Mola Hidatidosa

29
MOLA HIDATIDOSA ( Makalah Bimbingan ) Oleh : Rahmad Hidayah Pembimbing : Dr. Hj. Yusrawati, SpOG (K) Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi 1

Transcript of Mola Hidatidosa

MOLA HIDATIDOSA

( Makalah Bimbingan )

Oleh :Rahmad Hidayah

Pembimbing :Dr. Hj. Yusrawati, SpOG (K)

Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)Bagian/SMF Obstetri dan GinekologiFakultas Kedokteran Universitas Andalas / RSUP Dr. M. DjamilPadang2013

DAFTAR ISIDAFTAR ISI...........................................................................................................iBAB I PENDAHULUAN......................................................................................1BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi.....................................................................................................42. Epidemiologi............................................................................................53. Klasifikasi................................................................................................54. Gejala klinis.............................................................................................85. Diagnosis................................................................................................146. Penatalaksanaan.....................................................................................157. Prognosis................................................................................................17DAFTAR PUSTAKA

BAB IPENDAHULUAN

Mola hidatidosa merupakan jenis penyakit trofoblas gestasional (gestational throphoblastic disease/GTD) yang paling sering ditemukan. Penyakit ini disebabkan oleh gangguan pertumbuhan trofoblas dalam kehamilan yang terjadi akibat kelainan kromosom. Manifestasi klinik mola hidatidosa dapat berupa abortus mola, pre-eklampsia, hiperemesis gravidarum, kista teka lutein, embolisasi trofoblas, serta hipertiroid. Penanganan definitif kasus mola hidatidosa pada dasarnya adalah evakuasi jaringan mola dengan tindakan kuretase. Namun demikian, masalah kegawatdarutan khususnya pada penanganan kasus-kasus mola hidatidosa yang disertai kondisi hipertiroid, anemia dan embolisasi tropoblast. Hipertiroid adalah salah satu komplikasi yang sering terjadi hal ini akibat hiperstimulasi kelenjar tiroid oleh human chorionic gonadotropin subunit- (-hCG) yang memiliki persamaan efek dengan thyroid stimulating hormone (TSH). Pada penatalaksaan perioperatif mola hidatidosa dapat dilakukan secara general anestesi maupun regional anastesi yang memerlukan perhatian terhadap komplikasi komplikasi yang harus diketahui oleh ahli kebidanan dan anestesi.

BAB IIMola Hidatidosa1.Defenisi Mola hidatidosa merupakan penyakit kelainan tropoblas pada kehamilan abnormal yang secara histologis ditandai oleh kelainan villi korionik, yang terdiri dari proliferasi tropoblastik dengan derajat berfariasi dan edema stroma vilosa. Mola hidatidosa biasanya terletak dirongga uterus, namun kadang kadang mola terletak dituba fallopi dan bahkan di ovarium (Gambar.1).(Jones & Llewellyn,D, 2001)

Gambar 1. Gambaran Histopatologi Mola Hidatidosa (Mazur & Kurman, 2005)Pada pemeriksaan spesimen jaringan mola hidatidosa secara makroskopik, akan terlihat villi-villi yang membesar membentuk gambaran seperti buah anggur (grape-like villi) dengan diameter beberapa millimeter sampai 2 sentimeter atau lebih (Gambar.2). (Jones & Llewellyn,D, 2001) Gambar 2. Gambaran Makroskopik Mola Hidatidosa (Schorge, 2008)

