Presentasi Kasus Peb Hellp Sindrom Hipertiroid
-
Upload
mairunzi-ezi -
Category
Documents
-
view
355 -
download
19
description
Transcript of Presentasi Kasus Peb Hellp Sindrom Hipertiroid
PREEKLAMPSIA BERAT, HELLP SINDROM
PARSIAL DENGAN HIPERTIROID
PRESENTASI KASUS
Universitas Andalas
Oleh :
Mairunzi
Pembimbing :
Dr. Hj. Putri Sri Lasmini, SpOG (K)
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND
RS Dr. M.DJAMIL PADANG 2013
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................i
DAFTAR TABEL ......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS ......................................................................... 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 24
A. PREEKLAMPSIA BERAT DENGAN HELLP SINDROM ......... 24
1. Definisi ............................................................................ 24
2. Epidemiologi ................................................................... 24
3. Klasifikasi ........................................................................ 25
4. Etiologi dan Patogenesis ................................................ 27
5. Gambaran Klinis ............................................................. 27
6. Penatalaksanaan ............................................................ 29
B. HIPERTIROID DALAM KEHAMILAN ...................................... 32
1. Hubungan Fungsi Tiroid dengan Kehamilan ................... 32
2. Etiologi ............................................................................ 33
3. Patofisiologi .................................................................... 33
4. Diagnosis ........................................................................ 35
5. Penatalaksanaan ............................................................ 38
BAB IV DISKUSI ..................................................................................... 42
BAB V KESIMPULAN ............................................................................. 49
DAFTAR PUSTAKA
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Sistem Klasifikasi HELLP Syndrom ..................................... 26
Tabel 2. Faktor Risiko Morbiditas/ Mortalitas Maternal pada HELLP
Syndrom ...............................................................................
29
Tabel 3. Pemberian Magnesium Sulfat pda Preeklampsia dan
Eklampsia ............................................................................
31
Tabel 4. Perbandingan Tes – tes Evaluasi Tiroid pada Kehamilan
dan Hipertiroid ......................................................................
38
1
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan kelainan yang sering ditemukan selama
kehamilan. Istilah preeklampsia-hipertensi gestasional digunakan untuk
menggambarkan kelainan pada pasien dengan sedikit peningkatan
tekanan darah atau hipertensi berat dengan disfungsi organ termasuk
didalamnya yaitu ; hipertensi gestasional akut, preeklampsia, eklampsia
dan Hemolisis Elevated Liver Enzim And Low Platelet (HELLP)
sindrom.(Sibai, 2011)
Preeklampsia merupakan kelainan multisistem dengan manifestasi
klinis hipertensi dan proteinuria dengan atau tanpa gejala yang menyertai,
hasil laboratorium yang abnormal, IUGR, atau berkurangnya cairan
amnion.(Sibai, 2011)
Insidens preeklampsia dan eklamsia berkisar antara 4-9 % pada
wanita hamil, 3-7 % terjadi pada nullipara, dan 0,8-5 % pada multipara.
Angka kejadian PE di Indonesia berkisar antara 3-10 %. (Roeshadi, 2004)
Sindroma HELLP yang merupakan singkatan dari Hemolysis,
Elevated Liver Enzymes dan Low Platelet counts pertama sekali
dilaporkan oleh Louis Weinstein tahun 1982 pada penderita preeklampsia
berat. Sindroma ini merupakan kumpulan gejala multisistem pada
penderita preeklampsia berat dan eklampsia yang terutama ditandai
dengan adanya hemolisis, peningkatan kadar enzym hepar dan
penurunan jumlah trombosit (trombositopenia). Sindroma HELLP
dikatakan merupakan varian yang unik preeklampsia. Sekali berkembang
dengan cepat dapat menyebabkan penderita menjadi gawat, berakhir
dengan kegagalan fungsi hati dan ginjal, respiratory distress syndrome
pada penderita dan kematian ibu dan janin.(Roeshadi, 2004, James N. Martin Jr et al.,
2006)
Hipertiroid adalah suatu sindroma klinik disebabkan oleh sekresi
hormon kelenjar tiroid yang berlebihan. Sekitar 90% dari hipertiroid
disebabkan oleh penyakit Grave. Penyakit Grave pada umumnya
2
ditemukan pada usia yang lebih muda, sebagian besar antara 20 – 40
tahun, sedangkan hipertiroid akibat nodul toksik ditemukan pada umur
yang lebih tua yaitu antara 40 – 60 tahun.(Cunningham et al., 2010c)
Hipertiroid terjadi pada 2-5% wanita dan 1-2% terjadi wanita usia
produktif. Wanita memiliki resiko 5 kali menderita penyakit tiroid dibanding
laki-laki. Prevalensi hipertiroid dalam kehamilan berkisar 0,2% dari semua
kehamilan. Mesmant dan kolega, 1995 menyatakan bahwa hipertiroid
komplikasi yang terjadi 1 dalam 1000 – 2000 kehamilan. Casey dkk, 2003
menemukan insiden hipertiroid 3,9/1000, termasuk wanita yang
diidentifikasi sebelum kehamilan.(Cunningham et al., 2010c)
Kadang-kadang timbul kesulitan dalam diagnosis hipertiroid dalam
kehamilan, sehingga sering hipertiroid tidak terdiagnosis, karena
kehamilan sendiri berakibat peningkatan metabolisme basal ( 15 sampai
25% ) yang serupa dengan gambaran klasik hipertiroid terutama pada
trimeser kedua dan ketiga. Oleh karena hipertiroid Grave pada umumnya
ditemukan pada usia subur maka hampir seluruh hipertiroid yang terjadi
pada kehamilan adalah penyakit Grave.(Grigoriu et al., 2008)
Hipertiroid tanpa pengobatan yang adequat akan mengakibatkan
abortus, bayi lahir prematur, bayi lahir dengan berat badan rendah dan
krisis tiroid pada saat persalinan. Dan pada wanita hamil yang tidak diobati
atau pada mereka yang tetap hipertiroid meskipun diterapi, terjadi
peningkatan insiden preeklampsia, gagal jantung, dan gangguan hasil
akhir perinatal.(Cunningham et al., 2010c)
Berikut ini akan dilaporkan kasus seorang wanita umur 32 tahun
dengan diagnosa G2P1A0H1 gravid aterm + PEB + HELLP sindrom
parsial + Hipertiroid. Janin hidup tunggal intrauterine presentasi kepala HI.
Pada pasien ini dilakukan seksio sesarea atas indikasi PEB + HELLP
sindrom parsial dengan penyulit berupa hipertiroid.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS :
Nama : Ny. Isusirawati
Umur : 32 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
MR : 812735
Alamat : Koto Lamo, Sijunjung
Nama suami : Tn. Andi Y
Umur : 38 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
ANAMNESIS :
Seorang pasien wanita umur 32 tahun masuk KB IGD RSUP Dr.
M. Djamil Padang pada tanggal 03 Januari 2013 jam 13.50 WIB kiriman
RSUD Sawah Lunto dengan diagnosis G2P1A0H1 Gravid aterm +
Hipertiroid + Hipertensi
Riwayat Penyakit Sekarang :
- Sebelumnya pasien telah dirawat di RSUD Sawah Lunto selama 3 hari
dengan diagnosis G2P1A0H1 gravid aterm + hipertiroid + hipertensi
- Nyeri kepala hebat (-), nyeri ulu hati (-), pandangan mata kabur (-)
- Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)
- Keluar lendir campur darah dari kemaluan (-)
- Keluar air-air yang banyak dari kemaluan (-)
- Keluar darah yang banyak dari kemaluan (-)
- Tidak haid sejak ± 9 bulan yang lalu
- HPHT : lupa TP : sukar ditentukan
- Gerak anak dirasakan sejak ± 5 bulan yang lalu
- RHM : Mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
- ANC : Kontrol ke bidan desa 3x ( bulan ke 2, 5, dan 8 )
- RHT : Mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
4
- Riwayat Menstruasi : Menarche umur 13 th, siklus haid tidak teratur,
lamanya 5-7 hari, banyaknya 2-3x ganti duk/hari, nyeri (-)
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Pasien sebelumnya dikenal menderita hipertiroid sejak ± 1 tahun yang
lalu, minum obat teratur, tapi sejak hamil pasien tidak minum obat.
- Tidak pernah menderita penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM dan
hipertensi.
