Makalah filsafat or soni
-
Upload
soni-eka-prasetia -
Category
Education
-
view
35 -
download
1
Transcript of Makalah filsafat or soni
1
Tugas Makalah Filsafat Olahraga
“Model Hermenautika dalam Riset Ilmu Keolahragaan”
Dosen pengampu
Dr.Made Pramono,M.Hum
ILMU KEOLAHRAGAAN
PENDIDIKAN KESEHATAN DAN REKREASI
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
SEMESTER GENAP 2016/2017
2
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayahNya.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpah pada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW.
Pada kesempatan ini saya telah menyelesaikan makalah dengan judul “Model
hermeneutika dalam riset ilmu keolahragaan”. Dalam makalah ini akan saya sampaikan
hubungan antara pancasila dan sistem pendidikan secara meluas.
Kritik dan saran kami harapkan untuk perbaikan makalah saya selanjutnya semoga
makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan khusunya bagi pembaca sekalian.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Surabaya, 27 Februari 2017
Penyusun
3
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...............................................................................................................1
Daftar Isi ........................................................................................................................2
Bab I: PENDAHULUAN
a. Latar Belakang ...........................................................................................4
b. Rumusan Masalah ......................................................................................5
Bab II: PEMBAHASAN
a. Pengertian hermineutika ........................................................................6
b. Tokoh yang berperan dalam model herminautika .................................8
Bab III: PENUTUP
Kesimpulan .....................................................................................................14
Daftar Pustaka ..............................................................................................................15
4
ABSTRACT
The nature of science is always evolving and the association between the disciplines with
other disciplines. Hermeneutics is often grouped within the philosophy of language, although
he could also claim to be separate disciplines. Hermeneutics at least organized into three
entities is very important, namely (1) any signs, messages are often in the form of a text
message, (2) there must be a group of recipients who wonder or feel "foreign" to the
message. (3) the existence of intermediaries or messengers between the two sides. there are
six definitions of hermeneuitika modern which also marks the historical development of
hermeneutics itself, namely hermeneutics as a theory of exegesis of the Bible, hermeneutics
as a method of philological, hermeneutics as the science of understanding of linguistics,
hermeneutics as a foundation methodology geisteswissenschaften, hermeneutics as
phenomenology of Dasein and understanding of the existential, hermeneutic as system
interpretation.
5
I. Pendahuluan
A.Latar belakang
Salah satu ciri khas filsafat dewasa ini adalah perhatiannya kepada bahasa. Tentu saja,
bahasa bukan merupakan tema baru dalam filsafat. Minat untuk masalah-masalah yang
menyangkut bahasa telihat sepanjang sejarah filsafat, sudah sejak permulaannya di Yunani.
Namun demikian, perhatian filosofis untuk bahasa itu belum pernah begitu umum, begitu luas
dan begitu mendalam seperti dalam abad ke-20. Dikatakan pula bahwa pada zaman ini bahasa
memainkan peranan yang dapat dibandingkan dengan being (ada) dalam filsafat klasik dulu.
Karena terdapat kemiripan tertentu, yaitu keduanya bersifat universal. Hanya saja being
adalah universal dari sudut objektif: “ada” meliputi segala sesuatu; apa saja merupakan being.
Sedangkan bahasa adalah universal dari sudut subjektif: bahasa meliputi segala sesuatu yang
dikatakan dan diungkapkan.; makna atau arti hanya timbul dalam hubungan dengan
bahasa. Bahasa adalah tema yang dominan dalam filsafat Eropa kontinental maupun filsafat
Inggris dan Amerika. Di mana-mana dapat kita saksikan the linguistic turn; di mana-mana
refleksi filosofis berbalik kepada bahasa. Dan tidak sedikit aliran mengambil bahasa sebagai
pokok pembicaraan yang hampir eksklusif, seperti misalnya hermeneutika, strukturalisme,
semiotika, dan filsafat analitis.
Teori tentang asal-usul bahasa telah lama menjadi obyek kajian para ahli, sejak dari
kalangan psikolog, antropolog, filsuf maupun teolog, sehingga lahirlah sub-sub ilmu dan
filsafat bahasa, di antaranya yaitu hermeneutika. Sifat ilmu pengetahuan adalah selalu
berkembang dan berkaitan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain.
