ANALISIS PENGGUNAAN BAHASA JARGON DALAM SMS
BERDASARKAN GEJALA BAHASA DILIHAT DARI TINGKAT
PENDIDIKAN DALAM KELUARGA DAN DAMPAK YANG
DITIMBULKAN PADA SETIAP ANGGOTA KELUARGA
Disusun sebagai tugas akhir mata kuliah Bahasa Indonesia Semester IV
Disusun Oleh :
Deprina Aprilia Sembodo (0220080034)
MEKATRONIKA
POLITEKNIK MANUFAKTUR ASTRA
2010
ANALISIS PENGGUNAAN BAHASA JARGON DALAM SMS
BERDASARKAN GEJALA BAHASA DILIHAT DARI TINGKAT
PENDIDIKAN DALAM KELUARGA DAN DAMPAK YANG
DITIMBULKAN PADA SETIAP ANGGOTA KELUARGA
Disusun sebagai tugas akhir mata kuliah Bahasa Indonesia Semester IV
Disusun Oleh :
Deprina Aprilia Sembodo (0220080034)
Pembimbing :
Purti Nasution, S.Pd.
MEKATRONIKA
POLITEKNIK MANUFAKTUR ASTRA
JL Gaya Motor Raya No. 8, Sunter II, Jakarta Utara 14330
Telepon: 6519555, Fax: 6519821
email: [email protected]
2010
ii
LEMBAR PENGESAHAN
ANALISIS PENGGUNAAN BAHASA JARGON DALAM SMS
BERDASARKAN GEJALA BAHASA DILIHAT DARI TINGKAT
PENDIDIKAN DALAM KELUARGA DAN DAMPAK YANG
DITIMBULKAN PADA SETIAP ANGGOTA KELUARGA
Jakarta, 23 April 2010
POLITEKNIK MANUFAKTUR ASTRA
Purti Nasution, S.Pd.
Dosen Pembimbing
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-
Nyalah saya dapat merampungkan karya tulis ini, yang berkenaan dengan
penggunaan bahasa jargon dalam SMS berdasarkan gejala bahasa dilihat dari
tingkat pendidikan dalam keluarga dan dampak yang ditimbulkan pada setiap
anggota keluarga.
Terima kasih saya ucapkan kepada :
1. Ibu purti, selaku pembimbing yang menyempatkan waktu beliau untuk
merespon setiap kemajuan karya tulis yang saya buat.
2. Serta pihak media cetak maupun media elektronik seperti internet, yang
menjadi sumber penelitian karya tulis saya.
3. Ibunda meminjamkan buku sastranya serta memberikan uangnya kepada
saya untuk memfotokopi sumber literatur.
Saya mempertimbangkan kritik dan saran dari teman-teman untuk
kesempurnaan penulisan karya tulis yang saya buat selanjutnya.
Saya berharap kehadiran karya tulis saya ini mampu memperkaya referensi
teman pelajar dan mahasiswa yang tertarik untuk mendalami ilmu bahasa
kesatuan kita, bahasa Indonesia.
Jakarta, 23 April 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI
JUDUL …………………………………………………………… ii
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………… iii
KATA PENGANTAR …………………………………………… iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………... v
DAFTAR TABEL ………………………………………………… vii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………… viii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang …………………………………………….. 1
1.2. Tujuan Penelitian …………………………………………... 2
1.3. Identifikasi Masalah ………………………………………... 2
1.4. Pembatasan Masalah ……………………………………….. 3
1.5. Rumusan Masalah ………………………………………….. 4
1.6. Metode Penelitian ………………………………………….. 4
1.7. Sistematika Penulisan ……………………………………… 4
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………… 6
2.1. Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Baku ………. 7
2.2. Gejala Bahasa ……………………………………………… 9
2.3. Variasi Bahasa …………………………………………….. 20
2.4. Analisis Data ……………………………………………… 34
v
BAB III PENUTUP ………………………………………………… 38
3.1. Kesimpulan ……………………………………………… 38
3.2. Saran ……………………………………………………… 38
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………. 39
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 ………………………………………………………………… 7
Tabel 2 ………………………………………………………………… 7
Tabel 3 ………………………………………………………………… 7
Tabel 4 ………………………………………………………………… 8
Tabel 5 ………………………………………………………………… 8
Tabel 6 ………………………………………………………………… 8
Tabel 7 ………………………………………………………………… 8
Tabel 8 ………………………………………………………………… 9
Tabel 9 ………………………………………………………………… 34
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 …………………………………………………………….. 34
Gambar 2 …………………………………………………………….. 34
Gambar 3 …………………………………………………………….. 35
Gambar 4 …………………………………………………………….. 35
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia sebagai mahkluk sosial semestinya berinteraksi dengan
sesamanya. Untuk keperluan inilah, manusia menggunakan bahasa sebagai
alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan terbentuknya berbagai bahasa di dunia yang memiliki
ciri-ciri unik yang menyebabkannya berbeda dengan bahasa lainnya.
Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam
bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill
bahwa, “Sosiolinguistik adalah bagian linguistik yang berkaitan dengan
bahasa, fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena
masyarakat dan berkaitan dengan bidang sains sosial seperti sistem kerabat
(Antropologi) bisa juga melibatkan geografi dan sosiologi serta psikologi
sosial”.
Ketika, Fishman menyatakan bahwa Sosiolinguistik memiliki
komponen utama yaitu : ciri-ciri bahasa dan fungsi bahasa. Fungsi bahasa
yang dimaksud adalah fungsi sosial (regulatory), untuk membentuk arahan
dan fungsi interpersonal yaitu menjaga hubungan baik serta fungsi
imajinatif untuk menerka alam fantasi serta fungsi emosi seperti untuk
mengungkapkan suasana hati, yaitu : marah, sedih, gembira dan apresiasi.
(Dalam sebuah situs di google , 2010)
Perkembangan bahasa yang selaras dengan perkembangan kehidupan
manusia di zaman modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah
antara lain dengan penggunaan bahasa pada komunitas tertentu.
Menggunakan bahasa sebagai alat pergaulan yang dikenal dengan variasi
bahasa seperti bahasa jargon yang terdapat pada SMS . Walaupun
11
sepatutnya bahasa Indonesia sebagai bahasa ibulah yang seharusnya
mendapat apresiasi yang lebih dari masyarakat, yang mengaku putra dan
putri Indonesia yang berbahasa satu, bahasa Indonesia. Bentuk apresiasi
berbahasa dapat dilakukan dengan selalu menggunakan Bahasa Indonesia
yang baik dan baku sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia .
Hal inilah yang mendorong dilakukan penelitian mengenai,
penggunaan bahasa jargon dalam SMS berdasarkan gejala bahasa dilihat
dari tingkat pendidikan dalam keluarga dan dampak yang ditimbulkan
pada setiap anggota keluarga.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian mengenai, penggunaan bahasa jargon
dalam SMS berdasarkan gejala bahasa dilihat dari tingkat pendidikan
dalam keluarga dan dampak yang ditimbulkan pada setiap anggota
keluarga, antara lain :
1.2.1. Mengetahui seberapa pentingnya bahasa Indonesia diaplikasikan
dalam keluarga.
