valuasi_ekonomi

download valuasi_ekonomi

of 22

description

valuasei_ekonomi

Transcript of valuasi_ekonomi

  • Valuasi Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat di

    Kawasan Konservasi Terumbu Karang

    OLEH :

    Sukardi

    KONSENTRASI MANAJEMEN KELAUTAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

    2011

  • I. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Sumberdaya wilayah pesisir, termasuk kawasan konservasi terumbu karang,

    merupakan sumberdaya alam yang bersifat milik umum (public good), terbuka, dan tidak

    mengikuti hukum kepemilikan. Selain itu, beberapa unsur sumberdayanya tidak memiliki

    mekanisme pasar dimana harga dapat berperan sebagai instrument penyeimbang

    antara permintaan dan penawaran, Manusia yang dipandang sebagai homoeconomicus

    cenderung akan memaksimumkan manfaat total. Hal ini terlihat dari adanya indikasi

    over eksploitasi sumberdaya wilayah pesisir dan eksternalitas negatif dari kegiatan

    pembangunan wilayah pesisir.

    Berdasarkan uraian tersebut maka perlu: 1) adanya penilaian secara benar dan

    menyeluruh sehingga alokasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat dilakukan secara

    proporsional, dan 2) adanya penilaian terhadap biaya lingkungan dan sosial

    (environmental and social cost) dan menginternalisasikannya ke dalam kebijakan

    ekonomi dan pembangunan. Teknik valuasi ekonomi sumberdaya wilayah pesisir sangat

    diperlukan untuk tujuan tersebut.

    1. 2 Devinisi

    Valuasi ekonomi kawasan konservasi terumbu karang adalah suatu cara

    penilaian atau upaya kuantifikasi barang dan jasa yang terdapat pada kawasan

    konservasi terumbu karang ke dalam nilai uang, terlepas dari ada atau tidaknya nilai

    pasar dari barang dan jasa tersebut. Nilai ekonomi diukur dalam terminologi kesediaan

    membayar untuk mendapatkan barang dan jasa tersebut (willingness to pay).

    1. 3 Kegunaan

    Kegunaan dari valuasi ekonomi kawasan konservasi terumbu karang adalah:

    1. Sebagai alat bantu untuk mendapatkan manfaat barang dan jasa sumberdaya di

    kawasan konservasi terumbu karang secara bijaksana dan proporsional.

    2. Sebagai pintu gerbang proses internalisasi biaya lingkungan dan sosial ke dalam

    kegiatan ekonomi dan pembangunan yang merupakan upaya nyata implementasi

    konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

  • 1. 4 Sasaran

    Sasaran dari valuasi ekonomi sumberdaya di kawasan konservasi terumbu

    karang adalah:

    1. Manfaat Sosial Ekonomi masyarakat di Kawasan Terumbu Karang

    2. Sumberdaya biofisik di kawasan konservasi terumbu karang,

    3. Jasa lingkungan yang disediakan kawasan konservasi terumbu karang

    1. 5 Konsep Willingnes To Pay (WTP), Willingnes To Accept (WTA) dan

    Kesejahteraan Sosial

    Total kesejahteraan sosial dari konsumsi barang atau jasa adalah setara dengan

    jumlah kesediaan membayar (WTP) dari seluruh individu. Jumlah ini termasuk 1)

    pengeluaran untuk memperoleh barang dan jasa, dan 2) surplus konsumen. Kegunaan

    marjinal atau manfaat yang diperoleh dari konsumsi setiap tambahan unit barang dan

    jasa diasumsikan berkurang. Dengan demikian WTP untuk setiap tambahan unit juga

    berkurang. Penggunaan harga pasar dikalikan dengan jumlah konsumsi merupakan

    estimasi minimal dari kegunaan dalam pemanfaatan barang atau jasa lingkungan.

    Surplus konsumen harus diperhitungkan untuk memperoleh manfaat utuh dari setiap

    individu. Surplus konsumen dalam hal ini adalah konsep nilai bersih dari pengeluaran.

    Terlihat bahwa barang dan jasa lingkungan yang tak memiliki harga pasar akan

    menghasilkan surplus konsumen yang sangat besar karena harganya sama dengan nol,

    sehingga bila musnah akan mengakibatkan hilangnya kegunaan yang sangat besar

    pula.

    Bila diasumsikan bahwa pasar 1) bebas dari gangguan dan 2) distribusi

    pendapatan merata dalam masyarakat, maka kurva permintaan individu dapat

    diaggregasikan menjadi kurva permintaan pasar. Dengan demikian kurva permintaan

    pasar akan mencerminkan total WTP untuk barang dan jasa lingkungan. Kedua asumsi

    ini sangatlah kuat. WTA adalah nilai kegunaan awal individu dari barang dan jasa

    sebelum ada perubahan atau kesediaan individu untuk menerima kompensasi bila

    barang dan jasa tersebut dimanfaatkan oleh individu lain atau diubah pemanfaatannya.

    Perhatikan pertanyaan berikut ini:

    1. Berapa banyak anda ingin dibayar bila kawasan terumbu karang ini diubah menjadi

    kawasan konservasi?

    2. Berapa banyak anda ingin dibayar bila anda dimohon untuk tidak merusak terumbu

    karang ini?

  • 3. Bandingkan dengan WTP yang mempertanyakan hal ini: berapa besar anda

    kehilangan pendapatan yang sama dengan perubahan kesejahteraan akibat

    perubahan terumbu karang menjadi kawasan konservasi?

    Pemilihan penggunaan konsep WTP dan WTA dalam menilai sumberdaya

    berkaitan erat dengan status kepemilikan sumberdaya (property right). Pada kasus

    dimana sumberdaya pesisir telah memiliki sistem penguasaan yang sudah baik, WTA

    untuk kompensasi kehilangan hak penguasaan menjadi lebih relevan daripada WTP.

    Secara umum konsep WTP digunakan dalam situasi dimana pengguna sumberdaya

    tidak secara jelas memiliki sumberdaya tersebut (barang publik, misal terumbu karang).

    Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa rejim kelembagaan yang ada di wilayah

    pesisir.