Hermeneutika sering dikelompokkan dalam wilayah filsafat bahasa, meskipun ia bisa juga
mengklaim sebagai disiplin ilmu tersendiri. Khususnya hermeneutika yang semula sangat
dekat kerjanya dengan Biblical Studies, dengan munculnya buku Truth and Method (1960)
oleh Hans-Geor Gadamer, maka hermeneutika mengembangkan mitra kerjanya pada semua
cabang ilmu. Gadamer mendasarkan klaimnya pada argumen bahwa semua disiplin ilmu,
termasuk ilmu alam, mesti terlibat dengan persoalan understanding yang muncul antara
hubungan subyek dan obyek.
Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan
sastra. Hermeneutik Baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi Protestan
6
Eropa, yang menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik fokus” dari isu-isu teologis
sekarang. Martin Heidegger tak henti-hentinya mendiskusikan karakter hermeneutis dari
pemikirannya. Filsafat itu sendiri, kata Heidegger, bersifat (atau harus bersifat)
“hermeneutis”.
B.Rumusan Masalah
1.Pengertian Hermeneutika?
2.Tokoh yang berperan penting dalam model hermeneutika?
7
II.PEMBAHASAN
A. Pengertian Hermeneutik
Akar permulaan hermenēuein dan hermēnia bisa ditemukan dalam Organon, Peri
hermēneias karya Aristoteles, yang diterjemahkan dengan “On Interpretation” . Kata ini juga
ditemukan dalam Oedipus at Colunus karya Plato, juga beberapa karya lainnya dari penulis
awal yang terkenal seperti Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus.
Dalam Organon, Peri hermēneias dipaparkan kata-kata yang diucapkan adalah simbol
dari sebuah pengalaman mental, dan kata-kata yang ditulis adalah simbol dari kata-kata yang
diucapkan. Tulisan ini dipercaya menjadi titik tolak bagi dimulainya pembahasan
hermeneutika di era klasik.
Ada dua dimensi besar dalam hermeneutik yaitu hermeneutika intensionalisme dan
hermeneutika gadamerian. Intensioanalisme diawali sejak hermeneutika romantisis dengan
tokohnya Schleiermacher. Pokok pikiran Hermeneutika intensional ini adalah bahwa makna
adalah maksud atau instensi produsernya. Dengan kata lain, makna kata sesungguhnya telah
ada di balik kata itu sendiri. Makna telah menanti, dan tinggal ditemukan oleh penafsirnya,
dan itu adalah tugas pembaca untuk mencarinya.
Menurut hermeneutika intensionalisme, makna adalah niat atau kemauan yang
diwujudkan dalam suatu tindak atau produknya seperti teks misalnya, sehingga makna sudah
ada dan hanya akan keluar jika diinterpretasikan. Pengertian ini didasarkan pada arti
“makna” (meinen), yang menunjukkan arti bahwa makna suatu teks, tindak, hubungan, dan
seterusnya adalah sesuatu yang ada dalam pikiran produsen, yang kemudian dikeluarkan
melalui suatu tindak seperti memproduk teks. Dengan kata lain makna telah ada dan menanti
untuk dipahami. Makna hanya berasal dari aktifitas produsen teks, bukan dari aktifitas orang
lain, termasuk aktifitas interpretasi penafsir. Dengan kata lain, pembaca atau penafsir harus
memahami teks yang ia baca, dan pembaca atau penafsir dapat menangkap konsepsi
pengarang mengenai fakta situasinya, keyakinan, dan keinginannya, namun dengan catatan
penafsir harus menemukan alasan pelaku bersikap seperti yang diperlihatkan.
8
Sedangkan hermeneutika gadamerian dengan tokohnya Hans-Georg Gadamer
memberikan defenisi berbeda tentang makna. Makna dalam hermeneutika gadamerian bukan
terletak pada instensi produsernya, melainkan pembacanya itu sendiri. Makna itu belum ada
ketika sebuah kata diucapkan atau ditulis, dan segera muncul ketika kata itu didengarkan atau
dibaca.
