14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sebagaimana Penulis telah kemukakan dalam Bab I bahwa penelitian dan
penulisan karya tulis ini setidak-tidaknya akan menemukan jawaban atas sejumlah
pertanyaan1 yang berhimpun dalam kata tanya “bagaimana” pada sub judul
rumusan masalah yaitu; 1) Apa hakekat dari transaksi elektronik via EDC
sebagaimana diatur dalam UU ITE dan prinsip konvergensi dari UU
Telekomunikasi? 2) Kapan suatu transaksi elektronik via EDC dimulai atau
dinyatakan berlaku. 3) Siapakah pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi
elektronik Via EDC yang menggunakan sarana telekomunikasi? 4) Apa sajakah
yang bisa atau dapat menjadi objek dalam sebuah transaksi Via EDC? 5) Apakah
hak-hak dan kewajiban dari para pihak yang terlibat dalam sebuah Via EDC? 6)
Kapan suatu transakasi elektronik Via EDC dinyatakan telah berakhir dan 7)
Bagaimana penyelesaian sengketa dalam suatu transaksi elektronik Via EDC? ?
plus bukan hanya itu saja, melainkan masih banyak pula aspek hukum yang dapat
diteliti dari kegiatan transaksi elektronik.
Oleh sebab itu dalam Bab ini, sesuai dengan judul “Tinjauan Pustaka”,
maka Penulis akan menggambarkan (mendiskripsikan) jawaban-jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan di atas, yang diambil dari kepustakan yang Penulis teliti
(baca). Pustaka-pustaka mana telah Penulis pandang sebagai pustaka dalam
1 Lihat Bab I Sub Judul 1.1. hal. 3-4.
15
bidang hukum yang menyimpan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-
pertanyaan sebagaimana dikemukakan di atas, meskipun hanya tersirat sekalipun.
Pustaka-pustaka itu telah Penulis pandang sebagai pustaka “dalam bidang
hukum” dan oleh sebab itu Penulis rujuk sebagai bahan tinjauan kepustakaan yang
berkaitan dengan topik penelitian dan penulisan karya tulis ini, sebab memang
harus diakui bahwa sangat sulit menemukan kepustakaan yang secara spesifik dan
sistematik (kontraktual) membicarakan aspek hukum dari transaksi yang
menggunakan EDC.
2.1. Hakekat Dari Suatu Transaksi Elektronik
Electronic commerce (e-commerce) umum dipahami sebagai suatu cara
perdagangan. Cara perdagangan atau transaksi tersebut relatif baru
keberadaannya, dibandingkan dengan cara perdagangan lainnya. Sehingga bagi
sebagian kalangan pengertian transaksi elektronik masih belum jelas.
Ketidakjelasan dalam mengartikan suatu istilah berdampak pada kesukaran dalam
mengerti seluruh permasalahan yang muncul. Hal itu seharusnya tidak demikian
berlaku dalam bidang hukum. Sebab, menurut pendapat Penulis, bukankah hukum
itu harus serba jelas, pasti dan mudah dimengerti?
Dalam pada itu secara umum, e-commerce dapat didefinisikan sebagai
bentuk transaksi perdagangan atau perniagaan barang dan jasa (trade goods and
service) dengan menggunakan media elektronik.2
2 Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH.,MH. Dan Elisatris Gultom., SH., MH., Cyber Law : Aspek Hukum Teknologi Informasi., Bandung., PT. Refika Aditama., 2005., hlm. 170.
16
Menggunakan definisi e-commerce seperti itu, menurut pendapat Penulis,
apabila EDC dapat disamakan dengan media elektronik, maka pada titik ini, dapat
dikatakan bahwa pada hakekatnya EDC itu hanyalah sarana yang dapat
dipergunakan oleh para pihak (the parties) dalam transaksi perdagangan (to
contracts) atau perniagaan barang dan jasa sebagai suatu kontrak (a contract).
Berkaitan dengan hakikat kontraktual EDC tersebut, maka berikut ini
pengertian kontrak sebagai nama ilmu hukum:
”segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk memberikan, atau berbuat, atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya.”3
Dalam operasionalnya, kontrak e-commerce ini dapat berbentuk transaksi
yang dilakukan oleh para pihak dalam Business to Bussiness (B to B) atau pihak
dalam Business to Consummers (B to C) atau pihak dalam transaksi yang
dilakukan oleh konsumen ke pihak konsumen (customer to customer).4
Meskipun dalam perspektif hukum yang terlihat adalah transaksi oleh para
pihak dalam Business to Bussiness namun pada umumnya dipandang hanya
sebatas sistem komunikasi bisnis on-line antar pelaku bisnis.
