valuasi_ekonomi
-
Upload
sukardi-ardi -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
description
Transcript of valuasi_ekonomi
-
Valuasi Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat di
Kawasan Konservasi Terumbu Karang
OLEH :
Sukardi
KONSENTRASI MANAJEMEN KELAUTAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
2011
-
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumberdaya wilayah pesisir, termasuk kawasan konservasi terumbu karang,
merupakan sumberdaya alam yang bersifat milik umum (public good), terbuka, dan tidak
mengikuti hukum kepemilikan. Selain itu, beberapa unsur sumberdayanya tidak memiliki
mekanisme pasar dimana harga dapat berperan sebagai instrument penyeimbang
antara permintaan dan penawaran, Manusia yang dipandang sebagai homoeconomicus
cenderung akan memaksimumkan manfaat total. Hal ini terlihat dari adanya indikasi
over eksploitasi sumberdaya wilayah pesisir dan eksternalitas negatif dari kegiatan
pembangunan wilayah pesisir.
Berdasarkan uraian tersebut maka perlu: 1) adanya penilaian secara benar dan
menyeluruh sehingga alokasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat dilakukan secara
proporsional, dan 2) adanya penilaian terhadap biaya lingkungan dan sosial
(environmental and social cost) dan menginternalisasikannya ke dalam kebijakan
ekonomi dan pembangunan. Teknik valuasi ekonomi sumberdaya wilayah pesisir sangat
diperlukan untuk tujuan tersebut.
1. 2 Devinisi
Valuasi ekonomi kawasan konservasi terumbu karang adalah suatu cara
penilaian atau upaya kuantifikasi barang dan jasa yang terdapat pada kawasan
konservasi terumbu karang ke dalam nilai uang, terlepas dari ada atau tidaknya nilai
pasar dari barang dan jasa tersebut. Nilai ekonomi diukur dalam terminologi kesediaan
membayar untuk mendapatkan barang dan jasa tersebut (willingness to pay).
1. 3 Kegunaan
Kegunaan dari valuasi ekonomi kawasan konservasi terumbu karang adalah:
1. Sebagai alat bantu untuk mendapatkan manfaat barang dan jasa sumberdaya di
kawasan konservasi terumbu karang secara bijaksana dan proporsional.
2. Sebagai pintu gerbang proses internalisasi biaya lingkungan dan sosial ke dalam
kegiatan ekonomi dan pembangunan yang merupakan upaya nyata implementasi
konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
-
1. 4 Sasaran
Sasaran dari valuasi ekonomi sumberdaya di kawasan konservasi terumbu
karang adalah:
1. Manfaat Sosial Ekonomi masyarakat di Kawasan Terumbu Karang
2. Sumberdaya biofisik di kawasan konservasi terumbu karang,
3. Jasa lingkungan yang disediakan kawasan konservasi terumbu karang
1. 5 Konsep Willingnes To Pay (WTP), Willingnes To Accept (WTA) dan
Kesejahteraan Sosial
Total kesejahteraan sosial dari konsumsi barang atau jasa adalah setara dengan
jumlah kesediaan membayar (WTP) dari seluruh individu. Jumlah ini termasuk 1)
pengeluaran untuk memperoleh barang dan jasa, dan 2) surplus konsumen. Kegunaan
marjinal atau manfaat yang diperoleh dari konsumsi setiap tambahan unit barang dan
jasa diasumsikan berkurang. Dengan demikian WTP untuk setiap tambahan unit juga
berkurang. Penggunaan harga pasar dikalikan dengan jumlah konsumsi merupakan
estimasi minimal dari kegunaan dalam pemanfaatan barang atau jasa lingkungan.
Surplus konsumen harus diperhitungkan untuk memperoleh manfaat utuh dari setiap
individu. Surplus konsumen dalam hal ini adalah konsep nilai bersih dari pengeluaran.
Terlihat bahwa barang dan jasa lingkungan yang tak memiliki harga pasar akan
menghasilkan surplus konsumen yang sangat besar karena harganya sama dengan nol,
sehingga bila musnah akan mengakibatkan hilangnya kegunaan yang sangat besar
pula.
Bila diasumsikan bahwa pasar 1) bebas dari gangguan dan 2) distribusi
pendapatan merata dalam masyarakat, maka kurva permintaan individu dapat
diaggregasikan menjadi kurva permintaan pasar. Dengan demikian kurva permintaan
pasar akan mencerminkan total WTP untuk barang dan jasa lingkungan. Kedua asumsi
ini sangatlah kuat. WTA adalah nilai kegunaan awal individu dari barang dan jasa
sebelum ada perubahan atau kesediaan individu untuk menerima kompensasi bila
barang dan jasa tersebut dimanfaatkan oleh individu lain atau diubah pemanfaatannya.
Perhatikan pertanyaan berikut ini:
1. Berapa banyak anda ingin dibayar bila kawasan terumbu karang ini diubah menjadi
kawasan konservasi?
2. Berapa banyak anda ingin dibayar bila anda dimohon untuk tidak merusak terumbu
karang ini?
-
3. Bandingkan dengan WTP yang mempertanyakan hal ini: berapa besar anda
kehilangan pendapatan yang sama dengan perubahan kesejahteraan akibat
perubahan terumbu karang menjadi kawasan konservasi?
Pemilihan penggunaan konsep WTP dan WTA dalam menilai sumberdaya
berkaitan erat dengan status kepemilikan sumberdaya (property right). Pada kasus
dimana sumberdaya pesisir telah memiliki sistem penguasaan yang sudah baik, WTA
untuk kompensasi kehilangan hak penguasaan menjadi lebih relevan daripada WTP.
Secara umum konsep WTP digunakan dalam situasi dimana pengguna sumberdaya
tidak secara jelas memiliki sumberdaya tersebut (barang publik, misal terumbu karang).
Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa rejim kelembagaan yang ada di wilayah
pesisir.
