WIDYADARI APRIL 2014
-
Upload
ikippgribali2 -
Category
Documents
-
view
147 -
download
0
description
Transcript of WIDYADARI APRIL 2014
i
Pengantar Redaksi
IKIP PGRI Bali merupakan salah satu institusi yang berkonsentrasi pada ilmu
pendidikan. Dinamika ilmu pendidikan amatlah pesat. Oleh karena itu diperlukan
wadah untuk menghimpun dan mempublikasikan perkembangan ilmu pendidikan itu.
Berdasarkan kesadaran dan komitmen civitas akademika, IKIP PGRI Bali berhasil
mewujudkan idealisme ilmiahnya melalui jurnal pendidikan Widyadari yang terbit
dua kali dalam setahun, yakni bulan April dan Oktober. Apa yang ada ditangan
pembaca yang budiman saat ini merupakan jurnal pendidikan Widyadari Nomor 15
Tahun IX April 2014.
Jurnal pendidikan Widyadari ini memiliki makna tersendiri. Penerbitan edisi
ini disebarkan baik secara internal di kampus IKIP PGRI Bali, dan juga disebarkan
pada alumni beserta komunitas akademik yang lebih luas. Jurnal Pendidikan
Widyadari kali ini memuat tiga belas artikel ilmiah dari dosen di lingkungan IKIP
PGRI Bali dan alumi IKIP PGRI Bali. Adanya sumbangan dari alumni kampus IKIP
PGRI Bali diharapkan memperluas cakrawala ilmiah komunitas akademik.
Semoga penerbitan jurnal pendididkan Widyadari ini menjadi wahana yang
baik untuk membangun atmosfer akademik. Akhirnya, sumbangan pemikiran, kritik,
dan saran dari pembaca diharapkan dapat memperbaiki terbitan edisi selanjutnya.
Redaksi
iii
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi ........................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................... ii
Pengaruh Perhatian Orang Tua Dan Kebiasaan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Ips Siswa Kelas VIII SMP Ganesha Denpasar Tahun Ajaran 2013/2014 I Ketut Westra ………………………………..…………………………… 1 Peningkatan Prestasi Belajar Seni Tari Siswa Kelas XI IPA 5 Semeseter 1 SMA Negeri 1 Gianyar dengan Model Pembelajaran Kooperatif melalui Bimbingan Individu dan Kelompok Tahun Ajaran 2011/2012 Dw. Ayu Oka Diatmika …………………………………………………… 18 Model Kepemimpinan Pendidikan dalam Pemikiran pengawas melalui Perspektif Budaya I NYoman Rana ........................................................ ………………. 36
Penerapan Konseling Kelompok melalui Pendekatan Behavioral dengan Teknik Kontrak Kontingensi untuk Meningkatkan Disiplin Belajar Siswa kelas IX B SMP Negeri 1 Mengwi Tahun Ajaran 2010/2011 I Nyoman Wikerta .......................................................................... 51 Kesantunan Tuturan dalam Pilihan Kode Bahasa Siswa di SMA Negeri 1 Ubud ditinjau dari Perspektif Gender: Sebuah Kajian Sosiopragmatik I Kadek Ahdi Dwipayana. ................................................................ 62 Evaluasi Pembelajaran Berbasis Kompetensi dalam Studio Perancangan Arsitektur Nyoman Pertama . ........................................................................... 91 Pemanfaatan Model Pembelajaran Ekspositori dengan Metode Demonstrasi dan Pemberian Tugas untuk Meningkatkan P restasi belajar IPA Siswa Kelas VII D Semester II SMP Negeri 1 Mengwi Tahun Pelajaran 2011/2012 Penerapan I Gusti Ayu ketut Candra .................................................................. 109
iv
Penerapan Pendidikan Pancasila dalam Pembentukan Karakter Mahasiswa Luh Putu Swandewi Antari …………………………………………….. 122 Beberapa Problematika dan Kontroversi Seputar Penggunaan Mixed Method (Metode Campuran) dalam Penelitian I Wayan Gunarta ............................................................................ 142 Analisis tentang Fungsi, Makna, dan Nilai Satua Runtuh Watugunung I Nyoman Sadwika .......................................................................... 158 Analisis Program Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan Dan Rekreasi Fakultas Pendidikan Olahraga Dan Kesehatan (FPOK) IKIP PGRI Bali Tahun 2013 Ditinjau Dengan Model CIPP Ni Wayan Widi Astuti ...................................................................... 178 Analisis Hubungan Risiko Perusahaan Dan Keputusan Manajemen Pada Perusahaan Dagang Putu Diah Asrida ............................................................................. 181 Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Kelas XI MM1 Pada Mata Pelajaran Kewirausahaan Smk Negeri 1 Sukawati Tahun Pelajaran 2013/2014 Ni Wayan Ary Rusitayanti ................................................................ 189 Gamelan Kekelentingan Dalam Upacara Piodalan Di Pura Khayangan Jagat Luhur Natar Sari Desa Pakraman Apuan Baturiti Tabanan Wayan Mastra ............................................................................................ 200 Model Komunikasi Antara Orang Tua Dan Anak (Studi kasus pada orang tua bekerja di Kota Denpasar) Putu Dessy Fridayanthi .................................................................... 210 Pelatihan loncat interval jarak 10 meter 5 repetisi 4 set dan 10 repetisi 2 set terhadap peningkatan jauhnya lompatan pada lompat jauh siswi kelas X SMK Kesehtatan Panca Atma Jaya Klungkung Tahun pelajaran 2010/2011 Ida Ayu Kade Arisanthi Dewi ........................................................... 232
1
PENGARUH PERHATIAN ORANG TUA DAN KEBIASAAN BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR IPS SISWA KELAS VIII
SMP GANESHA DENPASAR TAHUN AJARAN 2013/2014
Oleh:
I Ketut Westra
ABSTRACT This research aims to investigate the effect of the attention of parents
and study habit toward IPS learning achievement of eight grade students of SMP Ganesha Denpasar in academic year 2013/2014 both partially and simultaneously. Population in this research were 343 students. Sample was taken using Cochran technique which were 181 students. Data that used in this research collected by questionairre method and documentation, thus were analyzed using product moment and two predictor regression. The results of this research show that: 1) there is an effect of the attention of parents toward IPS learning achievement of eight grade students of SMP Ganesha Denpasar in academic year 2013/2014, 2) there is an effect of the study habit toward IPS learning achievement of eight grade students of SMP Ganesha Denpasar in academic year 2013/2014, and there is an effect of the attention of parents and study habit toward IPS learning achievement of eight grade students of SMP Ganesha Denpasar in academic year 2013/2014. Keywords: the attention of parents, study habit, and IPS learning achievement I. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu hal yang mempunyai peranan penting dalam perkembangan dan kelangsungan hidup manusia. Pendidikan bukan lagi menjadi sebuah keharusan dalam kehidupan manusia, melainkan menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Hakikat pendidikan yang bertujuan untuk memberikan perubahan baik secara pemikiran, sikap, mental dan tingkah laku dirasa mampu menjadi bekal utama bagi individu untuk memenuhi segala kebutuhan dan menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul di sekitarnya.
Keberhasilan dunia pendi-dikan dapat ditandai dengan bukti bahwa terjadinya perkembangan kebudayaan dalam masyarakat yang merambah ke dalam peningkatan kemampuan manusia dalam menghadapi perubahan zaman. Tujuan utama dalam pendidikan itu sendiri adalah memaksimalkan kemampuan yang ada dalam setiap individu, tetapi secara lebih jelas hal ini dapat dilihat melalui prestasi belajar yang diperoleh melalui proses pendidikan.
Individu yang telah masuk ke dalam dunia pendidikan formal akan melalui tahap evaluasi pembelajaran yang nantinya akan menghasilkan sebuah indeks prestasi. Individu merupakan titik pusat proses pendidikan
2
yang mempunyai peranan sangat penting. Dalam diri manusia atau individu tersebut terdapat berbagai macam faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan yang dapat dilihat dari prestasi belajar yang diperolehnya. Prestasi belajar yang bagus tentunya didukung oleh faktor intern individu yang bagus dan juga faktor ekstern yang memadai. Jika dipandang secara umum, baik dari faktor intern maupun ekstern ada beberapa variabel yang mempengaruhi prestasi belajar antara lain kompetensi siswa, kecakapan guru dalam mengajar, kecerdasan intelektual siswa, disiplin belajar, lingkungan belajar, minat serta kebiasaan belajar siswa dan lain-lain.
Prestasi belajar tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar itu sendiri, karena belajar merupakan suatu proses , sedangkan prestasi belajar adalah hasil dari proses pembelajaran tersebut. Bagi seorang siswa belajar merupakan sebuah kewajiban yang harus ia kerjakan dalam tujuannya memperoleh ilmu.
Keberhasilan seorang siswa dapat diindikasikan melalui bagaimana proses belajar yang ia alami dalam pendidikannya. Disadari atau tidak, setiap individu tentu pernah melakukan aktivitas belajar, karena aktivitas belajar tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang mulai sejak lahir sampai mencapai umur tua. Belajar adalah suatu proses psikis yang berlangsung dalam interaksi antara subjek dengan lingkungannya dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap dan kebiasaan yang bersifat relatif, baik melalui pengalaman, latihan maupun praktek.
Prestasi belajar atau hasil belajar adalah tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu kegiatan pembelajaran dimana tingkat keberhasilan tersebut kemudian ditandai dengan skala nilai berupa huruf atau kata atau simbol (Dimyati dan Mujiono, 1999 : 200).
Berhasil tidaknya kegiatan belajar dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan akan tergantung pada faktor dan kondisi yang mempengaruhinya. Secara umum disebutkan “Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar banyak jenisnya, tetapi dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu faktor intern dan faktor ekstern.Faktor intern adalah faktor yang ada dalam individu yang sedang belajar, sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada di luar individu yang sedang belajar (Slameto, 2013 : 56).
Prestasi belajar merupakan suatu hal yang sangat penting dalam perubahan proses belajar. Siswa sebagai pelajar merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam proses belajar mengajar. Berhasil tidaknya bagi diri siswa akan tampak pada perubahan yang terjadi pada diri siswa.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam proses pembelajaran yang berpusat pada individu, tentunya dapat kita telaah dari dua faktor, salah satunya faktor intern individu tersebut atau dalam hal ini adalah siswa. Faktor intern berupa kecerdasan yang ada dalam siswa dapat menjadi tolak ukur awal bagi prestasi belajar yang akan dicapai. Kecerdasan siswa tidak begitu saja muncul secara alamiah melainkan juga berkembang atas faktor-faktor yang mempengaruhinya. Individu yang lahir dalam sebuah lingkungan keluarga, secara otomatis perkembangannya akan dipengaruhi
3
oleh kondisi atau situasi dari keluarga tersebut. Terlebih lagi, keluarga merupakan tempat sosialisasi primer dan pertama bagi seorang manusia.
Berbicara tentang keluarga maka akan identik dengan orang tua. Orang tua yang memiliki peranan sentral dalam mendampingi tumbuh kembang anak. Ketika proses pembelajaran atau pendidikan dilalui oleh individu maka faktor orang tua menjadi sangat penting, selain harus memberikan sarana dan prasarana bagi pendidikannya, perhatian dan motivasi orang tua juga merupakan faktor yang dibutuhkan individu dalam mencapai hasil belajar yang maksimal. Perhatian orang tua dapat diwujudkan dalam suatu proses pemberian bantuan kepada individu agar dapat memilih, menyiapkan, menyesuaikan dan menetapkan dirinya dalam kegiatan belajar sesuai dengan kemampuan individu tersebut. Perhatian orang tua dapat memberikan dorongan dan motivasi sehingga anak dapat belajar dengan tekun mengingat anak memerlukan waktu, tempat dan keadaan yang baik untuk belajar.
Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak, karena dengan merekalah anak-anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga” (Supriyadi, 2013: 140). Orang tua harus dapat memposisikan diri sebagai tempat paling nyaman untuk anak bertanya dan mengadu tentang kesulitan-kesulitan yang dialaminya dalam belajar. Menjalin komunikasi yang baik dan secara intens menanyakan kepada anak tentang keadaannya di sekolah atau seputaran belajarnya, maka anak akan merasa diperhatikan dan semakin giat belajar.
Orang tua dalam memberikan perhatian kepada anak tidak bersifat terus menerus, namun dapat memilih sekiranya anak sedang sangat membutuhkan perhatian. Hal ini dapat terjadi pada anak saat sedang menghadapi ulangan misalnya. Maka orang tua memandang bahwa situasi pada saat itu sangat membutuhkan perhatian agar anak dapat belajar dengan sungguh-sungguh. Sumitro (1999: 25) menjelaskan “perbeda-an kualitas dapat dipengaruhi oleh keadaan yang akan, sedang maupun yang telah terjadi sebelumnya sehingga akan memberikan efek terhadap rangsangan yang dibentuk”. Situasi sedang menghadapi ulangan adalah salah satu contoh kualitas rangsangan yang membuat orang tua memberikan perhatian.
Selain perhatian orang tua, hal lain yang juga menjadi salah satu faktor penentu prestasi belajar adalah kebiasaan belajar. Kebiasaan belajar ini dikaitkan dengan bagaimana siswa melakukan proses belajar dalam upayanya memahami materi-materi yang telah disampaikan di sekolah.
Kebiasaan belajar dikaitkan erat dengan kebiasaan belajar siswa, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Seperti contoh, kebiasaan belajar siswa yang lebih dapat berkonsentrasi dengan membuat rangkuman sendiri dari buku pelajaran yang ada, kebiasaan belajar dengan mendengarkan dan lain sebagainya. Kebiasaan belajar siswa bergantung pada bagaimana seorang siswa menemukan kenyamanan dan dapat memperoleh hasil yang optimal dalam melakukan kegiatan belajar. Banyak sekali disajikan teori yang
4
membahas bagaimana kebiasaan belajar yang baik dan efektif agar mendapatkan prestasi belajar yang memuaskan.
”Kebiasaan belajar adalah serangkaian kegiatan yang berhubungan dengan suatu peristiwa yang sifatnya otomatis yang dilakukan dengan sadar dan mengakibatkan tingkah laku yang baru berupa penambahan pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan dalam belajar” (Tirtonegoro, 1994: 67).
Menurut Burghardt (1973) yang dikutip Syah (2000 : 118) “kebiasaan belajar timbul karena proses penyusutan kecenderungan respon dengan menggunakan stimulasi yang berulang-ulang”. Dalam proses belajar, pembiasaan juga meliputi pengurangan perilaku yang diperlukan. Karena proses penyusutan atau pengurangan inilah, muncul suatu pola bertingkah laku baru yang relatif menetap dan otomatis.
Kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap pelajaran sudah pasti berbeda tingkatnya. Ada yang cepat, sedang, dan ada pula yang sangat lambat. Oleh karena itu, mereka seringkali harus menempuh cara berbeda untuk bisa memahami sebuah informasi atau pelajaran yang sama. Bagaimanapun keadaan dan kemampuan siswa, mereka berhak mendapatkan pembelajaran yang sama. Siswa harus dapat memahami dan mengerti setiap materi yang disampaikan dalam proses belajar. Banyak metode yang telah disediakan bagi kalangan pendidik untuk diterapkan kepada siswa agar siswa dapat menyerap materi. Ada metode ceramah, dimana pendidik berperan aktif menerangkan materi sedangkan siswa menjadi pendengar, adapula metode yang menerapkan peran siswa yang aktif dalam pembelajaran.
Apapun cara yang dipilih, perbedaan kebiasaan belajar tersebut menunjukkan cara terbaik dan ternyaman bagi setiap individu untuk bisa menyerap sebuah informasi dari luar dirinya. Jika kita bisa memahami bagaimana perbedaan kebiasaan belajar setiap orang, mungkin akan lebih mudah bagi kita jika suatu ketika, misalnya kita harus memandu seseorang untuk mendapatkan kebiasaan belajar yang tepat dan memberikan hasil yang maksimal bagi dirinya. Penelitian tentang metode mengajar yang paling sesuai ternyata semuanya menemukan hasil yang kurang memuaskan, karena setiap metode mengajar bergantung pada cara atau kebiasaan belajar siswa, pribadinya dan kesanggupannya. Biasanya dicari metode mengajar yang paling sesuai dengan siswa “rata- rata” yang sebenarnya juga tidak berpengaruh secara signifikan.
Sesuai dengan paparan di atas, adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui: 1) pengaruh perhatian orang tua terhadap prestasi belajar IPS siswa kelas VIII SMP Ganesha Denpasar tahun pelajaran 2013/2014, 2) pengaruh kebiasaan belajar terhadap prestasi belajar IPS siswa kelas VIII SMP Ganesha Denpasar tahun pelajaran 2013/2014, dan 3) pengaruh perhatian orang tua dan kebiasaan belajar terhadap prestasi belajar IPS siswa kelas VIII SMP Ganesha Denpasar tahun pelajaran 2013/2014.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini tergolong menggunakan rancangan ex post facto. Adapun populasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
5
seluruh siswa kelas VIII semester 1 SMP Ganesha Denpasar yang terdiri dari 8 kelas dengan jumlah populasi sebanyak 343 siswa yang terdiri dari 187 siswa laki-laki dan 156 siswa perempuan. Dari jumlah populasi sebanyak 343 orang siswa, selanjutnya diambil sampel dengan menggunakan teknik pengambilan sampel menurut Cochran. Sesuai dengan hasil penghitungan, jumlah sampel yang diambil sebanyak 181 orang siswa.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner untuk variabel perhatian orang tua dan kebiasaan belajar. Sedangkan, metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data tentang prestasi belajar IPS siswa.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, analisis product moment, dan analisis regresi dua prediktor. III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Untuk mengetahui kecen-derungan variabel perhatian orang tua, digunakan skor rerata ideal Gambaran lebih jelas mengenai presentase kecenderungan perhatian orang tua dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel 1 Persentase Kecenderungan Variabel Perhatian Orang Tua
Skor Kategori Frekuensi Absolut Frekuensi Relatif
>120 Tinggi 168 92,818% 90-119 Cukup 13 7,182% 60-89 Kurang 0 0% <59 Rendah 0 0%
Jumlah 181 100%
Untuk mengetahui kecen-derungan variabel kebiasaan belajar, digunakan skor rerata ideal Gambaran lebih jelas mengenai
presentase kecenderungan kebiasaan belajar dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel 2
Persentase Kecenderungan Variabel Kebiasaan Belajar
Skor Kategori Frekuensi Absolut Frekuensi Relatif >80 Tinggi 52 28,730%
60-79 Cukup 129 71,270% 40-59 Kurang 0 0% <39 Rendah 0 0%
Jumlah 181 100%
Untuk mengetahui kecen-derungan variabel prestasi belajar IPS digunakan skor rerata ideal
Gambaran lebih jelas mengenai presentase kecenderungan prestasi
6
belajar IPS dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel 3 Persentase Kecenderungan Variabel Prestasi Belajar IPS
Skor Kategori Frekuensi Absolut Frekuensi Relatif >84,4 Tinggi 28 15,496%
79-83,4 Cukup 113 62,431% 73,6-78 Kurang 29 16,022% <73,6 Rendah 11 6,077%
Jumlah 181 100%
Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil analisis diperoleh koefisien rxy = 0,540, selanjutnya
koefisien rxy = 0,540 dikonsultasikan dengan tabel nilai-nilai r Product Moment, dengan N = 181 dan taraf signifikasi 5% diperoleh Nilai r yang mendekati adalah 0,138. Mengingat koefisien rxy = 0,540 lebih besar dari r Product Moment = 0,138, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Hipotesis Nol (Ho) yang diuji, yang menyatakan bahwa, “Tidak Ada Pengaruh Perhatian Orang Tua terhadap Prestasi Belajar IPS Siswa Kelas VIII SMP Ganesha Denpasar Semester 1 Tahun Ajaran 2013/2014” ditolak dan Hipotesis Alternatif (Ha) diterima, “Ada Pengaruh Perhatian Orang Tua terhadap Prestasi Belajar IPS Siswa Kelas VIII SMP Ganesha Denpasar Semester 1 Tahun Ajaran 2013/2014”.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh koefisien rxy = 0,640, selanjutnya
koefisien rxy = 0,640 dikonsultasikan dengan tabel nilai-nilai r Product Moment, dengan N = 181 dan taraf signifikasi 5% diperoleh Nilai r yang mendekati adalah 0,138. Mengingat koefisien rxy = 0,640 lebih besar dari r Product Moment = 0,138, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Hipotesis Nol (Ho) yang diuji, yang menyatakan bahwa, “Tidak Ada Pengaruh Kebiasaan Belajar terhadap Prestasi Belajar IPS Siswa Kelas VIII SMP Ganesha Denpasar Semester 1 Tahun Ajaran 2013/2014” ditolak dan Hipotesis Alternatif (Ha) diterima, “Ada Pengaruh Kebiasaan Belajar terhadap Prestasi Belajar IPS Siswa Kelas VIII SMP Ganesha Denpasar Semester 1 Tahun Ajaran 2013/2014”.
Selanjutnya analisis regresi dilakukan untuk menguji hipotesis ketiga seperti ringkasan analisis regresi pada tabel berikut.
7
Tabel 4 Ringkasan Analisis Regresi
Sumber Variasi Db JK RK Freg Ft5%
Regresi (reg) Residu (res)
2 178
1500,7267501 1548,8851123
750,363375 8,70160175
86,2328058 -
3,04 -
Total 180 3049,6118624 - - -
Berdasarkan tabel di atas, Freg lebih besar daripada dengan nilai F tabel atau 86,232 > 3,04. Sedangkan Hipotesis Nol (Ho) yang diuji berbunyi “tidak ada pengaruh perhatian orang tua dan kebiasaan belajar terhadap prestasi belajar IPS Siswa Kelas VIII SMP Ganesha Denpasar tahun ajaran 2013/2014” ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh perhatian orang tua dan kebiasaan belajar terhadap prestasi belajar IPS siswa kelas VIII SMP Ganesha Denpasar tahun ajaran 2013/2014.
Prestasi belajar yang tinggi yang dicapai di sekolah merupakan harapan semua pihak, baik pihak siswa sendiri, guru, orang tua bahkan pemerintah. Menurunnya prestasi belajar peserta didik pada seluruh jenjang di Indonesia saat ini termasuk SMP, menyebabkan perlu diselidikinya faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar tersebut. Pada dasarnya prestasi belajar yang diraih siswa merupakan hasil suatu proses dalam suatu sistem yang saling berhubungan, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar pun dapat terjadi saling berhubungan antara satu faktor dengan faktor yang lain.
Untuk mendapatkan prestasi belajar tidaklah semudah yang dibayangkan, karena memerlukan perjuangan dan pengorbanan dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi. Penilaian terhadap hasil belajar siswa diperlukan dalam tujuannya mengetahui sejauh mana keberhasilan sasaran belajar yang dilakukan selama ini. Prestasi merupakan hasil kegiatan belajar yang dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana peserta didik menguasai bahan pelajaran yang diajarkan, yang diikuti oleh munculnya perasaan puas bahwa ia telah melakukan sesuatu dengan baik. Hal ini berarti prestasi belajar hanya bisa diketahui jika telah ada penilaian terhadap prestasi belajar siswa. Prestasi adalah hasil yang telah dicapai, dilakukan atau dikerjakan oleh seseorang. Sedangkan prestasi belajar itu sendiri diartikan sebagai prestasi yang dicapai oleh seseorang siswa pada jangka waktu tertentu dan dicatat dalam buku hasil belajar siswa.
Perhatian orang tua dapat menjadi indikasi faktor perkembangan psikologis yang akan membawa dampak pada kemampuan anak menghadapi problematika dalam tujuannya meningkatkan prestasi belajar di sekolah. Orang tua selaku motivator terdekat bagi individu atau siswa menjadi salah satu pendukung terbesar dalam usaha siswa untuk mendapatkan hasil yang baik dalam belajarnya.
8
Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Jalaluddin (2000 : 15) yang menyatakan bahwa perhatian yang cukup dari orang tua seperti, memonitoring hasil belajar anak, menyediakan media pembelajaran, dan memberi motivasi dapat menjadi faktor penunjang keberhasilan belajar anak. Mengecek hasil belajar anak, merupakan salah satu bagian dari kegiatan memonitoring kegiatan belajar anak dan hasil yang nak telah peroleh selama kegiatan belajarnya.
Orang tua adalah guru pertama bagi anak-anaknya” (Patmonodewo, 2008 : 123). Disinilah peran orang tua untuk memberikan arahan agar anak dapat belajar secara berkelanjutan dan sistematis. Orang tua dapat memberikan cara belajar yang tepat bagi anak dan sesuai dengan mobilitas belajar anak atau tipe-tipe belajar anak itu sendiri.
Pengertian perhatian orang tua yang dimaksud disini adalah tanggapan siswa atas perhatian orang tuanya terhadap pendidikan anaknya yaitu tanggapan tentang bagaimana cara orang tuanya memberikan bimbingan dirumah, memperhatikan dan memenuhi kebutuhan alat-alat yang menunjang pelajaran, memberikan dorongan untuk belajar, memberikan pengawasan, mem-berikan pengarahan pentingnya belajar” (Suryabarata, 2000 : 233).
Perhatian orang tua adalah konsentrasi dan pemusatan pemikiran yang dilakukan orang tua terhadap pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan anak-anaknya termasuk di dalamnya perkembangan pendi-dikannya. Peran ini tidak dapat digantikan oleh siapapun bahkan guru di sekolah, karena orang tua adalah pendidik utama dan pertama bagi individu.
Selain itu bagaimana kebiasaan belajar intern pribadi siswa juga menjadi faktor pendorong yang kuat bagi keberhasilan belajar.
Kebiasaan belajar atau learning style adalah suatu karakteristik kognitif, afektif dan perilaku psikomotoris, sebagai indikator yang bertindak yang relatif stabil untuk pebelajar merasa saling berhubungan dan bereaksi terhadap lingkungan belajar.
Kebiasaan belajar dimulai dari cara mengikuti pelajaran, belajar mandiri di rumah, belajar kelompok, cara mempelajari buku dan sikap dalam menghadapi ujian/ ulangan/tes. Cara atau kebiasaan belajar diatas harus dimulai oleh diri sendiri dengan membiasakan diri dan mendisiplinkan diri dalam belajar. Hindari belajar dalam tempo dan kadar belajar yang berat saat akan ujian sebab kurang membantu dalam keberhasilan belajar. Kebiasaan belajar harus dimulai sejak dini kepada seorang siswa. Hal ini dimaksudkan agar siswa merasa terbiasa melakukan kegiatan belajar dalam kese-hariannya.
Kebiasaan belajar menjadi faktor yang cukup vital dalam membentuk aktivitas belajar siswa. Kebiasaan belajar yang dapat dibentuk secara sengaja maupun tidak sengaja merupakan bentuk dari usaha individu dalam mencapai tujuan pendidikan yang baik. Jika kebiasaan belajar semakin membaik maka tingkat perkembangan individu maupun siswa dalam segi prestasi dapat diperhitungkan.
Kebiasaan belajar tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan bagi tiap individu atau siswa, melainkan harus dilihat juga tipe-tipe siswa dan
9
kebiasaan belajar seperti apa yang nyaman bagi siswa. Faktor-faktor pendukung kebiasaan belajar yang baik pun patut diperhatikan secara seksama agar tujuan belajar yang diharapkan dapat tercapai.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bila perhatian dari orang tua bagus maka akan diperoleh hasil dan prestasi belajar yang tinggi. Begitu juga apabila kebiasaan belajar yang dipilih siswa tepat maka hasilnya akan baik pula. IV. PENUTUP
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) ada pengaruh perhatian orang tua terhadap prestasi belajar IPS siswa kelas VIII SMP Ganesha Denpasar tahun pelajaran 2013/2014, 2) ada pengaruh kebiasaan belajar terhadap prestasi belajar IPS siswa kelas VIII SMP Ganesha Denpasar tahun pelajaran 2013/2014, dan 3) ada pengaruh perhatian orang tua dan kebiasaan belajar terhadap prestasi belajar IPS siswa kelas VIII SMP Ganesha Denpasar tahun pelajaran 2013/2014.
Berdasarkan atas simpulan hasil penelitian, beberapa saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut: 1) Meskipun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh Perhatian Orang Tua terhadap Prestasi Belajar IPS Siswa Kelas VIII SMP Ganesha Denpasar Tahun Ajaran 2013/2014 baru mencapai 13,86%. Sehubungan dengan hal tersebut perlu adanya upaya konkret yang harus dilakukan oleh orang tua terhadap anak dalam belajar yaitu dengan memberikan motivasi kepada anak, menyediakan fasilitas belajar yang memadai, memberitahu cara mengatur jadwal belajar, memberikan makanan bergizi, menegur anak bila lalai tugas dan tanggung jawab, menanyakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak, memberikan contoh teladan dan memberitahukan hal-hal apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan anak di sekolah maupun di rumah dalam belajar. Melalui peningkatan perhatian orang tua maka akan diiringi dengan peningkatan prestasi belajar IPS siswa, 2) Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Ada Pengaruh Kebiasaan Belajar terhadap Prestasi Belajar IPS Siswa Kelas VIII SMP Ganesha Denpasar Tahun Ajaran 2013/2014. Bila ditinjau dari sumbangan efektif Kebiasaan Belajar terhadap Prestasi Belajar mencapai 35,35%, kenyataan ini menunjukkan bahwa kebiasaan belajar yang baik harus diperhatikan oleh kalangan pendidik maupun orang tua dalam memberikan upaya yang maksimal agar prestasi belajar siswa dapat menjadi semakin baik.Mengingat kebiasaan belajar ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, maka harus menjadi tugas siswa untuk membenahi baik secar ainternal maupun eksternal kebiasaan belajarnya, dan 3) Walaupun secara keseluruhan prestasi belajar IPS siswa sudah memadai dan memenuhi kriteria minimum, tetapi masih perlu adanay upaya-upaya dalam rangka mencapai prestasi belajar IPS siswa kelas VIII SMP Ganesha Denpasar Tahun Ajaran 2013/2014 yang optimal. Untuk mewujudkan hal tersebut siswa diharapkan belajar tidak tergantung karena kebutuhan untuk belajar, melainkan sebagai suatu kewajiban. Bagi guru IPS diharapkan mampu meningkatkan kompetensinya
10
dalam mengajar dan juga dapat memberikan pemahaman tentang arti penting dan makna IPS untuk digunakan sebagai kajian masalah sosial di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka
Cipta Jalaludin, H. 2000. Psikologi Anak. Yogyakarta: Sumber Baru Patmonodewo, S. 2008. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta. Slameto. 2013. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. Supriyadi. 2013. Strategi Belajar dan Mengajar. Yogyakarta: Jaya Ilmu. Suryabarata, S. 2000. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press. Syah, M. 2000. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Press. Tirtonegoro. 1994. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
1
PENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SENI TARI SISWA KELA XI IPA 5 SEMESTER 1 SMA NEGERI 1 GIANYAR DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF MELALUI BIMBINGAN INDIVIDU DAN KELOMPOK
TAHUN AJARAN 2011/2012
Oleh
DW. AYU OKA DIATMIKA Nip.19641031 198803 2 007
ABSTRACT
The kind teachers are not easy to lose their patience, debase the students or other people disrespectfully. They should have humor that never ends. They seldom get a praise and appreciation, but if the other people praise them so they will say that it is because of their schools (teaching places) that can make them to be a good teachers like what the other people praise is. This research was held at class XI IPA 5 (2nd grade) of SMA Negeri 1 Gianyar (Senior High School 1 Gianyar) that the ability of students in dance lesson is low enough. The porpuse of making this research is to determine wether the cooperative learning model through individual and group counseling can increase the students’ achievements.
The method to collect the datas is learning achievement test. The method to analyse the datas is descriptif. The results that obtained from this research is the cooperative learning model through individual and group counseling can increase the students’ achievements. That is evident by the results that obtained in the first 76,38 with the completeness percentage about 28,12%. After we give the action, in the first cycle increases into 79,16 31,25%. This value is still far from the indicators of success that we want to achieve. In the second cycle, it increases into 79,75 with the completeness percentage about 93,75% and the students who get the KKM (minimum completeness criteria) are 78. The conclusion that obtained from this research is the cooperative learning model through individual and group counseling can increase the students’ achievements.
Keywords: cooperative learning model, individual and group counseling, learning
achievement
1. Pendahuluan Permasalahan komplek yang muncul di era globalisasi menuntut ketersediaan
sumber daya manusia yang handal. Guru harus mencari kiat-kiat atau jurus-jurus baru dan strategi yang tepat, agar proses pembelajaran lebih menarik dan berhasil. Dengan kata lain, guru harus aktif, banyak ide dan kritis terhadap situasi yang ada.
Berikut ini adalah 6 ciri guru yang dikatakan siap menerapkan Pembelajaran Aktif, Kreatif, dan Menyenangkan (PAKEM) di kelasnya seperti yang dikutif dari http://gurukreatif.wordpress.com/ sebagai berikut.Pertama; Punya keterampilan interpersonal dan keterampilan profesional.Semua siswa pada dasarnya menyukai
2
guru, menyukai kelasnya, dan menyukai sekolahnya. Hal ini hanya akan terjadi jika guru tahu menghargai siswa dan bisa mengerti apa yang penting untuk siswa. Siswa bisa mengatakan hal ini karena mereka diperlakukan dengan kebaikan dan rasa hormat.Kedua, Memberikan siswa pekerjaan dan mempercayakan mereka dalam melakukannya.Jadilah guru yang memiliki rasa percaya pada murid-muridnya, menghormati keahlian serta hal yang menjadi minat mereka, dan membiarkan mereka melakukan tugas mereka tanpa gangguan. Hal-hal inilah yang akan membuat siswa sukses dan berhasil.Peserta membacakan dan manganalisa apa yang ditulis oleh rekannya mengenai prinsip mengajar yang efektif.Ketiga; Terbuka dan kolaboratif, tetapi akan tetap melakukan intervensi bila diperlukan..Keempat; Mudah ditemui dan diajak bicara.Guru yang baik berbicara kepada siswa, di kantin, lorong, dalam perjalanan, antara kelas, dan di semua kesempatan di luar jam belajar.Kelima; Punya perspektif ke depan. Guru yang baik menyadari bahwa fokus utama sebuah sekolah siswa. Hal-hal yang bersifat akademis memang penting, tetapi bukan hal yang paling penting. UAS dan UNAS juga penting, tetapi bukan hal yang paling penting.Kenam; Guru yang baik juga seorang manusia yang baik.
Apabila guru betul-betul memahami penjelasan di atas seharusnya proses pembelajaran akan dapat berjalan dengan baik dan prestasi belajar siswa juga akan mencapai hasil yang baik. Namun kenyataan yang ada di lapangan dalam pembelajaran seni tari nilai siswa kelas XI IPA 5 SMA Negeri 1 Gianyar pada semester 1 tahun ajaran 2011/2012 baru mencapai rata-rata. Hal ini menjadi masalah yang harus segera ditangani, jika tidak ingin mengganggu kelancaran proses pembelajaran bagi peserta didik selanjutnya.
Pembelajaran Kooperatif menuntut banyak hal serta banyak kemampuan. Langkah-langkah yang dilakukan guru dalam pembelajaran yaitu: Pertama, tahap perencanaan. Pada tahap ini hal-hal yang dilakukan antara lain: 1) menentukan kompetensi dasar dan 2) menentukan indikator dan hasil belajar. Kedua, tahap pelaksanaan yang meliputi sub-tahap: I) Proses pembelajaran oleh guru. Adapun langkah yang ditempuh guru, antara lain: 1) menyampaikan konsep pendukung yang harus dikuasai siswa; 2) menyampaikan konsep-konsep pokok yang akan dikuasai oleh siswa; 3) menyampaikan keterampilan, proses yang akan dikembangkan; 4) menyampaikan alat dan bahan yang dibutuhkan dan 5) menyampaikan pertanyaan kunci. II) Tahap manajemen, yang meliputi langkah-langkah: 1) pengelolaan kelas, dimana kelas dibagi dalam beberapa kelompok; 2) kegiatan proses; 3) kegiatan pencatatan data; dan 4) diskusi. Ketiga, evaluasi yang meliputi: 1) Evaluasi proses. 2) Evaluasi hasil.
2. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan termasuk penelitian tindakan.Oleh karenanya, rancangan yang khusus untuk sebuah penelitian tindakan sangat diperlukan.Penelitian tindakan didasarkan pada filosofi bahwa setiap manusia tidak suka atas hal-hal yang statis, tetapi selalu menginginkan sesuatu yang lebih baik.
Untuk penelitian ini penulis memilih rancangan penelitian tindakan yang disampaikan oleh Mc. Kernan seperti terlihat pada gambar berikut.
3
Gambar 01. Penelitian Tindakan Model Mc. Kernan, 1991 (dalam Sukidin, Basrowi, Suranto, 2002: 54)
Prosedur: - Tindakan daur I: mulai dari definisi masalah, berlanjut ke assessment yang
disiapkan, berlanjut ke rumusan hipotesis, berlanjut ke pengembangan untuk tindakan I, lalu implementasi tindakan, evaluasi tindakan berlanjut ke penerapan selanjutnya.
- Tindakan daur II: mulai dari menentukan kembali masalah yang ada, berlanjut ke assessment yang disiapkan, terus ke pemikiran terhadap munculnya hipotesis yang baru, perbaikan tindakan pada rencana ke 2, pelaksanaan tindakan, evaluasi terhadap semua pelaksanaan dan penerapan.
Untuk mengumpulkan data penelitian ini adalah tes prestasi belajar. Metode yang digunakan untuk menganalisis data hasil penelitian ini adalah
metode deskriptif. Untuk data kuantitatif dianalisis dengan mencari mean, median, modus, standar deviasi, membuat interval kelas dan melakukan penyajian dalam bentuk tabel dan grafik. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN a. Deskripsi Awal
Pada bagian ini, akan dipaparkan data yang diperoleh dari penelitian tindakan ini secara rinci berdasarkan penelitian yang dilakukan di SMA Negeri 1 Gianyar. Sebelum menyampaikan hasil-hasil penelitian ada baiknya dilihat dahulu pendapat para ahli pendidikan berikut: dalam menyampaikan hasil penelitian dan pembahasan, perlu menyajikan uraian masing-masing siklus dengan data lengkap mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi yang berisi penjelasan tentang aspek keberhasilan dan kelemahan yang terjadi.. 1. Siklus I
1. Rencana Tindakan I Hasil yang didapat dari kegiatan perencanaan meliputi: a. Menyusun RPP mengikuti alur metode/model pembelajaran kooperatif
melalui bimbingan individu dan kelompok. b. Menyiapkan bahan-bahan pendukung pembelajaran seperti pembelajaran
kooperatif melalui bimbingan individu dan kelompok.
TINDAKAN DAUR I Tindakan perlu perbaikan
DAUR 2
Penerapan Definisi masalah
Evaluasi tindakan
Need assessement
Implementasi tindakan
Hipotesis ide
Develop action plan T 1
Penerapan Redefine problem
Evaluate action
Need assessement
Impl. Revise plan
New hypothesis
Revise action plan T 2
dst
4
c. Membaca teori-teori tentang metode/model pembelajaran kooperatif melalui bimbingan individu dan kelompok untuk dapat dilaksanakan dengan benar di lapangan
d. Membuat soal-soal penilaian yang berhubungan dengan kompetensi pembelajaran kooperatif melalui bimbingan individu dan kelompok.
e. Mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan membantu proses pembelajaran
f. Membaca dengan baik pedoman-pedoman yang diberikan oleh Departemen pendidikan dalam menyusun perencanaan agar mampu nanti melakukan pembelajaran sesuai harapan
g. Menyusun materi pembelajaran 2. Pelaksanaan Tindakan I
a. Membawa semua persiapan ke kelas b. Memulai pelaksanaan pembelajaran dengan pembelajaran pendahuluan
yaitu: mengucapkan salam, melakukan absensi, memotivasi siswa agar giat belajar, melakukan apersepsi, menyampaikan tujuan pembelajaran serta cakupan materi yang sedang diajarkan
c. Melakukan pembelajaran inti explorasi dengan cara: Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam
tenang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber;
Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain;
Memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan dan sumber belajar lainnya;
Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan
Memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.
d. Melakukan pembelajaran inti elaborasi dengan cara: Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam
melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna; Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi dan
lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis;
Memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah dan bertindak tanpa rasa takut;
Memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif;
Memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar;
Memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok;
Memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan variasi; kerja individual maupun kelompok;
5
Memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan;
Memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.
e. Melakukan pembelajaran inti konfirmasi dengan cara: Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan,
tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik, Memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi
peserta didik melalui berbagai sumber, Memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang
bermakna dalam mencapai kompetensi dasar. a) Berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab
pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar;
b) Membantu menyelesaikan masalah; c) Memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan
hasil eksplorasi; d) Memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; e) Memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau
belum berpartisipasi aktif. f. Melakukan kegiatan pembelajaran penutup dengan cara: Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat
rangkuman/simpulan pelajaran; Melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah
dilaksanakan secara konsisten dan terprogram; Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran; Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran
remidi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;
Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. g. Mengakhiri pembelajaran dengan mengucapkan salam penutup h. Melakukan penilaian proses
3. Observasi/Pengamatan Siklus I Pengamatan dilakukan setelah proses pembelajaran dilaksanakan dalam 3
kali pertemuan dengan memberikan tes prestasi belajar. Dalam pengamatan ini peneliti mengawasi siswa dengan ketat agar tidak ada siswa yang bekerjasama dalam mengerjakan soal.
4. Refleksi Siklus I Refleksi merupakan kajian secara menyeluruh tindakan yang telah
dilakukan berdasarkan data yang telah terkumpul, kemudian dilakukan evaluasi guna menyempurnakan tindakan.Refleksi menyangkut analisis, sintesis, dan penilaian terhadap hasil pengamatan atas tindakan yang dilakukan (Hopkin, 1993 dalam Suharsimi Arikunto, Suhardjono, Supardi, 2006: 80). Analisis kuantitatif Prestasi belajar siswa siklus I
6
1. Rata-rata (mean) dihitung dengan:
=
2. Median (titik tengahnya) dicari dengan mengurut data/nilai siswa dari yang terkecil sampai terbesar. Setelah diurut apabila jumlah data ganjil maka mediannya adalah data yang ditengah.
3. Modus (angka yang paling banyak/paling sering muncul) setelah diasccending/diurut angka tersebut adalah: 75
4. Untuk persiapan penyajian dalam bentuk grafik maka hal-hal berikut dihitung terlebih dahulu.
1. Banyak kelas (K) = 1 + 3,3 x Log (N) = 1 + 3,3 x Log 32 = 1 + 3,3 x 1,30 = 1 + 4,28 = 5,98 → 6
2. Rentang kelas (r) = skor maksimum – skor minimum = 85 – 74 = 11
3. Panjang kelas interval (i) =
4. Tabel 05. Data Kelas Interval Siklus I No
Urut Interval Nilai
Tengah Frekuensi Absolut
Frekuensi Relatif
1 74-75 74.5 4 12.50 2 76-77 76.5 5 15.63 3 78-79 78.5 13 40.63 4 80-81 80.5 1 3.13 5 82-83 82.5 2 6.25 6 84-85 84.5 7 21.88
Total 32 100 b. Penyajian dalam bentuk grafik/histogram
Gambar 01. Histogram Prestasi Belajar Seni Tari siswa kelas XI
IPA 5 semeste 1tahun ajaran 2011/2012 SMA Negeri 1 Gianyar Siklus I
1. Siklus II 1. Rencana Tindakan II
7
Hasil yang didapat dari kegiatan perencanaan meliputi: a. Menyusun RPP mengikuti alur metode/model pemeblajaran kooperatif
melalui bimbingan individu dan kelompok. b. Menyiapkan bahan-bahan pendukung pembelajaran seperti pemeblajaran
kooperatif melalui bimbingan individu dan kelompok. c. Membaca teori-teori tentang metode/model pemeblajaran kooperatif
melalui bimbingan individu dan kelompok untuk dapat dilaksanakan dengan benar di lapangan.
d. Membuat soal-soal penilaian yang berhubungan dengan kompetensi pemeblajaran kooperatif melalui bimbingan individu dan kelompok.
e. Mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan membantu proses pembelajaran
f. Membaca dengan baik pedoman-pedoman yang diberikan oleh Depertemen pendidikan dalam menyusun perencanaan agar mampu nanti melakukan pembelajaran sesuai harapan
g. Menyusun materi pembelajaran
2. Pelaksanaan Tindakan II a. Membawa semua persiapan ke kelas b. Memulai pelaksanaan pembelajaran dengan pembelajaran pendahuluan
yaitu: mengucapkan salam, melakukan absensi, memotivasi siswa agar giat belajar, melakukan apersepsi, menyampaikan tujuan pembelajaran serta cakupan materi yang sedang diajarkan
c. Melakukan pembelajaran inti explorasi dengan cara: Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam
tenang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber;
Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain;
Memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan dan sumber belajar lainnya;
Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan
Memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.
d. Melakukan pembelajaran inti elaborasi dengan cara: Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam
melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna; Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi dan
lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis;
Memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah dan bertindak tanpa rasa takut;
Memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif;
8
Memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar;
Memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok;
Memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan variasi; kerja individual maupun kelompok;
Memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan;
Memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.
e. Melakukan pembelajaran inti konfirmasi dengan cara: Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan,
tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik, Memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi
peserta didik melalui berbagai sumber, Memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang
bermakna dalam mencapai kompetensi dasar. f) Berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab
pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar;
g) Membantu menyelesaikan masalah; h) Memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan
hasil eksplorasi; i) Memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; j) Memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau
belum berpartisipasi aktif. f. Melakukan kegiatan pembelajaran penutup dengan cara: Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat
rangkuman/simpulan pelajaran; Melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah
dilaksanakan secara konsisten dan terprogram; Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran; Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran
remidi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;
Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. g. Mengakhiri pembelajaran dengan mengucapkan salam penutup h. Melakukan penilaian proses
3. Refleksi Siklus II Analisis kuantitatif Prestasi belajar siswa siklus II 1. Rata-rata (mean) dihitung dengan:
=
9
2. Median (titik tengahnya) dicari dengan mengurut data/nilai siswa dari yang terkecil sampai terbesar. Setelah diurut apabila jumlah data ganjil maka mediannya adalah data yang ditengah. Kalau jumlahnya genap maka dua data yang di tengah dijumlahkan dibagi 2 (dua). Untuk median yang diperoleh dari data siklus I dengan menggunakan cara tersebut adalah: 82,5
3. Modus (angka yang paling banyak/paling sering muncul) setelah diasccending/diurut. Angka tersebut adalah: 78
4. Untuk persiapan penyajian dalam bentuk grafik maka hal-hal berikut dihitung terlebih dahulu. 1. Banyak kelas (K) = 1 + 3,3 x Log
(N) = 1 + 3,3 x Log 32 = 1 + 3,3 x 1,51 = 1 + 4,48 = 5,989 →6
2. Rentang kelas (r) = skor maksimum – skor minimum = 85 – 77 = 8
3. Panjang kelas interval (i) =
4. Tabel 05. Data Kelas Interval Siklus II No
Urut Interval Nilai
Tengah Frekuensi Absolut
Frekuensi Relatif
1 77-78 77.5 21 65.63 2 79-80 79 2 6.25 3 81-82 81.5 2 6.25 4 83-84 83.5 2 15.63 5 85-86 83.5 5 15.63 6 87-88 87.5 0 0.00
Total 20 100
5. Penyajian dalam bentuk grafik/histogram
10
Gambar 02. Histogram Prestasi Belajar Seni Tari kelas XI IPA 5 semester 1 tahun ajaran 2011/2012 SMA Negeri 1 Gianyar Siklus II
b.Pembahasan
Data awal yang diperoleh dengan rata-rata 76,38 menunjukkan bahwa kemampuan anak/siswa dalam mata pelajaran seni tari masih sangat rendah mengingat kriteria ketuntasan belajar siswa untuk mata pelajaran ini di SMA Negeri 1 Gianyar adalah 78. Akhirnya dengan penerapan metode/model pembelajaran koperatif melalui bimbingan individu dan kelompok yang benar sesuai teori yang ada, peningkatan rata-rata prestasi belajar anak/siswa pada siklus I dapat diupayakan dan mencapai rata-rata 79,16. Namun rata-rata tersebut belum maksimal karena hanya 23 siswa memperoleh nilai di atas KKM sedangkan yang lainnya belum mencapai KKM. Sedangkan prosentase ketuntasan belajar mereka baru mencapai 71,88%. Hal tersebut terjadi akibat penggunaan metodel/model pembelajaran kooperatif melalui bimbingan individu dan kelompok belum maksimal dapat dilakukan disebabkan penerapan model/metode tersebut baru dicobakan sehingga guru masih belum mampu melaksanakannya sesua alur teori yang benar. Pada siklus ke II perbaikan prestasi belajar siswa diupayakan lebih maksimal dengan peneliti membuat perencanaan yang lebih baik, menggunakan alur dan teori dari metode/model pembelajaran kooperatif melalui bimbingan individu dan kelompok dengan benar dan lebih maksimal. Akhirnya dengan semua upaya tersebut peneliti mampu meningkatkan prestasi belajar siswa pada siklus II menjadi rata-rata 79,75. Upaya-upaya yang maksimal tersebut menuntun kepada penelitian bahwa model/metode pembelajaran kooperatif melalui bimbingan individu dan kelompok mampu meningkatkan prestasi belajar anak/siswa. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasar pada rendahnya prestasi belajar siswa yang disampaikan pada latar belakang masalah, penggunaan model pembelajaran Kooperatif diupayakan untuk dapat menyelesaikan tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa. Seberapa besar peningkatan yang dicapai sudah dipaparkan dengan jelas pada akhir analisis.Dari hasil penelitian yang disampaikan di Bab IV dan semua data yang telah disampaikan tersebut, tujuan penelitian yang disampaikan sudah dapat dicapai. Untuk menjawab tujuan penelitian yaitu pencapaian kenaikan prestai belajar siswa dapat dilihat bukti-bukti yang sudah disampaikan. a. Dari data awal ada 23 siswa mendapat nilai di bawah 78 pada siklus I menurun
menjadi 9 siswa dan siklus II hanya 2 siswa mendapat nilai 78. b. Dari rata-rata awal 76,38 naik menjadi 79,16 pada siklus I dan pada siklus II naik
menjadi 79,75. c. Dari data awal siswa yang tuntas hanya 9 orang sedangkan pada siklus I menjadi
lebih banyak yaitu 23 siswa dan pada siklus II menjadi cukup banyak yaitu 30 siswa.
11
Dari semua data pendukung pembuktian pencapaian tujuan pembelajaran dapat disampaikan bahwa model pembelajaran Kooperatif dapat memberi jawaban yang diharapkan sesuai tujuan penelitian ini. Semua ini dapat dicapai adalah akibat kesiapan dan kerja keras peneliti dari sejak pembuatan proposal, review hal-hal yang belum bagus bersama teman-teman guru, penyusunan kisi-kisi dan instrumen penelitian, penggunaan sarana trianggulasi data sampai pada pelaksanaan penelitian yang maksimal. Saran Berdasarkan temuan yang sudah disimpulan dari hasil penelitian, dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran pembelajaran kooperatif melalui bimbingan individu dan kelompo , dapat disampaikan saran-saran sebagai berikut: Apabila mau melakssiswa an proses pembelajaran pada mata pelajaran seni tari, penggunaan model pembelajaranKooperatif semestinya menjadi pilihan dari beberapa metode yang ada mengingat metode ini telah terbukti dapat meningkatkan kerjasama, berkreasi, bertindak aktif, bertukar informasi, mengeluarkan pendapat, bertanya, berargumentasi dan lain-lain. Walaupun penelitian ini sudah dapat membuktikan efek utama dari model pembelajaran Kooperatif dalam meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar, sudah pasti dalam penelitian ini masih ada hal-hal yang belum sempurna dilakukan, oleh karenanya kepada peneliti lain yang berminat meneliti topik yang sama untuk meneliti bagian-bagian yang tidak sempat diteliti. Selanjutnya untuk adanya penguatan-penguatan, diharapkan bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan guna verifikasi data hasil penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Siti, dkk. 2008. Perkembangan dan Konsep Dasar Pengembangan Siswa Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka.
Amri, Sofan. 2013. Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya.
Charuer, Kathy, dkk. 2005. Permainan Berbasis Sentra Pembelajaran. Beltsuillee, MD 20705: Translation Copyright 2005 by Penerbit Erlangga.
Dimyati dan Mudjiono. 2001. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Dikti. Djamarah, Syaful Bahri. 2002. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha
Nasional. Fefi Yulita. Peningkatan Hasil Belajar Matematika Kelas VI SD Melalui Media Bangun
Ruang.Dalam blogspot Gufron Aminullah.PTK Bangun Ruang Matematika.html.
12
Hartinah DS, Haji Sitti. 2009. Konsep Dasar Bimbingan Kelompok. Bandung: PT. Refika Aditama.
Hartinah, Sitti. 2009. Konsep dan Bimbingan Kelompok. Bandung: PT Refika Aditama. Hidayat, Otib Satibi. 2007. Metode Pengembangan Moral dan Nilai-nilai Agama.
Jakarta: Universitas Terbuka. Hildayani, Rini, dkk. 2008. Penanganan Siswa Berkelainan. Jakarta: Universitas
Terbuka. http://:aktifkonsultasi.blogspot.com/p/bimbingan-kelompok.html http://:gurukreatif.wordpress.com/2009/10/09/6-ciri-guru-yang-mampu-melaksanakan-
pakem-pembelajaran-aktif-kreatif-dan-menyenangkan-dikelasnya-laporan-dari-workshop-pakem-di-madrasah-al-muataalimin-jakarta-selatan-juli-2009/
Sardiman, A.M. 1988. Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar Pedoman bagi Guru dan Calon Guru. Jakarta: Rajawali Pers.
Udin, S.W. 1997. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Depdikbud: Jakarta. Wina Sanjaya. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Kencana Prenada Media: Jakarta. Yamin, H. Martinis dan Jamilah Sabri Sanan. 2010. Panduan Pendidikan Siswa Usia
Dini. Jakarta: Gaung Persada. Yamin, H. Martinis dan Jamilah Sabri Sanan. 2013. Panduan PAUD. Ciputat: Gaung
Persada Press Group. Yus, Anita. 2011. Penilaian Perkembangan Belajar Siswa Taman Ksiswa -Ksiswa .
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 1
MODEL KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN DALAM PEMIKIRAN PENGAWAS MELALUI PERSPEKTIF BUDAYA
Oleh I Nyoman Rana
Koordinator Pengawas Pemerintah Kabupaten Badung
Abstract The current development after creative economy is preceded from the sector of agricultural economy to industrial economy and now go towards information economy. It gives a strong access to school quality improvement with integrated quality. School culture will provide a strong potency to the school in an organizational system. A school is an organizational system which in its activity brings out the organizational culture. An organizational culture system with leadership has been widely studied by GLOBE which found a dimension between global culture, community theory by Ki Hajar Dewantara, which is applied in school leadership, and the applicable provision in this beloved country. This culture difference gives a nuance to vocational education, a cultural dimension understandings such as the cultural difference between inside and outside school (the world of work). Therefore, a school leadership is capable to provide an essence of quality culture which cover how to think globally and act locally. Keywords: integrated quality, culture, school, organization, leadership,
education, vocational education. PENDAHULUAN
Perkembangan jaman menurut Alvin Toffler menyebutkan, ekonomi kreatif termasuk ekonomi gelombang keempat, yang pertama bertumpu pada sektor pertanian, gelombang kedua bertumpu pada sektor industri, dan yang ketiga pada sektor informasi. Di sisi lain, ekonomi kreatif dan industri kreatif merupakan keunggulan Indonesia ditingkat dunia, terutama produk-produk kreatif yang mengunakan nilai budaya, warisan pusaka, dan nilai-nilai lokal serta sekaligus mengenal budaya Indonesia pada dunia manca Negara(DepDag-RI, 2008) .
Pendidikan yang bermutu, tiada lain adalah untuk mempersiapkan SDM yang bermutu mutlak diperlukan untuk merespon tantangan kehidupan abad ke-21. Dalam konteks ini perlu diimplementasikan paradigma baru pendidikan. Dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu hendaknya diaplikasikan asas integralisme dan prinsip-prinsip filosofis total quality management (TQM) atau manajemen mutu terpadu (MMT).
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 2
Budaya adalah kekayaan yang terwariskan dari pendidikan yang adi luhung. kehidupan itu tiada lain adalah merunut dari proses “Tri Kaya Parisudha”, yaitu: berpikir (cipta/rasa), berkata (karsa), berbuat (karya) yang dilandasi dengan ketulusan/kebaikan. Oleh karenanya akan terlahir suatu “Bhakti”. Bhakti adalah kekayaan yang utama daripada kehidupan. Dalam memperoleh bhakti yang maha sempurna ada tiga cara, yaitu penalaran, penghayatan, dan pengamalan yang terjadi secara sinergis. sehingga Bhakti yang membudaya merupakan kearifan local yang akan mampu mengantarkan kehidupan yang harus berangkat dari bekerja. Sebab bekerja akan menunjuk pada profesi ataupun sebutan, semisal bekerja sebagai dosen, sering disebut bapak dosen, bekerja sebagai dokter di sebut pak dokter atau bu dokter.
Hal ini, hanya dapat diraih dari melalui mengembangkan pendidikan kejuruan di masa depan dalam konteks sosial, politik, dan budaya bangsa dan negara Indonesia. Sebagaimana telah diketahui, bahwa dalam sejarah Indonesia pendidikan maupun dalam studi kependidikan, sebutan pendidikan kejuruan umumnya dipahami hanya sebatas sebagai “ciri khas” jenis pendidikan yang berlatar belakang pekerjaan/keahlian.
Pendidikan secara filosofis adalah pendidikan diarahkan pada harapan/tujuan, untuk mencapai kehidupan berlandaskan pada profesi sesuai dengan potensi dirinya. Hal itu dapat di tinjau dari prinsip bekerja merupakan pertanggungjawaban atas kehidupan sehingga menjadi tuntutan hidup.
Pencapaian tujuan yang dikemukakan, menunjukkan dasar pengembangan pendidikan bertolak dari media perilaku untuk mencapai kebahagiaan. Media ini berlandasan pada budaya berkearifan lokal yang berhubungan dengan bekerja. Bekerja atas dasar keyakinan, berkaitan dengan masalah perilaku kehidupan dunia, bahwa sesungguhnya setiap insan adalah pemimpin yang artinya mengandung dimensi luas, baik ditinjau dari kepentingan dirinya sendiri maupun untuk kemaslahatan hidup manusia.
Selanjutnya, bukti-bukti empirik tentang lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional dan digulirkannya pada desentralisasi melalui otonomi daerah, maka konsekuensi logis bagi manajemen pendidikan di Indonesia termasuk manajemen pendidikan berbasis budaya berkearifan lokal yang diselenggarakan lembaga-lembaga sekolah adalah perlunya penyesuaian diri dari pola lama menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuansa otonomi dan demokratis. Kebijakan ini sekaligus mendasari implementasi program peningkatan mutu berbasis sekolah.
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 3
Secara umum mutu dapat didefenisikan sebagai “karakteristik produk atau jasa yang ditentukan oleh customer dan diperoleh melalui pengukuran proses serta perbaikan yang berkelanjutan”(Soewarso, 1996:7). Pendapat ini lebih menekankan kepada pelanggan yaitu, apabila suara pelanggan mengatakan sesuatu itu bermutu baik, maka barang/jasa tersebut dapat dianggap bermutu. Hoy et al. (2000) dalam “Improving Quality in Education” menjelaskan bahwa mutu pendidikan adalah hasil penilaian terhadap proses pendidikan dengan harapan yang tinggi untuk dicapai dari upaya pengembangan bakat-bakat para pelanggan pendidikan melalui proses pendidikan. Dengan demikian mutu pendidikan merupakan suatu hal yang esensial dalam proses pendidikan.
Dalam pembahasan selanjutnya, penulis akan memaparkan (1) bagaimana peningkatan mutu terpadu sekolah?, (2) bagaimana budaya (kultur) sekolah mempengaruhi proses mutu sekolah?. (3) bagaimana dimensi-dimensi budaya dan budaya organisasi global dan lokal?, (4) Bagaimana implementasi kepemimpinan pendidikan dalam mutu terpadu pada budaya sekolah?.
PEMBAHASAN
1. Peningkatan Mutu terpadu sekolah Manajemen peningkatan mutu sekolah pada dasarnya dijiwai oleh pola baru manajemen pendidikan masa depan sebagaimana diilustrasikan sebagai berikut; konsep dasar karakteristik manajemen, dan fungsi-fungsinya. Manajemen sekolah dapat didefenisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. a. Strategi dalam Manajemen Mutu sekolah
Strategi adalah tindakan utama yang dipilih untuk mewujudkan visi organisasi melalui pencapaian misi dan tujuan organiasi (Mulyadi, 2001: 72). Istilah “strategi” (strategy) berasal dari bahasa Latin “strategos” yang mula-mulanya merujuk pada kegiatan seorang jendral militer yang mengkombinasikan “stratos” (militer) dengan “ago” (memimpin). Dalam konteks penelitian ini, strategi merupakan pola pengambilan keputusan dalam mewujudkan visi organisasi. Dengan kata lain, strategi dalam organisasi pendidikan adalah tindakan berpola dalam menggerakkan dan mengarahkan seluruh sumber data organisasinya secara efektif ke arah perwujudan visi dan misi pendidikan.
b. Program Unggulan Peningkatan Mutu
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 4
Program peningkatan mutu sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang diselenggarakan sekolah yang lebih menekankan pada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Tujuan akhir dari implementasi program ini adalah untuk mencapai keberhasilan sekolah dalam menyiapkan sekolah yang bermutu bagi masyarakat. Pengertian mutu dalam konteks ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan (Depdiknas, 2002). Dalam ‘proses sekolah’ yang bermutu terlibat berbagai input seperti bahan ajar, metodologi, sarana dan prasarana sekolah, dukungan administrasi dan penciptaan suasana lingkungan yang kondusif. 2.1. Visi Sekolah
Rumusan Visi Sekolah seyogyanya merujuk pada “Pembukaan UUD 1945”, yaitu mencerdaskan kehidupan dalam rangka peningkatan mutu sekolah dalam penulisan ini adalah: (1) mewujudkan pribadi kahlian/profesi, disiplin, mandiri; (2) menghasilkan pribadi profesi yang menguasai Iptek dan seni yang kreatif yang berwawasan kearifan lokal; dan (3) mewujudkan pribadi yang memiliki keunggulan dalam mutu, berbudaya, dan berbudi pekerti. Indikator-indikaror perwujudan visi tersebut, antara lain, sebagai berikut: a. Unggul dalam satu keahlian b. Unggul dalam wawasan wiyatamandala c. Unggul dalam aktivitas d. Unggul dalam disiplin
2.2. Untuk mencapai visi tersebut, Sekolah dituntut untuk memberdayakan seluruh warganya dengan menetapkan misi sebagai berikut: a. Menumbuhkan semangat keunggulan secara intensif dan semangat
kolaborasi kepada seluruh warga sekolah; b. Meningkatkan pengembangan SDM, khususnya tenaga kependidikan; c. Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif; d. Menumbuhkan minat membaca secara intensif pada seluruh siswa
dan guru; e. Menumbuhkan budi pekerti yang baik dan budaya bangsa.
2.3. Tujuan Program Peningkatan Mutu Sekolah a. Meningkatkan UN rata-rata lulusan; b. Memiliki sarana perpustakaan (koleksi buku-buku pelajaran) yang
memadai; c. Memiliki tim olahraga/kesenian yang andal;
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 5
d. Meningkatkan kedisiplinan bagi seluruh civitas sekolah guna mendukung terwujudkan Wawasan Wiyatamandala Sesuai dengan hakikat dari strategik sebagai cara berpikir manusia
yang sistematis, akhir akhir ini cara berpikir tersebut telah berkembang menjadi suatu landasan konseptual manajemen. Agustinus (1996:4) menjelaskan bahwa karakteristik masalah strategik menyangkut, orientasi ke masa depan; berhubungan dengan unit-unit kegiatan yang kompleks; perhatian manajemen puncak; pengaruh jangka panjang; dan alokasi sumber-sumber daya.
Pelaksanaan penilaian terhadap kegiatan peningkatan mutu sekolah hendaknya didasarkan pada rancangannya yang dipersiapkan secara matang. Keberhasilan program peningkatan mutu sekolah tidak bisa dilepaskan dari dukungan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Di antara faktor-faktor tersebut ada yang memiliki daya dukung tinggi, dan ada yang memiliki daya dukung sedang dan rendah terhadap keberhasilan peningkatan mutu. Faktor-faktor pendukung peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (Depdikbud, 2002) adalah kurikulum dan pembelajaran, administrasi dan manajemen sekolah, organisasi kelembagaan sekolah, sarana dan prasarana, ketenagaan, pembiayaan, peserta didik, peranserta masyarakat, dan lingkungan dan budaya sekolah a. Kurikulum dan Pembelajaran b. Administrasi/Manajemen c. Organisasi Kelembagaan Sekolah d. Sarana dan Prasarana e. Ketenagaan (Guru dan Staf Tata Usaha) f. Pembiayaan g. Peserta Didik h. Peranserta Masyarakat i. Lingkungan Budaya Sekolah
2. Konsep-konsep budaya yang berhubungan dengan mutu
Kroeber dan Kluchon tahun 1952 menemukan 164 definisi Budaya. Para ahli antropologi dan social dan banyak ahli lainnya telah banyak mempersoalkan apa sebenarnya arti dari budaya dunia (global cultur). Karena ini adalah suatu istilah yang cukup abstrak, sehingga sangat sulit untuk didefinisikan, dan mungkin akan berbeda bagi orang yang berbeda pula. Sesuai dengan tujuan kita, maka
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 6
budaya disini didefinisikan sebagai suatu keyakinan-keyakinan yang dipelajari (the learned beliefs), nilai-nilai, norma-norma, simbol-simbol, dan tradisi yang secara umum dijumpai pada sekelompok orang. Hal ini merupakan suatu kualitas yang tersebar pada suatu kelompok orang yang membuat mereka unik/khas. Budaya itu selalu bersifat dinamis dan disebarkan kepada orang lain. Singkatnya, budaya adalah merupakan cara hidup orang (way of life), kebiasaan-kebiasaan (customs), dan script dari suatu kelompok orang (Gudykunst & Ting-Toomey, 1988).