3 Jeferson Kameo, SH., LLM., Ph.D., Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum., Fakultas Hukum UKSW Salatiga., hal. 2. 4 Abdul Halim Barkatullah & Teguh Prasetyo, SH, M.Si., Op.Cit ., hal. 22. Menurut pendapat Penulis, dalam perpektif Kontrak sebagai Nama Ilmu Hukum, entah itu bentuk transaksi B to B, to C, C to C, konsep baku yang dipakai tetap pihak (the partis to contract).
17
Dilihat dari karakteristiknya, transaksi e-commerce para pihak dalam
Business to Business mempunyai karakteristik sebagai berikut transaksi terjadi
antara para pihak sebagai trending partners yang sudah saling mengetahui dan
antara mereka sudah terjalin hubungan hukum yang berlangsung cukup lama.
Pertukaran informasi atau dalam bahasa hukum dapat dikatakan sebagai
suatu consensus in idem hanya berlangsung di antara mereka dan karena sudah
sangat mengenal. Dapat dikatakan karakteristik pertukaran informasi tersebut
dilakukan atas dasar kebutuhan dan kepercayaan. Di samping itu, dalam e-
commerce business to business, ada pertukaran data (consensus in idem)
dilakukan secara berulang-ulang dan berskala serta format yang telah disepakati
(standard contract). Jadi service yang digunakan antara kedua sistem tersebut
sama dan menggunakan standar yang sama. Ciri selanjutnya dari e-commerce ini
adalah salah satu pelaku tidak harus menunggu partner mereka lainnya untuk
mengirim data. Akhirnya dalam ciri e-commerce ini adalah model yang umum
digunakan adalah pear to pear, dimana processing intelegence dapat
didistribusikan di kedua pelaku bisnis.5
Sedangkan hubungan hukum oleh para pihak dalam business to consumers
merupakan transaksi melalui internet antara penjual barang dan konsumen (end
user). Hubungan hukum para pihak dalam Business to Consummers (B to C) pada
e-commerce jenis ini relatif banyak ditemui dibandingkan dengan Business to
Business. Dalam transaksi e-commerce jenis B to C, hampir semua orang dapat
5 Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH.,MH. dan Elisatris Gultom., SH., MH., Cyber Law : Aspek Hukum Teknologi Informasi., Bandung., PT. Refika Aditama., 2005., hal. 151.
18
melakukan transaksi baik dengan nilai transaksi kecil maupun besar dan tidak
dibutuhkan persyaratan yang rumit. Dalam transaksi B to C, sementara pihak
memandang bahwa konsumen memiliki bargaining position yang lebih baik
dibanding dengan perdagangan konvensional. Hal itu dikarenakan, konsumen
memperoleh informasi yang beragam dan mendetail. Kondisi tersebut memberi
banyak manfaat bagi para pihak dalam hubungan kontraktual, dalam hal ini adalah
pihak konsumen karena kebutuhan akan barang dan jasa yang diinginkan dapat
terpenuhi. Selain itu juga terbuka kesempatan bagi pihak konsumen untuk
memilih jenis dan kualitas barang dan jasa sesuai dengan keinginan dan
kemampuan finasial konsumen dalam waktu yang relatif efisien.6
Karateristik dari transaksi e-commerce Business to Consumer adalah
sebagai berikut : 1) Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan secara
umum pula; 2) Service dapat dilakukan juga bersifat umum sehingga
mekanismenya dapat digunakan oleh banyak orang. Contohnya, karena sistem
web sudah umum di kalangan masyarakat, maka sistem yang digunakan adalah
sistem web pula; 3) Service yang diberikan berdasarkan permintaan dimana
konsumen berinisiatif sedangkan produsen harus siap memberikan respon
terhadap inisiatif konsumen; 4) Sering dilakukan pendekatan client-server, yang
mana konsumen di pihak klien menggunakan sistem yang minimal (berbasis web)
6 Ibid, hal. 151-152.
19
dan pihak penyedia barang atau jasa (business procedure) berada pada pihak
server.7
Konsumen ke konsumen merupakan jenis transaksi bisnis yang tidak
hanya dilakukan secara konvensional tetapi juga secara elektronik. Jenis transaksi
demikian dilakukan antar konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu
pada saat tertentu pula. Segmentasi transaksi elektronik antara pihak konsumen ke
konsumen sifatnya lebih khusus karena transaksi dilakukan oleh konsumen ke
konsumen yang memerlukan transaksi. Dalam kaitan dengan itu terlihat dari
kepustakaan yang ada, internet telah dijadikan sebagai sarana tukar menukar
informasi tentang produk baik mengenai harga, kualitas dan pelayanannya.
