BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cutaneous larva migrans (CLM) atau bisa juga disebut creeping eruption
merupakan kelainan kulit berupa peradangan yang berbentuk linear atau berkelok-
kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi cacing tambang yang
berasal dari kucing dan anjing, yaitu Ancylostoma braziliense, Ancylostoma
caninum, dan Ancylostoma ceylanicum. Invasi ini sering terjadi pada anak-anak,
terutama yang sering berjalan tanpa alas kaki, atau yang sering kontak dengan
tanah atau pasir. Demikian pula para petani atau tentara sering mengalami
hal yang sama. Penyakit ini banyak terdapat di daerah tropis atau subtropis yang
hangat dan lembab, misalnya di Afrika, Amerika Selatan dan Barat, serta
Indonesia.1
Di dunia diperkirakan 574.000.000-740.000.000 orang terinfeksi cacing
tambang. Cacing tambang pernah tersebar secara luas di Amerika Serikat,
khususnya wilayah tenggara, namun perbaikan dalam kondisi hidup telah
mengurangi angka kejadian infeksi cacing tambang dalam jumlah yang besar di
wilayah tersebut.2
Di berbagai daerah di Indonesia, prevalensi infeksi cacing tambang
berkisar 30-50%. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan
seperti di perkebunan karet di Sukabumi, Jawa Barat (93,1%) dan di perkebunan
kopi di Jawa Timur (80,69%). Tingginya prevalensi juga dipengaruhi oleh sifat
pekerjaan. Sebagai contoh kelompok karyawan yang mengolah tanah di
perkebunan teh atau karet akan terus menerus terpapar sumber kontaminasi.3
Cacing tambang penyebab CLM tersebar di seluruh dunia. Akan tetapi,
infeksi lebih sering terjadi di iklim yang hangat dan lembab, khususnya di negara-
negara tropis dan subtropis Asia Tenggara, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, dan
Amerika Serikat bagian tenggara. Larva ditemukan di pantai berpasir, kotak-kotak
pasir, dan di bawah tempat tinggal. Individu yang beresiko besar meliputi
wisatawan, anak-anak, dan buruh yang pekerjaannya menyebabkan kulit mereka
berkontak dengan tanah yang terkontaminasi.4
1
CLM sering dilaporkan oleh wisatawan yang baru kembali dari daerah
tropis yang memiliki tanah atau pasir di mana anjing dan kucing di tempat
tersebut cenderung terinfeksi cacing tambang. Akan tetapi, CLM kemungkinan
menyebabkan masalah yang signifikan bagi masyarakat yang tinggal di daerah
yang kurang berkembang, walaupun penyakit ini tidak dilaporkan secara
teratur. Di daerah-daerah yang kurang berkembang, anjing dan kucing sering
dibiarkan bebas berkeliaran dan memiliki tingkat infeksi cacing tambang yang
tinggi yang menyebabkan kontaminasi yang luas pada pasir dan tanah di
sekitarnya. Survey pada penduduk pedesaan di Brazil menunjukkan prevalensi
CLM selama musim hujan adalah 14,9% diantara anak-anak berusia kurang dari 5
tahun dan 0,7% di antara orang dewasa berusia 20 tahun atau lebih.5
Hasil penelitian terhadap faktor risiko kejadian CLM di Kabupaten Kulon
Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan bahwa faktor perilaku
(berjalan tanpa alas kaki dan kontak dengan pasir), faktor lingkungan (tekstur
tanah, selalu adanya kucing di lingkungan, dan keberadaan anjing atau kucing
yang terinfeksi Ancylostoma sp.), dan faktor sosial demografi (umur) memiliki
hubungan dengan kejadian CLM.4
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Cutaneous Larva Migrans
2.1.1. Definisi
Cutaneous larva migrans (CLM) merupakan kelainan kulit yang
merupakan peradangan yang berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan
progresif, disebabkan oleh invasi cacing tambang yang berasal dari kucing
dan anjing, yaitu Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan
Ancylostoma ceylanicum. 1 Selama beberapa dekade, istilah CLM dan creeping
eruption sering disamaartikan. Perbedaannya adalah, CLM menggambarkan
sindrom, sedangkan creeping eruption menggambarkan gejala klinis. Creeping
eruption secara klinis diartikan sebagai lesi yang linear atau serpiginius, sedikit
menimbul, dan kemerahan yang bermigrasi dalam pola yang tidak teratur.6
Penyakit yang menimbulkan gejala berupa creeping eruption tapi tidak
disebabkan oleh parasit non-larva tidak disebut sebagai CLM, misalnya seperti
pada dracunculiasis, loiasis, skabies, schistosomiasis, ataupun onchocerciasis.6,7
2.1.2. Epidemiologi
CLM terjadi di seluruh daerah tropis dan subtropis di dunia, terutama di
