Referat Edema Paru
description
Transcript of Referat Edema Paru
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal jantung merupakan diagnosa utama pada pasien rawat inap di rumah
sakit sebesar 1 juta orang per tahun di Amerika Serikat dan Eropa, dan angka
kematiannya di rumah sakit meningkat dari 4% menjadi 36% pada kasus
berat yang membutuhkan ventilasi mekanik (Gheorghiade et al. 2012;
Ursella et al, 2007). Pasien dengan gagal jantung akut dapat hadir berupa
edema paru akut kardiogenik yang merupakan bentuk hipoksemia dari
kegagalan pernafasan akut (Gray et al, 2009).
Masuknya cairan ekstravaskular ke dalam paru merupakan masalah
klinis yang penting. Ini merupakan manifestasi klinis dari penyakit penyerta
yang serius. Edema paru dapat di terapi, tetapi terapi yang efektif adalah untuk
menyelamatkan pasien dari gangguan yang mendasari keseimbangan cairan paru.
Penyebab gangguan sering dapat diketahui, dan dikoreksi. Karena terapi yang
efektif dan rasional bergantungpada prinsip dasar dari normal dan tidaknya
distribusi cairan di paru.
Edema paru akut kardiogenik merupakan keadaan darurat medis yang
menyumbang hingga 15.000-20.000 orang masuk rumah sakit per tahun di
Inggris. Angka kematiannyapun cukup tinggi sebesar 10-20% terutama pada
pasien berkaitan dengan infark miokard akut (Alasdair et al, 2008).
Edema paru dibedakan oleh karena sebab kardiogenik dan non-kardiogenik.
Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya juga berbeda. Edema
paru kardiogenik disebabkan oleh gagal jantung kiri apapun sebabnya. Edema
parukardiogenik yang akut disebabkan oleh gagal jantung kiri akut.
Sedangkan untuk edema paru non-kardiogenik disebabkan oleh penyakit dasar
di luar jantung.
Pada referat ini akan dibahas definisi, patogenesis, gambaran klinis,
gambaranradiologis, diagnosis, dan penatalaksanaan pada edema paru.
II. PEMBAHASAN
II.1 Gagal Jantung Akut
II.1.1 Definisi dan Klasifikasi
Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai suatu kelainan struktur atau
fungsi jantung yang menyebabkan kegagalan jantung untuk
menghantarkan oksigen yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan meskipun tekanan pengisian normal (atau hanya
terjadi peningkatan tekanan pengisian). Gagal jantung secara klinis
didefinisikan sebagai sindrom dengan gejala (misalnya sesak napas,
pembengkakan kaki, dan kelelahan) dan tanda-tanda yang khas
(misalnya tekanan vena jugularis meningkat, ronkhi pada paru, dan
pelebaran iktus jantung) akibat kelainan struktur atau fungsi jantung
(Dickstein et al, 2008; ESC, 2012).
Gagal jantung akut adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan serangan cepat dari gejala-gejala atau tanda tanda
dari gagal jantung yang memerlukan penanganan medis segera dan
biasanya menyebabkan pasien harus masuk rumah sakit secepatnya.
Kondisi ini mengancam jiwa pasien dan gagal jantung akut dapat
berupa acute de novo (serangan baru dari gagal jantung akut,
tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau dekompensasi akut
dari gagal jantung kronik (Gheorghiade et al, 2012). Pada pasien
yang telah menderita gagal jantung, sebelumnya apabila terjadi gagal
jantung akut biasanya terdapat faktor pencetus (misalnya aritmia atau
penghentian terapi diuretik pada pasien gagal jantung dengan ejection
fraction yang rendah, overload cairan atau hipertensi berat (ESC,
2012)
II.1.2 Patofisiologi dan Patogenesis
Gagal jantung merupakan manifestasi akhir dari kebanyakan
penyakit jantung. Pada disfungsi sistolik, kapasitas ventrikel
untuk memompa darah terganggu karena gangguan kontraktilitas
otot jantung yang dapat disebabkan oleh rusaknya miosit,
abnormalitas fungsi miosit atau fibrosis, serta akibat pressure
overload yang menyebabkan resistensi atau tahanan aliran sehingga
stroke volume menjadi berkurang. Sementara itu, disfungsi
diastolik terjadi akibat gangguan relaksasi miokard, dengan
kekakuan dinding ventrikel
dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan
pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering disfungi
diastolik adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan
hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofi.