Selain itu antar consumer juga dapat membentuk komunitas
pengguna/penggemar produk tersebut. Ketidakpuasan customer dalam
mengonsumsi suatu produk dapat segera tersebar luas melalui komunitas-
komunitas tersebut. Seperti telah dikemukakan, itulah alasan mengapa internet
telah menjadikan customer memiliki posisi tawar yang tinggi, dan dengan
demikian menuntut pelayanan suatu perusahaan yang terlibat dalam transaksi
elektronik untuk menjadi lebih baik.8
Uraian di atas tidak secara eksplisit dan lugas menjawab pertanyaan nomor
satu sebagaimana telah Penulis kemukakan dalam rincian di bagian introduksi
pada Bab ini. Namun dapat Penulis kemukakan, bahwa begitulah kenyataan yang
7Ibid., hal. 152. 8 Abdul Halim Barkatullah & Teguh Prasetyo, SH, M.Si., Op.Cit., hal. 22-23.
20
saat ini ada, khususnya kenyataan kepustakaan hukum yang membicarakan
tentang transaksi e-commerce. Ada ketidakjelasan dalam mengungkapkan makna
yang hakiki dari suatu transaksi elektronik. Khusus mengenai hakikat dari EDC,
bahkan terlihat dari uraian di atas bahwa tidak satu pun kepustakaan yang
membicarakan mengenai hal itu. Namun, seperti telah Penulis kemukakan di atas,
bahwa pada hakikatnyya transaksi elektronik dimana EDC menjadi alat yang
membantu melancarkan transaksi yang bersangkutan sebagai suatu kontrak.
Untuk lebih memerjelas hakikat kontraktual seperti itu, maka berikut ini
tinjauan kepustakaan yang lebih rinci, yang akan dimulai dari pihak-pihak dalam
setiap transaksi elektronik, termasuk pihak-pihak dalam transaksi yang
menggunakan EDC sebagai sarana yang membantu transaksi.
2.2. Pihak-Pihak Dalam Transaksi Elektronik
Transaksi e-commerce termasuk yang menggunakan EDC sebagai sarana,
melibatkan beberapa pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak
langsung, tergantung kompleksitas transaksi yang dilakukan. Perlu dikemukakan
dalam kaitan dengan itu, bahwa tidak semua proses transaksi dilakukan secara on-
line, hanya beberapa tahap saja yang dilakukan secara on-line.
Apabila seluruh transaksi e-commerce dilakukan secara on-line9, mulai
dari proses terjadinya transaksi sampai dengan pembayaran, maka pihak-pihak
yang terlibat terdiri dari: Pihak Penjual (merchant), yaitu perusahaan/produsen
9Dalam konteks tinjauan kepustakaan dalam Bab ini, sudah barang tentu yang dimaksud juga EDC.
21
yang menawarkan produknya melalui internet.10 Untuk menjadi merchant, maka
seseorang harus mendaftarkan diri sebagai merchant account pada pihak bank,
tentunya ini dimaksudkan agar Pihak merchant dapat menerima pembayaran dari
pihak customer dalam bentuk credit card, maupun debit card.11 Di samping Pihak
Penjual, transaksi on-line dengan menggunakan EDC melibatkan pihak
konsumen/card holder, yaitu orang-orang yang ingin memperoleh hak atas produk
(barang atau jasa) melalui pembelian (pembayaran) atau transaksi/kontrak secara
on-line. Pihak Konsumen yang akan berbelanja atau membayar menggunakan
EDC yang terhubung dengan jaringan telekomunikasi (internet), dapat berstatus
perorangan atau perusahaan. Apabila Pihak konsumen merupakan perorangan,
maka yang perlu diperhatikan dalam transaksi e-commerce adalah bagaimana
metode pembayaran yang dipergunakan, apakah pembayaran dilakukan dengan
menggunakan credit card (kartu kredit) atau dimungkinkan pembayaran
dilakukan secara manual/cash. Hal ini penting untuk diketahui, mengingat tidak
semua Pihak konsumen yang berbelanja/membayar melalui EDC on-line
(internet) adalah pemegang kartu kredit/card holder. Pemegang kartu kredit (card
holder) adalah seseorang yang namanya tercetak pada kartu kredit yang
dikeluarkan oleh pihak penerbit berdasarkan perjanjian yang telah dibuat dengan
pihak Bank Penerbit. Pihak selanjutnya dalam transaksi e-commerce adalah
10 Di Indonesia, Hukum positif yang mengatur tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak mengenal istilah Penjual, tetapi Pengirim. Istilah Penjual barangkali lebih tepat dipergunakan dalam transaksi konvensional saja. 11 Perlu dikemukakan bahwa pihak-pihak dalam transaksi on-line yang dimaksudkan disini adalah transaksi , misalnya pembayaran barang dengan menggunakan EDC.
22
Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan penerbit) dan
perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit).12
Perantara dan penagih adalah pihak yang meneruskan tagihan kepada
penerbit berdasarkan data yang masuk kepadanya atau yang dikoleksi oleh mesin
EDC yang diberikan oleh pihak penjual barang/jasa. Pihak perantara penagihan
inilah yang melakukan transaksi elektronik dengan pihak penjual. Pihak perantara
pembayaran (antara pemegang dan penerbit) adalah pihak bank dimana
pembayaran kredit dilakukan oleh pihak pemilik kartu kredit/card holder.