- Riwayat alergi obat tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan,
menular dan kejiwaan
Riwayat Perkawinan : 1 x tahun 2000
Riwayat Kehamilan/Abortus/Persalinan : 2/0/1
1. Tahun 2001, ♂, 3000 gr, cukup bulan, spontan, bidan, hidup
2. Sekarang
Riwayat Kontrasepsi : tidak ada
Riwayat Imunisasi : tidak ada
Riwayat Pendidikan : tamat SMP
Riwayat Kebiasaan : merokok (-), alkohol dan narkoba (-)
5
PEMERIKSAAN FISIK :
KU sedang
Kes CMC
TD 170/110
Nadi 120x/1’
Nafas 20x/1’
Suhu 370C
Genitalia : jumlah urin ± 200 mL/ sewaktu
Ekstremitas : Refleks Patella +/+ normal
Laboratorium : Proteinuria ++
DIAGNOSIS :
G2P1 A0H1 Gravid aterm + PEB + Hipertiroid
SIKAP :
- Regimen SM dosis inisial
Jam 14.00 WIB
Dimulai regimen SM dosis inisial
Jam 14.15 WIB
Selesai regimen SM dosis inisial
PEMERIKSAAN FISIK :
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis Cooperatif
Tinggi Badan : 150 cm
Berat Badan : 45 Kg
Berat Badan sblm hamil : 58 Kg
BMI : 20 Kg/m2 (ideal weight category)
LILA : 25 cm
Vital sign :
Tekanan Darah : 160/100 mmHg
Frekuensi Nadi : 110 x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Temperatur : 370 C
6
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher :
Inspeksi : JVP 5-2 cmH2O,
Kelenjar tiroid tampak membesar
Palpasi : Kelenjar tiroid teraba membesar
Kelenjar Getah Bening tidak teraba membesar
Toraks :
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung teratur, bising (-)
Pulmo :
Inspeksi : bentuk dan pergerakan simetris kiri = kanan
Palpasi : Fremitus normal kiri = kanan
Perkusi : Sonor kiri = kanan
Auskultasi : Vesikuler normal +/+, Ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Status Obstetricus
Genitalia : Status Obstetricus
Ekstremitas : Edema -/-, Refleks Fisiologis +/+, Refleks Patologis -/-
7
Status Obstetrikus :
Abdomen
Inspeksi : Tampak membuncit sesuai usia kehamilan aterm
Sikatrik (-)
Palpasi :
L1 : FUT teraba 3 jari dibawah processus xyphoideus
Teraba massa besar, lunak, noduler
L2 : Teraba tahanan terbesar disebelah kiri
Teraba bagian-bagian kecil janin disebelah kanan
L3 : Teraba massa keras, tidak terfiksir
L4 : Konvergen
TFU = 34 cm TBA : 3255 gr His : (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) N, DJJ : 130-135 x/menit
Genitalia :
Inspeksi : V/U tenang
VT : Ø 1 jari
Portio tebal 1,5 cm, posterior, sedang
Ketuban (+)
Teraba kepala HI
UPD dan UPL : kesan panggul luas
DIAGNOSIS :
G2P1A0H1 Gravid aterm + PEB selesai regimen SM dosis inisial +
Hipertiroid
Janin hidup tunggal intra uterin pres kepala HI
8
SIKAP :
- Kontrol KU, Vital sign, His, DJJ, Balance cairan, Refleks patella, Ʃ
urin
- Cek darah lengkap ( fungsi hati, ginjal, dan hemostasis )
- Lanjut regimen SM dosis maintenance
- USG dan CTG
- EKG
- Lapor tim PEB ( interne, jantung, dan mata )
9
LABORATORIUM :
- Hemoglobin : 10 gr% (12 – 14)
- Leukosit : 7.200 /mm3 (5000 – 10.000)
- Hematokrit : 31 % (37 – 43)
- Trombosit : 138.000 mm3 (150.000 – 400.000)
- MCH : 24,3 pg (27 – 31)
- MCV : 74 μm3 (82 – 92)
- MCHC : 33 g/ dL (32 – 36)
- GDR : 87 mg/ dL (74 – 106)
- Ureum : 13 mg/ dL (16,6 – 48,5)
- Kreatinin : 0,4 mg/ dL (0,6 – 1,2)
- SGOT : 14 U/L (0 – 31)
- SGPT : 8 U/L (0 – 34)
- Protein total : 5,5 g/dL (6 – 7)
- Albumin : 2,7 g/dL (3,5 – 5,2)
- Globulin : 2,8 g/dL (0)
- Bilirubin total : 0,97 mg/dL (0,1 – 1,2)
- Bilirubin direk : 0,5 mg/dL (0 – 0,2)
- Bilirubin Indirek : 0,47 mg/dL (0)
- LDH : 694 U/L (0-480)
- Natrium : 139 mmol/L (139 – 145)
- Kalium : 3,6 mmol/L (3,5 – 5,1)
- Kalsium : 7,8 mg/dL (8,6 – 10,3)
- T4 : 201,27 nmol/L (60-120)
10
URINALISA :
- Protein : ++
- Glukosa : –
- Leukosit : 2-3 /LPB
- Eritrosit : 150-200 /LPB
- Silinder : –
- Kristal : –
- Epitel : +
- Bilirubin : –
- Urobilinogen : +
USG
11
Hasil USG : Janin hidup tunggal intra uterin letak kepala
Aktivitas gerak janin baik
Biometri :
BPD : 9,4 cm
FL : 7,2 cm
AC : 33,5 cm
TBJ : 33,04 gr
AFI : 10,2 cm
Plasenta tertanam di fundus grade I-II
Kesan : Gravid aterm
Janin hidup
12
CTG
Hasil CTG :
Baseline : 130 – 135 dpm
Variabilitas : 5-15 dpm
Akselerasi : (+)
Deselerasi : (-)
Gerak anak : (+)
Kesan : CTG Reaktif
13
Hasil Konsul Mata :
Kesan : Saat ini ditemukan tanda preeklampsi ringan
Grave Nospeg 2-3
Sikap : Rawat bersama
Terapi sesuai TS
Konsul penyakit dalam
Hasil Konsul Jantung :
Kesan : G2P1A0H1 gravid aterm + PEB
Hipertiroid
Sikap :
Metildopa 3 x 500 mg
Rawat bersama
Risiko cardiovaskuler sedang-berat
Hasil Konsul Interne Penyakit Dalam :
Kesan : Hipertiroid dalam pengobatan
Struma difusa toksika
Gravid aterm + PEB
Sikap :
PTU 3 x 100 mg
Metidopa 2 x 250 mg
PCT 3 x 500 mg
Toleransi operasi :
Risiko kardiovaskuler : sedang-berat
Risiko endokrin : terjadi krisis tiroid
Risiko hematologi ringan
Berikan lugol 10 tetes sebelum operasi
14
DIAGNOSIS :
G2P1 A0H1 Gravid aterm + PEB dalam regimen SM dosis maintenance
+ HELLP Syndrom parsial + Hipertiroid
Janin hidup tunggal intra uterin pres kepala HI
SIKAP :
- Kontrol KU, Vital sign, His, DJJ, Balance cairan, Refleks patella, Ʃ
urin
- Lanjut regimen SM dosis maintenance
- Konsul anastesi dan perinatologi
- Lapor OK
- Siapkan darah PMI
- Antibiotik ( skintest )
- Informed consent
RENCANA : SC
15
Jam 15.15 wib
Dilakukan SCTPP
Jam 15.20 WIB
Lahir seorang bayi perempuan (♀) secara SCTPP dengan :
BB : 3156 gram
PB : 47 cm
A/S : 7/8
Plasenta lahir dengan sedikit tarikan ringan pada tali pusat, lengkap 1
buah, berat ± 500 gram, ukuran 18 x 17 x 2,5 cm, panjang tali pusat 50
cm, insersi para sentralis
Dilakukan insersi IUD
Perdarahan selama tindakan ± 250 mL
Diagnosis :
P2A0H2 Post SCTPP + akseptor IUD ai PEB + HELLP sindrom parsial +
Hipertiroid
Anak-ibu dalam perawatan
Sikap :
- Awasi pasca tindakan
Perawatan Post OP ( RR ) :
Kontrol KU, VS, PPV, refleks patella, balans cairan
Pasien tidur terlentang dengan di tinggikan satu bantal
Regimen SM dosis maintenance 1 gr/ jam ( 24-48 jam )
Antibiotik ceftriaxon 2x1 gr
Metildopa 3x250 mg
Adalat oros 1x 30 mg
Dexametason 2x10 mg ( 2 hari )
PTU 3 x 100 mg
Pasien di puasakan sampai BU (+) normal
Cek Hb post op, jika < 10 gr% transfusi
16
LABORATORIUM :
- Hemoglobin : 11,2 gr%
- Leukosit : 6.500 /mm3
- Hematokrit : 34 %
- Trombosit : 146.000 mm3
- GDR : 97 mg/dl
- Ureum : 16 mg/dl
- Kreatinin : 0,3 mg/dl
- Protein total : 5 g/dL
- Albumin : 2,8 g/dL
- Globulin : 2,2 g/dL
- Kalsium : 8,1 mg/dL
FOLLOW UP :
Tanggal 4 Januari 2013
Anamnesis : Nyeri kepala hebat, nyeri ulu hati, pandangan kabur (-)
Demam (-), ASI (+), nyeri perut (-), BAK via kateter, BAB (-),
Perdarahan pervaginam (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU sedang
Kes CMC
TD 140/80
Nadi 98x/1’
Nafas 20x/1’
Suhu 370C
Mata : konjunctiva tak anemis, sklera tak ikterik
Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak sedikit membuncit
Luka operasi tertutup verban
Palpasi : FUT 3 jari bawah pusat, kontraksi baik
NT (-), NL (-), DM (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : BU (+) Normal
17
