Filariasis Latar Belakang
description
Transcript of Filariasis Latar Belakang
1
DEC-LAP.AKHIR PELAKSANAAN PKPP-2012
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filariasis atau dengan nama lain penyakit kaki gajah (elephantiasis), termasuk
salah satu jenis penyakit yang mendapat perhatian khusus di dunia kesehatan.
Walaupun jarang menyebabkan kematian, pada stadium lanjut penyakit ini dapat
menjadikan seseorang menderita cacat fisik permanen hingga menimbulkan dampak
yang signifikan, terutama di tengah masyarakat Negara berkembang di daerah tropis
maupun sub tropis yang justru tengah didera permasalahan sosial ekonomi. Saat ini
dilaporkan lebih dari 1 milyard penduduk dunia memiliki risiko menderita filariasis. Lebih
dari 120 juta orang dari 80 negara telah terinfeksi filaria, bahkan ribuan desa di 26
propinsi di Indonesia dinyatakan endemis. Karena itulah WHO mencanangkan
kesepakatan global untuk memberantas penyakit ini dengan mengangkat tema The
Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the
Year 2020. [1,2]
Deteksi filaria bergantung pada keberadaan cacing stadium mikrofilaria dalam
darah tepi, atau dikenal dengan istilah periodisitas. Uniknya, periodisitas filaria
ditemukan di antara pukul 10 malam hingga pukul 2 pagi (nocturnal), sehingga
pengambilan sampel darahpun harus dilakukan malam hari. Di samping itu, larva aktif
baru ditemukan 6-12 bulan setelah seseorang terinfeksi filaria, dan manifestasi filariasis
baru terlihat ±4 tahun kemudian, sehingga deteksi dini untuk kasus ini cukup sulit
ditegakkan. Pemeriksaan laboratorium seperti identifikasi antigen filaria dengan teknik
ELISA atau Rapid Immuno-chromatography Card sebenarnya dapat pula dilakukan,
namun teknik ini selain rumit, juga sering memberikan false positif[3]. Teknik diagnosis
yang memiliki nilai kesensitifan dan kespesifikan yang tinggi, masih sangat diperlukan.
Teknik nuklir kedokteran dengan menggunakan radiofarmaka, memberi harapan
untuk dapat dijadikan pilihan alternatif memecahkan permasalahan ini. Dihipotesiskan
bahwa DEC-sitrat yang saat ini digunakan sebagai obat filariasis, secara kimia
memungkinkan untuk ditandai dengan nuklida teknesium-99m. Radiofarmaka 99mTc-
2
DEC diperkirakan akan di-uptake oleh mikrofilaria di dalam tubuh orang terinfeksi.
Dengan demikian mikrofilaria yang berikatan dengan 99mTc-DEC ini dapat dilacak
keberadaannya, dan diharapkan deteksi dini dapat ditegakkan.
Seperti diketahui, dietilkarbamazin telah bertahun-tahun digunakan dalam
pengobatan limfatik filariasis, dan dengan dosis 6mg/kg bobot badan mampu
menurunkan mikrofilariaemi sangat cepat. Target kerja DEC adalah asam arakhidonat
(arachidonate 5-lipozygenase) dan pathway siklooksigenase (cytochrome c-oxydase
sub-unit 1) yang berada pada selubung mikrofilaria. Mekanisme kerja DEC sebagai
obat diprediksi menurunkan aktivitas otot, akibatnya parasit seakan mengalami
paralisis, dan akan mudah terusir dari tempatnya di tubuh hospes. Dugaan lain, DEC
dapat menyebabkan perubahan pada permukaan membran mikrofilaria, sehingga lebih
mudah dihancurkan oleh daya pertahanan tubuh hospes.
Mekanisme kerja tersebut dihipotesiskan identik apabila DEC digunakan sebagai
preparat diagnostik. Penelusuran DEC yang terikat dengan mikrofilaria dipermudah
dengan teknesium-99m yang memancarkan radiasi yang terikat secara kimiawi dengan
DEC, sehingga keberadaan mikrofilaria dimanapun dan/atau kapanpun akan dapat
ditelusuri di dalam tubuh hospes.
Pada program Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa 2011, telah
dilakukan penelitian penandaan dietilkarbamazin dengan radionuklida teknesium-99m.
Dalam penelitian tersebut telah dihasilkan suatu formula sediaan yang dapat ditandai
dengan radionuklida teknesium-99m dengan komposisi jumlah dietilkarbamazin 4mg,
SnCl2.2H2O 100µg dan kondisi reaksi pada pH4. Hasil penandaan menunjukkan
efisiensi dan kemurnian di atas 95% dengan karakter fisikokimia yang cukup baik,
begitu pula dengan hasil uji pendahuluan biodistribusi dan farmakokinetika pada hewan
normal yang tidak diinduksi dengan filaria[4].
Namun demikian, hasil pengembangan sediaan ini belum dapat diaplikasikan
secara klinis apabila beberapa persyaratan farmasetik dan uji keamanan belum
terpenuhi. Beberapa kajian in-vitro maupun in vivo non klinis masih harus dilakukan.
Evaluasi seperti „drug receptor binding“ sebagai penentu terikatnya 99mTc-DEC
dengan reseptor filaria, menjadi hal penting yang harus dibuktikan, begitu juga halnya
3
dengan uptake filaria terhadap 99mTc-DEC. Pembuktian dapat dilakukan tidak hanya
melalui kajian in-vitro, tetapi juga dapat dilakukan secara in-vivo pada hewan uji
terinfeksi atau terhadap penderita volunter. Di samping itu, kajian aspek farmakologis,
seperti uji farmakokinetika, toksikologi, sterilitas, a-pirogenitas, kesesuaian dosis
diagnostik dan rute pemberian masih harus dimantapkan.
B. Pokok Permasalahan
Keberhasilan penandaan DEC dengan radionuklida teknesium-99m yang telah
dilakukan pada program PKPP 2011 menuntut tindak lanjut pembuktian aplikasinya.
Berikut adalah beberapa pokok permasalahan yang dihadapi:
Karakteristik fisiko-kimia sediaan:
Apakah sediaan dalam bentuk ”Kit” tetap stabil selama penyimpanan?
Apakah ada perubahan tingkat kemurnian hasil penandaan setelah sediaan
disimpan dalam jangka waktu lama?
Penyediaan bahan uji
Mudahkah mendapatkan cacing filaria ?
Mudahkah membuat hewan uji terinfeksi cacing filaria ?
Adakah penderita yang bisa dijadikan volunteer ?
Karakter biologis:
Amankah 99mTc-DEC digunakan sebagai sediaan diagnostik?
Bagaimana uptake mikrofilaria terhadap 99mTc-DEC?
Bagaimana profil farmakokinetika 99mTc-DEC?
Apakah hasil pencitraan memberikan prospek yang baik bahwa sediaan tersebut
dapat digunakan sebagai sediaan diagnostik filaria?
Mungkinkah pemberian intra-vena dapat menunjukkan prospek yang lebih baik
dibanding pemberian intra-dermal?
C. Maksud dan Tujuan Kegiatan
Maksud dan tujuan kegiatan penelitian pada tahap ini lebih difokuskan pada
perolehan data bahwa sediaan 99mTc-DEC memenuhi persyaratan farmasetik. Di
samping itu, juga untuk meyakinkan kepada para calon pengguna kelak (end user)
bahwa:
4
Formula yang dihasilkan dapat digunakan sebagai perangkat diagnosis untuk deteksi
dini filariasis, sehingga menjadi sumbangan nyata dalam memecahkan
permasalahan kekinian di masyarakat dalam menunjang program Indonesia sehat,
dan sebagai sumbangan nyata bagi program “The Global Goal of Elimination of
Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020“.