Konsep ini menemukan titik kulminasinya pada Gadamer yang menyatakan bahwa
sekali teks hadir di ruang publik, ia telah hidup dengan nafasnya sendiri. Hermeneutika tidak
lagi bertugas menyingkap makna objektif yang dikehendaki pengarangnya, tetapi adalah
untuk memproduksi makna yang seluruhnya memusat pada kondisi historisitas dan sosialitas
pembaca. Gagasan ini dengan sendirinya menyangkal origin. Dengan kata lain ia menolak
suatu realitas di balik fenomena, realitas sumber, realitas terakhir. Dengan demikian, untuk
memperoleh makna sebuah kata, kalimat atau teks tidak diperlukan lagi maksud original-nya.
Hermeneutika secara etimologis, berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermenēuein
yang berarti menafsirkan atau menginterpretasi, kata benda hermēnia diterjemahkan
penafsiran atau interpretasi. Kedua kata ini, diasosiasikan pada Dewa Hermes seorang utusan
yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes adalah simbol
seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang dewa.
Dalam mediasi dan proses penyampaian pesan yang ditugaskan pada Hermes, dari kata
kerja hermenēuein ditarik tiga bentuk makna dasar dalam pengertian aslinya, yaitu to express
(mengungkapkan), to assert (menjelaskan), dan to say (menyatakan). Makna-makna tersebut
bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja Inggirs “to interpret”, yang membentuk makna
independen dan signifikan bagi interpretasi. Oleh karenanya, interpertasi mengacu ke 3 (tiga)
persoalan berbeda yaitu pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan penerjemahan
dari bahasa lain.
Berhasil atau tidaknya misi tergantung cara bagaimana pesan itu disampaikan. Indikasi
keberhasilan, manusia yang awalnya tidak tahu, menjadi mengetahui makna pesan yang
disampaikan. Tugas menyampaikan pesan ini juga berarti harus mengalihbahasakan ucapan
para dewa ke dalam bahasa yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Pengalihbahasaan
merupakan bentuk lain dari penafsiran. Dari sini kemudian pengertian kata hermeneutika
memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.
9
Kehadiran hermeneutika dipengaruhi oleh beberapa faktor, dalam analisis Werner, ada
tiga sebab yang paling mendominasi pengaruh terhadap pembentukan hermeneutika, dari
masa interpretasi bibel hingga saat ini. Ketiga yang dimaksud Werner terbut yaitu (1)
Masyarakat yang terpengaruh mitologi Yunani, (2) Masyarakat Yahudi dan Kristen yang
mengalami masalah dengan teks kitab “suci” agama mereka, dan (3) Masyarakat Eropa
zaman pencerahan (Enlightenment) yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan dan
membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan.
Richard E. Palmer (2005) menyimpulkan enam defenisi hermeneutika, keenam definisi
tersebut merupakan urutan fase sejarah yang menunjuk suatu peristiwa atau pendekatan
penting dalam persoalan interpretasi yang berkenaan dengan hermeneutika.
“Sejak awal kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya
prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika telah ditafsirkan (secara
kronologisnya) sebagai: (1) teori eksegesis Bibel, (2) metodologi filologi umum, (3) ilmu
pemahaman linguistic, (4) fondasi metodologis geisteswissenschaften, (5) fenomenologi
esistensi dan pemahaman eksistensial, dan (6) sitem interpretasi, baik recollektif maupun
iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraik makna di balik mitos dan simbol”
(Palmer 2005: 38)
Definisi yang disebut Palmer tersebut mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti
dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat
dipertanggungjawabkan dari setiap penafsiran terutama penafsiran teks, defenisi tersebut
dapat disebut pendekatan Bibel, filologis, saintifik, geisteswissenschaften, eksistensial, dan
kultural. Setiap defenisi merepresentasikan sudut pandang dari mana hermeneutika dilihat,
melahirkan pandangan-pandangan yang berbeda-beda namun memberi ruang bagi tindakan
interpretasi, khususnya teks.
