Pengelolaan Hutan Mangrove Pak Soni
-
Upload
dian-purnama-putra -
Category
Documents
-
view
1.000 -
download
23
Transcript of Pengelolaan Hutan Mangrove Pak Soni
Pengelolaan Hutan Mangrove
berwawasan lingkungan
Disampaikan oleh
Soni Mohson, Ketua Kelompok Tani mangrove Wonorejo‐Surabaya
Disampaikan sebagai materi dalam rangkaian Sosialisasi Penyuluhan Mangrove Information Center, Bertempat di Dinas Pertanian Kota Surabaya
26‐Oktober 2010
Pengelolaan Hutan Mangrove 1
Disampaikan oleh Soni Mohson, Ketua Kelompok Tani Mangrove Wonorejo, Surabaya, sebagai materi dalam rangkaian Sosialisasi Penyuluhan Mangrove Information Center, Bertempat di Dinas Pertanian Kota Surabaya, 26‐Oktober 2010. Telp: 081230033229 Email: [email protected] Blog: www.mangroveblog.co.cc
Pendahuluan
Hingga saat ini, upaya mempertahankan kelestarian fungsi dan manfaat hutan mangrove atau kawasan hutan payau oleh berbagai kalangan yang terkait di dalamnya, masih banyak menemukan kendala. Terutama sikap pandang masyarakat kita terhadap kawasan hutan mangrove masih berputar‐putar pada mekanisme ekonomi. Mengingat pentingnya upaya menciptakan opini masyarakat luas bahwa hutan mangrove harus dekelola dengan bijaksana, berwawasan lingkungan, maka buah fikiran ini perlu kami sampaikan.
Penggunaan istilah “Hutan Mangrove” dan bukan “Hutan Bakau”, secara nyata menunjukkan bahwa hutan Mangrove bisa juga terdiri dari jenis pohon dominan lain diluar pohon bakau, Rhizopora spp. Dan dalam pengertiannya sebagai “hutan mangrove” termasuk disini tidak saja daerah bervegetasi (seperti misalnya Sonneratia dan Avicenia) tetapi mencakup juga daerah terbuka dan berlumpur yang terletak antara hutan dan laut.
Banyak para ahli sependapat, bahwa hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik, dengan fungsi yang bermacam‐macam. Pertama adalah fungsi fisik, menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, melindungi pantai dari erosi laut (abrasi), menjadi wilayah penyangga terhadap rembesan air laut (intrusi), mengolah bahan limbah; Kedua adalah fungsi biologis, sebagai tempat pembenihan ikan, udang, kerang, dan jenis ikan lainnya, tempat bersarang burung‐burung, menjadi habitat alami bagi berbagai jenis biota; Ketiga adalah fungsi ekonomis sebagai sumber bahan bakar (arang, kayu bakar), bahan bangunan (balok, atap rumah, tikar), perikanan, pertanian, tekstil (serat sintetis), makanan obat‐obatan, minuman, (alcohol), bahan mentah kertas, bahan ekspor, perdagangan dan bentuk ekonomis lainnya.
Namun dari semua fungsi hutan mangrove yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh ekosistem lain adalah, kedudukannya sebagai mata rantai penghubung kehidupan ekosistem laut dengan ekosistem daratan.
Hutan mangrove menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makan penting bagi udang, kepiting, ikan, zooplankton, invertebrata kecil dan hewan pemakan bahan pelapukan lainnya. Dan jenis hewan‐hewan ini menjadi sumber makanan bagi hewan pemakan daging, baik di daratan maupun lautan.
Pengelolaan Hutan Mangrove 2
Disampaikan oleh Soni Mohson, Ketua Kelompok Tani Mangrove Wonorejo, Surabaya, sebagai materi dalam rangkaian Sosialisasi Penyuluhan Mangrove Information Center, Bertempat di Dinas Pertanian Kota Surabaya, 26‐Oktober 2010. Telp: 081230033229 Email: [email protected] Blog: www.mangroveblog.co.cc
Jadi hutan mangrove memiliki fungsi ganda, yaitu menjadi habitat bagi bermulanya kehidupan ikan dan hewan daratan, dan disamping itu hutan mangrove sangat berperanan dalam menstabilkan tanah pantai. Hutan mangrove memang tidak mempunya kemampuan dalam membentuk lahan, melainkan proses penimbunan endapan lumpurlah yang berpengaruh dalam pembentukan lahan. Sungguhpun begitu, peranan hutan mangrove di satu pihak adalah mencegah endapan lahan di pantai agar tidak sampai terkikis gelombang laut; dan di pihak lain membendung larutnya lahan dari daratan, habis lenyap kedalam lautan. Sehingga dengan demikian hutan mangrove berperan sebagai penyangga menyelamatkan kehadiran lahan, dan dengan begitu memungkinkan kehidupan manusia di daratan.