Genitalia :
Inspeksi : V/U tenang, PPV (-)
BAK via kateter 200 cc/ 2 jam
Diagnosis :
P2A0H2 Post SCTPP + akseptor IUD ai PEB + HELLP sindrom parsial +
Hipertiroid + nifas hari I
Anak – ibu dalam perawatan
Sikap :
- Kontrol KU, VS, PPV, Balance cairan, Refleks patella
- Lanjut regimen SM dosis maintenance (sampai 24 jam post partum)
- Antibiotik Ceftriaxon 2 x1 gr
- Metildopa 3 x 250 mg
- Adalat oros 1 x 30 mg
- Dexametason 2 x 10 mg
- Benovit C 1 x 1
- PCT 3 x 100 mg
- Antalgin 3 x 500 mg
Tanggal 5 Januari 2013
Anamnesis :
Nyeri kepala hebat, nyeri ulu hati, pandangan kabur (-)
Demam (-), ASI (+), nyeri perut (-), BAK via kateter, BAB (-),
Perdarahan pervaginam (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU
sedang
Kes
CMC
TD
130/80
Nadi
90x/1’
Nafas
20x/1’
Suhu
370C
Mata : konjunctiva tak anemis, sklera tak ikterik
18
Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak sedikit membuncit
Luka operasi tertutup verban
Palpasi : FUT 3 jari bawah pusat, kontraksi baik
NT (-), NL (-), DM (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : BU (+) Normal
Genitalia :
Inspeksi : V/U tenang, PPV (-)
BAK via kateter 200 cc/ 2 jam
Diagnosis :
P2A0H2 Post SCTPP + akseptor IUD ai PEB + HELLP sindrom parsial +
Hipertiroid + nifas hari II
Anak – ibu dalam perawatan
Sikap :
- Kontrol KU, VS, PPV
- Stop regimen SM , infus dan kateter
- Mobilisasi
- Breastcare
- Diet TKTP
Terapi :
- Antibiotik Ceftriaxon 2 x1 gr
- Metildopa 3 x 250 mg
- Adalat oros 1 x 30 mg
- Dexametason 2 x 10 mg
- Benovit C 1 x 1
- PTU 3 x 100 mg
- PCT 3 x 100 mg
- Antalgin 3 x 500 mg
19
LABORATORIUM :
- Hemoglobin : 9,8 gr%
- Leukosit : 2.330 /mm3
- Hematokrit : 31,1 %
- Trombosit : 155.000 mm3
- Eritrosit : 4.08 x 106 /mm3
- MCH : 24 pg
- MCV : 76,2 μm3
- MCHC : 31,5 g/dL
- Ureum : 45,6 mg/dl
- Kreatinin : 0,4 mg/dl
- SGOT : 14 U/L
- SGPT : 8 U/L
- Protein total : 4,5 g/dL
- Albumin : 2,5 g/dL
- Globulin : 2 g/dL
- T3 : 1,24 nmol/L (0,9-2,5)
- Free T4 : 15,25 pmol/L (9-20)
- TSH : < 0,05 uUI/mL (0,25-5)
Bagian Interne sub bagian endokrin :
Kesan : struma diffusa toksika ec susp Grave’s disease
Terapi :
PTU 3 x 100 mg
Propanolol 1 x 10 mg
Advis :
Cek TSH, T3, Free T4
Skintigrafi tiroid
20
Bagian Mata :
Kesan : Fundus eklampsia ringan
Grave opthalmopathy nospeg 2-3
Terapi : Sesuai TS
Tanggal 6 Januari 2013
Anamnesis :
Nyeri kepala hebat, nyeri ulu hati, pandangan kabur (-)
Demam (-), ASI (+), nyeri perut (-), BAK (+), BAB (-), Perdarahan
pervaginam (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU
sedang
Kes
CMC
TD
130/80
Nadi
85x/1’
Nafas
20x/1’
Suhu
370C
Mata : konjunctiva tak anemis, sklera tak ikterik
Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak sedikit membuncit
Luka operasi tertutup verban
Palpasi : FUT 4 jari bawah pusat, kontraksi baik
NT (-), NL (-), DM (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : BU (+) Normal
Genitalia :
Inspeksi : V/U tenang, PPV (-)
Diagnosis :
P2A0H2 Post SCTPP + akseptor IUD ai PEB + HELLP sindrom parsial +
Hipertiroid + nifas hari III
Anak – ibu dalam perawatan
21
Sikap :
- Kontrol KU, VS, PPV
- Mobilisasi
- Breastcare
- Diet TKTP
Terapi :
- Amoksisilin 3 x 500 mg
- Benovit C 1 x 1
- PTU 3 x 100 mg
- Antalgin 3 x 500 mg
Tanggal 7 Januari 2013 Anamnesis :
Demam (-), ASI (+), nyeri perut (-), BAK (+), BAB (-), Perdarahan
pervaginam (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU sedang
Kes CMC
TD 130/80
Nadi 87x/1’
Nafas 20x/1’
Suhu 370C
Mata : konjunctiva tak anemis, sklera tak ikterik
Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak sedikit membuncit
Luka operasi tertutup verban
Palpasi : FUT 4 jari bawah pusat, kontraksi baik
NT (-), NL (-), DM (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : BU (+) Normal
Genitalia :
Inspeksi : V/U tenang, PPV (-)
22
Diagnosis :
P2A0H2 Post SCTPP + akseptor IUD ai PEB + HELLP sindrom parsial +
Hipertiroid + nifas hari IV
Anak – ibu baik
Sikap :
- Kontrol KU, VS, PPV
- Mobilisasi
- Breastcare
- Diet TKTP
Terapi :
- Amoksisilin 3 x 500 mg
- Benovit C 1 x 1
- PTU 3 x 100 mg
- Antalgin 3 x 500 mg
Tanggal 8 Januari 2013
Anamnesis :
Demam (-), ASI (+), nyeri perut (-), BAK (+), BAB (-), Perdarahan
pervaginam (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU
sedang
Kes
CMC
TD
120/80
Nadi
90x/1’
Nafas
20x/1’
Suhu
370C
Mata : konjunctiva tak anemis, sklera tak ikterik
Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak sedikit membuncit
Luka operasi baik
Palpasi : FUT 4 jari bawah pusat, kontraksi baik
NT (-), NL (-), DM (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : BU (+) Normal
23
Genitalia :
Inspeksi : V/U tenang, PPV (-)
Diagnosis :
P2A0H2 Post SCTPP + akseptor IUD ai PEB + HELLP sindrom parsial +
Hipertiroid + nifas hari V
Anak – ibu baik
Sikap :
- Kontrol KU, VS, PPV
- Mobilisasi
- Breastcare
- Diet TKTP
Terapi :
- Amoksisilin 3 x 500 mg
- Benovit C 1 x 1
- PTU 3 x 100 mg
- Antalgin 3 x 500 mg
Bagian Mata :
Kesan : Fundus eklampsia ringan
Grave Nospeg 2-3
Terapi : Sesuai TS
Kontrol 1 bulan lagi
Bagian Interne sub bagian endokrin :
Kesan : struma diffusa toksika ec susp Grave’s disease
Sikap : Kontrol poli endokrin
Acc pulang
Terapi :
PTU 3 x 100 mg
Propanolol 1 x 10 mg
24
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. PREEKLAMPSIA BERAT DENGAN HELLP SINDROM
1. Definisi
Dahulu, disebut preeklampsia jika dijumpai trias tanda klinik
yaitu : tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, proteinuria dan edema.
Tapi sekarang edema tidak lagi dimasukkan dalam kriteria
diagnostik, karena edema juga dijumpai pada kehamilan normal.
Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam,
tekanan darah diastol 90 mmHg digunakan sebagai
pedoman.(Roeshadi, 2004)
Preeklampsia ringan adalah jika tekanan darah 140/90
mmHg, tapi < 160/110 mmHg dan proteinuria +1.
Preeklampsia berat adalah jika tekanan darah > 160/110
mmHg, proteinuria +2, dapat disertai keluhan subjektif
seperti nyeri epigastrium, sakit kepala, gangguan penglihatan
dan oliguria.
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil dalam
persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang
dan atau koma. Sebelumnya wanita ini menunjukkan gejala-
gejala preeklampsia berat. (kejang timbul bukan akibat
kelainan neurologik).
2. Epidemiologi
Insidens preeklampsia dan eklampsia berkisar antara 4-9
% pada wanita hamil, 3-7 % terjadi pada nullipara, dan 0,8-5 %
pada multipara. Angka kejadian PE di Indonesia berkisar antara
3-10 %. (Roeshadi, 2004)
25
3. Klasifikasi
Klasifikasi dibuat untuk memudahkan dokter
mengidentifikasi pasien yang beresiko terjadinya morbiditas
maternal, untuk memandu intervensi terapeutik dan menilai
keberhasilan atau outcome, dan untuk data perbandingan hasil
penelitian. Yang paling umum digunakan untuk diagnosis dan
klasifikasi adalah yang dikembangkan pada tahun 1980 oleh
peneliti di Universitas Tennessee dan Mississippi.(James N. Martin Jr
et al., 2006)
