Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait ...
MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …
Transcript of MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM …
i
MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG
DAN EKOSISTEM TERKAIT
KAWASAN KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM
TAMAN LAUT NASIONAL KEPULAUAN TAKA BONERATE
KABUPATEN SELAYAR
SULAWESI SELATAN
LAPORAN PENELITIAN
CRITC – COREMAP
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
PUSAT PENELITIAN OSEANOGRAFI
JAKARTA
2019
ii
MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG
DAN EKOSISTEM TERKAIT
KAWASAN KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM
TAMAN LAUT NASIONAL KEPULAUAN TAKA BONERATE
KABUPATEN SELAYAR
SULAWESI SELATAN
LAPORAN PENELITIAN
Disusun oleh:
Ir. Suyarso
Prof. Dr. Suharsono
Drs. Indarto Happy Supriyadi M Si.
Ir. HAW Capenberg
Drs. Idrus Najib M Si
Rizky Satria Utama S.Si.
Dra. Sasanti Retno Suharti, M.Sc.
Anna Farischa, M.Si.
M. Hafidz, M.Sc.
Sandi Permadi, S.Si.
Sandi Permadi, S.Si.
Agus Budiyanto
Johan Picasouw
Abdulah Salatolohi
Asep Rasyidin
Nurjamin
CRITC – COREMAP
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
PUSAT PENELITIAN OSEANOGRAFI
JAKARTA
2019
iii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Taman Nasional Taka Bonerate (TNTBR) merupakan salah satu kawasan pelestarian
alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Penetapan zonasi dalam
kawasan TNTBR didasarkan pada Surat Keputusan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistem Nomor: SK.23/KSDAE/SET/KSA.0/1/2019, tertanggal 23 Januari 2019
terdiri atas 7 zona yaitu Zona Inti (10.046 ha), Zona Perlindungan Bahari (25.875 ha), Zona
Pemanfaatan (9.491 ha) dan Zona Khusus (270 ha), Zona Tradisional (481.334 ha), Zona Religi,
Budaya dan Sejarah (3.279ha) dan Zona Rehabilitasi (472 ha).
Kegiatan m o ni to r i n g k e s eh a t an t e r um b u ka ra n g COREMAP-CTI 2019 di
Kepulauan Taka Bonerate merupakan yang pertama dilakukan dan merupakan baseline
study di tahun 2019. Kegiatan monitoring terumbu karang, ikan karang dan megabentos
dilakukan pada 12 stasiun di stasiun- terumbu karang, ikan karang dan megabentos serta 8
stasiun monitoring lamun. Stasiun-stasiun tersebut tersebar di beberapa pulau,
diantaranya adalah Pulau Belang-belang, P. Tarupa Kcl, P. Tarupa Bsr, P. Rajuni, P. Tinabo
Kcl, P. Kayubulan serta di beberapa rataan terumbu karang yang tidak berpulau. Kegiatan ini
dilakukan oleh Puslit Oseanografi LIPI bekerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.
Selayar dan Taman Nasional Taka Bonerate.
Kepulauan Taka Bonerate merupakan gugus karang, beberapa rataan karang muncul
pulau-pulau kecil dengan penduduk yang relative tidak padat. Rataan-rataan karang beberapa
diantaranya cukup luas mencapai panjang hingga 15 km dan lebarnya hingga mencapai 5 km,
berkedalaman 0 hingga 4 m. Substrat dasar rataan karang terbagai dalam 3 kelas, yakni kelas
karang hidup yang bercampur dengan karang mati seluas 30567 ha., kelas lamun seluas 5070 ha.
dan kelas pasir seluas 12181 ha. Cukup menarik di lingkungan terumbu karang Taka Bonerate,
hamparan lamun di beberapa tempat dapat ditemukan hingga tubir di kedalaman 5 m.
Tutupan karang hidup di Taman Nasional Taka Bonerate terkategori sedang dengan nilai
tutupan sebesar 24,62±2,17%, tutupan DCA cukup tinggi dengan nilai tutupan sebesar
38,32±3,33%, biota lain seperti karang lunak (SC), spons (SP), makroalga (FS) dan biota lain
iv
(OT) masing-masing adalah 6.86%, 3.74%, 0.11% dan 11.46%. Kondisi tersebut menandakan
bahwa karang masih mempunyai ruang untuk tumbuh yang luas sehingga kondisi terumbu karang
dapat meningkat ke kategori baik apabila didukung kondisi perairan yang baik.
Ikan ikan karang yang ditemukan di Kep. Taka Bonerate umumnya berukuran kecil dan
anakan ikan. Jumlah jenis ikan suku Chaetodontidae pada 12 stasiun penelitian sebanyak 22
species dari 5 genus yang umum dapat ditemukan di perairan karang. Variasi jumlah jenis pada
masing-masing stasiun berkisar antara 3 sampai 10 spesies dengan keragaman jenis tergolong
rendah, berkisar antara 14 species sampai 34 spesies. Kehadiran kelompok ikan herbivora
bervariasi antara 11 hingga 22 spesies. Kehadiran kelompok ikan karnivora bervariasi antara 3
hingga 16 spesies. Kepadatan ikan koralivora berkisar antara 13 sampai 52 ekor/350 m2.
Kepadatan ikan karang dari 7 suku terpilih berkisar antara 106 ekor/350 m2 hingga 188 ekor/350
m2 atau setara dengan 3.028 ekor/ha hingga 5.371 ekor/ha. Komposisi jenis ikan koralivora yang
didominasi oleh Chaetodon klenii biasa terjadi pada wilayah terumbu karang yang mengalami
kerusakan, sedangkan dominasi jenis Hemitaurichthys polylepis merupakan petunjuk wilayah
terumbu karang dengan perairan yang jernih. Hilangnya ikan-ikan berukuran besar diduga sebagai
akibat intesitas penangkapan yang tinggi yang akan berdampak pada biomassa ikan.
Di Kep. Taka Bonerate ditemukan 7 jenis megabentos, terbagi dalam dua kelompok.
Kelompok ekinodermata diwakili oleh empat jenis (Acanthaster plancii, Diadema setosum,
Holuthuria spp. dan Linckia laevigata), serta tiga jenis dari kelompok moluska (Drupella cornus,
Tridacna spp. dan Trochus spp), sedangkan kelompok krustase (Panulirus spp.) tidak ditemukan.
Kelompok moluska memiliki jumlah individu yang relatif lebih tinggi, yaitu 56,9% atau sebanyak
248 individu, sedangkan kelompok ekinodermata hanya sebesar 43,1% (188 individu).
Megabentos target yang memiliki nilai ekonomis penting cenderung mengalami penurunan
jumlah indivdiunya. Kepadatan individu megabentos pada setiap stasiun, berkisar antara 0,10 –
1,01 individu/140m2. Semua jenis megabentos yang ditemukan, Tridacna spp. memiliki total
kepadatan individu tertinggi (1.06 individu/140m2), diikuti Linckia laevigata (0,73
individu/140m2) dan Drupella cornus (0,67 individu/140m2). Dibandingkan megabentos
ekonomis penting lainnya, seperti kima (Tridacna spp.), teripang (Holothurian) dan Lola (Trochus
spp.) memiliki nilai kepadatan total individu yang sangat rendah. Rendahnya kepadatan individu
v
dan sebaran teripang diduga disebabkan oleh aktifitas pengangkapan yang berlebihan oleh
nelayan lokal.
Pemantauan kondisi lamun di lima lokasi pada 8 stasiun di perairan Taman Nasional Taka
Bonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar berkategori kurang sehat hingga sehat. Pulau Tinabo
merupakan salah satu lokasi dengan kondisi lamun termasuk miskin. Teridentifikasi delapan
spesies antara lain Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea
serrulate, Syringodium isoetifolium, Halodule pinifolia, Halophila ovalis, dan Halodule
uninervis. Di luar stasiun pemantauan ditemukan spesies Thalassodendron ciliatum, sehingga
keanekaragaman spesies lamun yaitu sembilan spesies. Spesies yang mendominasi di perairan
Taman Nasional Tabonerate adalah Thasassia hemprichii dan Cymodocea rotundata.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia berupa
wilayah perairan laut Indonesia yang sangat luas dengan segala keanekaragaman hayatinya yang
dapat dimanfaatkan baik untuk baik untuk kemakmuran rakyat maupun untuk obyek penelitian
ilmiah.
Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) adalah program
nasional untuk upaya rehabilitasi, konservasi dan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara
berkelanjutan. Program COREMAP yang telah berlangsung sejak 1998 tersebut terbagi dalam 3
fase, yakni: Fase I / Inisiasi: 1998-2004, Fase II / Akselerasi 2005-2011 dan Fase III / Penguatan
Kelembagaan: 2015-2019. Program COREMAP Fase III yang pada akhirnya disebut COREMAP-
CTI bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait
diantaranya ekosistem lamun dan ekosistem mangrove untuk dapat direhabilitasi, diproteksi dan
dikelola secara berkesinambungan.
Tahun 2019 merupakan studi awal (baseline study) untuk kegiatan monitoring di
Kepulauan Taka Bonerate. Kegiatan tersebut akan dilanjutkan pada tahun-tahun sesudahnya.
Diharapkan dengan tersedianya data multi temporal dapat memberikan gambaran kondisi
ekosistem pesisir secara umum sehingga nantinya dapat menjadi bahan pertimbangan
yang berarti dalam penyusunan kebijakan pengelolaan wilayah terumbu karang Kepulauan
Taka Bonerate, Kabupaten Sulawesi Selatan.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah terlibat dalam kegiatan monitoring baik itu di lapangan secara langsung ataupun
dari segi administrasi. Disadari laporan ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran sangat
diharapkan untuk menjadikan laporan ini jauh lebih baik dan informatif. Semoga buku ini
bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, 1 Desember 2019
Tim Penyusun
vii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................... iii
KATA PENGANTAR.............................................................................................. vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………… xi
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 1.2 Tujuan Kegiatan ……………………………………………………… 2
1.3 Sasaran Kegiatan ................................................................................... 3
1.4 Pelaksanaaa Penelitian ……………………………………………….. 3
1.5 Waktu Penelitian Lapangan …………………………………………. 4
1.6 Jadwal Kegiatan ……………………………………………………….. 4
1.7 Lokasi Penelitian ……………………………………………………..... 5
BAB 2. METODE PENELITIAN ……………………………………………….. 7
2.1 Pemetaan Substrat Dasar Perairan Laut Dangkal ............................ 7
2.2 Terumbu Karang ……………............................................................... 9
2.3 Ikan Karang............................................................................................. 11
2.4 Mega Bentos............................................................................................. 13
2.5 Lamun………………………………….................................................. 14
BAB 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................................ 17
3.1 Pemetaan Substrat Dasar Perairan Laut Dangkal ............................ 17
3.2 Terumbu Karang ................................................................................... 18
3.3 Ikan Karang............................................................................................ 33
3.4 Mega Bentos............................................................................................. 43
3.5 Lamun………………………………….................................................. 52
BAB 4. KESIMPULAN .......................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 62
LAMPIRAN ………………………………………………………………………. 67
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Kode masing-masing biota dan substrat yang dipergunakan dalam analisis CPCe ……………………………………………………….. 10
Tabel 2.2 Pengelompokan komponen benthic berdasarkan persentase tutupan bentik ………………………………………………………………...
10
Tabel 2.3 Perhitungan nilai indeks kesehatan terumbu karang ………………… 11
Tabel 2.4 Kelompok ikan karang yang menjadi target pengamatan…………… 12
Tabel 2.5 Spesies atau kelompok spesies megabenthos target yang menjadi obyek monitoring ................................................................................ 14
Tabel 3.1 Luasan satuan substrat di rataan terumbu karang Taman Nasional Taka Bonerate ……………………………………………………... 17
Tabel 3.2 Nilai indeks kesehatan terumbu karang di Taka Bonerate ………… 32
Tabel 3.3 Jumlah individu kelompok ikan koralivora menurut nama jenis ikan dan lokasi penelitian ………………………………………………… 34
Tabel 3.4 Variasi jumlah jenis kelompok fungsional ikan karang menurut suku dan lokasi penelitian ………………………………………………… 35
Tabel 3.5 Variasi kepadatan kelompok fungsional ikan karang menurut suku dan lokasi penelitian ………………………………………………… 36
Tabel 3.6 Variasi biomassa kelompok fungsional ikan karang menurut suku dan lokasi penelitian …………………………………………………….. 37
Tabel 3.7 Komposisi jenis kelompok ikan koralivora menurut kehadiran individualnya ……………………………………………………… 38
Tabel 3.8 Komposisi jenis kelompok ikan karang dari 7 suku terpilih menurut kehadiran individualnya …………………………………………….. 38
Tabel 3.9. Komposisi jenis kelompok ikan karang dari 7 suku terpilih menurut biomassanya ………………………………………………………… 40
Tabel 3.10 Perbandingan keragaman, kepadatan dan biomassa ikan karang antara Taman Nasional Taka Bonerate (TNTB) dan Taman Nasional Kep. Wakatobi (TNKW) dari data survei RHM 2019 ……………….. 41
Tabel 3.11 Perbandingan komposisi jenis ikan 10 besar antara Taman Nasional Taka Bonerate (TNTB) dan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) dari data survei RHM 2019 ……………………………….. 41
Tabel 3.12 Komposisi jenis megabentos pada setiap stasiun di perairan Taman Nasional Taka Bonerate, Kabupaten Selayar ……………………… 43
Tabel 3.13 Nilai Kepadatan individu megabentos pada setiap stasiun pengamatan di perairan terumbu karang Taman Nasional Taka Bonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar ………………………. 47
Tabel 3.14 Hasil identifikasi keanekaragaman spesies lamun di perairan Taka Bonerate 2019 ………………………………………………….. 59
Tabel 3.15 Kondisi lamun terhadap keanekaragaman spesies di setiap stasiun Taman Nasional Taka Bonerate …………………………………… 60
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Stasiun monitoring kesehatan karang di Kep. Taka Bonerate, Sulawesi Selatan ………………………………………………….. 5
Gambar 1.2 Stasiun monitoring kesehatan lamun di Kep. Taka Bonerate, Sulawesi Selatan ………………………………………………….. 6
Gambar 2.1 Tahapan analisis citra sentinel 2, kiri: komposit citra RGB 234, tengah: citra yang telah terkoreksi menggunakan indeks atenuasi kedalaman dan kanan: hasil klasifikasi substrat dasar perairan …… 8
Gambar 2.2 Ilustrasi pengambilan foto dengan metode UPT………………… 9 Gambar 2.3 Garis transek dan pencatatan ikan karang yang berada pada
transek .............................................................................................. 12 Gambar 2.4 Skema transek megabenthos dengan metode Benthos Belt
Transect yang dimodifikasikan dari metode Belt Transect ……….. 14 Gambar 2.5 Pemasangan transek dalam pengambilan data lamun ..................... 15 Gambar 3.1 Peta substrat dasar lingkungan terumbu karang Kep. Taka
Bonerate, Sulawesi Selatan ………………………………….. 18 Gambar 3-2. Persentase tutupan masing-masing kategori benthic tahun 2019
(HC: hard coral, DC: dead coral, DCA: dead coral with algae, SC: soft coral, SP: spons, FS: fleshy seaweed, OT: others, R: rubble, S: sand, Si: silt, RK: Rock)………………………………………… 19
Gambar 3-3. Gambaran umum kondisi pantai stasiun TBRC01 (kiri) dan kondisi lereng terumbu karang (kanan)……………………………………. 20
Gambar 3.4. Gambaran lokasi pengambilan data di stasiun TBRC02 (kiri) dan transek yang berada pada tubir dengan subtrat berupa pecahan karang (kanan)……………………………………………………. 21
Gambar 3.5. Gambaran kondisi stasiun TBRC03, jenis karang yang mendominasi di stasiun TBRC03 adalah Porites spp (kiri) dan Anacropora puertogalerae (kanan)………………………………... 22
Gambar 3.6. Gambaran umum kondisi pantai pada stasiun TBRC04 (kiri) dan kondisi lereng terumbu tempat lokasi transek (kanan) ……………. 23
Gambar 3.7 Gambaran kondisi pantai stasiun TBRC05 (kiri) dan karang lunak yang banyak menumbuhi lereng terumbu (kanan)………………… 23
Gambar 3.8 Gambaran pantai P. Tarupa Kcl pengamatan TBRC06 (kiri) dan kondisi terumbu di lokasi pengambilan (kanan) …………………. 24
Gambar 3.9 Gambaran kondisi daratan pantai berpasir lokasi stasiun TBRC07 (kiri) dan karang jenis Porites cylindrica yang banyak ditemui di lokasi transek (kanan) …………………………………………….. 25
Gambar 3.10 Gambaran umum stasiun TBRC08, transek dilakukan pada lereng terumbu landai (kiri) dan karang Porites cylindrica yang banyak dijumpai di lokasi ………………………………………………… 26
Gambar 3.11 Gambaran kondisi terumbu karang di stasiun pengamatan, kiri: pertumbuhan karang patchy dan kanan: karang mendominasi adalah Porites cylindrica di lokasi transek ……………………… 27
Gambar 3.12 Gambaran kondisi stasiun TBRC10, kondisi terumbu di sekitar transek (kiri) dan Achantaster planci yang ditemukan di sekitar lokasi (kanan) …………………………………………………….. 28
x
Gambar 3.13 Gambaran kondisi terumbu karang stasiun TBRCC11 (kiri) dan penyu yang masih sering tampak saat pengamatan (kanan) ………. 28
Gambar 3.14 Gambaran kondisi terumbu karang di lokasi transek dan stasiun TBRC12 (kiri) dan salah satu ancaman terhadap tutupan karang hidup (kanan) …………………………………………………….. 29
Gambar 3.15 Trend persentase tutupan masing-masing kategori benthic periode 2015 dan 2019 (HC: hard coral, DC: dead coral, DCA: dead coral with algae, SC: soft coral, SP: spons, FS: fleshy seaweed, OT: others, R: rubble, S: sand, Si: silt, RK: Rock) …………………….. 30
Gambar 3.16 Indeks kesehatan masing masing stasiun di Taman Nasional Taka Bonerate 2019 ………………………………………………….. 32
Gambar 3.17 Variasi jumlah jenis ikan kelompok koralivora dari suku Chaetodontidae …………………………………………………... 34
Gambar 3.18 Variasi jumlah jenis ikan karang menurut lokasi penelitian ………. 35 Gambar 3.19 Kepadatan ikan koralivora menurut letak stasiun penelitian ……… 36 Gambar 3.20 Kepadatan dan sediaan ikan karang dari 7 suku terpilih …………. 36 Gambar 3.21 Biomassa dan sediaan ikan karang menurut stasiun penelitian …… 37 Gambar 3.22 Komposisi suku ikan karang berdasarkan kahadiran individual
(kiri) dan biomassa (kanan) pada semua stasiun …………………. 39 Gambar 3.23 Proporsi jumlah individu pada masing-masing stasiun terhadap
total individu di Taman Nasional Taka Bonerate…………………. 44 Gambar 3.24 Frekuensi kehadiran jenis-jenis megabentos di perairan terumbu
karang Taman Nasional Taka Bonerate, Kabupaten Kep. Selayar .. 45 Gambar 3.25 Foto spesies megabentos pada masing-masing stasiun di Kawasan
Perairan Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat… 52 Gambar 3.26 Lingkungan pantai Tarumpa TBRS 01 (kiri) dan dan padang lamun
di perairan Tarumpa pada stasiun TBRS01 (kanan)………………. 53 Gambar 3.27 Lingkungan pantai Tarumpa TBRS02 (kiri) dan padang lamun di
perairan Tarumpa TBRS02 (kanan) ………………………………. 54 Gambar 3.28 Lingkungan pantai Jinato TBRS03 (kiri) dan pengukuran lamun
di.stasiun TBRS03 (kanan) ……………………………………….. 54 Gambar 3.29 Lingkungan pantai P. Jinato TBRS04 (kiri) dan padang lamun
TBRS04 (kanan) ………………………………………………….. 55 Gambar 3.30 Lingkungan pantai P. Latondu TBRS05 (kanan) dan padang lamun
perairan Latondu di stasiun TBRS05 (kiri) ………………………. 56 Gambar 3.31 Lingkungan pantai P. Latondo pada stasiun TBRS06 (kiri) dan
padang lamun di perairan Pulau Latondo TBRS06 (kanan)……….. 56 Gambar 3.32 Lingkungan pantai P. Rajuni pada stasiun TBRS07 (kiri) dan
padang lamun di stasiun TBRS07 (kanan) ………………………. 57 Gambar 3.33 Lingkungan pantai P. Tinabo pada stasiun TBRS08 (kiri) dan
padang lamun di perairan P. Tinabo TBRS08 (kanan) ……………. 58 Gambar 3.34 Kondisi lamun di delapan stasiun perairan Taman Nasuional Taka
Bonerate 2019……………………………………………….......... 58 Gambar 3.35 Kenaekaragaman spesies lamun di perairan Taman Nasional Taka
Bonerate ………………………………………………………….. 59
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Nilai tutupan masing masing kategori bentik……………………... 68
Lampiran 2. Jenis- jenis karang keras yang dapat dijumpai di lokasi transek…… 69
Lampiran 3. Hasil identifikasi jenis dan sensus individual ikan karang………… 77
Lampiran 4. Hasil analisis data penilaian biomassa ikan karang……………….. 79
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepulauan Taka Bonerate adalah salah Gugus Kepulauan Karang, terletak antara 6°20’
Lintang Selatan 7°20’ Lintang Selatan dan 120°40’ Bujur Timur 121°50’ Bujur Timur, Secara
administrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Selayar, Propinsi Sulawesi Selatan. Namun
demikian kawasan tersebut merupakan kawasan konservasi laut yang dikelola oleh Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ekosistem pesisir bersifat dinamis yaitu kondisinya berubah mengikuti perubahan
musim atau kondisi lingkungan dan perubahan pola aktivitas manusia. Adanya perubahan
kondisi lingkungan yang ekstrim dapat mengakibatkan kondisi ekosistem pesisir menurun,
sebagai contoh fenomena naiknya suhu air laut dapat mengakibatkan pemutihan karang
secara massal (bleaching) yang berdampak pada menurunnya fungsi ekologis terumbu
karang dalam menjaga keanekaragaman hayati biota-biota yang berasosiasi. Apabila
kondisi lingkungan perairan baik (air jernih, arus yang selalu mengalir baik, suhu yang ideal
dan bebas dari polusi) maka kondisi ekosistem pesisir akan membaik dengan sendirinya.
Meskipun kondisi pesisir mampu pulih, meningkatnya aktivitas manusia baik di darat
maupun di laut dikhawatirkan akan mengancam pemulihan kondisi ataupun kelestarian
dari ekosistem pesisir. Meingkatnya aktivitas penambangan, penangkapan ikan secara
illegal (bom dan pesitisda) akan berdampak secara langsung kepada ekosistem pesisir.
Lain halnya dengan aktivitas di darat, seperti pembukaan lahan untuk perumahan,
penggundulan hutan, pencemaran sungai, akan mempunyai dampak yang tidak langsung
terhadap ekosistem pesisir. Dalam hal ini, kondisi perairan akan menurun akibat adanya
terrestrial runoff dan pengkayaan nutrient di laut, sehingga akan mempengaruhi
pertumbuhan dari biota-biota benthos, terutama karang.
Taman Nasional Taka Bonerate (TNTBR) merupakan salah satu kawasan pelestarian
alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
2
Status kawasan Taka Bonerate, awalnya ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan SK
Menteri Kehutanan No. 100/Kpts-II/1989, selanjutnya diubah menjadi Taman Nasional
berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 280/KPTS-II/1992 dan terakhit diperbarui dengan SK
Menteri Kehutanan No. 92/KPTS-II/2001 luas kawasan yang ditetapkan 530.765 ha.
Tahun 1997, Unit Pelaksana Teknis (UPT) dibentuk untuk melakukan pengelolaan
kawasan Taman Nasional, dengan SK Menteri Kehutanan Nomor: 185/Kpts-II/1997 tanggal 31
Maret 1997. Sejak tanggal 10 Juni 2002 berubah menjadi Balai Taman Nasional Tipe C setingkat
Eselon III, sesuai dengan SK Menhut No. 6186/Kpts-II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Balai Taman Nasional. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2007
tanggal 1 Pebruari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional
berubah menjadi Balai Taman Nasional Tipe B yang terdiri dari Sub Bagian Tata Usaha, Seksi
Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I dan II serta Kelompok Jabatan Fungsional dengan tugas
pokok melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan
pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengelolaan kawasan TNTBR dilaksanakan dengan sistem zonasi. Penetapan zonasi
dalam kawasan TNTBR didasarkan pada Keputusan Direktorat Jenderal PHKA Nomor: SK.
150/IV-SET/2012 tanggal 17 September 2012 tentang Zonasi Taman Nasional Taka Bonerate.
Zonasi dalam kawasan TNTBR terdiri dari 4 zona yaitu Zona Inti (8.341 Ha), Zona Perlindungan
Bahari (21.188 Ha), Zona Pemanfaatan (500.879) dan Zona Khusus (357 Ha).Kemudian pada
tahun 2018 dilakukan review Zonasi dengan surat Keputusan Direktorat Jenderal Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor : SK.23/KSDAE/SET/KSA.0/1/2019, Tanggal 23
Januari 2019 yang terdiri dari 7 zona yaitu Zona Inti (10.046 Ha), Zona Perlindungan Bahari
(25.875 Ha), Zona Pemanfaatan (9.491 Ha) dan Zona Khusus (270 Ha), Zona Tradisional
(481.334 Ha), Zona Religi, Budaya dan Sejarah (3.279Ha) dan Zona Rehabilitasi (472 Ha).