    1. 6 Penawaran pasar dan biaya korbanan

    Estimasi manfaat dari penggunaan sumberdaya pesisir juga mencakup biaya

    sosial. Pada barang dan jasa yang dijual di pasar sempurna, harga pasar akan

    mencerminkan biaya sesungguhnya dari masyarakat untuk memanfaatkannya dengan

    alternatif pemanfaatan terbaik. Manfaat bersih yang dapat diturunkan dari alternatif

    pemanfaatan terbaik disebut biaya korbanan sosial (social opportunity cost) atau harga

    bayangan (shadow price). Bagi produsen biaya marjinal akan meningkat sejalan dengan

    jumlah output, karena faktor-faktor teknologi dan karena sumberdaya sebagai bahan

    proses produksi akan semakin langka. Penawaran pasar dari barang dicerminkan oleh

    kurva biaya marjinal yang meningkat sejalan dengan jumlah produksi. Surplus produsen

    adalah perbedaan antara penerimaan dari penjualan produk dengan biaya total

    produksi, atau biaya korbanan dalam pasar yang sempurna. Surplus produsen

    umumnya disebut sebagai rente ekonomi (economic rent) atau rente sumberdaya

    (resource rent) pada kasus sumberdaya alam

    Pada kasus sumberdaya pesisir (barang dan jasa) yang tidak diperdagangkan dalam

    pasar, biaya sosial adalah biaya korbanan dari hilangnya manfaat bagi pengguna.

    Sebagai contoh, terumbu karang yang diambil untuk bahan bangunan juga dapat

    dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata, sebagaimana perannya dalam mendukung

    produksi perikanan. Nilai pemanfaatan tersebut akan lenyap bila terumbu karang

    diambil, yang mencakup biaya korbanan, paling sedikit sama dengan surplus konsumen

    yang dihasilkan oleh pemanfaatan untuk rekreasi. Dalam valuasi ekonomi ada kaitan

  • antara biaya dan manfaat, manfaat yang hilang adalah biaya dan biaya yang dapat

    dihindari adalah manfaat (Dixon et al 1983).

    1. 7 Nilai Ekonomi Terumbu Karang

    Indonesia memiliki sekitar 17.500 km2 ekosistem terumbu karang (Moosa, et al,

    1987) tersebar di seluruh wilayah perairan pesisir yang jernih, hangat, beroksigen serta

    bebas dari padatan terlarut dan aliran air tawar yang berlebihan. Terumbu karang

    Indonesia sangat beragam dan kaya. Seluruh tipe terumbu karang yang mencakup

    terumbu karang melingkar, terumbu karang penghadang, atol dan bongkahan terumbu

    karang (fringing reefs, barrier reefs, atoll, patch reefs) terdapat di perairan laut Indonesia.

    Terumbu karang menyediakan berbagai pemakaian langsung dan tak langsung

    yang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pesisir. Pemakaian

    yang paling dominan dan paling bernilai adalah besarnya hasil yang dapat diperoleh dari

    sumberdaya perikanan laut yang didukung oleh ekosistem terumbu karang dengan

    estimasi sebesar 5 ton/km2 (Snedaker and Getter, 1985). Hasil ini tak terbatas pada

    ikan dan crustacea yang sesungguhnya dipanen dari ekosistem terumbu karang tetapi

    juga mencakup sejumlah besar varitas dan kuantitas organisme yang bergantung pada

    ekosistem terumbu karang. Potensi panen lestari (MSY) ikan karang di perairan laut

    Indonesia diduga sebesar 80.082 ton/tahun (Ditjen Perikanan, 1991). Dengan luas areal

    terumbu karang Indonesia sekitar 17.500 km2 berarti potensi lestari ikan karang di

    Indonesia 4,57 ton/tahun/km2. Perikanan karang komersial dan subsisten memiliki

    kontribusi yang nyata terhadap ekonomi Indonesia. Masyarakat pesisir, khususnya yang

    tinggal di pulau-pulau kecil (Nias, Siberut, Kepulauan Seribu, Taka Bone Rare, Tukang

    Besi dan Padaido) telah memenfaatkan sumberdaya ikan, rumput laut dan sumberdaya

    biologis lainnya untuk kehidupannya selama berabad-abad. Selanjutnya di beberapa

    bagian Indonesia, terumbu karang secara tradisional telah dipakai oleh masyarakat

    pesisir untuk mendukung kehidupannya dengan memanfaatkan berbagai jenis ikan dan

    invertebrata lainnya (Burbridge and Maragos, 1985).

    Pada dekade terakhir, keindahan alami dan keunikan terumbu karang menarik

    jutaan turis domestik dan mancanegara untuk datang ke Indonesia. Tempat seperti

    Pulau Nias, Siberut, Kepulauan Seribu, Bunaken, Taka Bone Rate, Gili Trawangan

    (Lombok Barat), Seram dan Teluk Cendrawasih yang memiliki keindahan terumbu

    karang menjadi tujuan utama wisatawan. Nilai ekonomis wisata bahari ini sangat tinggi

  • karena tak hanya menghasilkan devisa tetapi juga efek pengganda lainnya seperti

    perdagangan lokal dan regional, perniagaan, hotel dan restoran.

    Struktur terumbu karang juga melindungi pulau, pantai yang bernilai, dan

    kawasan industri dari ganasnya gelombang dan badai dan tenaga alami lainnya di laut.

    Sebagai tambahan, telah dilaporkan bahwa ekosistem terumbu karang memiliki peran

    utama dalam mengurangi pemanasan global karena fungsinya sebagai penangkap

    karbon yang besar. Penambangan karang telah didokumentasi sebagai bahan

    konstruksi, pembuatan jalan, dan produksi kapur di berbagai tempat di Indonesia

    (Praseno dan Sukarno, 1977; Dahuri, 1991).

    Dari sudut pandang keanekaragaman hayati dapat dikatakan bahwa trumbu

    karang merupakan ekosistem yang sangat kompleks yang mendukung banyak

    kehidupan. Terumbu karang telah diidentifikasi memiliki nilai konservasi yang tinggi

    seperti hutan hujan karena keragaman biologis, secara estetika menarik, dan memiliki

    fungsi sebagai cadangan keanekaragaman genetika (Hatcher et al, 1990).