1.2.2. Mengetahui sebab munculnya bahasa jargon, khususnya pada
SMS.
1.2.3. Mengetahui sebab anggota keluarga menggunakan bahasa jargon.
1.2.4. Mengetahui gejala bahasa pada bahasa Indonesia, berkenaan
munculnya bahasa jargon pada SMS sebagai media
berkomunikasi.
1.2.5. Mengetahui bagaimana cara berkomunikasi yang baik dan benar
dengan berbahasa Indonesia.
1.2.6. Mengetahui dampak yang terjadi di dalam keluarga.
1.3. Identifikasi Masalah
1
2
3
2
Beberapa masalah yang telah ditemukan berkaitan dengan tema yang
diangkat, yaitu :
1.3.1. Apakah bahasa merupakan alat komunikasi yang dapat menjadi
identitas dari suatu kelompok?
1.3.2. Bagaimana hubungan yang terjadi antara bahasa dengan konteks
sosial?
1.3.3. Apakah yang dimaksud dengan sosiolinguistik?
1.3.4. Bagaimana cara sebaik-baiknya dalam menggunakan bahasa
Indonesia?
1.3.5. Mengapa gejala bahasa (fenomena bahasa), berupa penggunaan
bahasa pergaulan (bahasa jargon) dapat terjadi?
1.3.6. Apa yang membuat pelajar memilih untuk menggunakan bahasa
pergaulan (bahasa jargon) sebagai alat berkomunikasi saat berSMS?
1.3.7. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari penggunaan bahasa
jargon dalam sms di dalam keluarga?
1.4. Pembatasan Masalah
Dari beberapa permasalahan yang dijabarkan, kemudian dibatasi
permasalahan yang akan dibahas. Tetapi akibat keterbatasan waktu yang
diberikan untuk menyelesaikan karya tulis. Maka pembatasan masalah
yang dirumuskan sebagai berikut :
1.4.1. Pembahasan menyangkut cara sebaik-baiknya dalam
menggunakan bahasa Indonesia dengan menggunakan bahasa yang
baku.
1.4.2. Pembahasan mengenai gejala bahasa (fenomena bahasa), dan
penggunaan bahasa pergaulan (bahasa jargon) pada SMS di
keluarga Prio Sembodo bagi anggota keluarga yang tingkat
pendidikannya adalah SMA ke atas.
3
1.5. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah, penulis merumuskan permasalahan yang akan
dibahas, yaitu :
“Penggunaan Bahasa Jargon dalam SMS Berdasarkan Gejala
Bahasa Dilihat Dari Tingkat Pendidikan Dalam Keluarga dan Dampak
yang Ditimbulkan Pada Setiap Anggota Keluarga.”
1.6. Metode Penelitian
Dalam merampungkan karya tulis ini, diperlukan metode penelitian yang
mendukung, hal tersebut diperlukan sebagai upaya untuk menghasilkan
karya tulis yang kompeten dan mampu menjadi referensi di sasana sastra
dan bahasa Indonesia. Metode penelitian yang digunakan, yaitu :
1.6.1. Metode Literatur
Metode penelitian dengan menjadikan buku, dan internet menjadi
sumber tinjauan pustaka pada karya tulis.
1.6.2. Metode Observasi
Metode penelitian dengan mengadakan pengamatan pada sampel
yang telah ditentukan sebelumnya, SMS keluarga Prio Sembodo
pada kesempatan ini yang dijadikan sampel, kemudian hasil yang
telah didapat dianalisis sebagai upaya penyimpulan atas
permasalahan yang diangkat secara kuantitatif.
1.7. Sistematika Penulisan
Karya tulis yang saya tulis terdiri atas tiga Bab, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
44
Bab pendahuluan membahas tentang latar belakang dibuatnya karya tulis,
tujuan penulisan karya tulis, identifikasi masalah, pembatasan masalah
yang menjadi fokus yang akan dibahas pada karya tulis, rumusan masalah
sebagai pembahasan utama dalam karya tulis.
BAB II PEMBAHASAN
Bab pembahasan membahas tentang penggunaan Bahasa Indonesia yang
baik dan baku, sebagai poin pertama yang dibahas, kemudian hal yang
dibahas lain yang akan dibahas adalah Gejala bahasa, Variasi bahasa,
Analisis data observasi SMS di Keluarga Prio Sembodo.
BAB III PENUTUP
Bab penutup berisi tentang kesimpulan yang menandai terjawabnya
permasalahan pada rumusan masalah yang menjadi fokus pembahasan
karya tulis.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka berisi tentang sumber-sumber referensi yang penulis
gunakan dalam penulisan karya tulis baik dalam bentuk buku maupun
artikel di internet..
55
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Baku
Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat diwujudkan
dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Kebakuan
penggunaan dapat diwujudkan dengan menggunakan kata –kata yang
baku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sesuai dengan situasi dan
kondisi yang dialami.
2.1.1. Kata Baku Sebagai Bahasa Baku
Kata baku adalah kata yang cara pengucapan dan penulisannya
sesuai dengan kaidah standar yang telah (dibakukan) mendapat
persetujuan. Kaidah standar dapat berupa pedoman EYD, tata
bahasa baku dan kamus besar bahasa Indonesia. Sebaliknya kata
tidak baku tidak memerlukan kaidah standar dalam penggunaannya
baik dari cara pengucapan maupun penulisannya.
2.1.1.1. Fungsi Kata Baku dalam Bahasa Baku
a. Pemersatu
Pemakaian bahasa yang baku dapat menyatukan rakyat
Indonesia yang berasal dari suku-suku yang berbeda,
setiap suku juga memiliki bahasa sendiri.
b. Pemberi kekhasan
6
Pemakaian bahasa baku dapat menjadi pembeda
dengan masyarakat di Negara lain.
c. Pembawa Kewibawaan
Pemakaian bahasa baku dapat memperlihatkan
kewibawaan pemakainya.
d. Kerangka Acuan
Bahasa baku menjadi kerangka acuan bagi benar
tidaknya pemakaian bahasa seseorang.