Dengan terbitnnya penetapan Surat Keputusan baru ini maka surat keputusan SK. 150/IV-
SET/2012 tanggal 17 September 2012 tidak berlaku lagi.
1.2 Tujuan Kegiatan
Tujuan dari kegiatan monitoring adalah untuk mendapatkan data (t0) mengenai
kesehatan ekosistem terumbu karang yang meliputi informasi tutupan karang,
3
kelimpahan ikan karang dan megabenthos, serta data mengenai ekosistem padang lamun
di Kepulauan Taka Bonerate, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan.
1.3 Sasaran Kegiatan
Sasaran dari kegiatan monitoring ini adalah untuk mengetahui:
1. Menghimpun informasi kondisi terumbu karang, mega bentik, ikan karang pada 12 stasiun
yang telah ditentukan.
2. Menghimpun informasi kondisi lamun pada 8 stasiun yang telah ditentukan.
3. Memetakan substrat dasar perairan pada wilayah terumbu karangTaka Bonerate.
4. Menghimpun informasi potensi teripang di wilayah terumbu karangTaka Bonerate
5. Pelaksanaan analisis data akan dilaksanakan pada bulan Juni hingga September 2019,
kemudian diikuti dengan pembuatan laporan pada Oktober 2019.
1.4 Pelaksanaan Penelitian
Pelaksana penelitian dan penanggung-jawab program kegiatan tahun anggaran 2019 yang
ada di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Pelaksana penelitian dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta:
No Personel Fungsi
1 Ir. Suyarso Koordinator / Sistem Informasi Geografi
2 Prof. Dr. Suharsono Peneliti karang
3 Drs. Indarto Happy Supriyadi M Si Peneliti lamun
4 Ir. HAW Capenberg Peneliti Mega bentos
5 Drs. Idrus Najib M Si Peneliti ikan karang
6 Rizky Satria Utama S.Si. Peneliti karang
7 Dra. Sasanti Retno Suharti, M.Sc Peneliti ikan karang
8 Anna Farischa, M.Si. Peneliti ikan karang
9 M. Hafidz, M.Sc Peneliti SIG
10 Sandi Permadi, S.Si Peneliti teripang
11 Agus Budiyanto Pembantu peneliti karang
12 Johan Picaso Pembantu peneliti ikan
13 Abdulah Salatolohi Pembantu peneliti megabentos
14 Asep Rasyidin Pembantu peneliti lamun
15 Nurjamin Pembantu peneliti teripang
4
Pelaksana penelitian dari Staf lokal (Dinas Perikanan dan BKSDA Taka Bonerate:
No Personel Instansi
1 Zul Jnuar M Si Dinas Perikanan Kelautan Kab. Selayar
2 Andi Ridho Nur Afdal Dinas Perikanan Kelautan Kab. Selayar
3 Yusuf Ronald BKSDA Taka Bonerate 4 Andi Irham BKSDA Taka Bonerate
1.5 Waktu Penelitian Lapangan
Bulan Tanggal Kegiatan
Mei 2019
20 Mei Perjalanan menuju Selayar dan sore hari tiba di Selayar
21 Mei Persiapan belanja peralatan dan koordinasi dengan dinas
dan instansi terkait.
22 Mei Perjalanan menuju Kep. Taka Bonerate, namun gagal
dikarenakan laut bergelombang kuat.
23 Mei Perjalanan menuju Kep. Taka Bonerate, diperingatkan
oleh syahbandar pelabuhan untuk tidak melakukan
perjalanan ke Taka Bonerate karena cuaca buruk.
24 Mei Menuju ke Taka Bonerate dan siang bekerja di lapangan
25 Mei Bekerja di lapangan
26 Mei Bekerja di lapangan
27 Mei Bekerja di lapangan
28 Mei Bekerja di lapangan
29 Mei Bekerja pagi hari, siang hari menuju Selayar dan
bermalam di Selayar
30 Mei Mengevaluasi perolehan data
31 Mei Membereskan administrasi, data, diskusi
Juni 2019 1 Juni Perjalanan menuju Makassar dan selanjutnya Jakarta
1.6 Jadwal Kegiatan (matrik waktu pelaksanaan)
No. Tahapan
Kegiatan
Bulan Kegiatan (2019)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
1 Menghimpun
informasi
xxxx
2 Koordinasi xxx
3 Persiapan penelitian xxxx
4 Survey xxxx
5 Analisis Data xxxx xxxx
6 Laporan kegiatan xxxx
7 Laporan Akhir xxxx xxxx xxxx
8 Diseminasi/
Seminar
xxxx
5
1.7 Lokasi Penelitian
1. Stasiun lokasi monitoring terumbu karang di Kep. Taka Bonerate, Sulawesi Selatan.
Stasiun LON LAT Lokasi
TBRC01 120.95966 -6.76261 Pulau Jinato
TBRC02 120.96484 -6.67087 Taka Latigiang
TBRC03 121.06894 -6.66674 Taka Tumbor
TBRC04 120.93790 -6.52024 Pulau Latondu Kecil
TBRC05 121.08881 -6.40782 Pulau Belang Belang
TBRC06 121.09357 -6.48046 Pulau Tarupa Kecil
TBRC07 121.09847 -6.56287 Pulau Tinabo
TBRC08 121.26752 -6.50950 Taka Gantarang bagian dalam
TBRC09 121.24792 -6.54156 Taka Gantarang bagian luar
TBRC10 121.20668 -6.62603 Taka Sirobe
TBRC11 121.26150 -6.73146 Taka Subu
TBRC12 121.26939 -6.82057 Taka Bungin Lalo
Gambar 1.1 Stasiun monitoring kesehatan karang di Kep. Taka Bonerate, Sulawesi Selatan.
6
2. Stasiun lokasi monitoring lamun di Kep. Taka Bonerate, Sulawesi Selatan.
PULAU STA LAT LONG STA
P. Tarupa TBRS01 -6.49684 121.13377 TBRS01
TBRS02 -6.49485 121.13655 TBRS02
P. Jinato TBRS03 -6.76289 121.96694 TBRS03
TBRS04 -6.75130 121.96794 TBRS04
P. Latondu TBRS05 -6.50214 120.98394 TBRS05
TBRS06 -6.50440 120.98558 TBRS06
P. Rajuni TBRS07 -6.54596 120.99787 TBRS07
P. Tinabo TBRS08 -6.56688 121.09983 TBRS08
Gambar 1.2 Stasiun monitoring kesehatan lamun di Kep. Taka Bonerate, Sulawesi Selatan.
7
BAB 2. METODOLOGI PENELITIAN
2.1 Pemetaan Substrat Dasar Perairan Laut Dangkal
Pembuatan peta habitat laut dangkal menggunakan metode klasifikasi multispektral.
Perangkat lunak pengolahan citra yang digunakan adalah Envi 5.1 dan software pemetaannya
adalah ArcGIS 10.1. Tahapan pembuatan peta habitat ini meliputi pre processing, pengambilan
data ground truth dan processing data.
Pre processing merupakan kegiatan awal yang dilakukan sebelum pengolahan citra.
Kegiatan ini berupa koreksi citra yang meliputi koreksi radiometrik, koreksi atmosferik dan
koreksi kolom air. Citra yang digunakan adalah citra Sentinel 2 perekaman 30 Agustus 2018.
Koreksi radiometrik yang dilakukan adalah konversi nilai DN (Digital Number) ke TOA (Top of
Atmosphere) Reflectance. Koreksi ke TOA Reflectance dapat langsung dilakukan dengan nilai
DN. Berbeda dengan citra Landsat 7 TM, koreksi TOA Reflectance harus melalui TOA Radiance
terlebih dahulu. Koreksi nilai DN menjadi TOA Reflectance menggunakan algoritma:
ρλ' = Mρ*Qcal + Aρ
ρλ' = TOA reflektansi, tanpa koreksi untuk sudut matahari
Mρ = REFLECTANCE_MULT_BAND_x , di mana x adalah nomor Band
Aρ = REFLECTANCE_ADD_BAND_x , di mana x adalah nomor Band
Qcal = Nilai digital number ( DN )
TOA Reflectance yang diperoleh dari persamaan tersebut belum dikoreksi untuk sudut matahari.
Posisi matahari terhadap bumi berubah-ubah tergantung dengan waktu dan perekaman obyek.
Koreksi radiometrik dengan mengambil aspek posisi sudut matahari menggunakan algoritme :
ρλ= ρλ'/sin(θ)
ρλ' = TOA Reflectance
sin(θ) = Sun elevation, Solar Elevation Angle
Citra hasil koreksi radiometrik memerlukan koreksi lagi untuk menghilangkan efek
atmosfer. Salah satu koreksi atmosfer yang sederhana adalah dark object substraction (DOS).
DOS mengasumsikan bahwa obyek gelap tidak memantulkan energi, nilai yang lebih besar dari
nol dihasilkan dari hamburan atmosfer. Metode paling mudah adalah menghilangkan hamburan
tersebut dengan mengurangi nilai minimum dengan nilai tersebut sehingga didapatkan nol. Efek
glint pada permukaan perairan dikoreksi dengan menggunakan koreksi sun glint.
8
Koreksi terakhir adalah koreksi kolom air menggunakan metode Lyzenga (Lyzenga,
1978). Metode ini mengasumsikan tentang penggabungan informasi dari beberapa saluran untuk
menghasilkan indeks pemisah kedalaman (atenuasi). Koreksi Lyzenga menggunakan band 2,3,4
dari citra Landsat 8 OLI dengan algoritme:
Indexij = Bi –((ki/kj) x Bj)
Indexij = depth invariant index
Bi = saluran i
Bj = saluran j
ki/kj = rasio koefisien atenuasi
Perhitungan ki/kj dilakukan dengan mengambil sampel obyek yang sama pada kedalaman
yang berbeda-beda dalam hal ini sampel yang diambil adalah sampel pasir. Penajaman citra
menggunakan teknik image fusion dengan metode operasi Gram Smidth dimana citra pankromatik
dan multispektral digabungkan untuk memperoleh citra dengan resolusi spasial yang baru.
Resolusi yang diperoleh setelah proses image fusion ini citra Landsat 8 yang semula 30 m menjadi
15 m. Ground truth di lapangan dilakukan untuk mendapatkan titik-titik sampel dan uji akurasi.
Pengambilan sampel ground truth dilakukan dengan pengamatan langsung obyek di bawah air.
Kelas klasifikasi dibedakan menjadi habitat karang, habitat lamun dan pasir. Pengambilan sampel
dilakukan disekitar garis pantai hingga tubir. Hasil data ground truth selanjutnya dipergunakan
sebagai acuan dalam klasifikasi terbimbing (supervised classification) (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Tahapan analisis citra sentinel 2, kiri: komposit citra RGB 234, tengah: citra yang
telah terkoreksi menggunakan indeks atenuasi kedalaman dan kanan: hasil
klasifikasi substrat dasar perairan.
9
2.2 Terumbu Karang
Penelitian untuk mendapatkan data dasar terumbu karang di lakukan di 14 stasiun
penelitian di perairan Ternate dan sekitarnya, yang meliputi sekitar perairan Pulau Ternate, Pulau
Hiri Pulau Tidore, Pulau Maitara, Pulau Filonga dan Halmahera bagian barat. Lokasi dan posisi
koordinat masing-masing stasiun diperlihatkan pada Gambar 2.2 dan Tabel 2.1.
Penelitian ldilakukan dengan penyelaman menggunakan peralatan selam scuba. Untuk
mengetahui profil dan deskripsi umum masing-masing stasiun penelitian dilakukan pengamatan
visual bebas mulai dari bagian pinggir pantai hingga ke bagian terumbu tempat dilakukannya
transek. Sedangkan untuk mendapatkan data kesehatan terumbu karang dilakukan dengan metode
UPT (Underwater Photo Transect / Transek Foto Bawah Air) (Giyanto et al., 2010; Giyanto,
2012a; Giyanto, 2012b; Giyanto, 2013; Giyanto et al., 2014) yaitu dengan melakukan pemotretan
bawah air menggunakan kamera digital bawah air sepanjang 50 m garis transek dimulai dari meter
ke-1 dengan jarak antar pemotretan sekitar 1 m. Garis transek ditarik sejajar pulau pada kedalaman
sekitar 5 m dimana karang umum dijumpai. Posisi pulau berada di sebelah kiri garis transek.
Pemotretan dilakukan tegak lurus substrat pada jarak sekitar 60cm dari dasar substrat. Untuk
keseragaman luas bidang pemotretan, digunakan alat bantu frame yang terbuat dari besi dengan
ukuran 58x44 cm. Untuk pemotretan frame ke-1 (pada garis transek meter ke-1) dan juga frame-
frame berikutnya dengan nomer frame ganjil (Frame ke-3, ke-5, dan seterusnya sampai frame ke-
49), pemotretan dilakukan dengan bidang pemotretan agak banyak ke arah bagian yang dekat
dengan daratan. Pemotretan frame ke-2 (pada garis transek meter ke-2) dan frame berikutnya
dengan nomer frame genap, pemotretan dilakukan dengan bidang pemotretan agak banyak ke arah
laut. Ilustrasi teknis pemotretan di lapangan dapat dilihat di Gambar 2.2. Selain itu juga dilakukan
pengamatan visual untuk mendapatkan gambaran umum masing-masing stasiun penelitian.
Gambar 2.2. Ilustrasi pengambilan foto dengan metode UPT.
10
Analisis data dilakukan dengan menganalisis foto hasil pemotretan menggunakan komputer dan
piranti lunak (software) CPCe (Kohler & Gill 2006). Sebanyak 30 sampel titik acak dipilih untuk setiap
frame foto, dan untuk setiap titiknya diberi kode sesuai dengan kode masing-masing kategori dan biota dan
substrat yang berada pada titik acak tersebut (Tabel 2.1).
Selanjutnya dihitung persentase tutupan masing-masing kategori biota dan substrat untuk setiap frame foto
menggunakan rumus:
Persentase tutupan kategori = jumlah titik kategori tersebut
banyaknya titik acak x 100
Tabel 2.1 Kode masing-masing biota dan substrat yang dipergunakan dalam analisis CPCe.
Pengelompokkan persentase tutupan karang hidup dan kategori benthic lainnya mengikuti
Giyanto et al. (2017). Pengelompokkan ini bertujuan untuk penentuan nilai indeks kesehatan
terumbu karang. Adapun pengelompokkannya sebagai terlihat pada Tabel 2.2 sebagai berikut:
Tabel 2.2 Pengelompokan komponen bentik berdasarkan persentase tutupan bentik.
N
o
Komponen Bentik Nilai Kategori
1 Tutupan karang hidup (LC) LC < 19% Rendah 19 ≤ LC ≤ 35% Sedang
LC > 35% Tinggi
2 Tingkat Resiliensi FS < 3% U (R ≤ 60 Ո LC > 5
%)
Tinggi FS > 3% U (R ≥ 60 Ո LC < 5
%)
Rendah
Kode Keterangan LC : Live Coral = Karang batu hidup = karang hidup = AC+NA - AC : Acropora = karang batu marga Acropora - NA : Non Acropora = karang batu selain marga Acropora DC : Dead Coral = karang mati DCA : Dead Coral with Algae = karang mati yang telah ditumbuhi
alga SC : Soft Coral = karang lunak SP : Sponge = spon FS : Fleshy Seaweed = alga OT : Other Fauna = fauna lain R : Rubble = pecahan karang S : Sand = pasir SI : Silt = lumpur RK : Rock = batuan
11
Nilai Indeks Kesehatan Terumbu Karang
Nilai indeks kesehatan terumbu karang merupakan kombinasi antara kondisi terkini dari
tutupan karang hidup, tingkat resiliensi terumbu karang serta biomassa ikan karang. Ketiga
komponen tersebut kemudian dikelompokkan (tinggi, rendah, sedang) berdasarkan data-data
yang pernah dikumpulkan sebelumnya sehingga nilai indeks yang didapat mampu mewakili
kondisi ekosistem terumbu karang dengan baik. Adapun penentuan nilai indeks kesehatan
terumbu karang adalah mengikuti Giyanto et al. (2017) seperti pada Tabel 2.3 berikut:
Tabel 2.3 Perhitungan nilai indeks kesehatan terumbu karang
Komponen bentik Komponen ikan Total
Nilai
Indeks kese-
hatan terumbu
karang Tutupan karang hidup
Tingkat resiliensi
Nilai Kategori biomassa ikan karang
Nilai
Tinggi Tinggi 6 Tinggi 6 12 10 Tinggi Tinggi 6 Sedang 4 10 8 Tinggi Tinggi 6 Rendah 2 8 6 Sedang Tinggi 5 Tinggi 6 11 9 Sedang Tinggi 5 Sedang 4 9 7 Sedang Tinggi 5 Rendah 2 7 5 Tinggi Rendah 4 Tinggi 6 10 8 Tinggi Rendah 4 Sedang 4 8 6 Tinggi Rendah 4 Rendah 2 6 4 Rendah Tinggi 3 Tinggi 6 9 7 Rendah Tinggi 3 Sedang 4 7 5 Rendah Tinggi 3 Rendah 2 5 3 Sedang Rendah 2 Tinggi 6 8 6 Sedang Rendah 2 Sedang 4 6 4 Sedang Rendah 2 Rendah 2 4 2 Rendah Rendah 1 Tinggi 6 7 5 Rendah Rendah 1 Sedang 4 5 3 Rendah Rendah 1 Rendah 2 3 1
2.3 Ikan Karang
Metode yang digunakan adalah Metode Sensus Visual yang dikembangkan oleh ASEAN
AUSTRALIA PROJECT (Dartnal & Jones 1986 dalam English et. al. 1997). Peralatan yang
digunakan adalah peralatan selam (SCUBA DIVING), alat tulis bawah air dan roll meter. Transek
70 m dibuat sejajar tubir atau garis pantai, dengan pengamatan 2,5 m sebelah kiri dan kanan garis
transek. Luas tiap transek 70 x (2 x 2,5m) = 350 m2 (Gambar 2.3). Penentuan jenis ikan dibantu
12
buku panduan identifikasi ikan karang Kuiter (1992), Masuda & Allen (1987), Allen (2000), Allen
and Stenne, (1996), Allen et al. (2003), Froee and Pauly, (2000), Randall et al. (1997).
Gambar 2.3 Garis transek dan pencatatan ikan karang yang berada pada transek.
Pengamatan ikan karang yang menjadi target yakni kelompok Coralivorou (famili
Chaetodontidae, Herbivorous (famili Siganidae, Scaridae dan Acanthuridae), ikan target Utama
(famili Serranidae, Lutjanidae, Lethrinidae dan Haemulidae) dan jenis ikan langka, terancam dan
dilindungi (Tabel 2.4.).
Tabel 2.4 Kelompok ikan karang yang menjadi target pengamatan.
Katagori Famili Data yang dicatat
Coralivorous Chaetodontidae 1. Jumlah jenis
2. Kelimpahan individu setiap jenis
Herbivorous Siganidae
Scaridae
Acanthuridae
1. Jumlah jenis
2. Kelimpahan individu setiap jenis
3. Estimasi panjang standar, panjang
total atau panjang menggarpu setiap
individu
Ikan target Serranidae
Lutjanidae
Lethrinidae
Haemulidae
1. Jumlah jenis
2. Kelimpahan individu setiap jenis
3. Estimasi panjang standar, panjang
total atau panjang menggarpu setiap
individu
Spesies ikan langka,
terancam dan
dilindungi
Semua jenis ikan
yang terancam
termasuk semua
jenis pari dan hiu
1. Jumlah jenis
2. Kelimpahan individu setiap jenis
3. Estimasi panjang standar, panjang
total atau panjang menggarpu setiap
individu
13
Pengolahan dan analisa data yang di dapat dari pengamatan meliputi:
1. Keanekaragaman jenis
Keanekaragaman jenis adalah total dari spesies ikan karang yang diamati selama
monitoring di suatu lokasi ekosistem terumbu karang.
2. Densitas
Densitas (D) adalah jumlah individu seluruh spesies ikan karang per luas area pengamatan.
2
2/
350
:arg,mindividuX
m
familisetiapettikanindikatorikanindividuD
3. Hubungan panjang-berat
Hubungan panjang berat adalah berat individu ikan target (W) sama dengan indeks spesifik
spesies (a) dikalikan dengan estimasi panjang total dipangkat indeks spesifik spesies (b).
bLxaW
4. Biomassa
Biomassa (B) adalah berat individu ikan target (W) per luas area pengamatan.
2350
)(
m
familisetiaptotalWB
2.4 Mega Bentos
Pengamatan megabenthos target dilakukan dengan metode Benthos Belt Transek yang
merupakan pengembangan dari belt transek method untuk monitoring megabenthos (Loya, 1978).
Pengamatan mencakup sebelas stasiun dengan bantuan peralatan selam SCUBA (Brower & Zar,
1997). Transek disinkronisasikan dengan transek untuk pengamatan / monitoring karang dan ikan
karang pada sebuah transek permanen. Metode ini dilakukan dengan cara menarik garis sejajar
garis pantai pada kedalaman 5 – 10 meter dengan panjang transek 70 meter dan lebar pengamatan
satu meter ke arah kiri dan satu meter ke arah kanan garis transek (140 m2) (Gambar 2.4). Semua
jenis megabenthos dalam transek dicatat nama jenis/spesies atau kelompok spesiesnya, terutama
spesies dan kelompok spesies megabenthos yang menjadi target monitoring, serta jumlah
14
individunya. Megabenthos target merupakan biota yang memiliki nilai ekonomis penting dan
memiliki nilai ekologis penting yang keberadaannya sangat berkaitan erat dengan kondisi
kesehatan karang. Megabenthos target monitoring terdiri dari tujuh kelompok biota seperti yang
disajikan pada Tabel 2.5. Identifikasi terhadap spesies dan kelompok spesies merujuk pada Abbott
& Dance (1990), Matsura et al. (2000), Clark & Rowe (1971), Neira & Cantera (2005) dan Colin
& Arneson (1995).
Gambar 2.4 Skema transek megabenthos dengan metode Benthos Belt Transect yang
dimodifikasikan dari metode Belt Transect.
Tabel 2.5 Spesies atau kelompok spesies megabenthos target yang menjadi objek monitoring.
No. Megabenthos Target Nama Spesies / Kelompok
Spesies
Group
1. Bintang Laut Berduri Acanthaster planci Echinodermata
2. Bulu Babi Echinoidea Echinodermata
3. Teripang Holothuroidea Echinodermata
4. Bintang Laut Biru Linckia laevigata Echinodermata
5. Kerang Kima Tridacna spp., Hippopus spp. Mollusca
6. Siput Drupella Drupella spp. Mollusca
7. Keong Lola Trochus spp., Tectus spp. Mollusca
8. Lobster Paniluridae Crustacea
2.5 Lamun
Pengamatan dilakukan berdasarkan Buku Panduan Monitoring Padang Lamun
(Rahmawati dkk., 2015) pada 20 Mei – 1 Juni 2019 pada 8 stasiun pengamatan. Untuk mengetahui
15
keberadaan, tutupan, dominansi, distribusi, keragaman dan komposisi jenis lamun, dilakukan
pengamatan langsung dan transek (Rahmawati dkk., 2015).
Untuk mengetahui keragaman dan komposisi jenis dilakukan pengamatan langsung
dengan ”snorkling” pada setiap stasiun penelitian. Untuk mengetahui tutupan dan dominansi jenis
lamun, dilakukan dengan menarik garis transek vertikal dari garis pantai dengan pendekatan
kuadrat (frame) 50 x 50cm. Transek dilakukan sebagai berikut (Gambar 2.5):
1. Titik pertama transek disisi pantai yang ditarik kearah tubir (100m). Untuk kawasan yang
sempit (tidak mencapai 100m) dilakukan sesuai kondis di area pengamatan. Penentuan titik
pertama, 5-10 m dari awal ditemukan lamun.
2. Titik awal transek diberi tanda permanen dengan patok besi dengan pelampung kecil
3. Dicatat posisi transek dengan penerima GPS. Titik awal transek No.1 pada meter ke-0.
4. Kuadrat 50 x 50cm (dibagi 4 kotak) .ditempatkan pada titik 0 m (kanan atau kiri meteran
transek, tetap)
5. Tentukan nilai % pada setiap kotak.
6. Catat komposisi jenis dan persentase masing-masing jenis dan catat substratnya.
7. Pengamatan dilakukan setiap 10 meter dan pasang patok/tanda pada titik terakhir.
Gambar 2.5 Pemasangan transek dalam pengambilan data lamun.
16
Tahapan di atas diulang (1-7) pada transek 2 dan 3 dengan jarak antar transek 50m. Untuk
padang lamun yang kurang luas, jarak antar transek 25m. Analisis data lapangan menggunakan
perangkat Microsoft Excel. Untuk tutupan dan dominansi jenis lamun dilakukan sebagai berikut:
a. Rata-rata jumlah tutupan lamun seluruh transek
Tutupan lamun (%) = ---------------------------------------------- x 100%
jumlah kuadrat seluruh transek
b. Rata-rata jumlah nilai dominasi lamun seluruh kuadrat
Nilai Dominansi = ------------------------------------------------------ x 100%
Lamun (%) jumlah kuadrat seluruh transek
Untuk penilaian kategori tutupan menurut Rahmawati dkk. (2015) ada empat kategori
yaitu: 1. jarang (0-25%), 2. cukup padat (26-50%), 3. padat (51-75%), dan 4. sangat padat.
Sedangkan untuk kondisi padang lamun berdasarkan tutupan dibagi, yaitu: 1. kaya/sehat (> 60%),
2. kurang kaya/kurang sehat (30-59,9%), dan 3. miskin (< 29,9%) (KMLH, 2004).