Selanjutnya pihak yang menerima pembayaran ini akan mengirimkan uang
pembayaran tersebut ke pihak Bank penerbit kartu kredit (issuer).
Pihak selanjutnya dalam transaksi e-commerce adalah Issuer. Yang
dimaksud dengan issuer adalah perusahaan credit card yang menerbitkan kartu.
Di Indonesia ada beberapa lembaga yang diijinkan untuk menerbitkan kartu
kredit, yaitu : a) Bank dan lembaga keuangan bukan bank. Tidak setiap bank
dapat menerbitkan credit card, hanya bank yang memperoleh ijin dari Card
International, dapat menerbitkan credit card, seperti Master dan Visa Card; b)
Perusahaan non bank dalam hal ini PT. Dinner Jaya Indonesia Internasional yang
membuat perjanjian dengan perusahaan yang ada di luar negeri; c) Perusahaan
yang membuka cabang dari perusahaan induk yang ada di luar negeri, yaitu
American Express.
12 Perlu Penulis kemukakan di sini bahwa setiap kali konsep penerbit digunakan dalam pembayaran, dalam hukum, asumsinya adalah bahwa penerbit itu adalah suatu Bank.
23
Pihak berikutnya dalam transaksi e-commerce adalah Certification
Authorities; Pihak ketiga yang netral yang memegang hak untuk mengeluarkan
sertifikat kepada pihak merchant, kepada issuer, dan dalam beberapa hal
diberikan pula kepada pihak card holder. Certification Authorities dapat
merupakan suatu lembaga pemerintah atau lembaga swasta.
Di Italia, dengan alasan kebijakan publik, menempatkan pemerintahan
Italia sebagai organ yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pusat
certification authorities. Sebaliknya di Jerman, jasa sertifikasi terbuka untuk
dikelola oleh sektor swasta untuk menciptakan iklim kompetisi yang bermanfaat
bagi peningkatan kualitas pelayanan jasa dalam bidang teknologi informasi
(information technology) tersebut.13
Apabila transaksi e-commerce tidak sepenuhnya dilakukan secara on-line,
maka hanya sebagian proses transaksi saja yang on-line. Sementara pembayaran,
tetap dilakukan secara manual/cash. Maka dalam hal ini pihak acquirer, issuer,
dan certification authorities tidak terlibat.
Di samping pihak-pihak tersebut, seperti telah dikemukakan di atas, pihak
lain yang terlibat tidak secara langsung dalam transaksi electronic commerce yaitu
pihak yang menyelesaikan transaksi berupa jasa pengiriman (ekspedisi), dan
pengangkutan dan penyerahan barang.14
13 Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH.,MH. dan Elisatris Gultom., SH., MH., Cyber Law : Aspek Hukum Teknologi Informasi., Bandung., PT. Refika Aditama., 2005., hal. 152-153. 14 Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH.,MH. Dan Elisatris Gultom., SH., MH., Op.Cit., hal. 152 - 154.
24
2.3. Saat Terjadinya Transaksi Elektronik
Ada beberapa pendapat dalam kepustakaan yang Penulis teliti, yang
menjelaskan saat terjadinya transaksi dalam perjanjian e-commerce. Diantaranya,
ada yang menyatakan bahwa saat terjadinya kontrak termasuk kontrak elektronik
adalah ketika pihak konsumen menyatakan pemesanan (order) barang dengan
menulis e-mail.15
Selanjutnya terjadinya kontrak adalah pada saat pelaku usaha mengirim e-
mail yang isinya menyatakan bahwa barang yang dipesan pihak konsumen sudah
diterima.16
Pada bagian lain, ada juga pendapat bahwa terjadinya kontrak elektronik
adalah sejak diketahuinya e-mail dari pihak pelaku usaha oleh konsumen yang
isinya menyatakan mengenai sejumlah nominal dari total pemesanan konsumen,
cara pembayaran, dan metode pengiriman barang.17
Akhirnya, ada pula pendapat bahwa kontrak elektronik terjadi pada saat
pernyataan pemesanan barang tersebut selayaknya diterima oleh pihak
konsumen.18
15 Ada yang menyebut hal tersebut dengan teori kehendak. 16 Ada yang menyebut hal tersebut dengan teori pengiriman. 17Sementara pihak menyebut hal ini dengan teori pengetahuan. 18 Hal ini disebut sementara pihak dengan teori kepercayaan.
25
2.4. Objek dari Transaksi Elektronik
Secara umum telah memberikan definisi e-commerce sebagai bentuk
transaksi perdagangan atau perniagaan barang dan jasa (trade of goods and
service) dengan menggunakan media elektronik.19
Dari pengertian e-commerce tersebut dapat diketahui bahwa yang menjadi
objek20 dari transaksi elektronik adalah berupa hak atas barang, jasa dan
informasi. Yang dimaksud dengan hak atas barang dalam transaksi elektronik
adalah hak-hak atas produk-produk yang berupa perangkat keras dan perangkat
lunak.21 Menurut pendapat Penulis, hal seperti ini dituntun oleh kaedah hukum
dalam bidang hukum kehendak.