2. EPIDEMIOLOGI Mola hidatidosa timbul pada sekitar 1 dari setiap 2000 kehamilan di Amerika serikat dan Eropa, namum insidennya jauh lebih sering dinegara-negara lain, terutama disebagian Asia yang frekuensinya lebih sedikit 10 kali lipat daripada di Amerika serikat. Insiden ini yang sangat tinggi juga dilaporkan di Meksiko dan diantara penduduk asli Alaska. Mola Hidatidosa lebih sering terjadi menjelang awal atau akhir masa subur. Faktor usia diatas 35 tahun merupakan resiko untuk terjadinya mola hidatidosa komplit. Dalam suatu penelitian, resiko terjadinya mola hidatidosa komplit 2 kali lipat terjadi pada wanita berusia lebih 35 tahun dan 7 kali lipat pada wanita berusia 40 tahun. Kasus mola hidatidosa murni banyak ditemukan pada perempuan berusia 50 tahun atau lebih. (Berkowitz & Goldstein, 2007; Cunningham, 2005)Insiden tinggi mola hidatidosa dalam beberapa populasi berhubungan dengan nutrisi dan sosial ekonomi. Pada suatu penelitian kasus kontrol di Itali dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa insiden pada wanita yang menderita mola hidatidosa komplit berhubungan dengan diet rendah karoten atau defisiensi vitamin A. Pada wanita yang menngunakan kontrasepsi oral, riwayat menstruasi tidak teratur merupakan faktor resiko terjadinya mola hidatidosa partial. (Berkowitz & Goldstein, 2007

3. KLASIFIKASIBerdasarkan morfologi, histopatologi, dan kariotipe-nya, mola hidatidosa dapat dikategorikan menjadi mola hidatidosa komplit dan parsial.A. .Mola Hidatidosa komplitPada mola hidatidosa komplit, villi korionik berubah menjadi suatu masa vesikel vesikel jernih. Ukuran vesikel bervariasi dari sulit dilihat sampai yang berdiameter beberapa sentimeter dan sering berkelompok-kelompok menggantung pada tangkai kecil. Temuan histologik berupa: (Cunningham, 2005) Degerasi hidropik dan pembengkakkan stroma villi Tidak adanya pembuluh darah di villus yang membnegkak Proliferasi epitel tropoblas dengan derajat bervariasi Tidak adanya janin dan amnion. Pada pemeriksaan sitogenik terhadap mola komplit menemukan komposisi kromosom (85 persen atau lebih) 46XX, meskipun sekitar 10 persen ditemukan 46XY,yang terjadi karena pembuahan dua buah sperma dengan kromosom seluruhnya berasal dari ayah, meskipun mitokondria DNA berasal dari ibu. Fenomena ini disebut sebagai androgenesis. Biasanya ovum dibuahi oleh oleh sperma haploid, yang kemudian memperbanyak kromosomnya sendiri secara miosis sehingga kromosomya bersifat homozygot. (Cunningham, 2005) Gambar 3. Patogenesis Mola Hidatidosa Komplit (Berkowitz & Goldstein, 2007) Pada banyak kasus mola hidatiform kira-kira 25-30 % ,ovarium mengandung bayak kista teka lutein, yang ukurannya bervariasi dari sangat kecil sekali sampai ukuranya bervariasi 10 cm atau lebih. Permukaan kista licin, sering kekuningan, dan dilapisi oleh sel-sel lutein. Kista teka lutein pada ovarium diperkirakan terjadi akibat stimulasi berlebihan unsur-unsur lutein oleh banyak gonadotropin korionik yang disekresikan oleh tropoblas yang berproliferasi. Sebagian dari kista-kista ini terutama yang sangat besar, dapat mengalami torsio, infark dan perdarahan, Karena kista menciut setelah kelahiran, ooforektomi sebaiknya jangan dilakukan kecuali apabila ovarium mengalami infark luas. Resiko timbulnya karcinoma pada mola hodatidosa lengkap sekitar 20 %.; (Cunningham, 2005)B.Mola Hidatiform PartialPada mola hidatidosa partial tejadi perubahan hodatidosa bersifat lokal dan kurang berkembang, dan mungkin tampak sebagian jaringan janin, biasanya paling tidak kantung amnion. Terjadi pembengkakan hidatidosa yang berlangsung lambat pada sebagian villi yang biasanya avaskuler, sementara vili-vili berpembuluh lainnya sirkulasi janin plasenta yang masih berfungsi tidak terkena. Mola hidatidosa partial umumnya memiliki kariotip troploid 69XXX, 69XXY atau 69 XYY dengan satu komplemen haploid ayah. Janin pada mola partial biasanya memiliki tanda-tanda tripolodi, yang umumnya menunjukkan kemungkinan hambatan pertumbuhan, tidak viable dan kelainan malformasi kongenital multiple seperti sindaktili atau hidrocephalus. (Cunningham, 2005) Gambar 4. Patogenesis Mola Hidatidosa Parsial (Berkowitz & Goldstein, 2007) Perbedaan karakteristik antara mola hidatidosa komplit dengan mola hidatidosa parsial baik dari gambaran histopatologis maupun kariotipe kromosom-nya dirangkum pada Tabel 1.Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Mola Hidatidosa Komplit dan Parsial (Berkowitz & Goldstein, 2007)