17
BAB 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Pemetaan Substrat Dasar Perairan Laut Dangkal
Substrat dasar perairan laut dangkal di gugus Kepulauan Taka Bonerate secara umum
dapat dikelompokkan ke dalam 3 satuan utama, yakni: satuan karang (baik karang hidup maupun
karang mati), pasir dan lamun.
Habitat karang terdiri dari karang mati dan karang hidup. Habitat ini ditemui pada bagian
rataan karang maupun tubir yang menghadap ke arah laut. Karang mati yang sudah berbentuk
batu banyak dijumpai pada reeflat. Karang mati di bagian reeflat ini mempunyai pantulan yang
lebih terang dibandingkan dengan karang yang masih utuh. Pantulannya hampir menyerupai
pantulan pasir namun teksturnya jauh lebih kasar.
Habitat substrat pasir dan pecahan karang menampakkan rona yang lebih terang pada citra.
Pasir mempunyai sifat memantulkan gelombang yang datang. Pantulan pasir menghasilkan
kenampakan yang lebih cerah karena energi yang datang akan dipantulkan kembali.
Habitat lamun berupa hamparan lamun yang luas dan ditemukan pada pinggir pantai.
Pulau-pulau di Kepulauan Taka Bonerate mempunyai hamparan padang lamun yang cukup luas.
Pantulan lamun hampir sama dengan karang. Kedua obyek ini agak sukar dibedakan secara kasat
mata dengan citra penginderaan jauh. Habitat lamum umumnya dijumpai di daerah pinggir pantai
dengan kenampakan yang lebih gelap. Habitat karang lebih ke arah tubir mendekati laut lepas.
Pada beberapa kasus, klasifikasi multispektral tidak dapat mengidentifikasi antara lamun dan
karang sehingga ditemukan lamun pada perairan tubir. Luas rataan terumbu karang Taman
Nasional Taka Bonerate yang terpetakan menggunakan citra Sentinel 2 diperkirakan 47818,66 ha.
secara rinci terbagi ke dalam 3 satuan sebagai terlihat pada Tabel 3.1 di bawah.
Tabel 3.1 Luasan satuan substrat di rataan terumbu karang Taka Bonerate.
No Satuan Luas (ha.)
1 Karang: karang hidup, karang mati, karang tertutup algae 30567,42
2 Lamun 5070,4
3 Pasir: pasir kasar, pasir halus, pasir algae, pecahan karang 12180,84
Total 47818,66
18
Gambar 3.1 Peta substrat dasar lingkungan terumbu karang Kep. Taka Bonerate,
Sulawesi Selatan.
3.2 Terumbu Karang
Kondisi fisik pantai dan terumbu karang secara umum
Taman Nasional Taka Bonerate adalah taman nasional perlindungan laut yang terbagi
menjadi pulau-pulau kecil dan sebagian besar gosong (atoll). Kondisi perairan cukup jernih serta
memiliki aliran air yang bagus. Wilayah taman nasional yang memliki populasi manusia yang
tidak terlalu padat. Terumbu karang didominasi oleh terumbu gosong. Karakateristik terumbu
pada kedalaman 0-3 meter (reef flat) yang cukup luas dengan subtrat berupa pasir. Pada
19
kedalaman diatas 4 meter (lereng terumbu) dengan kemiringan terumbu mencapai 30-45O dan
subtrat didominasi oleh (DCA) dan pecahan karang (R). Pada saat pengamatan kondisi perairan
sedikit berangin namun banyak ditemukan kapal nelayan yang cukup besar melakukan
pengambilan ikan menggunakan jaring, pancing maupun menggunakan panah. Namun pada saat
pengamatan masih banyak terdengar suara bom yang mengindikasikan masih adanya prakterk
pengambilan ikan yang merusak (destructive fishing).
Secara keseluruhan tutupan karang hidup di Taman Nasional Taka Bonerate termasuk
dalam kategori sedang dengan nilai tutupan sebesar 24,62±2,17% (Giyanto et al. 2017). Tutupan
DCA cukup tinggi dengan nilai tutupan sebesar 38,32±3,33%. Tutupan biota lain seperti karang
lunak (SC), spons (SP), makroalga (FS) dan biota lain (OT) dengan nilai tutupan sebagai berikut
6.86%,, 3.74%, 0.11% dan 11.46% (Gambar 3.2). Kondisi ini menandakan bahwa karang masih
mempunyai ruang untuk tumbuh yang luas sehingga kondisi terumbu karang dapat meningkat ke
kategori baik apabila didukung kondisi perairan yang baik. Nilai tutupan biota kompetitor tidak
terlalu tinggi sehingga masih memungkinkan untuk perkembangan larva karang dapat menempel
pada subtrat.
Gambar 3.2 Persentase tutupan masing-masing kategori benthic tahun 2019 (HC: hard coral, DC:
dead coral, DCA: dead coral with algae, SC: soft coral, SP: spons, FS: fleshy
seaweed, OT: others, R: rubble, S: sand, Si: silt, RK: Rock).
20
Deskripsi masing-masing stasiun monitoring
Stasiun TBRC01
Stasiun TBRC01 berada di Pulau Jinato masuk kedalam wilayah administrasi Desa Jinato.
Kondisi daratan dengan pantai berpasir putih. Vegetasi berupa pohon pesisir dan semak belukar.
Rataan karang panjang dengan panjang mencapai 100-150m. Titik transek berada lereng terumbu
karang dengan sudut kemiringan mencapai 45O. Titik transek dipasang pada kedalaman 6 meter.
Subtrat pada lereng terumbu karang berupa DCA dan karang masih dapat ditemukan hingga
kedalaman 30 meter (Gambar 3.3). Jenis karang keras yang banyak ditemukan adalah dari
kelompok Faviidae dan Pocilloporidae. Pada saat pengamatan dapat ditemukan hewan langka
berupa penyu sisik dan juga msih banyak terdengar bunyi bom pengambilan nelayan.
Gambar 1.3 Gambaran umum kondisi pantai stasiun TBRC01 (kiri) dan kondisi lereng terumbu
karang (kanan).
Tutupan karang hidup di stasiun TBRC01 cukup tinggi mencapai 31,73% dan masuk
dalam kategori sedang (Giyanto et al, 2017). Tutupan karang didominasi oleh tutupan non-
Acropora dengan tutupan sebesar 31,73%. Tutupan kategori bentik lain seperti karang lunak,
spons dan biota lain tercatat sebesar 6,73%, 1% dan 6,53%. Tutupan subtrat didominasi oleh DCA
dengan tutupan sebesar 49,87%. Untuk tutupan lain seperti pecahan karang (R) dan pasir adalah
3,53% dan 0,6%.
21
Stasiun TBRC02
Stasiun TBRC02 berada di Taka Latigiang. Kondisi permukaan dengan pantai berupa pasir
putih dengan vegetasi semak dan pohon pesisir. Rataan karang dengan panjang mencapai 100m
dengan subtrat berupa pasir putih dan pecahan karang. Titik transek berada di lereng terumbu
dengan kedalaman 6m. Lereng terumbu dengan subtrat berupa pecahan karang. Kondisi perairan
cukup jernih dengan jarak pandang horizontal mencapai 10-15m. Lereng terumbu karang cukup
landai dengan sudut kemiringan mencapai 15-20%. Jenis karang dapat ditemukan di lokasi transek
adalah Porites spp. dan Montipora spp.(Gambar 3.4). Pada lokasi pengamatan masih dapat
ditemukan penyu sisik. Selain itu juga masih dapat terdengar bunyi bom penangkapan ikan.
Gambar 3.2 Gambaran lokasi pengambilan data di stasiun TBRC02 (kiri) dan transek yang berada
pada tubir dengan subtrat berupa pecahan karang (kanan).
Tutupan karang di stasiun TBRC02 tercatat sebesar 15,93% dan masuk dalam kategori
rendah. Tutupan DCA di lokasi ini tercatat 47,53%. Untuk kategori subtrat lainnya tutupan
pecahan karang mencapai 17,53%. Untuk tutupan biota kompetitor seperti spons dan karang lunak
tercatat dibawah 3% namun untuk biota lain tercatat sebesar 7,73%.
Stasiun TBRC03
StasiunTBRC03 berada di atol sebelah selatan dan berada cukup jauh dari pulau
berpenduduk. Rataan karang cukup panjang mencapai 300m. Lereng terumbu karang landai
dengan kedalaman maksimal 10m. Subtrat pada lereng terumbu berupa DCA dan pecahan karang
mati atau (R). Koloni karang banyak yang patah dan terguling. Hal ini diindikasikan merupakan
lokasi bekas pengeboman yang terjadi sudah lama (Gambar 3.5).
22
Gambar 3.3 Gambaran kondisi stasiun TBRC03, jenis karang yang mendominasi di stasiun
TBRC03 adalah Porites spp (kiri) dan Anacropora puertogalerae (kanan).
Tutupan karang di stasiun TBRC03 tercatat sebesar 26,53% yang didominasi oleh tutupan
karang non Acropora sebesar 24,87% sementara tutupan Acropora 1,67%. Tutupan karanng
masuk dalam kategori sedang (Giyanto et al, 2017). Tutupan DCA tercatat sebesar 57,33% dengan
nilai tutupan subtrat lain sebesar 6,73%. Tutupan biota bentik lain seperti SC, SP dan OT tercatat
sebesar 0,53%, 1,87% dan 2,4%. Tutupan subtrat pecahan karang (R) tercatat 4,47%.
Stasiun TBRC04
Stasiun TBRC04 berada di sekitar Pulau Latondu Kecil. Kondisi pantai berupa pantai
berpasir putih dengan vegetasi berupa tumbuhan pantai dan perdu. Rataan karang panjang dengan
panjang mencapai 150m. Subtrat didominasi oleh pasir dengan karang tumbuh bergerombol.
Lereng terumbu terjal dengan sudut kemiringan mencapai 40O. Lereng terumbu dengan subtrat
berupa DCA. Karang dapat dijumpai hingga kedalaman 30m. Transek dipasang pada lereng
terumbu karang di kedalaman 5m. Karang yang sering dijumpai pada transek adalah Porites lutea
dan kelompok karang dari famili Faviidae serta karang lunak berupa Sarcophyton (Gambar 3.6).
Tutupan karang hidup pada stasiun TBRC04 tercatat sebesar 22,53% dan masuk kategori
sedang. Tutupan biota kompetitor seperti SC, SP dan OT tercatat sebesar 9,07%, 4,6% dan 13,8%.
Hal ini perlu diperhatikan dikarenakan dengan dapat menjadi kompetitor subtrat pertumbuhan dan
penempelan larva karang. Meskipun tutupan DCA masih cukup tinggi 47,73% perlu diperhatikan
karena dalam kondisi tidak menguntungkan untuk karang tumbuh akan ditutupi oleh biota bentik
lainnya.
23
Gambar 3.4 Gambaran umum kondisi pantai pada stasiun TBRC04 (kiri) dan kondisi lereng
terumbu tempat lokasi transek (kanan).
Stasiun TBRC05
Stasiun TBRC05 berada di sekitar Pulau Belang-Belang. Kondisi daratan berupa pantai
berpasir putih. Rataan terumbu panjang dengan panjang mencapai 100-150m. Subtrat berupa pasir
dengan karang hidup bergerombol. Lereng terumbu karang terjal dengan sudut kemiringan
mencapai 30-40O. Subtrat lereng terumbu karang berupa DCA. Karang masih dapat ditemukan
hingga kedalaman 30m. Transek dipasang pada lereng terumbu dengan kedalaman 5m. Kondisi
perairan cukup jernih dengan jarak pandang horizontal mencapai 20m (Gambar 3.7).
Gambar 3.5 Gambaran umum kondisi pantai pada stasiun TBRC05 (kiri) dan karang lunak yang
banyak menumbuhi lereng terumbu (kanan).
Tutupan terumbu karang di stasiun TBRC05 masuk dalam kategori sedang. Tutupan
karang hidup tercatat sebesar 24,93% yang didominasi oleh tutupan karang non-Acropora.
Tutupan bentik kategori kompetitor memiliki nilai tutupan yang cukup besar yaitu SC (11,07%),
24
SP (13,07%) dan OT (17,07%). Untuk tutupan subtrat seperti karang mati ditumbuhi alga (DCA),
pecahan karang (R) dan pasir (S) dengan nilai tutupan sebesar 33,13%, 0,2% dan 0,4%.
Stasiun TBRC06
Stasiun TBRCC06 terletak di Pulau Tarupa kecil. Lokasi pengamatan berupa gosong
dengan rataan karang luas dengan panjanga hingga 200m. Rataan karang dengan subtrat pasir.
Lereng terumbu cukup terjal dengan sudut kemiringan mencapai 30O. Karang hidup dapat
ditemukan hingga kedalam 20m. Transek dipasang di lereng terumbu dengan kedalaman 5m. Pada
saat pengamatan kondisi perairan jernih dengan jarak pandan gmencapai 10-15m. Penggunaan
bom untuk kegiatan penangkapan ikan masih dapat dijumpai di stasiun ini, terlihat dari adanya
bunyi bom saat dilakukan pengambilan data. Karang yang sering dijumpai adalah Acropora
bruggeman, Porites lutea dan Porites cylindrical (Gambar 3.8).
Gambar 3.6 Gambaran stasiun di lepas pantai P. Tarupa Kcl pengamatan TBRC06 (kiri) dan
kondisi terumbu di lokasi pengambilan (kanan)..
Tutupan karang di stasiun TBRC06 sebesar 17,13% didominasi oleh kelompok karang
non-Acropora. Tutupan subtrat didominasi oleh tutupan karang mati yang ditumbuhi oleh agar
dengan nilai tutupan mencapai 38,2%. Yang perlu diperhatikan adalah tutupan spons yang tercatat
sebesar 8,6% dan tutupan biota lain (23,8%). Hal ini dapat menjadi pensaing larva karang yang
akan menempel mengingat tutupan DCA yang tidak terlalu besar.
25
Stasiun TBRC07
Stasiun TBRC07 terletak di Pulau Tinabo. Kondisi daratan berupa pantai berpasir putih
dengan tumbuhan berupa perdu dan tanaman pantai. Rataan panjang dengan panjang mencapai
100-200m. Lereng terumbu dengan subtrat berupa karang mati yang ditumbuhi algae dan pasir.
Lereng terumbu landai dengan sudut kemiringan mencapai 20O. Karang hidup masih dapat
ditemukan hingga kedalaman 12m. jenis karang yang sering dijumpai di lokasi transek adalah
Porites cylindrica, Pocillopora verrucose, Diploastrea heliopore dan Porites lutea (Gambar 3.9).
Transek dipasang pada kedalaman 5m. Kondisi perairan ckup baik dengan jarak pandang
horizontal mencapai 10m.
Gambar 3.7 Gambaran kondisi daratan pantai berpasir lokasi stasiun TBRC07 (kiri) dan karang
jenis Porites cylindrica yang banyak ditemui di lokasi transek (kanan).
Tutupan karang hidup di lokasi ini tercatat sebesar 35,93% (Acropora 3,93% dan non
Acropora 32%) dan merupakan tutupan tertinggi di antara lokasi. Tutupan karang masuk dalam
kategori baik. Tutupan DCA tercatat sebesar 37,53% sementara tutupan subtrat lainnnya seperti
R dan S tercatat sebesar 12,67% dan 7,13%. Tutupan kategori benthic lainnya sperti karang lunak,
spons, makroalgae dan biota lain tercatat sebesar 0,2%, 1,4%, 0,4% dan 4,73%.
Stasiun TBRC08
Stasiun TBRC08 berada di bagian dalam dari Taka Gantarang. Terumbu karang dengan
tipe atoll dengan rataan karang pendek. Lokasi transek berada pada lereng terumbu pada bagian
dalam (masuk ke dalam lagoon). Lereng terumbu landai dengan sudut kemiringan mencapai 20O.
Subtrat lereng berupa karang mati ditumbuhi algae. Transek dipasang pada kedalaman 5 m dengan
26
kondisi perairan cukup jernih (jarakpandang horizontal 10-15m). Jenis karang keras yang banyak
dijumpai adalah Stylophora sp., Porites cylindrica dan Goniopora sp. dengan tumbuh berupa
patches. Karang dapat tumbuh mencapai 15m. Selain itu ditemukan juga jenis lamun yang tumbuh
di perairan 10m (Thalassodendron) (Gambar 3.10).
Gambar 3.8 Gambaran umum stasiun TBRC08, transek dilakukan pada lereng terumbu landai
(kiri) dan karang Porites cylindrica yang banyak dijumpai di lokasi.
Tutupan karang hidup di stasiun TBRC08 masuk kedalam kategori sedang. Tutupan
karang hidup tercatat sebesar 26,53% dengan tutupan Acropora 1,4% dan non-Acropora 25,13%.
Tutupan bentik kategori lain seperti karang lunak (SC), spons (SP), dan biota lain (OT) tercatat
sebesar 0.93%, 2.67% dan 5.27%. Sementra untuk tutupan tipe subtrat seperti karang mati yang
ditumbuhi algae (DCA), pecahan karang mati (R) dan Pasir (S) tercatat sebesar 20,67%, 13,87%
dan 29,93%. Kondisi ini perlu diperhatikan karena nilai spons yang cukup tinggi dapat
mempengaruhi pertumbuhan larva karang karena adanya kompetisi.
Stasiun TBRCC09
Stasiun TBRC09 berada di daerah terumbu karang dengan tipe atoll. Lokasi pengambilan
data berada di lereng terumbu karang terjal dengan sudut kemiringan mencapai 45O. Lereng
terumbu bersubtrat karang mati yang didominasi oleh pasir. Pertumbuhan karang bersifat
patchy/menggerombol diselingi dengan pasir. Lokasi transek berada di kedalaman 5m dan kondisi
perairan jernih dengan jarak pandang horizontal 10-13m. Di lokasi banyak ditemukan “spoor”
tempat arus masuk kepermukaan dan sering terdengar suara bom. Karang batu yang sering
27
dijumpai di lokasi adalah Porites cylindrica, Pocillopora verrucosa dan Hydnophora rigida.
Karang masih dapat ditemukan hingga kedalaman 40m.
Gambar 3.9 Gambaran kondisi terumbu karang di stasiun pengamatan, kiri: pertumbuhan karang
patchy dan kanan: karang mendominasi adalah Porites cylindrica di lokasi transek.
Tutupan karang hidup sebesar 14,87%, didominasi oleh karang non-Acropora. Kondisi
terumbu karang terkategori jelek. Karena tutupan kompetitor karang seperti SC, OT, dan SP tinggi
dengan nilai tutupan 22,67%, 28,73% dan 3,87%. Di sisi lain tutupan DCA tercatat kecil sebesar
24,07%. Hal ini akan meningkatkan kompetisi antar bentik kategori untuk memperebutkan ruang
tumbuh. Dengan ini dikhawatirkan akan menyebabkan turunnya tutupan karang hidup.
Stasiun TBRC10
Stasiun TBRC10 berada di terumbu karang tipe atol. Lereng terumbu cukup landau, sudut
kemiringan mencapai 20O. Lereng terumbu karang bersubtrat DCA dan pasir. Transek dipasang
pada lereng pada kedalaman 7m. Perairan cukup jernih dengan jarak pandang mencapai 10-13m.
Jenis karang keras yang sering dijumpai dilokasi transek adalah Porites cylindrica, Porites lobata
dan Porites rus (Gambar 3.12). Karang hidup masih dapat dijumpai hingga kedalaman 30m.
Tutupan karang di stasiun TBRC10 tercatat sebesar 24,8% didominasi oleh non-Acropora
dimana tutupan sebesar 24,73%. Kondisi terumbu karang masuk dalam kategori sedang (Giyanto
et al., 2017). Tutupan DCA pada lokasi ini tercatat cukup besar diatas 40%. Tutupan biota lain
tercatat sebesar 13,6% sementara spons dan krang lunak tercatat sebesar 1,07% dan 5,33%.
28
Gambar 3.10 Gambaran kondisi stasiun TBRC10, kondisi terumbu di sekitar transek (kiri) dan
Achantaster planci yang ditemukan di sekitar lokasi (kanan).
Stasiun TBRC11
Stasiun TBRC11 berada di terumbu dengan tipe atoll. Atoll memanjang dengan subtrat
berupa DCA dan pasir. Lereng terumbu karang terjal dengan sudut kemiringan mencapai 45O.
Lereng terumbu karang memiliki subtrat berupa DCA dan pasir. Transek dipasang pada
kedalaman 9m. Kondisi perairan saat pengambilan data cukup jernih dengan jarak pandang
horizontal mencapai 15m. Jenis karang yang mendominasi pada lokasi transek adalah Porites
cylindrica. Karang masih dapat ditemukan hingga kedalaman 40m (Gambar 3.13).
Gambar 3.11 Gambaran kondisi terumbu karang stasiun TBRCC11 (kiri) dan penyu yang masih
sering tampak saat pengamatan (kanan).
Tutupan karang hidup mencapai 37,07% yang didominasi oleh tutupan karang non-
Acropora. Tutupan karang meggambaran kondisi terumbu pada kategori tinggi. Sementara itu
tutupan DCA tercatat sebesar 30,47%. Untuk nilai tutupan benthic kategori lain seperti karang
lunak (SC), spons (SP) dan biota lain (OT) tercatat 13,07%, 2,07% dan 10,93%.
29
Stasiun TBRC12
Stasiun TBRC12 terletak di bagian selatan Taman Nasional Tak Bonerate. Lokasi berada
pada atoll yang luas dengan subtrat berupa pasir dan DCA. Karang tumbuh dalam gerombolan
diselingi pasir dan pecahan karang. Lereng terumbu karang terjal dengan sudut kemiringan 45O.
Lereng terumbu karang bersubtrat pasir dan DCA Transek dipasang pada lereng terumbu pada
kedalaman 9m. Kondisi perairan pada saat pengamatan jernih dengan jarak pandang horizontal
15m. Jenis karang yang sering dijumpai adalah Porites lutea, Pocillopora damicornis dan
kelompok karang Faviidae. Karang hidup masih dapat ditemukan hingga kedalaman 25m
(Gambar 3.14).
Gambar 3.12 Gambaran kondisi terumbu karang di lokasi transek dan stasiun TBRC12 (kiri) dan
salah satu ancaman terhadap tutupan karang hidup (kanan).
Tutupan karang hidup di stasiun TBRC12 tercatat sebesar 17,4% dengan pembagian
Acropora sebesar 1,13% dan non-Acropora 16,27%. Kondisi terumbu karang masuk dalam
kategori jelek. Jika dilihat dari nilai tutupan kompetitor seperti spons (SP) yang cukup tinggi perlu
diperhatikan dikarenakan nilai tutupan subtrat stabil (DCA) yang cukup rendah (27,20%) dapat
menjadi faktor pengahambat pertumbuhan juvenil karang (kompetisi perebutan ruang).
Tutupan kategori bentik
Secara keseluruhan tutupan karang di Taman Nasional Taka Bonerate tercatat sebesar
24,62±2,17% dan masuk kedalam kategori sedang. Jika dibandingkan dengan tutupan karang
hidup di beberapa taman nasional perairan di Indonesia seperti Wakatobi (29,48%) dan TWP
Padaido (35,25%), nilai tutupan karang pada tahun 2019 di TN Taka Bonerate adalah yang paling
rendah. Nilai tutupan yang rendah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik alami maupun
30
anthrpogenik. Pada tahun 2015 terdapat indikasi adanya kenaikan suhu permukaan air laut yang
dapat menyebabkan kematian masal karang di Samudera Hindia dan Pasifik yang dapat
memberikan efek terhadapt perairan di Indonesia (AIMS, 2016; Ampou et al., 2016). Tutupan
karang terendah tercatat di stasiun TBRC09 dengan nilai sebesar 14,87%, sebaliknya Tutupan
karang hidup tertinggi tercatat di stasiun TBRC11 (37,07%). Dari 12 stasiun pengamatan dapat
dibagikan menjadi 3 stasiun masuk ketegori jelek, 7 stasiun masuk kategori sedang dan 2 stasiun
masuk kedalam baik. NIlai tutupan karang hidup ini Untuk bentik kategori lain seperti karang
lunak (SC), spons (SP) dan biota lain (OT) dengan nilai tutupan sebesar 6,86%, 3.74% dan
11.46%. Sementara itu tutupan subtrat tercatat sebesar 38,32% (DCA), 6,35% (R) dan 8,27% (S).
Tingginya tutupan kategori bentik lain dapat menjadi kompetitor ruang bagi pertumbuhan karang.
Namun disisi lain kondisi perairan dengan aliran yang baik dan kondisi yang masih bersih
sehingga dapat memberikan kondisi ideal untuk pertumbuhan karang. Pada saat pengamatan
masih banyak ditemukan adanya penggunaan bom oleh nelayan, jika tidak diawasi akan berakibat
negatif terhadap karang, efeknya dapat memberikan efek destructive kepada terumbu karang.
Tutupan kategori bentik terumbu karang Kep. Taka Bonerate disajikan pada Lampiran 1.
Gambar 3.13 Trend persentase tutupan masing-masing kategori benthic periode 2015 dan 2019
(HC: hard coral, DC: dead coral, DCA: dead coral with algae, SC: soft coral, SP:
spons, FS: fleshy seaweed, OT: others, R: rubble, S: sand, Si: silt, RK: Rock).