Mekanisme transaksi on-line dengan produk perangkat keras adalah
dengan mengirim atau penyerahan barang sampai ke rumah konsumen, dan untuk
perangkat lunak pembeli diizinkan untuk men-download-nya.
Mekanisme untuk pembelian oleh pihak dalam suatu transaksi elektronik,
subyek berupa hak atas jasa adalah pihak suplier akan melayani pihak konsumen
sesuai dengan waktu dan tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian atau
kontrak elektronik.
19 Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH.,MH. dan Elisatris Gultom., SH., MH., Cyber Law : Aspek Hukum Teknologi Informasi., Bandung., PT. Refika Aditama., 2005., hal. 170. 20 Objek adalah terminologi hukum perdata Indonesia. Seharusnya subyek. Sedangkan subyek, seharusnya menjadi pihak. Pandangan ini dipioniri oleh Jeferson Kameo, S.H., LLM., Ph. D. 21 Assafa Endeshaw., Hukum E-Commerce dan Internet dengan Fokus di Asia Pasifik (judul asli : Internet and E-Commerce Law : With a Focus on Asia-Pasific., diterjemahkan oleh Siwi Purwandari dan Mursyid Wahyu Hananto)., Yogyakarta., Pustaka Pelajar., 2007., hal. 246.
26
Berikut Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat Dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.22
Dalam transaksi elektronik, informasi elektronik dan dokumen elektronik
serta hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.23 Hal tersebut
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia.24
Selanjutnya, informasi elektronik atau dokumen elektronik dinyatakan sah
apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam UU ITE.25
Akan tetapi ketentuan mengenai informasi elektronik dan dokumen
elektronik sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku untuk: a) surat yang
menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b) surat beserta
22 Pasal 1 Angka (1) UU ITE. 23 Pasal 5 Ayat (1) UU ITE. 24 Pasal 5 Ayat (2) UU ITE. 25 Pasal 5 Ayat (3) UU ITE.
27
dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta
notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.26
2.4.1. Kategori Metode Pembayaran Elektronik
Sistem pembayaran elektronik pada saat ini dapat dikategorikan menjadi 3.
Di bawah ini uraian/analisinya.
Pertama kategori sistem debit. Dalam kategori ini, pihak konsumen
diharuskan terlebih dahulu mempunyai rekening di suatu bank. Apabila pihak
konsumen akan melakukan suatu pembayaran maka pembayaran itu akan diambil
dari rekening pihak konsumen yang ada di Bank tersebut dengan cara debit.
Contoh dari sistem ini adalah: Bank Internet Payment System (BIPS), FSTC
Electronic Check (Echeck), Open Financial Exchange (OFX).27
Kategori kedua adalah sistem kredit. Sistem ini mengalihkan kewajiban
pembayaran kepada pihak ke-3 yang akan menagih kepada orang yang
bersangkutan. Pedagang akan melakukan proses capture yaitu meminta
pembayaran dari pihak ke-3 yang menjadi perantara.
Sistem ini terdiri dari Credit Card Over HTTP/SSL dan SET. Metode
yang menggunakan SSL banyak digunakan oleh internet merchant pada saat ini.
Internet merchant akan menggunakan SSL dalam meng-encrypt proses capture
dari nomor kartu kredit yang digunakan.
26 Pasal 5 Ayat (4) UU ITE. 27 Menurut pendapat Penulis, semua pembayaran atau transaksi dengan menggunakan EDC termasuk dalam kategori ini.
28
Kategori metode pembayaran elektronik yang ketiga adalah uang digital
(e-money) “tunai” atau electronic “cash”/digital cash. Dalam uang digital,
pembayaran baru seperti halnya uang digital hanya berhasil apabila
keberadaannya diterima banyak orang. Dengan meraih penerimaan ini semua
pihak yang terlibat memetik cukup banyak keuntungan melebihi dari “biaya” yang
harus ditanggungnya.
Kategori metode pembayaran dengan uang digital itu dipengaruhi oleh
minat customer membawa alat pembelian ini senyaman mungkin. Pembayaran
dapat dilakukan dari rumah dengan cara yang mudah dan efisien. Dealer
(merchant) bisa saja memetik fee dari transaksi (namun sebaiknya tidak). Di lain
pihak, keuntungan yang diraihnya adalah memperbaiki citra sebagai merchant
yang inovatif dan mungkin meningkatkan penjualan.
Arsitek sistem bertanggung jawab terhadap pengembangan sistem
pembayaran. Keuntungan mereka adalah royalti dan fee dari layanan.
