efektifitas magnesium sulfat sebagai pencegahan menggigil pasca ...
PERUBAHAN PERILAKU PENCEGAHAN FILARIASIS DI DAERAH …. Laporan-201… · Perubahan Perilaku...
Transcript of PERUBAHAN PERILAKU PENCEGAHAN FILARIASIS DI DAERAH …. Laporan-201… · Perubahan Perilaku...
i
LAPORAN PENELITIAN
PERUBAHAN PERILAKU PENCEGAHAN FILARIASIS DI DAERAH PASCA POPM DAN PASCA
TAS MENUJU ELIMINASI FILARIASIS
SANTOSO (Nomor Anggota APKESI: 20120210508)
(Kode Penelitian: 03.12.19.01)
BALAI LITBANGKES BATURAJA PUSLITBANG UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2019
i
JUDUL PENELITIAN
Perubahan Perilaku Pencegahan Filariasis di Daerah Pasca
POPM dan Pasca TAS Menuju Eliminasi Filariasis
ii
SK PENELETIAN
iii
iv
v
vi
vii
SUSUNAN TIM PENELITI
No. Nama Keahlian/
Kesarjanaan Kedudukan Dalam Tim
Uraian Tugas
1. Santoso S2-Parasitologi Ketua
Pelaksana
Bertanggung jawab terhadap seluruh aspek penelitian
2 Yahya S2-Entomologi Peneliti Bertanggung jawab terhadap survey KAP
3 Hotnida Sitorus S2-Kedokteran
Tropis Peneliti
Bertanggung jawab terhadap analisis KAP
4 Yanelza Suprenelfy
S2-Biologi Molekuler
Peneliti Bertanggung jawab terhadap indepth interview
5 Nungki Hapsari Suryaningtyas
S1-Kedokteran Hewan
Peneliti Bertanggung jawab terhadap kegiatan SDJ
6 Maya Arisanti S1-Kesmas Peneliti Bertanggungjawab terhadap kegiatan survey KAP
7 Tri Wurisastuti S1-Statistik Peneliti Bertanggung jawab terhadap analisis data
8 Rika Mayasari S1-Statistik Peneliti Bertanggung jawab terhadap analisis data
9 Vivin Magdalena S1-Biologi Peneliti Bertanggungjawab terhadap pengelolaan data GPS
10 Rizki Nurmaliani S1-Kesmas Peneliti Bertanggungjawab terhadap kegiatan survey KAP
11 Marini S1-Biologi Peneliti Bertanggungjawab terhadap pengelolaan data GPS
12 I Gedi Wempi DSP
S1-Kedokteran Hewan
Peneliti Bertanggung jawab terhadap kegiatan SDJ
13 Betriyon Litkayasa
Parasitologi Litkayasa
Bertanggung jawab terhadap pemeriksaan mikroskopis
14 Deriansyah Eka Putra
Litkayasa Parasitologi
Litkayasa Bertanggung jawab terhadap pemeriksaan mikroskopis
15 Ade Verentic Litkayasa
Parasitologi Litkayasa
Bertanggung jawab terhadap pengelolaan sampel
16 Nur Inzana Litkayasa
Parasitologi Litkayasa
Bertanggung jawab terhadap pengumpulan data SDJ
viii
17 Katarina Sri Rahayu
Litkayasa Entomologi
Litkayasa Bertanggung jawab terhadap survey lingkungan
18 Tien Febriyanti Administrasi Administrasi Bertanggung jawab terhadap administrasi
19 Zamriadi Administrasi Administrasi Bertanggung jawab terhadap administrasi
20 Himawan Sutanto
Administrasi Administrasi Bertanggung jawab terhadap administrasi
21 Yulian Taviv Kepala Balai Pembing Membantu proses perijinan
22 Aprioza Yenni Ka.Ur. TU Pembina Membantu proses perijinan
23 Anif Budiyanto Kasie PKS Pembina Advokasi hasil penelitian
24 Febriyanto Kasie Yanlit Pembina Advokasi hasil penelitian
ix
PERSETUJUAN ETIK
x
PERSETUJUAN ATASAN YANG BERWENANG
xi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat dan rahmat-Nya maka laporan hasil penelitian yang
berjudul: “Perubahan Perilaku Pencegahan Filariasis di Daerah Pasca
POPM dan Pasca TAS Menuju Eliminasi Filariasis” dapat diselesaikan
tepat pada waktunya.
Laporan hasil penelitian ini memiliki kekurangan dan keterbatasan,
sehingga kami mengharapkan kritikan dan saran yang membangun guna
perbaikan di masa datang. Laporan yang disampaikan merupakan hasil
penelitian yang telah dilakukan tim peneliti maupun tim pendukung yang
telah bekerjasama dengan kemampuan masing-masing secara maksimal.
Kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan berperan baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam proses pembuatan proposal dan protokol penelitian, pelaksanaan
kegiatan penelitian serta pembuatan laporan hasil penelitian ini.
Akhirnya penulis berharap semoga laporan hasil penelitian ini dapat
bermanfaat sebagai masukan khususnya bagi Dinas Kesehatan Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung (Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung) dan
Dinas Kesehatan Provinsi Jambi (Kabupaten Tanjung Jabung Timur)
dalam upaya Eliminasi Filariasis serta bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan terutama dalam rangka mendukung program Eliminasi
Filariasis di Indonesia.
Baturaja, Dessember 2019
xii
RINGKASAN EKSEKUTIF
PERUBAHAN PERILAKU PENCEGAHAN FILARIASIS DI DAERAH PASCA POPM DAN PASCA TAS MENUJU ELIMINASI FILARIASIS
Tim Peneliti:
Santoso, Yulian Taviv, Anif Budiyanto, Aprioza Yenni, Febriyanto, Yahya, Hotnida Sitorus, Yanelza Supranelfy, Nungki Hapsari, Maya Arisanti, Tri
Wurisastuti, Rika Mayasari, Vivin Mahdalena, Rizki Nurmaliani, Marini, I Gede Wempi DSP, Betriyon, Deriansyah Eka Putra, Nur Inzana, Ade Verientic S,
Katarina Sri Rahayu
Pengobatan massal di Kabupaten Belitung telah dilakukan sejak tahun
2006-2010 dengan cakupan pengobatan massal berkisar antara 94,0-
95,0%, sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur telah dilakukan
sejak tahun 2012. Hasil survey darah jari yang dilakukan tahun 2010 di
Kabupaten Belitung menunjukkan angka Microfilaria rate (Mf rate) sebesar
0%. Hal ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Belitung masih endemis
filariasis. Hasil kegiatan studi multicenter filariasis di Kabupaten Belitung
masih menunjukkan bahwa Kabupaten Belitung masih endemis filariasis
dengan Mf rate >1%.
Kabupaten Tanjung Jabung Timur telah melakukan pengobatan selama
lima putaran dengan cakupan pengobatan >65%, namun hasil survey Pre-
Tansmission Assessment Survey (Pre-TAS) tahun 2017 mendapatkan Mf
rate >1%. Sesuai dengan petunjuk Kementerian Kesehatan, maka
kegiatan pengobatan massal harus dilanjutkan selama 2 tahun untuk
dapat dilakukan TAS.
Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian dengan tujuan agar
diperoleh faktor yang menyebabkan kegagalan pengobatan dalam
penanggulangan filariasis serta upaya pengendalian filariasis yang
berbasis masyarakat.
Kegiatan penelitian yang dilakukan diantaranya survey darah jari (SDJ)
dan wawancara terstruktur terhadap penduduk di wilayah Kabupaten
Tanjung Jabung Timur dan Belitung, wawancara mendalam serta diskusi
kelompok. Lokasi penelitian di desa terpilih berdasarkan hasil diskusi
dengan petugas Dinas Kesehatan setempat.
xiii
Hasil wawancara terhadap penduduk mendapatkan bahwa
pengetahuan tentang filariasis di wilayah Kabupaten Belitung lebih rendah
dibandingkan dengan penduduk di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Pengetahuan masyarakat tentang akibat filariasis di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur sebesar 81% dan 90% sedangkan di Kabupaten Belitung
sebesar 67% dan 75%. Pengetahuan masyarakat tentang kegiatan
pemberian obat pencegahan massal (POPM) filariasis di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur juga lebih tinggi (96%) dibandingkan dengan
Kabupaten Belitung (64% dan 67%). Perilaku masyarakat yang ikut terlibat
dalam kegitan POPM di Kabupaten Tanjug Jabung Timur lebih tinggi
(94%) dibandingkan Kabupaten Belitung (59%).
Hasil SDJ terhadap 335 penduduk Desa Rantau Rasau dan 311
penduduk Desa Nibung Putih Kabupaten Tanjung Jabung Timur tidak
mendapatkan penduduk yang positif mikrofilaria dalam darahnya (Mf rate
0%). Sedangkan hasil SDJ terhadap 360 penduduk di Desa Suak Gual
mendapatkan 8 orang positif mikrofilaria (Mf rate 2,2%) dan di Desa Lasar
Kabupaten Belitung mendapatkan 16 orang positif mikrofilaria (Mf rate
5,1%). Berdasarkan hasil tersebut maka untuk Kabupaten Tanjung
Jabung Timur yang sebelumnya pernah gagal dalam kegiatan Pre-TAS
dapat dinyatakan lulus Pre-TAS dan dapat melanjutkan ke tahap TAS1.
Sementara Kabupaten Belitung yang pada tahun 2017 telah dinyatakan
eliminasi filariasis, ternyata berdasarkan hasil SDJ yang dilakukan dalam
penelitian ini masih menemukan bahwa di Kabupaten Belitung masih
terjadi penularan.
Berdasarkan hasil wawancara terstruktur dan wawancara mendalam
terhadap informan terpilih dan penderita diketahui bahwa sebagian besar
penderita positif mikrofilaria tidak pernah minum obat filariasis pada saat
kegiatan POPM yang telah dilakukan di Kabupaten Belitung. Mengingat
masih tingginya angka mikrofilaria di Kabupaten Belitung, maka kegiatan
SDJ dilakukan kembali terhadap penderita yang telah minum obat dan
penduduk yang belum diperiksa pada pemeriksaan pertama. Hasil SDJ
kedua terhadap 223 penduduk di Desa Suak Gual masih mendapatkan 4
xiv
orang positif mikrofilaria (2 kasus baru dan 2 kasus lama) sedangkan hasil
SDJ terhadap 380 penduduk Desa Lasar masih mendapatkan 11
penduduk positif mikrofilaria (7 kasus baru dan 4 kasus lama). Hasil
wawancara terhadap penduduk yang masih positif diketahui bahwa
terdapat penderita yang belum minum obat karena sedang menyusui,
sedangkan penderita lainnya meminum obat sampai habis tetapi cara
minum obat tidak sesuai dengan alasan karena adanya efek samping
berupa pusing, mual dan alergi. Dosis obat yang seharusnya diminum
selama 10 hari ternyata diminum dalam waktu 30 hari. Hal ini
mengakibatkan obat yang diberikan tidak efektif membunuh mikrofilaria
sehingga masih ditemukan mikrofilaria pada pemeriksaan kedua.
Hasil diskusi kelompok terhadap kader, tokoh masyarakat serta
penderita filariasis mendapatkan bahwa kegiatan pembagian obat
pencegahan filariasis yang telah dilakukan kurang efektif. Pelaksanaan
pemberian obat yang telah dilakukan tidak disertai dengan pemberian
informasi tentang tujuan dan manfaat pemberian obat tersebut, sehingga
banyak masyarakat yang tidak mau minum obat karena merasa tidak ada
manfaatnya. Sebagian tokoh masyarakat tidak mengetahui adanya
kegiatan POPM tersebut karena tidak dilibatkan dalam kegiatan tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Kabupaten
Tanjung Jabung Timur sudah tidak terjadi penularan filariasis sehingga
dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu kegiatan TAS1. Namun
demikian masih perlu dilakukan surveilan agar penularan filariasis dapat
dicegah. Sementara di Kabupaten Belitung meskipun telah dinyatakan
eliminasi filariasis namun karena masih ditemukan penduduk positif
dengan Mf rate yang cukup tinggi maka perlu perhatian lebih lanjut
khususnya di daerah lain yang berisiko dengan kegiatan survei darah jari
dan penyuluhan terhadap masyarakat untuk mencegah penularan lebih
lanjut. Rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan adalah perlu adanya
pedoman khusus terhadap daerah yang telah mendapatkan sertifikat
eliminasi untuk mempertahankan status eliminasi filariasis agar tidak
terjadi penularan kembali.
xv
ABSTRAK
Latar Belakang: Eliminasi filariasis telah dicanangkan pada tahun 2002 di Sumatera Selatan dengan target pada tahun 2020 eliminasi telah dilakukan di seluruh kabupaten/kota endemis. Kegiatan pengobatan dan evaluasi penularan telah dilakukan, namun masih ditemukan adanya kasus baru dengan angka prevalensi >1%. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh faktor yang menyebabkan kegagalan pengobatan dalam penanggulangan filariasis serta upaya pengendalian filariasis yang berbasis masyarakat.
Metode: Penelitian ini telah dilaksanakan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Kabupaten Belitung) selama delapan bulan (April–November 2019). Kegiatan penelitian yang dilakukan meliputi wawancara, survey darah jari terhadap penduduk, focus group discussion dan wawancara mendalam, serta pengumpulan data sekunder.
Hasil: Survei darah jari di Kabupaten Tanjung Jabung Timur tidak mendapatkan penduduk yang positif mikrofilaria. Survei darah jari di dua desa di Kabupaten Belitung mendapatkan revalensi mikrofilaria di Desa Lasar Kecamatan Membalong sebesar 5,1% (16/311) dan Desa Suak Gual Kecamatan Selat Nasik sebesar 2,2% (8/360). Sebanyak 10 orang (41,7%) penduduk positif tidak pernah minum obat pencegahan filariasis. Penduduk yang pernah mendapatkan obat pada kegiatan POPM filariasis di Desa Lasar sebesar 62,4% dan Desa Suak Gual sebesar 57,7%. Hasil SDJ kedua mendapatkan 15 orang positif di Kabupaten Belitung yang terdiri dari 7 kasus baru dan 4 kasus lama. Hasil wawancara mendalam terhadap kader dan tokoh masyarakat diketahui bahwa sebagian penduduk tidak minum obat pencegahan filariasis karena adanya efek samping obat dan merasa tidak membutuhkan obat tersebut. Hasil survey lingkungan mendapatkan adanya genangan air yang ditumbuhi tanaman air di sekitar pemukiman penduduk di Desa Lasar dan Desa Suak Gual yang berpotensi sebagai habitat perkembangbiakan nyamuk Mansonia sp. sebagai vector utama filariasis Brugia malayi.
Kesimpulan: Kabupaten Tanjung Jabung Timur sudah tidak endemis filariasis, sedangkan Kabupaten Belitung masih menjadi daerah endemis filariasis (Mf rate >1%) setelah 10 tahun pengobatan.