2.1.1.2. Ciri-ciri Kata Baku
a. Tidak dipengaruhi bahasa daerah
Tabel 1
BAKU TIDAK BAKU
Saya Gw
Wanita Neng
b. Tidak dipengaruhi bahasa asing
Tabel 2
BAKU TIDAK BAKU
Kantor tempat Kantor dimana
Kesempatan lain Lain kesempatan
c. Bukan merupakan bahasa percakapan
Tabel 3
BAKU TIDAK BAKU
77
Dengan Sama
Tidak Enggak
d. Pemakaian imbuhan secara eksplisit
Tabel 4
BAKU TIDAK BAKU
Mamik bekerja keras Mamik kerja keras
Tyson menyerang
lawannya
Tyson serang lawannya
e. Pemakaian yang sesuai dengan konteks kalimat
Tabel 5
BAKU TIDAK BAKU
Lebih besar daripada Lebih besar dari
Disebabkan oleh Disebabkan karena
f. Tidak rancu
Tabel 6
BAKU TIDAK BAKU
Berkali-kali Berulang kali
Mengesampingkan Mengenyampingkan
g. Tidak mengandung arti pleonasme
Tabel 7
BAKU TIDAK BAKU
Para tamu Para tamu-tamu
88
Naik Naik ke atas
h. Tidak mengandung hiperkorek
Tabel 8
BAKU TIDAK BAKU
Insaf Insyaf
Sah Syah
2.1.2. Kondisi Berbahasa Sebagai Acuan Pemakaian Bahasa Yang
Baik
2.1.3. Kondisi formal sebagai situasi sebaik-baiknya
pemakaian bahasa
Kondisi formal mencakup ketika seseorang berbicara di
depan umum, dan menulis untuk dipublikasikan. Biasanya
penggunaan bahasa dalam acara yang bersifat tugas adalah
waktu yang sebaik-baiknya menggunakan bahasa yang
baku dan baik, walaupun penggunaannya tidak khusus
kondisi formal tapi juga dapat pada kondisi informal.
2.2. Gejala Bahasa
Gejala bahasa yaitu fenomena atau peristiwa bahasa yang terjadi dalam
kehidupan di masyarakat.
Gejala bahasa menurut sebuah situs ( ayobelajar.com , 2000) di antaranya :
2.2.1. Adaptasi
9
9
Penyesuaian bentuk berdasarkan kaidah fonologis, kaidah
ortografis, atau kaidah morfologis.
Contoh :
1. vyaya menjadi biaya
2. pajeg menjadi pajak
3. voorloper menjadi pelopor
4. fardhu menjadi perlu
5. igreja menjadi gereja
6. voorschot menjadi persekot
7. coup d'etat menjadi kudeta
8. postcard menjadi kartu pos
9. certificate of deposit menjadi sertifikat deposito
10. mass producIion menjadi produkmassa
2.2.2. Analogi
Pembentukan kata berdasarkan contoh yang telah ada.
Contoh :
Berdasarkan kata 'dewa-dewi' dibentuk kata :
putra-putri, siswa-siswi, saudara-saudari, pramugara-
pramugari
Berdasarkan kata 'industrialisasi' dibentuk kata :
hutanisasi, Indonesianisasi
10
10
Berdasarkan kata 'pramugari' dibentuk kata :
pramuniaga, pramuwisata, pramuria,
pramusaji,pramusiwi
Berdasarkan kata 'swadesi' dibentuk kata :
swadaya, swasembada, swakarya, swasta, swalayan
Berdasarkan kata 'tuna netra' dibentuk kata :
tuna wicara, tuna rungu, tuna aksara, tuna wisma, tuna
karya, tuna susila, tuna busana.
2.2.3. Anaptiksis (Suara Bakti)
Penyisipan vokal e pepet untuk melancarkan ucapan disebut juga
suara bakti.
Contoh:
sloka menjadi seloka
srigala menjadi serigala
negri menjadi negeri
ksatria menjadi kesatria
2.2.4. Asimilasi
Proses perubahan bentuk kata karena dua fonem berbeda
disamakan atau dijadikan hampir sama.
Contoh:
in-moral menjadi immoral
in-perfect menjadi imperfek
al-salam menjadi asalam
11
11
ad-similatio menjadi asimilasi
in-relevan menjadi irelevan
ad-similatio menjadi asimilasi
2.2.5. Disimilasi
Kebalikan dari asimilasi, yaitu perubahan bentuk kata yang terjadi
karena dua fonem yang sama dijadikan berbeda.
Contoh :
saj jana menjadi sarjana
sayur-sayur menjadi sayur-mayur
2.2.6. Diftongisasi
Perubahan bentuk kata yang terjadi karena monoftong diubah menjadi
diftong.Jadi kebalikan monoftongisasi.
Contoh :
sentosa menjadi sentausa
cuke menjadi cukai
pande menjadi pandai
gawe menjadi gawai
2.2.7. Monoftongisasi
Perubahan benluk kata yang terjadi karena perubahan diftong (vokal
rangkap) menjadi monoftong (vokal tunggal)
12
12
Contoh :
autonomi menjadi otonomi
autobtografi menjadi otobiografi
satai menjadi sate
gulai rnenjadi gule
2.2.8. Sandi (Persandian)
Perubahan bentuk kata yang terjadi karena peleburan dua buah vokal yang
berdampingan, dengan akibat jutmlah suku kata berkurang satu.
Contoh :
keratuan menjadi keraton
kedatuan menjadi kedaton
sajian menjadi sajen
durian menjadi duren
Perhatikan jumlah suku kata :
ke - ra - tu - an ~> ke - ra - ton
1 2 3 4 1 2 3
du - ri- an ~> du - ren
1 2 3 1 2
2.2.9. Hiperkorek
13
13
Pembetulan bentuk kata yang sebenarnya sudah betul, sehingga hasilnya
justru salah.
Contoh :
Sabtu menjadi Saptu
jadwal menjadi jadual
manajemen menjadi menejemen
asas menjadi azas
surga menjadi sorga
Teladan menjadi tauladan
izin menjadi ijin
Jumat menjadi Jum'at
kualifikasi menjadi kwalifikasi
frekuensi menjadi frekwensi
kuantitas menjadi kwantitas
November menjadi Nopember
kuitansi menjadi kwitansi
mengubah menjadi merubah
februari menjadi Pebruari
persen menjadi prosen
pelaris menjadi penglaris
system menjadi sistim
14
teknik menjadi tehnik
apotek menjadi apotik
telepon menjadi telfon
ijazah menjadi ijasah
atlet menjadi atlit
nasihat menjadi nasehat
biaya menjadi beaya
perusak menjadi pengrusak
zaman menjadi jaman
koordinasi menjadi kordinasi
2.2.10 Kontaminasi
Kontaminasi disebut juga kerancuan, yaitu kekacauan dimana dua
pengertian yang berbeda, atau perpaduan dua buah struktur yang
seharusnya tidak dipadukan.
Contoh :
berulang-ulang dan berkali-kali menjadi berulang-kali
saudara-saudara dan saudara sekalian menjadi saudara-
saudara sekalian
musnah dan punah menjadi musnah
2.2.11. Metatesis
15
Pergeseran kedudukan fonem, atau perubahan bentuk kata karena dua
fonem alau lebih dalam suatu kata bergeser tempatnya.
Contoh :
rontal menjadi lontar
anteng menjadi tenang
usap menjadi sapu
palsu menjadi sulap
keluk menjadi lekuk
2.2.12. Protesis
Perubahan fonem di depan bentuk kata asal.
Contoh :
lang menjadi elang
mak menjadi emak
mas menjadi emas
undur menjadi mundur
stri menjadi istri
arta menjadi harta
alangan menjadi halangan
sa menjadi esa
atus menjadi ratus
eram menjadi peram
2.2.13. Epentesis
Perubahan bentuk kata yang terjadi karena penyisipan fonem ke dalam
kata asal.