Prasyaratnya adalah penerimaan yang luas dari sistem mereka dan
penggunaannya. Penyedia sistem (system provider) menjadi pihak penengah.
Penjualan dealer diteruskan ke institusi keuangan.
Penyedia sistem bertanggung jawab terhadap clereance transaksi. Ia
menyediakan pula layanan (manajamen problem, pelatihan pengguna).
Pendapatan berasal dari fee dan tarikan (charge) atas layanan yang ia sediakan.
Institusi keuangan dapat mempromosikan sistem tertentu. Kepercayaan terhadap
29
sistem pembayaran elektronik merupakan kunci keberhasilan. Hambatannya
barangkali adalah masalah know how.
Dalam metode pembayaran dengan uang digital Trust Center mengontrol
kunci signature digital. Trust Center bertanggung jawab terhadap integritas data
yang ditransmisikan dan otentikasi. Trust Center juga memberikan pengamanan
pada sistem pembayaran tertentu. Penerimaan mereka berasal dari royalti dan fee
layanan-layanan lain. Pendorong lainnya adalah pembayaran mikro (micro
payment) dengan satuan yang lebih kecil dalam rupiah.
Dalam kategoti pembayaran elektronik dengan uang digital28 ini ada
beberapa prasyarat. Pertama, sistem yang terbuka membutuhkan fasilitas
security29 untuk menangani pembayaran elektronik. Security dapat diwujudkan
dengan metode kriptografi yang berhubungan dengan nomor transaksi.
Kedua, sejumlah besar costumer harus dapat melakukan transaksi
pembayaran secara serentak. Sistem harus dapat melayani banyak pengguna dan
mudah untuk dikembangkan. Scalability merupakan kriteria yang penting.
Ketiga, pembayaran skala kecil (micro dan pico payment) semestinya
dimungkinkan. Sistem akuntansi yang berkaitan denganya mesti efektif dan
efisien. Oleh karenanya, biaya per transaksi harus rendah.
28 Apabila dicermati secara kritis (Ilmu Hukum), sebetulnya menurut Penulis tidak ada uang digital, namun transaksi yang digital atau seperti dikenal oleh UU ITE sebagai Transaksi Elektronik. Namun, begitulah yang dikatakan dalam kepustakaan. 29 Perlu dikemukakan di sini bahwa perkataan security dimaksudkan dengan pengamanan.
30
Keempat, sistem harus transparan. Costumer mesti tahu kalau telah terjadi
pembayaran. Penggunaan sistem mesti sederhana dan gampang dimengerti.
Kelima, rumah tangga semestinya bisa menerima uang digital ini (sebagai
micro merchant misalnya).
Sedangkan syarat keenam adalah uang digital terdiri atas susunan bit.
Adalah mungkin untuk membuat duplikasi koin dan kemudian meletakkannanya
ke dalam sirkulasi uang digital. Fenomena ini dikenal dengan “pembelanjaan
ganda” atau “menggandakan uang digital”. Sistem pembayaran harus
menyediakan mekanisme untuk mengetahui atau mencegah adanya pembelanjaan
ganda.
Ketujuh, uang digital harus dapat dikonversi kembali menjadi uang nyata,
jika dibutuhkan.
Kedelapan untuk menjamin tingkat kepercayaan, nilai tukar antara uang
digital dan uang nyata harus stabil (demikian pula antar uang digital itu sendiri).
Dan syarat yang terakhir adalah uang digital disimpan di hard disk lokal
atau media lain. Pada kasus disk crash atau media yang rusak, harus tersedia suatu
cara untuk memulihkan kembali.
Sistem tersebut merupakan salah satu perkembangan yang paling akhir
dalam internet payment. Sistem dimaksud dalam penggunaannya mirip dengan
pemakaian uang tunai dalam kegiatan sehari-hari. Kemiripan ini adalah dalam hal
konsumen akan membayar koin atau uang kertas kepada penjual dalam proses
31
pembayaran sehari-hari. Dalam sistem itu uang tunai akan digantikan oleh digital
token atau suatu nilai digital (digital value) kepada penjual. Beberapa sistem
memungkinkan penjual untuk langsung membelanjakan “uang” yang didapatnya
untuk membayar suatu barang atau jasa.30
Sistem yang lain mengharuskan “uang” tersebut disetorkan terlebih dahulu
dalam suatu rekening baru setelah itu bank akan menerbitkan token yang baru
yang dapat dipakai untuk berbelanja. Beberapa contoh dari model ini adalah
Mondex, Proton, VisaCash, Ecash, Millicent CyberCoin, WorldPay.