Kuntjaraningrat (dalam Husaini Usman, 2010:183) menyatakan bahwa budaya berasal dari bahasa Sansekerta, budayah, sebagai bentuk jamak budhi, yang artinya budi atau akal. Dalam bahasa Inggrisnya, budaya sama dengan culture. Culture berasal dari bahasa Latin, colere yang artinya segala daya dan upaya manusia untuk mengubah alam. Taliziduhu Ndraha dalam bukunya Budaya Organisasi mengemukakan pendapat Edward Burnett dan Vijay Sathe, sebagai berikut : Edward. Burnett Culture or civilization, take in its wide technografhic sense, is that complex whole which includes knowledge, bilief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by men as a member of society.Budaya mempunyai pengertian teknografis yang luas meliputi ilmu pengetahuan, keyakinan/percaya, seni, moral, hukum, adapt istiadat, dan berbagai kemampuan dan kebiasaan lainnya yang didapat sebagai anggota masyarakat. Vijay Sathe Culture is the set of important assumption (opten unstated) that members of a community share in common. Budaya adalah seperangkat asumsi penting yang dimiliki bersama anggota masyarakat. Edgar H. Schein Budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi ekstrenal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan/diwariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan dan merasakan terkait degan masalah-masalah tersebut.
Unsur-unsur budaya, meliput: (1) Ilmu Pengetahuan, (2) kepercayaan, (3) seni, (4) moral, (5) hukum, (6) adat-istiadat, (7) perilaku/kebiasaan (norma) masyarakat, (8) asumsi dasar, (9) sistem Nilai, (10) pembelajaran/pewarisan. Di sisi lain, terkait dengan masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal hal ini memuncukan beberapa pemikir yang telah mengadopsi tiga sudut pandang berkaitan dengan budaya, sebagai mana dikemukakan Graves, 1986, sebagai berikut :
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 7
a. Budaya merupakan produk konteks pasar di tempat organisasi beroperasi, peraturan yang menekan, dsb.
b. Budaya merupakan produk struktur dan fungsi yang ada dalam organisasi, misalnya organisasi yang tersentralisasi”" berbeda dengan organisasi yang terdesentralisasi
c. Budaya merupakan produk sikap orang-orang dalam pekerjaan mereka, hal ini berarti produk perjanjian psikologis antara individu dengan organisasi.
3. Dimensi-Dimensi Budaya Global dan Lokal
Budaya telah menjadi focus dalam banyak studi yang dilakukan dalam barbagai ragam disiplin ilmu. Pada 30 tahun yang lalu, sejumlah studi yang secara substansial telah memfokuskan diri secara khusus untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi ragam dimensi budaya. Langkah pertama yang dilakukan adalah untuk menentukan dimensi dan karakteristik dasar dari budaya yang berbeda agar dapat memahami hubungan diantara mereka.
Beberapa studi yang dilakukan telah mengalamatkan suatu pertanyaaan tentang bagaimana mengkarakteristikkan budaya, sebagai contoh, Hall (1976) melaporkan bahwa karakteristik pertama suatu budaya adalah suatu tingkat dimana mereka memfokuskan diri pada individu (budaya individu) atau pada kelompok (budaya kollektivistik). Melalui pendekatan yang berbeda, Trompenaars (1994) melakukan survey pada 15.000 lebih penduduk dari 47 negara yang berbeda dan menemukan bahwa budaya organisasional dapat diklasifikasi secara efektif kedalam dua dimensi yaitu :
dimensi egalitarian vs hierarchical, dan person vs orientasi tugas.
Dimensi egalitarian-hierarchical mengacu kepada tingkat dimana budaya ditunjukkan pada pembagian kekuasaan sebagai sesuatu yang berlawanan dengan kekuasaan yang hierarchical. Sedangkan person-orientasi tugas mengacu kepada keluasan budaya yang menekankan interaksi manusia yang berlawanan dengan pemfokusan pada penyelesaian tugas.
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 8
Dari semua penelitian tentang dimensi budaya, barangkali yang paling disukai adalah penelitian yang dilakukan oleh Hofstede (1980, 2001) yang didasarakan pada suatu analisis kuesioner dari 100.000 responden dari 50 lebih Negara. Hofstede mengidentifikasi lima dimensi utama yang membedakan budaya, yaitu : jarak kekuasaan (power distance), pengabaian ketidak pastian (uncertainty avoidance), individualiasme-kolektivisme, masculinity-feminity, dan orientasi long-term_sort-term. Hasil temuan Hofstede ini telah menjadi semacam benchmark bagi banyak penelitian lain tentang budaya. Para peneliti yang tergabung dalam GLOBE (Global Leadership and Organizational Behavior Effectiveness) mengidentifikasikan sembilan dimensi budaya antara lain :
1) Penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance). 2) Jarak kekuasaan (power distance). 3) Kolektivisme kelembagaan (institutional collectivism). 4) Kelompok di dalam kolektivisme (in-group collectivism). 5) Egalitarianisme gender. 6) Ketegasan (assertiviness). 7) Orintesi kedepan (future orientation). 8) Orientasi kinerja (performance orientation). 9) Orientasi kemanusiaan (human orientation).
Penghindaran Ketidakpastian.
Dimensi ini mengacu kepada keluasan dari suatu masyarakat, organisasi atau kelompok yang didasarkan pada norma-norma sosisal yang sudah terbentuk, ritual, dan prosedur untuk menghindari ketidakpastian. Penghindaran ketidakpastian adalah yang berhubungan dengan cara-cara budaya menggunakan aturan, struktur, dan hukum untuk membuat berbagai hal dapat diprediksi dan terhindar dari ketidakpastian.
Jarak Kekuasaan
Dimensi ini mengacu kepada tingkatan tertentu dalam hal mana anggota dari suatu kelompok mengharapkan dan setuju bahwa kekuasaan sebaiknya terdistribusi pada berbagai jenjang kekuasaan. Jarak kekuasaan berhubungan dengan cara suatu budaya distaratifikasi, yang menciptakan berbagai tingkatan/level diantara orang yang didasarkan pada kekuasaan, prestise, kewenangan, status, kesejahteraan, kepemilikan material.
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 9
Kolektivisme Kelembagaan
Dimensi ini mendeskripsikan tingkatan tertentu dalam hal mana suatu organisasi atau masyarakat yang membanggakan institusional atau tindakan kolektif kemasayarakatan. Kolektivisme instutisional adalah yang berhubungan dengan apakah budaya ditunjukkan melalui interest social yang lebih luas ataukah sekedar untuk mencapai tujuan-tujuan individu saja.
Kolektivisme Dalam-Kelompok
Dimensi ini mengacu kepada tinggkatan tertentu dimana orang dapat mengekspresikan rasa kebanggaan, loyalitas, dan kemelekatan dalam organisasi atau keluarga mereka. Kolektivisme dalam kelompok berhubungan dengan keluasan pengabdian orang terhadap organisasinya atau familinya.
Egalitarianisme Gender
Dimensi ini mengukur tingkatan tertentu dalam hal mana suatu organisasi atau masyarakat meminimisasi perbedaan peran gender dan mempromosikan kualitas gender. Egalitarianisme gender adalah yang berhubungan dengan seberapa banyak masyarakat yang tidak lagi begitu mempersoalkan jenis kelamin anggota dalam menentukan peran anggota dalam rumah mereka, dalam organisasi, dan komunitas.
Ketegasan
Dimensi ini mengacu kepada tingkatan dalam hal bagaimana orang dalam suatu budaya: menentukan sesuatu, sifat tegas, cara-cara berhadapan, dan sifat agresif dalam hubungan social mereka. Ketegasan adalah sesuatu yang berhubungan dengan seberapa banyak suatu budaya atau masyarakat mendorong orang untuk kuat, tegas, dan kasar sebagai sesuatu yang berlawanan dengan sifat malu-malu/takut-takut, sikap tunduk/patuh, dan halus/tidak lekas marah dalam hubungan social.
Berorientasi Kedepan
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 10
Konsep ini mengacu kepada sejauh mana orang terikat ke dalam perilaku yang berorientasi ke depan seperti perencanaan, investasi masa depan, dan menunda gratifikasi (kepuasan). Orientasi masa depan menekankan bahwa orang dalam suatu budaya mempersiapkan masa depan sebagai sesuatu yang berlawanan dengan kesenangan masa kini dan yang bersifat spontan.
Orintasi Kinerja
Dimensi ini mendeskripsikan sejauh mana suatu organisasi atau masyarakat mendorong dan menyemangati anggota kelompok untuk meningkatkan kinerja untuk menjadi yang terbaik. Orientasi kinerja ini berhubungan dengan apakah orang dalam suatu budaya didorong/disemangati untuk mencapai sejumlah tujuan yang sedang menantang.
Orientasi Kemanusiaan
Dimensi ini mengacu kepada suatu tingkatan tertentu dalam hal mana suatu budaya mendorong dan menyemangati orang untuk berperilaku fair, peduli terhadap kepentingan orang lain (altruistic), bermurah hati (generous), perhatian (caring), dan bersikap baik terhadap orang lain. Orientasi kemanusiaan adalah keperdulian dengan seberapa banyak suatu masyarakat atau organisasi menekankan sensitivitas terhadap orang lain, dorongan sosial, dan nilai-nilai komunitas.
Para peneliti GLOBE telah menggunakan kesembilan dimensi budaya ini untuk menganalisis atribut-atribut dari 63 negara yang berbeda dalam studi yang mereka lakukan. Dimensi budaya ini dijadikan sebagai dasar untuk mempelajari bagaimana berbagai Negara beragam dalam pendekatan mereka terhadap kepemimpinan, termasuk kepala sekolah.
Kemudian Organisasi menurut J.R.Schermerhon (dalam Pabundu Tika 2006:3) mendefinisikan Organization is a collection of people working together in a division of labor to achieve a common purpose, yang dapat dimaknai organisasi adalah kumpulan orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Di lain, pihak C.J. Bernard mengatakan bahwa organisasi adalah kerjasama dua orang atau lebih, suatu sistem aktivitas-aktivitas atau kekuatan-kekuatan perorangan yang dikoordinasikan secara sadar. Dalam Philip Selznick mengatakan organisasi adalah pengaturan personil guna memudahkan pencapaian beberapa tujuan yang telah ditetapkan melalui alokasi fungsi dan tanggungjawab. Oleh karena itu, berdasarkan definisi di atas hal yang tercakup dalam organisasi
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 11
adalah sebagai berikut; (1) kumpulan dua orang atau lebih, (2) kerjasama, (3) tujuan bersama, (4) sistem organisasi kegiatan, (5) pembagian tugas dan tanggungjawab personil.
Setelah kita mengetahui pengertian budaya dan organisasi di atas, selanjutnya kita dapat mendalami unsur-unsur pertalian yang ada dalam budaya organisasi, berdasarkan pendapat para ahli Peter F.Ducker, Phithi Amunuai, Edgar Schein dalam Pabundu Tika 2006:5) mensintesiskan sebagai berikut: 1. Asumsi dasar
Dalam budaya organisasi terdapat asumsi yang dapat berfungsi sebagai pedoman bagi anggota maupun kelompok dalam organisasi untuk berperilaku.
2. Keyakinan yang dianut Dalam budaya organisasi terdapat keyakinan yang dianut dan dilaksanakan oleh para anggota organisasi. Keyakinan ini mengandung nilai-nilai yang dapat berbentuk slogan atau moto, asumsi dasar, tujuan umum organisasi, filosofi usaha, atau prinsip-prinsip menjelaskan usaha.
3. Pemimpin atau kelompok pencipta dan pengembangan budaya organisasi Budaya organisasi perlu diciptakan dan dikembangkan oleh pemimpin organisasi/perusahaan atau kelompok tertentu dalam organisasi atau perusahaan tersebut.
4. Pedoman mengatasi masalah Dalam organisasi/perusahaan, terdapat dua masalah pokok yang sering muncul, yakni masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal. Kedua masalah tersebut dapat diatasi dengan asumsi dasar dan keyakinan yang dianut bersama anggota organisasi.
5. Bebagi nilai (sharing of value) Dalam budaya organisasi perlu berbagi nilai terhadap apa yang paling diinginkan atau apa yang lebih baik atau berharga bagi seseorang.
6. Pewarisan (Learning process) Asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota organisasi perlu diwariskan kepada anggota-anggota baru dalam organisasi sebagai pedoman untuk bertindak dan berperilaku dalam organisasi/perusahaan tersebut.
7. Penyesuain (adaptasi) Perlu penyesuaian anggota kelompok terhadap peraturan atau norma yang berlaku dalam kelompok atau organisasi tersebut, serta adaptasi organisasi/perusahaan terhadap perubahan lingkungan.
4. Implementasi Budaya Sekolah Berwawasan Mutu Terpadu
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 12
Kepemimpin suatu organisasi sekolah akan diyakini dapat membudayakan seting kehidupan sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan strategi yang digunakan sebagai langkah dalam menuju berwawasan mutu terpadu. Oleh karena itu, kepala sekolah melalui kepemimpinannya akan mampu mengantarkan mutu terpadu kepada lembaganya. Berpijak dari kepemimpinan temuan GLOBE adalah mengidentifikasi sejumlah atribut kepemimpinan sebagai aspek positif dari kepemimpinan efektif yang secara universal diambil dari 17.000 penduduk dari 62 negara. Responden dalam studi yang dilakukan GLOBE mengidentifikasi 22 sumber nilai atribut kepemimpinan, yaitu : Atribut pemimpin positif : Trustworthy, foresight, positive, confidence builder,
intelligent, win-win problem solver, administrative skilled, excellence oriented, just, plans ahead, dynamic, motivational, decisive, communicative, coordinator, honest, encouraging, motive arouser, dependenable, effective bargainer, informed, team builder.
Atribut pemimpin negative : loner, irritable, ruthless, asocial, noneaxplicit, dictatorial, noncooperative, egocentric.
Atribut ini secara universal dijadikan sebagai karakteristik untuk memfasilitasi kepemimpinan yang paling populer dewasa ini. Atas dasar atribut yang sudah ditetapkan, sebuah potret pemimpin dapat dijadikan dalam hal mana hampir setiap orang akan melihatnya sebagai sesuatu yang exceptional. Potret dimaksud adalah seorang pemimpin yang memiliki integritas yang tinggi yang charismatic/value-based, dan memiliki skill interpersonal.
Keberhasilan maupun kegagalan dari suatu organisasi sekolah , apakah perusahaan, lembaga pemerintah, rumah sakit, ataupun organisasi sosial lainnya, akan selalu dikaitkan dengan pemimpin dari organisasi dimaksud. Dengan kata lain, kepemimpinan merupakan unsur kunci dalam menentukan efektivitas maupun tingkat produktifitas suatu organisasi.
Berkaitan dengan kepemimpinan akan memberikan nuansa pada gaya kepemimpinan yang merupakan paduan antara orientasi kepemimpinan terhadap tugas (task-oriented leadership) dan orientasi kepemimpinan terhadap hubungan manusia (relationship-oriented leadership). Oleh karena itu, interpolasi dari perpaduan tersebut di atas akan menghasilkan gaya kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada tugas, yaitu kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada perilaku pemimpin yang mengarah pada penyusunan rencana kerja, penetapan pola oganisasi, adanya saluran komunikasi, metode kerja, dan prosedur pencapaian tujuan yang jelas.
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 13
Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan antar manusia, yaitu kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada perilaku pemimpin yang mengarah pada hubungan kesejawatan, saling mempercayai, saling menghargai, dan penuh kehangatan hubungan antara pimpinan dengan staffnya.
Campbell (dalam Soetopo, 2010:232) mengemukakan 3 fungsi utama pemimpin sebagai berikut; (1) interpersonal (figurehead, leader, an liasison), (2) informational (monitor, disseminator, and spokesman), (3) decisional (entrepreneur, disturbance handler, resource allocator, and negotitiator). Oleh karena iu. Fungsi pemimpin yang dikaitkan dengan gaya kepemimpinan adalah sebagai berikut; Interpersonal sangat erat hubungannya dengan gaya kepeimipinan yang berorientasi pada hubungan antar manusia, karena pemimpin dan senang berhubungan dengan orang lain.
Pemimpin mempengaruhi perfomansi kelompok dengan alat verbal atau gestural yang dikomunikasikan melalui pengarahan, evaluasi, dan sikap pemimpin terhadap anggota kelompok (Owen, 1991). Hal iniberkaitan dengan perilaku pemimpin dalam mempengaruhi performasi kelompok., Fiedler (dalam Soetopo, 2010) membedakan apa yang disebut perilaku kepemimpinan dan gaya kepemimpinan.
Selanjutnya, bahwa perilaku kepemimpinan mengacu pada tindakan spesifik seorang pemimpin dalam mengarahkan dan menkoordinasikan kerja anggota kelompok. Sedangkan, gaya kepemimpinan mengacu pada struktur kebutuhan pemimpin yang memotivasi perilaku dalam berbagai situasi antar pribadi. Intinya gaya kepemimpinan merupakan karakteristik kepribadian, bukan perilaku. Perilaku kepemimpinan dari individu yang sama akan berbeda dari situasi ke situasi, sementara struktur kebutuhan yang mendorong perilaku itu bisa konstan (Fiedler, dalam Soetopo, 2010)
Sasaran penelitian GLOBE adalah untuk menentukan bagaimana orang dari budaya yang berbeda melihat kepemimpinan. Sebagai tambahan, para peneliti ingin menentukan cara-cara menghubungkan karakteristik budaya agar dapat membudaya dalam menyokong perilaku kepemimpinan. Singkatnya, mereka ingin menemukan bagaimana perbedaan-perbedaan budaya dihubungkan dengan perbedaan-perbedaan dalam pendekatan terhadap kepemimpinan.
Konseptualisasi kepemimpinan yang digunakan oleh para peneliti GLOBE adalah dengan mengambil sebagian dari pekerjaan yang dilakukan Lord dan Maher (1991) pada teori kepemimpinan yang implicit. Dalam teori kepemimpinan implicit ini dikatakan, bahwa individu memiliki keyakinan implicit dan pendirian
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 14
tentang berbagai atribut dan keyakinan yang membedakan pemimpin dan yang bukan pemimpin, dan pemimpin yang efektif dan yang bukan efektif. Dari perspektif teori ini, maka kepemimpinan adalah berada dalam mata para pelihat (Dorfman, Hanges, & Brodbeck, 2004). Kepemimpinan mengacu pada apa yang dilihat orang pada yang lain keteika mereka sedang memperlihatkan perilaku kepemimpinan.
Untuk mendeskripsikan bagaimana budaya yang berbeda melihat perilaku kepemimpinan pada orang lain, peneliti GLOBE mengidentifikasi enam perilaku kepemimpinan global, yaitu : charismatic/value based, team oriented, participative, humane oriented, autonomous, dan self-protective (House & Javidan, 2004). Perilaku kepemipinan global ini didefinisikan sebagai berikut :
Charismatic/value-based leadership: refleksibilitas untuk memberi semangat, memotivasi, dan mengharapkan kinerja yang tinggi dari yang lain atas dasar pegangan nilai yang kuat. Jenis kepemimpinan ini meliputi kemampuan yang visioner, inspirational, self-sacrificing, trustworthy, decisive, dan performance oriented.
Team-oriented leadership : menekankan team building dan satu tujuan umum diantara anggota team. Jenis kepemimpinan ini meliputi: being collaborative, integrative, diplomatic, non malevolent, dan kompeten dalam administrasi.
Participative leadership : merefleksikan tingkatan dalam melibatkan orang lain dalam pembuatan pengimplementasian keputusan. Hal ini meliputi: untuk menjadi partisipatif, dan nonautocratic.
Humane-oriented leadership : menekankan pada supportive, considerate, compassionate, dan generous. Tipe kepemimpinan ini meliputi : kesederhanaan (modesty), dan sensitivitas terhadap orang.
Autonomous leadership : mengacu kapada kepemimpinan yang independensi dan individualistic yang autonomous dan unique.
Self-protective leadership : merefleksi perilaku yang dapat menjamin, menyelamatkan , dan mengamankan pemipin dan kelompoknya. Hal ini meliputi: self-centered, status conscious, conflict inducing, face saving, dan procedural.
Keenam perilaku kepemimpinan globai yang ditemukan pada penelitian GLOBE ini telah banyak digunakan untuk menilai cara-cara yang berbeda dalam berbagai klaster budaya untuk melihat kepemimpinan. Dari analisis ini, mereka dapat mengidentifikasi suatu profil kepemimpinan untuk setiap klaster. Setiap
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 15
profil mendeskripsikan kepentingan relative dan keinginan, bahwa perbedaan budaya adalah merupakan asal dari perbedaan perilaku kepemimpinan. Konsep budaya memperlihatkan keterkaitan dengan kepemimpinan. Budaya/Kebudayaan merupakan sebuah fenomena dinamis yang berada di sekitar kita dari waktu ke waktu, yang berperan secara terus menerus dan membentuk interaksi dengan yang lainnya sehingga terbentuk sikap kepemimpinan dan susunan yang membimbing dan membatasi tingkah laku.
Ketika seseorang membawa budaya pada tingkatan organisasi dan mungkin juga membawanya ke dalam kelompok-kelompok di dalam organisasi tersebut, seseorang akan dapat melihat dengan jelas bagaimana kebudayaan itu terbentuk, melekat, berkembang, dan pada akhirnya menggerakkan. Pada saat yang sama, bagaimana kebudayaan juga membatasi, menstabilkan, dan memberikan susunan dan arti kepada anggota kelompok. Proses dinamis pembentukan kebudayaan dan manajemen ini adalah inti sari kepemimpinan dan membuat seseorang menyadari bahwa kepemimpinan dan budaya (kebudayaan) merupakan dua sisi yang berada pada koin yang sama.
Di satu sisi, norma-norma budaya menjelaskan bagaimana sebuah organisasi akan menjelaskan kepemimpinan siapa yang akan dipromosikan, siapa yang akan mendapat perhatian dari pengikutnya. Di sisi lain, dapat dijelaskan bahwa satu-satunya hal yang terpentingdilakukan oleh pimpinan adalah membuat dan mengatur budaya. Oleh karena itu, diperlukan bakat unik dari seorang pemimpin adalah kemampuannya untuk memahami dan bekerja dengan budaya, dan itu merupakan sebuah tindakan terakhir kepemimpinan untuk merubah budaya ketika budaya itu terlihat sebagai fungsi yang tidak sempurna.
Implementasi Kepemimpinan dalam Dunia Pendidikan, kepemimpinan kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan perlu mengembangkan kemampuan dirinya, agar selalu dapat mengikuti perkembangan jaman. Untuk itu, kepala sekolah perlu memahami kelebihan dan kelemahan yang ada pada diri sendiri dan mau mengembangkan kemampuannya secara kontinu.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kemampuan pribadi antara lain: 1) watak (psikologis internal), 2) temperamen, 3) minat, 4) kecerdasan, 5) fisik dan 6) sifat-sifat pribadi, serta 7) tipe kepemimpinan yang dimilikinya.
Seorang pemimpin sekolah yang menurut Ajaran Ki Hajar Dewantara, harus dapat menempatkan dirinya dalam kedirian orang lain dengan kemampuan personel yang dimilikinya. Jika, berada di depan memberikan
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 16
contoh tauladan, di tengah bisa berpartisipasi meningkatkan kemauan dan kreativitas bawahan, dan jika di belakang membangun dan mendorong semangat bawahan. Singkatnya kemampuan personel kita adalah: (1) Ing ngarso asung tulodo, (2) Ing madyo mangun karso, dan (3) Tut Wuri Handayani.
Pemimpin harus dapat membenahi dirinya sebelum dapat membenahi orang lain, sebagaimana dikemukakan Robert J. Mc. Cracken, bahwa: We must have good domestic ralations with ourselves before we can have good foreign relations with others. Sosrokartono kita mendapat gambaran dari Mangkunegara IV, bahwa seorang pemimpin hendaknya mempunyai kemampuan sebagai berikut:
1. Sugih tanpo bondo (kaya tanpa harta) 2. Digdoyo tanpo aji (sakti tanpa memakai jimat) 3. Mabur tanpo elar (terbang tanpa sayap) 4. Nglurug tanpo bolo (melawan tanpa bala-tentara) 5. Menang tanpo ngasorake (menang tanpa mengalahkan)
Betapa bahagianya jika pemimpin pendidikan bisa menguasai kemampuan yang mengandung filsafat luhur itu.
Kemampuan sosial yang dimaksudkan adalah kemampuan dalam antar hubungan dengan orang lain baik antar individu, dalam kelompok, antar kelompok, atau dalam lingkungan organisasi yang lebih besar. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan di bidang ini untuk menopang kepemimpinannya. Tahalele (dalam Soetopo, 2010) memberikan beberapa saran untuk mengembangkan kemampuan sosial kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan:
1. Usahakan supaya tetap gembira. 2. Lihatlah, pikrlah, dan bicarakan yang baik. 3. Jangan mengharap terlalu banyak kepada orang lain, tetapi apa yang
dapat kita sumbangkan kepada mereka. 4. Jangan mencampuri urusan pribadi orang lain, kecuali dilapori. 5. Lenyapkan perasaan gelisah 6. Jauhkan sifat sombong 7. Belajarlah menyesuaikan diri 8. Kembangkan sifat murah hati 9. Tekun beragama 10. Sekali-kali janganlah putus asa
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 17
11. Kembangkan sifat”lagniappe” (pemberian kecil kepada orang lain yang berdampak positif yang benar)
Di samping, kemampuan yang ada pada diri sendiri harus dikembangkan, kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan harus mampu menempatkan diri dalam kedirian orang lain. Cara-cara yang dapat ditempuh antara lain:
1. Selalu menghargai pendapat orag lain meskipun bertentangan. 2. Jangan memaksakan pendapat kepada orang lain walaupun merasa
benar. 3. Menegur orang lain secara halus, misalnya bagaimana menurut
pendapat saudara jika…… 4. Hindari kata-kata yang menyinggung perasaan orang lain. 5. Memberikan perintah dengan bahasa meminta dapatkah anda
menolong saya untuk…… 6. Berbicara dengan jelas dan perlahan. 7. Ketika berbicara, pandanglah lawan bicara kita (tidak menengok ke
kiri dan kanan) 8. Sewaktu orang lain berbicara, hendaklah mendengarkan dengan penuh
perhatian 9. Ketika orang lain berbicara, janganlah menyela atau mengalihkan
pembicaraan. 10. Jika orang lain menusuk hati kita, hendaklah kita tetap teang dan sabar. 11. Sebaiknya jangan berbisik-bisik di depan orang lain. 12. Jadilah pendengar yang baik. 13. Jika mengkritik disampaikan dengan tenang, ramah, dan bijaksana.
Semua pernyataan tersebut di atas kiranya dapat dijadikan acuan dalam menilai diri sendiri, agar pemimpin tidak menempatkan dirinya kurang atau lebih dari kemampuan yang sebenarnya.
Kepala sekolah adalah pemimpin di bidang persekolahan/pendidikan. Oleh karena itu, kepala sekolah harus memahami konsep dasar kepemimpinan pendidikan. Sebagai seorang pemimpin, kepala sekolah berhadapan dengan orang lain atau kelompok yang dipimpinnya. Dengan demikian, teori kepemimpinan selalu membahas tentang hubungan pemimpin dengan orang lain. Dipersekolahan, kepala sekolah sebagai pemimpin berhadapan dengan guru-guru, staf non guru, siswa, dan masyarakat di mana sekolah berada. Untuk itu, kepala sekolah harus menguasai konsep dasar kepemimpinan
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 18
pendidikan, jenis-jenis kepemimpinan, tipe kepemimpinan, orientasi kepemimpinan, dan gaya kepemimpinan (Soetopo, 2010).
Dalam melaksanakan tugas kepemimpinan, kepala sekolah mempunyai tiga misi utama sebagai pemimpin pendidikan: 1. Pengembangan kemampuan professional dalam kepemimpinan
pendidikan. 2. Pengembangan kemampuan personal dalam kepemimpinan pendidikan. 3. Pengembangan kemampuan social dalam kepemimpinan pendidikan.
Ketiga kemampuan tersebut harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah agar dalam menjalankan tugasnya dapat berhasil dengan baik. Bahasan selanjutnya akan menkaji ketiga hal tersebut secara lebih detail sebagai berikut: 1. Pengembangan Kemampuan Profesional dalam Kepemimpinan
Pendidikan. Secara umum, pemimpin pendidikan harus menguasai 5 keterampilan pokok (Kimbal Wiles) 1.1. Keterampilan dalam kepemimpinan 1.2. Keterampilan dalam hubungan kemanusiaan 1.3. Keterampialn dalam proses kelompok 1.4. Keterampilan dalam adminisrasi personalia 1.5. Keterampilan dalam penilaian.
Di samping itu kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan harus menguasai bagaimana mengambil keputusan secara profesional dan mengatasi konflik yang terjadi dalam sekolah. Dua kemampuan ini sangat penting, mengingat kepala sekolah mempunyai fungsi kepemimpinan menjabarkan kebijakan pemerintahan dan menciptakan iklim sekolah yang memungkinkan agar tidak terjadi konflik. Dalam mengembangkan kemampuan professional, ada bebrapa keterampilan dan kemampuan yang harus dikuasai oleh kepala sekolah, yaitu:
1. Kepala sekolah sebagai pemimpin di bidang kurikulum, ia harus: a. Mengetahui dan menerima filsafat pendidikan dalam ke seluruhan
sistem sekolah. b. Berusaha mengembangkan dan menggunakan filsafat hidup dan filsafat
pendidikan secara professional.
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 19
c. Mendayagunakan sumber-sumber material untuk pengembangan kurikulum.
d. Menjabarkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kebutuhan anak didik.
e. Mendayagunakan sumber-sumber masyarakat untuk pengimplementasian kurikulum.
f. Mendorong penelitian dan variasi metode dalam mengajar. g. Bertanggungjawab atas pelaksanaan kurikulum dan kepemimpinan
yang diterapkan. 2. Kepala sekolah sebagai pemimpin di bidang personalia, ia harus:
a. Menerima dan menghargai individu guru sebagai staf atas dasar karakter pribadi dan latar belakangnya.
b. Memberi dorongan atas kekuatan, minat, dan kecakapan setiap anggota staf dalam melaksanakan tugas.
c. Menghargai kekuatan dan kelemahan guru dan membantu mereka melalui konseling pribadi
d. Mengadakan kerjasama dalam perencanaan, hubungan individu, dan kelompok, dan pembuatan program sekolah.
e. Mengetahui dan menerapkan beragam teknik kerja sama dan staf dalam melaksanakan tugas dan memecahkan masalah.
f. Menilai diri sendiri dan staf secara objektif dan memperbaiki tindakan selanjutnya.
g. Mendorong dan memberikan bimbingan pertumbuhan professional guru dan stafnya.
3. Kepala sekolah sebagai pemimpin di bidang hubungan masyarakat, ia harus: a. Mendayagunakan organisasi orangtua murid dan guru demi anak didik. b. Mendayagunakan organisasi masyarakat demi personel sekolah. c. Meningkatkan partisipasi orang tua dalam menyelesaikan problema
sekolah dan masyarakat. d. Meningkatkan saling kunjungan antara sekolah dan masyarakat. e. Mengembangkan metode pelaporan regular sistematik kepada orang
tua tentang perkembangan anak didik dan sekolah. f. Mendayagunakan partisipasi siswa untuk program hubungan sekolah
dengan masyarakat. g. Mengadakan studi dan mempraktikan teknik-teknik pelatihan guru.
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 20
4. Kepala sekolah sebagai pimpinan di bidang hubungan guru –murid, ia harus dapat: a. Mengarahkan guru agar memiliki pengetahuan tentang murid. b. Mendorong guru agar professional dalam menyampaikan materi. c. Mengusahakan adanya catatan tentang murid d. Mendorong guru membuat laporan tentang murid. e. Mendorong guru agar resfek terhadap murid f. Mendorong guru memecahkan masalah murid. g. Mendorong guru untuk membuat perencanaan bersama murid. h. Memberikan contoh dan membina hubungan baik dengan guru dan
murid. 5. Kepala sekolah sebagai pemimpin personal non pengajaran, ia harus dapat:
a. Menerapkan pendekatan psikologis dalam hubungan individual dan kelompok.
b. Mendorong staf turut ambil bagian dalam pelaksanaan tugas sekolah. c. Mengisi waktu luang bagi personel non pengajaran d. Menciptakan aktivitas bagi personal non pengajaran e. Membina kerjasama personel nen pengajaran dalam pelaksanaan
tugasnya. 6. Kepala sekolah sebagai pemimpin dalam berhubungan dengan pemerintah
dalam hal ini Kadisdikpora, ia harus dapat: a. Memahami kebijakan Disdikpora dan menjabarkan dalam program
sekolah. b. Memahami dan mendayagnakan saluran komunikasi denga Disdikpora. c. Mendayagunakan layanan khusus kadisdikpora sebagai komplemen
dan pengayaan program sekolah. d. Membuat laporan tentang kegiatan sekolah kepada Kadisdikpora. e. Memberikan masukan dan saran kepada Kadisdikpora.
7. Kepala sekolah sebagai pimpinan dalam pelayanan bimbingan, ia harus dapat: a. Membina rasa kekeluargaan antar petugas bimbingan, personel lain,
dan murid. b. Bekerja sama dengan lembaga lain dalam menopang kegiatan
bimbingan sekolah. c. Membimbing etugas bimbingan agar mengerti anak dan persoalan-
persoalannya. d. Mendayagunakan berbagai sumber untuk memahami anak didik.
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 21
e. Mengarahkan petugas bimbingan agar memahami dan memenuhi kebutuhan akademik anak didik.
f. Membantu guru-guru memahami persoalan pribadi dan social siswa. 8. Kepala sekolah sebagai pemimpin dalam artikulasi dengan sekolah lain, ia
harus dapat: a. Menjalin hubungan kerja sama dengan sejawat lainnya. b. Menghargai opini sejawat walaupun berbeda pandangan pribadinya. c. Memahami program-program sekolah lain sebagai perbandingan
program sekolahnya, d. Melibatkan staf dalam bekerja sama dengan sekolah lain. e. Mendorong program kunjungan ke sekolah lain antar staf.
9. Kepala sekolah sebagai pemimpin dalam pengorganisasian sekolah, ia harus dapat: a. Mebimbing guru dan staf sekolah untuk memahami tugas dan
peranannya. b. Bekerja sama dengan guru dan staf dalam perencanaan dan
pengorganisasian program sekolah. c. Merealisasikan tanggung jawab untuk membuat keputusan dalam
berbagai situasi. d. Mengusahakan agar situasi sekolah menunjang kesehatan mental dan
stabilitas emosional seluruh personel sekolah. e. Mengarahkan staf agar koordinasi antar tuga di sekolah.
10. Kepala sekolah sebagai pemimpin dalam pendayagunaan rumah sekolah dan perlengkapannya, ia harus dapat: 1. Memahami jenis pelayanan sekolah yang dibutuhkan sekolah. 2. Membimbing staf dalam mendayagunakan perlengkapan semaksimal
mungkin. 3. Mendistribusikan fasilitas kepada staf secara jujur dan adil. 4. Memperlengkapi guru-guru dan staf agar dapat bekerja dengan baik. 5. Mendorong berbagai eksplorasi baru tentang layanan baru yang lebih
baik. 6. Membina kejujuran para staf dalam menentukan kebutuhan dan
mendayagunakan fasilitas sekolah. 7. Menciptakan iklim social yang menyenangkan dalam mendayagunakan
fasilitas di sekolah.
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 22
PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Peningkatan mutu terpadu pada sekolah merupakan suatu sistem, yang ada
dalam organisasi yang utuh. Hal, ini mutu merupakan aspek sistem internal dan eksternal yang merujuk pada visi, misi, tujuan dan ada pada barisan strategi yang jelas dan terprogram.
2. Kultur sekolah merupakan sesuatu yang sangat vital, hal ini terjadi bila terjadi iklim yang nyaman, aman, kekeluargaan yang harmonis dan memahami esensi dari budaya itu sendiri yang berkaitan erat dalam pencapaian pelayanan bermutu.
3. Dimensi-dimensi budaya, akan memberikan formula dalam kepemimpinan suatu organisasi, corak ragam berbagai budaya harus dipahami, dipikirkan, diucapkan, dan diorientasikan sebagai implementasi tataanan organisasi sekolah
4. Kepemimpinan pendidikan dalam implementasinya di sekolah, dalam hal ini dikomandani oleh kepala sekolah. Kepala sekolah harus memahami perbedaan budaya yaitu berpikir global-bertindak lokal sehingga mampu menciptakan iklim yang kondusif sesuai dengan peraturan dan menterjemahan pada pelayanan bermutu. Pelayanan yang bermutu sangat diyakini mentradisi menjadi sesuatu mutu terpadu pula
B. Saran-saran
1. Dalam meningkatkan mutu sekolah disaran semua komponen yang terlibat agar menciptakan sistem yang terorganisasi secara dinamis dan haromins.
2. Dalam budaya sekolah disarankan semua sistem harus mengorganisir dirinya sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsi serta iklim kerja sehingga tercipta semangat, komitmen, dan cinta pada profesi.
3. Dalam Dimensi-dimensi budaya disarankan semua yang memerankan sistem harus memiliki formulasi yang mensinergiskan pada semua aspek yang ada pada kehidupan pada suatu organisasi.
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 23
4. Dalam implementasinya, kepala sekolah hendaknya mampu melaksanakan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah kedalam peningkatan mutu terpadu melalui menterjemahkan secara visioner dalam kebersamaan.
DAFTAR PUSTAKA:
http://pascasarjana-stiami.ac.id/, diakses 12 mei 2011 jam 17.24 wib. http://www.immasjid.com/cetak.php?id=764, diakses 17 mei 2011, 18.17 wib http://www.keren.web.id/search/studi-peran-kepala-sekolah-dalam-meningkatkan-mutu-pendidikan, diakses 7 juni 2011 jam 10.45 wib Kartono, Kartini, (1994), Pemimpin dan Kepemimpinan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Nawawi, Hadari, (1995), Kepemimpinan yang Efektif, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Northouse (2010), Leadership, Teory and Practice, SAGE Publications, London, New Deli. Soetopo, H., (2010). Perilaku Organisasi, Teori dan Praktik di Bidang PendidikanI. PT. Remaja Rosdakarya Offset. Bandung. Thoha, Miftah, (1996), Perilaku Organisasi, PT. Raja Erfindo Persada, Jakarta. Zamroni (2000) Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf
Publishing
Nomor 16 tahun X Oktober 2014 ISSN 1907-3232 Jurnal Pendidikan Widyadari IKIP PGRI Bali Page 24
PENERAPAN KONSELING KELOMPOK MELALUI PENDEKATAN BEHAVIORAL DENGAN TEKNIK KONTRAK KONTINGENSI UNTUK
MENINGKATKAN DISIPLIN BELAJAR SISWA KELAS IX B SMP NEGEI 1 MENGWI TAHUN PELAJARAN 2010/2011
I NyomanWikerta DinasPendidikanPemuda DanOlah Raga
SMP Negeri 1 Mengwi
ABSTRAK
Penelitian tindakan bimbingan konseling ini dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan disiplin belajar siswa melalui penerapan konseling behavioral dengan teknik kontrak kontingensi. Seting penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Mengwi pada kelas IX B. Subjek penelitian adalah siswa yang disiplin belajarnya rendah sejumlah 7 orang. Penelitian tindakan bimbingan konseling ini dilaksanakan dua siklus, masing-masing terdiri atas 4 langkah yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi.
Data dikumpulkan dengan pedoman observasi skala 5. Rentangan kemunculan disiplin belajar siswa yang diobservasi mulai dari : selalu, sering, cukup sering, jarang, tidak pernah. Dari rentangan tersebut perolehan skor bergerak dari 5,4,3,2, dan 1
Setelah dilakukan pengamatan, skor yang diperoleh anak dibandingkan dengan skor maksimal ideal untuk menentukan kedudukan anak dalam kategori disiplin belajarnya, yakni sangat tinggi, tinggi, cukup tinggi, rendah dan sangat rendah.
Dari tujuh kasus yang ditangani dalam penelitian ini, semua disiplin belajar siswa dapat meningkat sampai pada kategori cukup tinggi, bahkan ada tiga orang mencapai persentase skor pada kategori tinggi. Bila dilihat dari ketujuh kasus, pada siklus I rata-rata peningkatan disiplin belajar siswa ada 35,71% dengan rata-rata persentase skor 37%. Pada siklus II rata-rata peningkatannya mencapai 45% dengan rata-rata persentase skor 52%. Hal ini berarti ada peningkatan disiplin belajar siswa pada setiap dilakukan tindakan perbaikan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui penerapan konseling kelompok dengan teknik kontrak kontingensi dapat meningkatkan disiplin belajar siswa kelas IX B SMP Negeri 1 Mengwi tahun pelajaran 2010/2011.
Kata Kunci : Pendekatan Behavioral untuk Meningkatkan Disiplin Belajar Siswa .
ABSTRACT The research was conducted counseling measures with the aim of improving student learning discipline
through the application of behavioral counseling techniques contingency contracts. Setting the research was conducted in SMP Negeri 1 Mengwi in class IX B. Subjects were students learning the discipline of the low number of 7 people. Action research was conducted counseling two cycles, each consisting of
four steps: planning, action, observation and reflection.Data were collected with a scale of 5. The range of observation guidelines emergence observed students learning discipline ranging from: always, often,
quite often, rarely, never. The acquisition of a range of scores moving from 5,4,3,2, and 1 After the observation, the score obtained by children compared with the maximum score is ideal for
determining the position of the child in the category of learning discipline, which is very high, high, quite high, low and very low.Of the seven cases handled in this study, all study disciplines students can rise to
the category is quite high, there are three people even reach the percentage of scores in the high category. When viewed from the seven cases, in the first cycle an average increase student learning
discipline No 35.71% to the average percentage score of 37%. In the second cycle the average increase reached 45% with an average percentage score of 52%. This means that there is an increase in the
discipline of students in any corrective action.It can be concluded that through the implementation of group counseling techniques contingency contracts can improve discipline IX grade students of SMP
Negeri 1 Mengwi B school year 2010/2011. Keywords: Behavioral Approaches for Improving Student Discipline.
PENDAHULUAN
DalamUndang-UndangRepublik Indonesia No.20 Tahun 2003 pasal 3,
disebutkanbahwa,
PendidikanNasionalberfungsimengembangkankemampuandanmembentukwataksertaperadabanb
angsa yang bermartabatdalamrangkamencerdaskankehidupanbangsa,
bertujuanuntukberkembangnyapotensipesertadidik agar menjadimanusia yang
berimandanbertakwakepadaTuhan Yang MahaEsa, berakhlakmulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, danmenjadiwarganegara yang demokratissertabertanggungjawab.
Untukmencapaifungsidantujuanpendidikantersebutdiperlukanadanyadisiplinyang
ketatdariberbagaipihakbaikdaripengelolapendidikan, guru, sertasiswaitusendiri.
Suatucontohuntukmengembangkansegalapotensisiswamakasiswaperlumelakukanlatihandengandi
siplin yang tinggi. Demikianjugadalam proses
belajarsiswaperluberdisiplintinggiuntukmewujudkanhasilbelajar yang optimal.
Disiplinbelajarsiswamerupakansalahsatuaspek yang
menjadiperhatiandalampengembangankepribadiansiswa di mulaipadamasaorientasisiswabaru,
panduanberupatatatertib yang diberlakukan di sekolah, sampaipadaevaluasi yang
dilaksanakansetiapadaapelbendera yang
dilaksanakansetiapharisenin.Rendahnyadisiplinbelajarsiswaakanberakibatpadarendahnyamutu
proses pembelajarandanberakibatpadarendahnyahasilbelajar yang dicapaiparasiswa.
Sekalipunberbagaiupayatelahdilakukanuntukmeningkatkandisiplinsiswadalambelajar,
namunkenyataannya yang terjadipadaSMP Negeri 1 Mengwi, khususnyapadakelas IX B
ternyatamasihadabeberapasiswa yang
tingkatdisiplinnyamasihrendahdanperlumendapatkanpembinaan. Dari
hasilpemantauanataupengamatan yang dilakukanternyatamasihadabeberapasiswa yang
melanggardisiplin.Pelanggaranterhadaptatatertib yang berlaku di sekolahseperti:
seringterlambatdatang di sekolah, bolos, melalaikantugas yang diberikan guru,
tidakmenggunakanatributsekolah,corat-coretdinding, bermain main saat proses
pembelajaranberlangsung.
Jikahal-haltersebut di
atasmaksudnyaadalahrendahnyadisiplinsiswatidaksegeradilakukanpembinaanakancenderungmel
uaspadasiswalainnya, danakanberakibatjugapadahasilbelajar yang dicapaisiswa.
Olehkarenademikianpenetapanjumlahsiswa yang bermasalah, luas-sempitnyamasalah yang
dialamisertatindakan yang diberikanperludirancanglewatpenelitianini.
Ada berbagaihal yang
dapatdilakukanuntukmengatasimasalahrendahnyadisiplinsiswadalambelajar.Penanganannyaterga
ntungdaritujuandanlatarbelakangkeilmuansertakemampuanpendidik. Dari
latarkeilmuanbimbingankonseling, terhadapkasustersebutakandiupayakantindakankonseling
behavioral. Maknakonselinginiadalahmelakukanperubahanperilakudisiplinsiswakearahlebihbaik,
melaluipenanamankesadaran,
menumbuhkankeyakinanpadadirikonseliuntukmemilihdanberperilaku yang
lebihbaik.Berkaitandenganmaknateknikkontrakkontingensi,
melaluipertumbuhankesadaranpadadirikonseliterhadapperilaku yang telahdilakukanatau yang
kelirudilakukan, akandibenahiataudirubahdandinyatakansecaratertulishal-halapasaja yang
akandilakukan. Dalamhalinikonselimenandatanganikontraksejenisperjanjianmengenaiperilaku
yang akandilakukansebagaiupayapernbaikannya.
METODE PENELITIAN
Penelitianinimerupakanpenelitiantindakanbimbingankonseling (PTBK). Imam Tadjri
(2010: 4) menyatakanbahwa: “penelitiantindakanbimbingankonselingadalahpenelitiankolaboratif
yang dilaksanakanolehkonselormelaluirefleksidiridengantujuanuntukmemperbaikimutulayanan
BK agar kesejahteraan mental siswameningkat”. Penelitiantindakanbimbingankonselingini,
pelaksanaannyamengacupadapolapenelitiantindakankelas.Wardani (2007:1.4)
menyatakanbahwapenelitiantindakankelas (PTK)adalahpenelitian yang dilakukanoleh guru di
dalamkelasnyasendirimelaluirefleksidiri, dengantujuanuntukmemperbaikikinerjanyasebagai guru
sehinggahasilbelajarsiswamenjadimeningkat.Polakerjadari PTK meliputikegiatanperencanaan,
pelaksanaantindakan, kegiatanobservasidanmelakukanrefleksiterhadap proses
danhasiltindakanperbaikan.
Subyekdalampenelitianiniadalahsiswakelas IX B yang berjumlah 34 orang.Data
inididapatkanmelaluipengamatanpenelitiberkolaborasidengan guru walikelas yang
dilakukanselamaduabulan.
Rancangan penelitian ini dirancang untuk mengentaskan masalah disiplin belajar siswa
dengan tindakan konseling behavioral melalui teknik kontrak kontingensi. Setelah pelaksanaan
konseling, diharapkan disiplin belajar siswa dapat meningkat.
Prosedurpenelitiandilaksanakanberdasarkanprosedurtertentu.Prosedurbertaliandengant
atacarapelaksanaanpenelitian. Penelitianinimengikuti model Kurt
Lewindenganempatlangkahpokok.Kurt Lewin (dalamRahmatHidayat, 2011: 17)
mengemukakansebuah model penelitiantindakan yang berbentuk spiral, dimanatindakan yang
diberikantidakhanyadiberikansatu kali tetapidapatdiberikanbeberapa
kali.Dengandemikianlangkah-langkah yang ditempuhdalampenelitianinimeliputi
:perencanaantindakan, pelaksanaantindakan, pengamatandanrefleksi
Teknik analisis data yang diperoleh melalui pedoman observasi belum berarti apa-apa
karena masih merupakan data mentah. Untuk dapat memeberikan informasi yang berarti maka
data tersebut perlu dianalisis lebih lanjut. Langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis
data dapat diuraikan di bawah ini.
a. Memberikan skor data hasil observasi, dengan ketentuan: (1) perilaku anak yang
selalu muncul pada aspek yang diobservasi diberi skor 5 untuk pernyataan positif
dan diberikan skor 1 untuk pernyataan negatif; (2) pada perilaku yang sering
muncul diberi skor 4 untuk pernyataan positif dan diberikan skor 2 untuk
pernyataan negatif; (3) pada perilaku yang kadang-kadang muncul diberikan skor 3
baik pada pernyataan positif atau negatif; dan (4) pada perilaku anak yang jarang
muncul dan tidak pernah muncul diberi skor 2 dan 1 untuk pernyataan positif. Pada
pernyataan negatif, perilaku yang jarang muncul dan tidak pernah muncul diberikan
skor 4 dan 5.
b. Menjumlahkan skor masing-masing anak yang dijadikan kasus.
c. Menghitungpersentasedenganrumus :
P = %100xSMI
X
(Depdiknas,2006:19). P : persentase skor
X :jumlahskor yang diperolehsetiapindividu
SMI: skormaksimal ideal, yang dalamhaliniadalah 5x28=140
d. Membandingkanpersentasepencapaiandengankategoridisiplinsiswa.
Adapunkategori yang digunakanadalahsebagaiberikut.
81% - 100%= Sangattinggi
61% - 80% = Tinggi
41% - 60% = Cukup
21% - 40% = Rendah
0 - 20% = Sangatrendah
(Nurkancana, 1982: 20)
e. Menghitung persentase peningkatan skor disiplin belajar dengan rumus:
P = %100xBaserate
BaseratePostrate
(Zainal Aqib, dkk, 2008:53).
Keterangan: P : persentase peningkatan (%)
Postrate: skor setelah perlakuan (tindakan)
Baserate: skor sebelum perlakuan (tindakan)
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 1 Pebruari 2011 sampai dengan 31 Maret 2011.
Dalam minggu pertama Bulan Pebruari 2011 dilakukan identifikasi terhadap siswa yang disiplin
belajarnya rendah. Pada minggu kedua dilaksanakan konseling kelompok, pada minggu ketiga
dan keempat dilakukan evaluasi. Setelah siklus pertama dilalui kemudian berdasarkan hasil
refleksi maka pada bulan Maret 2011 penelitian dilanjutkan pada siklus II. Pada minggu pertama
bulan Maret2011 dilaksanakan konseling kelompok tahap kedua. Observasi dan evaluasi
dilakukan minggu kedua dan ketiga. Pada minggu keempat Bulan Maret2011 disusun laporan
penelitian.
Berikut ini disajikan data awal mengenai disiplin belajar siswa SMP Negeri 1 Mengwi
sebelum Tindakan Siklus I tahun 2010/2011.
Tabel 1Data Awal tentang Disiplin belajar siswa Kelas IX B SMP Negeri 1 Mengwi Tahun Pelajaran 2010/2011
No Nama Siswa Skor Persentase Kategori
1 I B KusumaUdayana 50 35% Rendah
2 Ni Luh Devi Yunita 40 28% Rendah
3 I Putu Surya Susila 55 39% Rendah
4 IkhsanMaulang 35 25% Rendah 5 Sang KrisnaAdhiPranata 28 20% Sangat Rendah
6 Ni LuhCandraDarmayanti 45 32% Rendah
7 Ni Made RaiSeptiari 28 20% Sangat Rendah Jumlah 281 199% Rata-rata 40,14 28,43%
Dari data disiplinbelajarsiswasesuaitabel di atasdapatdisajikandalambentukgrafikseperti
di bawah .
35
28
39
25
20
32
20
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Kusuma Devi Surya Maulang Adhi Candra Rai
Gambar 01: Grafikdata awal tentangdisiplin belajarSiswakelasIX B SMP Negeri 1 Mengwitahun pelajaran 2010/2011
Dari tabeldangrafik di atasdapatdinyatakanbahwasiswa yang tingkatdisiplinbelajarnya
tergolongrendah (kurangdari 41 %) adatujuh orang, dua orang kategori disiplin belajarnya
termasuk sangat rendah yaitu: Wintara dan Teguh.
Tabel 2 Data Siklus I tentang Disiplin belajar Siswa kelas IX BSMP Negeri 1 Mengwi tahun pelajaran 2010/2011
No
Nama Siswa
Data Awal Siklus I Peningkatan
Kategori % Siklus I
Skor % Skor % % 1 I B
KusumaUdayana 50 35 65 46 30,00 Cukup
2 Ni Luh Devi Yunita
40 28 55 39 37,50 Rendah
3 I Putu Surya Susila 55 39 68 48 23,64 Cukup
4 IkhsanMaulang 35 25 50 35 42,86 Rendah
5 Sang KrisnaAdiPranata
28 20 40 28 42,86 Rendah
6 Ni LuhCandraDarmayanti
45 32 60 42 33,33 Cukup
7 Ni Made RaiSeptiari
28 20 35 25 25,00 Rendah
Jumlah 281 199 373 263 235,19 Rata-rata 40,14 28,43 53,28 37,57 33,60
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa melalui tindakan siklus I ada peningkatan skor
disiplin belajar siswa. Peningkatan jumlah skor dari 281 sebelum tindakan menjadi 373 setelah
tindakan I. Demikian juga rata-rata skor untuk seluruh siswa meningkat dari 40,14 sebelum
tindakan menjadi 53,28 setelah tindakan I. Bila dilihat rata-rata persentase peningkatan perilaku
disiplin siswa dari sebelum diberikan layanan konseling sampai tindakan siklus I menunjukkan
peningkatan 33,60%.
Dari analisis data di atas dapat disajikan dalam bentuk grafik seperti di bawah ini.
Gambar 02: Grafik Perkembangan Disiplin Belajar Siswa Kelas IX B SMP Negeri 1 Mengwi setelah Tindakan Siklus I
Dari tabel dan grafik di atas dapat dinyatakan bahwa melalui perbaikan pada tindakan
siklus I ada beberapa perubahan yang dialami siswa yang dijadikan kasus. Semua disiplin
belajarsiswa meningkat.
Tabel 3 Data Siklus IItentang Disiplin belajar Siswa kelas IX BSMP Negeri 1 Mengwi tahun pelajaran 2010/2011
No
Nama Siswa
Siklus I Siklus II Peningkatan
Kategori % Siklus I
Skor % Skor % % 1 I B
KusumaUdayana 65 46 87 62 34 Tinggi
35
28
39
2520
32
18
46
39
48
35
28
42
25
0
10
20
30
40
50
60
Kusuma Devi Surya Maulang Adhi Candra Rai
Data awal siklus I
2 Ni Luh Devi Yunita 55 39 65 46 18 Cukup 3 I Putu Surya Susila 68 48 89 63 30 Tinggi 4 IkhsanMaulang 50 35 64 46 28 Cukup 5 Sang
KrisnaAdiPranata 40 28 62 44 55 Cukup
6 Ni LuhCandraDarmayanti
60 42 86 61 43 Tinggi
7 Ni Made RaiSeptiari
35 25 60 42 71 Cukup
Jumlah 373 263 513 364 279 Rata-rata 53 37 73,28 52 40
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa melalui tindakan siklus II semua skor disiplin
belajar siswa meningkat. Secara keseluruhan jumlah skor meningkat dari 373 pada siklus I
menjadi 513 pada siklus II. Demikian juga rata-rata skor untuk seluruh siswa meningkat dari 53
padasiklus I menjadi 73,28 pada siklus II. Bila dilihat rata-rata persentase peningkatan disiplin
belajar siswa ada kenaikan dari 35,71% pada siklus I menjadi 40% pada siklus II.
Dari analisis data di atas dapat disajikan dalam bentuk grafik seperti di bawah ini.
4639
48
3528
42
25
62
46
63
46 44
61
42
0
10
20
30
40
50
60
70
Kusuma Devi Surya Maulang Adhi Candra Rai
Siklus I Siklus II
Gambar 03: Grafik Perkembangan Disiplin belajar Siswa Kelas IX B SMP Negeri 1 Mengwi setelah Tindakan Siklus II
Dari tabel dan grafik di atas dapat dinyatakan bahwa melalui perbaikan pada tindakan
siklus II ada beberapa perubahan yang dialami siswa yang dijadikan kasus. Semua disiplin
belajarsiswa meningkat.
PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis data menunjukkan bahwa perubahan skor disiplin belajar siswa
baik pada tindakan siklus I maupun hasil tindakan siklus II ada kenaikan secara bervariasi. Jika
dilihat dari persentase skor, terutama hasil pelaksanaan tindakan siklus II, disiplin belajar siswa
yang diberikan layanan konseling dapat dikategorikan cukup tinggi ada 4 orang (57%),
sementara disiplin belajarnya yang dikategorikan tinggi ada 3 orang (43%). Secara keseluruhan
rata-rata persentase disiplin belajar siswa tergolong cukup tinggi.
SIMPULAN
Berdasarkan data dari tujuh kasus yang ditangani dalam penelitian ini, semua disiplin
belajar siswa dapat meningkat sampai pada kategori cukup tinggi, bahkan ada tiga orang
mencapai persentase skor pada kategori tinggi. Bila dilihat dari ketujuh kasus, pada siklus I
rata-rata peningkatan disiplin belajar siswa ada 35,71% dengan rata-rata persentase skor 37%.
Pada siklus II rata-rata peningkatannya mencapai 45% dengan rata-rata persentase skor 52%. Hal
ini berarti ada peningkatan disiplin belajar siswa pada setiap dilakukan tindakan perbaikan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui penerapan konseling kelompok
dengan teknik kontrak kontingensi dapat meningkatkan disiplin belajar siswa kelas IX B SMP
Negeri 1 Mengwi tahun pelajaran 2010/2011.
SARAN
Berdasarkan simpulan di atas dapat diajukan beberapa saran yang ditujukan kepada:
a. Guru BK diharapkan menggunakan konseling kelompok dengan teknik kontrak
kontingensi dalam menangani kasus yang berkaitan dengan masalah sosial seperti disiplin
belajar, karena mereka (kasus) dapat berbagi bersama temannya dalam memecahkan
masalah terutama dalam merangcang kontrak dan cara memenuhi kontrak tersebut.
b. Guru lain sebagai peneliti, diharapkan dapat mengembangkan hasil penelitian ini, dengan
melakukan penelitian pada subjek yang berbeda sehingga dapat diketahui tingkat
kefektifan penggunaan konseling kelompok dengan teknik kontrak kontingensi dalam
mengatasi masalah disiplin belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianus, P. 2010. Mendisiplinkan Siswa Dengan Cinta. Jakarta : Pustaka Remaja. Arikunto, Suharsini. 2006. Prosedur Penilaian, Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta : Bina
Aksara. Arofah Firdaus. 2011. Disiplin belaja. Blogspot.com. Azwar, Saifuddin. 2003. Pengembangan Skala pengukuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dayaksini, Tri. 2003. Psikologi Sosial. Malang : UMM Press. Deny, A. 2005. Disiplin dan Penerapannya Bagi Siswa. Yogyakarta : SIC. Depdiknas. 2001. Proses Pembelajaran Pada Sekolah Menengah. Jakarta: Dikmenum Faisal, Sanapiah. 20101. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. Hadi, Sutrisno. 2004. Analisis Regresi. Yogyakarta : Andi. Hadi. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Andi Hallen, A. 2005. Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Quantum Teaching. Hariwijaya, M. dan Triton P.B. 2008. Pedoman Penulisan Ilmiah Proposal dan Skripsi.
Yogyakarta : Oryza. Herlin Febriana Dwi Prasti. 2011. Indikator- indikator dalam Disiplin Belajar.
www.id.shvong.com. Hurlock, E.B. 1978. Perkembangan Anak Jilid I. Jakarta : Erlangga. Imam Tadjri. 2010. Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling. Semarang: widya Karya Juntika Nurihsan. 2006. Bimbingan & Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung:
PT Refika Aditama. Muhibbin Syah. 2005. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Grafindo Persada Namora. 2011. Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam teori dan Praktek. Jakarta: Kencana
Nurkancana, I Wayan. 1982. Evaluasi Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok : Dasar dan Profil. Prayitno dan ERman Amti. 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : PT. Rineka
Cipta. Rahman. 2003. Pemahaman Tingkah Laku manusia. Jakarta: Rineka Cipta. Rahmat Hidayat, Dede. 2011.Penelitian Tindakan Bimbingan Konseling. Jakarta; PT Indeks. Reni Akbar dan Hawadi. 1986. Perilaku Manusia dan Pembentukannya. Jakarta: Rineka Cipta Rusmana, Nandang. 2009. Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah. Bandung: Rizqi
Press
Setiadi, Nugroho J. 2003. Perilaku Konsumen, Konsep dan Implikasi Untuk Strategi dan Penelitian Pemasaran. Jakarta : Kencana.
Soegeng. 1993. Pembentukan Disiplin pada Anak. Jakarta: Rizqi Press
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta. Sukardi, Dewa Ketut. 2003. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di
Sekolah. Jakarta : Rineka Cipta. Surya, Mohammad. 2004. Psikologi Konseling. Bandung : CV. Pustaka Bani Quraisy. Suryabrata. 2006. Penelitian pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional Sutisna. 1989. Rahasia Sukses Belajar. Jakarta: rineka Cipta Syaiful Bahri Djamarah. 2008. Rahasia sukses belajar. Jakarta: Rinekacipta Tu’u, Tulus. 2004. Peran Disiplin Pada Perilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta : Grasindo. Wardhani. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Universitas Terbuka.
Kesantunan Tuturan dalam Pilihan Kode Bahasa Siswa di SMA Negeri 1 Ubud Ditinjau dari Perspektif Gender:
Sebuah Kajian Sosiopragmatik
oleh
I Kadek Adhi Dwipayana
ABSTRACT
This research uses descriptive qualitative design with the aim of describing (1) the form of the
speechpoliteness in language code choiceon female students,(2) the form of the speechpoliteness in language code choice on male students, (3) the speech politeness strategies in language code choice on female students, and (4) the speech politeness strategies in language code choice on male studentsat SMAN 1 Ubud. The sources of the data in this study were students of SMAN 1 Ubud.
The sources of the data in this study were students of SMAN 1 Ubud. The methods used to collect the data are observation and interview methods. The data analyze is done by a few steps, namely data reduction, data presentation, and conclusions.
The results of this research showed that the data of 37 female studentsspeech,the percentage of their speech politeness is 75.7% and 25.3% their speech were not polite. Whereas, the data of 44 male students speech, the percentage of their speech politeness by is 61.4% and 38.6% their speech were not polite. Based on the percentage above, female students are more polite than male students in the school. The use of politeness strategies between male and female students are different, male students are more inclined to use positive politeness strategy while female students inclined to use negative politeness strategy to speak.
The school should educate students to become well-mannered students, both in attitude and in speak. Politeness is to create harmony and avoid conflict in speak.
Key words: politeness, language code, gender, sociopragmatic PENDAHULUAN
Dalam masyarakat multilingual, peranan bahasa dalam kehidupan sangatlah vital, baik dalam kehidupan yang sifatnya individu maupun kelompok. Bahasa pada umumnya difungsikan sebagai sarana komunikasi yang digunakan oleh anggota kelompok masyarakat atau komunitas tertentu dalam bekerja sama, berpikir, berinteraksi, mengklasifikasikan sesuatu, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 2011). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa tidak hanya sebagai gejala individual, tetapi juga gejala sosial. Sebagai gejala sosial, bahasa sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan situasional dalam pemakaiannya. Hal inilah yang memungkinkan masyarakat penutur yang berada dalam lingkungan masyarakat multilingual memilih kode bahasa sesuai dengan faktor-faktor sosial petutur/ lawan tutur (status sosial, kelas sosial, usia, dan gender) maupun situasional (waktu, tempat, dan situasi) dalam interaksi komunikasi.
Pemilihan kode bahasa dalam bertutur sangat penting dilakukan dalam masyarakat yang memiliki keragaman lingual (multilingual) seperti di Indonesia. Kiranya tidak ada seorang pun masyarakat di Indonesia yang hanya memiliki satu kode bahasa dalam repertoir-nya (Chaer dan Agustina, 1995:85). Setiap etnik ataupun suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan atau keunikan tersendiri dalam berbahasa. Keragaman sosial, baik etnis, status sosial, kelas sosial, maupun lapangan pekerjaannya dalam masyarakat sangat mempengaruhi cara berkomunikasi masyarakat (Sumarsono, 2008). Untuk membangun interaksi sosial menjadi cukup lancar, seorang penutur akan berusaha menerapkan kemampuan integrasi sosial dengan kelompok masyarakat di mana ia tinggal. Tingkat integrasi sosial dan psikologis seseorang diasumsikan cukup menentukan cepat tidaknya ia melakukan akomodasi sosial, termasuk akomodasi berbahasa. Asumsi ini didasarkan pada realitas
bahwa keluwesan seseorang dalam pergaulan akan banyak menentukan cepat tidaknya ia diterima oleh lawan bicaranya. Yang kerap terjadi, bahkan seseorang akan senantiasa terlibat dalam aktivitas pemilihan bahasa, dialek, atau ragam bahasa dalam satu bahasa tertentu. Dengan demikian, aktivitas pemilihan kode bahasa dalam bertutur akan meminimalisasi kesenjangan komunikasi yang terjadi antarmasyarakat yang berbeda etnik, status sosial, maupun kelas sosial.
Pemilihan kode bahasa juga kerap terjadi di sekolah, khususnya di SMAN 1 Ubud. Pemilihan kode bahasa ini dilakukan oleh siswa dalam interaksi antarindividu di sekolah. Timbulnya pemilihan kode bahasa dalam interaksi di sekolah disebabkan oleh terjadinya kontak bahasa, sosial, dan budaya masing-masing siswa sehingga tumbuh kelompok siswa yang memiliki kemampuan untuk memilih kode bahasa dalam peristiwa tertentu, baik mempertahankan bahasa pertama maupun melakukan pergeseran bahasa ke bahasa baru atau mencampurkan bahasa pertama dengan bahasa baru. Kemampuan siswa memilih kode bahasa yang sesuai dengan faktor-faktor sosial dan situasional dalam interaksi di sekolah akan menjadikan mereka seorang bilingualis. Seorang siswa yang bilingualis akan memiliki kemahiran menggunakan kemampuan untuk melakukan pilihan bentuk-bentuk bahasa yang tepat saat berkomunikasi dengan guru, orang tua, maupun teman sebayanya.