1. 6 Penawaran pasar dan biaya korbanan
Estimasi manfaat dari penggunaan sumberdaya pesisir juga mencakup biaya
sosial. Pada barang dan jasa yang dijual di pasar sempurna, harga pasar akan
mencerminkan biaya sesungguhnya dari masyarakat untuk memanfaatkannya dengan
alternatif pemanfaatan terbaik. Manfaat bersih yang dapat diturunkan dari alternatif
pemanfaatan terbaik disebut biaya korbanan sosial (social opportunity cost) atau harga
bayangan (shadow price). Bagi produsen biaya marjinal akan meningkat sejalan dengan
jumlah output, karena faktor-faktor teknologi dan karena sumberdaya sebagai bahan
proses produksi akan semakin langka. Penawaran pasar dari barang dicerminkan oleh
kurva biaya marjinal yang meningkat sejalan dengan jumlah produksi. Surplus produsen
adalah perbedaan antara penerimaan dari penjualan produk dengan biaya total
produksi, atau biaya korbanan dalam pasar yang sempurna. Surplus produsen
umumnya disebut sebagai rente ekonomi (economic rent) atau rente sumberdaya
(resource rent) pada kasus sumberdaya alam
Pada kasus sumberdaya pesisir (barang dan jasa) yang tidak diperdagangkan dalam
pasar, biaya sosial adalah biaya korbanan dari hilangnya manfaat bagi pengguna.
Sebagai contoh, terumbu karang yang diambil untuk bahan bangunan juga dapat
dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata, sebagaimana perannya dalam mendukung
produksi perikanan. Nilai pemanfaatan tersebut akan lenyap bila terumbu karang
diambil, yang mencakup biaya korbanan, paling sedikit sama dengan surplus konsumen
yang dihasilkan oleh pemanfaatan untuk rekreasi. Dalam valuasi ekonomi ada kaitan
-
antara biaya dan manfaat, manfaat yang hilang adalah biaya dan biaya yang dapat
dihindari adalah manfaat (Dixon et al 1983).
1. 7 Nilai Ekonomi Terumbu Karang
Indonesia memiliki sekitar 17.500 km2 ekosistem terumbu karang (Moosa, et al,
1987) tersebar di seluruh wilayah perairan pesisir yang jernih, hangat, beroksigen serta
bebas dari padatan terlarut dan aliran air tawar yang berlebihan. Terumbu karang
Indonesia sangat beragam dan kaya. Seluruh tipe terumbu karang yang mencakup
terumbu karang melingkar, terumbu karang penghadang, atol dan bongkahan terumbu
karang (fringing reefs, barrier reefs, atoll, patch reefs) terdapat di perairan laut Indonesia.
Terumbu karang menyediakan berbagai pemakaian langsung dan tak langsung
yang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pesisir. Pemakaian
yang paling dominan dan paling bernilai adalah besarnya hasil yang dapat diperoleh dari
sumberdaya perikanan laut yang didukung oleh ekosistem terumbu karang dengan
estimasi sebesar 5 ton/km2 (Snedaker and Getter, 1985). Hasil ini tak terbatas pada
ikan dan crustacea yang sesungguhnya dipanen dari ekosistem terumbu karang tetapi
juga mencakup sejumlah besar varitas dan kuantitas organisme yang bergantung pada
ekosistem terumbu karang. Potensi panen lestari (MSY) ikan karang di perairan laut
Indonesia diduga sebesar 80.082 ton/tahun (Ditjen Perikanan, 1991). Dengan luas areal
terumbu karang Indonesia sekitar 17.500 km2 berarti potensi lestari ikan karang di
Indonesia 4,57 ton/tahun/km2. Perikanan karang komersial dan subsisten memiliki
kontribusi yang nyata terhadap ekonomi Indonesia. Masyarakat pesisir, khususnya yang
tinggal di pulau-pulau kecil (Nias, Siberut, Kepulauan Seribu, Taka Bone Rare, Tukang
Besi dan Padaido) telah memenfaatkan sumberdaya ikan, rumput laut dan sumberdaya
biologis lainnya untuk kehidupannya selama berabad-abad. Selanjutnya di beberapa
bagian Indonesia, terumbu karang secara tradisional telah dipakai oleh masyarakat
pesisir untuk mendukung kehidupannya dengan memanfaatkan berbagai jenis ikan dan
invertebrata lainnya (Burbridge and Maragos, 1985).
Pada dekade terakhir, keindahan alami dan keunikan terumbu karang menarik
jutaan turis domestik dan mancanegara untuk datang ke Indonesia. Tempat seperti
Pulau Nias, Siberut, Kepulauan Seribu, Bunaken, Taka Bone Rate, Gili Trawangan
(Lombok Barat), Seram dan Teluk Cendrawasih yang memiliki keindahan terumbu
karang menjadi tujuan utama wisatawan. Nilai ekonomis wisata bahari ini sangat tinggi
-
karena tak hanya menghasilkan devisa tetapi juga efek pengganda lainnya seperti
perdagangan lokal dan regional, perniagaan, hotel dan restoran.
Struktur terumbu karang juga melindungi pulau, pantai yang bernilai, dan
kawasan industri dari ganasnya gelombang dan badai dan tenaga alami lainnya di laut.
Sebagai tambahan, telah dilaporkan bahwa ekosistem terumbu karang memiliki peran
utama dalam mengurangi pemanasan global karena fungsinya sebagai penangkap
karbon yang besar. Penambangan karang telah didokumentasi sebagai bahan
konstruksi, pembuatan jalan, dan produksi kapur di berbagai tempat di Indonesia
(Praseno dan Sukarno, 1977; Dahuri, 1991).
Dari sudut pandang keanekaragaman hayati dapat dikatakan bahwa trumbu
karang merupakan ekosistem yang sangat kompleks yang mendukung banyak
kehidupan. Terumbu karang telah diidentifikasi memiliki nilai konservasi yang tinggi
seperti hutan hujan karena keragaman biologis, secara estetika menarik, dan memiliki
fungsi sebagai cadangan keanekaragaman genetika (Hatcher et al, 1990).
