Konservasi Ekosistem Terumbu Karang Dan Mangrove
-
Upload
irna-maulida -
Category
Documents
-
view
67 -
download
11
description
Transcript of Konservasi Ekosistem Terumbu Karang Dan Mangrove
i
MAKALAH KONSERVASI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN LAUT
Diajukan untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah konservasi sumberdaya dan lingkungan laut
Konservasi Ekosistem Terumbu Karang dan Mangrove
disusun oleh:
Kelompok 10
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015
i
KONSERVASI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN MANGROVE
disusun oleh:
Asep Kurniawan 230210120001Fadlillah Azhar 230210120028Maulidya Adzhani 230210120036Bintang Bimaputra 230210120045Widi Nugraha 230210120046Maulida Ranintyari 230210120062Nirmala Syarifuddin Baco 230210159002
ii
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan banyak kesempurnaan, kenikmatan, serta anugerah yang begitu besar sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Konservasi Sumberdaya dan Lingkungan
Laut ini yang kami beri judul “Konservasi Ekosistem Terumbu Karang dan Mangrove”.
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui penyebab kerusakan
yang terjadi pada kedua ekosistem tersebut, serta mengetahui bagaimana cara untuk
memulihkannya, memertahankan, dan memperbaiki kerusakannya.
Ucapan terima kasih tidak lupa kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kedua
orang tua, dosen mata kuliah Konservasi Sumberdaya dan Lingungan Laut, serta rekan-
rekan mahasiswa sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Pepatah berkata, “Tak ada gading yang tak retak”. Tidak ada manusia yang
sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Tuhan semata. Kami menerima segala
kritik dan saran yang dapat membuat kami menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Jatinangor, September 2015
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
BAB Halaman
KATA PENGANTAR............................................................... iii
I. PENDAULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................... 11.2 Tujuan................................................................................ 2
II. ISI
2.1 Terumbu Karang................................................................ 32.1.1 Kerusakan Terumbu Karang.............................................. 32.1.2 Upaya Konservasi.............................................................. 52.2 Mangrove........................................................................... 72.2.1 Kerusakan Mangrove......................................................... 72.2.2 Upaya Konservasi.............................................................. 132.2.3 Studi Kasus........................................................................ 15
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA................................................................ 19
iv
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertambahan penduduk telah meningkatkan kebutuhan terhadap sandang, pangan,
papan, air bersih dan energi. Hal tersebut mengakibatkan eksploitasi terhadap sumber daya
alam semakin tinggi serta cenderung mengabaikan aspek-aspek lingkungan hidup.
Pertambahan jumlah penduduk dengan segala konsekuensinya akan memerlukan lahan
yang luas untuk melakukan aktivitasnya dan memanfaatkan sumber daya alam untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan akan
berdampak pada penurunan kelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan
(Kartodihardjo, dkk.,2005).
Kerusakan sumber daya alam terus mengalami peningkatan, baik dalam jumlah
maupun sebaran wilayahnya. Secara fisik kerusakan tersebut disebabkan oleh tingginya
eksploitasi yang dilakukan, bukan hanya dalam kawasan produksi yang dibatasi oleh daya
dukung sumber daya alam, melainkan juga terjadi di dalam kawasan lindung dan
konservasi yang telah ditetapkan sebelumnya. ( Anonim,2015)
Pencemaran laut merupakan suatu peristiwa masuknya material pencemar seperti
partikel kimia, limbah industri, limbah pertanian dan perumahan, ke dalam laut, yang bisa
merusak lingkungan laut. Material berbahaya tersebut memiliki dampak yang bermacam-
macam dalam perairan. Ada yang berdampak langsung, maupun tidak langsung. Sebagian
besar sumber pencemaran laut berasal dari daratan, baik tertiup angin, terhanyut maupun
melalui tumpahan.
Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang berada di perbatasan daratan dengan
lautan. Ekosistem pesisir terdiri dari terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Akan
tetapi, akibat ekploitasi yang berlebihan serta pembangunan yang tidak ramah lingkungan,
hampir semua ekosistem pesisir ini mengalami penurunan fungsi akibat kerusakan yang
terjadi. Kerusakan yang terjadi dapat diakibatkan oleh aktivitas manusia maupun secara
alami.
1
2
Berkenaan dengan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, UU No. 4/ 82
ditetapkan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah untuk mewujudkan lingkungan
yang baik dan sehat (Pasal 4), dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan
baku mutu lingkungan (Pasal 15). UU No. 4/82 tersebut juga menetapkan ketentuan bahwa
setiap kegiatan berkewajiban untuk memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup
yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui penyebab kerusakan
yang terjadi pada ekosistem terumbu karang dan mangrove, serta mengetahui bagaimana
cara untuk memulihkannya, memertahankan, dan memperbaiki kerusakannya untuk
kehidupan berkelanjutan.
