan piridoksin kurang, yakni sebesar 68,5%
(87 orang).
6. Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Asupan kalsium pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam
dua kelompok, yakni kurang (< 80% AKG) dan cukup (≥ 80% AKG).
Hasil uji normalitas menunjukkan data tidak normal, sehingga nilai
yang digunakan adalah median. Berikut median asupan kalsium pada
siswi SMA 112 Jakarta terlihat pada tabel 5.5 berikut.
Tabel 5.5 Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
Asupan Ca (mg)
Median 297
Nilai Minimum 38
Nilai Maksimum 1198
68.5%
31.5%
Kurang Cukup
70
Dari tabel 5.5 diketahui bahwa nilai tengah asupan kalsium
sebesar 297 mg, yang artinya nilai pertengahan asupan kalsium pada
siswi SMA 112 Jakarta berada pada asupan kurang (< 920 mg).
Untuk lebih jelasnya, berikut ditribusi frekuensi responden
berdasarkan asupan kalsium yang terlihat pada grafik 5.8.
Grafik 5.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asupan
Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Grafik 5.8 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112
Jakarta memiliki asupan kalsium kurang, yakni sebesar 82,7% (105
orang).
7. Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Asupan magnesium pada penelitian ini dikelompokkan ke
dalam dua kelompok, yakni kurang (< 80% AKG) dan cukup (≥ 80%
AKG). Hasil uji normalitas menunjukkan data tidak normal, sehingga
nilai yang digunakan adalah median. Berikut median asupan
magnesium pada siswi SMA 112 Jakarta terlihat pada tabel 5.6 berikut.
83%
17%
Kurang Cukup
71
Tabel 5.6 Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA
112 Jakarta Tahun 2015
Asupan Mg (mg)
Median 146
Nilai Minimum 44
Nilai Maksimum 426
Dari tabel 5.6 diketahui bahwa nilai tengah asupan magnesium
sebesar 146 mg, yang artinya nilai pertengahan asupan kalsium siswi
SMA 112 Jakarta berada pada asupan kurang (< 212 mg)
Untuk lebih jelasnya, berikut ditribusi frekuensi responden
berdasarkan asupan magnesium yang terlihat pada grafik 5.9.
Grafik 5.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asupan
Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015)
Grafik 5.9 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112
Jakarta memiliki asupan magnesium kurang, yakni sebesar 81,1% (103
orang).
8. Gambaran Pola Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Pola tidur pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam dua
kelompok yakni baik, jika skor PSQI ≤ 5; dan buruk, jika skor PSQI >
81.1%
19.0%
Kurang Cukup
72
5. Hasil uji normalitas menunjukkan data tidak normal, sehingga nilai
yang digunakan adalah median. Berikut median skor pola tidur pada
siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015 terlihat pada tabel 5.7 berikut:
Tabel 5.7 Gambaran Pola Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Skor Pola Tidur (poin)
Median 7
Nilai Minimum 1
Nilai Maksimum 17
Dari tabel 5.7 diketahui bahwa nilai tengah skor pola tidur
sebesar 7, yang artinya nilai pertengahan pola tidur pada siswi SMA
112 Jakarta berada pada pola tidur buruk.
Untuk lebih jelasnya, berikut distribusi frekuensi responden
berdasarkan pola tidur yang terlihat pada grafik 5.10.
Grafik 5.10 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pola
Tidur pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Grafik 5.10 menunjukan bahwa sebagian besar siswi SMA 112
Jakarta memiliki pola tidur yang buruk, yakni sebesar 65,4% (83
orang).
34.6%
65.4%
Baik Buruk
73
9. Gambaran Status Gizi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Status gizi dalam penelitian ini dikelompokkan ke dalam lima
kelompok, yakni sangat kurus dengan ambang batas <-3 SD, kurus
dengan ambang batas -3 SD sampai dengan <-2 SD, normal dengan
ambang batas -2 SD sampai dengan 1 SD, gemuk dengan ambang
batas > 1 SD sampai dengan 2 SD, dan obesitas dengan ambang batas
> 2 SD. Berikut grafik 5.11 yang menyajikan data distribusi frekuensi
responden berdasarkan status gizi.
Grafik 5.11 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status
Gizi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Dari grafik 5.11 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswi
SMA 112 Jakarta memiliki status gizi normal, yakni sebesar 81.1%
(103 orang). Kemudian diketahui juga bahwa tidak ada siswi yang
memiliki status gizi sangat kurus dan obesitas, sehingga peneliti
mengelompokan kembali status gizi tersebut ke dalam tiga kelompok
menjadi kurus, normal, dan gemuk.
0.0% 7.1%
81.1%
11.8% 0.0% 0.0%
20.0%
40.0%
60.0%
80.0%
100.0%
Sangat
kurus
Kurus Normal Gemuk Obesitas
74
C. Analisis Bivariat
1. Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square
antara usia menarche dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112
Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.8.
Tabel 5.8 Analisis Hubungan antara Usia Menarche dengan
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
Usia
menarche
Kejadian PMS Total P
value Tidak ada gejala
hingga ringan
Gejala sedang
hingga berat
n % n % n %
Cepat
(<12 tahun)
9 52,9 8 47,1 17 100 0,315
Normal
(12-13
tahun)
59 68,6 27 31,4 86 100
Lambat
(>13 tahun)
18 75,0 6 25,0 24 100
Berdasarkan tabel 5.8 diketahui bahwa dari hasil uji chi square
didapatkan nilai pvalue = 0,315, artinya pada ɑ = 5% dapat
disimpulkan hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada hubungan
antara usia menarche dengan kejadian PMS.
2. Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square
antara riwayat keluarga dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112
Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.9.
75
Tabel 5.9 Analisis Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
Riwayat
Keluarga
Kejadian PMS Total P
value Tidak ada gejala
hingga ringan
Gejala sedang
hingga berat
n % n % n %
Ada 36 54,5 30 45,5 66 100 0,001
Tidak ada 50 82,0 11 18,0 61 100
Tabel 5.9 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square
didapatkan nilai pvalue = 0,001, artinya pada ɑ = 5% dapat
disimpulkan bahwa Ho ditolak atau ada hubungan antara riwayat
keluarga dengan kejadian PMS.
3. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square
antara aktivitas fisik dengan kejadian sindrom pramenstruasi pada
siswi SMA 112 Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.10.
Tabel 5.10 Analisis Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
Aktivitas
fisik
Kejadian PMS Total P
value Tidak ada gejala
hingga ringan
Gejala sedang
hingga berat
n % n % n %
Ringan 63 65,6 33 34,4 96 100 0,375
Sedang 23 74,2 8 25,8 31 100
Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa dari hasil uji chi
square didapatkan nilai pvalue = 0,375 artinya pada ɑ = 5% dapat
76
disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada
hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian PMS.
4. Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian
Sindrom Pramenstruasi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square
antara asupan piridoksin dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112
Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.11.
Tabel 5.11 Analisis Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6)
dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA
112 Jakarta Tahun 2015
Asupan
Piridoksin
Kejadian PMS Total P
value Tidak ada gejala
hingga ringan
Gejala sedang
hingga berat
n % n % n %
Kurang 56 64,4 31 35,6 87 100 0,234
Cukup 30 75,0 10 25,0 40 100
Tabel 5.11 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square
didapatkan nilai pvalue = 0,234 artinya pada ɑ = 5% dapat
disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada
hubungan antara asupan piridoksin dengan kejadian PMS.
5. Hubungan antara Asupan Kalsium (Ca) dengan Kejadian
Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square
antara asupan kalsium dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112
Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.12 berikut.
77
Tabel 5.12 Analisis Hubungan antara Kalsium (Ca) dengan
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
Asupan
Kalsium
Kejadian PMS Total P
value Tidak ada gejala
hingga ringan
Gejala sedang
hingga berat
n % n % n %
Kurang 66 62,9 39 37,1 105 100 0,011
Cukup 20 90,9 2 9,1 22 100
Tabel 5.12 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square
didapatkan nilai pvalue = 0,011 artinya pada ɑ = 5% dapat
disimpulkan bahwa Ho ditolak atau ada hubungan antara asupan
kalsium dengan kejadian PMS.
6. Hubungan antara Asupan Magnesium (Mg) dengan Kejadian
Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square
antara asupan magnesium dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112
Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.13 berikut.
Tabel 5.13 Analisis Hubungan antara Magnesium (Mg) dengan
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
Asupan
Magnesium
Kejadian PMS Total P
value Tidak ada gejala
hingga ringan
Gejala sedang
hingga berat
n % n % n %
Kurang 67 65,0 36 35,0 103 100 0,183
Cukup 19 79,2 5 20,8 24 100
Tabel 5.13 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square
didapatkan nilai pvalue = 0,183 artinya pada ɑ = 5% dapat
disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada
78
hubungan yang signifikan antara asupan magnesium dengan kejadian
PMS.
7. Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square
antara pola tidur dengan kejadian sindrom pramenstruasi pada siswi
SMA 112 Jakarta tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.14 berikut.
Tabel 5.14 Analisis Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian
Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Pola Tidur Kejadian PMS Total P
value Tidak ada gejala
hingga ringan
Gejala sedang
hingga berat
n % n % n %
Baik 36 81,8 8 18,2 44 100 0,013
Buruk 50 60,2 33 39,8 83 100
Tabel 5.14 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square
didapatkan nilai pvalue = 0,013 artinya pada ɑ = 5% dapat
disimpulkan bahwa Ho ditolak atau ada hubungan yang signifikan
antara pola tidur dengan kejadian PMS.
Untuk itu peneliti mencoba analisis lebih lanjut untuk
mengetahui komponen dari pola tidur yang berhubungan dengan PMS.
Berikut Tabel 5.15 yang menunjukan hubungan pada setiap komponen.
79
Tabel 5.15 Analisis Hubungan antara Komponen Pola Tidur dengan
Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112
Jakarta Tahun 2015
Komponen Pola Tidur Pvalue
Durasi tidur 0,715
Gangguan tidur 0,089
Latensi tidur 0,034
Gangguan aktivitas di siang hari 0,050
Efisiensi tidur 0,825
Kualitas tidur 0,004
Penggunaan obat tidur 0,354
Tabel 5.15 menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji chi square
didapatkan bahwa komponen latensi tidur, gangguan aktivitas di siang
hari, dan kualitas tidur memiliki hubungan antara pola tidur dengan
kejadian PMS (pvalue ≤ 0,05).
8. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square
antara status gizi dengan kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta
tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.16.
Tabel 5.16 Analisis Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian
Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Status Gizi Kejadian PMS Total P
value Tidak ada gejala
hingga ringan
Gejala sedang
hingga berat
n % n % n %
Kurus 5 55,6 4 44,4 9 100 0,108
Normal 74 71,8 29 28,2 103 100
Gemuk 7 46,7 8 53,3 15 100
80
Berdasarkan tabel 5.16 diketahui bahwa dari hasil uji chi
square didapatkan nilai pvalue = 0,108 artinya pada ɑ = 5% dapat
disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada
hubungan antara status gizi dengan kejadian PMS.
81
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Peneliti telah melakukan penelitian ini secara maksimal dengan
cara atau metode yang sesuai dengan kaidah yang berlaku secara umum,
namun ada beberapa keterbatasan yang dikategorikan sebagai random
error dan berusaha agar random error tersebut dapat di minimalisir.
Keterbatasan tersebut meliputi:
1. Dalam mengambil data asupan zat mikro responden, peneliti
menggunakan food record 24 jam dan food recall 24 jam. Kedua
metode tersebut dapat memungkinkan terjadinya bias, karena food
record bergantung pada kepatuhan responden dalam mencatat
makanan yang dikonsumsi, sedangkan recall bergantung pada daya
ingat responden. Sehingga pada record peneliti berusaha untuk
sesering mungkin mengingatkan responden untuk mencatat makanan
yang dikonsumsi melalui penanggung jawab kelas. Sedangkan pada
recall, peneliti menggunakan food model.
2. Keterbatasan lainnya yang mungkin terjadi adalah adanya
kecenderungan pada responden untuk menambah atau mengurangi
makanan yang dikonsumsi (flat slope syndrome), yang berakibat pada
82
terjadinya data pola konsumsi yang tidak menggambarkan kondisi
sebenarnya.
3. Penggunaan recall untuk aktivitas fisik juga memiliki keterbatasan
yang sama dengan recall pada asupan zat mikro. Hanya saja untuk
mengurangi keterbatasan tersebut, peneliti melakukan probing yang
berguna agar responden dapat lebih mengingat dan merincikan
kegiatan yang dilakukannya selama 24 jam.
4. Pengolahan data konsumsi pangan dengan menggunakan software
memiliki kelemahan, karena tidak semua jenis bahan makanan yang
dikonsumsi responden tersedia dan dapat dianalisis oleh program
tersebut. Oleh karena itu, untuk meminimalisir terjadinya bias, peneliti
melakukan perhitungan kandungan zat gizi yang hampir sama dengan
makanan yang sejenis atau mencari sendiri nilai zat gizi pada sumber
lain (seperti daftar kandungan bahan makanan (DKBM) dan situs
web), sehingga hasil yang diperoleh dapat mendekati nilai gizi yang
sebenarnya.
B. Analisis Univariat dan Bivariat
1. Gambaran Kejadian Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi
SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Sindrom pramenstruasi atau PMS merupakan gangguan siklik
umum dari wanita muda dan setengah baya yang ditandai dengan
gejala emosional dan fisik yang konsisten terjadi selama fase luteal
(pasca ovulasi) dari siklus menstruasi (Dickerson dkk., 2003).
83
Biasanya gejala ini terjadi pada rentang 1-2 minggu atau lebih tepatnya
7-10 hari sebelum terjadi menstruasi, dan akan berhenti saat
dimulainya siklus menstruasi (NIH, 2014). Sindrom ini merupakan
salah satu masalah yang sangat umum terjadi pada wanita, sehingga
PMS merupakan masalah kesehatan masyarakat (Balaha dkk., 2010).
Hal ini disebabkan karena pada dasarnya PMS pernah dialami
hampir seluruh wanita di dunia. Dimana sebanyak 90% wanita
mengalami setidaknya satu gejala PMS dalam beberapa siklus
menstruasi selama masa usia subur mereka (Zaka dan Mahmood,
2012) dan 5-10% wanita mengalami gejala PMS yang bersifat sedang
sampai berat (Freeman, 2007). Sedangkan di Indonesia dari 260 orang
WUS, ditemukan sebanyak 95% wanita mengalami setidaknya satu
gejala PMS dan 3,9% wanita mengalami gejala PMS yang bersifat
sedang sampai berat (Emilia, 2008).
Berdasarkan hasil analisis deskriptif yang terlihat pada grafik
5.1 diketahui bahwa jumlah siswi yang mengalami PMS dengan gejala
sedang hingga berat sebesar 32,2% (41 orang). Bila dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya, penelitian di Turki menemukan sebesar
31% remaja putri mengalami PMS tingkat sedang hingga berat
(Derman dkk, 2004). Hal ini berarti prevalensi kejadian PMS tingkat
sedang hingga berat pada penelitian ini, sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan penelitian di Turki. Namun juga terdapat
penelitian lain pada siswi SMA di Tasikmalaya dan Bogor, yang
84
menemukan prevalensi yang jauh lebih besar, yaitu sebesar 58,7% dan
67,8% (Nurmalasari dkk., 2013, Aldira, 2014).
Sedangkan bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya
yang menggunakan metode sama (sPAF) dalam menilai kejadian PMS,
diketahui bahwa prevalensi pada penelitian ini lebih besar. Hal ini
dapat dibuktikan dengan penelitian yang pernah dilakukan di
Purworejo dan Semarang yang masing-masing hanya menemukan
sebesar 24,6% dan 3,2% remaja putri yang mengalami PMS tingkat
sedang hingga berat (Tambing, 2012, Putri, 2013). Kemudian
penelitian lainnya yang dilakukan oleh Prabowo juga hanya
menemukan sebesar 5,91% remaja putri yang mengalami PMS tingkat
sedang hingga berat (Prabowo dkk., 2013).
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis deskriptif juga diketahui
bahwa nilai tengah skor PMS sebesar 27 poin (tabel 5.1). Hal ini
menunjukan bahwa kejadian PMS pada siswi di SMA 112 Jakarta juga
lebih parah dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Hal ini dapat
dibuktikan dengan hasil penelitian yang menemukan angka pemusatan
skor PMS sebesar 24,7 poin dengan angka penyebaran 10-49 poin
(Nurmiaty dkk., 2011).
Tingginya kejadian PMS ini disebabkan karena masa remaja
merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Dimana
masa remaja adalah masa dimana seseorang berada pada rentang usia
antara 10-19 tahun (Depkes, 2006, WHO, 2014a). Pada masa inilah
85
terjadi perubahan yang sangat signifikan, tidak hanya dari fisik, namun
dari fisiologis dan psikologis pula.