2.5. Hak dan Kewajiban dalam Transaksi Elektronik
Seperti apa yang telah dikemukakan Penulis pada bagian latar belakang,31
mengenai hak-hak dan kewajiban dari para pihak dalam sebuah transaksi
elektronik adalah sebagai berikut32:
Pihak Penjual.33 Hak dari pihak Penjual adalah menerima sejumlah uang
sesuai harga yang telah disepakati sebelumnya dengan pihak Pembeli. Mengenai
saat tercapainya kata sepakat, atau consensus in idem, UU ITE menganut prinsip
bahwa:
30 Digital coin/token ini di Indonsia, belakangan mulai digunakan dalam pembayaran listrik (PLN) dengan system pra bayar. Skotlandia sudah menerapkan system demikian pada tahun 1997. 31 Bab I, hal. 10-11.
32 Edmon Makarim., Kompilasi Hukum Telematika., Jakarta ., PT RajaGrafindo Persada., 2000., hal. 65.
33 Perhatikan catatan kaki Penulis no. 10 dalam Bab ini.
32
Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.34
Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.35
Transaksi Elektronik terjadi pada saat kesepakatan antara para pihak yang dapat berupa, antara lain pengecekan data, identitas, nomor identifikasi pribadi (personal identification number/PIN) atau sandi lewat (password).36
Selain itu, pihak Penjual juga berhak mendapat perlindungan dari pihak
Pembeli yang tidak beritikad baik. UU ITE mengenal hai ini (iktikad baik)
sebagai satu prinsip pelaksanaan suatu transaksi elektronik. Dalam Pasal 3 UU
ITE diatur:
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.
Sedangkan kewajiban dari pihak Penjual adalah memberikan informasi
yang sejelas-jelasnya, benar dan jujur kepada calon Pembeli dikarenakan dalam
transaksi elektronik pihak Penjual dan Pembeli tidak harus bertemu secara
langsung sehingga calon Pembeli tidak dapat mengecek secara langsung barang
yang akan dibeli.
Pihak berikutnya adalah pihak Pembeli. Hak dari pihak Pembeli adalah
mengetahui informasi yang sejelas-jelasnya dari pihak Penjual dari barang yang
akan dibeli. Kewajiban pihak Pembeli adalah menyerahkan sejumlah uang dari 34 Pasal 20 Ayat (1) UU ITE. 35 Pasal 20 Ayat (2) UU ITE. 36 Penjelasan Pasal 20 Ayat (1) UU ITE.
33
harga yang telah disepakati bersama dengan pihak Penjual, melalui sistem
elektronik. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur
elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah,
menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik.37
Pihak Bank. Pihak bank berkewajiban untuk memfasilitasi penyerahan
sejumlah uang dari harga yang telah disepakati pihak Penjual dengan pihak
Pembeli untuk barang yang menjadi obyek transaksi. Pihak Bank mencatat
seluruh transaksi elektronik antara para pihak di atas, sebab para pihak itu
sesungguhnya adalah meupakan nasabah dari pihak Bank
Penyedia jasa pengangkutan. Penyedia jasa pengangkutan berkewajiban
mengirim dan mengantar barang yang menjadi obyek transaksi dari pihak Penjual
sampai pada tangan pihak Pembeli dengan selamat. Jasa pengangkutan dimaksud,
pembayarannya juga merupakan suatu kontrak elektronik atau transaksi elektronik
yang melibatkan pengguna jasa pengangkutan, pengangkut dan pihak bank yang
menjadi pihak penyelesai transaksi elektronik dimaksud.
Provider. Provider berkewajiban untuk menyediakan jasa layanan internet
kepada pihak Pembeli dan pihak Penjual dengan akses 24 jam penuh agar
transaksi elektronik tersebut dapat berjalan.
37 Pasal 1 Angka (5) UU ITE.
34
2.6.Saat Berakhirnya Suatu Transaksi Elektronik
Dalam transaksi jual-beli biasa (konvensional), perjanjian berakhir pada
saat masing-masing pihak melakukan kewajibannya. Pihak Pembeli menyerahkan
uang dan pihak Penjual menyerahkan barang.
Berbeda dengan transaksi yang berlangsung secara on-line, tidak seperti
transaksi biasa. Dalam transaksi on-line, tanggung jawab tersebut antara lain
berada pada perusahaan penyedia barang (penjual), pihak pembeli, pihak
perusahaan penyedia jasa pengiriman, dan pihak yang menyelenggarakan jasa
pembayaran.
Dalam transaksi on-line terdapat bagian-bagian tanggung jawab pekerjaan
yaitu untuk penawaran, pembayaran, pengiriman. Pada proses penawaran dan
proses persetujuan jenis barang yang dibeli, maka transaksi antara Penjual dan
Pembeli berakhir dengan pihak menerima persetujuan jenis barang yang dipilih
dan Pembeli menerima konfirmasi bahwa pesanan atau pilihan barang telah
diketahui oleh Penjual.
Dapat dikatakan bahwa transaksi elektronik antara Penjual dan pihak
Pembeli dalam tahapan persetujuan barang telah selesai sebagian sambil
menunggu barang yang telah dipesan tiba atau diantar ke alamat pihak Pembeli.