daerah yang lembab dan terdapat pesisir pasir. Di Amerika Serikat, penyakit ini
sebagian besar terjadi di negara bagian tenggara, terutama Florida, tetapi dapat
juga ditemukan secara sporadik di negara bagian lain. 8 Kasus CLM telah
dilaporkan di Jerman, Prancis, Inggris, Selandia Baru, dan Amerika Serikat.9
CLM endemik di masyarakat kurang mampu di negara berkembang,
seperti Brazil, India, dan Hindia Barat. Sebuah studi di Manaus, Brazil,
menunjukkan prevalensi CLM pada anak-anak selama musim hujan berkisar
9,4%. Di daerah perkumuhan di Timur Laut Brazil, didapati lebih dari 4% dari
keseluruhan populasi dan 15% pada anak-anak menderita CLM. 9
Di negara-negara berpenghasilan tinggi, CLM terjadi secara sporadis atau
dalam bentuk epidemi yang kecil. Kasus sporadis biasanya berhubungan dengan
kondisi iklim yang tidak umum seperti musim semi atau hujan yang memanjang.
3
Penyakit ini sering muncul pada daerah dimana anjing dan kucing tidak diberikan
antihelmintes secara teratur.10
Secara geografis, distribusi CLM mencerminkan distribusi geografi
Ancylostoma braziliense. Sebagian besar kasus yang dilaporkan adalah wisatawan
yang sering berkunjung ke daerah pantai. Ancylostoma braziliense endemik pada
anjing dan kucing, sering ditemukan di sepanjang Pantai Atlantik Amerika Utara
bagian tenggara, Teluk Meksiko, Laut Karibia, Uruguay, Afrika (Afrika Selatan,
Somalia, Republik Kongo, Sierra Leone), Australia, dan Asia. Penyakit ini tidak
muncul setelah terpapar pantai yang tidak terdapat Ancylostoma braziliense,
misalnya Pantai Pasifik Amerika Serikat dan Meksiko.11
2.1.3. Faktor Risiko
1. Faktor perilaku
Adapun faktor perilaku yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :
a) Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki
Adanya bagian tubuh yang berkontak langsung dengan tanah yang
terkontaminasi akan mengakibatkan larva dapat melakukan penetrasi ke
kulit sehingga menyebabkan CLM.12
b) Pengobatan teratur terhadap anjing dan kucing
Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang yang berasal dari
anjing dan kucing.1 Perawatan rutin anjing dan kucing, termasuk de-
worming secara teratur dapat mengurangi pencemaran lingkungan oleh
telur dan larva cacing tambang.
c) Berlibur ke daerah tropis atau pesisir pantai
Kondisi biogeografis yang hangat dan lembab menyebabkan banyak
terdapat larva penyebab penyakit ini di daerah tropis. 1 3 Selain itu,
kebiasaan wisatawan untuk berjalan di pesisir pantai tanpa menggunakan
sandal dan berjemur di pasir tanpa menggunakan alas menyebabkan
banyaknya laporan kejadian CLM dari wisatawan yang baru berlibur ke
pantai.10 Sebuah penelitian pada wisatawan international yang baru
meninggalkan Brazil bagian Timur Laut di bandara menunjukkan bahwa
semua wisatawan yang menderita CLM telah mengunjungi pantai selama
4
liburannya.10
2. Faktor lingkungan
Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :
a) Keberadaan anjing dan kucing
Anjing dan kucing merupakan hospes definitif dari cacing Ancylostoma
braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum. Tinja
anjing dan kucing yang terinfeksi dapat mengandung telur cacing
Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum dan Ancylostoma
caninum. Telur tersebut dapat berkembang menjadi stadium larva yang
infektif (filariform) pada tanah dan pasir yang terkontaminasi. Larva
filariform dari cacing tersebut apabila kontak dengan kulit manusia, dapat
menembus kulit dan menyebabkan CLM.14
b) Cuaca atau iklim lingkungan
Ada variasi musiman yang berbeda pada kejadian CLM, dengan puncak
kejadian selama musim hujan. Telur dan larva bertahan lebih lama di tanah
yang basah dibandingkan di tanah yang kering dan dapat tersebar secara
luas oleh hujan yang deras. Selain itu, iklim yang lembab juga
mengakibatkan peningkatan infeksi cacing tambang di anjing dan kucing
sehingga pada akhirnya meningkatkan jumlah tinja yang terkontaminasi
dan risiko infeksi pada manusia.10
c) Tinggal di daerah dengan keadaan pasir atau tanah yang lembab
Telur Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan
Ancylostoma caninum dikeluarkan bersama tinja anjing dan kucing. Pada
keadaan lingkungan yang lembab dan hangat, telur akan menetas menjadi
larva rabditiform dan kemudian menjadi larva filariform yang infektif.