Contoh :
baya menjadi bahaya
bhayamkara menjadi
bhayangkara
gopala menjadi gembala
jur menjadi jemur
bahasa menjadi bahasa
2.2.14. Paragog
Perubahan bentuk kata karena penambahan fonem di bagian akhir
kata asal.
Contoh :
mama, bapa menjadi mamak dan bapak
pen menjadi pena
datu menjadi datuk
hulu bala menjadi hulubalang
boek menjadi buku
abad menjadi abadi
pati menjadi patih
16
bank menjadi bangku
gaja menjadi gajah
conto menjadi contoh.
2.3.15. Aferesis
penghilangan fonem di awal bentuk asal.
Contoh :
adhyaksa menjadi jaksa
empunya menjadi punya
sampuh menjadi ampuh
wujud menjadi ujud
bapak menjadi pak
ibu menjadi bu.
2.3.16. Sinkop
penghilangan fonem di tengah atau di dalam kata asal.
Contoh :
laghu menjadi lagu
vidyadhari menjadi bidadari
pelihara menjadi piara
mangkin menjadi makin
17
niyata menjadi nyata
utpatti menjadi upeti.
2.3.17. Apokop
penghilangan fonem di akhir bentuk kata asal.
Contoh :
sikut menjadi siku
riang menjadi ria
balik menjadi bali
anugraha menjadi anugerah
pelangit menjadi pelangi.
2.3.18. Kontraksi
gejala pemendekan atau penyingkatan suatu frase menjadi kata baru.
Contoh :
tidak ada menjadi tiada
kamu sekalian menjadi kalian
kelam harian menjadi kemarin
bagai itu menjadi begitu
bagai ini menjadi begini.
Akronim, seperti balita, siskamling, rudal, ampera, pada
dasarnya termasuk gejala kontraksi.
18
2.3.19. Nasalisasi
Penyengauan, proses penambahan bunyi sengau atau fonem nasal,
yaim /m/, /n/, /ng/, den /ny/.
Contoh :
me baca menjadi membaca
pe duduk menjadi penduduk
pe garis menjadi penggaris.
2.3.20. Palatalisasi
Penambahan fonem palatal /y/ pada suatu kata ketika kata ini
dilafalkan.
Contoh :
pada kata ia, dia. pria, panitia, ksatria, bersedia, yang
masing-masing dilafalkan /iya/, /priya/, /diya/. /panitiya/,
dan /bersediya/. jadi palatalisasi muncul di antara vokal /i/
dan /a/ yang digunakan berdampingan.
2.3.21. Labialisasi
Penambahan fonem labial /w/ di antara vokal /u/ dan /a/ yang
berdampingan pads sebuah kata.
Contoh :
pada kata uang, buang, ruang, juang, kualitas, dan lain-lain.
Selain itu, labialisasi juga muncul di antara vokal /u/ dan/e/.
atau /u/ dan /i/ seperti pada kata frekuensi dan kuitansi.
19
Pada waktu kita lafalkan
kata-kata itu, terasa sekali, bahwa di antara vokal-vokat
tersebut
timbul fonem labial /w/, misalnya uang kita lafalkan
/uwang/.
2.3.22. Onomatope
Proses pembentukan kata berdasarkan tiruan bunyi-bunyi.
Contoh :
hura-hura dari hore-hore.
aum (suara harimau)
meong (suara kucing)
embik (suara kambing)
desis (suara ular)
desah (suara napas)
ketuk (bunyi pintu atau meja dipukul dengan jari
atau palu)
2.3.23. Haplologi
Proses perubahan bentuk kata yang berupa penghilangan satu suku
kata di tengah-tengah kata.
Contoh :
samanantara menjadi sementara
mahardhika menjadi merdeka
20
budhidaya menjadi budaya
2.3. VARIASI BAHASA
Manusia merupakan mahluk sosial. Manusia melakukan interaksi, bekerja
sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan
hal tersebut, manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi yang berupa
bahasa. Bahasa memungkinkan manusia membentuk kelompok sosial,
sebagai pemenuhan kebutuhannya untuk hidup bersama.
Dalam kelompok sosial tersebut manusia terikat secara individu.
Keterikatan individu-individu dalam kelompok ini sebagai identitas diri
dalam kelompok tersebut. Setiap individu adalah anggota dari kelompok
sosial tertentu yang tunduk pada seperangkat aturan yang disepakati dalam
kelompok tersebut. Salah satu aturan yang terdapat di dalamnya adalah
seperangkat aturan bahasa.
Bahasa dalam lingkungan sosial masyarakat satu dengan yang lainnya
berbeda. Dari adanya kelompok-kelompok sosial tersebut menyebabkan
bahasa yang dipergunakan bervariasi. Kebervariasian bahasa ini timbul
sebagai akibat dari kebutuhan penutur yang memilih bahasa yang
digunakan agar sesuai dengan situasi konteks sosialnya. Oleh karena itu,
variasi bahasa timbul bukan karena kaidah-kaidah kebahasaan, melainkan
disebabkan oleh kaidah-kaidah sosial yang beraneka ragam.
Lebih sederhana, Sumarsana dan Partana (2000: hal ?) mencoba
mengelompokkan apakah dua bahasa merupakan dialek atau subdialek
atau hanya sekedar dua variasi saja, dapat ditentukan dengan mencari
kesamaan kosakatanya. Jika persamaannya hanya 20 % atau kurang, maka
keduanya adalah dua bahasa. Tetapi kalau bisa mencapai 40%-60%, maka
keduanya dua dialek; dan kalau mencapai 90% misalnya, jelas keduanya
hanyalah dua variasi dari sebuah bahasa.
Dalam variasi bahasa setidaknya terdapat tiga hal, yaitu pola-pola bahasa
yang sama, pola-pola bahasa yang dapat dianalis secara deskriptif, dan
21
pola-pola yang dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya
untuk berkomunikasi. Di samping itu, variasi bahasa dapat dilihat dari
enam segi, yaitu tempat, waktu, pemakai, situasi, dialek yang dihubungkan
dengan sapaan, status, dan pemakaiannya/ragam (Pateda, 1987: 52)
Tempat dapat menjadikan sebuah bahasa bervariasi. Yang dimaksud
dengan tempat di sini adalah keadaan tempat lingkungan yang secara fisik
dibatasi oleh sungai, lautan, gunung, maupun hutan. Kebervariasian ini
mengahsilkan adanya dialek, yaitu bentuk ujaran setempat yang berbeda-
beda namun masih dipahami oleh pengguna dalam suatau masyarakat
bahasa walaupun terpisah secara geografis.
Variasi bahasa dilihat dari segi waktu secara diakronis (historis) disebut
juga sebagai dialek temporal. Dialek tersebut adalah dialek yang berlaku
pada kurun waktu tertentu. Perbedaan waktu itu pulalah yang
menyebabkan perbedaan makna untuk kata-kata tertentu. Hal ini
disebabkan oleh karena bahasa mengikuti perkembangan masyarakat
pemakai bahasanya. Itulah mengapa bahasa bersifat dinamis, tidak statis.
