METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Transcript of METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
METODELOGI DAN BAHASA
PERUNDANG-UNDANGAN
2016
Bimbingan Teknis Penyusunan Peraturan Daerah
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Bali
Tahun Anggaran 2016 (31 Agustus – 2 September 2016)
DENPASAR 31 AGUSTUS 2016
Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja
METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
i
Kata PENGANTAR
Makalah berjudul “Metodelogi dan Bahasa Perundang-undangan” ini
disusun sebagai pelaksanaan Surat Tugas Dekan Fakultas Hukum
Universitas Udayana tanggal 23 Agustus 2016, Nomor
2415/UN14.1.11.I/TU.00.00/2016, yang berisi penugasan sebagai Nara
Sumber unuk mengisi materi dalam kegiatan Bimbingan Teknik
Penyusunan Peraturan Daerah Tahun 2016.
Surat Tugas tersebut merupakan tanggapan atas surat dari Kepala
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Bali tanggal
12 Agustus 2016, No. W20.DL.04.02-5360, perihal: Permintaan Nara
Sumber Bimbingan Teknik Penyusunan Peraturan Daerah Tahun 2016.
Materi yang diminta berjudul Metodelogi Perundang-undangan dan
Bahasa Perundang-undangan. Materi ini berisi dua hal yang berbeda
namun berkaitan. Makalah ini pertama-tama menemukan keterkaitan itu,
baru kemudian diuraikan Metodelogi Perundang-undangan, dan
berikutnya Bahasa Perundang-undangan.
Denpasar, 31 Agustus 2016
Gede Marhaendra Wija Atmaja
METODELOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
ii
DAFTAR ISI
1. Latar Belakang ___ 1
2. Fokus Isu ___ 4
3. Metodelogi Perundang-undangan dalam Teori Legislasi ___ 4
4. Metode Pemecahan Masalah dan Teori ROCCIPI _____ 7
5. Metode Analisis Dampak Regulasi ____ 16
6. Bahasa Perundang-undangan ___ 23
7. Penutup ___ 28
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
1
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) mengharuskan
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD
disertai Naskah Akademik (Pasal 43 ayat (3) UU 12/2011). Sedangkan untuk
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota
disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik (Pasal 56
ayat (2) dan Pasal 63 UU 12/2011).
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum
dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,
atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat (Pasal 1 angka 11 UU 12/2011)
Makna dari ketentuan tersebut adalah penyusunan RUU dan Raperda
memerlukan penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya.
Penelitian tersebut dilakukan terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu RUU atau Raperda sebagai solusi terhadap permasalahan dan
kebutuhan hukum masyarakat. Hasil penelitian ini dituangkan dalam Naskah
Akademik.
Intinya, penelitian dilakukan terhadap suatu masalah tertentu untuk
mendapatkan solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Oleh karena itu langkah awal yang dilakukan adalah mengenali masalahnya dan
kemudian menemukan masalah yang dihadapi berkenaan dengan materi muatan
yang hendak dibuatkan RUU atau Raperda serta bagaimana permasalahan
tersebut dapat diatasi.
LATAR BELAKANG 1
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
2
Langkah-langkah itu sejalan dengan Metodelogi Pemecahan Masalah yang
dikemukakan oleh Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyeskere
(2002). Mereka mengemukakan perihal metodelogi perundang-undangan sebagai
acuan penelitian, yang disebutnya Metodelogi Pemecahan Masalah, secara garis
besar sebagai berikut:
1. Suatu laporan penelitian dari seorang pembuat rancangan harus
menyertakan metodologi pemecahan masalah untuk menunjukkan bahwa
rancangan yang diusulkan bertumpu pada dasar pemikiran berdasarkan
pengalaman. Pemikiran berdasarkan pengalaman adalah pengembangan
cara-cara baru untuk melakukan hal-hal dengan melihat kembali fakta
yang ditampilkan oleh pengalaman.
2. Untuk maksud mengembangkan perundang-undangan supaya dapat
memecahkan masalah sosial, pemecahan masalah terdiri dari empat
langkah, yang masing-masing berdasarkan fakta-fakta yang terkait yang
dihubungkan dengan logika.
Langkah Pertama, mengenali permasalahan sosial atau perilaku
bermasalah.
Langkah Kedua, menemukan penjelasan atau penyebab perilaku
bermasalah..
Langkah Ketiga, menyusun solusi.
Langkah Keempat, Memantau dan Menilai Pelaksanaan.
Langkah Kedua, yakni menemukan penjelasan atau penyebab perilaku
bermasalah, dilakukan dengan menggunakan agenda ROCCIPI atau POKKIPI
yang merupakan akronim dari sejumlah kategori.