Larva filariform inilah yang akan melakukan penetrasi ke kulit dan
menyebabkan CLM.5
3. Faktor demografis
Adapun faktor demografis yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :
a) Usia
CLM paling sering terkena pada anak berusia ≤4 tahun. Hal ini
disebabkan karena anak pada usia tersebut masih jarang menggunakan alas
5
kaki saat keluar rumah. Pada penelitian tersebut juga didapatkan bahwa
usia merupakan faktor demografis yang hubungannya paling signifikan
dengan kejadian CLM (p<0,0001).10
b) Pekerjaan
Larva infektif penyebab CLM terdapat pada tanah atau pasir yang lembab.
Orang yang pekerjaannya sering kontak dengan tanah atau pasir tersebut
dapat meningkatkan risiko terinfeksi larva CLM. Pekerjaan yang memiliki
risiko teinfeksi larva penyebab CLM diantaranya petani, nelayan, tukang
kebun, pemburu, penambang pasir dan pekerjaan lain yang sering kontak
dengan tanah atau pasir.1
c) Tingkat pendidikan
Suatu penelitian tentang prevalensi dan faktor risiko CLM di Brazil
menunjukkan, dari 1114 penduduk pedesaan, didapati 23 dari 354 (6,5%)
penduduk dengan tingkat pendidikan rendah menderita CLM, sedangkan
pada penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi, didapati 34 dari 760
(4,5%) orang menderita CLM.10
2.1.4. Etiologi
Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang dari kucing dan anjing
(Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma
caninum) dan Strongyloides. Penyebab lain yang juga memungkinkan yaitu larva
dari serangga seperti Hypoderma dan Gasterophilus.15 Di Asia Timur, CLM
umumnya disebabkan oleh Gnasthostoma sp. pada babi dan kucing. Pada
beberapa kasus ditemukan Echinococcus, Dermatobia maxiales, Lucilia
caesar.1
Di epidermis, larva Ancylostoma brazilense akan bermigrasi dan
menyebabkan CLM selama beberapa minggu sebelum larva tersebut mati. Di
sisi lain, larva Ancylostoma caninum dan Ancylostoma ceylanicum dapat
melakukan penetrasi yang lebih dalam dan menimbulkan gejala klinis yang lain
seperti enteritis eosinofilik.5
2.1.5. Siklus Hidup
6
Telur keluar bersama tinja pada kondisi yang menguntungkan (lembab,
hangat, dan tempat yang teduh). Setelah itu, larva menetas dalam 1-2 hari. Larva
rabditiform tumbuh di tinja dan/atau tanah, dan menjadi larva filariform (larva
stadium tiga) yang infektif setelah 5 sampai 10 hari. Larva infektif ini dapat
bertahan selama 3 sampai 4 minggu di kondisi lingkungan yang sesuai. Pada
kontak dengan pejamu hewan (anjing dan kucing), larva menembus kulit dan
dibawa melalui pembuluh darah menuju jantung dan paru-paru. Larva kemudian
menembus alveoli, naik ke bronkiolus menuju ke faring dan tertelan. Larva
mencapai usus kecil, kemudian tinggal dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing
dewasa hidup dalam lumen usus kecil dan menempel di dinding usus. Beberapa
larva ditemukan di jaringan dan menjadi sumber infeksi bagi anak anjing melalui
transmammary atau transplasenta. Manusia juga dapat terinfeksi dengan cara
larva filariform menembus kulit. Pada sebagian besar spesies, larva tidak dapat
berkembang lebih lanjut di tubuh manusia dan bermigrasi tanpa tujuan di
epidermis. Beberapa larva dapat bertahan pada jaringan yang lebih dalam setelah
bermigrasi di kulit.5
Gambar 2.1. Siklus hidup cacing tambang
2.1.6. Patogenesis
Telur pada tinja menetas di permukaan tanah dalam waktu 1 hari dan
berkembang menjadi larva infektif tahap ketiga setelah sekitar 1 minggu. Larva
dapat bertahan hidup selama beberapa bulan jika tidak terkena matahari langsung
dan berada dalam lingkungan yang hangat dan lembab. Kemudian jika terjadi
kenaikan suhu, maka larva akan mencari pejamunya. Setelah menempel pada
7
manusia, larva merayap di sekitar kulit untuk tempat penetrasi yang sesuai.