Dari segi pemakai, bahasa dapat menimbulkan kebervariasian juga. Istilah
pemakai di sini adalah orang atau penutur bahasa yang bersangkutan.
Variasi bahasa dilihat dari segi penutur oleh Pateda (1987: 52)dibagi
menjadi tujuh, yaitu glosolalia (ujaran yang dituturkan ketika orang
kesurupan), idiolek (berkaitan dengan aksen, intonasi, dsb), kelamin,
monolingual (penutur bahasa yang memakai satu bahsa saja), rol (peranan
yang dimainkan oleh seorang pembicara dalam interaksi sosial), status
sosial, dan umur.
Variasi bahasa dilihat dari segi situasi akan memunculkan bahasa dalam
situasi resmi dan bahasa yang dipakai dalam tidak resmi. Dalam bahasa
resmi, bahasa yang digunakan adalah bahasa standar. Kesetandaran ini
disebabkan oleh situasi keresmiannya. Sedangkan dalam situasi tidak
resmi ditandai oleh keintiman.
22
Bahasa menurut statusnya meliputi status bahasa itu sendiri. Hal ini berarti
bahwa bagaimanakah fungsi bahasa itu serta peraanan apa yang disandang
oleh bahasa. Sebuah bahasa, bahasa Indonesia, dapat memiliki berbagai
macam status apakah ia sebagai bahasa ibu, bahasa nasional, bahasa resmi,
bahasa pemersatu, atau bahasa negara.
Sedangkan Kridalaksana (1984: 142) mengemukakan bahwa ragam bahasa
adalah variasi bahasa menurut pemakaiannya yang dibedakan menurut
topik, hubungan pelaku, dan medium pembicaraan. Jadi ragam bahasa
adalah variasi bahasa menurut pemakaianya, yang timbul menurut situasi
dan fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut.
Ragam bahasa menurut topik pembicaraan mengacu pada pemakaian
bahasa dalam bidang tertentu, seperti, bidang jurnalistik (persuratkabaran),
kesusastraan, dan pemerintahan. Ragam bahasa menurut hubungan pelaku
dalam pembicaraan atau gaya penuturan menunjuk pada situasi formal
atau informal. Medium pembicaraan atau cara pengungkapan dapat berupa
sarana atau cara pemakaian bahasa, misalnya bahasa lisan dan bahasa tulis.
Sehingga, masing-masing ragam bahasa memiliki ciri-ciri tertentu,
sehingga ragam yang satu berbeda dengan ragam yang lain.
Pemakaian ragam bahasa perlu penyesuaian antara situasi dan fungsi
pemakaian. Hal ini sebagai indikasi bahwa kebutuhan manusia terhadap
sarana komunikasi juga bermacam-macam. Untuk itu, kebutuhan sarana
komunikasi bergantung pada situasi pembicaraan yang berlangsung.
Dengan adanya keanekaragaman bahasa di dalam masyarakat, kehidupan
bahasa dalam masyarakat dapat diketahui, misalnya berdasarkan jenis
pendidikan atau jenis pekerjaan seseorang, bahasa yang dipakai
memperlihatkan perbedaan.
23
Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasi
perbedaan ragam bahasa. Dengan penguasaan ragam bahasa, penutur
bahasa dapat dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui
pemilihan ragam bahasa yang ada sesuai dengan kebutuhannya. Oleh
karena itu, penguasaan ragam bahasa termasuk bahasa gaul remaja
menjadi tuntutan bagi setiap penutur, mengingat kompleksnya situasi dan
kepentingan yang masing-masing menghendaki kesesuaian bahasa yang
digunakan.
2.3.1. Bahasa Gaul, Slang, dan Prokem
Terdapat dua situasi yang menggolongkan pemakaian bahasa di
dalam masyarakat, yaitu situasi resmi dan tidak resmi. Bahasa yang
digunakan pada situasi resmi menuntut penutur untuk
menggunakan bahasa baku, bahasa formal. Penggunaan bahasa
resmi terutama disebabkan oleh keresmian suasana pembicaraan
atau komunikasi tulis yang menuntut adanya bahasa resmi. Contoh
suasana pembicaraan resmi adalah pidato, kuliah, rapat, ceramah
umum, dan lain-lain. Dalam bahasa tulis bahasa resmi banyak
digunakan dalam surat dinas, perundang-undangan, dokumentasi
resmi, dan dan lain-lain.
Situasi tidak resmi akan memunculkan suasana penggunaan bahasa
tidak resmi juga. Kuantitas pemakian bahasa tidak resmi banyak
tergantung pada tingkat keakraban pelaku yang terlibat dalam
komunikasi. Dalam situasi tidak resmi, penutur bahasa tidak resmi
mengesampingkan pemakaian bahasa baku atau formal. Kaidah
dan aturan dalam bahasa bahasa baku tidak lagi menjadi perhatian.
Prinsip yang dipakai dalam bahasa tidak resmi adalah asal orang
yang diajak bicara bisa mengerti. Situasi semacam ini dapat terjadi
pada situasi komunikasi remaja di sebuah mal, interaksi penjual
24
dan pembeli, dan lain-lain. Dari ragam tidak resmi tersebut,
selanjutnya memunculkan istilah yang disebut dengan istilah
bahasa gaul.
Ismail Kusmayadi (Pikiran Rakyat, 2006) mengkawatirkan
terkikisnya bahasa Indonesia yang baik dan benar di tengah arus
globalisasi. Kecenderungan masyarakat ataupun para pelajar
menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari semakin
tinggi. Dan yang lebih parah makin berkembangnya bahasa slank
atau bahasa gaul yang mencampuradukkan bahasa daerah, bahasa
Indonesia, dan bahasa Inggris.
Saat ini bahasa gaul telah banyak terasimilasi dan menjadi umum.
Bahasa gaul sering digunakan sebagai bentuk percakapan sehari-
hari dalam pergaulan di lingkungan sosial bahkan dalam media-
media populer serperti TV, radio, dunia perfilman nasional, dan
digunakan sebagai publikasi yang ditujukan untuk kalangan remaja
oleh majalah-majalah remaja populer. Oleh sebab itu, bahasa gaul
dapat disimpulkan sebagai bahasa utama yang digunakan untuk
komunikasi verbal oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti halnya bahasa lain, bahasa gaul juga mengalami
perkembangan. Perkembangan tersebut dapat berupa penambahan
dan pengurangan kosakata. Tidak sedikit kata-kata yang akan
menjadi kuno (usang) yang disebabkan oleh tren dan
perkembangan zaman. Maka dari itu, setiap generasi akan memiliki
ciri tersendiri sebagai identitas yang membedakan dari kelompok
lain. Dalam hal ini, bahasalah sebagai representatifnya.