D. Metodologi Pelaksanaan
D.1. Lokus Kegiatan : (koridor non ekonomi) Walaupun tidak secara langsung terkait dengan program Master Plan
Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), namun masalah
kesehatan sebenarnya menjadi parameter penting yang sangat mempengaruhi taraf
kehidupan dan kesejahteraan bangsa. Filariasis dapat dikatakan sebagai salah satu
“penyakit yang terabaikan” padahal di samping mempengaruhi nilai estetika, juga
berdampak sangat nyata pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat,
D.2. Fokus Kegiatan: Nasional Strategi (Teknologi Kesehatan dan Obat)
D.3. Ruang Lingkup
Dari pokok permasalahan di atas, maka lingkup kegiatan dikelompokkan ke dalam:
1. Pengujian stabilitas sediaan setelah disimpan dalam jangka waktu tertentu
(efisiensi penandaan dan kemurnian radiokimia dijadikan indikator utama).
2. a. Pengajuan Perizinan Komisi Etik Penggunaan Hewan Percobaan
b. Pemberian infectious agent pada hewan uji.
3. Uji biologis, ditujukan untuk mempelajari sifat sediaan dengan fokus pada kajian
toksisitas, uptake/biodistribusi, profil farmakokinetika.
4. Pencitraan dengan kamera gamma, baik pada hewan uji maupun volunteer
D.4. Bentuk Kegiatan
Dengan lingkup seperti di atas, berikut adalah beberapa bentuk kegiatan yang
dilaksanakan untuk pencapaian target kinerja dalam penelitian ini a.l.:
Intensifikasi aktivitas kegiatan laboratorium terutama dalam perencanaan/scheduling.
Menjalin hubungan kerjasama internal, dan dengan instansi terkait (Dinas Kesehatan
dan Rumahsakit), terutama dalam memperoleh sampel uji dan pemanfaatan fasilitas.
5
Produk Hasil Penelitian dan Pengembangan PKPP-2011:
KIT KERING DIETIL KARBAMAZIN
KEADAAN PENDERITA FILARIASIS
6
BAB II PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan
A.1. Perkembangan Kegiatan (Teknis)
Telah dilakukan kajian in-vitro dan in-vivo sediaan 99mTc-Dietilkarbamazin sitrat
(DEC) sebagai sediaan alternatif deteksi dini filariasis. Hasil penandaan optimal
dengan tingkat kemurnian di atas 90% diperoleh dengan menambahkan 99mTc-
perteknetat ke dalam suatu formula yang terdiri dari 4mg DEC-sitrat, 100 µg
SnCl2.2H2O, pH 4, dan waktu inkubasi pada suhu kamar selama 10-20 menit.
Berdasarkan hasil pengamatan uji stabilitas, sediaan yang disimpan selama 7
bulan dalam bentuk kit kering, masih menunjukkan efisiensi penandaan dan tingkat
kemurnian di atas 90%, dan tetap stabil secara fisiko-kimia maupun biologis. Namun
demikian, sediaan 99mTc-DEC harus segera digunakan setelah disiapkan, dan
disarankan tidak disimpan lebih dari 2 jam setelah direkonstitusi dengan perteknetat.
Pengaruh peningkatan volume larutan 99mTc-perteknetat yang ditambahkan,
walaupun sedikit menurunkan efisiensi penandaan, namun masih berada dalam
batas yang diizinkan (>90%).
Data uji toksisitas, menunjukkan sediaan 99mTc-DEC aman untuk digunakan.
Hasil uji biodistribusi pada tikus putih percobaan galur Wistar, menunjukkan
bahwa akumulasi sediaan terbesar ditemukan dalam sistem limfatik, terutama pada
kelenjar popliteal, lumbar dan mesentrik.
Dari kurva kinetika diperoleh nilai waktu paruh (T½) biologis masing-masing
sebesar ±40 menit baik pada tikus normal maupun pada tikus terinfeksi pasca
pemberian intra-dermal, dan sebesar 29,7 menit apabila diberikan secara intra-vena.
Pencitraan kamera gamma pasca penyuntikan intra-dermal dan intra-vena pada
volunteer, menunjukkan gambaran positif bahwa sediaan 99mTc-DEC terakumulasi
pada target organ. Namun demikian, mengingat kelemahan pada pemberian intra-
dermal yang memberikan rasa sakit dan tidak mudah dalam membedakan sumbatan
filaria dan sumbatan fisik lainnya seperti pada teknik limfoskintigrafi, maka rute
penyuntikan intra-vena menjadi pilihan.
7
A.2. Kendala dan Hambatan Pelaksanaan Kegiatan
Dalam melaksanakan kegiatan, walaupun tidak terlalu signifikan dan dapat
dicarikan solusinya, tercatat beberapa kendala teknis, seperti:
Kesulitan dalam perolehan sampel uji (penelusuran penderita filariasis) yang
belum mendapatkan pengobatan. Informasi keberadaan sampel uji diperoleh
melalui komunikasi dengan para tenaga medis, baik yang berada di rumahsakit
maupun melalui Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten.
Keharusan pengambilan cuplikan darah terinfeksi yang dilakukan malam hari
(nocturnal) di luar kota. Untuk mengatasi permasalahan, di samping harus
menjelaskan perlakuan dan benefit/risk kepada penderita, peneliti berkoordinasi
dengan petugas teknis lapangan di Dinas Kesehatan Kabupaten.
Kesulitan menumbuhkan cacing filaria pada hewan uji
Penjadwalan penggunaan fasilitas kamera gamma di rumahsakit yang dilakukan di
luar jam kerja (hari sabtu). Hal inipun hanya dapat dilakukan melalui komunikasi
yang terjalin baik antara team peneliti dengan para tenaga medis di rumahsakit.
B. Pengelolaan Administrasi Manajerial
B.1. Perencanaan Anggaran
Seperti halnya kegiatan penelitian, anggaran dialokasikan ke dalam kelompok
gaji upah, bahan habis pakai, perjalanan dan lain-lain seperti ditampilkan pada tabel
berikut:
No. URAIAN ALOKASI DANA (%)
1. Gaji dan upah 60
2. Bahan habis pakai 21
3. Perjalanan 4
4. Lain-lain 3
5. Pajak 12
TOTAL 100
Pengelolaan pembelanjaan dan penggunaan anggaran secara teknis
disesuaikan dengan termin yang diterima dengan memilah berdasarkan skala prioritas.
8
B.2. Mekanisme Pengelolaan Anggaran
Anggaran dikelola berdasarkan azas satu pintu lembaga. Dalam hal pengadaan
bahan, para peneliti mengajukan SIPU yang diketahui oleh Kepala Bidang masing-
masing untuk diteruskan ke Bagian Tata Usaha u.p. Subbag.Perlengkapan. Peneliti
tidak pernah berhubungan langsung dengan rekanan. Pola pengadaan disesuaikan
dengan petunjuk peraturan dan perundangan yang berlaku.
Sesuai dengan alokasi waktu/jam kegiatan masing-masing peneliti yang tertera
dalam proposal, bendahara membayarkan gaji upah setiap periode 2 bulanan
disesuaikan dengan termin yang diterima.
B.3. Rancangan dan Perkembangan Pengelolaan Aset
Dalam kegiatan PKPP 2012 yang dilaksanakan tidak terdapat pembelian atau
pengadaan belanja modal yang dijadikan aset, sehingga untuk kegiatan ini tidak ada
rancangan dan pengembangan pengelolaan ke depan.
B.4. Kendala dan Hambatan Pengelolaan Administrasi Manajerial
Hingga akhir kegiatan tidak ditemui kendala dan hambatan pengelolaan
administrasi. Apabila ada perubahan, dan untuk tertib administrasi terutama yang
terkait dengan anggaran belanja di lembaga internal, peneliti utama selalu
berkoordinasi dengan bendahara.