4.GEJALA KLINISPada tahap perkembangan yang sangat awal, kehamilan mola dan kehamilan normal sulit dibedakan. Pada akhir trisemester pertama dan selama trisemester kedua, perubahan perubahan berikut sering dijumpai. 1.PerdarahanPerdarahan vagina merupakan gejala umum pada mola pasien dengan mola hidatidosa komplit, kira kira 97 %. Perdarahan dapat bervariasi mulai dari bercak hingga perdarahan hebat. Perdarahan dapat timbul sesaat sebelum abortus tetapi biasanya terjadi secara intermiten selama beberapa minggu atau bahkan bulan. Sekitar 5 % pasien dengan mola hidatidosa komplit mengalami Anemia ( haemoglobin < 10 gr/100ml) dan pada beberapa perempuan dengan mola yang besar, dapat dibuktikan adanya efek pengenceran akibat hipervolemia yang cukup berat. Didalam uterus kadang kadang terkumpul darah dalam jumlah yang cukup besar. Anemia defidiensi besi sering terjadi, sedangkan eritropoesis megaloblastik jarang. Hal ini mungkin terjadi akibat kurangnya asupan gizi yang disebabkan oleh kombinasi mual dan muntah disertai peningkatan kebutuhan asam folat oleh tropoblast yang cepat berpfoliferasi. (Berkowitz & Goldstein, 2007 ; Cunningham, 2005)2.Pembesaran ukuran uterusUterus yang bertumbuh seringkali ( tidak selalu) membesar lebih cepat dari pada biasanya, namum umumnya kira-kira 28 % pada mola hidatidosa komplit mengalami pembesaran uterus melebihi daripada yang diperkirakan usia kehamilan. Pembesaran ini mungkin disebabkan karena jaringan chorionik dan darah yang tertahan. Pembesaran urerus umumya berhubungan dengan petanda meningkatnya HCG karena pembesaran uterus adalah hasil dari pertumbuhan tropoblas yang berlebihan. Uterus mungkin sulit dinilai secara tepat pada palpasi, terutama pada perempuan nulipara, karena konsistensinya yang lunak berada dibawah dinding abdomen yang kencang. Oavirum yang cukup membesar karena ada kista teka lutein multipel mungkin sulit dibedakan dari uterus yang membesar. Uterus cenderung terasa nyeri jika ditekan. (Berkowitz & Goldstein, 2007 ; Cunningham, 2005)

3.Aktivitas JaninWalaupun uterus cukup membesar sehingga mencapai jauh di atas simpisis, bunyi jantung janin biasanya tidak terdeteksi. Walaupun jarang, mungkin terdapat plasenta kembar dengen perkembangan kehamilan mola sempurna pada salah satunya, sementara plasenta lain dan janinya tampak normal. Demikian juga, walaupun sangat jarang, plasenta mungkin mengalami perubahan mola yang meluas tetapi tidak lengkap disertai oleh janin hidup. (Cunningham, 2005)