Peraturan (Rule)
Oportunitas/Kesempatan (Opportunity)
Kapasitas/Kemampuan (Capacity)
Komunikasi (Communication)
Interes/Kepentingan (Interest)
Proses (Process)
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
3
Ideologi (Ideology)
Kategori “Peraturan” antara lain menyangkut susunan kata dari peraturan
tersebut, yang mungkin kurang jelas atau rancu, sehingga menimbulkan multi-
tafsir atau keliru menafsirkan peraturan. Ini menyangkut bahasa perundang-
undanan.
Kategori ”Komunikasi” juga dapat menyumbang pada problem bahasa
perundang-undangan. Komunikasi bermakna ketidaktahuan seorang pelaku peran
tentang undang-undang yang menyebakan dia berperilaku tidak sesuai dengan
peraturan. Ini dapat terjadi karena kegagalan perancang mengkomunikasikan atau
merumuskan tujuan kebijakan ke dalam pasal-pasal dengan rumusan yang tidak
jelas, yakni menggunakan pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang tidak
jelas dan tidak mudah dimengerti sehingga menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya (lihat juga Pasal 5 huruf f UU 12/2011 dan
penjelasannya).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penting mendiskusikan metodologi dan
bahasa perundang-undangan sebagai acuan dalam penelitian dalam rangka
penyusunan naskah akademik berikut konsep awal rancangan peraturan
perundang-undangan, khususnya RUU atau Raperda.
Isu pokok risalah ini tentang metodologi dan bahasa perundang-undangan,
sebagai acuan dalam penelitian dalam rangka penyusunan naskah akademik
berikut konsep awal rancangan peraturan perundang-undangan, yang dirinci
menjadi:
1. Bagaimanakah metodologi perundang-undangan dapat menjadi acuan
penelitian dalam rangka penyusunan naskah akademik berikut konsep
awal rancangan peraturan perundang-undangan?
FOKUS ISU 2
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
4
2. Bagaimanakah bahasa perundang-undangan dapat menjadi acuan dalam
menulis konsep awal rancangan peraturan perundang-undangan?
Terdapat beberapa teori legislasi yang dapat diterapkan dalam perancangan
peraturan perundang-undangan, satu diantaranya adalah yang dirangkum oleh
J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt, “Using legislative theory to improve law
and development project”.
J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt (2004, 2008) membahas teori
pembentukan agenda, teori ideologi elite, teori politik-biro, dan teori empat lapisan
rasionalitas. Menurutnya, teori-teori tersebut di atas kiranya dapat lebih
bermanfaat bagi konsultan para pembentuk legislasi jika dikonsolidasikan ke
dalam metodologi yang koheren dan komprehensif. Metodologi demikian sejatinya
merangkum dan meliputi kelima tahapan berikut:
Tabel Lima Tahapan Metodelogi Pembentukan Legislasi
TAHAPAN URAIAN
Tahap I Evaluasi terhadap efektivitas legislasi yang ada sebelum melakukan upaya memperbaiki atau menggantikannya.
Melakukan upaya untuk memahami terlebih dahulu apa dan bagaimana legislasi yang sudah ada bekerja dan menelaah apakah ketentuan-ketentuan di dalamnya konsisten, sejauh mana relevan dengan atau memajukan kepentingan kelompok target (addressat) dan terakhir menilai sejauh mana semua mekanisme legal yang terkait terjangkau oleh masyarakat umum.
Tahap II Pemajuan upaya memahami mengapa hukum efektif (atau justru tidak efektif) beranjak dari teori dampak sosial maupun pluralisme hukum, dsb .
Hendak menganjurkan diadaptasikannya model ini lebih lanjut untuk diselaraskan dengan studi-studi yang secara khusus menyasar lembaga-lembaga pembentuk legislasi dan relasi mereka dengan addressat dari peraturan tersebut.
Ini sejatinya dilakukan baik dalam konteks pembentukan legislasi maupun berkaitan dengan persoalan penaatan (compliance).
Tahap III Analisis dari permasalahan yang hendak ditata melalui perangkat legislasi.
Dalam hal ini dengan menggunakan metodologi penyelesaian masalah yang dikembangkan pasangan Seidman, kita harus
3 METODELOGI PERUNDANG-UDANGAN
DALAM TEORI LEGISLASI
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
5
mengidentifikasi perilaku apa yang sebenarnya hendak diubah.