BAB IIISI
2.1 Terumbu Karang
Terumbu karang adalah suatu ekosistem di dasar laut tropik yang dibentuk oleh biota
laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan algae berkapur, bersama-sama
dengan biota yang hidup di dasar lainnya. Terumbu karang merupakan keunikan di antara
asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh keunikan biologis. Terumbu
adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama
dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria = Scleractinia)
dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang
mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1988). Terumbu karang juga merupakan
tempat hidup yang sangat baik bagi ikan hias, selain itu dapat melindungi pantai dari
hempasan ombak sehingga dapat mengurangi proses abrasi (Hutabarat dan Evans, 1986).
Daerah habitat karang mempunyai produktivitas dan keanekaragaman jenis fauna
yang tinggi. Di samping ekosistem terumbu karang juga merupakan tempat hidup, tempat
mencari makanan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat memijah
(spawning ground) untuk berbagai biota laut yang antara lain ikan karang yang banyak
dimanfaatkan sebagai makanan maupun ikan hias (Hutabarat dan Evans, 1986)
2.1.1 Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang
Bila ditarik garis besar dapat disimpulkan bahwa beberapa hal yang dapat menjadi
penyebab rusaknya lingkungan pesisir khususnya ekosistem terumbu karang yaitu:
1. Kerusakan Secara Alami
Menurut Nybakken (1992) interaksi yang terjadi pada Ekosistem Terumbu Karang
dapat dibagi menjadi tiga jenis interaksi yaitu :
a. Persaingan
Persaingan yang terjadi antara koloni-koloni karang berkaitan dengan persaingan
untuk mendapatkan tempat dan cahaya. Biasanya, persaingan terjadi antara karang
3
4
bercabang yang pertumbuhannya lebih cepat dengan karang massive yang pertumbuhannya
lebih lambat. Untuk mencegah terjadinya penguasaan tempat dan memelihara
keanekaragaman pada terumbu karang, karang yang berbentuk massif dapat mencegah
pertumbuhan yang cepat dari karang yang bercabang dengan memakan jaringan hidup
koloni karang yang menutupi mereka.
b. Pemangsaan
Sejumlah hewan-hewan yang hidup dari karang dapat diklasifikasikan sebagai
predator. Kebanyakan dari predator ini mempunyai sedikit hubungan dengan koloni karang.
Proses pemangsaan dalam bentuk ini menyerupai proses grazing pada herbivora, dengan
cara memindahkan potongan-potongan polip karang tetapi tidak merusak seluruh koloni.
Bila jaringan yang dipindahkan tidak terlalu banyak, polip karang dapat tumbuh kembali
sebanyak yang telah dimakan untuk menutupi daerah yang telah digrazing. Nybakken
(1992), mengatakan bahwa dua taksa predator yang mampu merusak koloni karang adalah
bintang laut Acanthaster planci dan berbagai ikan.
2. Kerusakan akibat aktivitas manusia dalam pembangunan
Seperti yang terjadi di wilayah pesisir Riau kepulauan yaitu adanya aktifitas
penambangan pasir yang mengakibatkan (Anonim,2015):
a. Kerusakan terumbu karang
b. Abrasi/erosi terjadi dipantai yang terbuka terhadap rambatan gelombang yang
dibangkitkan oleh angin. Abrasi yang intensif terjadi di pantai timur pulau
Natuna saat bertiup angin muson utara – timur laut. Abrasi yang intensif juga
terjadi di pantai timur pulau-pulau kabupaten karimun, akibat adanya
penambangan pasir laut di dasar perairan tersebut. Abrasi terjadi akibat
penggalian yang intensifnya hantaman gelombang karena berkurangnya
peredaman energi dan gelombang.
c. Penurunan kualitas air di sekitar perairan Karimun kerena peningkatan kekeruhan
akibat penambangan pasir.
Aktivitas di laut yang mengancam terumbu karang antara lain pencemaran dari
pelabuhan, tumpahan minyak, pembuangan bangkai kapal, pembuangan sampah dari atas
5
kapal, dan akibat langsung dari pelemparan jangkar kapal. Aktivitas inilah yang bisa
menjadi beban pencemaran lingkungan bagi ekosistem terumbu karang.
2.1.2 Upaya Konservasi
Kerusakan lingkungan laut khususnya pada ekosistem terumbu karang harus dicegah,
jika kerusakan sudah terjadi, maka harus dipulihkan dan dipertahankan. Upaya yang
dilakukan untuk mencegah, memulihkan, mempertahankan dan memperbaiki akibat
kerusakan lingkungan laut khususnya ekosistem terumbu karang memerlukan peran penting
dari masyarakat, lembaga-lembaga yang bergerak pada pelestarian lingkungan pesisir
khususnya ekosistem terumbu karang, serta pemerintah yang saling bekerjasama untuk
melindungi kawasan pesisir khususnya ekosistem terumbu karang.