Kata kunci: Filariasis, endemis, PAR, perubahan perilaku
xvi
DAFTAR ISI
JUDUL PENELITIAN ............................................................................................ i
SK PENELETIAN ................................................................................................. ii
SUSUNAN TIM PENELITI .................................................................................. vii
PERSETUJUAN ETIK .........................................................................................ix
PERSETUJUAN ATASAN YANG BERWENANG ................................................ x
KATA PENGANTAR ............................................................................................ x
RINGKASAN EKSEKUTIF .................................................................................. xii
ABSTRAK ...........................................................................................................xv
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xvi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................xx
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
2.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
2.2. Pertimbangan/Justifikasi Fokus Penelitian ................................................ 2
2.3. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
2.4. Tujuan ...................................................................................................... 3
2.5. Manfaat .................................................................................................... 3
BAB II METODE .................................................................................................. 4
2.6. Kerangka Teori ......................................................................................... 4
2.7. Kerangka Konsep ..................................................................................... 7
2.2.1. Kerangka konsep kuantitatif ..................................................................... 7
2.2.2. Kerangka konsep kualitatif ....................................................................... 8
2.8. Tempat dan waktu .................................................................................... 9
2.9. Disain Penelitian ....................................................................................... 9
2.10. Populasi, Sampel dan Informan ................................................................ 9
2.11. Cara Penarikan Sampel/Informan ............................................................ 9
2.6.1. Sampel untuk wawancara ........................................................................ 9
2.6.2. Sampel untuk penentuan endemisitas .................................................... 10
2.6.3. Informan ................................................................................................. 10
2.12. Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................................................... 10
2.7.1. Kriteria inklusi ......................................................................................... 10
2.7.2. Kriteria eksklusi ...................................................................................... 10
2.13. Variabel .................................................................................................. 11
xvii
2.8.1. Variabel terikat ....................................................................................... 11
2.8.2. Variabel bebas ....................................................................................... 11
2.14. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data ................................................ 13
2.15. Pengawasan Kualitas Data..................................................................... 16
2.16. Manajemen dan Analisis Data ................................................................ 16
2.17. Langkah Penelitian ................................................................................. 16
2.18. Pertimbangan Ijin Penelitian ................................................................... 17
2.19. Pertimbangan Etik Penelitian .................................................................. 17
BAB III HASIL PENELITIAN .............................................................................. 18
3.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ...................................................... 18
3.1.1. Kabupaten Tanjung Jabung Timur ......................................................... 18
3.1.2. Kabupaten Belitung ................................................................................ 19
3.2. Karakteristik subyek penelitian ............................................................... 20
3.3. Karakteristik mikrofilaria ......................................................................... 21
3.4. Faktor Penyebab Kegagalan POPM ....................................................... 22
3.5. Karakteristik Penderita Filariasis ............................................................ 24
3.6. Riwayat Perjalanan Penyakit Limfatik Filariasis ...................................... 25
3.7. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku terhadap Filariasis ............................. 26
3.8. Kondisi Lingkungan Penderita Limfatik Filariasis .................................... 29
3.9. Peran Pengambil Kebijakan dalam Penangan Limfatik Filariasis ............ 30
3.10. Peran Petugas dalam Penanganan Limfatik Filariasis ............................ 31
3.11. Peran Keluarga dalam Penanganan Limfatik Filariasis ........................... 32
3.12. Identifikasi Peran Lingkungan terhadap Penyebaran Filariasis ............... 33
3.13. Intervensi Penanganan Filariasis Berbasis Masyarakat .......................... 34
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 35
4.1. Keterbatasan Penelitian ......................................................................... 35
4.2. Karakteristik Subyek Penelitian .............................................................. 35
4.3. Karakteristik Mikrofilaria ......................................................................... 35
4.4. Faktor Penyebab Kegagalan POPM ....................................................... 36
4.5. Karakteristik Penderita Filariasis ............................................................ 38
4.6. Riwayat Perjalanan Penyakit Limfatik Filariasis ...................................... 39
4.7. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku terhadap Filariasis ............................. 40
4.8. Kondisi Lingkungan Penderita Limfatik Filariasis .................................... 41
4.9. Peran Pengambil Kebijakan dalam Penangan Limfatik Filariasis ............ 42
xviii
4.10. Peran Petugas dalam Penanganan Limfatik Filariasis ............................ 44
4.11. Peran Keluarga dalam Penanganan Limfatik Filariasis ........................... 45
4.12. Identifikasi Peran Lingkungan terhadap Penyebaran Filariasis ............... 45
4.13. Intervensi Penanganan Filariasis Berbasis Masyarakat .......................... 46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... 48
2.1. Kesimpulan ............................................................................................ 48
4.14. Saran ..................................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 50
FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (INFORMED
CONSENT) ............................................................................................ 54
IJIN PENELITIAN DPMPTSP PROVINSI JAMBI ............................................... 55
IJIN PENELITIAN DPMPTSP KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR ......... 56
IJIN PENELITIAN KESBANGPOL KABUPATEN BELITUNG ............................ 57
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Karakteristik Responden di Kabupaten Belitung dan Tanjung Jabung Timur ....................................................................................... 20
Tabel 2. Faktor Risiko Filariasis ......................................................................... 23
Tabel 3. Karakteritik Penderita Positif Mikrofilaria hasil SDJ1 dan SDJ2 di Kabupaten Belitung .............................................................................. 24
Tabel 4. Pengetahuan Responden tentang Filariasis di Kabupaten Belitung dan Tanjung Jabung Timur .................................................................. 26
Tabel 5. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Masyarakat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Belitung ..................................................... 27
Tabel 6. Perilaku Responden tentang Filariasis di Kabupaten Belitung dan Tanjung Jabung Timur ......................................................................... 27
Tabel 7. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Masyarakat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Belitung ..................................................... 28
xx
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Konsep Kuantitatif ........................................................... 7
Gambar 2. Kerangka Konsep Kualitatif ............................................................. 8
Gambar 3. Peta Administratif Kabupaten Tanjung Jabung Timur ...................... 18
Gambar 4. Peta Administratif Kabupaten Belitung ............................................ 20
Gambar 5. Distribusi dan Gambaran Kondisi Lingkungan Penderita Filariasis di Kabupaten Belitung ....................................................... 30
1
BAB I PENDAHULUAN
2.1. Latar Belakang
Filariasis (penyakit kaki gajah) masih menjadi masalah kesehatan di
Provinsi Bangka Belitung dan Jambi. Pengobatan massal di Kabupaten
Belitung telah dilakukan sejak tahun 2006-2010 dengan cakupan
pengobatan massal berkisar antara 94,0-95,0%,1 sedangkan di Kabupaten
Jambi telah dilakukan sejak tahun 20122. Hasil survey darah jari yang
dilakukan tahun 2010 di Kabupaten Belitung menunjukkan angka Mf rate
0%. Hal ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Belitung sudah tidak
dinyatakan endemis filariasis. Hasil kegiatan studi multicenter filariasis di
Kabupaten Belitung masih menunjukkan bahwa Kabupaten Belitung
masih endemis filariasis dengan Microfilaria rate (Mf rate) >1% 3.
Kabupaten Tanjung Jabung Timur telah melakukan pengobatan selama
lima putaran dengan cakupan pengobatan >65%, namun hasil survey Pre-
Tansmission Assessment Survey (Pre-TAS) tahun 2017 mendapatkan
Microfilaria rate (Mf rate) >1%4. Sesuai dengan petunjuk Kementerian
Kesehatan, maka kegiatan pengobatan massal harus dilanjutkan selama 2
tahun untuk dapat dilakukan TAS. Sebelum kegiatan TAS, maka perlu
dilakukan survey Pre-TAS kembali untuk menilai kelayakan dari TAS5.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka filariasis masih menjadi
permasalahan di Provinsi Bangka Belitung, khususnya di Kabupaten
Belitung dan di Provinsi Jambi khususnya di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur. Hal ini terjadi kemungkinan karena tidak adanya kegiatan
surveilans setelah kegiatan POPM, sehingga muncul kembali kasus baru
setelah POPM tersebut. Sesuai dengan pedoman eliminasi filariasis,
kegiatan surveilan filariasis seharusnya dilakukan selama lima tahun
berturut-turut pasca pengobatan massal5.
Kegiatan penanggulangan penyakit bukan lagi menjadi tugas dan
tanggung jawab petugas kesehatan semata namun melibatkan
masyarakat agar masyarakat juga memiliki rasa tanggung jawab dalam
mengatasi masalah kesehatan.
2
2.2. Pertimbangan/Justifikasi Fokus Penelitian
Kegiatan pengendalian filariasis di wilayah Provinsi Jambi dan
Kepulauan Bangka Belitung, khususnya di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur dan Kabupaten Belitung telah dilakukan sesuai dengan kebijakan
program pengendalian filariasis yang telah ditetapkan oleh Kementerian
Keseharan RI. Pengobatan massal filariasis selama 5 tahun berturut-turut
di kedua kabupaten telah dilakukan. Survei evaluasi penularan
(Transmission Assessment Survey/TAS) filariasis juga telah dilakukan di
Kabupaten Belitung dengan hasil kegiatan menyatakan bahwa Kabupaten
Belitung lulus TAS. Namun berdasarkan hasil studi multicenter masih
ditemukan penderita positif dengan Mf rate >1%.
Kegiatan selanjutnya adalah surveilan filariasis pasca kegiatan TAS.
Hasil studi survei Pre-TAS di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan
penelitian multicenter filariasis tahun 2017 di kedua kabupaten tersebut
masih ditemukan penderita filariasis dengan Mf rate >1%. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun telah dilakukan pengobatan massal dan
telah dilakukan evaluasi pengobatan, namun masih ditemukan penderita
positif dan berdasarkan kriteria Kemenkes bahwa bila Mf rate >1% maka
daerah tersebut dinyatakan endemis filariasis.
2.3. Rumusan Masalah
Kegiatan setelah pengobatan massal dan evaluasi penularan filariasis
adalah surveilan filariasis. Hasil studi multicenter filariasis tahun 2017 dan
survey Pre-TAS di kedua kabupaten tersebut masih ditemukan penderita
filariasis dengan Mf rate >1%. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun telah
dilakukan pengobatan massal dan telah dilakukan evaluasi pengobatan,
namun masih ditemukan penderita positif dan berdasarkan kriteria
Kemenkes bahwa bila Mf rate >1% maka daerah tersebut dinyatakan
endemis filariasis.
Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian tentang surveilans
epidemiologi dalam penanggulangan filariasis dengan pendekatan
keluarga dan masyarakat.
3
2.4. Tujuan
1.4.1. Tujuan Umum
Diperolehnya faktor yang menyebabkan kegagalan pengobatan dalam
penanggulangan filariasis serta upaya pengendalian filariasis yang
berbasis masyarakat.
1.4.2. Tujuan Khusus
1) Identifikas karakteristik mikrofilaria di daerah paska POPM dan
paska TAS;
2) Identifikasi faktor yang menyebabkan kegagalan POPM di daerah
paska POPM dan paska TAS;
3) Diperoleh informasi tentang karakteristik penderita limfatik filariasis;
4) Diperoleh informasi tentang riwayat perjalanan penyakit limfatik
filariasis dan pengobatannya;
5) Diperoleh informasi pengetahuan dan perilaku masyarakat
terhadap pencegahan penularan filariasis;
6) Diperoleh informasi tentang kondisi lingkungan penderita limfatik
filariasis;
7) Identifikasi peran pengambil kebijakan dalam penanganan limfatik
filariasis;
8) Identifikasi peran petugas kesehatan dalam penanganan limfatik
filariasis;
9) Identifikasi peran keluarga dalam penanganan penderita limfatik
filariasis;
10) Identifikasi peran lingkungan terhadap penyebaran limfatik filariasis;
11) Aplikasi intervensi penanganan filariasis berbasis masyarakat.
2.5. Manfaat
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu model
pengendalian filariasis yang dapat diterapkan dalam upaya eliminasi
filariasis di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Provinsi Jambi
4
BAB II METODE
2.6. Kerangka Teori
Penyebaran penyakit filariasis melibatkan banyak faktor yang sangat
kompleks yaitu cacing filaria sebagai agen penyakit, manusia dan hewan
sebagai inang dan nyamuk dewasa sebagai vektor serta faktor lingkungan
fisik, biologik dan sosial, yaitu faktor sosial ekonomi dan perilaku
penduduk setempat. Penularan penyakit dapat dicegah dengan
memutuskan mata rantai penularan, salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan pengendalian terhadap agent penyebab
penyakit dengan cara mengobati penderita6.
Kegiatan eliminasi filariasis di Indonesia didukung dengan kebijakan
dan strategi dalam pengendalian filariasis yang meliputi: (1) Identifikasi
daerah endemis filariasis melalui survei cepat (SDJ); (2) Pendidikan
kesehatan terhadap masyarakat; (3) Pengobatan massal di daerah
endemis filariasis; (4) Pengendalian vektor; (5) Evaluasi pengobatan
massal7.
Kegiatan pengendalian filariasis yang efektif adalah dengan
memutuskan mata rantai penularan. Salah satu upaya yang paling efektif
adalah dengan pengobatan penderita dan pengobatan massal terhadap
seluruh masyarakat di sekitar lokasi penderita filariasis. Hasil penelitian
yang telah dilakukan oleh Santoso dkk. di Kabupaten Belitung Timur
menunjukkan bahwa angka cakupan pengobatan massal yang mencapat
>90% telah menurunkan tingkat endemisitas filarisis di Kabupaten
Belitung Timur8.
Pengendalian filariasis telah dilakukan sesuai dengan kebijakan
program pengendalian filariasis, namun beberapa kendala masih ditemui.
Kurangnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengendalian filariasis
mengakibatkan program eliminasi filariasis di Indonesia terhambat
sehingga perlu adanya pendekatan metode penanggulangan filariasis
dengan melibatkan masyarakat dengan metode Particitaption Action
5
Research (PAR) yang telah dikembangkan untuk menanggulangi masalah
kesehatan masyarakat9.
Prinsip metode PAR adalah dengan melakukan identifikasi
permasalahan yang dihadapai di masyarakat dan melibatkan masyarakat
untuk memecahkan masalahnya sendiri dengan cara pendampingan
dalam pemecahan masalah tersebut. Pemecahan masalah dilakukan
sesuai dengan kemampuan dan budadaya masyarakat setempat dengan
pendekatan perubahan perilaku secara bertahap10,11
Aplikasi penelitian dengan metode PAR ini meliputi beberapa tahapan.
Masing-masing tahapan memiliki tujuan, strategi alat dan sarana tertentu,
yang bertujuan untuk mendukung tujuan akhir dari suatu permasalahan.
Tahapan yang dapat dilakukan dalam penelitian PAR diantaranya: 12
Tahap 1: Klarifikasi tujuan penelitian
Sebelum kegiatan penelian PAR dimulai, mitra penelitian (peneliti dan
anggota masyarakat) harus memiliki pemahaman yang jelas tentang
tujuan yang lebih luas dari kegiatan penelitian. Penting juga untuk
memperjelas tujuan dari peneliti, dan bagaimana hal ini berhubungan
dengan tujuan dari calon mitra dari komunitas.
Strategi: Kembangkan pernyataan misi. Mitra penelitian dapat
mengembangkan pernyataan misi yang mengidentifikasi hasil yang
diinginkan, dan strategi umum menuju ke sana. Misi tersebut tidak perlu
menjelaskan rincian penelitian, atau strategi khusus, karena ini akan
diidentifikasi melalui proses partisipatif.
Tahap 2: Mengidentifikasi dan melibatkan beragam pemangku
kepentingan
Tahap kedua adalah mengidentifikasi "pemangku kepentingan" dan
memfasilitasi partisipasi mereka dalam penelitian. Pemangku kepentingan
didefinisikan sebagai setiap orang, kelompok, atau lembaga yang
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh penelitian.
6
Partisipasi stakeholder berarti keterlibatan aktif langsung dari tahap
konseptual penelitian dan termasuk mengidentifikasi pertanyaan
penelitian, menerapkan dan menggunakan penelitian.
Strategi: Identifikasi semua pemangku kepentingan yang terpengaruh
oleh penelitian. Partisipasi pemangku kepentingan harus bebas tanpa ada
tekanan dan perlu dihormati keputusan pemangku jabatan untuk terlibat
atau tidak.
Tahap 3: Membangun Kepercayaan
Tidak seperti proses penelitian konvensional, mengembangkan
pertanyaan penelitian bukanlah titik awal dari proses PAR. Membangun
kepercayaan adalah tahap yang diperlukan sebelum mengembangkan
pertanyaan penelitian. Membangun kepercayaan anggota komunitas
dalam proses penelitian yang sangat penting dalam PAR membutuhkan
banyak waktu dan kesabaran.