Dalam transaksi yang melibatkan pihak bank, maka bank baru akan mengabulkan
permohonan dari Pembeli setelah penjual menerima konfirmasi dari bank yang
ditunjuk Penjual dalam transaksi on-line tersebut. Setelah Penjual menerima
konfirmasi bahwa Pembeli telah membayar harga barang yang dipesan,
selanjutnya Penjual akan melanjutkan atau mengirimkan konfirmasi kepada
35
perusahan jasa pengiriman untuk mengirimkan barang yang dipesan ke alamat
Pembeli.
Setelah semua proses tersebut dilakukan, di mana ada proses penawaran,
pembayaran, dan penyerahan barang maka perjanjian tersebut dikatakan selesai
seluruhnya atau perjanjian tersebut telah berakhir. Maka perjanjian tersebut sah
setelah masing-masing pihak telah melakukan proses penawaran, pembayaran,
dan penyerahan barang.
Perlu Penulis kemukakan di sini, bahwa mekanisme transaksi sebagaimana
diuraikan di atas tersebut sesungguhnya dapat “dianalogikan” dengan transaksi
dengan menggunakan EDC.
2.7.Penyelesaian Sengketa dalam Transaksi Elektronik
Menurut penelitian yang dilakukan oleh sebuah lembaga internasional,
telah banyak kasus yang merugikan konsumen sebagai akibat dari penggunaan
media internet dalam transaksi perdagangan. Penelitian itu menyatakan bahwa
satu dari setiap sepuluh kasus pengiriman barang dapat dipastikan terlambat atau
tidak sampai kepada konsumen. Contohnya: dua orang pembeli (buyers) dari
Hongkong dan Inggris menunggu sampai lima bulan untuk mendapatkan refund
(pembayaran kembali) dari barang yang sudah dibeli. Ada juga yang menerima
barang tidak sesuai pemesanan bahkan sampai barang tidak dikirim. Selain itu
36
banyak juga pihak Penjual (suppliers atau sellers) yang tidak mampu memberikan
kuitansi atau bukti transaksi dan sebagainya.38
Menurut pustaka yang dirujuk di atas, kondisi-kondisi di atas telah
merugikan baik bagi produsen terlebih bagi konsumen yang relatif memiliki posisi
tawar (bargaining position) yang lebih rendah dibandingkan dengan
produsen/pelaku usaha.
Apabila permasalahan-permasalahan di atas tidak segera memperoleh
penyelesaian yang memadai tidak menutup kemungkinan kepercayaan masyarakat
terhadap sistem e-commerce akan memudar. Oleh karena itu salah satu cara yang
dapat dipakai untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut adalah
dengan dipergunakannya mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (alternative
dispute resolution) dalam setiap sengketa yang muncul.39
Kompleksitas transaksi perdagangan dengan mempergunakan internet
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain seperti telah Penulis singgung dalam
beberapa kesempatan penguraian di atas yaitu, tidak dipertemukannya pihak
Penjual dan Pembeli secara fisik. Tempat kediaman para pihak saling berjauhan,
sistem hukum yang berbeda antara para pihak.
38 Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH.,MH. Dan Elisatris Gultom., SH., MH., Cyber Law : Aspek Hukum Teknologi Informasi., Bandung., PT. Refika Aditama., 2005., hal. 167. 39 Ibid. Menurut penulis,hukum positif Indonesia, mengambil jalan penyelesaian teknologi meskipun terbuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui litigasi jalur keperdataan maupun pidana. Mengenai hal ini dapat dilihat dalam penjelasan atas UU ITE, I Umum, Paragraf 8.
37
Kondisi ini tentunya berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan yang
memerlukan penyelesaian secara tepat. Oleh karena itu, masalah penyelesaian
sengketa yang efektif dan efisien dalam transaksi e-commerce merupakan hal
yang sangat penting untuk dicapai dalam upaya menciptakan iklim perdagangan
yang kondusif.
Secara umum, ada beberapa bentuk mekanisme yang dikenal dalam sistem
penyelesaian sengketa, yaitu : melalui proses ajudikasi (adjudicative process),
yang meliputi peradilan dan arbitrase serta proses konsensus (consensus process),
seperti Negosiasi, Mediasi, kosiliasi.40 Di samping mekanisme penyelesaian
sengketa sebagaimana rinciannya telah Penulis paparkan di atas, UU ITE juga
mengatur secara rinci tentang mekanisme penyelesaian sengketa melalui gugatan
perbuatan melawan hukum dan wanprestasi melalui litigasi dan juga proses
pidana. Mengenai penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan perdata, dapat
dilihat dalam Pasal 26 Ayat (2) UU ITE. Sedangkan proses pidana diatur mulai
Pasal 42 UU ITE.
40 Ibid hal. 171. Lihat juga catatan kaki no. 31.
Top Related