Ikhtiar ini terdiri dari empat langkah: Langkah 1: Identifikasi dari tingkat kesulitan yang dihadapi: karena legislasi hanya mungkin menyasar perilaku manusia, maka para pembentuk legislasi harus mampu mengidentifikasi perilaku apa yang memunculkan masalah sosial yang hendak ditata dan juga peran dari mereka (kelompok sasaran) yang perilakunya menimbulkan masalah. Langkah 2: Menganalisis dan mengajukan uraian menjelaskan mengapa dan bagaimana masalah sosial tertentu muncul; pembentuk legislasi harus secara sistematis memeriksa dan turut mempertimbangkan hipotesis alternatif perihal sebab musabab atau akar masalah dari perilaku sosial yang dianggap bermasalah. Langkah 3: Mengajukan usulan pemecahan masalah (solusi);
dengan dukungan bukti-bukti, pembentuk legislasi seyogianya merumuskan tindakan-tindakan legislatif apa yang sebaiknya dilakukan, termasuk mengajukan usulan rancangan peraturan baru. Dalam hal itu, mereka juga harus memperhitungkan biaya sosial-ekonomi yang potensial muncul dari tiap aturan yang dibuat, yaitu untuk dapat menentukan elemen mana yang harus dimasukkan atau justru dikesampingkan dalam perancangan aturan yang hendak diusulkan. Langkah 4: Pengawasan dan evaluasi terhadap implementasi; terakhir para pembentuk legislasi seyogianya membangun suatu mekanisme pengawasan dan evaluasi implementasi ke dalam rancangan legislasi yang dibuat.
Tahap IV Analisis dari proses pembentukan legislasi beranjak dari teori-teori normatif perihal ‘pembentukan legislasi yang baik.
Pembentukan legislasi yang lebih partisipatoris seharusnya meningkatkan kadar demokratis dan legitimasi peraturan yang dihasilkan.
Pendekatan dari bawah (bottom-up approach) berkaitan dengan
pembentukan legislasi negara diprakarsai pada tingkat lokal, merupakan fenomena penting dan baru muncul di banyak negara berkembang.
Tahap V Suatu analisis terhadap kelayakan dari ikhtiar pembentukan legislasi dari sudut pandang teori-teori : pembuatan agenda, ideologi (kelompok) elite, politik-biro dan empat lapisan rasionalitas.
Penelahaan kritis terhadap pertanyaan apakah dan seberapa jauh transplantasi hukum justru merupakan solusi terbaik terhadap permasalahan sosial yang muncul.
Mensyaratkan adanya kemampuan dari konsultan asing untuk tidak saja kritis terhadap diri sendiri, juga untuk menyadari bahwa sejumlah teori yang dikembangkan di dunia Barat dilandaskan pada asumsi-asumsi mengenai dinamika masyarakat dan politik di negara-negara maju yang tidak mencerminkan realitas sosial di banyak negara berkembang.
Asumsi-asumsi demikian mencakup: bahwa dapat ditemukan konsensus tentang keniscayaan pembentukan legislasi yang partisipatoris dan demokratis;
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
6
bahwa warga masyarakat memiliki kebebasan dan keberanian untuk secara terbuka turut serta dalam debat publik tentang apapun juga. bahwa pihak eksekutif yang memprakarsai dan memimpin proses pembentukan legislasi bertanggungjawab terhadap dewan perwakilan daerah yang pada gilirannya mengartikulasikan kepentingan dari masyarakat banyak; bahwa ada dan terjaga situasi dan kondisi politik yang relatif stabil yang memungkinkan terselenggaranya debat terbuka perihal elemen-elemen terpenting dari ideologi negara maupun kebijakan resmi negara, samping itu juga berfungsinya media yang efektif tetapi sekaligus cukup netral, untuk menyalurkan informasi pada masyarakat luas; dan bahwa tersedia cukup sumberdaya, personel dan anggaran yang memungkinkan proses pembentukan legislasi yang partisipatoris, dipersiapkan dengan baik oleh para pengambil kebijakan maupun pembentuk legislasi.
Sumber: disusun berdasarkan J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt, “Using legislative theory to improve law and development project”
Metodelogi pembentukan legislasi dalam kelima tahapan tersebut dapat
dipadatkan sebagai berikut:
1. Tahap I: Evaluasi terhadap efektivitas legislasi yang ada sebelum
melakukan upaya memperbaiki atau menggantikannya.
2. Tahap II: Pemajuan upaya memahami mengapa hukum efektif (atau justru
tidak efektif).
3. Tahap III: Analisis dari permasalahan yang hendak ditata melalui
perangkat legislasi, dengan menggunakan Metode Pemecahan Masalah-
ROCCIPPI.
4. Tahap IV: Analisis dari proses pembentukan legislasi juga beranjak dari
teori-teori normatif perihal ‘pembentukan legislasi yang baik”.
5. Tahap V: Suatu analisis terhadap kelayakan dari ikhtiar pembentukan
legislasi yang mencerminkan realitas sosial masyarakat setempat.
Metode Pemecahan Masalah beserta Teorfi Legislasi ROCCIPI merupakan
salah satu tahapan dari Metodelogi Pdembentukan Legislasi yang dikemukakan
J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt.