Hal yang menyangkut kerjasama eksternal, termasuk komunikasi dengan berbagai
instansi terkait, berjalan lancar tanpa hambatan, dan bahkan mendapatkan respon
positif, sehingga memperlancar perolehan data dan penggunaan fasilitas yang
tidak dimiliki lembaga peneliti. Hal ini dapat dijadikan modal awal untuk menjalin
kerjasama berikutnya, terutama dalam pemanfaatan hasil litbang oleh para
pengguna kelak.
9
BAB III METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA
A. Metode Pencapaian Target Kinerja
A.1. Kerangka – Rancangan Metode Penelitian (teknis)
Dengan lingkup kegiatan seperti telah diuraikan di atas, berikut adalah beberapa
metode yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan teknis penelitian:
A.1.1. Pengamatan stabilitas sediaan dalam bentuk ”kit”
Sediaan yang diformulasikan dalam bentuk ”kit”, disimpan di dalam lemari
pendingin untuk jangka waktu tertentu. Uji stabilitas dilakukan dengan mengamati hasil
efisiensi penandaan dan tingkat kemurnian radiokimia setelah sediaan tersebut
direkonstitusi dengan larutan natrium perteknetat (99mTc). Tingkat kemurnian ditetapkan
dengan metode kromatografi menggunakan berbagai fase diam dan fase gerak.
A.1.2. Evaluasi Kit-kering Radiofarmaka Dietil-karbamazin.
1. Pengujian sterilitas dan pirogenitas, dilakukan dengan mengikuti metode dan
prosedur yang tercantum dalam Farmakope Indonesia.
2. Untuk melihat pengaruh volume terhadap efisiensi penandaan, dilakukan variasi
penambahan jumlah/volume larutan Natrium perteknetat ke dalam sediaan kit kering
DEC.
A.1.3. Evaluasi Pre-klinis Radiofarmaka 99mTc-Dietil-karbamazin.
1. Hewan uji yang digunakan (normal dan setelah diinfeksi filaria) adalah jenis tikus
Wistar dengan berat ±250-300 gram dan mencit Swiss dengan berat ±30-40 gram.
2. Penentuan toksisitas, dilakukan sesuai metode dan prosedur yang diterakan dalam
Farmakope Indonesia dengan melipat-gandakan dosis yang diberikan setelah
dikonversi ke dalam dosis umum yang diterima manusia.
3. Pengamatan biodistribusi dan uptake pada sistem limfatik, dilakukan dengan
pembedahan dan pengukuran akumulasi aktivitas di dalam organ.
4. Profil farmakokinetika pada hewan uji diamati setelah pemberian sediaan melalui
rute intra-dermal dan intra-vena, baik pada hewan normal maupun terinfeksi.
5. Pencitraan dengan kamera gamma pada hewan uji dan volunteer, dilakukan setelah
penyuntikan sediaan 99mTc-DEC melalui rute intra-dermal dan intra-vena
10
A.2. Indikator Keberhasilan Pencapaian
Dalam tabel berikut, ditampilkan indikator keberhasilan serta pencapaian target
kegiatan: KEGIATAN INSTANSI
TERKAIT KRITERIA
KEBERHASILAN UKURAN
KEBERHASILAN %
CAPAIAN KET.
1 2 3 4 5 6 Izin Komisi Etik
Penggunaan Hewan Uji
Batan
Persetujuan Komisi Etik
Surat formal persetujuan Komisi Etik
100%
Uji Stabilitas sediaan
Tidak terjadi perubahan sifat fisiko-kimia sediaan
Kemurnian radiokimia di atas 95%
100%
Uji stabilitas sudah diamati hingga bulan ke 8 kegiatan
Uji biodistribusi & profil kinetika pada hewan uji normal dan terinfeksi, serta uji biologi lainnya
Perolehan data T½ distribusi & eliminasi
Keseragaman hasil biodistribusi & kurva kinetika
100%
Pencitraan dengan kamera gamma (in-vivo pada hewan uji & volunteer)
Dinas KesKabTasik
RSHS
Kesediaan pasien volunteer
Pencitraan dapat dibaca dengan jelas
Gambaran jelas & dapat dibaca
Dapat membedakan normal dan abnormal
100% Dilakukan terhadap 2 (dua) penderita volunteer, injeksi intra-vena & intra- dermal
CAPAIAN KEGIATAN s/d 10 September 2012 100%
A.3. Perkembangan dan Hasil Pelaksanaan Penelitian Dari tabel indikator keberhasilan yang ditampilkan di atas, pada dasarnya
kegiatan telah terselesaikan sesuai dengan perencanaan semula. Beberapa kendala
teknis telah dicarikan solusinya sehingga hasil yang diharapkan dapat dicapai. Berikut
uraian detail mengenai perkembangan kegiatan substantif:
11
A.3.1. Evaluasi stabilitas sediaan dalam bentuk “kit” kering DEC
Di samping pengamatan organoleptis, sediaan dinyatakan masih tetap stabil
apabila efisiensi penandaan dan tingkat kemurnian radiokimia 99mTc-DEC tidak kurang
dari 90%. Penentuan kemurnian dihitung berdasarkan timbunan aktivitas di daerah Rf
sediaan (99mTc-DEC) dan pengotor (Tc04- dan Tc02) dari suatu sistem kromatografi
dengan TLC-SG sebagai fase diam dan aseton kering sebagai fase gerak. Hasil
penandaan dan tingkat kemurnian radiokimia berdasarkan periode waktu penyimpanan
sediaan di lemari pendingin, ditunjukkan pada Tabel 1 dan Gambar 1 berikut:
Tabel 1. Efisiensi Penandaan dan Tingkat Kemurnian 99mTc-DEC
No. Waktu penyimpanan
Efisiensi Penandaan dan Kemurnian Radiokimia ( % )
1. 0 bulan 95,4 ± 3,3 2. 1 bulan 97,2 ± 0,8 3. 2 bulan 98,3 ± 0,2 4. 3 bulan 98,3 ± 0,4 5. 4 bulan 96,4 ± 1,3 6. 5 bulan 97,3 ± 0,5 7. 6 bulan 98,0 ± 0,0 8. 7 bulan 98,2 ± 0,8
Gambar 1. Kurva kestabilan berdasarkan waktu penyimpanan
Dari data efisiensi penandaan dan tingkat kemurnian seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 1 di atas, terlihat bahwa kit DEC tetap stabil walaupun telah disimpan
selama ±8 bulan. Hal ini memberikan keuntungan tersendiri kelak bagi produsen karena
sediaan tidak harus selalu dibuat segar menjelang digunakan.
12
A.3.2. Uji stabilitas setelah rekonstitusi larutan perteknetat (Na99mTc04)
Ketidak stabilan sediaan terutama yang terkait dengan penurunan hasil
penandaan (yield) dan tingkat kemurnian, di samping karena sediaan disimpan terlalu
lama, juga dapat disebabkan karena sediaan tidak segera digunakan setelah dilakukan
penambahan larutan perteknetat. Gambaran perubahan hasil penandaan setelah
penambahan/rekonstitusi larutan 99mTc-perteknetat, ditunjukkan pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Pengaruh Penyimpanan Setelah Penambahan Larutan 99mTc-perteknetat
Stabilitas sediaan berdasarkan periode waktu setelah rekonstitusi 99mTc-perteknetat
Penyimpanan 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam
Yield / Kemurnian (%) 96,31 90,48 88,90 87,16
Data dalam tabel 2 di atas, dapat dijadikan pertimbangan bagi pengguna agar
sebaiknya sediaan tidak disimpan terlalu lama, atau digunakan tidak lebih dari 2 jam
apabila telah direkonstitusi dengan larutan Natrium-perteknetat.