Hutan mangrove juga berfungsi sebagai penyaring air laut yang asin menjadi air daratan yang tawar, sehingga dapat menumbuhkan jenis tumbuh‐tumbuhan yang bisa tahan hidup dengan air laut, air payau dan air tawar.
Tampaklah disini betapa besar peranan hutan mangrove dalam mempengaruhi perikehidupan di bumi ini. Sehingga manfaat hutan mangrove tidak lagi terbatas hanya pada apa yang bisa diperoleh dari hutan mangrove itu sendiri, tetapi manfaat hutan mangrove juga terletak dalam kedudukannya sebagai mata rantai kehidupan lautan dan daratan.
Jika kemudian kita perhitungkan pula lokasi kedudukan hutan mangrove di daerah tropis, seperti halnya hutan mangrove di Indonesia, maka makna hutan mangrove menjadi semakin besar. Karena hutan mangrove di daerah tropis adalah hutan mangrove yang sangat kaya dengan beraneka ragam plasma nutfah atau sumber genetika yang sangat banyak di permukaan bumi ini.
Kita belum memiliki keahlian cukup banyak untuk menggali kekayaan sumber plasma nutfah hutan mangrove di kawasan tropis ini, sehingga kita belum memahami sepenuhnya nilai kekayaan yang potensial terkandung dalam hutan mangrove ini.
Dari uraian ini, satu hal yang ingin saya tonjolkan adalah, bahwa makna hutan mangrove tidak cukup dinilai dari sudut kegunaan yang tampak di mata, tidak pula cukup dinilai dari sudut perhitungan ekonomi, dengan memperhitungkan jangka waktu masa kini saja. Jika kegunaan hutan mangrove diukur semata‐mata dari sudut ekonomi, material dan kepentingan pembangunan sempit sebagai komoditi ekspor, dengan perhitungan harga jangka waktu masa kini, maka kita telah berbuat tidak adil terhadap hutan mangrove dan terhadap umat manusia yang peri kehidupannya dipengaruhi oleh kehadiran hutan mangrove ini.
Demikian luas dan beraneka ragamnya potensi kegunaan hutan mangrove maka bisa dipahami apabila perbenturan berbagai kepentingan dalam pengelolaannya seringkali terjadi. Berbagai sektor kehidupan masyarakat dapat mengembangkan hutan mangrove dari sudut kepentingannya, seperti
Pengelolaan Hutan Mangrove 3
Disampaikan oleh Soni Mohson, Ketua Kelompok Tani Mangrove Wonorejo, Surabaya, sebagai materi dalam rangkaian Sosialisasi Penyuluhan Mangrove Information Center, Bertempat di Dinas Pertanian Kota Surabaya, 26‐Oktober 2010. Telp: 081230033229 Email: [email protected] Blog: www.mangroveblog.co.cc
kepentingan perikanan, kehutanan, rekreasi, industri, dan sebagainya. Timbulnya persaingan antar sektor dalam mengelola hutan mangrove ini tidak dapat dihindari. Sudah menjadi kewajiban tiap‐tiap sektor berusaha mencapai hasil maksimal dari sumber alam yang tersedia bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Yang menjadikan proses pengembangan hutan mangrove ini menjadi masalah adalah, karena peranan hutan mangrove ini tidak bisa diungkapkan secara obyektif dan komprehensif melalui mekanisme ekonomi. Mekanisme ekonomi hanya bisa menampung peranan hutan mangrove yang bisa melewati pasar dan memiliki manfaat yang bisa diberi nilai uang. Sehingga manfaat hutan mangrove dan pengolahannya akan ditentukan semata‐mata dari sudut “biaya/manfaat ekonomi”. Apabila Negara memerlukan devisa dan harga udang melonjak di pasaran internasional, maka mudah difahami apabila manfaat hutan mangrove akan dinilai terutama dari sudut kedudukannya sebagai wilayah potensial bagi tambak udang. Apabila harga arang cukup menarik di pasaran Singapura atau Malaysia, dan kegiatan membuat arang menyerap tenaga kerja dan menambah pendapatan nelayan di pantai hutan mangrove, maka perhitungan ekonomi akan memberi “justifikasi” bagi pengolahan hutan mangrove untuk ekspor arang. Begitu juga bila harga kayu bakau menarik di pasaran dalam negeri, maka lagi‐lagi perhitungan ekonomi memberi alasan “rasional” untuk mengolah hutan mangrove untuk kepentingan “pembangunan”.
Adalah merupakan fakta bahwa kegunaan hutan mangrove tidak terungkapkan secara komprehensif melalui perhitungan ekonomi, hal ini menjadi sebab utama mengapa hutan mangrove menjadi masalah kita bersama. Tetapi hal ini juga memberi petunjuk bahwa kita tidak bisa melihat permasalahan daya guna dan batas lebar jalur hijau hutan mangrove semata‐mata dari sudut teknis, ekonomis, teknis perikanan ataupun teknis kehutanan, namun dari segala sudut.