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
Tutu
pan
(%
)
RK
SI
S
R
OT
FS
SP
SC
DCA
DC
31
Kekayaan jenis-jenis karang keras
Dari hasil pengamatan 12 stasiun monitoring, dapat ditemukan jumlah karang keras
sebesar 397 jenis dari 70 marga dan 18 famili (
Kode Keterangan
HC : Hard Coral = Karang batu hidup - AC : Acropora = karang batu marga Acropora - NAC : Non Acropora = karang batu selain marga Acropora DC : Dead Coral = karang mati DCA : Dead Coral with Algae = karang mati yang telah ditumbuhi alga SC : Soft Coral = karang lunak SP : Sponge = spon FS : Fleshy Seaweed = alga OT : Other Fauna = fauna lain R : Rubble = pecahan karang S : Sand = pasir SI : Silt = lumpur RK : Rock = batuan
32
Lampiran 2). Jika dibandingkan dengan keanekaragaman jenis karang di Taman Nasional
Wakatobi 2019 mencapai 297 jenis karang, keanekaragaman jenis karang keras yang ditemukan
di Taman Nasional Taka Bonerate tinggi dan mewakili 66,99% jenis karang yang ada di Indonesia
(569 jenis) (Suharsono, 2017). Kondisi perairan yang berada diantara 3 lokasi perairan besar (Selat
Makassar, Laut Banda dan Laut Jawa) memberikan efek positif dimana adanya supply larva dari
kedua lokasi tersebut. Selain itu juga kondisi perairan yang jernih dan aliran air yang baik
memberikan kondisi yang baik untuk pertumbuhan karang (Veron 2011). Selain itu, perairan
Taman nasional Taka Bonerate masuk ke dalam wilayah Segitiga Karang Dunia yang merupakan
pusat keanekaragaman karang tertinggi. Dalam hal ini, daerah segitiga karang dunia merupakan
daerah overlapping antara pusat keanekaragaman hayati dari Samudra Pasifik dan Hindia. Stasiun
TBRC02 memiliki keanekaragaman paling tinggi dengan jumlah sebanyak 187 jenis karang
sementara stasiun TBRC03 lokasi dengan jumlah karang paling rendah (93 jenis).
Kelompok karang Acroporidae merupakan kelompok karang dengan jenis yang paling
banyak ditemukan dengan jumlah jenis mencapai 122 jenis karang keras. kondisi perairan terbuka
dan berarus memberikan sirkulasi perairan yang baik, sehingga karang dari genus Acropora dapat
tumbuh dengan baik (Kandorp, 1999). Pada beberapa lokasi tutupan karang Acropora memiliki
tutupan yang cukup tinggi. Acropora termasuk jenis yang mampu tumbuh dengan cepat dan
mampu mendominasi terumbu sehingga karang jenis lain akan kesulitan untuk muncul. Kelompok
karang yang memiliki jenis karang yang memiliki keanekaragaman tertinggi kedua dengan jumlah
jenis sebanyak 86 jenis. Jenis karang ini yang mempunyai tingkat toleransi yang tinggi terhadap
sedimentasi dan mampu beraklimatisasi dengan baik di kondisi heterotroph (Sanders and Szabo,
2005).
Indeks kesehatan Terumbu Karang
Indeks kesehatan terumbu karang di Taman Nasional Taka Bonerate 2019 secara umum
tercatat sebesar 5 dengan nilai tutupan karang hidup dalam kategori medium. Sementara untuk
biomassa ikan masuk kedalam kategori rendah. Di sisi lain nilai resiliensi terumbu karang tinggi
dengan nilai tutupan makroalga dan patahan karang tercatat 0,11% dan 6.35%. Nilai indeks
kesehatan terumbu karanga dapat dilihar pada Tabel 3.2 dan Gambar 3.16.
33
Tabel 3.2 Nilai indeks kesehatan terumbu karang di Taka Bonerate
Tahun
LC (%) Kategori
Kondisi
Terkini
R (%) FS
(%)
Kategori
Pemulihan
Total Biomassa
Ikan Target
(kg/ha)
Kategori
Biomassa
Nilai Indeks
Kesehatan
Terumbu
Karang
2019 24,62 Tinggi 6,35 0,11 Tinggi 4888,88 Rendah 5
Gambar 3.14 Indeks kesehatan di Taman Nasional Taka Bonerate 2019.
Indeks kesehatan karang menggabungkan unsur tutupan karang hidup, tingkat resiliensi
dan biomasa ikan. Dengan mengetahui indeks kesehatan terumbu karang dapat menggambarkan
kondisi terumbu karang lebih representatif. Menilai kesehatan terumbu karang dapat dilihat dari
kemampuannya untuk kembali pulih (recovery) setelah terjadi degradasi dan fungsi ekologisnya
dalam menyediakan habitat ikan-ikan karang. Oleh karena itu, definisi terumbu karang sehat
mempunyai tutupan karang dan tingkat resiliensi tinggi serta biomassa ikan karang yang tinggi.
34
Indeks kesehatan terumbu karang pada masing masing stasiun berada di range 3-7. Indeks
kesehatan terumbu karang terendah tercatat di stasiun TBRC02, TBRC06, TBRC09 dan TBRC12.
Sementara indeks paling tinggi tercatat di stasiun TBRC01. Namun secara umum nilai indeks
paling banyak berada di nilai indeks 5 dan 6. Nilai indeks ini menggambarkan kondisi terumbu
karang. Jika dilihat dari indikator yang berperan penting dalam kondisi terumbu karang di Taka
Bonerate adalah nilai tutupan karang dan biomasa ikan. Nilai tutupan karang disebagian besar
lokasi berada dalam kategori sedang dan jelek. Di sisi lain biomassa ikan target terutama ikan
herbivor tercatat rendah. Rendahnya biomasa ikan herbivor dapat memberikan efek negatif,
dimana tidak adanya pengontrol makroalga menyebabkan pertumbuhan yang cepat dan akan
meningkatkan kompetisi ruang antar bentik kategori (Smith et al., 2010; Wilson et al., 2008).
3.3 Ikan Karang
Keragaman Jenis
Jumlah keseluruhan jenis ikan dari suku Chaetodontidae yang teridentifikasi pada 12
stasiun penelitian sebanyak 22 species dari 5 genus yang umum dapat ditemukan di perairan
karang. Kehadiran jenis pada setiap stasiun jauh lebih rendah dari species yang tersedia tersebut.
Variasi jumlah jenis pada masing-masing stasiun berkisar antara 3 sampai 10 species. Stasiun
yang dianggap buruk dari kehadiran ikan koralivora dapat dipertimbangkan terjadi pada semua
stasiun, yang terburuk adalah TBR08 (Gambar 3.17). Species ikan koralivora disajikan pada Tabel
3.2). Keragaman jenis ikan karang dari 7 suku terpilih juga bervariasi antar stasiun dari total jenis
yang tersedia pada seluruh stasiun sebanyak 69 species. Keragaman jenis pada masing-masing
stasiun tergolong rendah. Variasi kehadiran jenis antara 14 species sampai 34 species (Gambar
3.18). Kehadiran kelompok ikan herbivora bervariasi antara 11 species sampai 22 species.
Kehadiran kelompok ikan karnivora bervariasi antara 3 species sampai 16 species. Kelompok ikan
herbivora lebih banyak dari karnivora (Tabel 3.3). Hasil indentifikasi ikan karang dari 7 suku
terpilih untuk seluruhnya (Tabel 3.4) dan secara detail disajikan pada Lampiran 3.
35
Gambar 3.17 Variasi jumlah jenis ikan kelompok koralivora dari suku Chaetodontidae
Tabel 3.3 Jumlah individu kelompok ikan koralivora menurut nama jenis ikan dan lokasi
penelitian.
No CHAETODONTIDAE
TB
R 0
1
TB
R 0
2
TB
R 0
3
TB
R 0
4
TB
R 0
5
TB
R 0
6
TB
R 0
7
TB
R 0
8
TB
R 0
9
TB
R 1
0
TB
R 1
1
TB
R 1
2
1 Chaetodon auriga 1
2 Chaetodon baronessa 2 2 4 2
3 Chaetodon citrinellus 2
4 Chaetodon kleinii 7 3 14 13 12 6 9 23 6 14 2
5 Chaetodon lunula 1
6 Chaetodon lunulatus 2 6 2 2 4 5 3 2 4
7 Chaetodon melannotus 3 2 3 7 8 2
8 Chaetodon ornatissimus 2
9 Chaetodon punctatofasciatus 4 1 2 3 2 4 2 2
10 Chaetodon rafflesii 2 2 2 3
11 Chaetodon speculum 1 2
12 Chaetodon trifascialis 2 4
13 Chaetodon ulietensis 2 2 2
14 Chaetodon unimaculatus 2
15 Chaetodon vagabundus 1 2 2
16 Chaetodon xanthurus 1 1
17 Coradion chryzostomus 3
18 Forcipiger flavissimus 2 4 2 3 4 4
19 Forcipiger longilostris 4 2
20 Hemitaurichthys polylepis 21 14 14 17 6
21 Heniochus chrysostomus 2 4 12 3 3 2 2 2
22 Heniochus varius 2 2 2 2 1 2
Jumlah Individu (ekor/350 m2) 46 33 25 52 27 16 23 13 50 37 35 17
36
Gambar 3.18 Variasi jumlah jenis ikan karang menurut lokasi penelitian
Tabel 3.4 Variasi jumlah jenis kelompok fungsional ikan karang menurut suku dan lokasi
penelitian
Kepadatan
Kepadatan pertransek kelompok ikan koralivora, herbivora dan karnivora tergolong
rendah. Variasi kepadatan ikan koralivora berkisar antara 13 sampai 52 ekor/350 m2. Kepadatan
ikan koralivora yang relatif tinggi diantaranya terdapat pada stasiun TBR 04 dan TBR 09 (Gambar
3.19). Variasi kepadatan ikan karang dari 7 suku terpilih berkisar antara 106 ekor/350 m2 sampai
188 ekor/350 m2 atau setara dengan 3.028 ekor/ha sampai 5.371 ekor/ha (Gambar 3.20).
Kepadatan ikan karang dari 7 suku terpilih yang relatif tinggi diantara ke 12 stasiun terdapat pada
Kelompok Ikan
TB
R 0
1
TB
R 0
2
TB
R 0
3
TB
R 0
4
TB
R 0
5
TB
R 0
6
TB
R 0
7
TB
R 0
8
TB
R 0
9
TB
R 1
0
TB
R 1
1
TB
R 1
2
Karnivora
SERRANIDAE 7 1 3 7 2 2 7 1 3 5 5 4
LUTJANIDAE 5 2 1 5 3 3 5 0 1 6 5 7
LETHRINIDAE 2 0 2 2 1 3 2 2 1 1 1 1
HAEMULIDAE 2 0 1 1 0 1 1 1 0 1 2 0
Jumlah Jenis /transek 350M2 16 3 7 15 6 9 15 4 5 13 13 12
Herbivora
ACANTHURIDAE 8 5 6 7 9 5 9 6 7 10 8 5
SCARIDAE 6 4 6 7 11 6 6 10 6 7 8 8
SIGANIDAE 3 2 5 1 2 1 4 6 3 2 1 1
Jumlah Jenis /transek 350 M2 17 11 17 15 22 12 19 22 16 19 17 14
37
stasiun TBR 01, TBR 05 dan TBR 10, dimana kelompok ikan herbivora lebih padat dibanding
kelompok ikan karnivora pada semua stasiun (Tabel 3.5).
Gambar 3.19 Kepadatan ikan koralivora menurut letak stasiun penelitian.
Gambar 3.20 Kepadatan dan sediaan ikan karang dari 7 suku terpilih.
Tabel 3.5 Variasi kepadatan kelompok fungsional ikan karang menurut suku dan lokasi penelitian
KELOMPOK IKAN
TB
R 0
1
TB
R 0
2
TB
R 0
3
TB
R 0
4
TB
R 0
5
TB
R 0
6
TB
R 0
7
TB
R 0
8
TB
R 0
9
TB
R 1
0
TB
R 1
1
TB
R 1
2
Koralivora
SERRANIDAE 18 2 7 24 6 7 8 1 11 14 21 7
LUTJANIDAE 35 7 2 25 4 8 12 0 1 30 34 57
LETHRINIDAE 5 0 3 5 5 34 10 12 14 9 15 2
HAEMULIDAE 5 0 1 1 0 2 1 1 0 1 2 0
Jumlah Individu (ekor/350 m2) 63 9 13 55 15 51 31 14 26 54 72 66
Herbivora
ACANTHURIDAE 57 44 77 37 101 32 58 37 88 72 55 47
SCARIDAE 50 58 52 30 55 22 26 49 33 51 22 22
SIGANIDAE 8 12 12 4 5 1 13 17 7 11 2 2
Jumlah Individu (ekor/350 m2) 115 114 141 71 161 55 97 103 128 134 79 71
38
Biomassa
Hasil analisa data untuk nilai biomassa disajikan pada Lampiran 4. Ukuran ikan dan koloni
ikan karang sangat berpengaruh pada biomassanya. Pada umumnya ukuran ikan karang dari 7
suku terpilih yang dijumpai masih kecil di hampir semua stasiun. Contoh area yang memiliki
banyak anakan ikan terdapat pada stasiun TBR 02, TBR 06, TBR 09, dan TBR 11, dimana
biomassa di stasiun tersebut sangat rendah. Adapun ikan berkoloni sebagai penyumbang biomassa
ikan tertinggi dijumpai pada stasiun TBR 01, TBR 04, TBR 10 dan TBR 12, yang mana jenis ikan
tersebut diantaranya adalah Lutjanus gibbus, Acanthurus spp., Chlorurus spp, Scarus spp, dan
Monotaxis grandoculis. Variasi biomassa tertinggi adalah 1.044 kg/ha yang dijumpai pada stasiun
TBR 01 dan terendah adalah 92 kg/ha yang dijumpai pada stasiun TBR 06 (Gambar 3.21).
Gambar 3.21 Biomassa dan sediaan ikan karang menurut lokasi stasiun penelitian
Biomassa herbivora dan karnivora tergolong rendah, Rata-rata per stasiun kelompok
herbivora (9,8 kg/350 m2) sedikit lebih tinggi kelompok karnivora (7,3 kg/350 m2) (Tabel 3.6).
Tabel 3.6 Variasi biomassa kelompok fungsional ikan karang menurut suku dan lokasi penelitian
TBR
01
TBR
02
TBR
03
TBR
04
TBR
05
TBR
06
TBR
07
TBR
08
TBR
09
TBR
10
TBR
11
TBR
12
KarnivoraSERRANIDAE 4.714 119 1.758 4.673 782 662 1.355 115 1.046 1.615 1.747 2.065 LUTJANIDAE 10.842 392 586 6.242 1.498 331 4.581 - 18 8.446 2.208 8.572 LETHRINIDAE 2.644 - 1.204 1.606 494 541 3.914 2.032 583 2.202 1.471 842 HAEMULIDAE 1.759 - 711 711 - 184 711 711 - 110 592 -
Total Biomassa (gram/350m2)19.960 511 4.260 13.231 2.774 1.719 10.561 2.859 1.647 12.372 6.019 11.479
HerbivoraACANTHURIDAE 7.349 927 6.043 4.515 5.883 451 5.291 3.660 1.353 2.927 3.547 1.383 SCARIDAE 7.546 2.491 8.181 4.677 11.404 1.020 4.888 8.853 1.100 3.594 2.137 4.442 SIGANIDAE 1.698 321 1.933 786 943 36 1.564 4.912 274 1.435 188 188
Total Biomassa (gram/350m2)16.592 3.739 16.157 9.979 18.230 1.507 11.743 17.424 2.727 7.956 5.872 6.014
Kelompok Ikan
39
Komposisi
Kehadiran kelompok ikan koralivora didominasi jenis Chaetodon klenii dan
Hemitaurichthys polylepis. Komposisi jenis ikan koralivora menurut jumlah individual yang
terdata berturut-turut dari mulai persentasi yang tertinggi sampai terendah dapat dilihat pada Tabel
3.7. Sepuluh besar jenis koralivora yang mendominasi komunitasnya adalah Chaetodon kleinii,
Hemitaurichthys polylepis, Chaetodon lunulatus, Heniochus chrysostomus, Chaetodon
melannotus, Chaetodon punctatofasciatus, Forcipiger flavissimus, Heniochus varius, Chaetodon
baronessa, dan Chaetodon rafflesii.
Tabel 3.7 Komposisi jenis kelompok ikan koralivora menurut kehadiran individualnya
No JENIS % No JENIS % 1 Chaetodon kleinii 29,1 12 Chaetodon ulietensis 1,6
2 Hemitaurichthys polylepis 19,3 13 Forcipiger longilostris 1,6
3 Chaetodon lunulatus 8,0 14 Chaetodon vagabundus 1,3
4 Heniochus chrysostomus 8,0 15 Chaetodon speculum 0,8
5 Chaetodon melannotus 6,7 16 Coradion chryzostomus 0,8
6 Chaetodon punctatofasciatus 5,3 17 Chaetodon citrinellus 0,5
7 Forcipiger flavissimus 5,1 18 Chaetodon ornatissimus 0,5
8 Heniochus varius 2,9 19 Chaetodon unimaculatus 0,5
9 Chaetodon baronessa 2,7 20 Chaetodon xanthurus 0,5
10 Chaetodon rafflesii 2,4 21 Chaetodon auriga 0,3
11 Chaetodon trifascialis 1,6 22 Chaetodon lunula 0,3
Komposisi jenis kelompok herbivora dan karnivora dari 7 suku terpilih disajikan pada
Tabel 3.8. Sepuluh besar jenis ikan karang yang mendominasi dalam komunitasnya adalah
berturut-turut Ctenochaetus striatus, Chlorurus sordidus, Lutjanus gibbus, Zebrasoma scopas,
Acanthurus pyroferus, Monotaxis grandoculis, Scarus flavipectoralis, dan Acanthurus thompsoni.
Tabel 3.8 Komposisi jenis kelompok ikan karang dari 7 suku terpilih menurut kehadiran
individualnya.
No JENIS SUKU Ekor % No JENIS SUKU Ekor %
1 Ctenochaetus striatus Acanthuridae 210 13.06 36 Cetoscarus ocellatus Scaridae 9 0.56
2 Chlorurus sordidus Scaridae 189 11.75 37 Siganus corallinus Siganidae 9 0.56
3 Lutjanus gibbus Lutjanidae 101 6.28 38 Lethrinus erythropterus Lethrinidae 8 0.50
4 Zebrasoma scopas Acanthuridae 89 5.53 39 Naso lituratus Acanthuridae 8 0.50
5 Acanthurus pyroferus Acanthuridae 81 5.04 40 Aprion verescens Lutjanidae 7 0.44
6 Monotaxis grandoculis Lethrinidae 73 4.54 41 Hipposcarus longiceps Scaridae 7 0.44
7 Scarus flavipectoralis Scaridae 70 4.35 42 Siganus punctatissimus Siganidae 7 0.44
8 Acanthurus thompsoni Acanthuridae 68 4.23 43 Lutjanus fulvus Lutjanidae 6 0.37
9 Chlorurus bleekeri Scaridae 64 3.98 44 Scarus schlegeli Scaridae 6 0.37
10 Ctenochaetus binotatus Acanthuridae 61 3.79 45 Cephalopholis cyanostigma Serranidae 5 0.31
11 Cephalopholis urodeta Serranidae 60 3.73 46 Siganus laqueus Siganidae 5 0.31
12 Scarus niger Scaridae 59 3.67 47 Aethaloperca rogaa Serranidae 4 0.25
13 Acanthurus nigrofuscus Acanthuridae 56 3.48 48 Acanthurus auranticavus Acanthuridae 4 0.25
14 Lutjanus decussatus Lutjanidae 47 2.92 49 Acanthurus mata Acanthuridae 4 0.25
40
15 Siganus vulpinus Siganidae 36 2.24 50 Anyperodon leucogrammicus Serranidae 3 0.19
16 Gnathodentex aureolineatus Lethrinidae 30 1.87 51 Lethrinus ornatus Lethrinidae 3 0.19
17 Acanthurus olivaceus Acanthuridae 30 1.87 52 Plectorhinchus vittata Haemulidae 3 0.19
18 Naso thynoides Acanthuridae 26 1.62 53 Scarus psittacus Scaridae 3 0.19
19 Siganus canaliculatus Siganidae 23 1.43 54 Scarus quoyi Scaridae 3 0.19
20 Scarus dimidiatus Scaridae 22 1.37 55 Diploprion bifasciatum Serranidae 2 0.12
21 Lutjanus bohar Lutjanidae 20 1.24 56 Epinephelus ongus Serranidae 2 0.12
22 Naso vlamingii Acanthuridae 20 1.24 57 Variola louti Serranidae 2 0.12
23 Macolor macularis Lutjanidae 18 1.12 58 Lutjanus carponatus Lutjanidae 2 0.12
24 Scarus tricolor Scaridae 18 1.12 59 Lutjanus kasmira Lutjanidae 2 0.12
25 Zebrasoma veliferum Acanthuridae 17 1.06 60 Naso braenchycentron Acanthuridae 2 0.12
26 Acanthurus nigricans Acanthuridae 16 1.00 61 Scarus chameleon Scaridae 2 0.12
27 Epinephelus fasciatus Serranidae 14 0.87 62 Scarus globiceps Scaridae 2 0.12
28 Naso hexacanthus Acanthuridae 13 0.81 63 Scarus porsterni Scaridae 2 0.12
29 Cephalopholis argus Serranidae 12 0.75 64 Scarus spinus Scaridae 2 0.12
30 Aphareus furca Lutjanidae 12 0.75 65 Siganus doliatus Siganidae 2 0.12
31 Siganus puellus Siganidae 12 0.75 66 Cephalopholis sexmaculata Serranidae 1 0.06
32 Epinephelus merra Serranidae 11 0.68 67 Cephalopholis spiloparae Serranidae 1 0.06
33 Scarus ghobban Scaridae 11 0.68 68 Plectorhinchus lessonii Haemulidae 1 0.06
34 Plectorhinchus chaetodontoides Haemulidae 10 0.62 69 Scarus prasiognathos Scaridae 1 0.06
35 Gracila albomarginatus Serranidae 9 0.56
Komposisi suku berdasarkan kehadiran individual didominasi oleh kelompok ikan Butana
dari suku Acanthuridae dan ikan kakatua dari suku Scaridae (Gambar 3.22). Komposisi suku
berdasarkan biomassanya didominasi oleh kelompok ikan kakatua dari suku Scaridae, kelompok
kakap dari suku Lutjanidae dan kelompok ikan butana dari suku Acanthuridae (Gambar 3.22).
Komposisi jenis menurut biomasa kelompok herbivora dan karnivora dari 7 suku terpilih
disajikan pada Tabel 3.9. Sepuluh besar ikan karang berdasarkan biomassanya dari yang tertinggi
sampai terendah adalah berturut-turut Lutjanus gibbus, Monotaxis grandoculis, Chlorurus
sordidus, Naso vlamingii, Chlorurus bleekeri, Macolor macularis, Scarus flavipectoralis dan
Cephalopholis urodeta.
Gambar 3.22 Komposisi suku ikan karang berdasarkan kahadiran individual (kiri) dan biomassa
(kanan) pada semua stasiun.
41
Tabel 3.9 Komposisi jenis kelompok ikan karang dari 7 suku terpilih menurut biomassanya.
No. JENIS SUKU Gram % No. JENIS SUKU Gram %
1 Lutjanus gibbus Lutjanidae 18348 8.94 36 Gracila albomarginatus Serranidae 1431 0.70
2 Monotaxis grandoculis Lethrinidae 13163 6.41 37 Aethaloperca rogaa Serranidae 1266 0.62
3 Chlorurus sordidus Scaridae 11701 5.70 38 Zebrasoma veliferum Acanthuridae 1214 0.59
4 Naso vlamingii Acanthuridae 11668 5.68 39 Cephalopholis cyanostigma Serranidae 1203 0.59
5 Chlorurus bleekeri Scaridae 11387 5.55 40 Scarus globiceps Scaridae 1195 0.58
6 Macolor macularis Lutjanidae 9485 4.62 41 Acanthurus auranticavus Acanthuridae 1098 0.53
7 Scarus flavipectoralis Scaridae 8619 4.20 42 Siganus laqueus Siganidae 1085 0.53
8 Cephalopholis urodeta Serranidae 8129 3.96 43 Siganus puellus Siganidae 1057 0.51
9 Scarus niger Scaridae 6060 2.95 44 Siganus punctatissimus Siganidae 1002 0.49
10 Ctenochaetus striatus Acanthuridae 5837 2.84 45 Acanthurus thompsoni Acanthuridae 823 0.40
11 Scarus ghobban Scaridae 5782 2.82 46 Scarus quoyi Scaridae 823 0.40
12 Naso thynoides Acanthuridae 5682 2.77 47 Lethrinus ornatus Lethrinidae 764 0.37
13 Aprion verescens Lutjanidae 5271 2.57 48 Naso braenchycentron Acanthuridae 764 0.37
14 Scarus tricolor Scaridae 5241 2.55 49 Epinephelus merra Serranidae 751 0.37
15 Plectorhinchus chaetodontoides Haemulidae 4706 2.29 50 Acanthurus olivaceus Acanthuridae 718 0.35
16 Lutjanus decussatus Lutjanidae 4579 2.23 51 Cetoscarus ocellatus Scaridae 652 0.32
17 Siganus canaliculatus Siganidae 3709 1.81 52 Anyperodon leucogrammicus Serranidae 616 0.30
18 Hipposcarus longiceps Scaridae 3671 1.79 53 Cephalopholis sexmaculata Serranidae 588 0.29
19 Siganus corallinus Siganidae 3666 1.79 54 Lutjanus carponatus Lutjanidae 586 0.29
20 Acanthurus nigrofuscus Acanthuridae 3432 1.67 55 Acanthurus nigricans Acanthuridae 556 0.27
21 Siganus vulpinus Siganidae 3366 1.64 56 Plectorhinchus vittata Haemulidae 542 0.26
22 Lethrinus erythropterus Lethrinidae 3290 1.60 57 Variola louti Serranidae 538 0.26
23 Lutjanus bohar Lutjanidae 3094 1.51 58 Scarus dimidiatus Scaridae 447 0.22
24 Scarus schlegeli Scaridae 2727 1.33 59 Siganus doliatus Siganidae 393 0.19
25 Epinephelus fasciatus Serranidae 2228 1.09 60 Gnathodentex aureolineatus Lethrinidae 316 0.15
26 Naso lituratus Acanthuridae 2152 1.05 61 Plectorhinchus lessonii Haemulidae 240 0.12
27 Aphareus furca Lutjanidae 2145 1.04 62 Diploprion bifasciatum Serranidae 231 0.11
28 Acanthurus mata Acanthuridae 1974 0.96 63 Lutjanus fulvus Lutjanidae 194 0.09
29 Zebrasoma scopas Acanthuridae 1946 0.95 64 Cephalopholis spiloparae Serranidae 173 0.08
30 Ctenochaetus binotatus Acanthuridae 1928 0.94 65 Scarus porsterni Scaridae 165 0.08
31 Acanthurus pyroferus Acanthuridae 1912 0.93 66 Scarus spinus Scaridae 142 0.07
32 Epinephelus ongus Serranidae 1847 0.90 67 Scarus prasiognathos Scaridae 64 0.03
33 Cephalopholis argus Serranidae 1651 0.80 68 Scarus psittacus Scaridae 26 0.01
34 Scarus chameleon Scaridae 1631 0.79 69 Lutjanus kasmira Lutjanidae 14 0.01
35 Naso hexacanthus Acanthuridae 1625 0.79
Implikasi Hasil
Baik dari aspek parameter keragaman, kepadatan, dan biomassa dari kelompok ikan
koralivora, herbivora dan karnivora tidak menunjukkan kondisi yang dapat dipertimbangkan
sebagai petunjuk bahwa perairan karang Taka Nasional Taka Bonerate (TNTB) memiliki
kesehatan terumbu karang yang terbaik. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian di Taman
Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW), semua parameter di atas untuk TNTB masih relatif lebih
rendah dibandingkan dengan yang dijumpai di TNKW. Total jenis yang teridentifikasi di stasiun
42
penelitian TNTB 69 species, sedangkan di TNKW 95 species. Perbandingan parameter tersebut
secara detail disajikan pada Tabel 3.10.