A.3.3. Pengujian sterilitas dan pirogenitas
Uji sterilitas dan pirogenitas dilakukan dengan mengacu metode dan prosedur
yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia. Hasil percobaan terhadap cuplikan
sediaan menunjukkan bahwa semua sediaan uji, baik yang dibuat segar maupun yang
telah disimpan selama 8 bulan berada dalam keadaan steril dan bebas pirogen.
A.3.4. Pengaruh volume terhadap hasil penandaan
Mengingat volume sediaan harus sekecil mungkin terkait dengan cara
penyuntikan, maka penambahan larutan 99mTc-perteknetat harus diperhatikan. Pada
Tabel 3 berikut ditunjukkan pengaruh besarnya volume 99mTc-perteknetat pada hasil
penandaan dengan memvariasikan penambahan jumlah larutan 99mTc-perteknetat.
Tabel 3. Pengaruh Volume 99mTc-perteknetat pada Penandaan DEC
No. Volume 99mTc-perteknetat (ml) Efisiensi penandaan (%) 1. 1,0 97,90 2. 2,0 92,23 3. 3,0 93,89 4. 4,0 94,58
13
Data di dalam Tabel 3, walaupun menunjukkan adanya penurunan hasil
penandaan, dari sisi persyaratan, kesemuanya masih dalam batas yang diizinkan.
Namun demikian, jumlah volume tetap harus diperhatikan mengingat akan menjadi
tidak favourable apabila disuntikkan ke pasien; karena itu sesedikit mungkin volume
yang dtambahkan, menjadi pilihan para klinisi.
A.3.5. Penyiapan hewan uji
Setelah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penggunaan Hewan Uji, tikus
Wistar dengan berat rerata 250-300 gram dan mencit jenis Swiss dengan berat ± 30-40
gram disiapkan. Sebagian tikus diinfeksi dengan cacing filaria yang terkandung dalam
darah penderita filariasis melalui injeksi intra-vena. Hewan tersebut disiapkan untuk
perlakuan uji biodistribusi, farmakokinetika dan pencitraan.
A.3.6. Uji toksisitas
Uji toksisitas dilakukan dengan memberikan sediaan 99mTc-DEC melalui dua rute
penyuntikan intra-dermal dan intra-vena masing-masing pada 5 ekor mencit jenis Swiss
dengan berat rata-rata ±30 gram dengan dosis berlipat ganda dari dosis yang diberikan
kepada manusia berdasarkan pada perhitungan konversi bobot badan. Kelainan yang
mungkin terjadi diamati selama 7 hari, dan dilanjutkan hingga 14 hari sambil tetap diberi
pakan dan minum seperti biasa. Hasil uji toksisitas ditunjukkan pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Pengamatan uji toksisitas 99mTc-DEC terhadap hewan uji
Perlakuan Berat mencit rata-rata (gram)
Dosis penyuntikan 99mTc-DEC
Konversi ke dosis manusia
Tanda keracunan / kematian
selama 7-14 hari pengamatan
Intra dermal 30,4 ± 2,70 462 µCi (15,2 mCi/kg) 912 x -
Intra vena 38,0 ± 1,97 430 µCi (11,3 mCi/kg) 135 x -
Dari data yang ditampilkan dalam Tabel 4, terlihat bahwa tidak seekorpun mencit
uji menunjukkan kelainan ataupun kematian walaupun diberikan dosis yang jauh lebih
tinggi dari yang diperkirakan akan digunakan oleh manusia. Dari data toksisitas ini pula
dapat dinyatakan bahwa sediaan ini aman untuk digunakan.
14
A.3.7. Biodistribusi dan uptake sediaan pada sistem limfatik
a. Pengamatan biodistribusi
Pengamatan bioditribusi sediaan 99mTc-DEC dilakukan melalui pembedahan
pasca penyuntikan intradermal/intracutan pada tikus putih galur Wistar normal; dan
aktivitas yang terakumulasi di dalam setiap organ selang periode waktu tertentu diukur
dengan peralatan Single Channel Analyzer seperti digambarkan pada kurva berikut:
Gambar 2. Kurva Biodistribusi 99mTc-DEC pasca penyuntikan intra-dermal
Pada kurva di atas, ditunjukkan bahwa penimbunan aktivitas tertinggi (27,5%)
terdapat di organ popliteal 15 menit pasca penyuntikan intra-dermal, dan menurun
dengan bertambahnya waktu hingga 4,76% pada menit ke 120.
Di samping akumulasi tertinggi ditemukan pada beberapa organ yang terkait
dengan sistem limfatik seperti pada popliteal, lumbar dan mesentrik, data pada gambar
2 juga menunjukkan penimbunan yang cukup berarti di organ ginjal. Hal ini sangat
dimungkinkan mengingat ginjal termasuk salah satu jalur ekskresi. Penimbunan
aktivitas pada beberapa organ lainnya tidak menunjukkan nilai yang signifikan.
15
b. Uptake sediaan pada sistem limfatik
Untuk mengetahui seberapa lama sediaan 99mTc-DEC berada dalam kelenjar
popliteal, lumbar dan mesentrik seperti pada Gambar 2, Gambar 3 berikut menunjukkan
waktu uptake sistem limfatik terhadap sediaan:
Gambar 3. Waktu uptake sistem limfatik terhadap sediaan 99mTc-DEC
Walaupun uptake pada popliteal menunjukkan nilai radioaktivitas tertinggi pada
awal penyuntikan, namun terlihat bahwa menuju menit ke 45 terjadi penurunan yang
cukup tajam dibandingkan dengan lumbar dan mesentrik. Hal ini dimungkinkan karena
popliteal merupakan kelenjar terdekat pada daerah penyuntikan dibandingkan dengan
lumbar dan mesentrik. Baru setelah proses penurunan, aktivitas yang terakumulasi
mendekati jumlah yang sama dengan kelenjar limfatik lainnya.
A.3.8. Penentuan profil farmakokinetika
Parameter farmakokinetika sediaan obat memiliki arti penting dalam penata-
laksanaan diagnosis maupun terapi suatu penyakit. Di antara parameter farmako-
kinetika, waktu ekskresi/eliminasi yang sering dihubungkan dengan waktu paruh
biologis, atau waktu yang menyatakan lamanya suatu obat berada di dalam tubuh
seseorang, sangat perlu untuk diketahui.
Uji farmakokinetika 99mTc-DEC dilakukan dengan menyuntikkan sediaan secara
intra-dermal pada tikus normal maupun tikus terinfeksi, kemudian beberapa tetes darah
dari bagian ekor dicuplik selang periode waktu 5’, 15’, 30’, 45’, 60’, 90’, 120’ dan 180’ .
16
Pengukuran aktivitas cuplikan darah dilakukan dengan peralatan Single Channel
Analyzer; dan perhitungan aktivitas dikoreksi untuk bobot darah yang sama (cacahan
per gram) dan terhadap waktu paruh (T½) nuklida teknesium-99m. Gambar 4 dan 5 di
bawah ini menunjukkan profil farmakokinetika sediaan pasca penyuntikan intra-dermal
pada tikus normal dan tikus terinfeksi.
Gambar 4. Profil Kinetika 99mTc-DEC pasca penyuntikan intra-dermal pada tikus normal
Gambar 5. Profil Kinetika 99mTc-DEC pasca penyuntikan intra-dermal pada tikus terinfeksi
17
Dengan mengasumsikan sediaan berada dalam satu kompartemen, maka dari
profil kinetika yang tertera pada Gambar 4 dapat dihitung nilai waktu paruh biologis (T½) 99mTc-DEC pasca penyuntikan intra-dermal pada tikus normal adalah sebesar 44,32
menit, sedangkan dari Gambar 5 menunjukkan nilai waktu paruh biologis (T½) pada
tikus terinfeksi sebesar 37,83 menit. Apabila dilihat dari karakter individual mahluk
hidup, nilai ini tidak menunjukkan signifikansi perbedaan. Karena itu, dapat dinyatakan
waktu paruh biologis pasca pemberian intradermal adalah ±40 menit.