4.Hipertensi dalam kehamilanPreeklampsi dilaporkan sekitar 27 % pada pasien dengan mola hidatidosa komplit, dilaporkan sekitar 1 dari 74 pasien dengan mola hidatidosa komplit ditemukan pada kunjungan pertama. Preeklampsi sering dihubungkan dengan kehamilan mola yang menetap sampai ke trisemester kedua. Karena hipertensi disebabkan oleh kehamilan jarang dijumpai dsebelum usia kehamilan 24 minggu, preeklampsi sebelum waktu ini sangat mengarah pada adanya mola hidatiform atau perubahan mola yang luas. Preeklampsi umummnya terjadi pada pasien dengan pembesaran uterus yang tidak sesuai dengan usia kehamilan disertai dengan peningkatan kadar HCG. (Berkowitz & Goldstein, 2007 ; Cunningham, 2005)

5.Hiperemis gravidarumManifestasi hiperemesis yang membutuhkan pemberian antiemetik dan terapi intravena dahulu terjadi pada 25% pasien mola hidatidosa komplit, khususnya yang mengalami pembesaran uterus dan peningkatan kadar hCG. Namun demikian, sekarang hanya 8% pasien yang mengalami hiperemesis. (Berkowitz & Goldstein, 2007 )

6.Kista teka lutein ovariumKista yang prominen (diameter 6 cm) dapat ditemukan pada separuh pasien mola hidatidosa komplit. Kista ini timbul sebagai akibat dari tingginya kadar hCG serum (lebih dari 100.000 Miu/ml) sehingga mengakibatkan hiperstimulasi ovarium (luteinizing hormone-like effect). Oleh karena uterus biasanya juga membesar, maka pada pemeriksaan fisik terkadang kista sulit ditemukan. Namun demikian, keberadaan dan ukurannya dapat ditentukan secara akurat melalui pemeriksaan USG. Kista biasanya mengalami regresi dalam 2-4 hari setelah tindakan evakuasi jaringan mola. (Berkowitz & Goldstein, 2007 )

7.EmbolisasiSaat evakuasi tropoblast, dengan atau tanpa stroma vilus, lolos dari uterus melalui aliran vena dalam jumlah bervariasi. Volumenya dapat mencapai sedemikian sehingga menimbulkan gejala dan tanda embolisasi paru akut dan bahkan hasil yang fatal. Kematian semacam ini jarang dijumpai. Hankins dkk (1987) melakukan pengukuran pengukuran hemodinamik menggunakan kateter arteri pulmonalis pada enam wanita dengan kehamilan mola yang besar. Mereka juga mencari bukti bukti deportasi tropoblast sebelum dan selama evakuasi mola. Hanya sejumlah kecil sel raksasa berinti banyak dan sel mononukleus, mungkin tropoblas, yang ditemukan. Mereka tidak mendapatkan bukti adanya perubahan kardiorespirasi akut, dan menyimpulkan bahwa embolisasi tropoblast secara masif pada evakuasi mola mungkin jarang terjadi. Beberapa namun bukan sebagian besar, dokter branggapan bahwa induksi obat sebelum evakuasi mola hidatidosa meningkatkan resiko embolisasi tropoblast atau penyakit tropoblast persisten. (Cunningham, 2005) Walaupun tropoblast dengan atau tanpa stroma villus, dapat menjadi embolus ke paru dalam volume yang terlalu sedikit untuk menimbulkan sumbatan nyata pada vaskularisasi paru, selanjutnya embolus tersebut dapat menginvasi parenkim paru dan membentuk metastasis yang tampak jelas pada pemeriksaan radiografis. Lesi mungkin terdiri dari hanya tropoblast (koriokarcinoma metatstatik) atau tropoblast dengan stroma villus ( mola hidatidosa metastatik). Perjalanan selanjutnya lesi-lesi ini tidak dapat diperkirakan, sebagian menghilang sendiri baik segera setelah evakuasi uterus atau bahkan beberapa minggu sampai bulan kemudian, sementara yang lain berproliferasi dan menimbulkan kematian apabila tidak diterapi. (Aghajanian, 2007: Cunningham, 2005)