1. 8 Teori Valuasi Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir
Nilai ekonomi total (total economic value = TEV) dari sumberdaya sebagai asset
merupakan jumlah dari nilai pakai (use value=UV) dan nilai bukan pemakaian (non use
value=NUV) (Pearce and Morran, 1994 dan Barton, 1994). Nilai pakai adalah suatu nilai
yang timbul dari pemanfaatan aktual terhadap sumberdaya yang terdapat dalam
ekosistem.
Nilai pakai terbagi menjadi nilai pakai langsung (direct use value=DUV), nilai pakai
tidak langsung (indirect use value=IUV) dan nilai pilihan (option value=OV). Nilai pakai
langsung merupakan nilai penggunaan aktual seperti penggunaan perikanan dan kayu
dari ekosistem hutan mangrove. Nilai pakai tidak langsung merupakan manfaat yang
diturunkan dari fungsi ekosistem seperti fungsi hutan mangrove dalam perlindungan
lahan pesisir dari erosi dan dalam penyediaan pakan bagi perikanan lepas pantai.
Nilai pilihan adalah nilai yang menunjukkan keinginan individu untuk membayar
bagi konservasi sumberdaya pesisir dan laut guna pemakaian masa mendatang seperti
pengembangan bahan farmasi dan kultivar pertanian baru. Dengan kata lain, nilai pilihan
dapat diartikan sebegai premi asuransi dimana keinginan masyarakat untuk membayar
-
guna menjamin pemanfaatan masa mendatang dari sumberdaya pesisir dan laut
(UNEP, 1993).
Nilai bukan pemakaian terdiri dari nilai waris (bequest value=BV) dan nilai
eksistensi (existence value=EV). Nilai waris mengukur manfaat individual dari
pengetahuan bahwa orang lain akan memperoleh manfaat dari sumberdaya pesisir dan
laut di masa mendatang. Nilai eksistensi menggambarkan keinginan masyarakat untuk
membayar konservasi sumberdaya pesisir dan laut itu sendiri tanpa mempedulikan nilai
pakainya. Contoh nilai eksistensi sumberdaya pesisir dan laut adalah kepedulian
individu terhadap perlindungan koral biru atau ikan napoleon meskipun ia tidak melihat
dan tak akan pernah melihatnya (Randall and Stoll, 1983). Dengan demikian nilai
ekonomi total sumberdaya pesisir dan laut dapat dituliskan sebagai berikut: TEV = UV +
NUV = (DUV + IUV + OV) + (BV + EV).
-
II. METODE EVALUASI
Pada dasarnya valuasi ekonomi sumberdaya kawasan konservasi terumbu
karang meliputi 3 tahap utama, yaitu : (1) identifikasi manfaat dan fungsi keterkaitan
antar komponen sumberdaya pesisir dan laut, (2) kuantifikasi seluruh manfaat dan
fungsi tersebut ke dalam nilai uang, dan (3) penilaian alternatif alokasi pemanfaatan
lahan pesisir.
2.1 Identifikasi Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari kawasan konservasi terumbu karang antara lain:
a) manfaat langsung berupa Perikanan tangkap, Marikultur, Perdagangan Akurium, Kapur, Bahan Obat, Bahan Konstruksi, Genetic Material, Tourism, Penelitian, Pendidikan, dan Estetika,
b) manfaat tidak langsung berupa Penyedia pakan untuk kura-kura dan burung laut, Physical Protection untuk: Garis pantai, Navigasi dan Ekosistem lain,
c) manfaat pilihan berupa Species, habitat dan biodiversity, d) manfaat eksistensi berupa Habitat terancam punah, species langka dan estetika, e) manfaat waris berupa Species, habitat dan tradisi (Barton, 1994).
2.2 Kuantifikasi Manfaat
Berikut ini adalah beberapa teknik kuantifikasi manfaat yang dapat digunakan pada
kawasan terumbu karang:
(a) Perubahan Pendapatan (Change in Productivity)
Suatu proyek pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat
mempengaruhi produktivitas secara positif atau negative. Analisa ini didasarkan
atas situasi dengan proyek dan tanpa proyek. Misalkan, bila proyek pembukaan
lahan mangrove menyebabkan penurunan hasil tangkapan ikan 20% pertahun
maka proyek ini menimbulkan kerugian ekonomi setara dengan hilangnya hasil
produksi sebesar 20% per tahun.
(b) Kehilangan Pendapatan (Lost of Earning)
1. Proyek pemanfaatan lahan pesisir seringkali mengakibatkan kemunduran
mutu lingkungan dalam berbagai bentuk.
2. Hal ini dapat menimbulkan dampak berupa menurunnya kesehatan penduduk
dan kualitas kerja.
-
3. Bila dampak ini menyebabkan penduduk harus mengeluarkan biaya tambahan
pemeliharaan kesehatan Rp 50.000,00/kapita/tahun maka nilai jasa
lingkungan adalah Rp 50.000, 00/kapita/tahun. Contoh lain, bila dampak ini
menyebabkan kematian seorang laki-laki berumur 30 tahun yang berpeluang
hidup sampai 60 tahun dengan pendapatan Rp 20.000,00/hari, maka nilai
jasa lingkungan peisisr adalah (Rp 20,000/Hari x 30 hari/bulan x 12
bulan/hari x 30 tahun) = Rp 226.000,00. Asumsi dapat bekerja selama 30
tahun dengan penghasilan tidak berutah.
(c) Biaya Terluang (Opportunity cost)
1. Adalah hasil keuntungan yang dapat diperoleh dari alternative investasi yang
diabaikan.
2. Metoda ini dapat dipakai untuk menghitung nilai ekonomi suatu proyek
pemanfaatan lahan pesisi yang tidak dapat diukur dengan menggungkan nilai
pasar
(d) Biaya Preventif (Preventive Expenditure)
1. Adalah biaya yang diperlukan untuk mencegah terjadinya dampak lingkungan
yang merugikan.