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis deskriptif pada
penelitian ini juga diketahui bahwa jenis gejala PMS yang paling
sering dialami adalah mudah tersinggung (91,3%) dan nyeri pada perut
(91,3%). Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, dimana
ditemukan bahwa gejala yang paling banyak dialami adalah masalah
pada psikologis (87,6%) (Derman dkk, 2004) dan nyeri perut (75,3%)
(Tambing, 2012).
Sedangkan tiga jenis gejala PMS yang paling berat dialami
pada penelitian ini adalah mudah tersinggung (32,3%), nyeri perut
(25,9%), dan nyeri panggul (25,2%). Ketiga gejala tersebut sejalan
dengan penelitian sebelumnya bahwa gejala yang paling berat
dirasakan oleh responden adalah nyeri perut (17,6%), mudah
tersinggung (10,8%), dan nyeri panggul (9,1%) (Nurmiaty dkk, 2011).
Namun gejala dari PMS dapat terjadi tidak murni hanya akibat
dari PMS itu sendiri. Seperti halnya nyeri perut, dapat juga disebabkan
oleh suatu gangguan organ reproduksi yang disebut endometriosis.
Endometriosis adalah suatu keadaan yang terjadi karena adanya
ketidakseimbangan hormonal, dimana jaringan yang menyerupai dan
beraksi seperti lapisan rahim, berada diluar rahim di dalam tulang
panggul (Saryono dan Sejati, 2009). Kemudian bila jaringan ini
mengalami pendaharan ringan (seperti saat menstruasi), darah ini akan
mengiritasi jaringan terdekat yang dapat menimbulkan rasa sakit
86
(Saryono dan Sejati, 2009). Untuk itu perlu adanya pemeriksaan lebih
lanjut terkait masalah ini bila dirasakan sangat menggaggu, karena
akan berdampak buruk bagi yang mengalami.
Sejauh ini berdasarkan hasil pencarian literatur yang peneliti
lakukan, dampak dari PMS hanya sebatas masalah sosial (Saryono dan
Sejati, 2009, Suparman, 2010). Hal ini dikarenakan gejala utama dari
PMS adalah pada masalah psikologis (Saryono dan Sejati, 2009).
Dampak dari PMS bagi remaja putri yang bersekolah dapat
menganggu kualitas kesehatan, konsentrasi, prestasi dan keaktifan
kegiatan belajar di sekolah. Apalagi berdasarkan analisis deskriptif
diketahui bahwa sebagian besar (86,6%) siswi SMA 112 Jakarta
dengan mengalami > 5 gejala PMS yang kemungkinan besar dapat
menganggu aktivitas sosial di sekolah. Hal ini dikarenakan bila
merasakan 5 gejala PMS yang dirasakan sangat berat dapat merujuk
kepada premenstrual dhysphoric disorder (PMDD) (Saryono dan
Sejati, 2009).
Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya penelitian yang
dilakukan oleh Delara dkk. (2012) menunjukkan bahwa siswi dengan
gangguan pramenstruasi mengalami beberapa penurunan, seperti
kondisi mental, peran fisik, dan fungsi sosial. Di samping itu, PMS
juga dapat berhubungan dengan kasus bunuh diri yang tinggi, tingkat
kecelakaan, dan masalah kejiwaan akut (Tolossa dan Bekele, 2014).
Oleh karena itu siswi SMA 112 Jakarta perlu memperhatikan faktor-
87
faktor yang berhubungan dengan kejadian PMS pada penelitian ini,
yaitu riwayat keluarga, asupan kalsium, dan pola tidur.
2. Gambaran Aktivitas Fisik pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun
2015
Aktivitas fisik merupakan kegiatan harian yang mengeluarkan
energy yang mencakup kegiatan pekerjaan, olah raga, pekerjaan rumah
tangga, dan kegitaan lainnya (Caspersen dkk., 1985). Pada penelitian
ini, aktivitas fisik terbagi atas tiga kategori yang meliputi aktivitas fisik
ringan, sedang, dan berat.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif yang terlihat pada grafik
5.6, diketahui bahwa prevalensi siswi SMA 112 Jakarta yang memiliki
aktivitas fisik ringan sebesar 75,6% (96 orang), sedangkan hanya
sebesar 24,4% (31 orang) yang memiliki aktivitas sedang, dan tidak
ada yang memiliki aktivitas fisik berat.
Prevalensi aktifitas fisik ringan tersebut lebih besar
dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007 yang menemukan
hanya sebesar 66,9 % pada usia 10-14 tahun dan 52% pada usia 15-24
tahun, walaupun hasil riskesdas ini tidak membedakan menurut jenis
kelamin. Sedangkan bila dibandingkan dari jenis kelamin, sebanyak
54,4% perempuan di Indonesia memiliki aktivitas fisik kurang yang
artinya prevalensi pada penelitian ini tetap lebih tinggi.
Kemudian bila dibandingkan kembali dengan penelitian pada
remaja putri, ditemukan bahwa prevalensi aktivitas fisik ringan pada
penelitian ini juga lebih tinggi. Dimana berdasarkan penelitian
88
sebelumnya menemukan bahwa dari 59 orang sebesar 69,5% memiliki
aktivitas fisik ringan (Aldira, 2014). Kemudian bila dibandingkan
dengan penelitian yang menggunakan metode penilaian aktivitas fisik
yang sama dengan penelitian ini, menemukan bahwa hanya sebanyak
18% (Setianingsih, 2012) dan 33,3% (Putri, 2013) yang memiliki
aktivitas fisik ringan.
Berdasarkan hasil recall aktivitas fisik, tingginya prevalensi
aktivitas fisik ringan pada penelitian ini disebabkan karena sebagian
besar aktivitas responden pada hari Senin sampai Jumat adalah belajar
(sekolah dan tempat les), mereka hanya melakukan duduk sambil
menulis atau membaca. Sedangkan pada hari libur, sebagian besar
responden menghabiskan waktu dengan beristirahat, seperti tidur dan
bermain gadget. Di samping itu sebagian besar responden pergi dan
pulang sekolah menggunakan kendaraan pribadi (motor dan mobil),
hanya sebagian kecil yang menggunakan angkutan umum dan perlu
sedikit berjalan untuk sampai ke tempat tujuan. Hal ini diperkuat
dengan penelitian Aldira (2014), yang juga menemukan bahwa alasan
tingginya aktivitas fisik ringan yang terjadi pada remaja putri
dikarenakan hal tersebut.
Rendahnya aktivitas fisik juga dapat dikarenakan oleh status
ekonomi. Dimana status ekonomi dapat terlihat dari kepemilikan
kendaraan, karena seseorang yang memiliki kendaraan cenderung
memiliki status ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
seseorang yang tidak memiliki kendaraan. Sebagian besar siswi di
89
SMA 112 Jakarta, memiliki status ekonomi menengah ke atas. Hal ini
yang juga mungkin menjadi salah satu faktor rendahnya tingkat
aktivitas fisik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Medan dan
Jakarta Selatan, diketahui bahwa terdapat hubungan antara
kepemilikan kendaraan dengan kejadian kegemukan (Adiningrum,
2008). Dimana menurut Adiningrum (2008) kepemilikan kendaraan ini
berkaitan dengan rendahnya aktivitas fisik seseorang.
Dalam jangka panjang, kurangnya aktivitas fisik merupakan
faktor risiko utama keempat kematian di dunia (6% dari kematian di
dunia) (WHO, 2015b). Selain itu aktivitas fisik diperkirakan menjadi
penyebab utama untuk sekitar 21-25% dari kanker payudara dan usus,
27% dari diabetes, dan sekitar 30% dari beban penyakit jantung
iskemik(WHO, 2015a).
Bagi remaja aktivitas fisik telah dikaitkan dengan manfaat
psikologis, seperti peningkatan kontrol terhadap gejala kecemasan dan
depresi; mengembangkan jaringan muskuloskeletal yang sehat (yaitu
tulang, otot dan sendi); mengembangkan sistem kardiovaskular yang
sehat (yaitu jantung dan paru-paru); mengembangkan kesadaran
neuromuskuler (yaitu koordinasi dan gerakan kontrol) (WHO, 2015b).
Oleh karena itu, aktivitas fisik sangat penting untuk dilakukan.
Khusus untuk remaja setidaknya perlu melakukan aktivitas fisik
sedang hingga berat selama 60 menit dalam sehari, seperti jalan cepat,
berlari, menari, berkebun, bersepeda, dan berenang (WHO, 2015b).
Kemudian untuk tambahan, remaja juga perlu setidaknya melakukan
90
kegiatan yang dapat memperkuat otot dan tulang minimal 3 kali
seminggu, seperti push-up, sit-up, dan angkat beban (WHO, 2015b).
3. Gambaran Asupan Piridoksin (B6) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Vitamin B6 merupakan salah satu jenis vitamin larut air yang
memiliki tiga bentuk; piridoksin, piridoksal, dan piridoksiamin
(Almatsier, 2010). Namun bentuk yang paling umum dari vitamin ini
adalah piridoksin, sedangkan piridoksiamin dan piridoksal merupakan
bentuk lain dari piridoksin (Almatsier, 2010). Dalam keaddan tertentu
piridoksin berperan sebagai koenzim dalam berbagai reaksi di dalam
tubuh (Almatsier, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar
siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan piridoksin kurang (asupan < 1
mg/hari), yakni sebesar 68,5% (87 orang) (grafik 5,7), dengan nilai
tengah 0,7 mg (tabel 5.4). Prevalensi ini lebih besar dibandingkan
dengan hasil penelitian sebelumnya, yakni 60,3% (Septiani, 2009),
49,4% (Siantina, 2010), 12% (Pujihastuti, 2012), 46% (Setianingsih,
2012), dan 3,2% (Kusumatutik, 2013).
Rendahnya asupan piridoksin ini disebabkan oleh kurangnya
konsumsi makanan sumber piridoksin pada siswi SMA 112 Jakarta.
Dimana berdasarkan hasil record dan recall, sebagian besar asupan
responden adalah makanan yang kurang bergizi, seperti makanan
ringan (snack), fast food, dan junk food. Hal ini sejalan dengan
91
pernyataan Almatsier (2011) yang mengemukakan bahwa umumnya
remaja lebih banyak mengonsumsi junk food.
Tingginya konsumsi terhadap makanan rendah zat gizi dapat
disebabkan oleh mudahnya akses remaja untuk memperoleh jenis
makanan tersebut, khususnya di kota besar seperti Jakarta ini. Padahal
sumber utama piridoksin terdapat pada kecambah, gandum, hati,
ginjal, serealia, kacang-kacangan, kentang dan pisang (Almatsier,
2010), yang tentunya harus dikonsumsi dalam keadaan segar (tidak
dibekukan), karena kandungkan piridoksin akan hilang sebesar 36-
55% pada suhu beku (Almatsier, 2010).
Di samping itu, dari hasil record dan recall asupan makanan,
diketahui bahwa sebagian besar responden juga memiliki waktu dan
frekuensi makan yang tidak teratur. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan Almatsier (2011), yang mengemukakan bahwa sebagian
besar remaja memiliki kecenderungan untuk mengabaikan dan
melewatkan makan pagi dan/atau makan siang, khususnya pada remaja
putri yang sedang berusaha untuk diet. Sehingga hal ini juga dapat
menjadi salah satu yang mempengaruhi kurangnya asupan piridoksin.
Piridoksin ini sangat penting untuk metabolism protein,
pembentukan precursor hem dalam hemoglobin, dan pembentukan
serotonin yang berkaitan dengan kejadian PMS (Almatsier, 2010).
Sehingga apabilatubuh mengalami kekurangan piridoksin, akan terjadi
gejala-gejala yang berhubungan dengan metabolism protein, seperti
lemah, mudah tersinggung, dan sukar tidur yang merupakan gejala dari
92
PMS (Almatsier, 2010). Dalam jangka panjang dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan, gangguan fungsi motorik, anemia, peradangan
lidah, penurunan antibodi, bahkan kerusakan otak (Almatsier, 2010).
Sebenarnya kekurangan piridoksin di dalam tubuh jarang
terjadi dan biasanya terjadi bersamaan dengan kekurangan beberapa
jenis vitamin B-kompleks lainnya (Almatsier, 2010). Hal ini
dikarenakan vitamin B-kompleks memiliki keterkaitan dalam
fungsinya di dalam tubuh, sehingga saling membantu dalam
penggunaannya (Almatsier, 2010). Kekurangan piridoksin di dalam
tubuh umumnya terjadi dikarenakan konsumsi obat tertentu,
kecanduan alkohol, penyakit kronik, dan gangguan absorbsi
(Almatsier, 2010).
Walaupun kekurangan piridoksin jarang terjadi, tetapi asupan
piridoksin tetap harus diperhatikan, khususnya pada remaja yang
berada dalam masa pertumbuhan. Karena pada hakikatnya remaja
membutuhkan konsumsi zat gizi yang cukup, untuk memaksimalkan
pertumbuhan dan perkembangan. Oleh karena itu, perlu adanya
semacam kegiatan seperti penyuluhan dan konseling gizi untuk
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran siswi SMA 112 Jakarta
terhadap konsumsi makanan yang kaya akan zat gizi.
4. Gambaran Asupan Kalsium (Ca) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Kalsium merupakan mineral yang tersebar luas di dalam tubuh
(Almatsier, 2010). Dalam keadaan seimbang, kalsium memiliki
93
konsentrasi kurang lebih 2,25-2,60 mmol/l (9-10,4 mg/100 ml) di
dalam tulang (Almatsier, 2010). Di dalam cairan ekstraselular dan
intraselular kalsium memiliki peranan penting dalam mengatur fungsi
sel (Almatsier, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian besar
siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan kalsium kurang (< 920
mg/hari), yakni sebesar 82,7% (105 orang) (grafik 5.8). Prevalensi
asupan kalsium yang kurang tersebut jauh lebih besar dibandingkan
dengan hasil penelitian sebelumnya, yaitu sebesar 82,2% (Septiani,
2009), 52,4%(Siantina, 2010), 54% (Pujihastuti, 2012), dan 21%
(Kusumatutik, 2013).
Bila dibandingkan dengan angka pemusatan, diketahui bahwa
asupan kalsium pada penelitian ini sebesar 297 mg, dengan angka
penyebaran antara 38-1198 mg (grafik 5.5). Sedangkan berdasarkan
penelitian sebelumnya angka pemusatan asupan kalsium sebesar 276,3
mg, dengan angka penyebaran 59,3-870,7 mg (Nurmiaty dkk., 2011).
Sehingga dapat disimpulkan peneltian ini memiliki asupan kalsium
yang lebih baik.
Sama halnya dengan piridoksin, rendahnya asupan kalsium ini
disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan sumber kalsium pada
siswi SMA 112 Jakarta. Dimana berdasarkan hasil record dan recall,
sebagian besar asupan responden adalah makanan yang kurang bergizi,
seperti makanan ringan (snack), soft drink, fast food, dan junk food.
Padahal konsumsi soft drink yang biasa dikonsumsi oleh remaja dapat
94
menurunkan asupan kalsium, karena anak remaja cenderung lebih
sering meminum soft drink dibandingkan susu yang kaya kalsium.
Tingginya konsumsi terhadap makanan tersebut dapat
disebabkan oleh mudahnya akses remaja untuk memperoleh jenis
makanan dan minuman tersebut, khususnya di kota besar seperti
Jakarta ini. Padahal sumber utama kalsium terdapat pada bahan
makanan yang bergizi, seperti susu (khususnya susu non fat) dan hasil
produksi susu, seperti keju dan yoghurt; dan ikan yang dimakan
dengan tulang, termasuk ikan kering (Almatsier, 2010). Serealia,
kacang-kacangan, tahu, tempe dan sayuran hijau juga merupakan
sumber kalsium yang baik, namun bahan makanan ini mengandung
asam oksalat dan asam fitat yang dapat menghambat absorpsi kalsium
(Almatsier, 2010).
Sehingga untuk mengurangi risiko terhambatnya absorpsi
kalsium akibat oksalat dan fitat dapat dengan melakukan pengolahan
tradisional pada bahan makanan yang mengandung kedua zat tersebut,
yang meliputi perendaman, fermentasi, atau pun merebus (Hotz dan
Gibson, 2007). Cara lain untuk mengurangi risiko tersebut adalah
dengan memberikan jeda antara konsumsi bahan makanan sumber
kalsium tinggi dengan sumber fitat dan oksalat sekitar dua jam
(Chandra, 2014). Sedangkan untuk meningkatkan absorpsi kalsium
dapat dengan cara meningkatkan aktivitas fisik, konsumsi vitamin D,
konsumsi laktosa yang diiringi dengan ketersediaan enzim laktase, dan
konsumis lemak (Almatsier, 2010).