Dari segi fungsinya, bahasa gaul memiliki persamaan anatara
slang, dan prokem. Kosa kata bahasa remaja banyak diwarnai oleh
bahasa prokem, bahasa gaul, dan istilah yang pada tahun 1970-an
banyak digunakan oleh para pemakai narkoba (narkotika, obat-
obatan dan zat adiktif). Hampir semua istilah yang digunakan
25
bahasa rahasia di antara mereka yang bertujuan untuk menghindari
campur tangan orang lain. Bahasa gaul remaja merupakan bentuk
bahasa tidak resmi (Nyoman Riasa, 2006)
Oleh karenanya bahasa gaul remaja berkembang seiring dengan
perkembangan zaman, maka bahasa gaul dari masa ke masa
berbeda. Tidak mengherankan apabila bahasa gaul remaja
digunakan dalam lingkungan dan kelompok sosial terbatas, yaitu
kelompok remaja. Hal ini berarti bahwa bahasa gaul hanya
digunakan pada kelompok sosial yang menciptakannya. Anggota di
luar kelompok sosial tersebut sulit untuk memahami makna bahasa
tersebut.
Fathuddin (1999: i) mengungkapkan bahwa slang merupakan
bahasa gaul yang hidup dalam masyarakat petutur asli dan
digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam obrolan
antar teman, atau dalam media seperti teve, film dan besar
kemungkinan dalam novel saat memaparkan suasana sosial
tertentu.
Selanjutnya, Alwasilah (1993: 47) menyatakan bahwa penggunaan
slang adalah memperkaya kosa kata bahasa dengan
mengkomunikasikan kata-kata lama dengan makna baru.
Pemakaian slang dengan kosakata yang sama sekali baru sangat
jarang ditemui. Slang merupakan kawasan kosakata, bukan gramar
atau pengucapan.
Bahasa Slang oleh Kridalaksana (1982:156) dirumuskan sebagai
ragam bahasa yang tidak resmi dipakai oleh kaum remaja atau
kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha
orang di luar kelompoknya tidak mengerti, berupa kosa kata yang
serba baru dan berubah-ubah. Hal ini sejalan dengan pendapat
Alwasilah (1985:57) bahwa slang adalah variasi ujaran yang
bercirikan dengan kosa kata yang baru ditemukan dan cepat
26
berubah, dipakai oleh kaum muda atau kelompok sosial dan
profesional untuk komunikasi di dalamnya.
Slang digunakan sebagai bahasa pergaulan. Kosakata slang dapat
berupa pemendekan kata, penggunaan kata alam diberi arti baru
atau kosakata yang serba baru dan berubah-ubah. Disamping itu
slang juga dapat berupa pembalikan tata bunyi, kosakata yang
lazim diapakai di masyarakat menjadi aneh, lucu, bahkan ada yang
berbeda makna sebenarnya.
Bahasa prokem biasa juga disebut sebagai bahasa sandi, yaitu
bahasa yang dipakai dan digemari oleh kalangan remaja tertentu
(Laman Pusat Bahasa dan Sastra, 2004). Sarana komunikasi seperti
ini diperlukan oleh kalangan remaja untuk menyampaikan hal-hal
yang dianggap tertutup bagi kelompok lain atau agar pihak lain
tidak dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakannya. Bahasa
prokem itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan latar belakang
sosial budaya pemakainya. Tumbuhkembang bahasa seperti itu
selanjutnya disebut sebagai perilaku bahasa dan bersifat universal.
Artinya bahasa-bahasa seperti itu akan ada pada kurun waktu
tertentu (temporal) dan di dunia mamapun sifatnya akan sama
(universal).
Kosakata bahasa prokem di Indonesia diambil dari kosakata bahasa
yang hidup di lingkungan kelompok remaja tertentu. Pembentukan
kata dan maknanya sangat beragam dan bergantung pada
kreativitas pemakainya. Bahasa prokem berfungsi sebagai ekspresi
rasa kebersamaan para pemakainya. Selain itu, dengan
menggunakan bahasa prokem, mereka ingin menyatakan diri
sebagai anggota kelompok masyarakat yang berbeda dari
kelompok masyarakat yang lain.
Kehadiran bahasa prokem itu dapat dianggap wajar karena sesuai
dengan tuntutan perkembangan nurani anak usia remaja. Masa
hidupnya terbatas sesuai dengan perkembangan usia remaja. Selain
27
itu, pemakainnya pun terbatas pula di kalangan remaja kelompok
usia tertentu dan bersifat tidak resmi. Jika berada di luar
lingkungan kelompoknya, bahasa yang digunakannya beralih ke
bahasa lain yang berlaku secara umum di lingkungan masyarakat
tempat mereka berada. Jadi, kehadirannya di dalam pertumbuhan
bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah tidak perlu dirisaukan
karena bahasa itu masing-masing akan tumbuh dan berkembang
sendiri sesuai dengan fungsi dan keperluannya masing-masing.
2.3.2. Sejarah Pemakaian Bahasa Gaul
Bahasa prokem awalnya digunakan para preman yang
kehidupannya dekat dengan kekerasan, kejahatan, narkoba, dan
minuman keras. Istilah-istilah baru mereka ciptakan agar orang-
orang di luar komunitas tidak mengerti. Dengan begitu, mereka
tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi untuk membicarakan hal
negatif yang akan maupun yang telah mereka lakukan (Laman
Wilkipedia Indonesia, 2005).
Para preman tersebut menggunakan bahasa prokem di berbagai
tempat. Pemakaian bahasa tersebut tidak lagi pada tempat-tempat
khusus, melainkan di tempat umum. Lambat laun, bahasa tersebut
menjadi bahasa yang akrab di lingkungan sehari-hari, termasuk
orang awam sekalipun dapat menggunakan bahasa sandi terebut.
Karena begitu seringnya mereka menggunakan bahasa sandi
tersebut di berbagai tempat, lama-lama orang awam pun mengerti
maksud bahasa tersebut. Akhirnya mereka yang bukan preman pun
ikut-ikutan menggunakan bahasa ini dalam obrolan sehari-hari
sehingga bahasa prokem tidak lagi menjadi bahasa rahasia.
Sebuah artikel di Kompas berjudul So What Gitu Loch….(2006:
15) menyatakan bahwa bahasa prokem atau bahasa okem
28
28
sebenarnya sudah ada sejak 1970-an. Awalnya istilah-istilah dalam
bahasa gaul itu untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunitas
tertentu. Oleh karena sering digunakan di luar komunitasnya, lama-
lama istilah-istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari.
Lebih lanjut, dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa pada
tahun 1970-an, kaum waria juga menciptakan bahasa rahasia
mereka. Pada perkembangannya, para waria atau banci lebih rajin
berkreasi menciptakan istilah-istilah baru yang kemudian ikut
memperkaya khasanah perbendaharaan bahasa gaul.
Kosakata bahasa gaul yang berkembang belakangan ini sering tidak
beraturan dan cenderung tidak terumuskan. Bahkan kita tidak dapat
mempredeksi bahasa apakah yang berikutnya akan menjadi bahasa
gaul.
Pada mulanya pembentukan bahasa slang, prokem, cant, argot,
jargon dan colloquial di dunia ini adalah berawal dari sebuah
komunitas atau kelompok sosial tertentu yang berada di kelas atau
golongan bawah (Alwasilah, 2006:29). Lambat laun oleh
masyarakat akhirnya bahasa tersebut digunakan untuk komunikasi
sehari-hari.