Akhirnya, larva menembus ke lapisan korneum epidermis. Larva infektif
mengeluarkan protease dan hialuronidase agar dapat bermigrasi di kulilt
manusia.9,10 Selanjutnya, larva bermigrasi melalui jaringan subkutan membentuk
terowongan yang menjalar dari satu tempat ke tempat lainnya.16 Pada hewan,
larva mampu menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya dengan
berkembang biak di organ dalam. Pada manusia, larva tidak memiliki enzim
kolagenase yang cukup untuk menembus membran basal dan menyerang dermis,
sehingga larva tersebut tidak dapat melanjutkan perkembangan siklus hidupnya.
Akibatnya, selamanya larva terjebak di jaringan kulit penderita hingga masa
hidup dari cacing ini berakhir.16
2.1.7. Gejala Klinis
Pada saat larva masuk ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas di
tempat larva melakukan penetrasi. Rasa gatal yang timbul terutama terasa pada
malam hari, jika digaruk dapat menimbulkan infeksi sekunder.17 Mula-mula akan
timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau
berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan.
Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah
berada di kulit selama beberapa jam atau hari. Perkembangan selanjutnya, papul
merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa,
menimbul, dan membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa
sentimeter.1 Pada stadium yang lebih lanjut, lesi-lesi ini akan lebih sulit untuk
diidentifikasi, hanya ditandai dengan rasa gatal dan nodul-nodul.18
Lesi tidak hanya berada di tempat penetrasi. Hal ini disebabkan larva
dapat bergerak secara bebas sepanjang waktu. Umumnya, lesi berpindah ataupun
bertambah beberapa milimeter perhari dengan lebar sekitar 3 milimeter. Pada
CLM, dapat dijumpai lesi tunggal atau lesi multipel, tergantung pada
tingkatkeparahan infeksi.5
Pada infeksi percobaan dengan 50 larva, didapati gejala mulai muncul
beberapa menit setelah tusukan, diikuti dengan munculnya papul-papul setelah 10
menit. Beberapa jam kemudian, bercak awal mulai digantikan oleh papul
kemerahan. Papul-papul kemudian bergabung membentuk erupsi
8
eritematopapular, yang kemudian akan menjadi vesikel yang sangat gatal setelah
24 jam. Lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok mulai muncul 5 hari setelah
infeksi.19
CLM biasanya ditemukan pada bagian tubuh yang berkontak langsung
dengan tanah atau pasir.5 Tempat predileksi antara lain di tungkai, plantar, tangan,
anus, bokong, dan paha.1
Pada kondisi sistemik, gejala yang muncul antara lain eosinofilia perifer
(sindroma Loeffler), infiltrat pulmonar migratori, dan peningkatan kadar
imunoglobulin E, namun kondisi ini jarang ditemui.20
Gambar 2.2. Gambaran klinis CLM
2.1.8. Diagnosis
Diagnosis CLM ditegakkan berdasarkan gejala klinisnya yang khas dan
disertai dengan riwayat berjemur, berjalan tanpa alas kaki di pantai atau aktivitas
lainnya di daerah tropis, biopsi tidak diperlukan.20
Prosedur invasif jarang digunakan untuk mengindentifikasi parasit pada
CLM. Hal ini disebabkan karena ujung anterior lesi tidak selalu menunjukkan
tempat dimana larva berada. Pada pemeriksaan lab, eosinophilia mungkin
ditemukan, namun tidak spesifik. Dalam sebuah penelitian di Jerman pada
wisatawan dengan CLM, hanya pada 8 (20%) dari 40 orang didapatkan
eosinofilia. Namun, peningkatan kadar eosinofil dapat mengindikasikan
perpindahan larva cacing ke visceral, tetapi ini termasuk komplikasi yang jarang
terjadi.10
9
CLM yang disebabkan oleh Ancylostoma caninum dapat dideteksi dengan
ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay). Sekarang ini, mikroskop
epiluminesens telah digunakan untuk memvisualisasikan pergerakan larva, namun
sensitivitas metode ini belum diketahui.9,10
2.1.9. Diagnosis Banding
Jika ditinjau dari terowongan yang ada, CLM harus dibedakan dengan
skabies. Pada skabies, terowongan yang terbentuk tidak sepanjang pada CLM.