T½ biologis pada penyuntikan intra-dermal mengindikasikan waktu yang cukup
lama bagi sediaan berada dalam tubuh. Secara logika hal ini mudah dipahami karena
jalur penyuntikan tidak langsung ke dalam pembuluh darah. Nilai ini memberikan
kelebihan tersendiri mengingat teknik limfoskintigrafi yang digunakan dalam
pendeteksian penyakit, juga memerlukan waktu yang tidak singkat, sehingga ada
keleluasaan bagi para klinisi untuk melakukan penatalaksanaan diagnosis. Namun
demikian, mengingat sulitnya membedakan sumbatan fisik dengan sumbatan filaria
melalui teknik limfoskintigrafi, maka pemberian melalui injeksi intra-vena menjadi pilihan
yang diharapkan memberikan nilai positif.
Pada kurva yang diterakan pada gambar 6, ditunjukkan bahwa T½ biologis
dengan model satu kompartemen melalui injeksi intra-vena, memberikan nilai 29,7
menit. Nilai ini dianggap cukup untuk menelusuri keberadaan sediaan di dalam tubuh
apabila dilakukan pencitraan dengan kamera gamma pada manusia.
Gambar 6. Profil Kinetika 99mTc-DEC pasca penyuntikan intra-vena
18
A.3.9. Pencitraan kamera gamma pada hewan uji dan volunteer
Hasil pencitraan dengan kamera gamma menjadi kunci utama pembuktian
bahwa suatu sediaan layak digunakan. Hal ini ditujukan untuk meyakinkan bahwa
sediaan benar-benar terakumulasi pada target organ. Gambar 7 dan 8 berikut
menunjukkan hasil pencitraan kamera gamma sediaan 99mTc-DEC di dalam tubuh tikus
terinfeksi filaria pasca penyuntikan intra-dermal dan intra-vena.
Gambar 7. Gambar 8. Pencitraan pada tikus terinfeksi filaria Pencitraan pada tikus terinfeksi filaria dengan 99mTc-DEC (intra dermal) dengan 99mTc-DEC (intra-vena)
Walaupun hasil pencitraan kamera gamma yang ditunjukkan pada gambar 7 dan
8 membuktikan sediaan terdistribusi di dalam tubuh tikus, namun evaluasi masih sulit
dilakukan, apalagi bila mengamati distribusi setelah pemberian intradermal. Gambar 8
yang menunjukkan keberadaan penghitaman di bagian usus setelah penyuntikan intra-
vena, juga memberikan keraguan untuk menetapkan kelainan yang disebabkan filaria.
Pembuktian melalui pembedahan di bagian ini, dan perlakuan mikroskopik, juga tidak
menunjukkan filaria positif. Karena itulah, solusi akhir pembuktian harus dilakukan
pada pasien volunteer. Gambar 9 dan 10 menunjukkan volunteer penderita filariasis
dengan lokasi pembengkakan berbeda, sedangkan Gambar 11 dan 12 adalah hasil
pencitraan kamera gamma pasca penyuntikan 99mTc-DEC intra-dermal dan intra-vena.
Dosis 99mTc-DEC yang diberikan melalui penyuntikan intra dermal adalah 4 x 100µCi,
sedangkan melalui penyuntikan intra-vena ±5mCi.
19
Gambar 9.
Volunteer penderita filariasis dengan pembengkakan kaki kiri
Gambar 10.
Volunteer penderita filariasis dengan pembengkakan kaki kanan
20
Gambar 11. Gambar 12.
Pencitraan Kamera Gamma Pencitraan Kamera Gamma pasca penyuntikan intra-dermal pasca penyuntikan intra-vena pada penderita filariasis pada penderita filariasis
Pada hasil pencitraan kamera gamma, terlihat bahwa baik melalui penyuntikan
intra dermal maupun intra-vena, kedua volunteer penderita filariasis menunjukkan
gambaran positif di daerah pembengkakan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua cara
penyuntikan dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan filaria. Walaupun kedua
rute pemberian diasumsikan melalui jalur mekanisme keterikatan sediaan dengan
filaria, nilai lebih diberikan melalui penyuntikan intra-vena karena terjadinya akumulasi 99mTc-DEC dapat dibedakan dengan mekanisme limfoskintigrafi. Di samping itu,
akumulasi di ginjal dan kandung kemih, menunjukkan bahwa sediaan diekskresikan
melalui organ ini.
Pembengkakan kaki kiri
Pembengkakan kaki kanan
Intra dermal
Intra vena
21
B. Potensi Pengembangan ke Depan
B.1. Kerangka Pengembangan ke Depan
Seperti telah dipaparkan di atas, keberhasilan pencapaian target kegiatan
menunjukkan prospek yang cukup menjanjikan dari sisi teknis. Mengingat banyaknya
temuan kasus filariasis, pihak pengguna sangat berharap agar sediaan ini dapat segera
termanfaatkan. Teknologi penyiapan sediaan dan analisisnya sudah dikuasai. Begitu
juga dengan rintisan jejaring kerjasama. Potensi pengembangan sangat memungkinkan
untuk ditindaklanjuti. Karena itu:
Pengembangan aspek teknis, difokuskan untuk melengkapi dan menambah data uji
klinis yang masih diperlukan, sekaligus untuk meyakinkan tingkat keberhasilan pada
para pengguna.
Pengenalan produk melalui difusi teknologi hasil litbang kepada stakeholder dan/atau
instansi/lembaga terkait
Desain produk dan perhitungan aspek farmakoekonomi
Menjaring produsen untuk meningkatkan kapasitas iptek sistem produksi.
B.2. Strategi Pengembangan ke Depan
Seperti layaknya kegiatan diseminasi ataupun difusi suatu hasil inovasi, strategi
pengembangan ke depan, tidak hanya tertuju pada pemantapan aspek teknis, tetapi
juga perlu didukung dengan aspek non teknis. Karena itu, langkah yang diusulkan a.l.
mencakup:
Merintis kerjasama dengan para stakeholder dengan melibatkan peran serta
penentu kebijakan a.l. pihak Kemenristek, Kemenkes, Badan POM.
Diseminasi hasil litbang melalui publikasi dan/atau seminar di forum profesi
Melibatkan calon produsen agar bisa melakukan kegiatan program peningkatan
kapasitas iptek sistem produksi
22
BAB IV SINERGI PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Sinergi Koordinasi Kelembagaan Program
A.1. Kerangka Sinergi Koordinasi
Koordinasi antar lembaga terkait, pemerintah maupun swasta sangat penting
artinya untuk mendifusikan/mendiseminasikan hasil litbang. Koordinasi di hulu lebih
memungkinkan untuk dilakukan oleh para peneliti, sedangkan koordinasi di hilir tidak
memungkinkan hanya dilakukan oleh peneliti. Karena itu ke depan, peran fasilitator
sangat dibutuhkan agar hasil litbangnya segera termanfaatkan. Langkah dan strategi
yang memungkinkan dilakukan peneliti a.l.:
membuat kesepakatan kerjasama dengan para stakeholder terutama tentang
pemanfaatan hasil litbang
melaksanakan kegiatan bersama sejak awal perencanaan hingga pelaksanaan
kegiatan dengan pola win-win atau reward to reward.
Pada PKPP 2012, sinergitas koordinasi terlaksana dengan baik sejak awal
kegiatan berjalan. Bentuk sinergitas ditunjukkan dengan perolehan bahan/cuplikan,
kemudahan mendapatkan volunteer dan pemanfaatan berbagai fasilitas penelitian.