Wawasan Lingkungan
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik sehingga sehingga mempunyai fungsi yang unik pula dalam lingkungan hidup. Hal ini memberikan kewajiban moril kepada kita semua untuk melihat hutan mangrove ini dengan berwawasan lingkungan.
Sesuai dengan Undang‐Undang Lingkungan hidup (Nomor 4 tahun 1982), sumberdaya alam harus dikelola dengan wawasan lingkungan. Beberapa prinsip pokok dalam mengelola sumberdaya alam, termasuk mangrove, adalah sebagai berikut:
Pertama, prinsip kesinambungan sumberdaya alam (sustainability). Setiap sumberdaya alam memiliki kemampuan memperbaharui dirinya, seperti halnya hutan mangrove ini. Apabila ingin mengelola hutan mangrove, sangatlah penting dijaga agar berbagai fungsi hutan mangrove ini bisa terpelihara kelangsungan peranannya.
Pengelolaan Hutan Mangrove 4
Disampaikan oleh Soni Mohson, Ketua Kelompok Tani Mangrove Wonorejo, Surabaya, sebagai materi dalam rangkaian Sosialisasi Penyuluhan Mangrove Information Center, Bertempat di Dinas Pertanian Kota Surabaya, 26‐Oktober 2010. Telp: 081230033229 Email: [email protected] Blog: www.mangroveblog.co.cc
Kedua, adalah terpeliharanya jaringan kehidupan ekosistem hutan mangrove. Sifat utama jaringan kehidupan adalah sifat keterkaitan antara satuan lingkungan yang satu dengan satuan yang lain. Peranan keterkaitan dalam ekosistem hutan mangrove ini sangatlah besar dan berlangsung: (1) Terhadap perikehidupan; (2) terhadap perikehidupan hutan mangrove itu sendiri; (3) terhadap perikehidupan ekosistem daratan; maka apapun yang kita perbuat dengan hutan mangrove ini, fungsi ekosistem hutan mangrove sebagai jaringan kehidupan yang mempertautkan bermacam‐macam ekosistem ini harus dipertahankan.
Ketiga, adalah terpeliharanya kemungkinan kehidupan yang serba beraneka ragam (diversity). Hutan mangrove terdiri dari bermacam‐macam unsur kehidupan kehidupan biologis. Keanekaragaman hutan mangrove perlu dipertahankan untuk menjaga kestabilan ekosistem.
Keempat, adalah diindahkannya kedudukan hutan mangrove sebagai “milik bersama” (the global common). Peranannya sebagai pangkal kehidupan daratan dan lautan serta penyelamat lahan tanah, mengakibatkan manfaat hutan mangrove tidak lagi terbatas bagi perorangan (private), tetapi sudah meningkat lebih tinggi menjadi manfaat umat manusia. Dan sebagai “Milik Bersama”, tidak lagi cukup berlaku ketentuan ekonomi mikro, tetapi perlu diperhitungkan manfaat eksternalitas, manfaat yang diperoleh masyarakat umum.
Kelima, adalah diindahkannya prinsip mengendalikan dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan hutan mangrove dan ditingkatkan dampak positifnya. Sehingga pembangunan hutan mangrove tidak memperkecil peranan dan fungsi hutan mangrove, tetapi sebaliknya memperbesar peranan dan fungsi ini melalui peningkatan kualitas lingkungan hutan mangrove.
Demikianlah lima pokok prinsip pengendalian dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan hutan mangrove. Yakni prinsip kesinambungan fungsi hutan mangrove (sustainability), prinsip terpeliharanya peranan hutan mangrove sebagai jaringan kehidupan, prinsip keutuhan keanekaragaman ekosistem hutan mangrove, kedudukan hutan mangrove sebagai “milik bersama” umat manusia dan akhirnya prinsip pengendalian dampak negative dan peningkatan dampak positif pembangunan terhadap lingkungan.
Dalam menilai hutan mangrove ini, satu hal perlu diingat bahwa peranan hutan mangrove ini tidak tergantikan (not replaceable), sehingga “biaya opportunitas” (opportunity cost) hutan mangrove sangat tinggi.
Yang jelas adalah, bahwa pendekatan ekonomis teknis, memakai perhitungan biaya/manfaat yang dihitung dengan nilai uang, tidak cukup untuk bahan masukan kebijakan nasional pengembangan system jalur hijau hutan mangrove. Pendekatan ini mengingkari kehadiran
Pengelolaan Hutan Mangrove 5
Disampaikan oleh Soni Mohson, Ketua Kelompok Tani Mangrove Wonorejo, Surabaya, sebagai materi dalam rangkaian Sosialisasi Penyuluhan Mangrove Information Center, Bertempat di Dinas Pertanian Kota Surabaya, 26‐Oktober 2010. Telp: 081230033229 Email: [email protected] Blog: www.mangroveblog.co.cc
fungsi‐fungsi hutan mangrove yang tidak bisa ditampung melalui mekanisme ekonomi. Maka pendekatan teknis ekonomis menimbulkan “distorsi” dalam mengembangkan hutan mangrove.