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
7
Metode Pemecaahan Masalah dan ROCCIPI, mendapat pembahasan
dalam teori legislasi yang dikemukakan oleh J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J.
Arnscheidt. Berikut dilakukan penguraian kembali teori legislasi dari Seidman
tersebut, terutama menyangkut teori legislasi ROCCIPI.
Inti dari Metodelogi Pemecahan Masalah dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan dengan langkah-langkah tersebut adalah dalam rangka
perubahan masyarakat yang demokratis yang berdasarkan pada asas-asas
kepemerintahan yang baik (good governance). Masing-masing langkah tersebut
adalah sebagai berikut:
Pertama, mengenali permasalahan sosial atau perilaku bermasalah,
melalui kriteria sebagai berikut:
1. Apakah masalah itu terjadi berulang-ulang?
2. Apakah masalah itu mempunyai dampak negatif?
3. Apakah masalah sosial itu dibentuk oleh perilaku majemuk (banyak
orang)?
Jika jawabannya ”ya“, maka masalah itu merupakan masalah sosial. Pihak-
pihak yang perilakunya terkait dengan masalah sosial adalah:
a. Pemeran (Role Occupant), yakni orang, kelompok, atau organisasi yang
perilakunya menimbulkan masalah.
b. Agen pelaksana (Implementing Agent), yang diberi kewenangan oleh
peraturan untuk memastikan pemeran berperilaku sesuai aturan.
Kedua, menemukan penjelasan atau penyebab perilaku bermasalah.
Dilakukan dengan menggunakan agenda ROCCIPI yang merupakan akronim dari
sejumlah kategori. Ini akan diuraikan dalam bagian berikutnya, khusus megenai
Teori ROCCIPI.
4 METODE PEMECAHAN MASALAH
DAN TEORI ROCCIPI
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
8
Ketiga, menyusun solusi. Ada dua jenis solusi yakni untuk menghilangkan
perilaku bermasaalah dan memastikan efektivitas pelaksanaan. Untuk lebih
jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Solusi untuk menghilangkan perilaku bermasalah yang berisi tindakan-
tindakan langsung maupun tidak langsung yang bisa menghilangkan
perilaku bermasalah. Misalnya, Jika karena faktor peraturan, khususnya
pada ancaman sanksi maka ancaman sanksi itu yang perlu diperbaiki
atau jika perilaku bermasalah disebabkan kurangnya perilaku berperan
maka tindakannya adalah mengembangkan kemampuan.
2. Solusi memastikan efektivitas pelaksanaan peraturan. Langkah yang
dapat dilakukan adalah pertama, mempertimbangkan jenis-jenis
lembaga pelaksana peraturan seperti perusahaan negara, lembaga
administratif, lembaga penyelesaian sengketa atau lembaga swasta.
Langkah kedua, menyususun mekanisme tindakan untuk menghindari
tindakan seweng-wenang lembaga pelaksana peraturan. Ini dapat
dilakukan melalui dua cara:
a) menyusun proses pengambilan keputusan yang partisipatif dan
transparan dalam peraturan; dan
b) menyusun mekanisme pertanggungjawaban dan penyelesaian
sengketa.
Keempat, Memantau dan Menilai Pelaksanaan. Aktivitas yang dilakukan
pada langkah keempat adalah menyusun mekanisme pengawasan dan evaluasi
dalam rancangan untuk memastikan peraturan yang dirancang benar-benar
mempengaruhi tingkah laku dan menimbulkan dampak yang diinginkan.
Mekanisme itu mencakup (1) Klausula Matahari Terbenam; (2) Mengharuskan
pejabat memberikan laporan kepada atasan dan/atau legislatif; dan (3)
Mengharuskan pejabat pelaksana peraturan membentuk komisi yang akan
mengevaluasi pelaksanaan.
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
9
TEORI ROCCIPI. Teori perundang-undangan yang yang dikembangkan Ann
Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere adalah untuk mendapatkan
masukan penjelasan tentang prilaku bermasalah yang membantu dalam
penyusunan undang-undang. Teori ini lebih dikenal dengan ROCCIPPI, yang
terdiri 7 kategori, yakni: Rule (Peraturan), Opportunity (Kesempatan), Capacity
(Kemampuan), Communication (Komunikasi), Interest (Kepentingan), Process
(Prosese), dan Ideology (Ideologi). Kategori-kategori ini dapat dipilah menjadi dua
kelompok factor penyebab, yakni factor obyektif (yang meliputi: Rule/Peratura),
Opportunity/Kesempata), Capacity/Kemampua), Communication/Komunikas), dan
Process/Prosese ) dan factor subyektif (yang meliputi: Interest/Kepentingan dan
Ideology/Ideologi). Penjelasan masing-masing factor tersebut adalah sebagai
berikut.