Tabel 3.10 Perbandingan keragaman, kepadatan dan biomassa ikan karang antara Taman
Nasional Taka Bonerate (TNTB) dan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi
(TNKW) dari data survei RHM 2019
PARAMETER PEMBANDING VARIASI TERENDAH SAMPAI TERTINGGI
TNTB TNKW
Koralivora
Jumlah Jenis (Species) 3 - 10 13 - 22
Kepadatan (Ekor/350 m2) 16 - 52 49 - 294
Herbivora
Jumlah Jenis (Species) 11 - 22 18 - 29
Kepadatan (Ekor/350m2) 55 - 134 107 - 507
Biomassa (Gram /350 m2)
1.507 -
18.230 20.786 - 51.251
Karnivora
Jumlah Jenis (Species) 3 - 16 14 - 30
Kepadatan (Ekor/350m2) 9 - 72 36 - 379
Biomassa (Gram/350 m2) 511 - 19.960 3.942 - 49.895
Semua parameter tersebut menjadi petunjuk adanya gangguan pada wilayah terumbu
karang di TNTB. Komposisi jenis ikan koralivora dengan dominasi jenis Chaetodon klenii biasa
terjadi pada wilayah terumbu karang yang mengalami kerusakan, sedangkan dominasi jenis
Hemitaurichthys polylepis merupakan petunjuk wilayah terumbu karang banyak yang berbentuk
drof off dengan perairan yang jernih. Perbandingan komposisi jenis antara koralivora di TNTB
dan TNKW hampir serupa (Tabel 3.11).
Tabel 3.11 Perbandingan komposisi jenis ikan 10 besar Taman Nasional Taka Bonerate (TNTB)
dan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) dari data survei RHM 2019
PARAMETER KOMPOSISI (%) TERTINGGI SAMPAI TERENDAH
PEMBANDING TNTB TNKW Komposisi Jenis Chaetodon kleinii Hemitaurichthys polylepis
Koralivora Hemitaurichthys polylepis Chaetodon kleinii
Chaetodon lunulatus Forcipiger flavissimus
Heniochus chrysostomus Chaetodon lunulatus
Chaetodon melannotus Chaetodon melannotus
Chaetodon punctatofasciatus Chaetodon punctatofasciatus
Forcipiger flavissimus Heniochus chrysostomus
Heniochus varius Heniochus varius
Chaetodon baronessa Chaetodon rafflesii
Chaetodon rafflesii Chaetodon ornatissimus
43
Komposisi Jenis Ctenochaetus striatus Naso hexacanthus
7 Suku Terpilih Chlorurus sordidus Gnathodentex aureolineatus
Lutjanus gibbus Lutjanus gibbus
Zebrasoma scopas Ctenochaetus striatus
Acanthurus pyroferus Chlorurus sordidus
Monotaxis grandoculis Naso vlamingii
Scarus flavipectoralis Scarus niger
Acanthurus thompsoni Acanthurus pyroferus
Chlorurus bleekeri Ctenochaetus binotatus
Ctenochaetus binotatus Zebrasoma scopas
Komposisi Suku ACANTHURIDAE ACANTHURIDAE
SCARIDAE SCARIDAE
LUTJANIDAE LUTJANIDAE
SERRANIDAE LETHRINIDAE
LETHRINIDAE SERRANIDAE
SIGANIDAE SIGANIDAE
HAEMULIDAE HAEMULIDAE
Komposisi jenis dan suku menurut kehadiran individu maupun biomassanya menunjukkan
pola yang sama sebagaimana komposisi yang terjadi di wilayah perairan karang lainnya, dimana
kelompok ikan herbivora seperti butana dan kakatua serta jenis-jenisnya selalu mendominasi
dalam komunitas ikan karang. Perbandingan dominasi suku antara TNTB dan TNKW juga serupa
(Tabel 3.10).
Penurunan kualitas habitat ikan pada terumbu karang dapat terjadi oleh perubahan-
perubahan substrat karang, sebagai akibat dari motode blast fishing yang meluas di TNTB (Aspan,
2015). Perubahan yang terjadi memberikan dampak pada struktur kompunitas ikan, seperti
keragaman, komposisi, kelimpahan atau kepadatan serta biomassa jenis ikan (Feary et al., 2007).
Keanekaragaman dan kelimpahan ikan karang menurun ketika terjadi kerusakan yang meluas
pada karang batu dan dalam waktu yang berkepanjangan (Jones et al. 2004; Wilson et al. 2006),
dan hilangnya ikan-ikan berukuran besar sebagai akibat intesitas penangkapan yang tinggi
mempengaruhi biomassa ikan, seperti diketahui di wilayah TNTB lebih banyak dijumpai ikan-
ikan berukuran kecil dan anakan ikan.
Dominasi kelompok ikan herbivora merupakan petunjuk adanya pergantian rezim dalam
sistem terumbu karang (Gunawan et al., 2006). Perubahan ini merupakan akibat dari perubahan
luasan tutupan karang batu (Purbani et al., 2014) dan terjadinya kelimpahan alga yang berlebih
ketika area terumbu karang mengalami tekanan atau gangguan yang kontinyu akibat aktivitas
penangkapan yang merusak (Feary et al., 2007). Seperti diketahui kelompok herbivora memiliki
44
peran penting dalam mengontrol pertumbuhan alga dan memberikan kesempatan untuk tumbuh-
kembangnya planula karang yang baru (Green & Bellwood, 2009; Obura & Grimsdith, 2009).
3.4 Mega Bentos
Komposisi Megabentos
Hasil transek pada setiap stasiun diperoleh sebanyak 7 jenis megabentos, yang termasuk
dalam dua kelompok. Kelompok ekinodermata diwakili oleh empat jenis (Acanthaster plancii,
Diadema setosum, Holuthuria spp. dan Linckia laevigata), serta tiga jenis dari kelompok moluska
(Drupella cornus, Tridacna spp. dan Trochus spp). Sedangkan kelompok krustase (Panulirus
spp.) tidak ditemukan (Tabel 3.12). Jenis megabentos yang ada, kelompok moluska memiliki
jumlah individu yang relatif lebih tinggi, yaitu 56,9% atau sebanyak 248 individu, sedangkan
kelompok ekinodermata hanya sebesar 43,1% (188 individu). Keragaman jenis megabentos pada
setiap stasiun cukup fluktuatif, dimana keragaman jenis tertinggi terdapat di stasiun TBRC01,
TBRC05, TBRC09 dan TBRC10, masing-masing 6 jenis, dan yang terendah terdapat di stasiun
TBRC07 (3 jenis). Berdasarkan jumlah individu megabentos yang ditemukan selama pengamatan,
stasiun TBRC03 memiliki kelimpahan individu tertinggi (141 individu) atau sebesar 32,34% dari
total jumlah individu yang ditemukan pada semua stasiun, sedangkan yang terendah terdapat di
stasiun TBRC08 (14 individu) atau sebesar 3,21%. Proporsi jumlah individu pada masing-masing
stasiun terhadap total jumlah individu seluruh stasiun dapat dilihat pada Gambar 3.23.
Tabel 3.12 Komposisi jenis megabentos pada setiap stasiun di perairan Taman Nasional Taka
Bonerate, Kabupaten Selayar.
No. Megabentos Stasiun TBRC Total
Ind. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I Ekinodermata
1 Acanthaster plancii 0 2 0 0 2 0 0 0 1 3 0 1 9
2 Diadema spp. 3 0 38 3 3 1 0 2 2 5 3 0 60
3 Linckia laevigata 4 7 16 3 15 11 2 2 4 18 17 3 102
4 Holothurian 5 0 1 3 4 3 0 0 1 0 0 0 17
II Moluska
5 Drupella cornus 9 11 23 3 5 6 7 3 10 12 2 3 94
6 Tridacna spp. 10 5 63 4 3 4 7 6 4 15 3 25 149
7 Trochus spp. 2 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 5
Jumlah Individu 33 26 141 16 32 25 16 14 22 54 25 32 436
Jumlah Jenis 6 5 5 5 6 5 3 5 6 6 4 4 5
45
Secara umum, komposisi megabentos yang dicatat dalam pengamatan ini relatif beragam
dan berimbang dengan yang dilaporkan oleh Anonimous (2017) dalam penelitian di perairan
Wakatobi; Anonimous (2017) di perairan Kabupaten Buton (delapan jenis) dan Pramudji (2017)
dalam penelitian di perairan Kendari, masing-masing mendapakan delapan jenis, sedangkan hasil
pengamatan Anonimous (2016) di perairan Pulau Salawati dan Pulau Batanta mendapatkan 6
jenis. Perbedaan keragaman jenis megabentos yang ditemukan pada masing-masing lokasi
pengamatan, dapat saja dipengaruhi oleh heterogenitas tipe substrat, kondisi biologis dan ekologis
terumbu karang pada setiap perairan tersebut. diduga dapat menjadi faktor pembeda terhadap
keanekaragaman jenis megabentos.
Gambar 3.23 Proporsi jumlah individu pada masing-masing stasiun terhadap total individu, di
perairan Taman Nasional Taka Bonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar.
Umumnya megabentos target bernilai ekonomis penting cenderung mengalami penurunan
jumlah indivdiunya. Kondisi ini disebabkan tingginya aktivitas penangkapan (over fishing) oleh
nelayan atau penduduk yang mendiami pesisir pantai.
Fluktuasi jumlah individu pada setiap stasiun dipengaruhi oleh kehadiran Linckia
laevigata, Drupella cornus dan Tridacna spp. Ketiga jenis ini memiliki sebaran yang luas,
masing-masing hadir pada semua stasiun (12 stasiun) dengan nilai persentase kehadiran 100%,
diikuti Diadema spp. dengan nila persentase sebesar 75,0% atau hadir pada sembilan stasiun.
Acanthaster plancii, yang merupakan biota pemakan koloni karang, ditemukan pada lima stasiun
(sebesar 41,7%). Sedangkan Trochus spp. (lola) dan Holothurian (teripang) yang merupakan
jenis-jenis ekonomis penting dengan harga jual yang cukup tinggi, memiliki sebaran yang sangat
46
terbatas. Kedua jenis ini hanya ditemukan pada empat dan enam stasiun dengan nilai persesentse
kehadiran yang sangat rendah (33,3% dan 50%) (Gambar 3.24).
Rendahnya kelimpahan individu beberapa jenis megabentos ekonomis penting, seperti lola
(Trochus spp.) dan Holothurian (teripang) pada setiap stasiun, bukan disebabkan oleh kondisi
terumbu karang yang tidak mendukung, namun diduga ada aktivitas penangkapan yang intens dari
masyarakat setempat, atau dari luar Pulau/kawasan yang telah berlangsung sejak lama
(komunikasi pribadi). Tingginya aktivitas penangkapan mempengaruhi siklus hidup jenis-jenis
tersebut, sehingga proses rekruitmen maupun resilensinya menurun, berujung pada kepunahan.
Gambar 3.24 Frekuensi kehadiran jenis-jenis megabentos di perairan terumbu karang Taman
Nasional Taka Bonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar.
Kepadatan Fauna Megabentos
Kepadatan individu megabentos pada setiap stasiun, berkisar antara 0,10 – 1,01
individu/140m2. Kepadatan individu tertinggi terdapat di stasiun TBRC03 (1,01 individu/140m2).
Kepadatan individu pada stasiun tersebut dipengaruhi oleh kontribusi Tridacna spp. (0,45
individu/140m2) dan Diadema spp. (0,27 individu/140m2). Sedangkan kepadatan terendah
terdapat di stasiun TBRC08 (0,10 individu/140m2), dan Tridacna spp. juga memiliki kontribusi
yang cukup tinggi terhadap nilai kepadatan individu di stasiun terebut. Kontribusi Linckia
laevigata terhadap tingginya nilai kepadatan individu megabentos terdapat pada stasiun TBRC03
dan TBRC05 (0,11 individu/140m2), TBRC10 (0,13 individu/140m2) dan TBRC11 (0,12
individu/140m2). Kontribusi Drupella cornus terdapat pada stasiun TBRC01 (0,06
47
individu/140m2), TBRC02 (0,08 individu/140m2) dan TBRC09 (0,07 individu/140m2) (Tabel
3.13). Kekayaan jenis, pola distribusi dan agregasi bagi banyak organism laut ditentukan oleh
faktor-faktor fisik dan biologis, seperti karakter sedimen, pergerakan air, musim, kompetisi,
predasi, reproduksi, rekruitmen dan fator lingkungan (Long et al., 1995; Thrush et al., 2003; Kater
et al., 2006 dan Shoua et al., 2009).
Dari semua jenis megabentos yang ditemukan, Tridacna spp. memiliki total kepadatan
individu tertinggi (1.06 individu/140m2), diikuti Linckia laevigata (0,73 individu/140m2) dan
Drupella cornus (0,67 individu/140m2). Tingginya nilai kepadatan individu serta distribusi yang
luas, dapat disebabkan oleh kondisi mikro habitat yang sesuai dan ketersediaan makanan. Genus
Tridacna membutuhkan substrat keras dan perairan yang jernih untuk dapat hidup dengan baik,
sehingga kelimpahannya dipengaruhi oleh tipe substrat dan kondisi perairan. Keberadaan kima di
alam sangat dipengaruhi oleh tingkat eksploitasi dari komunitas lokal ataupun yang datang dari
luar. Semakin tinggi aktivitas manusia pada rataan terumbu akan mempengaruhi kelimpahan dan
jumlah jenis kima. Van Wynsberge et al. (2016) menyatakan bahwa ada hubungan antara
penurunan populasi kima (Tridacnidae) dengan kehadiran manusia pada rataan terumbu kerang.
Selama beberapa dekade terakhir, eksploitasi kima secara berlebihan untuk memanfaatkan
daging dan cangkangnya telah terjadi diberbagai perairan di Indonesia. Aktivitasi seperti ini
membuat kelimpahan kima di alam semakin berkurang dan mengkuatir. Pada beberapa perairan
pantai, jenis-jenis kima tertentu berukuran besar (Tridacna gigas), semakin sulit ditemukan
bahkan terancam punah. Keberadaan kima (T. Gigas), dapat menurukan keanekaragama ikan dan
biota lain pada ekosistem terumbu karang (Cabaitan et al., 2008). Jaringan siphonal, feses dan
gamet dari kima menjadi sumber makanan bagi predator dan detritivora (Neo et al., 2015).
Cangkang kima juga dapat menjadi habitat bagi ikan untuk bertelur, merawat, dan berlindung
(Neo et al., 2015). Kalsium karbonat yang diproduksi oleh zooxanthellae yang hidup di dalam
mantel (bersimbiosis dengan kima) berkontribusi terhadap struktur dan topografi terumbu karang
(Aline 2008; Neo et al., 2015). Mengingat betapa pentingnya keberadaan kima dengan
zooxantelahnya terhadap kondisi karang, maka secara tidak langsung berkurangnya atau
menghilangnya kima, dapat mempengaruhi produktivitas terumbu karang. Artinya keberadaan
kondisi kima dapat dipakai untuk menilai kondisi terumbu karang. Semakin banyak jenis dan
48
kelimpahan kima maka produktivitas terumbu karang dikatakan baik/akan meningkat, begitu juga
sebaliknya akan menurun, bila kelimpah kima menurun. Secara ekologis, kima berkontribusi
secara signifikan terhadap produktivitas terumbu karang (Soo and Todd 2014; Neo et al., 2015).
Kepadatan individu kima yang didapat dalam pengamatan ini jika dibandingkan dengan
luas rataan terumbu Taka Bonerate, menunjukkan bahwa kepadatan populasi kima berada pada
tingkat yang sangat rendah dan mengkuatirkan. Untuk mencegah terjadinya kepunahan kima yang
akan berpengaruh pada penurunan perduktivitas terumbu karang, perlu adanya aturan yang dapat
mengatur pemanfaatan kima secara berkelanjutan.
Tabel 3.13 Nilai Kepadatan individu megabentos pada setiap stasiun pengamatan di perairan
terumbu karang Taman Nasional Taka Bonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar.
No. Megabentos Stasiun TBRC
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Acanthaster plancii 0.00 0.01 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.01 0.02 0.00 0.01
2 Diadema spp. 0.02 0.00 0.27 0.02 0.02 0.01 0.00 0.01 0.01 0.04 0.02 0.00
3 Linckia laevigata 0.03 0.05 0.11 0.02 0.11 0.08 0.01 0.01 0.03 0.13 0.12 0.02
4 Holothurian 0.04 0.00 0.01 0.02 0.03 0.02 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00
5 Drupella cornus 0.06 0.08 0.16 0.02 0.04 0.04 0.05 0.02 0.07 0.09 0.01 0.02
6 Tridacna spp. 0.07 0.04 0.45 0.03 0.02 0.03 0.05 0.04 0.03 0.11 0.02 0.18
7 Trochus spp. 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.01 0.00 0.00
Jumlah Individu 0.24 0.19 1.01 0.11 0.23 0.18 0.11 0.10 0.16 0.39 0.18 0.23
Kehadiran Linckia laevigata dengan sebaran yang luas dan ditemukan hadir pada semua stasiun,
dengan nilai kepadatan individu yang fluktuatif (Tabel 3.13), mencerminkan substrat dan kondisi perairan
saat pengamatan berada dalam kondisi ideal bagi kehadiran jenis tersebut. Tingginya kepadatan individu
serta sebaran yang luas diduga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan pada ekosistem terumbu. Makanan
merupakan salah satu fakor penting yang berperan dalam distribusi bintang laut (Pratchett, 2007).
Linckia merupakan salah satu kelompok hewan dalam pilum Ekinodermata yang memiliki
diversitas tertinggi dan dapat ditemukan pada berbagai mikrohabitat perairan (Iken et al., 2010),
memanfaatkan terumbu karang sebagai tempat untuk mendapatkan makanan. Sama dengan
kebanyakan taksa bentik lainnya, Linckia laevigata dewasa hidupnya menetap (sedentary) pada
ekosistem terumbu karang. Berdasarkan jenis makannya, Linckia laevigata termasuk pemakan
jamur (saprofit), pemakan mikroalga (Aziz, 1996), pemakan detritus (detrivor) atau materi busuk
49
dari biota sessil bentos atau sisa-sisa organisme lain (Sloan, 1980), yang terdapat pada celah-celah
karang. Sehingga dapat berperan dalam menjernihkan laut sehingga dapat memberikan
keuntungan bagi karang, untuk tumbuh dan berkembang. Namun disisi lain, kehadiran Linckia
laevigata juga dapat mengganggu/ memperlambat rekruitmen koloni karang (Laxton, 1974),
terutama karang yang polipnya pernah dimakan oleh Acanthaster planci. Linckia laevigata juga
cenderung tersebar cukup merata pada rataan terumbu karang yang koloni karangnya pernah
dimakan/diserang oleh Acanthaster planci, dibandingkan yang tidak diserang oleh Acantasther.
Linckia laevigata memiliki masa larva yang cukup panjang, sekitar 22 hari (Crandall et
al., 2014) sehingga memudahkannya untuk tersebar luas terbawah arus dalam perairan. Pada
rataan terumbu karang di perairan timur Indonesia, Linckia laevigata mudah ditemukan,
sedangkan di perairan Pulau Bangka Belitung, jenis ini tidak ditemukan. Fenomena yang unik
pada kedua perairan tersebut, perlu diamati lebih lanjut dan diketahui penyebabnya. Dari semua
stasiun pengamatan dan monitoring, anakan Linckia lavigaa tidak pernah ditemukan. Hal yang
saman juga terjadi pada hampir semua perairan Indo-Pasifik barat. Laporan tentang anakan
Linckia laevigata remaja dikemukakan oleh Clark (1921), dari Selat Torres, Australia utara.
Kepadatan individu Drupella cornus antar stasiun pengamatan relatif rendah, dengan nilai kepadatan
tertinggi berada di stasiun TBRC03 (0,16 individ/m2), TBRC04 (0,14 individu/m2) dan terendah di TBRC1
(0,01 individu/m2) (Tabel 3.13). Nilai kepadatan D. cornus yang ditemukan dalam pengamatan ini lebih
rendah, dibandingkan dengan hasil pengamatan Ayling & Ayling (1987) di rataan terumbu karang Ningalon,
Australia Barat dengan kepadatan individu sebesar 15,7 individu/m2, mampu merusak terumbu karang
hingga 85% dalam waktu 10 tahun. Black & Johnson (1994) di daerah yang sama, melaporkan bahwa akibat
aktivitas makan Drupella menyebabkan pemutihan karang mencapai 22% dari luasan tutupan karang.
Kondisi ini menunjukan bahwa dengan nilai kepadatan D. cornus yang rendah (< 1 individu/m2), aktivitas
makan jenis ini tidak berpengaruh terdapat kerusakaran pada koloni karang yang berada pada setiap stasiun
pengamatan di perairan Kawasan Taman Nasional Taka Bonerate, Kabupaten Kepulauan Selaya.
Kehadiran D. cornus pada suatu perairan dipengaruhi oleh ketersediaan jenis-jenis karang sebagai
target makanannya. Jenis karang yang menjadi target makanan siput Drupella adalah dari genus Acropora,
montipora, pocillopara dan seriotopora. Kondisi ini memperkuat pernyataan Jimenez et al. (2012) bahwa ada
tidaknya Drupella pada terumbu karang, dipengaruhi oleh ketersediaan makanan. Penempelan Drupella pada
50
karang dipengaruhi oleh adaptasi dalam pemilihan makanan, seperti pada karang bercabang dari genus
Acropora, Montipora, Pocillopra dan Seriotopora (Turner, 1994; Hoeksema et al., 2013). Namun Drupella
juga dapat beradaptasi mendapatkan makanan lainnya bila target makanan utamanya tidak ada. Cumming
and Mc Corry (1998), dalam penelitian di perairan Hong Kong melaporkan, Drupella cornus ditemukan
memangsa karang Platygyra karena pada daerah tersebut tidak ada jenis karang dari genus Acropora dan
Pocillopora, sedangkan di Teluk Eilat, genus Drupella ditemukan menempel pada Turbinaria, Pavona,
Milepora dan Porites setelah karang bercabang mati (Shafir, 2008).
Drupella tidak memangsa semua jenis karang, tetapi memilih mangsanya karena berbagai
alasan yang kompleks seperti bentuk pertumbuhan dari koloni karang, kemudahan untuk
mendapatkan jaringan karang hidup, produksi lendir dari karang, nilai nutrisi serta kemampuan
mempertahankan diri dengan sel penyengat “nematosit” (Gabbi, 1999). Barco at al. (2010)
menyatakan meskipun tidak ada hubungan yang signifikan, namun kehadiran Drupella memiliki
asosiasi yang kuat dengan terumbu karang sebagai hewan parasit. Beberapa penelitian
mengatakan bahwa kehadiran Drupella pada suatu koloni karang erat kaitannya dengan kondisi
kesehatan terumbu karang, dan umumnya cenderung menempel pada koloni karang yang tidak
sehat. Berdasarkan pernyataan diatas, dapat dikatakan bahwa kehadiran genus Drupella dalam jumlah
individu yang cukup banyak pada koloni karang mengindikasikan karang berada dalam kondisi tidak sehat.