Strategi: Ciptakan ruang untuk komunikasi informal dan interaksi
reguler di antara mitra penelitian untuk membangun kepercayaan.
Tahap 4: Membangun Pemahaman Umum
Setelah pemangku kepentingan diidentifikasi, dan tingkat kepercayaan
ada di antara mereka, tahap berikutnya adalah membangun pemahaman
bersama. Proses ini, sambil memakan waktu, akan memastikan bahwa
semua pemangku kepentingan memiliki seperangkat ekspektasi yang
disepakati dari penelitian sehingga mereka dapat tetap diinvestasikan
dalam proses.
Strategi: Pemangku kepentingan harus didorong untuk secara eksplisit
menguraikan tujuan mereka sehingga memungkinkan untuk melihat di
mana posos mereka agar tidak tumpang tindih, dan di mana
perbedaannya. Strategi yang paling umum adalah mengatur pertemuan
para pemangku kepentingan.
7
Tahap 5: Identifikasi Pertanyaan atau Pertanyaan Penelitian
Tahap berikutnya setelah membangun pemahaman bersama adalah
secara khusus mengidentifikasi pertanyaan atau pertanyaan penelitian.
Daftar masalah atau kekhawatiran yang dikembangkan selama tahap
membangun pemahaman bersama dapat digunakan pada tahap ini,
selanjutnya dipilih pertanyaan penelitian.
Strategi: Pilih kriteria untuk mengidentifikasi pertanyaan penelitian, dan
kemudian beri peringkat pertanyaan potensial berdasarkan kriteria yang
dipilih.
Strategi lain yang dapat diterapkan dalam penelitian PAR diantaranya
adalah dengan pendekatan Planning (perencanaan), Action
(aksi/tindakan) and Reflection (refleksi), dan diikuti dengan Evaluation
(evaluasi). 13
2.7. Kerangka Konsep
2.2.1. Kerangka konsep kuantitatif
ENDEMISITAS FILARIASIS
Pemeriksaan mikroskopis: - Spesies mikrofilaria - Kepadatan mikrofilaria
- Mf rate
Karakteristik Subyek: - Umur - Jenis kelamin - Pendidikan - Pekerjaan - Lama tinggal - Suku
Lingkungan: - Kondisi lingkungan rumah - Kondisi lingkungan sekitar rumah - Tipe lingkungan
Riwayat penderita: - Riwayat pengobatan - Riwayat penyakit
APLIKASI METODE INTERVENSI
Gambar 1. Kerangka Konsep Kuantitatif
8
2.2.2. Kerangka konsep kualitatif
Berdasarkan kerangka teori maka dibangun konsep penelitian yang
akan dilakukan untuk menyusun kerangka konsep penelitian. Langkah
penelitian adalah: 1) identifikasi permasalahan dan agen perubahan yang
ada; 2) menyusun rencana kegiatan; 3) melakukan aksi/tindakan; 4)
refleksi terhadap kegiatan yang telah dilakukan, melakukan perbaikan bila
diperlukan; 5) evaluasi terhadap aksi yang telah dilakukan disertai dengan
penilaian tingkat endemisitas filariasis di daerah penelitian. Berikut
kerangka konsep penelitian yang disusun:
Identifikasi
- Permasalahan - Pihak yang
berkepentingan - Dukungan masyarakat - Dukungan Petugas
Perencanaan
- Rencana aksi/tindakan - Sumber daya - Tenaga - Fasilitator
Aksi
- Penerapan aksi - Optimalisasi tindakan - Penyediaan sarana - Dukungan pihak terkait
Refleksi
- Kesadaran individu - Kesadaran tim/kelompok - Ketersediaan sarana - Kendala yang dihadapi
Evaluasi
- Peran masing-masing - Hambatan yang ditemui - Perbaikan - Aplikasi
Gambar 2. Kerangka Konsep Kualitatif
9
2.8. Tempat dan waktu
Penelitian akan dilakukan di wilayah Kabupaten Belitung, Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur,
Provinsi Jambi selama 10 bulan (Maret – Desember 2019).
2.9. Disain Penelitian
Disain penelitian ini kualitatif dengan pendekatan Participatory Action
Research (PAR). Untuk penilaian faktor risiko didukung dengan
pendekantan kuantitatif.
2.10. Populasi, Sampel dan Informan
2.5.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh aspek yang berhubungan
dengan filariasis di Provinsi Bangka Belitung dan Jambi, dengan target
populasi adalah kecamatn endemis filariasis masih endemis filariasis
setelah kegiatan POPM.
2.5.2. Sampel dan Informan
Besar sampel untuk evaluasi penentuan endemisitas sesuai dengan
pedoman dari kemenkes adalah sebanyak 2 desa dengan jumlah
penduduk desa yang diperiksa masing-masing sebesar 300 orang
sehingga total penduduk yang diperiksa sebanyak 600 orang.5
Informan untuk wawancara mendalam adalah petugas kesehatan di
tingkat kabupaten, kecamatan dan desa serta masyarakat desa di wilayah
penelitian. Informan masyarakat terdiri dari penderita, keluarga penderita,
kader, dan tokoh masyarakat.
2.11. Cara Penarikan Sampel/Informan
2.6.1. Sampel untuk wawancara
Penarikan sampel untuk wawancara adalah seluruh penduduk yang
diambil darahnya dalam kegiatan survey darah jari (SDJ).
10
2.6.2. Sampel untuk penentuan endemisitas
Penarikan sampel untuk masyarakat dipilih berdasarkan quota, yaitu
jika jumlah penduduk yang datang pada saat pemeriksaan darah malam
hari telah mencukupi jumlah sampel yang ditentukan, maka pengambilan
sampel dihentikan.
2.6.3. Informan
Cara penarikan informan untuk penentuan wawancara mendalam
menggunakan metode snow ball.
2.12. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
2.7.1. Kriteria inklusi
1) Wawancara:
a) Bersedia diwawancara;
b) Usia >16 tahun atau sudah menikah;
c) Tidak mengalami gangguan jiwa;
d) Sakit berat
2) SDJ :
a) Bersedia diambil darah ;
b) Usia > 5 tahun;
c) Tidak sedang sakit berat ;
2.7.2. Kriteria eksklusi
1) Wawancara:
a) Anggota keluarga yang baru tinggal (< 6 bulan);
b) Anggota keluarga yang sudah pindah/tinggal di desa lain
2) SDJ:
a) Penduduk yang baru tinggal (<6 bulan);
b) Penduduk yang tinggal sementara;
11
2.13. Variabel
2.8.1. Variabel terikat
1) Limfatik Filariasis: penduduk yang pernah dinyatakan menderita
limfatik filariasis baik berdasarkan gejala klinis maupun hasil
pemeriksaan darah oleh petugas kesehatan.
2) Endemisitas: prevalensi penduduk yang positif menderita
mikrofilaremia berdasarkan hasil pemeriksaan darah jari yang
dinyatakan dalam Microfilaria rate (Mf rate).
2.8.2. Variabel bebas
1) Spesies mikrofilaria: jenis mikrofilaria yang ditemukan
berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis.
2) Kepadatan mikrofilaria: jumlah mikrofilaria yang ditemukan pada
seluruh penduduk positif dibandingkan dengan jumlah seluruh
penduduk diperiksa.
3) Microfilaria rate (Mf rate): jumlah penduduk positif mikrofilaria per
desa dibagi jumlah penduduk diperiksa per desa.
4) Umur: usia subyek/responden dalam tahun dihitung sebelum
ulang tahun terakhir.
5) Jenis kelamin: jenis kelamin subyek/responden berdasarkan ciri
fisik atau pengakuan dari responden.
6) Pendidikan: tingkat pendidikan subyek/responden yang diperoleh
dari pendidikan formal dan mendapatkan ijazah atau surat tanda
tamat belajar.
7) Pekerjaan: jenis pekerjaan utama subyek/responden sesuai
dengan pengakuan subyek/responden.
8) Lama tinggal: jangka waktu subyek/responden tinggal secara
menetap di lokasi penelitian.
9) Suku: suku bangsa subyek/responden sesuai dengan pengakuan
subyek/responden.
10) Riwayat pengobatan: riwayat subyek/responden dalam
pengobatan filariasis baik pengobatan massal maupun selektif.
12
11) Riwayat penyakit: riwayat subyek/responden terhadap penyakit
filariasis, baik yang positif mikrofilaria, kronis/klinis, maupun yang
negatif/tidak menderita filariasis.
12) Kondisi lingkungan rumah: keadaan lingkungan fisik di dalam dan
sekitar halaman rumah.
13) Kondisi lingkungan sekitar rumah: kondisi lingkungan fisik di luar
pekarangan rumah dengan radius + 50 meter.
14) Tipe lingkungan: jenis/tipe lingkungan di lokasi dekat tempat
tinggal yang meliputi pantai, hutan, non hutan.
15) Peran pengambil keputusan: peranan pengambil keputusan dalam
menentukan kebijakan pengendalian filariasis di daerah penelitian
yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam.
16) Peran petugas: peranan petugas kesehatan dalam penemuan
kasus, pengobatan, surveilans kasus, penyuluhan/promosi
kesehatan terhadap masyarakat yang diperoleh dengan
wawancara mendalam.
17) Peran keluarga: peran serta keluarga dalam menangani penderita
limfatik filariasis di keluarga berupa pengawasan pengobatan,
perawatan penderita dan pencegahan penularan.
18) Peran Masyarakat: peran serta masyarakat di sekitar penderita
dalam penanggulangan filariasis.
19) Kondisi lingkungan: kondisi fisik lingkungan rumah penderita
limfatik filariasis yang meliputi keberadaan genangan air,
keberadaan hewan reservoir, keberadaan hutan, kondisi rumah,
dan keberadaan penderita di sekitar rumah yang diperoleh dari
hasil wawancara dan observasi lingkungan.
20) Metode intervensi: metode pengendalian filariasis dengan
peningkatan partisipasi masyarakat yang diperoleh dari hasil
penelitian yang diterapkan selama penelitian.
13
2.14. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data
2.9.1. Instrumen
Intrumen yang digunakan untuk pengumpulan data tingkat endemisitas
adalah perlengkapan pemeriksaan darah jari. Intrumen untuk pengambilan
data terhadap petugas kesehatan berupa formulir isian dan pedoman
wawancara mendalam, sedangkan instrumen untuk perilaku masyarakat
berupa kuesioner terstruktur.
2.9.2. Cara pengumpulan data
Pengumpulan data endemisitas dilakukan dengan pemeriksaan darah
jari terhadap penduduk di lokasi terpilih. Pengumpulan data dari petugas
kesehatan yaitu dengan wawancara mendalam dan telaah dokumen.
Pengumpulan data perilaku masyarakat dengan melakukan wawancara
terhadap masyarakat terpilih.
1) Identifikasi permasalahan filariasis
Melakukan identifikasi permasalahan limfatik filariasis di daerah
penelitian dengan melakukan Focus Group Discusion (FGD) dan indepth
interview terhadap informan terpilih.
2) Identifikasi peran petugas, masyarakat, pemangku kebijakan
Melakukan identifikasi permasalahan petugas, masyarakat dan
pemangku kebijakan dalam pengendalian filariasis di daerah penelitian
dengan melakukan Focus Group Discusion (FGD) dan indepth interview
terhadap informan terpilih.
3) Perencanaan kegiatan
Merencanakan tindakan yang sesuai dengan kebutuhan/permasalahan
yang ada dalam pengendalian filariasis di daerah penelitian dengan
melakukan Focus Group Discusion (FGD) dan indepth interview terhadap
informan terpilih.
14
4) Aksi/tindakan
Melakukan aksi tindakan sesuai dengan hasil kesepakatan yang telah
ditentukan dalam tahap perencanaan sesuai dengan peran masing-
masing.
5) Refleksi
Melakukan refleksi terhadap peran masing-masing sesuai dengan
kesepakatan yang telah dibuat. Apakah setiap orang/tim telah melakukan
aksi sesuai dengan perencanaan.
6) Evaluasi
Melakukan evaluasi terhadap aksi yang telah dilakukan oleh masing-
masing orang/tim. Apakah aksi yang dibuat telah memberikan dampak
terhadap penurunan kasus limfatik filariasis di lokasi penelitian. Evaluai
disertai dengan pemeriksaan darah terhadap penduduk berisiko tertular
filariasis.
7) Pengambilan spesimen darah untuk pemeriksaan mikroskopis
Pengambilan spesimen filtrasi darah vena dilakukan pada malam hari
dimulai pukul 16.00-00.00 WIB. Pengambilan volume darah sebanyak 60
µl dilakukan oleh petugas laboratorium. Langkah-langkah pengambilan
spesimen darah adalah sebagai berikut 14,15:
a) Menyiapkan formulir survei darah.
b) Mencatat dalam formulir survei darah berupa nomor urut, nama,
umur, jenis kelamin, dan kode sediaan bagi warga yang akan diambil
spesimen darah jarinya
c) Memberi nomor dengan spidol waterproof sesuai dengan kode
sediaan yang telah ditetapkan dalam formulir survei darah pada kaca
benda (slide) yang sudah bersih dari lemak dan kotoran.
d) Mengusap ujung jari manis atau tengah dengan kapas alkohol.
e) Menusuk ujung jari manis atau tengah dengan lanset.
f) Darah yang keluar pertama dibersihkan dengan kapas/tisu kering.
g) Darah diambil dengan pipet kapiler sebanyak 60µl.
15
h) Darah diteteskan pada kaca benda membentuk tiga tetes besar.
i) Darah dilebarkan dengan posisi memanjang membentuk tiga garis
sejajar.
j) Kaca benda yang sudah terisi darah dikeringkan pada suhu kamar
selama 24 jam.
8) Pembuatan larutan giemsa
Memasukkan larutan giemsa sebanyak 25 ml ke dalam beacker glass
kemudian ditambah buffer pH 7,2 atau aquadest sampai 500 ml dengan
perbandingan 1:20 kemudian homogenkan.
9) Pewarnaan sediaan darah
a) Sediaan darah diletakkan berjajar di tempat yang datar.
b) Letakkan spesimen membran di atas rak pewarnaan kemudian
fiksasi menggunakan metanol sebanyak 3 ml, diamkan hingga kering
c) Spesimen membran diwarnai dengan cara ditetesi larutan Giemsa
sampai semua permukaan sediaan tergenang larutan Giemsa
(kurang lebih 20 tetes) dan didiamkan selama 30 menit.
d) Kemudian spesimen membran dibilas dengan air bersih dan
dikeringkan dalam suhu kamar selama 24-72 jam
e) Setelah kering, sediaan membran disusun dan disimpan dalam box
slide.
10) Pemeriksaan mikroskopis
Dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan perbesaran 10x10 untuk
mengetahui adanya cacing fiaria dalam sampel darah yang diperiksa.
11) Survei habitat vektor filariasis
Survei habitat vektor filariasis dilakukan di sekitar rumah penderita
filariasis yang terdaftar sebagai penderita filariasis berdasarkan laporan
Dinas Kesehatan Belitung.
16
2.15. Pengawasan Kualitas Data
Pengawasan kualitas kualitatif dilakukan dengan metode triangulasi,
yaitu menanyakan pertanyaan yang sama dengan informan lain.
Pengawasan kualitas data kuantitatif dilakukan dengan melatih petugas
pewawancara, editing data hasil wawancara, supervisi dan monitoring
kegiatan wawancara.
2.16. Manajemen dan Analisis Data
Data hasil wawancara mendalam dilakukan transkripsi untuk
selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis data berupa analisis
konten. Data hasil wawancara terstruktur terhadap masyarakat
dikumpulkan menurut desa, dilakukan editing data, selanjutnya dilakukan
enti data. Sebelum dianalisis data terlebih dahulu dilakukan pembersihan
(cleaning).