Perlu juga disadari bahwa dalam menjalin hubungan interaksi komunikasi di sekolah, seorang siswa tidak hanya semata-mata melakukan pilihan bahasa tetapi juga merangkai bahasanya agar sesuai dengan etika berbahasa yang berlaku di masyarakat. Hal ini mereka lakukan karena sebagai sebuah sarana interaksi sosial antarindividu yang diikat oleh faktor ekstralinguistik (sosial dan situasional), bahasa dalam pemakainnya juga dibatasi oleh kaidah atau aturan supaya bahasa tidak digunakan secara menyimpang (Wijana, 1996:64). Aturan dan kaidah ini biasanya bersifat konvensi penuturnya sehingga tidak semua orang semena-mena bisa menuturkan bahasa dengan sistem dan etika yang tidak benar. Penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah lingusitik ataupun ekstralinguistik yang mengatur dan memengaruhi penggunaan pilihan kode bahasa dalam interaksi sosial, sehingga seorang siswa harus memilih peranti-peranti
retoris yang tepat dalam bertutur agar tidak menyinggung dan melukai perasaan mitra tutur (Alan dan Wijana, 2004).
Kemampuan bertutur secara santun dapat dipandang sebagai suatu kebutuhan dalam komunikasi. Hal itu disebabkan oleh hampir dalam setiap sendi-sendi kehidupan membutuhkan kemampuan bertutur secara santun. Tak hayal dalam realitas interaksi sosial antarindividu, ada kalanya siswa menata pilihan kode bahasanya menjadi halus agar tercipta hubungan yang harmonis, nyaman, saling pengertian, dan tercipta kedamaian. Kesantunan tuturan akan mengatur apa yang harus dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu kepada mitra tutur tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah kesantunan yang berlaku di masyarakat, khususnya di lingkungan sekolah memengaruhi pilihan kode bahasa siswa dalam bertutur.
Kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa dapat dikatakan termasuk dalam bidang seni. Seni (art) yang dimaksud adalah suatu keterampilan, yakni keterampilan memilih kode bahasa yang tepat sesuai dengan kaidah-kaidah bertutur untuk menciptakan tuturan yang santun agar tujuan akhir suatu tindakan komunikasi dapat tercapai. Dalam suatu interaksi komunikasi, siswa dituntut mampu menghargai dan menghormati lawan tuturnya dengan kata-kata yang sepantasnya dikatakan. Dalam hal ini, siswa memilih simbol-simbol bahasa dan gerakan yang membuat lawan tutur merasa nyaman untuk menghayati pikiran dan perasaan penutur sehingga arah atau tujuan tuturan dapat tercapai dengan baik.
Secara sosial dalam praktik komunikasi, masing-masing siswa laki-laki dan perempuan memiliki karaktersitik berbeda-beda menggunakan kesantunan dalam pilihan kode bahasa. Perbedaan tersebut muncul dari pandangan yang secara sosial membedakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat. Pandangan tersebut disebut dengan istilah gender. Gender adalah konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan laki-laki dan perempuan. Perbedaan kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa berdasarkan perspektif gender timbul karena bahasa sebagai gejala sosial erat
hubungannya dengan sikap sosial. “Secara sosial pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka dan masyarakat mengaharapkan pola tingkah laku yang berbeda pula” (Sumarsono, 2008). Kenyataan ini dicerminkan melalui perbedaan penggunaan kesantunan dalam pilihan kode bahasa saat bertutur.
Perempuan sebagai kaum marginal dalam status sosial masyarakat dituntut memberikan rasa hormat terhadap kaum laki-laki. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memnghormati seseorang, khususnya laki-laki adalah dengan menggunakan bahasa yang santun saat bertutur. Berbeda halnya dengan perempuan, laki-laki dalam bertutur lebih menonjolkan identitasnya sebagai kaum yang superior dibandingkan dengan kaum perempuan, sehingga tuturan kaum laki-laki mengandung kejantanan, ketangguhan, dan kekuatan untuk menguasai. Ketangguhan dan kejantanan tuturan laki-laki ditunjukkan dari sikap penutur laki-laki yang selalu ingin mendominasi tuturan, topik tuturan, dan menginterupsi. Sedangkan kaum perempuan, selalu berusaha menjaga sikap dengan memperhatikan tuturannya agar tidak terjadi konflik saat bertutur.
Pandangan yang mengakar tentang perbedaan peranan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat juga memengaruhi penggunaan kesantunan dalam pilihan kode bahasa siswa di sekolah. Pandangan tersebut telah mendoktrin pikiran siswa bahwa antara laki-laki dan perempuan harus berbeda dalam hal menggunakan kesantunan dalam berbahasa. Dalam praktik komunikasi di sekolah, akan dijumpai perbedaan kesantunan dalam pilihan kode bahasa yang sangat kentara antara siswa laki-laki dan perempuan. Perangai lembut yang disematkan kepada kaum perempuan juga akan tercermin dalam kesantunan berbahasa siswa perempuan di sekolah. Begitu juga sebaliknya, kaum laki-laki yang digambarkan dengan perangai yang kuat dan gagah juga akan tercermin pada penggunaan kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa laki-laki di sekolah.
Pemilihan SMAN 1 Ubud sebagai latar penelitian didasari atas pandangan dan pertimbangan secara subjektivitas bahwa sekolah bersangkutan layak digunakan sebagai latar penelitian dengan berbagai persyaratan
yang telah dipenuhi untuk kepentingan memperoleh data. Persyaratan yang paling mendasar adalah latar belakang siswa yang bersekolah di sekolah tersebut bersifat heterogen. Artinya siswa di sekolah yang bersangkutan terdiri atas etnik maupun latar kelas sosial yang berbeda. Latar kelas sosial yang dimaksud adalah pengklasifikasian masyarakat Bali berdasarkan kelas sosial tinggi atau kasta tinggi, yaitu golongan triwangsa (brahmana, kesatria, dan weisa) dan berkasta rendah atau jaba (sudra). Dengan demikian penelitian di SMAN 1 Ubud ini bertujuan untuk memaparkan (1) wujud kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa perempuan, (2) wujud kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa laki-laki, (3) strategi kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa perempuan, dan (4) strategi kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa laki-laki di SMAN 1 Ubud. METODE PENELITIAN
Penelitian terhadap kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa di komunitas SMAN 1 Ubud beranjak dari pendekatan fungsional terhadap bahasa. Dalam hal ini, kesantunan tuturan siswa dalam pilihan kode bahasa dapat dikatakan sebagai tindakan tuturan dalam masyarakat yang dilatari oleh faktor ekstralinguistik, yang meliputi faktor sosial (status sosial, kelas sosial, usia, norma budaya, gender dan sebagainya) dan faktor situasional (tempat, waktu, situasi, dan kondisi) dalam masyarakat tutur yang multilingual/ bilingual. Beranjak dari pandangan tersebut, penelitian ini dikatakan sebagai penelitian fenomena sosial yang tergolong ke dalam penelitian deskriptif kualitatif. Karena tergolong ke dalam penelitian jenis kualitatif, penelitian ini mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) kontekstual, penelitian dilakukan dalam konteks kehidupan lingkungan sekolah dan tindakan normal subjek, (2) jujur, menghindari tindakan memanipulasi data, (3) kolaboratif, melibatkan partisipan subjek dan triangulasi pakar di dalam penyimpulan data, (4) interpretatif, menggunakan analisis berdasarkan pandangan dan referensi yang relevan, bukan analisis statistik, (5) interaktif, memiliki keterkaitan antara masalah penelitian, pengumpulan data, dan interpretasi data, dan (6) peneliti sebagai human instrument / instrumen kunci, peneliti bertugas pengumpulkan data, menyeleksi data,
dan menafsirkan data. Data yang ingin peneliti deskripsikan dalam penelitian ini adalah kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa ditinjau dari perspektif gender, sehingga dapat dikatakan bahwa sumber data penelitian melekat pada siswa perempuan dan laki-laki. Data dalam penelitian ini adalah tuturan yang bersumber dari siswa yang berperan sebagai penutur maupun mitra tutur dalam peristiwa komunikasi di SMAN 1 Ubud.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi dan wawancara. Alasan peneliti menggunakan metode tersebut, karena penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang hanya menggambarkan dan menginterpretasikan suatu objek. Metode observasi digunakan untuk memperoleh data mengenai, wujud kesantunan tuturan siswa perempuan, wujud kesantunan tuturan siswa laki-laki, strategi penyampaian kesantunan tuturan siswa perempuan, dan strategi penyampaian kesantunan tuturan siswa laki-laki di komunitas SMA Negeri 1 Ubud. Dalam pengimplementasian metode observasi, digunakan juga teknik perekaman. Teknik perekaman ini digunakan untuk melengkapi data yang tidak diperoleh dari pengamatan secara langsung. Selain itu, teknik perekaman digunakan untuk menghindari kelalian dalam mencatat kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa. Metode observasi yang peneliti gunakan adalah metode observasi partisipasi pasif. Dalam hal ini, peneliti tidak terlibat langsung dalam kegiatan tuturan siswa, tetapi peneliti cukup melakukan pengamatan dan melakukan pencatatan tentang kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa dan situasi yang melingkupi tuturan (konteks) pada lembar observasi yang sudah disiapkan. Dengan teknik tersebut, akan diperoleh data berupa hasil catatan lapangan dan rekaman tentang keadaan dan situasi tuturan senyatanya (konteks yang melingkupi tuturan antara penutur dengan mitra tutur), sehingga tuturan yang diperoleh masih alami (natural) tanpa adanya pengaruh dari pihak ketiga (peneliti). Sedangkan, metode wawancara digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh data yang luput dari pengamatan dan perekaman. Sebab, melakukan penelitian yang berkaitan dengan displin ilmu pragmatik, khususnya kesantunan tuturan tidak akan pernah lepas dengan adanya konteks yang melingkupi suatu tuturan. Konteks tersebut dapat berupa alasan atau tujuan siswa bertutur
dengan bahasa yang santun dalam pillihan kode bahasa, serta aspek-aspek lainnya, seperti aspek sosial dan situasional yang berpengaruh terhadap tuturan yang disampaikan. Konteks tersebut tentunya tidak bisa ditangkap/ direkam melalui tape recorder. Oleh karena itu, diperlukanlah metode wawancara untuk menjaring data, seperti alasan atau tujuan siswa bertutur dengan bahasa yang santun dalam pillihan kode bahasa, serta aspek-aspek lainnya yang peneliti temukan dalam tuturan siswa di SMA Negeri 1 Ubud. Hal ini dilakukan agar peneliti mengetahui penggunaan kesantunan dalam pilihan kode bahasa disengaja atau memang terjadi secara natural.
Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah menganalisis data. Analisis data merupakan suatu proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data dengan cara mengorganisasikan ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola, kemudian memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, selanjutnya membuat simpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Ada tiga langkah yang dilakukan dalam menganalisis data kualitatif. Ketiga langkah yang dimaksud, yaitu (1) reduksi data, (2) penyajian data, (3) penarikan simpulan.
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus permasalahan penelitian dan data yang kurang penting disisihkan. Data yang kurang penting dipertimbangkan lagi bila diperlukan. Dalam reduksi data ini, peneliti terlebih dahulu mengumpulkan data melalui chek list dan perekaman. Reduksi dilakukan melalui kegiatan yang berupa pengidentifikasian dan pengklasifikasian data. Data berupa kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa yang telah ditranskripsikan dari hasil check list dan rekaman (tape recorder), diidentifikasi dan ditentukan tuturan yang mengandung kesantunan. Pengidentifikasian data dilakukan dengan memperhatikan makna tuturan secara linguistik mapun nonlinguistik. Selanjutnya, data yang terkumpul diberi kode dan dikelompokkan berdasarkan masing-masing gender. Setelah melalui tahap pengidentifikasian, selanjutnya data penggunaan tuturan siswa ditata dan diklasifikasikan sesuai dengan masalah yang dikaji, yaitu kesantunan bentuk tuturan siswa
perempuan, kesantunan bentuk tuturan siswa laki-laki, strategi penyampaian tuturan siswa perempuan, dan strategi penyampaian tuturan siswa laki-laki di komunitas SMA Negeri 1 Ubud. Setelah diklasifikasikan, kemudian data dianalisis atau ditafsirkan. Penafsiran data dilakukan dengan menggunakan teori berupa sosiolinguistik termasuk etnografi komunikasi dengan melibatkan ilmu pragmatik. Data kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa perempuan dan laki-laki yang sudah dianalisis atau ditafsirkan, kemudian dikomparatifkan
Tahap selanjutnya, yaitu penyajian data. Setelah data digolongkan sesuai dengan rumusan masalah, data diolah dan disajikan untuk memperoleh jawaban yang tepat dan sesuai dengan rumusan masalah, sehingga data tersebut dapat menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Data-data yang telah direduksi akan disajikan uraian data yang nantinya akan digambarkan secara rinci dan jelas. Dalam penyajian data ini, data yang didapat akan dihubungkan dengan teori-teori yang relevan yang nantinya akan dapat menjawab permasalahan yang ingin dipecahkan. Langkah terakhir adalah penarikan simpulan. Untuk mengetahui keakuratan penelitian, penyimpulan sangat penting dilakukan. Penyimpulan yang dilakukan harus dapat menjawab semua masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut, sehingga hasil akhirnya nanti akan diperoleh informasi mengenai kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa di SMAN 1 Ubud ditinjau dari perspektif gender.
Pengujian keabsahan data dalam penelitian ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan atau validitas data sehingga tingkat kepercayaan temuan dapat dicapai. Hal itu dikarenakan, peneliti bertindak sebagai instrumen utama atau instrumen kunci, sehingga ada kemungkinan unsur subjektivitas membiaskan data penelitian. Apabila unsur subjektivitas memasuki data penelitian maka data tersebut bisa dikatakan tidak sahih atau valid. Oleh karena itu, untuk menekan dan meminimalisasi unsur subjektivitas yang sewaktu-waktu bisa muncul, peneliti perlu melakukan perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, pengecekan teman sejawat, dan kecukupan referensi.
Pertama, peneliti melakukan pengujian keabsahan data dengan memperpanjangan
keikutsertaan. Data tersebut diidentifikasi lebih lanjut dan diinterpretasikan agar diperoleh data yang lebih valid. Kedua, peneliti melakukan pengecekan keabsahan data dengan ketekunan pengamatan. Data diamati dan dibaca secara cermat data berupa kesantunan tuturan siswa, catatan lapangan, hasil perekaman, dan hasil wawancara yang telah terkumpul sehingga data yang diperlukan dapat diidentifikasi dan diklasifikasikan. Ketiga, melakukan triangulasi terhadap metode penelitian. Dalam hal ini, peneliti mencermati kembali prosedur penelitian yang digunakan, membandingkan dengan metode penelitian sejenis yang sudah ada. Keempat, peneliti melakukan triangulasi terhadap sumber-sumber/ teori yang relevan. Dalam hal ini, peneliti membaca atau menelaah sumber-sumber pustaka yang relevan dengan masalah penelitian secara berulang-ulang agar diperoleh pemahaman yang memadai. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian meliputi (1) wujud kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa perempuan, (2) wujud kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa laki-laki, (3) strategi kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa perempuan, dan (4) strategi kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa laki-laki di SMAN 1 Ubud.
Wujud kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa di SMAN 1 Ubud ditinjau dari perspektif gender menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kesantunan tuturan antara siswa perempuan dengan laki-laki. Siswa perempuan lebih santun dibandingkan dengan siswa laki-laki saat bertutur. Perbedaan tingkat kesantunan antara siswa laki-laki dan perempuan dalam bertutur disebabkan oleh adanya pandangan yang menyatakan bahwa kedudukan antara laki-laki dan perempuan berbeda secara sosial. Konsep gender yang mengakar di masyarakat telah menyugesti pikiran mereka bahwa mereka harus bertutur sesuai dengan kedudukan masing-masing di masyarakat. Di masyarakat kedudukan laki-laki dianggap lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan perempuan. Oleh karena itu, perempuan dituntut berprilaku lebih sopan dan santun dalam berbagai hal, termasuk saat bertutur. Hal ini dikarenakan secara sosial perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah lembut, sehingga dalam bertutur pun
perempuan harus menunjukkan kelembutannya melalui perantara tuturan yang santun. Elyan (dalam Sumarsono, 2011) yang menyatakan bahwa kecenderungan perempuan lebih sadar akan kedudukannya daripada laki-laki sehingga ia lebih selektif dalam menggunakan pilihan kode bahasa saat bertutur. Kaum perempuan secara konsekuen menggunakan bentuk-bentuk yang lebih mendekati bentuk-bentuk ragam baku atau logat dengan prestise tinggi dibandingkan dengan bentuk-bentuk yang digunakan pria. Lakoff (dalam Wardhaugh, 2006) lebih lanjut menambahkan bahwa bahasa kaum perempuan bersifat intuitif penuh pertimbangan. Kata, bunyi dan tata kalimat pada bahasa dan kaum wanita memberi sumbangan cukup besar dalam membangun gaya dalam berkomunikasi yang lebih santun.
Berbeda dengan perempuan, tuturan siswa laki-laki lebih banyak dipengaruhi oleh sifat kemaskulinan yang melekat dalam dirinya, sehingga tuturan yang disampaikan oleh laki-laki cenderung mendominasi topik, agresif, dan aktif. Keagresifan laki-laki tersebut dapat berimplikasi pada penyimpangan terhadap teori kesantunan dalam bertutur. Laki-laki cenderung bertutur secara terbuka atau blak-blakan dan kadang-kadang tanpa memperhatikan norma-norma yang berlaku. Kenyataan tersebut didukung oleh pandangan yang disampaikan oleh Elyan (dalam Sumarsono, 2011) yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki tingkat emosional yang lebih tinggi di dalam bertutur dibandingkan dengan siswa perempuan. Hal tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa laki-laki mengaku dirinya memiliki power dan kedudukan yang lebih baik dibandingkan dengan perempuan jika dilihat secara sosial dalam masyarakat. Dalam beberapa kesempatan, laki-laki akan menunjukkan kekuatan (power) serta dominasinya dalam bertutur, sehingga hal tersebut memungkinkan terjadinya penyimpangan dalam penggunaan bahasa. Sebagai konsekuensinya perempuan lebih teliti dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang prestigious untuk menjaga diri dalam
hubungannya dengan orang yang lebih kuat karena perempuan relatif memiliki kekuatan yang lebih lemah daripada laki-laki. Lakoff (dalam Wardhaugh, 2006) menyatakan bahwa laki-laki dipandang sebagai kaum yang jantan dan bertugas sebagai pekerja. Pekerja diorientasikan sebagai tugas yang keras sehingga mengakibatkan kaum laki-laki cenderung lebih menyukai bentuk bahasa yang kasar atau nonbaku (menyimpang dari yang baik).
Perbedaan perilaku bertutur antara laki-laki dan perempuan di atas masih relatif dan tidak permanen, sehingga ada sejumlah perilaku yang bertukar atau terbalik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam suatu kejadian ada beberapa perilaku siswa perempuan dalam bertutur menyerupai siswa laki-laki, seperti terlihat agak agresif, mendominasi topik dibandingkan dengan mitra tuturnya, dan menggunakan nada suara yang kencang/ keras saat bertutur, sehingga memperlihatkan ketidaksantunan dalam bertutur. Hal sebaliknya juga terjadi pada perilaku berbahasa siswa laki-laki, ada beberapa siswa laki-laki yang menunjukkan nilai rasa yang lebih baik dalam bertutur dibandingkan dengan siswa perempuan. Wardhaugh (2006) menyatakan bahwa jika dilihat secara sosial kejadian tertukarnya perilaku bertutur antara siswa laki-laki dan perempuan bukan merupakan suatu hal yang tabu. Adanya perilaku yang terbalik antara laki-laki dan perempuan dalam bertutur mungkin saja disebabkan oleh faktor didikan yang diperoleh individu dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Wardhaugh (2006) juga menambahkan bahwa pergaulan anak/ individu juga sangat mempengaruhi perilaku bertutur dalam aktivitas sehari-hari. Pengaruh pergaulan dapat menyebabkan pola pikir individu berubah, sehingga berimplikasi juga pada perilaku berbahasa. Berikut ini perbandingan wujud kesantunan siswa laki-laki dan perempuan yang disajikan dengan tabel.
Tabel 0.1 Wujud Kesantunan Tuturan dalam Pilihan Kode Bahasa Siswa Perempuan di SMA
Negeri 1 Ubud
No Wujud Kesantunan Tuturan Siswa Perempuan
Jumlah kemunculan
Persentase
1 Kesantunan Penghargaan 8 28,6% 2 Kesantunan Kemurahan Hati 4 13,8%
3 Kesantunan Kerendahan Hati 6 21,4% 4 Kesantunan Kemufakatan 4 13,8% 5 Kesantunan Kesimpatian 4 13,8% 6 Kesantunan Kebijkasanaan 3 10,7% Jumlah 28 100%
Tabel 0.2 Wujud Ketidaksantunan Tuturan Siswa Perempuan di SMA Negeri 1 Ubud
No Tuturan Siswa Perempuan yang tidak santun
Jumlah kemunculan
Persentase
1 Tidak Mengandung Kesantunan Penghargaan
2 22,2%
2 Tidak Mengandung Kesantunan Kemurahan Hati
1 11,1%
3 Tidak Mengandung Kesantunan Kerendahan Hati
2 22,2%
4 Tidak mengandung Kesantunan Kemufakatan
3 33,3%
5 Tidak Mengandung Kesantunan Kesimpatian
1 11,1%
6 Tidak Mengandung Kesantunan Kebijkasanaan
- -
Jumlah 9 100% Dari 37 data yang diperoleh, 75,7% data
tuturan siswa perempuan yang sesuai dengan teori kesantunan, sedangkan 25,3% data tuturan tidak santun/ menyimpang dari teori kesantunan. Tabel di atas menunjukkan, siswa perempuan cenderung lebih menggunakan kesantunan penghargaan saat bertutur. Pemakaian tuturan yang mengandung kesantunan penghargaan merefleksikan bahwa setiap bertutur siswa perempuan selalu berusaha bersikap santun setiap kali mengungkapkan kekagumannya kepada lawan tutur. Dengan kesantunan penghargaan ini, siswa perempuan di SMAN 1 Ubud berupaya meminimalisasi tuturan yang mengandung makna ejekan, mencaci, atau saling merendahkan pihak lain yang dapat menyebabkan konflik interpersonal. Itu artinya, siswa perempuan selalu berusaha menunjukkan sikap ramah dan santun dalam setiap melakukan aktivitas tuturan di sekolah.
Tuturan yang mengandung perhargaan merupakan salah satu sikap seorang penutur menunjukkan rasa hormatnya kepada mitra tutur. Pernyataan tersebut sesuai dengan pandangan Lakoff (dalam Wijana, 1997) yang menyatakan bahwa secara sosial seorang individu kecederungan merasa senang bila secara personal ia sudah dihargai oleh pihak lain, baik dari segi prestasi, kemandirian, usaha/ perjuangan, profesi, dan sebagainya. Seseorang yang sudah merasa dirinya dihargai maka ia
juga akan menaruh simpati kepada orang yang menghargainya sehingga akan tercipta kenyamanan dan keharmonisan dalam bertutur. Secara psikologis, tuturan siswa perempuan yang mengandung kesantunan penghargaan dapat dikatakan sebagai stimulus untuk memperoleh respons berupa keramahan dan penghormatan dari lawan tutur/ petutur.
Selain kesantunan penghargaan, wujud kesantunan tuturan yang juga dominan muncul dalam pilihan kode bahasa siswa perempuan di komunitas SMA Negeri 1 Ubud adalah kesantunan kerendahan hati. Persentase kemunculan wujud kesantunan kerendahan hati dalam tuturan siswa perempuan sebesar 21,4%. Pemakaian kesantunan kerendahan hati merupakan salah satu bukti bahwa perempuan tidak terlalu egoistis dalam bertutur dengan mitra tutur, baik dengan perempuan ataupun laki-laki. Siswa perempuan cenderung merendah dan tidak menunjukkan dominasinya dalam bertutur. Kerendahan hati yang dikemas melalui tuturannya tersebut merupakan sikap kehati-hatiannya agar tidak menyinggung wilayah individual (perasaan) mitra tutur. Dengan kata lain, perempuan cenderung tidak gegabah dan tidak mau blak-blakan (terbuka) dalam bertutur. Hal ini sesuai dengan pandangan Sumarsono (2007:113) yang menyatakan bahwa secara sosial, bahasa/ tuturan perempuan cenderung tertutup, ada hal-hal yang tidak ingin
diungkapkan kepada pihak lain karena perempuan memiliki sensitivitas yang tinggi dan ingin menjaga privasinya. Wardhaugh (2006:326) menyatakan bahwa tuturan perempuan biasanya memiliki karakter yang nonkompetitif dan mementingkan penghormatan dalam tuturannya. Perempuan kerap menunjukkan sisi feminimnya agar lawan tutur bisa mengetahui bahwa perempuan memiliki
kekuatan yang relatif lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dilakukan oleh perempuan agar secara psikologis, ia memperoleh kenyamanan dan perlindungan secara personal. Realita ini menandakan bahwa siswa perempuan tidak ingin menimbulkan konflik dan selalu berusaha meminimalisasi kesalahpahaman yang mungkin terjadi.
Tabel 0.3 Wujud Kesantunan Tuturan dalam Pilihan Kode Bahasa Siswa Laki-laki di SMA Negeri 1 Ubud
No Wujud Kesantunan Tuturan Siswa Laki-laki
Jumlah kemunculan
Persentase
1 Kesantunan Penghargaan 4 14,8% 2 Kesantunan Kemurahan Hati 4 14,8% 3 Kesantunan Kerendahan Hati 3 11,1% 4 Kesantunan Kemufakatan 8 29,6% 5 Kesantunan Kesimpatian 6 22,2% 6 Kesantunan Kebijkasanaan 2 7,4% Jumlah 27 100%
Tabel 0.4 Wujud Ketidaksantunan Tuturan Siswa Laki-laki di SMA Negeri 1 Ubud
No Tuturan Siswa Laki-laki yang tidak santun
Jumlah kemunculan
Persentase
1 Tidak Mengandung Kesantunan Penghargaan
3 17,6%
2 Tidak Mengandung Kesantunan Kemurahan Hati
2 11,8%
3 Tidak Mengandung Kesantunan Kerendahan Hati
5 29,4%
4 Tidak mengandung Kesantunan Kemufakatan
4 23,5%
5 Tidak Mengandung Kesantunan Kesimpatian
1 5,9%
6 Tidak Mengandung Kesantunan Kebijkasanaan
2 11,8%
Jumlah 17 100%
Dari 44 data yang diperoleh, 61,4% data tuturan siswa laki-laki yang sesuai dengan teori kesantunan, sedangkan 38,6% data tuturan yang tidak santun/ menyimpang dari teori kesantunan. Dibandingkan dengan tuturan perempuan, presentase penyimpangan kesantunan yang dilakukan oleh siswa laki-laki lebih tinggi. Meskipun demikian, bukan berarti tuturan siswa laki-laki tidak ada yang santun. Berdasarkan penelitian di SMAN 1 Ubud tuturan siswa laki-laki juga ada yang santun sama halnya dengan tuturan siswa perempuan. Wujud kesantunan yang sering muncul dalam tuturan siswa laki-
laki adalah kesantunan kemufakatan/ kecocokan.
Penggunaan kesantunan kemufakatan/ kecocokan dalam tuturan siswa laki-laki menunjukkan bahwa siswa laki-laki berusaha memelihara kesepakatan antara pihak lain/ mitra tutur dalam upaya menciptakan kesepahaman komunikasi. Kesantunan kemufakatan/ kecocokan digunakan ketika siswa laki-laki ingin menonjolkan nilai-nilai kekerabatannya kepada mitra tutur. Siswa laki-laki akan selalu menghormati pendapat atau pandangan kerabat/ teman dekatnya dengan cara menunjukkan kesepakatan/ kemufakatannya (power
relationship). Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa orang akan merasa senang dan diperlakukan secara terhormat apabila setiap tuturannya disepakati.
Selain kesantunan kemufakatan, wujud kesantunan yang juga dominan muncul dalam tuturan siswa laki-laki adalah kesantunan kesimpatian. Persentase kemunculan wujud kesantunan kesimpatian dalam tuturan siswa laki-laki sebesar 22,2%. Kesantunan kesimpatian kerap digunakan oleh siswa laki-laki saat menunjukkan perhatiannya kepada mitra tutur, terutama kepada orang yang dekat dengan mereka. Kesantunan ini digunakan sebagai penanda ungkapan kesimpatiannya jika kerabat/ teman dekatnya memperoleh kesuksesan, kebahagiaan, kesusahan, ataupun musibah. Kesantunan kesimpatian juga merupakan implementasi nilai-nilai kekerabatan yang ingin ditunjukkan oleh penutur laki-laki kepada lawan bicaranya. Hal ini sesuai dengan pandangan Wardhaugh (2006:327) yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki jaringan sosial yang lebih luas dibandingkan perempuan sehingga setiap bertutur laki-laki akan selalu memperhatikan hubungan kesewakanan (relationship). Sewaktu-waktu laki-laki juga berusaha memperhatikan hubungannya dengan sesama manusia (horizontal relationship) walaupun kadang-kadang bahasa yang digunakan bermakna kasar.
Hasil penelitian tentang strategi kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa siswa di SMAN 1 Ubud menunjukkan bahwa sebagaian besar siswa laki-laki lebih condong menggunakan strategi kesantunan positif dalam bertutur. Sebaliknya, siswa perempuan cenderung memilih menggunakan strategi kesantunan negatif. Hasil rekapitulasi mengenai data strategi kesantunan dalam pilihan kode bahasa siswa di SMAN 1 Ubud memperlihatkan bahwa dari 35 data strategi kesantunan siswa laki-laki, sebanyak 65,7% data yang menggunakan strategi kesantunan positif dan 34,3% data yang menggunakan strategi kesantunan negatif. Sedangkan, dari 27 strategi kesantunan tuturan perempuan, 66,7% data tuturan yang menggunakan strategi kesantunan negatif dan 33,3% data yang menggunakan strategi kesantunan positif. Perlu ditekankan di sini bahwa yang dimaksud dengan strategi kesantunan positif dan negatif menurut Brown dan Levisnon adalah cara yang dipergunakan siswa untuk menjaga “wajah” atau citra diri (self
image) lawan tuturnya. Bila strategi kesantunan positif digunakan oleh siswa itu artinya mereka berusaha menjalin kesolidaritasan. Sedangkan, bila seorang siswa menggunakan strategi kesantunan negatif itu berarti mereka berkeinginan untuk tetap menjaga jarak, tidak diserang, diejek, dan dihina oleh lawan tuturnya.
Strategi kesantunan positif yang digunakan oleh siswa laki-laki didasari atas penghormatan “wajah” atau citra diri lawan tutur berdasarkan nilai-nilai kesolidaritasan atau kesekawanan. Pemakaian strategi kesantunan positif dalam tuturan siswa laki-laki ini ditandai dengan pemakaian variasi kode bahasa Bali Kepara (bahasa pergaulan pergaulan yang cenderung memiliki tingkat kesantunan rendah) dalam bertutur dengan lawan tuturnya. Pemakaian bahasa Bali Kepara (bahasa pergaulan yang cenderung memiliki tingkat kesantunan yang rendah) oleh siswa laki-laki saat bertutur dengan lawan tuturannya tidak bisa langsung dikatakan bahwa tuturan yang disampaikan itu tidak sopan. Bila dilihat dari perspektif strategi kesantunan positif adalah suatu hal yang wajar apabila seorang teman akrab menggunakan pilihan kode bahasa yang memiliki tingkat kehalusannya rendah (kasar). Dari perspektif strategi kesantunan positif cara bertutur semacam itu adalah semata-mata untuk membangun dan menunjukkan kedekatan jarak sosial antara penutur (siswa) dan mitra tutur. Hal ini sesuai dengan pandangan Yule (2006:111) yang menyatakan bahwa pemakaian strategi kesantunan positif mengarahkan pemohon untuk menarik tujuan umum dan bahkan persahabatan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang berisikan basa-basi dan penggunaan kata-kata nonstandar. Yule (2006:114) menambahkan bahwa strategi kesantuann positif yang ia sebut juga dengan strategi kesantunan kesetiakawanan mungkin strategi yang menerapkan prinsip dalam kelompok secara keseluruhan atau mungkin hanya sebagai suatu pilihan yang dipakai oleh seorang penutur secara individu pada kejadian tertentu yang melibatkan informasi seseorang, penggunaan nama panggilan, bahkan kadang-kadang istilah-istilah kasar (khususnya di antara kaum pria), dan dialek yang dimiliki bersama atau ungkapan-ungkapan kasar lainnya.
Siswa laki-laki apabila bertutur dengan teman akrabanya akan cenderung menggunakan strategi kesantunan positif dengan pemakaian kode bahasa Bali Kepara (bahasa pergaulan
yang memiliki tingkat kesantunan rendah). Namun, perlu diketahui bahwa strategi kesantunan positif ini digunakan apabila hanya bertutur dengan teman akrab yang memiliki tingkatan sosial yang sama. Misalnya, siswa yang berkasta Sudra bertutur dengan siswa yang berkasta Sudra. Bila seorang penutur laki-laki bertutur dengan teman akrab yang memiliki kelas sosial yang lebih tinggi, ia akan memilih menggunakan strategi kesantunan negatif. Kenyataan ini sesuai dengan pandangan Brown dan Levison (dalam Wijana, 1996:65) yang menyatakan bahwa seorang penutur dalam menggunakan strategi kesantunan selalu diikat oleh faktor-faktor sosial. Faktor-faktor tersebut mengharuskan seorang penutur menggunakan empat strategi dasar dalam bertutur, strategi (1) pilihan kode bahasa kurang sopan (kasar) digunakan kepada teman akrab, (2) agak sopan digunakan kepada teman yang tidak (belum) akrab, (3) lebih sopan digunakan kepada orang yang belum dikenal, dan (4) paling sopan digunakan kepada orang yang berstatus/ kelas sosial lebih tinggi. Bahasa Bali, salah satu bahasa utama di Indonesia, merupakan sebuah bahasa, di mana seperti dikatakan Greertz (dalam Wardhaugh, 2006:293) nyaris tidak mungkin mengatakan sesuatu tanpa menunjukkan hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur dalam pengertian status dan keakraban. Sebelum orang Bali berbicara kepada orang lain, dia harus memutuskan style/ gaya bertutur yang tepat; tinggi, sedang, atau rendah. Hal ini yang juga dialami oleh siswa laki-laki saat memutuskan untuk menggunakan strategi kesantunan dalam tuturannya tersebut.
Berbeda dengan strategi kesantunan yang digunakan oleh siswa laki-laki, strategi kesantunan yang dominan digunakan siswa perempuan adalah strategi kesantunan negatif. Kesantuan negatif yang digunakan siswa perempuan ditandai dengan penggunaan pilihan kode bahasa Indonesia standar saat bertutur di komunitas SMAN 1 Ubud. Hal ini sesuai dengan pandangan Sumarsono (2007:113) yang menyatakan bahwa kesantunan berbahasa antara pria dan wanita berbeda, tuturan perempuan bukan hanya berbeda, melainkan juga lebih “benar”. Sumarsono (2007:113) juga menambahkan bahwa fenomena tersebut merupakan pencerminan kenyataan sosial, pada umumnya dari pihak perempuan diharapkan
tingkah laku sosial yang lebih benar. Yang menjadi perhatian siswa perempuan menggunakan strategi kesantunan negatif dalam setiap tuturannya agar dirinya dan lawan tutur tidak sama-sama kehilangan “muka.” Artinya, penutur perempuan ingin menekankan pada hak kebebasan pendengar/ mitra tutur. Hak kebebasan yang dimaksudkan adalah hasrat agar tidak terhalang oleh orang lain dalam berbagai tindakan seseorang, pernyataan dasar atas wilayah, penjagaan personal, hak-hak atas tidak adanya ganggguan kebebasan dari tindakan.
Pemakaian pilihan kode bahasa Indonesia (BI) dalam setiap tuturan siswa perempuan membuktikan bahwa mereka selalu bersikap hati-hati agar tidak menimbulkan miss persepsi dari tuturan yang disampaikan. Pilihan kode bahasa Indonesia mereka gunakan dengan asalan memudahkan mereka untuk berkomunikasi. Bahasa Indonesia bagi siswa perempuan lebih mudah digunakan saat bertutur dibandingkan dengan bahasa Bali karena memiliki kerumitan undak-usuk dalam pemakaiannya. Bahasa Indonesia bagi mereka tidak memiliki tingkatan kehalusan seperti halnya bahasa Bali yang memiliki beberapa variasi, seperti bahasa Alus Singgih, Madya, Mider, dan Sor. Penggunaan strategi kesantunan negatif dalam pilihan kode bahasa Indonesia oleh siswa perempuan menunjukkan bahwa mereka berusaha untuk meminimalisasi kemungkinan kesalahpahaman saat bertutur yang berujung pada konflik. Wardhaugh (2006:327) menyatakan bahwa perempuan lebih teliti dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang lebih prestigious untuk menjaga dirinya dalam hubungannya dengan orang yang lebih kuat karena perempuan relatif memiliki kekuatan lebih lemah dibandingkan laki-laki. Elyan (dalam Sumarsono, 2007:127) juga menyatakan bahwa karakteristik perempuan dalam berbahasa adalah cenderung bersifat androgini (mendua). Perempuan-perempuan ingin maju dan kuat (perkasa) seperti laki-laki, namun tidak mau kehilangan sifat kefeminimannya. Dalam hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri, wanita selalu cenderung mengarah kepada pemakaian bahasa Indonesia. Namun, dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah keluarga ada kecenderungan pada wanita untuk mempertahankan bahasa ibu.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan yang dapat dipetik dalam penelitian ini, yaitu wujud kesantunan tuturan siswa perempuan yang diperoleh di SMAN 1 Ubud sebanyak 37 data. Dari 37 data yang diperoleh, sebanyak 28 (75,7%) data tuturan siswa perempuan yang sesuai dengan teori kesantunan, sedangkan 9 (24,3%) data tuturan tidak santun/ menyimpang dari teori kesantunan. Wujud kesantunan tuturan siswa perempuan yang muncul adalah kesantunan penghargaan, kesantunan kerendahan hati, kesantunan kemurahan hati, kemufakatan, kesimpatian, dan kesantunan kebijaksanaan. Wujud kesantunan yang cenderung digunakan siswa perempuan dalam bertutur di SMAN 1 Ubud adalah kesantunan penghargaan. Dengan kesantunan penghargaan ini, siswa perempuan di SMAN 1 Ubud berupaya meminimalisasi tuturan yang mengandung makna ejekan, mencaci, atau saling merendahkan pihak lain yang dapat menyebabkan konflik interpersonal. Berbeda dengan wujud kesantunan tuturan siswa perempuan, wujud kesantunan tuturan siswa laki-laki yang paling dominan muncul adalah kesantunan kemufakatan/ kecocokan. Penggunaan kesantunan kemufakatan/ kecocokan dalam tuturan siswa laki-laki menunjukkan bahwa siswa laki-laki berusaha memelihara kesepakatan antara pihak lain/ mitra tutur dalam upaya menciptakan kesepahaman komunikasi.
Sebagaian besar siswa laki-laki lebih sering menggunakan strategi kesantunan positif dalam bertutur ketimbang strategi kesantunan negatif. Data statistik mengenai strategi kesantunan dalam pilihan kode bahasa siswa di SMAN 1 Ubud memperlihatkan bahwa dari 35 data strategi kesantunan siswa laki-laki, sebanyak 23 (65,7%) data yang menggunakan strategi kesantunan positif dan sebanyak 12 (34,3%) data yang menggunakan strategi kesantunan negatif. Strategi kesantunan positif yang digunakan oleh siswa laki-laki didasari atas penghormatan “wajah” atau citra diri lawan tutur berdasarkan nilai-nilai kesolidaritasan atau kesekawanan. Sedangkan, strategi kesantunan tuturan dalam pilihan kode bahasa yang dominan digunakan oleh siswa perempuan adalah strategi kesantunan negatif. Dari 37 tuturan siswa perempuan, sebanyak 18 (66,7%) data tuturan yang menggunakan strategi kesantunan negatif dan 9 (33,3%) data yang menggunakan strategi kesantunan positif. Pemakaian pilihan kode bahasa Indonesia (BI)
dalam setiap tuturan siswa perempuan membuktikan bahwa mereka selalu bersikap hati-hati agar tidak menimbulkan miss persepsi dari tuturan yang disampaikannya.
Ada beberapa saran yang disampaikan dalam penelitian ini, (1) pihak sekolah hendaknya lebih mendidik siswanya menjadi siswa yang santun, baik dalam bersikap maupun dalam bertutur sapa. Keterampilan menggunakan bahasa yang santun nantinya akan berimplikasi bagi penciptaan karakter siswa yang baik dan sopan. (2) Guru hendaknya mengintegrasikan ilmu kesantunan dalam kegiatan pembelajaran. Kesantunan akan menjadi “jembatan” penghubung antara guru dan siswa dalam berkomunikasi, sehingga tercipta keselarasan dan keharmonisan hubungan berkomunikasi. (3) Alangkah bijaksana kiranya apabila penelitian mengenai penggunaan bahasa yang santun ini dijadikan sumber atau pedoman bagi mahasiswa calon guru dalam melatih keterampilan bertutur. Kelak, ilmu kesantunan yang dipelajari berguna ketika berhadapan dengan siswa perempuan atau laki-laki baik di luar maupun di dalam pembelajaran. (4) Siswa hendaknya mau belajar tentang penggunaan kesantunan dalam bertutur sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Mempelajari penggunaan bahasa yang santun akan memberikan pengetahuan tentang memilih kode bahasa yang tepat dan sesuai dengan kaidah kesantunan saat bertutur. Dengan demikian, akan tercipta keharmonisan hubungan komunikasi dan kesalahpahaman yang kerap terjadi dalam hubungan komunikasi di sekolah dapat diminimalisasi. (5) Hasil penelitian ini hendaknya dijadikan acuan bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian yang sejenis, sehingga semakin banyak referensi atau informasi yang dimiliki, semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki peneliti lain dalam proses penelitian tentang kesantunan tuturan. DAFTAR PUSTAKA Aziz, Aminudin. 2011. Realisasi Pertuturan
Meminta Maaf dan Berterima Kasih di Kalangan Penutur Bahasa Indonesia: Sebuah Kajian Kesantunan Berbahasa. Laporan Penelitian dalam rangka Proyek DUE-like.
Barisanta, Wayan. 2007. Campur Kode Bahasa
Bali ke dalam Bahasa Indonesia yang Dilakukan Guru dalam PBM di kelas IV
SD N. 3 Pejeng Kawan. Skripsi (tidak diterbitkan). Undiksha.
Ratnaningsih, E. dan Ulul, A. 2014. Variasi
Sosial Pengguna Bahasa (Status Sosial, Gender dan Usia). Yogyakarta: UNY.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995.
Sosiolinguistik (Perkenalan Awal). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dittmar, Norbert. 1976 Sociolinguistiks (terjemahan). London: Edwar Arnold Ibrahim, Syukur. 1990. Sosiolinguistik: Bagian,
Tujuan, Pendekatan, dan Problem. Surabaya: Usaha Nasional.
-------. 1994. Panduan Penelitian Etnografi
Komunikasi. Surabaya: Usaha Nasional. -------. 2005. Kapita Selekta Pragmatik. Malang:
Universitas Negeri Malang. Kartomihardjo, Suseno. 1988. Bahasa Cermin
Kehidupan Masyarakat. Jakarta: P2LPTK.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik:
Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Leech, Geoffrey. 1982. Prinsip-prinsip
Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Putri, Adi Jaya. 2007. Pilihan Kode Masyarakat
Tutur Muslim Pegayaman. Laporan Penelitian. Jurusan Bahasa inggris. Universitas Pendidikan Ganesha.
Tarigan, Guntur. 1990. Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung: Angkasa. Sudiana, I Nyoman. 2007. Retorika (Bertutur Efektif). Sidoarjo. Asri Press. Sukardi. 2004. Metodologi Penelitian
Pendidikan (Kompetensi dan Praktiknya). Jakarta: PT Bumi Aksara.
Sumarsono. 2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda dan Pustaka Belajar. -------. 2009. Buku Ajar Pragmatik. Singaraja:
Universitas Pendidikan Ganesha. Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to
Sociolinguistiks (terjemahan). New York: Basil Blackwell Inc.
Wijana, Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset. Wijana, Putu dan Muhammad Rohmadi. 2011.
Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.
Yule, George. 2006. Pragmatic. Terjemahan
Fajar Wahyuni. Pragmatik. 1996. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
1
EVALUASI PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPETENSI DALAM STUDIO PERANCANGAN ARSITEKTUR
oleh: Nyoman Pertama
Email: [email protected]
ABSTRACT
Learning evaluation of architecture studio as part of curriculum based competency, is integrated activities and not separated in a learning process. The aim of this article is to investigate the principal and competency of architecture studio learning process and try to analyse the form of a learning evaluation which is based a competency intern of concept, aspect and tool of evaluation are applied.
Based on analysing of literatures, in fact, evaluation is not just product oriented but also process oriented, as an effort to monitor the student development both capabilities and mental-soul development. Both has the same important role so that the achievement of competency standard is being entirely completed, is not just measuring the cognitive but also afective and psychomotor behaviors as well.
Moreover, the study shows that the learning evaluation based competency is strongly related to the abilities and capabilities of teaching staff to evaluate both formative and summative function. Formative evaluation is that evaluation is designed and conducted to assess the teaching staff completing learning process as feedback to improve their performance. While, summative evaluation is designed and conducted to collect information about the success of student to achieve the competency, which is expected as the learning goal.
Key words: evaluation, learning, architecture studio, curriculum based competency.
PENDAHULUAN
Isu-isu pergeseran paradigma dalam perkembangan pendidikan arsitektur telah mendorong perlunya dilakukan review terhadap kurikulum dan proses pembelajarannya. Perubahan kurikulum ke kurikulum yang berorientasi pada isi pelajaran (content based curriculum) memiliki konsekuensi terhadap berbagai aspek pembelajaran di suatu mata kuliah (Sagala, 2007). Konsekuensi tersebut bukan hanya pada implementasi atau proses pembelajaran akan tetapi juga pada penetapan keberhasilan. Nampaknya, institusi pendidikan arsitektur harus yakin bahwa kurikulum yang digunakan sebagai dasar mencapai tujuan betul-betul handal dan efektif mencapai tujuan dan kompetensi yang memang relevan dengan isu-isu terkini.
Perubahan paradigma kurikulum tersebut, membawa implikasi terhadap paradigma ke penilaian dengan menggunakan acuan standar dalam semua proses perkuliahan termasuk pembelajaran studio arsitektur. Oleh karena itu, para staf pengajar (dosen) dituntut untuk memiliki pemahaman dan kemampuan yang memadai baik secara konseptual maupun secara pratikal dalam bidang evaluasi pembelajaran untuk menentukan apakah penguasaan kompetensi sebagai tujuan pembelajaran telah berhasil dikuasai atau belum oleh mahasiswa.
Fenomena yang sering terjadi adalah bahwa masih banyak para staf mengajar yang menganggap perubahan kurikulum ke kurikulum berbasis kompetensi hanya perubahan istilah dan nama saja sedangkan materi kuliah dan evaluasi pembelajaran masih sama seperti yang dulu atau dengan kata lain hanya perubahan kulit bukunya saja.
EVALUASI PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPTENSI
2
Sangat ironi memang, apa artinya setiap perubahan kurikulum yang memakan biaya yang tidak sedikit tanpa diimbangi pemahaman oleh setiap pelaku kegiatan akademik mulai dari kompetensi, metode sampai kepada evaluasi pembelajaran.
Ada dua hal penting yang harus dipahami tentang evaluasi pada pembelajaran studio arsitektur berbasis kompetensi. Pertama, evaluasi merupakan kegiatan integral dalam suatu proses pembelajaran. Artinya kegiatan evaluasi ditempatkan sebagai kegiatan yang tidak terpisahkan dalam proses pembelajaran, sebab evalausi dalam konteks KBK bukan hanya berorientasi pada hasil (product oriented) akan tetapi juga pada proses pembelajaran (process oriented), sebagai upaya memantau perkembangan mahasiswa baik perkembangan kemampuan maupun perkembangan mental dan kejiwaan. Kedua, dalam konteks KBK, evaluasi bukan hanya tanggung jawab team teaching (dosen), akan tetapi juga menjadi tanggung jawab mahasiswa. Artinya dalam proses evaluasi mahasiswa dilibatkan oleh dosennya, sehingga mereka memiliki kesadaran pentingnya evaluasi untuk memantau keberhasilannya sendiri dalam proses pembelajaran (self evaluation). Dengan demikian mahasiswa tidak lagi menganggap bahwa evaluasi merupakan suatu beban yang kadang-kadang mengganggu sikap mentalnya. Melalui self evaluation mahasiswa akan menganggap bahwa evaluasi adalah sesuatu yang wajar yang harus dilaksanakan.
PEMBELAJARAN DALAM KBK
Memahami pembelajaran dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), harus mengetahui apa itu kurikulum dan apa itu kurikulum berbasis kompetensi. Menurut Hilda Taba (1962) bahwa kurikulum sebagai suatu rencana atau program belajar, hal dikemukakan sebagai berikut:
”A curriculum is a plan for learning: therefore, what is known about the learning process and the development of the individual has bearing on the shaping of a curriculum”
Sebagai suatu rencana kurikulum bukan hanya berisi tentang program kegiatan, akan tetapi juga berisi tentang tujuan yang harus ditempuh beserta alat evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian tujuan; di samping itu tentu saja berisi tentang alat atau media yang diharapkan dapat menunjang terhadap pencapaian tujuan.
Sedangkan menurut Dokumen Kurikulum 2004 (Depdiknas 2003) dirumuskan bahwa KBK merupakan rencana dan pengetahuan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh mahasiswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar dan pemberdayaan sumber daya pendidikan.
Dari beberapa pendapat diatas bahwa alat evaluasi dan penilaian merupakan bagian yang penting dalam kurikulum berbasis kompetensi sebagai alat untuk menentukan keberhasilan tujuan yang hendak dicapai. Lebih lanjut, untuk melihat bagaimana evaluasi dalam pembelajaran berbasis kompetensi, perlu dipahami lebih awal apa itu pembelajaran dalam KBK dan bagaimana prinsi-prinsip pembelajarannya.
1. Empat Pilar Pembelajaran dalam KBK Kurikulum berbasis komptensi (KBK) berorientasi pada pengalaman belajar sesuai dengan prinsip belajar sepanjang hayat yang mengacu kepada empat pilar pendidikan universal seperti yang dirumuskan Unesco 1996 (dalam Sanjaya, 2006:98) yaitu: (1) learning to know atau learning to learn; (2) learning to do; (3) learning to be; dan (4) learning to live together.
a. Learning to know atau learning to learn, mengandung pengertian bahwa belajar itu pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil belajar, akan tetapi juga harus berorientasi kepada proses belajar. Dengan proses belajar, mahasiswa bukan hanya sadar akan apa yang harus dipelajari akan tetapi juga memiliki kesadaran dan kemampuan bagaimana cara mempelajari yang harus dipelajari itu. Dengan kemampuan itu memungkinkan proses belajar tidak akan berhenti atas terbatas di kampus saja, akan tetapi memungkinkan mahasiswa akan secara terus menerus belajar dan belajar. Inilah hakikat belajar sepanjang hayat (long life learning). Apabila hal ini dimiliki mahasiswa, maka masyarakat belajar (learning society)
3
sebagai salah satu tuntutan masyarakat informasi akan terbentuk. Oleh sebab itu dalam konteks learning to know juga bermakna ”learning to think” atau belajar berpikir, sebab setiap individu akan terus belajar manakala dalam dirinya tumbuh kemampuan dan kemauan untuk berpikir.
b. Learning to do, mengandung pengertian bahwa belajar itu bukan hanya sekadar mendengar dan melihat dengan tujuan akumulasi pengetahuan, akan tetapi belajar untuk berbuat dengan tujuan akhir penguasaan kompetensi yang sangat diperlukan dalam era persaingan global. Kompetensi akan dimiliki manakala anak diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian learning to do juga berarti proses pembelajaran berorientasi kepada pengalaman (learning by experiences).
c. Learning to be, mengandung pengertian bahwa belajar adalah membentuk manusia yang ”menjadi dirinya sendiri”, dengan kata lain belajar untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggung jawab sebagai manusia. Dalam pengertian ini juga terkandung makna kesadaran diri sebagai makhluk yang memiliki tanggung jawab sebagai khalifah serta menyadari akan segala kekurangan dan kelemahannya.
d. Learning to live together, adalah belajar untuk bekerja sama. Hal ini sangat diperlukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam masyarakat global di mana manusia baik secara individual maupun secara kelompok tidak mungkin dapat hidup sendiri atau mengasingkan diri bersama kelompoknya. Dalam konteks ini termasuk juga pembentukan masyarakat demokratis yang memahami dan menyadari akan adanya setiap perbedaan pandangan antara individu.
Dari keempat pilar yang dirumuskan oleh Komisi Pendidikan UNESCO itu, tampak dalam KBK terdapat pergeseran pemaknaan terhadap proses pendidikan dari sekedar mengetahui informasi menjadi proses mencari dan memanfaatkan informasi.
2. Prinsip-prinsip Pembelajaran dalam Konteks KBK Menurut Sanjaya (2006), dalam konteks KBK ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kegiatan pembelajaran yaitu:
a. Berpusat Kepada Mahasiswa (student center). Dalam proses pembelajaran mahasiswa menempati posisi sentral sebagai subyek belajar. Keberhasilan tidak diukur dari sejauh mana materi pelajaran telah disampaikan tetapi sejauh mana mahasiswa telah beraktivitas mencari dan menemukan materi pelajaran sendiri.
b. Belajar dengan Melakukan. Pembelajaran bukan hanya sekedar mendengarkan, mencatat sambil duduk di bangku, akan tetapi belajar adalah proses beraktivitas, belajar adalah berbuat (learning by doing). Melalui aktivitas pengetahuan yang diperoleh akan lebih bermakna sebab didapatkan melalui proses pengalaman belajar, bukan hasil pemberitahuan oleh orang lain.
c. Mengembangkan Kemampuan Sosial. Proses pembelajaran bukan hanya mengembangkan kemampuan intelektual akan tetapi kemampuan sosial. Proses pembelajaran mesti mengembangkan dua sisi ini secara seimbang.
d. Mengembangkan Keingintahuan dan Imajinasi. Proses pembelajaran harus mampu melatih kepekaan dan keingintahuan setiap individu terhadap segala sesuatu yang terjadi. Proses pembelajaran yang dimulai dan didorong oleh rasa ingin tahu, akan lebih bermakna dan bertenaga, dibandingkan dengan proses pembelajaran yang berangkat dari keterpaksaan.
e. Mengembangkan Ketrampilan Pemecahan Masalah. Pembelajaran adalah proses berpikir untuk memecahkan masalah. Pengetahuan yang diperoleh dapat dijadikan sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. Pembelajaran dalam KBK, mengharapkan mahasiswa menjadi manusia kritis yang dapat memecahkan masalah yang dihadapinya, bukan sebagai mahasiswa yang hanya menerima informasi begitu saja tanpa memahami manfaat informasi yang diperolehnya itu.
f. Mengembangkan Kreativitas Mahasiswa. KBK mengharapkan kemampuan penguasaan pengetahuan itu mestinya dapat dijadikan alat untuk mendorong kreativitas mahasiswa. Oleh sebab itu, penguasaan bahan ajar bukan sebagai tujuan akhir dari proses pembelajaran, akan tetapi hanya sebagai tujuan antara saja.
EVALUASI PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPTENSI
4
g. Mengembangkan Kemampuan Menggunakan Ilmu dan Teknologi. Dalam kehidupan globalisasi teknologi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Pendidikan dituntut untuk membekali setiap individu agar mampu memanfaatkan hasil-hasil teknologi, sehingga pengenalan dan pemanfaatan teknologi harus menjadi bagian dalam proses pembelajaran melalui KBK.
h. Menumbuhkan Kesadaran sebagai Warga Negara yang Baik. Salah satu kelemahan pendidikan adalah kelemahan dalam menciptakan para lulusan yang memiliki kesadaran terhadap aturan dan norma kemasyarakatan. Dalam KBK, pembentukan moral menjadi tanggung jawab dalam pembelajaran, setiap dosen memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan manusia yang sadar dan penuh tanggung jawab sebagai warga negara.
i. Belajar Sepanjang Hayat. Kehidupan manusia selalu berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apa yang dipelajari dewasa ini belum tentu relevan dengan keadaan masa yang akan datang. Pembelajaran dalam KBK, bukanlah pembelajaran sesaat, yang terus dilupakan setelah selesai menamatkan suatu jenjang pendidikan. Pembelajaran dalam KBK harus memberikan peluang agar mahasiswa tidak bosan untuk belajar dan belajar.
Sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut di atas terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran agar berlangsung secara efektif, yaitu sebagai berikut:
a. Proses pembelajaran harus memberikan peluang kepada mahasiswa agar mereka secara langsung dapat berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Dengan demikian dosen harus bertindak sebagai pengelola proses belajar, bukan bertindak sebagai sumber belajar.
b. Dosen perlu memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk merefleksi apa yang telah dilakukannya. Dengan demikian pembelajaran bukan hanya mendorong mahasiswa untuk melakukan tindakan saja, akan tetapi menghayati berbagai tindakan yang telah dilakukannya. Hal ini sangat penting baik untuk pembentukan sikap, maupun untuk mencermati berbagai kelemahan dan kekurangan atas segala tindakannya.
c. Proses pembelajaran harus mempertimbangkan perbedaan individual. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa tidak ada manusia yang sama baik dalam minat, bakat maupun kemampuannya. Pembelajaran harus memberikan kesempatan agar mahasiswa dapat berkembang sesuai bakat dan kemampuannya. Dengan demikian mahasiswa yang lambat tidak merasa tergusur oleh mahasiswa yang cepat, sebaliknya mahasiswa yang cepat tidak merasa terhambat oleh yang lambat belajar.
d. Proses pembelajaran harus dapat memupuk kemandirian di samping kerjasama. Artinya dosen dituntut mampu menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan mahasiswa dapat mandiri dan bekerja sama dengan orang lain.
e. Proses pembelajaran harus terjadi dalam iklim yang kondusif baik iklim sosial maupun iklim psikologis. Mahasiswa akan belajar dengan baik manakala terbebas dari berbagai tekanan, baik tekanan sosial maupun tekanan psikologis. Melalui iklim belajar yang demikian diharapkan mahasiswa akan berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
f. Proses pembelajaran yang dikelola dosen harus dapat mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu. Hal ini hanya mungkin terjadi manakala dosen tidak menempatkan posisi mahasiswa sebagai obyek belajar, akan tetapi sebagai subyek belajar. Untuk itulah dosen harus mendorong agar mahasiswa aktif untuk belajar melalui proses mencari dan mengobservasi.
KOMPETENSI PEMBELAJARAN STUDIO ARSITEKTUR
Kompetensi Studio Arsitektur adalah kompetensi atau kemampuan apa yang harus dimiliki oleh setiap mahasiswa setelah mereka melakukan proses pembelajaran kuliah studio arsitektur. Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan kompetensi? Menurut Marsh (1988:45) bahwa kompetensi itu adalah:
”......A knowledge, skills and abilities or capabilities that a person achieves, which became part of his or her being to the extent he or she can satisfactorily particular cognitive, afective and psychomotor behaviors”.
5
Marsh mengemukan kompetensi adalah suatu pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan atau kapabilitas yang dimiliki oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga mewarnai perilaku kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.
Kemudian Gordon (1988) menjelaskan beberapa aspek yang termasuk dalam kompetensi yaitu:
a. Pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan individu untuk melakukan sesuatu. b. Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh individu. c. Ketrampilan (skill), adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas yang dibebankan. d. Nilai (value), adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menjadi bagian
dari dirinya, sehingga akan mewarnai dalam segala tindakannya. e. Sikap (attitude), yaitu perasaan atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar. f. Minat (interest), yaitu kecendrungan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan.
Lebih lanjut, Sanjaya (2005:8) mengemukakan ada 4 kompetensi dasar yang harus dicapai dalam pembelajaran KBK yaitu:
a. Kompetensi Akademik, artinya peserta didik harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam mengatasi tantangan dan persoalan hidup secara independen.
b. Kompetensi Okupasional, artinya peserta didik harus memiliki kesiapan dan mampu beradaptasi terhadap dunia kerja.
c. Kompetensi Kultural, artinya peserta didik harus mampu menempatkan diri sebaik-baiknya dalam sistem budaya dan tata nilai masyarakat yang pluralistik.
d. Kompetensi Temporal, artinya peserta didik tetap eksis dalam menjalani kehidupannya, serta mampu memanfaatkan ketiga kemampuan dasar yang telah dimiliki sesuai dengan perkembangan zaman
Dari pendapat tersebut jelaslah bahwa suatu kompetensi harus didukung oleh pengetahun, sikap dan apreasiasi, artinya tanpa pengetahuan dan sikap tidak mungkin muncul suatu kompetensi tertentu. Kompetensi bukan hanya ada dalam tataran pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambarkan dalam pola prilaku. Seseorang dikatakan memiliki kompetensi tertentu, apabila ia bukan hanya sekedar tahu tentang sesuatu itu, akan tetapi bagaimana implikasi dan implementasi pengetahuan itu dalam pola prilaku atau tindakan yang ia lakukan. Dengan demikian, maka kompetensi pada dasarnya merupakan perpaduan dari pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Bagaimanakah dengan kompetensi dalam pendidikan arsitektur di Indonesia? Menurut Widodo (200) IAI atau Ikatan Arsitektur Indonesia diakui pemerintah Indonesia sebagai profesi arsitek dan IAI adalah anggota Uni Arsitek Internasional (UIA) dan di tingkat regional IAI menjadi Dewan Regional Asia (ARCASIA). IAI terikat kesepakatan dan keputusan yang dikeluarkan oleh organisasi tingkat dunia maupun regional.
Tanyadji (2000) mengemukakan bahwa UIA (Union Internationale des Architects), persatuan arsitek-arsitek internasional, menuntut kemampuan profesional seorang arsitek dengan kriteria kinerja profesionalisme yang tinggi. Kriteria ini terdiri atas tiga tingkat penguasaan dengan tigapuluh tujuh butir materi (lihat Boks 1) dan tiga belas pengetahuan dan kemampuan dasar profesional UIA/standar internasional (lihat Boks 2). Ini diberlakukan mengingat pekerjaan arsitek yang lebih sekedar mendesain bangunan. Arsitek seringkali terlibat dalam semua tahap pembangunan suatu proyek dari sejak perencanaan hingga penyempurnaan tahap akhir. Penting pula diingat bahwa terdapat hubungan yang erat antara karya arsitektur dengan lingkungan hidup serta kenyamanan dan keselamatan manusia.
Arsitek tidaklah sekedar ahli bangunan tapi lebih merupakan seorang profesional yang menghayati pembangunan secara komprehensif. Arsitektur adalah seni dan keteknikan bangunan, seperti ditegaskan oleh Vitruvius dengan istilahnya: venustas (keindahan), firmitas (keteknikan) dan utilitas (fungsi). Sehingga, bukanlah hal yang aneh, kalau ternyata banyak sekali kompetensi pembelajaran dan tuntutan keahlian yang harus dipenuhi dalam arsitektur.
EVALUASI PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPTENSI
6
Beberapa kompetensi yang diharapkan dari perkuliahan studio arsitektur yang terpadu (integrated) dengan strategi pembelajaran yang berfokus kepada mahasiswa (student center) adalah:
Keterampilan merancang Sistem struktur Sistem accesibility Sistem utilitas Sistem keamanan bangunan Sistem selubung bangunan Building codes Bahan bangunan Penyiapan Program Kondisi tapak Keterampilan grafis Metode perancangan Magang (Pratek Kerja Lapangan) Dan lain-lain
Boks 1. Kriteria Kinerja Profesionalisme Arsitektur UIA
Tingkat Penguasaan Materi Kriteria Kinerja UIA
Kepekaan (Awareness) 1. Human Behavior 2. Human Diversity 3. Architecture and Urban Design 4. Building Economic and Cost Control 5. Legal Context Professional Architectural Practice 6. Office Organization and Management 7. Contracts and Documentation 8. Team Work and Architect’s Role 9. Ethnics and Professional Judgment
Pemahaman (Understanding) 10. Heritage 11. Other Cultural Factors (Western) 12. Conservation and Resources 13. 3D Design, Composition, Urban 14. Structural System 15. Building Life Safety System 16. Building Envelope System 17. Building Environment System 18. Building Utilities 19. Legal Responsibilities 20. Building and Planning Code 21. Building Materials and Assemblies 22. Professional Internship 23. Past and Present Conditions
Ketrampilan (Ability/Skills) 24. Speak and Write 25. Graphic Skills 26. Rand D Design 27. Critical Thingking 28. Fundamental Design Skills 29. Collaborative Skills 30. History and Precedent 31. Accessibility 32. Site Conditions 33. Building System Integration 34. Detailed Design Development
7
35. Graphic Documentation 36. Comprehensive Design 37. Programme Preparation
Boks 2. Tiga Belas Pengetahuan dan Kemampuan Dasar Profesional UIA (Standar International)
Tingkat Penguasaan Materi
1. Kemampuan menciptakan desain arsitektur 2. Pengetahuan sejarah, seni, teknologi dan ilmu-ilmu humaniora 3. Pengetahuan seni murni 4. Pengetahuan desain dan perencanaan urban 5. Pemahaman atas relasi antara manusia, bangunan dan lingkungan hidup 6. Pemahaman yang cukup mengenai desain berkelanjutan ramah lingkungan 7. Pemahaman atas profesi arsitek dan peran sosialnya 8. Pemahaman atas metode persiapan laporan singkat desain (design brief) 9. Pemahaman atas desain struktur, sistem konstruksi dan masalah-masalah rekayasa 10. Pengetahuan mengenai ilmu fisika bangunan dan perlindungan terhadap iklim 11. Ketrampilan-ketrampilan desain untuk memenuhi keinginan pengguna dengan faktor-faktor pembatas seperti biaya dan
undang-undang bangunan 12. Pengetahun mengenai berbagai industri, organisasi, peraturan dan perencanaan terpadu dalam perencanaan
keseluruhan 13. pengetahuan mengenai pembiayaan, manajemen proyek dan pengaturan biaya (cost control)
Disamping kompetensi di atas, profesi arsitek di masa depan akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi serta perubahan cara kerja konvesional menuju ke cara kerja global serta networking dengan kelompok-kelompok arsitek di negara lain. Tentunya ini akan menuntut seorang arsitek di masa depan memiliki kemampuan komunikasi global, kemampuan dan ketrampilan design computer (CAD), dan lainnya yang berbasis information technology (IT).