2. Contoh limbah organic yang terbuang dari industri pengalengan ikan atau
industri cold storage dapat menyebabkan penurunan kualitas air tempat
pembuangan limbah tersebut. Biaya pengolahan air limbah (waste water
treatment cost), misalkan Rp 1 milyar, agar tidak mencemari lingkungan atau
tidak melampaui baku mutu, dapat dianggap sebagai nilai kerugian yang
diakibarkan oleh pembuangan limbah organik tersebut
(e) Biaya Properti (Hedonic Price Method)
1. Teori dasar adalah adanya keterkaitan antara permintaan atau produksi
komoditi yang dapat dipasarkan (Marketable commodity) dengan yang tidak
dapat dipasarkan (non-market able commodity)
2. Contoh: (1) hasil tangkapan ikan dalam suatu area tertentu merupakan fungsi
dari kualitas perairan, (2) Nilai keindahan alam dan udara bersih suatu pantai
dapat dinilai melalui harga rumah tinggal yang berlokasi sesuai dengan
criteria yang dimaksud. Dengan kata lain, harga rumah di suatu lokasi
merupakan fungsi dari kualitas udara dan keindahan alamnya.
3. Langkah pelaksanaannya:
1. Identifikasi kualitas lingkungan, issu penting ketersediaan data sekunder.
-
2. Tentukan cara pengukuran kualitas l;ingkungan (bising dengan db, udara
dengan kandungan partikulat, SO2, air dengan BOD, COD dll.)
3. Spesifikasi fungsi persamaan hedonic
4. Pengumpulan data
5. Pengolahan data
6. Interpretasi
7. Pembuatan Laporan
(f) Perbedaan Upah
1. Teori dasar menyatakan: (1) pada pasar bersaing sempurna permintaan
tenata kerja setara dengan nilai produk marjinal, (2) pemasokan tenaga
kerja berbeda dari satu dengan tempat lain karena perbedaan kondisi
dan kualitas lingkungan kerja, (3) pekerja dapat memilih tempat
pekerjaannya dengan leluasa tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.
2. Contoh, seorang pekerja pabrik pengalengan ikan yang berlokasi di suatu
daerah tercemar (udara, air dll.) bersedia dibayar Rp 30.000/hari.
Seorang pekerja lainnya bekerja di pabrik pengalengan ikan yang
berlokasi di suatu tempat yang tidak tercemar bersedia hanya dibayar Rp
15.000/hari. Perbedaan sebesar Rp 15.000 merupakan nilai kualitas
lingkungan tersebut.
(g) Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)
1. Dapat digunakan untuk menilai daerah tujuan wisata alam
2. Dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya
terhadap responden pengunjung suatu obyek wisata
3. Biaya perjalanan total merupakan biaya perjalanan PP, makan dan
penginapan.
4. Melalui survey ini kurva permintaan dan surplus konsumne dapat
ditentukan.
5. Surplus konsumen merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata
tersebut.
(h) Proksi Terhadap Harga Pasar
1. Dapat digunakanb untuk menilai jasa lingkungan dan SDA yang memiliki
korelasi erat dengan komoditas lain yang dapat dipasarkan.
2. Misal, nilai ranting mangrove sebagai kayu bakar dapat diduga dengan
harga minyak tanah.
-
(i) Biaya Pengganti
1. Dapat digunakan untuk menilai ekosistem yang telah rusak.
2. Nilai kerusakan suatu ekosistem terumbu karang ekuivalen dengan biaya
pembuatan terumbu karang buatan.
3. Nilai hutan mangrove sebagai tempat pemijahan benur ekuivalen dengan
biaya pembuatan tempat pemijahan.
(j) Metoda Kontingen (Contingen Valuation Method)
a. Adalah salah satu metoda valuasi melalui survey langsung mengenai
penilaian responden secara individual dengan cara menanyakan
kesediaan untuk membayar (willingness to pay) terhadap suatu komoditi
lingkungan atau terhadap suaru sumber daya yang non marketable. N
ndikatakan contingent, karena pada kondisi tersebut responden seolah-
olah dihadapkan pada pasar yang sesungguhnya dimana sedang
terjadi transaksi.
b. Metoda ini selain dapat digunakan untuk mengkuantifikasi nilai pilihan, nilai
eksistensi dan nilai pewarisan juga dapat digunakan untuk menilai
penurunan kualitas.
c. Ada 4 macam tipe pertanyaan, yaitu (1) Direct Question Method disebut juga
pertanyaan terbuka, (2) Bidding Game, (3) Payment Card, (4) Take it or
leave it.
d. Ada lima macam (sumber) bias yang perlu diwaspadai, yaitu (1) strategic
bias, (2) starting point bias, (3) hyphotetical bias, (4) sampling bias. (5)
commodity specification bias.
e. Prosedur Pelaksanaan Survei CVM terdiri dari 10 tahap, yaitu:
1. Identifikasi issu atau dampak lingkungan yang akan dinilai
2. Identifikasi populasi yang terkena dampak atau yang memanfaatkan
sumberdaya tersebut atau yang mengerti betul.
3. Tetapkan prosedur survey, kapan dan dimana
4. Tentukan cara sampling dan pemilihan sample.
5. Disain kuisioner meliputi jenis dan isi pertanyaan.
6. Melakukan pelatihan terhadap surveyor mengenai tata cara survey.
7. Lakukan uji pendahuluan kuisioner (pretes) untuk meminimalkan bias
yang mungkin terjadi
8. Pelaksanaan survey dan ekstraksi data
-
9. Pengolahan data
10. Penulisan laporan
Berikut ini contoh penerapan teknik kuantifikasi manfaat pada kawasan terumbu karang:
1. Pelindung pantai: Replacement cost untuk terumbu buatan atau pembuatan
breakwater pelindung pantai
2. Biodiversitas: Contingent valuation untuk mempertahankan habitat
3. Fishing ground: Change in Production atau Effect on productivity (EOP) terhadap
kegiatan perikanan tangkap.
4. Mariculture: Effect on productivity (EOP) terhadap kegiatan mariculture.
5. Tourism: Travel cost method (TCM) dari kegiatan wisata bahari.
6. Construction material dan sumber kapur: Surrogate goods (market proxy) dari
material konstruksi.