1. Kerjasama antar masyarakat dan lembaga
Dalam upaya menyelamatkan terumbu karang, yang paling utama adalah perlunya
kesadaran dari manusia untuk menjaga dan melestarikan terumbu karang. Untuk itu,
diperlukan pemberian informasi, pengetahuan, dan wawasan mengenai terumbu karang.
Fungsi dari terumbu karang, manfaatnya, kondisi dari terumbu karang saat ini, dan apa
yang akan terjadi jika kerusakan terumbu karang ini terus berlanjut. Dengan adanya
pendidikan mengenai terumbu karang, maka akan ada rasa memiliki sehingga manusia bisa
peduli dan melindungi terumbu karang.Beberapa hal berikut yang dapat dilakukan secara
individu untuk mengurangi kerusakan terumbu karang.
Terapkan prinsip 3R (reduce-reuse-recycle) dan hemat energi. Terumbu karang
adalah ekosistem yang sangat peka terhadap perubahan iklim. Kenaikan suhu sedikit saja
dapat memicu pemutihan karang (coral bleaching). Pemutihan karang yang besar dapat
diikuti oleh kematian massal terumbu karang. Jadi apapun yang dapat kita lakukan untuk
mengurangi dampak global warming, akan sangat membantu terumbu karang.
Buang sampah pada tempatnya, tidak membuang sampah ke sungai yang kemudian
akan bermuara ke laut. Hewan laut besar sering terkait pada sampah-sampah sehingga
mengganggu gerakannya. Misalnya sampah plastik yang transparan diperkirakan kadang
dimakan oleh penyu karena tampak seperti ubur-ubur. Sampah plastik ini akan
6
mengganggu pencernaanya. Bergabung dengan organisasi pecinta lingkungan. Saling
berbagi ilmu, pendapat, dan berdiskusi. Membangun trend hidup ramah lingkungan.
Bergabung dengan gerakan-gerakan sukarelawan, atau terlibat aktif dalam kegiatan
lingkungan. Bagi penyelam pemula atau yang sedang belajar sebaiknya melakukan
penyelaman di perairan yang tidak ber-terumbu karang.
2. Peranan pemerintah dan lembaga
Keikutsertaan pemerintah dalam melestarikan terumbu karang sangat penting.
Pemerintah sebagai pengatur dan pengawas masyarakat. Pemerintah dapat menetapkan
kebijakan dan peraturan peraturan untuk menyelamatkan terumbu karang. Membuat
rencana-rencana perbaikan lingkungan yang sudah rusak dan mencegah kerusakan terumbu
karang.
Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga atau
organisasiorganisasi lingkungan untuk menjaga kelestarian terumbu karang. Misalnya
melakukan kampanye-kampanye lingkungan hidup bekerjasama dengan media-media atau
organisasi seperti National Geographic Indonesia, WWF Indonesia, Yayasan Reef Check
Indonesia, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Yayasan TERANGI (Terumbu
Karang Indonesia) dan lainnya untuk mengawasi kelangsungan hidup terumbu karang.
Baik mengawasi eksploitasi karena ulah manusia, pertumbuhan terumbu karang yang
sedang direstorasi, dan pengawasan daerah terumbu karang yang terancam di
Indonesia.Upaya restorasi adalah tindakan untuk membawa ekosistem yang telah
terdegradasi kembali menjadi semirip mungkin dengan kondisi aslinya sedangkan tujuan
utama restorasi terumbu karang adalah untuk peningkatan kualitas terumbu yang
terdegradasi dalam hal struktur dan fungsi ekosistem. Mencakup restorasi fisik dan restorasi
biologi. Restorasi fisik lebih mengutamakan perbaikan terumbu dengan fokus pendekatan
teknik, dan restorasi biologis yang terfokus untuk mengembalikan biota berikut proses
ekologis ke keadaan semula.Pemerintah harus benar-benar merealisasikan upaya-upaya
untuk menyelamatkan terumbu karang. Pemerintah perlu bersikap tegas mengenai
kerusakan lingkungan yang terjadi dan berusaha dengan sebaik-baiknya melindungi
terumbu karang yang juga merupakan aset negara.