Namun, apabila dilihat dari bentuknya yang polisiklik, penyakit ini sering
disalahartikan sebagai dermatofitosis. Pada stadium awal, lesi pada CLM berupa
papul, karena itu sering diduga dengan insects bite. Bila invasi larva yang
multipel timbul serentak, lesi berupa papul-papul sering menyerupai herpes zoster
stadium awal.1
Diagnosis banding yang lain antara lain dermatitis kontak alergi,
dermatitis fotoalergi, loiasis, myasis, schistosomiasis, tinea korporis.9,10 Kondisi
lain yang bukan berasal dari parasit yang menyerupai CLM adalah tumbuhnya
rambut secara horizontal di kulit.21
2.1.10. Pengobatan
Menurut Heukelbach dan Feldmeier (2008), obat pilihan utama pada CLM
adalah ivermectin. Dosis tunggal (200 µg/kg berat badan) dapat membunuh larva
secara efektif dan menghilangkan rasa gatal dengan cepat. Angka kesembuhan
dengan dosis tunggal berkisar 77% sampai 100%. Dalam hal kegagalan
pengobatan, dosis kedua biasanya dapat memberikan kesembuhan. Ivermectin
kontradiksi pada anak-anak dengan berat kurang dari 15 kg atau berumur kurang
dari 5 tahun dan pada ibu hamil atau wanita menyusui. Namun, pengobatan off-
label pada anak-anak dan ibu hamil sudah pernah dilakukan dengan tanpa adanya
laporan kejadian merugikan yang signifikan.9,10
Dosis tunggal ivermectin lebih efektif daripada dosis tunggal albendazol,
tetapi pengobatan berulang dengan albendazol dapat dilakukan sebagai alternatif
yang baik di negara-negara dimana ivermectin tidak tersedia. Oral albendazol
(400 mg setiap hari) yang diberikan selama 5-7 hari menunjukkan tingkat
10
kesembuhan yang sangat baik, dengan angka kesembuhan mencapai 92-100%.
Karena dosis tunggal albendazol memiliki efikasi yang rendah, albendazol dengan
regimen tiga hari biasanya lebih direkomendasikan. Jika diperlukan, dapat
dilakukan pendekatan alternatif dengan dosis awal albendazol dan mengulangi
pengobatan.10 Tiabendazol (50 mg per kg berat badan selama 2-4 hari) telah
digunakan secara luas sejak laporan mengenai efikasinya pada tahun 1963.
Namun, tiabendazol yang diberikan secara oral memiliki toleransi yang buruk.
Selain itu, penggunaan tiabendazol secara oral sering menimbul efek samping
berupa pusing, mual muntah, dan keram usus. Karena penggunaan ivermectin
dan albendazol secara oral menunjukkan hasil yang baik, penggunaan tiabendazol
secara oral tidak direkomendasikan.9,10
Penggunaan tiabendazol secara topikal pada lesi dengan konsentrasi 10-
15% tiga kali sehari selama 5-7 hari terbukti memiliki efektivitas yang sama
dengan pengguaan ivermectin secara oral. Penggunaan secara topikal didapati
tidak memiliki efek samping, tetapi memerlukan kepatuhan pasien yang baik.