Setelah data dibersihkan selanjutnya dilakukan analisis hubungan
antara variabel bebas dan terikat. Data hasil anlisis disajikan dalam bentuk
narasi, tabel dan grafik. Analisis data kualitatif dilakukan dengan analisis
konten (isi sesuai tema). Analisis data kuantiatif untuk menilai hubungan
antara variabel bebas dan terikat dilakukan dengan Chi-square.
2.17. Langkah Penelitian
2.12.1. Persiapan
Persiapan penelitian telah dilakukan sejak November 2017, yaitu
dengan pembuatan proposal penelitian untuk pengajuan anggaran.
Pembuatan protokol penelitian dilakukan apabila proposal telah disetujui.
Langkah selanjutnya yaitu pembentukan tim peneliti dan pengurusan etik
penelitian.
2.12.2. Pelaksanaan pengumpulan data
Pelaksanaan pengumpulan data dilakukan bila persetujuan etik
penelitian dari komisi etik Badan Litbangkes RI telah diterbitkan.
Pengumpulan data dilakukan pada tahun 2019.
17
2.12.3. Manajemen data
Manajemen data hasil penelitian dilakukan setiap kali setelah data
terkumpul dari lokasi penelitian. Data dikumpulkan dan diperiksa
kelengkapan baik jumlah kuesioner maupun kelengkapan isian kuesioner.
2.12.4. Analisis data
Analisis data dilakukan setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul
dan sudah melalui proses manajemen data.
2.12.5. Pelaporan
Pembuatan laporan dilakukan di akhir pelaksanaan penelitian, yaitu
setelah seluruh data yang dibutuhkan terkumpul dan telah dilakukan
analisis.
2.18. Pertimbangan Ijin Penelitian
Penelitian ini perlu mendapatkan ijin dari Kementerian Dalam Negeri,
dalam hal ini adalah Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Sosial
(Kesbangpol Priovinsi/Kabupaten lokasi penelitian).
2.19. Pertimbangan Etik Penelitian
Penelitian ini melibatkan manusia sebagai subyek penelitian sehingga
perlu mendapat persetujuan etik dari komisi etik Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia.
18
BAB III HASIL PENELITIAN
3.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian
3.1.1. Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2018
Gambar 3. Peta Administratif Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Kabupten Tanjung Jabung Timur (Kab. Tanjabtim) memiliki luas wilayah
adminitratif 5.445 KM² dengan luas perairan (laut) ± 4.061,7 Km2 dan
terletak antara 0°53’ LS -1°41’ LU dan antara 103°23’-104°31 BT. Wilayah
Kab. Tanjabtim terdiri dari 11 kecamaatan, 73 desa dan 20 kelurahan
dengan jumlah penduduk tahun 2018 sebanyak 218.413 jiwa dengan
kepadatan penduduk sebesar 40,11 jiwa/Km². Batas wilayah di sebelah
Utara dan Timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah Barat
berbatasan Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Muaro
19
Jambi, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Muaro Jambi dan
Provinsi Sumatera Selatan. Kabupaten Tanjung Jabung Timur mempunyai
ketinggian kurang lebih 0–100 mdpl. Topografi daerah pada umumnya
dataran rendah terdiri dari rawa/gambut dengan permukaan tanah banyak
dialiri pasang surut air laut dengan ketinggian antara 0-20 mdpl.
Kabupaten Tanjung Jabung Timur beriklim tropis basah dengan rata-rata
curah hujan tahunan berkisar antara 2.000-3.000 milimeter per tahun,
dengan 8-10 bulan basah dan 2-4 bulan kering. Rata-rata curah hujan
bulan basah 179–279 mm dan curah bulan kering 68-106 mm. Suhu
udara rata-rata 22,9–31,4°C. Kelembaban udara 78–81% pada bulan
Desember-Januari dan 73% pada bulan September. Rata-rata penyinaran
matahari bulanan adalah 32,50% dengan lama penyinaran tertinggi
sebesar 43% terjadi pada bulan Mei dan Juni, penyinaran terendah
sebesar 20% terjadi pada bulan Maret dan umumnya penyinaran matahari
berkisar antara 6–8 jam perhari. Jumlah kasus kronis filariasis yang
ditangani sampai dengan tahun 2018 sebanyak 73 kasus 16.
3.1.2. Kabupaten Belitung
Secara geografis Kabupaten Belitung terletak antara 107º08’-107º58’
BT dan 02º30’-03º15’ LS dengan luas seluruhnya 229.369 Ha atau kurang
lebih 2.293,69 Km² dengan ketinggian 500 mdpl dengan puncak tertinggi
ada di daerah Gunung Tajam. Batas wilayah Kabupaten Belitung adalah:
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, Sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Belitung Timur, Sebelah Selatan
berbatasan dengan Laut Jawa Sebelah Barat berbatasan dengan Selat
Gaspar. Kabupaten Belitung terdiri dari lima kecamatan yaitu Kecamatan
Tanjungpandan, Kecamatan Badau, Kecamatan Sijuk, Kecamatan
Membalong dan Kecamatan Selat Nasik. Jumlah desa sebanyak 42 desa
dan 7 kelurahan yang terdiri dari pulau besar dan kecil sebanyak 98 buah,
dengan jumlah penduduk sebanyak 182.418 jiwa dengan jumlah
penduduk terbanyak di Kecamatan Tanjungpandan sebanyak 101.416
jiwa dan terkecil di Kecamatan Selat Nasik sebanyak 6.279 jiwa. Jumlah
20
Puskesmas di Kabupaten Belitung sebanyak 9 buah. Jumlah kasus kronis
filariasis yang ditangani sampai dengan tahun 2017 sebanyak 31 kasus17.
Sumber: https://dispar.belitungkab.go.id/peta-wilayah
Gambar 4. Peta Administratif Kabupaten Belitung
3.2. Karakteristik subyek penelitian
Wawancara terstruktur telah dilakukan terhadap penduduk berusia >16
tahun di empat desa terpilih dengan jumlah responden yang diwawancarai
sebanyak 1.051 orang. Karakteristik responden disajikan dalam tabel 1.
Berikut:
Tabel 1. Karakteristik Responden di Kabupaten Belitung dan Tanjung Jabung Timur
Karakteristik
Belitung Tanjung Jabung
Timur Jumlah
Lasar Suak Gual
Nibung Putih
Rantau Rasau
Jenis Kelamin: - Pria - Wanita
129 (45%) 155 (55%)
123 (44%) 157 (56%)
84 (38%)
139 (62%)
112 (42%) 152 (58%)
448 (43%) 603 (57%)
Tingkat Pendidikan: - Tidak Pernah Sekolah - Tidak Tamat SD
17 (6%)
43 (15%)
4 (1%)
63 (23%)
10 (5%) 15 (7%)
3 (1%)
28 (11%)
34 (3%)
149 (14%)
21
- Tamat SD - Tamat SLTP - Tamat SLTA - Diploma - Sarjana
132 (46%) 57 (20%) 30 (11%)
1 (0%) 4 (1%)
120 (43%) 51 (18%) 32 (11%)
3 (1%) 7 (3%)
59 (26%) 47 (21%) 71 (32%)
9 (4%) 12 (5%)
90 (34%) 57 (22%) 77 (29%)
2 (1%) 7 (3%)
401 (38%) 212 (20%) 210 (20%)
15 (2%) 30 (3%)
Pekerjaan: - Tidak Bekerja - Sekolah - Ibu Rumah Tangga - PNS/TNI/Polri - Pegawai BUMN - Pegawai Swasta - Wiraswasta - Pelayanan Jasa - Petani - Buruh - Nelayan - Lainnya
29 (10%)
16 (6%) 105 (37%)
2 (1%) 1 (0%) 4 (2%)
13 (5%) 1 (0%)
39 (14%) 6 (2%)
54 (19%) 14 (5%)
15 (5%) 21 (8%)
98 (35%) 3 (1%) 0 (0%) 0 (0%)
12 (4%) 1 (0%)
84 (30%) 3 (1%)
34 (12%) 9 (3%)
21 (9%) 17 (8%)
64 (29%) 22 (10%)
0 (0%) 13 (6%)
24 (11%) 5 (2%)
34 (15%) 5 (2%) 0 (0%)
18 (8%)
22 (8%) 17 (6%)
77 (29%) 6 (2%) 1 (0%) 7 (3%)
21 (8%) 0 (0%)
106 (40%) 3 (1%) 1 (0%) 3 (1%)
87 (8%) 71 (7%)
344 (33%) 33 (3%) 2 (0%)
24 (2%) 70 (7%) 7 (1%)
263 (25%) 17 (2%) 89 (9%) 44 (4%)
Total 284 (100%) 280 (100%) 223 (100%) 264 (100%) 1.051 (100%)
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar responden
berjenis kelamin wanita. Hal ini disebabkan karena kegiatan wawancara
dilakukan pada pagi hingga sore hari, sehingga yang lebih banyak
dijumpai pada saat wawancara adalah ibu rumah tangga, karena kepala
keluarga sedang bekerja. Pendidikan responden paling banyak adalah
tamat SD dan paling sedikit adalah tamat Diploma. Jenis pekerjaan paling
banyak adalah ibu rumah tangga, sedangkan pekerjaan selain ibu rumah
tangga yang paling banyak adalah petani. Jenis pekerjaan petani paling
banyak ditemukan di Desa Rantau Rasau, hal ini karena lokasi Desa
Rantau Rasau merupakan daerah perkebunan kelapa sawit sehingga
sebagian besar penduduknya memiliki pekerjaan sebagai petani sawit.
Jenis pekerjaan nelayan hanya ditemukan di wilayah Kabupaten Belitung
karena kedua desa lokasi penelitian dekat dengan laut sehingga banyak
penduduk yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan.
3.3. Karakteristik mikrofilaria
Survei darah jari (SDJ) telah dilakukan di Desa Nibung Putih dan
Rantau Rasau Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Desa Suak Gual
dan Lasar Kabupaten Belitung. Hasil SDJ terhadap 646 penduduk di
22
wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur tidak mendapatkan penduduk
positif mikrofilaria (mf) sehingga tidak diketahui karakteristik mf di wilayah
ini. Kegiatan SDJ di Kabupaten Belitung dilakukan dua kali. Jumlah
penduduk yang diperiksa pada kegiatan SDJ pertama sebanyak 671
orang dengan jumlah positif mf sebanyak 24 orang dengan proporsi
penduduk positif sebesar 3,6%. Hasil SDJ kedua mendapatkan 15 orang
positif dari 603 penduduk yang diperiksa (2,5%). Spesies mf yang
ditemukan seluruhnya adalah Brugia malayi.
Kepadatan mf hasil SDJ pertama pada 24 orang penderita berkisar
antara 1-67 mf per sediaan darah, sedangkan hasil SDJ kedua berkisar
antara 1-49 mf per sediaan darah. Kepadatan mf rata-rata per mL darah
dihitung menggunakan rumus:18
𝐾𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑚𝑖𝑘𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙𝑎𝑟𝑖𝑎 𝑝𝑒𝑟 𝑚𝐿 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎 𝑚𝑖𝑘𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙𝑎𝑟𝑖𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑥 16,75
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, kepadatan mf pada
pemeriksaan pertama sebesar 198 mf per mL darah, dan pada
pemeriksaan kedua sebesar 170 mf per mL darah. Meskipun pada
pemeriksaan kedua telah terjadi penurunan, namun karena kepadatan mf
lebih besar dari 50mf/mL darah, maka masih digolongkan dalam
kepadatan tinggi19.
3.4. Faktor Penyebab Kegagalan POPM
Hasil wawancara mendalam terhadap penderita positif ditemukan
bahwa sebagian besar tidak minum obat atau minum obat hanya satu kali
dari lima tahun pengobatan. Hal ini disebabkan adanya rasa takut setelah
minum obat karena adanya efek samping berupa demam seperti
disampaikan beberapa informan berikut:
“Dakde ni... dak isak dapat. Mun tetangge katenye dapat, tapi nenek dak dapat”. (AM) (tidak ada… tidak pernah dapat… kalau tetangga katanya dapat, tapi nenek tidak dapat) “Banyak urang takut…, Sekali minum demam, jadi urang lah takut…”(SY) (Banyak orang takut, sekali minum demam, jadi orang sudah takut)
23
“Moal dapat, tapi ndak diminum… takut…muji obatnye gede… tapi bapak minum dulu…. Sekarang lah ninggal…” (KM) (Iya dapat, tapi tidak diminum, karena obatnya besar, jadi takut minumnya… tapi kalau bapak minum…. Sekarang sudah meninggal)
. Beberapa penderita mengaku baru tinggal di lokasi penelitian kurang
dari 10 tahun sehingga tidak mendapatkan obat pada saat kegiatan
POPM filariasis. Selain itu juga ditemukan penderita yang masih berusia
12 tahun sehingga pada saat pembagian obat belum mendapatkan obat.
Hasil analisis bivariat terhadap faktor risiko filariasis disajikan dalam
tabel 2 berikut:
Tabel 2. Faktor Risiko Filariasis
Faktor Risiko Hasil Pemeriksaan
Jumlah P
value %CI
Positif Negatif
Lama tinggal:
- < 15 tahun
- > 15 tahun
4 (0,8%)
20 (2,8%)
517 (99,2%)
682 (97,2%)
521 (100%)
702 (100%)
0,006 1,288-
11,157
Total 24 (2,0%) 1.199 (98,0%) 1.123 (100%)
Minum obat pencegahan:
- Ya
- Tidak
13 (2,1%)
11 (16,7%)
607 (97,9%)
55 (83,3%)
620 (100%)
66 (100%)
0,000 3,995-
21,828
Total 24 (3,5%) 662 (96,5%) 686 (100%)
Hasil analisis faktor risiko filariasis menunjukkan bahwa lama tinggal
berhubungan dengan kejadian filariasis. Penduduk yang tinggal >15 tahun
memiliki risiko lebih besar untuk terkena filariasis. Sebanyak 14 dari 24
penduduk positif mengaku pernah mendapat obat pada kegiatan POPM
filariasis namun hanya 13 orang yang mengaku meminum obat tersebut.
Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan yang bermakna
antara perilaku minum obat dan risiko terkena filariasis (p<0,005). Hasil ini
menunjukkan bahwa salah satu factor kegagalan pengobatan adalah
karena banyak penduduk yang tidak minum obat pada kegiatan POPM
filariasis.
24
3.5. Karakteristik Penderita Filariasis
Kegiatan SDJ dilakukan di dua desa di wilayah Kabupaten Tanjung
Jabung Timur dan dua desa di wilayah Kabupaten Belitung. Kegiatan SDJ
di Kabupaten Tanjung Jabung Timur tidak mendapatkan penduduk positif
mf, sedangkan di Kabupaten Belitung mendapatkan 24 penduduk positif
mf dari 671 penduduk yang diperiksa. Berdasarkan hasil tersebut maka
penduduk yang positif dibeeri pengobatan sesuai dosis yang telah
ditetapkan. Selanjutnya dilakukan pengambilan darah lagi terhadap
penduduk yang positif dan penduduk lainnya yang belum dilakukan
pengambilan darah pada kegiatan SDJ pertama. Hasil SDJ kedua
mendapatkan 15 penduduk positif dari 603 penduduk yang diperiksa.