Pertama, factor-faktor subyektif, terdiri dari apa yang ada dalam benak para
pelaku peran: Kepentingan-kepentingan mereka dan “ideologi-ideologi (nilai-nilai
dan sikap)” mereka. Hal-hal ini merupakan apa yang semula diidentifikasikan
kebanyakan orang berdasarkan naluri sebagai “alasan” dari perilaku masyarakat.
Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kepentingan (atau insentif). Kategori ini mengacu pada pandangan
pelaku peran tentang akibat dan manfaat untuk mereka sendiri. Hal ini
termasuk bukan hanya insentif materiil tetapi juga insentif non-materiil,
seperti penghargaan dan acuam kelompok berkuasa. Fokus pada
penjelasan yang berkaitan dengan kepentingan umumnya
menghasilkan tindakan perundang-undangan yang menerapkan
tindakan motivasi ke arah kesesuaian yang bersifat langsung - hukuman
dan penghargaan - yang dirancang untuk mengubah kepentingan-
kepentingan tersebut.
2. Ideologi (nilai dan sikap). Ideologi merupakan kategori subjektif kedua
dari kemungkinan penyebab perilaku. Bila ditafsirkan secara luas,
kategori ini mencakup motivasi-motivasi subjektif dari perilaku yang
tidak dicakup dalam “kepentingan”. Motivasi tersebut termasuk semua
hal mulai dari nilai, sikap dan selera, hingga ke mitos dan asumsi-
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
10
asumsi tentang dunia, kepercayaan keagamaan dan ideologi politik,
social dan ekonomi yang kurang lebih cukup jelas. Alvin Gouldner
memasukkan hal-hal tersebur dalam istilah: “asumsi-asumsi domain”.
Faktor-faktor subjektif − Kepentingan dan Ideologi − memang menawarkan
penjelasan secara parsial perilaku bermasalah. Akan tetapi, sesuai dengan
hakekatnya, penjelasan tersebut terfokus pada penyebab perilaku perorangan di
dalam struktur kelembagaan yang ada. Sebagai akibatnya, pemecahan
perundang-undangan dirancang untuk mengubah kepentingan dan ideologi
perorangan. Penyelesaian-penyelesaian perundang-undangan yang ditujukan
hanya pada penyebab-penyebab subjektif dari perilaku bermasalah tidak dapat
mengubah factor-faktor kelembagaan objektif yang dapat menyebabkan
bertahannya perilaku tersebut.
Kedua, factor-faktor obyektif. Berbeda dengan factor subjektif, kategori-
ketegori-kategori objektif ROCCIPI - Peraturan, Kesempatan, Kemampuan,
Komunikasi dan Proses memusatkan perhatian pada penyebab perilaku
kelembagaan yang menghambat pemerintahan yang bersih. Kategori ini harus
merangsang seorang penyusun rancangan undang-undang untuk
memformulasikan hipotesa penjelasan yang agak berbeda dan usulan
pemecahan. Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Peraturan. Kebanyakan masalah yang mencapai tahap penyusunan
rancangan undang-undang tidak ada dengan tiba-tiba. Hampir selalu,
batang tubuh undang-undang yang layak mempengaruhi perilaku.
Orang berperilaku sedemikian rupa, bukan di hadapan satu peraturan,
tetapi di depan kesatuan kerangka undang-undang. Keberadaan
peraturan-peraturan tersebut dapat membantu menjelaskan perilaku
bermasalah dengan satu atau beberapa dari lima alasan berikut ini:
Susunan kata dari peraturan tersebut mungkin kurang jelas atau
rancu, sehingga sampai memberikan wewenang tentang apa yang
harus dilakukan;
Beberapa peraturan mungkin mengijinkan atau mengijinkan
perilaku yang bermasalah;
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
11
Peraturan tersebut tidak menangani penyebab-penyebab dari
perilaku bermasalah.
Peraturan tersebut mungkin mengijinkan pelaksanaan yang tidak
transparan, tidak bertanggung jawab dan tidak partisipatif.
Peraturan tersebut mungkin memberikan kewenangan yang tidak
perlu kepada pejabat pelaksana dalam memutuskan apa dan
bagaimana mengubah perilaku bermasalah tersebut.
2. Kesempatan. Apakah lingkungan di sekeliling pihak yang dituju oleh
suatu undang-undang memungkinkan mereka untuk berperilaku
sebagaimana diperintahkan oleh undang-undang tersebut? Atau,
sebaliknya, apakah lingkungan tersebut membuat perilaku yang sesuai
tidak mungkin terjadi? Misalnya, bila kebijakan pemerintah berpihak
pada peningkatan penanaman tanaman keras di tengah dominasi petani
tanaman pangan, apakah para petani tersebut memiliki akses masuk
menembus pasar tanaman keras? Apanila tidak, mereka akan
kekurangan kesempatan untuk menjual barang-barang mereka di pasar.