    1. 8 Teori Valuasi Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir

    Nilai ekonomi total (total economic value = TEV) dari sumberdaya sebagai asset

    merupakan jumlah dari nilai pakai (use value=UV) dan nilai bukan pemakaian (non use

    value=NUV) (Pearce and Morran, 1994 dan Barton, 1994). Nilai pakai adalah suatu nilai

    yang timbul dari pemanfaatan aktual terhadap sumberdaya yang terdapat dalam

    ekosistem.

    Nilai pakai terbagi menjadi nilai pakai langsung (direct use value=DUV), nilai pakai

    tidak langsung (indirect use value=IUV) dan nilai pilihan (option value=OV). Nilai pakai

    langsung merupakan nilai penggunaan aktual seperti penggunaan perikanan dan kayu

    dari ekosistem hutan mangrove. Nilai pakai tidak langsung merupakan manfaat yang

    diturunkan dari fungsi ekosistem seperti fungsi hutan mangrove dalam perlindungan

    lahan pesisir dari erosi dan dalam penyediaan pakan bagi perikanan lepas pantai.

    Nilai pilihan adalah nilai yang menunjukkan keinginan individu untuk membayar

    bagi konservasi sumberdaya pesisir dan laut guna pemakaian masa mendatang seperti

    pengembangan bahan farmasi dan kultivar pertanian baru. Dengan kata lain, nilai pilihan

    dapat diartikan sebegai premi asuransi dimana keinginan masyarakat untuk membayar

  • guna menjamin pemanfaatan masa mendatang dari sumberdaya pesisir dan laut

    (UNEP, 1993).

    Nilai bukan pemakaian terdiri dari nilai waris (bequest value=BV) dan nilai

    eksistensi (existence value=EV). Nilai waris mengukur manfaat individual dari

    pengetahuan bahwa orang lain akan memperoleh manfaat dari sumberdaya pesisir dan

    laut di masa mendatang. Nilai eksistensi menggambarkan keinginan masyarakat untuk

    membayar konservasi sumberdaya pesisir dan laut itu sendiri tanpa mempedulikan nilai

    pakainya. Contoh nilai eksistensi sumberdaya pesisir dan laut adalah kepedulian

    individu terhadap perlindungan koral biru atau ikan napoleon meskipun ia tidak melihat

    dan tak akan pernah melihatnya (Randall and Stoll, 1983). Dengan demikian nilai

    ekonomi total sumberdaya pesisir dan laut dapat dituliskan sebagai berikut: TEV = UV +

    NUV = (DUV + IUV + OV) + (BV + EV).

  • II. METODE EVALUASI

    Pada dasarnya valuasi ekonomi sumberdaya kawasan konservasi terumbu

    karang meliputi 3 tahap utama, yaitu : (1) identifikasi manfaat dan fungsi keterkaitan

    antar komponen sumberdaya pesisir dan laut, (2) kuantifikasi seluruh manfaat dan

    fungsi tersebut ke dalam nilai uang, dan (3) penilaian alternatif alokasi pemanfaatan

    lahan pesisir.

    2.1 Identifikasi Manfaat

    Manfaat yang dapat diperoleh dari kawasan konservasi terumbu karang antara lain:

    a) manfaat langsung berupa Perikanan tangkap, Marikultur, Perdagangan Akurium, Kapur, Bahan Obat, Bahan Konstruksi, Genetic Material, Tourism, Penelitian, Pendidikan, dan Estetika,

    b) manfaat tidak langsung berupa Penyedia pakan untuk kura-kura dan burung laut, Physical Protection untuk: Garis pantai, Navigasi dan Ekosistem lain,

    c) manfaat pilihan berupa Species, habitat dan biodiversity, d) manfaat eksistensi berupa Habitat terancam punah, species langka dan estetika, e) manfaat waris berupa Species, habitat dan tradisi (Barton, 1994).

    2.2 Kuantifikasi Manfaat

    Berikut ini adalah beberapa teknik kuantifikasi manfaat yang dapat digunakan pada

    kawasan terumbu karang:

    (a) Perubahan Pendapatan (Change in Productivity)

    Suatu proyek pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat

    mempengaruhi produktivitas secara positif atau negative. Analisa ini didasarkan

    atas situasi dengan proyek dan tanpa proyek. Misalkan, bila proyek pembukaan

    lahan mangrove menyebabkan penurunan hasil tangkapan ikan 20% pertahun

    maka proyek ini menimbulkan kerugian ekonomi setara dengan hilangnya hasil

    produksi sebesar 20% per tahun.

    (b) Kehilangan Pendapatan (Lost of Earning)

    1. Proyek pemanfaatan lahan pesisir seringkali mengakibatkan kemunduran

    mutu lingkungan dalam berbagai bentuk.

    2. Hal ini dapat menimbulkan dampak berupa menurunnya kesehatan penduduk

    dan kualitas kerja.

  • 3. Bila dampak ini menyebabkan penduduk harus mengeluarkan biaya tambahan

    pemeliharaan kesehatan Rp 50.000,00/kapita/tahun maka nilai jasa

    lingkungan adalah Rp 50.000, 00/kapita/tahun. Contoh lain, bila dampak ini

    menyebabkan kematian seorang laki-laki berumur 30 tahun yang berpeluang

    hidup sampai 60 tahun dengan pendapatan Rp 20.000,00/hari, maka nilai

    jasa lingkungan peisisr adalah (Rp 20,000/Hari x 30 hari/bulan x 12

    bulan/hari x 30 tahun) = Rp 226.000,00. Asumsi dapat bekerja selama 30

    tahun dengan penghasilan tidak berutah.

    (c) Biaya Terluang (Opportunity cost)

    1. Adalah hasil keuntungan yang dapat diperoleh dari alternative investasi yang

    diabaikan.

    2. Metoda ini dapat dipakai untuk menghitung nilai ekonomi suatu proyek

    pemanfaatan lahan pesisi yang tidak dapat diukur dengan menggungkan nilai

    pasar

    (d) Biaya Preventif (Preventive Expenditure)

    1. Adalah biaya yang diperlukan untuk mencegah terjadinya dampak lingkungan

    yang merugikan.