Hutan mangrove di daerah tropis seperti di Indonesia mengandung kekayaan yang belum banyak diketahui, bukan hanya oleh ahli‐ahli kita, tetapi juga oleh ahli‐ahli dunia. Maka ketidaktahuan ini harus menjadi alasan untuk memelihara luas areal hutan mangrove yang cukup besar untuk reserve penggalian ilmu pengetahuan dan kehidupan masa depan.
Hutan mangrove memiliki ekosistem yang unik dan sulit ditiru pembuatannya oleh manusia, berbeda halnya misalnya dengan kanal, hutan buatan, hujan buatan, dan yang serupa. Karena itu pembukaan hutan mangrove identik dengan “memakan” modal yang tidak tergantikan.
Peranan hutan mangrove bagi peningkatan kesuburan kehidupan perikanan pantai dan laut adalah besar, sehingga besar pula peranannya dalam kehidupan nelayan. Posisi nelayan kita di tanah air kita belum menguntungkan, karena memiliki bagian pendapatan yang rendah. Karena itu pertimbangkan “equity” dalam pembagian pendapatan mendorong kita untuk lebih meningkatkan pertimbangan kelompok nelayan ketimbang kelompok penduduk lain. Maka peranan hutan mangrove bagi kehidupan nelayan harus menduduki pertimbangan utama.
Berdasarkan pokok‐pokok pikiran ini pengelolaan hutan mangrove harus dilaksanakan dengan berwawasan lingkungan. Ini tidak berarti bahwa hutan mangrove tidak bisa diolah. Tetapi pengelolaan hutan mangrove harus berlangsung dalam batas kendala yang diisyaratkan oleh pertimbangan lingkungan ini. Ingat, dampak kegunaannya mencakup bukan orang‐seorang atau sekelompok orang, tetapi mencakup kepentingan umat manusia dan peri kehidupan bumi ini.
Sehubungan dengan itu para pengelola hutan mangrove dituntut untuk mengusahakan “pemecahan engineering” (engineering solution) dalam mengembangkan hutan mangrove. Bilamana akan membangun tambak ikan harus dilakukan dengan cara‐cara engineering yang menjamin kelangsungan prinsip‐prinsip lingkungan tersebut diatas.
Selama kemampuan engineering seperti ini belum cukup kita miliki, dan selama rahasia kegunaan hutan mangrove belum terungkap sepenuhnya, selama itu pula seyogyanya jalur hijau hutan mangrove tetap dijaga keutuhan fungsinya, untuk mengakomodir hal‐hal yang masih belum kita ketahui, tanpa membenamkan diri kita pada perhitungan keuntungan ekonomis teknis yang sulit diterapkan bagi hutan mangrove.
Pengelolaan Hutan Mangrove 6
Disampaikan oleh Soni Mohson, Ketua Kelompok Tani Mangrove Wonorejo, Surabaya, sebagai materi dalam rangkaian Sosialisasi Penyuluhan Mangrove Information Center, Bertempat di Dinas Pertanian Kota Surabaya, 26‐Oktober 2010. Telp: 081230033229 Email: [email protected] Blog: www.mangroveblog.co.cc
Pemanfaatan Mangrove dan kearifan lokal
Informasi tentang sejarah pemanfaatan tumbuhan Mangrove sebagai bahan baku makanan jarang sekali di publikasikan. Diperkirakan masyarakat di kawasan pesisir dan sekitar Hutan Mangrove sejak lama menggunakan tumbuhan Mangrove sebagai bahan makanan. Sejumlah informasi yang terhimpun dari pulau Sumatra, Jawa (Cilacap, Pantura, Jawa Timur, Pamorbaya) Kalimantan dan Malaysia menyatakan bahwa pada masa penjajahan, ketika bahan makanan sulit di dapat (Paceklik Pangan), masyarakat pesisir telah memanfaatkan tumbuhan Mangrove sebagai bahan makanan. Beraneka makanan berbahan baku tumbuhan Mangrove telah berhasil diciptakan masyarakat pesisir , termasuk cara pengolahannya.