3. Kemampuan. Apakah para pelaku peran memiliki kemampuan
berperilaku sebagaimana ditentukan oleh peraturan yang ada?
Berangkat dari situasi ini, maka kategori ini memfokuskan perhatian
pada ciri-ciri pelaku yang menyulitkan atau tidak memungkinkan mereka
berperilaku sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang yang ada.
Misalnya, apabila petani tanaman pangan kekurangan kredit atau
keahlian teknis, kemungkinan mereka tidak memiliki kemampuan
menanam tanaman pangan.
4. Komunikasi. Ketidaktahuan seorang pelaku peran tentang undang-
undang mungkin dapat menjelaskan mengapa dia berperilaku tidak
sesuai. Apakah para pihak yang berwenang telah mengambil langkah-
langkah yang memadai untuk mengkomunikasikan peraturan-peraturan
yang ada kepada para pihak yang dituju? Tidak ada orang yang dengan
secara sadar mematuhi undang-undang bila dia mengetahui perintah.
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
12
5. Proses. Menurut criteria dan prosedur apakah - dengan Proses yang
bagaimana - para pelaku peran memutuskan untuk mematuhi undang-
undang atau tidak? Biasanya, bila sekelompok pelaku peran terdiri dari
perorangan, kategori “Proses” menghasilkan beberapa hipotesa yang
berguna untuk menjelaskan perilaku mereka. Orang-orang biasanya
memutuskan sendiri apakah akan mematuhi peraturan atau tidak. Akan
tetapi, dalam hal organisasi yang kompleks (misalnya, sebuah
perusahaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serikat buruh, dan
khususnya instansi pelaksana pemerintah, Proses dapat saja
merupakan kategori ROCCIPI yang paling penting.
Kategori-kategori ROCCIPI tersebut mengandung pengertian sebagai
berikut:
1. Rule (Peraturan Perundang-undangan). Menganalisis seluruh
peraturan yang mengatur atau terkait dengan perilaku bermasalah, ini
dilakukan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan yang terkandung
pada peraturan yang sudah ada.
2. Oppurtunity (Peluang/Kesempatan). Menganalisis berbagai
kesempatan bagi timbulnya perilaku bermasalah.
3. Capacity (kemampuan). Mengalisis kemungkinan timbulnya perilaku
bermasalah karena faktor kemampuan.
4. Communication (Komunikasi). Perilaku bermasalah mungkin timbul
karena ketidaktahuan pemeran akan adanya peraturan. Ini juga harus
dianalisis dalam rangka menemukan sebab perilaku bermasalah.
5. Interest (Kepentingan). Kategori ini berguna untuk menjelaskan
pandangan pemeran tentang akibat dan manfaat dari setiap
perilakunya. Pandangan pemeran ini mungkin menjadi penyebab
perilaku bermasalah.
6. Process (Proses). Kategori proses juga merupakan penyebab perilaku
bermasalah. Ada empat proses utama, yakni: proses input, proses
konversi, proses output, dan proses umpan balik. Proses input
menyangkut siapa saja yang dimintai masukan. Proses konversi siapa
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
13
saja yang menyaring dan mempertimbangkan masukan yang ada
untuk dijadikan dasar dalam mengambil keputusan. Proses output
menyangkut siapa dan dengan cara apa keputusan akan dikeluarkan.
Proses umpan balik menyangkut siapa saja yang dimintai umpan
balik.
7. Ideology (ideologi). Kategori ini menunjuk pada sekumpulan nilai yang
dianut oleh suatu masyarakat untuk merasa, berpikir, dan bertindak.
Ketujuh agenda ROCCIPI bukan suatu urutan prioritas, namun hanya alat
bantu agar mudah mengingat. Tidak seluruh kategori harus terpenuhi. Bisa jadi
penyebab perilakunya hanya kategori ROCC, karena tidak ada penyebab dalam
kategori IPI. Kategori-kategori dalam ROCCIPI bisa jadi belum lengkap, karena itu
terbuka untuk ditambahkan dengan kategori baru (Rival Gulam Ahmad, dkk,
2007).
Berikut ini dikemukakan Skema Sampath yang memberikan pengertian
tentang cara menggunakan agenda ROCCIPI untuk mengindentifikasi penyebab
perilaku bermasalah dari pelaku peran yang secara logis mampu membantu
menyusun rincian tindakan-tindakan di dalam rancangan peraturan perundang-
undangan (Seidman, Ann; Robert B. Seidman; dan Nalin Abeyserkere, 2002).