B.Tokoh dibelakang Hermeneutika
Perubahan perspektif dan perkembangan hermeneutika tidak terlepas dari peran tokoh
besar di baliknya. Setiap tokoh membawa pengaruh dan corak yang berbeda dengan dengan
tokoh-tokoh sebelumnya. Sumaryono (1999) dan Palmer (2005) menyebutkan beberapa
tokoh tersebut.
a. Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 -1834)
10
Tokoh hermeneutika romantisis, memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar
kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat.
Schleiermacher menyebutkan, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks,
maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural.
F.D.E Schleiermacher ditempatkan sebagai tokoh Hermeneutik membedakan
hermeneutik dalam pengertian sebagai ilmu atau seni memahami dengan hermeneutik yang
mendefinisikan sebagai studi tentang memahami itu sendiri ( Richard E. Palmer, 1969 : 40 ).
Scleiermacher menulis sebagai berikut: Semenjak seni berbicara dan seni memahami
berhubungan satu sama lain, maka berbicara hanya merupakan sisi luar dari berpikir ,
Hermeneutik adalah bagian dari seni berfikir itu dan oleh karenanya bersifat filosofis (
Schleiermacher, 1977 : 97 ). Penerapan hermeneutik sangatlah luas yaitu dalam bidang
teologis, filosofis, sebab merupakan ” bagian dari seni berfikir “. Pertama- tama buah pikiran
kita mengerti, baru kemudian kita ucapkan. Inilah alasannya Schleiermacher menyatakan
bahwa bicara kita berkembang seiring dengan buah pikiran kita. Namun bila saat berfikir kita
merasa perlu untuk membuat persiapan dalam mencetuskan buah pikiran kita, maka pada saat
itulah disebut sebagai ” Transformasi berbicara yang internal dan orisinal dan karenanya
interpretasi menjadi penting”.
b. Wilhelm Dilthey (1833 -1911)
Hermeneutika metodis, ia beragumentasi bahwa proses pemahaman hermeneutika
bermula dari pengalaman, kemudian mengekspresikan nya. Pengalaman hidup manusia
merupakan sebuah neksus struktural yang mempertahankan masa lalu sebagai sebuah
kehadiran masa kini.
Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat digunakan sebagai fondasi
bagi geisteswissenschaften Wilhelm Dilthey adalah seorang filosof, kritikus sastra, dan
sejarawan asal Jerman. Baginya hermeneutika adalah “tehnik memahami ekspresi tentang
kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh karena itu ia menekankan pada
peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup di masa
lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut intepreter harus memiliki kesamaan yang intens
dengan pengarang. Bentuk kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis
Schleiermacher.
11
Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah transformasi psikologis.
Namun karena psikologi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya ia hentikan, Ia
menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip
yang implisit dalam pikiran pengarang. Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab tidak
mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang.
c. Edmund Husserl (1889 -1938)
Hermeneutika fenomenologis, ia beranggapan bahwa pemahaman teks harus dibiarkan
berdiri sendiri tanpa adanya prasangka dan perspektif dari dari penafsir. Oleh sebab itu,
menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang
tidak ada hubungannya, termasuk bias-bias subjek penafsir dan membiarkannya
mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.
d. Martin Heidegger (1889 -1976)
Hermeneutika dialektis, menjelaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang muncul
dan sudah ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau penafsiran selalu
merupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang.
Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya
Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip fenomenologi yang dibangun Husserl.
Fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologis karena menyangkut pengetahuan tentang
dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut
kenyataan itu sendiri. Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan
yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara Husserl
cenderung memandang fakta keberadaan sebagai sebuah datum keberadaan.
e. Hans-Georg Gadamer (900-2002)
Hermeneutika dialogis, baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang
mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Kebenaran dapat dicapai bukan melalui
12
metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian,
bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.
Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci
heremeneutis (1) kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”, (2) situasi hermeneutika ini
kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi
pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Pembaca harus selalu merevisinya agar
pembacaannya terhindar dari kesalahan, (3) setelah itu pembaca harus menggabungkan antara
dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar
ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka
pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan
horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua
horizon inilah yang oleh Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”. (4) menerapkan “makna
yang berarti” dari teks, bukan makna objektif teks.