Informasi sejarah pemanfaatan tumbuhan Mangrove sebagai bahan makanan di Pulau Sulawesi tercatat sejak abat 16, konon kabarnya pada zaman kerajaan Gowa Sulawesi Selatan masyarakat dari Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulu Kumba mengadakan pelayaran yang jauh dengan tugas Kerajaan. Dalam perjalanannya, tiba‐tiba terjadi angin kencang di laut sehingga perahu layar mereka kehilangan arah dan terdampar di suatu pulau tanpa penghuni. Di tempat yang baru ini, persediaan beras sudah hampir habis dan sumber makanan berupa beras tidak ada. Pada pulau tersebut hanya didapat Hutan Mangrove dan sedikit pohon kelapa. Muncullah pandangan dari awak rombongan perahu mencari tambahan atau campuran beras. Pendek cerita mereka akhirnya menemukan campuran beras dari Bruguera Gymnorhyzza (lindur) Aroma yang harum, dengan lauk ikan segar yang dimasak (dibakar sebagai lauknya nasi bakau), ternyata sungguh menggugah selera. Kegiatan ini dipraktekkan setelah pelayaran pulang ke kampung halamannya, sampai keadaan membaik hingga berabad‐abad. (Achmat Rasyid, 1995).
Pada tahun 2006 penulis pernah wawancara dengan seseorang yang bernama (Sukarta) + 70 tahun. Beliau tinggal di Bali tepatnya di Suwung Kauh, Sukarta menceritakan pada masa penjajahan Jepang dimana waktu itu peceklik pangan. Di daerahnya, bahan makan alternatif yaitu ketela pohon bagi orang‐orang kondisi ekonominya baik, dan bagi kebanyakan penduduk miskin yang tinggal di pesisir Bali sampai Papua satu‐satunya yang makan adalah nasi lindur, yaitu nasi dari bahan Bruguera Gymnorhyzza. Sampai pada situasi negara merdeka kondisi negara sudah baik beras mudah didapat .
Bertitik tolak pada sejarah tentang alternatif pangan yang diterapkan oleh pelaku‐pelaku sejarah tersebut usaha mempopulerkan kembali tumbuhan mangrove yang bisa diolah menjadi komoditi makanan dan minuman dengan perilaku pengolahan lebih baik dan aman dikonsumsi bagi manusia, kiranya sangat perlu memperoleh perhatian lebih. Usaha yang intensif dari berbagai pihak dalam mendampingi masyarakat lokal, misalnya dari organisasi lahan basah
Pengelolaan Hutan Mangrove 7
Disampaikan oleh Soni Mohson, Ketua Kelompok Tani Mangrove Wonorejo, Surabaya, sebagai materi dalam rangkaian Sosialisasi Penyuluhan Mangrove Information Center, Bertempat di Dinas Pertanian Kota Surabaya, 26‐Oktober 2010. Telp: 081230033229 Email: [email protected] Blog: www.mangroveblog.co.cc
Wetlands, KeseMAt, Yayasan mangrove, ataupun Organisasi internasional seperti Mangrove Action Project, Mangrove for the Future, telah menghasilkan beragam dokumentasi tentang keahlian masyarakat sekitar kawasan mangrove dalam mengolah mangrove menjadi bahan penganan yang relative ramah lingkungan dan sehat. Disisi lain, pendokumentasian keahlian tersebut, akan mampu mengubah paradigm pemanfaatan mangrove, menjadi semakin luas.
Jenis Mangrove yang bisa dijadikan Sumber Makanan dan Minuman
Pidada, Bogem (Sonneratia sp)
Tanaman ini banyak dijumpai di pantai utara pulau Jawa, Cilacap sampai Jawa Timur dan hampir di pesisir Indonesia. Dan tanaman ini sering digunakan oleh masyarakat sebagai pakan ternak. Sifat buah ini tidak beracun dan langsung dapat dimakan, buah sudah masak berasa asam. Namun binatang (kera) sangat menyukainya. Buah yang sudah matang merupakan bahan‐bahan makanan / minuman dan tidak memerlukan perlakuan atau langsung bisa dimasak menjadi aneka makanan dan minuman. Walaupun regenerasi tanaman ini sangat sulit atau tidak semudah regenerasi tanaman bakau lainnya, namun dengan pembibitan intensif yang diterapkan secara professional, mampu mempermudah pengadaan bibit tanaman ini.
Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam pengolahan produk mangrove antara lain terdiri dari panci, Saringan kasar (lubang besar), saringan halus (dengan ukuran lubang yang kecil), alat pengaduk dan pengukur suhu (Thermometer).
Bahan yang digunakan dalam pembuatan sirup dan jenang Bogem adalah buah pedada yang tua dan masak pohon. Proses penanenam dapat dilakukan pada buah yang memiliki warna hijau kusam dan sebagia didapatkan dari keranjang (jala) yang dipasang dibawah pohon agar buah yang jatuh (matang) tidak hanyut dan turun ke tanah. Proses pemanenan juga dilakukan dengan mengumpulkan hasil buah pedada dari anggota kelompok tani mangrove. Bahan lainnya adalah gula dan air secukupnya.
Prosedur pembuatan Prosedur pembuatan sirup bogem dimulai dengan pengupasan buah untuk memisahkan kulit dengan bagian daging buahnya. Sebelumnya buah dilakukan pencucian untuk menghilangkan kotoran berupa tanah ataupun kotoran lainnya.