7
3. Upaya perlindungan lingkungan secara global
Perubahan–perubahan lingkungan yang terjadi akan berdampak pada perubahan
lingkungan secara global. Antara satu negara dengan negara lain memiliki tanggung jawab
yang sama terhadap kerusakan lingkungan. Banyak deklarasi-deklarasi yang disepakati oleh
banyak negara dalam upaya menyelamatkan lingkungan. Begitu pula dengan
menyelamatkan terumbu karang. Telah banyak kesepakatan-kesepakatan yang telah
disetujui oleh banyak negara untuk bekerja sama dalam menjaga lingkungan.
Tahap paling terakhir dilakukannya World Ocean Conference (WOC). Deklarasi ini
disepakati oleh 61 negara, termasuk negara-negara Coral Triangle Initiative Summit yang
merupakan kawasan yang kaya akan terumbu karang. Dalam deklarasi ini disepakati
komitmen bersama mengenai penyelamatan lingkungan laut dari ancaman global warming
dan komitmen program penyelamatan lingkungan laut secara berkelanjutan di tiap negara.
Kampanye lingkungan hidup seperti ini sangat baik bagi upaya penyelamatan lingkungan.
Apalagi dilakukan secara global yang menjaring banyak pihak sehingga diharapkan dapat
memberikan hasil yang lebih cepat dan lebih baik lagi.
2.2 Mangrove
Hutan mangrove sendiri merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi
oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Selanjutnya menurut Nybakken (1988),
kata mangrove berasal dari perpaduan antara bahasa portugis, Mangue dan bahasa Inggris,
Grove. Pengertian mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan
suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang
khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuhan pada tanah galian.
2.2.1 Kerusakan Mangrove
Kegiatan yang memberikan sumbangan terbesar terhadap kerusakan mangrove di
Indonesia adalah pengambilan kayu untuk keperluan komersial serta peralihan peruntukkan
untuk tambah dan pertanian. Sedang kematian secara alami tidak memberikan data
8
signifikan yang patut dicurigai sebagai penyebab kerusakan hutan mangrove. Sebab- sebab
dan akibat perusakan mangrove yang terjadi secara fisik dan kimia akan diuraikan berikut
ini :
a. Penambangan Mineral
Penambangan mineral mineral, telah berkembang di kawasan pesisir. Penambangan
dalam ekosistem mangrove mengakibatkan kerusakan total, sedangkan penambangan di
daerah sekitarnya dapat menimbulkan berbagai macam efek yang merusak. Efek yang
paling mencolok adalah pengendapan bahan-bahan yang dibawa air permukaan ked an
dalam mangrove.
Pengendapan yang berlebihan akan merusak mangrove karena terjadinya
penghambatan pertukaran air, hara dan udara dalam substrat dan air diatasnya. Bila proses
pertukaran ini tidak berlangsung, kematian mangrove akan terjadi dalam waktu singkat.
Terhentinyaa sebagian proses pertukaran menimbulkan tekanan pada mangrove, yang
terlihat pada penurunan produktifitas dan kemampuan. Selanjutnya jaringan makanan yang
berlandaskan pada adanya detritus di mangrove terganggu pula dan secara keseluruhan
dapat menurunkan pula produktivitas ikan.
b. Pembelokan aliran air tawar
Suatu pengertian yang salah bila dikatakan bahwa tumbuhan mangrove untuk
hidupnya mutlak memerlukan air asin. Pada kenyataannya perkembangan mangrove yang
baik terjadi di daerah yang mempunyai masukan air tawar yang cukup. Di daerah beriklim
musiman masukan air tawar ke mangrove juga musiman. Tetapi justru di daerah seperti ini
kerluan akan air tawar bagi manusia pun besar sekali.. pengambil keputusan sering melihat
dalam lingkungan seperti ini suatu hal yang mubazir membiarkan air tawar masuk ke laut,
sehingga tidak heran bila berusaha untuk memanfaatkan air tawar ini untuk keperluan di
daerah darat.
c. Eksploitasi Hutan
Eksploitasi hutan mangrove secara besar- besaran dilakukan untuk keperluan kayu,
tatal dan bubur kayu. Biasanya eksplotasi seperti itu dilakukan dengan tebang habis. Di
daerah tebang habis permudaan alam umumnya tidak berjalan dengan baik sehingga
9
mengakibatkan penurunan nilai hutan karena pohon- pohon untuk panen berikutnya berupa
pohon- pohon dengan kualitas rendah. Kegiatan eksploitasi perlu dilakukan secara hati- hati
guna memperkecil kerusakan yang mungkin terjadi, khususnya untuk menjamin
kelangsungan mata rantai ekologi adalahekosistem mangrove sehingga fungsinya sebagai
sumber keanekaragaman hayati dan stabilisasi lingkungan dapat dipertahankan.