A.2. Indikator Keberhasilan Sinergi Koordinasi
Dengan dasar reward to reward, indikator keberhasilan pada program PKPP
2012 diwujudkan dalam bentuk:
kemudahan mendapatkan sampel uji
kemudahan penggunaan fasilitas
Untuk program ke depan, indikator keberhasilan harus ditunjukkan dengan a.l.:
hasil litbang termanfaatkan oleh masyarakat luas
publikasi atau HKI bersama sesuai dengan kesepakatan
A.3. Perkembangan Sinergi Koordinasi
Sinergitas koordinasi berjalan sangat baik. Hal ini ditunjukkan dengan tidak
adanya kendala sejak awal berkoordinasi hingga berakhirnya kegiatan, baik dengan
pihak Dinas Kesehatan, Rumahsakit, maupun di kalangan internal lembaga, bahkan
secara informal para mitra tetap berkomunikasi dan selalu memberikan respon positif.
23
B. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa
B.1. Kerangka dan Strategi Pemanfaatan
Penelitian dalam kegiatan PKPP 2012 yang dilakukan baru saja berakhir. Jenis
kegiatannya-pun masih dalam tahap penelitian terapan, dengan demikian pemanfaatan
hasilnya belum dapat dilakukan. Kegiatan yang telah selesai dilaksanakan baru dalam
tahap awal pembuktian (non-klinis) bahwa hasil litbang ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan nyata untuk deteksi dini penyakit filariasis dan mendukung
program nasional Indonesia Sehat, serta program WHO tentang The Global Goal of
Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020.
Namun demikian, sejak awal, para stakeholder, dalam hal ini pihak Dinas
Kesehatan dan Rumahsakit telah ikut dilibatkan dalam kegiatan. Begitu pula dengan
penyampaian informasi ke beberapa dokter/tenaga medik di daerah endemic, pernah
dilakukan. Secara tidak langsung, penyampaian informasi dan bentuk kerjasama ini
telah menggambarkan sebagian langkah strategi yang diambil agar pemanfaatan hasil
litbang dapat terlaksana sesegera mungkin.
Para peneliti sebenarnya sangat mengharapkan keberadaan fasilitator yang
dapat mengakselerasi penyebarluasan dan pemanfaatan hasil litbang, dengan demikian
para peneliti tidak harus “bergerilya” sendiri mulai dari hulu ke hilir.
B.2. Indikator Keberhasilan Pemanfaatan
Indikator keberhasilan pemanfaatan dari hasil penelitian yang nyata adalah
terpakainya sediaan oleh para pengguna, dan/atau dijadikan rujukan untuk
mengungkap kelainan yang diderita pasien (suspect)
B.3. Perkembangan Pemanfaatan
Seperti yang diuraikan di atas, hasil penelitian di PKPP 2012 ini baru dalam
tahap uji non klinis, dan baru dimulai dengan sedikit uji pre-klinis, tambahan data uji
klinis masih diperlukan. Namun demikian, data yang diperoleh hingga saat ini telah
menunjukkan hasil yang diharapkan. Kerjasama dengan para stakeholder sudah dirintis
dan mendapat respon positif; keberadaan penderita dan daerah endemik filaria di
Indonesia tidak sedikit, karena itu dengan strategi yang tepat, nampaknya pemanfaatan
ke depan memberi harapan dan prospek yang baik.
24
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
A.1. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan dan Anggaran
Seperti diuraikan di atas, program PKPP dengan judul 99mTc-Dietil-karbamazin
Sebagai Sediaan Diagnostik Limfatik Filariasis yang difokuskan pada uji non-klinis ini
tidak terlepas dari tahap pelaksanaan kegiatan teknis dan administratif.
Aspek teknis meliputi kajian farmasetik, seperti pengamatan stabilitas, sterilitas,
pirogenitas, toksisitas sediaan, dan dilanjutkan dengan kajian farmakologis seperti
biodistribusi, penentuan profil farmakokinetika, serta pencitraan (imaging). Semua
kegiatan dapat diselesaikan tepat waktu, serta setiap tahapan menunjukkan data dan
hasil yang signifikan, bahkan di akhir kegiatan yang dilengkapi dengan teknik
pencitraan pada penderita volunteer menggunakan kamera gamma, menunjukkan
sediaan ini benar dapat dimanfaatkan untuk deteksi filariasis seperti yang diharapkan.
Di sisi lain, aspek administratif dan anggaran sebagai pendukung bergulirnya
kegiatan, terkelola dengan baik dan tidak ditemukan kendala yang berarti. Keberhasilan
dan kelancaran pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan anggaran ini dapat dikatakan
tidak terlepas dari kerjasama yang terjalin baik antar berbagai pihak terkait, internal
lembaga, maupun di luar lembaga.
A.2. Metode Pencapaian Target Kinerja
Seperti telah disampaikan beberapa kali, target kinerja dapat dicapai seperti
harapan semula, dan bahkan dapat dikatakan melebihi target yang direncanakan.
Kesungguhan, kebersamaan, transparansi dan komunikasi yang baik, adalah kunci
sukses dari pencapaian target kinerja.
A.3. Potensi Pengembangan ke Depan
Penyiapan sediaan dan cara analisis yang terkait dengan kegiatan dalam
penelitian ini telah benar-benar dikuasai. Jejaring kerja juga sudah dirintis sejak awal
kegiatan, karena itu potensi pengembangan ke depan sangat terbuka. Jumlah daerah
endemik yang tidak sedikit di Indonesia, memberi peluang potensi pengembangan.
Prospek pasar sangat terbuka lebar.
25
A.4. Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program
Sinergitas koordinasi baik kelembagaan ataupun program, nampaknya tidak
terkendala walaupun tanpa dilengkapi dengan naskah kerjasama formal. Sekali lagi,
peran transparansi dan komunikasi menjadi kunci keberhasilan. Berbagai hal yang
diperkirakan akan sulit dilaksanakan, bahkan sebaliknya mendapat respon positif yang
kemungkinan dapat dijadikan jalan untuk merintis difusi dan teknologi hasil litbang yang
ditemukan.
A.5. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa
Hasil uji non klinis in-vitro dan in-vivo yang telah dilakukan dalam penelitian ini,
khususnya untuk kasus pengembangan obat, dianggap masih belum cukup untuk
langsung masuk ke area pemanfaatan. Di samping masih harus menambah data uji
pre-klinis dan klinis, masih banyak persyaratan suatu obat agar dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat. Rintisan kerjasama yang sudah dilaksanakan dengan melibatkan
langsung para mitra ke dalam kegiatan ini, dapat dijadikan pembuka jalan program
pemanfaatan ke depan. Namun demikian, walaupun aspek teknis dan administratif
sudah lengkap, termasuk registrasi Badan POM terpenuhi, aspek lain, seperti ekonomi,
politis, keberpihakan, kebijakan, memiliki peran masing-masing yang berpengaruh pada
pemanfaatan hasil litbangyasa. Peran fasilitator sangat dibutuhkan.
B. Saran
B.1. “Keberlanjutan” Pemanfaatan Hasil Kegiatan
Agar hasil kegiatan dapat segera dimanfaatkan:
Data teknis, seperti data uji klinis masih perlu ditambah terutama untuk persyaratan
registrasi, sekaligus untuk meyakinkan tingkat keberhasilan pada para pemangku
kepentingan.
Pengenalan produk melalui difusi teknologi hasil litbang kepada stakeholder dan/atau
instansi/lembaga terkait
Desain produk dan perhitungan farmakoekonomi
Menjaring produsen yang “capable” (misalnya memiliki fasilitas produksi, CPOB dll.)
untuk meningkatkan kapasitas iptek sistem produksi
26
B.2. Keberlanjutan Dukungan Program Ristek
Berbagai keterbatasan, dana dan peralatan sering menjadi kendala bagi seorang
peneliti untuk menuangkan ide kreatifnya, apalagi jika yang bersangkutan berada dalam
suatu lembaga penelitian seperti saat ini. Ide berkoordinasi sering terlontar, namun di
lapangan banyak yang berjalan sendiri-sendiri. Begitu juga hasil litbang yang mungkin
bisa memiliki nilai lebih, banyak yang hanya tersimpan di laci. Memasarkan hasil litbang
tidak mungkin dikerjakan seorang diri. Sekali lagi peran fasilitator yang dapat
menjembatani hal ini sangat dibutuhkan; dan tentu saja Kemenristek menjadi tumpuan.