Diadema umumnya dapat ditemukan di seluruh perairan pantai, mulai dari daerah pasang
surut sampai perairan dalam. Memiliki peran yang cukup besar dalam ekosistem terumbu karang
(Thamrin, et al., 2011). Selain sebagai indikator kesehatan karang, genus Diadema juga
merupakan biota ekonomis penting. Gonadnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan
pengganti ikan. Dibeberapa tempat seperti di Kepulaun Wakatobi, maupun Bau Bau, Buton, jenis
ini dapat dengan mudah ditemukan di pasar lokal, dan memiliki nilai jual yang tinggi (Suyanti, et
al., 2008). Nilai kepadatan Diadema spp. yang relatif tinggi hanya ditemukan pada stasiun TBRC03 (0,27
individu/m2), sedangkan kepadatan yang rendah terdapat di stasiun TBRC06, TBRC08 dan TBRC09
masing-masing 0,01 individu/m2 (Tabel 3.13). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya
kepadatan individu diadema dipengaruhi oleh ketesedian dan preferensi makanan (Aziz, 1994) serta
kurangnya kemampuan bersaing dalam menempati habitat (Kekenusa, 1993). Kepadatan Diadema spp.
yang tinggi diduga karena faktor substrat dan ketersediaan makanan. Jenis ini sangat menyukai tipe substrat
51
yang didominasi oleh pasir serta perairan yang jernih dan tenang (De Beer, 1990), dengan makanan
utama berupa alga bentik (Collin & Arnesson, 1995) yang hidup menempel pada karang mati.
Aktivitas genus Diadema, seperti Diadema antillarum telah dilaporkan mempengaruhi keragaman,
kelimpahan, dan produktivitas komunitas alga (Ruiz-Ramos et al., 2011). Kehadiran jenis ini dapat
mempengaruhi rekrutmen karang dengan mengonsumsi ganggang dan membersih substrat, untuk
pertumbuhan larva karang. Penelitian terumbu karang di Discovery Bay Jamaika, menunjukkan bukti
pentingnya kehadiran bulu babi sebagai pengontrol dalam ekosistem terumbu karang. Pada 1950-an, tutupan
makroalga di Teluk Discovery, ditemukan dalam persentase yang sangat rendah, sedangkan karang
scleractinian memiliki persentase tutupan sebesar 90% (Edmunds and Carpenter, 2001). Namun, kematian
massal bulu babi pada tahun 1984 menyebabkan meningkatnya tutupan alga dari 4% menjadi 92%, sehingga
mengurangi tutupan karang dari rata-rata 52% menjadi 3%, antara 1977 dan 1993 (Knowlton 2001). Hal ini
mencerminkan pentingnya keberadaan genus Diadema pada ekosistem terumbu karang.
Bulu babi (Genus Diadema) diketahui memainkan peran penting dalam mengontrol komunitas alga
dan mempengaruhi rekrutmen karang. Pada kepadatan yang tinggi, genus Diadema akan memakan
semua organisme, jadi tidak hanya alga, sehingga menghambat rekruitmen karang (Sammarco,
1980) serta memangsa jaringan karang hidup pada koloni dewasa (Ruiz-Ramos et al., 2011). Sedangkan
bila berada pada kondisi kepadatan yang sangat rendah, alga akan mengambil alih daerah ini dan
menghambat pertumbuhan karang, dan pada kepadatan individu yang sedang, grazing D. setosum,
dapat mengontrol pertumbuhan alge serta dapat membersihkan substrat, sehingga planula karang
dapat menempel dan berkembang. Dengan demikian secara tidak langsung membantu memelihara
kelangsungan hidup karang.
Bila melihat nilai kepadatan individu yang sangat rendah pada setiap stasiun pengamatan
(˂ 1 individu/140m2), dapat dikatakan bahwa kehadiran genus Diadema pada perairan Taman
Nasional Taka Bonerate tidak berperan besar terhadap tinggi rendahnya tutupan alga. Genus
Diadema secara efektif dapat mengurangi kelimpahan alga bila berada pada kepadatan sekitar 400
bulu babi/100m2 (Edmunds dan Carpenter, 2001). Selain genus Diadema, ikan-ikan kelompok
herbivora juga dapat mengontrol pertumbuhan alga pada ekosistem terumbu karang. Empat kelompok ikan
yang dianggap penting secara ekologis adalah dari famili Acanthuridae, Scaridae, Siganidae dan
Pomacentridae. Perrig (2008) in Goh (2015) menyataka bahwa, Kehadiran ikan-ikan herbivor seperti
52
famili Siganidae, merupakan salah satu kelompok lokal yang memainkan peran penting dalam
mengendalikan pertumbuhan makroalga. Kondisi ini mencerminkan bahwa jenis megabentos target
(Diadema) yang hidup berasiosasi dengan terumbu karang memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap
pertumbuhan dan rekruitmen koloni karang.
Dibandingkan megabentos ekonomis penting lainnya, seperti kima (Tridacna spp.),
teripang (Holothurian), dan Lola (Trochus spp.), memiliki nilai kepadatan total individu yang
sangat rendah (Tabel 3.13) dengan sebaran yang relatif terbatas. Rendahnya kepadatan individu
dan sebaran teripang disebabkan oleh aktiitas pengangkapan yang berlebihan (over exploitation).
Aktivitas penangkapan oleh nelayan lokal di kawasan Taman Nasional Taka Bonerate sangat
tinggi pada semua jenis biota. seringkali kegiatan ini dilakukan dengan cara-cara tidak benar dan
tidak rama lingkungan seperti penggunakan potas (potassium sianida) dan sulit untuk di atasi.
Namun usaha yang tidak kenal lela dari para staff dan petugas BKSDA setempat, dapat merubah
perilaku penggunakan bahan racun dalam melakukan penangkapan ikan. Sedangkan sebaran yang
sempit dan kepadatan individu rendah dari jenis-jenis Trochus spp. (Tabel 3.12), disebabkan oleh
tipe substrat yang tidak ideal.
Kehadiran Lola (Trochus spp.) hanya ditemukan pada stasiun TBRC01, TBRC02,
TBRC08 dan TBRC10, erat hubungannya dengan tipe substrat yang tidak ideal bagi jenis tersebut.
Dimana semua stasiun pengamatan hanya didominasi oleh pertumbuhan karang bercabang
(Acropora). Lola ditemukan hidup dengan baik pada rataan terumbu dengan substrat keras, yang
tersusun dari karang batu ditumbuhi makroalga yang merupakan makanan utamanya.
Karena mengandung lapisan mutiara yang cukup tebal pada cangkang, membuat Trochus
spp. (lola) memiliki nilai jual yang cukup tinggi di dalam maupun luar negeri, dan menjadi biota
target bagi nelayan. Kondisi ini membuat kelangsungan hidup lola terancam punah akibat tangkap
lebih (over fishing). Hal ini menyebabkan semakin sulit ditemukannya jenis–jenis tersebut dalam
kepadatan individu yang melimpah serta memiliki sebaran yang sangat terbatas hampir di seluruh
kawasan perairan pantai di Indonesia. Beberapa foto megabentos yang ditemukan pada setiap
stasiun pengamatan, ditampilkan pada Gambar 3.25.
53
Gambar 3.25 Foto spesies megabentos pada masing-masing stasiun di Kawasan Perairan Taman
Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.
Kehadiran dan persebaran fauna megabentos yang ditemukan pada setiap stasiun
pengamatan di perairan Kawasan Taman Nasional Taka Bonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar,
sangat dipengaruhi oleh tipe substrat dan aktivitas nelayan lokal. Kondisi lingkungan perairan
yang masih baik, cukup mendukung fauna megabentos untuk hidup berasosiasi dengan terumbu
karang. Namun, tingginya penangkapan nelayan lokal maupun yang datang dari luar, dapat saja
mengganggu kehidupan fauna megabentos pada ekosistem karang. Bussarawit (1995)
menyatakan bahwa rendahnya keragaman moluska di lokasi taman nasional di Kepulauan Surin
dan Le-Pae, laut Andaman antara lain disebabkan oleh aktivitas manusia termasuk turis. Untuk
menghindari hai tersebut perlu dilakukan kajian yang komperhensip, sehingga pemanfaatan
perairan kawasan ini dapat dikelolah secara lestari (sustainable).
3.5 Lamun
Pemantauan kesehatan padang lamun di perairan Taman Nasional Taka Bonerate
Kabupaten Kepulauan Selayar dilakukan di 5 lokasi pada 8 stasiun antara lain Pulau Tarupa, Pulau
Jinato, Pulau Latondu, Pulau Rajuni dan Pulau Tinabo. Setiap lokasi atau pulau dilakukan dua
54
stasiun pemantauan lamun dan setiap stasiun dilakukan tiga transek pengambilan data. Data yang
dikumpulkan antara lain persentase tutupan lamun, spesies yang dominan, keanekaragaman
spesies, persentase tutupan makro algae, epifit, tipe substrat dasar, kecerahan perairan dan rona
lingkungan pantai. Adapun hasil pemantauan kondisi lamun di setiap lokasi/stasiun dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Pulau Tarupa (Stasiun TBR01)
Perairan pulau Tarumpa dicirikan dengan tipe pantainya berpasir, vegetasi pantai berupa
semak dan pohon kelapa, kedalaman perairan saat dilakukan pengambilan data antara 49-105 cm
dan subtrat dasar yaitu berpasir. Stasiun pengamatan sesuai arah mata angin berada di sisi selatan.
Hasil identifikasi pesies lamun ditemukan empat spesies antara lain Thalassia hemprichii (Th),
Cymodocea rotundata (Cr), Halodule pinifolia (Hp) dan Halophila ovalis (Ho). Spesies yang
dominan yaitu Thalassia hemprichii (36%) dan Cymodocea rotundata (21%). Kondisi lamun pada
stasiun TBRS01 termasuk ‘kurang sehat’ (51%). Persentase tutupan makro algae dan epifit yaitu
<2% yang berarti perairan masih jernih alami (Gambar 3.26).
Gambar 3.26 Lingkungan pantai Tarumpa TBRS 01 (kiri) dan dan padang lamun di perairan
Tarumpa pada stasiun TBRS01 (kanan).
Stasiun TBRS02
Rona lingkungan pantai stasiun TBRS 02 sisi timur dicirikan dengan tipe pantai ‘berpasir’,
pemukiman nelayan cukup padat dan tambatan perahu nelayan, kedalaman perairan saat
dilakukan pengamatan antara 48-86 cm dan subtrat dasar berpasir. Spesies lamun teridentifikasi
55
hanya dua spesies yaitu Thalassia hemprichii (35%) dan Cymodocea rotundata (34%). Meskipun
hanya dua spesies yang ditemukan, namun kondisi lamun termasuk ‘sehat’ (63%) serta tutupan
makro algae dan efipit <5% sehingga perairannya masih jermih alami (Gambar 3.27).
Gambar 3.27 Lingkungan pantai Tarumpa TBRS02 (kiri) dan padang lamun di perairan Tarumpa
TBRS02 (kanan).
Pulau Jinato (Stasiun TBRS03)
Stasiun pemantauan TBRS 03 sesuai arah mata angin berada di sisi selatan dan perairan
pantai sisi barat. Kondisi lingkungan pantai di stasiun (TBRS03) dicirikan pantai “berpasir”
kedalaman perairan saat pengambilan data antara 102-146 cm dan subtart dasar berpasir.
Keanekaragaman spesies lamun ditemukan lima spesies antara lain Thalassia hemprichii,
Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium dan Enhalus acoroides.
Spesies dominan yaitu Thalassia hemprichii (37%) dan Cymodocea rotundata (23%). Kondisi
lamun termasuk “sehat” (64%), persentase makro algae 4,43% dan epifit 7,56% (Gambar 3.28).
Gambar 3.28. Lingkungan pantai Jinato TBRS03 (kiri) dan pengukuran lamun di.stasiun TBRS03
(kanan).
56
Stasiun TBRS04
Stasiun pemantauan kondisi lamun pada TBRS04 sesuai arah mata angin berrada di sisi utara
dengan lingkungan pantai dicirikan pantai ‘’berpasir’ dengan kedalaman perairan saat
pengambilan data antara 81-142 cm dan subtrat dasar perairan yaitu berpasir. Spesies lamun
ditemukan ada empat spesies antara lain Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata,
Syringodium isoertifolium dan Enhalus acoroides. Spesies dominan hanya Thalassia hemprichii
(48%). Persentase tutupan makro algae 2,8% dan epifit 11%. Kondisi lamun termasuk ‘kurang
sehat’ (57%) (Gambar 3.29).
Gambar 3.29 Lingkungn pantai Jinato TBRS04 (kiri) dan padang lamun Jinato TBRS04 (kanan).
Pulau Latondu (Stasiun TBRS05)
Pemantauan lamun pada stasiun TBRS 05 sesuai arah mata angin berada di sisi tenggara
tepatnya pada sisi pantai barat pulau Latondo. Lingkungn pantai stasiun TBRS05 yaitu pantai
berpasir. Kedalaman perairan saat dilakukan pengambilan data antara 69-95 cm dan subtrat dasar
yaitu berpasir. Hasil identifikasi hanya dua spesies Thalassia hemprichii (77%) dan Cymodocea
rotundata (3%), sehingga spesies yang mendominasi hanya Thalassia hemprichii. Kondisi lamun
termasuk ‘sehat’(75%). Persentase tutupan makro algae 1,2% dan efipit 9,8% (Gambar 3.30).
57
Gambar 3.30 Lingkungan pantai Latondo TBRS05 (kanan) dan padang lamun perairan Latondo
di stasiun TBRS05 (kiri).
Pulau Latondu (Stasiun TBRS06)
Stasiun TBRS06 sesuai arah mata angin masih berada di sisi tenggara namun pada sisi
timur pulau Latondo. Pemantauan kondisi lamun pada stasiun TBRS06 termasuk ‘kurang sehat”
(51%). Keanekaragaman spesies yang ditemukan lima spesies antara lain Thalassia hemprichii,
Cymodoces rotundata, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis dan Halodule uninervis.
Spesies yang dominan Thalassia hemprichii (40%). Persentase tutupan makro algae 6,6% dan
Epifit 7,9%. Kedalam perairan saat pengambilan data antara 57-98 cm dan subtrat dasar berpasir
(Gambar 3.31).
Gambar 3.31 Lingkungan pantai Latondo pada stasiun TBRS06 (kiri) dan padang lamun di
perairan Pulau Latondo TBRS06 (kanan).
58
Pulau Rajuni Kecil (Stasiun TBRS07)
Stasiun pemantauan di Lokasi Pulau Rajuni kecil hanya satu stasiun yaitu TBRS 07.
Kondisi lingkungan pantai dicirikan dengan tipe pantainya berpasir, kedalaman perairan saat
dilakukan pengambilan data antara 111-143 cm dan subtrat dasar yaitu berpasir. Rona lingkungan
pantai sebagai tambatan kapal “rumpon” dan terhitung berjumlah sekitar 30 buah kapal rumpon.
Pulau Rajuni Kecil dengan jumlah penduduk yang relatif padat, jika dibandingkan dengan pulau-
pukau lainnya yang dihuni. Spesies lamun ditemukan lima spesies antara lain Thalassia
hemprichii (Th), Cymodocea rotundata (Cr), Cymodocea serrulate (Cs), Syriongodium
isoetifolium (Si), Eanhalus acoroides (Ea). Spesies yang dominan yaitu Thalassia hemprichii
(23%) dan Cymodocea rotundata (13%). Kondisi lamun pada stasiun TBRS 07 termasuk ‘kurang
sehat’ (51%). Persentase tutupan makro algae (3%) dan epifit (7%) (Gambar 3.32).
Gambar 3.32 Lingkungan pantai Pulau Rajuni pada stasiun TBRS07 (kiri) dan padang lamun di
perairan TBRS07 (kanan).
Pulau Tinabo (Stasiun TBRS08)
Pulau Tinabo dicirikan dengan tipe pantainya yaitu berpasir. Kedalaman perairan saat
dilakukan pengambilan data antara 87-107 cm dengan subtrat dasar berpasir. Stasiun TBRS08
sesuai arah mata angin berada di sisi utara tepatnya sisi timur pulau Tinabo. Spesies lamun yang
ditemukan lima spesies antara lain Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea rotundata (Cr),
Cymodocea serrulata (Cs), Syringodium isoetifolium (Si) dan Halophila ovalis (Ho) (Gambar
3.33). Spesies yang dominan yaitu Thalassia hemprichii (17%) dan Cymodocea rotundata (6%).
Kondisi lamun pada stasiun TBRS08 termasuk ‘miskin’ (25%). Tidak di temukan adanya makro
algae dan epifit atau perairan masih jernih alami.
59
Gambar 3.33 Lingkungan pantai Pulau Tinabo pada stasiun TBRS08 (kiri) dan padang lamun di
perairan Pulau Tinabo TBRS08 (kanan).
Kondisi Lamun di perairan Taman Nasional Taka Bonerate
Pemantauan kondisi lamun di seluruh lima lokasi perairan Taman Nasional Taka Bonerate,
Kabupaten Kepulauan Selayar termasuk ‘kurang sehat’sampai “sehat”. Lima lokasi yang kondisi
lamun termasuk ‘sehat’ ditemukan di pulau Tarumpa (TBRS02), Jinato (TBRS03), Latondo
(TBRS05), sedangkan kondisi ‘kurang sehat’di pulau Tarupa (TBRS01), Jinato (TBRS04),
Latondo (TBRS06), dan pulau Rajuni kecil (TBRS07). Pulau Tinabo (TBRS08) merupakan salah
satu lokasi dengan kondisi lamun termasuk “miskin” (Gambar 3.34).
Gambar 3.34 Kondisi lamun di delapan stasiun perairan Taman Nasuional Taka Bonerate 2019.
60
Keanekaragaman Spesies Lamun
Keanekaragmana spesies selama dilakukan pemantauan di perairan Taman Nasional Taka
Bonerate Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan teridentifikasi delapan spesies antara
lain Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulate,
Syringodium isoetifolium, Halodule pinifolia, Halophila ovalis, dan Halodule uninervis. Di luar
stasiun pemantauan ditemukan spesies Thalassodendron ciliatum, sehingga keanekaragaman
spesies lamun yaitu Sembilan spesies. Spesies yang mendominasi di perairan Taman Nasional
Tabonerate yaitu Thasassia hemprichii dan Cymodocea rotundata Tabel 3.14 dan Gambar 3.35.
Tabel 3.14 Hasil identifikasi keanekaragaman spesies lamun di perairan Taka Bonerate 2019
Stasiun TBRS01 TBRS02 TBRS03 TBRS04 TBRS05 TBRS06 TBRS07 TBRS08
Th 36,1 35 36,7 48,1 77,46 40 23,4 17,60
Cr 20,6 33,71 23,1 2,5 2,5 5,42 13,2 6,44
Cs 0 0 0,76 0 0 0 2,1 0,08
Si 0 0 3,37 0,11 0 0,72 7,5 0,23
Ho 0,23 0 0 0 0 0,68 0 0,27
Hu 0 0 0 0 0 2,73 0 0,00
Hp 0,04 0 0 0 0 0 0 0,00
Ea 0 0 5,15 13,75 0 0 0,61 0,00
Jml Spesies 4 2 5 4 2 5 5 5
Gambar 3.35 Kenaekaragaman spesies di perairan Taman Nasional Taka Bonerate
Keanekaragamana jumlah spesies yang ditemukan di setiap lokasi/pulau pada dua sisi
61
berbeda memperlihatkan kondisi lamun dan jumlah keanekaragaman spesies yang berbeda-beda
(Tabel 3.15). Hal ini menjadi menarik untuk dilakukan kajian lanjutan terkait dengan kondisi dan
jumlah keanekaragaman lamun yang berbeda-beda, apakah ada faktor lain seperti pola arus,
keberadaan padang lamun pada sisi pantai pulau yang berbeda, kualitas lingkungan dan lebar
rataan terumbu pantainya serta kandungan subtrat dasar perairannya.
Tabel 3.15 Kondisi lamun terhadap keanekaragaman spesies di setiap stasiun Taman Nasional
Taka Bonerate.
Stasiun TBRS01 TBRS02 TBRS03 TBRS04 TBRS05 TBRS06 TBRS07 TBRS08
Tutupan (%) 51,32 62,07 64,02 57,2 74,62 50,9 51,1 25,00
Kondisi KS SH SH KS SH KS KS MK
Jml Spesies 4 2 5 4 2 5 5 5
Catatan: Kurang Sehat (KS), Sehat (SH), Miskin (MK)
62
BAB 4. KESIMPULAN
Rataan terumbu karang Taman Nasional Taka Bonerate mempunyai luas 47818,7 hektar
dengan kedalaman kurang dari 1 m hingga 4 m. Substrat dasar dikelompokkan dalam 3 satuan,
yakni satuan karang yang terdiri atas karang hidup dan karang mati, satuan lamun dan satuan pasir
yang terdiri atas pasir kasar hingga halus, pasir bercampur algae dan pecahan karang.
Kesehatan terumbu karang di Taman Nasional Taka Bonerate berkategori sedang, hal ini
didasari oleh nilai tutupan karang hidup sedang dengan biomasa ikan yang rendah. Diindikasikan
adanya menggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan sehingga pelunya peningkatan
pengawasan.
Kondisi struktur komunitas ikan karang di perairan karang Taman Nasional Taka Bonerate
menunjukkan status yang rendah menurut indikasi keragaman, kepadatan dan biomassa.
Komposisi jenis dan suku menunjukkan urutan dominasi dari kelompok herbivora pada komunitas
ikan karang. Keragaman jenis dan kepadatan ikan indikator Chaetodontidae menunjukkan tingkat
yang rendah. Kondisi seperti ini menunjukkan lingkungan habitat ikan yang kurang baik.
Ditemukan sebanyak 7 jenis fauna megabentos selama pengamatan dan terdiri dari 2
kelompok, yaitu ekinodermata (4 jenis) dan moluska (3 jenis). Tridacna spp. Drupella cornus dari
kelompok moluska dan Linckia laevigata (kelompok ekinodermata) memiliki jumlah individu
tertinggi dengan sebaran yang cukup luas dan ditemukan disemua stasiun pengamatan. Rendahnya
kepadatan individu teripang pada setiap stasiun disebabkan oleh tangkap lebih, sedangkan
rendahnya nilai frekuensi kehadiran dari Trochus spp. dengan kepadatan individu yang rendah,
dipengaruhi oleh tipe substrat yang tidak sesuai.
Secara umum kondisi lamun di perairan Taman Nasional Taka Bonerate termasuk kurang
sehat sampai sehat hanya lokasi pulau Tinabo termasuk miskin. Keanekragaman spesies
ditemukan Sembilan spesies atara lain Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodocea
rotundata, Cymodocea serrulate, Syringodium isoetifolium, Halodule pinifolia, Halophila ovalis,
Halodule uninervis dan spesies Thalassodendron ciliatum diluar pantuan. Spesies yang dominan
yaitu Thaassia hemprichii dan Cymodocera rotundata.
63
DAFTAR PUSTAKA
AIMS. (2016). The facts on Great Barrier Reef coral mortality. Great Barrier Reef Marine Park
Authority. 2 pp.
Albert, S., Udy, J., & Tibbetts, I. R. (2007). Responses of Algal Communities to Gradients in
Herbivora Biomass and Water Quality in Marovo Lagoon, Solomon Islands. Coral Reefs
27 : 73 - 82. DOI: 10.1007.s00338-007-0292-0.
Aline T. 2008. Dissolution of dead corals by euendolithic microorganisms across the northern
Great Barrier Reef (Australia). Microb Ecol 55: 569-580.
Allen, G. R. & M.V. Erdmann. (2012). Reef Fishes of the East Indies. Univ of Hawaii Press. 1292
pp.
Ampou E. E., O. Johan, C. E. Menkes, F. Nino, F. Birol, S. Ouillon, S. Andrefouet. (2016). Coral
mortality induced by the 2015-2016 El-Nino in Indonesia: the effect of rapid sea level
fall. Biogesoscience Discussion, 9 Sept 2016.
Anonimous. 2017. Monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait di perairan
Wakatobi. Coremap–CTI. Pusat Penelitian Oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.101hlm.
Anonimous. 2017. Monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait di perairan
Kapulauan Buton. Coremap–CTI. Pusat Penelitian Oseanografi. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.95hlm.
Anonimous 2016. Monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait di perairan Pulau
Batanta dan Pulau Salawati, Papua Barat. Coremap–CTI. Pusat Penelitian Oseanografi.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.124hlm.
Arthur. M.R.H. 1972. Geographycal ecology pattern in the distribution species. Harper & Row.
Publish. New York. 260pp.
Aspan, Z. (2015). Perlindungan hukum terhadap terumbu karang di Taman Nasional. Jurnal
Hukum Lingkungan, Vol 2: 73 – 94.
Ayling, A.M. & Ayling, A.L. 1987, Ningaloo Marine Park: preliminary fish density assessment
and habitat survey, with information on coral damage due to Drupella grazing, Report
to the Department of Conservation and Land Management, Western Australia.
Aziz A. 1994. Tingkah laku bulu babi di padang lamun. Oseana. 14(4): 35–43.
Aziz, A. 1996. Habitat dan Zonasi Fauna Echinodermata di Ekosistem Terumbu Karang. Oseana,
24(2): 33–43.
Barco A, Claremont M, Reid D.G. Houart R. Bouchet P. Williams S.T., Cruaud C. Couloux A. and Oliverio
M. 2010. A molecular phylogenetic framework for the Muricidae, a diverse family of carnivorous
gastropods. Mol Phylogenet Evol. 56:1025–1039.
64
Bell, J.D. & Galzin, R. (1984). Influence of live coral cover on coral reef fish communities. Mar
Ecol. Prog. Ser. 15: 265-274.
Berkepile, D.E., &. Hay, M.E. (2008). Herbivore species richness and feeding complementarity
affect community structure and function on a coral reef. Proceedings of the National
Academy of Sciences. The United States of America, 105, 16201–16206.