Dalam melaksanakan eksploitasi hutan secara besar- besaran dilakukan dengan
menggunakan alat transportasi dan alat tebang yang modern. Sehingga membutuhkan
fasilitas dan infrastruktur sebagai pendukungnya. Pengadaan fasilitas dan akses ke
lokasitersebut juga meninggalkan kerusakan tersendiri terhadap hutan mangrove. Masalah
lain yang sering timbul adalah sisa- sisa hasil tebangan tidak dapat segera terdaur ulang
dengan proses penguraian. Karena banyaknya sisa penebangan yang menumpuk sehingga
proses penguraian berjalan dengan lambat. Sisa penebangan yang besar- besar dengan
adanya arus pasang surut juga akan terbawa kemana-mana dan dapat menimbulkan masalah
baru.
d. Konversi Lahan
Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu
dianggap daerah yang marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian dan
akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang semakin
meningkat maka hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternative.
e. Reklamasi
Reklamasi seperti itu telah memusnahkan ekosistem mangrove dan juga
mengakibatkan efek- efek yang negative terhadap perikanan di perairan pantai sekitarnya.
Selain itu kehadiran saluran- saluran drainase mengubah system hidrologi air tawar di
daerah mangrove yang masi utuh yang terletak kea rah laut dan hal ini mengakibatkan
dampak negatif.
f. Tumpahan Minyak
Tumpahan minyak bumi dan hasil- hasil olahannya dengan kapal laut semakin
meningkat. Kebocoran, tumpahan dan pembuangan bahan tersebut ke laut sudah sering
terjadi. Di berbagai tempat, jalur- jalur angkutan ini berbatasan dengan kawasan mangrove
10
(misalnya selat Malaka) dan kebocoran setra pembuangan minyak dengan sengaja telah
menunjukkan dampak negative yang nyata terhadap mangrove.
Efek kehadiran minyak di mangrove dapat dibedakan dalam dua kategori. Kategori
pertama adalah efek laut yang akut, segera terlihat dan berkaitan dengan pelaburan oleh
minyak pada permukaan tumbuhan ( pepagan, akar tunjang, akar napas ) yang mempunyai
fungsi dalam pertukaran udara. Dalam kondisi pelaburan oleh minyak yang sangat kuat,
tumbuhan mangrove dapat mati dalam waktu 72 jam. Pengguguran daun dan kematian
pohon- pohon mangrove di tempat –tempat yang paling berpengaruh terjadi 4- 5 minggu.
Kategori kedua berkaitan dengan peracunan kronik dalam jangka panjang tumbuhan
mangrove dan fauna yang bersangkutan oleh komponen racun yang terkandung dalam
minyak.
g. Pembuangan Limbah
Kegiatan pertanian, agro- industri, industry kimia dan rumah tangga menghasilkan
limbah dalam jumlah yang beraneka dan kemudian dibuang ke sungai atau pantai. Limbah
cair terlarut atau membentuk suspensi dalam air. Sebagian limbah cair ini berupa bahan
anorganik yang juga terdapat di alam, tetapi kehadiran dalam jumlah berlebihan dalam
lingkungan akuatik menyebabkan bahan itu tidak semuanya dapat didaur ulang secara
alami.
h. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan mangrove yang pernah terjadi di lahan Pesisir Timur Sembilang
pada tahun 1980 – 1990an berhubungan dengan pembukaan lahan yang luas ( untuk
perkebunan dan transmigrasi) dan oleh penduduk setempat. Sedangkan kebakaran yang
terjadi pada tahun 1997 disebabkan oleh kegiatan penebangan liar, nelayan dan
pengembangan kawasan transmigrasi ( Dennis et al, 2000).
i. Serangan Hama
Hama pada tanaman mangrove yang ditemukan di beberapa tempat secara singkat
dapat dijelaskan sebagai berikut :
Ulat ( Lepidoptera )
11
Ulat kantong Acanthopsyche sp. ( Lepidoptera, psychidae) menyerang tanaman
Bruguierai spp ( tancang) di Cilacap, Rhizophora spp di Purwakarta dan Rhizophora
mucronata di Pemalang. Bagian tanaman yang diserang ulat kantong ini adalah bagian
daunnya. Daging daun merupakan bagian yang dimakan, urat- urat dan tulang daun tetap
utuh. Apabila sebagian besar daging daun habis dimakan, daun akan kering. Tanaman
muda yang sebagian besar daun- daun dan kuncup ujung diserang ulat berakibat
kematiannya.