Dari beberapa kompetensi studio arsitektur di atas, sangat jelas bahwa kompetensi dalam KBK bukan hanya sekedar mahasiswa memahami materi pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan intelektual saja, akan tetapi bagaimana pengetahuan yang dipahaminya itu dapat mewarnai prilaku dalam kehidupannya.
EVALUASI DALAM STUDIO ARSITEKTUR
1. Konsep Evaluasi, Pengukuran Dan Tes Apakah evaluasi sama dengan pengukuran dan tes? Apa yang ingin dicapai oleh suatu proses evaluasi? Evaluasi menurut Wand dan Brown (1957) mendefinisikan sebagai ”.......refer to the act process to determining the value of something”. Evaluasi mengacu kepada suatu proses untuk menentukan nilai sesuatu yang dievaluasi. Sedangkan menurut Guba dan Lincoln mendefinisikan evaluasi merupakan suatu proses memberikan pertimbangan mengenai nilai dan arti sesuatu yang dipertimbangkan (evaluand).
Dari kedua konsep di atas, ada dua hal karakteristik evaluasi. Pertama, evaluasi merupakan suatu proses. Artinya dalam suatu pelaksanaan evaluasi mestinya terdiri dari berbagai macam tindakan yang harus dilakukan. Dengan demikian evaluasi bukanlah hasil atau produk, akan tetapi rangkaian suatu kegiatan. Untuk apa tindakan dilakukan? Tindakan dilakukan untuk memberikan makna atau nilai sesuatu yang dievaluasi. Kedua, evaluasi berhubungan dengan pemberian nilai atau arti. Artinya, berdasarkan hasil pertimbangan evaluasi apakah sesuatu itu mempunyai nilai atau tidak. Dengan kata lain evaluasi dapat menunjukkan kualitas yang dinilai.
Evaluasi memiliki makna yang berbeda dengan pengukuran. Pengkuran (measurement) umumnya berkenaan dengan masalah kuantitatif untuk mendapatkan informasi yang diukur (Sanjaya, 2006:181). Oleh sebab itu, dalam proses pengukuran diperlukan alat bantu tertentu. Misalnya, untuk mengukur kemampuan atau prestasi seseorang
EVALUASI PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPTENSI
8
dalam memahami bahan pelajaran diperlukan tes prestasi belajar; untuk mengukur kemampuan Bahasa Inggris (TOEFL) digunakan tes TOEFL; untuk mengukur berat badan digunakan timbangan, dan seterusnya.
Dari penjelasan di atas, maka antara evaluasi dan pengukuran tidak bisa disamakan walaupun keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Evaluasi akan lebih tepat manakala didahului oleh proses pengukuran; sebaliknya hasil pengkuran tidak akan memiliki arti apa-apa manakala tidak dikaitkan dengan proses evaluasi. Sehingga pengukuran itu hanya bagian dari evaluasi dan tes bagian dari pengukuran. Apabila digambarkan bagaimana kedudukan evaluasi, pengukuran, tes dapat dilihat pada bagan 1.
Bagan 1. Perbedaan Evaluasi, Pengukuran dan Tes
Ada tiga istilah yang digunakan dan perlu disepakati pemakaiannya, sebelum diampaikan uraian lebih jauh tentang evaluasi program, yaitu "evaluasi" (evaluation), "pengukuran" (measurement), dan "penilaian" (assessment).
Evaluasi berasal dari kata evaluation (Bahasa Inggris). Kata tersebut diserap ke dalam perbendaharaan istilah bahasa Indonesia dengan tujuan mempertahankan kata aslinya dengan sedikit penyesuaian lafal Indonesia menjadi "evaluasi" istilah "penilaian" merupakan kata benda dari "nilai". Pengertian "pengukuran" mengacu pada kegiatan membandingkan sesuatu hal dengan satuan ukuran tertentu, sehingga sifatnya menjadi kuantitatif. Di dalam buku ini, ketiga istilah tersebut akan digunakan bergantian tanpa mengubah makna pembahasan.
Bagaimanakah kita mengartikan "evaluasi"? Ada beberapa kamus yang dapat dijadikan sumber acuan. Definisi yang dituliskan dalam kamus Oxford Advenced Learner's Dictionary of Current English (AS Hornby, 186) evaluasi adalah to find out, decide the amount or value yang artinya suatu upaya untuk menentukan nilai atau jumlah. Selain arti berdasarkan terjemahan, kata-kata yang terkandung di dalam definisi tersebut pun menunjukkan bahwa kegiatan evaluasi harus dilakukan secara hati-hati, bertanggung jawab, menggunakan strategi, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Suchman (1961 dalam Anderson, 1975) memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan basil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Definisi lain dikemukakan oleh Worthen - Sanders (1973 dalam Anderson, 1971). Dua ahli tersebut mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu; dalam mencari sesuatu tersebut, juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu program, produksi, prosedur, serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Seorang ahli yang sangat terkenal dalam evaluasi program bernama Stufflebeam (1971, dalam Fernandes 1984) mengatakan bahwa evaluasi merupakan proses penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif keputusan.
Dari beberapa pendapat di alas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan.
Evaluasi
Pengukuran
Tes
9
2. Fungsi Evaluasi Evaluasi dalam konteks KBK memiliki dua fungsi. Pertama, untuk menilai keberhasilan mahasiswa dalam pencapaian kompetensi dan kedua, sebagai umpan balik untuk perbaikan proses pembelajaran. Kedua fungsi tersebut dalam KBK merupakan dua fungsi sama pentingnya. Artinya dalam implementasi KBK, dosen perlu secara terus menerus mengikuti perkembangan kemampuan mahasiswa dalam menguasai kompetensi sesuai dengan tuntutan kurikulum dan dosen pun secara terus menerus perlu memperbaiki proses pembelajaran yang dilakukannya.
3. Komponen Evaluasi Menurut Arikunto (2004 :5) bahwa suatu proses pembelajaran mencakup tiga komponen, yaitu masukan (input), proses, dan keluaran (output) seperti bagan 2.
Bagan 2. Komponen Evaluasi
Contoh-contoh hal (objek) yang perlu dievaluasi yang termasuk input adalah:
a. Komponen Input
Mahasiswa (Bagaimana entry behavior yang dimiliki mahasiswa?) Materi perkuliahan (Apakah bahan perkuliahan yang akan digunakan dalam mata kuliah ini cukup
relevan dan mutakhir atau up-to-date?) Sarana perkuliahan (Apakah ruang kuliah dan studio cukup memadai? Apakah bahan-bahan dan alat-alat
praktek studio sudah tersedia? Dosen (Apakah semua anggota tim dosen sudah memahami tugas dan kewajiban mereka dalam mata
kuliah ini?) Kurikulum (Apakah isi Garis-garis Besar Program Pengajaran tidak perlu direvisi?) Strategi perkuliahan (Strategi apakah yang paling cocok untuk mata kuliah ini?)
b. Komponen Proses
Contoh-contoh objek yang perlu dievaluasi yang termasuk dalam komponen proses adalah:
Strategi perkuliahan (Apakah strategi yang digunakan dalam mata kuliah ini telah terbukti efektif?) Media instruksional (Apakah media yang ada telah dimanfaatkan secara optimal?) Cara mengajar dosen (Apakah cara mengajar dosen dalam mata kuliah ini telah berhasil membantu
Mahasiswa belajar secara baik?)
Mahasiswa Materi Perkuliahan Sarana dan Prasarana
Perkuliahan Dosen Kurikulum Strategi Pembelajaran
Input
Efektivitas Perkuliahan Efektivitas Strategi
Pembelajaran Media Instruksional Cara Mengajar Dosen
Proses Efektivitas Cara Belajar
Mahasiswa Hasil Belajar
Mahasiswa Kemampuan Dosen
Mengajar Dll.
Output
EVALUASI PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPTENSI
10
c. Komponen Output
Cara belajar mahasiswa (Apakah cara belajar mahasiswa dalam mata kuliah ini efektif?). Objek evaluasi yang termasuk: dalam komponen output adalah hasil belajar mahasiswa (Bagaimana prestasi mahasiswa dalam mata kuliah ini?). Dalam hal ini, evaluasi terhadap komponen terakhir ini lazimnya diperlakukan terpisah dari objek evaluasi lainnya. Evaluasi terhadap output proses pembelajaran adalah evaluasi hasil belajar mahasiswa dan lazim disebut sebagai "Tes dan pengukuran hasil belajar".
4. Manfaat dan Item Evaluasi
Evaluasi menempati posisi yang sangat strategis dalam proses pembelajaran. Sedemikian penting evaluasi ini sehingga tidak ada satu pun usaha untuk memperbaiki mutu pembelajaran yang dapat dilakukan dengan baik tanpa disertai langkah evaluasi. Tetapi, manfaat evaluasi tidak hanya terbatas pada "peningkatan kualitas pembelajaran", meskipun manfaat ini adalah manfaat yang terpenting. Dalam hal ini, setidak-tidaknya ada tiga manfaat evaluasi dalam pembelajaran, yaitu: (1) memahami sesuatu; (2) membuat keputusan; dan (3) meningkatkan kualitas proses pembelajaran.
a. Memahami Sesuatu
Dalam hal ini, seorang dosen membutuhkan berbagai informasi tentang sesuatu agar proses perkuliahan yang akan dilakukannya nanti akan berjalan secara optimal. Misalnya, seorang dosen membutuhkan informasi yang cukup tentang calon mahasiswa yang akan diajarnya, agar dengan demikian ia mampu menentukan pengetahuan awal (entry behavior) yang dimiliki mahasiswa atau hal-hal lain secara tepat. Dalam proses evaluasi dalam PBM seperti evaluasi terhadap mahasiswa, evaluasi sarana dan prasarana dan tidak kalah pentingnya evaluasi terhadap dosen.
Ada beberapa pertanyaan evaluasi yang relevan untuk diajukan untuk mengevaluasi Mahasiswa antara lain:
Apakah mahasiswa sudah cukup menguasai beberapa mata kuliah yang menjadi prasyarat mata kuliah yang diasuh ini?
Berapa banyak mahasiswa yang memiliki cukup fasilitas yang disyaratkan oleh mata kuliah ini? Bagaimana tingkat motivasi mahasiswa dalam mengikuti mata kuliah ini? Mengapa mereka mengambil
mata kuliah ini, dan bukan mata kuliah yang lain?
Dosen mungkin juga melakukan evaluasi terhadap keberadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam perkuliahan. Dalam hal ini, beberapa contoh pertanyaan evaluasi yang diajukannya adalah:
Apakah bahan-bahan yang akan dipakai dalam kuliah nanti sudah tersedia dalam jumlah yang cukup? Apakah ukuran ruang kuliah dan studio sebanding dengan jumlah Mahasiswa yang mendaftar dalam
mata kuliah ini? Apakah saya akan bertahan dengan perkuliahan yang acak-acakan dan tak terkontrol ini sampai akhir semester nanti?
Apakah alat/media yang selama ini digunakan tidak perlu diperbaiki?
Kadangkala, dosen juga merasa perlu memahami dirinya sendiri. Dosen, misalnya, dapat mengajukan beberapa pertanyaan seperti berikut ini:
Apakah ada hal-hal yang perlu saya lakukan untuk meningkatkan diri saya sebagai dosen? Apakah perkuliahan berikutnya ini akan sama saja dengan perkuliahan yang sudah saya lakukan selama
15 tahun terakhir ini? Apakah persiapan saya dalam semester berikut ini sudah cukup memadai?
11
b. Membuat Keputusan
Yang lebih sering terjadi, seorang dosen melakukan evaluasi pembelajaran hanya setelah perkuliahan itu sendiri selesai (di akhir semester). Ini pun tidak ada salahnya dan bahkan sangat dianjurkan dilakukan untuk kepentingan peningkatan kualitas pembelajaran di perkuliahan berikutnya.
Beberapa contoh pertanyaan yang biasa diajukan dosen adalah:
Bagaimana pendapat mahasiswa terhadap proses pembelajaran selama satu semester ini? Apakah proses pembelajaran selama satu semester ini sesuai dengan rencana pembelajaran yang sudah
saya buat di awal semester? Jika ada perubahan, apakah bentuk perubahan itu dan mengapa terpaksa berubah?
Apakah tim dosen dalam mata kuliah ini telah bekerja dengan baik dan kompak? Semua jawaban terhadap pertanyaan di atas dapat digunakan sebagai masukan untuk membuat keputusan seperti, misalnya, apakah tim dosen yang sekarang ini ada perlu diperbaiki formasinya, apakah strategi PBM yang selama ini dipakai perlu diganti dengan yang lain, atau apakah cara mengajar dosen perlu diubah.
c. Meningkatkan Kualitas Proses Pembelajaran
Sebagian atau seluruh hasil evaluasi akhir semester ini biasanya digunakan sebagai bahan renungan evaluasi untuk memperbaiki proses pembelajaran di perkuliahan berikutnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang penting diajukan antara lain:
Duapuluh persen mahasiswa ternyata gagal lulus dalam mata kuliah ini. Apa penyebabnya? Sebagian besar mahasiswa (melalui jawaban kuesioner) mengatakan bahwa saya sangat menguasai
materi perkuliahan. Tetapi, sebagian besar dari mereka juga mengatakan bahwa cara mengajar saya kurang sistematis. Benarkah kesimpulan mahasiswa ini? Jika benar, bagian perkuliahan yang mana yang tidak sistematis?
Mahasiswa mengatakan bahwa saya tidak menggunakan media instruksional dengan baik. Apa yang perlu saya lakukan untuk memperbaiki keadaan ini?
5. Prinsip-prinsip Penilaian Evaluasi Sebagai suatu proses pelaksanaan penilaian evaluasi harus terencana dan terarah sesuai tujuan pencapaian kompetensi. Hakekat penilaian adalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, bukan semata-mata sebagai alat untuk mengetahui penguasaan materi pelajaran (Sanjaya, 2006:185). Oleh karena itulah dalam proses pelaksanaannya, team teaching (dosen) perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Motivasi Penilaian diarahkan untuk meningkatkan motivasi mahasiswa melalui upaya pemahaman akan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki baik oleh dosen dan mahasiswa. Dengan demikian penilaian tidak semata-mata untuk memberikan angka sebagai hasil dari proses pengukuran, akan tetapi apa arti angka yang telah dicapai itu. Mahasiswa perlu memahami makna dari hasil penilaian. Dengan pemahaman ini diharapkan mereka dapat lebih termotivasi dalam melaksanakan proses pembelajaran.
b. Validitas Penilaian diarahkan bukan semata-mata untuk melengkapi syarat administratif saja, akan tetapi diarahkan untuk memperoleh informasi tentang ketercapaian kompetensi seperti yang terumuskan dalam kurikulum. Oleh sebab itu, penilaian tidak menyimpang dari kompetensi yang ingin dicapai. Dengan kata lain penilaian harus menjamin validitas.
EVALUASI PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPTENSI
12
c. Adil Setiap mahasiswa memiliki kesempatan yang sama dalam proses pembelajaran tanpa memandang perbedaan sosial-ekonomi, latar belakang budaya dan kemampuan. Oleh karena itulah mereka juga memiliki kesempatan yang sama untuk dievaluasi. Penilaian harus menempatkan posisi mahasiswa dalam kesejajaran, dengan demikian setiap mahasiswa akan memperoleh perlakukan yang sama.
d. Terbuka Alat penilaian yang baik adalah alat penilaian yang dipahami baik oleh penilai maupun oleh yang dinilai. Mahasiswa perlu memahami jenis dan prosedur penilaian yang akan dilakukan beserta kriteria penilaian. Keterbukaan ini bukan hanya akan mendorong mahasiswa untuk memperoleh hasil yang baik sehingga motivasi belajar mereka akan bertambah juga, akan tetapi sekaligus mereka akan memahami posisi mereka sendiri dalam pencapaian kompetensi.
e. Berkesinambungan Penilaian pada hakekatnya merupakan bagian integral dari proses pembelajaran. Sehingga penilaian harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan (sustainability). Penilaian dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan dan kemajuan mahasiswa dalam pencapaian kompetensi. Dengan demikian manakala berdasarkan evaluasi seorang mahasiswa diketahui belum mencapai kompetensi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, maka dosen harus mengulang kembali, hingga benar-benar kompetensi itu telah tercapai secara materi.
f. Bermakna Penilaian harus tersusun dan terarah, sehingga hasilnya benar-benar memberikan makna kepada semua pihak khususnya kepada mahasiswa itu sendiri. Melalui penilaian, mahasiswa akan mengetahui posisi mereka dalam perolehan kompetensi. Di samping itu mereka juga akan memahami kesulitan-kesulitan yang dirasakan dalam mencapai kompetensi. Dengan demikian hasil penilaian itu juga bermakna bagi dosen dalam memberikan bimbingan kepada mahasiswa dalam upaya memperoleh kompetensi sesuai dengan target kurikulum.
g. Menyeluruh Kurikulum berbasis kompetensi diarahkan untuk perkembangan mahasiswa secara utuh, baik perkembangan kognitif, afektif, maupun psikomotor. Oleh sebab itu, dosen dalam melaksanakan penilaian perlu menggunakan ragam penilaian, misalnya tes, penilaian produk, karya design, portfolio, skala sikap, penampilan (performance), dan lain sebagainya. Hal ini sangat penting, oleh sebab hasil penilaian harus memberikan informasi secara utuh tentang perkembangan setiap aspek.
h. Edukatif Hasil penilaian tidak semata-mata diarahkan untuk memperoleh gambaran kemampuan mahasiswa dalam pencapaian kompetensi melalui angka yang diperoleh, akan tetapi hasil penilaian harus memberikan umpan balik untuk memperbaiki proses pembelajaran yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa, sehingga hasil belajar akan lebih optimal. Dengan demikian proses penilaian tidak semata-mata tanggung jawab dosen, akan tetapi juga merupakan tanggung jawab mahasiswa. Artinya, mahasiswa harus ikut terlibat dalam proses penilaian, sehingga mereka menyadari bahwa penilaian adalah bagian dari proses pembelajaran.
6. Evaluasi sebagai Proses Pengambilan Keputusan Penerapan KBK merupakan pembaharuan kurikulum sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan (Sanjaya, 2006:33). Indikator terjadinya pembaruan itu dapat dilihat dari adanya pola perubahan dalam proses pembelajaran serta adanya peningkatan hasil belajar baik secara kualitas maupun kuantitas. Perubahan dalam proses pembelajaran akan diikuti oleh perubahan pola evaluasi, karena pada dasarnya evaluasi adalah bagian dari
13
pembelajaran. Oleh karena itulah penerapan KBK berimplikasi juga pada perubahan praktik pelaksanaan evaluasi pembelajaran.
Evaluasi merupakan suatu proses memberikan pertimbangan mengenai nilai dan arti sesuatu yang dipertimbangkan. Sesuatu yang dipertimbangkan itu bisa orang, benda, kegiatan, keadaan atau suatu kesatuan tertentu. Dari konsep tersebut ada dua hal karakteristik evaluasi. Pertama, evaluasi merupakan suatu proses atau tindakan; kedua proses tersebut dilakukan untuk memberi makna atau nilai. Artinya berdasarkan hasil pertimbangan evaluasi, apakah sesuatu itu mempunyai nilai atai tidak?
Sebagai suatu proses, evaluasi terdiri dari dua langkah pokok sebagai berikut:
a. Pengumpulan informasi tentang pencapaian hasil belajar mahasiswa; b. Pembuatan keputusan tentang hasil belajar mahasiswa berdasarkan informasi yang diperoleh.
Dalam KBK, pengumpulan informasi tentang pencapaian hasil belajar mahasiswa, bisa dilakukan secara formal atau tidak formal; di dalam atau di luar kelas; bisa menggunakan tes atau non tes atau terintegrasi dalam proses pembelajaran. Teknik apa pun bisa dilakukan, yang penting proses evaluasi dapat mengumpulkan data tentang keberhasilan mahasiswa memperoleh kompetensi tertentu.
Manakala proses pengumpulan data telah dilakukan selanjutnya dibuat keputusan tentang keberhasilan mahasiswa:
Apakah mahasiswa telah mencapai tujuan pembelajaran berupa penguasaan kompetensi yang telah ditetapkan?
Apakah mahasiswa telah memenuhi syarat untuk maju ke tingkat lebih lanjut? Apakah ada bagian-bagian yang perlu pengulangan dalam rangka pencapaian kompetensi?
Keputusan-keputusan semacam ini sangat diperlukan untuk memperbaiki program dalam pembelajaran.
7. Aspek - Aspek Evaluasi Dalam konteks KBK, hasil belajar tidak terbatas pada aspek kognitif, akan tetapi juga mencakup hasil belajar dalam aspek sikap afektif dan ketrampilan psikomotor. Ketiga aspek ini harus dievaluasi secara seimbang. Kriteria keberhasilan pembelajaran harus dilihat dari perkembangan ketiga aspek di atas. Kriteria keberhasilan belajar mahasiswa yang hanya menekankan kepada aspek kognitif saja, dapat mempengaruhi proses dan kualitas pembelajaran. Penilaian dari setiap aspek adalah sebagai berikut:
a. Aspek Kognitif Aspek kognitif berhubungan dengan kemampuan intelektual mahasiswa, yang meliputi:
Tingkatan menghafal secara verbal mencakup kemampuan menghafal tentang materi pembelajaran seperti fakta, konsep, prinsip dan prosedur.
Tingkatan pemahaman meliputi kemampuan membandingkan (menunjukkan persamaan dan perbedaan), mengidentifikasi karakteristik, menggeneralisasi dan menyimpulkan.
Tingkatan aplikasi mencakup kemampuan menerapkan rumus, dalil atau prinsip terhadap kasus-kasus nyata yang terjadi di lapangan.
Tingkatan analsis meliputi kemampuan mengklasifikasi, menggolongkan, memerinci, mengurai suatu obyek.
Tingkatan sintesis meliputi kemampuan memadukan berbagai unsur atau komponen, menyusun, membentuk bangunan, mengarang, melukis dan lain sebagainya.
Tingkatan evaluasi penilaian, meliputi kemampuan menilai (judgement) terhadap objek studi menggunakan kriteria tertentu, misalnya menilai kesesuaian suatu bangungan dengan bestek.
EVALUASI PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPTENSI
14
b. Aspek Afektif Aspek afektif berhubungan dengan penilaian terhadap sikap dan minat mahasiswa terhadap mata kuliah dan proses pembelajaran. Evaluasi dalam aspek ini meliputi:
Memberikan respons atau reaksi terhadap nilai-nilai yang dihadapkan kepadanya. Menikmati atau menerima nilai, norma, serta objek yang mempunyai nilai etika dan estetika. Menilai (valuing) ditinjau dari segi buruk-baik, adil-tidak adil, indah-tidak indah terhadap objek studi. Menerapkan atau mempraktikkan nilai, norma, etika, dan estetika dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
c. Aspek Psikomotor Pada aspek ini kompetensi yang harus dicapai meliputi:
Tingkatan penguasaan gerakan awal berisi tentang kemampuan mahasiswa dalam menggerakkan sebagai anggota tubuh. Misalnya: ketrampilan menggunakan komputer AutoCad.
Tingkatan gerakan rutin meliputi kemampuan melakukan atau menirukan gerakan yang melibatkan seluruh anggota badan.
Tingkatan gerakan rutin berisi kemampuan melakukan gerakan secara menyeluruh dengan sempurna dan sampai pada tingkatan otomatis.
Bagan 3. Aspek-aspek Evaluasi Studio Arsitektur
Bagan 4. Alat Evaluasi
Pemahaman prinsip merancang
Pemahaman sistem struktur, Sistem utilitas, sistem aksesbilitas, sistem keamanan bangunan, selubung bangunan, program tapak, bahan bangunan.
Metode Perancangan, dll.
Kognitif
Aspek Evaluasi Studio
Arsitektur
Teamwork Kerja Praktek Lapangan Etika Profesi Arsitektur Behaviour Attitude Dll.
Afektif
Ketrampilan Sketsa/Grafis Ketrampilan Komputer CAD Graphic Documentation Penyiapan pameran design Critical Thingking Dll.
Psikomotorik
Tes Tertulis (Kognitif) Tes Lisan (Kognitif) Tes Perbuatan
(Psikomotorik) Dll.
Tes
Alat Evaluasi
Wawancara Observasi Studi Kasus Skala Penilaian Penilain Produk: Image
Desing, Maket, dll. Penilaian Portfolio Dll.
Non Tes
8. Alat dan Fungsi Evaluasi Sasaran evaluasi bukan hanya mengukur aspek kognitif mahasiswa akan tetapi sikap-minat (aspek afektif) dan ketrampilan (aspek psikomotor), maka alat evaluasi yang digunakan adalah tes dan non tes. Tes digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif dan ketrampilan (psikomotorik) sedangkan non tes digunakan untuk mengukur sikap mahasiswa. Tes bisa berbentuk tes tertulis atau tes lisan dan tes perbuatan; sedangkan non tes bisa digunakan dengan melakukan wawancara atau skala penilaian.
Sebagai bentuk kurikulum yang menghendaki ketercapaian kompetensi, aspek, alat, dan bentuk penilaian seperti di atas harus dilakukan secara seimbang dengan mengacu kepada dua fungsi evaluasi yaitu fungsi formatif dan fungsi sumatif. Hasil evaluasi formatif digunakan untuk memperbaiki kinerja dosen, artinya hasil dari tes ini digunakan sebagai umpan balik untuk memperbaiki proses pembelajaran yang dilakukan oleh dosen. Hasil evaluasi sumatif digunakan untuk mengukur keberhasilan mahasiswa setelah melakukan proses pembelajaran. Dengan demikian sesuai dengan fungsinya evaluasi digunakan untuk mengukur keberhasilan proses dan hasil belajar.
Kedua fungsi evaluasi ini sangat penting artinya sebagai implikasi dari penerapan KBK. Melalui evaluasi formatif, dosen akan selalu memperbaiki kinerjanya sehingga kualitas proses pembelajaran selamanya akan meningkat. Sedangkan melalui evaluasi sumatif, dosen dapat mengukur keberhasilan mahasiswa dalam mencapai tujuan yang diharapkan sehingga dapat ditentukan kedudukan dan prestasi setiap mahasiswa dalam kelompok belajarnya.
SIMPULAN
Evaluasi dalam proses pembelajaran. memiliki tiga manfaat yaitu: memahami sesuatu, membuat keputusan, dan meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Evaluasi dapat dilakukan baik dengan alat tes (tes tertulis, tes lisan dan tes perbuatan) dan non tes (wawancara, observasi dan skala penilaian). Evaluasi dengan alat tes digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif dan ketrampilan psikomotorik sedangkan non tes digunakan untuk mengukur sikap atau behaviour mahasiswa (afektif).
Evaluasi dalam pembelajaran Studio Arsitektur berbasis kompetensi menekankan kepada evaluasi hasil dan proses belajar. Kedua sisi evaluasi itu sama pentingnya sehingga pencapaian standar kompetensi dilakukan secara utuh yang tidak hanya mengukur pengetahuan saja (kognitif), akan tetapi juga sikap afektif dan ketrampilan psikomotorik. Ketiga aspek ini harus dievaluasi secara seimbang oleh karena kriteria keberhasilan pembelajaran harus dilihat dari perkembangan ketiga aspek di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Taufiq M. 2006. Mahasiswa yang Berpikir Strategis. Jakarta: IBII.
Arief, Agus Zulkarnain dan Santoso, Imam. 2000. Membangun Kompetensi Skil Bidang Arsitektur pada Mahasiswa Arsitektur. http://www.astudio.id.or.id/artkhusarsitekprof.htm. (didownload tanggal 11 desember 2007 Jam 10.00 Wita).
Arikunto, Suharsimi dan Abdul Jabar, Cepi Safruddin. 2004. Evaluasi Program Pendidikan, Pedoman Teoritis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004, Kerangka Dasar.
Hasibuan, H. Malayu S.P. 2005. Manajemen, Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Katoppo, Martin Luqman dan Sofian Tony. 2000. Pendidikan Arsitektur yang Membebaskan dan Memanusiakan. http://darsitektur.tripod.com/art7.html (didownload tanggal 11 desember 2007 Jam 11.00 Wita).
Komariah, Aan dan Triatna, Cepi. 2005. Visionary Leadership, Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Marsh, C. & Stafford, K. 1988. Curriculum Practices. Sidney: McGraw Hill Book Company.
Rochaety, Eti. Rahayuningsih, Pontjorni dan Gusti Yanti, Prima. 2005. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Sagala, Syaiful H. 2007. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.
Sanjaya, Wina. 2006. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Suprijanto, H. 2007. Pendidikan Orang Dewasa, dari Teori hingga Aplikasi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Taba, Hilda. 1962. Curriculum Development, Theory, and Practice: Foundation Process, Design and Strategy for Planning Both Primary and Secondary. New York: Harcourt, Brace, & World, Inc.
Tanyadji, Yulianti. 2000. Menera Pendidikan Arsitektur Indonesia, Tuntutan, Tekanan dan Tergagap-gagap. http://darsitektur.tripod.com/art4.html (didownload tanggal 11 desember 2007 Jam 10.00 Wita).
Tilaar, H.A.R. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Widodo, Johanes. 2000. Pendidikan Arsitektur Indonesia, Masa Transisi http://darsitektur.tripod.com/art5.html (didownload tanggal 11 desember 2007 Jam 10.00 Wita).
LAMPIRAN-LAMPIRAN A. Contoh Evaluasi Program Perkuliahan (Diisi oleh Mahasiswa)
Kuesioner ini dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi tentang cara mengajar dosen dalam perkuliahan yang anda ikuti. Petunjuk :Lingkarilah angka yang sesuai dengan pendapat Anda untuk setiap pertanyaan di bawah ini. Angka 1 sampai dengan 4 pada skala jawaban mempunyai arti sebagai berikut:
1 = Kurang 3 = Baik
2 = Cukup 4 = Sangat baik
No Aspek Nilai (lingkari)
1. Cara dosen menyampaikan tujuan perkuliahan 1 2 3 4
2. Pemberian bimbingan 1 2 3 4
3. Keterampilan memandu diskusi kelompok 1 2 3 4
4. Penguasaan dosen terhadap materi 1 2 3 4
5. Memberikan motivasi kepada mahasiswa untuk belajar 1 2 3 4
6. Kemampuan dosen memonitor kegiatan kelompok 1 2 3 4
7. Kepuasan Anda tentang nilai yang diberikan dosen 1 2 3 4
8. Memberikan contoh-contoh 1 2 3 4
9. Menggunakan media belajar 1 2 3 4
10. Variasi metode mengajar 1 2 3 4
Total Skor
Rata-rata
B. Contoh Evaluasi Kebiasaan Belajar Mahasiswa (Format Observasi) (Diisi oleh Dosen atau orang lain)
Kuesioner ini dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi tentang kebiasaan belajar mahasiswa. Petunjuk: Lingkarilah angka yang sesuai dengan pendapat Anda untuk setiap pertanyaan di bawah ini. Angka 1 sampai dengan 4 pada skala jawaban mempunyai arti sebagai berikut:
1 = Kurang 3 = Baik
2 = Cukup 4 = Sangat baik
No Aspek Nilai (lingkari)
1. Jumlah pertanyaan mahasiswa 1 2 3 4
2. Kualitas pertanyaan mahasiswa 1 2 3 4
3. Cara menjawab pertanyaan dosen di kelas 1 2 3 4
4. Kepatuhan mahasiswa mengerjakan tugas 1 2 3 4
5. Keaktifan dalam diskusi 1 2 3 4
6. Keaktifan dalam kegiatan kelompok 1 2 3 4
7. Cara bertanya dan menjawab pertanyaan dalam diskusi 1 2 3 4
8. Kelengkapan buku-buku pelajaran 1 2 3 4
9. Perhatian mahasiswa keseluruhan jalannya perkuliahan 1 2 3 4
10. Prosentase kehadiran mahasiswa 1 2 3 4
Total Skor
Rata-rata
C. Contoh Aspek dan Bobot Evaluasi Pembelajaran Studio Arsitektur (Diisi oleh Minimal 3 Dosen Pembimbing/Penguji)
No Aspek Awal Prosentase 1 Sketsa Pretest 5% 2 Pemahaman Ruang 25% 3 Critical Asessment 15% 4 Fieldtrip 10% 5 Tugas 45% Total 100%
No Aspek Program dan Konsep Prosentase 1 Rumusan Permasalahan 10% 2 Pemahaman Program 20% 3 Analisa Site 10% 4 Konsep (skematik desain) 60% Total 100%
No Aspek Design Prosentase 1 Kemampuan merancang/metoda merancang 40% 2 Kemampuan aplikasi sistem struktur dan konstruksi 20% 3 - Kemampuan aplikasi sistem utilitas 20% - Kemampuan Sistem accesibility - Kemampuan Sistem keamanan bangunan - Kemampuan Sistem selubung bangunan
4 Kemampuan Tapak 5% 5 Keterampilan grafis 10% 6 Metode perancangan 5% Total 100%
No Keseluruhan Aspek Prosentase 1 Diskusi 10% 2 Tugas 55% 3 Maket Studi 10% 4 Presentasi 10% 5 Pameran 10% 6 Attidute 5% Total 100%
P E M A N F A A T A N M O D E L P E M B E L A J A R A N
EKSPOSITORY DENGAN METODE DEMONSTRASI DAN
PEMBERIAN TUGAS UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR
IPA SISWA KELAS VII D SEMESTER II
TAHUN PELAJARAN 2011/2012 DI SMP NEGERI 1 MENGWI
OLEH
I Gusti Ayu Ketut Candra
SMP NEGERI 1 MENGWI PEMKAB BADUNG
ABSTRACT
The research was conducted in SMP Negeri 1 Mengwi in Class VII D that academic achievement is still low. The purpose of writing this classroom action research was to determine whether the model Ekspository by methods demonstration and administration tasks can improve student achievement. Data collection method is achievement test. Methods of data analysis is descriptive. The results obtained from this study is a model Ekspository by methods demonstration and administration tasks can improve student achievement. This is evident from the average value obtained initially 74.26 (41.18%) after being given the action in the first cycle increased to 75.68 (64.71%) and the second cycle increased to 83.03 (91, 18%). The conclusion of this study is the use of the model ekspository the demonstration method and administration tasks can improve student achievement in grade VII D SMP Negeri 1 Mengwi academic year 2011/2012. Keywords: ekspository learning model, method demonstrations and administration tasks, learning achievement Pendahuluan
Seorang guru harus betul-betul memahami peran, fungsi serta kegunaan
dari mata pelajaran yang diampu, karena dengan memahami hal-hal tersebut
pembelajaran yang dilakukan akan menjadi lebih efektif. Dewasa ini sebagai
seorang guru harus mampu menerapkan beberapa metode ajar. Juga penggunaan
model-model pembelajaran yang sudah ditelorkan oleh para ahli pendidikan
yang didasari dengan teori yang benar sehingga paradigma pengajaran dapat
dirubah menjadi paradigma pembelajaran. Kondisi yang dipaparkan tersebut
merupakan kondisi yang diharapkan di pihak guru agar peningkatan mutu
pendidikan mampu diupayakan.
Ketrampilan yang mesti dikuasai guru dalam melaksanakan pembelajaran
ada 7, yaitu : 1) ketrampilan bertanya, 2) ketrampilan memberi penguatan, 3)
ketrampilan mengadakan variasi, 4) ketrampilan menjelaskan, 5) ketrampilan
membuka dan menutup pelajaran, 6) ketrampilan membimbing diskusi, 7)
ketrampilan mengelola kelas. Ketrampilan-ketrampilan ini berhubung denga
kemampuan guru untuk menguasai dasar-dasar pengetahuan yang berhubungan
dengan persiapan dan pelaksanaan proses pembelajaran yang akan memberikan
dukungan terhadap cara berpikir siswa yang kreatif dan imajinatif. Hal inilah
yang menunjukkan profesionalisme guru (I G.A.K. Wardani dan Siti Julaeha,
Modul IDIK 4307: 1-30).
Model-model pembelajaran merupakan hal penting yang perlu dicoba
oleh guru agar dalam mengajar tidak terus menerus monoton dan begitu-begitu
saja karena model sangat berkaitan dengan teori.
Dari semua uraian di atas dapat diketahui hal-hal yang perlu dalam upaya
meningkatkan prestasi belajar siswa seperti penguasaan metode-metode ajar;
penguasaan model-model pembelajaran; penguasaan teori-teori belajar;
penguasaan teknik-teknik tertentu; penguasaan peran, fungsi serta kegunaan
mata pelajaran. Apabila betul-betul guru menguasai dan mengerti tentang hal-
hal tersebut dapat diyakini bahwa prestasi belajar peserta didik pada mata
pelajaran IPA tidak rendah. Namun kenyataannya prestasi belajar siswa kelas
VIID di semester II Tahun Pelajaran 2011/2012 baru mencapai rata-rata 74,26.
Melihat kesenjangan antara harapan-harapan yang telah disampaikan
dengan kenyataan lapangan sangat jauh berbeda, dalam upaya memperbaiki
mutu pendidikan utamanya pada mata pelajaran IPA, sangat perlu kiranya
dilakukan perbaikan cara pembelajaran. Salah satunya adalah perbaikan
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran ekspository. Oleh
karenanya penelitian ini sangat penting untuk dilaksanakan.
1. Kajian Pustaka
Penelitian yang bersifat ilmiah selalu dilandasi oleh suatu teori, agar
penelitian tersebut dapat dipertanggung jawabkan. oleh karena itu, keberadaan
teori dalam sebuah penelitian haruslah relevan dengan penelitian yang
dilakukan. adapun teori yang dipakai sebagai penjelasan untuk mengarahkan
seluruh penelitian ini adalah: (1) pengertian model pembelajaran ekspository,
(2) pengertian metode demonstrasi dan metode pemberian tugas, dan (3)
pengertian prestasi belajar.
2. Metode
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2013:2). Adapun metode yang
digunakan pada penelitian ini, sebagai berikut.
2.1 Setting/ Lokasi Penelitian
SMP Negeri 1 Mengwi dijadikan tempat dilaksanakannya penelitian
tindakan kelas ini. Lingkungan sekolah ini sangat aman karena dilengkapi
dengan petugas keamanan, dikelilingi oleh tembok, rindang karena terdapat
beberapa pepohonan, bersih sekolah menunjuk seorang petugas kebersihan
untuk setiap harinya membersihkan sekolah di bantu oleh para siswa-siswa yang
piket.
2.2 Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan termasuk penelitian tindakan. Untuk penelitian
ini penulis memilih rancangan penelitian tindakan yang disampaikan oleh
(Arikunto, Suharsimi, 2007 ) seperti terlihat pada gambar berikut.
Permasala
Permasalahan baru
Apabila permasalahan belum
Perencana Pelaksana
Refleksi Pengamat
Perencana Pelaksana
Refleksi Pengematan/
Dilanjutkan ke
Gambar 1. Alur Penelitian Tindakan Kelas (dalam Suharsimi Arikunto, Suhardjono, Supardi, 2006: 74)
2.3 Subjek dan Objek Penelitian
Menurut Arikunto (2013:29), subjek penelitian adalah setiap individu yang
akan diteliti atau orang yang melakukan pekerjaan evaluasi. Subjek dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII/D SMP Negeri 1 Mengwi yang
berjumlah 34 orang siswa yang terdiri dari 13 orang siswa laki-laki, dan 21
orang siswa perempuan. Objek penelitian adalah hal-hal yang menjadi pusat
perhatian untuk dievaluasi atau sasaran evaluasi (Arikunto,2013:30). Sesuai
dengan judul, objek dari penelitian tindakan kelas ini adalah peningkatan
prestasi belajar siswa kelas VII D SMP Negeri 1 Mengwi setelah diterapkan
model pembelajaran ekspository dalam proses pembelajaran.
2.4 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Januari sampai bulan Mei 2012
2.5 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode tes prestsi belajar.
2.6 Metode Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data hasil penelitian ini
adalah metode deskriptif. Untuk data kuantitatif dianalisis dengan mencari
mean, median, modus, membuat interval kelas dan melakukan penyajian dalam
bentuk tabel.
2.7 Indikator Keberhasilan
Dalam penelitian ini diusulkan tingkat keberhasilan per siklus yaitu pada
siklus I prestasi belajar siswa mencapai nilai rata-rata 76,00 dengan ketuntasan
belajar sebesar 80% dan pada siklus II mencapai nilai rata-rata 77,00 atau lebih
dengan ketuntasan belajar minimal 85%.
3. Penyajian Hasil Penelitian
Pada hasil penelitian ini akan disajikan mengenai (1) hasil pengamatan
prestasi belajar IPA kelas VII/D SMP Negeri 1 Mengwi Tahun Pelajaran
2011/2012 pada siklus I, (2) hasil pengamatan prestasi belajar IPA kelas VII/D
SMP Negeri 1 Mengwi Tahun Pelajaran 2011/2012 pada Siklus II, (3)
pembahasan hasil penelitian.
1. Hasil Pengamatan Prestasi Belajar IPA kelas VII/D SMP Negeri 1 Mengwi
Tahun Pelajaran 2011/2012 pada Siklus I
No Nama Siswa Nilai Keterangan 1 Raras Ari Udhyani Made 70 Tidak
Tuntas 2 Risna Widianti Kadek 77 Tuntas 3 Salsabillah Rahma 80 Tuntas 4 Sri Dinda Pradnyadari Ni Putu 77 Tuntas 5 Suranama I Gst.Ngr.A. 80 Tuntas 6 Tiwi Yustiari Ni Kadek 77 Tuntas 7 Tommy Andre Adiputra 70 Tidak
Tuntas 8 Tri Sukma Arsani Nyoman 80 Tuntas 9 Trisnadewi Ni Putu 77 Tuntas
10 Weda Wardhiana Sidemen Ida Bgs. 78 Tuntas 11 Wedani Putu 80 Tuntas 12 Widya Ardani Ni Luh 77 Tuntas 13 Agus Nugraha Arta Wiguna I Made 70 Tidak
Tuntas 14 Anjas Mahardika Putra I Wayan 75 Tidak
Tuntas 15 Ari Purna Adi Dewa Putu 70 Tidak
Tuntas 16 Ayu Lestari Ni Nyoman 70 Tidak
Tuntas 17 Ayu Yuniari Ni Made 74 Tidak
Tuntas 18 Bagus Tedja Divayuda I Putu Gede 77 Tidak
Tuntas 19 Bayu Bismantara I Gst.Ag.Pt 73 Tidak
No Nama Siswa Nilai Keterangan Tuntas
20 Cahaya Ramayanti Dewi Ni Made 77 Tidak Tuntas
21 Cintia Lestari Ni Putu 77 Tidak Tuntas
22 Dangin Suwirya Atmaja I Gd. 80 Tuntas 23 Dharma Wibhawa Aryana I Pt. Gd. 77 Tidak
Tuntas 24 Ega Aprilia Ni Putu 77 Tidak
Tuntas 25 Eka Jayantari Ni Luh Putu 77 Tidak
Tuntas 26 Ellana Widia Wulandari Ni Putu 70 Tidak
Tuntas 27 Ema Aprilia Ni Kadek 78 Tuntas 28 Erma Jadi Arsa I Putu 77 Tidak
Tuntas 29 Gegana Ronaltilies Oki 70 Tidak
Tuntas 30 Indah Dwijayanti Kadek 80 Tuntas 31 Juliawan Wisnu Nugraha I Made 70 Tidak
Tuntas 32 Linda Krisdayanti Ni Putu 80 Tuntas 33 Maura Agustina Ni Luh Made 70 Tidak
Tuntas 34 Nindya Vania Astika P. 80 Tidak
Tuntas Jumlah Nilai 2.572 Rata-rata (Mean) 75,65 Kriteria Ketuntasan Minimal 77,00 Prosentase Ketuntasan Belajar 64,71% Jumlah Siswa yang mesti diremidi 12 Jumlah siswa yang perlu diberi pengayaan 22
2. Hasil Pengamatan Prestasi Belajar IPA kelas VII/D SMP Negeri 1 Mengwi
Tahun Pelajaran 2011/2012 pada Siklus II
No Nomor Subjek Penelitian Nilai Keterangan
No Nomor Subjek Penelitian Nilai Keterangan
1 Raras Ari Udhyani Made 86 Tuntas
2 Risna Widianti Kadek 91 Tuntas
3 Salsabillah Rahma 82 Tuntas
4 Sri Dinda Pradnyadari Ni Putu 85 Tuntas
5 Suranama I Gst.Ngr.A. 82 Tuntas
6 Tiwi Yustiari Ni Kadek 87 Tuntas
7 Tommy Andre Adiputra 85 Tuntas
8 Tri Sukma Arsani Nyoman 81 Tuntas
9 Trisnadewi Ni Putu 77 Tuntas
10 Weda Wardhiana Sidemen Ida Bgs. 78 Tuntas
11 Wedani Putu 81 Tuntas
12 Widya Ardani Ni Luh 75 Tidak Tuntas
13 Agus Nugraha Arta Wiguna I Made 83 Tuntas
14 Anjas Mahardika Putra I Wayan 87 Tuntas
15 Ari Purna Adi Dewa Putu 89 Tuntas
16 Ayu Lestari Ni Nyoman 85 Tuntas
17 Ayu Yuniari Ni Made 83 Tuntas
18 Bagus Tedja Divayuda I Putu Gede 87 Tuntas
19 Bayu Bismantara I Gst.Ag.Pt 83 Tuntas
20 Cahaya Ramayanti Dewi Ni Made 86 Tuntas
21 Cintia Lestari Ni Putu 80 Tuntas
22 Dangin Suwirya Atmaja I Gd. 82 Tuntas
23 Dharma Wibhawa Aryana I Pt. Gd. 80 Tuntas
24 Ega Aprilia Ni Putu 75 Tidak Tuntas
25 Eka Jayantari Ni Luh Putu 78 Tuntas
26 Ellana Widia Wulandari Ni Putu 87 Tuntas
27 Ema Aprilia Ni Kadek 87 Tuntas
28 Erma Jadi Arsa I Putu 81 Tuntas
29 Gegana Ronaltilies Oki 75 Tidak Tuntas
No Nomor Subjek Penelitian Nilai Keterangan
30 Indah Dwijayanti Kadek 86 Tuntas
31 Juliawan Wisnu Nugraha I Made 86 Tuntas
32 Linda Krisdayanti Ni Putu 80 Tuntas
33 Maura Agustina Ni Luh Made 89 Tuntas
34 Nindya Vania Astika P. 84 Tuntas
Jumlah Nilai 2.823
Rata-rata (Mean) 83,03
Kriteria Ketuntasan Minimal 77,00
Prosentase Ketuntasan Belajar 91,18%
Jumlah Siswa yang mesti diremidi 3
Jumlah siswa yang perlu diberi
pengayaan 31
3. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas, dapat diidentifikasikan
bahwa Pada siklus ke II perbaikan prestasi belajar siswa diupayakan lebih
maksimal dengan peneliti membuat perencanaan yang lebih baik, menggunakan
alur dan teori dari model pembelajaran ekspository dengan benar dan lebih
maksimal. Peneliti giat memotivasi siswa agar giat belajar, memberi arahan-
arahan, menuntun mereka untuk mampu menguasai materi pelajaran pada mata
pelajaran IPA lebih optimal. Akhirnya dengan semua upaya tersebut peneliti
mampu meningkatkan prestasi belajar siswa pada siklus II menjadi rata-rata
83,03 dengan persentase ketuntasan belajar mencapai 91,18%. Upaya-upaya
yang maksimal tersebut menuntun kepada penelitian bahwa model pembelajaran
ekspository mampu meningkatkan prestasi belajar siswa.
4. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Bertitik tolak dari pemicu rendahnya prestasi belajar ada pada faktor-faktor
seperti model yang digunakan guru, sehingga penggunaan atau penggantian
model diperlukan, akibatnya peneliti mencoba model pembelajaran ekspository
dalam upaya untuk dapat memecahkan permasalahan yang ada.
Bertumpu pada rendahnya prestasi belajar siswa yang disampaikan pada
latar belakang masalah, penggunaan model pembelajaran ekspository
diupayakan untuk dapat menyelesaikan tujuan penelit ian ini yaitu untuk
mengetahui peningkatan prestasi belajar. Seberapa besar peningkatan yang
dicapai sudah dipaparkan dengan jelas pada akhir analisis. Dari hasil penelitian
yang disampaikan di Bab IV dan melihat semua data yang telah disampaikan,
tujuan penelitian yang disampaikan di atas dapat dicapai dengan bukti sebagai
berikut:
Kenaikan prestasi belajar siswa dapat dilihat dari bukti-bukti berikut:
a. Dari data awal ada 20 orang siswa mendapat nilai dibawah KKM dan
pada siklus I menurun menjadi 12 orang siswa dan siklus II hanya 3
orang siswa mendapat nilai di bawah KKM.
b. Dari rata-rata awal 74,26 naik menjadi 75,68 pada siklus I dan pada
siklus II naik menjadi 83,03.
c. Dari data awal siswa yang tuntas hanya 14 orang siswa sedangkan pada
siklus I menjadi lebih banyak yaitu 22 orang siswa dan pada siklus II
menjadi cukup banyak yaitu 31 orang siswa.
2. Sa ran
Berdasarkan temuan yang sudah disimpulkan dari hasil penelitian, dalam
upaya mencapai tujuan pembelajaran dalam mata pelajaran IPA dapat
disampaikan saran-saran sebagai berikut:
1. Dalam melaksanakan proses pembelajaran pada mata pelajaran IPA
penggunaan model pembelajaran ekspository semestinya menjadi pilihan
dari beberapa metode yang ada mengingat metode ini telah terbukti dapat
meningkatkan kerjasama, berkreasi, bertindak aktif, bertukar informasi,
mengeluarkan pendapat, bertanya, berdiskusi, berargumentasi dan lain-lain.
2. Walaupun penelitian ini sudah dapat membuktikan efek utama dari model
pembelajaran ekspository dalam meningkatkan prestasi belajar, sudah pasti
dalam penelitian ini masih ada hal-hal yang belum sempurna dilakukan,
oleh karenanya kepada peneliti lain yang berminat meneliti topik yang sama
untuk meneliti bagian-bagian yang tidak sempat diteliti.
3. Selanjutnya untuk adanya penguatan-penguatan, diharapkan bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan guna memverifikasi data hasil penelitian. DAFTAR PUSTAKA
Abdul. 2002. http://www.scribd.com/doc/9037208/ Arikunto, Suharsimi; Suhardjono; Supardi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas.
Jakarta: PT Bumi Aksara. Badan Standar Nasional Pendidikan. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007. Jakarta: BSNP. Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga. Dimyati dan Mudjiono. 2001. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Dikti. Djamarah, Syaful Bahri. 2002. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru .
Surabaya: Usaha Nasional. Nana Sudjana. 2000. http://www.scribd.com/doc/9037208/ Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 41 Tahun 2007 Tanggal 23
November 2007. Jakarta: Depdiknas. Purwanto, Ngalim. 1997. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Sardiman, A.M. 1988. Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar Pedoman bagi
Guru dan Calon Guru. Jakarta: Rajawali Pers. Slamet. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta:
Rineka Cipta. Soemanto, Wasty. 2001. Pengantar Psikologi Pendidikan. Surabaya: Usaha
Nasional. Sriyono. 1992. http://www.scribd.com/doc/9037208/ Sudjana, Nana. 2002. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. Sukidin, Basrowi, Suranto. 2002. Menajemen Penelitian Tindakan Kelas.
Penerbti: Insan Cendekia ISBN: 979 9048 33 4. Tim Prima Pena. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Gramedia Press.
PENERAPAN PENDIDIKAN PANCASILA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER MAHASISWA
OLEH
LUH PUTU SWANDEWI ANTARI, SH., MH.
ABSTRACT
Pancasila is the identity of Indonesia, as a philosophy, ideology, and a means of unifying the nation of Indonesia. Pancasila is a way of life, the basic state, and unifying the diverse Indonesian nation. Pancasila also has a role as a shaper of the character of students, one of them is through education that Pancasila education. Based on the above, the formulation of the problem is how the application obtained Pancasila education in the formation of student character.
In the integrated character education colleges in Education Pancasila as the common basic subjects that must be followed by all students. Giving courses Pancasila education to every student it as a form of character development, character and morals in accordance with the values of Pancasila intended to prevent radicalism that endanger the state, and also so that every student can understand and practice the values of Pancasila. With so every student in general should be able to implement the values of Pancasila in daily life. In addition, each student must live up to the values contained in the principles of Pancasila completely and thoroughly.
Keywords: education, Pancasila, character.
Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu pilar yang ikut menopang berdirinya sebuah
peradaban yang disebut dengan bangsa. Eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh
karakter yang dimilikinya. Menjadi bangsa yang berkarakter sudah menjadi tujuan bangsa
Indonesia. Hal ini sesuai dengan fungsi pendidikan nasional yangterdapat pada Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta tanggung jawab.
Essensi dari pendidikan sebenarnya adalah pengalihan (transmisi) kebudayaan (nilai-
nilai) dari generasi yang lebih tua kepada generasi selanjutnya dalam setiap masyarakat atau
bangsa. Masalah pendidikan yang paling mendasar adalah bagaimana memanusiakan
manusia (humanisasi) melalui pendidikan. Masalah pendidikan bukan hanya sekedar
memberdayakan pikiran dan pencapaian prestasi belajar, melainkan berkaitan erat dengan
nurani dan moral spiritual serta pembentukan karakter.
Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia, sebagai falsafah, ideologi, dan alat
pemersatu bangsa Indonesia. Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan
pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk. Pancasila juga memiliki peranan sebagai
pembentuk karakter mahasiswa, salah satunya melalui bidang pendidikan yaitu pendidikan
pancasila. Karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral.
Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang punya kualitas moral (tertentu) yang positif. Dengan
demikian, pendidikan membangun karakter mengandung arti membangun sifat atau pola
perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik,
bukan yang negatif atau yang buruk. Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan
masalah yang diperoleh adalah,“Bagaimanakah penerapan Pendidikan Pancasila dalam
pembentukan karakter mahasiswa?” Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui penerapan Pendidikan Pancasila dalam pembentukan karakter mahasiswa.
Pembahasan
Menurut Kementerian Pendidikan Nasional, pendidikan karakter adalah usaha
menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu
bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya.
Tujuan pendidikan karakter menurut Kementrian Pendidikan Nasional adalah,
1. Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran
baik, dan berperilaku baik.
2. Membangun bangsa yang berkarakter Pancasila
3. Mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada
bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Sedangkan fungsi pendidikan karakter menurut Kementrian Pendidikan Nasional
adalah,
1. Membangun kehidupan kebangsaan yang multikultural.
2. Membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu
berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia, mengembangkan
potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik serta
keteladanan baik.
3. Membangun sikap warga negara yang cinta damai, kreatif, mandiri dan mampu hidup
berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni.
Soetanto (2012) menjabarkan bahwa penerapan pendidikan karakter di perguruan tinggi
didasarkan pada lima pilar utama, yaitu:
1. Tri dharma perguruan tinggi
Pendidikan karakter bisa diintegrasikan ke dalam kegiatan pendidikan, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat yang berkarakter.
2. Budaya perguruan tinggi atau budaya organisasi
Mahasiswa dituntut untuk dapat membiasakan diri dalam kehidupan keseharian di
lingkungan perguruan tinggi.
3. Kegiatan kemahasiswaan
Pendidikan karakter dapat diciptakan melalui integrasi ke dalam kegiatan
kemahasiswaan, antara lain pramuka, olahrga, karya tulis, seni, workshop, dan acara
yang melibatkan mahasiswa dalam sistem kepanitiannya.
4. Kegiatan keseharian
Pendidikan karakter dapat dimunculkan dengan penerapan pembiasaan kehidupan
keseharian di lingkungan keluarga, asrama, dan masyarakat.
5. Budaya akademik
Nilai pendidikan karakter secara perspektif terbentuk dengan adanya totalitas budaya
akademik.
Mahasiswa merupakan orang yang sedang belajar atau melaksanakan studinya di
perguruan tinggi. Mahasiswa di perguruan tinggi mendapatkan pendidikan karakter Yang
sebelumnya sudah mahasiswa peroleh dari pendidikan sebelumnya.
Pembentukan karakter mahasiswa merupakan gagasan besar karena pada perguruan
tinggi terdapat berbagai suku bangsa dengan nuansa kedaerahan yang kental dan
membutuhkan kesamaan pandangan tentang budaya dan karakter yang holistik. Hal itu sangat
penting karena menyangkut kesamaan pemahaman, pandangan, dan gerak langkah untuk
mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh civitas akademika pada perguruan
tinggi tersebut. Faktor-faktor dalam membentuk karakter mahasiswa adalah ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya, agama, normatif (hukum dan peraturan perundangan-undangan),
pendidikan, lingkungan, kepemimpinan.
Pembentukan karakter mahasiswa bertujuan untuk membina dan mengembangkan
karakter dari mahasiwa sehingga mampu mewujudkan mahasiswa yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila adalah dasar falsafah negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam
pembukaan UUD 1945. Setiap warga negara wajib mempelajari, mendalami, menghayati,
dan mengamalkannya dalam segala bidang kehidupan. Seperti kita ketahui bersama, bahwa
saat ini Indonesia berada dalam era globalisasi. Maka agar tidak terombang ambing di tengah
masyarakat internasional, bangsa Indonesia harus memiliki visi dan ideologi yang kuat
(nasionalisme). Terutama kita sebagai mahasiswa harus memiliki ideologi yang berdasarkan
atas Pancasila. Sebab mahasiswa memiliki peran yang penting dalam masyarakat contohnya:
sebagai kontrol sosial dan calon pemimpin bangsa.
Pada perguruan tinggi pendidikan karakter terintegrasi dalam Pendidikan Pancasila
sebagai mata kuliah dasar umum yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa. Pemberian mata
kuliah Pendidikan Pancasila kepada setiap mahasiswa itu sebagai wujud pengembangan
karakter, watak dan akhlak yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dimaksudkan untuk
mencegah timbulnya radikalisme yang membahayakan negara, dan juga agar setiap mahsiswa
dapat memahami dan mengemalkan nilai-nilai Pancasila.
Dengan begitu setiap mahasiswa pada umumnya harus mampu mengimplementasikan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu setiap mahasiswa wajib
menghayati nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila secara utuh dan menyeluruh.
Karakter mahasiswa yang berlandaskan falsafah Pancasila artinya setiap aspek karakter
harus dijiwai ke lima sila Pancasila secara utuh dan komprehensif yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Mahasiswa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Karakter ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seseorang tercermin antara lain hormat dan
bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan, saling menghormati
kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu; tidak
memaksakan agama dan kepercayaannya kepada orang lain.
2. Mahasiswa yang menjunjung Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Karakter kemanusiaan seseorang tercermin antara lain dalam pengakuan atas
persamaan derajat, hak dan kewajiban; saling mencintai; tenggang rasa; tidak semena-
mena; terhadap orang lain; gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan, memiliki sopan santun dalam bersikap dan berpakaian.
3. Mahasiswa yang mengedepankan Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Komitmen dan sikap yang selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan
Indonesia di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan merupakan
karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter kebangsaan seseorang tecermin
dalam sikap menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan
keselamatan perguruan tinggi di atas kepentingan pribadi atau golongan; rela
berkorban untuk kepentingan perguruan tinggi, tidak melakukan tawuran.
4. Mahasiswa yang demokratis dan menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia
Karakter kerakyatan seseorang tecermin dalam perilaku yang mengutamakan
kepentingan masyarakat dan perguruan tinggi tempat menuntut ilmu; tidak
memaksakan kehendak kepada orang lain; mengutamakan musyawarah untuk
mufakat dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
5. Mahasiswa yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan
Karakter berkeadilan sosial seseorang tecermin antara lain dalam perbuatan yang
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Dengan pendidikan pancasila, mahasiswa didambakan menjadi warganegara
Indonesia yang unggul dalam penguasaan Iptek dan seni, namun tidak kehilangna jati dirinya,
apalagi tercabut dari akar budaya bangsa dan keimanannya.
Adapun tujuan pendidikan pancasila sebagai pendidkan berkarakter adalah sebagai
berikut, Pendidikan pancasila mengarahkan perhatian pada moral yang diharapkan
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai golongan
agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku kebudayaan, dan
beraneka ragam kepentingan perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan
kepentingan bersama di atas kepentingan perorangn dan golongan. Dengan demikian
perbedaan pemikiran, pendapat atau kepentingan diatasi melalui keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Membentuk karakter adalah Suatu proses atau Usaha yang dilakukan untuk membina,
memperbaiki dan atau membentuk tabiat, watak, sifat kejiwaan, akhlak (budi pekerti), insan
manusia (masyarakat) sehingga menunjukkan perangai dan tingkah laku yang baik
berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Pada perguruan tinggi pembentukan karakter sudah dapat
terlihat dengan diterapkannya peraturan yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh
mahasiswa salah satunya adalah penggunaan seragam pada saat perkuliahan. Hal ini
memberikan nilai positif dalam pembentukan karakter mahasiswa karena dengan
menggunakan seragam maka tidak terjadi kesenjangan antara mahasiswa, sehingga terwujud
persamaan derajat dan persamaan hak yang terdapat pada Pancasila sila kedua.
Kesimpulan
Pendidikan karakter di perguruan tinggi sangat diperlukan guna membentuk dan
membangun mahasiswa agar menjadi pribadi yang berkarakter sesuai dengan nilai luhur
ideologi Negara Indonesia, dan memperkokoh karakter yang didapat mahasiswa pada tingkat
pendidikan sebelumnya.
Pendidikan Pancasila merupakan pendidikan berkarakter bagi mahasiswa yang akan
membentuk pribadi pancasila yang akan membuahkan sikap mental yang cerdas penuh
tanggung jawab dari peserta didik, khususnya mahasiswa dengan disertai perilaku yang
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berprikemanusiaan yang adil dan
beradab, mendukung persatuan bangsa, mendukung kerakyatan yang mengutamakan
kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan serta mendukung upaya untuk
mewujudkan keadilan sosial. Selain itu, Pendidikan Pancasila akan membentuk karakter
mahasiswa yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai calon pemimpin bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Kemendiknas. 2011. Panduan Pendidikan Karakter. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Kebukuan
Kemendiknas.
Soetanto, Hendrawan. 2012. Pendidikan Karakter. Malang: Univ. Brawijaya.
BEBERAPA PROBLEMATIKA DAN KONTROVERSI SEPUTAR PENGGUNAAN MIXED METHOD (METODE CAMPURAN)
DALAM PENELITIAN Oleh
I Wayan Gunartha [email protected]
Abstract
The mixed methods is a relatively new one. So that, many problems have not been evident to researchers who wish to implement it. This paper aims to provide a clearer description about a few things related to the mixed methods, i.e. the interpretation, matter how analysis, and use of computer programs in the mixed methods. In qualitative research, the interpretation heavily influenced by the validity of the data. Interpretation of the results of the study would be appropriate if the data retrieved is completely valid, reliable and objective. Therefore, to ensure that the proper interpretation of the results of research, the validity of the data needs to be tested. The test can be done by triangulation techniques, discussions with my colleagues (peer debriefing), memberchack, cultural bias, and clarify the audit. The transferability problem in qualitative research there is no agreement yet among the experts. Therefore, the problem of transferability is not the responsibility of researchers, but it is left to the reader. Analysis and data interpretation in mixed methods are in line with mixed method design itself. Today, computer programs for qualitative research has been widely circulated, which can help the efficiency of work in research, such as ATLAS/ti, The Ethnograph, HyperRESEARCH, and NVivo, which can be obtained at the Web site: http://caqdas.soc.surrey.ac.uk/, and has features that are very complete.
Keywords: mixed methods, credibility, transferability, dependability, confirmability.
A. PENDAHULUAN
Metode penelitian campuran (mixed methods) merupakan paradigma yang relatif
masih baru karena lahirnya baru setelah berakhirnya perang paradigma kuantitatif
dengan kualitatif dan merupakan perkembangan dari dua pendekatan sebelumnya
(Creswell, 2010: 304). Menurut Guba dan Lincoln, paradigma diartikan sebagai cara
pandang atau sistem keyakinan yang menjadi pedoman peneliti (Tashakkori dan
Teddlie, 2010: 3). Perang paradigma ini telah berlangsung di berbagai “medan
pertempuran” dengan perhatian utama pada isu-isu konseptual, seperti “dasar realitas”
atau “kemungkinan hubungan kausalitas”.
Dalam bidang psikologi, dekade 1970-an dan 1980-an menjadi saksi penting
perdebatan metodelogi antara ilmuwan seperti Cronbach (1982) dan Cook & Campbell
(1979). Perdebatan ini terfokus pada isu konseptual tentang pentingnya validitas internal
(situasi yang dikontrol, yang dianggap keramat bagi kaum positivis) dan validitas
eksternal (menekankan situasi alami, yang dipilih oleh para konstruktivis). Demikian
pula yang terjadi dalam bidang antropologi, terjadi saling kritik antara kaum positivis
dan konstruktivis atau “naturalis” (Tashakkori dan Teddlie, 2010: 5).
Hammersley (1992) telah mencatat bahwa perdebatan tentang paradigma
kuantitatif dan kualitatif sebenarnya berakar pada pertengahan abad XIX dan dalam
ilmu sosiologi terjadi pada 1920-an dan 1930-an. Akhir-akhir ini, perhatian terhadap
perdebatan itu diawali dengan kebangkitan kembali metode penelitian kualitatif pada
tahun 1960-an dalam ilmu sosiologi dan psikologi, yang sebelumnya didominasi oleh
metode kuantitatif (survai atau eksperimen) (Tashakkori dan Teddlie, 2010: 9).
Untuk mendamaikan antara dua posisi paradigma tersebut, banyak usaha
dilakukan dalam ilmu prilaku sosial. “Penganut kedamaian” telah menunjukkan bahwa
metode kualitatif dan kuantitatif sesungguhnya dapat saling melengkapi. Dalam
penelitian pendidikan dan evaluasi, banyak disajikan tesis berdasarkan perpaduan dua
paradigma yang berbeda yang disebut pragmatisme. Para penganutnya disebut kaum
pragmatis.
Saat ini, perdebatan paradigma memiliki relevansi penting dengan sejarah
filsafat ilmu sosial. Banyak peneliti dan teoritisi mengadopsi ajaran relativisme
paradigma. Bahkan, beberapa pejuang yang paling sering dicatat (seperti Guba &
Lincoln, 1994) telah mengisyaratkan untuk mengakhiri peperangan dengan mengatakan
bahwa metafora tentang perang paradigma yang digambarkan oleh Gage (1989) tampak
berlebihan. Resolusi dari perbedaan paradigma hanya dapat terjadi ketika muncul
paradigma baru yang lebih memberikan informasi dan lebih canggih dari yang sudah
ada.