Disfungsi sistolik lebih sering terjadi yaitu pada 2/3 pasien gagal
jantung. Namun ada juga yang menunjukkan keduanya, baik
disfungsi sistolik maupun diastolik (Gheorghiade et al, 2005).
Beberapa mekanisme kompensasi alami akan terjadi pada pasien
gagal jantung sebagai respon terhadap menurunnya curah jantung
serta untuk membantu mempertahankan tekanan darah yang cukup
untuk memastikan perfusi organ yang cukup. Mekanisme tersebut
antara lain(Gheorghiade et al, 2005; McCance, 2006):
a. Mekanisme Frank Starling
Menurut hukum Frank-Starling, penambahan panjang serat
menyebabkan kontraksi menjadi lebih kuat sehingga curah
jantung meningkat.
b. Perubahan neurohormonal
Salah satu respon neurohumoral yang terjadi paling awal
untuk mempertahankan curah jantung adalah peningkatan
aktivitas sistem saraf simpatis. Katekolamin menyebabkan
kontraksi otot jantung yang lebih kuat (efek inotropik positif)
dan peningkatan denyut jantung. Sistem saraf simpatis juga turut
berperan dalam aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron
(RAA) yang bersifat mempertahankan volume darah yang
bersirkulasi dan mempertahankan tekanan darah. Selain itu
dilepaskan juga counter-regulator peptides dari jantung
seperti natriuretic peptides yang mengakibatkan terjadinya
vasodilatasi perifer, natriuresis dan diuresis serta turut
mengaktivasi sistem saraf simpatis dan sistem RAA.
c. Remodeling dan hipertrofi ventrikel
Dengan bertambahnya beban kerja jantung akibat
respon terhadap peningkatan kebutuhan maka terjadi berbagai
macam remodeling termasuk hipertrofi dan dilatasi. Bila hanya
terjadi peningkatan muatan tekanan ruang jantung
atau pressure overload (misalnya pada hipertensi, stenosis
katup), hipertrofi ditandai dengan peningkatan diameter setiap
serat otot. Pembesaran ini memberikan pola hipertrofi
konsentrik yang klasik, dimana ketebalan dinding ventrikel berta
mbah pada penambahan ukuran ruang jantung. Namun, bila
pengisian volume jantung terganggu (misalnya pada regurgitasi
katup atauada pirau) makapanjang serat jantung juga bertambah
yang disebut hipertrofieksentrik, dengan penambahan
ukuran ruang jantung dan ketebalan dinding.
II.1.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis gagal jantung akut sangat banyak, dan kadang
tumpang tindih dengan manifestasi klinis yang lain, dan
penanganannya pun bisa sangat berbeda sehingga klasifikasi apapun
akan memiliki keterbatasan (ESC, 2008).
1. Gagal jantung dekompensasi
akut (de novo atau sebagai dekompensasi gagal jantung kronik)
dengan tanda-tanda dan gejala ringan dari gagal jantung akut dan
tidak memenuhi kriteria untuk syok kardiogenik, edema paru atau
krisis hipertensi. Tekanan darah yang rendah pada awal masuk
rumah sakit berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk.
2. Gagal jantung akut hipertensi yaitu gagal jantung yang
disertai tekanan darah tinggi dan gangguan fungsi jantung relatif
dan pada foto toraks terdapat tanda-tanda edema paru akut.
Terdapat bukti terjadinya peningkatan simpatis dengan takikardi
dan vasokonstriksi. Pasien mungkin euvolumik atau sedikit
hipervolumik. Apabila pada pasien ini mendapat terapi yang tepat
secepatnya maka angka kejadian mortalitas di rumah sakit rendah.
3. Edema paru yang diperjelas dengan foto toraks. Dimana pasien
datang dengan gangguan pernafasan berat, takipneu, ortopnea dan
terdapat ronki yang luas. Saturasi oksigen biasanya kurang dari
90% pada udara ruangan sebelum mendapatkan terapi oksigen.