    2. Contoh limbah organic yang terbuang dari industri pengalengan ikan atau

    industri cold storage dapat menyebabkan penurunan kualitas air tempat

    pembuangan limbah tersebut. Biaya pengolahan air limbah (waste water

    treatment cost), misalkan Rp 1 milyar, agar tidak mencemari lingkungan atau

    tidak melampaui baku mutu, dapat dianggap sebagai nilai kerugian yang

    diakibarkan oleh pembuangan limbah organik tersebut

    (e) Biaya Properti (Hedonic Price Method)

    1. Teori dasar adalah adanya keterkaitan antara permintaan atau produksi

    komoditi yang dapat dipasarkan (Marketable commodity) dengan yang tidak

    dapat dipasarkan (non-market able commodity)

    2. Contoh: (1) hasil tangkapan ikan dalam suatu area tertentu merupakan fungsi

    dari kualitas perairan, (2) Nilai keindahan alam dan udara bersih suatu pantai

    dapat dinilai melalui harga rumah tinggal yang berlokasi sesuai dengan

    criteria yang dimaksud. Dengan kata lain, harga rumah di suatu lokasi

    merupakan fungsi dari kualitas udara dan keindahan alamnya.

    3. Langkah pelaksanaannya:

    1. Identifikasi kualitas lingkungan, issu penting ketersediaan data sekunder.

  • 2. Tentukan cara pengukuran kualitas l;ingkungan (bising dengan db, udara

    dengan kandungan partikulat, SO2, air dengan BOD, COD dll.)

    3. Spesifikasi fungsi persamaan hedonic

    4. Pengumpulan data

    5. Pengolahan data

    6. Interpretasi

    7. Pembuatan Laporan

    (f) Perbedaan Upah

    1. Teori dasar menyatakan: (1) pada pasar bersaing sempurna permintaan

    tenata kerja setara dengan nilai produk marjinal, (2) pemasokan tenaga

    kerja berbeda dari satu dengan tempat lain karena perbedaan kondisi

    dan kualitas lingkungan kerja, (3) pekerja dapat memilih tempat

    pekerjaannya dengan leluasa tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.

    2. Contoh, seorang pekerja pabrik pengalengan ikan yang berlokasi di suatu

    daerah tercemar (udara, air dll.) bersedia dibayar Rp 30.000/hari.

    Seorang pekerja lainnya bekerja di pabrik pengalengan ikan yang

    berlokasi di suatu tempat yang tidak tercemar bersedia hanya dibayar Rp

    15.000/hari. Perbedaan sebesar Rp 15.000 merupakan nilai kualitas

    lingkungan tersebut.

    (g) Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)

    1. Dapat digunakan untuk menilai daerah tujuan wisata alam

    2. Dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya

    terhadap responden pengunjung suatu obyek wisata

    3. Biaya perjalanan total merupakan biaya perjalanan PP, makan dan

    penginapan.

    4. Melalui survey ini kurva permintaan dan surplus konsumne dapat

    ditentukan.

    5. Surplus konsumen merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata

    tersebut.

    (h) Proksi Terhadap Harga Pasar

    1. Dapat digunakanb untuk menilai jasa lingkungan dan SDA yang memiliki

    korelasi erat dengan komoditas lain yang dapat dipasarkan.

    2. Misal, nilai ranting mangrove sebagai kayu bakar dapat diduga dengan

    harga minyak tanah.

  • (i) Biaya Pengganti

    1. Dapat digunakan untuk menilai ekosistem yang telah rusak.

    2. Nilai kerusakan suatu ekosistem terumbu karang ekuivalen dengan biaya

    pembuatan terumbu karang buatan.

    3. Nilai hutan mangrove sebagai tempat pemijahan benur ekuivalen dengan

    biaya pembuatan tempat pemijahan.

    (j) Metoda Kontingen (Contingen Valuation Method)

    a. Adalah salah satu metoda valuasi melalui survey langsung mengenai

    penilaian responden secara individual dengan cara menanyakan

    kesediaan untuk membayar (willingness to pay) terhadap suatu komoditi

    lingkungan atau terhadap suaru sumber daya yang non marketable. N

    ndikatakan contingent, karena pada kondisi tersebut responden seolah-

    olah dihadapkan pada pasar yang sesungguhnya dimana sedang

    terjadi transaksi.

    b. Metoda ini selain dapat digunakan untuk mengkuantifikasi nilai pilihan, nilai

    eksistensi dan nilai pewarisan juga dapat digunakan untuk menilai

    penurunan kualitas.

    c. Ada 4 macam tipe pertanyaan, yaitu (1) Direct Question Method disebut juga

    pertanyaan terbuka, (2) Bidding Game, (3) Payment Card, (4) Take it or

    leave it.

    d. Ada lima macam (sumber) bias yang perlu diwaspadai, yaitu (1) strategic

    bias, (2) starting point bias, (3) hyphotetical bias, (4) sampling bias. (5)

    commodity specification bias.

    e. Prosedur Pelaksanaan Survei CVM terdiri dari 10 tahap, yaitu:

    1. Identifikasi issu atau dampak lingkungan yang akan dinilai

    2. Identifikasi populasi yang terkena dampak atau yang memanfaatkan

    sumberdaya tersebut atau yang mengerti betul.

    3. Tetapkan prosedur survey, kapan dan dimana

    4. Tentukan cara sampling dan pemilihan sample.

    5. Disain kuisioner meliputi jenis dan isi pertanyaan.

    6. Melakukan pelatihan terhadap surveyor mengenai tata cara survey.

    7. Lakukan uji pendahuluan kuisioner (pretes) untuk meminimalkan bias

    yang mungkin terjadi

    8. Pelaksanaan survey dan ekstraksi data

  • 9. Pengolahan data

    10. Penulisan laporan

    Berikut ini contoh penerapan teknik kuantifikasi manfaat pada kawasan terumbu karang:

    1. Pelindung pantai: Replacement cost untuk terumbu buatan atau pembuatan

    breakwater pelindung pantai

    2. Biodiversitas: Contingent valuation untuk mempertahankan habitat

    3. Fishing ground: Change in Production atau Effect on productivity (EOP) terhadap

    kegiatan perikanan tangkap.

    4. Mariculture: Effect on productivity (EOP) terhadap kegiatan mariculture.

    5. Tourism: Travel cost method (TCM) dari kegiatan wisata bahari.

    6. Construction material dan sumber kapur: Surrogate goods (market proxy) dari

    material konstruksi.