Selanjutnya buah yang telah dikupas dan dicampukan dalam air dan siap dilakukan perebusan dengan suhu sekitar 70ºC. Hal ini dilakukan agar nilai gizi yang terkandung tidak rusak dan berkurang. Lama perbusan sekitar 10‐15 menit. Perebusan dihentikan jika buah sudah terlihat lembek dan siap untuk disaring dengan saringan kasar.
Penyaringan kasang dilakukan untuk memisahkan buah dan bji yang masih terbawa saat perebusan. Pemisahan ini dilakukan dengan mengaduk‐aduk hasil rebusan secara berlahan diatas saringan kasar secara terus menerus. Hasil penyaringan ini mendapatkan pasta yang terdiri atas cairan dan
Pengelolaan Hutan Mangrove 8
Disampaikan oleh Soni Mohson, Ketua Kelompok Tani Mangrove Wonorejo, Surabaya, sebagai materi dalam rangkaian Sosialisasi Penyuluhan Mangrove Information Center, Bertempat di Dinas Pertanian Kota Surabaya, 26‐Oktober 2010. Telp: 081230033229 Email: [email protected] Blog: www.mangroveblog.co.cc
serat buah yang halus. Keduanya dapat dipisahkan dengan menngunakan saringan halus. Saringan halus yang kami gunakan adalah kain satin atau catton dengan cara memeras pasta yang telah didapatkan sebelumnya. Hasil penyaringan halus ini akan menghasilkan bahan baku sirup dan bahan baku untuk pembuatan jenang mangrove.
a. Pembuatan Sirup Hasil penyaringan halus yang berupa cairan kemudian dicampur dengan gula. Perebusan dilakukan dengan suhu sekitar 80ºC dengan waktu berkisar antara 2,5 jam sambil diaduk secara berlahan‐lahan. Setalah cukup dan sirup dapat langsung dimasukkan dalam botol untuk dilakukan pengemasan. Pengemasan dalam kondisi panas ini diharapkan untuk menghindari proses fermentasi yang mungkin terjadi pada sirup mangrove. Pengemsan juga disertai segel. Botol yang digunakan sebelumnya telah dicuci dan direbus terlebih dahulu. Setalah sirup sikemas dalam botol, kemudian dilakukan perebusan beserta botol kemasan, hal ini dilakukan sebagai bagian dalam sterilisasi untuk menghindari mikroba yang berbahaya. Dalam pembuatan sirup dengan bahan baku 1 kg buah bogem, akan menghasilkan sirup sekitar 2,5 liter.
b. Pembuatan jenang mangrove Hasil penyaringan halus juga menghasilkan pasta yang sangat halus yang menjadi bahan baku pembuatan jenang Bogem. Pembuatan jenang dilakukan dengan menambahkan lebih kurang 10% tepung ketan dari berat pasta yang dihasilkan. Kemudian untuk menambahkan rasa manis ditambahkan pula gula pasir sesuai selera. Perebusan dalam kuali dilakukan sekitar 4 jam dengan melakukan pengadukan secara terus‐menerus untuk menghindari gosong dan matang yang tidak merata. Penambahan mentega sekitar 5% diberikan setelah jenang hampir matang (ditandai dengan kemunculan warna coklat). Jenang sudah siap dibentuk dalam loyang untuk kemudian dipotong‐potong sesuai selera dan dikemas dengan membungkusnya.
Keripik Api‐api (Avicennia marina)
Alat dan bahan Alat yang diperlukan dalam proses pembuatan keripik antara lain penggorengan, palu dari kayu, panci loyang penjemur. Bahan yang digunakan dalam proses pembuatan keripik api‐api ini adalah buah api‐api dengan mengambil lembaga buahnya dan membuang bagian calon tunas yang ada dibagian tengahnya.
Prosedur pembuatan Buah api‐api yang telah tua kemudian dibelah dan diambil lembaga buahnya saja sementara calon tunas dibuang untuk menghindari rasa pahitnya. Buah tersebut kemudian direbus dalam panci dengan penambahan abu gosok untuk menghilangkan rasa pahit yang ditimbulkan. Perebusan dilakukan sampai mendidih dan terus dilakukan pengadukan. Setelah selesai, buah dicuci untuk memisahkan kotoran dari bau abu gosok dan kemudian ditiriskan. Setelah kondisinya tidak panas (hangat kuku) buah dikeprek agar pipih dan siap dikeringkan dibawah sinar matahari.
Pengelolaan Hutan Mangrove 9
Disampaikan oleh Soni Mohson, Ketua Kelompok Tani Mangrove Wonorejo, Surabaya, sebagai materi dalam rangkaian Sosialisasi Penyuluhan Mangrove Information Center, Bertempat di Dinas Pertanian Kota Surabaya, 26‐Oktober 2010. Telp: 081230033229 Email: [email protected] Blog: www.mangroveblog.co.cc
Pemberian bumbu berupa bawang putih dan garam dilakukan sebelum proses penggorengan dilakukan. Kripik yang telah digoreng siap dikemas dan disajian sebagai makanan ringan yang gurih dan nikmat.