Klasifikasi Tennessee mendefinisikan true atau
complete sindrom HELLP jika didapatkan seluruh kriteria
berikut : (1) Trombositopenia sedang sampai berat dengan
trombosit 100.000 / mL atau kurang, (2) disfungsi hati dengan
AST 70 IU / L atau lebih, dan (3) Terjadi hemolisis dengan
sediaan apus darah tepi yang abnormal, selain total serum LDH
600 IU / L atau lebih besar, atau bilirubin 1,2 mg / dL atau lebih.
Pasien yang menunjukkan hanya beberapa gejala dari semua
parameter yang ada disebut parsial atau incomplete HELLP
sindrom: ELLP sindrom (tanpa terjadinya hemolisis), EL
sindrom (preeklampsia berat dengan sedikit peningkatan enzim
hati saja), HEL (hemolisis dan peningkatan enzim hati tanpa
trombositopenia), atau LP sindrom (low platelet syndrom
sebagai preeclampsia berat dengan trombositopenia,
gestasional trombositopenia, atau immune thrombocytopenic
purpura). Maternal and perinatal outcomes memburuk secara
progresif pada pasien dengan preeklamsia berat, Parsial
HELLP syndrom, dan Complete HELLP syndrome. Parsial
HELLP syndrom dapat berkembang menjadi Complete HELLP
syndrome. (James N. Martin Jr et al., 2006)
26
Tabel 1. Sistem Klasifikasi HELLP Syndrome
Dikutip dari (James N. Martin Jr et al., 2006)
Klasifikasi Mississippi untuk sindrom HELLP dibagi
menjadi tiga tingkatan berdasarkan hitung trombosit. Diagnosis
berdasarkan pada jumlah trombosit terendah selama
perjalanan penyakit. Dikatakan trombositopenia bila jumlah
hitung trombosit 0-150.000/ mL, dibagi menjadi 3 tingkatan
yaitu ; ringan, sedang, dan berat trombositopenia. Pada pasien
dengan diagnosis sindrom HELLP, kelas 1 trombositopenia
berat (trombosit 50.000 / mL), disfungsi hati (AST dan / atau
ALTR70 IU / L), dan bukti hemolisis (total serum LDH R600 IU /
L); Kelas 2 dengan trombositopenia moderat (50.000-100.000 /
mL) disertai bukti disfungsi hati dan hemolisis, dan kelas 3
dengan trombositopenia ringan (trombosit 100.000-150.000 /
mL), disfungsi hati ringan (AST dan / atau ALT R40 L IU /), dan
hemolisis (total serum LDH R600 IU / L). Temuan apusan
perifer dan bilirubin abnormal tidak ditemukan.(James N. Martin Jr et
al., 2006)
27
4. Etiologi dan Patogenesis
Etiologi dan patogenesis preeklampsia sampai saat ini masih
belum sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan
kontroversi, itulah sebabnya penyakit ini sering disebut “the
desease of theories”. Pada saat ini hipotesis utama yang dapat
diterima untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah :
faktor imunologi, genetik, penyakit pembuluh darah dan keadaan
dimana jumlah trophoblast yang berlebihan dan dapat
mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri
spiralis pada awal trimester satu dan trimester dua. Hal ini akan
menyebabkan arteri spiralis tidak dapat berdilatasi dengan
sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta.
Berikutnya akan terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal bebas,
disfungsi endotel, agregasi dan penumpukan trombosit yang dapat
terjadi diberbagai organ.(Roeshadi, 2004)
Faktor predisposisi terjadinya Preeklampsia antara lain ;
primigravida, kehamilan ganda, diabetes melitus, hipertensi
essensial kronik, mola hidatidosa, hidrops fetalis, bayi besar,
obesitas, riwayat pernah menderita preeklampsia atau eklamsia,
riwayat keluarga pernah menderita preeklampsia atau eklamsia,
lebih sering dijumpai pada penderita preeklampsia.(Roeshadi, 2004)
5. Gambaran Klinis
Tanda dan gejala dengan sindrom HELLP bervariasi
tergantung stadium penyakit, apakah kelas 1, kelas 2, atau
kelas 3. Nyeri perut kanan atas / nyeri epigastrium adalah
gejala yang paling penting HELLP sindrom, ditemukan pada
semua (100%) kasus (29 kasus) oleh Weinstein pada tahun
1982. Setengah dari pasien (50%) pada sindrom HELLP kelas
1, 33% pada kelas 2, dan 16% pada kelas 3 dibandingkan
dengan hanya 13% pada pasien preeklampsia berat tanpa
HELLP sindrom. Nyeri epigastrium yang sering terjadi
berhubungan dengan mual atau muntah. Secara keseluruhan,
28
insiden nyeri epigastrium / mual / muntah antara 30-90%.
Setiap pasien hamil dengan myeri epigastrium atau nyeri
kuadran atas kanan yang muncul pada trimester kedua,
terutama dengan mual dan / atau muntah, diagnosa sebagai
sindrom HELLP sampai terbukti tidak. Seorang pasien hamil
dengan tanda-tanda dan gejala preeklamsia berat yang tiba-
tiba menjadi bertambah parah, nyeri sangat pada epigastrium /
nyeri perut atas kemungkinan terjadi perdarahan atau ruptur
hepar dan merupakan suatu kegawatdaruratan di
kebidanan.(James N. Martin Jr et al., 2006)
Malaise atau viral syndrome-like symptoms dapat terjadi
selama perburukan HELLP syndrome. Sakit kepala terjadi
dalam jumlah besar (33-68%) pasien dengan segala bentuk
preeklamsia dengan atau tanpa HELLP sindrom, dan keluhan
visual terjadi dalam jumlah yang lebih rendah. Hipertensi dan
proteinuria tidak selalu ada. Tanda-tanda terjadi berhubungan
dengan stadium penyakit, meskipun tekanan darah yang lebih
tinggi dan proteinuria lebih cenderung terjadi memperburuk
HELLP sindrom dari kelas 3 ke 2 sampai 1, dan hampir semua
pasien hipertensi ringan selama perjalanan penyakitnya hilang
dengan sendirinya. Dipstick proteinuria (3-4C) yang bermakna
dengan gejala yang terjadi pada sekitar setengah dari pasien
dengan kelas 1 atau 2 HELLP syndrome, namun proteinuria
tidak terdeteksi di sekitar 1: 6 pasien.(James N. Martin Jr et al., 2006)
29
Tabel 2. Faktor risiko morbiditas / mortalitas maternal pada
HELLP syndrom
6. Penatalaksanaan
Preeklamsia berat harus rawat inap. Terminasi kehamilan
diindikasikan jika usia kehamilan adalah 34 minggu atau lebih,
kematangan paru janin, atau bukti status ibu atau janin tampak
memburuk. Kontrol tekanan darah akut dapat dicapai dengan
hydralazine, labetalol, atau nifedipin.(Aghajanian et al., 2007)
Pada dasarnya penanganan yang terbaik pada
preeklampsia adalah segera melahirkan janin, tetapi disamping itu
usia kehamilan, keadaan ibu dan keadaan janin harus diawasi
dengan baik, dan menjadi pertimbangan untuk melakukan
terminasi kehamilan.
1. Pengobatan Medisinal
Tirah Baring
Oksigen
Kateter menetap
IVFD : Ringer Asetat, Ringer Laktat, Koloid
Jumlah input cairan : 2000 ml/24 jam, berpedoman pada
diuresis, insensible water loss dan CVP. Awasi balans
cairan.
30
Magnesium Sulfat
Initial dose : 4 gr magnesium sulfat 20% IV (4-5 menit)
Loading dose : 8 gr MS 40% IM, 4 gr bokong kanan, 4 gr
bokong kiri.
Maintenance dose : 4 gr magnesium sulfat 40% IM setiap
4 jam magnesium sulfat maintenance dapat juga diberikan
secara intravenus.
Syarat pemberian Magnesium Sulfat :
Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu
Kalsium Glukonas 10%, diberikan iv secara perlahan.
Refleks patella (+)
Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.
Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5
cc/ kg BB/ jam ) Pemberian Magnesium Sulfat sampai
20 gr tidak perlu mempertimbangkan diurese
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastole > 110
mmHg. Dapat diberikan nifedipin sublingual 10 mg.
Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat
diberikan nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau oral
dengan interval 1 jam, 2 jam atau 3 jam sesuai kebutuhan.
Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu agresif.
Tekanan darah diastol jangan kurang dari 90 mmHg,
penurunan tekanan darah maksimal 30%.
Penggunaan nifedipine sangat dianjurkan karena
harganya murah, mudah didapat dan mudah pengaturan
dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.
Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :
Edema paru
Gagal jantung kongestif
Edema anasarka
N-Acetyl Cystein 3 x 600 mg.
Jika pasien koma, diberikan perawatan koma di ICU
31
Konsul ke Bagian Interna, Hematologi, Mata, Neurologi
jika perlu.
Jajaki kemungkinan terjadinya komplikasi Sindroma
HELLP, gagal ginjal, edema paru, solusio plasenta, DIC,
stroke, dll.
Jika dijumpai Sindroma HELLP, beri deksametason 10 mg
/ 12 jam IV 2x sebelum persalinan, dilanjutkan dengan
deksametason 10, 10, 5, 5 mg / jam IV dengan interval 6
jam postpartum. Kelahiran bayi diharapkan terjadi dalam 48
jam setelah pemberian deksametason pertama.
2. Penangan Obstetrik
Pada keadaan ibu sudah stabil, tetapkan suatu keputusan
apakah dilakukan terminasi kehamilan atau tindakan
konservatif dengan mempertimbangkan usia kehamilan dan
keadaan janin.
Penanganan konservatif bisa dilakukan pada keadaan :
Tekanan darah terkontrol < 160/110 mmHg
Oliguria respon dengan pemberian cairan
Tidak dijumpai nyeri epigastrik
Usia kehamilan < 34 minggu
Kalau penyakit berkembang menjadi Sindroma HELLP murni
cenderung dilakukan tindakan penanganan aktif.
Jika serviks sudah matang dan tidak ada kontra indikasi
obstetrik, dilakukan induksi persalinan dengan oksitosin drips
dan amniotomi. Kala II dipercepat dengan EV / EF.
Seksio sesarea dilakukan pada :
Skor pelvik dibawah 5.
Dengan drips oksitosin, setelah 12 jam belum ada tanda-
tanda janin akan lahir pervaginam.
Indikasi obstetrik.
Bayi ditangani oleh Subbagian Perinatologi dan jika perlu
dirawat di Neonatal Intensive Care Unit.
32
Tabel 3. Pemberian Magnesium Sulfat pada Preeklampsia dan
Eklampsia (Cunningham et al., 2010b)
B. HIPERTIROID DALAM KEHAMILAN
1. Hubungan Fungsi Tiroid dengan Kehamilan
Istilah hipertiroid dan tirotoksikosis sering dipertukarkan.
Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid
yang beredar dalam sirkulasi. Sedangkan hipertiroid adalah
tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif.