4. Syok kardiogenik ditandai dengan penurunan tekanan darah
sistolik kurang dari 90 mmHg atau berkurangnya tekanan arteri
rata-rata lebih dari 30 mmHg dan atau penurunan pengeluaran urin
kurang dari 0,5 ml/kgBB/jam, frekuensi nadi lebih dari 60 kali per
menit dengan atau tanpa adanya kongesti organ.
5. Gagal jantung kanan yang ditandai dengan sindrom low output,
peninggian tekanan vena jugularis, pembesaran hati dan hipotensi.
6. Sindroma koroner akut dan gagal jantung. Banyak pasien dengan
gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dan bukti
laboratorium yang mengarah ke sindrom koroner akut. Sekitar 15%
dari pasien sindroma koroner akut memiliki tanda dan gejala gagal
jantung. Episode gagal jantung akut sering berhubungan atau
dipicu oleh aritmia (bradikardia, fibrilasi atrium dan ventrikel
takikardia)
Gambar 1. Klasifikasi Klinis Gagal Jantung Akut (dikutip dari ESC, 2008)
Ada beberapa klasifikasi lain gagal jantung akut yang bisanya dipakai
diperawatan intensif untuk menilai beratnya gagal jantung akut yaitu
klasifikasi Killip yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan foto toraks,
klasifikasi Forrester yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan
karakteristik hemodinamik. Klasifikasi ini cocok pada infark jantung
akut. Klasifikasi yang ketiga yang merupakan modifikasi dari klasifikasi
Forrester (gambar 2.2) yang berdasarkan sirkulasi perifer (perfusion) dan
auskultasi paru (congestion) (Daulat, 2009; ESC, 2008).
Gambar 2. Klasifikasi Klinis Berdasarkan Modifikasi Klasifikasi Forrester (dikutip dari ESC,
2008)
II.2 Edema Paru
II.2.1 Definisi
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di intersisial dan alveolus
paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh
tekanan intravaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak)
yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat
sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif
dan mengakibatkan hipoksia (Harun dan Saly, 2009; Soemantri 2011).
Edema paru terjadi dikarenakan aliran cairan dari pembuluh darah ke
ruangin tersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran
cairan kembali kedarah atau melalui saluran limfatik(Nadel,2000)
Edema paru terjadi ketika cairan yang disaring ke paru lebih cepat dari
cairan yang dipindahkan. Penumpukan cairan menjadi masalah serius
bagi fungsi parukarena efisiensi perpindahan gas di alveoli tidak bisa
terjadi. Struktur paru dapatmenyesuaikan bentuk edema dan yang
mengatur perpindahan cairan dan protein di paru menjadi masalah yang
klasik(3)
Peningkatan tekanan edema paru disebabkan oleh meningkatnya
keseimbangankekuatan yang mendorong filtrasi cairan di paru. Fitur
penting dari edema ini adalahkeseimbangan aliran cairan dan protein
ke dalam paru utuh secara fungsional.Peningkatan tekanan edema
sering disebut kardiogenik, tekanan tinggi, hidrostatik,atau edema paru
sekunder tapi lebih efektifnya disebut keseimbangan edema
paruterganggu karena tahanan keseimbangan pergerakan antara cairan
dan zat terlarut didalam paru(Nadel,2000)
II.2.2 Patofisiologi
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi
ketika cairan dari bagian dalam pembuluh darah merembes kedalam
jaringan sekelilingnya,menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi
karena terlalu banyak tekanan dalampembuluh darah atau tidak ada
cukup protein dalam aliran darah untuk menahancairan dalam plasma
(bagian dari darah yang tidak mengandung sel-sel darah(3,4)
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di
paru. Areayang ada diluar pembuluh darah kapiler paru ditempati oleh
kantong-kantong udarayang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini
adalah tempat dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang
melaluinya, dan karbondioksida dalam darah dikeluarkan kedalam
alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai
dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan
cairan biasanyadijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dinding ini
kehilangan integritasnya. Edemaparu terjadi ketika alveoli dipenuhi
dengan cairan yang merembes keluar daripembuluh darah dalam paru
sebagai ganti udara. Ini dapat menyebabkan persoalanpertukaran gas
(oksigen dan karbondioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan
oksigenasi darah yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai
“airdi dalam paru” ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien
(3,4).