7. Research and education: Contingent valuation terhadap kepentingan penelitian
dan pendidikan
8. Genetic and drugs: Surrogate market dengan kemungkinan penemuan baru
(probality of discoveries)
2.3 Penilaian Alternatif Alokasi Pemanfaatan Lahan Pesisir
Penilaian alternatif alokasi pemanfaatan terumbu karang dengan menggunakan Cost-
Benefit Analysis (CBA), yang merupakan net present value dengan menghitung manfaat
yang diperoleh dari penggunaan terumbu karang, termasuk manfaat eksternalitas,
dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh manfaat dari penggunaan
terumbu karang, termasuk biaya eksternalitas, dalam kurun waktu tertentu serta
mempertimbangkan faktor diskonto (discount rate).
-
III. PENGEMBANGAN MASYARAKAT PESISIR
Konsep pengembangan masyarakat pesisir merefleksikan karakteristik wilayah
pesisir, karakteristik masyarakat pesisir dan pengelolaan wilayah pesisir disatu pihak;
dan konsep pengembangan masyarakat secara umum. Jadi terjadi irisan (intersection)
antara komponen-komponen tersebut, sehingga secara spesifik dapat membedakan
antara pengembangan masyarakat petani atau masyarakat pedalaman lainnya.
Konsep pengembangan masyarakat (community development) merupakan
konsepsi yang dinamis, dimana pada awalnya masih sering dipertukarkan dengan istilah
community work, community organisation, community action, community practice maupun
community change (Ife, 2002), dimana konsep pengembangan masyarakat juga dapat
dipandang dari sisi proses (Piterson, 1979), maupun pada sisi dinamika perubahan
perubahan perencanaan (Wileden, 1970) atau bahkan sebagai proses, metode, program
atau gerakan (Sanders, 1958). Sejalan dengan sejarahnya, maka pengembangan
masyarakat juga mengalami evolusi pemahaman yang dituangkan dalam konsepsi-
konsepsinya, baik dalam hal proses maupun keterlibatan kelembagaan.
Konsep PBB (1960) menyatakan pengembangan masyarakat adalah proses
yang memfasilitasi usaha yang dilakukan masyarakat sendiri dipadukan dengan
kewenangan pemerintahnya untuk meningkatkan kondisi ekonomi, sosial dan budaya
masyarakat. Sementara Poston (1962) membawa konsep perspektif internasional dan
nasional yang luas menyangkut aktivitas populasi yang besar untuk meningkatkan
kesejahteraan. Seperti halnya pada konsepsi sebelumnya, Brokensha dan Hidge (1968)
menggaris bawahi adanya pergerakan yang terarah dan bersifat partisipatif dengan
inisiatif oleh masyarakat. Secara lebih tajam dan jelas tercermin dalam konsep
Cristenson dan Robinson (1980), bahwa dalam proses pengembangan masyarakat
terjadi kerjasama masyarakat dalam bingkai pembagian keputusan untuk membangun
inisiatif bersama.
Pada fase berikutnya, keterlibatan masyarakat juga tetap disinggung
(Twelvetrees, 1991). Sementara untuk kasus di Indonesia, van Beers dan Colley (1972)
dalam kepentingan membangun persepsi tentang proses pengembangan masyarakat di
Pulau Jawa, menekankan adanya terminologi membantu diri sendiri (assisted self help).
Dalam kerangka yang lebih global dan lebih kini Ife (2002) mengajukan pengertian
bahwa pengembangan masyarakat adalah suatu proses membangun atau membangun
kembali struktur masyarakat dengan cara baru yang lebih memungkinkan untuk
-
mengubungkan, mengorganisasikan kehidupan sosial dan memenuhi kebutuhan
manusia.
Telaah konsepsi juga menunjukan secara historis terjadi perubahan keterlibatan
kelembagaan serta cakupan. Namun demikian, konsepsi-konsepsi tersebut menunjukan
konsistensi pelibatan proses dalam pengembangan masyarakat seperti kerterlibatan
masyarakat (partisipasi), kerjasama, proses/ kegiatan terencana serta aspek intervensi
(sosial, ekonomi dan budaya) dan tujuannya meningkatkan taraf hidup. Sehingga dalam
konsepsi pengembangan masyarakat dimanapun, terminologi tersebut harus menjadi
bagian yang elementer. Seperti telah disebutkan diawal, maka konsep pengembangan
masyarakat pesisir juga harus merefleksikan konsep-konsep besar tersebut. Secara
umum, pengembangan masyarakat pesisir adalah proses partisipatif yang terencana
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir.
Secara praktis, pihak yang dapat dan mampu untuk mengembangkan
masyarakat pesisir terdiri dari banyak pihak, baik pemerintah, lembaga masyarakat,
perguruan tinggi atau perusahaan (swasta). Oleh karena itu, dalam kaitan dengan
pengetrian pengembangan masyarakat perlu ditambahkan unsur pelaku yang jelas.
Untuk mengakomodasikan kepentingan ini, maka pengertian pengembangan
masyarakat pesisir dapat dinyatakan sebagai :
upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir secara partisipatif yang terencana
Berdasar pada pengertian ini, maka terdapat unsur-unsur pokok yang perlu
dielaborasi lebih lanjut. Unsur-unsur tersebut meliputi unsur partisipatif, terencana dan
meningkatkan kualitas hidup. Partisipatif dalam konsep ini mempersyaratkan bahwa
sasaran program terlibat baik dalam proses perencanaan sampai dengan evaluasi.
Namun demikian, evaluasi yang melibatkan masyarakat, dilakukan pada program dan
komponen program yang telah direncanakan dan disepakati oleh masyarakat.