Teoritisi dan peneliti yang berorientasi pragmatis sekarang telah mengacu ke
“metode campuran” (atau metodelogi campuran atau pencampuran metodelogis), yang
berisi dua elemen pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Dengan kata lain, sejalan
dengan berakhirnya perang paradigma kuantitatif dan kualitatif, lahirlah metode
campuran (mixed method). Sebagai paradigma baru, tentu ia memiliki karakteristik
disain tersendiri yang berbeda dari paradigma sebelumnya. Tashakkori dan Teddlie ed.
(2010: 3) mengatakan “penelitian metode campuran masih berada pada tahap remajanya
dalam pengertian bahwa para pakar belum bersepakat mengenai banyak persoalan dasar
menyangkut bidang ini”. Dengan demikian, peneliti pemula yang tertarik untuk
menggunakan pendekatan ini masih bertanya-tanya, misalnya bagaimana disainnya;
bagaimana pengumpulan datanya; yang mana lebih dulu dilakukan kualitatifnya atau
kuantitatifnya; bagaimana analisis datanya, mana lebih dulu; bagaimana penafsiran
hasil analisisnya; dan lain-lain. Hal ini diseabkan belum banyaknya literatur yang
khusus membahas metode campuran ini.
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam
tulisan ini adalah (1) Apakah yang dimaksud dengan metode campuran kapakah metode
campuran itu digunakan? (2) Bagaimanakah teknik validasi data untuk meningkatkan
ketepatan interpretasi? dan (3) Bagaimanakah proses analisis data dalam metode
campuran? Tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca yang tertarik dengan
metode kualitatif dan campuran.
B. PEMBAHASAN
1. Metode Campuran dan Penggunaannya
Sebelum melangkah ke uraian selanjutnya, kiranya penting sekali untuk
memberikan sebuah definisi mengenai penelitian metode campuran. Tashakkori dan
Teddlie, ed. (2010: 317) mendefinisikan bahwa penelitian metode campuran adalah
penelitian yang menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif ke dalam
metodologi sebuah studi tunggal atau studi bertahap. Dengan mengutip pendapat
Johnson dan Turner, dijelaskan bahwa metode-metode sebaiknya dicampur dalam suatu
cara yang memiliki kekuatan komplementer dan tidak memiliki kelemahan yang
tumpang tindih. Sedangkan, Creswell (2010: 304) secara sederhana mendefinisikan
penelitian metode campuran sebagai penelitian yang menerapkan kombinasi dua
pendekatan sekaligus (kualitatif dan kuantitatif).
Dari pendapat dua di atas, dapat dikatakan bahwa metode campuran memadukan
dua komponen, yaitu: kuantitatif dan kualitatif. Dengan komponen kualitatif di sini
tidak dimaksudkan semata-mata menggunakan data kualitatif dari hasil wawancara
mendalam. Demikian juga dengan komponen kuantitatif, tidak semata-mata
dimaksudkan hanya menggunakan data yang berupa angka. Kata-kata dan angka-angka
hanyalah sekedar lambang, sedangkan data yang sebenarnya ada di balik kata-kata dan
angka-angka tersebut. Artinya, apakah suatu penelitian dikategorikan sebagai kualitatif
atau kuantitatif sangat bergantung kepada bagaimana data tersebut diperoleh. Dalam
memadukan metode tidak asal dicampur, tetapi metode campuran digunakan dengan
dipertimbangkan apakah pemaduan itu memang diperlukan atau tidak. Pemaduan dua
metode itu dilakukan kalau yang satu akan melengkapi dan memperkuat yang lain, atau
saling melengkapi, dan jangan sampai saling melemahkan.
Prinsip fundamental analisis data metode campuran adalah bahwa analisis data
metode campuran didefinisikan sebagai penggunaan teknik analisis kuantitatif dan
kualitatif entah secara bersamaan/konkuren atau berurutan/sekuensial, pada tahap
tertentu yang dimulai dengan proses pengumpulan data, yang interpretasinya dilakukan
secara paralel, terpadu, ataupun berulang.
Ada dua alasan utama dalam menggunakan analisis data metode campuran, yaitu
alasan representasi dan legitimasi. Alasan pepresentasi adalah bahwa analisis metode
campuran menawarkan teknik analisis yang lebih komprehensif daripada analisis
dengan satu teknik saja. Lebih khusus lagi, penggunaan metode campuran
memungkinkan peneliti untuk memanfaatkan kekuatan kedua teknik sehingga bisa
memahami fenomena dengan lebih baik. Hal ini memberikan peluang untuk
menciptakan lebih banyak makna sehingga meningkatkan kualitas interpretasi data.
Sebagian besar peneliti kuantitatif dan kualitatif sepakat bahwa keketatan dalam
penelitian. Keketatan mensyaratkan agar peneliti berupaya untuk bertanggung jawab
penuh atas pengumpulan data, analisis, metode interpretatif mereka. Seperti dinyatakan
oleh Onwuegbuzie (2000), pertanggungjawaban semacam itu menyiratkan agar peneliti
terus menerus berupaya menilai dan mendokumentasikan legitimasi (yaitu validitas,
kredibilitas, ketepercayaan, bisa diandalkan/dependabitilas, konfirmabilitas,
transferabilitas) temuan-temuan mereka.
Dalam penelitian kualitatif, legitimasi telah diberlakukan dalam beraneka ragam
cara, namun konseptualisasi validitas yang bermanfaat adalah konsepnya Maxwell
(1992). Secara khusus ia mengidentifikasi lima jenis validitas dalam penelitian
kualitatif, yaitu: validitas deskriptif, validitas interpretif, validitas teoretis, validitas
evaluatif, dan generalizabilitas. Berkenaan dengan validitas kelima, yaitu
generalizabilitas, Maxwell (1992) membedakan generalizabilitas internal dan eksternal.
Menurutnya, dalam penelitian kualitatif yang lebih penting adalah generalizabilitas
internal. Sedangkan dalam penelitian kuantitatif keduanya sangat penting.
2. Persoalan Interpretasi dalam Analisis Data Kualitatif
Dalam penelitian kualitatif dan juga penelitian menggunakan metode campuran,
ketepatan interpretasi hasil penelitian sering menjadi persoalan. Hal ini terkait dengan
keabsahan data yang diperoleh. Ketepatan interpretasi hasil penelitian sangat
dipengaruhi oleh keabsahan data. Oleh karena itu, untuk menjamin bahwa interpretasi
hasil penelitian tepat, keabsahan data perlu diuji. Menurut Sugiyono (2010: 267), dalam
penelitian kualitatif, kriteria utama terhadap hasil penelitian adalah valid, reliabel dan
obyektif. Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada obyek
penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Sax (1989: 289)
mengatakan validitas didefinisikan sebagai sejauh mana pengukuran bermanfaat dalam
membuat keputusan yang relevan dengan tujuan. Creswell (2010: 286) mengatakan
bahwa validitas didasarkan pada kepastian apakah hasil penelitian sudah akurat dari
sudut pandang peneliti, partisipan, atau pembaca secara umum. Istilah lain untuk
validitas ini adalah credibility, trustworthiness,authenticity. Validitas bukan dibuat
dengan pernyataan, tetapi dengan bukti (Sax, 1989: 289).
Terdapat dua macam validitas, yaitu validitas internal dan eksternal (Maxwell
1992). Validitas internal berkenaan dengan derajat akurasi desain penelitian dengan
hasil yang dicapai. Kalau dalam desain penelitian dirancang untuk meneliti etos kerja
pegawai, maka data yang diperoleh seharusnya data yang akurat tentang etos kerja
pegawai. Validitas eksternal berkenaan dengan derajat akurasi apakah hasil penelitian
dapat digeneralisasikan atau diterapkan pada populasi di mana sampel tersebut diambil.
Reliabilitas, menurut Susan Stainback (dalam Sugiyono 2010: 268), berkenaan dengan
derajat konsistensi dan stabilitas data atau temuan. Dalam pandangan positivistik
(kuantitatif) suatu data dinyatakan reliabel apabila dua atau lebih peneliti dalam obyek
yang sama menghasilkan data yang sama. Obyektivitas berkenaan dengan “derajat
kesepakatan” atau “interpersonal agreement” antarbanyak orang terhadap suatu data.
Dalam penelitian kuantitatif, untuk mendapatkan data yang valid, reliabel, dan
obyektif, maka penelitian dilakukan dengan menggunakan instrumen yang valid dan
reliabel, dilakukan pada sampel yang mendekati jumlah populasi dan pengumpulan data
serta analisis data dilakukan secara benar. Dalam penelitian kuantitatif, untuk
mendapatkan data yang valid, reliabel, yang diuji validitas dan reliabilitasnya adalah
instrumen penelitiannya, sedangkan dalam penelitian kualitatif yang diuji adalah
datanya.
Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dikatakan valid apabila tidak
ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi
pada obyek yang diteliti. Tetapi, perlu diketahui bahwa kebenaran realitas data menurut
penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal (Sugiyono, 2010: 269). Pengertian reliabilitas
dalam penelitian kualitatif sangat berbeda dengan reliabilitas dalam penelitian
kuantitatif. Hal ini terjadi karena perbedaan paradigma dalam melihat realitas. Menurut
penelitian kualitatif, suatu realitas bersifat majemuk/ganda, dinamis/selalu berubah,
sehingga tidak ada yang konsisten, berulang seperti semula. Selain itu, cara melaporkan
penelitian bersifat ideosincratic dan individualistik, selalu berbeda dari orang perorang.
Dalam pengujian keabsahan data, metode penelitian kualitatif menggunakan istilah
yang berbeda dengan penelitian kuantitatif. Perbedaan tersebut ditunjukka pada tabel 1
di bawah ini.
Tabel 1 Perbedaan Istilah dalam Pengujian Keabsahan Data antara Metode Kuantitatif
dan Kualitatif
Aspek Metode Kuantitatif Metode Kualitatif
Nilai kebenaran Validitas internal Kridibilitas (credibility)
Penerapan Vaiditas eksternal (generalisasi) Transferability
Konsistensi Reliabilitas Dependability, auditability
Naturalitas Obyektivitas Confirmability
Dalam pelaksanaannya, pengujian keabsahan data, dapat digunakan teknik tertentu.
Pengujian kridibilitas dapat dilakukan dengan teknik triangulasi, diskusi teman sejawat,
memberchack, dan lain-lain. Pengujian dependability (reliabilitas) dan confirmability
dapat menggunakan teknik audit. Masing-masing teknik ini akan dibahas satu per satu.
Triangulasi Data.
Triangulasi di sini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber
dengan berbagai cara, dan berbagai waktu (Wiliem Wiersma dalam Sugiyono, 2010:
273). Jadi, ada triangulasi sumber data, triangulasi teknik pengumpulan data, dan
triangulasi waktu. Triangulasi sumber adalah menguji kredibilitas data yang dilakukan
dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Triangulasi
teknik adalah menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek data
kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Sedangkan, triangulasi waktu
adalah menguji kedibilitas data yang dilakukan pada waktu yang berbeda (pagi, siang,
sore, atau malam) karena waktu juga sering berpengaruh terhadap kredibilitas data.
Demikian juga Mertens (2010: 429) mengatakan bahwa triangulasi melibatkan
penggunaan banyak metode dan banyak sumber data, untuk menunjang keakuratan
penafsiran dan kesimpulan dalam penelitian kualitatif. Seperti Guba dan Lincoln (1989)
mencatat, triangulasi seharusnya tidak digunakan untuk menutupi perbedaan-
perbedaan over legitimasi dalam penafsiran data; ini adalah penafsiran yang salah
mengenai arti triangulasi.
Melakukan Member Checks
Membercheck adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada
pemberi data atau partisipan (Sugiyono, 2010: 276). Tujuan membercheck ini adalah
untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan
partisipan. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh para partisipan, berarti datanya
valid. Menurut Creswell (2010: 287), membercheck ini dapat dilakukan dengan
membawa kembali laporan akhir atau tema-tema spesifik ke hadapan partisipan untuk
mengecek apakah mereka merasa tema tersebut sudah akurat. Membercheck dapat
dipergunakan selama proses pengumpulan data. Ia dapat dilakukan pada tingkat analisis
data dan juga pada penulisan laporan. Darbyshire et al. (2005) mencatat bahwa
penggunaan berulang membercheck pada tahap-tahap penelitian yang berbeda dapat
meningkatkan validitas (Mertens, 2010: 431). Dalam uji kredibilitas ini, selain
menggunakan triangulasi dan memberchack, dapat pula dilakukan dengan cara lain
seperti memperpanjang pengamatan, diskusi teman sejawat, analisis kasus negatif, dan
lain-lain (Sugiyono, 2010: 271-276).
Audit
Selain memiliki validitas internal (credibility), data penelitian kualitatif harus
memiliki reliabilitas (dependability). Audit adalah suatu teknik pemeriksaan
dependability. Yang dimaksud depenability adalah bahwa pendekatan yang digunakan
oleh peneliti konsisten jika diterapkan oleh peneliti-peneliti lain (dan) untuk proyek-
proyek yang berbeda. Bagaimana peneliti kualitatif mengetahui bahwa pendekatan
mereka konsisten? Yin (2003) menegaskan bahwa peneliti kualitatif harus
mendokumentasikan prosedur-prosedur studi kasus mereka dan mendokumentasikan
sebanyak mungkin langkah-langkah dalam prosedur tersebut (Creswell, 2010: 285).
Pengujian confirmability dalam penelitian kualitatif disebut uji obyektivitas penelitian.
Penelitian dikatakan obyektif bila hasil penelitian telah disepakati banyak orang.
Pengujian confirmability mirip dengan pengujian dependability, sehingga proses
pengujiannya bisa dilakukan bersamaan. Menguji confirmability berarti menguji hasil
penelitian berkaitan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan
fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi
standar confirmability (Sugiyono, 2010: 277). Jadi, pengujian keduanya ini dilakukan
dengan audit, sehingga dikenal dengan adanya dua macam audit, yaitu dependenability
dan confirmability audit (Mertens, 2010: 429).
3. Generalizability/Transferability
Seperti disinggung di atas, generalizability ini merupakan validitas eksternal
dalam penelitian kuantitatif. Generalizability adalah sebuah konsep yang berakar pada
paradigma postpositivistik dan secara teknis mengacu kepada kemampuan untuk
menggeneralisasikan hasil-hasil riset yang dilakukan pada sebuah sampel ke populasi.
Dalam riset kualitatif, Guba dan Lincoln (1989) mengusulkan bahwa konsep
transferability lebih tepat (Mertens, 2010: 430; Sugiyono, 2010: 276; Maxwell (1992).
Ada perbedaan pendapat dalam masyarakat riset kualitatif mengenai klaim
tentang generalizabilitas temuan. Creswell (2010: 289) berpendapat bahwa tujuan dari
generalisasi dalam penelitian kualitatif bukan untuk menggeneralisasikan hasil
penemuan pada individu-individu, lokasi-lokasi, atau tempat-tempat di luar objek
penelitian, sebagaimana dalam penelitian kuantitatif. Pada dasarnya, nilai dari penelitian
kualitatif terletak pada deskripsi dan tema-tema tertentu yang berkembang/
dikembangkan dalam konteks tertentu pula. Karakteristik penelitian kualitatif adalah
menekankan partikularitas ketimbang generalisabilitas. Hal senada juga diungkapkan
oleh Tashakkori dan Teddlie (2010: 104), bahwa untuk mereka yang condong pada
kualitatif, generalisasi bukanlah sesuatu yang menarik. Untuk peneliti kualitatif,
hipotesis kerja selalu terikat waktu dan konteks tertentu. Akan tetapi, ada sejumlah
literatur kualitatif yang membahas mengenai generalisabilitas ini, khususnya yang
berlaku untuk penelitian studi kasus. Yin (2003) misalnya, merasa bahwa hasil studi
kasus kualitatif dapat digeneralisasikan pada sejumlah teori yang lebih luas.
Jadi, berdasarkan beberapa pendapat ahli, masalah transferability dalam
penelitian kualitatif belum ada kesepakatan. Oleh karena itu, masalah transferability
bukan menjadi tanggung jawab peneliti, tetapi diserahkan kepada pembaca. Dengan
kata lain, keharusan membuktikan transferability ada pada pembaca, dan peneliti hanya
bertanggung jawab memberikan deskripsi mendalam yang memungkinkan pembaca
untuk membuat penilaian tentang penerapan riset di tempat yang lain.
4. Isu-Isu Analitis dan Interpretatif dalam Metode Campuran
Analitis dan interpretasi data dalam metode penelitian mixed dipengaruhi oleh
desain studi peneliti. Jika desain sekuensial dipergunakan, lebih mungkin bahwa
analisis data satu tipe data akan mendahului tipe yang lain (Mertens, 2010: 431).
Berdasarkan pernyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa cara analisis dan iterpretasi
data dalam penelitian campuran akan sejalan dengan disain metode campuran itu
sendiri. Dalam metode campuran, dikenal adanya enam desain (Tashakkori dan Teddlie,
2010; Ceswell, 2010). Selanjutnya, pengumpulan, analisis data, serta interpretasi hasil
adalah mengikuti bagan berikut. Ini adalah contoh desain yang digunakan.
Contoh Disain Eksplanatoris Sekuensial (3a).
KUAN kual
Pengumpulan data KUAN
Analisis data
KUAN
Pengumpulan data kual
Analisis data kual
Interpretasi seluruh analisis
Gambar di atas dapat dijelaskan bahwa jika peneliti menggunakan desain
sekuensial eksplanatoris, maka langkah yang dilakukan adalah (1) pengumpulan data
kuantitatif, (2) analisis data kuantitatif, (3) pengumpulan data kualitatif (4) analisis data
kualitatif, dan (5) interpretasi seluruh analisis. Selanjutnya, desain yang lain mengikuti
tabel berikut ini.
Tabel 2 Jenis-Jenis Desain Metode Campuran
Jenis Desain Implementasi Prioritas Tahap Integrasi
Perspektif Teori
Eksplanatoris Sekuensial (1)
Kuantitatif diikuti kualitatif
Biasanya kuantitatif,
Pada tahap interpretasi
Mungkin ada
Eksploratoris Sekuensial (2)
Kualitatif diikuti kuantitatif
Lazimnya kualitatif
Pada tahap interpretasi
Mungkin ada
Transformatif Sekuensial (3)
Bisa kuantatitatif diikuti kualitatif atau sebaliknya
Kuantitatif, kualitatif, atau keduanya
Pada tahap interpretasi
Pasti ada kerangka konseptual
Triangulasi bersamaan/konkuren (4)
Dilakukan bersamaan (kuan + Kual)
Disukai keduanya, tapi bisa salah satu
Pada tahap interpretasi atau analisis
Mungkin ada
Menginduk bersamaan/konkuren (5)
Dilakukan bersamaan (kuan + Kual), salah satu diutamakan
Salah satu (kuantitatif atau kualitatif)
Tahap analisis
Mungkin ada
Transformatif bersamaan/konkuren (6)
Dilakukan bersamaan (kuan + Kual)
Kuantitatif, kualitatif, atau keduanya
Lazimnya tahap analisis;bisa tahap interpretasi
Pasti ada kerangka konseptual
Sumber: Tashakkori dan Taddlie, ed., 2010; 201)
Mertens (2010: 431) memberi contoh strategi sekuensial eksplanatoris, yang
digunakan dalam penelitian orang tua dan anak-anak tuli mereka (Meadow-Orlans et al.,
2003).
Dalam uraian yang lain, Tashakkori dan Teddlie (2010: 211-241) menjelaskan
model-model analisis data metode campuran sebagai berikut.
A. Analisis Data Campuran secara Bersamaan
Model ini dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: analisis paralel campuran,
analisis bersama data kualitatif yang sama dengan dua metode, dan analisis bersama
data kuntlitatif yang sama dengan dua metode.
(1) Analisis paralel Campuran. Model ini disebut sebagai trianguasi sumber data dan
paling luas digunakan dalam ilmu soasial dan prilaku. Banyak peneliti
menggunakan kombinasi data kualitatif dan kuantitatif dalam penelitiannya. Dalam
penelitian laboratorium, partisipan diwawancarai pada sesi akhir guna menentukan
jenis interpretasi dan persepsi mereka yang mungkin mempengaruhi model respon
mereka. Data kuantitatif yang diperoleh dianalisis dengan prosedur statistik,
sementara hasil wawancara dianalisis dengan analisis isi (kontent).
Dalam penelitian survei, selalu ada kombinasi pilihan tanggapan terbuka dan
tertutup. Tanggapan tertutup dianalisis dengan statistik, dan tanggapan terbuka
dianalisis berdasar isinya.dlm survai kualitatif walaupun tumpukan data kualitatif
dianalisis secara bersaman, ada variabel yang bisa dianalisis secara kuantitatif.
Bentuk paling sederhana dari analisis kuantitatif adalah dengan menghitng statistik
deskriptif pada variabel yang tepat.
(2) Analisis Bersamaan atas data kualitatif yang sama dengan dua metode. Analisis ini
mengharuskan transformasi data kuantitatif dalam bentuk angka. Pada awalnya,
kita mengarahkan transformasi ini melalui pengkuantifikasian data kualitatif.
Pengkuantifikasian mungkin memasukkan penghitungan frekuensi sederhana atas
tema-tema tertentu, tanggapan, prilaku, atau peristiwa. Selanjutnya, data hasil
transformasi dianalisis secara kuantitatif.
(3) Analisis Bersamaan atas data kuantitatif yang sama dengan dua metode. Analisis
ini menuntut transformasi data kuantitatif pada data kategori kualitatif atau naratif.
Transformasi ini disebut pengkualitatifan data kuantitatif. Jadi model ini kebalikan
dari model (2) di atas. Selanjutnya, data hasil transformasi dianalisis secara
kualitatif.
B. Urutan Analisis Kualitatif-Kuantitatif
Pada strategi analisis data jenis ini, analisis data kualitatif awal menuntun
identifikasi atas anggota kelompok yang memiliki kesamaan dengan lainnya dalam satu
hal. Kelompok yang telah diidentifikasi kemudian dibandingkan dengan data kuantitatif
yang tersedia atau dengan data yang dikumpulkan melalui analisis kualitatif. Jenis ini
masih memiliki variasi urutan, yaitu: pertama, membentuk kelompok individu
berdasarkan data/pengamatan kualitatif dan diperbandingkan dengan kelompok data
kuantitatif. Kedua, adalah membentuk kelompok atribut atau tema melalui analisis isi
diikuti dengan penguatan analisis statistic data kuantitatif yang dikumpulkan. Contoh
jenis strategi ini adalah kajian Iwanicki dan Tashakkori (1994) dimana kecakapan dan
efektivitas kepala sekolah yang diperoleh melalui analisis isi data kualitatif diukur
kembali melalui instrumen survei yang dikirim ke kepala sekolah.
C. Urutan Analisis Kuantitatif-Kualitatif
Analisis jenis ini diawali dengan pembentukan kelompok indivivdu atau
pembentukan situasi berdasarkan data kuantitatif awal dan kemudian diperbandingkan
dengan kelompok data kualitatif, yang dikumpulkan secara berurutan, sama dengan
jenis analisis di atas. Contoh yang paling luas digunakan dari analisis ini adalah tindak
lanjut dari skor sisa analisis regresi ganda atau nilai covarian yang disesuaikan dengan
analisis kovarian. Berdasarkan hasil analisis kuantitatif, misalnya diperoleh suatu
variabel tidak berpengaruh, padahal secara teori berpengaruh, kemudian dikumpulkan
data kualitatif untuk mengetahui kemungkinan penyebabnya.
5. Analisis Data Kualitatif dengan Menggunaan Komputer
Dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat, program analisis data
dengan komputer untuk penelitian kualitatif juga telah tersedia. Penggunaan komputer
dalam analisis kualitatif dapat membantu efisiensi kerja karena studi kualitatif
cenderung menghasilkan data yang banyak, yang akan memakan tenaga dan waktu yang
cukup banyak jika hal itu dikerjakan dengan tangan. Oleh karena itu, banyak peneliti
telah beralih ke sistem komputerisasi.
Menurut Mertens (12010: 429), sekarang banyak program komputer tersedia
(misalnya, ATLAS / ti, The Ethnograph, HyperRESEARCH, dan NVivo). Karena itu, ia
tidak merekomendasikan software tertentu, tetapi merujuk ke sebuah Web site yang
ditemukan untuk dimanfaatkan, yang disebut Computer Assisted Qualitative Data
Analysis di mana pembaca akan menemukan analisis-analisis berbagai program,
sebagaimana berita utama di tempat ini (http://caqdas.soc.surrey.ac.uk/). Dalam artikel
yang berjudul Computer Assisted Qualitative Data Analysis, hasil penjelajahan penulis
di internet, memang dalam artikel itu dijelaskan bahwa penggunaan komputer dalam
analisis kualitatif dapat untuk menghemat waktu dan usaha dalam pengelolaan data
dengan memperluas kemampuan peneliti untuk mengatur, melacak dan mengelola data
(Baugh, at al. 2010).
Lebih jauh Creswell (2010: 281-282) menjelaskan bahwa ada beberapa software
komputer yang dapat membantu dalam meng-coding, mengolah, memilah-milah
informasi yang mungkin berguna dalam penelitian kualitatif. Software komputer itu
memiliki fitur-fitur yang sangat berguna seperti tersedianya tutorial dan CD peragaan,
kemampuan menggabungkan data teks dan gambar, kehandalan dalam penyimpan dan
pengolahan data, kapasitas pencarian dan penempatan semua teks yang berhubungan
dengan kode-kode tertentu, pencarian kode-kode yang saling berhubungan dalam
membuat pertanyaan-pertanyaan hubungan antarkode, import serta export data kualitatif
ke program kuantitatif.
Jadi, penggunaan komputer merupakan cara yang efisien untuk menyimpan dan
menempatkan data kualitatif, meskipun dalam program ini peneliti masih perlu
membaca teks (seperti transkripsi-transkripsi) dan memindahkan kode-kode. Proses ini
akan lebih cepat dan efisien dibandingkan meng-coding menggunakan tangan. Selain
itu, jika data base sangat banyak, peneliti bisa dengan cepat mencari kutipan-kutipan
yang memiliki kode yang sama dan mendeteksi apakah partisipan merespons gagasan
dalam kode tersebut dengan cara yang sama atau berbeda. Di luar kemudahan ini,
program komputer dapat memfasilitasi peneliti untuk membandingkan kode-kode yang
berbeda. Fitur-fitur inilah yang membuat proses coding dengan software komputer
menjadi pilihan yang lebih logis daripada menggunakan tangan.
Sebagaimana program-program software lain, program software kualitatif
seperti ini juga membutuhkan waktu dan keterampilan peneliti untuk mempelajari dan
menerapkannya secara efektif, meskipun buku-buku yang membahas teknik-teknik
penggunaan program ini sudah tersedia (seperti Computer Program for Qualitative
Data Analysis yang ditulis Waitzman dan Miles 1995). Ada banyak progar software
yang mendukung untuk PC pribadi seperti yang digunakan oleh Creswell, seperti:
MAXqda (www.maxqda.com). Program ini merupakan program berbasis PC dari
Jerman yang dapat membantu peneliti secara sistematis mengevaluasi dan
menginterpretasi teks-teks kualitatif. Program ini memiliki semua fitur yang telah
disebutkan di atas.
Atlas.ti (www.atlasti.com). Ini juga berasal dari Jerman juga dapat membantu
peneliti mengolah file-file data teks, gambar, audio, dan visual, serta hal-hal lain
yang dapat di-coding, seperti memo ke dalam proyek penelitian.
QSRNVivo (www.qsrinternational.com). Program ini berasal dari Australia, yang
menawarkan software terkenal a N6 (atau Nud.ist) yang dikombinasikan dengan
concept mapping NVivo.
HyperRESEARCH (www.researchware.com). Program ini mendukung baik untuk
PC maupun MAC dan mudah digunakan, yang memungkinkan peneliti untuk
meng-coding, memperoleh kembali, dan membangun teori-teori, serta melakukan
analisis data.
Sebelum memutuskan program software mana yang digunakan," peneliti
seharusnya mereview sumber-sumber yang yang relevan. Peneliti perlu mengambil
sistem yang cocok dengan perangkat keras yang ada juga dengan tujuan penelitian.
Satu peringatan: Bukan masalah betapa menarik software tersebut, seharusnya tidak
memisahkan peneliti dari keterlibatan aktif dengan data. Sebuah komputer dapat
menjadi satu bantuan penting dalam proses ini, tetapi peneliti seharusnya tidak
membiarkannya menjadi alat yang memisahkan peneliti dari proses untuk mengetahui
apa yang harus dijelaskan oleh data (Mertens, 2010: 429).
Program-program perangkat lunak untuk analisis statistik dan analisis data
kualitatif (QDA) bisa digunakan secara berdampingan untuk analisis paralel ataupun
sekuensial data bentuk campuran. Ketika melakukan tugas tersebut, program perangkat
lunak semata-mata memberikan kemudahan dan efisiensi yang lebih besar dalam
menangani data (Tashakkori dan Teddlie, 2010: 345). Selanjutnya, dijelaskan bahwa
penggunaan teknik-teknik di atas untuk rekayasa dan analisis data memunculkan
persoalan teknik sekaligus epistemologi. Pada sisi teknis, muncul persoalan
penyampelan dan pemilihan alat-alat statistik yang tepat. Makna kode, tema, dan
variabel pun memunculkan persoalan epistemologis dan teknis sewaktu data diubah dari
satu bentuk ke bentuk yang lain. Masing-masing persoalan ini perlu dikaji di dalam
kerangka konseptual yang ditetapkan berdasarkan tujuan analisis, di samping juga
dengan bekal pemahaman tentang keterbatasan yang dimunculkan oleh teknologi.
Terakhir perlu diperhatikan bahwa metode-metode tradisional penyajian studi penelitian
pada umumnya tidak tepat bagi jenis-jenis analisis metode campuran berbasis komputer
ini.
6. KESIMPULAN
Dalam penelitian kualitatif, ketepatan interpretasi hasil penelitian sangat
dipengaruhi oleh keabsahan data. Interpretasi hasil penelitian akan tepat jika data yang
diperoleh benar-benar valid (credibility), reliabel (dependability) dan objektif
(confirmability). Oleh karena itu, untuk menjamin bahwa interpretasi hasil penelitian
tepat, keabsahan data perlu diuji. Pengujiannya dapat dilakukan dengan teknik
triangulasi (sumber data, teknik, dan waktu), diskusi dengan teman sejawat (peer
debriefing), memberchack, mengklarifikasi bias budaya, dan audit. Berdasarkan
beberapa pendapat ahli, validitas eksternal (transferability) dalam penelitian kualitatif
belum ada kesepakatan, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan
transferability ini.
Proses analitis dan interpretasi data dalam metode penelitian mixed dipengaruhi
oleh desain studi peneliti. Jika misalnya desain sekuensial dipergunakan, maka analisis
data satu tipe data akan mendahului tipe yang lain. Jadi, analisis dan iterpretasi data
dalam penelitian campuran akan sejalan dengan disain metode campuran itu sendiri,
yaitu: sekuensial aksplanatoris (KUAN diikuti kual), sekuensial eksploratoris (KUAL
diikuti kuan), sekuensial transformatif, triangulasi konkuren, embedded konkuren, dan
transformatif konkuren.
Dewasa ini, program analisis data dengan komputer untuk penelitian kualitatif
telah banyak berdar, yang dapat membantu efisiensi kerja karena studi kualitatif
cenderung menghasilkan data yang banyak. Oleh karena itu, banyak peneliti telah
beralih ke sistem komputerisasi. Program komputer yang ada misalnya, ATLAS / ti,
The Ethnograph, HyperRESEARCH, dan NVivo, yang dapat diperoleh pada Web site:
(http://caqdas.soc.surrey.ac.uk/). Software komputer tersebut memiliki fitur-fitur yang
sangat lengkap. Program ini juga membutuhkan waktu dan keterampilan peneliti untuk
mempelajari dan menerapkannya secara efektif.
Daftar Pustaka
Creswell, J. W. (2010). Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed.Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Baugh , J. B. at al, (2010). Computer assisted qualitative data analysis software: a practical perspective for applied Research. Revista del Instituto Internacional de Costos, ISSN 1646-6896, n º 6, Januari / Juni 2010
Maxwell, J.A. (1992). Understanding and validity in qualitative research. Harvard Educational Review, vol. 62 No.3 Fall 1992, 279-299.
Mertens, D. M. (2010). Research and evaluation in education and psychology. USA: Sage Publication, Inc.
Sax, G. (1989). Priciples of education and psychological measurement and evaluation. Blemont California: Wadsworth Publishing Company.
Sugiyono. (2010). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R dan D. Bandung: Alfabeta.
Tashakkori, A. dan Teddlie, C. (2010). Mixed methodology Mengkombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tashakkori, A. dan CTeddlie, C. (Ed). (2010). Handbook of mixed methods in social & behavioral research.(Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Biodata Penulis:
- Penulis adalah Lektor Kepala dalam bidang Evaluasi Pendidikan dan bekerja sebagai dosen Kopertis Wilayah VIII, dpk pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, FPBS IKIP PGRI Bali Denpasar sejak tahun 1993
- Riwayat Pendidikan:
S-1: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 1987- 1992 ( FKIP Universitas Udayana).
S-2: Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 1999-2002 (Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta/UNY).
S-3: Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 2010-2013 (Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta/UNY).
1
ANALISIS BENTUK, FUNGSI, MAKNA, dan NILAI PENDIDIKAN
dalam TUTUR RUNTUH WATUGUNUNG
oleh
I Nyoman Sadwika Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP PGRI BALI
Abstract Literature Bali as a supporter of indigenous religion , is a reflection of local culture influenced by the pattern of community life which is based on strong traditions , rooted in moral and religious ethics . Tutur in Bali is one piece of literature that gives an idea of the vision of human life , as well as a material to determine people's lives . Problems in this study were (1) What forms of discourse Tutur Runtuh Watugunung? (2) What is the function of discourse Tutur Runtuh Watugunung ? (3) What is the meaning of discourse Tutur Runtuh Watugunung ? (4) What are The educational values contained in the Tutur Runtuh Watugunung? The method used is descriptive method qualitative, and the conclusions Tutur Runtuh Watugung also has the form , function , meaning , and value of education. Keywords : Analysis of Form, Function, Meaning and Value of Education, Tutur
Runtuh Watugunung
PENDAHULUAN
Karya sastra yang diciptakan oleh para sastrawan adalah untuk dinikmati,
dipahami dan pada akhirnya nilai-nilai karya sastra tersebut dapat kita ambil
hikmahnya serta diamalkan. Patut di sadari bahwa di daerah Bali masih banyak
naskah-naskah yang berbentuk cerita serta karya-karya sastra yang lainnya, yang
masih tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat. Sastra Bali sebagai
pendukung adat agama, merupakan cermin kebudayaan daerah yang dipengaruhi
oleh pola kehidupan masyarakat yang berlandaskan adat-istiadat yang kuat,
bersumber pada moral dan etika agama.
Di Bali Tutur merupakan salah satu bagian dari sastra yang memberi
gambaran tentang visi kehidupan manusia, sekaligus merupakan bahan untuk
mengetahui kehidupan masyarakat. Di samping itu, cerita mengungkapkan sisi-sisi
penting dari kehidupan. Sebuah karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan adalah
2
untuk dinikmati, dipahami dan direnungkan oleh masyarakat. Oleh karena itu
diharapkan karya sastra tersebut mampu mengungkapkan misteri yang ada dalam
masyarakat, dan sebagai penikmat mampu menghayatinya.
Mengingat bahwa tutur sebagai salah satu karya sastra Bali (tradisional)
mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat-
nya. Menampilkan unsur-unsur struktur cerita yang lengkap dan lewat ceritanya itu
tercermin berbagai nilai-nilai kehidupan manusia yang dapat dijadikan pedoman bagi
kehidupan masa sekarang maupun masa mendatang. Salah satu tutur yang
memiliki nilai-nilai pendidikan yang kental dengan nilai religiusnya adalah tutur
Runtuh Watugunung.
Ketertarikan yang lain adalah terhadap wacananya. Wacana Tutur Runtuh
Watugunung yang disampaikan secara lisan. Berhubungan erat dengan ajaran agama
hindu terutama dengan adanya piodalan Saraswati yang mana pada hari itu
merupakan hari turunnya ilmu pengetahuan bagi umat hindu, yang dikenal sampai
sekarang merupakan hari pendidikan bagi umat hindu. Tetapi fenomena yang terjadi
dimasyarakat bahwa jarang sekali para generasi muda memahami asalmuasal
lahirnya hari pendidikan, atau hari piodalan saraswati, serta rentetan hari-hari suci
yang berkenaan dengan tutur yang terdapat dalam tutur runtuh watu gunung.
Masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana bentuk wacana Tutur Runtuh
Watugunung? (2) Bagaimanakah fungsi wacana Tutur Runtuh Watugunung? (3)
Bagaimanakah makna wacana Tutur Runtuh Watugunung? (4) Nilai-nilai pendidikan apa
sajakah yang terkandung di dalam Tutur Runtuh Watugunung?
PEMBAHASAN
Konsep merupakan unsur pokok dari suatu pengertian, definisi, batasan
secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala, atau merupakan definisi dari apa
yang perlu diamati dalam proses penelitian. Dalam hal ini, konsep adalah tafsiran
mengenai pola – pola korelasi antara kelas – kelas pengetahuan yang abstrak
(Muhadjir, 2000:304).
Sehubungan dengan batasan konsep tersebut di atas, maka dalam penelitian
ini, penulis akan memaparkan beberapa konsep yang bermanfaat bagi penelitian ini,
antara lain, konsep nilai, dan konsep tutur.
3
Konsep Nilai
Menurut Poerwadarminta, (1993:677) mengatakan bahwa nilai adalah sifat-
sifat (hal-hal) penting atau berharga bagi kemanusiaan.
Sistem nilai sebagai pembangun kualitas manusia dari persefektif pendekatan
sumber daya manusia adalah merupakan tujuan pembangunan dan sekaligus
merupakan sarana pembangunan. Kualitas manusia merupakan sebuah konsep yang
dapat bersifat objektif maupun normatif. Secara objektif konsep ini dilihat sebagai
pandangan menyeluruh mengenai ciri, kepribadian manusia yang disesuaikan dengan
alam sekitarnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka nilai merupakan sesuatu yang penting atau
berharga dalam kehidupan masyarakat yang memberi arah dalam kehidupan manusia
tentang apa yang baik, benar, serta apa yang berharga dan berguna bagi
kemanusiaan.
Konsep Tutur
Konsep adalah tafsiran mengenai pola-pola korelasi antara kelas-kelas fakta
menuju ke tingkat pengetahuan yang abstrak (Koentjaraningrat, 1991:10). Dikata-
kan pula bahwasannya konsep merupakan unsur-unsur pokok dari suatu pengertian,
definisi, batasan secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala atau merupakan
definisi dari apa yang perlu diamati dalam proses penelitian. Pengertian konsep di
atas memberi isyarat bahwa kata kunci suatu konsep adalah abstraksi dan
pembatasan. Dari uraian di atas, konsep merupakan suatu Kenyataan yang dapat diuji
kebenarannya.
Tutur merupakan cerita prosa rakyat Bali yang telah mengendap lebih dari
satu generasi, pada dasarnya tutur berbentuk lisan (sastra lisan) yang ditransformasi-
kan (ditukar) secara oralty, yaitu dari mulut ke mulut secara tradisional. Dalam
pengajaran tutur Bali ditemukan berbagai kehidupan, baik kehidupan manusia, dewa-
dewa, binatang, maupun tumbuh-tumbuhan, yang mengarah ke dalam dua maksud
yaitu: (1) tutur sebagai pelipur lara, dimana yang dimaksudkan oleh pengarang
dalam hal ini adalah tutur sebagai alat untuk menghibur, mengisi waktu luang, (2)
4
tutur sebagai alat didik: mengandung tema mengisahkan pertentangan antara yang
baik (dharma) dengan yng bersifat buruk (adharma).
Konsep yang terkandung di dalam cerita tradisional, khususnya di dalam
tutur Runtuh Watugunung, perlu dijabarkan, sehingga mereka dapat memahami
makna dan arti dari nilai-nilai yang terkandung di dalam tutur tersebut. Nilai-nilai
pendidikan yang terkait dengan penelitian ini adalah sikap dan tingkah laku yang
terkandung dalam tutur Runtuh Watugunung, yang nantinya dapat dipahami oleh
para siswa maupun masyarakat umum. Kata tutur mengandung arti "cerita" (Dinas
Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali, 1990:616). Dalam pengajaran tutur Bali itu,
ditemukan berbagai kehidupan, baik kehidupan manusia, dewa-dewa, binatang,
maupun tumbuh-tumbuhan, yang diarahkan ke dalam dua maksud, yaitu: (1) cerita
sebagai pelipur lara, (2) cerita sebagai alat didik. Tutur Runtuh Watugunung banyak
mengandung nilai-nilai pendidikan. Hal ini dapat di lihat dari jalannya cerita banyak
mengandung petuah-petuah yang bernafaskan keagamaan yang bersifat mendidik,
sehingga mampu mengarahkan segala tingkah laku kita untuk selalu menghindari
jalan dan tujuan yang buruk.
Metode
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif sehingga metode yang
digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, kepustakaan, dan analisis interpretasi
(hermeneutik). Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan sejumlah variabel yang
berhubungan dengan Wacana Pendidikan dalam tutur Runtuh Watugunung.
Analisis data merupkan proses penelaah seluruh data hasil penelitian yang
diperoleh melalui pengamatan, wawancara, pencatatan dokumen. Analisis secara
kualitatif yang bersifat deskriptif.
Analisis Bentuk, Fungsi, dan Makna
Analisis Bentuk
Menurut KBBI bentuk adalah bangun, gambar, rupa atau wujud, sistem atau
susunan (2001:135). Terkait dengan itu bentuk wacana Tutur Runtuh Watugunung
dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis karya sastra berbentuk fiksi bahasa yang
digunakan adalah Bahasa Bali. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kontemporer
5
disebutkan bahwa fungsi berarti kegunaan (1991:426). Selanjutnya Rene Wellek dan
Warren (1989:25) yang menyotir konsep Harace menyebutkan bahwa karya sastra
berfungsi sebagai “dulce” (hiburan) dan “utile” (bermanfaat). Jika karya sastra tidak
menghibur, apalagi tidak bermanfaat maka karya sastra tersebut tidak bisa disebut
karya sastra yang baik. Berdasarkan kedua pendapat di atas wacana Tutur Runtuh
Watugunung dapat dikategorikan sebagai karya sastra yang mempunyai fungsi dalam
masyarakat.
Bentuk tutur Runtuh Watugunung terdiri atas tema, alur/plot, tokoh dan per-
watakan, setting, dan amanat. Semua unsur itu secara bersama-sama menjadi satu
ketuturan yang berfungsi membangun tutur Runtuh Watugunung secara bulat dan
utuh. Insiden-insisen yang terjadi, disusun secara logis sehingga menimbulkan alur.
Alur yang dipergunakan oleh pengarang adalah alur lurus, karena pengarang dalam
menyampaikan jalan ceritanya secara berurutan. Peristiwa-peristiwa itu disusun
secara teratur, yakni mulai bergerak dari permulaan melalui suatu pertengahan
menuju suatu akhir, yang dalam dunia sastra lebih dikenal sebagai eksposisi, kompli-
kasi, dan resolusi.
Penokohan dalam tutur Runtuh Watugunung dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu: Tokoh Sekunder di dalam Tutur Runtuh Watugunung adalah Diah Sinta, Dewa
Wisnu, Dewa Siwa, Maharsi Naradha, Bagawan Lumanglang, Bagawan Buda,
Bagawan Wrespati.. Disebut tokoh sekunder karena, tokoh ini yang memegang
peranan hancurnya Sang Watugunung, tokoh komplementer dalam Tutur Runtuhnya
Sang watugunung adalah para patih dan prajurit. Disebut tokoh komplementer
karena sebagai pelengkap dalam cerita.
Latar yang dipakai dalam tutur Runtuh Watugunung adalah di Jagat
Jambudwipa, Kundadwipa, dan Taman Sari yang selalu dikaitkan dengan insiden,
alur, penokohan itu sendiri. Tema dari tutur Runtuh Watugunung adalah lahirnya
hari-hari suci berdasarkan wuku. Sedangkan amanatnya secara implisit masyarakat
diharapkan tidak sombong dengan ilmu yang dimiliki.
Konsep makna dalam penelitian ini akan mengacu pada makna sebagai suatu
pemberian arti, baik yang bersifat denotatif maupun konotatif. Dalam Pradopo
(2001) dijelaskan bahwa suatu karya sastra akan bermakna apabila berhubungan
dengan konteks sejarah dan sosial budaya. Makna wacana yang berkaitan dengan
6
konteks adalah makna-makna yang berkaitan dengan yang ada di luar bahasa itu
sendiri, yakni makna dalam konteks sosial budaya dalam kerangka semiotik sosial
(Hallyday, 1994:3). Terkait dengan hal tersebut di atas, makna Tutur Runtuh
Watugunung sesuai dengan konteks sosial budaya Hindu di Bali.
Setiap kegiatan penelitian dalam upaya untuk menemukan data yang valid serta
dalam usaha mengadakan analisis secara logis rasional dan ilmiah memerlukan
langkah – langkah pengkajian dengan menggunakan metode penelitian.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menitikberatkan pada
kajian karya sastra, khususnya “tutur Runtuh Watugunung”. Objek yang diteliti
berupa wacana lisan, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan objektif,
pendekatan mimetik, dan pendekatan sosiologis. Pendekatan objektif untuk
memahami pesan yang terdapat dalam wacana tutur Runtuh Watugunung.
Pendekatan mimetik berkaitan dengan pengkajian konteks karya sastra di luar teks.
Kemudian, pendekatan sosiologis berkaitan dengan upaya memahami adanya konflik
sosial yang terjadi antara ibu dan anak dalam tutur Runtuh Watugunung.
Analisis Fungsi
Wallek dan Warren (1990:25) yang mengutip konsep Horace menyebutkan
bahwa karya sastra berfungsi sebagai dulce (hiburan) dan utile (bermanfaat). Jika
karya-karya sastra tidak menghibur, apabila tidak membawa manfaat maka karya
sastra tersebut tidak bisa disebut karya sastra yang baik. Selanjutnya Teeuw
(1984:20) menyebutkan bahwa relevansi karya sastra dengan sosial budaya akan
berfungsi sebagai (a) afirmasi yang menetapkan norma-norma sosio-budaya yang ada
pada waktu tertentu, (b) restorasi mengungkapkan keinginan dan kerinduan pada
norma yang sudah lama hilang atau tidak berlaku lagi, dan (c) negasi memberontak
atau mengubah norma yang berlaku. Bascom (dalam Dananjaya, 1991:19)
mengatakan bahwa foklor atau ceria rakyat memiliki empat fungsi, yaitu: (1) sebagai
cermin atau angan-angan dari pemiliknya, (2) sebagai alat pengesah pranata-pranata
dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidikan anak-anak dan (4)
sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu
dipatuhi anggota kolektifnya. Selanjutnya Alan Dundes (dalam Hutomo, 1993:10)
mengatakan bahwa fungsi foklor adalah: (1) sebagai alat pendidikan, (2) sebagai
7
peningkat perasaan solidaritas kelompok, (3) sebagai pengunggul dan pencela orang
lain, (4) sebagai pelipur lara (hiburan), dan (5) sebagai kritik masyarakat
Berkaitan dengan fungsi, dalam Tutur Runtuh Watugunung ini penulis
dimanfaatkan konsep Alan Dundes yang meliputi: (1) seagai alat pendidikan, 92)
sebagai peningkat perasaan solidaritas, (3) sebagai pengunggul dan pencela orang
lain, (4) sebagai pelipur lara (hiburan), dan (5) sebagai kritik masyarakat.
a. Sebagai Alat Pendidikan
Sastra adalah cermin masyarakat merupakan sebuah ungkapan yang sudah
basi di telinga masyarakat. Namun kenyataannya dalam masyarakat sejauhmana
pengaplikasiannya, sangat tergantung dari kemampuan masyarakat itu sendiri.
Ungkapan ini kalau dicermati, maka melalui sastra bisa digunakan sebagai media
dalam menyampaikan pesan-pesan. Oleh krena itu diciptakan oleh pengarang dengan
kemampuan imajinasinya dan mengambil bahan dan perilaku-perilaku yang ada
dalam masyarakat. Masyarakat merupakan salah satu objek kajian pengarang. Hanya
saja wawasan, pengetahuan dan pengalaman pengarang menjadi kunci dalam
imajinasi yang masuk dan ditangkap. Baik buruknya, diterima tidaknya hasil karya
sastra itu tergantung dari kelihaian pengarang dalam meramu bumbu penyedap
dalam hal ini diksi (diktion) yang konkrit, faktual dan aktual sehingga akan dirasakan
ada suatu benang merah atau suatu saluran komunikasi antara pengarang dengan
penikmat.
Murgiyanto dan Bandem (1996:30) mengatakan bahwa dalam masyarakat
tradisional, masyarakat Indonesia sudah mengenal tiga jenis saluran komunikasi
yang meliputi: (a) komunikasi lewat hirarkis keagamaan, (b) komunikasi lewat
ilmuwan, dan (c) komunikasi lewat teater atau seni pertunjukan. Dalam hal ini pesan-
pesan pendidikan terhadap masyarakat bisa disampaikan melalui komunikasi lewat
teater atau seni pertunjukkan. Dan pesan itu dalam tutur Runtuh Watugunung ini
menekankan pada pesan pendidikan budi pekerti yang tersirat dalam petikan di
bawah ini.
Hyang Wisnu raris mawecana "Ih cai Watugunung, kema cai ka buana, tuntun panjak caine apang tusing punyah ulihan kaduegan buka iba". Panjake sami raris makarya pakeling nguntap sang Hyang Aji Saraswati asung lugraha tedun nuntun panjake sami nunas tirtha kaweruhan
8
Terjemahan: Hyang Wisnu lalu berkata “Hai kau Watugunung turunlah kau ke dunia, agar rakyat tidak sombong karena kepintaran/kepandaian sepertimu”. Rakyat akhirnya memuja Sang Hyang Aji Saraswati supaya memberikan Ilmu Pengetahuan. Bila diperhatikan bait demi bait dari kutipan di atas, maka dapat dikatakan
bahwa hidup ini adalah penuh dengan cobaan dan perjuangan, serta godaan, yang
mana semua itu dapat muncul dari dalam diri sendiri atau dorongan dari alam
sekitar. Jika seandainya manusia dapat mengendalikan diri dan menyadari akan
adanya karmaphala, maka setiap tindakan dan perbuatan dalam kehidupan ini akan
selalu kita sesuaikan dengan ajaran agama dan sastra yang ada. Nilai pendidikan
yang dapat dipetik dari kutipan tutur Watugunung tersebut adalah sebagai manusia
tidk boleh sombong, sewenang – wenang, dan senang mengolok – olok dengan ilmu
yang dimiliki. Dengan demikian, nilai ajaran yang terkandung pada bait-bait tersebut
merupakan cambuk bagi manusia untuk tidak berbuat buruk dan berusaha untuk
menggunakan kecerdasan dan ilmu pengetahuan untuk membangun bangsa dan
negara.
b. Sebagai Pengunggul dan Pencela Orang Lain
Manusia tidak bisa lepas dari keterbatasan. Satu sisi unggul di sisi lain
kurang. Ada yang suka dipuji ada juga yang tidak suka dicela. Seperti sesonggan
Bali mengatakan “selebingkah beten biu, gumi linggah ajak liu”, ada yang begini
ada juga yang begitu. Yang suka banyak dan yang tidak suka pun banyak. Dalam
tutur Runtuh Watugunung, perilaku sebagai pengunggul dapat di lihat pada tokoh
Watugunung yang sedang dirayu oleh Dewi Sinta (ibu kandungnya) Dialognya dapat
dilihat di bawah ini.
Beli maan pican Ida Betara Siwa. Beli sing silah saluir senjata. Sing kalahang raksasa, manusa yadin dewata makejang.
Terjemahan:
Kakanda mendapat anugerah Batara Siwa. kakanda tidak akan terlukai oleh segala senjata. Tidak terkalahkan oleh raksasa, manusia dan para Dewa.
9
Dalam tutur Runtuh Watugunung, perilaku pencela orang lain dapat di lihat
pada tokoh Watugunung. Dialognya dapat dilihat di bawah ini.
Titiang nglungsur rabin I Ratu, Dewi Sri, jagi anggen titiang panyeroan, ngayahin rabin titiange Dewi Sinta". Wawu asapunika baos Sang Watugunung, tan sipi dukan Ida Sang Hyang Wisnu. "Ih, Cai Watugunung. Sajan cai jlema tan patutur. Meme ane nglekadang tusing buungan anggon somah. Iba mula jlema ngletehin jagat.
Terjemahan:
Saya mau minta istri Sang Hyang Wisnu, yaitu Dewi Sri dijadikan pembantu untuk Diah Sinta. Habis berbicara begitu alangkah marahnya Ida Sang Hyang Wisnu. Hai kamu Watugunung. Memang betul kamu orang tanpa pendidikan. Ibu yang melahirkan kamu dijadikan istri, kamu memang orang yang mengotori dunia ini.
Dialog ini terjadi pada waktu Watugunung ingin menikahi ibu kandungnya.
Dewi Sinta tahu bahwa Watugunung adalah anaknya, maka Dewi Sinta berupaya
agar Watugunung tidak jadi menikahinya. Dewi Sinta membuat rencana dengan
merayu Watugunung mengatakan bahwa dia tidak terlukai oleh segala senjata dan
tidak terkalahkan oleh raksasa, manusia dan para Dewa. Karena itu maka Dewi Sinta
meminta pada Watugunung agar minta istri Dewa Wisnu yaitu Dewi Sri dijadikan
pembatu. Dialog diatas mencerminkan sikap tercela yang dimiliki oleh tokoh
Watugunung yaitu menghina dan merasa diri hebat, sakti, dan pintar.
c. Sebagai Kritik Masyarakat
Mursal Esten (1987:320) mengatakan bahwa kritik adalah pertimbangan baik
buruk sebuah cipta sastra. Lebih jauh dikatakan bahwa ada dua segi yang dapat
dilakukan oleh sebuah kritik sastra yaitu: (1) menjelaskan dan menafsirkan cipta
sastra yang sedang dibicarakan dan (2) baru memberikan penilaian terhadap cipta
sastra tersebut. Kritik adalah kecaman atau tanggapan kadang-kadang disertai uraian
dan pertimbangan baik-buruk terhadap hasil karya. Selanjutnya dalam tutur Runtuh
Watugunung, kritik yang disampaikan oleh tokoh lain yaitu Dewa Wisnu mengkritik
Watugunung yang menikah dengan ibu kandungnya.
Lihat petikan di bawah ini.
10
Ida Sang Hyang Wisnu. "Ih, Cai Watugunung. Sajan cai jlema tan patutur. Meme ane nglekadang tusing buungan anggon somah. Iba mula jlema ngletehin jagat.
Terjemahan:
. Habis berbicara begitu alangkah marahnya Ida Sang Hyang Wisnu. Hai kamu Watugunung. Memang betul kamu orang tanpa pendidikan. Ibu yang melahirkan kamu dijadikan istri, kamu memang orang yang mengotori dunia ini.
Mencermati dialog di atas bahwa apa yang dikatakan oleh Dewa Wisnu
sangat objektif. Secara objektif kritik tersebut tidak dibuat-buat. Inilah salah satu
fungsi seni dalam cerita. Jalan ceritanya membuat masyarakat mengerti dan
mengetahui alamat kritikan tersebut.
Analisis Makna
Dalam upaya pemberian makna dalam tutur Runtuh Watugunung, digunakan
teori semiotik yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussura. Dalam pandangan
semiotik tanda hanya akan bermakna dalam kaitannya dengan tanda lain. Lebih jauh
Saussura (dalam Teeuw, 1998:44) mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda,
dan tanda merupakan ketuturn antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain
yaitu signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Signifian adalah aspek formal atau
bunyi pada tanda itu, dan signifie adalah aspek kemaknaan atau konseptual.
Di samping itu Paul Ricoeur (dalam Haniah, 1996:13) menyatakan bahwa
konsep makna membolehkan penafsiran yang mencerminkan dialektika utama antara
peristiwa dan makna. Selanjutnya dalam tutur runtuh Watugunung makna yang dapat
diungkapkan dan dianalisis adalah makna religius, magis, dan makna etika.
a. Makna Religius
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) religius berarti taat pada
agama, saleh (Depdikbud, 1990:739). Taat pada agama berarti menjauhka diri dari
semua perilaku yang melawan agama, seperti mencuri, memfitnah, dan semua
tindakan yang dapat merugikan diri sendiri, orang lain, bangsa, dan negara.
Dalam agama Hindu terdapat tiga dasar prilaku yang harus disucikan dan
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari yang dikenal dengan nama Tri Kaya
11
Parisudha yang meliputi manacika, (pikiran), wacika (perkataan), dan kayika
(perbuatan).
Manacika adalah kualitas perilaku berpikir pada diri manusia (quality of
thinking). Dengan pikiran ini manusia memperoleh makna dalam hidupnya. Melalui
pikiran manusia bisa membedakan perbuatan baik (subhakarma) dan perbuatan yang
tidak baik (asubhakarma) (Gorda, 1996:46).
Artinya hasil olah pikir seseorang itu baru memiliki makna atau nilai guna
bagi kehidupan dirinya sendiri, bila ia melakukan komunikasi (wacika) yang baik.
Dalam hal ini intisari dari wacika itu adalah di dalam berkomunikasi yang religius
tidak boleh mencaci maki, berkata kasar, memfitnah, dan tidak boleh ingkar janji.
Kayika merupakan potensi yang dimiliki oleh manusia yang erat hubungan-
nya dengan kemampuan seseorang untuk mewujudkan secara nyata apa yang
dipikirkan dan diucapkannya. Berbuat yang baik seperti suka menolong, beryadnya
dan beramal tanpa pamrih yang dijiwai oleh semangat beragama, menjauhkan diri
dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan nilai agama merupakan tindakan
religius yang mesti dilaksanakan dengan tetap menjaga hubungan antara manusia
dengan Tuhan, menjaga hubungan antara manusia dengan alam manusia, dan
menjaga hubungan antara manusia dengan sesamanya. Dengan demikian, berpikir,
berkata, dan berbuat yang baik ditambah dengan semangat Tri Hita Karana
merupakan ciri dari perilaku religius.
Dalam tutur Runtuh Watugunung dapat dilihat pada tokoh Watugunung yang
tidak memiliki nilai religius. Adapun dialognya seperti berikut.
Nilai agama dalam tutur Runtuh Watugunung dapat dilihat pada kutipan di
bawah ini.
Hyang Wisnu raris mawecana "Ih cai Watugunung, kema cai ka buana, tuntun panjak caine apang tusing punyah ulihan kaduegan buka iba". Puput mabaos raris Sang Watugunung kasabatang. Punika taler rabi lan pangabih sami. Sami ngelanglang ambara dados wuku. Ketahnyane tigang dasa. Panjake sami raris makarya pakeling nguntap sang Hyang Aji Saraswati asung lugraha tedun nuntun panjake sami ring dina Saniscara Umanis Watugunung. Ring Redite Paing Sinta semeng sadurung endag suryane, panjake sami malukat, mabersih, ring pancoran, toya anakan, yadin ring sagara. Nunas tirtha kaweruhan. Nika mawinan kaucap dina Banyu Pinaruh.
Terjemahan:
12
Hyang Wisnu tidak marah lagi. Biarkan Watugunung hidup biar ada dipakai tanda oleh Rakyat di dunia. Sehingga Sang Watugunung diturunkan ke dunia diikuti oleh Raja-raja dan Mahapatih yang pernah dikalahkan menjadi tiga puluh wuku Rakyat akhirnya memuja Sang Hyang Aji Saraswati supaya memberikan Ilmu Pengetahuan, manusia di dunia tidak sombong dengan ilmu pengetahuan yang dia miliki pada hari Sabtu, Umanis Watugunung. Besok pagi sebelum matahari terbit, manusia menyucikan diri di pancuran, sumber air, laut untuk meminta Air Suci Penge-tahuan. Pada hari Minggu, Pahing Sinta, disebut Banyupinaruh.
Bila diperhatikan bait demi bait dari kutipan di atas, maka dapat dikatakan
bahwa hidup ini adalah penuh dengan cobaan dan perjuangan, serta godaan, yang
mana semua itu dapat muncul dari dalam diri kita sendiri atau dorongan dari alam
sekitar. Jika seandainya kita dapat mengendalikan diri dan menyadari akan adanya
karmaphala, maka setiap tindakan dan perbuatan kita dalam kehidupan ini akan
selalu kita sesuaikan dengan ajaran agama dan sastra yang ada.
Hendaknya sebagai manusia dalam berbuat atau bertingkah laku selalu ingat
akan karmaphala yakni buah perbuatan. Setiap perbuatan baik atau buruk akan dapat
pahala. Dengan demikian, nilai ajaran yang terkandung pada bait-bait tersebut
merupa-kan cambuk bagi kita untuk tidak berbuat buruk dan berusaha untuk berbuat
baik agar mendapat pahala yang baik sesuai dengan ajaran agama.
b. Makna Magis
Seseorang yang memiliki kekuatan yang bersifat magis akan mampu
menguasai kehidupan seseorang. Karena magis merupakan sesuatu cara tertentu yang
diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib sehingga dapat menguasai alam sekitar
termasuk alam pikiran dan tingkah laku manusia (Depdikbud, 1990:542).
Dalam tutur Runtuh Watugunung perilaku semacam itu dapat dilihat pada
tokoh Watugunung.
Lihat petikan di bawah ini.
Beli maan pican Ida Betara Siwa. Beli sing silah saluir senjata. Sing kalah-ang raksasa, manusa yadin dewata makejang. Terjemahan:
Kakanda mendapat anugerah Batara Siwa. kakanda tidak akan terlukai oleh segala senjata. Tidak terkalahkan oleh raksasa, manusia dan para Dewa.
13
Petikan di atas mencerminkan bahwa makna magis yang terdapat dalam
cerita Runtuh Watugunung adalah berubahnya Dewa Wisnu menjadi satria Kura-
kura. Selain itu tokoh Watugung pun mendapat anugerah Batara Siwa yaitu tidak
akan terlukai oleh segala senjata. Tidak terkalahkan oleh raksasa, manusia dan para
Dewa.
c. Makna Etika
Etika merupakan ilmu pengetahuan tentang apa yang baik dan apa yang
buruk, tentang hak dan kewajiban moral, dan tentang nilai mengenai benar-salah
yang dianut suatu golongan atau masyarakat (Depdikbud, 1990:237). Sasaran
pandangan etika khusus kepada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan dengan
sengaja. Seperti tindakan tokoh dalam tutur Runtuh Watugunung dapat dilihat pada
kutipan di bawah ini:
Sujatinne cening putran biang. Sang Watugunung raris nyawis, “Yen yukti tiang putran ibu, dados ibu nangis? Napi ke ibu nangis sangkaning sedih marabi ngajak oka? Mangkin titiang ngaturang ring ibu, dasar anak marabi sangkaning tresna pada tresna. Titiang tresna ring ibu. Nika anggen dasar marabi. Mangkin, cutet ibu tetep anggen titiang rabi”. Sang Watugunung ten marasa parilaksanane iwang pisan.
Terjemahan:
Sebenarnya engkau adalah putraku. Sang watugunung lalu menjawab, “Apabila saya memang putra ibu, kenapa ibu menangis?, apakah ibu menangis karena sedih bersuamikan anak?, sekarang saya memberikan ibu pendapat, dasar anak bersuami saling cinta, saya sangat cinta sama ibu. Itu yang saya pakai dasar menjadikan ibu istri. Sekarang ibu tetap menjadi istri saya.” Sang Watugunung yang tidak merasa memiliki rasa bersalah.
Titiang nglungsur rabin I Ratu, Dewi Sri, jagi anggen titiang panyeroan, ngayahin rabin titiange Dewi Sinta". Wawu asapunika baos Sang Watugunung.
Terjemahan:
Saya mau minta istri Sang Hyang Wisnu, yaitu Dewi Sri dijadikan pembantu untuk Diah Sinta.. "Ih cai Watugunung, kema cai ka buana, tuntun panjak caine apang tusing punyah ulihan kaduegan buka iba".
14
Terjemahan:
“Hai Watugunung pergilah kamu ke bumi, tuntunlah rakyatmu supaya tidak sombong karena pintar sepertimu” Dari kutipan di atas mengisyaratkan bahwa tidaklah pantas seorang anak
menikahi ibu kandungnya. Namun karena kesalahan anaknya (durhaka) maka, Sang
Watugunung menerima akibat dari perbuatannya (karma phala). Untuk menebus
kesalahannya itu maka Sang Watugunung diturunkan ke bumi menuntun rakyat
supaya tidak sombong karena pintar. Pada prinsipnya, etika yang terdapat dalan tutur
Runtuh Watugunung, meng-isyaratkan kepada kita agar selalu berbuat baik atau
bertingkah laku baik (subha-karma) yang dapat dijadikan tuntunan hidup, serta selalu
tolong menolong, menya-yangi di antara sesame makhluk. Kitapun diingatkan untuk
tetap menghindari perbu-atan tidak baik, yang tidak sesuai dengan ajaran agama
(dharma), yang dapat me-nyengsarakan diri sendiri dan orang lain.
Analisis Nilai-nilai Pendidikan Tutur Runtuh Watugunung
Menurut A. Teew (1988:90), konsep dan teori nilai berkaitan dengan tang-
gapan pembaca yang lebih dikenal dengan pendekatan semiotik. Jadi lewat kesenian
pembaca melakukan aktifitas diri, dialah yang menjadi pusat peristiwa semiotik.
Dalam hal seni bukanlah hanya hasilnya yang terpenting, melainkan juga proses
pemberian makna.
Interpretasi nilai memang seharusnya berangkat dari pandangan yang menga-
takan bahwa karya sastra adalah system nilai dan ide vital yang dihayati oleh suatu
masyarakat, dalam saat tertentu lebih menunjukkan adanya titik tolak dan arah. Dika-
takan sebagai titik tolak, karena pandangan itu mampu menjabarkan nilai pokok.