Faktor-faktor yang membentuk dan merubah formasi cairan di luar
pembuluhdarah dan di dalam paru di tentukan dengan keseimbangan
cairan yang dibuat oleh Starling.
Qf = Kf ⌠(Pmv –Ppmv)–σ(πmv-πpmv)⌡
Qf = aliran cairan transvaskuler;
Kf = koefisien filtrasi;
Pmv = tekananhidrostatik pembuluh kapiler;
Ppmv = tekanan hidrostatik pembuluh kapilerintersisial;
σ = koefisien refleksi osmosis;
πmv = tekanan osmotic protein plasma;
πpmv = tekanan osmotic protein intersisial(4)
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada
Peningkatantekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi
ventrikel kiri (stenosis mitral);Peningkatan tekanan vena paru
sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri;Peningkatan
tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan
arteripulmonalis (4)
Penurunan tekanan onkotik plasma pada hipoalbuminemia sekunder
olehkarena penyakit ginjal, hati, atau penyakit nutrisi (4).Peningkatan
tekanan negatif interstisial pada pengambilan terlalu
cepatpneumotorak atau efusi pleura (unilateral); Tekanan pleura yang
sangat negatif olehkarena obstruksi saluran napas akut bersamaan
dengan peningkatan volume akhirekspirasi (asma)(4)
II.2.3 Klasifikasi
Edema paru dapat disebabkan oleh banyak faktor yang berbeda. Ia
dapatdihubungkan dengan gagal jantung, disebut cardiogenic
pulmonary edema (edema paru kardiak), atau dihubungkan pada
sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema
(edema paru nonkardiak) (Nadel,2000)
Diagnosis Banding Edema Paru Kardiak dan Nonkardiak (Nadel,2000)
Secara patofisiologi penyakit dasar penyebab edema paru kardiak
dibagimenjadi 3 kelompok :
1. Peningkatan afterload (Pressure overload) : terjadi beban yangberlebihan
terhadap ventrikel pada saat sistolik. Contohnya ialah hipertensi
danstenosis aorta;
2. Peningkatan preload (Volume overload) : terjadi beban yangberlebihan
saat diastolik. Contohnya ialah insufisiensi mitral, insufisiensi aorta, dan
penyakit jantung dengan left-to-right shunt (ventricular septal defect);
3. Gangguan kontraksi otot jantung primer : pada infark miokard akut
jaringan otot yang sehatberkurang, sedangkan pada
kardiomiopati kongestif terdapat gangguan kontraksi otot jantung secara
umum (2,4)
Penyebab edema paru non kardiak secara patofisiologi dibagi menjadi:
1. Peningkatan permeabilitas kapiler paru (ARDS) : tenggelam, inhalasi
bahan kimia,dan trauma berat;
2. Peningkatan tekanan kapiler paru : pada sindrom vena kavasuperior,
pemberian cairan berlebih, dan transfusi darah; penurunan tekanan
onkotik plasma : sindrom nefrotik dan malnutrisi(5)
2.2.4 Gambaran klinis
Gambaran klinis dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan
radiografi(foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun
kenyataannya secaraklinik sukar dideteksi dini(6)
Stadium 1 ditandai dengan distensi pembuluh kapiler paru yang
prominen akanmemperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit
meningkatkan kapasitas difusi gasCO. Keluhan pada stadium ini
mungkin hanya berupa sesak napas saat bekerja.Pemeriksaan fisik
juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali ronki pada saatinspirasi
karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi(6)
Pada stadium 2 terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah
parumenjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur. Garis-
garis yang memanjangdari hilus ke arah perifer (garis Kerley A), septa
interlobularis (garis Kerley B) dangaris-garis yang mirip sarang laba-
laba pada bagian tengah paru (garis Kerley C)menebal. Penumpukan
cairan di jaringan intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas
bagian kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh
gravitasi.Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering
terdapat takipnea(6)
Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri,
tetapitakipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga
penumpukan cairanintersisial diperlambat. Pada pemeriksaan
spirometri hanya terdapat sedikitperubahan saja(6)
Pada stadium 3 terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadihipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak
sekali dengan batuk berbuihkemerahan. Kapasitas vital dan volume
paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left
intrapulmonary shunt (6).Penderita biasanya menderita hipokapnia,
tetapi pada kasus yang berat dapatterjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin harusdigunakan
dengan hati-hati(6).