Beras Bakau / Nasi Bakau (Brugueira gymnorhyza)
Alat dan Bahan Pembuatan beras bakau / nasi bakau dilakukan dengan memanfaatkan propagul (buah) lindur. Propagul ini merupakan bibit generatif yang sebenarnya dapat ditanam menjadi tanaman baru. Namun demikian, propagul ini memiliki kandungan karbohidrar yang cukup tinggi sehingga dapat dijadikan alternatif makanan pokok pengganti beras. Buah yang dipilih adalah buah yang sudah tua dengan warna hijau gelap. Alat yang digunakan berupa pisau untuk mengupas kulit, panci untuk merebus, dan loyang untuk menjemur.
Prosedur Pengolahan Propagul yang telah dicuci kemudian dikupas dengan pisau. Pengupasan dilanjutkan dengan pemotongan propagul menjadi ukuran dadu dengan ketebalan 1 mm. Potongan buah tersebut kemudian direbus dalam air panas selama 1 jam. Air rebusan dibuang dan dilakukan perebusan ulang selama 1 jam lagi. Setelah cukup, kemudian ditiriskan dan siap untuk dijemur. Bahan yang sudah kering, dapat dijadikan nasi bakau dengan cara mengukus nasi bakau atau dicampur dengan beras dan ditanak seperti biasa.
Nipah / Buyuk (Nipa fruticans)
Tumbuhan ini menurut Thomkinson, 1986, termasuk jenis tumbuhan penghuni komunitas mangrove bagian belakang (mangrove ikutan). Tanaman ini tergolong keluarga palemceae. Buah muda bisa langsung dimakan, atau divariasikan sebagai bahan baku dawet nipa. Es buyuk, termasuk menu istimewa pada restoran di distrik Taiping, negeri Perak Malaysia.
Tanaman ini juga disadap (dideres) niranya untuk dijadikan gula nipa. Masyarakat desa Ujung Manik, Kec. Kawunganten, Kab. Cilacap telah membudidayakan tanaman ini sebagai pengganti gula. Cara pengambilannya lebih mudah dari pada nira kelapa, karena tidak perlu memanjat pohon. Maklum, nipa tidak memiliki pohon sebagaimana kelapa. Namun kadang terkendala dengan air pasang naik. Rasa gula nipa tetap manis namun agak asin, dengan warna seperti gula kelapa.
Informasi Resep Berbagai Makanan Berbahan baku Tumbuhan Mangrove
Beberapa resep yang kami sertakan dalam materi ini penulis sadur dari buku pengolahan mangrove terbitan Yayasan mangrove Indonesia, dimana resep berikut ini merupakan hasil karya ibu‐ibu PKK di Daerah Muara Gembong Bekasi, Jawa Barat. Buku tersebut sudah diterbitkan semenjak tahun 1998, dan di tahun 2005, diadaptasi oleh Mangrove Action Project chapter Indonesia, untuk dibukukan kembali dalam tajuk “Living with mangrove”
Pengelolaan Hutan Mangrove 10
Disampaikan oleh Soni Mohson, Ketua Kelompok Tani Mangrove Wonorejo, Surabaya, sebagai materi dalam rangkaian Sosialisasi Penyuluhan Mangrove Information Center, Bertempat di Dinas Pertanian Kota Surabaya, 26‐Oktober 2010. Telp: 081230033229 Email: [email protected] Blog: www.mangroveblog.co.cc
1. Donat Api‐api
Bahan : a. Api‐api halus 250 gram b. Tepung terigu 500 gram c. Gula pasir 100 gram d. Telur 1 butir e. Mentega 100 gram f. Permifan 1 sendok g. Garam secukupnya Cara pembuatan : 1) campurkan semua bahan 2) diuleni sampai adonan tidak lengket ditangan 3) diamkan + 30 menit atau lebih 4) setelah mengenbah cetak seperti bentuk donat 5) lalu goreng dengan minyak goreng sampai donat berwarna kuning 6) angkat oleskan mentega disalah satu sisi lingkaran dan taburi meses.
2. Dawet Api‐api Bahan : a. Api‐api halus 250 gram b. Sagu aren 100 gram c. Tepung ketan d. Gula merah 150 gram e. Nangka f. Kelapa Cara pembuatannya : 1) Campurkan api‐api halus dengan tepung ketan aduk sampai rata. 2) Siapkan plastik untuk alas tindas dengan botol sampai melebar tipis 3) Potong panjang seperti pentol 4) Rebus dengan air mendidih 5) Angkat setelah mengapung 6) Masukkan kedalam wadah yang sudah diisi dengan air putih dingin dengan tinggal minum 7) Sajikan dengan santan kelapa, sirup gula merah masukkan potongan nangka.