8.HipertiroidHipertorid adalah kelainan akibat hiperfungsi kelenjar tiroid yang ditandai dengan peningkatan sekresi hormon aktif secara berlebihan. Tanda dan gejala yang ditemukan pada hipertiroid adalah kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh keadaan hipermetabolisme. Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola hidatidosa sering meningkat, tetapi jarang menyebabkan gejala klinis hipertiroidisme. Amir dkk ( 1984) serta curry dkk ( 1975) menemukan hipertiroidisme pada sekitar 2% kasus. Peningkatan tiroksin plasma mungkin disebabkan terutama karena estrogen, seperti pada kehamilan normal, yang kadar tiroksin bebasnya tidak meningkat. Tiroksin bebas dalam serum meningkatkan efek gonadotropin korionik atau varian varianya yang mirip tirotropin. (Cunningham, 2005; Kavanagh & Gershenson, 2007)

Hormon hCG yang disebut juga dengan hormon kehamilan adalah suatu hormon glikoprotein yang memiliki aktifitas biologis sangat menyerupai luteinizing hormone (LH). Hormon ini memiliki berat molekul 36.000-40.000 dalton dan terdiri dari 2 subunit berbeda yang berikatan secara non-kovalen, yaitu subunit- (92 asam amino) dan subunit- (145 asam amino). Kedua subunit hormon hCG berikatan secara normal pada reseptor LH-hCG di korpus luteum. Ikatan pada reseptor ini akan menghasilkan reaksi yang bertujuan untuk mempertahankan dan memelihara fungsi korpus luteum agar produksi progesteron bisa terus berlanjut sehingga kehamilan dapat dipertahankan. (Cunningham, 2005; ).

Molekul hormon hCG yang intak sudah mulai terdeteksi di dalam plasma wanita hamil sejak hari ke-7-9 setelah lonjakan LH (LH surge). Oleh sebab itu, hormon ini kemungkinan memasuki peredaran darah maternal pada saat terjadinya implantasi blastosit. Kadar hormon dalam darah setelah itu mengalami peningkatan secara cepat, meningkat dua kali lipat setiap dua hari dan mencapai kadar maksimal pada kehamilan 8-10 minggu. Kadar puncaknya bisa mencapai 100.000 mIU/L dan terjadi antara hari ke-60 sampai 80 setelah menstruasi terakhir. Mulai usia kehamilan 10-12 minggu, kadar hormon dalam plasma mengalami penurunan dan titik terendah dicapai pada usia kehamilan sekitar 20 minggu. Setelah itu, kadar ini dipertahankan selama kehamilan berlangsung ) (Gambar.5 ). (Cunningham, 2005

Gambar.5. Hormon hCG dan TSH Selama Kehamilan(Cunningham, 2005)

Hampir seluruh hormon hCG secara normal diproduksi oleh plasenta. Namun demikian, beberapa macam tumor juga dapat menghasilkan hormon ini, bahkan dalam jumlah besar, khususnya neoplasma trofoblas. Oleh sebab itu, pada wanita hamil dengan mola hidatidosa atau koriokarsinoma, terkadang muncul bukti-bukti biokimia maupun klinis yang menunjukkan suatu keadaan hipertiroid. Pada awalnya, hal ini dipercaya sebagai akibat dari pembentukan tirotropin korionik oleh sel-sel trofoblas yang mengalami neoplasma. Namun, sekarang terbukti bahwa peningkatan kadar hormon tiroid tersebut ternyata disebabkan oleh adanya ikatan hormon hCG pada reseptor TSH di kelenjar tiroid. (Cunningham, 2005)