95
Dijelaskan sebelumnya bahwa kalsium sangat penting bagi
remaja. Kekurangan kalsium di dalam darah pada masa pertumbuhan
dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, tulang kurang kuat,
mudah bengkok, dan rapuh. Hal ini diperparah dengan lebih rendahnya
absorpsi kalsium pada perempuan (Almatsier, 2010), walaupun
memang hal tersebut dapat diminalisir dengan menghindari hal-hal
yang dapat menghambat absorpsi kalsium. Di samping itu kadar
kalsium yang sangat rendah di dalam darah dapat menyebabkan kejang
dan kejang otot (Almatsier, 2010).
Namun kekurangan kalsium di dalam darah sangat jarang
terjadi, karena adanya cadangan yang relatif stabil dan tidak dapat
digunakan untuk pengaturan keseimbangan jangka pendek (Almatsier,
2010). Hanya 1% kalsium tulang yang merupakan cadangan yang
dapat berubah cepat untuk kegiatan metabolisme (Almatsier, 2010).
Cadangan ini dapat dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan yang
meningkat pada masa pertumbuhan (Almatsier, 2010). Di samping itu
semakin tinggi kebutuhan dan semakin rendah persediaan kalsium,
tubuh akan otomatis meningkatkan absorpsi kalsium (Almatsier,
2010). Hal ini juga berlaku pada semakin rendah asupan, akan semakin
tinggi absorpsi dari kalsium (Almatsier, 2010).
Walaupun kekurangan kalsium di dalam darah sangat jarang
ditemukan, namun kekurangan konsumsi kalsium dalam jangka
panjang dapat menyebabkan struktur tulang yang tidak sempurna. Oleh
karena itu tetap sangat perlu diperhatikannya asupan kalsium, sehingga
96
perlu adanya semacam kegiatan seperti penyuluhan dan konseling gizi
untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran siswi SMA 112
Jakarta terhadap konsumsi makanan yang kaya akan zat gizi.
5. Gambaran Asupan Magnesium (Mg) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Magnesium merupakan salah satu mineral yang dapat disimpan
dan utamanya diabsorbsi di dalam usus halus dengan bantuan alat
angkut aktif dan secara difusi pasif (Almatsier, 2010). Jumlah
magnesium terbesar (60%) terdapat di dalam tulang dan gigi, 26% di
dalam otot dan selebihnya di dalam jaringan lunak lainnya serta cairan
tubuh (Almatsier, 2010). Sedangkan konsentrasi magnesium di dalam
plasma sebanyak 0,75- 1,0 mmol/l (Almatsier, 2010).
Berdasarkan hasil analisis deskriptif ditemukan bahwa
sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta asupan magnesium kurang
(asupan < 212 mg/hari) yakni sebesar 81,1% (103 orang) (Tabel 5.9).
Prevalensi asupan magnesium kurang ini jauh lebih besar
dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, yakni sebesar
46,6% (Septiani, 2009), 49,4% (Siantina, 2010), 20% (Pujihastuti,
2012), dan 54% (Setianingsih, 2012) .
Selanjutnya bila dibandingkan dengan angka pemusatan,
diketahui bahwa angka pemusatan asupan magnesium pada penelitian
ini sebesar 144 mg, dengan angka penyebaran 44-426 mg. Sedangkan
berdasarkan penelitian sebelumnyasebesar 186,2, dengan angka
97
penyebaran 52,4-778 mg (Nurmiaty dkk., 2011), yang artinya asupan
magnesium pada penelitian ini lebih buruk.
Tingginya prevalensi asupan magnesium kurang pada
penelitian ini disebabkan karena sebagian besar responden cenderung
mengonsumsi makanan yang kurang bergizi, seperti snack, soft drink,
fast food, dan junk food. Hal ini dikarenakan di zaman ini makanan
seperti junk food dan fast food sangat mudah didapatkan, khususnya di
kota besar seperti Jakarta ini. Hal ini diperkuat dengan Berdasarkan
Riskesdas (2007) diketahui bahwa sebesar 93,6% remaja usia 10-14
tahun dan 93,8% usia 15-24 tahun kurang mengkonsumsi buah dan
sayur. Sehingga tentu saja hal ini juga dapat menjadi penyebab
kurangnya asupan vitamin dan mineral pada remaja. Padahal sumber
utama magnesium terdapat pada bahan makanan bergizi, seperti
sayuran hijau, serealia tumbuk,biji-bijian, kacang-kacangan, daging,
susu dan hasilnya (Almatsier, 2010).
Kekurangan magnesium di dalam tubuh memang jarang terjadi
akibat makanan, karena tubuh memiliki cadangan di tulang, gigi, otot,
jaringan lunak, dan cairan tubuh (Almatsier, 2010). Konsentrasi
magnesium di dalam darah dipertahankan tubuh pada nilai yang
konstan, dengan cara mengeluarkan cadangan magnesium (khususnya
cadangan pada tulang) untuk bagian tubuh yang membutuhkan
(Almatsier, 2010). Di samping itu pada konsumsi magnesium yang
rendah tubuh akan mengabsorpsi sebanyak 60% dari asupan
98
magnesium, sedangkan pada konsumsi tinggi tubuh hanya akan
mengabsorpsi sebanyak 30% (Almatsier, 2010).
Kekurangan magnesium di tubuh umumnya terjadi akibat
kekurangan protein, gangguan absorpsi akibat komplikasi penyakit,
penurunan fungsi ginjal, dan terlalu lama mendapat makanan tidak
melalui mulut (Almatsier, 2010). Kekurangan magnesium yang berat
dapat menyebabkan kurangnya nafsu makan, gangguan pertumbuhan,
mudah tersinggung, gugup, kejang, gangguan sistem saraf pusat,
halusinasi, koma, dan gagal jantung (Almatsier, 2010).
Walaupun kurangnya kadar magnesium di dalam tubuh sangat
jarang terjadi akibat konsumsi makanan, namun asupan magnesium
tetap perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan bila cadangan magnesium
terus digunakan, tentunya lama kelamaan cadangan tersebut akan
habis. Sehingga perlu adanya perhatian khusus terhadap asupan
magnesium, khususnya bagi remaja yang sedang dalam masa
pertumbuhan. Perhatian khusus tersebut dapat dituangkan dengan cara
meningkatkan asupan makanan sumber magnesium sesuai kebutuhan.
6. Hubungan antara Usia Menarche dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Menarche adalah kata lain dari menstruasi pertama, yang
biasanya di Indonesia terjadi pada usia ±12 tahun (Amaliah dkk.,
2012) atau 13 tahun (Kemenkes, 2010). Menarche merupakan penanda
utama seorang wanita telah memasuki ciri maturitas seksual. Hal ini
dikarenakan menarche merupakan salah satu indikator tahap pubertas
99
pada remaja (Almatsier dkk., 2011). Bila remaja telah mendapatkan
mentruasi untuk pertama kalinya, maka dapat disimpulkan remaja
tersebut telah memasuki masa pubertas.
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh pvalue = 0,315 (>
0.05), yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian
ditolak yaitu tidak ada hubungan antara usia menarche dengan
kejadian PMS. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Silvia (2008), Nurmiaty (2011), Tambing (2012), dan Padmavathi
(2013) yang juga menemukan bahwa tidak ada hubungan antara usia
menarche dengan PMS.
Walaupun hasil penelitian ini menunjukan secara statistik tidak
ada hubungan, namun berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel
5.8), terlihat bahwa cenderung responden yang memiliki usia
menarche cepat, lebih banyak yang mengalami PMS tingkat sedang
hingga berat (47,1%), dibandingkan dengan usia menarche normal dan
lambat. Sejalan dengan penelitian ini, Silvia (2008) juga menemukan
bahwa tingkat prevalensi gejala PMS cenderung lebih tinggi pada
wanita usia yang mengalami menarche cepat (< 11 tahun).
Mekanisme antara usia menarche yang dikaitkan dengan PMS
sebenarnya masih belum jelas (Amjad dkk., 2014). Hal ini
menyebabkan tidak adanya alasan yang jelas pada keempat penelitian
sebelumnya terkait tidak adanya hubungan antara usia menarche
dengan PMS. Namun menurut Silvia (2008), kemungkinan asosiasi
antara usia menarche dan gejala-gejala PMS dapat diselidiki dengan
100
mengendalikan beberapa faktor pembaur potensial (yang tidak
disebutkan). Sedangkan menurut Nurmiaty (2011), hal tersebut terjadi
disebabkan angka pemusatan usia menarche responden adalah 12,9
tahun yaitu berada pada rentang usia yang tidak berisiko, yang sejalan
dengan hasil penelitian ini yaitu 12,6 tahun.
Di samping itu alasan lain yang mungkin menjadi penyebab
tidak ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian PMS adalah
dikarenakan adanya faktor lain yang lebih dominan seperti faktor
riwayat keluarga dan faktor psikologis. Dimana faktor genetik
memainkan peranan penting terhadap hormon estogen dan serotonin
(Praschak-Rieder dkk., 2002, Huo dkk., 2007), sedangkan faktor
psikologis berhubungan dengan hormon progesterone (Michel dan
Bonnet, 2014) yang merupakan penyebab utama dari kejadian PMS.
Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Aminah
(2011) dan Amjad (2014) yang menemukan adanya hubungan antara
usia menarche dengan PMS. Menurut Aminah (2011) siswi dengan
usia menarche cepat (< 12 tahun) berisiko 2,3 kali lebih besar untuk
menderita PMS dibandingkan dengan siswi yang mengalami menarche
lebih lambat (Aminah dkk., 2011). Hal ini sejalan dengan penelitian
Amjad, dkk. (2014) yang juga menemukan usia menarche <12 tahun
cenderung mengalami PMS.
Usia menarche cepat dikaitkan dengan ovulasi dini (ACOG,
2006). Ketika usia menarche lebih muda dari 12 tahun, maka 50% dari
siklus ovulasi terjadi saat satu tahun setelah menarche (ACOG, 2006).
101
Di samping itu umumnya pada remaja, PMS mulai dialami pada usia
sekitar 14 tahun atau 2 tahun setelah menarche dan akan berlanjut
sampai menopause (Zaka dan Mahmood, 2012). Sehingga ketika
menarche lebih cepat/ dini, maka akan mengalami PMS lebih cepat
pula. Menarche ditandai dengan siklus anovulasi (siklus tanpa ovulasi
dan fase luteal), sementara PMS terjadi pada saat fase luteal (ACOG,
2006). Kecenderungan ini terjadi karena ketidakteraturan pola
menstruasi yang umum terjadi selama 2 tahun pertama saat menarche
terjadi (Dangal, 2004), yang diakibatkan oleh adanya penyesuaian
keseimbangan hormon yang dilepaskan pada saat pubertas (ACOG,
2006). Sedangkan Aminah (2011) dan Amjad (2014) berpendapat
bahwa adanya kemungkinan bahwa proses pematangan dari sisi
fisiologi dan psikologis yang belum sepenuhnya sempurna pada awal
fungsi ovariumlah yang mungkin bertanggung jawab atas
kecenderungan tersebut.
7. Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Genetik merupakan faktor yang memainkan peran penting pada
kejadian PMS (Saryono dan Sejati, 2009). Peran genetik ini dapat
dilihat dari riwayat keluarga (Abdillah, 2010). Keluarga yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah anggota keluarga kandung, yaitu
ibu dan saudara kandung perempuan. Jika riwayat PMS ada pada salah
satu anggota keluarga tersebut, maka seseorang dikatakan memiliki
risiko yang lebih besar untuk mengalami PMS.
102
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh pvalue = 0,001 (<
0.05), yang menunjukkan bahwa Ho ditolak atau hipotesisi penelitian
diterima yaitu ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian
PMS. Artinya siswi yang memiliki riwayat keluarga yang pernah
mengalami gejala PMS berpeluang untuk mengalami PMS gejala
sedang hingga berat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Abdillah (2010) yang menemukan bahwa ada
hubungan antara riwayat keluarga dengan PMS. Di samping itu, hasil
penelitian Amjad, dkk (2014) juga menemukan bahwa terdapat
hubungan antara riwayat ibu dan saudara kandung perempuan dengan
kejadian PMS.
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.9), terlihat
bahwa dari 66 orang yang memiliki riwayat keluarga, sebesar 45,5%
mengalami PMS sedang hingga berat. Sedangkan dari 61 orang yang
tidak memiliki riwayat keluarga, hanya sebesar 18,0% (11 orang)
mengalami PMS sedang hingga berat. Artinya cenderung responden
yang memiliki riwayat keluarga lebih banyak yang mengalami PMS
tingkat sedang hingga berat dibandingkan dengan responden yang
tidak memiliki riwayat keluarga.
Adanya hubungan riwayat keluarga dikarenakan adanya faktor
psikologis dan biologis yang diturunkan dari keluarga (Amjad dkk.,
2014). Dari segi biologis, adanya hubungan tersebut karena adanya
peran genetik yang diturunkan. Sebab genetik merupakan faktor yang
memainkan peran penting pada kejadian PMS. Gen sangat erat
103
kaitannya dengan insiden PMS, yang biasanya terjadi dua kali lebih
tinggi (93%) pada kembar satu telur (monozigot) dibanding kembar
dua telur (44%) (Zaka dan Mahmood, 2012, Saryono dan Sejati, 2009).
Hal ini dikarenakan faktor genetik ini memiliki kaitan yang sangat erat
dengan perubahan hormon dan serotonin di dalam tubuh. Dimana
terdapat varian pada gen reseptor estrogen alpha yang dapat
menyebabkan risiko kejadian PMS (Huo dkk., 2007).
Ketidakseimbangan esterogen merupakan salah satu faktor
utama yang dapat menyebabkan PMS (Andrews, 2001, Dickerson
dkk., 2003). Adanya kelebihan estrogen dalam fase luteal (pasca
ovulasi) akan menyebabkan PMS (Brunner dan Suddarth, 2001,
Saryono dan Sejati, 2009). Kadar hormon estrogen dalam darah yang
meningkat, disebut-sebut dapat menyebabkan gejala depresi dan
beberapa gangguan mental. Kadar estrogen yang meningkat ini akan
mengganggu proses kimia tubuh termasuk piridoksin yang dikenal
sebagai vitamin anti depresi karena berfungsi mengontrol produksi
serotonin (Brunner dan Suddarth, 2001, Saryono dan Sejati, 2009).
Di samping itu genetik juga dapat mempengaruhi kadar
serotonin karena varian di promotor untuk gen serotonin transporter
juga memiliki efek pada ekspresi serotonin molekul 5-HT transporter
(Praschak-Rieder dkk., 2002). Serotonin merupakan suatu zat kimia
yang diproduksi tubuh secara alami, yang dapat berguna untuk kualitas
tidur yang normal (Lau, 2011). Hal ini dikarenakan, zat ini sangat
mempengaruhi suasana hati seseorang yang berhubungan dengan
104
gejala PMS, seperti depresi, kecemasan, ketertarikan, kelelahan,
perubahan pola makan, kesulitan tidur, agresif dan peningkatan selera
(Saryono dan Sejati, 2009).
Dari berbagai pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
riwayat keluarga merupakan faktor yang memiliki keterkaitan dengan
kejadian PMS. Sayangnya faktor ini merupakan faktor yang tidak
dapat diubah, sehingga tidak dapat diintervensi. Sehingga hal yang
perlu diperhatikan bagi siswi yang memiliki riwayat keluarga adalah
dengan lebih memberikan perhatian terhadap faktor lainnya yang
berhubungan dengan kejadian PMS.
8. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang
dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi
(WHO, 2014b). Aktivitas fisik tersebut meliputi seluruh kegiatan yang
dilakukan setiap hari (Caspersen dkk., 1985).
Berdasarkan hasil uji chi square, diperoleh nilai p = 0,375 (>
0,05) , yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian
ditolak yaitu tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian
PMS (tabel 5.10). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Pujihastuti (2012) dan Aldira (2014) yang juga
menemukan tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan PMS.
Walaupun hasil penelitian ini tidak menunjukan adanya
hubungan, namun berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.10)
105
diketahui bahwa responden dengan aktivitas fisik ringan, sebanyak
34,4% mengalami PMS sedang hingga berat. Sedangkan responden
dengan aktivitas fisik sedang hingga berat, sebanyak 74,2% tidak
mengalami hingga mengalami gejala ringan PMS. Hal ini bahwa
responden dengan aktivitas fisik ringan cenderung lebih banyak yang
mengalami PMS sedang hingga berat dibandingkan dengan aktivitas
fisik sedang.
Tidak adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian
PMS, dapat dikarenakan aktivitas fisik bukan satu-satunya faktor yang
mempengaruhi PMS (Aldira, 2014). Sepertinya halnya faktor riwayat
keluarga yang memainkan peranan penting pula terhadap perubahan
serotonin (Praschak-Rieder dkk., 2002) atau pun faktor psikologis
yang berhubungan dengan hormon progesteron (Michel dan Bonnet,
2014). Sehingga apabila faktor yang lain terpenuhi, risiko PMS tetap
dapat diturunkan.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sianipar (2009),
Kroll (2010), dan Teixeira (2011) yang menemukan adanya hubungan
antara aktivitas fisik dengan PMS. Perbedaan ini mungkin disebabkan
adanya perbedaan dari metodologi yang digunakan antara penelitian
ini dengan ketiga penelitian lainnya.