Apapun sebabnya manifestasi klinisnya sama, karena efek ini
disebabkan ikatan T3 dengan reseptor T3.(Djokomoeljanto, 2006)
Kehamilan normal menyebabkan sedikit pembesaran tiroid,
yang terdeteksi pada pemeriksaan fisik. Kadar serum TSH dan
TRH adalah sama pada pasien hamil dan tidak hamil, sedangkan
thyroid-binding globulin (TBG) meningkat karena estrogen-
ditingkatkan produksi hati. Jumlah tiroksin (T4) dan
33
triiodothyronine (T3) meningkat, tapi gratis konsentrasi T3 dan T4
biologis aktif tidak berubah pada wanita hamil normal.(Krakow, 2008)
2. Etiologi
Penyebab hipertiroid sebagian besar adalah penyakit Grave,
goiter multinodular toksik dan mononodular toksik. Hipertiroid
pada penyakit Grave adalah akibat antibodi reseptor TSH yang
merangsang aktivitas tiroid. Sedang pada goiter multinodular
toksik ada hubungannya dengan autoimun tiroid itu
sendiri.(Djokomoeljanto, 2006)
Penyakit Grave sekarang ini dipandang sebagai penyakit
autoimun yang penyebabnya tidak diketahui. Terdapat
predisposisi familial kuat pada sekitar 15% pasien Grave
mempunyai keluarga dekat dengan kelainan yang sama dan kira-
kira 50% keluarga pasien dengan penyakit Grave mempunyai
autoantibodi tiroid yang beredar dalam darah.(Djokomoeljanto, 2006)
Penyebab paling umum dari hipertiroid pada kehamilan
adalah penyakit Graves. Diagnosis didasarkan pada tiga
manifestasi, termasuk hipertiroidisme dengan tiroid diffuse,
ophthalmopathy (terutama exophthalmos), dan dermopathy.
Penyakit Graves adalah penyakit autoimun di mana beredar
thyroid-stimulating immunoglobulin (TSIs) mengikat reseptor sel
tiroid folikuler TSH, merangsang sintesis dan sektrse hormon tiroid
yang berlebihan. Pasien mungkin memiliki penyakit autoimun
lainnya, termasuk lupus eritematosus sistemik, myasthenia gravis,
dan trombositopenia.(Krakow, 2008)
3. Patofisiologi
Pada penyakit Grave, limfosit T didensitisasi terhadap
antigen dalam kelenjar tiroid dan merangsang limfosit B untuk
mensintesa antibodi terhadap antigen-antigen ini. Satu dari
antibodi ditunjukan terhadap tempat reseptor TSH pada membran
sel tiroid dan mempunyai kemampuan untuk merangsang sel tiroid
dalam peningkatan pertumbuhan dan fungsi. Adanya antibodi
34
dalam darah berkorelasi positif dengan penyakit aktif dan
kekambuhan penyakit. Ada predisposisi genetik yang mendasari,
namun tidak jelas apa yang mencetus episode akut ini. Beberapa
faktor yang mendorong respon imun pada penyakit Grave ialah :
(Mestman, 2004)
Kehamilan.
Kelebihan iodida, khusus di daerah defisiensi iodida. Dimana
kekurangan iodida dapat menutupi penyakit Grave laten pada
saat pemeriksaan.
Infeksi bakterial atau viral.
Diduga stress dapat mencetus suatu episode penyakit
Grave, tapi tidak ada bukti yang mendukung.
Plasenta mengandung enzim iodothyronine deiodinase
dalam jumlah yang banyak. Deionisasi T4 yang dikatalisir oleh
enzim ini merupakan sumber reverse T3 yang ditemukan dalam
cairan ketuban. Kadar reverse T3 dalam ketuban ini sebanding
dengan kadar T4 maternal. Enzim ini berfungsi untuk menurunkan
konsentrasi T3 dan T4 dalam sirkulasi janin.(Djokomoeljanto, 2006)
Kadar T4 total pada hamil muda (antara 6-12 minggu),
ditemukan pada cairan coelemic 0.07% dari kadar maternal, T4
rongga amnion 0,0003-0,0013%. Meskipun jumlahnya kecil secara
kualitatif, konsentrasi seperti ini menunjukkan betapa pentingnya
hormon tiroid untuk menjamin pertumbuhan yang adekuat dari unit
fetomaternal.(Speroff and Fritz, 2005)
Human chorionic gonadothropin (hCG) adalah hormon
peptida yang disusun oleh dua sub unit disebut rantai alfa dan
beta. Sub unit alfa identik dengan TSH, sementara rantai beta
berbeda dengan keduanya. Dengan demikian, hormon struktur
parsial antara TSH dengan hCG mengakibatkan hCG bisa
bertindak sebagai hormon tirotropik.(Mestman, 2004)
Selama kehamilan normal, efek stimulasi langsung hCG
menimbulkan peningkatan sementara kadar tiroksin bebas hingga
35
akhir trimester pertama (puncak sirkulasi hCG) sehingga terjadi
supresi parsial TSH. Pada mola hidatidosa dan khoriokarsinoma
sering timbul manifestasi hipertiroid secara klinis dan
biokimia.(Mestman, 2004)
Sejak mulai hamil terjadi perubahan-perubahan pada fungsi
kelenjar tiroid ibu, sedang pada janin kelenjar tiroid baru mulai
berfungsi pada umur kehamilan minggu ke 12-16. TSH agaknya
tidak dapat melalui barier plasenta. Dengan demikian baik TSH
ibu maupun TSH janin tidak saling mempengaruhi. Baik T4
maupun T3 dapat melewati plasenta dalam jumlah yang sangat
sedikit, sehingga dapat dianggap tidak saling
mempengaruhi.(Speroff and Fritz, 2005)
4. Diagnosis
Gejala tirotoksikosis atau hipertiroid 1 di 1000 sampai 2000
komplikasi kehamilan (Casey dan Leveno, 2006; Mestman dan
rekan, 1995). Karena pada kehamilan normal ditemukan beberapa
temuan klinis yang mirip dengan kelebihan tiroksin (T4),
tirotoksikosis ringan mungkin sulit untuk didiagnosa. Takikardia
biasanya juga terlihat pada kehamilan normal, tiromegali,
exophthalmos. Diperlukan konfirmasi laboratorium dimana
didapatkan (TSH) yang menurun bersama dengan peningkatan
serum T4 bebas (FT4). Jarang, hipertiroid disebabkan oleh
triiodothyronine serum yang tinggi (T3) yang disebut T3-
toksikosis.(Cunningham et al., 2010c)
Diagnosis hipertiroidisme bisa sulit, karena pasien
melaporkan gejala yang dapat juga terlihat pada kehamilan
normal. Gejalanya antara lain ; sesak napas, jantung berdebar,
dan intoleransi panas. Tanda dan gejala hipertiroidisme tidak khas
pada kehamilan, dan dengan demikian membantu dalam
diagnosis, termasuk penurunan berat badan atau berat badan
kurang dan frekuensi buang air besar meningkat. Evaluasi
laboratorium menegaskan diagnosis. Tingkat T4 bebas yang tinggi
36
pada pasien hipertiroid. Jarang (3% sampai 5%), tingkat T4
mungkin normal dan peningkatan T3 bebas. TSH secara umum
tertekan.(Krakow, 2008)
Hipertiroid ringan sulit untuk dikenali selama kehamilan, karena
beberapa gejala yang muncul juga sering ditemukan pada wanita
hamil eutiroid. Tanda dan gejal hipertiroid antara lain takikardi,
eksoftalmus, palpitasi, gugup, sering berkeringat, tremor, peningkatan
nafsu makan, mual dan muntah.(Grigoriu et al., 2008)
Kelenjar tiroid normal mungkin dapat sedikit membesar
selama kehamilan, namun munculnya atau bahkan adanya suatu
pembesaran kelenjar biasanya berarti bahwa terdapat suatu
keadaan masalah tiroid yang tidak diketahui yang membutuhkan
penyelidikan dan pemeriksaan lebih lanjut. Jumlah kadar-kadar
tiroksin serum (T4) dan triiodotironin (T3) meningkat selama
kehamilan karena tingginya kadar estrogen yang sekaligus akan
meningkatkan konsentrasi-konsentrasi thyroid-hormon-binding
protein. Meskipun hal ini menjadikan fungsi-fungsi tiroid lebih sulit
untuk diinterpretasikan, produksi hormon tiroid adalah normal
pada wanita hamil.(Djokomoeljanto, 2006)
Pada awal kehamilan terjadi peningkatan aliran darah ginjal
dan filtrasi glomerular sehingga terjadi peningkatan bersih iodida
dari plasma. Keadaan ini akan menimbulkan penurunan
konsentrasi plasma iodida dan memerlukan penambahan
kebutuhan iodida dari makanan. Pada wanita dengan kecukupan
iodida, keadaan ini hanya akan menimbulkan sedikit pengaruh
terhadap fungsi tiroid karena penyimpanan iodida intratiroidal
mencukupi sejak mula konsepsi dan tidak berubah selama
kehamilan.(Djokomoeljanto, 2006)
Pemeriksaan kadar FT4 dan FT3 tentunya yang paling baik.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa kadar FT4 dan FT3 sedikit
menurun pada kehamilan, sehingga kadar yang normal saja
mungkin sudah menunjukkan hipertiroid.(Mestman, 2004)
37
Pemeriksaan FT4l sebagai suatu tes tidak langsung
menunjuk aktifitas tiroid yang tidak dipengaruhi oleh proses
merupakan pilihan yang paling baik. Dalam hal biaya pemeriksaan
ini cukup mahal oleh karena dua pemeriksaan yang harus
dilakukan yaitu kadar TT4 (T4 total) dan T3 resin uptake. Tetapi
dari segi diagnosis, pemeriksaan inilah yang paling baik pada saat
ini dinegara kita. (Mestman, 2004)
Tes ini sebenarnya sangat baik khususnya pada penderita
hipertiroid dengan kehamilan dengan gejala samar-samar.