Hormon hCG secara struktural berhubungan dengan ketiga hormon glikoprotein lainnya, yaitu LH, FSH, dan TSH. Kapasitas stimulasi hCG terhadap fungsi tiroid kemungkinan muncul akibat modifikasi oligosakarida hormon itu sendiri. Sebagian asam isoform hormon ini dapat merangsang akfititas tiroid dan sebagian bentuk dasarnya juga dapat merangsang pengambilan iodin. Terdapat juga bukti bahwa kelenjar tiroid juga memiliki reseptor LH-hCG. Oleh sebab itu, hormon hCG kemungkinan dapat merangsang aktifitas tiroid baik melalui reseptor TSH maupun reseptor LH-hCG. (Cunningham, 2005)Aktifitas tirotropik intrinsik hormon hCG telah dibuktikan pada beberapa penelitian terdahulu. Subunit- serta reseptor ekstraseluler hormon hCG dan hormon TSH ternyata memiliki persamaan yang signifikan. Tingginya kadar hormon hCG pada trimester awal kehamilan dipercaya berpengaruh langsung terhadap aktifasi reseptor TSH. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa tingginya kadar hCG pada masa ini berkorelasi negatif terhadap kadar hormon TSH dan berkorelasi positif terhadap kadar free-T4 (fT4). (LeBeau & Mandel, 2006) Pada penyakit trofoblas gestatsional, kadar hormon hCG serum bisa mencapai 1000 kali lebih tinggi dibanding dengan kadar pada kehamilan normal. Kadar serum hormon hCG sebesar 50.000 mIU/mL efeknya diperkirakan setara dengan kadar serum hormon TSH 35 U/mL. Sekitar 50% wanita dengan penyakit trofoblas gestasional akan memperlihatkan tanda-tanda biokimia adanya gangguan hipertiroid. (LeBeau & Mandel, 2006)Selain peningkatan kadar serum hormon hCG, pada kehamilan juga terjadi peningkatan konsentrasi TBG yang merupakan protein pengangkut hormon tiroid. Peningkatan ini mencapai puncaknya pada usia kehamilan kira-kira 20 minggu dan setelah itu mengalami plateu. Pada masa ini, kadar TBG wanita hamil 50% lebih tinggi dibanding wanita yang tidak hamil. Peningkatan kadar TBG ini menyebabkan waktu paruh hormon tiroid di dalam darah menjadi memanjang sehingga konsentrasi T4 dan T3 total di dalam darah wanita hamil lebih tinggi dibanding wanita normal. (LeBeau & Mandel, 2006)Gejala-gejala yang sering dialami pasien dengan hipertiroid antara lain; Gangguan kecemasan, hiperkinetik, serta gangguan emosi Intoleransi terhadap suhu panas dan mudah berkeringat Jantung berdebar-debar (palpitasi), takikardi,tremor Mudah lelah dan badan terasa lemas Peningkatan nafsu makan namun disertai penurunan berat badan Diare dan poliuri Oligomenorea dan penurunan libido5.DIAGNOSAa.Pemeriksaan kadar hCG. Karakter prinsip dari suatu neoplasma trofoblas gestasional, termasuk mola hidatidosa, adalah kemampuannya dalam memproduksi hormon -hCG. Pemeriksaan hCG merupakan bagian dari proses penegakkan diagnosa dan pemantauan hasil terapi mola hidatidosa. Melalui pemeriksaan immonuassai, kadar hCG darah dan urin yang sangat rendah pun dapat dideteksi. Kadar hCG pada kehamilan normal akan mencapai puncaknya sekitar minggu 10-14 kehamilan namun nilainya jarang melebihi 100.000 mIU/mL. Oleh sebab itu, kecurigaan terhadap terjadinya mola hidatidosa, khususnya tipe komplit, harus dipertimbangkan jika pada pemeriksaan awal ditemukan kadar hCG >100.000 mIU/mL. Pada mola hidatidosa parsial jarang ditemukan peningkatan kadar hCG. (Kavanagh & Gershenson, 2007)b.Pemeriksaan USG. Pemeriksaan ini adalah suatu teknik yang terpercaya dan sensitif bagi penegakaan diagnosa mola hidatidosa, baik komplit maupun parsial. Pada mola hidatidosa komplit, karena villi korionik mengalami degenerasi hidropik yang difus, maka akan ditemukan suatu gambaran karakteristik vesikuler berupa daerah-daerah hipoekoik yang khas. Pola ini dikenal dengan sebutan gambaran badai salju (snowstorm-like pattern) atau multikistik (multicystic appearance). Pada pemeriksaan biasanya juga ditemukan pembesaran ovarium sebagai akibat sekunder dari pembentukan kista teka lutein. Tidak ditemukan gambaran kantung kehamilan (gestational sac) maupun janin pada mola hidatidosa komplit. Pada kasus mola hidatidosa parsial, akan terlihat daerah kistik yang bersifat fokal disertai kantung kehamilan normal atau janin. (Aghajanian, 2007; Kavanagh & Gershenson, 2007)