Gangguan fungsi sistolik dan/atau diastolik ventrikel kiri, stenosis
mitral ataukeadaan lain yang menyebabkan peningkatan tekanan
atrium kiri dan kapiler paruyang mendadak tinggi akan menyebabkan
edema paru kardiak dan mempengaruhipemindahan oksigen dalam
paru sehingga tekanan oksigen arteri menjadi berkurang.Di lain pihak
rasa seperti tercekik dan berat pada dada menambah ketakutanpenderita
sehingga denyut jantung dan tekanan darah meningkat yang menghambatlebih
lanjut pengisian ventrikel kiri. Kegelisahan dan napas yang berat
semakinmenambah beban jantung yang selanjutnya lebih menurunkan
fungsi jantung olehkarena adanya hipoksia. Apabila lingkaran setan
ini tidak segera diputus penderitaakan meninggal(6).
Posisi penderita biasanya lebih enak duduk dan terlihat megap-megap.
Terdapatnapas yang cepat, pernapasan cuping hidung, tarikan otot
interkostal dansupraklavikula saat inspirasi yang menunjukkan
tekanan intrapleura yang sangatnegatif saat inspirasi. Penderita sering
berpegangan pada samping tempat tidur atau kursi supaya dapat
menggunakan otot pernapasan sekunder dengan balk.
Penderitamengeluarkan banyak keringat dengan kulit yang dingin dan
sianotik menunjukkanisi semenit yang rendah dan peningkatan
rangsang simpatik(6).
Auskultasi pada permukaan terdengar ronki basah basal halus yang
akhimya keseluruh paru, apabila keadaan bertambah berat: mungkin
terdengar pula wheezing.Auskultasi jantung mungkin sukar karena
suara napas yang ramai, tetapi seringterdengar suara 3 dengan suara
pulmonal yang mengeras(6).
2.2.5 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Edema paru kardiogenik merupakan gejala yang dramatik kejadian
gagal jantung kiri. Hal ini diakibatkan oleh gangguan pada jalur keluar
atrium kiri, peningkatan volume yang berlebihan di ventrikel kiri,
disfungsi diastolic atau sistolik dari ventrikel kiri atau obstruksi pada
pada jalur keluar pada ventrikel kiri. Peningkatan tekanan di atrium
kiri dan tekanan baji paru mengawali terjadinya edema paru
kardiogenik tersebut. Akibat akhir yang ditimbulkan adalah keadaan
hipoksia berat. Bersamaan dengan hal tersebut terjadi juga rasa takut
pada pasien karena kesulitan bernafas, yang berakibat peningkatan
denyut jantung dan tekanan darah sehingga mengurangi kemampuan
pengisian dari ventrikel kiri. Dengan peningkatan rasa tidak nyaman
dan usaha bernapas yang harus kuat akan menambah beban pada
jantung sehingga fungsi kardiak akan semakin menurun, dan
diperberat oleh keadaan hipoksia. Bila kejadian ini tidak diatasi
dengan segera, tingkat mortalitas edema paru kardiogenik masih
tinggi. (Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)
Manifestasi klinis dapat diketahui dari :
1. Anamnesis.
Edema paru kardiak berbeda dari ortopnea dan paroksismal
nocturnal dyspnea, karena kejadiannya yang bisa sangat cepat dan
terjadinya hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini
merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena
mereka merasa ketakutan, batu-batuk dan seperti seorang yang
akan tenggelam. Pasien biasnaya dalam posisi duduk agar dapat
mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat
respirasi, atau sedikit membungkuk ke depan, sesak hebat,
mungkin disertai sianosis, sering berkeringat dingin, batuk dengan
sputum yang berwarna kemerahan (frothy sputum).