DAFTAR PUSTAKA
1. ANONIM, Eliminating Lymphatic filariasis, WHO
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Frames/A-F/Filariasi/body Filariasis
2. SULIANTI A., Waspadai kaki gajah, Pikiran Rakyat, 25 Nov. 2010.
3. WEIL G.J., LAMMIE P.J., WEISS N., The ICT filariasis test: A rapid format antigen
test for diagnosis of Bancroftian Filariasis. Parasitology Today,13(10)(1997)401-404
4. HANAFIAH A.Ws. et al., Penandaan Dietilkarbamazin dengan radionuklida
teknesium-99m sebagai sediaan diagnostik untuk deteksi dini filariasis. Laporan
Teknis Program Insentif KMNRT, PKPP-2011.
5. MELROSE, W.D., Chemotherapy for lymphatic filariasis: progress but not perfection
Anti-infective Therapy 1(4) (2003) 571-577.
6. SAHA, G.B.,Fundamental of Nuclear Pharmacy,5thed.,Springer,USA,(2004)319-320
7. SZUBA, A., SHIN, W.S., STRAUSS, H.W., ROCKSON, S., Radionuclide lympho-
scintigraphy in the evaluation of lymphodema, J. Nucl. Med. 44(1)(2003) 43-57.
27
LAPORAN HASIL PENELITIAN dan PENGEMBANGAN, KEKAYAAN INTELEKTUAL, dan HASIL PENGELOLAANNYA
28
LAPORAN HASIL PENELITIAN dan PENGEMBANGAN, KEKAYAAN INTELEKTUAL, dan HASIL PENGELOLAANNYA
Identitas Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian dan Pengembangan Nama Perguruan Tinggi / Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri (PTNBR) BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL
Pimpinan (Isilah nama lengkap pimpinan perguruan tinggi atau lembaga litbang)
Drs. Djatmiko MSc.
Alamat Perguruan Tinggi / Lembaga Litbang (tuliskan alamat lengkap, kode pos, nomor telepon, nomor faksimile, dan alamat email)
Jl. Tamansari No.71, Bandung , 40132 Telp. 022-2503997, Fax. 022-2504081
e-mail: [email protected]
Identitas Kegiatan Judul Kegiatan Litbang yang Dilakukan
99mTc-DIETIL-KARBAMAZIN SEBAGAI SEDIAAN DIAGNOSTIK LIMFATIK FILARIASIS EVALUASI NON KLINIS
Abstraksi (Uraian ringkas kegiatan yang telah dilaksanakan dengan penjelasan tentang masalah yang ditangani, latar belakang, tahapan kegiatan, manfaat, metodologi yang digunakan, dan hasil pokok)
Penyakit yang disebut Lymphatic Filariasis atau
elephantiasis, atau yang lebih dikenal dengan penyakit kaki gajah
telah menginfeksi lebih dari 120 juta orang di 80 negara, termasuk
Indonesia, dan lebih dari 40 juta dari mereka mengalami ketidak
mampuan bekerja (disability) di samping gangguan nilai estetika.
Karena jumlah penderita filariasis cukup signifikan dengan
memberikan dampak menahun yang sangat mengganggu, maka
penyakit ini mendapat perhatian dan penanganan serius dari
Kementerian Kesehatan RI, khususnya Bidang Pelayanan dan
Penanganan Penyakit Menular. Tidak hanya skala nasional,
WHO-pun telah mencanangkan „The Global Goal of Elimination of
Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by The Year
2020“.
Permasalahan yang dihadapi oleh hampir semua pihak
dalam memberantas penyakit infeksi filariasis adalah
terlambatnya penyakit ini terdiagnosis atau terdeteksi lebih awal.
Masyarakat tidak menyadari bahwa mereka telah terinfeksi
penyakit ini. Metode deteksi dini yang spesifik dan akurat sangat
dibutuhkan.
29
Senyawa bertanda 99mTc-Dietilkarbamazin-citrat telah
berhasil dibuat dan telah dilaporkan dalam Program Insentif
Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP) 2011
dengan memberikan karakteristik fisikokimia yang cukup baik.
Namun demikian, seperti halnya pengembangan obat baru (drug
discovery/drug development), berbagai persyaratan farmasetik
dan keamanan bagi pengguna menjadi barometer keberhasilan
penelitian ini. Karena itu, tujuan kegiatan penelitian yang
dilakukan dalam program insentif PKPP 2012 ini lebih difokuskan
pada perolehan data in-vitro dan in vivo 99mTc-Dietilkarbamazin
(99mTc-DEC), terutama dari aspek non klinis untuk meyakinkan
keberterimaan dan kepercayaan para pengguna. Aspek fisiko-
kimia seperti stabilitas, tingkat kemurnian, dan syarat farmasetik
lainnya, serta kajian farmakologis, seperti uji farmakokinetika,
toksikologi, sterilitas, a-pirogenitas, kesesuaian dosis diagnostik
dan rute pemberian, adalah parameter penting yang dikaji.
Beberapa metode uji, terutama yang terkait dengan aspek
farmakologis, diselaraskan dengan prosedur dan persyaratan
yang ditetapkan farmakope. Di samping itu, telah dilakukan pula
proses pencitraan (imaging) dengan kamera gamma, baik pada
hewan uji maupun pada penderita volunteer.
Dari pengamatan uji stabilitas, sediaan yang disimpan
selama 7 bulan dalam bentuk kit kering, masih menunjukkan
efisiensi penandaan dan tingkat kemurnian di atas 90%, dan tetap
stabil secara fisiko-kimia maupun biologis. Namun demikian,
sediaan 99mTc-DEC harus digunakan segera setelah disiapkan,
dan disarankan untuk tidak disimpan lebih dari 2 jam setelah
direkonstitusi dengan larutan perteknetat.
Pengaruh peningkatan volume larutan 99mTc-perteknetat
yang ditambahkan pada saat rekonstitusi, walaupun menurunkan
efisiensi penandaan, namun masih dalam batas yang diizinkan
(>90%). Walaupun demikian, untuk kenyamanan pasien, volume
yang diberikan sebaiknya diupayakan sesedikit mungkin.
30
Data uji toksisitas, juga menunjukkan sediaan 99mTc-DEC
aman digunakan.
Hasil uji biodistribusi pada tikus putih percobaan galur
Wistar, menunjukkan bahwa akumulasi sediaan terbesar
ditemukan dalam sistem limfatik, terutama pada kelenjar popliteal,
lumbar dan mesentrik.
Dari kurva kinetika diperoleh nilai waktu paruh (T½) biologis
masing-masing sebesar ±40 menit baik pada tikus normal maupun
pada tikus terinfeksi pasca pemberian intra-dermal, dan sebesar
29,7 menit apabila diberikan secara intra-vena.
Pencitraan dengan kamera gamma pasca penyuntikan
melalui rute intra-dermal dan intra-vena pada volunteer penderita
filariasis (studi preklinis), menunjukkan gambaran positif bahwa
sediaan 99mTc-DEC terakumulasi pada target organ. Namun
demikian, mengingat kelemahan pada pemberian intra-dermal
yang memberikan rasa sakit dan tidak mudah dalam
membedakan sumbatan filaria dan sumbatan fisik lainnya seperti
pada teknik limfoskintigrafi, maka rute penyuntikan intra-vena
menjadi pilihan.