    7. Research and education: Contingent valuation terhadap kepentingan penelitian

    dan pendidikan

    8. Genetic and drugs: Surrogate market dengan kemungkinan penemuan baru

    (probality of discoveries)

    2.3 Penilaian Alternatif Alokasi Pemanfaatan Lahan Pesisir

    Penilaian alternatif alokasi pemanfaatan terumbu karang dengan menggunakan Cost-

    Benefit Analysis (CBA), yang merupakan net present value dengan menghitung manfaat

    yang diperoleh dari penggunaan terumbu karang, termasuk manfaat eksternalitas,

    dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh manfaat dari penggunaan

    terumbu karang, termasuk biaya eksternalitas, dalam kurun waktu tertentu serta

    mempertimbangkan faktor diskonto (discount rate).

  • III. PENGEMBANGAN MASYARAKAT PESISIR

    Konsep pengembangan masyarakat pesisir merefleksikan karakteristik wilayah

    pesisir, karakteristik masyarakat pesisir dan pengelolaan wilayah pesisir disatu pihak;

    dan konsep pengembangan masyarakat secara umum. Jadi terjadi irisan (intersection)

    antara komponen-komponen tersebut, sehingga secara spesifik dapat membedakan

    antara pengembangan masyarakat petani atau masyarakat pedalaman lainnya.

    Konsep pengembangan masyarakat (community development) merupakan

    konsepsi yang dinamis, dimana pada awalnya masih sering dipertukarkan dengan istilah

    community work, community organisation, community action, community practice maupun

    community change (Ife, 2002), dimana konsep pengembangan masyarakat juga dapat

    dipandang dari sisi proses (Piterson, 1979), maupun pada sisi dinamika perubahan

    perubahan perencanaan (Wileden, 1970) atau bahkan sebagai proses, metode, program

    atau gerakan (Sanders, 1958). Sejalan dengan sejarahnya, maka pengembangan

    masyarakat juga mengalami evolusi pemahaman yang dituangkan dalam konsepsi-

    konsepsinya, baik dalam hal proses maupun keterlibatan kelembagaan.

    Konsep PBB (1960) menyatakan pengembangan masyarakat adalah proses

    yang memfasilitasi usaha yang dilakukan masyarakat sendiri dipadukan dengan

    kewenangan pemerintahnya untuk meningkatkan kondisi ekonomi, sosial dan budaya

    masyarakat. Sementara Poston (1962) membawa konsep perspektif internasional dan

    nasional yang luas menyangkut aktivitas populasi yang besar untuk meningkatkan

    kesejahteraan. Seperti halnya pada konsepsi sebelumnya, Brokensha dan Hidge (1968)

    menggaris bawahi adanya pergerakan yang terarah dan bersifat partisipatif dengan

    inisiatif oleh masyarakat. Secara lebih tajam dan jelas tercermin dalam konsep

    Cristenson dan Robinson (1980), bahwa dalam proses pengembangan masyarakat

    terjadi kerjasama masyarakat dalam bingkai pembagian keputusan untuk membangun

    inisiatif bersama.

    Pada fase berikutnya, keterlibatan masyarakat juga tetap disinggung

    (Twelvetrees, 1991). Sementara untuk kasus di Indonesia, van Beers dan Colley (1972)

    dalam kepentingan membangun persepsi tentang proses pengembangan masyarakat di

    Pulau Jawa, menekankan adanya terminologi membantu diri sendiri (assisted self help).

    Dalam kerangka yang lebih global dan lebih kini Ife (2002) mengajukan pengertian

    bahwa pengembangan masyarakat adalah suatu proses membangun atau membangun

    kembali struktur masyarakat dengan cara baru yang lebih memungkinkan untuk

  • mengubungkan, mengorganisasikan kehidupan sosial dan memenuhi kebutuhan

    manusia.

    Telaah konsepsi juga menunjukan secara historis terjadi perubahan keterlibatan

    kelembagaan serta cakupan. Namun demikian, konsepsi-konsepsi tersebut menunjukan

    konsistensi pelibatan proses dalam pengembangan masyarakat seperti kerterlibatan

    masyarakat (partisipasi), kerjasama, proses/ kegiatan terencana serta aspek intervensi

    (sosial, ekonomi dan budaya) dan tujuannya meningkatkan taraf hidup. Sehingga dalam

    konsepsi pengembangan masyarakat dimanapun, terminologi tersebut harus menjadi

    bagian yang elementer. Seperti telah disebutkan diawal, maka konsep pengembangan

    masyarakat pesisir juga harus merefleksikan konsep-konsep besar tersebut. Secara

    umum, pengembangan masyarakat pesisir adalah proses partisipatif yang terencana

    untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir.

    Secara praktis, pihak yang dapat dan mampu untuk mengembangkan

    masyarakat pesisir terdiri dari banyak pihak, baik pemerintah, lembaga masyarakat,

    perguruan tinggi atau perusahaan (swasta). Oleh karena itu, dalam kaitan dengan

    pengetrian pengembangan masyarakat perlu ditambahkan unsur pelaku yang jelas.

    Untuk mengakomodasikan kepentingan ini, maka pengertian pengembangan

    masyarakat pesisir dapat dinyatakan sebagai :

    upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir secara partisipatif yang terencana

    Berdasar pada pengertian ini, maka terdapat unsur-unsur pokok yang perlu

    dielaborasi lebih lanjut. Unsur-unsur tersebut meliputi unsur partisipatif, terencana dan

    meningkatkan kualitas hidup. Partisipatif dalam konsep ini mempersyaratkan bahwa

    sasaran program terlibat baik dalam proses perencanaan sampai dengan evaluasi.

    Namun demikian, evaluasi yang melibatkan masyarakat, dilakukan pada program dan

    komponen program yang telah direncanakan dan disepakati oleh masyarakat.