Penelitian Sianipar (2009) memiliki kriteria khusus dalam
pengambilan sampel, seperti tidak boleh mengalami penyakit berat.
Sehingga dapat mempengaruhi hasil dari data aktivitas fisik, dimana
seseorang yang memiliki penyakit berat akan cenderung memiliki
106
aktivitas fisik yang rendah. Penelitian Teixeira (2011) memiliki
perbedaan dalam metode pengumpulan data aktivitas fisik, yaitu
menggunakan tiga bagian kuesioner (aktivitas harian, latihan
fisik/olahraga, dan mobilitas), yang ketiganya dilihat berdasarkan
kebiasaan responden pada 12 bulan terakhir. Sedangkan penelitian
Kroll (2010) menghitung aktivitas fisik berdasarkan recreational
physical activity.
Sementara adanya kecenderungan yang terjadi, dikarenakan
aktivitas fisik merupakan faktor yang dapat mengurangi gejala PMS.
Karena dengan adanya aktivitas fisik akan meningkatkan produksi
endorfin, menurunkan kadar estrogen dan hormon steroid lainnya,
memperlancar transpor oksigen di otot, menurunkan kadar kortisol,
dan meningkatkan perilaku psikologis (Harber dan Sutton, 1984). Hal
ini juga diperkuat oleh penelitian, yang menemukan bahwa melakukan
aktivitas fisik merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kadar
serotonin di otak (Young, 2007). Menurutnya serotonin ini sangat erat
kaitannya dengan depresi dan perubahan mood yang berujung pada
masalah kesehatan.
9. Hubungan antara Asupan Piridoksin (B6) dengan Kejadian
Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Piridoksin atau B6 merupakan bagian dari vitamin larut air
(Almatsier, 2010). Piridoksin memiliki sifat fisik seperti kristal putih
dan tidak berbau (Almatsier, 2010). Bila dilihat dari sifat kimianya,
107
piridokin memiliki sifat yang tahan terhadap panas, namun tidak tahan
terhadap cahaya dan tidak stabil dalam larutan alkali (Almatsier,
2010).
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,234 (>
0,05), yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian
ditolak yaitu tidak ada hubungan antara asupan piridoksin dengan
kejadian PMS. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Septiani (2009), Pujihatuti (2012), dan Kusumatutik
(2013).
Meskipun asupan piridoksin tidak berhubungan dengan PMS,
tetapi berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.11), dari 87 orang
yang memiliki asupan piridoksin kurang terdapat 35,6 % yang
mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat. Sedangkan dari
40 orang yang memiliki asupan piridoksin cukup, terdapat 25,0% yang
mengalami gejala sedang hingga berat. Hal ini terlihat bahwa
cenderung siswi dengan asupan piridoksin kurang lebih banyak
mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat dibandingkan
dengan siswi dengan asupan piridoksin cukup. Hal ini dikarenakan
piridoksin dapat memperbaiki gejala-gejala gangguan mood dan
perilaku pada PMS, seperti kegelisahan, hidrasi,dan depresi (Lustyk
dan Gerrish, 2010).
Penyebab tidak berhubungannya variabel ini mungkin
disebabkan adanya faktor hormonal yang lebih dominan, yaitu
keseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron (Kusumatutik,
108
2013). Hal ini dikarenakan hormon adalah faktor utama penyebab dari
PMS, yaitu adanya ketidakseimbangan kerja dari hormon estrogen dan
progesteron (Andrews, 2001, Dickerson dkk., 2003). Teori lain
menunjukkan bahwa ternyata, adanya kelebihan estrogen atau defisit
progesteron dalam fase luteal (pasca ovulasi) dari siklus menstruasi
akan menyebabkan PMS (Brunner dan Suddarth, 2001, Saryono dan
Sejati, 2009). Kadar hormon estrogen dalam darah yang meningkat,
disebut-sebut dapat menyebabkan gejala depresi dan beberapa
gangguan mental. Kadar estrogen yang meningkat ini akan
mengganggu proses metabolisme piridoksin. Padahal piridoksin
merupakan vitamin anti depresi karena berfungsi dalam mengontrol
produksi serotonin, yang juga berkaitan dengan PMS (Brunner dan
Suddarth, 2001, Saryono dan Sejati, 2009).
Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Siantina
(2010) yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara asupan
piridoksin dengan PMS. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan lokasi
penelitian dan metode dalam pengumpulan data, dimana Siantina
menggunakan kuesioner FFQ (Siantina, 2010).
10. Hubungan antara Asupan Kalsium (Ca) dengan Kejadian
Sindrom Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta
Tahun 2015
Kalsium atau Ca merupakan mineral yang paling banyak
disimpan di dalam tubuh (± 1 kg), dengan distibusi 99% berada di
tulang dan gizi (Almatsier, 2010). Kalsium berfungsi dalam mengatur
109
fungsi sel (transmisi saraf, kontraksi otot, dan penggumpulan darah),
mengatur kerja hormon, dan faktor pertumbuhan (Almatsier, 2010).
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,011 (<
0,05), yang menunjukan bahwa Ho ditolak atau hipotesis penelitian
diterima yaitu ada hubungan antara asupan kalsium dengan kejadian
PMS. Artinya siswi yang memiliki konsumsi kalsium kurang
berpeluang untuk mengalami PMS gejala sedang hingga berat. Hal ini
sejalan dengan penelitian Nurmalasari (2013), Nurmiaty (2011), dan
Kusumatutik (2013) yang menemukan bahwa kalsium berhubungan
dengan PMS. Sebab kalsium memiliki peran dalam meringankan dan
menekan resiko terjadinya gejala PMS.
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.12) pun
ditemukan bahwa dari 105 orang yang memiliki asupan kalsium
kurang, terdapat 37,1% yang mengalami PMS dengan gejala sedang
hingga berat. Sedangkan dari 22 orang yang memiliki asupan kalsium
cukup, hanya 9,1% yang mengalami gejala sedang hingga berat. Hal
ini menunjukan bahwa cenderung siswi yang memiliki asupan kalsium
kurang lebih banyak yang mengalami PMS gejala sedang hingga berat
dibandingkan dengan siswi yang memiliki asupan kalsium cukup.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Thys-Jacobs
(2000) diketahui bahwa kalsium merupakan salah satu mineral yang
terbukti secara signifikan menghasilkan 50% pengurangan dari gejala
PMS, seperti gangguan mood dan perilaku, kegelisahan, hidrasi,
depresi, dan mual. Namun kalsium sangat bergantung pada hormon
110
estrogen, karena estrogen mempengaruhi metabolisme kalsium dan
penyerapan kalsium di dalam usus (Thys-Jacobs, 2000). Perubahan
kalsium di dalam tubuh (hipokalsemia dan hiperkalsemia) juga telah
lama dikaitkan dengan banyak gejala PMS, seperti depresi dan
kecemasan. Hal ini dikarenakan kalsium juga memiliki efek terhadap
metabolisme dan regulasi serotonin (Thys-Jacobs, 2000).
Oleh karena itu, perlu adanya perhatian khusus terhadap asupan
kalsium pada siswi di SMA 112 Jakarta. Perhatian tersebut dapat
dilakukan dengan cara meningkatkan asupan sumber kalsium, seperti
susu dan hasilnya, minimal 1 gelas/hari. Hal ini dikarenakan
berdasarkan hasil recall diketahui konsumsi susu dan hasilnya pada
sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta masih jarang, karena lebih
cenderung mengonsumsi minuman ringan. Sehingga diperlukan pula
pengurangan konsumsi minuman ringan, yang digantikan dengan
konsumsi susu.
11. Hubungan antara Asupan Magnesium (Mg) dengan Kejadian
Sindrom Pramenstruasi pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Magnesium atau Mg adalah kation nomor dua paling banyak
setelah natrium di dalam cairan interselular dan banyak terlibat pada
berbagai proses metabolisme (Almatsier, 2010). magnesium
memegang peranan penting dalam > 300 jenis sistem enzim di dalam
tubuh, karena magnesium bertindak di dalam semua sel jaringan lunak
sebagai katalisator , termasuk metabolisme zat gizi makro (Almatsier,
2010).
111
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh pvalue = 0,183 (>
0,05), yang menunjukan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian
ditolak yaitu tidak ada hubungan antara asupan magnesium dengan
kejadian PMS. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Nurmiaty
(2011), Pujihastuti (2012), Septiani (2009), dan Kusumatutik (2013).
Meskipun asupan magnesium tidak berhubungan dengan PMS,
namun terlihat bahwa cenderung siswi yang memiliki asupan
magnesium kurang, lebih banyak yang mengalami PMS. Hal ini
terlihat dari tabel distribusi frekuensi (tabel 5.13), dari 103 orang yang
memiliki asupan magnesium kurang, terdapat 35,0% yang mengalami
PMS dengan gejala sedang hingga berat. Sedangkan dari 24 orang
yang memiliki asupan magnesium cukup, terdapat 20,8% yang
mengalami gejala sedang hingga berat.
Tidak adanya hubungan antara asupan magnesium dengan
PMS dapat disebabkan adanya faktor hormonal yang lebih dominan,
yaitu estrogen, karena hormon estrogen dapat mempengaruhi
metabolisme dari magnesium (Thys-Jacobs, 2000). Hal tersebut juga
mungkin dapat dikarenakan siswi SMA 112 Jakarta masih memiliki
cadangan magnesium yang cukup di dalam tubuh. Sehingga apabila
asupan kurang, tubuh akan secara otomatis mengeluarkan cadangan
tersebut, sehingga kadar di dalam darah tetap stabil. Di samping itu
pada konsumsi magnesium yang rendah tubuh akan mengabsorpsi
sebanyak 60% dari asupan magnesium, sedangkan pada konsumsi
112
tinggi tubuh hanya akan mengabsorpsi sebanyak 30% (Almatsier,
2010), sehingga kadar di dalam tubuh akan tetap stabil.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Christiany (2007)
dan Siantina (2010), yang menemukan adanya hubungan antara
magnesium dengan PMS. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan
metode pengumpulan data (FFQ) dan hasil ukur (rasio) yang
digunakan (Siantina, 2010). Perbedaan jenis uji pun dapat menjadi
salah satu penyebab dari bedanya hasil penelitian, dimana Christiany
(2007) menggunakan regresi dan Siantina (2010) menggunakan uji
spearman.
Sementara kecenderungan yang terjadi pada penelitian ini
dikarenakan magnesium merupakan mineral yang dapat menurunkan
risiko terjadi dan keparahan dari gejala PMS. Dimana magnesium
berfungsi dalam membantu relaksasi otot, transmisi sinyal syaraf,
mengurangi migren, dan sebagai penenang ilmiah yang dibutuhkan
oleh perempuan saat mengalami PMS (Lustyk dan Gerrish, 2010).
Selain itu, magnesium juga dapat mengurangi gejala-gejala seperti
kecemasan,banyak makan, depresi, hidrasi dan gejala total hanya
hidrasi (kembung) (Nurmalasari dkk., 2013).
12. Hubungan antara Pola Tidur dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Tidur merupakan keadaan hilangnya kesadaran secara normal
dan periodik (Lanywati, 2008). Dengan tidur, maka akan dapat
diperoleh kesempatan untuk beristirahat dan memulihkan kondisi
113
tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis (Lanywati, 2008). Hal
ini dikarenakan pusat saraf tidur yang terletahk di otak akan mengatur
fisiologis tidur yang sangat penting bagi kesehatan (Lanywati, 2008).
Tidur merupakan kebutuhan bagi manusia. Hal ini dikarenakan
pada kondisi tidur tubuh akan melakukan proses pemulihan untuk
mengembalikan stamina tubuh hingga berada dalam kondisi yang
optimal dan terjadinya regenerasi untuk mengembalikan stamina tubuh
sehingga kembali dalam kondisi yang optimal. Tidur dapat
memberikan kesempatan tubuh untuk beristirahat dan memulihkan
kondisi fisiologis maupun psikologis (Lanywati, 2008). Sebab pusat
saraf tidur yang terletak di otak akan mengatur fisiologis tidur yang
sangat penting bagi kesehatan (Lanywati, 2008).
Untuk menilai baik buruknya tidur responden dalam penelitian
ini dilihat dari pola tidur. Pola tidur yang dimaksud adalah kebiasaan
tidur responden dalam satu bulan terakhir yang diukur melalui tujuh
komponen utama, yaitu kualitas tidur, latensi tidur (kesulitan memulai
tidur), durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat
tidur, dan gangguan aktivitas di siang hari.
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,013 (<
0,05), yang menunjukan bahwa Ho ditolak atau hipotesis penelitian
diterima yaitu ada hubungan antara pola tidur dengan kejadian PMS.
Artinya siswi yang memiliki pola tidur buruk berpeluang untuk
mengalami PMS gejala sedang hingga berat.
114
Sementara berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.14),
menunjukkan bahwa dari 44 orang yang memiliki pola tidur baik,
terdapat 18,2% (8 orang) yang mengalami PMS sedang hingga berat.
Sedangkan dari 83orang yang memiliki pola tidur buruk, terdapat
39,3% (33 orang) yang mengalami PMS sedang hingga berat. Hal ini
menunjukkan bahwa cenderung responden yang memiliki pola tidur
buruk lebih banyak yang mengalami PMS sedang hingga berat,
dibandingkan dengan responden yang memiliki pola tidur baik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang serupa
dengan menggunakan kuesioner PSQI, menemukan bahwa PMS
memiliki hubungan dengan buruknya kualitas tidur (Cheng dkk., 2013,
Karaman dkk., 2012). Dimana pola tidur yang baik (tidur tanpa
gangguan) ternyata dapat meringankan gejala PMS. Hal ini
dikarenakan baik dan buruknya pola tidur akan mempengaruhi sekresi
berbagai hormon yang ada di dalam tubuh (Shechter dan Boivin,
2010). Di samping itu menurut Baker, dkk (2007), meskipun pola
tidur yang buruk merupakan salah satu gejala dari PMS yang parah,
namun berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa pola tidur
yang buruk akan meningkatkan keparahan dari gejala PMS yang
dirasakan (Baker dkk., 2007).
Di samping itu berdasarkan hasil uji chi square diketahui pula
bahwa komponen dari pola tidur yang berhubungan dengan PMS
adalah latensi tidur, kualitas tidur, dan gangguan aktivitas di siang hari.
Hasil tersebut menunjukan bahwa, siswi yang mengalami latensi tidur
115
> 60 menit memiliki berpeluang mengalami PMS gejala sedang hingga
berat, siswi yang memiliki kualitas tidur buruk berpeluang untuk
mengalami PMS gejala sedang hingga berat, dan siswi yang
mengalami PMS gejala sedang hingga berat berpeluang mengalami
gangguan aktivitas di siang hari ≥ 3 kali dalam seminggu.
Menurut Buysse, dkk. (1988) untuk melihat kesulitan tidur
dilihat berdasarkan latensi tidur. Latensi tidur merupakan periode
waktu antara persiapan untuk tidur dan awal tidur yang sebenarnya
(terlelap) buruk (Buysse dkk., 1989). Dalam hal ini latensi tidur dibagi
menjadi empat skor, yaitu 0 jika ≤ 15 menit; 1 jika 15-30 menit; 2 jika
30-60 menit; dan 3 jika > 60 menit, dengan 0 = sangat baik dan 3 =
sangat buruk (Buysse dkk., 1989).
Kemudian kualitas tidur yang dihasilkan dari kuesioner PSQI
merupakan kualitas tidur yang dinilai berdasarkan subjektivitas
responden. Komponen ini memiliki skor antara 0 (sangat baik) sampai
dengan 3 (sangat buruk) (Buysse dkk., 1989).
Sedangkan gangguan aktivitas di siang hari merupakan
komponen yang melihat dampak dari komponen lainnya, seperti
latensi tidur dan kualitas tidur (Buysse dkk., 1989). Komponen ini
dihitung berdasarkan gangguan mengantuk saat menjalani aktivitas dan
jumlah masalah yang sedang dihadapi. Skor komponen ini meliputi 0
(sangat baik) sampai dengan 3 (sangat buruk) (Buysse dkk., 1989).
Buruknya latensi tidur dan kualitas tidur pada siswi di SMA
112 Jakarta mungkin dapat disebabkan oleh penggunaan media
116
elektronik (gadget), seperti handphone mau pun tablet. Sebab telah
kita ketahui bahwa di zaman sekarang ini penggunaan gadget sangat
umum di masyarakat, khususnya para remaja yang cenderung
mengikuti tren. Berdasarkan penelitian di SMA Santo Thomas 1
Medan yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi
penggunaan handphone dan durasi penggunaan handphone terhadap
kualitas tidur (Meliani, 2014).