3. Pokis Api‐api Bahan : a. Api‐api halus 250 gram b. Tepung ketan 100 gram c. Gula merah 150 gram d. Kelapa ¼ butir diparut e. Garam
7
Pengelolaan Hutan Mangrove 11
Disampaikan oleh Soni Mohson, Ketua Kelompok Tani Mangrove Wonorejo, Surabaya, sebagai materi dalam rangkaian Sosialisasi Penyuluhan Mangrove Information Center, Bertempat di Dinas Pertanian Kota Surabaya, 26‐Oktober 2010. Telp: 081230033229 Email: [email protected] Blog: www.mangroveblog.co.cc
Cara pembuatan : 1) campurkan api‐api halus dengan kelapa, gula, garam tepung ketan aduk dipanaskan
bersama cetakannya dengan api kecil sampai mengering dan siap saji.
4. Gemblong Api‐api Bahan : a. Api‐api yang sudah diproses yang ditiriskan + 250 gram b. Gula putih 200 gram c. Gula merah 100 gram d. Garam secukupnya Cara pembuatan : 1) Api‐api dan semua bahan dicampur di atas plastik tumbuk sampai lunak 2) Potong sesuai selera 3) Siap disajikan
5. Kolak Birayo (Api‐api) Bahan : a. Api‐api matang ¼ Kg b. Sagu ¼ Kg c. Gula putih ¼ Kg d. Kelapa buat santan 1 butir e. Daun pandan wangi 2 lembar Cara membuatnya : 1) Api‐api matang diaduk dengan sagu hingga rata. 1 Liter air santan direbus dengan gula,
didihkan bersama daun pandan, masukkan api‐api aduk hingga merata. 2) Aduk sampai mendidih lalu diangkat 3) Tambahkan santan kental yang sudah dimasak, siap disajikan
6. Krepi (Keripik Api‐api) Bahan : a. Api‐api matang 500 gram b. Gula dapur 150 gram c. Minyak Sayur ¼ Kg d. Air secukupnya Cara pembuatannya : 1) Api‐api matang dikukus, kemudian dilemet (bentuk emping), langsung jemur hingga kering 2) Panaskan minyak lalu goreng hingga matang 3) Masak dengan air 4) Masukkan api‐api yang sudah kering aduk sampai gula kering 5) Dinginkan siap saji
9
Pengelolaan Hutan Mangrove 12
Disampaikan oleh Soni Mohson, Ketua Kelompok Tani Mangrove Wonorejo, Surabaya, sebagai materi dalam rangkaian Sosialisasi Penyuluhan Mangrove Information Center, Bertempat di Dinas Pertanian Kota Surabaya, 26‐Oktober 2010. Telp: 081230033229 Email: [email protected] Blog: www.mangroveblog.co.cc
Jenis Minuman dari Nipah 1. Manisan Nipah
Bahan : a. Buah Nipa muda b. Gula c. Air secukupnya Cara memembuatnya : 1) Buah Nipa muda dikupas dan buang air nipahnya 2) Rendam ke dalam air matang 3) Tambah cengkeh dan kayu manis sebagai pengawet dan aroma 4) Kemudaian dimasak denhgan air gula hingga matang 5) Angkat dinginkan siap saji
2. Es Nipah Bahan : a. Nipah yang sudah jadi manisan b. Sirup gula pasir c. Es batu Cara membuatnya : 1) Masukkan semua bahan sesuai selera 2) Siap saji
3. Resep Kolak Nipah Di Pantai Timur Sumatera Utara (Langkat Deli Serdang) pada bulan puasa Ramadhan memanfaatkan buah Nifah muda sebagai bahan baku kolak. Proses pembuatannya cukup mudah, yakni : Buah Nipah muda dikupas diambil dagingnya, selanjutnya siap untuk dimasak masukkan ke dalam adonan kolak (air, gula, santan) siap saji.
Penutup Pemanfaatan sumber daya Mangrove untuk dijadikan sebagai makanan sebenarnya telah berkembang sejak dahulu dan marupakan salah satu kearifan tradisional masyarakat sekibar ekosistem mangrove. Namun dalam perkembangannya kegiatan ini sudah banyak dilupakan oleh masyarakat pesisir itu sendiri. Apabila ini dikembangkan lebih baik dan dapat disebarluaskan kepada kalayak terutama masyarakat yang berada di daerah ekosistem mangrove, maka diharapkan ini menjadi salah satu alternatif bagi pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan baik tingkat lokal maupun naional dan lambat laun bisa merubah kebiasaan masyarakat yang menebang pohon mangrove menjadi memetik buah.
Ujung Kali jagir, Wonorejo, Surabaya, Pertengahan Oktober 2010