Tiabendazol topikal terbatas pada lesi multipel yang luas dan tidak dapat
digunakan pada folikulitis. Ivermectin dan albendazol adalah gabungan yang
menjanjikan untuk penggunaan topikal, terutama untuk anak-anak, namun data
efikasi untuk penggunaan ini masih terbatas. Infeksi sekunder harus ditangani
dengan antiobiotik topikal.9,10
Cara terapi lain ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan CO2 snow
(dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, dua hari berturut-
turut. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan menggunakan nitrogen liquid dan
penyemprotan kloretil sepanjang lesi. Akan tetapi, ketiga cara tersebut sulit
karena sulit untuk mengetahui secara pasti dimana larva berada. Di samping itu,
cara ini dapat menimbulkan nyeri dan ulkus. Pengobatan dengan cara ini sudah
lama ditinggalkan.1
2.1.11. Pencegahan
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian CLM antara
lain:
- Mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah atau pasir
11
yang terkontaminasi.
- Saat menjemur pastikan handuk atau pakaian tidak menyentuh tanah
- Melakukan pengobatan secara teratur terhadap anjing dan kucing dengan
antihelmintik
- Hewan dilarang untuk berada di wilayah pantai ataupun taman bermain
- Menutup lubang-lubang pasir dengan plastik dan mencegah binatang untuk
defekasi di lubang
- Wisatawan disarankan untuk menggunakan alas kaki saat berjalan di pantai
dan menggunakan kursi saat berjemur
Akan tetapi, pada masyarakat yang kurang mampu, keterbatasan finansial
mengakibatkan sulitnya masyarakat untuk memberikan pengobatan yang teratur
terhadap anjing dan kucing. Sehingga pada akhirnya, pemberantasan cacing
tambang pada binatang hanya bisa dilakukan dengan cara melakukan
pengontrolan yang terintegrasi antara pihak kesehatan masyarakat, antropologis
medis, dokter hewan, dan masyarakat.9,10
2.1.12 Prognosis
CLM termasuk ke dalam golongan penyakit self-limiting. Pada akhirnya,
larva akan mati di epidermis setelah beberapa minggu atau bulan. Hal ini
disebabkan karena larva tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada
manusia.6 Lesi tanpa komplikasi yang tidak diobati akan sembuh dalam 4-8
minggu, tetapi pengobatan farmakologi dapat memperpendek perjalanan
penyakit.10
BAB 3
LAPORAN KASUS
UNIVERSITAS ANDALAS
12
FAKULTAS KEDOKTERAN
KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II
STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
a. Nama/ Kelamin/Umur : M /Perempuan /3 tahun
b. Pekerjaan/ Pendidikan : - / -
c. Alamat : Jaruai, Bungus Teluk Kabung
2. Latar Belakang Sosial-Ekonomi-Demografi-Lingkungan Keluarga
a. Status Perkawinan : -
b. Jumlah saudara : 0 orang
c. Status ekonomi keluarga : Miskin. Ayah bekerja sebagai nelayan
dengan penghasilan ± 1,5 juta rupiah/bulan. Ibu tidak bekerja.
d. KB : -
e. Kondisi rumah :- Rumah semipermanen dengan pekarangan
cukup luas.
- Luas bangunan ± 8 m x 7 m.
- Listrik ada
- Sumber air minum dari sumur
- Kamar mandi/WC ada di dalam rumah
f. Kondisi lingkungan keluarga :
Penghuni rumah 5 orang yaitu; pasien, ayah, dan ibu pasien serta
kakek dan nenek pasien.
3. Aspek psikologis di keluarga:
Hubungan pasien dengan keluarga baik.
Faktor stress dalam keluarga adalah masalah ekonomi.
4. Riwayat penyakit dahulu/ penyakit keluarga/ alergi:
Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini.
Tidak ada riwayat mata merah berair disertai gatal pada pagi hari
Tidak ada riwayat bersin-bersin dan hidung gatal pada pagi hari
13
Tidak ada riwayat sesak napas disertai nafas berbunyi
Tidak ada riwayat biring susu pada waktu bayi
Tidak ada riwayat alergi makanan
Tidak ada riwayat alergi obat
Tidak ada riwayat alergi pada keluarga
5. Keluhan Utama:
lesi berkelok-kelok yang terasa panas dan gatal terutama pada malam
hari di bokong sebelah kanan sejak 1 minggu yang lalu.
6. Riwayat Penyakit Sekarang:
lesi berkelok-kelok yang terasa panas dan gatal terutama pada malam hari
di bokong sebelah kanan sejak 1 minggu yang lalu. Awalnya muncul
sebagai bintik kecil yang kemudian makin lama makin banyak dan
membentuk garis berkelok-kelok. Kulit di sekitar lesi berwarna
kemerahan.