    Sementara itu, terencana, menunjukkan bahwa program pengembangan

    masyarakat adalah kegiatan yang telah terencana sebelumnya, sehingga dapat

    menjamin keberlanjutan hasil program. Sedangkan pengertian meningkatkan kualitas

    hidup masyarakat merupakan konsepsi yang luas, yang idealnya mencakup pada

    seluruh aspek kehidupan masyarakat. Oleh karenanya secara umum, pengembangan

    masyarakat pesisir mencakup kegiatan phisik dan non phisik, dimana intervensi program

  • pada masyarakat dapat dikelompokan menjadi infrastruktur (fisik dan non fisik),

    pelayanan dan pengembangan kapasitas.

    3.1 Prinsip-prinsip Pengembangan Masyarakat Pesisir

    Secara teoritis, pendekatan program pengembangan masyarakat dikelompokan

    dalam dua kelompok besar (Twelvetrees, 1991 dalam Suharto, 2005) yaitu profesional

    (tradisional, netral, teknikal) dan radikal (transformasional). Kedua pendekatan tersebut

    mempunyai perspektif dan tujuan yang berbeda. Pada pendekatan profesional

    perspektifnya adalah merawat, mengorganisasikan dan membangun masyarakat

    dengan tujuan meningkatkan kesadaran dan inisiatif masyarakat, serta memperbaiki

    pelayanan sosial pada kelas sosial yang ada. Sementara pada pendekatan radikal lebih

    ditekankan pada aksi masyarakat, baik berdasar kelas, jender atau ras untuk

    meningkatkan kesadaran, memecahkan masalah ketertindasan dan membangun

    strategi dan kerjasama melakukan perubahan sosial. dan kelompok.

    Secara konseptual, model pengembangan masyarakat juga dapat dikelompokan

    menjadi pengembangan masyarakat lokal, perencanaan sosial dan aksi sosial

    (Rothman, 1968 dalam Suharto, 1997), dimana masing-masing model mempunyai

    indikator dan tujuan yang berbeda pada setiap parameternya. Namun pada prakteknya,

    ketiga model tersebut saling berinteraksi satu sama lain di lapangan. Meski, secara de

    jure sumberdaya di wilayah pesisir tergolong controlled access, pada kenyataannya

    secara de facto sebagian sumberdaya yang berada di wilayah pesisir bersifat terbuka

    atau dapat dimanfaatkan oleh siapapun (open access resources), sehingga

    pemanfaatannya seringkali menimbulkan konflik. Peningkatan jumlah pemanfaat

    sumberdaya (user) dan semakin terbatasnya sumberdaya dapat menurunkan tingkat

    kesejahteraan masyarakat pesisir sebagai pengguna sumberdaya tersebut. Pengaturan

    kuantitas pemanfaatan sumberdaya agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan

    seringkali tidak berhasil akibat sulitnya mengatur pengguna sumberdaya yang bersifat

    open access. Berdasarkan uraian tersebut, program pengembangan masyarakat harus

    didukung oleh pembentukan kelembagaan yang mampu mengatur pemanfaatan

    sumberdaya. Kelembagaan yang dimaksud tidak harus kelembagaan baru, tetapi dapat

    menggali dan menghidupkan kembali kelembagaan lokal (local wisdom) yang pernah ada

    dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya pesisir.

  • Sumberdaya pesisir, terutama sumberdaya hayati perairan, merupakan

    sumberdaya yang dinamis dalam ruang dan waktu. Ini berarti ketersediaan sumberdaya

    hayati pesisir bersifat musiman karena proses rekruitmen dan migrasi. Proses

    rekruitmen pada berbagai jenis sumberdaya hayati pesisir yang berbeda waktu

    menyebabkan masyarakat pesisir harus menyediakan teknik pemanfaatan sumberdaya

    yang berbeda antar waktu. Migrasi sumberdaya hayati pesisir menyebabkan

    keterbatasan ketersediaan sumberdaya pada tempat dan kurun waktu tertentu serta

    keterbatasan jangkauan pengelolaan sumberdaya. Sifat sumberdaya pesisir

    sebagaimana yang telah diuraikan tersebut mengakibatkan resiko yang relatif tinggi

    harus dihadapi masyarakat pesisir dalam pemenuhan kebutuhannya.

    Struktur masyarakat pesisir seringkali terkait dengan penguasaan modal

    sehingga hampir seluruh kegiatan masyarakat pesisir dikendalikan oleh pemilik modal,

    baik secara langsung maupun tidak langsung. Pola hubungan masyarakat pesisir seperti

    ini terlihat dalam bentuk hubungan patron klien yang umumnya mengikat sangat kuat

    sehingga intervensi program pemberdayaan masyarakat harus menyentuh kedua

    lapisan masyarakat pesisir tersebut. Selain sebagai penguasa modal, lapisan

    masyarakat atas (patron) juga berperan sebagai penanggung resiko (risk taker) dalam

    pemanfaatan sumberdaya pesisir. Kegagalan usaha pemanfaatan sumberdaya hayati

    pesisir ditanggung oleh pemilik modal, walaupun kemudian dihitung dalam bagi hasil

    secara tidak langsung pada usaha berikutnya.

    Sifat sumberdaya pesisir dan pola hubungan masyarakat pesisir sebagaimana

    diuraikan di atas telah membentuk kebiasaan cash and carry dalam masyarakat pesisir.

    Usaha pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan harus menghasilkan uang sedapat

    mungkin pada saat yang bersamaan atau dalam tempo secepat mungkin. Tidaklah

    mengherankan bila di beberapa daerah pesisir terdapat kegagalan dalam program

    pengalihan mata pencaharian berbasis budidaya karena mengharuskan waktu tunggu

    yang cukup lama. Namun demikian, kegiatan pengolahan sumberdaya primer seperti

    pengolahan ikan menjadi ikan kering dan pengolahan kelapa menjadi kopra, mampu

    menghasilkan uang dalam waktu relatif cepat sehingga menjadi harapan alternatif mata

    pencaharian bagi masyarakat pesisir.

    Ife (2002) mengembangkan prinsip-prinsip dasar pengembangan masyarakat

    secara umum yang meliputi domain yang sangat luas, dimana prinsip-prinsip tersebut

  • asar dapat dikelompokan menjadi prinsip ekologis, keadilan sosial, unsur lokal,

    memperhatikan proses dan sesuai dengan prinsip nasional dan global. Secara

    mendasar, pengembangan masyarakat pesisir harus memenuhi kriteria-kriteria umum

    yang menyentuh aspek :

    1. Filosofis : menyentuh prinsip-prinsip dasar pengembangan masyarakat (ekololgis, keadilan sosial, memasukan unsur lokal, memperhatikan proses sesuai dengan prinsip lokal (nasional) dan global).