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
14
KOTAK : SKEMA SAMPATH : LANGKAH – LANGKAH MENGANALISA MASALAH SOSIAL UNTUK MENYUSUN RANCANGAN UNDANG – UNDANG YANG DAPAT DILAKSANAKAN SECARA EFEKTIF
Pelaku peran yang perilakunya merupakan masalah sosial
Sebab-sebab perilaku bermasalah
Pemecahan (tindakan-tindakan dalam rancangan uu yang secara logis diarahkan kepada sebab-sebab)
Rincian (tindakan-tindakan dalam rancangan uu)
Pelaku Peran #1
Peraturan……….> Kesempatan…….> Kemampuan……> Komunikasi…….> Kepentingan…....> Proses…………..> Ideologi………...>
<………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..>
} } } } } } }
Pelaku Peran #2
Peraturan……….> Kesempatan…….> Kemampuan……> Komunikasi…….> Kepentingan…....> Proses…………..> Ideologi………...>
<………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..>
RINCIAN TINDAKAN TINDAKAN DALAM RUU, DISUSUN MENJADI GARIS BESAR YANG SESUAI
Pelaku Peran #3
Peraturan……….> Kesempatan…….> Kemampuan……> Komunikasi…….> Kepentingan…....> Proses…………..> Ideologi………...>
<………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..> <………………..>
} } } } } } }
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
15
Untuk memperjelas penggunaan agenda ROCCIPI, dikemukakan contoh
kasus pembuangan limbah, sebagaimana tampak dalam kotak berikut:
KOTAK : MENGGUNAKAN ROCCIPI UNTUK MENYUSUN ANALISA MENGGAMBARKAN PENGGUNAAN BUKTI-BUKTI KUALITATIF UNTUK MEMBENARKAN TINDAKAN-TINDAKAN TERPERINCI SUATU RANCANGAN UNDANG-UNDANG. (Kasus para pengelola yang perusahaannya secara ilegal membuang limbah industri di sungai di dekatnya)
[KATEGORI]
[ROCCIPI]
Meng-
usulkan
[PENJELASAN]
[HIPOTESA]
Yang secara logis mengarah ke
[KEMUNGKINAN]
[PEMECAHAN]
Peraturan : Undang-undang melarang pembuangan limbah industri namun tidak mendirikan badan dengan pedoman yang jelas untuk memantau dan melaksanakannya.
Menyusun ulang undang-undang tentang badan pemantau dan pengumpul bukti lebih lanjut tentang biaya dan manfaat sosial dari undang-untersebut.
Kesempatan : Sebagian besar pengelola memiliki kesempatan untuk mematuhi atau tidak mematuhi sanksi.
Memastikan bahwa badan pelaksana memang memantau dan menghukum tanpa takut para pelanggar. dari undang-untersebut.
Kemampuan : Beberapa pengelola tidak mengetahui teknologi untuk membuang sampah dengan cara lain; dan perusahaan kekurangan dana untuk menggunakan teknologi tersebut apabila memang para pengelola mengetahuinya.
Badan pelaksana bertanggung jawab untuk memberitahukan kepada para pengelola, membantu perusahaan memperoleh kredit untuk teknologi.
Komunikasi : Beberapa pengelola tidak mengetahui
tentang undang-undang yang melarang membuang limbah di sungai.
Badan pelaksana harus memberitahukan kepada semua manajer tentang undang-undang baru.
Kepentingan : Para pengelola berusaha
memaksimalkan keuntungan perusahaan dimana mereka mendapat bagian;tidak memiliki kepentingan dengan air sungai bersih.
Dengan mengenakan denda, badan pelaksana mengurangi keuntungan mengubah kepentingan para pengelola.
Proses : Beberapa pengelola mengambil
keputusan tanpa berkonsultasi dengan siapapun untuk melanggar undang-undang;tidak memasukkan masukan dari masyarakat dan pekerja dalam proses pengambilan keputusan mereka
Undang-undang mengharuskan diadakannya sidang terbuka, dan laporan tertulis kepada masyarakat, pekerja dan pemberi kerja tentang kebijakan pembuangan limbah di masa yang akan datang. dari undang-untersebut.
Ideologi : Beberapa pengelola tidak percaya
bahwa pembuangan limbah akan bahaya mencemarkan sungai Bahaya pencemaran air.
Badan pelaksana menginformasikan kepada para pengelola, masyarakat tentang bahaya pencemaran.
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
16
Kepustakaan dan praktik pembentukan legislasi juga mengenal metode
legislasi, diantaranya adalah Analisis Dampak Regulasi. Istilah aslinya adalah
Regulatory Impact Analysis dengan akronim RIA. Terjemahan lainnya adalah
Analisis Dampak Peraturan, Analisis Pengaruh Regulasi, dan Analisis Pengaruh
Peraturan.