Ulat bulu (Lepidoptera) menyerang tanaman Rhizophora spp di Pemalang, Brebes,
Purwakarta. hama ini hamper tiap tahun menyerang tanaman bakau muda yaitu ulat bulu
dan sebangsa ulat kantong. Ulat memakan daun sejak menetas sampai menjelang
kepompong. Tanaman bakau yang daunnya habis dimakan ulat pada lahan kondisi
mongering umumnya mati. Meningkatnya populasi ulat diperkirakan karena langka
predator. Usaha penanggulangan pada daun bakau yang diserang dengan menggunakan
tangan dan dikeprak, namun karena populasinya tinggi dicoba dengan insektisida yang
sangat terbatas dan diatur pelaksanaannya disesuaikan dengan tata waktu kegiatan
empang parit.
Ulat pucuk tunas Capua endoeypa ( Lepidoptera) menyerang tanaman Rhizopara
mucronata di Bali. Ulat yang merupakan larva didalam tunas bibit dan memakan tunas
tersebut sebelum daun terbuka. Meskipun bibit tidak akan mati, tetapi akan terhenti atau
menjadi lambat pertumbuhan sehingga akan menurun kualitasnya. Adanya serangan ini
ditandai oleh adanya telur maupun lubang- lubang kecil pada pucuk tunas bibit.
Pengendaliannya dengan cara membuka tunas yang ditandai adanya lubang- lubang kecil,
kemudian ulat diambil dan dibunuh.
Ulat daun Dasyehira sp,memakan daun semai Avicenmia marma di Bali. Ulat
dapat diatasi dengan memasang jaring plastik diatas bedeng, setelah jaring dibuka,
sebaiknya segera diperiksa dan bila dijumpai segera dibunuh. Bila terjadi kerusakan serius
bisa disemprot dengan insektisida atau dipindahkan ke bedeng pasang surut.
Kutu sisik chionapsis sp ( hemiptera, diaspididae)
12
Hama ini dilaporkan menyerang tanaman reboisasi dari jenis Rhizhopora di Bali
tahun 1995 dan kutu sisik berbentuk bulat telur ujungnya membesar yang dilindungi oleh
perisai yang lunak. Serangan kutu sisik ini akan menyebabkan daun menguning dan
akhirnya kering. Cara mengendalikan kutu sisik dari hasil penelitian dengan menggunakan
fluorbac FC dengan bahan aktif bacilius turingiensisi dan asodrin 15 wsc, rata- rata
serangan hama menurun bahkan sebagian pohon tampak pulih dan berangsur- angsur sehat.
Belalang
Belalang sering menyerang tanaman mangrove dengan memakan daunnya
terutama yang masih muda. Penanganannya belalang diambil atau bila jumlahnya banyak
dengan menggunakan insektisida. Namun penggunaan insektisida tidak dianjurkan.
Laba- laba
Laba-laba hidup/ bersarang pada tanaman bakau yang kecil dan besar, bambu
pancang penguat tanggul, pemakan diantara rekahan sawah dan gulma serta gubug- gubug
pantai. Hama laba- laba menyerang tanaman bakau pada bulan kering, baik yang muda
maupun tua. Pada tanaman muda laba-laba dapat mematikan tanaman karena tajuk tanaman
seluruhnya dibalut rapat oleh jaring laba-laba. Tajuk yang terbungkus dalam waktu lama
akan menyebabkan tanaman bakau kering dan mati. Serangan akan lebih hebat jika
lingkungan terbuka tanpa tanaman lain.
Usaha penanggulangan dengan cara membuikan tempat pemijahan laba- laba
berupa vegetasi pada galengan empang parit, bamboo perangkap sekitar empang parit
diikuti cara mekanis.
Ketam
Ketam (Sesarma spp) menyerang buah / benih Brugmera gymnorrhriza dan
Rhizophora spp di Cilacap. Hama ini menyerang pada benih bakau yang masi segar karena
mengandung protein karbohidrat ( zat gula). Untuk mengurangi yaitu dengan menurunkan
kadar gula benih disimpan selama 1 minggu atau membuat pagar kecil sekitar benih dengan
daun paku- pakuan atau menggunakan bumbung bambu.
Mamalia
13
Mamalia termasuk hama yang dapat merusak tanaman mangrove diantaranya
kera, kerbau, sapi, dan kambing. Binatang ini akan memakan daun yang masih muda
hingga habis dan akhirnya tumbuhan mangrove akan mati. Untuk menanggulangi hewan
tersebut harus dihalau dan jangan dilepas untuk merumput di dekat tanaman mangrove
yang baru tanam.
2.2.2 Upaya Konservasi
Upaya konservasi atau pelestarian kawasan ekosistem mangrove dapat dilakukan
dengan sistem Silvofishery (Wanamina). Wanamina adalah suatu pola agroforesti yang
digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan hutan mangrove.
Gambar: Konsep Wanamina
Penanaman bibit mangrove dalam sistem wanamina yaitu dengan membuat tambak
atau kolam dan saluran air untuk budidaya ikan seperti ikan bandeng, udang, dan lain-lain.