Black R. and Johnson M.S. 1994. Growth Rates in Outbreak Population of The Corallivorous
Gastropoda Drupella Cornus (Roding 1798) at Ningaloo Reef, western Australia. Coral
reef 13:145–150.
Bosiger, Y.J. & McCormick, M.I. (2014) Temporal Links in Daily Activity Patterns between
Coral Reef Predators and Their Prey. PLoS ONE 9 (10): e111723.
doi:10.1371/journal.pone.0111723
Brander, L. M., Van Beukering, P., & Cesar, H. S. (2007). The recreational value of coral reefs:
a meta-analysis. Ecological economics, 63(1), 209-218.
Cabaitan P.C., E.D. Gomez and P.M. Alino. 2008. Effects of coral transplantation and giant clam
restocking on the structure of fish communities on degraded patch reefs. J. Exp
Mar.Biol. Ecol. 357, 85-98.
Carpenter, K.E., Miclat, R.I., Albaladejo, V.D. & Corpuz, V.T. (1981). The influence of substrate
structure on the local abundance and diversity of Philippine reef fishes. Proc. Fourth Int.
Coral Reef Symp., Manila 2: 497-502.
Chabanet, P, Ralambondrainy, H., Amanieu, M., Faure, G. & Galzin, R. (1997). Relationship
between coral reef substrata and fish. Coral Reefs 16: 93-102.
Collin P.L. and C. Arnesson 1995. Tropical Pasific Invertebrates. Coral Reef Prees, California:
209 pp.
Crandall, E.D., E.A. Trem, L. Liggins, L. Gleeson, N, Yasuda, P.H. Barber, G. Worheide and C.
Riginos. 2014. Return of the ghosts of dispersal past: historical spread and contemporary
gene flow in the blue sea star. Bulletin of Marine Science, 90(1):399 – 425. doi:
10.5343/bms.2013.1052.
Cumming R. L. and D. McCorry. 1998. Corallivorous gastropods in Hong Kong. Coral Reef
17:78.
De Beer M. 1990. Distribution patterns of regular sea urchins (Echinodermata: Echinnoides) cross
the Spermonde shelf, SW Sulawesi (Indonesia). In De Ridder, Dubois, Lahaye & Jangoux
(Eds.). Proceedings of the second European conference on echinoderms
Brussels,Belgium, 18 – 21 September 1989 (p.165–169). Leiden: National Museum of
National History.
Edmunds P.J. and R. Carpenter. 2001. Recovery of Diadema antillarumreduces macroalgae cover
and increases abundance of juvenile corals on Caribbean reef. P. Natl. Acad. Sci. USA
98(9):50675073.
65
English, S., C. Wilkinson & V. Baker.1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources.
Australian Institute of Marine Science. Townsville. Australia.
Feary, D.A., Almany, G.R., Jones, G.P. & McCormick, M.I. 2007a. Coral degradation and the
structure of tropical reef Fish communities. Mar. Ecol. Prog. Ser. 333:243–248
Froese, R. & D. Pauly. Editors. 2014. FishBase. World Wide Web electronic publication.
www.fishbase.org. version (04/2014).
Gabbi G. 1999. Shells: Guide to the jewels of the sea. Turin: Periplus. 168 pp.
Giyanto. Mumby, P., Dhewani, N., Abrar, M., dan Iswari, M. Y. (2017). Indeks kesehatan
terumbu karang. COREMAP-CTI, Jakarta. 99 pp.
Giyanto. 2012a. Kajian tentang panjang transek dan jarak antar pemotretan pada penggunaan
metode transek foto bawah air. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 38 (1): 1-18.
Giyanto. 2012b. Penilaian kondisi terumbu karang dengan metode transek foto bawah air.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 38 (3):377-389.
Goh, B.P.L and Lim, D.Y.F. 2015. Distribution and Abundance of Sea Urchins in Singapore Reefs
and Their Potential Ecological Impacts on Macroalgae and Coral Communities. Ocean
Sci. J. (2015) 50(2):211-219 http://dx.doi.org/10.1007/s12601-015-0018-0.
Gomez, E.D., & Yap, H.T. (1988). Monitoring Reef Condition (p. 171). In Kenchington, R.A. &
B.E.T. Hudson (Eds). Coral Reef Management Handbook. Unesco Publisher, Jakarta.
Graham, N. A., Wilson, S. K., Jennings, S., Polunin, N. V., Bijoux, J. P., & Robinson, J. (2006).
Dynamic fragility of oceanic coral reef ecosystems. Proceedings of the National
Academy of Sciences, 103(22), 8425-8429.
Grimsditch, G.D. & Salm, R. V. (2006). Coral Reef Resilience and Resistance to Bleaching.
IUCN, Gland, Switzerland. 52 hal.
Gunawan, C.A., G. Allen, G. Bavestrello, C. Cerrano, A. Destari, B. Foster, A. Hagan, I. Hazam,
Z. Jaafar, Y. Manuputty, N. Perera, S. Pinca, I. Silaban & Y. Yahya. 2006. Status
Terumbu Karang di Indonesia Pasca Tsunami Desember 2004. Dalam: Status Terumbu
Karang di Negara-Negara yang Terkena Tsunami 2005. C. Wilkinson, D. Souter & J.
Goldberg (Eds). Australian Institute of Marine Science, Townville, Queesland, Australia. 165 pp.
Hartoko, A. , Kumalasari, I. & Anggoro, S. (2014). Toward a New Paradigm of Ecosystem and
Endemic Organism based on Spatial Zonation for Taka Bonerate Marine Protected Area.
International Journal of Marine and Aquatic Resource Conservation and Co-existence
Research Article, 1 (1): 39-49.
Hoeksema B. W., C. Scott and J.D. True. 2013. Dietary shift in corallivorous drupella snails
following a major bleaching event at Koh Tao Gulf of Thailand. Coral Reef : 1–6.
66
Hughes, T. P., Rodrigues, M. J., Bellwood, D. R., Ceccarelli, D., Guldberg O. H., McCook, L.,
Moltschniwskyj, N., & Pratchett, M. S. (2007). Phase Shifts, Herbivory, and the
Resilience of Coral Reefs to Climate Change, Curent Biology, 17, 360 - 365.
Iken K., B. Konar, L. Benedetti-Cecchi, J.J. Cruz-Motta, A. Knowlton, G. Pohle, A. Mead, P.
Miloslavich, M. Wong and T. Trott. 2010. Large-scale spatial distribution patterns of
echinoderms in nearshore rocky habitats. PloS ONE. 5(11):e13845.
Jimenez, H., P. Dumas, D. Ponton, J. Ferraris. 2012. Predicting Invertebrate Assemblage
Composition from Harvesting Pressure and Environmental Characteristics on Tropical
Reef Flats. Coral Reefs 31:89–100.
Jones GP, McCormick, M.I., Srinivasan, M. & Eagle, J.V. 2004. Coral decline threatens fish
biodiversity in marine reserves. Proc Natl. Acad Sci USA 101:8251–8253.
Kater B.J., A.J.M. Geurts, J.J. van Kessel and M.D. Baars. 2006. Distribution of cockles
Cerastoderma edule in the Eastern Scheldt: habitat mapping with abiotic variables.
Marine Ecological Progress Series 318:221–227.
Kekenusa J. S. (1993). Pola penyebaran, keanekaragaman dan asosiasi antara species teripang di
pesisir pantai barat Pulau Nain, Sulawesi Utara. Jurnal Fakultas Perikanan UNSRAT,
11(4), 11–17.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 20 Tahun 2004. Kriteria Baku Kerusakan dan
Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup.
Kohler, K.E; M. Gill. 2006. Coral Point Count with Excel extensions (CPCe): a visual basic
program for the determination of coral and substrate coverage using random point count
methodology. Comput Geosci 32(9):1259-1269.
Knowlton N. 2001. Sea urchin recovery from mass mortality: new hope for Caribbean coral reefs?
P. Natl. Acad. Sci. 98(9):48224824.
Kuiter, R.H. & Tonozuka, T. (2001). Pictorial Guide to : Indonesian Reef Fishes. Zoonetics Publc.
Seaford VIC 3198. Australia.
Laxton, J.H. 1974. A preliminary study of the biology and ecology ot the blue startfish Linckia
laevigata (L). On the Australian Great Barrier Reef an an interpretation of its role in the
coral reef ecosystem. Biological Journal of the Linnean Society, 6:47–64. doi:
10.111/j.1095–8312.1974.tb00713.x.
Long B.G., I.R. Pioner, and T.D. Wassenberg. 1995. Distribution, biomass and community
structure of megabenthos of the Gulf of Carpentari, Australia. Mar Ecol. Prog. Ser. Vol.
129: 127–139.
Moberg, F., & Folke, C. (1999). Ecological goods and services of coral reef ecosystems.
Ecological economics, 29(2), 215-233.
67
Neo M.L., W. Eckman, K. Vicentuan, S.L.M. Teo and P.A. Todd. 2015. The ecological
significance of giant clams in coral reef ecosystems. Biol Conserv 181: 111-23.
Nybakken J. W. 1992. Biologi laut, suatu pendekatan ekologi. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. 496 hlm.
Obura, D., & Grimsditch, G. (2009). Resilience Assessment of Coral Reefs Rapid assessment
protocol for coral reefs, focusing on coral bleaching and thermal stress (p. 71).
IUCNResilience Science Group Working Paper Series – No 5, Gland, Switzerland.
Pratchett, M.S., Wilson, S.K., & Baird, A.H. (2006). Declines in the abundance of
Chaetodon butterfly fishes following extensive coral depletion. Journal of Fish Biology,
69(5), 1269-1280.
Pratchett, M.S. 2007. Feeding preferences of Acanthaster planci (Echinodermata: Asteroidea)
under controlled conditions of food availability. Pac. Sci. 61: 113–120.
Pramudji. 2017. Monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkai di Teluk Kendari
95hlm.
Purbani, D., T.L. Kepel, & A. Takwir. 2014. Kondisi Terumbu Karang di Pulau Weh Pasca
Tsunami. Jurnal Manusia dan Lingkungan. Vol. 21 (3) : 331-340.
Rahmawati, S., A.Irawan, I.H. Supriyadi, M.H.Azkab 2017. Panduan Pemantauan Padang Lamun.
Pusat Penelitian Oseanografi-COFREMAP CTI-LIPI, 35 hal.
Roberts, C., Ormond, R., Marine, T. & Kingdom, U. (1987). Habitat complexity and coral reef
fish diversity and abundance on Red Sea fringing reefs. Mar. Ecol. Prog. Ser. Vol. 41 :
1 - 8.
Robertson, W. D., Schleyer, M. H., Fielding, P. J., Tomalin, B. J., Beckley, L. E., Fennessy, S. T.,
van der Elst, R. P., Bandeira, S., Macia, A. & Gove, D. ( 1996) . Inshore marine resources
and associated opportunities for development of the coast of Southern Mozambique:
Ponta do Ouro to Cabo de Santa Maria. S. Afr. Ass. Mar. Biol. Res. Unpub. Rep. 130.
Durban. 51 p.
Ruiz-Ramos D.V., E.A. Hernández-Delgado and N.V. Schizas. 2011. Population status of the long
spined urchin Diadema antillarum in Puerto Rico 20 years after a mass mortality event.
Bull. Mar. Sci. 87(1):113–127.
Sammarco P.W. 1980. Diadema and its relationship to coral spat mortality: grazing, competition,
and biological disturbance. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 45:245–272.
Sano, M., Shimizu, M. & Nose, Y. (1984). Changes in the structure of coral reef fish communihes
by destruction of hermatypic corals: observational and experimental views. Pacif. Sci.
38: 51-79.
Sharif S. and B. Rinkevich. 2008. A Drupella cornus outbreaks in the northen Gulf of Eilat and
changes in coral prey. Coral Reef 27: 379.
68
Shoua L., Y. Huanga, J. Zenga, A. Gaoa, Y. Liaoa and Q. Chena. 2009. Seasonal changes of
macrobenthos distribution and diversity in Zhoushan sea area. Aquatic Ecosystem Health
12:110–115.
Sloan N.A. 1980. Aspects of feeding biology of asteroidea. Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev.18 :
57–124.
Smith, J. E., Hunter, C. L., dan Smith C. M. (2010). The effects of top–down versus bottom–up
control on benthic coral reef community structure. Oecologia, 163(2), 497-507.
Soo P, and P.A. Todd. 2014. The behaviour of giant clams (Bivalvia: Cardiidae: Tridacninae).
Mar. Biol. 161: 2699-2717.
Steneck, B. (2012). How to kill a coral reef: Lessons fromthe Caribbean. http:// www.
reefresilience. org/ Toolkit Coral/C3a1_Herbivory.html.
Suharsono. 2017. Jenis-jenis karang di Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, 536 pp.
Suyanti, Henky, dan Falmi. 2008. Studi Biologi Bulu Babi (Echinoidea) Diperairan Teluk dalam
Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan
Riau.
Thamrin, S. Siregar, dan Yudha. 2011. Analisis Kepadatan Bulu Babi Diadema Setosum Pada
Kondisi Terumbu Karang Berbeda di Desa Mapur Kepulauan Riau. Jurnal Lingkungan.
2011:5 (1).
Thrush S.F., J.E. Hewitt, A. Norkko, P.E. Nicholls, G.A. Funnell and J.I. Ellis. 2003. Habitat
change in estuaries: predicting broadscale responses of intertidal macrofauna to sediment
mud content. Marine Ecological Progress Series 263:101–112.
Turner S.J. 1994. The biology and population outbreaks of the coalliovorous gastropods drupella
on Indo-Pacific Reefs. Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev. 32: 461 – 530.
Wilson, S. K., Fisher, R., Pratchett, M. S., Graham, N. A. J., Dulvy, N. K., Turner, R. A., ... &
Rushton, S. P. (2008). Exploitation and habitat degradation as agents of change within
coral reef fish communities. Global Change Biology, 14(12), 2796-2809.
Wilson J.R. & Green, A.L. (2009). Metode Pemantauan Biologi Untuk Menilai Kesehatan
Terumbu Karang dan Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia
(Terjemahan). Versi 1.0. Laporan TNC Indonesia MarineProgram No 1/09. 46 hal.
Wilson SK, Graham NAJ, Pratchett M, Jones GP, Polunin N.V.C. 2006. Multiple disturbances
and the global degradation of coral reefs: are reef fishes at risk or resilient? Global
Change Biol 12:2220–2234.
Van Wynsberge S, S. Andrefouet, N. Gaertner-Mazouni, C.C.C. Wabnitz, A, Gilbert, G.
Remoissenet, C. Payri and C. Fauvelot. 2016. Drivers of density for the exploited giant
clam Tridacna maxima: A meta analysis. Fish 17, 567-584.
69
LAMPIRAN
Lampiran 1. Nilai tutupan masing masing kategori bentik.
Stasiun Tahun HC AC NAC DC DCA SC SP FS OT R S SI RK
TBRC01 2019 31.73 0.00 31.73 0.00 49.87 6.73 1.00 0.00 6.53 3.53 0.60 0.00 0.00
TBRC02 2019 15.93 0.33 15.60 0.07 47.53 2.33 1.67 0.00 7.73 17.53 7.20 0.00 0.00
TBRC03 2019 26.53 1.67 24.87 0.13 57.33 0.53 1.87 0.00 2.40 4.47 6.73 0.00 0.00
TBRC04 2019 22.53 0.07 22.47 0.00 47.73 9.07 4.60 0.07 13.80 0.60 1.60 0.00 0.00
TBRC05 2019 24.93 0.00 24.93 0.00 33.13 11.07 13.07 0.13 17.07 0.20 0.40 0.00 0.00
TBRC06 2019 17.13 0.00 17.13 0.00 38.20 6.67 8.60 0.27 23.80 2.87 2.47 0.00 0.00
TBRC07 2019 35.93 3.93 32.00 0.00 37.53 0.20 1.40 0.40 4.73 12.67 7.13 0.00 0.00
TBRC08 2019 26.53 1.40 25.13 0.13 20.67 0.93 2.67 0.00 5.27 13.87 29.93 0.00 0.00
TBRC09 2019 14.87 0.33 14.53 0.00 24.07 22.67 3.87 0.27 28.73 2.27 3.27 0.00 0.00
TBRC10 2019 24.80 0.07 24.73 0.20 46.13 5.33 1.07 0.07 13.60 1.53 7.27 0.00 0.00
TBRC11 2019 37.07 0.00 37.07 0.00 30.47 13.07 2.07 0.07 10.93 5.73 0.60 0.00 0.00
TBRC12 2019 17.40 1.13 16.27 0.27 27.20 3.67 3.00 0.07 2.93 10.93 32.07 2.47 0.00
Kode Keterangan
HC : Hard Coral = Karang batu hidup - AC : Acropora = karang batu marga Acropora - NAC : Non Acropora = karang batu selain marga Acropora DC : Dead Coral = karang mati DCA : Dead Coral with Algae = karang mati yang telah ditumbuhi alga SC : Soft Coral = karang lunak SP : Sponge = spon FS : Fleshy Seaweed = alga OT : Other Fauna = fauna lain R : Rubble = pecahan karang S : Sand = pasir SI : Silt = lumpur RK : Rock = batuan
70
Lampiran 2. Jenis- jenis karang keras yang dapat dijumpai di lokasi transek.
No. Suku TBRC
01
TBRC
02
TBRC
03
TBRC
04
TBRC
05
TBRC
06
TBRC
07
TBRC
08
TBRC
09
TBRC
10
TBRC
11
TBRC
12 Jenis
I ASTROCOENIIDAE i Stylocoeniella 1 Stylocoeniella armata - - - + - - - + - - - - 2 Stylocoeniella cocosensis - - - + - - - - - - - - 3 Stylocoeniella guentheri - - - - - - - + - - - - ii Palauastrea 4 Palauastrea ramosa - + - - - - - + - - - +
II POCILLOPORIDAE iii Pocillopora 5 Pocillopora ankeli + + - + - + - - - - - - 6 Pocillopora damicornis + + + + + + + + + + + + 7 Pocillopora danae + + - + + - + + + + + + 8 Pocillopora eydouxy - - - - - - - - + - - - 9 Pocillopora meandrina - + - - - + - - + + + - 10 Pocillopora verrucosa + + + - + + + + + + + + 11 Pocillopra elegans - - - - - - - - - - + - iv Seriatopora 12 Seriatopora aculeata + - - - - + + - - - - - 13 Seriatopora caliendrum - - + - - + + + - - - - 14 Seriatopora dendritica - - - - - - - + - - - - 15 Seriatopora guttatus - - - - - - - + - - - - 16 Seriatopora hystrix + + - - - + + + + - - - 17 Seriatopora stellata - - - - - - - - + - - - v Stylophora 18 Stylophora pistillata + + - + - + + + + - + + 19 Stylophora subseriata - + + - - + + + + - - +
III ACROPORIDAE vi Montipora 20 Montipora caliculata + + + + + + + + + + + + 21 Montipora cebuensis + - - - - - - - - - - - 22 Montipora cocosensis - - - - - - - - - - + - 23 Montipora confusa - + - - - - - - - - - - 24 Montipora corbettensis - - - - - - + - - - - - 25 Montipora danae - - - - + + + - + + - + 26 Montipora digitata - + - - - - - - - - - - 27 Montipora efflorescens - + + + + - - + - - - - 28 Montipora effusa - + - - - - - - - - - - 29 Montipora floweri - - - - + + - - - - - - 30 Montipora foliosa + - - - - - + - - - - - 31 Montipora foveolata - - - + + + - + + - + + 32 Montipora friabilis - - - + - - + - - - - - 33 Montipora grisea - - - - + - - + - - + - 34 Montipora hirsuta - + - - - + - - - - - - 35 Montipora hispida - - - - - - - + + + - - 36 Montipora informis - - + + + - - + - - + + 37 Montipora millepora - - - + - - - + - - - - 38 Montipora monasteriata - - - - - - + - - - - + 39 Montipora nodosa + - - + + - - + - - + + 40 Montipora orentalis - - - - - - + - - - - - 41 Montipora palawanensis - - - - + + - - - - - - 42 Montipora porites - - - - - + - - - + - - 43 Montipora spumosa - - - - - - - + - + - - 44 Montipora stellata + + + - - + + - - - - - 45 Montipora tuberculosa + + + + + + + + + + + + 46 Montipora turgenscens - - - - - - - - - - - + 47 Montipora undata - - - - - - - - + + + + 48 Montipora venosa - + - - - - - - + + - - 49 Montipora verrucosa - - - - + + - + - - - - 50 Montipora verruculosus - + + - - + - - - - - - 51 Montipora vietnamensis - - + - - - - - - - - - vii Anacropora 52 Anacropora forbesi - - - - - - - + - - - -
71
53 Anacropora spinosa - - + - - - - - - - - - viii Acropora 54 Acropora aculeus - - - - - - + + - - - + 55 Acropora anthocercis - - - + + + - - - - - - 56 Acropora aspera - + - - - - + + + - - - 57 Acropora austera - + - - - - + + - - - + 58 Acropora batunai - - - - - - - - - - - + 59 Acropora bifurcata - - - - - - - - - - - + 60 Acropora carduus - - - + - - - + - - - + 61 Acropora caroliniana + + - - - - + + - - + + 62 Acropora cerealis - + + + - - - + + - - + 63 Acropora cophodactyla - - - - - - + - - - - - 64 Acropora cytherea - + + - - - + + - - - + 65 Acropora dendrum - - - - - - + - - - - - 66 Acropora desalwii - - - - - - - + - - - - 67 Acropora digitifera - - - - - - - + - - - - 68 Acropora divaricata - + - - - - + + + - - - 69 Acropora donei - - - - - - - + - - - - 70 Acropora exquisita - - - - - - - + - - - - 71 Acropora florida - + + + - - + + + - - + 72 Acropora formosa + - + - - - + - + - - + 73 Acropora gemmifera - + - + + + + - + - - + 74 Acropora globiceps - - - - - - - - - - + - 75 Acropora gomezi - + - - - - - + - - - - 76 Acropora grandis - - - - - - - + - - - - 77 Acropora granulosa - + - - - - + + - - + - 78 Acropora hoeksemai - - - - - - - - - + - - 79 Acropora horrida - - - - - - - - - - - + 80 Acropora humilis + + + + + + + + + - + + 81 Acropora hyacinthus - - - - - - - - + - + + 82 Acropora insignis - - + - - - + + - - - - 83 Acropora jacquelineae + - - - - - - - - - - + 84 Acropora kimbeensis - - - - - - - - - - - + 85 Acropora latistella - - + - - - + - - - - - 86 Acropora lokani - - - - - - - + - - - - 87 Acropora loripes - + - + + + + + + + - + 88 Acropora macrostoma - - - - - - - + + - - - 89 Acropora microclados - + - - - - + - + - - + 90 Acropora microphthalma - - - - - - + + - + - + 91 Acropora millepora + + - - - - + + - - - + 92 Acropora monticulosa - - - - - - - - - - - + 93 Acropora nasuta - + - + - + + + + - - - 94 Acropora nobilis - - + - - - + + + - - + 95 Acropora parilis - - - - - - + - - - - - 96 Acropora plana - - - - - - - + - - - - 97 Acropora plumosa - - - - - - + - - - - - 98 Acropora polystoma - - - - - - - + - - - - 99 Acropora proximalis - - - - - - - - - - - + 100 Acropora pulchra - - + - - - + + + - - + 101 Acropora rosaria - - - - - - - - - - - + 102 Acropora samoensis + - + - + - + + + - - + 103 Acropora secale - + - - - + + + - - + - 104 Acropora selago - + + - - - + + - - - + 105 Acropora speciosa - - - - - - - + - - - + 106 Acropora striata - + + - - - - - - + - - 107 Acropora subglabra - - - - - - + + - - - + 108 Acropora subulata - - - - - - - - - - + - 109 Acropora tenuis - + - - + - - + + - - - 110 Acropora valenciennesi - - - - - - - - + - - - 111 Acropora valida - + - - - - - - + - - + 112 Acropora willisae - - - + - - - - - - - - 113 Acropora yongei - - - - - - - + - - - - ix Isopora
114 Isopora brueggemanni - + + - - + + + - - - + 115 Isopora crateriformis - - - - + - - - - - - - 116 Isopora palifera + + + + - + + + + + + - x Astreopora
117 Astreopora gracilis + + + + - - - + + - - - 118 Astreopora listeri - - - + - + - + - - - - 119 Astreopora myriophthalma - + + - - + + + + - + + 120 Astreopora ocellata + + - - + - + + + + + +