2. Pemeriksaan fisik.
Dapat ditemukan frekuensi nafas yang meningkat, dilatasi alae
nasi, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela intercostal dan fossa
supraklavikula yang menunjukkan tekanan negative intrapleural
yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pada paru
akan terdengar ronki basah kasar setengah lapangan paru atau
lebih, sering disertai wheezing. Pemeriksaan jantung dapat
ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung II pulmonal
mengeras, dan tekanan darah dapat meningkat.
3. Radiologis.
Pada foto toraks menunjukkan hilus yang melebar dan densitas
meningkat disertai tanda bendungan paru, akibat edema interstisial
atau alveolar. (Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution, 2006)
Foto thoraks. Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan
X-ray dada. Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area
putih terpusat yang menyinggung jantung dan pembuluh-
pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral
column,dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai
bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi
oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada.X-ray dada yang
khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak
tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya.
Kasus-kasusyang lebih parah dari pulmonary edema dapat
menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-
paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang- bidang paru
yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai
akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan
informasi yang minimal tentang penyabab yang mungkin
mendasarinya.
Gambaran Radiologi yang ditemukan:
1. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vascular di hilus)
2. Coarakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
3. Kranialisasi vaskuler
4. Hilus suram (batas tidak jelas)
5. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil
atau nodul milier)
Gambar 3. Edema Intesrtitial. Gambaran underlying disease (kardiomegali,
efusi pleura, diafragma kanan letak tinggi).
Gambar 4. Kardiomegali dan edema paru
1. Infiltrat di daerah basal (edema basal paru)
2. Edema “butterfly” atau Bat’s Wing (edema sentral)
Gambar 3: Bat’s Wing
Edema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang mempunyai
kelainan sebelumnya, contoh: emfisema). (Faruq, 2012)
Gambar 2.5. Ilustrasi Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik(dikutip dari Cremers et al, 2010)
Gambar 2.6 Gambaran Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari Koga dan Fujimoto, 2009)
4. Laboratorium.
Kelainan pemeriksan laboratorium sesuai dengan penyakit dasar.
Uji diagnostic yang dapat dipergunakan untuk membedakan
dengan penyakit lain misalnya asma bronkial adalah pemeriksaan
kadar BNP (brain natriuretic peptide) plasma. Pemeriksaan ini
dapat dilakukan dengan cepat dan dapat menyingkirkan penyebab
dyspnea lain seperti asma bronkial akut. Pada kadar BNP plasma
yang menengah atau sedang dan gambaran radiologis yang tidak
spesifik, harus dipikirkan penyebab lain yang dapat
mengakibatkan terjadinya gagal jantung tersebut, misalnya
restriksi pada aliran darah di katup mitral yang harus dievaluasi
dengan pemeriksaan penunjang lain seperti ekokardiografi.
5. EKG.
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-
tanda iskemia atau infark pada infark miokard akut dengan edema
paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran elektrokardiografi
biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien
dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya
menunjukkan gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan
QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam
setelah klinis stabil dan menghiland dalam 1 minggu. Penyebab
dari keadaan non-iskemik ini belum diketahui tetapi ada beberapa
keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain:
iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan
tekanan pada dinding, peningkatan akut tonus simpatis kardiak
atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau
katekolamin. (Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)
6. Ekokardiografi.
Gambaran penyebab gagal jantung: kelainan katup, hipertrofi
ventrikel (hipertensi), segmental wall motion abnormally
(Penyakit Jantung Koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi
ventrikel kiri dan atrium kiri. Alat-alat diagnostik lain yang
digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari dari
pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-type
natriuretic peptide (BNP) atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah
penanda protein (hormon) yangakan timbul dalam darah yang
disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung.