Berikut karakteritik penderita positif mf:
Tabel 3. Karakteritik Penderita Positif Mikrofilaria hasil SDJ1 dan SDJ2 di Kabupaten Belitung
No
Umur & Jenis
Kelamin Puskesmas Desa Dusun RT/RW Spesies
mikrofilaria
Kepadatan per slide
L P SDJ
1 SDJ
2
1 60 Simpang Rusa Lasar Bt. Manna RT.17 B.malayi 31 0
2 50 Simpang Rusa Lasar Bt. Manna RT.16 B.malayi 1 0
3 55 Simpang Rusa Lasar Bt. Manna RT.16 B.malayi 24 4
4 43 Simpang Rusa Lasar Bt. Manna RT.18 B.malayi 1 0
5 46 Simpang Rusa Lasar Bt. Manna RT.17 B.malayi 4 0
6 38 Simpang Rusa Lasar Bt. Manna RT.15 B.malayi 1 0
7 55 Simpang Rusa Lasar Bt. Manna RT.17 B.malayi 12 0
8 23 Simpang Rusa Lasar Bt. Manna RT.17 B.malayi 15 0
9 52 Simpang Rusa Lasar Bt. Manna RT.15 B.malayi - 1
10 57 Simpang Rusa Lasar Bt. Manna RT.16 B.malayi - 28
11 44 Simpang Rusa Lasar Bt. Manna RT.18 B.malayi - 5
12 73 Simpang Rusa Lasar Ds. Dudat RT 13 B.malayi 5 0
13 25 Simpang Rusa Lasar Ds. Dudat RT 13 B.malayi 3 2
14 49 Simpang Rusa Lasar Ds. Dudat RT 13 B.malayi 4 1
15 60 Simpang Rusa Lasar Ds. Dudat RT 13 B.malayi - 10
16 Simpang Rusa Lasar Ds. Dudat RT 12 B.malayi - 7
17 44 Simpang Rusa Lasar Ds. Ulim RT.11 B.malayi 2 9
18 39 Simpang Rusa Lasar Ds. Ulim RT.11 B.malayi 1 0
19 34 Simpang Rusa Lasar Ds. Ulim RT.11 B.malayi 1 0
20 47 Simpang Rusa Lasar Ds. Ulim RT.11 B.malayi 3 0
21 28 Simpang Rusa Lasar Ds. Ulim RT.11 B.malayi 7 0
25
22 50 Simpang Rusa Lasar Ds. Ulim RT.10 B.malayi - 11
23 29 Simpang Rusa Lasar Ds. Ulim RT.10 B.malayi - 5
1 44 Selat Nasik S. Gual RT.01 RW.01 B.malayi 8 0
2 60 Selat Nasik S. Gual RT.01 RW.01 B.malayi 11 0
3 52 Selat Nasik S. Gual RT.07 RW.02 B.malayi 67 0
4 32 Selat Nasik S. Gual RT.07 RW 02 B.malayi 15 0
5 52 Selat Nasik S. Gual RT.07 RW.02 B.malayi 2 0
6 60 Selat Nasik S. Gual RT.03 RW.01 B.malayi 20 2
7 56 Selat Nasik S. Gual RT.04 RW.01 B.malayi 8 0
8 12 Selat Nasik S. Gual RT.04 RW.01 B.malayi 38 16
9 50 Selat Nasik S. Gual RT.05 RW.02 B.malayi - 49
10 66 Selat Nasik S. Gual RT. 06 RW.02 B.malayi - 3
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa umur penderita limfatik filariasis
paling rendah 12 tahun dan paling tinggi 73 tahun. Usia penderita hamper
seluruhnya merupakan usia produktif. Hasil analisis bivariat dengan uji
Independet T-test mendapatkan bahwa ada perbedaan rata-rata umur
antara penduduk positif dan negative mf (p=0,02). Rata-rata umur
penduduk yang positif 45 tahun sedangkan penduduk negative 33 tahun.
3.6. Riwayat Perjalanan Penyakit Limfatik Filariasis
Seluruh penderita positif mf yang ditemukan merupakan penduduk asli
di desa lokasi penelitian dengan lama tinggal sebagian besar >15 tahun.
Berdasarkan wawancara terhadap beberapa penduduk diketahui bahwa di
kedua desa lokasi penelitian pernah ada penderita kronis yang sudah
mengalami pembengkakan pada kaki, namun sudah lama meninggal.
Berdasarkan informasi tersebut, maka dapat diasumsikan bahwa
penularan filariasis terjadi setempat, artinya penduduk positif terkena
filariasis dari sumber infeksi yang ada di lokasi penelitian. Seluruh
penduduk tidak mengetahui bila mereka sudah terinfeksi mf sebelum
dilakukan pemeriksaan. Hal ini karena belum adanya gejala klinis serta
belum pernah dilakukan pemeriksaan sebelumnya. Seluruh penderita
yang ditemukan pada pemeriksaan pertama telah diberi pengobatan
Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) tiga kali 1 tablet 100 mg per hari
selama 12 hari, kecuali satu orang penderita yang sedang menyusui.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kembali terhadap penderita positif mf.
26
Hasil pemeriksaan kedua masih menemukan lima orang yang positif mf
dari 24 yang diperiksa. Hasil kunjungan dan wawancara terhadap
penderita diketahui bahwa hamper seluruh penderita mengalami efek
samping pengobatan berupa demam, mengantuk, letih, lesu, mual dan
ditemukan satu orang penderita berusia 12 tahun yang mengalami efek
samping alergi (gatal-gatal) setelah minum obat. Penderita yang masih
positif disebabkan karena belum minum obat, mengalami alergi obat
sehingga obat tidak diminum setiap hari, serta penderita yang memilki
kepadatan microfilaria cukup tinggi.
3.7. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku terhadap Filariasis
Tabel 4. Pengetahuan Responden tentang Filariasis di Kabupaten Belitung dan Tanjung Jabung Timur
Variabel pertanyaan
Belitung Tanjung Jabung
Timur Jumlah
Lasar Suak Gual
Nibung Putih
Rantau Rasau
Penyebab filariasis: - Cacing - Ditularkan nyamuk - Penyakit keturunan
6 (2%)
48 (17%) 1 (0%)
10 (7%)
76 (27%) 0 (0%)
29 (13%)
133 (60%) 5 (2%)
29 (11%)
128 (49%) 0 (0%)
74 (7%)
385 (37%) 6 (1%)
Akibat filariasis: - Kaki/tangan besar - Tidak ada gejala - Demam/tubuh sakit - Ketiak/paha bengkak - Buah dada/skrotum
191 (67%)
0 (0%) 22 (8%) 12 (4%) 9 (3%)
203 (75%)
1 (0%) 12 (4%) 0 (0%) 0 (0%)
199 (90%)
1 (0%) 14 (6%) 3 (1%) 7 (3%)
214 (81%)
1 (0%) 12 (5%) 3 (1%) 4 (2%)
807 (77%)
3 (0%) 60 (6%) 18 (2%) 20 (2%)
Tindakan saat demam: - Ada riwayat demam - Petugas kesehatan - Dukun - Beli obat di warung - Obat tradisional
7 (3%)
5 (71%) 1 (14%) 2 (29%) 2 (29%)
6 (2%)
5 (83%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
3 (1%)
3 (100%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
13 (5%) 9 (69%) 0 (0%)
2 (15%) 0 (0%)
29 (3%)
22 (76%) 1 (3%)
4 (14%) 2 (7%)
Pengetahuan POPM: - Ya, mengetahui - Petugas/guru - Keluarga/tetangga - Papan pengumuman - Selebaran/koran - Tempat ibadah - Radio/televisi - Lainnya
179 (64%) 132 (78%) 28 (17%)
2 (1%) 1 (1%) 1 (1%) 2 (1%)
18 (11%)
187 (67%) 154 (82%) 27 (14%)
1 (0%) 0 (0%) 1 (1%) 0 (0%) 5 (3%)
210 (96%) 163 (80%)
11 (6%) 4 (2%) 0 (0%) 3 (2%) 1 (0%)
36 (18%)
252 (96%) 141 (56%) 30 (12%)
9 (4%) 3 (1%) 2 (1%) 3 (1%)
109 (43%)
828 (79%) 590 (73%) 96 (12%)
16 (2%) 4 (1%) 7 (1%) 6 (1%)
168 (21%)
27
Tabel 5. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Masyarakat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Belitung
Kabupaten Tingkat Pengetahuan
Jumlah P value 95% CI Rendah Tinggi
Belitung 448 (79,4%) 116 (20,6%) 564 (100%) 0,000 3,787-6,518
Tanjabtim 213 (43,7%) 274 (56,3%) 487 (100%)
Total 661 (69,2%) 390 (37,1%) 1051 (100%)
Berdasarkan Tabel 4. diketahui bahwa pengetahuan masyarakat
tentang penyebab filariasis masih rendah, terutama penduduk di wilayah
Kabupaten Belitung. Sementara pengetahuan masyarakat tentang
penyebab filariasis yang ditularkan oleh nyamuk di Desa Nibung Putih,
Tanjung Jabung Timur cukup tinggi. Pengetahuan responden akibat
filariasis berupa pembengkakan kaki/tangan cukup tinggi namun untuk
akibat lain sebagian besar masih rendah. Tindakan responden apabila
mengalami demam sebagian besar akan berobat ke petugas kesehatan.
Pengetahuan responden tentang kegiatan POPM filariasis cukup tinggi.
Berdasarkan Tabel 5. hasil analisis perbedaan tingkat pengetahuan
masyarakat tentang filariasis di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan
Belitung menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna secara statistic
(p=0,000)
Tabel 6. Perilaku Responden tentang Filariasis di Kabupaten Belitung dan Tanjung Jabung Timur
Variabel pertanyaan
Belitung Tanjung Jabung
Timur Jumlah
Lasar Suak Gual
Nibung Putih
Rantau Rasau
Ikut POPM filariasis (n=1.051): - Ya - Tidak
168 (59%) 116 (41%)
165 (59%) 115 (41%)
207 (93%) 16 (7%)
247 (94%) 17 (6%)
787 (75%) 264 (25%)
Berapa macam obat (n=787): - 1 macam - 2 macam - 3 macam - 4 macam
36 (21%) 49 (29%) 58 (35%)
9 (5%)
17 (10%) 26 (16%) 81 (49%) 32 (19%)
2 (1%)
17 (8%) 148 (72%)
34 (16%)
3 (1%)
14 (6%) 98 (40%)
121 (49%)
58 (7%)
106 (14%) 385 (49%) 196 (25%)
28
- > 4 macam - Lupa
9 (5%) 7 (4%)
5 (3%) 4 (2%)
6 (3%) 0 (0%)
11 (5%) 0 (0%)
31 (4%) 11 (1%)
Obat diminum (n=787): - Ya, semua - Ya, sebagian - Tidak diminum
139 (83%)
15 (9%) 14 (8%)
144 (87%)
12 (7%) 9 (6%)
197 (95%)
7 (3%) 3 (2%)
237 (96%)
6 (2%) 4 (2%)
717 (91%)
40 (5%) 30 (4%)
Cara minum obat (n=757): - Dihadapan petugas/Guru - Dihadapan kader - Dihadapan perangkat desa - Di rumah sendiri - Disimpan, lalu diminum
2 (1%) 0 (0%) 0 (0%)
146 (95%) 6 (4%)
2 (1%) 1 (1%) 0 (0%)
140 (90%) 13 (8%)
45 (22%)
8 (4%) 0 (0%)
127 (62%) 24 (12%)
6 (3%) 1 (0%) 2 (1%)
209 (86%) 25 (10%)
55 (7%) 10 (1%)
2 (0%) 622 (82%)
68 (9%)
Kapan obat diminum (n=757): - Pagi - Siang - Sore - Malam
8 (5%) 6 (4%) 2 (1%)
138 (90%)
13 (8%)
6 (4%) 1 (1%)
136 (87%)
11 (5%)
38 (19%) 8 (4%)
147 (72%)
9 (4%)
16 (7%) 6 (2%)
212 (87%)
41 (5%) 66 (9%) 17 (2%)
633 (84%)
Alasan tidak minum (n=30): - Lupa - Sibuk kerja - Takut efek samping - Merasa sehat
3 (21%)
0 (0%) 4 (29%) 7 (50%)
0 (0%)
2 (20%) 7 (80%)
0 (0%)
0 (0%) 0 (0%)
2 (67%) 1 (33%)
2 (50%) 1 (25%) 1 (25%)
0 (0%)
5 (16%) 3 (10%)
14 (47%) 8 (27%)
Efek samping obat (n=757): - Pusing/sakit kepala - Panas/demam - Badan sakit/nyeri/linu - Perut mulas/sakit - Muntah - Mengantuk
5 (31%) 2 (13%)
0 (0%) 3 (19%)
0 (0%) 6 (38%)
9 (39%) 5 (22%)
2 (9%) 2 (9%) 0 (0%)
5 (22%)
30 (31%)
6 (6%) 3 (3%) 9 (9%) 3 (3%)
47 (48%)
68 (41%)
1 (1%) 1 (1%)
35 (21%) 1 (1%)
59 (36%)
112 (37%)
14 (5%) 6 (2%)
49 (16%) 4 (1%)
117 (38%)
Apakah keluar cacing (n=757): - Ya - Tidak - Tidak tahu - Lupa
2 (1%) 149 (97%)
0 (0%) 3 (2%)
0 (0%) 156 (100%)
0 (0%) 0 (0%)
3 (2%) 192 (94%)
9 (4%) 0 (0%)
2 (1%) 226 (93%)
15 (6%) 0 (0%)
7 (1%) 723 (96%)
24 (3%) 3 (0%)
Tabel 7. Perbedaan Perilaku Masyarakat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Belitung
Kabupaten
Perilaku terhadap upaya pencegahan filariasis
Jumlah P value 95% CI
Rendah Tinggi
Belitung 421 (74,6%) 143 (25,4%) 564 (100%) 0,000 5,395-9,297
Tanjabtim 143 (29,4%) 344 (70,6%) 487 (100%)
Total 564 (53,7%) 487 (46,3%) 1051 (100%)
29
Perilaku responden yang terlibat dalam kegiatan POPM filariasis di
Kabupaten Belitung lebih rendah dibandingkan dengan responden di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur, demikian juga dengan perilaku minum
obat lebih tinggi pada responden di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
dibandingkan responden di Belitung. Sebagian besar responden minum
obat di rumah sendiri pada malam hari. Alasan responden yang tidak
minum obat paling banyak adalah karena takut efek samping. Efek
samping yang paling banyak ditemukan setelah minum obat adalah
pusing. Hasil analisis bivariat (Tabel 7) menunjukkan adanya perbedaan
signifikan terhadap perilaku masyarakat dalam upaya pencegahan
penularan filariasis di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Belitung
(p=0,000). Perilaku responden di Kabupaten Tanjung Jabung Timur lebih
baik dibandingkan di Kabupaten Belitung.
3.8. Kondisi Lingkungan Penderita Limfatik Filariasis
Kondisi lingkungan penderita limfatik filariasis di Kabupaten Belitung
adalah berupa daerah rawa dekat pantai. Hasil observasi lingkungan
mendapatkan adanya tempat perkembangbiakan potensial bagi vektor
filariasis khususnya nyamuk Mansonia spp. Meskipun pada saat kegiatan
survey dalam kondisi musim kemarau namun masih ditemukan genangan
air di sekitar rumah penderita. Berikut gambaran kondisi lingkungan
penderita filariasis di Kabupaten Belitung:
30
Gambar 5. Distribusi dan Gambaran Kondisi Lingkungan Penderita Filariasis di Kabupaten Belitung
3.9. Peran Pengambil Kebijakan dalam Penangan Limfatik Filariasis
Peran pengambil kebiajakan dalam penanganan filariasis di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur sudah cukup baik, diantaranya dengan
mengeluarkan surat keputusan tim pengendalian filariasis sampai tingkat
desa seperti disampaikan oleh Kepala Seksi P2P Dinkes Kabupaten
Tanjung Jabung Timur berikut ini:
:… aparat pemerintah daerah dan kerjasama dengan masyarakat jadi itu di..secara bersama kebijakan didalam arti pembuatan SK adalah suatu kebijakan untuk eee supaya ada eee terkoordinasi dan ada dasar hukum untuk penguatan di dalam masyarakat jadi ada dasar hukumnya karena ini memang harus ditanggulangi secara bersama sama…” (MP).