Dengan demikian terdapat perpaduan antara tanaman mangrove (wana) dan budidaya
sumberdaya ikan (mina). Ada banyak cara dalam memanfaatkan mangrove secara lestari, di
antaranya ada lima bentuk utama, yaitu:
14
a. Tambak tumpang sari, dengan mengkombinasikan tambak dengan penanaman
mangrove;
b. Hutan rakyat, dengan pengelolaan yang berkelanjutan dengan siklus tebang 15-30
tahun atau tergantung dari tujuan penanaman;
c. Budaya memanfaatkan mangrove untuk mendapatkan hasil hutan selain kayu berhasil
memanfaatkan buah dan daun mangrove sebagai bahan baku beragam makanan kecil
dan minuman sirup karena berdasarkan penelitian laboratorium, buah mangrove
mengandung gizi seperti karbohidrat, energi, lemak, protein dan air;
d. Silvofishery (wanamina); dan
e. Bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove yang simultan.
Pengelolaan budidaya ikan/udang di tambak melalui konsep silvofishery, disamping
sangat efisien juga mampu menghasilkan produktivitas yang cukup baik dengan hasil
produk yang terjamin keamanannya karena merupakan produk organik (non-cemical).
Bukan hanya itu konsep ini juga mampu mengintegrasikan potensi yang ada sehingga
menghasilkan multiple cash flow atau bisnis turunan antara lain adalah bisnis wisata alam
(eco-taurism business) yang sangat prospektif, pengembangan UMKM pengolahan produk
makanan dari buah mangrove, disamping bisnis turunan lainnya. Jenis komoditas perikanan
yang dapat dikembangkan dalam silvofishery antara lain: kakap, kerapu, bandeng atau
baronang, jenis Crustase (udang, kepiting bakau dan rajungan), kekerangan (kerang hijau,
kerang darah atau kerang bakau).
Wanamina merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, yang terdiri atas
rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman,
pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Di Banyuasin, Sumatera
Selatan didominasi oleh hutan mangrove, dan cukup ideal untuk kehidupan berbagai
komoditas perikanan. Sehingga kawasan hutan mangrove di Banyuasin sangat cocok
dikelola dengan sistem wanamina. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat
dilakukan tanpa merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan
sela sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang
kritis. Penerapan kegiatan wanamina di kawasan ekosistem hutan mangrove secara umum
15
diharapkan dapat mencegah perusakan kawasan tersebut oleh masyarakat karena akan
memberikan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat di kawasan tersebut.
Sedangkan untuk perambah hutan, dapat disediakan lapangan kerja sebagai pedagang
dengan menjadikan kawasan wanamina sebagai kawasan wisata. Dengan demikian,
kawasan wanamina dapat berfungsi ganda yaitu menjaga dan memelihara ekosistem serta
menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.
2.2.3 Studi Kasus Kerusakan Mangrove
Dasawarsa ini terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove secara drastis.
Ironinya, sampai sekarang tidak ada data aktual yang pasti mengenai luasan hutan
mangrove, baik yang kondisinya baik, rusak maupun telah berubah bentang lahannya,
karena umumnya hutan mangrove tidak memiliki boundary yang jelas. Estimasi kehilangan
hutan selama tahun 1985 s.d. tahun 1997 untuk pulau Sumatera sebesar 3.391.400 ha atau
sebesar 61 %. Contoh kasus lokal di kawasan Hutan Mangrove Kabupaten Langkat dan
Deli Serdang (termasuk Serdang Bedagai) yang diteliti dilaporkan oleh Purwoko dan
Onziral (2002) yang menyatakan bahwa berdasarkan kondisi ekosistem yang dijumpai
tersebut, kawasan mangrove tersebut sudah tidak memungkinkan lagi bagi vegetasi dan
satwa untuk berlindung dan beregenerasi secara alami.
Banyaknya kegiatan yang dilakukan di daerah pesisir mengakibatkan daerah ini
sangat rentan terhadap kerusakan dan pengrusakan. Wilayah pesisir memiliki tingkat
kepadatan penduduk dan intensitas pembangunan industry yang tinggi, sehingga
lingkungan pesisir sering mendapat tekanan manusia yang tinggi (Hinrichsen, 1997).
Kerusakan ekosistem mangrove dapat disebabkan oleh dua hal yaitu oleh faktor alam dan
juga akibat Antropogenik. Kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam diantaranya adalah
gempa, tsunami, badai, banjir, el Nino, pemanasan, predator, erosi, dan sebagainya.
Kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam dapat terjadi secara alami maupun akibat
campur tangan manusia sehingga mengakibatkan bencana alam.