Dengan demikian maka siswi SMA 112 Jakarta perlu
memperhatikan pola tidur, karena berdasarkan hasil pengumpulan data
diketahui bahwa pola tidur siswi SMA 112 Jakarta sebagian besar
kurang memenuhi syarat. Hal ini dibuktikan dari hasil pengumpulan
data, diketahui banyak siswi yang mengalami gangguan aktivitas pada
siang hari, seperti mengantuk, yang mungkin disebabkan adanya
latensi tidur dan kualitas tidur yang buruk. Salah satu yang dapat
dilakukan adalah dengan meningkatkan upaya untuk memperbaiki
latensi dan kualitas tidur, yang mungkin dapat dilakukan dengan cara
mengurangi penggunaan gadget.
Di samping itu buruknya pola tidur juga mungkin dapat
disebabkan oleh rendahnya asupan kalsium pada siswi SMA 112
Jakarta. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kalsium memiliki efek
terhadap metabolism dan regulasi serotonin (Thys-Jacobs, 2000).
Sedangkan serotonin merupakan zat kimia yang berguna untuk kualitas
tidur yang normal (Lau, 2011). Dikarenakan zat ini sangat
mempengaruhi suasana hati seseorang yang berhubungan dengan
117
gejala PMS, seperti depresi, kecemasan, ketertarikan, kelelahan, dan
kesulitan tidur (Saryono dan Sejati, 2009). Sehingga cara lain yang
dapat dilakukan dalam memperbaiki pola tidur adalah dengan
meningkatkan konsumsi sumber kalsium, seperti susu dan hasil
produksinya.
13. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh seimbang
atau tidaknya jumlah asupan (intake) dan jumlah zat gizi yang
dibutuhkan (required) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis,
seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas atau produktivitas,
pemeliharaan kesehatan, dan lainnya (Depkes, 2006). Dalam
Kemenkes (2011) disebutkan bahwa terdapat lima jenis status gizi,
yaitu sangat kurus, kurus, normal, gemuk, dan obesitas.
Berdasarkan hasil uji chi square,diperoleh nilai p = 0,108 (>
0,05), yang menunjukan bahwa Ho diterima atau hipotesis penelitian
ditolak yaitu tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian
PMS. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Munthe
(2013) bahwa tidak ada hubungan antara tatus gizi dengan kejadian
PMS.
Meskipun hasil penelitian ini menunjukan tidak ada hubungan,
namun cenderung responden yang memiliki status gizi gemuk lebih
banyak yang mengalami PMS dengan gejala sedang hingga berat
dibandingkan dengan status gizi kurus dan normal. Hal ini dibuktikan
118
berdasarkan tabel distribusi frekuensi (tabel 5.16), ditemukan 44,4%
dari 9 orang yang memiliki status gizi kurus, 28,2% dari 103 orang
yang memiliki status gizi normal, dan 53,5% dari 15 orang yang
memiliki status gizi gemuk PMS dengan gejala sedang hingga berat.
Hal ini mungkin dapat disebabkan adanya faktor lain yang
lebih dominan seperti faktor riwayat keluarga dan faktor psikologis.
Dimana faktor genetik memainkan peranan penting terhadap hormon
estogen dan serotonin (Praschak-Rieder dkk., 2002, Huo dkk., 2007),
sedangkan faktor psikologis berhubungan dengan hormon
progesterone (Michel dan Bonnet, 2014) yang merupakan penyebab
utama dari kejadian PMS.
Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
Masho (2005), Aminah (2011), dan Seedhom (2013) yang
menemukan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan PMS.
Hasil penelitian ini yang menemukan tidak berhubungan mungkin
dapat dikarenakan tidak adanya siswi yang memiliki status gizi
obesitas. Karena menurut penelitian Masho (2005), PMS berkaitan
dengan obesitas. Karena pada wanita obesitas terjadi peningkatan
kadar serotonin (Dickerson, dkk., 2003) dan dapat meningkatkan risiko
terjadinya peradangan (inflamasi) yang berujung pada tingginya risiko
mengalami gejala PMS (Bussell, 2014). Sedangkan berbedanya hasil
penelitian ini dengan penelitian Aminah (2011) dapat disebabkan
dengan hasil ukur yang berbeda, dimana Aminah (2011) menggunakan
dua hasil ukur, yaitu normal dan tidak normal.
119
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta mengalami PMS gejala ringan
sebesar 68% (86 orang) dan sebesar 32% (41 orang) yang mengalami
gejala sedang hingga berat. Gejala yang paling banyak dialami antara
lain mudah tersinggung dan nyeri perut, yang keduanya masing-
masing sebesar 91% (116 orang).
2. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta mengalami usia menarche
normal yakni 68% (86 orang), sebesar 13% (17 orang) mengalami usia
menarche cepat, dan sebesar 19% (24 orang) mengalami usia
menarche lambat.
3. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki riwayat keluarga
yang mengalami sindrom pramenstruasi yakni sebesar 52% (66 orang),
dan sebesar 48% (61 orang) tidak memiliki riwayat keluarga yang
mengalami sindrom pramenstruasi
4. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki aktivitas fisik ringan
yakni sebesar 75% (96 orang), sebesar 25% (31 orang) memiliki
aktivitas sedang, dan tidak ada yang memiliki aktivitas fisik berat.
5. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan piridoksin
kurang yakni sebesar 68% (87 orang) dan sebesar 32% (40 orang)
memiliki asupan piridoksin cukup.
120
6. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan kalsium
kurang yakini sebesar 83% (105 orang) dan sebesar 17% (22 orang)
memiliki asupan kalsium cukup.
7. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki asupan magnesium
kurang yakni sebesar 81% (103 orang) dan sebesar 19% (24 orang)
memiliki asupan magnesium cukup.
8. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki pola tidur yang buruk
yakni sebesar 70% (89 orang) dan sebesar 30% (38 orang) memiliki
kualitas tidur baik.
9. Sebagian besar siswi SMA 112 Jakarta memiliki status gizi sangat gizi
normal yakni sebesar 81% (103 orang), sebesar 7% (9 orang) memiliki
status gizi kurus, sebesar memiliki status gizi gemuk 12% (15 orang),
dan tidak ada yang memiliki status gizi sangat kurus dan obesitas.
10. Tidak terdapat hubungan antara usia menarche dengan kejadian PMS
pada siswi SMA 112 Jakarta.
11. Terdapat hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian PMS pada
siswi SMA 112 Jakarta.
12. Tidak terdapat ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian
PMS pada siswi SMA 112 Jakarta.
13. Tidak terdapat hubungan antara asupan piridoksin (B6) dengan
kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta.
14. Terdapat hubungan antara asupan kalsium (Ca) dengan kejadian PMS
pada siswi SMA 112 Jakarta.
121
15. Tidak terdapat hubungan antara asupan magnesium (Mg) dengan
kejadian PMS pada siswi SMA 112 Jakarta.
16. Terdapat hubungan antara pola tidur dengan kejadian PMS pada siswi
SMA 112 Jakarta.
17. Tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian PMS pada
siswi SMA 112 Jakarta.
B. Saran
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
a. Diharapkan dapat melakukan promosi kesehatan berupa pembuatan
pedoman atau media kesehatan yang mudah dipahami dan menarik,
yang berkaitan dengan PMS, pola tidur yang baik dan konsumsi zat
kalsium sesuai kebutuhan remaja.
2. SMA 112 Jakarta
a. Diharapkan dapat mengadakan kegiatan promosi kesehatan berupa
penyuluhan atau pembuatan media kesehatan yang mudah
dipahami dan menarik, yang berkaitan dengan PMS, pola tidur
yang baik dan konsumsi zat kalsium sesuai kebutuhan siswi.
b. Diharapkan dapat mengadakan kegiatan yang dapat mengajak siswi
SMA 112 Jakarta untuk mengonsumsi susu, seperti “hari minum
susu bersama”.
122
3. Siswi SMA 112 Jakarta
a. Diharapkan dapat memperbaiki pola tidur dengan meningkatkan
upaya untuk memperbaiki kualitas tidur dan mengurangi latensi
tidur, dengan cara mengurangi penggunaan gadget sebelum tidur
dan meningkatkan konsumsi sumber kalsium, seperti susu dan hasil
produksinya.
b. Diharapkan dapat memperbaiki pola makan, terkait konsumsi
kalsium dengan meningkatkan konsumsi susu minimal 1
gelas/sehari dan tetap mengonsumsi bahan makanan yang
mengandung fitat dan oksalat seperti serealia, kacang-kacangan,
dan sayuran hijau, namun dengan melakukan pengolahan tertentu
sebelum dikonsumsi dan tidak dikonsumsi secara bersamaan
dengan konsumsi susu (minimal jedal 2 jam).
4. Peneliti Lain
a. Diharapkan penelitian lebih lanjut dapat dikembangkan dengan
melakukan penelitian lanjutan tentang pola tidur, untuk mengetahui
latar belakang buruknya pola tidur pada remaja.
b. Diharapkan dapat melakukan penelitian dengan menggunakan
desain penelitian lain, seperti case control study yang dapat
menggambarkan hubungan sebab akibat antar variabel penyebab
kejadian PMS.
123
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, T. J. 2010. Kadar Serum Magnesium terhadap Gambaran Sindrom
Premenstruasi yang Dinilai dengan Premenstrual Syndrome Scale Skripsi,
Universitas Sumatera Utara.
ACOG. 2006. Menstruation in Girls and Adolescents: Using the Menstrual Cycle
as a Vital Sign [Online]. Washington The American College of
Obstetricians and Gynecologists Available:
http://www.acog.org/Resources-And-Publications/Committee-
Opinions/Committee-on-Adolescent-Health-Care/Menstruation-in-Girls-
and-Adolescents-Using-the-Menstrual-Cycle-as-a-Vital-Sign [Accessed 10
Juli 2015].
Adiningrum, R. D. 2008. Karakteristik Kegemukan pada Anak Sekolah dan
Remaja di Medan dan Jakarta Selatan. Skripsi, Institut Pertanian Bogor.
Agustin, D. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur pada
Pekerja Shift di PT. Krakatau Tirta Industri Cilegon. Skripsi, Universitas
Indonesia.
Aldira, C. F. 2014. Hubungan Aktivitas Fisik dan Stres dengan Sindrom
Pramenstruasi pada Remaja Putri di SMA Bina Insani Bogor. Skripsi,
Institut Pertanian Bogor.
Allen, S. S., Allen, A. M., Lunos, S. dan Pomerleau, C. S. 2010. Severity of
Withdrawal Symptomatology in Follicular versus Luteal Quitters: The
Combined Effects of Menstrual Phase and Withdrawal on Smoking
Cessation Outcome. Addict Behav, 35, 549-52.
Allen, S. S., Mc Bride, C. M. dan Pirie, P. L. 1991. The Shortened Premenstrual
Assessment Form. J Reprod Med, 36, 769-72.
Almatsier, S. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Jakarta, PT Gramedia Pustaka
Utama.
Almatsier, S., Soetrdjo, S. dan Soekarti, M. 2011. Gizi seimbang dalam Daur
Kehidupan., Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Amaliah, N., Sari, K. dan Rosha, B. C. 2012. Status Tinggi Badan Pendek
Beresiko terhadap Keterlambatan Usia Menarche pada Perempuan
Remaja Usia 10-15 Tahun. Penel Gizi Makan, 35, 8.
Aminah, S., Rahmadani, S. dan Munadhiroh 2011. Hubungan Status Gizi dengan
Kejadian Premenstrual Syndrome di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 4
Jakarta Tahun 2011. Health Quality Jurnal Kesehatan, 2.
124
Amjad, A., Kumar, R. dan Mazher, S. B. 2014. Socio-demographic Factors and
Premenstrual Syndrome among Women attending a Teaching Hospital in
Islamabad, Pakistan. J Pioneer Med Sci, 4, 4.
Andrews, G. 2001. Sindrom Pramenstruasi. In: ANDREWS, G. (ed.) Buku Ajar:
kesehatan Reproduksi Wanita. 2 ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Anggrajani, F. dan Muhdi, N. 2011. Korelasi Faktor Risiko dengan Derajat
Keparahan Premenstrual Syndrome pada Dokter Perempuan. Jurnal
Universitas Airlangga.
Bagga, A. dan Kulkarni, S. 2000. Age at Menarche and Secular Trend in
Maharashtrian (Indian) Girls. Acta Biologica Szegediensis, 44, 5.
Baker, F. C., Kahan, T. L., Trinder, J. dan Colrain, I. M. 2007. Sleep Quality and
the Sleep Electroencephalogram in Women with Severe Premenstrual
Syndrome. Sleep, 30, 1283-1291.
Balaha, M. H., Abd El Monem Amr, M., Saleh Al Moghannum, M. dan Saab Al
Muhaidab, N. 2010. The Phenomenology of Premenstrual Syndrome in
Female Medical Students: a Cross Sectional Study. The Pan African
Medical Journal, 5, 4.
Benson, R. C. dan Pernoll, M. L. 1994. Buku Saku Obsertri dan Ginekologi,
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Borenstein, J. E., Dean, B. B., Endicott, J., Wong, J., Brown, C., Dickerson, V.
dan Yonkers, K. A. 2004. Health and economic impact of the
premenstrual syndrome. J Reprod Med, 48, 515-24.
Brahmbhatt, S., Sattigeri, B. M., Shah, H., Kumar, A. dan Parikh, D. 2013. A
Prospective Survey Study on Premenstrual Syndrome in Young and Middle
Aged Women with an Emphasis on Its Management. Int J Res Med Sci, 1,
69-72.
Brunner dan Suddarth 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Bussell, G. 2014. Fact Sheet: Premenstrual Syndrome (PMS) [Online]. UK:
British Dietetic Association. Available:
https://www.bda.uk.com/foodfacts/pms [Accessed 30 November 2014].
Buysse, D. J., Reynolds, C. F., 3rd, Monk, T. H., Berman, S. R. dan Kupfer, D. J.
1989. The Pittsburgh Sleep Quality Index: a New Instrument for
Psychiatric Practice and Research. Psychiatry Res, 28, 193-213.
Caspersen, C. J., Powell, K. E. dan Christenson, G. M. 1985. Physical activity,
exercise, and physical fitness: definitions and distinctions for health-
related research. Public Health Reports, 100, 126-131.
125
Chandra, D. N. 2014. Mengapa Tidak Boleh Minum Teh Langsung Setelah
Makan? Intisari. Jakarta: Kompas Gramedia.
Cheng, S. H., Shih, C. C., Yang, Y. K., Chen, K. T., Chang, Y. H. dan Yang, Y.
C. 2013. Factors Associated with Premenstrual Syndromed A Survey of
New Female University Students. Kaohsiung Journal of Medical Sciences,
29, 6.
Cueller, G. dan Ratcliffe, J. 2008. A Comparison Of Glycemic Control , Sleep,
Fatique, and Depression, in Type 2 Diabetes with and without Restless
Leg Syndrome. J clin sleep med, 4, 7.
Cunha, d. B., Zanetti, L. dan Hass, J. 2008. Sleep Quality in Type 2 Diabetics.
Rev Latino-am Enfermagem, 16, 6.
Dahlan, M. S. 2009. Statistik untuk Kedokteran Kesehatan, Jakarta, Salemba
Medika.
Dangal, G. 2004. Menstrual Disorders in Adolescents. The Internet Journal of
Gynecology and Obstetrics, 4.
Delara, M., Ghofranipour, F., Azadfallah, P., Tavafian, S. S., Kazemnejad, A. dan
Montazeri, A. 2012. Health Related Quality of Life Among Adolescents
With Premenstrual Disorders: a Cross Sectional Study. Health and Quality
of Life Oucomes, 10.
Dennerstein, L., Lehert, P., Keung, L. S., Pal, S. A. dan Choi, D. 2010. Asian
Study of Effects of Premenstrual Symptoms on Activities of Daily Life.
Menopause Int, 16, 146-51.
Depkes 2006. Glosarium: Data dan Informasi Kesehatan, Jakarta, Pusat Data dan
Informasi Depkes RI.
Derman, O., Kanbur, Tokur dan Kutluk 2004. Premenstrual Syndrome and
Associated Symptoms in Adolescent Girls. Eur. J. Obstet Gynecol Reprod
Biol., 116, 5.
Devi, M. 2009. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Kejadian Sindrom
Pramenstruasi pada Remaja Putri. Teknologi dan Kejuruan, 32, 11.
Dewi, A. S. 2010. Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Remaja dalam
Menghadapi Sindrom Premenstruasi di SMP Al-Azhar Medan Tahun
2010. Skripsi, Universitas Sumatera Utara.
Dickerson, L. M., J, P., Mazyck dan Hubter, M. 2003. Premenstrual Syndrome.
Am Fam Physician, 67, 9.