Dikatakan sebagai arah karena dengan adanya nilai pokok itu masih mungkin dirinci
nilai-nilai yang katagorial sifatnya. Yudibrata (1982:58) merumuskan ide pokok itu
menjadi: (1) nilai agama, (2) nilai logika, (3) nilai etika, dan (4) nilai estetika.
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah diketahui bahwa nilai merupakan sesuatu yang
penting atau berharga dalam kehidupan bermasyarakat, yang memberi arah dalam
kehidupan manusia tentang apa yang terbaik, yang benar, serta apa yang berharga
dan berguna bagi kemanusiaan. Dengan pengertian di atas, maka berikut dibicarakan
15
nilai-nilai pendidikan dalam Tutur Runtuh Watugunung yang meliputi nilai etika dan
agama.
a. Nilai Pendidikan Etika
Nilai pendidikan etika adalah ilmu tentang kesucian, berguna bagi setiap
manusia yang hidup dalam masyarakat, menyangkut apa yang baik dan yang buruk
(Jiwa Atmaja, 1989:10).Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan, bahwa "etika" itu
adalah nilai pendidikan yang mencakup ketatasusilaan. Nilai etika dalam tutur
Runtuh Watugunung dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
“Uduh cening Sang Watugunung. Sujatinne cening putran biang. Cening lekadang biang di tengah alase. Sang Watugunung raris nyawis, “Yen yukti tiang putran ibu, dados ibu nangis? Napi ke ibu nangis sangkaning sedih marabi ngajak oka? Mangkin titiang ngaturang ring ibu, dasar anak marabi sangkaning tresna pada tresna. Titiang tresna ring ibu. Nika anggen dasar marabi. Mangkin, cutet ibu tetep anggen titiang rabi”. Sang Watugunung ten marasa parilaksanane iwang pisan.
Terjemahan:
“Aduh, anakku. Sang Watugunung. Sebenarnya engkau adalah putraku. Engkau saya lahirkan di tengah hutan. Sang watugunung lalu menjawab, “Apabila saya memang putra ibu, kenapa ibu menangis?, apakah ibu menangis karena sedih bersuamikan anak?, sekarang saya memberikan ibu pendapat, dasar anak bersuami saling cinta, saya sangat cinta sama ibu. Itu yang saya pakai dasar menjadikan ibu istri. Sekarang ibu tetap menjadi istri saya.” Sang Watugunung yang tidak merasa memiliki rasa bersalah ini. "Ih cai Watugunung, kema cai ka buana, tuntun panjak caine apang tusing punyah ulihan kaduegan buka iba".
Terjemahan: “Hai Watugunung pergilah kamu ke bumi, tuntunlah rakyatmu supaya tidak sombong karena pintar sepertimu” Dari kutipan di atas mengisyaratkan bahwa tidaklah pantas seorang anak
menikahi ibu kandungnya. Namun karena kesalahan anaknya (durhaka) maka, Sang
Watugunung menerima akibat dari perbuatannya (karma phala). Untuk menebus
kesalahannya itu maka Sang Watugunung diturunkan ke bumi menuntun rakyat
supaya tidak sombong karena pintar. Pada prinsipnya, etika yang terdapat dalan tutur
16
Runtuh Watugunung, meng-isyaratkan kepada kita agar selalu berbuat baik atau
bertingkah laku baik (subha-karma) yang dapat dijadikan tuntunan hidup, serta selalu
tolong menolong, menya-yangi di antara sesama makhluk. Kitapun diingatkan untuk
tetap menghindari perbu-atan tidak baik, yang tidak sesuai dengan ajaran agama,
yang dapat menyengsarakan diri sendiri dan orang lain.
b. Nilai Pendidikan Agama
Nilai pendidikan agama adalah suatu pendidikan yang diwariskan turun-
temurun dalam jiwa kerohanian yang berhubungan dengan kepercayaan dharma dan
kebenaran hidup pada ajaran-ajaran suci yang diwahyukan oleh Ida Sang Hyang
Widhi Waça, Tuhan Yang Maha Esa, yang langgeng dan kekal abadi. Bagi
masyarakat Bali menyebutkan, bila mempelajari sastra (malajah masastra), berarti
mempelajari tata-susila dan etika yang berhubungan dengan agama
Pendidikan agama mencakup nilai religius dan nilai spiritual. Nilai religius menunjuk
kebaktian terhadap Tuhan, yang ada di dalam lubuk hati, sebagai getaran hati nurani
pribadi, yang ada pada tiap-tiap persona, sedikit banyak misteri bagi orang lain
(Mangunwijaya, 1988:12).
Sedangkan nilai spiritual, menunjuk ajaran-ajaran sastra agama yang dapat
digunakan sebagai pegangan hidup manusia, berbuat dan bertingkah laku Ajaran-
ajaran yang kita peroleh dapat menyadari kita, dari perbuatan yang salah untuk tidak
diulangi lagi. Inilah merupakan nilai spiritual (Mangunwijaya, 1988:13). Menurut
Rai Sudarta (1990:3), agama merupakan aspek kehidupan yang tidak terlepas dari
pribadi seorang pengarang. Nilai agama merupakan aspek hidup pribadi yang
bertujuan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan beriman. Oleh
karena itu karya sastra tidak akan terlepas dari agama di mana karya sastra tersebut
dilahirkan. Berdasarkan pan-dapat di atas, maka tutur Runtuh Watugunung sebagai
karya sastra tradisional Bali selalu mencerminkan nilai-nilai agama yang berupa
ajaran-ajaran dalam agama Hindu.
Menuangkan nilai-nilai keagamaan ke dalam suatu karya sastra dapat
dipandang sebagai suatu usaha untuk menanamkan nilai-nilai tersebut kepada
khalayak ramai. Nilai ini mengajarkan tentang ajaran agama, yaitu segala sistem
perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri
17
kepada kemauannya. Nilai agama dalam tutur Runtuh Watugunung dapat dilihat pada
kutipan di bawah ini.
Daweg Sang Watugunung ring dina Radite Kliwon Watugunung, punika kaucap Runtuh Watugunung. Benjang semeng dina Soma Umanis Watugunung, Sang Watugunung seda dina punika kaucap Candung Watugu-nung. Raris benjang Anggara Paing Watugunung, Bega-wan Lumanglang layon watugunung kapaid maidehan nika mawinan kaucap dina paid-paidan. Ring dina Buda Pon Watugunung raris rauh Begawan Buda, raris ida ngurip Sang Watugunung dina punika kaucap dina Urip, rauh sang Wisnu raris kapademang. Ida Begawan Wrespati ring dina Wrespati Wage Watugunung rauh ngurip Sang Watugunung tur polih mategtegan ajebos duk punika dinane kaucap Panegtegan. Rauh Hyang Wisnu kapademang malih. Benjangne ring Sukra Kliwon Watugunung raris Hyang Siwa ngurip Sang Watugunung ngredana dewata sami kapicang pawarah. Punika mawinan kau-cap dina Pangredanan. Hyang Wisnu rauh jagi mademang, Hyang Siwa nenten lugra. Hyang Wisnu ngiring baos Hyang Siwa raris ida mawali kadi jati mula. Hyang Wisnu raris mawecana "Ih cai Watugunung, kema cai ka buana, tuntun panjak caine apang tusing punyah ulihan kaduegan buka iba". Puput mabaos raris Sang Watugunung kasabatang. Punika taler rabi lan pangabih sami. Sami ngelanglang ambara dados wuku. Ketahnyane tigang dasa. Panjake sami raris makarya pakeling nguntap sang Hyang Aji Saraswati asung lugraha tedun nuntun panjake sami ring dina Saniscara Umanis Watugunung. Ring Redite Paing Sinta semeng sadurung endag suryane, panjake sami malukat, mabersih, ring pancoran, toya anakan, yadin ring sagara. Nunas tirtha kaweruhan. Nika mawinan kaucap dina Banyu Pinaruh.
Terjemahan:
Sang Watugunung runtuh pada hari Minggu, Kliwon, Watugunung. Maka dinamakan Runtuh Watugunung. Besok paginya hari Senin Umanis Sang Watugunung Meninggal. Sehingga disebut Candung Watang. Keesokan harinya Selasa Pahing Watugunung, datang Begawan Lumanglang, marahnya luar biasa, lalu mayat Sang Watugunung diseret kesana-kemari, maka disebut hari Paid-paidan. Pada hari Rabu Pon Watugunung, Begawan Buda kasihan melihat Sang Watugunung, lalu Sang Watugunung dihidupkan, maka disebut Buda Urip. Tetapi dibunuh lagi oleh Hyang Wisnu. Ida Begawan Wrespati pada hari Kamis Wage Watugunung datang, kasihan melihat Sang Watugunung dihidupkan sebentar, maka disebut hari Paneg-tegan. Datang Sang Hyang Wisnu dibunuh lagi. Keesokan harinya Jumat Kliwon Watugunung Hyang Siwa menghidupkan Sang Watugunung, memberikan wejangan, disebut hari raya Pangredanan. Hyang Wisnu datang lagi untuk membunuh tapi Hyang Siwa minta supaya Hyang Wisnu tidak marah lagi. Biarkan Watugunung hidup biar ada dipakai tanda oleh Rakyat di dunia. Sehingga Sang Watugunung diturunkan ke dunia diikuti oleh Raja-raja dan Mahapatih yang pernah dikalahkan menjadi tiga puluh wuku. Rakyat
18
akhirnya memuja Sang Hyang Aji Saraswati supaya memberikan Ilmu Pengetahuan, manusia di dunia tidak sombong dengan ilmu pengetahuan yang dia miliki pada hari Sabtu, Umanis Watugunung. Besok pagi sebelum matahari terbit, manusia menyucikan diri di pancuran, sumber air, laut untuk meminta Air Suci Penge-tahuan. Pada hari Minggu, Pahing Sinta, disebut Banyupinaruh.
Bila diperhatikan bait demi bait dari kutipan di atas, maka dapat dikatakan
bahwa hidup ini adalah penuh dengan cobaan dan perjuangan, serta godaan, yang
mana semua itu dapat muncul dari dalam diri manusia sendiri atau dorongan dari
alam sekitar. Makna religius dalam tutur Watugunung mengisyaratkan kecerdasan
dan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia jangan digunakan untuk berbuat jahat
ceroboh, sombong, dan angkuh, hendaknya ilmu pengetahuan itu digunakan untuk
membangun bangsa dan negara berdasarkan kebenaran, tulus ikhlas, serta sesuai
dengan ajaran agama sehingga tercapai kemakmuran dan keadilan.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka pada bagian ini dapat disimpulkan bahwa
bentuk tutur Runtuh Watugunung terdiri atas tema, alur/plot, tokoh dan per-watakan,
setting, dan amanat. Di samping bentuk, tutur Runtuh Watugunug juga memiliki
fungsi sebagai alat pendidikan, sebagai penggugul dan pencela orang lain, serta
sebagai kritik masyarakat. Sedangkan makna yang disampaikan dalam tutur Runtuh
Watugunung adalah makna religius, magis, serta etika.
Nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam tutur Runtuh Watugunung
adalah nilai pendidikan etika dan nilai pendidikan agama. Nilai-nilai tersebut
diungkapkan lewat tokoh utama, baik berupa dialog maupun penceritaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bandem, I Made dan Murgiyanto. 1966. Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta:
Kanisiua
Dananjaya, James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain – lain.
Jakarta: PT. Pusaka Utama Grafiti.
Depdikbud, 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
19
Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Pradopo, Rachmat Djoko, 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Hanindita Graha Widya.
Ricoeur, Paul. 1996. Teori Penafsiran Wacana dan Makna Tambah (Interpretation
Theory : Dicourse an Surplus Meaning). Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wallek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (di Indonesiakan oleh
Melani Budianta). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
178
ANALISIS PROGRAM PRAKTEK PENGALAMAN LAPANGAN (PPL) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN DAN REKREASI FAKULTAS
PENDIDIKAN OLAHRAGA DAN KESEHATAN (FPOK) IKIP PGRI BALI TAHUN 2013 DITINJAU DENGAN MODEL CIPP
Ni Wayan Widi Astuti, S.Pd.,M.Pd
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan PPL Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun 2013 ditinjau dari variabel konteks, input, proses dan produk (CIPP) serta kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya.
Penelitian yang dilakukan termasuk penelitian evaluatif kuantitatif, yang menunjukkan prosedur dan proses pelaksanaan program. Penelitian ini menganalisis efektivitas program dengan menganalisis peran masing-masing faktor dengan model CIPP. Populasi dalam penelitian ini adalah semua warga kampus yang terkait dengan pelaksanaan program Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). Jumlah anggota sampel sebanyak 76 orang teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling yang terdiri dari 55 orang mahasiswa, 10 orang dosen pembimbing, dan 11 orang guru pamong. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan analisis deskriptif. Untuk menentukan efektivitas program, skor mentah ditransformasikan ke dalam T-skor kemudian diverifikasi ke dalam prototype Glickman.
Hasil analisis menemukan pelaksanaan PPL Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun 2013 tergolong pada kategori efektif dilihat dari variabel konteks, input, proses dan hasil dengan hasil (+ + + +). Meskipun dalam kategori efektif, namun secara umum terdapat kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan PPL Mahasiswa adalah visi, misi program, aturan dan harapan program.
Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa Pelaksanaan PPL Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun 2013 tergolong dalam kategori efektif. Untuk itu disarankan: (1) mempertegas regulasi/aturan program, (2) meningkatkan sumber daya manusia, dan sarana prasarana dan (3)perencanaan pembelajaran dibuat secara matang
Kata kunci: Studi Evaluasi, Praktik Pengalaman Lapangan
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
179
Analisis Implementation Practice Experience (PPL) Health Psysical education Courses
and recreation Education Faculty of Sport and Health (FPOK) PGRI Bali Teachers' Training College in 2013.
Ni Wayan Widi Astuti [email protected]
This study aims to determine the effectiveness of the implementation of the
Practice Experience PPL Students of Health Psysical education Courses and recreation Education Faculty of Sport and Health (FPOK) PGRI Bali Teachers' Training College in 2013 seen from the variable context, input, process and product (CIPP), as well as the constraints encountered in implementation.
Research conducted including quantitative evaluative research, which shows the procedure and process of program implementation. This study analyzes the effectiveness of the program by analyzing the role of each factor with CIPP model. Number of members of the sample of 76 sampling techniques (sampling techniques) used was purposive sampling consisting of 55 students, 10 lecturers and 11 tutors teachers. Research subjects are determined by purposive random sampling technique samples. Data was collected by questionnaires. Data were analyzed with descriptive analysis. To determine the effectiveness of the program, raw scores were transformed into T-scores were then verified in a prototype Glickman.
The analysis found that the effectiveness of the implementation Health Psysical education Courses and recreation Education Faculty of Sport and Health (FPOK) PGRI Bali Teachers' Training College in 2013 PPL’s Students of IKIP PGRI Bali in 2013 is that affectivelly categories, by the context, input, process and results variable with the results (+ + + +). Although the category is ready, but in general there are obstacles encountered in the implementation of the student’s PPL are facilities and infrastructure.
Based on these research it can be concluded that the effectiveness of the implementation Health Psysical education Courses and recreation Education Faculty of Sport and Health (FPOK) PGRI Bali Teachers' Training College in 2013’s PPL Students of IKIP PGRI Bali in 2013 belong to the category of effectively. It is suggested that: (1) reinforce the regulations / rules of the program, (2) improving human resources, and infrastructure (3) lesson plans made carefully, and (4) program is designed well so that the program will be running effectively.
Keywords: Evaluation Study, Practice Field Experience
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
180
1. PENDAHULUAN
Sistem pendidikan guru sebagai suatu sub sistem pendidikan nasional
merupakan faktor kunci dan memiliki peran yang sangat strategis. Derajat kualitas
pendidikan guru ditentukan oleh tingkat kualitas semua komponen yang masing-masing
memberikan kontribusi terhadap sistem pendidikan guru secara keseluruhan.
Komponen-komponen tersebut adalah siswa calon guru, pendidik, pembimbing calon
guru, kurikulum, strategi pembelajaran, media instruksional, sarana dan prasarana,
waktu dan ketersediaan dana, serta masyarakat dan sosial budaya. Semuanya
memberikan pengaruh dan warna terhadap proses pendidikan guru dalam upaya
mencapai tujuan sistem pendidikan guru, yang hasil atau lulusannya dapat diketahui
melalui komponen evaluasi (tahap masukan, tahap proses, dan tahap kelulusan) secara
menyeluruh dan berkesinambungan. Kurikulum pendidikan guru terdiri atas tiga
komponen, yakni pendidikan umum, pendidikan spesialisasi, dan pendidikan
profesional. Ketiga komponen ini sama pentingnya karena masing-masing memberikan
kontribusi dan saling berhubungan satu sama lain. Dengan demikian struktur program
pendidikan guru meliputi program pendidikan umum, program pendidikan spesialisasi,
dan program pendidikan profesional.Model program pendidikan seperti itu juga
digunakan dalam kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) seperti
Institut Keguruan Keguruan dan Ilmu Pendidikan IKIP PGRI Bali.
Guru memegang peranan yang sangat penting di dalam masyarakat. Mulai dari
masyarakat yang paling terbelakang hingga masyarakat yang paling maju, tanpa kecuali,
guru merupakan satu diantara pembentuk-pembentuk utama calon warga
masyarakat.Masalah guru senantiasa mendapat perhatian, baik oleh pemerintah maupun
oleh masyarakat pada umumnya dan oleh para ahli pendidikan pada
khususnya.Pemerintah memandang bahwa guru merupakan media yang sangat penting
artinya dalam kerangka pembinaan dan pengembangan bangsa.
Dalam upaya menghasilkan calon pendidik yang professional dan memiliki
wawasan serta pengalaman dalam menjalankan keahlian di bidang pendidikan, maka
lembaga LPTK seperti IKIP PGRI Bali wajib memberikan peluang kepada mahasiswa
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
181
untuk melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) yang merupakan salah satu
kegiatan kurikuler yang harus dilaksanakan oleh mahasiswa
Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan salah satu komponen kurikuler
yang memerlukan keterpaduan antara penguasaan materi dan praktik.Disamping itu,
PPL merupakan salah satu kegiatan akademik yang bersifat intrakurikuler yang
mencakup latihan mengajar dan tugas-tugas kependidikan lainnya secara terbimbing,
terarah dan terpadu untuk memenuhi persyaratan pembentukan tenaga profesional
dalam kependidikan.
Ada beberapa program pemerintah untuk menjadikan guru sebagai tenaga
professional, diantaranya yaitu dengan menetapkan Undang-undang No. 14 tahun 2005
tentang guru dan dosen, Permen Diknas No.16 tahun 2007 tentang standar kompetensi
guru, melakukan program sertifikasi guru/pendidik professional, mensarjanakan para
guru/pendidik yang sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil yang belum lulus S1.
Berdasarkan cetusan Undang-undang profesi yang disahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) tanggal 6 Desember tahun 2005 guru ditetapkan sebagai
profesi. Guru harus mempunyai kompetensi yang dapat diandalkan. Standar
kompetensi PPL dirumuskan dengan mengacu pada tuntutan empat kompetensi guru
baik dalam konteks pembelajaran maupun dalam konteks kehidupan guru sebagai
anggota dalam masyarakat.Empat kompetensi guru yang dimaksud adalah
“kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional,
dankompetensi social”.Kompetensi tersebut dirumuskan sesuai dengan amanat
Undang - Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 Bab IV Pasal 10. Di
samping itu, rumusan standar kompetensi PPL juga mengacu pada Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional khususnya
yang terkait dengan BAB V Pasal 26 Ayat 4, yang pada intinya berisi standar
kompetensi lulusan perguruan tinggi bertujuan menyiapkan peserta didik men jadi
anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan dan
kemandirian, serta sikap untuk menerapkan ilmu, teknologi, dan seni untuk tujuan
kemanusiaan.Praktik Pengalaman Lapangan yang dilakukan mahasiswa merupakan
salah satu wadah agar mahasiswa mendapatkan pengalaman profesi yang dapat
diandalkan
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
182
Dalam PPL mahasiswa akan dihadapkan pada kondisi riil aplikasi bidang
keilmuan, seperti; kemampuan mengajar, kemampuan bersosialisasi dan bernegosiasi,
dan kemampuan manajerial kependidikan lainnya, PPL diselenggarakan untuk
membekali calon guru dengan kemampuan profesional. Guru yang bermutu tinggi
adalah guru yang memiliki syarat-syarat kepribadian dan kemampuan teknis
keguruan.Seyogyanya, PPL diarahkan pada pembentukan kemampuan mengajar.
Dalam pelaksanaan praktik pengalaman lapangan banyak hal yang harusnya
diketahui oleh mahasiswa baik itu masalah tempat mereka akan melaksanakan praktek
maupun kesediaan sekolah dalam penerimaan mahasiswa praktek dan silabus serta
bahan ajar yang harus mereka miliki untuk pelaksanaan pengajaran di lapangan. Belum
tersosialisaikannya pelaksanaan praktik pengalaman lapangan ke sekolah-sekolah baik
itu swasta maupun negeri menyebabkan banyak kepala sekolah yang merasa engan
untuk menerima mahasiswa untuk melaksanakan praktek di sekolah mereka, Oleh
karena itu, sebelum diadakannya pelaksanaan PPL, seharusnya mahasiswa sudah
dibekali kemampuan dasar yang menunjang keberhasilan PPL.
Proses evaluasi terhadap seluruh aspek pendidikan harus diarahkan pada upaya
menjamin terselenggaranya layanan pendidikan yang bermutu tinggi dan
memberdayakan lembaga pendidikan yang dievalusi sehingga hasil lulusan pendidikan
sesuai dengan standar yang ditetapkan. Artinya evaluasi dapat memberikan informasi
mengenai berbagai kelebihan dan kekurangan, serta memberikan arah yang jelas untuk
mencapai mutu yang lebih baik. Untuk itu analisis program harus dilaksanakan secara
berkesinambungan dan komprehensif, serta memotivasi peserta didik dan pengelola
pendidikan untuk terus menerus berupaya meningkatkan mutu pendidikan. Berangkat
dari pemikiran tersebut dan untuk dapat membandingkan serta memetakan mutu dari
setiap satuan pendidikan, perlu dilakukan analisis program bagi lembaga dan program
pendidikan. Proses evaluasi ini dilakukan secara berkala dan terbuka dengan tujuan
membantu dan memberdayakan satuan pendidikan agar mampu mengembangkan
sumberdayanya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Dalam upaya untuk meningkatkan mutu lulusan IKIP PGRI Bali pelaksanaan
Praktek Pengalaman Lapangan di sekolah-sekolah merupakan hal yang penting dan
wajib dilaksanakan oleh mahasiswa sehingga penting untuk dievalusi secara teratur dan
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
183
terprogram melalui sebuah kajian mendasar yang berstandar pada logikan dan patron
akademik.Untuk mengetahui keefektifan pelaksanaan PPL pada sekolah-sekolah maka
perlu diadakan penelitian untuk memperoleh gambaran lengkap dan jelas tentang
Pelaksanaan program PPL ditinjau dari variabel Konteks, Input, Proses dan Produk
serta kendala-kendala yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaan program misalnya:
PPL belum tersosialisasikan di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta,
pemahaman mahasiswa tentang pentingnya pelaksanaan praktik di sekolah-sekolah
masih kurang, Belum sama persepsi tentang silabus, maupun bahan ajar yang
digunakan dalam pelaksanaan praktik, Sarana dan prasarana di setiap sekolah berbeda-
beda kualitas maupun kuantitasnya, Kurang inovasi dan kreativitas yang dilaksanakan
mahasiswa dalam pelaksanaan interaksi belajar mengajar di tempat praktik, Mahasiswa
kurang dapat bergaul di lingkungan baru tempat pelaksanaan praktik pengalaman
lapangan, Kurangnya bimbingan oleh guru pamong di setiap sekolah
Model CIPP ( conteks, input, proses, product)merupakan salah satu model yang
paling sering dipakai oleh evaluator. Model ini dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam
(1985).Pada dasarnya evaluasi ini merupakan usaha menyediakan informasi bagi
pembuat keputusan.Komponen evaluasi model ini terdiri dari 4 (empat) yaitu konteks,
input, proses dan produk.
2. METODELOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini menganalisis efektivitas program dengan menganalisis
peran masing-masing faktor sesuai dengan model CIPP (konteks, input, proses dan
produk). Penelitian ini termasuk penelitian evaluatif kuantitatif, yang menunjukkan
prosedur dan proses pelaksanaan program. Dalam penelitian ini menganalisis efektivitas
dengan menganalisis peran masing-masing faktor sesuai dengan model CIPP (konteks,
input, proses dan produk). Subjek dalam penelitian ini adalah berjumlah 76 orang yang
terdiri dari 55 mahasiswa Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK) IKIP
PGRI Bali, 10 Dosen Pembimbing serta 11 Guru Pamong yang praktik pengalaman
lapangan di SMA/SMK Negeri. Data dikumpulkan dengan menggunakan
kuesioner.Data dianalisis dengan analisis deskriptif. Untuk menentukan Pelaksanaan
Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani
Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun 2013, skor mentah
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
184
ditransformasikan ke dalam T-skor kemudian diverivifikasi ke dalam prototype
Glickman.
Karena mengunakan model CIPP, variabel penelitian ini ada empat yaitu 1)
Variabel konteks (latar) meliputi : Visi program, Misi Program, tujuan Program,
Kebutuhan, Harapan, dan Regulasi/ Aturan yang diterapkan dalam pelaksanaan program
, 2) Variabel Input meliputi: Silabus, Bahan Ajar, Sarana dan prasarana serta sumber
daya manusia. 3) Variabel Proses perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran dan respon siswa. 4) Variabel Produk dipertanyakan tentang kualitas dan
kuantitas setelah pelaksanaan program, dan manfaat serta hasil yang didapatkan dari
program.Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian ini (variabel
konteks, input, proses dan hasil) adalah kuesioner.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data variabel konteks yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap responden
menunjukkan bahwa skor tertinggi yang dicapai responden adalah 174 dari skor
tertinggi yang mugkin dicapai sebesar 175.Skor terendah yang dicapai responden adalah
119 dari skor terendah yang mungkin dicapai sebesar 35 dengan rata-rata sebesar
147,803.pengelompokkan frekuensi terbanyak untuk variabel konteks terletak pada
interval keempat, yakni pada interval rata-rata dengan frekuensi sebesar 22 atau sebesar
28,947%. Bila dilihat dari skor yang telah dikonversikan ke dalam T-skor menunjukkan
bahwa f (+) = 45 > daripada f(-) = 31. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada
variabel konteks dapat dinyatakan bahwa Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan
(PPL) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK
IKIP PGRI Bali tahun 2013 tergolong efektif.
Skor variabel input yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap responden
menunjukkan bahwa tertinggi yang dicapai responden adalah 149 dari skor tertinggi
yang mungkin dicapai sebesar 160, sedangkan skor terendah yang dicapai responden
adalah 108 dari skor terendah yang mungkin dicapai sebesar 32. Rata-rata skor yang
diperoleh keseluruhan responden adalah 128,961. Skor yang paling dominan adalah
130, skor yang terletak ditengah-tengah adalah 130, simpangan baku dengan sebesar
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
185
10,093, dan variasi skor sebesar 101,878. pengelompokkan frekuensi terbanyak untuk
variabel input terletak pada interval rata-rata dengan frekuensi sebesar 20 atau 26,316
%. Bila dilihat dari skor yang telah dikonversikan ke dalam T-skor menunjukkan bahwa
f (+) = 45 > daripada f(-) = 31. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada
variabel input dapat dinyatakan bahwa Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan
(PPL) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK
IKIP PGRI Bali tahun 2013 tergolong relatif efektif.
Skor variabel proses yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap responden
menunjukkan bahwa skor tertinggi yang dicapai responden adalah 192 dari skor
tertinggi yang mungkin dicapai sebesar 210, sedangkan skor terendah yang dicapai
responden adalah 119 dari skor terendah yang mungkin dicapai sebesar 42. Rata-rata
skor yang diperoleh keseluruhan responden adalah 168,447. Skor yang paling dominan
adalah 170, skor yang terletak ditengah-tengah adalah 170, simpangan baku dengan
sebesar 14,563, dan variasi skor sebesar 212,091, pengelompokkan frekuensi terbanyak
untuk variabel proses terletak pada interval rata-rata dengan frekuensi sebesar 26 atau
34,211 %. Bila dilihat dari skor yang telah dikonversikan ke dalam T-skor menunjukkan
bahwa f (+) = 47 > daripada f (-) = 29. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada
variabel proses dapat dinyatakan bahwa Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan
(PPL) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK
IKIP PGRI Bali tahun 2013 tergolong relatif efektif.
Skor variabel hasil yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap responden
menunjukkan bahwa skor tertinggi yang dicapai responden adalah 150 dari skor
tertinggi yang dapat dicapai sebesar 160, sedangkan skor terendah yang dicapai
responden adalah 94 dari skor terendah yang dapat dicapai renponden sebesar 32. Rata-
rata skor yang diperoleh keseluruhan responden adalah 125,684. Skor yang paling
banyak adalah 130, skor yang terletak ditengah-tengah adalah 128,500, simpangan skor
dengan rata-rata sebesar 12,787, dan variasi skor sebesar 163,499, pengelompokkan
frekuensi terbanyak untuk variabel hasil kecenderungan terletak di atas rata-rata dengan
frekuensi sebesar 22 atau sebesar 28,947 %. Bila dilihat dari skor yang telah
dikonversikan ke dalam T-skor menunjukkan bahwa f (+) = 45 >f(-) = 31. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pada variabel hasil/produk Pelaksanaan Praktik
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
186
Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan
dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun 2013 tergolong relatif efektif
Studi evaluatif ini ingin menjawab empat permasalahan, yakni: (1)
seberapakahPelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Program
Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun
2013dilihat dari variabel konteks?, (2) seberapakahPelaksanaan Praktik Pengalaman
Lapangan (PPL) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan
Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun 2013 dilihat dari variabel input?, (3)
seberapakahPelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Program
Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun 2013
dilihat dari variabel proses?, dan (4) seberapakahPelaksanaan Praktik Pengalaman
Lapangan (PPL) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan
Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun 2013 dilihat dari variabel produk?. Bila
dianalisis secara keseluruhan terhadap variabel konteks, input proses dan produk
Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun 2013 setelah
data ditasformasikan ke dalam T-skor diperoleh hasil analisis seperti tampak pada tabel
berikut.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
187
Rekapitulasi Hasil Perhitungan Variabel Konteks, Input, Proses dan Hasil Secara Bersamaan
No. Variabel
Frekuensi Keterangan
f + f - Hasil
1. Konteks 45 31 + Positif 2. Input 45 31 + Positif
3. Proses 47 29 + Positif 4. Hasil 45 31 + Positif
Hasil ++++ Positif, Positif, Positif, Positif
4. SIMPULAN DAN SARAN
Hasil analisis menemukan bahwa pelaksanaan Praktik Pengalaman
Lapangan (PPL) mahasiswa Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
(FPOK) IKIP PGRI Bali tahun 2013 tergolong efektif dilihat dari variabel
konteks, input, proses dan produk dengan hasil (+ + + +). Artinya; pada variabel
konteks efektif, pada variabel input efektif, pada variabel proses efektif, dan pada
variabel hasil efektif. Kendala-kendala yang dihadapai dalam implementasi
program Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun 2013
pada umumnya terdapat pada komponen konteks, input dan proses.
Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Program
Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun
2013 dilihat dari variabel konteks tergolong dalam kategori efektif. Dari enam
dimensi yang dilibatkan dalam variabel konteks ternyata terdapat lima dimensi
yaitu: visi program, misi program, tujuan program, kebutuhan masyarakat, dan
harapan pelaksanaan program sudah mendukung Pelaksanaan Praktik
Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani
Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun 2013 sedangkan dimensi
regulasi/aturan program kurang mendukung pelaksanaan Praktik Pengalaman
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
188
Lapangan (PPL) mahasiswa Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
(FPOK) IKIP PGRI Bali tahun 2013.
Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Program
Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun
2013 dilihat dari variabel input tergolong dalam kategori efektif. Dari empat
dimensi yang dilibatkan dalam variabel input, silabus sekolah, bahan ajar, sarana
prasarana, dan sumber daya manusia, dimensi silabus sekolah dan bahan ajar
sudah mendukung Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa
Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI
Bali tahun 2013 sedangkan dimensi sarana prasarana dan sumber daya manusia
kurang mendukung pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK
IKIP PGRI Bali tahun 2013.
Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Program
Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun
2013 dilihat dari variabel proses tergolong dalam kategori efektif. Dari empat
dimensi yang dilibatkan dalam variabel input, perencanaan pembelajaran,
pelaksanaan pembelajaran, dan respon peserta didik dimensi pelaksanaan
pembelajaran, dan respon peserta didik sudah mendukung Pelaksanaan Praktik
Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani
Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun 2013 sedangkan dimensi
perencanaan pembelajaran belum mendukung pelaksanaan Praktik Pengalaman
Lapangan (PPL) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan
Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun 2013.
Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Program
Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun
2013 dilihat dari variabel produk/hasil tergolong dalam kategori efektif. Dari dua
dimensi yang dilibatkan dalam pengukuran variabel produk, yakni: kualitas dan
kuantitas dan manfaat serta hasil yang didapatkan dari program ternyata semunya
efektif. Jadi tujuan pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
189
Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI
Bali tahun 2013 sudah tercapai.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam program pelaksanaan Praktik
Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani
Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun 2013 terdapat pada
Beberapa komponen, yakni pada komponen input dan proses yaitu sumber daya
manusia dan sarana prasarana.
Bila dianalisis secara bersama-sama berdasarkan temuan di atas, dapat
disimpulkan bahwa Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK
IKIP PGRI Bali tahun 2013 tergolong dalam kategori efektif dilihat dari variabel
konteks, input, proses dan produk dengan hasil (+ + + +). Dengan demikian,
seluruh variabel dilibatkan sudah efektif.
Implikasi praktis yang dapat dikembangkan dari hasil studi evaluatif ini
tidak terbatas pada Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK
IKIP PGRI Bali tahun 2013, akan tetapi dapat diterapkan pada perguruan-
perguruan tinggi yang lain yang memiliki karakteristik yang relatif sama dengan
subjek penelitian ini, tergantung pada kualitas fungsi konteks, input, proses dan
produk.
Temuan dalam penelitian menunjukkan bahwa Pelaksanaan Praktik
Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani
Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun 2013 dilihat dari variabel
konteks tergolong efektif (+). Meskipun efektif, secara umum semua aspek perlu
ditingkatkan seperti: visi program, misi program, tujuan program, kebutuhan
masyarakat, harapan pelaksanaan program, serta regulasi/aturan program.
Dengan demikian yang perlu dilakukan adalah: semua komponen harus
memahami tentang Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), menganalisis tujuan
program kemudian dituangkan ke dalam perencanaan program. dilihat dari
variabel input tergolong efektif (+). Dari empat dimensi yang dilibatkan dalam
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
190
variabel input, yakni: silabus sekolah, bahan ajar, sumber daya manusia, dan
sarana prasarana, yang perlu mendapat perhatian yang serius yaitu dimensi
sumber daya manusia, dan sarana prasarana. Penyiapan sumber daya yang handal
perlu dilakukan.
Dalam variabel proses, yakni: perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran, dan respon peserta didik, ternyata yang tidak mendukung
Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FPOK IKIP PGRI Bali tahun 2013
adalah perencanaan pembelajaran. Beberapa langkah yang perlu dilakukan
berkaitan dengan variabel proses terutama berkaitan dengan perencanaan
program adalah sebagai berikut menyusun program perencanaan yang dimengerti
oleh semua pihak sehingga semua paham dan mengerti dengan program yang
ada.
Dalam dimensi variabel produk, yakni: kualitas dan kuantitas dan
manfaat serta hasil yang didapatkan dari program, keduanya sudah berjalan
dengan efektif. Oleh karena itu langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah:
program pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) harus difokuskan
pada peningkatan mutu.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
178
5. DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Bumi
Aksara
--------. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
--------. 2004. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta. Penerbit Bumi Aksara
Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safruddin Abdul Jabar. 2007. Evaluasi Program Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara
Buku Panduan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(IKIP) PGRI Bali Tahun 2011
Dinar Pratama, 2010. Model Evaluasi CIPP (Contexk, Input, Process, Produck) . Universitas
Muhamadiyah Prof. DR. Hamka
Fernandes, H.J.X. 1984. Testing and Measurement. Jakarta: National Education Planning,
Evaluation and Curriculum Development.
Guilford, J.P. 1959. Psychometric Methods. New York: McGraw Hill Book.
Hamalik, Oemar. 2005. Evaluasi Kurikulum. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Hamzah B. Uno. et, al. 2001. Pengembangan Instrumen Penelitian . Jakarta: Andi
Hasan Mukhibad dan Nurdian Susilowati. 2007. “Studi Evaluasi Kompetensi Mengajar
Mahasiswa Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) Jurusan Akuntansi Universitas
Negeri Semarang
Kountur, Ronny. 2005. Statistik Praktis. Jakarta: PPM
Mendiknas. 2003. Undang-undang R.I No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasiaonal. Jakarta.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
179
---------. 2005. P.P. R.I No.19 Tahun 2005 tentang Standard Nasional Pendidikan. Jakarta : C.M.
Cemerlang.
Nurkancana, dan P.P.N Sumartana. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya:Usaha Nasional
Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta: PT Grasindo.
Permendiknas. 2006. Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah. Ditjen. Menenjemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pranatha S. I Putu. 2012 Studi Evaluasi Manajemen Berbasis Sekolah Studi Evalusi Pelaksanaan
Program Manajemen Berbasis Sekolah ( Studi [ada tiga sekolah Menengah Pertama yang
sebelumnya menjadi Rintisan Program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah)
(E-jornal
Purnomo. 1997. Seni Mengarahkan Untuk Mendongkrak Kinerja. Jakarta : Gramedia Pusaka
Utama.
Rian Yuanto Susilo, 2000. “Analisis Pelaksanaan Program Praktek Pengalaman Lapangan
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Akuntansi Jurusan Ekonomi Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Semarang Angkatan Tahun 2000”
Riduan dan Engkos Achmad Kuncoro. 2007. Cara Menggunakan Dan Memaknai Analisis Jalur
(Path Analisis). Bandung : Alfabeta.
Rusyan, Tabrani dan Hamijaya. 1992. Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Jakarta: Nine
karya Jaya.
Sadiman, Arief S. dkk. 2003. Media Pendidikan. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Sahertian, Piet A. 2000. Konsep Dasr dan Teknik Supervisi Pendidikan: Dalam Rangka
Pengembangan Sumber Daya Manusia.Jakarta: PT. Rineka Cipata.
Stephen Isaac, William B. Michael. 1989. Handbook in Research and Evaluation. San Diego
California. University of Southern California. LA.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
180
Stufflebeam, David L and Shinkfield, Anthony J. 1986.Systematic Evaluation. USA: Kluwer-
Nijhoff Publishing.
Suryosubroto. 2004. Manajemen Pendidikan Sekolah. Jakarta: PT. Rineka Cipata.
Syah, Muhibbin. 1999. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Tanti Widiya. 2008.“Studi evaluatif Program Pembekalan bagi Guru Kelas dan Guru Agama SD
dalam Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani di Lembaga Penjamin mutu Pendidikan
(LPMP) Bali
Tantra, Dewa Komang., 2004.Evaluasi Program PendidikanProgram Studi Penelitian dan
Evaluasi Pendidikan Program Pasca Sarjana Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Negeri Singaraja.
Tayibnapis, Farida Yusuf. 2000. Evaluasi Program. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Usman, Husaini. 2006. Manajemen Teori, Praktek dan Riset Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi
Aksara
Usman, Uzer Moh. 1999. Menjadi Guru Profesional. Edisi kedua. Cetakan kesepuluh. Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya.
Wadi, Andi. 2006. Evaluasi Implementasi Program MBS sebagai Upaya Kualitas Peningkatan
Lulusan pada SMK I Sukasada Undiksha Singaraja.(Tesis tidak dipublikasikan)
Wargiyanti (2008) “Pengaruh Efektivitas Pemanfaatan Dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) dan Penyediaan Buku Teks Pelajaran (Bos Buku) terhadap Upaya Penuntasan
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun Bagi Siswa Miskin di SDN I Giriharjo
Kecamatan Puhpelem Kabupaten Wonogiri Tahun Pelajaran 2006/2007” Artikel.
www.scolestok.com.
Widja I Gede. 2002. Pokok-pokok Pikiran Mengenai Strategi Pengembangan Zamroni. 2000.
Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Adipura.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
181
Wirdana I Wayan. 2012 Studi Evaluasi Pelaksanaan pendidikan sistem ganda dalam
meningkatkan kecakapan hidup tamatan Kria Keramik SMK Negeri 2 Sukawati. Portal E-
journal Undiksha
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Adipura.
Nomor 15 Tahun IX April 2014
ISSN 1907-3232
181
ANALISIS HUBUNGAN RISIKO PERUSAHAAN DAN KEPUTUSAN MANAJEMEN PADA PERUSAHAAN DAGANG
Oleh
Putu Diah Asrida
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara risiko perusahan dan keputusan manajemen pada perusahaan dagang periode 2008-2013. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan data laporan keuangan perusahaan yaitu laba-rugi dan neraca selama 6 periode akuntansi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari hasil uji hipotesis dengan koefisien korelasi sederhana uji t, yaitu t tabel untuk taraf signifikasni 5% ( =0,025) dengan db n-2 = 6-2 = 4 adalah 3,50. Berarti tabelhitung tt atau 50,372,6 , atau t hitung = - 6,72 < -t tabel = -3,50. Ini berarti H0 ditolah dan Ha diterima. Dapat disimpulkan bahwa hubungan antara risiko perusahaan dengan keputusan manajemen. Bisa dijelaskan oleh variasi-variasi yang terdapat pada keputusan manajemen, 92% disebabkan oleh variasi-variasi pada risiko. Kata Kunci : risiko perusahaan, rasio likuiditas, rasio rentabilitas.
Abstract
This study aimed to analyze the relationship between the company and the risk management decisions in companies trading period 2008-2013. Data analysis techniques in this study using the company's financial report data for 6 accounting period. Results from this study indicate that the results of hypothesis testing with a simple correlation coefficient t test, namely t table for significant level of 5% (= 0.025) with db n-2 = 6-2 = 4 is 3.50. Means or, or t = - 6,72 <t table = -3.50. This means H0 were rejected and Ha accepted. It can be concluded that the relationship between the enterprise risk management decisions. Can be explained by variations contained in management decisions, 92% are caused by variations in risk.
Keywords: enterprise risk, liquidity ratios, rentability ratios.
1. PENDHULUAN
Perusahaan dagang adalah perusahaan yang kegiatannya hanya membeli barang dan
menjual kembali tanpa melakukan perubahan baik dalam bentuk maupun fungsi barang
tersebut. Walaupun terkesan sederhana tetapi perusahaan ini mempunyai keunikan tersendiri
yaitu pengambilan keputusan yang harus dilakukan oleh manajemen. Manajemen mempunyai
tugas yang kompleks karena di dalam perusahaan dagang terdapat beberapa syarat dalam
penyerahan barang (pengiriman barang) maupun syarat pembayaran barang (pelunasan jika
transaksi dilakukan secara kredit). Selain syarat-syarat tersebut, di dalam perusahaan dagang
Nomor 15 Tahun IX April 2014
ISSN 1907-3232
182
terdapat berbagai macam akun yang tidak akan kita jumpai dalam perusahaan jasa. Modal
dalam bentuk persediaan merupakan asset terbesar yang dimiliki oleh perusahaan dagang.
Sehingga perhitungan terhadap persediaan harus sangat cermat dan teliti untuk mengurangi
risiko retur maupun expired produk barang.
Risiko perusahaan dagang sangat erat kaitannya dengan persediaan barang.
Persediaan barang merupakan salah satu aktiva lancar perusahaan, sehingga risiko dalam
penelitian ini akan diproksikan dengan rasio likuiditas perusahaan. Rasio likuiditas
merupakan suatu indikator mengenai kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban
jangka pendeknya pada saat jatuh tempo dengan menggunakan aktiva lancar yang tersedia.
Apabila persediaan perusahaan mengalami retur atau expired yang tinggi maka sudah pasti
rasio likuiditasnya akan kecil yang menyebabkan perusahaan menjadi illikuid.
Untuk meminimalkan risiko tersebut maka keputusan manajemen menjadi sangat
penting. Tepat atau tidaknya manajemen mengambil keputusan akan tercermin dalam
keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba/keuntungan perusahaan. Sehingga
keputusan manajemen akan diproksikan dengan rasio rentabilitas perusahaan. Semakin tinggi
rasio ini maka keputusan yang diambil manajemen semakin tepat. Karena tujuan rasio ini
adalah untuk mengukur tingkat efektifitas manajemen dalam menjalankan operasional
perusahaannya.
Semakin tinggi rasio rentabilitas maka akan berdampak semakin rendahnya rasio
likuiditas. Perusahaan dagang adalah perusahaan yang sangat sensitive dengan persediaan.
Semakin banyak persediaan yang menumpuk digudang, maka transaksi penjualan perusahaan
rendah, begitu juga sebaliknya semakin rendah persediaan, maka transaksi penjualan yang
terjadi semakin tinggi. Semakin banyak transaksi yang terjadi, maka laba/tingkat rentabilitas
akan menjadi semakin tinggi. Begitu juga sebaliknya semakin banyak transaksi maka
persediaan akan semakin berkurang, pengurangan persediaan akan berdampak pada semakin
rendahnya tingkat likuiditas perusahaan.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengambil judul “Analisis hubungan risiko
perusahaan dan keputusan manajemen dalam perusahaan dagang”.
Nomor 15 Tahun IX April 2014
ISSN 1907-3232
183
2. LANDASAN TEORI
2.1 Perusahaan Dagang
Perusahaan dagang adalah perusahaan yang kegiatannya membeli barang jadi dan
menjualnya kembali tanpa melakukan pengolahan lagi (Soemarso, 1999;25). Perusahaan
dagang mempunyai karakteristik yang unik dibandingkan dengan perusahaan jasa dan
perusahaan manufaktur, yaitu berupa siklus usahanya, dan penggunaan akun-akun dalam
transaksinya.
Ciri-ciri perusahaan dagang adalah kegiatan usahanya melakukan pembelian barang
tanpa melakukan proses produksi, dan pendapatan pokoknya diperoleh melalui kegiatan
transaksi penjualan barang. Secara garis besar kegiatannya hanya meliputi: pembelian,
pembayaran, penjualan, dan penerimaan barang.
2.2 Risiko Perusahaan
Risiko perusahaan diproksikan dengan rasio likuiditas. Masalah likuiditas adalah
berhubungan dengan masalah kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban
finansialnya yang harus segera terpenuhi (Riyanto, 2008;25). Semakin rendah rasio
likuiditasnya maka semakin rendah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban
finansialnya. Rendahnya kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya
maka dapat berdampak terhadap going concern perusahaan (risiko perusahaan tinggi).
Current rasio merupakan salah-satu rasio financial yang sering digunakan. Tingkat
current ratio dapat ditentukan dengan jalan membandingkan antara current assets dengan
current liabilities (Syamsuddin, 2011;43).
2.3 Keputusan Manajemen
Keputusan manajemen dalam mengelola perusahaan akan terproyeksi di dalam
laporan keuangan perusahaan. Ketika manajemen mengambil keputusan dengan tingkat risiko
Nomor 15 Tahun IX April 2014
ISSN 1907-3232
184
yang tinggi, akan berdampak dengan kenaikan laba/profit perusahaan. Sehingga keterkaitan
risiko perusahaan akan dihubungkan dengan laba perusahaan yang diproksikan menggunakan
rasio rentabilitas. Rasio rentabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan dengan seluruh
modal yang bekerja di dalamnya untuk menghasilkan laba (Riyanto, 2008;36)
Rasio rentabilitas ini menunjukkan perbandingan antara laba dengan aktiva atau
modal yang menghasilkan laba tersebut. Rasio ini mengidentifikasikan seberapa besar
kemampuan asset perusahaan untuk menghasilkan pendapatan.
3. METODA PENELITIAN
3.1 Risiko perusahaan
Risiko perusahaan diproksikan dengan rasio likuiditas
%100tan
xLancargULancarAktiva
Ratio Current
3.2 Keputusan Manajemen
Keputusan manajemen atas risiko perusahaan akan diproksikan dengan rasio rentabilitas
%100xModalLaba
Ekonomi asRentabilit
3.3 Analisis hubungan antara risiko perusahaan dengan keputusan manajemen
Koefisien korelasi sederhana digunakan untuk menentukan hubungan antara dua variabel
yaitu rasio likuiditas dan rasio rentabilitas.
2222xy
YYN.XXN.
YXX.YN.r
Dimana:
r = nilai koefisien Korelasi
X = Risiko Perusahaan
Nomor 15 Tahun IX April 2014
ISSN 1907-3232
185
Y = Keputusan Manajemen
3.4 Menguji Hipotesis
Untuk menguji hipotesis digunakan uji t. Pengujian hipotesis dengan menggunakan uji t
dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Merumuskan hipotesis
Ho : p = 0, tidak ada hubungan antara risiko perusahaan dengan keputusan
manajemen
Ha : p ≠ 0, ada hubungan antara risiko perusahaan dengan keputusan manajemen
2. Menentukan nilai kesalahan dimana
α= 5%, setelah α diketahui kemudian mencari t atau t /2 dari t tabel dengan df= n-2
3. Menghitung t hitung dengan menggunakan manual
4. Kesimpulan untuk menolak atau menerima Ho, berdasarkan bentuk perumusan
hipotesisnya, yaitu :
Ho diterima jika - t /2 ≤ t ≤ t /2
Ho ditolak jika t > t /2 atau t < - t /2
4.HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil perhitungan risiko perusahaan dan keputusan manajemen:
Tabel 1
Data Risiko Perusahan dan Keputusan Manajemen Enam Tahun Terakhir
Tahun Resiko Return
Nomor 15 Tahun IX April 2014
ISSN 1907-3232
186
2008 2.21 0.01 2009 2.14 0.02 2010 2.09 0.02 2011 1.99 0.03 2012 1.98 0.04 2013 1.91 0.04
Koefisien korelasi dengan tabel kerja sebagai berikut:
Tabel 2
Perhitungan koefisien korelasi
Tahun Resiko (X) Return (Y) X2 Y2 XY 2008 2.21 0.01 4.8841 0.0001 0.0221 2009 2.14 0.02 4.5796 0.0004 0.0428 2010 2.09 0.02 4.3681 0.0004 0.0418 2011 1.99 0.03 3.9601 0.0009 0.0597 2012 1.98 0.04 3.9204 0.0016 0.0792 2013 1.91 0.04 3.6481 0.0016 0.0764
Jumlah 12.32 0.16 25.3604 0.005 0.322
Perhitungan analisis hubungan antara risiko perusahaan dengan keputusan manajemen
2222xy
YYN.XXN.
YXX.YN.r
= 22 0,160,005x612,326x25.36
0x10x6
16,32,2322,
= -0,957
4.2 Pengujian Hipotesis
Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan model Koefisien korelasi sederhana untuk
mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu risiko perusahaan dan keputusan
manajemen dengan persamaan:
Nomor 15 Tahun IX April 2014
ISSN 1907-3232
187
2r12nrt
= 0,921
0,957- 26
= -6,74
sedangkan t tabel untuk taraf signifikasni 5% ( =0,025) dengan db n-2 = 6-2 = 4 adalah
3,50. Berarti tabelhitung tt atau 50,372,6 , atau t hitung = - 6,72 < -t tabel = -3,50. Ini
berarti H0 ditolah dan Ha diterima. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara risiko
perusahaan dengan keputusan manajemen. Bisa dijelaskan dengan variasi-variasi yang
terdapat pada keputusan manajemen, 92% disebabkan oleh variasi-variasin pada risiko.
5.KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini menggunakan perusahaan dagang sebagai sampel penelitian. Perusahaan
dagang adalah perusahaan yang mempunyai asset terbesar dalam persediaan. Semakin tinggi
rasio rentabilitas maka akan berdampak semakin rendahnya rasio likuiditas. Semakin banyak
persediaan yang menumpuk digudang, maka transaksi penjualan perusahaan rendah, begitu
juga sebaliknya semakin rendah persediaan, maka transaksi penjualan yang terjadi semakin
tinggi. Semakin banyak transaksi yang terjadi, maka laba/tingkat rentabilitas akan menjadi
semakin tinggi. Begitu juga sebaliknya semakin banyak transaksi maka persediaan akan
semakin berkurang, pengurangan persediaan akan berdampak pada semakin rendahnya
tingkat likuiditas perusahaan. Sehingga hasil tabelhitung tt atau 50,372,6 , atau t hitung
= - 6,72 < -t tabel = -3,50. Ini berarti H0 ditolah dan Ha diterima. Dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan negatif antara risiko perusahaan dan keputusan manajemen. Semakin
rendah rasio likuiditasnya maka akan semakin tinggi rasio rentabilitasnya.
5.2 Saran
1. Keputusan manajemen akan tercermin di dalam laporan keuangan, ketika risiko yang
diambil oleh manajemen tinggi maka efeknya akan berdampak terhadap
rentabilitas/profitabilitas perusahaannya. Sehingga manajemen harus sangat tepat dan relevan
dalam membuat keputusan, dengan memperhatikan informasi keuangan tahun-tahun
sebelumnya.
Nomor 15 Tahun IX April 2014
ISSN 1907-3232
188
2. Bagi peneliti selanjutnya, menambah jumlah sampel penelitian dan melakukan analisis
terhadap perusahaan jasa atau manufaktur.
DAFTAR PUSTAKA Anton. 2013. Analisis hubungan return dan risiko saham dengan menggunakan metode Capital Asset
Pricing Model (CAPM) pada Jakarta Islami Indeks (JII). Jurnal. STIE MDP.
Anonim, 2015, Pengantar Keuangan Perusahaan, Edisi Global Asia, Salemba Empat, Jakarta.
Hartono, Jogiyanto 2010, Teori Portofolio dan Analisis Investasi, BPFE, Yogyakarta.
Riyanto, Bambang 2008, Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan, Edisi 4, BPFE,
Yogyakarta.
Sartono, 2014, Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi, Edisi 4, BPFE, Yogyakarta.
Soemarso, 1999, Akuntansi Suatu Pengantar, Edisi Empat, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Sugiyono 2009, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung.
Syamsuddin, 2011, Manajemen Keuangan Perusahaan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
189
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF THINK PAIR SHARE UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA
KELAS XI MM1 PADA MATA PELAJARAN KEWIRAUSAHAAN SMK NEGERI 1 SUKAWATI TAHUN PELAJARAN 2013/2014
Ni Wayan Ary Rusitayanti, S.Pd
Email :[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan model pembelajaran kooperatif Think Pair Share dapat meningkatkan prestasi belajar kewirahusahaan siswa kelas XI MM1 SMK Negeri 1 Sukawati Tahun Pelajaran 2013/2014. Dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data dan teknis analisis data. Di dalam metode pengumpulan data digunakan metode observasi, metode tes dan metode wawancara. Observasi digunakan untuk pengamatan aktivitas belajar siswa. Tes digunakan untuk memperoleh data tentang prestasi belajar siswa pada pelajaran kewirahusahaan. Wawancaara digunakan untuk melengkapi kekurangan-kekurangan data. Untuk mengetahui prestasi belajar siswa, terlebih dahulu akan dicari skor rata-rata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: penerapan metode pembelajaran Think Pair Share dapat meningkatkan aktivitas belajr siswa dan hasil belajar kewirausahaan pada pokok pengolahan makanan khas daerah kelas XI MM1 SMK Negeri 1 Sukawati. . Sehingga penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pelajaran kewirahusahaan pada siswa kelas XI MM1 SMK Negeri 1 Sukawati sangat efektif dan berhasil, Terkait dengan simpulan dari peneliti adalah penerapan model pembelajaran kooperatif Think Pair Share dapat meningkatkan prestasi belajar kewirahusahaan siswa kelas XI MM1 SMK Negeri 1 Sukawati. Kata Kunci: Model pembelajaran kooperatif think pair sharedan prestasi belajar.
Abstract
This study aims to determine the application of cooperative learning model Think Pair Share kewirahusahaan can improve learning achievement of class XI student of SMK Negeri 1 Sukawati MM1 academic year 2013/2014. In this study using technical methods of data collection and data analysis. In the data collection methods used method of observation, the test method and the method of interview. Observation is used for observation of student learning activities. The test is used to obtain data on student achievement in the subject kewirahusahaan. Wawancaara used to supplement the deficiencies of data. To determine student achievement, it will first look for an average score. The results showed that: the application of learning methods Think Pair Share belajr can increase the activity of the students and the learning outcomes of entrepreneurship at local staple food processing typical of class XI MM1 SMK Negeri 1 Sukawati. So that the application of cooperative learning model Think Pair Share to improve student achievement in kewirahusahaan lesson in class XI student of SMK Negeri 1 Sukawati MM1 very effective and successful, related to the conclusion of the researcher is the implementation of cooperative learning model Think Pair Share kewirahusahaan can improve students' learning achievement class XI MM1 SMK Negeri 1 Sukawati. Keywords: Cooperative learning model think pair share and learning achievement.
PENDAHULUAN
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh beberapa aspek yang memiliki peranan
kuat dalam menunjang kemajuan itu sendiri. Salah satu aspek yang memiliki posisi dasar dalam
pembangunan menuju bangsa yang maju adalah pendidikan. Pendidikan memiliki peranan yang
sangat penting dalam membentuk generasi muda yang merupakan tonggak masa depan bangsa
yang diharapkan mempunyai kualitas yang baik dari segi intelektual maupun dari akhlak dan
budi pekerti. Selain itu generasi muda juga diharapkan dapat memiliki rasa tanggung jawab
serta daya saing dalam menghadapi persaingan global yang semakin kuat. Maka dari itu
perkembangan pendidikan menuju arah yang positif sangat diperlukan dalam upaya membantu
membentuk sumber daya manusia yang berkualitas untuk kemajuan bangsa.
Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah lemahnya proses
pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses
pembelajaran di dalam kelas diarahkan pada kemampuan anak untuk menghafal informasi tanpa
dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan
kehidupan sehari-hari. Akibatnya ketika anak didik kita lulus dari sekolah mereka pintar secara
teoritis tetapi miskin aplikasi.
Mata pelajaran kewirahusahaan tidak dapat mengembangkan kemampuan anak untuk
berfikir kritis dan sistematis, karena metode pembelajaran dan media pembelajaran tidak
digunakan secara baik dalam setiap proses pembelajaran di dalam kelas. Dalam suatu proses
belajar mengajar ada dua unsur yang sangat penting adalah metode pembelajaran dan media
pembelajaran, kedua aspek ini saling berkaitan. Metode pembelajaran kooperatif sesuai dengan
fitrah manusia sebagai mahluk sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain,
mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas dan rasa senasib. Dengan
memanfaatkan kenyataan itu, belajar berkelompok secara kooperatif, siswa dilatih dan
dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab,
saling membantu dan berinteraksi, komunikasi, dan sisialisasi karena kooperatif adalah cermin
dari hidup masyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Metode kooperatif juga menekankan belajar dalam kelompok harus saling membantu satu sama
lain, bekerjasama menyelesaikan masalah, dan menyatukan pendapat untuk memperoleh
keberhasilan yang optimal baik kelompok maupun individual.
Metode kooperatif merupakan metode diskusi berpasangan yang dilanjutkan dengan
diskusi. Dengan pembelajaran ini siswa dilatih bagaimana mengutarakan pendapat dan siswa
juga belajar menghargai pendapat orang lain dengan tetap mengacu pada materi dan tujuan
pembelajaran. Kelemahan metode ini siswa lebih banyak menghabiskan waktu dalam perbedaan
pendapat daripada menyelesaikan tugasnya dan adanya siswa yang malas yang tidak mau
memberikan bantuan kepada kelompoknya.
Penelitian salah satu metode mengajar tertentu akan mempengaruhi jenis media
pembelajaran yang sesuai, meskipun masih ada berbagai aspek yang harus diperhatikan dalam
memilih media, antara lain tujuan pembelajaran, jenis tugas dan respon yang diharapkan siswa
kususnya setelah pembelajaran berlangsung, dan konteks pembelajaran termasuk karakteristik
siswa. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi utama media pembelajaran
adalah sebagai alat bantu untuk mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan
lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru.
Berdasarkan observasi yang telah peneliti lakukan di SMK N 1 Sukawati, terdapat
delapan kelas XI yaitu XI Multi Media 2, XI TKJ, XI RPL, XI Patung, XI D.Pil, XI Seni Lukis,
XI Multi Media 1, XI DKV. Dalam penelitian ini yang dipilih sebagai subjek penelitian adalah
kelas XI MM 1 (Multi Media) yang dikarenakan prestasi belajar khususnya mata pelajaran
Kewirausahaan di kelas XI MM 1 (Multi Media) masih rendah yakni dibawah kriteria
ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditentukan oleh pihak sekolah yaitu 2,67 untuk masing-
masing peserta didik. Di sini dapat dilihat bahwa nilai mata pelajaran kewirausahaan siswa kelas
XI MM1 SMK N 1 Sukawati adalah 33,78; dengan rata-rata 1,98; daya serap 1,98% serta
ketuntasan klasikal (KK) adalah 23,53%. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditentukan
sekolah adalah 2,67. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hanya 4 orang siswa (23,52%) yang
mampu mencapai KKM. Selain itu hanya 5 orang siswa (29,41%) dikategorikan “B-“, 3 orang
siswa (17,64%) dikategorikan “C+”, 2 orang siswa (11,67%) dikategorikan “C” dan 7 orang
siswa (41,17%) dikategorikan “C-“. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa kemampuan
siswa kelas XI MM1 dalam mata pelajaran Kewirausahaan dikatagorikan rendah.
Rendahnya hasil belajar siswa diakibatkan oleh hal – hal sebagai berikut:
1. Keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran Kewirahusahaan masih sangat rendah.
2. Pembelajaran Kewirahusahaan masih dirasakan oleh siswa sebagai pelajaran yang
membosankan.
3. Kurangnya buku panduan yang dapat dipelajari oleh siswa.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam proses pembelajaran
kewirausahaan siswa kelas XI MM 1 Semester 1 SMK N 1 Sukawati, maka perlu diupayakan
model pembelajaran yang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, salah satunya dengan
menerapkan model pembelajaran Think Pair Share.
Model pembelajaranThink Pair Share adalah suatu teknik pembelajaran yang bertujuan
untuk memberikan kesempatan terbuka pada siswa dalam menyampaikan pendapat mereka dan
mendorong siswa untuk berinteraksi dengan siswa lainnya. Teknik Think Pair Share juga
memberikan siswa kesempatan untuk berlatih dan bekerja sama dengan kelompok sehingga
interaksi antar siswa akan memberikan timbal balik pada setiap siswa. Melalui teknik ini siswa
dihadapkan pada masalah-masalah nyata yang ada di lingkungan serta diajarkan berdiskusi atau
belajar secara kelompok sehingga aktivitas belajar siswa khususnya aktivitas mental siswa dapat
terorganisir dengan baik. Melalui pembelajaran ini siswa akan memperoleh pengetahuan yang
bermakna dan dibangun motivasinya sehingga pembelajaran kewirahusahaan dapat terlaksana
optimal.
Berdasarkan acuan yang telah diuraikan diatas, peneliti tertarik untuk menemukan bukti
nyata penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share dalam meningkatkan
prestasi belajar siswa kelas XI SMK Negeri 1 Sukawati. Oleh karena itu, peneliti tertarik
mengadakan penelitian yang berjudul sebagai berikut “Penerapan Model Pembelajaran
Kooperatif Think Pair Share Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Kelas XI MM1
Dalam Mata Pelajaran Kewirahusahaan SMK Negeri 1 Sukawati Tahun Pelajaran 2013/2014”.
LANDASAN TEORI
A. Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan salah satu komponen utama dalam menciptakan suasana
belajar aktif, inovatif, kreatis dan menyenangkan.Sidarti (dalam Sony, 2006: 10) menyatakan
bahwa model belajar adalah cara yang teratur dan memiliki sintaks tertentu dalam mencapai
tujuan pembelajaran yang melibatkan semua kompone n dalam pembelajaran. Dapat
disimpulkan bahwa model adalah kerangka yang memiliki langkah-langkah atau prosedur
tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Metode pembelajaran dapat digunakan sebagai
cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yangsudah dituntun dalam bentuk
kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran.dalam pengimplementasian
metode belajar, tidak hanya dapat dilakukan di dalam kelas tetapi juga dapat dilakukan diluar
kelas dengan managemen waktu dan mata pembelajar serta komponen pembelajaran yang tepat.
B. Pembelajaran Kooperatif
Dalam buku model-model pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru
dikemukakan bahwa “Pembelajaran kooperatif menggalakkan siswa berinteraksi secara aktif
dan positif dalam kelompok” (Rusman, 2011:201). Sedangkan dalam buku strategi
pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan dikemukakan bahwa, “Pembelajaran
kooperatif merupakan model pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif (Cooperative
Learning) merupakan bantuan pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdirikan dari lima sampai
delapan orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen” (Tarianto, 2009:202)
C. Pengertian Metode Pembelajaran Kooperatif (Think Pair Share)
Strategi berfikir berpasangan berbagi atau Think Pair Share (TPS) adalah jenis
pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa. Strategi
Think Pair Share ini berkembang dari penelitian belajar kooperatif dan waktu tunggu. Pertama
kali dikembangkan oleh Frang Lyman dan koleganya di Universitas Maryland sesuai yang
dikutip Arends (1997), menyatakan bahwa Think Pair Share merupakan suatu cara yang efektif
untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau
diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur
yang digunakan dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespon dan saling
membantu.Guru memperkirakan hanya melengkapi penyajian singkat atau siswa membaca
tugas, atau situasi yang menjadi tanda tanya. Pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share
(TPS) adalah cara efektif untuk mengubah pola wacana dalam kelas. Pendekatan ini menantang
asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi perlu dilakukan dalam setting seluruh kelompok, dan
memiliki prosedur-prosedur built-in untuk memberikan lebih banyak waktu kepada peserta
didik untuk berpikir, untuk merespons, dan untuk saling membantu.
Kompensasi
Dalam buku Manajemen Sumber Daya Manusia dikemukakan bahwa, “Kompensasi
adalah semua balas jasa yang diterima seorang karyawan dari perusahaannya sebagai akibat dari
jasa/tenaga yang telah diberikannya pada perusahaan tersebut” (Edy Sutrisno, 2009:182).
Selanjutnya pendapat lain dalam buku yang sama, “Kompensasi adalah semua pendapatan yang
berbentuk uang atau barang langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai
imbalan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan” (Malayu S.P.Hasibuan, 2009:118).
D. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share(TPS)
Didalam buku analisis penerapan pendekatan metode strategi model-model pembelajaran
dikemukakan bahwa,
Ada enam langkah dalam pembelajaran Kooperatif tipe TPS ( Think Pair Share) sebagai
berikut:
Langkah 1). Persiapan
Dalam hal ini guru mempersiapkan rancangan pelajaran dengan membuat skenario
pembelajaran (SP) Lembar Kerja Siswa (LKS) yang sesuai dengan model pembelajaran
kooperatif tipe Think Pair Share.
Langkah 2). Pembentukan Kelompok
Dalam pembentukan kelompok sesuai dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS. Guru
membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 2-5 orang orang siswa. Guru
memberikan nomer kepada setiap siswa dalam kelompok dan nama kelompok yang berbeda.
Kelompok yang dibentuk merupakan percampuran yang ditinjau dari latar belakang sosial, ras,
suku, jenis kelamin, dan kemampuan belajar. Selain itu dalam pembentukan kelompok
digunakan nilai tes awal sebagai dasar menentukan masing-masing kelompok.
Langkah 3). Tiap kelompok harus memilki buku paket atau buku panduan.
Dalam pembentukan kelompok, tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku panduan
agar memudahkan siswa dalam menyelesaikan LKSatau masalah yang diberikan oleh guru.
Langkah 4). Diskusi masalah.
Dalam kerja kelompok, guru membagikan LKS kepada siswa sebagai bahan yang akan
dipelajari. Dalam kerja kelompok setiap siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan
meyakini bahwa tiap orang mengetahui jawaban dari pertanyaanyang telah ada dalam LKS atau
pertanyaan yang letah diberikan oleh guru.
Langkah 5). Memanggil nomer anggotaatau pemberian jawaban.
Dalam tahap ini, guru menyebut satu nomer dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomer
yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban kepada siswa yang ada di kelas.
Langkah 6). Memberikan kesimpulan.
Guru bersama siswa menyimpulkan jawaban akhir dari semua pertanyaan yang berhubungan
dengan materi yang disajikan (La Iru dan La Ode Safiun Arifin, 2009:63).
E. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share
(TPS)
Dalam buku Analisi penerapan pendekatan metode strategi model-model pembelajaran
dikemukakan bahwa,Kelebihan model pembelajaran kooperatif TPS yaitu: (1). Situasi belajar
lebih aktif, hidup, bersemangat dan berdaya guna. (2). Merupakan latihan berpikir ilmiah dalam
menghadapi masalah. (3). Menumbuhkan sifat objektif percaya pada diri sendiri, keberanian
serta tanggung jawab dalam menghadapi atau mengatasi permasalah. (4). Kelas menjadi benar-
benar hidup dan dinamis. (5). Setiap siswa mendapatkan kesempatan untuk berekspresi dan
mengeluarkan pendapat. (6). Munculnya jiwa kompetensi yang sehat. (7). Setiap siswa menjadi
siap semua dalam diskusi dan dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh. Sedangkan
kelemahan model pembelajaran Kooperatif TPS yaitu : (1). Adanya alokasi waktu yang
panjang. (2). Ketidakbiasaan siswa melakukan pembelajaran kooperatif, sehingga menimbulkan
siswa cepat bosan dalam pembelajaran, (3). Kemungkinan nomer yang dipanggil, dipanggil lagi
oleh guru sehingga tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru (La Iru dan La Ode
Safiun Arihi, 2009:60)
F. Prestasi Belajar
Penelitian tentunya harus berdasarkan teori-teori yang relevan dengan penelitian yang
dilaksanakan.Teori dapat berfungsi sebagai pembatas dan penguat dalam sebuah penelitian,
sehingga pembahasan materi penelitian mengacu pada suatu pengertian yang jelas, tepat dan
utuh.Teori yang digunakan untuk menunjang pelaksanaan dan penggarapan penelitian ini
diperoleh dari mempelajari buku-buku kepustakaan yang relevan dan erat hubungannya dengan
permasalahan yang dibahas.Adapun hal-hal yang dibicarakan adalah sebagai berikut (1)
pengertian prestasi belajar, (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, (3) Cara
mengukur prestasi belajar.
G. Kewirausahaan
1. Pengertian Kewirausahaan
Kewirausahaan dibentuk dari kata dasar yaitu wirausaha yang merupakan kemampuan
yang dimiliki seseorang untuk menilai kesempatan bisnis, kemudian mengumpulkan beragam
sumber daya yang dibutuhkan demi mengambil tindakan secara tepat dan memperoleh
keuntungan yang bertujuan dalam pencapaian kesuksesan. Konsep kewirausahaan memang
hampir mirip dengan kemampuan wirausahawan di dalam dunia usaha. Namun pada keadaan
yang nyata bahwa Pengertian Kewirausahaan ini tidak selalu identik terhadap ciri ataupun watak
seorang wirausahawan semata, karena sifat seseorang wirausahawan pun dimiliki juga oleh
seseorang yang akan menjadi wirausahawan.
2. Ruang Lingkup Materi Kewirausahaan
a. Kerajinan Tangan
Kerajinan tangan dikaitkan dengan nilai pendidikan diwujudkan dalam prosedur
pembuatan. Prosedur memproduksi dilalui dengan berbagai tahapan dan beberapa langkah
yang dilakukan oleh beberapa orang. Kinerja ini menumbuhkan wawasan, toleransi social
serta social corporateness melalui pemahaman karya orang lain.
b. Rekayasa
Rekayasa yang diartikan usaha memecahkan permasalahan kehidupan sehari-hari
dengan berpikir rasional dan kritis sehingga menemukan kerangka kerja yang efektif dan
efisien. Pengertian teknologi erat sekali dengan pembelajaran mandiri, seperti menggoreng
daging dengan lemaknya sendiri.Oleh karenanya, konsep teknologi untuk mengembangkan
diri dengan kemampuan yang diperoleh dari belajar tersebut.
c. Budidaya
Budidaya berpangkal pada cultivation, yaitu suatu kerja yang berusaha untuk
menambah, menumbuhkan dan mewujudkan benda ataupun makhluk agar lebih besar
(tumbuh), dan berkembang. Kinerja ini membutuhkan perasaan seolah dirinya pembudidaya
hidup, tumbuh dan berkembang. Manfaat edukatif budidaya ini adalah pembinaan perasaan,
pembinaan kemampuan memahami pertumbuhan dan menyatukan dengan alam menjadi
anak dan tenaga kerja yang berpikir sistematis namun manusiawi dan kesabaran.
d. Pengolahan
Pengolahan artinya membuat, menciptakan bahan dasar menjadi benda produk jadi
agar dapat dimanfaatkan secara baik. Pada dasarnya kerja pengolahan adalah mengubah
benda mentah menjadi produk matang dengan mencampur atau memodifikasi bahan
tersebut. Manfaat pendidikan teknologi pengolahan bagi pengembangan kepribadian peserta
didik adalah pelatihan rasa ang dapat dikorelasikan dalam kehidupan sehari – hari.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan
tujuan dan kegunaan tertentu. Dalam buku Metode Penelitian dan komunikasi disebutkan
bahwa, “Dalam hubungannya dengan penelitian adalah merupakan jalan yang berkaitan cara
kerja dalam mencapai sasaran dengan diharapkannya bagi penggunaannya sehingga dapat
dipahami objek sasaran yang dikehendaki dalam upaya mencapai sasaran atau tujuan dalam
upaya memecahkan masalah” (Sobagio, 2005:34). Sedangkan menurut pendapat yang
dikemukakan dalam buku metedologi penelitian dinyatakan bahwa, “Metode penelitian adalah
mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang digunakan dalam penelitian”
(Sudarmayati dan Hidayat, 2002:25).
Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah
suatu cara alat atau jalan yang digunakan dalam melakukan suatu penelitian ilmiah untuk
memecahkan suatu masalah secara sistematis agar mencapai tujuan yang diinginkan.
TEKNIK ANALISIS DATA
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data aktivitas dan hasil belajar siswa,
terhadap model pembelajaran Think Pair Share untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Metode
yang digunakan dalam pengolahan data adalah metode analisis deskriptif yaitu cara pengolahan
data dengan menggunakan rumus-rumus yang sederhana untuk memperoleh kesimpulan umum.
Kesimpulan umum yang dimaksud yaitu kesimpulan yang bersifat menyeluruh mengenai
permasalahan yang dibahas.
1.Analisis Data Aktivitas Belajar Siswa
Aktivitas siswa ditentukan dengan menghitung rata-rata persentase siswa yang memenuhi
indikator aktivitas siswa.Jadi persentase skor siswa tertinggi ideal adalah 100 % dan persentase
skor siswa terendah ideal adalah 0%. Dari data aktivitas yang terkumpul akan dihitung rata-rata
persentase aktivitas siswa (X) dengan rumus sebagai berikut:
푋= ∑ Keterangan:
푋 = Rata-rata persentase aktivitas siswa
∑푀 = Jumlah persentase aktivitas siswa
N = Banyaknya indikator
(Depdiknas,2004:49)
Untuk melihat rata-rata aktivitas belajar siswa secara kualitatif digunakan pedoman
sebagai berikut:
3,34 ≤ 푋 = Sangat Aktif
2,68 ≤ 푋< 3,33 = Aktif
2,01 ≤ 푋 < 2,67 = Cukup Aktif
1,34< 2,00 = Kurang Aktif
푋< 1,33 = Sangat Kurang Aktif
( Depdiknas, 2013:48 )
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Refleksi Awal
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan di SMK N 1 Sukawati yang terletak di
kampus SMK Bali di Batubulan Gianyar.Kelas yang digunakan sebagai tempat dilakukannya
tindakan penelitian adalah kelas XI MM1. Kelas ini dilengkapi dengan fasilitas yang memadai.
Fasilitas yang ada sangat berguna bagi kelancaran tindakan dan proses pembelajaran yang
berlangsung. Tata ruang yang ada di dalam kelas ini terdapat 19 meja dan 19 kursi siswa serta
terdapat 1 meja dan 1 kursi untuk guru, terdapat juga 1 buah papan tulis dan sebuah LCD
proyektor. Di dalam kelas ini terdapat 17 orang siswa yang terdiri dari 9 siswa laki-laki dan 8
orang siswa perempuan.
Sebelum peneliti menetapkan metode pembelajaran Think Pair Share, peneliti akan
melakukan wawancara dengan guru mata pelajaran kewirahusahaan di sekolah tersebut.
Wawancara dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam pelajaran
kewirausahaan siswa kelas XI MM1 SMK N 1 Sukawati. Melalui hasil tersebut akan diketahui
bagaimana kemampuan siswa dalam pelajaran kewirausahaann sebelum diterapkannnya metode
pembelajaran Think Pair Share.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan pemaparan diatas terlihat bahwa terjadi peningkatan aktivitas belajar dan
hasil belajar siswa. Dimana rata-rata aktivitas belajar siswa pada siklus I adalah 50,58% dengan
kategori cukup aktif kemudian pada siklus II meningkat menjadi 77,65% dengan kategori aktif.
Begitu pula dengan hasil belajar siswa yang mengalami peningkatan, dimana pada refleksi awal
rata-rata hasil belajar siswa 1,98 dengan ketuntasan belajar siswa secara klasikal mencapai
23,53%, sehingga dilakukan tindakan pada siklus I dimana rata-rata hasil belajar siswa
mengalami peningkatan dengan rata-rata hasil belajar siswa 2,33 dan ketuntasan klasikal
meningkat menjadi 41,17%. Namun dalam tahapan siklus I masih ditemukan masih ditemukan
berbagi permasalahan yang menghambat meningkatnya hasil belajar siswa diantaranya siswa
cepat merasa bosan ketika mengikuti pelajaran dan siswa kurang konsentrasi dalam menerima
pelajaran. Karena itulah peneliti mengadakan siklus II dengan merancang pembelajaran yang
lebih baik terbukti setelah diadakannya siklus II hasil belajar siswa mengalami peningkatan
dengan rata-rata 2,76% dan ketuntasan klasikal mencapai 100%.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan selama dua siklus, dimana masing-masing
siklus terdiri dari dua kali pertemuan dan satu kali pemberian tes, hasil seluruh pembahasan
serta analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Penerapan metode Think Pair Share dapat meningkatkan aktivitas belajar
kewirausahaan pada pokok bahasan pengolahan makanan khas daerah. Hal ini dapat
dilihat dari semakin meningkatnya aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran
kewirausahaan yaitu pada siklus I adalah 50,58% dengan kategori cukup aktif,
sedangkan pada siklus II aktivitas siswa mengalami peningkatan yaitu 77,65% dengan
kategori aktif.
2. Penerapan Think Pair Share dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada pokok
bahasan pengolahan makanan khas daerah kelas XI MM1 SMK N 1 Sukawati. Hal ini
dapat dilihat dari adanya peningkatan hasil tes prestasi belajar siswa dimana pada tes
awal jumlah nilai pada mata pelajaran kewirausahaan adalah 33,78, dengan rata-rata
1,98, daya serap 1,98%, serta ketuntasan klasikal 23,53%, setelah dilaksanakan siklus I
mula mengalami peningkatan menjadi 39,71, dengan rata-rata 2,33 , daya serap 58,25%,
dan ketuntasan klasikal 41,17%, namun setelah terlaksananya siklus I masih terdapat
beberapa siswa yang memperoleh nilai di bawah KKM, sehingga peneliti mengadakan
perbaikan tindakan pada siklus II dan hasil belajar siswa mengalami peningkatan
dengan jumlah nilai menjadi 47,08, dengan rata-rata 2,76, daya serap 69%, dan
ketuntasan klasikal 100%. Dengan terjadinya peningkatan hasil belajar siswa
menandakan bahwa metode pembelajaran Think Pair Share dapat meningkatkan hasil
belajar siswa pada mata pelajaran kewirausahaan kelas XI MM1 SMK N 1 Sukawati
Tahun Pelajaran 2013/2014.
Saran
Dari hasil penelitian yang diperoleh sebelumnya, agar proses belajar pada mata pelajaran
Kewirausahaan menjadi lebih efektif dan lebih memberikan hasil yang optimal bagi siswa,
maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Diharapkan kepada guru mata pelajaran kewirausahaan hendaknya mencoba metode
pembelajaran yang lebih bervariasi, salah satu diantaranya adalah metode
pembelajaran Think Pair Share agar siswa tidak merasa cepat bosan ketika berada
didalam kelas dan pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
2. Diharapkan kepada sekolah agar lebih memperhatikan kedisiplinan para siswa dalam
mengikuti proses pembelajaran sehingga tidak ada siswa yan membolos pada saat jam
pelajaran telah dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Amri, Sofan; Khoiru Ahmadi; dan Tatik Elisah. 2011. Strategi Pembelajaran Sekolah Terpadu.
Jakarta : Prestasi Pustaka Raya.
Arikanto, Suharsini. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
cipta.
Azwar, Saifuddin. 2003.Merode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Depdiknas. 2004. Kurikulum Hasil Belajar. Jakarta: Depdiknas.
Dimyanti dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta
Geufrey G. Meredith et al. (1992). Kewirausahaan Teori dan Praktek.Seri Manajemen No. 97.
PT Pustaka Binman Pressindo
Isjoni. 2009. Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi antarpeserta
didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Iskandar. 2009. Psikologi Pendidikan. Ciputat: Gaung Persada.
La Iru dan La Ode Saifun Arihi. 2009. Analisis Penerapan Pendekatan Metode, Strategi Dan
Model Pembelajaran. Kendari : Multi Prasendo.
Mardalis. 2007. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi Aksara.
Narbuko, Cholid. Abu Achmadi. 2001. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara
Netra, I.B. 1974. Metodologi Penelitian. Singaraja: FKIP Unud.
Nasution, S. 2007. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta Bumi Aksara.
Sedarmayanti, Syarifudin Hidayat. 2002. Metodologi Penelitian. Bandung: Mandar Maju.
Suharsimi Arikunto, Penelitian Tindakan Kelas (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007)
Widya,I Gede. 1997. Pedoman Penulisan Skripsi. Singaraja: STKIP
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
200
GAMELAN KEKELENTINGAN DALAM UPACARA PIODALAN DI
PURA KHAYANGAN JAGAT LUHUR NATAR SARI DESA
PAKRAMAN APUAN
BATURITI TABANAN
I Wayan Mastra
Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali
Abstract
Hinduism is closely related to the cultural and art in Bali. One of the Balinese arts is
karawitan. The smallest part of an art performance, there is a Hinduism ceremony.
Otherwise, if there is the smallest thing of traditional ceremony which is found in Bali
contains the piece of art itself. Gamelan is a group of traditional Balinese music
instrumental which became an important part of the karawitan. One of the unique
Gamelan Bali is Gamelan Kekelentingan which is placed at Apuan village, Baturiti,
Tabanan. The uniqueness of this traditional gamelan is usually played when Ida Batara
Sakti Nawasanga (sesuhunan which is placed in Pura Luhur Natar Sari Apuan, their
forms is wayang wong whether nine forms of god) is placed down by the villagers,
paruman barong (the gathering of barong and rangda in a ritual procession placed at
Pura Luhur Natar Sari Apuan), go around jaba kuta (Southern Bali) whether there is an
odalan at Pura Khayangan Jagat Luhur Natarsari Apuan. The Gamelan Kekelentingan
has its own form, function and meaning which are contained within this group of
traditional music instrumental. There are 3 theories which is able to describe those three
important parts of Gamelan Kekelentingan: functional and structural, esthetic, and
religion. Based on those theories, a group of gamelan kekelentingan contains different
instruments and different forms however it sounds one when those instruments are united
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
201
and played together. The functions itself is to worship the form of god and as a device
which can create a connection between god and human. Human expresses and shows
their own feeling through the melody which comes from the gamelan. The rhyme and the
melody also perform the esthetic and creativity of human being. This research is
belonging to a study of religion and culture also included in qualitative research which
contains the design or program which is focused on observational case study. The data is
collected by the participation observation.
Keywords: Karawitan, Gamelan, Kekelentingan, Structural, Functional, Esthetic,
Religion.
Abstrak
Agama Hindu memiliki kaitan yang erat dengan kebudayaan dan seni yang ada di Bali.
Salah satu jenis kesenian Bali adalah karawitan. Sekecil kecilnya pertunjukan seni, pasti
mengandung unsur keagamaan. Begitu pula dengan sekecil apapun upacara keagamaan
yang ada di Bali, pasti terdapat pula unsur kesenian itu sendiri. Gamelan adalah satu grup
instrumen musik tradisional yang menjadi bagian penting dari karawitan. Salah satu
gamelan unik yang ada di Bali adalah gamelan kekelentingan yang berada di desa
Pakraman Apuan, Baturiti, Tabanan. Keunikan gamelan ini adalah selalu dimainkan
ketika Ida Batara Sakti Nawasanga (sesuhunan yang melinggih di Pura Luhur Natar Sari
Apuan, berwujud bentuk seperti wayang wong dan berjumlah 9) metangi, ketika paruman
barong (berkumpulnya barong dan rangda dalam prosesi ritual di Pura Luhur Natar Sari)
ataupun ketika beliau melancaran ke jaba kuta (se Bali Tengah) serta gamelan ini
dimainkan ketika piodalan dilaksanaan. Gamelan Kekelentingan memiliki bentuk, fungsi
dan makna yang terdapat di dalam satu grup instrumen musik tradisional tersebut.
Terdapat tiga teori yang dapat menjelaskan ketiga unsur atau bagian dari gamelan
Kekelentingan: fungsional dan struktural, estetika dan religi. Berdasarkan ketiga teori
tersebut, satu gamelan Kekelentingan terdiri dari beragam instrument musik dan
memiliki bentuk yang beragam pula, namun terdengar indah ketika instrument tersebut
dikumpulkan dan dimainkan bersama-sama. Fungsinya adalah untuk memuja kebesaran
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
202
Tuhan dan sebagai alat yang dapat menciptakan hubungan harmonis antara sang pencipta
dan manusia. Manusia mengekspresikan perasaan mereka melalui melodi yang tercipta
dari gamelan itu sendiri. Ritme dan melodi yang dihasilkan dari gamelan tersebut juga
menunjukkan keindahan dan kreativitas dari manusia. Penelitian ini termasuk dalam
sebuah penelitian tentang keagamaan dan kebudayaan juga penelitian kualitatif , di
dalamnya terdapat desain atau program yang difokuskan kedalam studi kasus observasi.
Data dikumpulkan dengan cara participation observation.
Kata kunci: Karawitan, Gamelan, Kekelentingan, Struktural, Fungsional, Estetika, Religi
PENDAHULUAN
Pulau Bali tidak diragukan lagi di mata dunia yang berjulukan sebagai pulau dewata atau
sorgawi, sebutan itu tidaklah berkelebihan karena diketahui di Bali banyak kita jumpai
adanya Pura disetiap desa Pakraman baik besetatus sebagai Pura keluarga, Pura
penyungsungan kerama desa adat maupun Pura Khayangan Jagat yang secara tidak
langsung akan memberikan ilustrasi atau kesan magis yang semakin menambah
terposonanya Pulau Bali di kalangan mata dunia, lebih-lebih bagi para wisatawan yang
berkunjung ke Pulau Bali.
Salah satu Pura Khayangan Jagat di Bali adalah pura Luhur Natar Sari
Apuanmemiliki sebuah gamelan tradisional Bali yang disebut dengan gamelan
Kekelentingan, adalah bermula dari sesuhunan Ida Bhatara Siwa Pasupati, yaitu Simbol
Tuhan. Bentuk wujud sesuhunan Pura Natar Sari-Apuan adalah berbentuk Wayang
Wong, yang berbeda dengan bentuk wayang wong di daerah Bali lainnya. Bentuk
Wayang Wong pada daerah Bali lainnya, yaitu dua kekuatan yang berbeda, seperi di
pihak Raja Rahwana dan di pihak Rama. Yang ide cerita diambil dari cerita Epos
Ramayana. Bentuk wujud sesuhunan dalam prabawanya sebagai Siwa Pasupati juga
lazim disebut sesuhunan Bhara “Nawa Sanga” dan Bhara Sakti juga Bhatara Taksu
Kesenian. Adapun wujud keseluruhan tapakan Ida Bhatara Sakti berjumlah Sembilan
buah topeng (Bhatara Nawa Sanga) yang dimaksud adalah seperti penokohan dalam
pewayangan:.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
203
(1)Anoman,(2) Anggada, (3) Singasana,(4) Sugriwa, (5) Sangut, (6) Anila (7) Delem, (8)
Sampati dan (9) Rahwana.
Di dalam tradisi upacara agama Hindu ada lima unsur penting sebagai pendukung
upacara yadnya disebut panca suara atau panca githa yang meliputi: githa mantra,
gentha, kidung, kulkul , dan musik gamelan (karawitan).
Salah satu panca githa sebagai pendukung upacara agama Hindu adalah githa gamelan.
Lontar Prakempa sebuah lontar gamelan Bali menguraikan secara filsafat tentang
gambelan Bali menguraikan secara filsafat tentang gamelan Bali. Dimulai dengan
membicarakan terciptanya bunyi, suara, nada dan ritme oleh Sang Hyang Tri Wesesa
dimana nada-nada itu diwujudkan dengan simbol O pengangoning aksara, seperti bisah
( ; ), talen ( e ) dan cecek ( i ). (Bandem, 1986:11). Gambelan sebagai musik
instrumental tidak dapat dipisahkan dari keseimbangan hidup orang Bali meliputi konsep
keseimbangan hidup manusia dengan Tuhan, konsep hidup manusia dengan alam
sekitarnya, dan konsep hidup manusia dengan sesamanya (Tri Hita Karana).
Pada awalnya kelahiran dan pertumbuhan gamelan Bali banyak kaitannya dengan
kesenian Jawa. Telah banyak dikemukakan bahwa sejak awal abad ke- IX kebudayaan
Bali kesenian termasuk di dalamnya banyak dapat pengaruh kesenian Jawa. Seni
karawitan Bali dapat dijadikan salah satu bukti dari persenyawaan nilai-nilai budaya
Hindu dengan unsur-unsur budaya lain. Para hahli kesenian Bali hingga kini sepakat
bahwa jaman pemerintahan raja Ugrasena di Bali yang memerintah sekitar abad IX
adalah suatu tonggak penting dari pertumbuhan dan perkembangan gamelan Bali. Yang
terdapat pada prasasti Sukawana yang berasal dari Tahun 882 Masehi, diketemukan
istilah karawitan seperti gendang, sangka /terompet dan pemukul gambelan atau
penabuh. Karawitan Bali dapat dibagi tiga jaman periodisasi , Pertama, pada jaman Bali
kuno pada abad ke-IX – XI yang terdapat dalam prasasti-prasasti yang ditulis pada jaman
raja Jayapangus, intinya hanya gamelan difungsikan untuk upacara ritual. Contoh :
Gambang, Slonding, Genggong dan Gender wayang. Dalam barungan gamelan kuno atau
gamelan tua ini tidak terdapat alat-alat pencon, kendang, rebab dan cengceng, ampir
semua instrument yang berbentuk bilah damainkan dengan tangan. Bali kuno berlangsung
sampai pertengahan abad XIV. Kedua, jaman Madya berlangsung dari pertengahan abad
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
204
XIV- XIX, yang diperintah oleh Dalem Ketut Sri Ratna Kepakisan (salah satu keturunan
Guru Gajah Mada, Kerajaan Majapahit). Jaman ini banyak pengaruh dari kesenian Jawa –
Majapahit. Contohnya masuknya beberapa instrumen Bali Seperti gamelan pegambuhan,
smarpagulingan, gong gede pelegongan. Ciri-cirinya adalah bentuk barungannya lebih
besar dari gamelan kuno, serta masuknya instrument bermoncol seperti gong dan kempur,
dan dominan peranan kendang dalam orkestrasi musiknya. Dengan ini pula muncul
istilah “tabuh”, seperti tabuh pisan, tabuh dua, telu, empat, enem dan kutus. Gamelan ini
banyak dapat pengaruh dari istana untuk hiburan para raja, yang cendrung berbentuk seni
pertunjukan. Ketiga, jaman Bali baru atau modern Abad XIX telah mewariskan
beberapa barungan gambelan baru yang merupakan pengembangan seni karawitan yang
sudah ada dari jaman sebelumnya, pengembangannya ada meminjam beberapa alat dari
alat musik yang baru atau lainnya, salah satunya instrument “rebana”. Yang jelas bahwa
gamelan baru masih mempunyai erat dengan jenis-jenis musik dari jaman Bali kuno dan
jaman Bali madya. Diantara barungan yang dapat digolongkan kedalam gambelan Bali
baru adalah : gamelan arja, jogged bumbung, semarandana, genta pinara pitu dan gong
kebyar (Dibia, 1993 :11)
Di Bali, gamelan tersebut memiliki keunikan dan empat unsur pokok, yaitu: filsafat atau
logika, etika atau susila, keindahan atau estetika, dan teknik atau Gegebug dalam
menabuh, atau memainkannya (Bandem,1986:10).
Kegiatan keagamaan yang dilakukan di Pura Khayangan Jagat Luhur Natar Sari Baturiti-
Tabanan adalah prosesi paruman Barong, yang dipusatkan tepat pada tengah malam.
Prosesi ini diiringi dengan gambelan Kekelentingan memiliki fungsi ritual yaitu sebagai
saksi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa di simbolkan melalui nada gambelan
Kekelentingan yang dibunyikan. Juga berbarengan dengan bunyi-bunyian kul-kul, bajra
(genta) dan kekidungan merupakan syarat untuk melengkapi upacara keagamaan.
Selanjutnya gamelan Kekelentingan untuk melengkapi sarana upacara piodalan, tetapi
juga untuk mentralisir kejadian-kejadian yang tidak dikendaki manusia yang tentu
berbarengan dengan Bhara sakti melancaran (ngerbeg) ke Jaba Kuta .
Gamelan sangat erat kaitannya dengan Tarian dalam agama Hindu di Bali, yang dapat
digolongkan menjadi 3 : seni yang berfungsi untuk upacara keagamaan disebut seni Wali,
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
205
seni dalam konteks upacara sekaligus tontonan disebut seni Bebali, dan sebagai seni
hiburan serius ataupun kurang serius disebut seni Balih-balihan (secular dance) disebut
juga seni profan. Dalam hal ini gamelan kekelentingan termasuk kesenian wali atau
sakral.
Pujawali atau upacara Piodalan Pura Khayangan Jagat Luhur Natar Sari-Apuan
dilaksanaan setiap enam bulan sekali yang jatuh pada hari saniscara kliwon wuku krulut
atau lebih dikenal dengan sebutan “Tumpek Krulut”. Namun berdasarkan tradisi pujawali
Ageng dilaksanakan setiap satu tahun sekali, sehingga dari sini timbul istilah dalam
Bahasa Bali jelih-puyung / alit-ageng (Sudarsana, dkk ,2009 : 55). Jadi hari tumpek
krulut itu adalah hari turunnya Dewa kesenian, yang sangat erat kaitannya dengan
berbagai kesenian seperti : gamelan, tarian, drama, wayang, topeng dan seni yang
lainnya.
Pada khususnya gambelan Kekelentingan di Pura Luhur Natar Sari ini hanya boleh
dimainkan setiap piodalan ageng dan untuk mengiringi Ida Bhatara Nawa Sanga/Sanga
(Siwa Pasupati) melancaran ke Jaba Kuta (se-Bali). Oleh sebab itu keunikan dari
gambelan kekelentingan hanya terdapat di Pura Khayangan Jagat Luhur Natar Sari Apuan
menjadi identitas dalam upacara piodalan ageng, selanjutnya karena belum ada yang
meneliti. Untuk itu gambelan Kekelentingan menarik untuk dibahas dan diungkap
sebagai objek penulisan.
METODE
Metode penelitian adalah cara dan prosedur ilmiah yang diterapkan untuk melaksanakan
penelitian. Dalam deskripsi ini metode yang digunakan adalah metode “kualitatif”, kaena
berkaitan dengan seni budaya dan agama. Sedangkan lokasi penelitian, jenis dan sumber
data, instrument penelitian, teknik pengumpulan data, teknik penentuan informan,
analisis data, dan teknik penyajian analisis data, lebih erkait pada pendukung
kelengkapan valdasi data.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
206
GAMELAN KEKELENTINGAN
Karena belum ada yang mengungkap gamelan Kekelentingan, penulis mencoba
mendifinisikan berdasarkan sumber yang penulis yang didapatkan antara lain :
a. Gamelan adalah seprangkat alat musik jawa yang terdiri atas gambang, gong, kempol, kemong, bonang, saron dan sebaginya (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,219). Gamelan atau karawitan adalah musik daerah di Indonesia yang mempunyai laras selendro dan pelog (Aryasa, 1977 :2). Bagi masyarakat Bali istilah gamelan sudah tidak asing lagi, mengingat dalam aktivitas kesehariannya seperti megamel, menari, matembang sudah biasa dilakuakannya. Dalam pencatatan gending atau tabuh menggunakan sistem panca nada dan sapta tonis, yang dikenal dengan susunan lima nada dan tujuh nada.
b. Kekelentingan berasal dari kata bahasa Jawa (data pengalaman di ISI Yogyakarta, 1981-1985) bersumber dari akar kata dasar “kelen” mendapat awalan kata “ke” dan akhiran “an”, telah disatukan atau disandikan menjadi ‘kekelentingan”, yang artinya alat musik seperti genta untuk mengiringi mantra sembahyang agama Hindu (Kamus Jawa Kuno Indonesia, 1985: 484). Kekelentingan identik dengan kata kekelintingan dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Tim Media: 300); kekelintingan punya arti genta atau alat dengan ukuran yang lebih kecil. Dengan demikian dapat dkatagorikan antara kata kekelentingan dan Kekelintingan mempunyai kesamaan arti menyebut musik “genta”. Jadi yang disebut dengan “gamelan Kekelentingan” adalah seperangkat alat musik tradisional instrumentalia Bali yang sakral berlaras pelog panca nada keindahannya ditimbulkan dari alat suara kecil berfungsi untuk penunjang upacara keagamaan, khususnya di Pura Khayangan Jagat Luhur Natar Sari Apuan Baturiti-Tabanan.
Keberadaan gamelan kekelentingan dibuat oleh Pande atau tukang gamelan dari banjar
Apuan atas sepengetahuan pengelingsir Puri Jelantik. Sedangkan munculnya gamelan
tersebut tidak dapat diperkirakan pada jaman Madya (abad ke X1V) dengan bercirikan
masuknya alat atau instrument kendang dan cengceng serta perkembangan lagu-lagu
dikumandangkan. Lagu-lagu yang dikumandangkan masih berpijak pada lagu lama yang
sudah disetiril membentuk lagu baru, dan dalam penyajiannya merupakan cerminaan jiwa
masyarakatnya pada setiap ida Bhatara metangi atau pada uacara piodalan yakni selalu
“cepat”.
Wujud gamelan Kekelentingan berupa bilahan, pepencon, bentuk selinder.
Penampilan/penyajiannya berbentuk artefak yang diberi warna keemasan berjumlah
Sembilan tungguh/buah. Kesatuan instrumen gamelan Kekelentingan disebut
“seprangkat”(barungan). Fungsinya untuk mengiringi upacara piodalan di Pura
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
207
Khayangan Jagat Luhur Natar Sari Apuan Baturiti-Tabanan sekaligus sebagi iringan tari
beserta untuk menolak balla/mentralisir roh-roh jahat. Bermakna untuk kehisupan
manusia, makna suci, religious, pelestaraian, Persembahan estetis dan sosial. Makna yang
paling dominan dalam identitasnya adalah makna pelestarian “gamelan/karawitan” Bali.
Hari peerayaanya jatuh pada hari sabtu ;tumpek kelurut, dipercaya sebagai hari suci
lahirnya dewa taksu kesenian. Untuk penetapan kesucian gamelan selalu menggunakan
yadnya/ sarana sesaji (Sudarsana Putu I.B. 1987:4). Dalam struktur penyajiannya selau
dibagi tiga, yaitu pemuka (pengawit); Bagian isi (pengawak) dan bagian akhir disebut
penutup atau penyuwud, hal ini mempunyai filosofis kehidupan tinggi (Rembang I Nym,
1984/1985).
KESIMPULAN
Gamelan Kekelentingan merupakan gamelan Bali berbentuk barungan (kesatuan
yunit) dimana instrumentnya berbeda-beda terdiri dari instrument yang bernada,
bermoncol, berkulit. Instrument bernama kelompok gangsa yang bermoncol bernama
kelompok gong atau kempul, yang berkulit bernama kelompok kendang. Instrument
gangsa yang berbentuk bilah dengan jumlah lima nada seperti gangsa, jublag dan
jegogan dengan menggunakan laras pelog.
Satu unit gamelan Kekelentingan bahannya dibuat dari kerrawang, kayu, bambu dan
kulit. Instrumen-instrumen tersebut dibuat dari bahan kerawang atau perunggu, baik
bahan untuk bilahan maupun untuk bermoncol (pencon). Tatakan atu tarampa-trampa
tersebut terbuat dari kayu tewel, untuk tiang penyangga bilah-bilah gangsa dan bahan
bambu untuk resonator untuk instrument berbilah, bahan kulit untuk kendang, tali jangat,
tangkis, dan penukup kendang. Gamelan Kekelentingan sebagai pendukung upacara
sangat penting atau “pital”dalamupacara dewa yajnya tersebut bahkan sama pentingnya
dengan sarana upakara besertaunsur-unsurnya seperti air, api, janur (daun-daunan),
banten dan lain-lain. Oleh karena itu, tanpa suara gamelan Kekelentingan pelaksanaan
upacara Dewa yajnya belum sempurna.
Berikutnya, sekaa gamelan Kekelentingan menyajikan gending berdaarkan atas teks
(notasi gending) dan obyek gamelan menjadikan suatu komposisi tabuh yang harmonis.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
208
Peristiwa ini adalah usaha untuk membentuk makna dalam konteks upacara Dewa yajnya.
Oleh karena itu gamelan Kekelentingan mempunyai makna suci, religius, pelestarian,
persembahan estetis dan sosial.
Suara gamelan Kekelentingan dalam konteks Dewa yajnya mampu mempengaruhi dan
membangkitkan rasa keagamaan religius bagi setiap umat Hindu yang mengikuti prosesi
upacara tersebut. Kehikmatan yang ditimbulkan melalui tabuh-tabuh lambat dapat
memberikan makna religius karena dapat menyentuh suasana damai yang mendalam.
Dengan melakukan dewa yajnya dapat menjaga kehidupan dan perkembangan gamelan
Kekelentingan. Upacara dewa yajnya pula dapat memberi wadah untuk tumbuh bersemi
secara subur gamelan Kekelentingan, bahkan wadah pelestarian yang strategis dan
integraltif dari seni gamelan Kekelentingan.
Pelestaraian yang stategis ini dimaksudkan dapat membawa visi dan misi empat
aspek yaitu (1) aspek seniman, (2) aspek jenis kesenian, (3) aspek sarana dan prasarana
dan (4) aspek sosial lingkungan masyarakat. Oleh karena itu dapat diuraikan bahwa tetap
ada upacara dewa yajnya (piodalan) di Pura Khayangan Jagat Luhur Natar Sari-Apuan,
berarti tetap ada gamelan Kekelentingan. Kemudian berarti melestarikan organisasi
sekaa, berarti pula melestarikan wadah organisasi dan berpengaruh terhadap sekaa yang
eksis kemudian sekaa eksis jadi berpengaruh terhadap juru gamel dan berpengaruh
kepada sosial lingkungannya, kemudian lestarilah seni gamelan Kekelentingan sepanjang
jaman.
Sekaa gamelan Kekelentingan bukan berorientasi ke bidang ekonomi, tetapi lebih
menujuk kepada aspek kesenian yang bernilai sosial, magis, dan banyak dihubungkan
dengan ketakson atau taksu. Oleh karena itu dalam rangka melakukan aktifitas sekaa
gamelan dapat menguatkan solidaritas dan intraksi sosial. Setelah penulis mengamati
langsung dilapangan tentang sekaa-sekaa gamelan baik yang ada di kecamatan Baturiti
maupun di beberapa daerah di Bali, lebih banyak mengungkap mereka sebagai anggota
sekaa gamelan berdasarkan atas prinsif ngayah (sosial). Jadi boleh disebutkan tidak
sesuai dengan penerapan proses kreatif, salah satunya faktor sarana (ekonomi) bisa
mendukungnya (Sumandyo Hadi,1983:7).
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
209
DAFTAR PUSTAKA
Aryasa, Madra. Buku Pelajaran Pendidikan Agama Hindu SMA Kelas II. Denpasar : Departemen Agama Provinsi Bli.
Banem,1986. Prakempa Sebuah Lontar Gamelan Bali. Denpasar : Akademi Seni Tari Indonesia.
Dibia, I Wayan.1993. Karawitan Bali. Denpasar : Akademi Seni Tari Indonesia.
Rembang, 1984/1985. Hasil Pendokumentasian Notasi Gending-Gending Lelambatan Klasik Pegongan Daerah Bali. Bali Dekdikbud Proyek Kebudayaan Pengembangan Kesenian Bali.
Sudarsana, Putu I.B. 2000. Ajaran Agama Hindu (Filsafat Yadnya) Denpasar.
Sumandyo Hadi Y,1983. Pengantar Kreativitas Tari. Proek Pengembangan Institut Kesenian Indonesia, Di Jakarta; Sub Bagian Proyek ASTI Yogyakarta, Dep. P dan K 1982/1983.
Tim Media. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Media Centere.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
210
MODEL KOMUNIKASI ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
(Studi kasus pada orang tua bekerja di Kota Denpasar)
Oleh Putu Dessy Fridayanthi
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali ABSTRAK Merupakan fenomena umum di Kota Denpasar jika dalam keluarga, orang tua memiliki karir mereka. Tidak hanya pria yang bekerja, tetapi wanita juga bekerja. Dengan kesibukan mereka , orang tua hanya memiliki waktu terbatas untuk dapat berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Sangat penting untuk melakukan komunikasi interpersonal antara orang tua dan anak-anak, untuk masa depan anak-anak mereka kelak. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan wawancara dan sejarah pribadi kehidupan mereka. Fokus dalam penelitian ini adalah model komunikasi ketika orangtua melakukan komunikasi dengan anak-anak mereka. Dari penelitian ini, dapat ditemukan bahwa setiap orangtua dan anak-anak memiliki latar belakang mereka sendiri yang dapat memberi dampak dalam proses berkomunikasi. Model komunikasi termasuk kebisingan, seperti waktu yang terbatas, media unfunctional, perbedaan usia, perbedaan emosi, dan mengevaluasi pendengaran, dalam proses yang dapat mempengaruhi proses komunikasi. Pengalaman yang sama dan kerangka acuan antara orang tua dan anak-anak, dapat menjadi kontrol yang penting dalam proses komunikasi antara mereka. Katakunci: Model Komunikasi, Komunikasi Interpersonal, Orang tua dan Anak.
ABSTRACT
It is common phenomenon in Denpasar if in a family, parent have their career. Not only man that working, but also women do. With their busy, parent just have limited time to can communicate with their children. It’s important to do interpersonal communication between parent and children, for the future their own children. This research uses qualitative method with interview and life histories. For the focus in this research is communication model when parent do communication with their children. From this research, can be found that every parent and children have their own back ground that can make impact in communication process. Communication model include noise, like limited time, unfunctional media, difference in age, difference in emotion, and evaluating hearing, in that process that can influence the communication process. The same filed of experience and frame of reference between parent and children, can take the important control in communication process between them. Keywords: Communication Model, Interpersonal Communication, Parent and Children.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
211
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam berinteraksi manusia membutuhkan proses komunikasi yang baik supaya terjadi keseimbangan hidup antara satu dengan yang lainnya. Komunikasi tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, baik itu anak kecil sampai orang dewasa pasti membutuhkan komunikasi. Melalui komunikasi kita bisa menyampaikan suatu pesan kepada orang lain. Komunikasi itu sendiri bisa terjadi dengan diri sendiri maupun dengan orang lain, yaitu komunikasi intrapersonal dan komunikasi interpersonal. Ketika kita akan berinteraksi atau berhubungan dengan orang lain, kita membutuhkan komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena tersampaikannya pesan dengan baik atau tidak bergantung dari cara komunikasi interpersonal kita dengan orang lain. Komunikasi interpersonal tidak hanya terjadi di masyarakat luas saja, tetapi juga dalam lingkup terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. Komunikasi interpersonal dalam keluarga terjadi antara suami dengan istri, orangtua dengan anak, anak dengan anak, ataupun anggota keluarga yang lainnya.
Peneliti melihat bahwa ada banyak kasus yang terjadi pada anak-anak, dimana dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat. Dari Data Monitoring Kasus yang sering terjadi meliputi berbagai macam bentuk kekerasan, seperti perkosaan, penculikan, anak berkonflik dengan hukum, penganiayaan, incest, penipuan, bunuh diri, perdagangan anak untuk pelacuran, pembunuhan, percabulan, pengabaian, pembuangan bayi dan sodomi.Pada akhir survey tersebut, anak-anak menyatakan keinginannya terhadap orangtua agar orangtua dapat memberikan kesempatan pada anak untuk berpendapat, dan orangtua bersedia mendengar keluh kesah anaknya (menjadi teman curhat). Dari harapan anak tersebut dapat tercermin bahwa orangtua belum dapat berkomunikasi dengan baik, dimana komunikasi itu sendiri meliputi berbicara, mendengarkan dan mengerti. (Kuantaraf, 1999, p. 199).
Di jaman yang semakin kompetitif ini, dapat dilihat banyaknya kesibukan orangtua dengan pekerjaan mereka. Di kota metropolitan, seperti di Denpasar, kegiatan perekonomian tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan. Orang setiap harinya dipacu agar selalu berkarya, sehingga waktu mereka menjadi sangat padat. Kesibukan merupakan hal yang biasa di masyarakat metropolis, seperti di Denpasar. Apalagi dengan adanya tuntutan akan kebutuhan status ekonomi sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi, ditambah dengan semakin hari harga-harga kebutuhan pokok yang melambung, mengakibatkan orangtua harus bekerja lebih keras lagi. Tidak hanya Ayah yang bekerja, tetapi sekarang ini banyak ibu yang menjadi perempuan karir. Kesibukan yang telah menyita waktu para orangtua, telah mengakibatkan anak-anak tidak dapat bertukar pikiran dengan leluasa atau sharing dengan orangtua, dalam hal ikatan keluarga. Tidak adanya tempat sharing tersebut menyebabkan anak-anak mencari atau sering berkonsultasi dengan pihak luar. Padahal, seharusnya dalam lingkup keluarga
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
212
mempunyai sistem jaringan atau interaksi yang bersifat hubungan antarpribadi, dimana masing-masing anggota dalam keluarga dimungkinkan mempunyai intensitas hubungan satu sama lain antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun anak dengan anak. Sudah sewajarnya jika ayah yang memiliki frekuensi lebih sedikit untuk berinteraksi dengan anaknya karena kesibukan pekerjaan. Tetapi sekarang ini intensitas seorang ibu juga mulai berkurang karena disebabkan ibu menjadi perempuan karir. Hal tersebut bisa dilihat dari 100% perempuan, 80,68% adalah perempuan bekerja dan sisanya 19,32% adalah pengangguran atau tidak bekerja. (Badan Statistik Sosial, 2005). Dari data tersebut dapat dilihat semakin berkurangnya waktu yang dimiliki oleh orangtua untuk berkumpul dengan anak-anaknya. Padahal perjumpaan dengan anak sangat penting bagi pertumbuhan anak, karena di dalam perjumpaan tersebut terjadi komunikasi antara orangtua dan anak, secara interpersonal. Komunikasi interpersonal tersebut dilakukan secara tatap muka dan berlangsung dua arah, dimana bisa dilihat feedback-nya secara langsung. Dengan adanya fenomena orangtua bekerja dan banyaknya ibu yang juga bekerja, maka komunikasi interpersonal yang terjadi antara orangtua dengan anak semakin berkurang. Untuk lebih memahami fenomena komunikasi yang terjadi antara orangtua dengan anaknya (dimana orangtua tersebut adalah orangtua yang bekerja), maka peneliti akan menggunakan model komunikasi. Dari proses komunikasi interpersonal, dapat terbentuk model komunikasi antara orangtua dengan anaknya. Untuk merepresentasikan fenomena komunikasi antara satu orang dengan orang lain, maka menurut Windahl dan McQuail dapat digunakan model komunikasi yang mewakili fenomena komunikasi tersebut sehingga lebih dapat memahami suatu proses komunikasi yang terjadi. (Vardiansyah, 2004, p. 113). Model komunikasi yang dimaksud adalah bagaimana proses komunikasi yang terjadi secara interpersonal antara orangtua dengan anaknya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut: ” Bagaimanakah Model Komunikasi Antara Orangtua Bekerja di Kota Denpasar dengan Anak? ” 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti melalui penelitian ini adalah: Untuk Memperoleh Gambaran Tentang Model Komunikasi Antara Orangtua Bekerja di Kota Denpasar dengan Anak. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori 2.1.1 Komunikasi Interpersonal “Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal” (Mulyana, 2001, p. 73).
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
213
Definisi komunikasi interpersonal di atas menunjukkan adanya proses komunikasi antara satu orang dengan yang lainnya. Adapun proses komunikasi merupakan tahapan-tahapan penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan. Berdasarkan definisi yang dikutip dari Philip Kotler dalam bukunya Marketing Management (Effendy, 2001, p. 18), yang mengacu pada paradigma Harold D. Lasswell, terdapat unsur-unsur komunikasi dalam proses komunikasi, yaitu: Sender,Encoding ,Message,Media, Decoding,Receiver,Response,Feedback, Dengan adanya unsur - unsur komunikasi di atas, diharapkan adanya suatu peningkatan hubungan interpersonal yang baik antara orangtua dan anak yang dapat terjadi melalui suatu percakapan. Dalam melakukan komunikasi secara interpersonal, setiap pengirim memiliki ciri khas, sifat, pikiran, perasaan dan tingkah laku yang membedakannya dengan orang lain. Inilah yang disebut latar belakang. Latar belakang adalah faktor yang menimpa dan mempengaruhi pengirim dan penerima dalam komunikasi interpersonal. Latar belakang yang dimiliki individu mempengaruhi cara berpikir, perasaan, dan tingkah lakunya, termasuk tingkah laku dalam melakukan komunikasi interpersonal. Menurut Gamble (1986), ada dua faktor utama penentu keragaman latar belakang pengirim dan penerima, yaitu field of experience (bidang pengalaman) dan frame of reference (kerangka rujukan). Bidang pengalaman dalam komunikasi adalah bidang objek atau subjek tertentu yang paling diminati pengirim dan penerima. Sedangkan kerangka rujukan adalah nilai pandangan seseorang sebagai perpaduan dari karakteristik:
Demografis: umur, jenis kelamin, status perkawinan, penghasilan dan pekerjaan. Geografis: tempat tinggal, kabupaten, propinsi, jauh dekatnya seseorang dengan pusat
kota. Psikografik: bagaimana seseorang itu hidup setiap hari, bekerja, menggunakan waktu
luang, minat serta pendangannya terhadap isu tertentu. (Liliweri, 1997, p. 145) 2.1.2 Model Komunikasi 2.1.2.1 Definisi Model Komunikasi ”Menurut Sereno dan Mortesen, model komunikasi merupakan deskripsi ideal mengenai apa yang dibutuhkan untuk terjadinya komunikasi. Sedangkan menurut B. Aubrey Fisher mengatakan, model komunikasi adalah analogi yang mengabstraksikan dan memilih bagian dari keseluruhan, unsur sifat atau komponen yang penting dari fenomena yang dijadikan model” (Mulyana, 2001, p. 121). Dari dua definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa model komunikasi adalah gambaran umum dari fenomena komunikasi yang terjadi, dimana fenomena tersebut terdiri dari proses-proses komunikasi antara individu dengan individu lain. Dalam penelitian ini proses komunikasi yang terjadi ialah proses komunikasi interpersonal antara orangtua dengan anak. Melalui proses komunikasi tersebut dapat ditarik sebuah model komunikasi yang dapat menyederhanakan proses tersebut. Model komunikasi dibentuk untuk memudahkan dalam memahami fenomena komunikasi yang terjadi.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
214
2.1.3 Komunikasi Keluarga Sebelum membahas mengenai komunikasi keluarga, pengertian keluarga itu sendiri
adalah suami-ayah, istri-ibu, dan anak-anak (keluarga inti), yang hidup terpisah dari orang lain di tempat tinggal mereka sendiri, dan para anggotanya satu sama lain, terikat erat secara khusus. (Peck, 1991, p. 12). Berbagai macam jenis keluarga, yang dikategorikan menjadi:
Keluarga inti yang terdiri dari pasangan suami istri dengan anak-anak. Keluarga itu dapat terpisah atau menjadi satu dengan dengan sanak saudara. Sedang anak-anak mungkin anak kandung atau anak angkat.
Keluarga inti yang dibentuk kembali yaitu perkawinan kedua entah bagian salah satu atau kedua pihak, pasangan dengan anak-anak dari perkawinan sebelumnya.
Pasangan suami istri tanpa anak, atau anaknya tidak tinggal serumah Keluarga dengan orangtua tunggal, entah ibu atau ayah dengan anak-anak. Keluarga Besar:
→ Keluarga inti dengan sanak saudara lain yang tinggal bersama. → Keluarga dengan orangtua tunggal dan sanak saudara yang lain.
(Peck, 1991, p. 16) Sedangkan pengertian orangtua adalah ayah dan atau ibu kandung, atau ayah dan atau
ibu tiri, atau ayah dan atau ibu angkat. (Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002, pada bab I, pasal 1).
”Dibandingkan sekolah, keluarga sangat berperan bagi perkembangan anak. Praktisi pendidikan Henny Supolo mengatakan bahwa persentuhan anak yang pertama adalah dengan keluarga. Nilai-nilai yang diajarkan dan ditanamkan oleh orangtua akan lebih banyak dicerna, dan dianut oleh anak” (Ratnawati, 2000, p. 41).
”Komunikasi adalah kebutuhan vital bagi anak. Dengan komunikasi yang baik, nilai-nilai yang baik dapat dibentuk. Komunikasi yang baik antara orangtua dan anak menunjukkan bahwa adanya penerimaan orangtua kepada anaknya” (Kuantaraf, 1999, p. 205). 2.1.4 Bekerja
”Yang dimaksud dengan bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit 1 jam dalam seminggu. Bekerja selama 1 jam tersebut harus dilakukan berturut-turut dan tidak boleh terputus oleh kegiatan lainnya” (Badan Pusat Statistik Jawa Timur, 2005). Sedangkan orangtua yang bekerja adalah orangtua yang melakukan aktifitas bekerja.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Definisi Konseptual 1. ”Model komunikasi adalah representasi fenomena komunikasi dengan menonjolkan
unsur-unsur terpenting guna memahami suatu proses komunikasi tersebut” (Vardiansyah, 2004, p. 113). Sedangkan model komunikasi orangtua bekerja dengan anak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gambaran proses komunikasi interpersonal antara orangtua dengan anaknya, sehingga menampilkan unsur-unsur komunikasinya seperti
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
215
sumber, pengkodean, pesan, saluran, pembacaan kode, penerima dan gangguan yang selalu ada di setiap unsur proses komunikasi tersebut.
2. ”Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit 1 jam dalam seminggu. Bekerja selama 1 jam tersebut harus dilakukan berturut-turut dan tidak boleh terputus oleh kegiatan lainnya” (Badan Pusat Statistik Jawa Timur, 2005). Sehingga orangtua yang bekerja adalah orangtua yang melakukan aktivitas bekerja.
3.2 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif, yaitu penelitian dengan menggunakan data berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. (Moleong, 2006, p. 11) 3.3 Metode Penelitian Metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif 3.4 Sasaran Penelitian Sasaran dari penelitian ini adalah orangtua bekerja yang berada pada Denpasar Timur, karena pada wilayah tersebut terdapat kesamaan tingkat ekonomi dengan jumlah pria dan wanita bekerja, dengan jumlah angka kelahiran. 3.5 Unit Analisis
Unit analisis pada penelitian ini adalah keluarga. Di mana karakteristik keluarga tersebut adalah ayah dan ibu bekerja, ayah bekerja-ibu tidak bekerja, ayah tidak bekerja-ibu bekerja, yang semuanya memiliki anak usia remaja. 3.6 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini yang digunakan untuk mendapatkan data adalah melalui wawancara mendalam (in depth interview), baik itu dengan orangtua maupun dengan anak. ”Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu” (Moleong, 2006, p. 186) Dengan melakukan wawancara, peneliti dapat melihat bagaimana model komunikasi yang yang dilakukan ketika terjadi proses komunikasi interpersonal antara orangtua dan anak. Di sini informan yaitu orangtua akan dimintai pendapat dan ide-idenya tentang komunikasi terhadap anak. Yang kedua ialah melalui sejarah pribadi (life histories). ”Hasil penelitian dari observasi atau wawancara, akan lebih kredibel atau dapat dipercaya kalau didukung oleh sejarah pribadi kehidupan di masa kecil, di sekolah, di tempat kerja, di masyarakat, dan autobiografi” (Sugiyono, 2005, p. 83). Dengan mengetahui sejarah pribadi dari orangtua dapat dilihat apakah orangtua menerapkan model komunikasi yang sama kepada anaknya berdasarkan pengalaman yang dimiliki orangtua. Dalam penelitian ini dibutuhkan informan yang akan menjadi obyek penelitian ini untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
216
Di dalam penelitian ini, peneliti terlebih dahulu menentukan keyinforman yang sesuai dengan kriteria di atas. Selanjutnya melalui key informan ini diambil dua informan lainnya melalui teknik snowball atau chainsampling. Pengambilan dengan cara ini dilakukan secara berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau dihubungi sebelumnya, demikian seterusnya. ”Teknik snowball sampling ini dimulai dari satu menjadi makin lama makin banyak” (Moleong, 2006, p. 224) 3.7 Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini mengikuti Model Miles and Huberman. ”Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Miles and Huberman (1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh” (Sugiyono, 2005, p. 91) Selain itu juga akan diuji berdasarkan triangulasi, yaitu triangulasi sumber yang berasal dari: ketiga informan itu sendiri (orangtua-anak), dan pemerhati kasus pada anak. 4. ANALISIS DATA
4.1 Gambaran Umum Sasaran Penelitian Sasaran penelitian adalah mereka atau keluarga yang bekerja (orang tuanya) dan beragam agama atau keyakinan yang dianut. Karena keaneka ragaman ini juga akan membawa dampak terhadap model komunikasi keluarga 4.2 Temuan, Analisis, dan Interpretasi Data 4.2.1 Temuan Data Dalam bab ini dijelaskan mengenai hasil temuan data yang diperoleh peneliti di lapangan. Dari data-data tersebut akan dideskripsikan tentang identitas atau profil para informan, yang terdiri dari tiga keluarga, yang terkait dengan model komunikasi antara orangtua dengan anak. Adapun informan yang dipilih diharapkan dapat memberikan data yang diperlukan untuk penelitian ini. Adapun pemilihan ketiga karakter keluarga informan memiliki perbedaan latar belakang budaya dan agama, yaitu Bali-Hindu, Jawa-Islam dan Cina-Kristen. Pemilihan ketiga keluarga informan dengan latar belakang yang berbeda bukan untuk membandingkan antara satu keluarga informan dengan keluarga informan lainnya, tetapi untuk melihat bagaimana model komunikasi yang terjadi di masing-masing keluarga tersebut. Dengan adanya perbedaan latar belakang, maka penelitian ini akan semakin obyektif dalam melakukan analisis atas temuan data. 4.2.2. Dorongan Anak dalam Melakukan Komunikasi dengan Orangtua Dalam berkomunikasi dengan orangtuanya, anak ingin didengarkan pendapatnya oleh orangtua mereka. Unsur dalam berkomunikasi selain berbicara, hal lain yang dibutuhkan
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
217
adalah mendengar. ”Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 70% dari waktu mulai dari bangun tidur, digunakan untuk berkomunikasi (baik itu dalam bentuk berbicara atau mendengar, membaca atau menulis) dan 33% dari 70% waktu tersebut digunakan untuk berbicara” (Kuntaraf, 1999, p. 1). Orang dapat menjadi pembicara yang baik, tetapi belum tentu menjadi pendengar yang baik. Seperti yang anak inginkan, mereka tidak hanya ingin mendengar perkataan orangtua saja, tetapi mereka juga ingin agar orangtua mau mengerti diri mereka. Dorongan anak dalam berkomunikasi dengan orangtuanya ialah mereka ingin mengemukakan pendapat atau perasaannya. Ketika Kadek tidak setuju dengan aturan yang dibuat oleh ibunya, Kadek akan berbicara dengan orangtuanya tentang perasaannya. Orangtua Kadek melarang Kadek untuk pulang lebih dari jam sepuluh malam. Bagi orangtua Kadek aturan tersebut demi kebaikan dirinya sendiri. Karena Kadek anak perempuan, orangtuanya takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan jika Kadek pulang malam hari. Tetapi bagi Kadek aturan tersebut mengekang dia. Kadek pernah berbicara dengan orangtuanya, bahwa ia keberatan dengan aturan tersebut. Mungkin ketika Kadek sedang tidak ada acara, baginya tidak jadi masalah jika ia harus di rumah sebelum jam sepuluh malam. Sekarang ini ketika ia berada dimasa remaja, banyak teman-temannya yang merayakan ulangtahun sweet seventeen. Acara tersebut berlangsung hingga tengah malam, dan Kadek harus pulang sebelum acara selesai. Kadek menjelaskan hal tersebut kepada orangtuanya agar orangtuanya mau mengerti dan mengijinkannya untuk pulang lebih malam. Ataupun ketika anak-anak sedang bercerita tentang masalah pribadinya. Mereka ingin didengarkan tanpa harus dikomentari oleh orangtuanya. Anak biasanya memiliki tujuan tertentu jika berkomunikasi dengan orangtuanya, yaitu ketika mereka membutuhkan sesuatu. Mereka akan mengatakan kepada orangtunya apa yang mereka butuhkan. Contohnya ketika Putu kehabisan uang, ia akan berkomunikasi dengan ibunya dengan tujuan untuk meminta uang, walaupun komunikasi tersebut tidak harus dikatakan secara langsung tetapi juga bisa melalui tulisan. Kadang orangtua sudah tahu bahwa anaknya akan meminta sesuatu, walaupun anaknya tidak berbicara secara langsung, tetapi sudah bisa dibaca oleh orangtua melalui bahasa tubuh (body language) anaknya. Karena orangtua dan anak tinggal bersama dalam waktu yang lama, jadi tidak susah bagi orangtua untuk mengartikan gerak tubuh atau wajah anaknya. Tidak hanya orangtua yang ingin memiliki hubungan yang baik dengan anaknya, tetapi anak juga ingin memiliki hubungan yang baik dengan orangtuanya. Diakui oleh anak bahwa orangtua adalah teman yang paling baik yang mereka miliki, karena orangtua tidak akan pernah pamrih ketika anak membutuhkan mereka. Jika teman mereka masih bisa tidak peduli dengan mereka, tidak demikian denegan orangtua. Orangtua dalam keadaan apapun pasti mau untuk mendengarkan keluh kesah anaknya. Jadi dorongan anak dalam melakukan komunikasi dengan orangtuanya, adalah:
1. Untuk mengemukakan pendapat atau perasaannya 2. Untuk meminta sesuatu kepada orangtua 3. Untuk memiliki hubungan yang baik dengan orangtua
4.2.3 Penggunaan Bahasa dalam Proses Komunikasi di Keluarga
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
218
”Bahasa adalah kombinasi lambang dalam suatu sistem, sehingga membentuk makna yang digunakan kelompok masyarakat tertentu” (Vardiansyah, 2004, p. 146). Penggunaan bahasa di dalam keluarga juga dapat mempengaruhi suatu proses komunikasi dapat berjalan dengan baik atau tidak. Karena ketika seseorang hendak menyampaikan suatu pesan kepada orang lain (dari komunikator kepada komunikan), mereka akan menggunakan suatu bahasa. Ketika komunikan tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh komunikator, maka pesan tidak dapat disampaikan dengan baik dan juga dapat terjadi miss understanding atau salah pengertian di antara mereka. Latar belakang budaya seseorang juga mempengaruhi bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Dari ketiga keluarga informan yang menjadi sumber dari penelitian ini, memiliki latar belakang yang berbeda-beda yang mempengaruhi bahasa yang digunakan oleh mereka. Bahasa-bahasa yang digunakan pada masing-masing keluarga adalah dengan menggunakan bahasa Indonesia atau daerah serta kdangkala mandarin dan sesekali bahasa Inggris. 4.2.4 Komunikasi dalam Keluarga antara Orangtua dan Anak Komunikasi yang terjadi di dalam keluarga adalah komunikasi interpersonal yang berlangsung secara dua arah. ”Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal” (Mulyana, 2001, p. 73). Melalui komunikasi interpersonal orangtua tidak hanya dapat menyampaikan pesan kepada anaknya atau orangtua hanya dapat menerima pesan dari anaknya saja, tetapi lebih dari itu orangtua dan anak bisa melihat rekasi yang diterima oleh komunikan ketika suatu pesan disampaikan. Dengan melakukan komunikasi secara interpersonal, perasaan anak ataupun orangtua juga dilibatkan, karena komunikasi interpersonal lebih memanusiakan komunikan, tidak hanya mementingkan apakah pesan sudah tersampaikan dengan baik atau tidak. Komunikasi yang terjadi antara orangtua dan anak tersebut tidak hanya secara komunikasi verbal, tetapi juga komunikasi nonverbal. Ketika komunikator dan komunikan (orangtua dan anak) berkomunikasi secara tatap muka, mereka akan bisa melihat reaksi yang diungkapkan oleh komunikan, tidak hanya melalui kata-kata (komunikasi verbal), tetapi juga bisa dilihat melalui body language atau bahasa tubuh (komunikasi nonverbal). Ketika komunikan menerima suatu pesan yang tidak dapat diterimanya dengan baik, hal tersebut dapat dilihat melalui gerakan tubuhnya ataupun melalui mimik wajahnya, walaupun mereka tidak mengatakan secara verbal. Ketika orangtua mengatakan kepada anaknya untuk segera belajar, anaknya mungkin tidak berani berkata ”Tidak mau”, tetapi raut muka si anak cemberut saja pada waktu disuruh belajar. Dari raut muka tersebut, sebenarnya anak sudah mengatakan bahawa sebenarnya ia tidak mau atau sedang malas belajar. Dari komunikasi interpersonal yang terjadi antara orangtua dan anak tersebut diharapkan dapat terjadi hubungan yang harmonis di dalam keluarga. Di dalam proses komunikasi yang terjadi di dalam keluarga ada yang bertindak sebagai komunikator dan komunikan. Posisi siapa yang menjadi komunikator ataupun komunikan tidak dapat pasti, karena antara komunikator dan komunikan dapat bertukar peran dari peran yang satu menjadi peran yang lainnya. Dalam keluarga, orangtua bisa bertindak sebagai komunikator yang menyampaikan suatu pesan kepada anak yang bertindak sebagai
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
219
komunikan, tetapi di saat yang bersamaan posisi mereka bisa berbalik. Anak juga bisa menjadi komunikator yang mengirimkan pesan dan orangtua yang menjadi penerima pesan atau komunikan. Jika di dalam keluarga terdapat orang lain, misalnya kakek dan nenek, mereka juga bisa ikut terlibat di dalam proses komunikasi tersebut dan juga dapat menjalankan fungsi sebagai komunikator ataupun sebagai komunikan. ”Encoding disebut juga penyandian, yaitu proses pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambang” (Effendy, 2001, p. 18). Proses tersebut juga dapat dilakukan oleh orangtua dan anak. Ketika orangtua berpikir untuk memberitahukan anaknya agar dapat segera makan dan kemudian orangtua berbicara agar anaknya segera makan, orangtua sudah melakukan proses encoding. Lambang yang digunakan oleh orangtua adalah berupa bahasa. Ketika lambang-lambang tersebut memiliki suatu makna tertentu, maka orangtua sudah mengirimkan pesan kepada anaknya. Dalam berkomunikasi orangtua tidak hanya berkomunikasi secara langsung. Ketika orangtua sedang bekerja dan anak-anak sedang berada di rumah, orangtua tidak dapat bertemu dengan anak-anaknya sehingga komunikasi yang dapat dilakukan secara tidak langsung. Mereka akan menggunakan media atau saluran, contohnya menggunakan HP. Ketika komunikasi tidak berjalan secara tatap muka, HP yang menjadi media dalam proses penyampaian tersebut. Media atau saluran tersebut bisa bermacam-macam bentuknya, contoh lainnya ialah dengan menggunakan memo atau catatan. Proses selanjutnya yang terjadi ialah ketika komunikan menangkap lambang yang diterima dan kemudian ia mengartikan lambang yang disampaikan kepada dirinya. Ketika anak meninggalkan memo kepada orangtuanya, bisa saja orangtua mengartikan tanda ”;p” dalam memo tersebut, bahwa anak sedang tersenyum ketika menulis memo tersebut. Setelah menerima dan mengartikan lambang tersebut, orangtua dapat bereaksi dengan tersenyum setelah membaca memo tersebut. Itulah yang disebut sebagai response. Setelah meresponi pesan tersebut, orangtua dapat memberikan feedback atau umpan balik dengan menelepon si anak. Menelepon anak sudah merupakan feedback dari orangtua bahwa ia sudah membaca memo yang ditinggalkan oleh anaknya. Ketika proses komunikasi sedang terjadi, bisa saja terjadi gangguan sehingga pesan tidak dapat disampaikan dengan baik. Contohnya ketika anak sudah meninggalkan memo untuk orangtuanya, tetapi kemudian memo tersebut terjatuh dan orangtuanya tidak membacanya, sehingga pesan yang ingin disampaikan oleh anak tidak dapat diterima oleh orangtua. Di dalam berkomunikasi, baik komunikator ataupun komunikan pasti memiliki latar belakang yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. ”Menurut Gamble (1986), ada dua faktor utama penentu keragaman latar belakang pengirim dan penerima, yaitu field of experience (bidang pengalaman) dan frame of reference (kerangka rujukan).” (Liliweri, 1997, p. 145). Latar belakang tersebut meliputi field of experience (bidang pengalaman) dan frame of reference (kerangka rujukan). Field of experience dan frame of reference seseorang sangat mempengaruhi seseorang dalam berkomunikasi. Contohnya ketika Dharma melihat tayangan televisi yang tidak mendidik, ia akan mengatakan kepada anaknya agar anaknya tidak mencontoh perbuatan seperti yang di televisi. Komunikasi Dharma tersebut didasarkan pada frame of reference yang didapatkan Dharma melalui tayangan yang ditontonnya. Sedangkan
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
220
field of experience dapat diperoleh orangtua berdasarkan pengalaman masa lalunya. Apa yang pernah dilakukan oleh orangtua itu juga yang diterapkan pada anaknya. Pada keluarga informan yang menjadi narasumber peneliti, mereka memiliki karakteristik bekerja yang berbeda-beda. Pada keluarga informan pertama, yaitu keluarga Bagus, mereka memiliki pekerjaan sebagai wiraswasata. Bagus dan Ayu memiliki toko stationery, dimana Bagus memegang toko yang baru (cabang dari toko yang lama), dan Ayu memegang toko yang lama. Mereka bekerja dari hari Senin hingga hari Minggu, dari jam sepuluh pagi hingga jam enam sore. Mereka hanya bisa libur, maksimal hanya sepuluh hari dalam setahun. Dengan Bagus dan Ayu yang bekerja itu, mereka bisa memenuhi kebutuhan anak-anaknya dan mereka termasuk keluarga dengan kelas ekonomi atas. Orang yang tinggal bersama dengan Bagus di rumahnya berjumlah delapan orang. Mereka adalah Bagus, Ayu, Putu Yuni, Made Bara, nenek (ibu Bagus), dan tiga orang pembantu. Jumlah orang yang berada dalam satu rumah mempengaruhi bagaimana proses komunikasi dapat berjalan pada keluarga tersebut. Ketika Bagus dan Ayu ingin berkomunikasi hanya dengan kedua orang anaknya, maka mereka tidak bisa berbicara pada tempat yang umum. Kerena ketika mereka berbicara di tempat umum seperti pada meja makan, ibu Bagus dan ketiga pembantu, mereka bisa mendengar komunikasi mereka. Ketika mereka sebagai keluarga inti, yaitu Bagus, Ayu dan kedua anaknya, ingin berkomunikasi secara khusus, mereka juga harus berkomunikasi pada tempat yang agak privat seperti pada kamar tidur. Selain jumlah anggota di rumah, lokasi pembicaraan juga mempengaruhi keterbukaan seseorang ketika berkomunikasi. Di tempat yang umum, orang akan cenderung untuk lebih tertutup, tetapi ketika mereka berada di tempat yang agak privat, mereka dapat berbicara secara terbuka. Sedangkan untuk keluarga Gunadi, yang bekerja hanya Gunadi. Pekerjaan Gunadi ialah sebagai pegawai negeri sipil dan memiliki usaha percetakan di rumahnya. Gunadi bekerja dari hari Senin hingga Jumat. Hari Senin hingga Jumat, dari jam delapan pagi hingga jam empat sore. Sedangkan hari Sabtu Gunadi libur, walaupun kantornya libur, tetapi Gunadi juga masih disibukkan dengan usaha percetakannya. Dengan jam kerja yang dimiliki oleh Gunadi, dapat mempengaruhi frekuensi pertemuannya dengan keluarganya. Farida yang berada di rumah, lebih banyak berkomunikasi dengan anak-anaknya, tetapi Gunadi tetap berkomunikasi dengan istrinya untuk mengetahui bagaimana perkembangan anak-anaknya. Keluarga Gunadi termasuk keluarga pada kelas ekonomi menengah, dan di rumahnya hanya ada keluarga inti, yaitu yang terdiri dari Gunadi, Farida, dan kedua anaknya. Sehingga ketika mereka berkomunikasi, mereka dapat berkomunikasi dengan bebas, tanpa ada orang luar yang tahu. Untuk keluarga informan ketiga, yaitu keluarga Haris, yang bekerja adalah istri Haris, yaitu Santi. Santi bekerja sebagai seorang manager pada perusahaan swasta. Untuk jam kerja normal, Santi bekerja dari hari Senin hingga Jumat, jam tujuh pagi hingga jam empat sore. Karena tuntutan pekerjaan, Santi juga harus mau untuk bekeja lembur yang mengharuskannya masuk pada hari-hari libur dan jam kerjanya tergantung seberapa banyak order yang diterima oleh perusahaannya. Sama seperti Gunadi, keluarga Haris juga tinggal hanya dengan keluarga inti, yaitu Haris, Santi dan Gina. Ketika mereka hendak berkomunikasi atau berbincang-bincang bersama, mereka dapat melakukan di mana saja mereka mau untuk berkomunikasi. Tetapi ketika Gina hendak bercerita hanya dengan Santi
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
221
saja secara rahasia, mereka berkomunikasi di dalam kamar agar tidak didengar oleh ayahnya, Haris. Jumlah anggota dalam satu rumah mempunyai pengaruh dalam proses komunikasi seseorang. Komunikasi di dalam keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan anak. ”Komunikasi adalah kebutuhan vital bagi anak. Dengan komunikasi yang baik, nilai-nilai yang baik dapat dibentuk. Komunikasi yang baik antara orangtua dan anak menunjukkan bahwa adanya penerimaan orangtua kepada anaknya” (Kuantaraf, 1999, p. 205). Anak pertama kali akan belajar untuk berkomunikasi dan beradapatasi dengan lingkungan keluarganya. Di dalam keluarga orangtua dapat menerapkan nilai-nilai yang dianggap dapat membentuk anak agar dapat tumbuh menjadi anak yang baik, tetapi ketika orangtua sudah tidak dapat menjalankan perannya sebagai orangtua dan tidak dapat berkomuniksi dengan baik kepada anaknya, maka hal tersebut akan berdampak pada anak. Agung Nugroho sebagai pemerhati anak yang banyak menangani kasus-kasus pada anak menjelaskan bahwa orangtua yang sangat bertanggung jawab atas pertumbuhan anak. Ketika orangtua sudah tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, dan komunikasi tidak berjalan dengan lancar di keluarga, maka yang akan menjadi korbannya adalah anak. Demikian penjelasan dari Agung Nugroho: ”Kalau anak jatuh ke dalam narkoba atau kenakalan anak yang lain, mereka pasti
memiliki latar belakang keluarga yang tidak beres. Sebagian besar dari anak-anak yang bermasalah yang saya tangani, mereka memiliki kedua orangtua yang bekerja. Ketika pulang ke rumah, orangtua mereka hanya bisa marah-marah saja, karena ketika pulang ke rumah mereka sudah capek dan melampiaskan dengan marah-marah. Anak yang berada di rumah merasa tidak betah melihat orangtua yang hanya bisa marah-marah saja, sehingga mereka suka untuk keluar dan mencari teman. Lha kalau mereka berteman dengan orang yang baik, ga jadi masalah, tapi kebanyakan mereka jatuh ke tempat yang salah. Mereka berteman dengan para pengguna narkoba, copet, dan lain-lain.” (3 Oktober 2007).