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas
hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala
bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika
dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya
f. Jurgen Habermas (1929)
Hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan.
Yang menentukan horison pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan
kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur
kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan gender.
Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon
penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai. Menurut Habermas, teks
bukanlah media netral, melainkan media dominasi. Karena itu, ia harus selalu dicurigai. Bagi
Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman
adalah kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power
interest) sang interpereter
13
g. Jean Paul Gustave Ricoeur (1913-2005)
Ia selalu menekankan betapa pentingnya memperhatikan simbol-simbol yang hidup di
masyarkaat. Ricoeur menjelaskan tentang simbol-simbol dengan menggunakan simbol
kejahatan dan juga menerangkan asal-usul dari kejahatan itu dengan menggunakan mitos-
mitos. Kenyataan selalu tidak akan pernah lepas dari simbol-simbol yang harus di tafsirkan.
Seperti halnya bahasa yang diterjemahkan dalam kata-kata, itu semua harus diterjemahkan
agar manusia menemukan makna sesungguhnya. “Setiap teks mempunyai 3 macam otonomi,
yaitu, intensi atau maksud pengarang, situasi cultural dan kondisi social pengadaan teks, serta
untuk siapa teks itu dimaksudkan” (Sumaryono, 1999,109)
Paul Richour mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis
tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Hermeneutika adalah
proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam
dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa
simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra.
Hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki multi makna (multiple
meaning); ia dapat membentuk kesatuan semantik yang memiliki makna permukaan yang
betul-betul koheren dan sekaligus mempunyai signifikansi lebih dalam. Hermeneutika adalah
sistem di mana signifikansi mendalam diketahui di bawah kandungan yang nampak. Konsep
yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna obyektif diekspresikan
dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi
mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup (worldview) pengarang, tapi
juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya. Sederhananya, hermeneutika adalah
ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.
h. Jürgen Habermas (1929)
Hermenutika dekonstruksionis, mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan makna
selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan
penanda. Makna teks selalu mengalami perubahan tergantung konteks dan pembacanya.
14
C. Kesimpulan
Hermeneutika setidaknya disusun dalam tiga kesatuan yang sangat penting, yaitu (1)
adanya tanda, pesan berita yang kerap berbentuk teks, (2) harus ada sekelompok penerima
yang bertanya-tanya atau merasa “asing” terhadap pesan itu. (3) adanya perantara atau kurir
antara kedua belah pihak.
Ada dua dimensi besar dalam hermeneutika yaitu hermeneutika intensionalisme dan
hermeneutika gadamerian. Kedua saling berbeda dalam meletakan posisi makna: di
“produksi” atau di “pemirsa”. Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang
diasosikan dengan Dewa Hermes terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari
hermēneuien dan hermēneia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan
bentuk kata kerja dari hermēneuein, yaitu: to say, to explain, dan to translate atau to
interpret.
15
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. 2002. Pilar-pilar Filsafat Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Adian, Donny Gahral. 2005. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Delgaauw, Bernard. 2001. Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Hadiwijono, Hasan. 1993. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet. Ke 9. Yogyakarta:
Kanisius
Jazim Hamidi. 2005. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press.
Muhadjir, Noeng. 1998. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Reka Sarasin.
Muslih, Moh.. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj.
Masnur Heri Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poespoprodjo, W. 2004. Hermeneutika, Bandung: Pustaka Setia.
Raharjo, Mudjia. 2008. Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan
Gadamerian, Jogjakarta: Ar-Ruzmedia.
Sutrisno, et.al.. 2005. Para Filusuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius.
Sutrisno, Mudji. 2004. “Rumitnya Pencarian Diri Kultural” dalam Hermeneutika
Pascakolonial: Soal Identitas. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor),
Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Supriyono, J. 2004. “Mencari Identitas Kultur Keindonesiaan,” dalam Hermeneutika
Pascakolonial: Soal Identitas. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.), Yogyakarta:
Yayasan Kanisius.