Dinkes. 2014. Hal-Hal Yang Mempengaruhi Kebutuhan Gizi: Kategori Tingkat
Aktivitas [Online]. Available:
http://dinkes.jogjaprov.go.id/gizi/index.php/home/halpenting [Accessed 25
November 2014].
126
Emilia, O. 2008. Premenstrual Syndrome (PMS) and Premenstrual Dysphoric
Disorder (PMDD) in Indonesian Women. Journal of The Medical
Sciences, 40.
Emilia, S. L., Salmah, A. U. dan Rahma 2013. Perbandingan Usia Menars dan
Pola Siklus Menstruasi antara Remaja Putri di Kota dan Desa (SMP
Negeri 6 Makassar dan SMP Negeri 11 Bulukumba) di Sulawesi Selatan
Tahun 2013. Jurnal Unhas.
Fauziah, R. R. N. 2013. Gambaran Kualitas Tidur pada Wanita Lanjut Usia di
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi Bandung. Skripsi, Universitas
Pendidikan Indonesia.
Freeman, E. W. 2007. Epidemiology and Etiology of Premenstrual Syndromes.
Gibson, R. S. 2005. Principles of Nutritional Assessment, New York, Oxford
University Press.
Groves, R. M., Fowler, F. J., Couper, M. P., Lepkowski, J. M., Singer, E. dan
Tourangeau, R. 2009. Survey Methodology, Canada, Wiley Series.
Hapsari, N. D. 2010. Hubungan Sindroma Pramenstruasi dan Insomnia pada
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Skripsi, Universitas Sebelas Maret.
Harber, V. J. dan Sutton, J. R. 1984. Endorphins and Exercise. Sports Med., 1,
154-71.
Hastono, S. P. dan Sabri, L. 2008. Statistik Kesehatan, Jakarta, PT. RahaGrafindo
Persada.
Hotz, C. dan Gibson, R. S. 2007. Traditional food-processing and preparation
practices to enhance the bioavailability of micronutrients in plant-based
diets. J Nutr, 137, 1097-100.
Huo, L., Straub, R. E., Roca, C., Schmidt, P. J., Shi, K., Vakkalanka, R.,
Weinberger, D. R. dan Rubinow, D. R. 2007. Risk for Premenstrual
Dysphoric Disorder Is Associated with Genetic Variation in ESR1, the
Estrogen Receptor Alpha Gene. Biological Psychiatry, 62, 925-933.
Johnson, E. R. B., Hankinson, S. E., Willett, W. C., Johnson, S. R. dan Manson, J.
E. 2010. Adiposity and the Development of Premenstrual Syndrome. J
Womens Health (Larchmt). 19, 7.
Karaman, H. I. O., Tanriverdi, G. dan Degimenci, Y. 2012. Subjective Sleep
Quality in Premenstural Syndrome. Jurnal Gynecological Endocrinology,
28, 5.
Kemdikbud. 2014. Jumlah Siswi SMA menurut Tingkat Berdasarkan Data Tahun
2013/2014 [Online]. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Atas Direktorat Jederal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan
127
dan Kebudayaan. Available:
http://psma.kemdikbud.go.id/home/statistik/data03.php?kota=KOTA%20J
AKARTA%20BARAT&stat=NEGERI [Accessed 27 Maret 2015].
Kemenkes 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.
Kemenkes 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, Jakarta,
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes RI.
Kemenkes 2014. Pedoman Gizi Seimbang, Jakarta, Direkrorat Jenderal Bina Gizi
dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI.
Kroll, A. R. 2010. Recreational Physical Activity and Premenstrual Syndrome in
College-Aged Women. S2, University of Massachusetts Amherst.
Kusumatutik, W. 2013. Hubungan antara Asupan Gizi Vitamin B6 dan kalsium
terhadap Kejadian Pra Menstruasi Sindrom pada Siswi Kelas X SMA
Bhinneka Karya 2 Boyolali. Skripsi, Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Kusumawardhani, D. A., Husein, A. N. dan Bakhriansyah, M. 2014. Hubungan
Kejadian Premenstrual Syndrome (PMS) dengan Kejadian Insomnia pada
Mahasiswi Fakultas Kedokteran ULAM Banjarmasin. Berkala
Kedokteran, 10, 9.
Lanywati, E. 2008. Insomnia Gangguan Sulit Tidur, Yogyakarta, Kanisius.
Lau, E. 2011. Super Sehat dalam 2 Minggu, Penerbit, Gramedia Pustaka Utama.
Lee, M., Kim, J., Lee, J. dan Kim, D. 2002. The Standardization of the Shortened
Premenstrual Assessment Form and Applicability on the Internet. . J
Korean Neuropsychiatr Assoc, 41, 8.
Lustyk, M. K. B. dan Gerrish, W. G. 2010. Issues of Quality of Life, Stress and
Exercise. Premenstrual Syndrome and Premenstrual Dysphoric Disorder.
Jerman: Springer Science.
Magnay, KM, I., G, C., L, C., PW, J. dan S, O. B. 2006. Serotonin Transporter,
Tryptophan Hydroxylase, and Monoamine Oxidase a Gene
Polymorphisms in Premenstrual Dysphoric Disorder. Am J Obstet
Gynecol., 195, 5.
Marjoribanks, J., Brown, J., O'Brien, P. M. dan Wyatt, K. 2013. Selective
Serotonin Reuptake Inhibitors for Premenstrual Syndrome. Cochrane
Database Syst Rev, 6, Cd001396.
Masho, S., Adera, T. dan South Paul, J. 2005. Obesity as a Risk Factor for
Premenstrual Syndrome. J Psychosom Obstet Gynaecol., 26, 6.
Mayyane. 2011. Hubungan antara Tingkat Stres dengan Kejadian Sindrom Pra
Menstruasi pada Siswi SMA Negeri 1 Padang Panjang Tahun 2011.
Skripsi, Universitas Andalas.
128
Meliani. 2014. Pengaruh Penggunaan Media Elektronik terhadap Kualitas Tidur
Siswa-Siswi SMA Santo Thomas 1 Medan Skripsi, Universitas Sumatera
Utara.
Michel, C. L. dan Bonnet, X. 2014. Effect of a brief stress on progesterone
plasma levels in pregnant and non-pregnant guinea pigs. Animal Biology,
64, 19-29.
Moghadam, A. D., Sayehmiri, K., Delpisheh, A. dan Kaikhavandi, S. 2014.
Epidemiology of Premenstrual Syndrome (PMS)-A Systematic Review and
Meta-Analysis Study. Journal of Clinical and Diagnostic Research : JCDR,
8, 106-109.
Munthe, N. B. G. 2013. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Premenstrual
Syndrome (PMS) pada Remaja Puteri di SMP Negeri 3 Berastagi. Skripsi,
Universitas Sumatera Utara.
Nelson, L. M. 2012. Fact Sheet: Menstruation [Online]. Available:
Http://Www.Womenshealth.Gov/Publications/Our-Publications/Fact-
Sheet/Menstruation.Html [Accessed 20 Oktober 2014].
NIH. 2014. Premenstrual Syndrome [Online]. United states: National Institute of
Health. Available:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/premenstrualsyndrome.html
[Accessed 17 November 2014].
North American Menopause Society 2010. Estrogen and Progestogen Use in
Postmenopausal Women: 2010 Position Statement of The North American
Menopause Society. Menopause., 17, 12.
Notoatmodjo, S. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta, Rineka Cipta.
Nurmalasari, Y., Hidayanti, L. dan Setiyon, A. 2013. Kebiasaan Konsumsi
Pangan Sumber Kalsium dan Kejadian Premenstrual Syndrome (PMS)
pada Remaja Putri di SMA Negeri 5 Tasik Malaya Tahun 2013. Skripsi,
Universitas Siliwangi.
Nurmiaty, Wilopo, S. A. dan Sudargo, T. 2011. Perilaku Makan dengan Kejadian
Sindrom Premenstruasi pada Remaja. Berita Kedokteran Masyarakat, 27,
7.
O'Brien, P. S., Rapkin, A. J. dan Schmidt, P. J. 2007. The Premenstrual
Syndromes: PMS and PMDD, London, Informa Healthcare.
Padmavathi, P., Sankar, S. R. dan Kokilavani, N. 2013. A Correlation Study on
Premenstrual Symptomps among Adolescents Girls. Asian J Health Sci, 1,
4.
129
Prabowo, A. E., M., R. M. dan Sholehudin, M. 2013. Hubungan Tingkat Stres
Dengan Derajat Keparahan Sindrom Pramenstruasi. Jurnal Kesehatan
Mesencephalon, 1.
Praschak-Rieder, N., Willeit, M., Winkler, D., Neumeister, A., Hilger, E., Zill, P.,
Hornik, K., Stastny, J., Thierry, N., Ackenheil, M., Bondy, B. dan Kasper,
S. 2002. Role of Family History and 5-HTTLPR Polymorphism in Female
Seasonal Affective Disorder Patients with and without Premenstrual
Dysphoric Disorder. Eur Neuropsychopharmacol, 12, 129-34.
Pujihastuti, E. K. 2012. Hubungan antara Rasio Lingkar Pinggang Panggul,
Asupan zat Gizi dan Aktifitas Fisik dengan Kejadian Syndrome
Pramenstruasi pada Siswi MTs N Mlinjon Filial Trucuk Klaten Tahun
2012. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1, 5.
Putri, R. P. D. P. 2013. Hubungan antara Derajat Sindrom Pramenstruasi dan
Aktivitas Fisik dengan Perilaku Makan pada Remaja Putri. Skripsi,
Universitas Diponegoro.
Ray, S., Mishra, S., Roy, A. G. dan Das, B. M. 2010. Menstrual Characteristics:
A Study of The Adolescent of Rulan and Urban West Bengal, India. Annals
Human Biology, 37, 14.
Sacher, R. A. dan McPherson, R. A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Saryono dan Sejati, W. 2009. Sindrom Pramenstruasi, Yogyakarta, Nuha Medika.
Septiani, T. A. 2009. Hubungan Asupan Vitamin B6, Kalsium, dan Magnesium
dengan Kejadian Premenstrual Syndrome (PMS). Skripsi.
Setianingsih, A. 2012. Hubungan Status Vegetarian dengan Derajat Sindrom
Pramenstruasi pada Remaja. Skripsi, Universitas Diponegoro.
Shechter, A. dan Boivin, D. B. 2010. Sleep, Hormones, and Circadian Rhythms
throughout the Menstrual Cycle in Healthy Women and Women with
Premenstrual Dysphoric Disorder. International Journal of Endocrinology,
2010, 17.
Sianipar, O., Bunawan, N. C., Almazini, P., Calista, N., Wulandari, P., Rovenska,
N., Djuanda, R. E., Irene, Seno, A. dan Suarthana, E. 2009. Prevalensi
Gangguan Menstruasi danFaktor-faktor yang Berhubungan padaSiswi
SMU di Kecamatan Pulo GadungJakarta Timur. Artikel Penelitian Maj
Kedokt Indon, 59.
Siantina, R. 2010. Hubungan antara Asupan Zat Gizi dan Aktivitas Olahraga
dengan Kejadian Premenstrual Syndrome (PMS) pada Remaja Putri di
SMAN 1 Padang Tahun 2010. Skripsi, Universitas Andalas.
130
Silvia, C. M. L. d., Gigante, D. P. dan Minten, G. C. 2008. Premenstrual
Symptoms and Syndrome According to Age at Menarche in a 1982 Birth
Cohort in Southern Brazil. Cad. Saude Publica, Rio de Janeiro, 24, 10.
Siyamti, S. dan Pertiwi, H. W. 2011. Hubungan antara Tingkat Kecemasan
dengan Sindrom Premenstruasi pada Mahasiswi Tingkat II Akademi
Kebidanan Estu Utomo Boyolali. Jurnal Kebidanana, 3.
Souza, E. G. V., Ramos, M. G., Hara, C., Stumpf, B. P. dan Rocha, F. L. 2012.
Neuropsychological Performance and Menstrual Cycle: a Literature
Review. Trends Psychiatry Psychother, 34, 7.
Suparman, E. 2010. Premenstrual Syndrome, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Tambing, Y. 2012. Physical Activity and Premenstrual Syndrome in Teenagers.
Thesis, Universitas Gajah Mada.
Thys-Jacobs, S. 2000. Review: Micronutrients and the Premenstrual Syndrome:
the Case for Calcium. J Am Coll Nutr, 19, 220-7.
Tolossa, F. W. dan Bekele, M. L. 2014. Prevalence, Impacts and Medical
Managements of Premenstrual Syndrome among Female Students: Cross-
Sectional Study in College of Health Sciences, Mekelle University,
Mekelle, Northern Ethiopia. BMC Women's Health, 14.
UMM. 2013. Premenstrual syndrome [Online]. Available:
http://umm.edu/health/medical/reports/articles/premenstrual-syndrome
[Accessed 18 November 2014].
Visser, A. K. D., van Waarde, A., Willemsen, A. T. M., Bosker, F. J., Luiten, P.
G. M., den Boer, J. A., Kema, I. P. dan Dierckx, R. 2011. Measuring
Serotonin Synthesis: from Conventional Methods to PET Tracers and
Their (Pre)Clinical Implications. Eur J Nucl Med Mol Imaging, 38, 576-
91.
WHO. 2014a. Adolescent Health [Online]. Switzerland: World Health
Organization. Available: http://www.who.int/topics/adolescent_health/en/
[Accessed 17 November 2014].
WHO. 2014b. Physical Activity [Online]. Switzerland: World Health
Organization. Available: http://www.who.int/topics/physical_activity/en/
[Accessed 18 November 2014].
WHO. 2015a. Physical Activity [Online]. Switzerland: World Health
Organization. Available: http://www.who.int/dietphysicalactivity/pa/en/ 16
Juni 2015].
WHO. 2015b. Physical Activity and Young People [Online]. Switzerland: World
Health Organization. Available:
131
http://www.who.int/dietphysicalactivity/factsheet_young_people/en/
[Accessed 16 Juni 2015].
Wijaya, A. 2006. Biologi IX, Jakarta, Penerbit Grasindo.
Wiley, J. dan Sons 2012. Premenstrual Syndrome. In: EDMOND, K. (ed.)
Dewhurst's Textbook of Obstetrics and Gynaecology. 8 ed. UK: Wiley-
Blackwell.
William dan Wilkins 2000. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan
Klinis, Jakarta, Penerbit EGC.
Young, S. N. 2007. How to Increase Serotonin in The Human Brain without
Drugs. J Psychiatry Neorpsci, 32, 5.
Zaka, M. dan Mahmood, K. T. 2012. Premenstrual Syndrome - a Review J.
Pharm. Sci. & Res., 4, 7.
132
LAMPIRAN
133
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi
(PMS) pada Siswi di SMA 112Jakarta Tahun 2014
(Indah Ratikasari | 1111101000115)
Salam Sejahtera,
Perkenalkan, saya Indah Ratikasari mahasiswi Peminatan Gizi Program Studi
Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sehubungan dengan
penyelesaian tugas akhir saya, maka saya melakukan penelitian yang berjudul
“Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom Pramenstruasi pada
Siswi di SMA 112 Jakarta Tahun 2014”. Adapun salah satu cara untuk
mendapatkan data adalah dengan menyebarkan kuesioner kepada responden.
Untuk itu, saya mengharapkan kesediaan adik-adik sekalian untuk membantu saya
dalam mengisi kuesioner ini sebagai data yang akan dipergunakan dalam
penelitian. Kuesioner ini semata-mata hanya digunakan untuk keperluan akademis
dan akan dirahasiakan, untuk itu dimohon untuk menjawab setiap pertanyaan
dengan jujur sesuai dengan apa yang adik-adik alami. Atas kesediaan dan
partisipasinya, saya ucapkan terima kasih.
Peneliti
(Indah Ratikasari)
No. Responden
(diisi peneliti)
134
Petunjuk Umum:
1. Baca setiap poin pertanyaan dengan seksama
2. Isi jawaban pada pertanyaan tanpa pilihan atau berilah tanda silang (X) untuk
pertanyaan pilihan, yang paling sesuai dengan apa yang kamu alami.
3. Periksa kembali lembar kuesioner, dan pastikan tidak ada poin pertanyaan
yang terlewat.