Kebijakan pengendalian filariasis juga dilakukan sampai tingkat desa di
wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, diantaranya bagi masyarakat
diwajibkan untuk minum obat pencegahan filariasis, dan bila tidak minum
maka akan dipersulit untuk mengurus administrasi di kelurahan. Berikut
cuplikan wawancara dengan petugas Puskesmas:
31
“… Cuman dikasih tau kalau ga minum mungkin dari pihak kelurahan mungkin gak ngasih kalau minta surat surat gitu… Jika warganya tidak minum mungkin kalau ada urusan kekelurahan dipersulit lagi gitu kan….”(ER)
Peran pengambil kebijakan dalam pengendalian filariasis di Kabupaten
Belitung belum optimal karena filariasis dianggap tidak membutuhkan
kebijakan khusus seperti disampaikan oleh Kepala Bidang P2P Dinkes
Kabupaten Belitung berikut ini:
“…Kalau kebijakan khusus yang sifatnya..artinya…berkaitan dengan masalah perundangan itu memang kita dak punya perda khusus untuk yang eliminasi itu, ini programnya yang sudah kita laksanakan program yang diumumkan pemerintah itu cuma selama 5 tahun ini ya setelah pengobatan massal itu kemudian eee ya kita ikuti dengan pengobatan selektif sekarang ini tapi kalau kebijakan khusus misalnya berkaitan dengan eee..penerbitan peraturan daerah itu disini belum ada karena mungkin dipandang belumla ya kecuali kalau kita sudah kesulitan betul kesulitan…” (JS).
Berdasarkan hasil wawancara mendalam terhadap petugas kesehatan
di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur diketahui bahwa terdapat
dukungan dari pengambil kebijakan dalam pengendalian filariasis. Hal ini
berkaitan dengan kegagalan POPM filariasis pada tahun 2017 sehingga
pemerintah daerah setempat dari tingkat kabupaten hingga
kelurahan/desa membuat kebijakan dalam pengenlian filariasis.
Sementara di Kabupaten Belitung tidak ada kebijakan khusus dalam
pengendalian filariasis, hal ini disebabkan karena Kabupaten Belitung
telah mendapat sertifikat eliminasi filariasis sehingga masalah filariasis
dianggap tidak bermasalah lagi.
3.10. Peran Petugas dalam Penanganan Limfatik Filariasis
Peran petugas kesehatan, khususnya petugas Puskesmas dalam
pengendalian filariasis di Kabupate Tanjung Jabung Timur cukup baik,
diantaranya dengan melakukan koordinasi dengan kader untuk kegiatan
POPM filariasis. Selain itu juga adanya kebijakan dari petugas puskesmas
untuk mewajibkan pasien yang berkunjung ke Puskesmas harus sudah
32
minum obat filariasis agar bisa dilayani oleh petugas, seperti disampaikan
oleh informan berikut:
“… Programnya itulah bu pemantauan lagi disetiap wilayah itu jadi jika ada yang keluhan kita ada kader jadi langsung memberitahu ke puskesmas itu dari jaringan jadi kita telpon lagi nanti kan minta nomer hapenya nanti pas sore atau apa diingetin lagi. Kami harapakan apa ya jadi setiap yang berobat ke sini kami harapkan sudah apa syarat untuk minum obat itu sudah ada gitu bu jadi tiap yang berobat kesini atau yang berkunjung minta skbs atau apa itu diwajibkan sudah minum obat kaki gajah kami harapkan gitu…” (ER)
Peran petugas kesehatan di wilayah Kabupaten Belitung relative
rendah dalam pengendalian filariasis. Hal ini karena status Kabupaten
Belitung yang sudah eliminasi filariasis pada tahun 2017, sehingga tidak
ada kegiatan khusus dalam penanggulangan filariasis seperti disampaikan
oleh petugas kesehatan berikut:
“… Kalau pengendalian filariasis kita karena memang kemarin sudah eliminasi jadi kita sudah pasif baik dari ee dinas kesehatan kita sudah jarang gitu melakukan koordinir sampel lagi saya juga termasuk baru yang megang 2017 karena pengobatan massal terakhir itu saya lupa mungkin sekitar tahun 2009 atau 2010…” (MA).
Berdasarkan hasil SDJ dalam penelitian ini yang mendapatkan 31
penduduk positif mf, maka petugas kesehatan telah berkomitment untuk
menanggulangi filariasis agar status eliminasi dapat dipertahankan seperti
disampaikan informan berikut:
“… Ada …harapan saya itu paling tidak masyarakat itu yang terutama daerah yang kita temukan kasus yang banyak mereka itu mendapatkan semua obat DEC, itu harapan saya karena salah satu kita untuk mencegah berkembangnya rantai ini supaya…memutuskan rantai penularan ini ya seperti itu gitu…”(MA).
3.11. Peran Keluarga dalam Penanganan Limfatik Filariasis
Sebagian besar keluarga penderita mengaku tidak pernah mendapat
obat pencegahan filariasis pada waktu kegiatan POPM filariasis yang
pernah dilakukan di lokasi penelitian. Keluarga penderita juga
menganggap bahwa filariasis disebabkan oleh guna-guna, seperti
disampaikan oleh keluarga penderita berikut:
33
“…Ada dulu, ada nama orang, ada orang dua dulu tapi istilah apa klo dulu kan orang itu banyak mitos, jadi ngate kaki gajah itu umpama kena gane…. Dak tahulah apa itu, nah…jadi kena itu tadi mantra… Hantu pak, ade dari orang macem2 men kito. Jadi dak tahu dulu saya dulu. Ade dulu orang pernah pak gede, satu orang laki satu orang bini…”(MT)
“…Ndak tahu juga, mual dulu dapat tapi ndak di makan…” (LL). “…Heem, ndak tahu aku ndak pernah jadi ndak pernah aku makan obat kata orang-orang gede apa itu ndak pernah aku. Ndak tahu mungkin aku ndak ada di sini atau gimana...” (JM)
Sikap dan tindakan keluarga penderita setelah mengetahui salah satun
anggota keluarganya terkena filariasis adalah menganjurkan segera
berobat. Selain itu keluarga penderita berharapa agar diberi penyuluhan
tentang filariasis agar tidak terjadi penularan filariasis ke anggota keluarga
yang lain.
“…begitulah kalau ada obatnya dikasih obat supaya baik gitu. Supaya ndak berkembang dia. Nak ku suruh berobatlah pak biar jangan sampai penyakit itu nambah terus kan jadi harus di cegah berobat itu lah…”(SK)
Yaa, harapannya, gimana lah ya, dibanyak-banyak peyuluhanlah gitu yang dari puskesnya yang dari desanya, kitakan gak tahu gimana supaya untuk pencegahan itu gimana. Ya paling dari puskes, supaya gini-gini misalkan ini ini. Mungkin itulah, kita kan gak tahu juga mau pencegahannya gimana supaya gak yang lainnya kena gitu kan, gak menular. kitakan gak tahu juga. Ya paling dari, dari bapak-bapaklah nanti atau dari desa ini ini ini…”(JM)
3.12. Identifikasi Peran Lingkungan terhadap Penyebaran Filariasis
Kondisi lingkungan di Kabupaten Belitung baik lingkungan fisik, biologi
maupun social sangat mendukung penularan filariasis. Kondisi lingkungan
fisik dan biologi yang mendukung penularan filariasis yaitu ditemukannya
banyak genangan air yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan
vector, kondisi lingkungan yang dikelilingi oleh hutan, kondisi lingkungan
perumahan yang saling berdekatan serta masih adanya anggapan bahwa
filariasis merupakan penyakit keturunan mengakibatkan filariasis masih
menjadi masalah kesehatan di Kabupaten Belitung seperti informasi yang
disampaikan oleh salah satu tokoh masyarakat Desa Suak Gual berikut
ini:
34
“… Kalo aku ini yeh kalo menjawab tentang kaki gajah itu dak pula mengkhawatirkan e...nah itu kan berdasar keturunan kan cuman kadang-kadang ade urang tuh istilahnye memang ade gejala di situ yeh karene kami tuh ada jua dulu siape yeh dikate sekeluarge bukan keluarge tapi berhubung istilahnye dapurnye itu yehmemang sih kakinye kalo ketika datang penyakitnya pak mudah mamak merah itu tak tanye umak e...tapi ade si kakak itu dak begawe ilang sendiri…”(YS)
3.13. Intervensi Penanganan Filariasis Berbasis Masyarakat
Kegiatan pengendalian filariasis selama ini hanya melibatkan kader
kesehatan tanpa melibatkan tokoh masyarakat khususnya dalam kegiatan
POPM dan penyuluhan. Hasil diskusi kelompok dengan tokoh masyarakat
mendapatkan suatu kesepakatan bahwa tokoh masyarakat bersedia
membantu bila dilibatkan dalam kegiatan eliminasi filariasis. Keterlibatan
tokoh masyarakat diharapkan dapat lebih diterima oleh masyarakat
dibandingkan hanya dengan melibatkan kader kesehatan. Berikut hasil
diskusi kelompok dengan tokoh masyarakat:
“… tapi kalo untuk berkolaborasi menentaskan itu kami siap untuk bekolaborasi yeh dak yeh untuk kepentingan masyarakat yeh dak pemerintah kan karena ini pemerintah rt-rt ini termasuk pemerintah (YS)…nanti kalo memang sudah dikasih tau dari bapak-bapak ini dak yeh kita koordinasi dengan ini dengan bapaknya mudah-mudahan akan disampaikan kita sudah tau yah dah tau kita sebarkan nanti kepada masyarakat masyarakat kita yang terkait rt kan masing-masing rt ini kan punya rukun satu rukun tetangga rt rt (AR)… Nah jua nambah sidikit mun dapat kami jua dilibatkan gitu pak (RS)…”
35
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan Particitaption Action Research
(PAR), yaitu pendekatan penelitian dengan melibatkan masyarakat dalam
mengatasi masalah kesehatan. Penilaian keterlibatan masyarakat dalam
penanggulangan filariasis di lokasi penelitian tidak dapat dilakukan
sepenuhnya mengingat filariasis adalah merupakan penyakit kronis yang
masa inkubasi dan penularannya relatif lebih lama dibandingkan dengan
penyakit menular lainnya. Penilaiain hanya dilakukan terhadap penduduk
yang positif dan minum obat filariasis. Partisipasi masyarakat dinilai dari
penderita positif yang minum obat dan hasil pemeriksaan terhadap
penderita dan penduduk setelah minum obat.
4.2. Karakteristik Subyek Penelitian
Responden dalam penelitian ini lebih banyak wanita dibandingkan pria.
Hal ini berkaitan dengan waktu pelaksanaan wawancara yang dilakukan
pada pagi hingga sore hari, sehingga pada saat kunjungan ke rumah
penduduk lebih banyak penduduk wanita yang dijumpai. Demikian juga
dengan jenis pekerjaan responden paling banyak ditemui adalah ibu
rumah tangga. Hal ini karena pada saat kunjungan ke rumah penduduk
sebagian besar yang berada di rumah adalah ibu rumah tangga yang tidak
bekerja/melakukan aktfitas di luar rumah.
4.3. Karakteristik Mikrofilaria
Hasil SDJ di Kabupaten Tanjung Jabung Timur tidak menemukan
penduduk positif microfilaria, sehingga tidak dapat diketahui karakteristik
mikrofilaria di wilayah ini. Hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap
penduduk yang diperiksa mendapatkan bahwa seluruh spesies microfilaria
penderita yang ditemukan pada penderita positif adalah Brugia malayi.
Hasil ini sesuai dengan hasil survey sebelumnya yang dilakukan di
wilayah Belitung yang juga mendapatkan spesies mikrofilaria B.malayi.
36
Hasil penelitian sebelumnya juga mendapatkan adanya hewan reservoir
yang positif B.malayi, yaitu pada monyet ekor panjang20. Spesies
mikrofilaria B.malayi merupakan spesies yang bersifat zoonotik, yaitu
dapat menularkan penyakit dari manusia ke hewan dan sebaliknya. Hal ini
yang kemungkinan menjadi sumber penularan filariasis di Kabupaten
Belitung setelah 10 tahun selesai pengobatan pencegahan filariasis. Hasil
penelitian di beberapa daerah juga mendapatkan adanya spesies
B.malayi pada hewan reservoir, yaitu di Kabupaten Batanghari dan Muaro
Jambi, Provinsi Jambi21,22.
Kepadatan mikrofilaria yang ditemukan dalam darah penderita positif
dapat menentukan tingkat penularan filariasis di daerah tersebut. Semakin
tinggi tingkat kepadatan mikrofilaria, maka semakin tinggi tingkat
penularan filariasis di daerah tersebut. Kepadatan mikrofilaria >50mf/mL
darah dikategorikan dalam kepadatan tinggi19. Hasil pemeriksaan dan
perhitungan kepadatan parasit hasil SDJ pertama dan kedua
mendapatkan bahwa kepadatannya lebih dari 50mg/mL darah. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat penularan filariasis di Kabupaten Belitung
masih tergolong tinggi. Risiko penularan yang tinggi ini juga didukung
dengan sifat mf B.malayi yang bersifat zoonosis serta kondisi di sekitar
pemukiman yang masih banyak ditemukan hewan zoonosis, yaitu kera
ekor panjang. Guna mengurangi risiko penularan filariasis khususnya di
Kabupaten Belitung perlu adanya kesadaran dari masyarakat untuk
mengurangi kontak dengan nyamuk yang merupakan vektor penular
filariasis.
4.4. Faktor Penyebab Kegagalan POPM
Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Belitung selesai
telah melakukan kegiatan POPM filariasis untuk menurunkan tingkat
endemisitas filariasis. Hasil evaluasi pengobatan di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur pada tahun 2012 menunjukkan adanya kegagalan
pengobatan karena masih ditemukan penduduk positif dengan Mf rate
>1%4.
37
Kabupaten Belitung telah mendapat sertifikat eliminasi filariasis tahun
2017, namun hasil survey tahun 2017 masih mendapatkan adanya
penduduk yang positif dengan Mf rate>1%3.
Berdasarkan hasil evaluasi di kedua Kabupaten tersebut, diketahui
bahwa kedua kabupaten telah gagal dalam pengobatan filariasis untuk
menurunkan tingkat endemisitas filariasis di daerah masing-masing.
Salah satu factor penyebab kegagalan pengobatan karena banyak
masyarakat yang tidak minum obat pencegahan pada waktu pembagian
obat pencegahan filariasis. Keengganan masyarakat untuk minum obat
tersebut karena kurangnya informasi tentang manfaat dari kegiatan POPM
filariasis yang telah dilakukan. Hal ini karena pada saat kegiatan POPM
filariasis tidak disertai dengan pemberian informasi yang memadai
sehingga masyarakat kurang percaya dengan manfaat minum obat
tersebut. Kegiatan pembagian obat pencegahan seharusnya disertai
dengan penyuluhan tentang filariasis serta dilakukan pengawasan
terhadap penduduk yang mendapatkan obat agar obat yang diberikan
benar-benar diminum sesuai dengan dosis23,24.
Ketidakpatuhan penduduk dalam minum obat selain karena
ketidaktahuan informasi tentang manfaat pengobatan juga karena adanya
efek samping yang ditimbulkan akibat minum obat tersebut. Tingginya
prosentase masyarakat yang tidak patuh minum obat pencegahan
filariasis merupakan salah satu factor kegagalan pengobatan yang
akhirnya akan menghambat kegiatan program pengendalian filariasis
dalam menurunkan angka prevalensi filariasis. Hasil penelitian di
Myanmar mendapatkan prevalensi mikrofilaria berdasarakan hasil tes
dengan ICT menunjukkan hasil positif antara 0,67-11%. Hasil survey
cakupan penduduk yang datang dan minum obat <40%25.
Pemberian obat pencegahan massal filariasis merupakan kegiatan
utama dalam menanggulangi penyebaran filariasis di daerah endemis.