Sementara itu, terencana, menunjukkan bahwa program pengembangan
masyarakat adalah kegiatan yang telah terencana sebelumnya, sehingga dapat
menjamin keberlanjutan hasil program. Sedangkan pengertian meningkatkan kualitas
hidup masyarakat merupakan konsepsi yang luas, yang idealnya mencakup pada
seluruh aspek kehidupan masyarakat. Oleh karenanya secara umum, pengembangan
masyarakat pesisir mencakup kegiatan phisik dan non phisik, dimana intervensi program
-
pada masyarakat dapat dikelompokan menjadi infrastruktur (fisik dan non fisik),
pelayanan dan pengembangan kapasitas.
3.1 Prinsip-prinsip Pengembangan Masyarakat Pesisir
Secara teoritis, pendekatan program pengembangan masyarakat dikelompokan
dalam dua kelompok besar (Twelvetrees, 1991 dalam Suharto, 2005) yaitu profesional
(tradisional, netral, teknikal) dan radikal (transformasional). Kedua pendekatan tersebut
mempunyai perspektif dan tujuan yang berbeda. Pada pendekatan profesional
perspektifnya adalah merawat, mengorganisasikan dan membangun masyarakat
dengan tujuan meningkatkan kesadaran dan inisiatif masyarakat, serta memperbaiki
pelayanan sosial pada kelas sosial yang ada. Sementara pada pendekatan radikal lebih
ditekankan pada aksi masyarakat, baik berdasar kelas, jender atau ras untuk
meningkatkan kesadaran, memecahkan masalah ketertindasan dan membangun
strategi dan kerjasama melakukan perubahan sosial. dan kelompok.
Secara konseptual, model pengembangan masyarakat juga dapat dikelompokan
menjadi pengembangan masyarakat lokal, perencanaan sosial dan aksi sosial
(Rothman, 1968 dalam Suharto, 1997), dimana masing-masing model mempunyai
indikator dan tujuan yang berbeda pada setiap parameternya. Namun pada prakteknya,
ketiga model tersebut saling berinteraksi satu sama lain di lapangan. Meski, secara de
jure sumberdaya di wilayah pesisir tergolong controlled access, pada kenyataannya
secara de facto sebagian sumberdaya yang berada di wilayah pesisir bersifat terbuka
atau dapat dimanfaatkan oleh siapapun (open access resources), sehingga
pemanfaatannya seringkali menimbulkan konflik. Peningkatan jumlah pemanfaat
sumberdaya (user) dan semakin terbatasnya sumberdaya dapat menurunkan tingkat
kesejahteraan masyarakat pesisir sebagai pengguna sumberdaya tersebut. Pengaturan
kuantitas pemanfaatan sumberdaya agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan
seringkali tidak berhasil akibat sulitnya mengatur pengguna sumberdaya yang bersifat
open access. Berdasarkan uraian tersebut, program pengembangan masyarakat harus
didukung oleh pembentukan kelembagaan yang mampu mengatur pemanfaatan
sumberdaya. Kelembagaan yang dimaksud tidak harus kelembagaan baru, tetapi dapat
menggali dan menghidupkan kembali kelembagaan lokal (local wisdom) yang pernah ada
dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya pesisir.
-
Sumberdaya pesisir, terutama sumberdaya hayati perairan, merupakan
sumberdaya yang dinamis dalam ruang dan waktu. Ini berarti ketersediaan sumberdaya
hayati pesisir bersifat musiman karena proses rekruitmen dan migrasi. Proses
rekruitmen pada berbagai jenis sumberdaya hayati pesisir yang berbeda waktu
menyebabkan masyarakat pesisir harus menyediakan teknik pemanfaatan sumberdaya
yang berbeda antar waktu. Migrasi sumberdaya hayati pesisir menyebabkan
keterbatasan ketersediaan sumberdaya pada tempat dan kurun waktu tertentu serta
keterbatasan jangkauan pengelolaan sumberdaya. Sifat sumberdaya pesisir
sebagaimana yang telah diuraikan tersebut mengakibatkan resiko yang relatif tinggi
harus dihadapi masyarakat pesisir dalam pemenuhan kebutuhannya.
Struktur masyarakat pesisir seringkali terkait dengan penguasaan modal
sehingga hampir seluruh kegiatan masyarakat pesisir dikendalikan oleh pemilik modal,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Pola hubungan masyarakat pesisir seperti
ini terlihat dalam bentuk hubungan patron klien yang umumnya mengikat sangat kuat
sehingga intervensi program pemberdayaan masyarakat harus menyentuh kedua
lapisan masyarakat pesisir tersebut. Selain sebagai penguasa modal, lapisan
masyarakat atas (patron) juga berperan sebagai penanggung resiko (risk taker) dalam
pemanfaatan sumberdaya pesisir. Kegagalan usaha pemanfaatan sumberdaya hayati
pesisir ditanggung oleh pemilik modal, walaupun kemudian dihitung dalam bagi hasil
secara tidak langsung pada usaha berikutnya.
Sifat sumberdaya pesisir dan pola hubungan masyarakat pesisir sebagaimana
diuraikan di atas telah membentuk kebiasaan cash and carry dalam masyarakat pesisir.
Usaha pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan harus menghasilkan uang sedapat
mungkin pada saat yang bersamaan atau dalam tempo secepat mungkin. Tidaklah
mengherankan bila di beberapa daerah pesisir terdapat kegagalan dalam program
pengalihan mata pencaharian berbasis budidaya karena mengharuskan waktu tunggu
yang cukup lama. Namun demikian, kegiatan pengolahan sumberdaya primer seperti
pengolahan ikan menjadi ikan kering dan pengolahan kelapa menjadi kopra, mampu
menghasilkan uang dalam waktu relatif cepat sehingga menjadi harapan alternatif mata
pencaharian bagi masyarakat pesisir.
Ife (2002) mengembangkan prinsip-prinsip dasar pengembangan masyarakat
secara umum yang meliputi domain yang sangat luas, dimana prinsip-prinsip tersebut
-
asar dapat dikelompokan menjadi prinsip ekologis, keadilan sosial, unsur lokal,
memperhatikan proses dan sesuai dengan prinsip nasional dan global. Secara
mendasar, pengembangan masyarakat pesisir harus memenuhi kriteria-kriteria umum
yang menyentuh aspek :
1. Filosofis : menyentuh prinsip-prinsip dasar pengembangan masyarakat (ekololgis, keadilan sosial, memasukan unsur lokal, memperhatikan proses sesuai dengan prinsip lokal (nasional) dan global).