Hasil inovasi sederhana ini, diharapkan dapat menjadi
sumbangan nyata yang bermanfaat bagi masyarakat luas,
khususnya untuk mendeteksi keberadaan penyakit filariasis dan
dunia kesehatan di Indonesia, serta berharap dapat membantu
mempercepat capaian roadmap perkembangan kit diagnostik
pengendalian penyakit menular (ARN 2005-2025), serta program
WHO „The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a
Public Health Problem by the Year 2020”.
Penelitian ini dapat terselesaikan tepat waktu atas jalinan
kerjasama yang baik antara team peneliti, Dinas Kesehatan
Kabupaten Tasikmalaya, serta para dokter dan staf terkait di
Bagian Kedokteran Nuklir Rumahsakit Hasan Sadikin Bandung.
31
Tim Peneliti 1. Nama Koordinator/
Peneliti Utama (PU) 2. Alamat Koordinator/ Peneliti Utama 3. Nama dan Alamat
Anggota Peneliti (nama dan gelar akademik, berikut bid. keahlian, alamat
anggota peneliti sesuai urutan penulisan anggotanya)
1. Prof.Dr. A.Hanafiah Ws.,
BATAN, Jl.Tamansari 71 Bandung 40132 2. Dra. Nanny Kartini Oekar MSc.
BATAN, Jl.Tamansari 71 Bandung 40132 3. Prof. Dra. Nurlaila Zainuddin MT
BATAN, Jl.Tamansari 71 Bandung 40132 4. Drs. Duyeh Setiawan, Drs., MT
BATAN, Jl.Tamansari 71 Bandung 40132 5. Dra. Misyetti MT.
BATAN, Jl.Tamansari 71 Bandung 40132
Waktu Pelaksanaan Litbang (tanggal mulai dan akhir)
14 Februari 2012 – 14 Oktober 2012
Publikasi (cantumkan judul-judul publikasi, tahun dan tempat publikasi dilakukan)
Belum dipublikasikan
Identitas Kekayaan Intelektual dan Hasil Litbang Ringkasan Kekayaan Intelektual
1. Perlindungan Kekayaan Intelektual yang dihasilkan dari litbang dengan dukungan insentif KNRT periode 2012
a. Paten Waktu Pendaftaran: ................................................ b. Hak Cipta Waktu Pendaftaran: ................................................. c. Merek Waktu Pendaftaran: ................................................. d. Disain Industri Waktu Pendaftaran: ................................................ e. Disain Tata Letak Sirkuit Terpadu Waktu Pendaftaran: .............................................. f. Varietas Tanaman Waktu Pendaftaran: ............................................... (Pilihlah jenis perlindungan kekayaan intelektual yang diperoleh, dan sebutkan waktu pendaftarannya)
2. Nama Penemuan Baru (nama temuan yang dimintakan perlindungan kekayaan intelektual, asal temuan tersebut: baru atau hasil pengembangan temuan sebelumnya, alasan perlu perlindungan kekayaan intelektual).
3. Nama Penemuan Baru Non Komersial (nama temuan yang tidak dimintakan perlindungan kekayaan intelektual, asal temuan tersebut: baru atau hasil pengembangan temuan sebelumnya, alasan tidak perlu perlindungan kekayaan intelektual).
Nama temuan : Formula Kit-kering Dietil Karbamazin (DEC) dan metode pembuatan senyawa bertanda 99mTc-Dietil Karbamazin.
Merupakan hasil inovasi baru dari obat anti cacing filaria dietilkarbamazin (DEC) bertanda radionuklida teknesium-99m yang apabila disuntikkan ke dalam tubuh manusia secara intra dermal atau intra-vena, keberadaannya dapat ditelusuri dengan kamera gamma. Melalui mekanisme yang sama dengan DEC, sediaan 99mTc-DEC dapat menunjukkan secara lebih spesifik, peka dan lebih dini mendeteksi keberadaan cacing filaria di dalam tubuh.
32
Kejadian filariasis menyebar luas (endemik) di beberapa negara tidak hanya di Indonesia. Pencegahan lebih awal sering tidak dapat dilakukan karena diagnosis sulit ditegakkan, dan pasien baru datang setelah manifestasi (pembengkakan).
4. Cara Alih Teknologi a. Lisensi, b. Kerjasama, c. Pelayanan Jasa Iptek, d. Publikasi.
(Pilihlah cara alih teknologi kepada fihak lain agar hasil litbang anda ini dapat dimanfaatkan)
Lisensi, kerjasama dan publikasi.
Ringkasan Hasil Penelitian dan Pengembangan
1. Hasil Penelitian dan Pengembangan
(Isilah dengan ringkas mengenai hasil litbang yang dicapai; berupa disain, model, prototip, temuan ilmiah lainnya, tulisan ilmiah yang telah dipublikasikan, dan/atau konsultasi kepakaran bidang ilmu tertentu).
Hasil LITBANG : 1.1. Formula Kit-kering Dietil Karbamazin (DEC) dan penguasaan teknologi pembuatan senyawa
bertanda 99mTc-Dietil Karbamazin dengan tingkat kemurnian radiokimia lebih besar dari 90%, 1.2. Prototipe kit-kering DEC, stabil selama penyimpanan dalam waktu lama. 1.3. Data sifat/karakteristik fisiko-kimia 99mTc-DEC 1.4. Data sifat/karakteristik biologis (farmakokinetika) 99mTc-DEC 1.5. Hasil pencitraan kamera gamma pada penderita filariasis 1.6. Karya Tulis Ilmiah untuk publikasi
2. Produk, spesifikasi, dan pemanfaatannya. (Isilah dengan ringkas mengenai produk yang dihasilkan, berikut spesifikasi, dan pemanfaatannya) Produk berupa kit-kering steril dalam vial, stabil pada penyimpanan 4 oC. Setelah ditambahkan larutan teknesium-99m perteknetat, akan dihasilkan sediaan 99mTc-
Dietilkarmamazin (99mTc-DEC) yang dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit filariasis melalui penyuntikan intra-dermal atau intra-vena. Kit kering DEC dapat ditandai dengan 99mTc-perteknetat sebanyak 1 hingga 25 mCi per 1 hingga volume maksimal 4 mL. Tingkat kemurnian hasil penandaan > 90%, merupakan sediaan yang jernih tidak berwarna, steril dengan pH sediaan ± 4.
33
Gambar/Photo Produk Hasil Penelitian dan Pengembangan:
KIT KERING DIETIL KARBAMAZIN
HASIL PENCITRAAN KAMERA GAMMA PADA PENDERITA FILARIASIS
MENGGUNAKAN HASIL INOVASI
Pembengkakan kaki kanan Pembengkakan
kaki kiri
Intra dermal
Intra-vena
34
Pengelolaan
1. Sumber Pembiayaan Penelitian dan Mitra Kerja (isilah tentang besar pembiayaan, termasuk yang berasal dari mitra kerja) a. APBN (insentif KNRT) : Rp 250.000.000,- (termasuk pajak) b. APBD : Rp …….....-................ c. Mitra Kerja
- Dalam Negeri : dalam bentuk inmateri Nama Mitra : - Luar Negeri : Rp .…….................. Nama Mitra : ..........................
2. Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Penelitian (sebutkan sarana dan prasarana yang dipergunakan dalam kegiatan litbang)
a. Sarana : fasilitas kerja dengan sumber radioaktif pemancar gamma, laminar air flow, freeze dryer, dose calibrator, pencacah saluran tunggal, peralatan kromatografi kertas dan lapis tipis.
b. Prasarana : Laboratorium radioaktif, ruang proses aseptis.
3. Pendokumentasian
(bagaimana pendokumentasian kekayaan intelektual dan hasil litbang yg telah dilakukan [CD, microfiche]) Dokumentasi dalam laptop dan computer, serta Buku Catatan Harian Penelitian.