    2. Yuiridis : sesuai dengan regulasi yang ada 3. Sosiologis : dapat diterima oleh masyarakat dan tidak menimbulkan gejolak.

    Berdasarkan kerangka pemikiran kriteria umum diatas serta adanya rujukan prinsip

    dasar yang dikembangkan oleh Ife (2002), maka pengembangan masyarakat pesisir

    dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut :

    1. Partisipatif; menjamin agar masyarakat pesisir mempunyai peran serta baik pada

    tahap perencanaan, pengorganisasian, maupun pengawasan/ pengendalian dalam

    pelaksanaan program.

    2. Berkelanjutan : menjamin kelangsungan aktivitas dari pengembangan masyarakat

    dengan mempertimbangkan nilai lokal dan daya dukung sosial, sumberdaya dan

    lingkungan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara gradual.

    3. Kontinuitas: program pengembangan masyarakat pesisir bersifat terencana dan terus

    menerus serta saling terkait antar periode waktu pelaksanaan (multi years).

    4. Akuntabilitas; pengembangan masyarakat pesisir dilakukan secara terbuka dan dapat

    dipertanggung jawabkan baik secara substansi keilmuan maupun dan mekanisme

    administrasi.

    5. Keterpaduan dan kemitraan; mensinergikan program pengembangan masyarakat

    dengan program-program yang dikembangkan pemerintah maupun lembaga

    masyarakat lainnya yang sejalan dengan misi pengembangan masyarakat pesisir.

    6. Holistik : meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat pesisir (ekologis, sosial,

    ekonomi dan budaya).

    7. Pemberdayaan : adalah mendukung masyarakat pesisir untuk mendapatkan

    sumberdaya, kesempatan, ekspresi, pengetahuan dan keterampilan untuk

    meningkatkan kapasitasnya agar mampu menentukan masa depannya dan dapat

    berpengaruh pada kehidupan masyarakatnya.

  • 8. Kepastian hukum; program pengembangan masyarakat pesisir tidak bertentangan

    dengan hukum yang berlaku.

    3.2 Contoh Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Terumbu Karang: Program

    Rehabilitasi Karang dan Perlindungan Fungsi Kawasan Konservasi Taman Nasional

    Kepulauan Seribu Secara Mandiri

    Kelurahan Pulau Panggang merupakan salah satu produsen karang dan ikan

    hias. Namun masuknya Kelurahan Pulau Panggang dalam Zona Taman Nasional

    Kepulauan Seribu menyebabkan dilarangnya pengambilan karang hias langsung dari

    alam. Adanya larangan tersebut menyebabkan terjadinya pengambilan karang illegal

    dan perselisihan antara nelayan karang hias dengan pihak Balai TNKS. Mengatasi

    keadaan ini TNKS mengadakan sebuah program rehabilitasi karang.

    Program rehabilitasi karang secara mandiri ini merupakan salah satu program

    yang diadakan Balai TNKS dengan melibatkan kerjasama antara pihak swasta,

    masyarakat dan pihak Balai TNKS dalam merehabilitasi karang yang telah rusak di Zona

    Pemukiman Taman Nasional Kepulauan Seribu. Adapun kegiatannya dilakukan dengan

    melakukan rehabilitasi alami dan semi alami. Kegiatan tersebut dilakukan sepenuhnya

    oleh masyarakat melalui usaha budidaya karang untuk komersial. Penetapan lokasi

    transplantasi rehabilitasi karang alami dan semi alami dilakukan oleh Balai TNKS,

    berdasarkan pertimbangan masyarakat dan pihak terkait lainnya.

    Usaha budidaya ini dilakukan dengan menggunakan teknik transplantasi karang,

    dimana masyarakat memberikan iklim kondusif kepada karang induk sehingga karang

    induk dapat spawning dan menyebarkan bakal anakan disekitarnya. Kemudian karang

    induk dipotong sehingga menghasilkan fragmen anakan karang generasi pertama yang

    akan diperdagangkan. Setelah 6 kali propagasi kemudian karang induk dikembalikan

    atau dilepas ke alam terutama pada daerah yang sangat rusak atau rusak. Berdasarkan

    hasil wawancara dengan nelayan pembudidaya dalam program rehabilitasi ini pihak

    swasta berperan dalam penyediaan modal, teknologi dan pasar. Hasil yang diperoleh

    dari 4 model skala usaha diperoleh sebagai berikut:

    a. Skala Usaha 1 dengan total biaya sebesar Rp 16.112.852,40, penerimaan

    sebesar Rp 18.136.363,44, dan keuntungan sebesar Rp 2.023.511,04,

  • b. Skala Usaha 2 dengan total biaya sebesar Rp 18.220.749,84, penerimaan

    sebesar Rp 22.750.000,00, dan keuntungan sebesar Rp 4.529.250,16,

    c. Skala Usaha 3 dengan total biaya sebesar Rp 28.289.070,40, penerimaan

    sebesar Rp 36.000.000,00, dan keuntungan sebesar Rp 7.710.929,60,

    d. Skala Usaha 4 dengan total biaya sebesar Rp 51.225.450,00, penerimaan

    sebesar Rp 72.000.000,00, dan keuntungan sebesar Rp 20.774.550,00.

    Secara umum usaha budidaya ini belum berjalan seperti yang diharapkan

    dikarenakan masih terdapat beberapa permasalahan baik dari aspek teknis, ekonomi

    dan sosial. Permasalahan teknis diantaranya masih terdapat nelayan pembudidaya

    yang mengambil bibit diatas ketentuan yang telah ditetapkan yaitu sebesar 30% dari

    karang donor. Pengambilan bibit lebih dari 30% karang donor menyebabkan kerusakan

    bahkan kematian terhadap karang donor. Beberapa pembudidaya yang melakukan hal

    tersebut biasanya untuk mempermudah dan menghemat biaya, tetapi hal ini justru

    malah akan merusak sumberdaya terumbu karang. Oleh karena itu, dibutuhkan

    pengawasan lebih dalam pengambilan karang donor ini. Permasalahan kedua dalam

    pemilihan lokasi. Terdapat nelayan yang membudidayakan karang terlalu jauh dari

    lokasi sehingga sering terjadi kehilangan dan beberapa nelayan membudidayakan pada

    daerah yang tidak terlindung dari gelombang.