2. Yuiridis : sesuai dengan regulasi yang ada 3. Sosiologis : dapat diterima oleh masyarakat dan tidak menimbulkan gejolak.
Berdasarkan kerangka pemikiran kriteria umum diatas serta adanya rujukan prinsip
dasar yang dikembangkan oleh Ife (2002), maka pengembangan masyarakat pesisir
dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Partisipatif; menjamin agar masyarakat pesisir mempunyai peran serta baik pada
tahap perencanaan, pengorganisasian, maupun pengawasan/ pengendalian dalam
pelaksanaan program.
2. Berkelanjutan : menjamin kelangsungan aktivitas dari pengembangan masyarakat
dengan mempertimbangkan nilai lokal dan daya dukung sosial, sumberdaya dan
lingkungan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara gradual.
3. Kontinuitas: program pengembangan masyarakat pesisir bersifat terencana dan terus
menerus serta saling terkait antar periode waktu pelaksanaan (multi years).
4. Akuntabilitas; pengembangan masyarakat pesisir dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggung jawabkan baik secara substansi keilmuan maupun dan mekanisme
administrasi.
5. Keterpaduan dan kemitraan; mensinergikan program pengembangan masyarakat
dengan program-program yang dikembangkan pemerintah maupun lembaga
masyarakat lainnya yang sejalan dengan misi pengembangan masyarakat pesisir.
6. Holistik : meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat pesisir (ekologis, sosial,
ekonomi dan budaya).
7. Pemberdayaan : adalah mendukung masyarakat pesisir untuk mendapatkan
sumberdaya, kesempatan, ekspresi, pengetahuan dan keterampilan untuk
meningkatkan kapasitasnya agar mampu menentukan masa depannya dan dapat
berpengaruh pada kehidupan masyarakatnya.
-
8. Kepastian hukum; program pengembangan masyarakat pesisir tidak bertentangan
dengan hukum yang berlaku.
3.2 Contoh Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Terumbu Karang: Program
Rehabilitasi Karang dan Perlindungan Fungsi Kawasan Konservasi Taman Nasional
Kepulauan Seribu Secara Mandiri
Kelurahan Pulau Panggang merupakan salah satu produsen karang dan ikan
hias. Namun masuknya Kelurahan Pulau Panggang dalam Zona Taman Nasional
Kepulauan Seribu menyebabkan dilarangnya pengambilan karang hias langsung dari
alam. Adanya larangan tersebut menyebabkan terjadinya pengambilan karang illegal
dan perselisihan antara nelayan karang hias dengan pihak Balai TNKS. Mengatasi
keadaan ini TNKS mengadakan sebuah program rehabilitasi karang.
Program rehabilitasi karang secara mandiri ini merupakan salah satu program
yang diadakan Balai TNKS dengan melibatkan kerjasama antara pihak swasta,
masyarakat dan pihak Balai TNKS dalam merehabilitasi karang yang telah rusak di Zona
Pemukiman Taman Nasional Kepulauan Seribu. Adapun kegiatannya dilakukan dengan
melakukan rehabilitasi alami dan semi alami. Kegiatan tersebut dilakukan sepenuhnya
oleh masyarakat melalui usaha budidaya karang untuk komersial. Penetapan lokasi
transplantasi rehabilitasi karang alami dan semi alami dilakukan oleh Balai TNKS,
berdasarkan pertimbangan masyarakat dan pihak terkait lainnya.
Usaha budidaya ini dilakukan dengan menggunakan teknik transplantasi karang,
dimana masyarakat memberikan iklim kondusif kepada karang induk sehingga karang
induk dapat spawning dan menyebarkan bakal anakan disekitarnya. Kemudian karang
induk dipotong sehingga menghasilkan fragmen anakan karang generasi pertama yang
akan diperdagangkan. Setelah 6 kali propagasi kemudian karang induk dikembalikan
atau dilepas ke alam terutama pada daerah yang sangat rusak atau rusak. Berdasarkan
hasil wawancara dengan nelayan pembudidaya dalam program rehabilitasi ini pihak
swasta berperan dalam penyediaan modal, teknologi dan pasar. Hasil yang diperoleh
dari 4 model skala usaha diperoleh sebagai berikut:
a. Skala Usaha 1 dengan total biaya sebesar Rp 16.112.852,40, penerimaan
sebesar Rp 18.136.363,44, dan keuntungan sebesar Rp 2.023.511,04,
-
b. Skala Usaha 2 dengan total biaya sebesar Rp 18.220.749,84, penerimaan
sebesar Rp 22.750.000,00, dan keuntungan sebesar Rp 4.529.250,16,
c. Skala Usaha 3 dengan total biaya sebesar Rp 28.289.070,40, penerimaan
sebesar Rp 36.000.000,00, dan keuntungan sebesar Rp 7.710.929,60,
d. Skala Usaha 4 dengan total biaya sebesar Rp 51.225.450,00, penerimaan
sebesar Rp 72.000.000,00, dan keuntungan sebesar Rp 20.774.550,00.
Secara umum usaha budidaya ini belum berjalan seperti yang diharapkan
dikarenakan masih terdapat beberapa permasalahan baik dari aspek teknis, ekonomi
dan sosial. Permasalahan teknis diantaranya masih terdapat nelayan pembudidaya
yang mengambil bibit diatas ketentuan yang telah ditetapkan yaitu sebesar 30% dari
karang donor. Pengambilan bibit lebih dari 30% karang donor menyebabkan kerusakan
bahkan kematian terhadap karang donor. Beberapa pembudidaya yang melakukan hal
tersebut biasanya untuk mempermudah dan menghemat biaya, tetapi hal ini justru
malah akan merusak sumberdaya terumbu karang. Oleh karena itu, dibutuhkan
pengawasan lebih dalam pengambilan karang donor ini. Permasalahan kedua dalam
pemilihan lokasi. Terdapat nelayan yang membudidayakan karang terlalu jauh dari
lokasi sehingga sering terjadi kehilangan dan beberapa nelayan membudidayakan pada
daerah yang tidak terlindung dari gelombang.