Sayangnya untuk melakukan tes ini membutuhkan waktu dan
penderita harus disuntik TRH. (Mestman, 2004)
Pemeriksaan TSH basal sensitif pada saat ini sudah mulai
populer sebagai tes skrining penderita penyakit tiroid. Bukan
hanya untuk diagnosis hipertiroid tetapi juga untuk hipertiroid
subklinis. Dengan pengembangan tes ini maka tes TRH mulai
banyak ditinggalkan. (Mestman, 2004)
Pemeriksaan kadar TSI dianggap cukup penting pada
penderita hipertiroid hamil. Kadar yang tetap tinggi pada penderita
hipertiroid mempunyai dua arti penting yaitu ; menunjukkan bahwa
apabila obat dihentikan, kemungkinan besar penderita ini akan
relaps. Dengan kata lain obat antitiroid tidak berhasil menekan
proses autoimun. Ada kemungkinan si bayi akan menjadi
hipertiroid, karena TSI melewati plasenta. Dalam keadaan
demikian beberapa peneliti menganjurkan untuk memberikan PTU
dosis tinggi agar PTU melewati plasenta dan dapat menekan
terjadinya hipertiroid pada janin. Untuk mencegah terjadinya
hipertiroid pada ibu, disarankan memberikan tiroksin. (Grigoriu et al.,
2008)
38
Tabel 4. Perbandingan tes-tes evaluasi tiroid pada kehamilan dan
hipertiroid
Tes Kehamilan normal Hipertiroid
TSH TBG T4 total T4 bebas T3 total T3 bebas Uptake radioiodine T3RU
tetap meningkat meningkat tetap meningkat tetap meningkat menurun
menurun tetap meningkat meningkat meningkat meningkat meningkat meningkat
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertiroid dapat berupa penatalaksanaan
medis atau pembedahan. Pada kehamilan, ablasi dengan menggunakan
zat radioaktif I131 tidak boleh dilakukan dan merupakan kontraindikasi
mutlak. Akumulasi zat tersebut sejak janin berusia 10 minggu dapat
mengakibatkan hipotiroid, sehingga pemberian zat tersebut pada wanita
usia subur harus diikuti dengan anamnesis menstruasi yang jelas untuk
menyingkirkan kemungkinan kehamilan.(Mestman, 2004)
Terdapat beberapa terapi objektif yaitu :
Mengontrol efek hormon tiroid di jaringan perifer dengan
blokade pharmakologi
Menghambat sekresi hormon tiroid
Terapi spesifik terhadap penyakit nontiroid yang disebabkan
oleh eksaserbasi hipertiroid
Golongan obat antitiroid yang banyak dipakai adalah
golongan tianamid yaitu Propiltiourasil (PTU) dan metimazol, yang
bekerja dengan menghambat sintesis hormon tiroid dengan
menghambat konversi T4 menjadi T3 dan PTU melewati plasenta
lebih cepat dibanding dengan metimazole. Wing dkk 1994,
meneliti 185 wanita hamil dengan tirotoksikosis dan menyatakan
bahwa kedua obat tersebut efektif dan aman. Pengawasan
selama hamil dengan melakukan pemantauan TSH, FT4I, dan
39
TSI. Dianjurkan untuk pemeriksaan FT4I setiap 4 minggu.(Mestman,
2004)
PTU merupakan obat pilihan untuk keadaan hipertiroid
maternal karena kemampuan untuk melewati plasenta lebih kecil
daripada methimazole. Meskipun penelitian terakhir menyebutkan
bahwa kedua obat dapat digunakan dalam kehamilan.
Direkomendasikan dosis terendah yang bisa mengontrol keadaan
hipertiroid untuk menghindarkan efek hipotiroidisme pada janin
dan neonatus. Beberapa ahli lebih menyukai pemakaian PTU karena
beberapa kelebihan, yaitu :(Grigoriu et al., 2008)
Menghambat secara parsial konversi T4 ke T3
Tidak melalui sawar plasenta sebanyak metimazol
Tidak berhubungan dengan aplasia kutis seperti metimazol.
Regimen pemberian PTU yang telah digunakan di Parkland
Hospital selama 40 tahun dengan hasil kehamilan yang memuaskan
pada pasien yang mencapai eutiroid adalah sebagai berikut :(Mestman, 2004)
Dosis inisial 600 mg PTU sehari selama 8 minggu ( 50 % pasien
akan mengalami remisi)
Penurunan dosis menjadi 300 mg sehari setelah tercapai remisi
Dosis diturunkan menjadi 150 mg sehari sampai kelahiran anak dan
dinaikkan kembali menjadi 300 mg jika dengan dosis 150 mg sehari
tidak bisa mengontrol hipertiroid.
Jika terapi medikamentosa tidak dapat mengontrol keadaan
hipertiroid atau terdapat toksik atas terapi medikamentosa, dapat
dipertimbangkan untuk melakukan tiroidektomi. Tiroidektomi dalam
kehamilan harus dilakukan dengan hati-hati dan pertimbangan yang
matang, karena bahaya badai tiroid dan vaskularisasi kelenjar yang
meningkat. (Negro and Mestman, 2011)
Propranolol telah banyak dipakai pada hipetiroid dengan
kehamilan. Penggunaan propranolol pada wanita hamil dilaporkan
dapat mengakibatkan plasenta kecil, gangguan pertumbuhan
janin, postnatal bradikardi dan hipoglikemi. Atas dasar ini maka
40
beta bloker tidak dianjurkan sebagai obat pilihan pertama pada
hipertiroid dengan kehamilan. Walaupun demikian pada keadaan
tertentu misalnya hipertiroid berat, krisis tiroid maka propranolol
dapat dipakai secara kombinasi misalnya dengan iodida.
Pemakaian jangka pendek agaknya tidak mempengaruhi
janin.(Negro and Mestman, 2011)
Pembedahan hanya dilakukan pada penderita yang sangat
alergi terhadap tionamid, tidak berhasil dengan pengobatan anti
tiroid dan sekat-beta atau pada mereka dengan gejala mekanik
akibat penekanan dari struma. Biasanya pembedahan baru
dilakukan pada trisemester kedua. Worley dan Crosby dari
Oklahoma Universtiy meneliti secara restrospektif kasus-kasus
hipertiroid hamil selama 12 tahun. Ternyata pada penderita
hipertiroid hamil yang mendapat obat anti tiroid (pada penelitian ini
dipergunakan PTU) sebanyak 70% melahirkan bayi aterm.
Sebaliknya mereka yang diobati dengan pembedahan ternyata
hanya mendapat pengobatan bedah sebanyak 43% sedang yang
hanya mendapat obat antitiroid hanya 20%. Oleh karena itu
mereka menyimpulkan bahwa pengobatan yang terbaik untuk
wanita hamil dengan hipertiroid ialah dengan obat anti tiroid.
Pembedahan hanya dilakukan pada keadaan-keadaan tertentu.
(Negro and Mestman, 2011)
Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa persalinan
hipertiroid dapat menjadi lebih berat. Oleh karena itu dengan
sendirinya dosis obat antitiroid perlu dinaikkan lagi. Dengan
sendirinya harus dicari obat yang aman, yang tidak melalui air
susu ibu sehingga tidak mempengaruhi keadaan tiroid bayi.
Menurut penelitian, PTU hampir tidak melewati air susu ibu dan
dianggap aman untuk dipakai selama laktasi. (Mestman, 2004)
Badai tiroid jarang terjadi dan terutama didapatkan pada pasien
yang tidak mendapat terapi. Badai tiroid adalah suatu keadaan
emergensi endokrin, dimana terjadi suatu status hipermetabolik yang
41
ditandai oleh hiperpireksia, takikardi dan agitasi. Tekanan darah bisa
normal atau meningkat. Bisa terjadi sinus takikardi, disritmia atrium dan
kadang-kadang gagal jantung kongestif. Jika keadaan tersebut tidak
segera ditangani, bisa terjadi hipotensi dan kolaps kardiovaskuler karena
pelepasan katekolamin periferal dalam jumlah besar.. Penatalaksanaan
mencakup pemberian -bloker intravena, dapat berupa propranolol,
labetalol atau esmolol. Esmolol dikatakan memiliki efek kardioselektif
yang lebih baik. Diberikan propranolol 20 mg intravena dan dilanjutkan
dengan dosis oral sebanyak 20-80 mg setiap 6 jam. Harus diperhatikan
pemberian cairan, karena terjadi peningkatan perspirasi.(Mestman, 2004)
PTU diberikan dengan dosis 1 gram oral atau melalui NGT. PTU
dilanjutkan dengan dosis 200 mg tiap 6 jam. 1 jam setelah pemberian
PTU, harus diberikan iodida untuk menghambat pelepasan T3 dan T4
dari kelenjar tiroid. Diberikan sebagai tetesan larutan supersaturasi
sebanyak 5 tetes (SSKI/supersaturated potassium iodide) tiap 8 jam
atau larutan Lugol 10 tetes tiap 8 jam. Jika alergi terhadap iodida, dapat
diberikan litium karbonat 300 mg tiap 6 jam. (Mestman, 2004)
42
BAB IV
DISKUSI
Telah dilaporkan kasus seorang pasien 32 tahun masuk KB IGD
RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 03 Januari 2013 dengan
diagnosa G2P1A0H1 Gravid aterm + PEB dalam regimen SM dosis
maintenance + HELLP Syndrom parsial + Hipertiroid. Janin hidup tunggal
intrauterin presentasi kepala HI.