72
121 Astreopora randalli + - - - + - - - - - - - 122 Astreopora suggesta - - + + - - + + + - - +
IV PORITIDAE xi Porites
123 Porites annae + + - - + + + + - + - + 124 Porites anttenuata + + - - - + + - - - - - 125 Porites australiensis - - - + - - - + - - - - 126 Porites cocosensis - + - - + - - + - - - - 127 Porites cylindrica + + + - + + + + + + + + 128 Porites densa - - - + + - + - + + - - 129 Porites eridani - + - - - - - - - - - - 130 Porites horizontalata + + - + + + - - - + + + 131 Porites latistella + - - - - - - - - - - - 132 Porites lichen - + + + - + - - - + + - 133 Porites lobata + + + + + + + + + + + + 134 Porites lutea + + + + + + + + + + + + 135 Porites mayeri + - - - + + + + + + - - 136 Porites monticulosa + + - + - - + - - + + - 137 Porites murrayensis + + - + - + - - + - + + 138 Porites napopora + + - - + - + + - - - - 139 Porites negrosensis + + + + - + + + - + + - 140 Porites nigrescens + + + + + + + + + + + - 141 Porites ornata - - - - - + + - - + - - 142 Porites rugosa + + + - + - + + + + + - 143 Porites rus + + - + + - + - - + + + 144 Porites sillimaniana - - - - - - - - - - + - 145 Porites solida + + + + + + + + + + + + 146 Porites stephensoni + + - + + + + + + + - + 147 Porites tuberculosa + + - + + + + + + + + + 148 Porites vaughani + + + + + + - + + + + + xii Goniopora 149 Goniopora albiconus + - - - - - - - - - - - 150 Goniopora columna + + - + + + - + + - + + 151 Goniopora djiboutiensis + - - - - + - + - - - + 152 Goniopora eclipsensis - - - + - + - - - - + - 153 Goniopora fruticosa - - - + - - - - - - - - 154 Goniopora lobata + + - + - + - + - + + + 155 Goniopora minor - - - - - + - + - - + + 156 Goniopora palmensis - - - - - - - + + - - + 157 Goniopora somaliensis - - - - - - - + - - - - 158 Goniopora stokesi + - - + - + - + + + - - 159 Goniopora stutchburyi - - - - + + - - - - - - xiii Alveopora 160 Alveopora allingi - - - - - - - + - - - + 161 Alveopora fenestrata + - - - - - - - - - - - 162 Alveopora spongiosa - - - - - - - + - - - +
V SIDERASTREIDAE
xiv Pseudosiderastrea 163 Pseudosiderastrea tayami - - - - - - + + + + - - xv Psammocora 164 Psammocora contingua - - - - + - - + - + - - 165 Psammocora digitata - + - - - - - - - - - - 166 Psammocora explanulata - - - - - - - - - + - - 167 Psammocora haimeana - + - + - + - - + - + + 168 Psammocora nierstraszi + - - - - - - + - + - + 169 Psammocora obtusangula - - - - - - - - + - - -
170 Psammocora profundacella
+ + - + - - - - + + - +
171 Psammocora superficialis + + - - - - - + - + - - xvi Coscinaraea 172 Coscinaraea columna - + - + + - - - - - - - 173 Coscinaraea crassa - + - - - - + - - - - - 174 Coscinaraea exesa + + - + - - - - - - - - 175 Coscinaraea monile - + + - + - + - + - - - 176 Coscinaraea wellsi - - - - - - + - - - - - xvii Siderastrea 177 Siderastrea savignyana + - - + - - + - - - - +
VI AGARICIIDAE
73
xviii Pavona 178 Pavona bipartita - - - - - - - - - - + - 179 Pavona cactus - - - - - - + + - - - + 180 Pavona clavus + - - - - - + - - - - - 181 Pavona danai + - - - - - + - - - - - 182 Pavona decussata + - + - - - + + - - - + 183 Pavona duerdeni - - - - - - - - + - + - 184 Pavona explanulata - + - - + - - - + + - + 185 Pavona minuta - - - - - - - - - + - - 186 Pavona varians + + + + + + + + + + + - 187 Pavona venosa + + + + + + + + + + + + xix Leptoseris 188 Leptoseris explanata - - - + + - - + - - - + 189 Leptoseris foliosa + + - + - - - + - - - + 190 Leptoseris hawaiiensis - - - + - - - - - - - - 191 Leptoseris incrustans + - - - - - - - - - - + 192 Leptoseris mycetoseroides - - - + + + - - - - + - 193 Leptoseris papyracea - + - - - - - - - - - - 194 Leptoseris scabra - - - + + + + - - - - + 195 Leptoseris scabra - + - - - - - - - - - - 196 Leptoseris tubulifera - - - - + - - - - - - - 197 Leptoseris yabei + - - - - - - - - - - - xx Gardineroseris 198 Gardineroseris planulata + + - - - + + + + + - + xxi Coeloseris 199 Coeloseris mayeri + + + - + - + - - - - + xxii Pachyseris 200 Pachyseris foliosa - - - + - - + - - - + + 201 Pachyseris involuta - - - - - - - + - - - - 202 Pachyseris rugosa + + - - - + + + - - + + 203 Pachyseris speciosa + + - + + + + + + + + +
VII FUNGIIDAE xxiii Cycloseris 204 Cycloseris tenuis - - - - - - - - + - - - xxiv Heliofungia 205 Heliofungia actiniformis - + - - - - - + - - - + xxv Fungia 206 Fungia concinna + - - - + + + + + + + - 207 Fungia corona - + - - - - - - - - - + 208 Fungia danai + + + + + + + + + + + + 209 Fungia fralinae + + + + - - - + + - - - 210 Fungia fungites + + + - + + - - + + + + 211 Fungia granulosa + + - - - + - + + + - + 212 Fungia horrida - + - - - + - - + + + - 213 Fungia klunzingeri + + + + + + + + + + + + 214 Fungia moluccensis - - - - - - - + - - - - 215 Fungia paumotensis + + - + + + - + + - + + 216 Fungia repanda + - - + - - - - - - + + 217 Fungia scabra - - - - + + - + + + + + 218 Fungia scruposa - - - - - - - - - - + + 219 Fungia scutaria - - - - + - - - + + + - xxvi Herpolitha 220 Herpolitha limax + - - - + - - + + - - +
xxvii Polyphyllia 221 Polyphyllia talpina - - - - - - - + + + + +
xxviii Halomitra 222 Halomitra pileus + + + - - - + + + - - + xxix Sandalolitha 223 Sandalolitha dentata - - - - + - - - + - + + 224 Sandalolitha robusta + + + - + + - - + + - + xxx Lithophyllon 225 Lithophyllon mokai - - - + - - - + - - - - 226 Lithophyllon undulatum + - - + - - - - + - - - xxxi Podabacia 227 Podabacia crustacea + + - + - - - + - - - + 228 Podabacia motuporensis - - - - - - + + - - - -
xxxii Ctenactis 229 Ctenactis albitentaculata - - - - - - - - + - - - 230 Ctenactis crassa + - + - - - - - + - - - 231 Ctenactis echinata + + + - - - + - + + + +
74
xxxiii Cantharellus 232 Cantharellus jebbi - - - - - - - - + - - +
VIII OCULINIDAE xxxiv Galaxea 233 Galaxea acrhelia - + - - - - + - - - - + 234 Galaxea astreata + + + + - + + + + + + + 235 Galaxea cryptoramosa - + - - - - - + - - - - 236 Galaxea fascicularis + + + + + + - + + + + + 237 Galaxea horrescens - + - - - - - - - - - + 238 Galaxea paucisepta + + + + + + + + + + - + xxxv Simplastrea 239 Simplastrea vesicularis - - - - - - - - - - + -
IX PECTINIIDAE
xxxvi Echinophyllia 240 Echinophyllia aspera + + - - + - - - - - + + 241 Echinophyllia costata - + - - - - + - - + - - 242 Echinophyllia echinata - - - + - - - - - - - -
243 Echinophyllia echinoporoides
+ - - - - - + - - - - -
244 Echinophyllia patula - - - - - - - - - - - + xxxvii Oxypora
245 Oxypora crassispinosa - + - + - + - + - - - - 246 Oxypora glabra + - - - + - + + - - + + 247 Oxypora lacera - + - + + - + + - - + -
xxxviii Mycedium 248 Mycedium elephantotus - + - + + + + - + + - + 249 Mycedium mancoi - - - - - + + - - + + - 250 Mycedium robokaki + + - + + + + - - + - -
xxxix Pectinia 251 Pectinia alcicornis - - + - - - - + - - - + 252 Pectinia ayleni + - - - - + - - + - - - 253 Pectinia elongata - - - - - - - + - - - - 254 Pectinia lactuca + + - + + - - + - - + + 255 Pectinia maxima - - - - - - - - - - - + 256 Pectinia paeonia + - - - - - - + - - - + 257 Pectinia teres + - - - - - - - + - - -
X MUSSIDAE
xxxx Scolymia 258 Scolymia vitiensis + - - - - - - - - - - -
xxxxi Achantastrea 259 Acanthastrea echinata - - - + - + - - - + + + 260 Acanthastrea faviaformis + + - + + + - - - + - + 261 Acanthastrea hemprichii - - - + + - - + - - + - 262 Acanthastrea regularis + + - + + - - - + + - - 263 Acanthastrea rotundoflora - - - + - - - - - + - - 264 Acanthastrea subechinata + - - + - - - - + - - +
xxxxii Lobophylllia 265 Lobophyllia corymbosa - + + + + + + - - - + + 266 Lobophyllia flabelliformis - + - - - - - - + - + + 267 Lobophyllia hataii + + - - + + - + - + - + 268 Lobophyllia hemprichii + + + + + + + + - + + + 269 Lobophyllia pachysepta - - - + - - - - + - - - 270 Lobophyllia robusta + + - + + + + + - - + -
xxxxiii Symphyllia 271 Symphyllia agaricia - + - + + - + - + + + - 272 Symphyllia hassi - - - + - - + - - - - - 273 Symphyllia radians - + - - + + + - + + + - 274 Symphyllia recta - + - + + + + - - - + - 275 Symphyllia valenciennesii - + - + + - - + - - - -
XI MERULINIDAE
xxxxiv Hydnophora 276 Hydnophora exesa - + - + + + - - + + - - 277 Hydnophora grandis + + - + + + + - + + - + 278 Hydnophora microconos + + - + + + - + + + + - 279 Hydnophora pilosa - + - + - - - - - - - - 280 Hydnophora rigida + + - + - + + - + - - +
xxxxv Merulina
75
281 Merulina ampliata + + + + + + + + + + + + 282 Merulina scabricula + + + + + + + + + + + +
xxxxvi Paraclavarina 283 Paraclavarina triangularis - - - - - - + + - - - -
xxxxvii Scapophyllia 284 Scapophyllia cylindrica - - - - + - - - - - - -
XII FAVIIDAE
xxxxviii Caulastrea 285 Caulastrea echinulata - - - - - - - - - - - + 286 Caulastrea furcata - - - - - - - - + - - - 287 Caulastrea tumida + - - - - - - - + - - -
xxxxix Favia 288 Favia danae + - + - - + - + - - - + 289 Favia favus + + - - - + + + + - - + 290 Favia helianthoides - - + - + - + + + + - - 291 Favia laxa - - - - + - - - - - - - 292 Favia lizardensis + + - + + + - - + + + + 293 Favia maritima - - - + - - - + + - - - 294 Favia marshae - - - - - - - + - + - - 295 Favia matthaii + + + + + + + + + + + - 296 Favia maxima - + - - - - - - + - - - 297 Favia pallida + + + + + + + + + + + + 298 Favia rosaria - - - + - - - - - - - - 299 Favia rotundata - + + + + + - - + + - - 300 Favia serailia - - - + - - - - - - - - 301 Favia speciosa + + + + + + + + + + + + 302 Favia stelligera + + - + + + - + - + + - 303 Favia truncatus - - - + - - - + - - - - 304 Favia veroni - + - + + + - - + + - + 305 Favia vietnamensis - - - - - - - - + - - -
xxxxx Barabattoia 306 Barabattoia amicorum + + - - - - - + - + - - 307 Barabattoia laddi - - + - - - - - - - - -
xxxxxi Favites 308 Favites abdita + + + + + + + + + + + + 309 Favites acuticollis - + - - - - - - - - + - 310 Favites bestae + - - + + - - - - + - - 311 Favites chinensis - + + + + - - - + + + - 312 Favites complanata + + + + + + - + + + + + 313 Favites flexuosa + - + + - - + - + + + - 314 Favites halicora + + + + + + - - + + + + 315 Favites micropentagona - + - - + - - - - - - + 316 Favites paraflexuosa - - + + + - - - + + - - 317 Favites pentagona + + - + + + + - + + + - 318 Favites russelli + + + + + + - + + + - + 319 Favites stylifera - + - - - - - - - - - - 320 Favites vasta - - - - - - - - - - - +
xxxxxii Goniastrea 321 Goniastrea aspera - - + + + - - + + + + - 322 Goniastrea australensis + + - + + + - + - - - + 323 Goniastrea edwardsi + + + + + + + + + + + + 324 Goniastrea favulus + + - + + + + + + + + + 325 Goniastrea minuta + + - + + + + + + + + + 326 Goniastrea palauensis + - - - - - - - - - - - 327 Goniastrea pectinata + + + + + + + + + + + + 328 Goniastrea ramosa - - - + - - - - - - - - 329 Goniastrea retiformis + + + + + + - - + + + +
xxxxxiii Platygyra 330 Platygyra acuta + + - + + + - + + - + + 331 Platygyra carnosus - - - - - - + - - - - - 332 Platygyra contorta + + - + + + + - - - + - 333 Platygyra daedalea + - - + + - - - + + + - 334 Platygyra lamellina + + + + + - + + + - - - 335 Platygyra pini + + + + + + + + + + + + 336 Platygyra ryukyuensis + + - + + - - - + - + - 337 Platygyra sinensis + - + + + + - - - - + - 338 Platygyra verweyi + + - + + + + - + - + - 339 Platygyra yaeyamaensis + + - + + + - - - + - -
xxxxxiv Leptoria 340 Leptoria irregularis - - - + - - - - - - + -
76
341 Leptoria phrygia - - - - - + - - - - + - xxxxxv Oulophyllia
342 Oulophyllia bennettae - - - - + + - - - - - - 343 Oulophyllia crispa - + - + + - - - - + - - 344 Oulophyllia levis - + - + - + - - + + - +
xxxxxvi Montastrea 345 Montastrea annuligera + + - - + + - - + + - + 346 Montastrea colemani - - - + + + - - - + + + 347 Montastrea curta + + + + + + + + + + + + 348 Montastrea magnistellata - + + - + + - - - - - + 349 Montastrea salebrosa - - - - - + - - - - + - 350 Montastrea valenciennesi + + + + + + - - + + + +
xxxxxvii Plesiastrea 351 Plesiastrea versipora - - - + - + - + - - + +
xxxxxviii Diploastrea 352 Diploastrea heliopora + - + + + + + + - + + +
xxxxxix Leptastrea 353 Leptastrea aequalis - - - - - - - - - + - - 354 Leptastrea bewickensis + - - + - - + + + - - + 355 Leptastrea bottae - - - - - - - - - + + - 356 Leptastrea pruinosa - - - - + - - - - - - + 357 Leptastrea purpurea + + + + + + + + + + + + 358 Leptastrea transversa - + - + + + + + + - - +
xxxxxx Cyphastrea 359 Cyphastrea agassizi + + - + + - - + - - - + 360 Cyphastrea chalcidicum - - + + + - + - - - - + 361 Cyphastrea decadia - - - - - - - + - - - - 362 Cyphastrea japonica + + - + + - - + + + + +
363 Cyphastrea microphthalma
+ + - + + - + + + - + +
364 Cyphastrea ocellina - + - + - + - - + + + + 365 Cyphastrea serailia + + - + + + + + + + + +
xxxxxxi Echinopora 366 Echinopora gemmacea - + + - - + - - - + + - 367 Echinopora hirsutissima - - - - + - - - - - - - 368 Echinopora horrida - + - - - + - - + + + - 369 Echinopora lamellosa - + + + + + + - + + + + 370 Echinopora mammiformis - + - - - - + + - + - + 371 Echinopora pacificus + + + + + + + + + - - +
XIII TRACHYPHYLLIIDAE
xxxxxxii Trachyphyllia 372 Trachyphyllia geoffroyi - - - - - - - + - - - -
XIV CARYOPHYLLIIDAE
xxxxxxiii Euphyllia 373 Euphyllia ancora + + - - - + - + - - - - 374 Euphyllia cristata - - - - - - - + - - - - 375 Euphyllia divisa - - - - - + - - - - - + 376 Euphyllia glabrescens - + - - + - - + - - - + 377 Euphyllia paraancora - - - - - + - - - - - - 378 Euphyllia paradivisa - - - - - - - - + - - -
xxxxxxiv Plerogyra 379 Plerogyra simplex + + - + - - - - - - - - 380 Plerogyra sinuosa + + - + + + - + + + - +
xxxxxxv Physogyra 381 Physogyra lichtensteini + + - + - + + - + + + +
XV DENDROPHYLLIIDAE
xxxxxxvi Turbinaria 382 Turbinaria irregularis - - - - - - - + + + - - 383 Turbinaria mesenterina - + - + - + - + - + + + 384 Turbinaria peltata - - - - + + - - + - - + 385 Turbinaria radicalis - - - - - - - - + + - - 386 Turbinaria reniformis - + - + - - - + + + - + 387 Turbinaria stellulata + + + + + - - + + + - +
xxxxxxvii Tubastrea 388 Tubastrea faulkneri + - - + + + - - + - - - 389 Tubastrea micrantha - - - - - + - - + - - -
XVI TUBIPORIDAE
77
xxxxxxviii Tubipora 390 Tubipora musica - - - + + + - - + + - -
XVII HELIOPORIDAE xxxxxxix Heliopora
391 Heliopora coerulea - - - + + - - + + - - +
XVIII MILLEPORIDAE xxxxxxx Millepora
392 Millepora dichotoma + - + - - - - - + - - - 393 Millepora platyphylla - + + + - + + + + + + - 394 Millepora tenella - - + - - + + + - - - +
Jumlah Jenis 153 187 93 165 148 149 143 187 165 135 130 178
78
Lampiran 3. Hasil identifikasi jenis dan sensus individual ikan karang
No. SUKU & JENIS
TB
R 0
1
TB
R 0
2
TB
R 0
3
TB
R 0
4
TB
R 0
5
TB
R 0
6
TB
R 0
7
TB
R 0
8
TB
R 0
9
TB
R 1
0
TB
R 1
1
TB
R 1
2
1 SERRANIDAE
1 Aethaloperca rogaa 1 1 2
2 Anyperodon leucogrammicus 1 1 1
3 Cephalopholis argus 2 1 2 5 2
4 Cephalopholis cyanostigma 3 1 1
5 Cephalopholis sexmaculata 1
6 Cephalopholis spiloparae 1
7 Cephalopholis urodeta 7 2 13 4 6 2 9 3 12 2
8 Diploprion bifasciatum 1 1
9 Epinephelus fasciatus 3 5 1 1 4
10 Epinephelus merra 5 2 1 1 1 1
11 Epinephelus ongus 1 1
12 Gracila albomarginatus 1 1 1 1 5
13 Variola louti 2
2 LUTJANIDAE
14 Aphareus furca 2 2 2 1 3 1 1
15 Aprion verescens 1 4 2
16 Lutjanus bohar 4 2 4 2 4 2 2
17 Lutjanus carponatus 2
18 Lutjanus decussatus 2 4 4 1 2 2 7 24 1
19 Lutjanus fulvus 6
20 Lutjanus gibbus 25 14 4 11 47
21 Lutjanus kasmira 2
22 Macolor macularis 2 3 3 2 3 1 1 1 2
3 LETHRINIDAE
23 Gnathodentex aureolineatus 30
24 Lethrinus erythropterus 2 1 1 2 2
25 Lethrinus ornatus 3
26 Monotaxis grandoculis 3 2 2 5 3 8 10 14 9 15 2
4 HAEMULIDAE
27 Plectorhinchus chaetodontoides 4 1 1 1 1 1 1
28 Plectorhinchus lessonii 1
29 Plectorhinchus vittata 2 1
5 ACANTHURIDAE
30 Acanthurus auranticavus 1 2 1
31 Acanthurus mata 4
32 Acanthurus nigricans 4 5 2 3 2
33 Acanthurus nigrofuscus 8 28 6 3 7 4
34 Acanthurus olivaceus 19 7 2 2
35 Acanthurus pyroferus 11 9 8 5 4 10 5 4 9 2 14
36 Acanthurus thompsoni 9 13 17 23 6
37 Ctenochaetus binotatus 8 23 9 21
38 Ctenochaetus striatus 10 15 25 11 13 16 24 23 31 10 13 19
39 Naso braenchycentron 2
40 Naso hexacanthus 1 12
41 Naso lituratus 2 1 1 1 1 1 1
42 Naso thynoides 9 8 4 5
43 Naso vlamingii 8 4 4 4
44 Zebrasoma scopas 6 16 9 5 4 4 2 13 4 18 8
45 Zebrasoma veliferum 2 2 5 2 6
6 SCARIDAE
79
46 Cetoscarus ocellatus 3 3 3
47 Chlorurus bleekeri 7 20 6 4 7 4 6 3 5 2
48 Chlorurus sordidus 16 34 18 13 25 9 12 20 32 5 5
49 Hipposcarus longiceps 2 4 1
40 Scarus chameleon 2
51 Scarus dimidiatus 2 4 2 5 1 2 2 2 2
52 Scarus ghobban 4 3 2 2
53 Scarus globiceps 1 1
54 Scarus niger 11 1 9 8 1 3 10 3 6 5 2
55 Scarus porsterni 1 1
56 Scarus prasiognathos 1
57 Scarus psittacus 3
58 Scarus quoyi 1 2
59 Scarus flavipectoralis 11 18 2 2 1 13 11 1 3 3 5
60 Scarus schlegeli 2 3 1
61 Scarus spinus 1 1
62 Scarus tricolor 3 2 3 1 1 1 3 2 2
7 SIGANIDAE
63 Siganus canaliculatus 6 4 6 7
64 Siganus corallinus 2 2 2 3
65 Siganus doliatus 2
66 Siganus laqueus 2 1 2
67 Siganus puellus 4 4 2 2
68 Siganus punctatissimus 2 3 2
69 Siganus vulpinus 4 6 3 4 1 1 4 2 3 4 2 2
80
Lampiran 4. Hasil analisis data penilaian biomassa ikan karang
No. SUKU & JENIS
TB
R 0
1
TB
R 0
2
TB
R 0
3
TB
R 0
4
TB
R 0
5
TB
R 0
6
TB
R 0
7
TB
R 0
8
TB
R 0
9
TB
R 1
0
TB
R 1
1
TB
R 1
2
1 SERRANIDAE
1 Aethaloperca rogaa 364 174 728
2 Anyperodon leucogrammicus 360 208 48
3 Cephalopholis argus 566 195 225 548 117
4 Cephalopholis cyanostigma 572 316 316
5 Cephalopholis sexmaculata 588
6 Cephalopholis spiloparae 173
7 Cephalopholis urodeta 1341 119,01 2688 557 650 314 926 276 773 484
8 Diploprion bifasciatum 115 115
9 Epinephelus fasciatus 637 775 195 38 584
10 Epinephelus merra 471 80 12 32 32 124
11 Epinephelus ongus 923 923
12 Gracila albomarginatus 316 174 174 82 686
13 Variola louti 538
2 LUTJANIDAE
14 Aphareus furca 358 358 460 128 485 128 230
15 Aprion verescens 833 3330 1108
16 Lutjanus bohar 1482 216 67 458 364 49 458
17 Lutjanus carponatus 586
18 Lutjanus decussatus 306 188,04 822 205 78 411 914 1554 101
19 Lutjanus fulvus 194
20 Lutjanus gibbus 6115 2873 749 2061 6550
21 Lutjanus kasmira 14
22 Macolor macularis 2582 204 1974 186 2836 18 1291 284 111
3 LETHRINIDAE
23 Gnathodentex aureolineatus 316
24 Lethrinus erythropterus 1017 363 65 1017 828
25 Lethrinus ornatus 764
26 Monotaxis grandoculis 1627 842 842 494 160 2897 1204 583 2202 1471 842
4 HAEMULIDAE
27 Plectorhinchus chaetodontoides 1519 711 711 711 711 110 234
28 Plectorhinchus lessonii 240
29 Plectorhinchus vittata 184 358
5 ACANTHURIDAE
30 Acanthurus auranticavus 431 235 431
31 Acanthurus mata 1974
32 Acanthurus nigricans 252 18 82 122 82
33 Acanthurus nigrofuscus 1895 977 113 37 204 205
34 Acanthurus olivaceus 162 286 31 239
35 Acanthurus pyroferus 484 155 263 106 36 290 134 36 192 22 195
36 Acanthurus thompsoni 287 277 86 138 35
37 Ctenochaetus binotatus 298 452 657 522
38 Ctenochaetus striatus 306 163 1225 358 413 212 1189 388 289 284 389 620
39 Naso braenchycentron 764
40 Naso hexacanthus 382 1243
41 Naso lituratus 254 365 365 72 365 365 365
42 Naso thynoides 3441 317 855 1069
43 Naso vlamingii 5104 2552 1460 2552
44 Zebrasoma scopas 187 249 234 172 62 250 31 296 62 280 124
45 Zebrasoma veliferum 107 409 269 189 240
6 SCARIDAE
46 Cetoscarus ocellatus 217 160 274
47 Chlorurus bleekeri 2563 1020 1313 1406 539 1406 1238 135 860 906
48 Chlorurus sordidus 1062 1136 2327 2296 1620 357 577 537 1230 190 370
49 Hipposcarus longiceps 1049 2098 524
81
40 Scarus chameleon 1631
51 Scarus dimidiatus 73 61 55 35 18 130 36 14 25
52 Scarus ghobban 1759 2997 147 879
53 Scarus globiceps 742 453
54 Scarus niger 902 117 507 1206 9 486 684 94 688 436 930
55 Scarus porsterni 120 45
56 Scarus prasiognathos 64
57 Scarus psittacus 26
58 Scarus quoyi 453 370
59 Scarus flavipectoralis 1743 1714 703 501 45 623 2076 45 359 359 449
60 Scarus schlegeli 1007 1066 653
61 Scarus spinus 50 91
62 Scarus tricolor 1202 946 1302 43 256 473 130 375 512
7 SIGANIDAE
63 Siganus canaliculatus 163 849 1640 1058
64 Siganus corallinus 630 630 630 1777
65 Siganus doliatus 393
66 Siganus laqueus 486 113 486
67 Siganus puellus 445 306 223 83
68 Siganus punctatissimus 549 369 85
69 Siganus vulpinus 582 159 197 786 94 36 259 393 107 377 188 188