Namun demikian pelaksanaan kegiatan POPM filariasis tersebut banyak
menemui kendala karena ketidakpatuhan masyarakat untuk minum obat
yang diberikan. Hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan
38
mendapatkan bahwa pembagian obat yang telah dilakukan tidak disertai
dengan penjelasan yang cukup tentang kegiatan tersebut. Petugas yang
membagikan obat adalah kader kesehatan yang masih memiliki tingkat
pengetahuan tentang filariasis yang rendah, sehingga masyarakat kurang
percaya dengan kader kesehatan tersebut. Selain itu kurangnya
keterlibatan tokoh masyarakat setempat juga menjadi salah satu
penyebab ketidakpercayaan masyarakat terhadap kegiatan tersebut.
Kegiatan POPM filariasis agar berjalan dengan baik perlu adanya
dukungan dari berbagai pihak terutama tokoh masyarakat setempat yang
lebih mengenal karakter masyarakatnya, sehingga kegiatan POPM
filariasis dapat berjalan dengan baik. Selain itu juga perlu adanya
pembekaran khusus bagi petugas yang melaksanakan kegiatan POPM
filariasis agar dapat memberikan penyuluhan tentang filarisais pada saat
pembagian obat. Dengan demikian masyarakat dapat menerima dan
dapat berperan aktif dalam kegiatan POMP filariasis dalam rangka
eliminasi filariasis di daerah masing-masing.
4.5. Karakteristik Penderita Filariasis
Penderita positif mikrofilaria sebagian besar adalah pria (64%) dengan
umur penderita sebagian besar >20 tahun. Hanya satu penderita yang
berumur 12 tahun. Hasil wawancara dengan keluarga penderita diketahui
bahwa penderita tidak pernah minum obat pada saat kegiatan POPM
filariasis. Hasil SDJ pertama setelah ditindaklanjuti dengan pengobatan
selektif terhadap penderita positif didapatkan masih terdapat enam orang
yang masih positif mf pada pemeriksaan kedua. Hasil penelusuran lebih
lanjut diketahui bahwa penderita yang masih positif karena belum minum
obat yang diberikan atau obat tidak diminum sampai habis, sehingga
masih ditemukan mf di dalam tubuhnya. Hasil analisis bivariat terhadap
factor risiko penularan filariasis (Tabel 2) diketahui bahwa faktor umur
(p=0,06) dan perilaku minum obat pencegahan filarisais (p=0,00)
berhubungan dengan kejadian filariasis (p<0,05).
39
Hasil penelitian di India mendapatkan bahwa partisipasi masyarakat
dalam kegiatan POPM filariasis berhubungan dengan kejadian filariasis
dengan OR 1,8. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk yang tidak minum
obat berisiko 1,8 kali lebih besar untuk terkena filariasis26.
Usia penduduk yang positif lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk
negative. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi usia, semakin besar
risiko tertular filariasis. Risiko tertular filariasis akan semakin tinggi bila
semakin lama tinggal di daerah endemis filariasis. Berdasarkan hasil
wawancara diketahui bahwa seluruh penderita fialariasis adalah penduduk
setempat, sehingga semakin tinggi usia, maka semakin besar risiko
tertular filariasis. Hasil penelitian di India juga mendapatkan bahwa
semakin tinggi usia maka risiko tertular filariasis semakin besar (p<0,001)
namun tidak ada perbedaan risiko penularan filariasis berdasarkan jenis
kelamin (p=0,44)26.
4.6. Riwayat Perjalanan Penyakit Limfatik Filariasis
Sebanyak 33 penduduk positif mikrofilaria seluruhnya merupakan kasus
baru yang ditemukan pada penelitian ini. Seluruh penderita positif mf
merupakan penduduk asli di lokasi penelitian yang lahir dan dibesarkan di
daerah tersebut. Seluruh penduduk positif dicurigai tertular dari penderita
kronis filariasis yang tinggal di desa tersebut namun telah lama meninggal.
Jarak antara penderita kronis dengan penduduk positif adalah dalam
radius + 1 km sehingga kemungkinan penduduk yang positif tersebut
tertular dari penderita kronis tersebut. Hasil penelusuran lebih lanjut
diketahui bahwa penderita positif sebagian masih memiliki hubungan
keluarga dengan penderita kronis yang telah meninggal. Sebagian besar
penduduk positif hasil SDJ pertama telah mendapatkan pengobatan,
kecuali satu penderita yang ditunda pengoatannya karena sedang hamil.
Sebagian besar penderita mengalami efek samping setelah minum obat,
namun pengobatan dilanjutkan sampai obat habis sesuai dosis. Namun
terdapat beberapa penderita yang tidak minum obat sesuai dengan dosis
karena efek samping yang dialami. Hasil pemeriksaan kedua, penduduk
40
yang minum obat sesuai dengan dosis tidak ditemukan adanya mikrofilaria
dalam darahnya, sedangkan penduduk yang minum obat tidak sesuai
dosis masih ditemukan mikrofilaria dalam darahnya dengan jumlah yang
sudah berkurang.
Tata laksana penderita baik kronis maupun penderita dengan
mikrofilaremia perlu dilakukan sesuai dengan standar. Selain itu perlu
dilakukan pengawasan terhadap penduduk agar dapat minum obat sesuai
dosis, serta penanganan segera bila ditemukan adanya efek samping
yang cukup berat. Adanya efek samping obat yang berat seringkali
menimbulkan keenggaran masyarakat utuk minum obat, meskipun sudah
didiagnosis menderita filariasis. Dukungan dari tenaga kesehatan dalam
pengobatan filariasis sangat besar karena masyarakat masih
menganggap bahwa masalah kesehatan adalah tanggung jawab petugas
kesehatan27. Penyuluhan yang rutin dilakukan oleh petugas kesehatan
akan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengendalian
penyakit, khususnya filariasis. Selain itu juga perlu keterlibatan tokoh
masyarakat agar masyarakat lebih yakin dan percaya dan mau mengikuti
terhadap program yang dijalankan.
4.7. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku terhadap Filariasis
Pengetahuan responden tentang penyebab filariasis sebagian besar
masih rendah (<15%) yang mengetahui bahwa filariasis disebabkan oleh
cacing sedangkan pengetahuan tentang filariasis ditularkan oleh nyamuk
juga masih rendah (<50%) penduduk yang mengetahui. Namun di Desa
Nibung Putih pengetahuan tentang filariasis yang ditularkan oleh nyamuk
cukup tinggi, hal ini karena Desa Nibung Putih sering dilakukan
penyuluhan dari pihak Puskesmas. Rendahnya pengetahuan masyarakat
tentang penyebab filariasis juga ditemukan di daerah lain, seperti di
Northeastern Brazil yang mendapatkan bahwa penduduk yang
mengetahui tentang penularan filariasis hanya 7,8% 28. Pengetahuan
tentang akibat filariasis yang dapat menimbulkan kaki atau tangan
membesar cukup tinggi, hal ini karena fiariasis atau penyakit kaki gajah
41
yang dikenal oleh masyarakat adalah penyakit yang dapat menyebabkan
kaki menjadi besar. Filariasis atau penyakit kaki gajah di beberapa daerah
di Indonesia dikenal dengan beberapa istilah, diantaranya “untut, ular-
ularan, atau kelenjaran”29 dengan gejala khas berupa pembekakan di
kaki30,31.
Perilaku responden di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Belitung
relative berbeda. Responden yang ikut kegiatan POPM filariasis di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur lebih besar dibandingkan dengan di
Kabupaten Belitung. Alasan responden tidak minum obat paling banyak
ditemukan karena adanya efek samping obat. Adanya efek samping obat
menyebabkan masyarakat tidak mau meminum obat yang telah diberikan.
Hal ini terjadi karena kurangnya informasi tentang kegiatan pengobatan
tersebut. Efek samping obat merupakan hal yang umum terjadi, namun
demikian tanpa ada informasi yang disampaikan ke masyarakat, maka
masyarakat mengangganggap bahwa obat yang diberikan tidak
memberikan manfaat, namun memberikan masalah baru bagi mereka.
Penanganan terhadap reaksi obat juga harus dapat diantisipasi oleh
petugas kesehatan dengan cara memberikan obat pendamping untuk
mengatasi hal tersebut. Pembagian obat yang dilakukan oleh kader
kesehatan tanpa dibekali oleh pengetahuan yang cukup, terutama tentang
reaksi obat tersebut dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat
terhadap efektivitas POPM filariasi yang telah dilakukan27.
4.8. Kondisi Lingkungan Penderita Limfatik Filariasis
Kondisi geografis di kedua kabupaten lokasi penelitian merupakan
dataran rendah dengan sebagian besar wilayah merupakan daerah
perairan. Daratan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur umumnya berupa
lahan gambut yang banyak dialiri oleh aliran air pasang surut. Hal ini
menimbulkan banyaknya genangan air yang berpotensi sebagai tempat
perkembangbiakan nyamuk vektor, khususnya vektor filariasis. Namun
dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya penderita positif mikrofilaria,
sehingga pengamatan lingkungan tidak dilakukan lebih lanjut.
42
Penderita positif mikrofilaria di Kabupaten Belitung ditemukan di dua
desa, yaitu Desa Suak Gual dan Desa Lasar. Desa Lasar terletak di Pulau
Selat Nasik dengan penyebaran penduduk desa tersebut dalam radius
satu kilometer. Kondisi Desa Suak Gual yang merupakan daerah
kepulauan merupakan dataran rendah yang dikelilingi oleh panta dan
hutan sekunder. Hasil observasi lingkungan mendapatkan adanya
genangan air berupa rawa-rawa yang digenangi oleh tumbuhan air.
Kondisi demikian merupakan tempat yang potensial bagi
perkembangbiakan nyamuk Mansonia spp. yang merupakan vektor
filariasis B.malayi 32,33.
Kondisi lingkungan yang berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan
nyamuk vektor filariasis dengan lokasi di sekitar rumah penderita filariasis
menjadi salah satu faktor risiko penularan filariasis. Keberadaan
genangan air dan kondisi lingkungan berupa hutan dan semak merupakan
kondisi optimal bagi vektor filariasis untuk berkembangbiak dan
beristirahat. Hal ini didukung dengan perilaku masyarakat yang kurang
baik, yaitu perilaku dalam menghindari gigitan nyamuk baik di dalam
maupun di luar rumah34. Perilaku masyarakat di luar rumah seringkali
tidak menggunakan alat pelindung diri dari gigitan nyamuk. Hal ini akan
meningkatkan risiko tertular filariasis, karena beberapa spesies nyamuk
vector filariasis lebih aktif di luar rumah dibandingkan di dalam rumah35.
4.9. Peran Pengambil Kebijakan dalam Penangan Limfatik Filariasis
Peran pengambil kebijakan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
program pengendalian filariasis. Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan
POPM filariasis yang dilakukan dalam waktu lima tahun sehingga
membutuhkan dukungan dana dan petugas pelaksana kegiatan
tersebut36.
Hasil wawancara mendalam terhadap petugas Dinas Kesehatan
Kabupten Tanjung Jabung Timur mendapatkan bahwa pengambil
kebijakan di tingkat kabupaten sampai desa telah mendukung kegiatan
POPM filariasis yang telah dilakukan. Hal ini terlihat dari dukungan dana
43
kegiatan POPM filariasis selama lima tahun (2012-2016) dan POPM
filariasis lanjutan (2017-2018). Anggaran kegiatan POPM filariasis di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur didukung sepenuhnya oleh pemerintah
daerah setempat. Selain itu juga telah dibentuk tim pengendalian filariasis
(TPE) dari tingkat kabupaten hingga tingkat desa dengan penerbitan Surat
Keputusan Bupati (SK Bupati) tentang TPE di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur. Kebijakan di tingkat desa juga telah dilakukan dalam mendukung
eliminasi filariasis di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, salah satunya
adalah dengan mewajibkan penduduk desa yang mengurus berkas
administrasi ke kelurahan agar terlibat dahulu dalam kegiatan POPM
filariasis. Artinya, penduduk yang akan dilayani adalah penduduk yang
telah mendapat dan minum obat pencegahan filariasis. Dukungan dari
pengambil kebijakan tersebut cukup efektif, karena proprosi penduduk
yang minum obat menjadi tinggi (>90%), sehingga hasil pemeriksaan
darah yang dilakukan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur tidak
mendapatkan penduduk yang positif.
Hal yang berlawanan ditemui di Kabupaten Belitung. Kabupaten
Belitung telah selesai melaksanakan kegiatan POPM filariasis pada tahun
2010. Kegiatan selanjutnya adalah evaluasi penularan yang telah
dilakukan sampai tahu 2017. Kegiatan tersebut didanai dari luar anggaran
Pemerintah Daerah Belitung. Setelah tahun 2010 tidak ada kebijakan
khusus dalam penanggulangan filariasis. Setelah Kabupaten Belitung
mendapat sertifikat eliminasi filariasis tahun 2017, masalah filariasis sudah
tidak dianggap sebagai masalah kesehatan, sehingga tidak ada kegiatan
khusus dalam pengendalian filariasis.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran pengambil
kebijakan masih dibutuhkan dalam pengendalian filariasis meskipun
daerah tersebut sudah eliminasi filariasis. Kegiatan surveilan paska
eliminasi seharusnya masih terus dilakukan agar filariasis tidak muncul
lagi dan tidak menyebabkan masalah kesehatan kembali. Salah satu
kegiatan surveilans filariasis yang dapat dilakukan adalah dengan
pencarian penderita dengan cara aktif, yaitu pemeriksaan darah terhadap
44
penduduk yang mengalami gejala klinis filariasis. Penemuan penderita
secara aktif dengan tindak lanjut pengobatan bila ditemukan penderita
positif akan mengurangi risiko penularan filariasis lebih lanjut, sehingga
status eliminasi filariasis yang telah didapatkan dapat dipertahankan37.
4.10. Peran Petugas dalam Penanganan Limfatik Filariasis
Petugas kesehatan khususnya petugas Puskesmas merupakan
petugas yang sangat menentukan keberhasilan kegiatan pengendalian
filariasis khususnya kegiatan POPM. Petugas kesehatan di tingkat
kabupaten di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Belitung sudah cukup
baik dalam pengendalian fiilariasis. Hal ini karena petugas kesehatan di
tingkat Dinas Kesehatan merupakan petugas yang sudah lama bertugas
dan mengetahui seluruh kegiatan eliminasi filariasis di wilayahnya.
Petugas kesehatan di tingkat Puskesmas di wilayah Kabupaten
Tanjung Jabung Timur juga telah berperan secara aktif dalam
pengendalian filariasis. Hal ini karena petugas kesehatan tersebut
mengetahui kegiatan POPM filariasis sejak awal hingga saat ini. Kebijakan
dalam pengendalian fillariasis di tingkat Puskesmas juga telah diterapkan
dalam pengendalian filariasis, salah satunya dengan mewajibkan
penduduk yang berobat ke Puskesmas agar minum obat pencegahan
fiilariasis. Kebijakan ini cukup efektif, karena penduduk akan terpacu untuk
minum obat filariasis agar bisa mendapat pelayanan kesehatan di
Puskesmas setempat.
Peran petugas kesehatan di Kabupaten Belitung di tingkat Puskesmas
kurang optimal. Hal ini karena petugas pengelola filariasis yang ada di
Puskesmas merupakan petugas yang masih baru sehingga tidak
mengetahui kegiatan POPM filariasis yang telah dilakukan. Tingkat
pengetahuan petugas kesehatan di Puskesmas di wilayah Belitung juga
masih rendah. Kegiatan pengendalian filariasis di Kabupaten Belitung
sejak tahun 20017 hingga saat ini menunjukkan tidak adanya kegiatan
rutin. Hal ini karena filariasis sudah tidak dianggap sebagai masalah
kesehatan lagi di wilayah ini.