Terdapat berbagai alasan kenapa masyarakat tersebut
menggunakan bahasa-bahasa yang sulit dimengerti oleh kelompok
atau golongan sosial lainnya. Alasan esensialnya adalah sebagai
identitas sosial dan merahasiakan sesuatu dengan maksud orang
lain atau kelompok luar tidak memahami.
Kompas (2006: 50) menyebutkan bahwa bahasa gaul sebenarnya
sudah ada sejak tahun 1970an. Awalnya istilah-istilah dalam
bahasa gaul itu digunakan untuk merahasiakan isi obrolan dalam
komunitas tertentu. Tapi karena intensitas pemakaian tinggi, maka
istilah-istilah tersebut menjadi bahasa sehari-hari.
29
29
Hal ini sejalan dengan laman Wilimedia Ensiklopedi Indonesia
(2006), yang menyatakan bahwa bahasa gaul merupakan salah satu
cabang dari bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk pergaulan.
Istilah ini mulai muncul pada akhir ahun 1980-an. Pada saat itu
bahasa gaul dikenal sebagai bahasa para bajingan atau anak jalanan
disebabkan arti kata prokem dalam pergaulan sebagai preman.
Lebih lanjut dalam Pikiran Rakyat, tercatat bahwa bahasa gaul
pada awalnya merupakan bahasa yang banyak digunakan oleh
kalangan sosial tertentu di Jakarta, kemudian secara perlahan
merambah kalangan remaja terutama di kota-kota besar.
Dalam sebuah milis (2006) disebutkan bahwa bahasa gaul memiliki
sejarah sebelum penggunaannya popular seperti sekarang ini.
Sebagai bahan teori, berikut adalah sejarah kata bahasa gaul
tersebut:
1). Nih Yee...
Ucapan ini terkenal di tahun 1980-an, tepatnya November 1985.
pertama kali yang mengucapkan kata tersebut adalah seorang
pelawak bernama Diran. Selanjutnya dijadikan bahan lelucon oleh
Euis Darliah dan popular hingga saat ini.
2) Memble dan Kece
Dalam milis tersebut dinyatakan bahwa kata memble dan kece
merupakan kata-kata ciptaan khas Jaja Mihardja. Pada tahun 1986,
muncul sebuah film berjudul Memble tapi Kece yang diperankan
oleh Jaja Mihardja ditemani oleh Dorce Gamalama.
3) Booo....
30
Kata ini popular pada pertengahan awal 1990-an. Penutur pertama
kata Boo…adalah grup GSP yang beranggotakan Hennyta Tarigan
dan Rina Gunawan. Kemudian kata-kata dilanjutkan oleh Lenong
Rumpi dan menjadi popular di lingkungan pergaulan kalangan
artis. Salah seorang artis bernama Titi DJ kemudian disebut sebagai
artis yang benar-benar mempopulerkan kata ini.
4) Nek...
Setelah kata Boo... popular, tak lama kemudian muncul kata-kata
Nek... yang dipopulerkan anak-anak SMA di pertengahan 90-an.
Kata Nek... pertama kali di ucapkan oleh Budi Hartadi seorang
remaja di kawasan kebayoran yang tinggal bersama neneknya.
Oleh karena itu, lelaki yang latah tersebut sering mengucapkan
kata Nek...
5) Jayus
Di akhir dekade 90-an dan di awal abad 21, ucapan jayus sangat
popular. Kata ini dapat berarti sebagai ‘lawakan yang tidak lucu’,
atau ‘tingkah laku yang disengaca untuk menarik perhatian, tetapi
justru membosankan’. Kelompomk yang pertama kali
mengucapkan kata ini adalah kelompok anak SMU yang bergaul di
kitaran Kemang.
Asal mula kata ini dari Herman Setiabudhi. Dirinya dipanggil oleh
teman-temannya Jayus. Hal ini karena ayahnya bernama Jayus
Kelana, seorang pelukis di kawasan Blok M. Herman atau Jayus
selalu melakukan hal-hal yang aneh-aneh dengan maksud mencari
perhatian, tetapi justru menjadikan bosan teman-temannya. Salah
satu temannya bernama Sonny Hassan atau Oni Acan sering
memberi komentar jayus kepada Herman. Ucapan Oni Acan inilah
31
yang kemudian diikuti teman-temannya di daerah Sajam, Kemang
lalu kemudian merambat populer di lingkungan anak-anak SMU
sekitar.
6. Jaim
Ucapan jaim ini di populerkan oleh Bapak Drs. Sutoko
Purwosasmito, seorang pejabat di sebuah departemen, yang selalu
mengucapkan kepada anak buahnya untuk menjaga tingkah laku
atau menjaga image.
7. Gitu Loh...(GL)
Kata GL pertama kali diucapin oleh Gina Natasha seorang remaja
SMP di kawasan Kebayoran. Gina mempunyai seorang kakak
bernama Ronny Baskara seorang pekerja event organizer.
Sedangkan Ronny punya teman kantor bernama Siska Utami.
Suatu hari Siska bertandang ke rumah Ronny. Ketika dia bertemu
Gina, Siska bertanya dimana kakaknya, lantas Gina ngejawab di
kamar, Gitu Loh. Esoknya si Siska di kantor ikut-ikutan latah dia
ngucapin kata Gitu Loh...di tiap akhir pembicaraan.
2.3.3. Ciri- ciri Bahasa Gaul
Ragam bahasa ABG memiliki ciri khusus, singkat, lincah dan
kreatif. Kata-kata yang digunakan cenderung pendek, sementara
kata yang agak panjang akan diperpendek melalui proses morfologi
atau menggantinya dengan kata yang lebih pendek seperti
‘permainan – mainan, pekerjaan – kerjaan.
Kalimat-kalimat yang digunakan kebanyakan berstruktur kalimat
tunggal. Bentuk-bentuk elip juga banyak digunakan untuk membuat
32
susunan kalimat menjadi lebih pendek sehingga seringkali dijumpai
kalimat-kalimat yang tidak lengkap. Dengan menggunakan struktur
yang pendek, pengungkapan makna menjadi lebih cepat yang sering
membuat pendengar yang bukan penutur asli bahasa Indonesia
mengalami kesulitan untuk memahaminya. (Nyoman Riasa)
1. Tambahan awalan ko.
Awalan ko bisa dibilang sebagai dasar pembentukan kata dalam
bahasa okem. Caranya, setiap kata dasar, yang diambil hanya suku
kata pertamanya. Tapi suku kata pertama ini huruf terakhirnya harus
konsonan. Misalnya kata preman, yang diambil bukannya pre tapi
prem. Setelah itu tambahi awalan ko, maka jadi koprem. Kata
koprem ini kemudian dimodifikasi dengan menggonta-ganti posisi
konsonan sehingga prokem. Dengan gaya bicara anak kecil yang
baru bisa bicara, kata prokem lalu mengalami perubahan bunyi jadi
okem. (komasp)
2. Kombinasi e + ong
Kata bencong itu bentukan dari kata banci yang disisipi bunyi e dan
ditambah akhiran ong. Huruf vokal pada suku kata pertama diganti
dengan e. Huruf vokal pada suku kata kedua diganti ong.