4. Kembalikan lembar kuesioner ini pada petugas yang menjaga.
A. Identitas Responden No. Pertanyaan Jawaban
1. Nama lengkap
2. Tanggal lahir
(dd/mm/yy)
Contoh pengisian: 09 - Juli – 1993
3. No. HP
4. Umur pertama kali mengalami menstruasi Contoh pengisian: 1 SMP - 13 tahun
B. Status Gizi (diisi peneliti) No. Pertanyaan Jawaban Koding
(diisi peneliti)
1. Berat Badan (kg)
2. Tinggi Badan (cm)
3. IMT (kg/m2)
4. IMT/U 1. Sangat kurus (< -3 SD)
2. Kurus (-3 SD sampai dengan < -2 SD)
3. Normal (-2 SD sampai dengan 1 SD)
4. Gemuk (> 1 SD sampai dengan 2 SD)
5. Obesitas (> 2 SD)
[ ]
135
C. Kejadian Sindrom Pramenstruasi (Shortened Premenstrual Assessment
Form (sPAF)) Petunjuk: Untuk setiap gejala di bawah ini, beri tanda silang (X) pada angka
yang paling sesuai menggambarkan intensitas gejala pramenstruasi pada siklus
menstruasi terakhir. Gejala-gejala dibawah ini, merupakan gelaja yang
mungkin terjadi selama fase pramenstruasi. Fase ini dimulai sekitar 7 hari
sebelum siklus menstruasi dimulai dan berakhir saat waktu menstruasi
dimulai.
Isilah dengan: 1 = tidak mengalami, 2 = sangat ringan, 3 = ringan, 4 = sedang, 5 = berat, dan 6 =
ektrim).
No. Pertanyaan Jawaban
1. Payudara terasa nyeri saat ditekan atau tanpa ditekan, terjadi
pembesaran atau pembengkakan.
1 2 3 4 5 6
2. Merasa kamu tidak mampu mengatasi atau kewalahan oleh
tuntutan atau persoalan yang biasanya dijalani
1 2 3 4 5 6
3. Merasa di bawah tekanan (cemas/tertekan) 1 2 3 4 5 6
4. Mudah tersinggung, lekas marah yang meledak-ledak atau
berlebihan
1 2 3 4 5 6
5. Merasa sedih, galau, tidak bersemangat, sensitive terhadap
penolakan meningkat, mudah menangis
1 2 3 4 5 6
6. Sakit punggung dan panggul, nyeri sendi dan otot, atau
kekakuan sendi
1 2 3 4 5 6
7. Peningkatan berat badan 1 2 3 4 5 6
8. Perut terasa berat, tidak nyaman, sakit atau nyeri 1 2 3 4 5 6
9. Adanya edema, pembengkakan/bengkak, atau retensi air pada
kaki atau pergelangan kaki
1 2 3 4 5 6
10. Perut terasa kembung 1 2 3 4 5 6
D. Riwayat Keluarga No. Pertanyaan Jawaban Koding
(diisi peneliti) Ya Tidak
1. Apakah ada anggota keluarga kamu yang
mengalami gejala sindrom pramenstruasi yang
sampai mengganggu aktivitas harian?
1 2 [ ]
2. Jika ada, siapa anggota keluarga tersebut?
2.1 Saudara kandung perempuan 1 2 [ ]
2.2 Ibu 1 2 [ ]
Jumlah Skor (diisi peneliti) __________ [ ]
136
E. Pola Tidur (Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI))
I. Bagian I
Petunjuk: Pertanyaan dibawah ini berhubungan dengan kebiasaan tidur
yang biasa kamu lakukan selama 1 (satu) bulan terakhir. Jawabanmu
harus menunjukkan jawaban yang paling tepat yang kamu alami. Dimohon
untuk mengisi pertanyaan di bawah ini secara lengkap.
No. Pertanyaan Jawaban
1. Selama 1 (satu) bulan teakhir, jam berapa kamu biasanya
pergi ke tempat tidur?
2. Selama 1 (satu) bulan teakhir, berapa lama (dalam menit)
biasanya waktu yang dibutuhkan untuk terlelap di setiap
malam?
3. Selama 1 (satu) bulan teakhir, jam berapa kamu biasanya
bangun pagi?
4. Selama 1 (satu) bulan teakhir, berapa jam biasanya kamu
benar-benar tidur (terlelap) di malam hari? (hal ini berbeda
dengan lamanya kamu menghabiskan waktu di tempat tidur
(seperti: tidur-tiduran)
II. Bagian II
Petunjuk: Untuk setiap pertanyaan di bawah ini, pilihlah 1 (satu) jawaban
yang paling tepat sesuai dengan apa yang kamu alami. Dimohon untuk
mengisi pertanyaan di bawah ini secara lengkap.
Isilah dengan: 0 = tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir; 1 = kurang dari 1 (satu) kalo dalam
seminggu; 2 = 1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu; 3 = 3 (tiga) kali atau lebih dalam
seminggu
No. Pertanyaan Jawaban
5. Selama 1 (satu) bulan terakhir, berapa banyak gangguan tidur yang
kamu alami karena…
5.1 Tidak bisa tidur selama 30 menit
5.2 Terbangun ditengah malam
5.3 Terbangun karena ingin ke toilet
5.4 Batuk atau mendengkur dengan keras
5.5 Merasa kedinginan
5.6 Merasa kepanasan
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
5.7 Mengalami mimpi buruk 0 1 2 3
5.8 Merasa kesakitan 0 1 2 3
5.9 Alasan lain, bila ada mohon disebutkan
5.10 Seberapa sering kamu mengalami masalah tidur di atas selama 1
(satu) bulan teakhir?
0 1 2 3
Isilah dengan: 0 = sangat baik; 1 = cukup baik; 2 = cukup buruk; 3 = sangat buruk
No. Pertanyaan Jawaban
6. Selama 1 (satu) bulan terakhir, bagaimana tingkat kualitas tidur kamu
secara keseluruhan?
0 1 2 3
137
Isilah dengan: 0 = tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir; 1 = kurang dari 1 (satu) kalo dalam
seminggu; 2 = 1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu; 3 = 3 (tiga) kali atau lebih dalam
seminggu
No. Pertanyaan Jawaban
7. Selama 1 (satu) bulan terakhir, seberapa sering kamu mengonsumsi
obat (resep dari dokter, obat dari apotik, atau pun obat warung) untuk
membantu kamu tidur?
0 1 2 3
8. Selama 1 (satu) bulan terakhir, seberapa sering kamu mengalami
masalah mengantuk ketika menjalani aktivitas di siang hari (seperti:
menyetir, makan, belajar, atau dalam kegiatan aktivitas sosial)?
0 1 2 3
Isilah dengan: 0 = tidak ada masalah; 1 = hanya sangat sedikit masalah; 2 = sedikit masalah; 3 =
1(satu) masalah yang sangat besar
No. Pertanyaan Jawaban
9. Selama 1 (satu) bulan terakhir, seberapa banyak masalah yang kamu
alami yang secara antusias ingin kamu selesaikan?
0 1 2 3
Jumlah Skor (diisi peneliti) __________ [ ]
138
F. Asupan Zat Mikro (Food Record dan Food Recall)
I. Food Record 3 x 24 jam
Petunjuk: Isilah tabel di bawah ini secara lengkap setiap kali kamu
mengonsumsi makanan dan minuman.
Waktu
makan
Makanan Bahan Makanan Banyak yang
dikonsumsi
Keterangan
URT
Berat (g) Tempat
membeli,
merk)
Hari 1
Pagi
Siang
Malam
Hari 2
Pagi
Siang
Malam
Hari 3
Pagi
Siang
Malam
139
II. Food Recall 3 x 24 jam (diisi peneliti)
Waktu
makan
Makanan Bahan Makanan Banyak yang
dikonsumsi
Keterangan
URT
Berat (g) Tempat
membeli,
merk)
Hari 1
Pagi
Siang
Malam
Hari 2
Pagi
Siang
Malam
Hari 3
Pagi
Siang
Malam
140
G. Aktivitas Fisik (Recall aktvitas fisik 2x24 jam WHO (1985) modifikasi
WNPG VIII (2004))
Petunjuk: Tuliskan kegiatan kamu pada 24 jam yang lalu dari bangun tidur
hingga tidur kembali secara lengkap. Kemudian, periksa kembali apakah
kegiatan yang kamu tuliskan sudah sesuai dengan apa yang telah kamu
lakukan.
Contoh pengisian: Waktu
(jam)
Kegiatan Durasi
(…jam …menit)
5.00 – 5.10 Bangun tidur (merapikan tempat tidur) 10 menit
5.10 – 5.40 Mandi pagi + pakai seragam 40 menit
5.40 – 5.55 Menyiapkan bekal 15 menit
5.55 – 6.10 Sarapan 10 menit
6.10 – 6.30 Berangkat ke sekolah (diantar naik motor) 20 menit
6.30 – 9.50 Masuk sekolah (belajar) 3 jam 20 menit
9.50 – 10.05 Istirahat I (jajan cemilan) 15 menit
10.05 – 12.25 Belajar 2 jam 20 menit
12.25 – 12.55 Istirahat II (Makan bekal) 30 menit
12.55 – 14.50 Belajar 1 jam 55 menit
14.50 – 16.55 Ekskul saman 2 jam 5 menit
16.55 – 17.35 Pulang ke rumah (naik angkot, harus jalan dulu 3
menit)
40 menit
17.15 – 17.45 Mandi sore + pakai baju 30 menit
17.45 – 19.55 Istirahat (nonton tv) 2 jam 10 menit
19.55 – 20.00 Belajar dan membereskan buku 1 jam 5 menit
20.00 – 20.20 Persiapan tidur (gosok gigi, cuci muka) 20 menit
20.20 – 5.00 Tidur 7 jam 40 menit
Waktu
(jam)
Kegiatan Durasi
(…jam
…menit)
141
Lampiran 2 Perhitungan Kuesioner PSQI
The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) memiliki 18 pertanyaan. 18
pertanyaan tersebut tergabung dalam 7 komponen skor. Dimana setiap komponen
memiliki nilai antara 0-3 poin, dengan 0 = baik dan 3 = sangat buruk. Sedangkan
hasil dari setiap komponen dijumlahkan dan menghasilkan skor total, yang
memiliki nilai antara 0-21 poin, dengan 0 = baik dan 21 = sangat buruk. Dari jarak
nilai tersebut dikategorikan kembali menjadi, 1. Baik, jika skor PSQI ≤ 5; dan 2.
Buruk, jika skor PSQI > 5.
A. Komponen 1: Kualitas tidur subyektif
Periksa pertanyaan #6, dan tetapkan nilai: Respon Skor Komponen 1
Sangat baik 0
Cukup baik 1
Cukup buruk 2
Sangat buruk 3
Skor komponen 1: _____
B. Komponen 2: Latensi tidur (kesulitan memulai tidur)
1. Periksa pertanyaan #2, dan tetapkan nilai Respon Skor
≤ 15 menit 0
16-30 menit 1
31-60 menit 2
> 60 menit 3
Skor pertanyaan #2: _____
2. Periksa pertanyaan #5a, dan tetapkan nilai Respon Skor
Tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir 0
Kurang dari 1 (satu) kali dalam seminggu 1
1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu 2
3 (tiga) kali atau lebih dalam seminggu 3
Skor pertanyaan #5a: _____
3. Jumlahkan skor pertanyaan #2 dan skor #5a
Jumlah skor pertanyaan #2 dan #5a: _____
4. Tetapkan kedua skor Jumlah skor pertanyaan #2 dan #5a Skor
0 0
1-2 1
3-4 2
5-6 3
Skor komponen 2: _____
C. Komponen 3: Durasi tidur
Periksa Periksa pertanyaan #4, dan tetapkan nilai: Respon Skor Komponen 3
> 7 jam 0
6-7 jam 1
5-6 jam 2
< 5 jam 3
Skor komponen 3: _____
D. Komponen 4:Efisiensi tidur 1. Tuliskan jawaban pertanyaan nomor 4: _____
2. Hitung jumlah jawaban pertanyaan 3 dan 1: _____
3. Hitung Efisiensi tidur
(jawaban #4 / (jawaban #3 + #1)) x 100% = _____ %
142
4. Tetapkan skor komponen 4 % Efisiesi Tidur Skor Komponen 4
> 85 0
75-84 1
65-74 2
< 65 3
Skor komponen 4: _____
E. Komponen 5: Gangguan tidur 1. Periksa pertanyaan #5b-#5j dan tetapkan skor setiap pertanyaan
Respon Skor
Tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir 0
Kurang dari 1 (satu) kali dalam seminggu 1
1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu 2
3 (tiga) kali atau lebih dalam seminggu 3
2. Jumlahkan skor pertanyaan #5b-#5j
Jumlah skor pertanyaan #5b-#5j: _____
3. Tetapkan skor komponen 5: Jumlah skor pertanyaan #5b- #5j Skor Komponen 5
0 0
1-9 1
10-18 2
19-27 3
Skor komponen 5: _____
F. Komponen 6: Penggunaan obat tidur
Periksa pertanyaan #7 dan tetapkan nilai Respon Skor
Tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir 0
Kurang dari 1 (satu) kali dalam seminggu 1
1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu 2
3 (tiga) kali atau lebih dalam seminggu 3
Skor komponen 6: _____
G. Komponen 7: Gangguan aktifitas di siang hari 1. Periksa pertanyaan #8 dan tetapkan nilai
Respon Skor
Tidak pernah selama 1 (satu) bulan terakhir 0
Kurang dari 1 (satu) kali dalam seminggu 1
1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam seminggu 2
3 (tiga) kali atau lebih dalam seminggu 3
2. Periksa pertanyaan #9 dan tetapkan nilai Respon Skor
Tidak ada masalah 0
Hanya sangat sedikit masalah 1
Sedikit masalah 2
1 (satu) masalah yang sangat besar 3
3. Jumlahkan skor pertanyaan #8 dan #9
Jumlah skor pertanyaan #8 dan #9: _____
4. Tetapkan skor komponen 7 Jumlah skor pertanyaan #8 dan #9 Skor Komponen 7
0 0
1-2 1
3-4 2
5-6 3
Skor komponen 7: _____
H. Skor global Jumlah skor komponen 1-7: _____
143
Lampiran 3 Perhitungan Recall Aktivitas Fisik
Pengelompokan aktivitas fisik berdasarkan proporsi waktu kerja mengacu pada
FAO/WHO (1985) yang dimodifikasi (WNPG VIII, 2004) dapat dilihat pada tabel
di bawah ini: Kelompok Aktivitas Jenis Kegiatan
Ringan 75% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk atau
berdiri dan 25% untuk kegiatan khusus dalam bidang
pekerjaannya.
Sedang 40% dari waktu yang digunakan adalah untuk duduk dan
berdiri dan 60% untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang
pekerjaannya.
Berat 25% waktu yang digunakan adalah untuk duduk atau berdiri
dan 75% adalah untuk kegiatan kerja khusus dalam bidang
pekerjaannya.
Contoh:
Dibagi menjadi dua kategori:
Waktu untuk duduk atau berdiri : 10” 20” 200” 15” 140”
30” 115” 40” 130” 65”
460” = 1225”
Waktu untuk melakukan pekerjaan tertentu : 10” 40” 15” 125” 3”
30” 20” = 243”
Kemudian, kategori tersebut diubah menjadi persen:
Waktu untuk duduk atau berdiri :
Waktu untuk melakukan pekerjaan tertentu :
Dari hasil di atas, maka termasuk kategori aktivitas fisik ringan.