Riwayat tidak memakai alas kaki ada dan pasien sering bermain serta
duduk-duduk di pinggiran pantai yang berpasir.
Lantai dapur rumah adalah tanah. Pasien dan keluarga tidak memakai
sandal saat ke dapur.
Riwayat luka, gigitan serangga disangkal
Riwayat memelihara anjing atau kucing tidak ada.
Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan serupa.
Riwayat higiene: pasien mandi 2x sehari memakai sabun serta handuk
sendiri
Pasien belum pernah berobat untuk keluhan ini sebelumnya. pasien juga
tidak ada mengobati sendiri keluhannya.
7. Pemeriksaan Fisik:
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Komposmentis Kooperatif
14
Frek. Nadi : 102x/menit
Frek. Nafas : 24x/menit
Tekanan Darah : 100/70mmHg
Suhu : 37,10C
BB/ TB : 12 kg / 91 cm
Status gizi : BB Persentile – 3 / TB Persentile - 10
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
pupil isokor, Rf cahaya +/+
Thorax : Cor dan pulmo dalam batas normal.
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : Refleks fisiologis ++/++, oedema
peritibial (-)
Status Dermatologikus
Lokasi : bokong sebelah kanan
Distribusi : unilateral, terlokalisir
Bentuk : tidak khas
Susunan : polisiklik, serpiginosa
Batas : Tegas
Ukuran : miliar - lentikular
Efloresensi :papul eritematosa yang berkelok-
kelok dan menimbul disertai plak eritem.
Status venereologikus : tidak diperiksa
Kelainan selaput : tidak ditemukan kelainan
Kelainan kuku : tidak ditemukan kelainan
Kelainan rambut : tidak ditemukan kelainan
15
8. Laboratorium:
Anjuran :
Pemeriksaan hitung jenis leukosit : biasanya akan menunjukkan eosinofilia
9. Diagnosa Kerja:
Cutaneus Larva Migrans
10. Diagnosis Banding:
Skabies
11. Manajemen
a. Preventif
Menganjurkan kepada pasien dan keluarganya untuk menyuruh anaknya
selalu memakai alas kaki ketika berjalan dan tidak duduk secara
sembarangan di tanah atau pasir karena larva cacing umumnya
menginfeksi tubuh melalui kulit kaki yang tidak terlindungi dan daerah
yang berkontak langsung dengan tanah atau pasir.
Menjaga kebersihan kuku dengan cara sering cuci tangan terutama setelah
aktivitas yang kontak langsung dengan tanah atau pasir, serta kotoran
hewan seperti kucing dan anjing dan memotong kuku minimal seminggu
sekali karena kuku yang pendek dapat mengeliminasi masuknya kuman-
kuman atau bibit penyakit melalui kuku.
16
b. Promotif
Memberi informasi kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakitnya
yaitu kutaneus larva migran dan bintik merah tersebut kemungkinan
disebabkan oleh larva cacing.
Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa menggaruk dapat
memperburuk kondisinya karena dapat terjadi infeksi sekunder.
c. Kuratif
Topikal:
Cryotheraphy menggunakan Kloretil selama 3 hari, 1 x sehari
Sistemik:
Tablet Albendazole 1 x 400 mg/hari, selama 3 hari berturut-turut
Tablet CTM 3 x 2 mg/hari, selama 3 hari
d. Rehabilitatif
Kontrol 3 hari lagi untuk memantau hasil terapi
Kontrol apabila timbul gejala batuk dan sesak
12. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Resep
17
Dinas Kesehatan Kodya Padang
Puskesmas Bungus Teluk Kabung
Dokter : Metha Arsilita Hulma
Tanggal : 28 Oktober 2015
R/Albendazole tab 400 mg No III
mf pulv No III
S 1 dd pulv I
R/ CTM tab 4 mg No III
mf pulv No IX
S 3 dd pulv I
Pro : M
Umur : 3 tahun
Alamat: Jaruai, Bungus Teluk Kabung
DAFTAR PUSTAKA
1. Aisah, S., 2010. Creeping Eruption. In: Djuanda, A., Hamzah, M., and Aisah,
S., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit KUI,
125-126.