    Permasalahan ketiga ditemukan pada penandaan karang karena banyak

    ditemukan karang tak bertaging pada beberapa pembudidaya, hal ini akan mempersulit

    dalam pengawasan karena akan menimbulkan ketidakjelasan waktu tanam karang

    tersebut. Permasalahan keempat mengenai pemeliharaan pemeliharaan dimana

    terdapat beberapa pembudidaya yang kurang merawat karangnya sehingga

    menimbulkan tingkat kematian karang dalam jumlah besar. Kemudian mengenai umur

    tanam karang seperti pada beberapa responden masih terdapat karang yang telah

    ditanam sesuai ukuran jual dan diambil sebelum waktu panen. Terakhir dalam hal

    pengepakan, sebagian besar nelayan menggunakan cara pengepakan tanpa kantong

    plastik sedangkan cara pengepakan ini mengakibatkan banyaknya karang yang rusak

    ketika sampai ke perusahaan mitranya dan ini menyebabkan banyak karang terbuang

    dan tidak laku untuk dipasarkan. Namun, kekurangan packing dengan kantong plastik

    adalah memakan biaya cukup besar, terutama dalam biaya packing serta ongkos kirim.

  • Hal tesebut disebabkan pola pengepakan yang memakan banyak tempat. Namun

    secara ekonomi justru dengan pengepakan yang baik produksi karang lebih efisien dan

    efektif karena karang hasil budidaya tidak akan stress dan rusak sehingga tingkat

    kematian karang akan menurun dan karang lebih berkualitas.

    Keberhasilan usaha budidaya di Kelurahan Panggang ini tidak hanya dapat

    dilihat secara teknis atau ekonomi. Suatu usaha budidaya dapat dikatakan berhasil juga

    dilihat dari aspek sosialnya berupa hubungan sosial masyarakat dengan pihak

    perusahaan serta dengan pihak lembaga atau Balai TNKS. Jika dilihat dari aspek sosial

    program rehabilitasi memiliki beberapa kekurangan terutama dalam pola hubungan

    antara perusahaan karang hias sebagai bapak angkat dengan nelayan pembudidaya.

    Hal ini merupakan salah satu faktor yang dialami oleh beberapa nelayan pembudidaya

    sehingga tidak dapat menjalankan usaha budidaya karang. Hubungan sosial antara

    nelayan dan perusahaan yang bermasalah di Kelurahan Panggang pada dasarnya

    dikarenakan rasa ketidak percayaan. Rasa ketidak percayaan muncul karena kurangnya

    keterbukaan dan komunikasi antara nelayan dan pembudidaya. Sehingga hubungan

    patron-klien tanpa rasa kepercayaan dan komunikasi yang kuat malah hanya akan

    merugikan pihak nelayan pembudidaya sebagai klien yang membutuhkan patron dalam

    membangun usaha.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Barton, D. N. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources.

    SMR-report 14/94. Centre for Studies of Environment and Resources, University

    of Bergen, Norway.

    Bunce, L. L., and Kent R. Gustavson. 1998. Coral reef valuation: a rapid socioeconomic

    assessment of fishing, water-sports, and hotel operations in the Montego bay

    marine park, Jamaica and an analysis of reef management implications. World

    Bank Research Committee Project #RPO 681-05

    Cesar, H. S. J. 1996. Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs. Working Paper

    Series. World Bank, Washington DC.

    Ministry of Marine Affair and Fisheries Republic of Indonesia (MMAF). 2001. Country

    Status Overview (CSO): Exploitation and Trade of Reef Fishery in Indonesia.

    MMAF, International Marine Alliance (IMA) and Telapak Foundation. Jakarta.

    Suharsono. 2001. Condition of Coral Reef Resource in Indonesia. Oceanological

    Research and Development Centre, Indonesian Science Agency. Paper

    presented in International Workshop on the Trade in Stony Corals: Development of

    sustainable management guidelines. Jakarta, April 9-12, 2001.

    Spurgeon, J. P. G. 1992. The economic valuation of coral reefs. Mar. Poll. Bull. 24 (11):

    529-536. Elsevier Science Ltd. Pergamon.

    Wallace, C. C., Z. Richards, and Suharsono. 2001. Regional Distribution Patterns of

    Acropora and Their Use in the Conservation of Coral Reefs in Indonesia.

    Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. 4(1):40-58

    Agustono. 1996. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove bagi Masyarakat (Studi Kasus di Muara

    Cimanuk, Indramayu). Tesis Magister Sains (Tidak Dipublikasikan). Program

    Pascasarjana IPB. Bogor.

    Barton, D. N. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources.

    SMR-report 14/94. Center for Studies of Environment and Resources, University

    of Bergen. Norway.

    Burbridge, P. R. and J. E. Maragos. 1985. Coastal Resources Management and

    Environmental Assesment Needs for Aquatic Resources development in

    Indonesia. International Institute for Environment and Development. Washington

    DC. USA.

    Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya

    Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta.

  • Dixon, J. A. dan M. M. Hufschmidt. 1991. Teknik Penilaian Ekonomi terhadap

    Lingkungan. Suatu Buku Kerja Studi Kasus. Gadjah Mada University Press.

    Yogyakarta

    Fahrudin, Achmad. 1996. Analisis Ekonomi Pengelolaan Lahan Pesisir di Kabupaten

    Subang, Jawa Barat. Tesis Magister Sains (Tidak Dipublikasikan). Program

    Pascasarjana IPB. Bogor.

    Lindeboom, H. J. and J. J. Sandee. 1989. Production and Consumption of Tropical Seagrass Fields in Easterm Indonesia. Measured with Bell Jars and Microelectrodes. Netherland Journal of Sea Research. 23: 181-190.

    Mann, K. H. 1982. Ecology of Coastal Waters: A System Approach. Blackwell Scientific

    Publ. Univ. of Calif. Press, Los Angeles