Pasien ditatalaksana dengan seksio sesarea atas indikasi gravid
aterm, tidak inpartu + PEB + HELLP Syndrom parsial dengan penyulit.
Lahir seorang bayi perempuan ( ♀ ) dengan berat badan 3156 gram,
panjang badan 47 cm, dengan Apgar score 7/9.
Pada kasus ini terdapat beberapa hal yang akan menjadi fokus
diskusi antara lain :
1. Apakah diagnosa pada pasien ini sudah tepat ?
2. Apakan penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat ?
3. Apakah pengaruh hipertiroid terhadap kehamilan ?
1. Apakah diagnosa pada pasien ini sudah tepat ?
Pasien ini didiagnosa dengan G2P1A0H1 Gravid aterm + PEB dalam
regimen SM dosis maintenance + HELLP Syndrom parsial + Hipertiroid.
Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala HI. Diagnosa ditegakkan
berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosa G2P1A0H1 gravid aterm ditegakkan atas dasar pasien
tidak haid sejak ± 9 bulan yang lalu, dengan hari pertama haid terakhir
lupa. Tidak terdapat tanda – tanda inpartu dan tanda – tanda impending
eklampsia. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesimpulan gravid aterm,
punggung dikiri, presentasi kepala. Taksiran berat janin sekitar 3255 gram,
tidak ada his, dan denyut jantung janin dalam batas normal.
Diagnosa pre eklampsia berat dan HELLP sindrom parsial
ditegakkan atas dasar tekanan darah 170/110 mmHg, proteinuria ++, LDH
694 u/L. Tetapi tidak didapatkannya tanda-tanda nyeri epigastrium,
43
pandangan kabur, dan nyeri kepala. Dimana menurut kepustakaan
terutama nyeri epigastrium adalah gejala yang paling penting pada HELLP
sindrom, ditemukan pada semua (100%) kasus (29 kasus) oleh Weinstein
pada tahun 1982. Setengah dari pasien (50%) pada sindrom HELLP kelas
1, 33% pada kelas 2, dan 16% pada kelas 3 dibandingkan dengan hanya
13% pada pasien preeklampsia berat tanpa HELLP sindrom. Nyeri
epigastrium yang sering terjadi berhubungan dengan mual atau muntah.
Secara keseluruhan, insiden nyeri epigastrium / mual / muntah antara 30-
90%. Setiap pasien hamil dengan myeri epigastrium atau nyeri kuadran
atas kanan yang muncul pada trimester kedua, terutama dengan mual dan
/ atau muntah, diagnosa sebagai sindrom HELLP sampai terbukti tidak.
Seorang pasien hamil dengan tanda-tanda dan gejala preeklamsia berat
yang tiba-tiba menjadi bertambah parah, nyeri sangat pada epigastrium /
nyeri perut atas kemungkinan terjadi perdarahan atau ruptur hepar dan
merupakan suatu kegawatdaruratan di kebidanan.(James N. Martin Jr et al., 2006)
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, ada dua klasifikasi
pada sindroma HELLP. Menurut Audibert dkk (1996) dikatakan sindroma
HELLP parsial apabila hanya dijumpai satu atau lebih perubahan
parameter sindroma HELLP seperti hemolysis (H), elevates liver enzymes
(EL) dan low platelet (LP). Dan sindroma HELLP murni apabila dijumpai
perubahan pada ketiga parameter tersebut. Selanjutnya sindroma HELLP
parsial dapat dibagi atas beberapa sub grup, yaitu Hemolysis (H), Low
Platelet counts (LP), Hemolysis + low platelet counts (H+LP), dan
hemolysis + elevated liver enzymes (H+EL). (Roeshadi, 2004, James N. Martin Jr et al.,
2006)
Klasifikasi yang kedua hanya berdasarkan jumlah platelet. Menurut
klasifikasi ini, Martin (1991) mengelompokkan penderita sindroma HELLP
dalam 3 kategori, yaitu: kelas I jumlah platelet 50.000/mm3, kelas II
jumlah platelet > 50.000 - 100.000/mm3, dan Kelas III jumlah platelet
>100.000 - 150.000/mm3.(Roeshadi, 2004)
44
Diagnosa hipertiroid ditegakkan atas dasar riwayat menderita
hipertiroid sejak ± 1 tahun yang lalu, minum obat secara teratur, PTU,
kemudian sejak hamil pasien tidak minum obat lagi.
Pada pasien ini didapatkan kadar T4 yang tinggi, tetapi nilai T4 total
saja tidak bermanfaat pada wanita hamil, karena nilainya yang tinggi
merupakan respon terhadap estrogen yang meningkatkan TBG. Kadar T3
dan T4 total meningkat seiring meningkatnya konsentrasi TBG. Free T3
dan T4 dalam batas normal tinggi pada trimester pertama dan kembali
normal pada trimester kedua. Peningkatan kadar T3 menunjukkan
toksisitas. Pemeriksaan TSH saja sebaiknya tidak dijadikan acuan dalam
mendiagnosa hipertiroid dalam kehamilan.
PEB pada pasien ini kemungkinan berhubungan dengan hipertiroid.
Wanita dengan tirotoksikosis memperlihatkan hasil akhir kehamilan yang
umumnya bergantung pada tercapainya kontrol metabolik. Tiroksin yang
berlebihan dapat menyebabkan keguguran. Pada wanita hamil yang tidak
diobati atau tetap hipertiroid meskipun diterapi, terjadi peningkatan insiden
preeklampsia, gagal jantung, dan outcome perinatal. (Cunningham et al., 2010c)
Diagnosa pada pasien ini perlu ditambahkan anemia ringan karena
didapatkan hemoglobin yang menurun ( 10 gr% ). Dimana anemia
didefinisikan sebagai kadar hemoglobin yang kurang dari 12 gr/dL pada
wanita tidak hamil dan kurang dari 10 gr/dL selama hamil dan masa nifas.
Sedangkan menurut The Centers for Disease Control and Prevention
(1998), anemia pada wanita hamil, dimana didapatkan kadar hemoglobin
kurang atau sama dengan 11 gr/dL pada trimester satu dan tiga, dan 10,5
gr/dL pada trimester kedua.(Cunningham et al., 2010a)
2. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat ?
Setelah diagnosa ditegakkan, didapatkan kesimpulan pasien hamil
anak kedua, cukup bulan dengan PEB, HELLP sindrom dan hipertiroid.
Kemudian diputuskan untuk dilakukan terminasi secara seksio sesarea.
Keputusan diambil atas dasar kehamilan aterm dengan PEB dan HELLP
sindrom parsial ditambah dengan penyulit berupa hipertiroid.
45
Sampai saat ini penangan sindroma HELLP masih kontroversi.
Beberapa peneliti menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera
tanpa memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya resiko
maternal serta jeleknya luaran perinatal apabila kehamilan diteruskan.
Beberapa peneliti lain menganjurkan pendekatan yang konservatif untuk
mematangkan paru-paru janin dan memperbaiki gejala klinis ibu . Namun
semua peneliti sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satu-
satunya terapi defenitif. (Roeshadi, 2004)
Penanganan sindroma HELLP lebih sulit bila dibandingkan dengan
penanganan pre eklampsia, disamping itu perlu penanganan bersifat multi
disiplin. Prioritas pertama adalah stabilisasi kondisi ibu terutama terhadap
tekanan darah, balans cairan dan abnormalitas pembekuan darah.
(Roeshadi, 2004)
Seperti penanganan preeklampsia, pemberian sulfas magnesikus
masih merupakan pilihan utama. Transfusi dan pemberian trombosit
sering diperlukan untuk mengatasi anemia ataupun koagulopati, tetapi
pemberian transfusi darah harus hati-hati dengan memperhitungkan
keseimbangan cairan, apalagi pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal. Pemberian trombosit dapat dipertimbangkan apabila kadar
trombosit kurang dari 50.000 /mm3, apalagi jika seksio sesarea akan
dilakukan.(Roeshadi, 2004)
Kadang-kadang hasil pemeriksaan laboratorium tidak
menggambarkan jauhnya kerusakan yang terjadi pada jaringan hepar,
jumlah penumpukan fibrin, perdarahan dan lobular nekrosis. Itulah
sebabnya beberapa peneliti seperti Weinstein kurang menyetujui
penanganan konservatif dan lebih menganjurkan untuk segera melakukan
terminasi kehamilan.(Roeshadi, 2004)
Tompkins dan Thigarajah (1999) melaporkan pemberian
kortikosteroid baik Betametason maupun Deksametason untuk
meningkatkan pematangan paru, meningkatkan jumlah platelet,
mempengaruhi fungsi hepar (kadar SGOT,SGPT dan LDH menurun) serta
46
memungkinkan untuk pemberian anastesia regional.(James N. Martin Jr et al.,
2006)
Adanya sindroma HELLP tidak merupakan indikasi untuk
melahirkan segera dengan cara seksio sesarea. Yang harus
dipertimbangkan adalah kondisi ibu dan anak. Ibu yang telah mengalami
stabilisasi dapat melahirkan pervaginam, bila tidak ada kontra indikasi
obstetrik. Persalinan dapat diinduksi dengan oksitosin pada semua
kehamilan 32 minggu. Ataupun kehamilan < 32 minggu dengan serviks
yang telah matang untuk diinduksi. Pada kehamilan < 32 minggu dengan
serviks yang belum matang, seksio sesarea elektif merupakan
pilihan.(Roeshadi, 2004)