Gambar.6. Gambaran USG Mola Hidatidosa Komplit (Berkowitz & Goldstein, 2007)6. Penatalaksanaan Obstetri Mola Hidatidosa1.KuretasePada prinsipnya, penanganan definitif kasus mola hidatidosa adalah evakuasi jaringan mola dari dalam kavum uteri. Setelah diagnosa kehamilan mola bisa ditegakkan, maka selanjutnya dilakukan evaluasi cermat untuk mencari komplikasi medis yang mungkin terjadi dan melakukan koreksi apabila diperlukan. Investigasi terutama ditujukan untuk menemukan kondisi pre-eklampsia, hipertiroid, gangguan elektrolit, anemia, insufisiensi kardiopulmoner, serta gangguan fungsi ginjal dan hepar. Selain itu, persiapan darah untuk kemungkinan transfusi dan anjuran pemeriksaan rontgen toraks untuk mencari kemungkinan terjadinya metastase paru akibat keganasan trofoblas perlu dilakukan. Apabila kondisi pasien telah stabil, maka selanjutnya dapat dibuat keputusan mengenai metode evakuasi yang paling sesuai. (Aghajanian, 2007; Berkowitz & Goldstein, 2007; Kavanagh & Gershenson, 2007 )Kuret vakum (suction curettage) adalah metode evakuasi jaringan mola yang lebih sering dilakukan terhadap pasien-pasien yang masih ingin mempertahankan fertilitasnya. Metode ini terbukti aman, lebih cepat, dan bisa dilakukan pada hampir semua kasus, terlepas dari besarnya ukuran uterus. Pemakaian obat-obatan uterotonik sebelum dilakukan tindakan evakuasi jaringan mola tidak dianjurkan karena berisiko menyebabkan penyebaran sel-sel trofoblas yang abnormal. Pada saat sebagian jaringan mola sudah dapat dikeluarkan dari kavum uteri, maka dilakukan pemberian drip oksitosin. Drip oksitosin dapat diberikan sebanyak 20 unit dalam 1 liter cairan kristaloid dengan kecepatan tetesan dititrasi sampai muncul kontraksi uterus yang adekuat. (Aghajanian, 2007; Berkowitz & Goldstein, 2007; Kavanagh & Gershenson, 2007 )2.HisterektomiBagi pasien yang fungsi fertilitasnya sudah tidak akan dipertahankan lagi, tindakan evakuasi jaringan mola dapat dilakukan dengan tindakan histerektomi. Apabila saat histerektomi ditemukan kista teka lutein, tidak perlu dilakukan pengangkatan ovarium. Kista teka lutein biasanya mengalami regresi spontan kecuali bila terjadi episode akut, misalnya ruptur. Biasanya kista akan mengalam regresi dalam waktu kurang lebih 2 bulan setelah jaringan mola dievakuasi ( Berkowitz & Goldstein, 2007; Kavanagh & Gershenson, 2007 ).