3. Tambahan sisipan Pa/pi/pu/pe/po
Setiap kata dimodifikasi dengan penambahan pa/pi/pu/pe/po pada
setiap suku katanya. Maksudnya bila suku kata itu bervokal a, maka
ditambahi pa, bila bervokal i ditambahi pi, begitu seterusnya.
2.3.4. Distribusi Geografis Bahasa Gaul
Bahasa gaul umumnya digunakan di lingkungan perkotaan.
Terdapat cukup banyak variasi dan perbedaan dari bahasa gaul
33
33
bergantung pada kota tempat seseorang tinggal, utamanya
dipengaruhi oleh bahasa daerah yang berbeda dari etnis-etnis yang
menjadi penduduk mayoritas dalam kota tersebut. Sebagai contoh,
di Bandung, Jawa Barat, perbendaharaan kata dalam bahasa gaulnya
banyak mengandung kosakata-kosakata yang berasal dari bahasa
sunda.
2.4. ANALIS DATA
2.4.1. Profil Keluarga Prio
Prio Sembodo terdiri atas tujuh anggota keluarga,memiliki lima
orang anak. Hanya anggota keluarga yang telah menyelesaikan
pendidikan SMP yang memegang Handphone.
Tabel 9
NA
MA
AN
GG
OT
A K
ELU
RG
A
TINGKAT PENDIDIKAN
PLAY GRUP TK SD SMP SMK/ SMA D3 S1
Prio Sembodo .
Hyarlesmi Dewi .
Deprina Aprilia Sembodo
.
Nurani L.L.S. .
Reza Aditya Putra .
M. Faiz Afiq .
Bilqis Salsabila A.S. .
Keluarga
2.4.2. Data SMS Masuk Dalam Keluarga Berdasarkan Anggota Keluarga
yang bersekolah di tingkat SMA/ SMK ke atas.
34
34
Gambar 1 Gambar 2
Gambar 3 Gambar 4
Keterangan :
Gambar 1 adalah gambar SMS masuk dari Ibu ke
Handphone Deprina.
Gambar 2 adalah gambar SMS masuk dari Ayah ke
Handphone Ibu.
Gambar 3 adalah gambar SMS masuk dari pak didin
ke Handphone milik Ayah.
Gambar 4 adalah gambar SMS masuk dari teman
adik ke Handphone Nurani.
2.4.3. Gejala Bahasa SMS Keluarga Prio
Gejala bahasa yang terjadi pada keluarga Prio yaitu :
Pada gambar pertama terdapat gejala bahasa berupa :
35
1. Penghilangan fonem awal atau disebut sebagai gejala aferesis.
“Sudah” menjadi “da”
“Kemana” menjadi “mana”
2. Pemasukan unsur kedaerahan menyebabkan kalimat menjadi
rancu atau termasuk ke dalam Gejala Kontaminasi.
Sedang di Gambar kedua terdapat gejala bahasa berupa:
1. Penghilangan fonem di tengah dari fonem asal disebut juga
gejala sinkop.
“Mau” menjadi “mu”
Sedang di Gambar ketiga terdapat gejala bahasa berupa :
1. Penghilangan fonem di tengah dari fonem asal disebut juga
gejala sinkop.
“Pak” menjadi “Pk”
Sementara pada gambar keempat terdapat gejala bahasa berupa :
1. Penghilangan fonem di awal dan di akhir dan penyisipan vokal
e pepet untuk melancarkan ucapan disebut juga suara bakti
atau anaptiksis.
“Sampai” menjadi “mpe”
2. Penyingkatan yang tidak baik gejala kontaksis.
“Bahasa Inggris” menjadi “B.ing”
“Halaman” menjadi “hal”
3. Penambahan fonem labial /w/ di antara vokal /u/ dan /a/ yang
berdampingan pada sebuah kata labialisasi.
“Tidak tahu”(Gak Tahu) menjadi “gtw”
4. Pemasukan unsur kedaerahan menyebabkan kalimat menjadi
rancu atau termasuk ke dalam Gejala Kontaminasi.Kemudian
mengalami penghilangan fonem di akhir kata apokof.
36
“kalau begitu”menjadi (deh) kemuadian menjadi “d”
2.4.4. Ketidakbakuan akibat diberlakukannya bahasa jargon sebagai alat
komunikasi keluarga Prio
Berlakunya bahasa jargon pada SMS di keluarga Prio Sembodo
terlihat dengan terjadinya gejala bahasa dalam hal penyingkatan
kata-kata, untuk menghemat karakter dalam SMS.
“ Tidak tahu ” menjadi “ gtw ”
Bukan hanya di keluarga Prio melainkan juga di kerabat keluarga
Prio hal tersebut terjadi.
Pak didin, salah seorang rekan Pak Prio berSMS, “ ditunggu y pk”
yang seharusnya “saya menunggu bapak”.
2.4.5. Bagaimana Dampak Gejala Bahasa di Keluarga Prio
Dampak gejala bahasa di keluarga Prio layaknya bahaya laten,
bahaya yang tidak diketahui keberadaannya, yang berakibat
merugikan anggota keluarga yang lain. Berdasarkan observasi di
dapat, pada anggota keluarga berada di bawah sepuluh tahun,
gejala bahasa dan ketidakbakuan kata terdapat beberapa yang
ditirukan. Jika diwaktu yang akan datang tidak tertanggulangi
bahasa yang keluarga Prio gunakan sangat sedikit yang
mengaplikasikan kebakuan berbahasa, sehingga memungkinkan
luluhnya bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa persatuan
bagi rakyat Indonesia yang berbeda suku.
37
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.1.1. Pada SMS di keluarga Prio mengalami gejala bahasa dan
ketidakbakuan berbahasa.
3.1.2. Pada SMS di keluarga Prio informasi yang tidak sesuai dengan
kaidah berbahasa mampu ditangkap secara baik intisarinya, hal
tersebut membuktikan Keluarga Prio menggunakan bahasa jargon
dalam SMS
3.1.3. Penggunaan bahasa jargon dalam pergaulan atas hal sama-sama
tahu, memberikan dampak bagi anggota keluarga yang berusia
dibawah sepuluh tahun karena beberapa bahasa jargon dalam SMS
yang diketahui diaplikasikan di kehidupan bermasyarakat.
3.2 Saran
3.2.1. Dalam penulisan karya tulis, makalah selanjutnya diperlukan
kedisiplinan dan kesinambungan guna menghasilkan karya tulis
yang berkualitas.
3.2.2. Dalam mengerjakan karya tulis, makalah, tugas akhir, yang
diutamakan adalah merumuskan suatu topik yang kuat, kekuatan
sebuah topik dilihat dari latar belakang, pembatasan masalah
maupun rumusan masalah.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Akhadiah, Sabarti, dkk. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa
Indonesia.2009.
2. Gejala Bahasa atau Peristiwa Bahasa.2000. Ayobelajar.com
39
Top Related