3. Apakah pengaruh hipertiroid terhadap kehamilan ?
Selama kehamilan disimpulkan terjadi peningkatan kebutuhan
hormon tiroid T3 dan T4 akibat peningkatan metabolisme ibu dan janin
terutama T3 yang merupakan hasil konversi T4 dijaringan otak berfungsi
untuk perkembangan susunan saraf pusat janin, peningkatan kebutuhan
T3 dan T4 diikuti dengan peningkatan kebutuhan iodida, peningkatan
proses coupling Iodine dengan thyroglobulin di folikel tiroid menjadi T3 dan
T4. selama trimester pertama hormon tiroid ibu bisa langsung masuk ke
sirkulasi janin dan mencukupi kebutuhan janin. Ini terbukti dari penelitian
Contempre yang mengukur kadar hormon tiroid janin pada kehamilan 5
minggu pada coelomic dan cairan amnion didapatkan kosentrasi 10 kali
lebih tinggi dari sirkulasi ibu dan ketika mencapai usia kehamilan 11
minggu kosentrasinya meningkat sampai 100 kali dibandingkan
konsentrasi darah ibu, kondisi ini disertai peningkatan kadar hormon tiroid
terutama pada sirkulasi fetomaternal dibandingkan pada sirkulasi organ di
tempat lain.
Kebutuhan tiroid ibu selama trimester pertama ini dipacu dengan
peningkatan Tiroid Stimulating Hormon ( TSH ), Adanya peningkatan HCG
trimester pertama yang ternyata juga mempunyai efek stimulasi pada
reseptor TSH di kelenjar tiroid ibu, Peningkatan produksi Thyroid binding
globulin ketika trimester pertama pada sirkulasi ibu sebagai sarana
47
transpor hormon, peningkatan kebutuhan iodida. Efek dari keseluruhan
hal diatas ditandai dengan pembesaran fisiologis kelenjar tiroid selama
hamil.
Selama trimester kedua, tiroid janin telah terbentuk dan berfungsi,
sejalan dengan telah diproduksinya TSH janin dari otak, maka hormon
tiroid ibu tidak lagi mutlak diperlukan ini terbukti setelah trimester kedua fre
T4 (FT4) ibu sangat sedikit ditemukan pada sirkulasi janin. Hal ini
disebabkan permeabilitas yang rendah villichorialis plasenta terhadap T3
dan T4 ibu dan pada plasenta juga terdapat enzim placental deiodinase III
yang menonaktifkan setiap T4 ibu yang memasuki ruang intervillie. T4
yang dinonaktifkan ini dipecah dan sisa ion iodine yang lepas masuk
kesirkulasi darah janin. Sehingga setelah trimester kedua kehamilan,
peningkatan hormon tiroid ibu tidak banyak mempengaruhi kondisi hormon
tiroid janin.
Kondisi hipertiroid dalam kehamilan berhubungan dengan kedaan
ibu dan janin. Menurut penelitian Davis keadaan hipertiroid pada maternal
berhubungan dengan kejadian PEB dan kelainan jantung, sedangkan
pada janin berhubungan dengan IUGR, kelahiran preterm, IUFD, kejadian
tirotoksikosis janin, goiter dan hipotiroid pada janin. Keadaan ini
berhubungan dengan derajat hipertiroid ibu dan insidennya berbeda
tergantung apakah terkendali (treated) atau tidak terkendali (untreated)
serta usia kehamilan saat kondisi hipertiroid terjadi.(Cunningham et al., 2010c)
Pada pasien ini, keadaan hipertiroidnya telah diketahui sejak 1
tahun yang lalu dan ketika awal kehamilan pasien masih minum obat PTU
tetapi sejak kehamilan 3 bulan berhenti makan obat. Kondisi hormon tiroid
pasien bisa dikatakan cukup terkontrol pada saat 12 minggu pertama
kehamilan. Hal ini salah satu faktor yang bisa menerangkan kenapa
kondisi janin masih baik dan kehamilan berlanjut. Keadaan hipertiroid
berbahaya terutama pada trimester pertama kehamilan karena
peningkatan tiroid ibu langsung memasuki sirkulasi janin. Kondisi
hipertiroid yang tidak terkontrol pada trimester pertama ini sering
berhubungan dengan IUFD atau abortus.
48
Keadaan tirotoksikosis akan menyebabkan peningkatan
metabolisme ibu serta peningkatan kejadian jantung tiroid dan PEB pada
ibu yang pada akhirnya akan menyebabkan gangguan pada janin.
Pemakaian PTU ini berlanjut sampai aterm dan nifas untuk
mengontrol hormon tiroid ibu. PTU secara literatur drug of choise untuk
hipertiroid dalam kehamilan karena menghambat produksi T3 dan T4 ibu
(proses organification) dengan berat molekul besar sehingga impermiabel
terhadap sawar plasenta dan sukar masuk ke sirkulasijanin. obat ini juga
tidak mempengaruhi (insensitive) terhadap kerja enzim placental
deiodinase III sehingga cukup aman terhadap janin. Tetapi perlu
diperhatikan ternyata pada pemakaian lama selama kehamilan terdapat
akumulasi kadar PTU yang lolos pada janin sehingga menimbulkan suatu
goiter dan kondisi hipotiroid janin. Keadaan goiter atau struma pada tiroid
janin menimbulkan gangguan menelan janin sehingga bisa menimbulkan
suatu polihidramnion.
Ketika persalinan perlu diperhatikan kondisi nyeri dan stress
persalinan, karena merupakan salah satu faktor predisposisi peningkatan
kadar hormon tiroid bahkan sampai terjadi badai tiroid, pilihan persalinan
berdasarkan indikasi obstetrik.
49
BAB V
KESIMPULAN
1. Diagnosis pada pasien ini belum tepat.
2. Penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat. Tindakan seksio
sesarea atas indikasi PEB + HELLP sindrom parsial dengan
penyulit pada pasien ini sudah tepat.
3. Preeklampsia berat pada pasien ini kemungkinan berhubungan
dengan hipertiroid. Diagnosa hipertiroid ditegakkan dengan melihat
manifestasi klinik dan pemeriksaan laboratorium hormon tiroid.
Pilihan pengobatan saat ini dengan mengendalikan tirotoksikosis
ibu tanpa menganggu fungsi tiroid janin. Pilihan pengobatan yang
dianjurkan adalah golongan tionamid yaitu propilthiourasil (PTU).
1
DAFTAR PUSTAKA
AGHAJANIAN, P., AINBINDER, S. W., AKHTER, M. W., ANDREW, D. E., DENNIS R. ANTI, E., ARCHIE, C. L. & ARNETT, C. 2007. Thyroid and Others Endocrin during Pregnancy In: DECHERNEY, A. H., NATHAN, L. & GOODWIN, T. M. (eds.) Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology. 10 ed.: McGraw-Hill Companies.
CUNNINGHAM, F. G., LEVENO, K. J., BLOOM, S. L., HAUTH, J. C.,
ROUSE, D. J. & SPONG, C. Y. 2010a. Hematological Disorders. Williams Obstetrics. 23 ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
CUNNINGHAM, F. G., LEVENO, K. J., BLOOM, S. L., HAUTH, J. C.,
ROUSE, D. J. & SPONG, C. Y. 2010b. Pregnancy Hypertension. Williams Obstetrics. 23 ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
CUNNINGHAM, F. G., LEVENO, K. J., BLOOM, S. L., HAUTH, J. C.,
ROUSE, D. J. & SPONG, C. Y. 2010c. Thyroid and Other Endocrine Disorders. Williams Obstetrics. 23 ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
DJOKOMOELJANTO, R. 2006. Kelenjar Tiroid, Hipotiroid, dan Hipertiroid.
In: SUDOYO, A. R., SETIYOHADI, B., ALWI, I., K, M. S. & SETIATI, S. (eds.) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
GRIGORIU, C., CEZAR, C., GRIGORAS, M. & HORHOIANU, I. 2008.
Management of hyperthyroidism in pregnancy. Journal of Medicine and Life, 1, 390-396.
JAMES N. MARTIN JR, M., CARL H. ROSE, M. & CHRISTIAN M.
BRIERY, M. 2006. Understanding and managing HELLP syndrome : The integral role of aggressive glucocorticoids for mother and child American Journal of Obstetrics and Gynecology, 195, 914–934.
KRAKOW, D. 2008. Medical and Surgical Complications of Pregnancy. In:
GIBBS, S, R., KARLAN, Y, B., HANEY, F, A., NYGAARD & E, I. (eds.) Danforth's Obstetrics and Gynecology, 10th Edition. 10 ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
MESTMAN, J. H. 2004. Hyperthyroidism in pregnancy. Best Practice &
Research Clinical Endocrinology & Metabolism, 18, 267-288.
2
NEGRO, R. & MESTMAN, J. H. 2011. Thyroid disease in pregnancy. Best Practice & Research Clinical Endocrinology & Metabolism 25, 927-943.
ROESHADI, R. H. 2004. SINDROMA HELLP. In: HARIADI, R. (ed.) ILMU
KEDOKTERAN FETOMATERNAL. 1 ed. Surabaya: Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
SIBAI, B. M. 2011. Evaluation and management of severe preeclampsia
before 34 weeks’ gestation. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 191 - 198.
SPEROFF, L. & FRITZ, M. A. 2005. Reproduction and The Thyroid.
Clinical Gynecology Endocrinology and Infertility. 7 ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.