3. Pemeriksaan tindak lanjut (follow up)Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun, mengingat kemungkinan terjadi keganasan setelah mola hidatidosa ( 20%). Untuk tidak mengacaukan pemeriksaan selama periode ini pasien dianjurkan untuk tidak hamil dulu, dengan pemakaian alat kontrasepsi. Pemeriksaan kadar HCG dilakukan 48 jam setelah tindakan evakuasi mola, lalu dilanjutkan pemeriksaan seminggu sekali sampai didapatkan 3 kali nilai normal. Setelah itu pemantauan kadar HCG dilakkan tiap 2 minggu selama 3 bulan. Kemudian pemantauan dilakukan setiap bulan selama 6-12 bulan. Cara yang paling peka saat ini adalah dengan pemeriksaan HCG yang menetap untuk beberapa lama. Jika masih meninggi, hal ini berarti masih ada sel-sel trofoblas yang aktif. Cara yang umum dipakai sekarang ini adalah dengan radioimmunoassay terhadap HCG sub unit. Pemeriksaan ginekologi dilakukan untuk menilai involusi uterus yang terjadi seiring dengan penurunan kadar HCG ke nilai normal. Pemeriksaan Roentgen paru-paru dilakukan untuk mengetahui adanya metastase.Dikarenakan terdapat resiko untuk terjadinya perforasi uterus, maka alat kontrasepsi dalam rahim tidak dianjurkan diberikan sampai dengan kadar hCG mencapai normal. Oleh karena itu untuk pencegahan kehamilan digunakan kontrasepsi oral karena cukup efektif dan tidak menunjukkan pengaruh terhadap risiko terjadinya penyakit trofoblas post mola. Metode barrier juga dapat digunakan. Anjuran sterilisasi biasa dilakukan pada penderita usia tua ataupun penderita yang telah memiliki cukup anak. Jika selama follow up terdapat kadar hCG yang menetap atau meningkat maka dipikirkan suatu neoplasma trofoblastik gestasional. GTN terbagi atas resiko tinggi dan rendah. 7. Prognosis Pemantauan yang dilihat pada pasien mola hidatidosa yang telah menjalani evakuasi mengindikasikan bahwa tindakan ini bersifat kuratif pada lebih dari 80% pasien. Mola hidatidosa yang berulang terjadi pada 0,5 sampai 2,6% dengan resiko yang lebih besar untuk menjadi mola invasif atau koriokarsinoma. Kurang lebih 10 20% mola hidatidosa komplit menjadi metastatik koriokarsinoma yang potensial invasif.Kematian pada mola disebabkan karena perdarahan, infeksi, preeklampsia, payah jantung, atau tirotoksikosis. Di negara maju, kematian karena mola hampir tidak ada lagi, tetapi di negara berkembang masih cukup tinggi, yaitu berkisar antara 2,2%-5,7%.

DAFTAR PUSTAKAAghajanian, P. (2007). Gestational Throphoblastic Disease. Dalam A. H. DeCherney, L. Nathan, T. M. Goodwin, & N. Laufer (Penyunt.), Current Diagnosis & Treatment: Obstetrics & Gynecology (10th ed.). New York: The McGraw-Hill Companies.Berkowitz, R. S., & Goldstein, D. P. (2007). Gestational Trophoblastic Disease. Dalam J. S. Berek (Penyunt.), Berek & Novak's Gynecology (14th ed., hal. 1582-1603). New York: Lippincott Williams & Wilkins.Cunningham, F. G. (2005). Gestational Throphoblastic Disease. Dalam F. G. Cunningham (Penyunt.), Williams Obstetrics (22nd ed.). New York: The McGraw-Hill Companies.Kavanagh, J. J., & Gershenson, D. M. (2007). Gestational Trophoblastic Disease. Dalam V. L. Katz (Penyunt.), Comprehensive Gynecology (5th ed.). Philladelphia: Mosby Elsevier.LeBeau, S. O., & Mandel, S. J. (2006). Thyroid Disorders During Pregnancy. Endocrinol Metab Clin N Am , 35, hal. 117136.Mazur, M. T., & Kurman, R. J. (2005). Diagnosis of Endometrial Biopsies and Curettings (2nd ed.). New York: Springer Science & Business Media, Inc.2