Permasalahan ketiga ditemukan pada penandaan karang karena banyak
ditemukan karang tak bertaging pada beberapa pembudidaya, hal ini akan mempersulit
dalam pengawasan karena akan menimbulkan ketidakjelasan waktu tanam karang
tersebut. Permasalahan keempat mengenai pemeliharaan pemeliharaan dimana
terdapat beberapa pembudidaya yang kurang merawat karangnya sehingga
menimbulkan tingkat kematian karang dalam jumlah besar. Kemudian mengenai umur
tanam karang seperti pada beberapa responden masih terdapat karang yang telah
ditanam sesuai ukuran jual dan diambil sebelum waktu panen. Terakhir dalam hal
pengepakan, sebagian besar nelayan menggunakan cara pengepakan tanpa kantong
plastik sedangkan cara pengepakan ini mengakibatkan banyaknya karang yang rusak
ketika sampai ke perusahaan mitranya dan ini menyebabkan banyak karang terbuang
dan tidak laku untuk dipasarkan. Namun, kekurangan packing dengan kantong plastik
adalah memakan biaya cukup besar, terutama dalam biaya packing serta ongkos kirim.
-
Hal tesebut disebabkan pola pengepakan yang memakan banyak tempat. Namun
secara ekonomi justru dengan pengepakan yang baik produksi karang lebih efisien dan
efektif karena karang hasil budidaya tidak akan stress dan rusak sehingga tingkat
kematian karang akan menurun dan karang lebih berkualitas.
Keberhasilan usaha budidaya di Kelurahan Panggang ini tidak hanya dapat
dilihat secara teknis atau ekonomi. Suatu usaha budidaya dapat dikatakan berhasil juga
dilihat dari aspek sosialnya berupa hubungan sosial masyarakat dengan pihak
perusahaan serta dengan pihak lembaga atau Balai TNKS. Jika dilihat dari aspek sosial
program rehabilitasi memiliki beberapa kekurangan terutama dalam pola hubungan
antara perusahaan karang hias sebagai bapak angkat dengan nelayan pembudidaya.
Hal ini merupakan salah satu faktor yang dialami oleh beberapa nelayan pembudidaya
sehingga tidak dapat menjalankan usaha budidaya karang. Hubungan sosial antara
nelayan dan perusahaan yang bermasalah di Kelurahan Panggang pada dasarnya
dikarenakan rasa ketidak percayaan. Rasa ketidak percayaan muncul karena kurangnya
keterbukaan dan komunikasi antara nelayan dan pembudidaya. Sehingga hubungan
patron-klien tanpa rasa kepercayaan dan komunikasi yang kuat malah hanya akan
merugikan pihak nelayan pembudidaya sebagai klien yang membutuhkan patron dalam
membangun usaha.
-
DAFTAR PUSTAKA
Barton, D. N. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources.
SMR-report 14/94. Centre for Studies of Environment and Resources, University
of Bergen, Norway.
Bunce, L. L., and Kent R. Gustavson. 1998. Coral reef valuation: a rapid socioeconomic
assessment of fishing, water-sports, and hotel operations in the Montego bay
marine park, Jamaica and an analysis of reef management implications. World
Bank Research Committee Project #RPO 681-05
Cesar, H. S. J. 1996. Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs. Working Paper
Series. World Bank, Washington DC.
Ministry of Marine Affair and Fisheries Republic of Indonesia (MMAF). 2001. Country
Status Overview (CSO): Exploitation and Trade of Reef Fishery in Indonesia.
MMAF, International Marine Alliance (IMA) and Telapak Foundation. Jakarta.
Suharsono. 2001. Condition of Coral Reef Resource in Indonesia. Oceanological
Research and Development Centre, Indonesian Science Agency. Paper
presented in International Workshop on the Trade in Stony Corals: Development of
sustainable management guidelines. Jakarta, April 9-12, 2001.
Spurgeon, J. P. G. 1992. The economic valuation of coral reefs. Mar. Poll. Bull. 24 (11):
529-536. Elsevier Science Ltd. Pergamon.
Wallace, C. C., Z. Richards, and Suharsono. 2001. Regional Distribution Patterns of
Acropora and Their Use in the Conservation of Coral Reefs in Indonesia.
Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. 4(1):40-58
Agustono. 1996. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove bagi Masyarakat (Studi Kasus di Muara
Cimanuk, Indramayu). Tesis Magister Sains (Tidak Dipublikasikan). Program
Pascasarjana IPB. Bogor.
Barton, D. N. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources.
SMR-report 14/94. Center for Studies of Environment and Resources, University
of Bergen. Norway.
Burbridge, P. R. and J. E. Maragos. 1985. Coastal Resources Management and
Environmental Assesment Needs for Aquatic Resources development in
Indonesia. International Institute for Environment and Development. Washington
DC. USA.
Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta.
-
Dixon, J. A. dan M. M. Hufschmidt. 1991. Teknik Penilaian Ekonomi terhadap
Lingkungan. Suatu Buku Kerja Studi Kasus. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
Fahrudin, Achmad. 1996. Analisis Ekonomi Pengelolaan Lahan Pesisir di Kabupaten
Subang, Jawa Barat. Tesis Magister Sains (Tidak Dipublikasikan). Program
Pascasarjana IPB. Bogor.
Lindeboom, H. J. and J. J. Sandee. 1989. Production and Consumption of Tropical Seagrass Fields in Easterm Indonesia. Measured with Bell Jars and Microelectrodes. Netherland Journal of Sea Research. 23: 181-190.
Mann, K. H. 1982. Ecology of Coastal Waters: A System Approach. Blackwell Scientific
Publ. Univ. of Calif. Press, Los Angeles