Dalam berkomunikasi dengan orangtua, anak tidak mau jika mereka hanya bisa mendengarkan saja apa yang dikatakan oleh orangtua, mereka juga ingin didengarkan. ”Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 70% dari waktu mulai dari bangun tidur, digunakan untuk berkomunikasi (baik itu dalam bentuk berbicara atau mendengar, membaca atau menulis) dan 33% dari 70% waktu tersebut digunakan untuk berbicara” (Kuntaraf, 1999, p. 1). Ketika berkomunikasi ada saatnya orangtua yang berbicara dan anaknya yang mendengar. Demikian juga sebaliknya ada saatnya anak yang berbicara dan orangtua yang mendengar. Komunikasi itu sendiri tidak harus dengan berbicara, melalui tulisan atau dengan membaca, komunikasi juga dapat dilakukan. Tujuan dari komunikasi yang terjadi dikeluarga bukan hanya sekedar penyampaian pesan saja, tetapi lebih dari itu komunikasi dalam keluarga dapat meningkatkan kualitas hubungan antar anggota keluarga tersebut. Dengan adanya komunikasi yang baik antara orangtua dengan anak, maka nilai-nilai yang baik dapat diterapkan pada anak dan anak dapat tumbuh menjadi anak yang baik juga. Ketika komunikasi yang terjadi
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
222
antara orangtua dan anak berjalan dengan lancar, akan meminimalkan anak dari kenakalan-kenakalan anak pada umumnya. Yang dimaksud dengan terbuka ialah ketika anak atau orangtua dapat berkomunikasi tentang apa saja yang ia rasakan atau yang ia alami kepada orang lain. ”Kualitas hubungan antar anggota keluarga tersebut bergantung pada kesanggupan seseorang untuk menyatakan diri kepada orang lain” (Kuantaraf, 1999, p. 205). Seperti contohnya Kadek yang terbuka dengan ayahnya. Kadek bisa berkomunikasi tentang apa saja kepada ayahnya. Sedangkan kalau komunikasi yang biasa-biasa saja ialah komunikasi tetap dapat terjadi diantara mereka, tetapi komunikasi tersebut tidak sampai mendalam. Seperti ketika Catur berkomunikasi dengan ayahnya, ia akan membicarakan hal-hal yang umum saja dan baru ketika ditanya oleh ayahnya tentang sesuatu yang agak privasi, Catur akan menjawab dengan menceritakan sebisanya saja. Komunikasi yang tertutup, yang terjadi pada keluarga Gunadi dapat dilihat ketika Krisna berkomunikasi dengan kedua orangtuanya. Hal tersebut dilatar belakangi karena sifat Krisna yang memang cenderung tertutup dan ia lebih suka menyimpan masalahnya seorang diri. Sedangkan komunikasi yang terjadi antara Gunadi dan Farida adalah terbuka. Mereka akan berkomunikasi tentang segala sesuatu agar hubungan di dalam keluarga dapat tetap terjaga. Diantara mereka tidak ada yang disembunyi-sembunyikan. Sedangkan pada keluarga Haris, Gina lebih bisa berkomunikasi secara terbuka dengan ibunya karena adanya kesamaan kepribadian dan kemampuan Santi untuk dapat berkomunikasi dengan baik. Gina dapat menceritakan masalah-masalah pribadinya kepada Santi. Sedangkan dengan Haris, Gina cenderung berkomunikasi secara biasa, ia tetap dapat melakukan komunikasi dengan baik terhadap Haris, tetapi ia tidak terbuka seperti terhadap Santi. Sedangkan komunikasi Haris dan Santi adalah komunikasi yang terbuka. Mereka akan dapat berbagi akan segala sesuatu. Santi dapat menceritakan masalah-masalahnya kepada suaminya, demikian juga sebaliknya. 4.2.5 Model Komunikasi antara Orangtua dan Anak Berikut adalah model komunikasi pada masing-masing keluarga:
1. Model komunikasi antara orangtua dan anak pada keluarga Joni Gambar 4.2.5.1 Model Komunikasi antara orangtua dan anak pada keluarga Bagus
Ayah
Ibu
Pesan atau
Media Anak
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
223
Gambar di atas adalah model komunikasi pada keluarga Bagus. Komunikasi yang terjadi dikeluarga informan pertama ini terjadi keseimbangan dalam melakukan komunikasi dengan anak. Bagus bisa langsung berkomunikasi dengan anaknya, demikian juga dengan Ayu. Ayu juga dapat komunikasi dengan ke dua orang anaknya. Komunikasi yang terjadi tidak selalu berlangsung secara tatap muka, tetapi juga bisa melalui suatu media. Adanya keseimbangan peran antara suami (Bagus) dan istri (Ayu). Mereka dapat saling mengisi dalam berperan sebagai orangtua. Adanya komunikasi yang lancar antar Bagus dan Ayu menyebabkan anak-anak mereka juga dapat memberikan feedback. Anak-anak dalam berkomunikasi dengan orangtua mereka ataupun dalam memberikan feedback juga bisa secara langsung. Tetapi ketika mereka tidak bisa bertemu dengan orangtua mereka, maka mereka menggunakan suatu media. Keterangan: : Komunikasi yang dilakukan oleh orangtua : Komunikasi yang dilakukan oleh anak
2. Model komunikasi antara orangtua dan anak pada keluarga Gunadi
Gambar 4.2.5.2 Model Komunikasi antara orangtua dan anak pada keluarga Gunadi
Pada gambar di atas, Gunadi (ayah) memegang peranan penting dalam kelaurga informan ke dua ini. Dalam berkomunikasi, Gunadi dan Farida dapat berkomunikasi secara langsung. Sedangkan yang lebih banyak untuk berkomunikasi secara langsung dengan anak ialah Farida. Ketika Gunadi hendak menyampaikan suatu pesan kepada anaknya, ia cenderung untuk melalui perantara, yaitu istrinya, Farida. Gunadi bukannya sama sekali tidak melakukan komunikasi secara langsung kepada anaknya, tetapi frekuensinya jarang jika dibandingkan dengan Farida. Karena temperamen Gunadi yang keras, maka anak juga jarang untuk berkomunikasi secara langsung dengan ayahnya. Di dalam keluarga ini, Gunadi memegang peranan. Apapun yang diputuskan oleh Gunadi, harus dilakukan di dalam keluarga. Keterangan: : Komunikasi yang dilakukan oleh orangtua : Komunikasi yang dilakukan oleh anak
3. Model komunikasi antara orangtua dan anak pada keluarga Haris
Ayah
Ibu Pesan atau
Media Anak
Ayah Ibu Pesan atau
Media
Anak
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
224
Gambar 4.2.5.3 Model Komunikasi antara orangtua dan anak pada keluarga Haris Pada gambar model komunikasi di atas menggambarkan posisi ibu lebih dominan daripada ayah. Santi yang memegang peranan lebih besar daripada Haris. Dalam mendidik anak, Santi yang lebih dominan daripada Haris. Demikian juga dalam hal pengambilan keputusan dalam keluarga, Santi yang lebih banyak untuk mengambil keputusan daripada Haris . Komunikasi yang berjalan antara Haris dan Santi adalah komunikasi dua arah, dimana mereka bisa berkomunikasi membahas segala sesuatu dan juga saling berbagi. Komunikasi yang dilakukan tidak selalu secara tatap muka. Ketika Haris dan Santi tidak bisa saling bertemu, mereka menggunakan media untuk berkomunikasi, contohnya menggunakan HP. Demikian juga komunikasi yang terjadi dengan Gina dengan orangtuanya. Gina dapat berkomunikasi secara dua arah atau interpersonal dengan ibunya. Karena Gina memiliki kesamaan karakter dengan ibunya, sehingga membuatnya dapat berceerita apa saja secara terbuka dengan ibunya. Selain itu menurut Gina ketika ia berbicara dengan ibunya, ia dapat merasa nyaman karena ibunya mau mendengarkannya. Berbeda ketika Gina berkomunikasi dengan ayahnya, ia merasa lebih sulit untuk bisa berkomunikasi secara leluasa dengan ayahnya. Ayah Gina, Haris, dinilainya tidak mau mendengarkan pendapat anak dan juga adanya batasan antara Haris dan Gina. Hal itulah yang membuat Gina tidak dapat dekat dengan ayahnya, tidak sedekat seperti ia dengan ibunya. Ketika Gina tidak dapat berkomunikasi secara langsung dengan orangtuanya, Gina juga menggunakan suatu media untuk menyampaikan pesan, contohnya melalui memo atau HP. Keterangan: : Komunikasi yang dilakukan oleh orangtua : Komunikasi yang dilakukan oleh anak Berikut adalah model komunikasi antara orangtua dan anak secara umum. Gambar 4.2.5.4 Model Komunikasi antara Orangtua dan Anak
Gangguan
Saluran / Media
Message
Komunikator ORANGTUA
Komunikan
Saluran / Media
Gangguan
Latar Belakang: - Usia - Pendidikan -Kepribadian -Agama - Budaya - Suku bangsa/ etnis - Bahasa
Komunikan ANAK
Komunikator
Latar Belakang: - Usia - Pendidikan -Kepribadian -Agama - Budaya - Suku bangsa/ etnis - Bahasa - Pekerjaan
- Ayah Bekerja & Ibu Bekerja - Ayah Bekerja & Ibu Tidak Bekerja - Ayah Tidak Bekerja & Ibu Bekerja
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
225
Gambar di atas menunjukkan model komunikasi yang terjadi antara orangtua dan anak ketika berkomunikasi. ”Model komunikasi adalah analogi yang mengabstraksikan dan memilih bagian dari keseluruhan, unsur sifat atau komponen yang penting dari fenomena yang dijadikan model” (Mulyana, 2001, p. 121). Komunikasi yang terjadi antara orangtua dan anak biasanya berjalan secara interpesonal atau tatap muka. Dengan komunikasi interpersonal maka orangtua dan anak bisa sama-sama langsung memberikan feedback atau umpan balik. Pada gambar ditunjukkan bahwa orangtua bisa berfungsi sebagai komunikator dan anak menjadi komunikan, begitu juga sebaliknya. Orangtua juga bisa memerankan fungsi sebagai komunikan dan anak yang menjadi komunikator. Panah menunjukkan dua arah yang berarti komunikasi berlangsung secara dua arah dan berlangsung timbal balik. Sehingga siapa yang menjadi komunikator dan siapa yang menjadi komunikan tidak selalu sama. Mereka masing-masing bisa bertukar posisi dan bisa saling memberikan respon dan juga feedback terhadap pesan yang disampaikan. Komunikasi terjadi secara interpersonal dimana orangtua dan anak bisa sama-sama saling memperhatikan bagaimana tanggapan yang diberikan baik melalui komunikasi verbal ataupun komunikasi nonverbal yang diberikan oleh komunikan. Komunikasi tidak selalu berlangsung secara tatap muka. Ada saatnya ketika orangtua dan anak tidak saling bertemu, mereka tetap bisa saling berkomunikasi dengan menggunakan saluran atau media. Media tersebut bisa bermacam-macam bentuknya, contohnya komunikasi yang dilakukan melalui HP, ataupun melalui memo yang ditinggalkan. Latar belakang orangtua dan anak dapat mempengaruhi komunikasi yang terjadi di antara mereka. ”Latar belakang adalah faktor yang menimpa dan mempengaruhi pengirim dan penerima dalam komunikasi interpersonal. Latar belakang yang dimiliki individu mempengaruhi cara berpikir, perasaan, dan tingkah lakunya, termasuk tingkah laku dalam melakukan komunikasi interpersonal” (Liliweri, 1997, p. 145). Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh komunikan dan komunikator dapat mempengaruhi kelancaran komunikasi diantara mereka. Ketika seseorang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, sehingga mereka tidak dapat mengerti akan hal-hal yang sudah ”tingkat tinggi”, maka ketika berkomunikasi tetang sesuatu hal yang ”tingkat tinggi”, mereka akan tidak mengerti apa yang sedang dikomunikasikan. Seperti contohnya ketika Gina membicarakan masalah Instagram kepada orangtuanya, maka orangtuanya tidak mengerti apa itu Instagram, karena orangtua Gina tidak mengerti tentang kecanggihan teknologi sekarang ini. Selain itu ketika seseorang tidak pernah belajar bahasa Inggris, dan ketika ia menjadi komunikan dan menerima pesan yang dalam bahasa Inggris, maka ia tidak akan mengerti apa arti dari pesan tersebut. Dengan demikian maka pesan tidak dapat disampaikan. Dalam berkomunikasi, orangtua dan anak sama-sama akan didasari oleh kepribadian mereka masing-masing. Ketika kepribadian seorang anak itu pendiam, maka ia akan sedikit untuk melakukan komunikasi. Dengan minimnya komunikasi yang dilakukan oleh anak tersebut, maka orangtua akan sulit untuk dapat memahami anaknya. Ketika anak sedang dalam masalah anak akan diam saja. Jika demikian maka orangtua yang harus dapat mengimbangi anaknya dengan lebih banyak bertanya kepada anaknya. Kepribadian orangtua
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
226
dan anak dapat mempengaruhi keberhasilan proses komunikasi. Orangtua dan anak harus bisa melihat situasi dan kondisi orangtua atau anaknya ketika hendak melakukan komunikasi. Misalnya ketika orangtua capai karena baru pulang kerja, maka anak jangan menyampaikan kepada orangtuanya masalah-masalah si anak, karena orangtua akan semakin merasa tertekan. Sehingga ketika anak dan orangtua hendak mengutarakan suatu pesan maka mereka harus melihat kondisi komunikan apakah dapat menerima pesan dengan baik atau tidak. Komunikator juga harus bisa mencari celah bagaimana caranya agar pesan yang ingin disampaikan bisa diterima dengan baik oleh komunikan. Contohnya ketika anak ingin meminta uang kepada orangtuanya, mereka bisa mencari celah dengan memijat bahu orangtuanya baru kemudian mereka meminta uang. Komunikasi interpersonal dapat berjalan dengan sukses jika antara komunikator dan komunikan dapat saling mengerti kepribadian lawan bicaranya. Orangtua juga akan menurunkan agama yang ia anut kepada anaknya, karena mau tidak mau agama yang dimiliki oleh orangtua akan mempegaruhi cara orangtua dalam berkomunikasi. Komunikasi di dalam keluarga akan diwarnai dengan kata-kata yang berkaitan dengan ajaran agama. Seperti ketika anak hendak berangkat ke sekolah untuk mengikuti ujian, maka orangtua akan mengatakan ”Sukses ya ujiannya, Tuhan memberkati” dan contoh-contoh lainnya. Komunikasi dengan melibatkan agama dapat mempererat hubungan di dalam sutau keluarga. Seperti contohnya yang dikatakan oleh Santi: ”Orangtua tidak bisa mengikuti kemana saja anak pergi dan berteman dengan siapa
saja. Mungkin kita bisa menanyakan tetapi kita juga tidak tahu seratus persen anak setiap harinya bertemu dengan siapa. Sebagai orangtua, kita menerapkan keimanan kepada anak, agar anak itu takut tidak hanya pada orangtua, tetapi juga takut pada Tuhan. Ketika anak mau berbuat dosa, maka ia akan ingat walaupun tidak ada orang yang melihat, tetapi ada Tuhan yang selalu melihat.” (31 Agustus 2007).
Field of experience (bidang pengalaman) dan frame of reference (kerangka rujukan) akan sangat berpengaruh dalam komunikasi yang diterapkan seseorang. Ketika orangtua mempunyai masa lalu yang dididik oleh orangtua mereka dengan keras, maka ada kecenderungan mereka juga akan mendidik anak-anak mereka dengan keras juga. Apa yang diajarkan oleh orangtuanya dulu akan diturunkan kepada anaknya. Cara berkomunikasi pun juga demikian, ketika Haris berkomunikasi dengan orangtuanya, orangtua Haris memberikan batasan antara orangtua dan anak. Sehingga sekarang ketika Haris berkomunikasi dengan anaknya, anaknya tidak dapat leluasa berbicara seperti berbicara dengan seorang teman, karena ada batasan-bataan yang diterapkan oleh Haris. Sebagai anak harus hormat kepada orangtua. Selain itu apa yang pernah dilihat oleh orangtua akan mempengaruhi komunikasi mereka kepada anak. Ketika orangtua seringkali melihat di TV banyak anak yang terjerumus ke dalam narkoba, maka orangtua akan mengkomunikasikan kepada anaknya agar anaknya mengindari narkoba. Komunikasi yang dilakukan oleh Haris tersebut dilatarbelakangi oleh kerangka rujukannya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Liliweri (1997), ”Kerangka rujukan dengan karakteristik psikografik berdasarkan bagaimana seseorang itu hidup setiap hari, bekerja, menggunakan waktu luang, minat serta padangannya terhadap isu tertentu” ( p. 145).
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
227
Pekerjaan seseorang akan menentukan tinggi rendahnya penghasilan mereka. Tinggi rendahnya penghasilan seseorang akan mempegaruhi cara berpikir seseorang. Orang yang terbiasa memiliki penghasilan yang tinggi atau dari ekonomi atas akan berbeda cara berpikirnya dengan orang dari ekonomi menengah atau ekonomi bawah. Ketika di dalam keluarga, orang pada ekonomi atas, mereka membicarakan untuk berlibur ke luar negeri, berbeda ketika orang dari keluarga ekonomi menengah atau bawah, mereka hanya berbicara liburan di dalam negeri bahkan hanya liburan di rumah saja. Pada proses komunikasi yang terjadi antara orangtua dan anak pasti dapat terjadi gangguan-gangguan yang dapat menghambat proses komunikasi tersebut. Hambatan-hambatan tersebut bisa terjadi di mana dan kapan saja. Ketika orangtua menjalankan peran sebagai komunikator ataupun komunikan dan anak sebagai komunikan ataupun sebagai komunikator, mereka dapat mengalami hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan tersebut bisa bermacam-macam bentuknya. Sebagai orangtua yang sibuk, mereka akan mengalami hambatan untuk dapat berkomunikasi dengan anaknya karena keterbatasan waktu. Ketika anak baru bangun tidur, orangtua sudah pergi bekerja dan ketika orangtua pulang kerja, anak sudah tidur. Sehingga kuantitas pertemuan mereka sangat minim. Ketika mereka tidak dapat bertemu secara langsung, mereka dapat berkomunikasi melalui telepon atau HP yang berfungsi sebagai media atau saluran komunikasi mereka. ”Pemilihan media sering merupakan rintangan terhadap komunikasi. Apabila orang-orang yang memerlukan informasi tidak mudah dihubungi dengan satu jenis media, maka komunikasi dapat menjadi kurang lancar” (Moekijat, 1993, p. 191). Pada media atau saluran tersebut juga dapat mengalami gangguan, seperti ketika hendak menelepon, HP yang dihubungi tidak aktif, sehingga komunikasi tidak dapat berjalan. Selain itu gangguan juga dapat terjadi karena latar belakang seseorang. Setiap orangtua dilahirkan dengan kemampuan yang berbeda, mereka mempunyai pengalaman yang berbeda-beda ketika mereka masih kanak-kanak dan masa muda, dan sebagai orang dewasa mereka mempunyai atasan yang mempunyai bermacam-macam pengaruh atas mereka. Orangtua yang berusia lebih dari 30 tahun, kebanyakan orang muda, sering memandang sulit ”mendengarkan” kerangka acuan orang muda dan dengan demikian mempunyai masalah-masalah dalam mengadakan komunikasi dengan mereka. Anak sering kali mempunyai cara pandang yang berbeda dengan orangtua, sedangkan orangtua yang sudah terbentuk cara berpikirnya, sulit untuk dapat menerima cara pandang anaknya itu. Orangtua seringkali berpikir bahwa ia yang sudah banyak memakan asam garam dunia, mereka yang lebih berpengalaman dari anak mereka, sehingga mereka menganggap anak belum tahu apa-apa dan anak yang harus mendengarkan orangtua. Dengan adanya kesulitan untuk menerima pemikiran atau pendapat anak, maka komunikasi antara orangtua dan anak dapat mengalami masalah. Demikian juga dengan keadaam emosi seseorang dapat mempengaruhi suatu proses komunikasi. Cara seorang individu menafsirkan suatu situasi, sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi seseorang pada saat itu. Ketika seorang anak mengucapkan suatu kata dengan bermaksud untuk bercanda, tetapi ketika orangtuanya menerima pesan tersebut dengan kondisi emosi yang tidak labil, orangtua akan menanggapi gurauan anaknya dengan marah. Mungkin saat itu anaknya hanya bermaksud untuk bercanda, tetapi karena orangtua sudah capai dari bekerja, mereka menganggap bahwa anaknya tidak
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
228
sopan dengan mengatakan kata-kata tersebut. Anak senang untuk bercerita kepada orangtuanya jika, ketika mereka bercerita orangtuanya mau mendengarkan tanpa memberikan komentar-komentar yang tidak mengenakan. ”Pendengaran nonevaluatif membantu meningkatkan pengertian dengan mendorong orang lain tidak hanya untuk mendengarkan secara lebih baik, tetapi juga untuk memberikan informasi yang lebih banyak” (Moekijat, 1993, p. 191). Ketika anak sedang mengalami masalah dan kemudian ia menceritakan kepada orangtuanya, anak akan senang jika orangtua mau mendengarkan keluh kesahnya dengan sabar, dan setelah anak sudah selesai bercerita orangtua bisa memberikan masukan-masukan tanpa harus menyudutkan anak. Ketika anak bercerita tetang masalahnya kepada orangtua, dan kemudian orangtua justru memarahi anaknya dan mengatakan bahwa masalah tersebut karena kesalahan anaknya sendiri, maka akan membuat anak enggan untuk bercerita lagi kepada orangtuanya. Ketika orangtua dapat mendengarkan anaknya tanpa harus mengoreksi atau mengevaluasi apakah anaknya benar atau salah, anak akan semakin senang untuk bercerita kepada orangtuanya apapun yang dihadapi oleh anaknya. Dengan demikian orangtua akan dapat mendapatkan banyak informasi atau cerita dari anaknya yang dapat membuat orangtua menjadi semakin mengenal dan dekat dengan anaknya. 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Model komunikasi yang terjadi antara orangtua dengan anaknya ialah komunikasi secara interpersonal. Melalui komunikasi interpersonal hubungan yang baik antara orangtua dengan anak dapat terjalin.
Dalam model komunikasi yang terbentuk antara orangtua dan anak, kedudukan atau posisi komunikator dan komunikator tidak ada yang pasti. Setiap kali orangtua dan anak berinteraksi, mereka dapat berubah kedudukan komunikasinya. Baik orangtua maupun anak bisa sama-sama menjadi komunikator dan juga komunikan. Ketika berkomunikasi orangtua yang mengirimkan pesan, sebagai komunikator, maka anak yang akan menerima pesan, sebagai komunikan. Demikian juga sebaliknya, ketika anak yang mengirimkan pesan, sebagai komunikator, kepada orangtua, maka orangtua yang menerima pesan, sebagai komunikannya.
Dalam berkomunikasi mereka juga bisa saling memberikan umpan balik atau feedback. Umpan balik itu dapat diterima secara langsung dan juga secara tidak langsung. Ketika komunikasi berlangsung secara tatap muka, maka umpan balik dapat dilihat secara langsung, tetapi ketika komunikasi tidak terjadi secara tatap muka, maka umpan balik tidak dapat dilihat secara langsung. Feedback yang diberikan oleh komunikan tidak selalu berbentuk dalam bahasa verbal, tetapi juga bisa berupa bahasa nonverbal. Komunikasi juga dapat dilakukan oleh orangtua baik secara sadar untuk melakukan atau direncanakan dahulu sebelumnya, dan juga tidak direncanakan sebelumnya, karena komunikasi merupakan kebutuhan setiap orang.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
229
Dalam melakukan komunikasi bisa terjadi bermacam-macam gangguan yang dapat mempengaruhi suatu pesan dapat tersampaikan dengan baik atau tidak. Gangguan-gangguan tersebut dapat diatasi dengan berbagai cara juga agar komunikasi tetap dapat berjalan dengan baik. Salah satu gangguan ketika orangtua yang sibuk bekerja melakukan komunikasi dengan anaknya ialah keterbatasan waktu. Untuk dapat berkomunikasi, mereka dapat menggunakan saluran atau media komunikasi, seperti telepon ataupun HP. Dengan komunikasi melalui media atau saluran tersebut, komunikasi tidak dapat berlangsung secara tatap muka, tetapi yang terpenting, komunikasi masih bisa dilakukan walaupun orangtua sibuk bekerja. Komunikasi dapat berjalan dengan baik, jika antara orangtua dan anak bisa saling pengertian dan saling menghargai.
5.2 Saran Untuk orangtua: Melalui penelitian ini, diharapkan dapat berguna bagi orangtua-orangtua yang memiliki anak-anak yang berada pada masa remaja, karena masa remaja adalah masa yang paling rentan bagi pertumbuhannya kelak mejadi orang yang dewasa. Selain itu melalui gangguan-gangguan yang terjadi ketika orangtua melakukan komunikasi dengan anaknya dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan agar dapat mendapatkan solusi setelah membaca penelitian ini. Beberapa keluhan yang peneliti dapatkan dari anak-anak yang menjadi narasumber, diharapkan orangtua dapat lebih bisa membuka diri terhadap anaknya dan mau menerima pendapat atau saran-saran yang diberikan oleh anak-anak mereka. Selain itu anak tidak hanya membutuhkan materi saja, tetapi anak juga tetap membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Tidak salah jika orangtua sibuk bekerja, tetapi jangan sampai orangtua tidak memperhatikan dan memperdulikan anaknya. Untuk penelitian selanjutnya: Peneliti menyarankan untuk penelitian yang akan datang mengenai model komunikasi antara orangtua dan anak dapat dikhususkan untuk anak-anak yang bermasalah dengan hukum, contohnya anak-anak yang melakukan tindakan kriminal ataupun yang beronflik dengan hukum, untuk melihat bagaimana peranan orangtua dalam berkomunikasi dengan anaknya yang mengakibatkan dampak yang buruk bagi anak. Dengan megetahui dampak negatifnya, maka komunikasi orangtua dengan anak dapat lebih ditingkatkan lagi.
DAFTAR REFERENSI
Badan Pusat Statistik. (2004). Jumlah pemeluk agama Islam, Kristen dan Buddha. Denpasar: Author. Badan Pusat Statistik. (2005). Persentase pengeluaran rumah tangga. Distribusi dan pengeluaran rumah tangga kota Denpasar, Badan Perencanaan Pembangunan Kota Denpasar. Denpasar: Author. Badan Pusat Statistik Jawa Timur. (2005). Hasil survei nasional. Denpasar: Author.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
230
Bonavia, David. (1987). Cina dan masyarakatnya. Jakarta: Erlangga. Bungin, Burhan. (2001). Metode penelitian kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cushman, Jennifer dan Wang Gungwu. (1992). Perubahan identitas orang Cina di Asia
Tenggara. Jakarta: Grafiti. DeVito, Joseph A. (1997). Komunikasi antarmanusia. Jakarta: Professional Books. Dewey, John. (2002). Pengalaman dan pendidikan (John de Santo). Yogyakarta: Kepel Press
bekerjasama dengan Yayasan Adi Akrya IKAPI dan Ford Foundation. Djamadin, Bahari. (2004). Komunikasi interpersonal. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Djamarah, Syaiful Bahri. (2004). Pola komunikasi orangtua & anak dalam keluarga (Sebuah
perspektif pendidikan Islam). Jakarta: Rineka Cipta. Dodson, Fitzhugh. (2006). Mendisiplinkan anak dengan kasih sayang. Jakarta: PT. BPK
Gunung Mulia. Effendy, Uchjana. (2001). Ilmu komunikasi teori dan praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. Geertz, Hildred. (1983). Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers. Goldmann, David. (2004 ). Islam and the Bible. Chicago: Moody Publishers. Horton, Paul B. dan Chesterr L. Hunt. (1993). Sociology (cetakan ke-4). Jakarta: Erlangga. Kuntaraf, Kathleen Liwidjaya. (1999). Komunikasi keluarga. Bandung: Indonesia Publishing House. Lembaga Perlindungan Anak Jatim. (2006). Saatnya anak bicara. Denpasar: Author. Lembaga Perlindungan Anak Jatim. (2006). Undang-undang perlindungan anak no 23 tahun
2002. Denpasar: Author. Lilananda, Rudy. (1996). Kampung Cina di Denpasar sebagai potensi wisata kota. Pusat Studi Perencanaan Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra, Denpasar Liliweri, Alo. (1997). Komunikasi antarpribadi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Littauer, Florence. (1996). Personality plus. Jakarta: Binarupa Aksara. Mente, Boye De. (1994). Etiket dan etika bisnis dengan orang Cina. Jakarta: Bumi Aksara. Mighwar, Muhammad Al. (2006). Psikologi remaja. Bandung: Pustaka Setia. Moekijat. (1993). Teorikomunikasi. Bandung: Penerbit Mandar Maju. Moleong, Lexy. (2006). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulder, Niels. (1986). Kepribadian Jawa dan pembangunan nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mulyana, Deddy. (2001). Ilmu komunikasi suatu pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Musianto, Lukas Sugeng. (1998). Interaksi etnik Cina dan Pribumi di Denpasar. Disertasi Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Denpasar. Pareno, Sam Abede. (2002). Kuliah komunikasi. Denpasar: Papyrus. Peck, Jane Cary. (1991). Wanita dan keluarga. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Ratnawati, Shinta. (2000). Keluarga, kunci sukses anak. Jakarta: Kompas.
Nomor 15 Tahun IX April 2014 ISSN 1907-3232
231
Sujanto, Agus, Halem Lubis dan Taufik Hadi. (1997). Psikologi kepribadian. Jakarta: Bumi aksara. Sugiyono. (2005). Memahami penelitian kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta. Denpasar Children Crisis Centre. (2005). Anak konflik hukum. Denpasar: Author. Vardiansyah, Dani. (2004). Pengantar ilmu komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia.
232
PELATIHAN LONCAT INTERVAL JARAK 10 METER 5 REPETISI 4
SET DAN 10 REPETISI 2 SET TERHADAP PENINGKATAN JAUHNYA
LOMPATAN PADA LOMPAT JAUH SISWI KELAS X SMK
KESEHATAN PANCA ATMA JAYA KLUNGKUNG
TAHUN PELAJARAN 2010/2011
IDA AYU KADE ARISANTHI DEWI
ABSTRAK
Hasil pengamatan secara langsung di lapangan menunjukkan bahwa SMK Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung belum pernah meraih juara dalam cabang atletik yaitu nomer lompat (lompat jauh), baik di Kecamatan apalagi di Kabupaten pada saat Porseni. Hal ini disebabkan karena lemahnya otot tungkai sehingga tidak mampu melakukan lompatan sejauh-jauhnya. Untuk meningkatkan kekuatan otot tungkai agar mampu melakukan lompatan, maka perlu pelatihan Sehubungan hal tersebut di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul “Pelatihan Loncat Interval Jarak 10 Meter 5 Repetisi 4 Set dan 10 Repetisi 2 Set Terhadap Peningkatan Jauhnya Lompatan Pada Lompat Jauh Siswi Kelas X SMK Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung Tahun Pelajaran 2010/ 2011”. Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dirumuskan dan lebih lanjut dibahas yaitu : Apakah ada pengaruh dan perbedaan pengaruh pelatihan loncat interval jarak 10 meter 5 repetisi 4 set dan 10 repetisi 2 set terhadap peningkatan jauhnya lompatan pada lompat jauh siswi kelas X SMK Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung tahun pelajaran 2010/ 2011?. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh dan perbedaan pengaruh pelatihan loncat interval jarak 10 meter 5 repetisi 4 set dan 10 repetisi 2 set terhadap peningkatan jauhnya lompatan pada lompat jauh siswi kelas X SMK Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung tahun pelajaran 2010/ 2011.
Dalam penelitian ini karena jumlah populasi yang jumlahnya 44 orang, maka seluruh populasi dipakai sebagai sampel dalam penelitian ini. Sehingga teknik penentuan sampel yang digunakan adalah population study (study populasi). Langkah selanjutnya diadakan undian untuk membagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok eksperimen pertama dan kelompok eksperimen kedua. Pengukuran yang dilakukan adalah tes perbuatan lompat jauh dengan awalan, setiap tes diberikan kesempatan 3 kali kesempatam melompat. Setelah data dikumpulkan, kemudian diolah dan dianalisis statistik dengan rumus t- tes sebagai berikut :
233
푡 =푋 − 푋∑푆퐷
푁(푁 − 1)
Berdasarkan analisis data diperoleh hasil t- hitung sebesar 6,783 untuk kelompok eksperimen I, dengan t- tabel 2,080 dengan taraf signifikansi 5% dan db= 21. Demikian juga dengan kelompok eksperimen II didapat t- hitung sebesar 7,388, sedangkan t- tabel 2,080 dengan taraf signifikansi5% dan db= 21. Perbedaan kelompok eksperimen I dan eksperimen II didapat t- hitung sebesar 0,182 sedangkan t- tabel sebesar 2,021 dengan taraf signifikansi 5% dan db= 42.
Berdasarkan hasil analisa data di atas dapat disimpulkan bahwa : ada pengaruh yang signifikan pelatihan loncat interval jarak 10 meter 5 repetisi 4 set terhadap peningkatan jauhnya lompatan pada lompat jauh siswi kelas X SMK Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung tahun pelajaran 2012/ 2013. ada pengaruh yang signifikan pelatihan loncat interval jarak 10 meter 10 repetisi 2 set terhadap peningkatan jauhnya lompatan pada lompat jauh siswi kelas X SMK Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung tahun pelajaran 2012/ 2013. Tidak ada perbedaan pengaruh yang signifikan pelatihan loncat interval jarak 10 meter 5 repetisi 4 set dan 10 repetisi 2 set terhadap peningkatan jauhnya lompatan pada lompat jauh siswi kelas X SMK Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung tahun pelajaran 2010/ 2011.
Kata Kunci: Pelatihan Loncat Interval Jarak 10 Meter, Peningkatan Jauhnya Lompatan Pada Lompat Jauh
Melihat perkembangan berbagai cabang olahraga rnaka atletiklah dianggap paling tua
bahkan atletik dikatakan ibu dari semua cabang olahraga (mother of sport) (Kuncoro, 1983 : 6).
Atletik adalah aktivitas jasmani atau pelatihan Fisik yang berisikan gerakan-gerakan alami/wajar
seperti : jalan, lari, lempar, tolak, dan lompat.dengan berbagai cara atletik telah dilakukan sejak
awal sejarah manusia (JM. Ballesteros, 1979 : 6). Adapun beberapa jenis lompatan sesuai dengan
nomor lompat seperti yang di ungkapkan (U.Jonath, 1986 : 171) karena olahraga merupakan
dasar pokok manusia untuk mencapai kesehatan adapun beberapa cabang atletik yang terdiri
dari lompat jauh, lompat tinggi, lompat jangkit, dan lompat tinggi galah. Dari keempat nomor-
nomor ini dapat diterka bahwa jelas berbeda satu sama lainnya dalam konsep. Dari keempat
234
nomor lompat ini dua diantaranya yang mempunyai kesamaan yaitu untuk mencapai jarak
lompat yang sejauh-jauhnya nomor lompat jangkit dan lompat jauh (U. Jonath, 1986 : 172).
Unsur-unsur dasar yang perlu diperhatikan sebagai persyaratan fisik antara unsur kekuatan otot-
otot unsur kecepatan, kecepatan reaksi ketahanan koordinasi dan ketelitian kesemua unsur-unsur
ini mempunyai hubungan yang erat dengan kegiatan otot-otot (Karna, 1977 : 13). Sehubungan
dengan itu timbulah keinginan untuk mengadakan penelitian yang berjudul : Pelatihan loncat
interval jarak 10 meter 5 repetisi 4 set dan 10 repetisi 2 set terhadap peningkatan jauhnya
lompatan pada lompat jauh siswi kelas X SMK Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung tahun
pelajaran 2010/2011.
METODE
Jenis Penelitian
Berdasarkan cara pendekatan yang akan digunakan jenis penelitian yang dipakai serta
strategi yang dianggap paling efektif akan menentukan suatu rancangan penelitian yang
paling akhir akan menentukan katagori penelitian yang akan dilakukan. Sehubungan dengan
itu penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimen.
Populasi
Populasi adalah, sekelompok individu yang mempunyai karakteristik satu atau lebih yang
menjadi pusat perhatian penelitian, ( Warsito, 1982: 324 ). Pendapat lain juga mengatakan,
populasi adalah, totalitas semua nilai-nilai yang mungkin dari hasil menghitung,ataupun
pengurangan kuanlitatif maupun pengukuran kuantitatif dari pada karakteristik tertentu,
mengenai sekumpulan objek yang lengkap. 1990: 596). Dalam penelitaian ini yang termasuk
235
populasi adalah siswi kelas X SMK Kesehatan Panca Atmajaya Klungkung tahun pelajaran
2010/2011. Yang berjumlah 44 orang terdiri 2 kelas seperti tertera pada tebel dibawah :
Tabel 01.
No Kelas Jumlah
1 X 1 22 Orang
2 X 2 22 Orang
Jumlah 44 Orang
Sumber : Data siswi kelas X SMK Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung tahun
pelajaran 2012/2013
baik tes awal maupun tes akhir, dan perlakuan ini dilakukan terhadap kelompok
eksperimen I dan eksperimen II.
ANALISIS DATA
Setelah kegiatan pengumpulan data selesai, maka langkah selanjutnya dalam suatu
penelitian adalah menganalisis data yang telah terkumpul. Untuk pengolahan data tersebut maka
digunakan suatu metode yang disebut metode pengolahan data. Tanpa dianalisis belum dapat
diketahui tujuan penelitian yang diinginkan. Adapun alasan-alasan dipergunakannya analisis data
statistik : statistik perhitungannya berdasar angka kemungkinkan terjadinya kesalahan dapat
ditekan kebutuhan biaya, waktu dapat diperkecil sesuai dengan prinsip-prinsip efisiensi, dalam
mempertahankan kesimpulan yang ditarik dengan kebenarannya dan metode analisis data dalam
penelitian ini gejala yang diteliti yang berupa pelatihan loncat interval jarak 10 meter 5 repetisi 4
set dan 10 repetisi 2 set terhadap peningkatan jauhnya lompatan pada lompat jauh siswi kelas X
236
SMK kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung tahun pelajaran 2010/2011. Maka metode analisis
data yang dipergunakan dalam pengolahan data adalah metode analisis t-test dan yang berbentuk
rumus sebagai berikut :
t = ∑( )
Keterangan :
푥 = Rata-rata hasil tes akhir
푥 = Rata-rata hasil tes awal
∑ = Sigma atau Jumlah
SD = Simpangan Baku (Standar Deviasi)
N = Jumlah Sampel
1 = Angka Konstan (Sutrisno Hadi, 1990 : 228)
Sebelum merumuskan kesimpulan sebagai hasil akhir dari suatu penelitian, maka perlu
dilakukan pengujian terhadap hipotesis nol dengan menggunakan taraf signifikan 5% dengan db
= N-l. Apabila nilai t-tes yang diperoleh dalam penelitian lebih besar atau sama dengan nilai t-tes
dalam tabel maka Ho yang diuji ditolak, Ha diterima. Sebaliknya jika t-tes yang diperoleh dalam
penelitian lebih kecil dari nilai t tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak.
HASIL PENELITIAN
Setelah penelitian dilakukan, maka diperoleh data-data sebagai hasil penelitian dan data
tersebut diolah dengan analisis statistic.data-data hasil penelitian akan disajikan berturut- turut
237
mengenai : penyajian data, persiapan perhitungan, perhitungan statistik atau analisis data, dan
rekapitulasi hasil perhitungan statistik
4.1 Penyajian Data
Berikut ini disajikan data hasil pengukuran awal lompat jauh dengan awalan. Pengukuran
awal diberikan sehari sebelum pelatihan loncat interval jarak 10 meter 5 repetisi 4 set dan 10
repetisi 2 set, sedangkan pengukuran akhir dilaksanakan sehari setelah menyelesaikan program
pelatihan selama 6 minggu. Baik pengukuran awal maupun pengukuran akhir diberikan kepada
kedua kelompuk eksperimen. Data kedua kelompok tersebut dapat dilihat berturut- turut pada
tabel 2 dan 3 berikut ini.
Tabel 2. Data Hasil Pengukuran Awal dan pengukuran Akhir Lompat Jauh Siswi Kelas X SMK Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung Tahun Pelajaran 2010/ 2011 (Kelompok Eksperimen I )
No Nama Sampel Pengukuran Akhir(Cm)
Pengukuran Awal(Cm) Beda
1 Ni Wayan Risty Premiastini 216 201 15
2 Ni Luh Putu Lilit widari 312 287 25
3 Putu Putri Diana Wirati 207 190 17
4 Made Ayu Diah Ratna Sari 267 246 21
5 Ni Nengah Wiwik Ariyanti 265 240 25
6 Ni Luh Sudiantari 312 286 26
7 Ni Komang Yuni Andriani 320 292 28
8 Ni Luh Yuning Juniana Dewi 335 320 15
9 Ni Luh Mirawati 218 201 17
238
10 Luh Ade Aristadewi 327 303 24
11 Luh Putu Gita Asrini 231 201 30
12 Ni Wayan Lisa Ariani 200 213 -13
13 Putu Irma Kartika Dianti 235 218 17
14 Ni Putu Silvia Krismayanti 181 181 0
15 Ni Luh Ayu Yuniastini 250 262 -12
16 Ni Made Shanti 287 267 20
17 Ni Kadek Ayu Sri Gita Cahyani 250 225 25
18 Ni Nyoman Widya Arianti 257 237 20
19 Ni Made Satriawati 262 242 20
20 Ni Wayan Diah Ari Intari 290 265 25
21 Ni Putu Puji Santyani 213 198 15
22 Ni Komang Juliawati 218 209 9
JUMLAH 5653 5284 369
RATA- RATA 256,95 240,18 16,77
Tabel 3. Data Hasi Pengukuran Awal dan pengukuran Akhir Lompat jauh Siswi Kelas X SMK Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung Tahun Pelajaran 2010/ 2011 (Kelompok Eksperimen II )
No Nama Sampel Pengukuran Akhir( Cm)
Pengukuran Awal( Cm) Beda
1 Ni Kadek Muliastri 225 200 25
2 Ni Putu Ayu Anis Daryanti 302 287 15
3 Ida Ayu Ketut Widi Ari 217 190 27
239
4 Ni Kadek Indah Lestari Putri 263 246 17
5 A.A Istri Shinta Pramesti 257 240 17
6 Ni Putu Rusmitha Dewi 316 286 30
7 I Dewa Ayu Julianti 315 292 23
8 Ni Kadek Ayu Candra Dewi 328 320 8
9 Luh Putu Ayu Eka Yanti 201 201 0
10 Desak Wrestya Putri Widnyani 318 303 15
11 Komang Citra Dewi 190 200 -10
12 Ni Luh Ketut Novi Purnama 243 213 30
13 Ni Luh Juliani 232 218 14
14 Kadek Dwi Supratiningsih 200 181 19
15 Ni Putu Sri Andayani 275 262 13
16 Ni Luh Putu Widiantari 282 267 15
17 Kadek Devi Jayanti 219 197 22
18 Ni Kadek Septiari 264 234 30
19 Ni Putu Wendi Yunika Sari 250 254 -4
20 Ni Kadek Indri Martiani 219 196 23
21 Ni Putu Ari Damayanti 242 212 30
22 Luh Putu Sri Cahyani Dewi 296 271 25
JUMLAH 5654 5270 384
RATA- RATA 257,00 239,55 17,45
240
Tabel 4. Tabel Kerja Pelatihan Loncat Interval Jarak 10 Meter 5 Repetisi 4 Set Terhadap Peningkatan Jauhnya Lompatan Pada Lompat Jauh Siswi Kelas X SMK Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung Tahun Pelajaran 2010/ 2011 (Kelompok Eksperimen I )
NO X 1 X 2 D SD SD 2
1 216 201 15 -1,77 3,1329
2 312 287 25 8,23 67,7329
3 207 190 17 0,23 0,0529
4 267 246 21 4,23 17,8929
5 265 240 25 8,23 67,7329
6 312 286 26 9,23 85,1929
7 320 292 28 11,23 126,1129
8 335 320 15 -1,77 3,1329
9 218 201 17 0,23 0,0529
10 327 303 24 7,23 52,2729
11 231 201 30 13,23 175,0329
12 200 213 -13 -29,77 886,2529
13 235 218 17 0,23 0,0529
14 181 181 0 -16,77 281,2329
15 250 262 -12 -28,77 827,7129
16 287 267 20 3,23 10,4329
17 250 225 25 8,23 67,7329
18 257 237 20 3,23 10,4329
19 262 242 20 3,23 10,4329
20 290 265 25 8,23 67,7329
241
21 213 198 15 -1,77 3,1329
22 218 209 9 -7,77 60,3729
∑ 5653 5284 369 0,06 2823,864
X 256,95 240,18 16,77 0,00 128,357
Keterangan :
X 1 = Hasil pengukuran akhir
X 2 = Hasil pengukuran awal
D = Defferences (Perbedaan)
SD = Simpanan baku dengan rumus D- MD
∑ = sigma atau jumlah
X = Rerata, rata- rata
SD 2 = SD dikuadratkan
Memasukan Data Kedalam Rumus
Sebelum menghitung nilai t maka terlebih dahulu dihitung komponen komponen berikut ini :
77,1622
369
ND
MD
SD ² = 2823,864
242
Setelah didapat komponen- komponen yang akan dimasukan ke dalam rumus maka dapat dicari
nilai t sebagai berikut :
t =
)1(
221
NNSD
XX
=
)122(22864,2823
18,24095,256
=
462864,2823
77,16
= 11225974,6
77,16
= 47229847,2
77,16
t = 6,783161582
t = 6,783
Tabel 5. Tabel Kerja Pelatihan Loncat Interval Jarak 10 Meter 10 Repetisi 2 Set Terhadap Jauhnya Lompatan Pada Lompat Jauh Siswi Kelas X SMK Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung Tahun Pelajaran 2010/ 2011 (Kelompok Eksperimen II)
NO X 1 X 2 D SD SD 2
1 225 200 25 7,55 57,0025
2 302 287 15 -2,45 6,0025
3 217 190 27 9,55 91,2025
4 263 246 17 -0,45 0,2025
243
5 257 240 17 -0,45 0,2025
6 316 286 30 12,55 157,5025
7 315 292 23 5,55 30,8025
8 328 320 8 -9,45 89,3025
9 201 201 0 -17,45 304,5025
10 318 303 15 -2,45 6,0025
11 190 200 -10 -27,45 753,5025
12 243 213 30 12,55 157,5025
13 232 218 14 -3,45 11,9025
14 200 181 19 1,55 2,4025
15 275 262 13 -4,45 19,8025
16 282 267 15 -2,45 6,0025
17 219 197 22 4,55 20,7025
18 264 234 30 12,55 157,5025
19 250 254 -4 -21,45 460,1025
20 219 196 23 5,55 30,8025
21 242 212 30 12,55 157,5025
22 296 271 25 7,55 57,0025
∑ 5654 5270 384 0,1 2577,455
X 257,00 239,55 17,45 0,00 117,157
Keterangan:
X 1 = Hasil pengukuran akhir
X 2 = Hasil pengukuran awal
D = Defferences (perbedaan)
244
SD = Simpanan baku dengan rumus D- MD
∑ = sigma atau jumlah
X = Rerata, rata- rata
SD 2 = SD dikuadratkan
Memasukan Data Kedalam Rumus
Sebelum menghitung nilai t maka terlebih dahulu dihitung komponen komponen berikut ini :
45,1722
384
ND
MD
SD ² = 2577,455
Setelah didapat komponen- komponen yang akan dimasukan ke dalam rumus maka dapat dicari
nilai t sebagai berikut :
t =
)1(
221
NNSD
XX
=
)122(22455,2577
55,23900,257
=
462455,2577
45,17
245
= 57890692,5
45,17
= 36197098,2
45,17
= 7,38789771
t = 7,388
Tabel 6. Tabel Kerja Perbedaan Pelatihan Loncat Interval Jarak 10 Meter 5 Repetisi 4 Set dan 10 Repetisi 2 Set Terhadap Peningkatan Jauhnya Lompatan Pada Lompat Jauh Siswi Kelas X SMK Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung Tahun Pelajaran 2010/ 2011 (Kelompok Eksperimen I dan Eksperimen II)
NO X 1 X 2 D SD SD 2
1 25 15 10 9,32 86,8624
2 15 25 -10 -10,68 114,0624
3 27 17 10 9,32 86,8624
4 17 21 -4 -4,68 21,9024
5 17 25 -8 -8,68 75,3424
6 30 26 4 3,32 11,0224
7 23 28 -5 -5,68 32,2624
8 8 15 -7 -7,68 58,9824
9 0 17 -17 -17,68 312,5824
10 15 24 -9 -9,68 93,7024
11 -10 30 -40 -40,68 1654,862
12 30 -13 43 42,32 1790,982
13 14 17 -3 -3,68 13,5424
14 19 0 19 18,32 335,6224
246
15 13 -12 25 24,32 591,4624
16 15 20 -5 -5,68 32,2624
17 22 25 -3 -3,68 13,5424
18 30 20 10 9,32 86,8624
19 -4 20 -24 -24,68 609,1024
20 23 25 -2 -2,68 7,1824
21 30 15 15 14,32 205,0624
22 25 9 16 15,32 234,7024
∑ 384 369 15 0,04 6468,773
X 17,45 16,77 0,68 0,00 294,035
Keterangan:
X 1 = Perbedaan hasil test akhir dan test awal kelompok eksperimen II
X 2 = Perbedaan hasil test akhir dan test awal kelompok eksperimen I
D = Defferences (Perbedaan)
SD = Simpanan baku dengan rumus D- MD
∑ = Sigma atau jumlah
X = Rerata, rata- rata
SD 2 = SD dikuadratkan
Memasukan Data Kedalam Rumus
Sebelum menghitung nilai t maka terlebih dahulu dihitung komponen komponen berikut ini :
247
68,02215
ND
MD
SD ² = 6468,773
Setelah didapat komponen- komponen yang akan dimasukan ke dalam rumus maka dapat dicari
nilai t sebagai berikut :
t =
)1(
221
NNSD
XX
=
)122(22773,6468
77,1645,17
=
462773,6468
68,0
= 00167316,14
68,0
= 74188096,3
68,0
= 0,181726785
t = 0,182
248
Rekapitulasi Hasil Analisa
Tabel 7. Rekapitulasi Perhitungan Analisis Statistik Kedua Kelompok Eksperimen dan
Perbedaan Antara Kelompok Eksperimen I dan Kelompok Eksperimen II
Kelompok Db t- tabel taraf
signifikansi t- tes
Keterangan
Ho Ha
Eksperimen I 21 2,080 6,783 Ditolak Diterima
Eksperimen II 21 2,080 7,388 Ditolak Diterima
Beda Eksperimen
I dan II 42 2,021 0,182 Diterima Ditolak
Keterangan :
Kelompok Eksperimen I = nilai t- tes > dari pada nilai t- tabel, ini berarti Ha diterima ,
dan Ho ditolak.
Kelompok Eksperimen II= nilai t- tes > dari pada nilai t- tabel, ini berarti Ha diterima ,
dan Ho ditolak.
Beda Kelompok Eksperimen I dan II= nilai t- tes < dari pada nilai t- tabel, ini berarti
Ha ditolak, dan Ho diterima.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data, maka pada bab ini dapat dibuat kesimpulan dan saran sebagai
berikut :
1. Ada pengaruh yang signifikan pelatihan loncat interval jarak 10 meter 5 repetisi 4
set terhadap peningkatan jauhnya lompatan pada lompat jauh siswi kelas X SMK
249
Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung tahun pelajaran 2010/2011. Hal ini dapat
dibuktikan dari hasil pengolahan data secara statistik didapat hasil t- hitung
sebesar 6,783. Angka ini lebih besar dari angka batas penolakan hipotesis nol
dalam tabel nilai t sebesar 2,080 pada taraf signifikansi 5%, dengan db= 21.
2. Ada pengaruh yang signifikan pelatihan loncat interval jarak 10 meter 10 repetisi 2
set terhadap peningkatan jauhnya lompatan pada lompat jauh siswi kelas X SMK
Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung tahun pelajaran 2010/2011. Hal ini dapat
dibuktikan dari hasil pengolahan data secara statistik didapat hasil t- hitung
sebesar 7,388. Angka ini lebih besar dari angka batas penolakan hipotesis nol
dalam tabel nilai t sebesar 2,080 pada taraf signifikansi 5%, dengan db= 21.
3. Tidak ada perbedaan pengaruh yang signifikan pelatihan loncat interval jarak 10
meter 5 repetisi 4 set dan 10 repetisi 2 set terhadap peningkatan jauhnya lompatan
pada lompat jauh siswi kelas X SMK Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung
tahun pelajaran 2010/ 2011. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil pengolahan data
secara statistik didapat hasil t- hitung sebesar 0,182. Angka ini lebih kecil dari
angka batas penolakan hipotesis nol dalam tabel nilai t sebesar 2,021 pada taraf
signifikansi 5% dengan db= 42.
SARAN
1. Disarankan kepada guru, Pembina, dan pelatih cabang olahraga atletik, khususnya
dalam nomor lompat (lompat jauh), agar memberikan pelatihan loncat interval jarak
10 meter 5 repetisi 4 set atau 10 repetisi 2 set, karena kedua bentuk pelatihan
tersebut sama- sama memberikan peningkatan jauhnya lompatan pada lompat jauh
250
siswi kelas X SMK Kesehatan Panca Atma Jaya Klungkung tahun pelajaran 2010/
2011.
2. Disarankan kepada guru, Pembina dan pelatih olahraga agar dalam memberikan
pelatihan slalu berpedoman pada komponen- komponen dan prinsip- prinsip
pelatihan.
3. Disarankan bagi peneliti lain agar mengadakan penelitian yang lebih mendalam
dengan mencoba, mengatur, memainkan variabel, repetisi, dan set yang berbeda
dari penelitian ini.
DAFTAR KAJIAN
Arif Furehan, 1982. Evaluasi Penelitian Jilid II FIP. Malang
Darsono, 2006. System Numeric. Balai Pustaka Indonesia. Jakarta.
Effendi. 1999. Pengantar Interaksi Belajar Mengajar. Bandung
Gorda, 1994. Variasi Penelitian dan Perumusan Hipotesis. Bandung.
Hamidasyah, 1993. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan bagi SMP. PT. Ganesa Excat,
Jakarta
Harsono, 2002. Coching dan Aspek-Aspek Psikologis Dalam Coching. CV. Tambak Kusuma,
Bandung.
Hasnan Said, 1999. Daya Tahan Sebagai Unsur Utama Pembinaan Kesegaran Jasmani.
Balai Pustaka, Jakarta.
Imam Hidayat, 1998. Biomekanik. Fakultas Pendidikian Olahraga Kesehatan IKIP Bandung.
ISPI, 1991. Metodelogi Penelitian. Balai Pustaka
Jonath, 1986. Atletik Alih Bahasa Suparmo. Jakarta : PT. Rosda Jayapura.
251
Kanca, 1997. Kamus Umum Populer. Garuda Maju, Jakarta.
Karna Ketut, 1997. Otot dan Gerakan Dalam Olahraga. Yayasan Ilmu Faal Widya Laksana,
Denpasar.
Kosasih Engkos,1993. Olahraga, Teknik dan Program Pelatihan. Akademika Pressindo,
Jakarta.
Manuabe Adnyana, 1997. Pendekatan Ilmiah Dalam Olahraga. Yayasan Ilmu Faal Widya
Laksana, Denpasar.
Marzuki, 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. BPI Jakarta.
Nala Ngurah, 2002. Kesegaran Jasmani. Yayasan Ilmu Faal Widya Laksana, Denpasar.
Nugroho, 2004. Jenis-Jenis Alat Ukur. CV. Tambak Kusuma, Bandung.
Nurhasan, 1986. Tes dan Pengukuran Dalam Pendidikan Jasmani. DEPDIKNAS
PASI, 1979. Pengenalan Pada Teori Pelatihan. PASI. Jakarta.
Pate dkk, tt, 241. Prinsip Pelatihan Fisik Olahraga. Jakarta.
Poerwardaminta, 1990. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka Indonesia, Jakarta.
Redha Wiratha, 1985. Kapita Slekta Dalam Pelatihan Olahraga. Denpasar : Balai Pelatihan
Guru.
Rusli Lutan, 2002. Pendidikan Kesegaran Jasmani. Depdiknas, Jakarta.
R. Soekarman, 1989. Dasar Olahraga Untuk Pembina, Pelatih dan Atlet. Inti Indayu Press.
Sadoso, 1999. Dasar-Dasar Pelatihan Bagi Atlet Pemula : Asmar
Sanafiah Faisal, 1992. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta Pustaka Amani.
S. Nasution, 2004. Metode Research. Pt Bumi Aksara, Jakarta.
Sugiono, 1999. Olahraga dan Penemuan Bakat. Balai Pustaka, Jakarta.
Suharsisni Arikunto, 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. PT. Bina Aksara.
Suharno, 1985. Ilmu Kepelatihan Olahraga. FPOK-IKIP Jogjakarta.
252
Sujoto M, 1990. Peningkatan dan Pembinaan Kekuatan Kondisi Fisik Dalam Olahraga.
Dahar Prise, Semarang.
Sumosarjono, 1996. Pengetahuan Praktis Dalam Olahraga. PT. Gramedia, Jakarta.
Surya Brata, 1993. Dasar Olahraga Untuk Pembina. Inti Indayu Press.
Sutrisno Hadi, 1990. Metodelogi Research. Andi Offset, Yogyakarta.
Syariffudin, 2003. Pengetahuan Praktis Dalam Olahraga. PT Gramedia.
Thomas R Bacchle. 2003. Metodelogi Research. Jogjakarta.
Wimarno Surakhman, 1990. Metode Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. Surabaya.
Winarsono, 2002. Metodelogi Penelitian. Surabaya : Usaha Nasional.