45
Kegiatan pengendalian filariasis seharusnya tetap dilakukan meskipun
daerah tersebut sudah dinyatakan eliminasi. Hal ini untuk mencegah
kemunculan kembali penyakit ini di wilayah ini38. Peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan petugas kesehatan, khususnya petugas
Puskesmas perlu ditingkatkan agar dapat memberikan informasi yang
tepat kepada masyarakat tentang filariasis. Petugas kesehatan di tingkat
Puskesmas juga perlu diberi pelatihan tentang pengambilan dan
pemeriksaan darah untuk mendeteksi penduduk yang kemungkinan
terinfeksi mikrofilaria39.
4.11. Peran Keluarga dalam Penanganan Limfatik Filariasis
Peran keluarga sangat penting dalam pengendalian filariasis. Kegiatan
pembagian obat pada kegiatan POPM filariasis umumnya dilakukan oleh
kader kesehatan dengan membagikan obat dari rumah ke rumah.
Seringkali pada saat pembagian obat, tidak semua anggota keluarga
berada di rumah, sehingga anggota keluarga yang tidak di rumah tidak
mengetahui adanya pembagian obat tersebut. Selain itu juga kurangnya
komunikasi dan informasi antara sesame anggota keluarga menyebabkan
masyarakat yang tidak berada di rumah saat pembagian obat tidak
meminum obat yang diberikan.
Kesembuhan penderita positif mikrofilaria juga tergantung dari peran
keluarga dalam mengawasi penderita tersebut untuk minum obat filariasis.
Pemberian obat filariasis umumnya dapat menimbulkan efek samping
sehingga perlu dukungan keluarga agar penderita tetap minum obat yang
diberikan meskipun terjadi efek samping obat.
4.12. Identifikasi Peran Lingkungan terhadap Penyebaran Filariasis
Lingkungan sangat berperan dalam penyebaran penyakit menular,
termasuk filariasis, termasuk lingkungan sosial. Kondisi lingkungan yang
kurang bersih dan banyak genangan air merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya penyebaran filariasis, karena kondisi lingkungan
tersebut berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk vector
46
filariasis40. Selain lingkungan fisik, lingkungan sosial juga berpengaruh
terhadap pola penularan filariasis. Kehidupan sosial di masyarakat
umumnya dipengaruhi oleh tokoh masyarakat setempat. Perilaku
masyarakat dapat dipengaruhi oleh tokoh masyarakat, khususnya
masyarakat yang tinggal di desa. Tokoh masyarakat yang aktif mengajak
dan menghimbau masyarakat untuk membersihkan lingkungan dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan guna
mengurangi keberadaan genangan air yang menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk vektor40,41.
Perubahan lingkungan baik lingkungan fisik maupun sosial perlu
dilakukan guna mengurangi risiko penularan filariasis di daerah endemis.
Perlu adanya promosi kesehatan yang lebih aktif lagi dengan melibatkan
tokoh masyarakat agar kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat yang
buruk dapat diperbaiki sehingga mengurangi risiko penularan filariasis40,42.
4.13. Intervensi Penanganan Filariasis Berbasis Masyarakat
Filariasis merupakan penyakit menular yang dapat menyerang seluruh
jenis kelamin dan golongan umur. Penyakit ini termasuk dalam penyakit
infeksi yang tidak mudah menular karena perjalanan penyakit ini yang
relative cukup lama dibandingkan dengan penyakit infeks lainnya. Perlu
pemahaman yang cukup baik dari petugas, tokoh masyarakat, maupun
masyarakat sendiri dalam pengendalian filariasis.
Kegiatan utama pengendalian filariasis selama ini adalah dengan
pembagian obat pencegahan massal. Kegiatan pembagian obat sebagian
besar dilakukan oleh kader kesehatan yang kurang dibekali pengetahuan
tentang filariasis. Selain itu keterlibatan tokoh masyarakat khususnya di
Kabupaten Belitung masih kurang, sehingga tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap kader kesehatan masih kurang. Hal ini menimbulkan
rendahnya cakupan penduduk yang minum obat, khsusunya di Kabupaten
Belitung.
47
Kegiatan surveilans filariasis juga perlu dilakukan dengan melibatkan
kader kesehatan, tokoh masyarakat, serta seluruh masyarakat dengan
melakukan kegiatan bersih lingkungan serta melakukan pemeriksaan
darah jari pada malam hari terhadap penduduk yang mengalami gejala
klinis filariasis, berupa demam berulang. Kegiatan eliminasi filariasis
sangat dipengaruhi oleh dukungan masyarakat dalam pencegahan
penularan melalui pengobatan massal dan menjaga lingkungan untuk
mengurangi kepadatan nyamuk sebagai vektor filariasis.
48
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
2.1. Kesimpulan
1) Kabupaten Tanjung Jabung Timur sudah tidak endemis filariasis,
sehingga kegiatan eliminasi filariasis berupa kegiatan Transmission
Assessment Survei (TAS) dapat segera dilakukan.
2) Kabupaten Belitung masih menjadi daerah endemis filariasis karena
masih ditemukan penduduk positif microfilaria dari dua desa terpilih
sebagai lokasi penelitian (Desa Lasar dan Desa Suak Gual) dengan
angka mikrofilaria >1%.
3) Perilaku masyarakat terhadap kegiatan eliminasi filariasis di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur sudah cukup baik dengan tingkat partisipasi
masyarakat yang minum obat >90%.
4) Perilaku masyarakat di Kabupaten Belitung dalam pencegahan filariasis
masih rendah dengan partisipasi masyarakat yang minum obat pada
kegiatan pengobatan massal <60%.
5) Pengetahuan masyarakat, kader dan tokoh masyarakat tentang
filariasis masih rendah, hal ini terlihat dari masih adanya anggapan dari
tokoh masyarakat bahwa filariasis adalah penyakit keturunan.
6) Metode pengendalian filariasis yang lebih efektif dengan melibatkan
tokoh masyarakat setempat.
4.14. Saran
1) Perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan darah jari
terhadap seluruh penduduk di desa lain yang berpotensi terjadi
penularan filariasis, terutama daerah/desa yang terdapat penderita
kronis filariasis, terutama di Kabupaten Belitung
2) Perlu dilakukan pengobatan massal filariasis selama dua tahun di
wilayah Kabupaten Belitung terutama di desa dengan penderita positif
mikrofilaria agar penularan filariasis dapat dihentikan.
49
3) Perlu melibatkan tokoh masyarakat dalam pengendalian filariasis
terutama dalam kegiatan sosialisasi ke masyarakat agar diterima oleh
masyarakat.
4) Perlu dilakukan sosialisasi tentang pencegahan penularan filariasis
secara rutin terhadap penduduk di wilayah Kabupaten Belitung tentang
filariasis untuk mengurangi risiko penularan filariasis.
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Dinkes Kab. Belitung. Profil Kesehatan Kabupaten Belitung. Tanjungpandan: Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung; 2017.
2. Dinkes Prov. Jambi. Laporan Program Filariasis Dinkes Prov. Jambi Tahun 2015-2016. Jambi; 2017.
3. Santoso dkk. Studi Evaluasi Eliminasi Filariasis Di Indonesia Tahun 2017 (Studi Multicenter Filariasis). Baturaja; 2018.
4. Dinkes Kab. Tanjung Jabung Timur. Laporan Hasil Pre-TAS Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Muara Sabak; 2017.
5. Kemenkes RI. Penentuan dan Evaluasi Daerah Endemis Filariasis. In: Pedoman Program Eliminasi Filariasis Di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2012.
6. Murti B. Prinsip Dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 1997.
7. Sudomo M. Makalah Orasi Pengukuhan Gelar Profesor Riset. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
8. Santoso, Supardi, Saikhu A, Taviv Y, Yuliani RC, Mayasari R. Kepatuhan Masyarakat terhadap Pengobatan Massal Filariasis di Kabupaten Belitung Timur Tahun 2008. Bul Penelit Kesehat. 2010;38(4):185-197.
9. Bergold J, Thomas S. Participatory Research Methods: A Methodological Approach in Motion. Forum: Aualitative Social Research. http://www.qualitative-research.net/index.php/fqs/article/view/1801/3334. Published 2012. Accessed July 9, 2018.
10. Baum F, Macdougall C, Smith D. Participatory action research. J Epidemiol Community Heal. 2006;60:854-857. doi:10.1136/jech.2004.028662.
11. MacDonald C. Understanding Participatory Action Research: A Qualitative Research Methodology Option. Can J Action Res. 2012;13(2):34-50.
12. Krishnaswamy A. Participatory Research: Strategies and Tools. Practitioner: Newsletter of National Network of Forest Prectiotioner. https://nature.berkeley.edu/community_forestry/Workshops/powerpoints/tools and strategies of PR.pdf. Published 2004. Accessed July 9, 2018.
13. Lune RiversPain R, Whitman G, Trust. Participatory Action Research Toolkit: An Introduction to Using PAR as an Approachto Learning, Research and Action. 2011.
14. Dreyer G et all. Studies on the Periodicity and Intravascular Distribution of Wuchereria bancrofti Microfilariae in Paired Samples of
51
Capilary and Venous Blood from Recife, Brazil. Trop Med Int Heal. 1996;1(2):264-272.
15. World Health Organization. Bench Aids for the Diagnosis of Filarial Infections. Geneva: World Health Organization; 1997.
16. Dinkes Kab. Tanjung Jabung Timur. Profil Kesehatan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2018. Muara Sabak: Dinas Kesehatan Kabupaten Tanjung Jabung Timur; 2019.
17. Dinkes Kab. Belitung. Profil Kesehatan Kabupaten Belitung Tahun 2017. Tanjungpandan: Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung; 2018.
18. Oktarina R, Santoso, Taviv Y. Gambaran Angka Prevalensi Mikrofilaria di Kabupaten Banyuasin Pasca Pengobatan Massal Tahap III. BALABA. 2017;13(1):11-20. http://doi.org/10.22435/blb.V13i1. 4794. 11-20.
19. Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 94/Menkes/SK/2014. Tentang Penanggulangan Filariasis (Penyakit Kaki Gajah). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014.
20. Santoso, Budiyanto A, Yahya, et al. Evaluation Study of Filariasis Limfatic Elimination Activities Authors massive medicine distribution activities for five. JMSCR. 2019;7(4):870-876.
21. Santoso, Yahya, Salim M. Penentuan Jenis Nyamuk Mansonia sebagai Tersangka Vektor Filariasis Brugia malayi dan Hewan Zoonosis di Kabupaten Muaro Jambi. Media Penelit dan Pengemb Kesehat. 2014;24(4):181-190.
22. Yahya & Santoso. Studi Endemisitas Filariasis di Wilayah Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari Pasca Pengobatan Massal Tahap III. Bul Penelit Kesehat. 2013;41(1):18-25.
23. Titaley CR, Damayanti R, Soeharno N, et al. Assessing knowledge about lymphatic filariasis and the implementation of mass drug administration amongst drug deliverers in three districts/cities of Indonesia. Parasit Vectors. 2018;11(315):1-14. https://doi.org/10.1186/s13071-018-2881-x.
24. Alamsyah A, Marlina T. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Cakupan Menelan Obat Massal Pencegahan Filariasis. J Endur. 2016;1(1):17-22.
25. Dickson BFR, Graves PM, Aye NN, et al. The prevalence of lymphatic filariasis infection and disease following six rounds of mass drug administration in Mandalay Region , Myanmar. PLoS Negl Trop Dis. 2018;November(12):1-17. doi:10.1371/journal.pntd.0006944.
26. Upadhyayula SM, Mutheneni SR, Kadiri MR. A Cohort Study of Lymphatic Filariasis on Socio Economic Conditions in Andhra Pradesh , India. PLoS One. 2012;7(3):1-8. doi:10.1371/journal.pone.0033779.
27. Hapsari AT, Shaluhiyah Z, Suryoputro A. Pengaruh Faktor Pendukung
52
terhadap Perilaku Masyarakat dalam Pencegahan Penyakit Filariasis di Kota Semarang. J Promosi Kesehat Indones. 2018;13(2):143-154.
28. Cabral S, Bonfim C, Oliveira R, Oliveira P. Knowledge, attitudes and perceptions regarding lymphatic filariasis: study on systematic noncompliance with mass drug administration. Rev Inst Med Trop São Paulo. 2017;29(23):1-9.
29. Ambarita LP, Taviv Y, Sitorus H, Pahlepi RI, Kasnodihardjo. Perilaku Masyarakat terkait Penyakit Kaki Gajah dan Program Pengobatan Massal di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari, Jambi. Media Litbangkes. 2014;24(4):191-198.
30. Amaechi EC, Ukpai O. Lymphatic filariasis : knowledge , attitude and practices among inhabitants of an irrigation project community , North Central Nigeria Asian Pacific Journal of Tropical Disease. Asian Pac J Trop Dis. 2016;6(9):709-713. doi:10.1016/S2222-1808(16)61114-3.
31. Santoso, Yenni A, Oktarina R, Wurisatuti T, Rahayu KS. Pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat pasca pengobatan dan pengaruhnya terhadap endemisitas filariasis di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Spirakel. 2015;7(1):14-26.
32. Supriyono, Tan S, Hadi UK. Ragam Spesies dan Karakteristik Habitat Nyamuk di Kecamatan Juai Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan. Aspirator. 2019;11(1):19-28.
33. Ibrahim. Hubugan Kondisi Lingkungan dan Perilaku Masyarakat dengan Kejadian Filariasis di Desa Muaro Putuih Wilayah Kerja Puskesmas Tiku Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam. J Med Saintika. 2016;7(1):1-9.
34. Purnama W, Raharjo M. Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Muara Pawan Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat. J Kesehat Lingkung Indones. 2017;16(1):8-16.
35. Ridha MR. Bionomik Mansonia uniformis dan Mansonia dives sebagai Vektor Filariasis pada Beberapa Wilayah di Kalimantan. BALABA. 2018;14(1):63-70.
36. Patanduk Y, Yunarko R, Mading M, Dara JL. Kesiapan Stakeholder Pengobatan Massal Filariasis di Kecamatan Kodi Balaghar Kabupaten Sumba Barat Daya. Bul Penelit Kesehat. 2018;46(2):109-118.
37. Ipa M, Astuti EP, Ruliansyah A, Wahono T, Hakim L. Gambaran Surveilans FIlariasis di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. J Ekol Kesehat. 2014;13(2):153-164.
38. Fang Y, Zhang Y. Lessons from lymphatic filariasis elimination and the challenges of post- elimination surveillance in China. BMC Infect Dis Poverty. 2019;8(66):1-10. https://doi.org/10.1186/s40249-019-0578-9.
39. Munthe S, Suryoputro A, Margawati A. Kinerja Petugas Kesehatan Program Penanggulangan Filariasis pada Kegiatan Pemberian Obat Pencegahan secara Massal (POPM) Filariasis. Public Heal Sci J.
53
2018;10(2):1-8.
40. Munawwaroh L, Pawenang ET. Evaluasi Program Eliminasi Filariasis dari Aspek Perilaku dan Perubahan Lingkungan. Unnes J Public Heal. 2016;5(3):195-204. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph.
41. Trapsilowati W, Suskamdani. Studikualitatif Pengetahuan dan Peran Tokoh Masyararat dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Kota Salatiga. Media Litbang Kesehat. 2007;XVII(4):9-13.
42. Promosi A. Promosi Kesehatan dalam Pengendalian Filariasis. BALABA. 2014;10(02):89-96.
54
FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (INFORMED CONSENT)
Setelah dijelaskan tentang penelitian “Perubahan Perilaku Pencegahan Filariasis di Daerah Pasca Popm Dan Pasca Tas Menuju Eliminasi Filariasis”, saya telah memahami pentingnya penelitian, risiko dan manfaatnya. Selanjutnya saya: Nama : Umur : Jenis Kelamin : bersedia ikut berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini.
........................., ............................... 2019
Saksi
(....................................................
)
Subyek penelitian/Informan
(.........................................................
)
55
IJIN PENELITIAN DPMPTSP PROVINSI JAMBI
56
IJIN PENELITIAN DPMPTSP KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR
57
IJIN PENELITIAN KESBANGPOL KABUPATEN BELITUNG