Peningkatan dari BNP nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih
besar dari beberapa ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi
menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain, nilai-nilai
yang kurang dari 100 pada dasarnya menyampingkan gagal
jantung sebagai penyebabnya. Metode-metode yang lebih invasif
adakalanya diperlukan untuk membedakanantara cardiac dan
noncardiac pulmonary edema pada situasi-situasi yang lebih rumit
dan kritis. Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung
yang panjang dan tipis (kateter) yang disisipkan kedalam vena-
vena besar dari dada atau leher dan dimajukan melalui kamar-
kamar sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-
kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil
dari pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru). Alat ini
mempunyai kemampuan secara langsung dalam pembuluh-
pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure. Wedge
pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan
cardiogenic pulmonary edema, Sementara wedge pressure yang
kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-cardiogenic cause
of pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-Ganz dan
interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU)
setting.
2.2.6 Diagnosis Banding
a. Diagnosis banding dengan asma bronchial
Kadang-kadang sulit membedakan Edema Paru Kardiogenik
dengan Asma Bronkhiale yang berat, karena pada keduanya
terdapat sesak napas yang hebat, pulsus paradoksus, lebih enak
posisi duduk dan wheezing merata yang menyulitkan auskultasi
jantung. Pada Asma Bronkhiale terdapat riwayat serangan asma
yang sama dan biasanya penderita sudah tahu penyakitnya. Selama
serangan akut penderita tidak selalu banyak berkeringat dan
hipoksia arterial kalau ada tidak cukup menimbulkan sianosis.
Sebagai tambahan, dada nampak hiperekspansi, hipersonor dan
penggunaan otot pernapasan sekunder nampak nyata. Wheezing
nadanya lebih tinggi dan musikal, suara tambahan lain seperti
ronkhi tidak menonjol. Penderita Edema Paru Kardiogenik sering
mengeluarkan banyak keringat dan sianotik akibat adanya
desaturasi darah arteri dan penurunan aliran darah ke kulit. Perkusi
paru sering redup, tidak ada hiperekspansi, pemakaian otot
pernapasan sekunder juga tidak begitu menonjol dan selain
wheezing terdengar ronkhi basah. Gambaran radiologi paru
menunjukkan adanya gambaran edema paru yang membedakan
dengan asma bronkhiale. Setelah penderita sembuh, gambaran
edema paru secara radiologi menghilang lebih lambat
dibandingkan penurunan tekanan kapiler pasak Paru. (Braunwald
E Ingram RH Jr., 1988)
b. Diagnosis banding edema paru kardiogenik dan non
kardigenik
Untuk membedakan edema paru kardiogenik dengan edema paru
nonkardiogenik secara pasti ialah dengan mengukur tekanan
kapiler pasak pare dengan memasang kateter Swan-Ganz. Pada
penderita dengan tekanan kapiler pasak paru atau tekanan diastolik
arteri pulmonalis melebihi 25 mmHg (atau melebihi 30mmHg
pada penderita yang sebelumnya terdapat peningkatan kronik
tekanan kapiler pant) dan dengan gambaran klinik edema paru,
sangat mencurigakan edema paru kardiogenik.
2.2.7 Diagnosis Penyakit dasar
Secara patofisiologi penyakit dasar penyebab edema paru kardiogenik
dibagi menjadi 3 kelompok:
1. Peningkatan Afterload (Pressure overload):
Terjadi beban yang berlebihan terhadap ventrikel pada saat
sistolik. Contohnya ialah Hipertensi dan Stenosis Aorta.
2. Peningkatan preload (Volume overload):
Terjadi beban yang berlebihan saat diastolik. Contohnya ialah
Insufisiensi Mitral, Insufisiensi Aorta, dan penyakit jantung
dengan left-to-right shunt (Ventricular Septal Defect).
3. Gangguan Kontraksi Miokardium Primer:
Pada Infark Miokard Akut jaringan otot yang sehat berkurang,
sedangkan pada Kardiomiopati Kongestif terdapat gangguan
kontraksi miokardium secara umum. (Ruggie N, 1986)
2.2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu kita
caripenyakit yang mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang
sangatpenting dalam pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan
segera penyebabnya(3,6,9). Karena terapi spesifik tidak selalu dapat
diberikan sampai penyebab diketahui,maka pemberian terapi suportif
sangatlah penting. Tujuan umum adalahmempertahankan fungsi
fisiologik dan seluler dasar. Yaitu dengan cara memperbaiki
jalan napas, ventilasi yang adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan
tekanan darah dansemua sistem sirkulasi perlu ditinjau, infus juga
perlu dipasang(3,6,9).