18
2. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2013. Parasites -
ookworm. Available from: www.cdc.gov/parasites/hookworm [Accessed 8
November 2015].
3. Supali, T., Margono, S.S., Alisah, N.A., 2009. Cacing Tambang (Hookworm).
In: Sutanto, I., Ismid, I.I., Sjarifuddin, P.K., Sungkar, S. (ed), Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 12-24.
4. Weller, P.F. & Leder, K., 2012. Cutaneous Larva Migrans (Creeping
Eruption). Available from: http://www.uptodate.com/contents/cutaneous-larva-
migrans-creeping-eruption [Accessed 7 November 2015].
5. Centers for Disease Control and Prevention, 2012. Parasites – Zoonotic
Hookworm. Availaible form: http://www.cdc.gov/parasites/zoonotichook
worm/ [Accessed 8 November 2015].
6. Caumes, E., 2006. It's Time to Distinguish The Sign "Creeping Eruption" from
The Syndrome "Cutaneous Larva Migrans". Dermatology, 213: 179-181.
7. Kourilova, P., Hogg, K.G. & Kolarova, L., 2004. Cercarial Dermatitis Caused
by Bird Schistosomes Comprises both Immediate and Late Phase Cutaneous
Hypersensitivity Reactions. Journal of Immunology. 172: 3766-3774.
8. Donaldson, A.W., Steele, J.H. & Scatterday, J.E., 1950. Creeping Eruption in
the Southeastern Unites States. Proccedings of the 87th Annual Meeting of
The American Veterinary Association, Section of Public Health, 83-89.
9. Feldmeier, H. & Schuster, A., 2011. Mini Review: Hookworm-related
Cutaneous Larva Migrans. Eur J Clin Microbiol Infect Dis, 31(6): 915-918.
10. Heukelbach, J., Jackson, A., Ariza, L. & Feldmeier, H., 2008. Prevalence and
Risk Factors of Hookworm-related Cutaneous Larva Migrans in a Rural
Community in Brazil. Annual Tropical Medicine Parasitology, 31: 493-498.
11. Soo, J.K., Vega-Lopez, F., Steven, H.P. & Chiodini P.L., 2003. Cutaneous
Larva Migrans and BeyondA Rare Association. Travel Med Infect Dis,
1:41-43.
12. Abdulla, F. & Selim, M.M., 1998. A New Therapeutic Modality For
Cutaneous Larva Migrans. The Gulf Journal of Dermatology, 5(2): 54-55.
13. Brenner, M.A. & Patel, M.B., 2003. Cutaneous Larva Migrans: The Creeping
Eruption. Cutis, 72: 111-115.
19
14. Supali, T., Margono, S.S., Alisah, N.A., 2009. Cacing Tambang (Hookworm).
In: Sutanto, I., Ismid, I.I., Sjarifuddin, P.K., Sungkar, S. (ed), Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 12-24.
15. Eckert, J., 2005. Larva Migrans Externa or Cutaneous Larva Migrans. In:
Bienz, K.A. Medical Microbiology. New York: Thieme Medical Publisher,
602.
16. Shulman, S.T., Phair, J.P. & Sommers, H.M., 1994. Dasar Biologis dan Klinis
Penyakit Infeksi. Edisi ke-4. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 341.
17. Natadisastra, D. & Agoes, R., 2009. Cutaneous Larva Migrans (Creeping
Eruption). In: Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ Tubuh yang
Diserang. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 275-276.
18. Vega-Lopez, F. & Hay, R.J., 2004. Parasitic Worms and Protozoa. In: Burns,
T., Breatnach, S., Cox, N. & Griffiths, C., eds. Rook’s Textbook of
Dermatology. United Kingdom: Blackwell Science Ltd.
19. Africa, C.M., 1932. Studies on Experimental Creeping Eruption in the
Philippines. Philipp J Sci, 48: 89-101.
20. Vano-Galvan, S.,Gil-Mosquera, M., Truchuelo, M. & Jaén, P.,2009.
Cutaneous Larva Migrans: A Case Report. Cases Journal, 2: 112.
21. Sakai, R., Higashi, K., Ohta, M., Sugimoto, Y., Ikoma, Y. & Horiguchi, Y.,
2006. Creeping Hair: An Isolated Hair Burrowing in the Uppermost Dermis
Resembling Larva Migrans. Dermatology, 213: 242-244.
20
Top Related