Terkait dengan faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove, Kusmana
(2003) menambahkan ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu:
16
1. Pencemaran
Pencemaran seperti pencemaran minyak, logam berat
2. Konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan
Konversi lahan untuk budidaya perikanan (tambak), pertanian (sawah, perkebunan),
jalan raya, industri, produksi garam dan pemukiman, pertambangan dan penggalian
pasir.
3. Penebangan yang berlebihan.
Bengen (2001) menjelaskan bahwa kerusakan di atas dikarenakan adanya fakta
bahwa sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi
ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove)
menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh
masyarakat untuk berbagai keperluan. Hal itu dikarenakan memang pada dasarnya hutan
mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain sebagai penghasil keperluan rumah tangga,
penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Akan tetapi, dampak ekologis akibat
berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan
fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan
mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir
umumnya.
Oleh karena itu, Bengen (2001) menyarankan agar isu sosial ekonomi mencakup
aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam
memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan
tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus
diidentifikasi dengan baik. Selain oleh faktor-faktor fisik lingkungan, kerusakan hutan
mangrove juga bisa disebabkan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat.
Menurut Dephut (2002), parameter sosial ekonomi yang sering digunakan untuk
mengkaji kerusakan ekosistem mangrove adalah jumlah penduduk, tingkat pendidikan,
jenis pekerjaan, dan persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove. Oleh karena itu,
pendekatan kelembagaan masyarakat juga perlu diperhatikan dalam penanggulangan
kerusakan ekositem mangrove. Dahuri (2001) menjelaskan ahwa keberadaan kelompok
17
swadaya masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat sangat diperlukan dalam
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Demikian juga dengan Wantasen (2002),
menyatakan bahwa adanya kelembagaan pengelolaan yang melibatkan semua elemen
stakeholder biasa mencegah terjadinya kerusakan mangrove. Studi kasus pada pengelolaan
Cagar Alam Mutiara Hijau di Teluk Bintuni juga menyimpulkan bahwa peranan Lembaga
Swadaya Masyarakat merupakan salah satu stakeholder penting dalam pengelolaan
kawasan hutan (Sihite, 2005).
BAB IIISIMPULAN
Berdasarkan pemaparan dan penjelasan tentang kerusakan ekosistem terumbu karang
dan mangrove, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada ekosistem terumbu karang terdapat
persaingan antar koloni karang dan pemangsaan yang dapat merusak ekosistem tersebut
secara alami. namun dapat juga diakibatkan oleh aktivitas manusia dan pembangunan yang
disebabkan oleh abrasi pantai akibat pembangunan daerah pantai serta aktivitas manusia
yang dapat menurunkan kualitas air. Upaya yang dilakukan untuk mencegah, memulihkan,
mempertahankan dan memperbaiki akibat kerusakan lingkungan laut khususnya ekosistem
terumbu karang memerlukan peran penting dari masyarakat, lembaga-lembaga yang
bergerak pada pelestarian lingkungan pesisir khususnya ekosistem terumbu karang, serta
pemerintah yang saling bekerjasama untuk melindungi kawasan pesisir khususnya
ekosistem terumbu karang. Berbeda dengan ekosistem mangrove yang mengalami
kerusakan akibat penambangan mineral, pembelokan aliran air tawar, ekploitasi hutan,
konversi lahan, reklamasi, tumpahan minyak, pembuangan limbah, pembakaran hutan, dan
serangan hama. Upaya dalam melestarikan mangrove ini dapat dengan tambak tumang sari,
hutan rakyat, dan wanamina.
18
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. -. Konservasi Hutan Mangrove. www. Thc.or.id/konservasi-hutan-mangrove/. Diakses pada 29 September 2015
Anonim.-. Pencemaran Hutan Mangrove. https://himka1polban.wordpress.com/chemlib/makalah/pencemaran-hutan-mangrove/. Diakses pada 29 September 2015
Arifin, Bustanul 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia. Erlangga: Jakarta
Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Hutabarat, S. dan Evans, S.M., 1996. Pengantar Oseanografi. UI Press, Jakarta.
Kartodihardjo, H., Safitri, M., Ivalerina, F., Khan A., Tjendronegoro, S.M.P., 2005, Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam, Suara Bebas, Jakarta.
Keraf, Sony. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Buku Kompas : Jakarta.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut; Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia, Jakarta.
Purnobasuki, Heri. 2012. Ancaman Terhadap Hutan Mangrove di Indonesia dan Langkah Strategis Pencegahannya. FST Universitas Airlangga
Saparinto, Cahyo. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara Prize : Semarang.
Supriyanto purnomo; bluppb karawang; pamor mas; kompasiana
Waryono, Tarsoen. – Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Ekosistem Mangrove
19