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40–50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
Jikamemburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah,
PaO2 tidak bisadipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi
dan aliran tinggi, retensiCO2, hipoventilasi, atau tidak mampu
mengurangi cairan edema secaraadekuat), maka dilakukan intubasi
endotrakeal, suction, dan ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri
bila ada.
4. Diuretik Furosemid 40–80 mg IV bolus dapat diulangi atau
dosisditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai
dicapaiproduksi urine 1 ml/kgBB/jam.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4–
0,6 mg tiap5–10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa
diberikanNitrogliserin intravena mulai dosis 3–5 ug/kgBB. Jika
tidak memberi hasilmemuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid
IV dimulai dosis 0,1ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon
dengan nitrat, dosis dinaikkansampai didapatkan perbaikan klinis
atau sampai tekanan darah sistolik 85–90 mmHg pada pasien yang
tadinya mempunyai tekanan darah normal atauselama dapat
dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital(10).
6. Morfin sulfat 3–5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15
mg(sebaiknya dihindari).
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2–
5ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2–10 ug/kgBB/menit untuk
menstabilkanhemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon
klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat,
asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
III. PENUTUP
III.1Kesimpulan
Edema paru terjadi akibat aliran cairan dari darah ke ruang intersisial
melebihialiran cairan kembali ke darah dan saluran limfe. Dari penjelasan
diatas dapat diketahui patogenesis, gambaran klinis, gambaran radiologis,
diagnosis, danpenatalaksanaan pada edema paru.Penatalaksanaan pada pasien
dengan edema paru yaitu perbaiki jalan napas,ventilasi yang adekuat, dan
oksigenasi. Pemeriksaan tekanan darah dan semua sistemsirkulasi perlu
ditinjau, infus juga perlu dipasang.
III.2 Saran
Penulis mengaku di dalam referat ini masih banyak kekurangan, karena
itupenulis mengharap saran yang membangun dari dosen pembimbing dan
rekan-rekan guna perbaikan referat ini dan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nadel M, Boushey M, Textbook of respiratory medicine. 3rdedition, vol.
2,Philadelphia, Pennsylvania. 54:1575-1614, 2000.
2. Ruggie N. Congestive heart failure. Med. Clin. North Am. 70:829-851,
1986.
3. Staub NC: Pulmonary edema. Physiol Rev 54:678-811, 1974.
4. Fishman : Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume one,
UnitedStates, 593-617, 2008.
5. Braunwauld, Clinical aspect of heart failure; pulmonary edema. In :
Braunwauld.Heart Disease. A textbook of cardiovascular medicine. 6th
edition. WB Saunders;7:553, 2001.
6. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and non-
cardiogenic. In: Han Disease. Textbook of Cardiovascular
Medicine.BraunwaldE. (Ed). 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Co. 544-
60, 1988.
7. Staub NC: The measurement of lung water content. J Microw
Power 18:259-263, 1983.
8. Noble WH, Kay JC, Obdrzalek J: Lung mechanics in hypervolemic
pulmonaryedema. J Appl Physiol 38:681-687, 1975.
9. Klein HO, Brodsky E, Ninio R, et al; The effect of venous occlusion
withtourniquets on peripheral blood pooling and ventricular function.
Chest 103:521-527, 1993.
10. Stone JH. Pulmonary edema. In: Principle and Practice of Emergency
Medicine.Scwartz GR, Safar P, Stone JH, Storey PB, Wagner DK (eds.)
2nd ed.Philadelphia: Saunders Co. 944, 1986.
11. Gheorghiade Metal. Acute Heart Failure Syndromes: Current State and Framework for Future Research. AHA 2005; 112; 3958-3968.
12. ESC. 2008. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008. European Heart Journal (2008) 29, 2388–2442 doi:10.1093/eurheartj/ehn309
13. ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012. European Heart Journal (2012) 33, 1787–1847 doi:10.1093/eurheartj/ehs104