148
Lampiran 7 Hasil Analisis Data
Uji Normalitas
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Usia awal menstruasi .185 127 .000 .925 127 .000
Skor PMS .096 127 .006 .979 127 .046
Pola tidur .101 127 .003 .962 127 .001
Asupan kalsium .154 127 .000 .858 127 .000
Asupan magnesium .105 127 .001 .927 127 .000
Kategori asupan b6 .435 127 .000 .585 127 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Analisis Univariat Kelas responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid 10 56 44.1 44.1 44.1
11 71 55.9 55.9 100.0
Total 127 100.0 100.0
Umur responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid 14 2 1.6 1.6 1.6
15 35 27.6 27.6 29.1
16 60 47.2 47.2 76.4
17 30 23.6 23.6 100.0
Total 127 100.0 100.0
Statistics
Usia awal
menstruasi Skor PMS Pola tidur Asupan kalsium
Asupan magnesium
Asupan vitamin B6
N Valid 127 127 127 127 127 127
Missing 0 0 0 0 0 0 Mean 12.64 27.36 6.87 417.373 159.561 .814
Median 13.00 27.00 7.00 297.000 145.600 .700
Std. Deviation 1.125 7.479 2.840 330.4910 69.1451 .3631
Minimum 10 11 1 38.2 43.9 .2
Maximum 16 49 17 1198.3 426.3 1.8
149
Kategori PMS
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Tidak ada gejala hingga ringan
86 67.7 67.7 67.7
Gejala sedang hingga berat 41 32.3 32.3 100.0
Total 127 100.0 100.0
Payudara teras nyeri, terjadi pembesaran atau pembengkakan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Tidak mengalami 33 26.0 26.0 26.0
Sangat ringan 35 27.6 27.6 53.5
Ringan 29 22.8 22.8 76.4
Sedang 17 13.4 13.4 89.8
Berat 10 7.9 7.9 97.6
Ekstrim 3 2.4 2.4 100.0
Total 127 100.0 100.0
Tidak mampu mengatasi atau kewalahan oleh tuntutan yang dijalani
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Tidak mengalami 28 22.0 22.0 22.0
Sangat ringan 25 19.7 19.7 41.7
Ringan 31 24.4 24.4 66.1
Sedang 32 25.2 25.2 91.3
Berat 9 7.1 7.1 98.4
Ekstrim 2 1.6 1.6 100.0
Total 127 100.0 100.0
Merasa di bawah tekanan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Tidak mengalami 34 26.8 26.8 26.8
Sangat ringan 27 21.3 21.3 48.0
Ringan 23 18.1 18.1 66.1
Sedang 21 16.5 16.5 82.7
Berat 10 7.9 7.9 90.6
Ekstrim 12 9.4 9.4 100.0
Total 127 100.0 100.0
Mudah tersinggung, lekas marah yang meledak-ledak
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Tidak mengalami 11 8.7 8.7 8.7
Sangat ringan 24 18.9 18.9 27.6
Ringan 25 19.7 19.7 47.2
Sedang 26 20.5 20.5 67.7
Berat 26 20.5 20.5 88.2
Ekstrim 15 11.8 11.8 100.0
Total 127 100.0 100.0
150
Merasa sedih, galau, tidak bersemangat, sensitif, mudah menangis
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Tidak mengalami 13 10.2 10.2 10.2
Sangat ringan 27 21.3 21.3 31.5
Ringan 29 22.8 22.8 54.3
Sedang 30 23.6 23.6 78.0
Berat 18 14.2 14.2 92.1
Ekstrim 10 7.9 7.9 100.0
Total 127 100.0 100.0
Sakit punggung dan panggul, nyeri sendiri dan otor, atau kekakuan sendi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Tidak mengalami 16 12.6 12.6 12.6
Sangat ringan 31 24.4 24.4 37.0
Ringan 25 19.7 19.7 56.7
Sedang 23 18.1 18.1 74.8
Berat 21 16.5 16.5 91.3
Ekstrim 11 8.7 8.7 100.0
Total 127 100.0 100.0
Peningkatan berat badan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Tidak mengalami 48 37.8 37.8 37.8
Sangat ringan 32 25.2 25.2 63.0
Ringan 18 14.2 14.2 77.2
Sedang 24 18.9 18.9 96.1
Berat 4 3.1 3.1 99.2
Ekstrim 1 .8 .8 100.0
Total 127 100.0 100.0
Perut terasa berat, tidak nyaman, sakit atau nyeri
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Tidak mengalami 11 8.7 8.7 8.7
Sangat ringan 31 24.4 24.4 33.1
Ringan 27 21.3 21.3 54.3
Sedang 25 19.7 19.7 74.0
Berat 20 15.7 15.7 89.8
Ekstrim 13 10.2 10.2 100.0
Total 127 100.0 100.0
Adanya edema atau retensi air pada kaki atau pergelangan kaki
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Tidak mengalami 109 85.8 85.8 85.8
Sangat ringan 11 8.7 8.7 94.5
Ringan 5 3.9 3.9 98.4
Sedang 2 1.6 1.6 100.0
Total 127 100.0 100.0
151
Perut terasa kembung
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Tidak mengalami 56 44.1 44.1 44.1
Sangat ringan 37 29.1 29.1 73.2
Ringan 15 11.8 11.8 85.0
Sedang 13 10.2 10.2 95.3
Berat 5 3.9 3.9 99.2
Ekstrim 1 .8 .8 100.0
Total 127 100.0 100.0
Jumlah gejala
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid 1 1 .8 .8 .8
3 4 3.1 3.1 3.9
4 3 2.4 2.4 6.3
5 9 7.1 7.1 13.4
6 19 15.0 15.0 28.3
7 28 22.0 22.0 50.4
8 42 33.1 33.1 83.5
9 13 10.2 10.2 93.7
10 8 6.3 6.3 100.0
Total 127 100.0 100.0
Kategori usia awal menstruasi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Cepat 17 13.4 13.4 13.4
Normal 86 67.7 67.7 81.1
Lambat 24 18.9 18.9 100.0
Total 127 100.0 100.0
Riwayat keluarga
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Ada 66 52.0 52.0 52.0
Tidak ada 61 48.0 48.0 100.0
Total 127 100.0 100.0
Riwayat keluarga dari saudara kandung perempuan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Ya 33 26.0 26.0 26.0
Tidak 94 74.0 74.0 100.0
Total 127 100.0 100.0
Riwayat keluarga dari ibu
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Ya 47 37.0 37.0 37.0
Tidak 80 63.0 63.0 100.0
Total 127 100.0 100.0
Aktifitas fisik
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Ringan 96 75.6 75.6 75.6
Sedang 31 24.4 24.4 100.0
Total 127 100.0 100.0
152
Kategori asupan kalsium
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Kurang 105 82.7 82.7 82.7
Cukup 22 17.3 17.3 100.0
Total 127 100.0 100.0
Kategori asupan magnesium
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Kurang 103 81.1 81.1 81.1
Cukup 24 18.9 18.9 100.0
Total 127 100.0 100.0
Kategori asupan b6
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Kurang 87 68.5 68.5 68.5
Cukup 40 31.5 31.5 100.0
Total 127 100.0 100.0
Kategori pola tidur
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Baik 44 34.6 34.6 34.6
Buruk 83 65.4 65.4 100.0
Total 127 100.0 100.0
Indeks massa tubuh berdasarkan umum
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Kurus 9 7.1 7.1 7.1
Normal 103 81.1 81.1 88.2
Gemuk 15 11.8 11.8 100.0
Total 127 100.0 100.0
Analisis Bivariat Kategori usia awal menstruasi * Kategori PMS Crosstabulation
Kategori PMS
Total
Tidak ada gejala hingga
ringan Gejala sedang hingga berat
Kategori usia awal menstruasi
Cepat Count 9 8 17
% within Kategori usia awal menstruasi
52.9% 47.1% 100.0%
Normal Count 59 27 86
% within Kategori usia awal menstruasi
68.6% 31.4% 100.0%
Lambat Count 18 6 24
% within Kategori usia awal menstruasi
75.0% 25.0% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Kategori usia awal menstruasi
67.7% 32.3% 100.0%
153
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 2.311a 2 .315
Likelihood Ratio 2.240 2 .326 Linear-by-Linear Association 2.028 1 .154
N of Valid Cases 127
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.49.
Riwayat keluarga * Kategori PMS Crosstabulation
Kategori PMS
Total
Tidak ada gejala hingga
ringan Gejala sedang hingga berat
Riwayat keluarga Ada Count 36 30 66
% within Riwayat keluarga 54.5% 45.5% 100.0%
Tidak ada Count 50 11 61
% within Riwayat keluarga 82.0% 18.0% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Riwayat keluarga 67.7% 32.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-
sided) Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 10.904a 1 .001
Continuity Correctionb 9.686 1 .002
Likelihood Ratio 11.243 1 .001
Fisher's Exact Test .001 .001
Linear-by-Linear Association
10.818 1 .001
N of Valid Cases 127
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19.69.
b. Computed only for a 2x2 table
New Aktivitas fisik * Kategori PMS Crosstabulation
Kategori PMS
Total
Tidak ada gejala hingga
ringan
Gejala sedang
hingga berat
New Aktivitas fisik
Ringan Count 63 32 95
% within New Aktivitas fisik
66.3% 33.7% 100.0%
Sedang Count 23 9 32
% within New Aktivitas fisik
71.9% 28.1% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within New Aktivitas fisik
67.7% 32.3% 100.0%
154
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-
sided) Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .338a 1 .561
Continuity Correctionb .132 1 .716
Likelihood Ratio .344 1 .558
Fisher's Exact Test .664 .363
Linear-by-Linear Association
.336 1 .562
N of Valid Cases 127
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.33.
b. Computed only for a 2x2 table
Kategori asupan b6 * Kategori PMS Crosstabulation
Kategori PMS
Total
Tidak ada gejala hingga
ringan Gejala sedang hingga berat
Kategori asupan b6 Kurang Count 56 31 87
% within Kategori asupan b6
64.4% 35.6% 100.0%
Cukup Count 30 10 40
% within Kategori asupan b6
75.0% 25.0% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Kategori asupan b6
67.7% 32.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-
sided) Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 1.417
a 1 .234
Continuity Correctionb .972 1 .324
Likelihood Ratio 1.455 1 .228
Fisher's Exact Test .308 .162
Linear-by-Linear Association
1.406 1 .236
N of Valid Cases 127
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.91.
b. Computed only for a 2x2 table
155
Kategori asupan kalsium * Kategori PMS Crosstabulation
Kategori PMS
Total
Tidak ada gejala hingga
ringan Gejala sedang hingga berat
Kategori asupan kalsium Kurang Count 66 39 105
% within Kategori asupan kalsium
62.9% 37.1% 100.0%
Cukup Count 20 2 22
% within Kategori asupan kalsium
90.9% 9.1% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Kategori asupan kalsium
67.7% 32.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-
sided) Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 6.547a 1 .011
Continuity Correctionb 5.327 1 .021
Likelihood Ratio 7.819 1 .005
Fisher's Exact Test .011 .007
Linear-by-Linear Association
6.496 1 .011
N of Valid Cases 127
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.10.
b. Computed only for a 2x2 table
Kategori asupan magnesium * Kategori PMS Crosstabulation
Kategori PMS
Total
Tidak ada gejala hingga
ringan Gejala sedang hingga berat
Kategori asupan magnesium
Kurang Count 67 36 103
% within Kategori asupan magnesium
65.0% 35.0% 100.0%
Cukup Count 19 5 24
% within Kategori asupan magnesium
79.2% 20.8% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Kategori asupan magnesium
67.7% 32.3% 100.0%
156
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-
sided) Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 1.775a 1 .183
Continuity Correctionb 1.188 1 .276
Likelihood Ratio 1.887 1 .170
Fisher's Exact Test .230 .137
Linear-by-Linear Association
1.761 1 .185
N of Valid Cases 127
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.75.
b. Computed only for a 2x2 table
Kategori pola tidur * Kategori PMS Crosstabulation
Kategori PMS
Total
Tidak ada gejala hingga
ringan Gejala sedang hingga berat
Kategori pola tidur Baik Count 36 8 44
% within Kategori pola tidur 81.8% 18.2% 100.0%
Buruk Count 50 33 83
% within Kategori pola tidur 60.2% 39.8% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Kategori pola tidur 67.7% 32.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-
sided) Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 6.124a 1 .013
Continuity Correctionb 5.177 1 .023
Likelihood Ratio 6.483 1 .011
Fisher's Exact Test .017 .010
Linear-by-Linear Association
6.076 1 .014
N of Valid Cases 127
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.20.
b. Computed only for a 2x2 table
157
Status Gizi New * Kategori PMS Crosstabulation
Kategori PMS
Total
Tidak ada gejala hingga
ringan
Gejala sedang
hingga berat
Status Gizi New
Kurus Count 5 4 9
% within Status Gizi New
55.6% 44.4% 100.0%
Normal Count 74 29 103
% within Status Gizi New
71.8% 28.2% 100.0%
Gemuk Count 7 8 15
% within Status Gizi New
46.7% 53.3% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Status Gizi New
67.7% 32.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 4.452a 2 .108
Likelihood Ratio 4.220 2 .121 Linear-by-Linear Association .814 1 .367
N of Valid Cases 127
a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.91.
Duration of sleep * Kategori PMS Crosstabulation
Kategori PMS
Total
Tidak ada gejala hingga
ringan Gejala sedang hingga berat
Duration of sleep > 7 jam Count 38 14 52
% within Duration of sleep 73.1% 26.9% 100.0%
6-7 jam Count 20 12 32
% within Duration of sleep 62.5% 37.5% 100.0%
5-6 jam Count 19 11 30
% within Duration of sleep 63.3% 36.7% 100.0%
< 5 jam Count 9 4 13
% within Duration of sleep 69.2% 30.8% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Duration of sleep 67.7% 32.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 1.359a 3 .715
Likelihood Ratio 1.366 3 .714 Linear-by-Linear Association .466 1 .495
N of Valid Cases 127
a. 1 cells (12.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.20.
158
Sleep disturbance * Kategori PMS Crosstabulation
Kategori PMS
Total
Tidak ada gejala hingga ringan
Gejala sedang
hingga berat
Sleep disturbance
Tdk pernah slm 1 bln terakhir
Count 5 2 7
% within Sleep disturbance
71.4% 28.6% 100.0%
< 1 kali dlm seminggu Count 72 29 101
% within Sleep disturbance
71.3% 28.7% 100.0%
1-2 kali dlm seminggu Count 9 8 17
% within Sleep disturbance
52.9% 47.1% 100.0%
>= 3 kali dlm seminggu Count 0 2 2
% within Sleep disturbance
0.0% 100.0% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Sleep disturbance
67.7% 32.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 6.526a 3 .089
Likelihood Ratio 6.768 3 .080 Linear-by-Linear Association 4.475 1 .034
N of Valid Cases 127
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .65.
Sleep latency * Kategori PMS Crosstabulation
Kategori PMS
Total Tidak ada gejala
hingga ringan Gejala sedang hingga berat
Sleep latency <= 15 menit Count 20 5 25
% within Sleep latency 80.0% 20.0% 100.0%
16-30 menit Count 38 23 61
% within Sleep latency 62.3% 37.7% 100.0%
31-60 menit Count 26 8 34
% within Sleep latency 76.5% 23.5% 100.0%
> 60 menit Count 2 5 7
% within Sleep latency 28.6% 71.4% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Sleep latency 67.7% 32.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 8.644a 3 .034
Likelihood Ratio 8.429 3 .038 Linear-by-Linear Association 1.703 1 .192
N of Valid Cases 127
a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.26.
159
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 7.820a 3 .050
Likelihood Ratio 8.135 3 .043 Linear-by-Linear Association 7.300 1 .007
N of Valid Cases 127
a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.26.
Sleep efficiency * Kategori PMS Crosstabulation
Kategori PMS
Total Tidak ada gejala
hingga ringan Gejala sedang hingga berat
Sleep efficiency > 85 Count 68 30 98
% within Sleep efficiency 69.4% 30.6% 100.0%
75-84 Count 13 7 20
% within Sleep efficiency 65.0% 35.0% 100.0%
65-74 Count 3 2 5
% within Sleep efficiency 60.0% 40.0% 100.0%
< 65 Count 2 2 4
% within Sleep efficiency 50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Sleep efficiency 67.7% 32.3% 100.0%
Day disfunction due to sleep * Kategori PMS Crosstabulation
Kategori PMS
Total
Tidak ada gejala hingga ringan
Gejala sedang
hingga berat
Day disfunction due to sleep
Skor 0 Count 6 1 7
% within Day disfunction due to sleep
85.7% 14.3% 100.0%
Skor 1-2 Count 34 8 42
% within Day disfunction due to sleep
81.0% 19.0% 100.0%
Skor 3-4 Count 34 21 55
% within Day disfunction due to sleep
61.8% 38.2% 100.0%
Skor 5-6 Count 12 11 23
% within Day disfunction due to sleep
52.2% 47.8% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Day disfunction due to sleep
67.7% 32.3% 100.0%
160
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square .903a 3 .825
Likelihood Ratio .861 3 .835 Linear-by-Linear Association .865 1 .352
N of Valid Cases 127
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.29.
Overall sleep quality * Kategori PMS Crosstabulation
Kategori PMS
Total
Tidak ada gejala hingga
ringan Gejala sedang hingga berat
Overall sleep quality Sangat baik Count 11 6 17
% within Overall sleep quality
64.7% 35.3% 100.0%
Cukup Baik Count 57 14 71
% within Overall sleep quality
80.3% 19.7% 100.0%
Cukup baik Count 17 20 37
% within Overall sleep quality
45.9% 54.1% 100.0%
Sangat buruk Count 1 1 2
% within Overall sleep quality
50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Overall sleep quality
67.7% 32.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 13.507a 3 .004
Likelihood Ratio 13.367 3 .004 Linear-by-Linear Association 5.378 1 .020
N of Valid Cases 127
a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .65.
161
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 3.253a 3 .354
Likelihood Ratio 3.048 3 .384 Linear-by-Linear Association 3.047 1 .081
N of Valid Cases 127
a. 5 cells (62.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.94.
Need meds to sleep * Kategori PMS Crosstabulation
Kategori PMS
Total
Tidak ada gejala hingga ringan
Gejala sedang
hingga berat
Need meds to sleep
Tdk pernah slm 1 bln terakhir
Count 70 29 99
% within Need meds to sleep
70.7% 29.3% 100.0%
< 1 kali dlm seminggu Count 10 5 15
% within Need meds to sleep
66.7% 33.3% 100.0%
1-2 kali dlm seminggu Count 3 3 6
% within Need meds to sleep
50.0% 50.0% 100.0%
>= 3 kali dlm seminggu Count 3 4 7
% within Need meds to sleep
42.9% 57.1% 100.0%
Total Count 86 41 127
% within Need meds to sleep
67.7% 32.3% 100.0%
Top Related