Regulatory Impact Assessment (RIA) adalah sebuah metodologi untuk
meningkatkan mutu peraturan yang sudah ada dan peraturan baru. Metodologi
tersebut memberikan peluang bagi pengguna untuk memeriksa apakah peraturan
sudah sesuai dengan kriteria mutu yang dijabarkan dalam checklist yang
dikembangkan dan direkomendasikan oleh OECD. Melalui RIA akan ditinjau
peraturan yang ada dan mengubah prosedur yang birokratif menjadi prosedur
yang smart dengan merumuskan peraturan yang lebih baik sehingga dapat
menjadi daya tarik dalam hal investasi bagi sebuah daerah (KPOD 2013).
Tujuan RIA adalah terciptanya good regulatory governance – tata kelola
pemerintahan yang mengembangkan perumusan peraturan yang efektif,
berorientasi pasar, melindungi lingkungan dan kehidupan sosial. Prinsip-prinsip
RIA adalah:
1. Minimum Efective Regulation. Regulasi bibuat apabila benar-benar
diperlukan.
2. Competitive Neutrality. Netralitas terhadap persaingan dengan
menggunakan mekanisme pasar.
3. Transparancy & Participation. Transparan dengan pelibatan stakeholder
(Ida Nurseppy, Paryadi, dan David Ray, 2002).
Secara lebih spesifik, metode RIA merupakan alat untuk mencapai standar
internasional untuk kebijakan berkualitas sebagaimana tercantum dalam OECD
checklist sebagai berikut (Emmy Suparmiatun 2011 dan Steve Parker dan
Usmanto Njo 2009):
5 METODE ANALISIS DAMPAK REGULASI
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
17
1. Apakah masalah yang dihadapi sudah didefinisikan dengan benar?
2. Sudahkah tindakan pemerintah diupayakan?
3. Apakah PPu itu merupakan bentuk terbaik dari tindakan pemerintah?
4. Apakah ada landasan hukum untuk PPu?
5. Apa jenjang pemerintahan yang tepat untuk melakukan tindakan ini?
6. Apakah manfaatnya sesuai dengan biaya yang dikeluarkan?
7. Apakah distribusi usaha di masyarakat transparan?
8. Apakah PPu tersebut jelas, dapat dipahami dan mudah diakses oleh
pemakai?
9. Apakah semua pihak yang berkepentingan telah diberi kesempatan untuk
menyampaikan pendapat/pandangan mereka? Bagaimana dapat
mencapai kepatuhan?
10. Bagaimana pelaksanaan regulasi tersebut?
Penerapan RIA sebagai sebuah metode yang bertujuan menilai secara
sistematis pengaruh negatif dan positif peraturan perundang-undangan yang
sedang diusulkan ataupun yang sedang berjalan, mengikuti langka-langkah
berikut (Emmy Suparmiatun 2011 dan Steve Parker dan Usmanto Njo 2009):
langkah uraian
Langkah 1: Perumusan masalah atau issue yang menimbulkan adanya kebutuhan untuk melakukan pengaturan.
Untuk menentukan suatu masalah, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:
Identifikasi wewenang hukum.
Pemahaman tentang susunan peraturan.
Konsultasi dengan stakeholder.
Uji definisi masalah yang dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa yang menyebabkan timbulnya masalah? Peristiwa apa yang memiliki andil sehingga imbul
masalah? Siapa yang harus menyelesaikan masalah? Apa motivasi memiliki pihak-pihak yang memiliki andil
sehingga timbul suatu masalah? Apa karakteristik utama lingkungan yang ikut andil dalam
timbulnya masalah? Bagaimana publik melihat masalah itu? Akankah definisi terhadap masalah bermanfaat bagi
regulator untuk dapat mengusulkan suatu regulasi.
Langkah 2: Penentuan tujuan atau sasaran dari pengaturan.
Pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab untuk dapat mendefinisikan tujuan dengan mempengaruhi perilaku adalah:
Apakah orang-orang yang terlibat mengerti dan sepakat bahwa memang ada masalah?
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
18
Apakah mereka mengerti dan mengetahui kontribusinya terhadap masalah?
Apakah mereka mengerti dan menerima tujuan pemerintah?
Apakah mereka mengerti dan menerima apa yang anda inginkan dari mereka?
Apakah mereka mampu berperilaku dengan cara tersebut?
Apakah ada faktor-faktor sosial dan psikologis yang terkait?
Langkah 3: Identifikasi berbagai alternatif tindakan (opsi) untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut
Beberapa pertanyaan yang bisa dij adikan landasan untuk mengembangkan alternatif tindakan tersebut, yaitu:
Pilihan-pilihan apa saja yang ada untuk menyelesaikan masalah?
Apakah tindakan Pemerintah benar-benar diperlukan atau ada cara lain untuk menyelesaikan masalah?
Apabila peraturan diperlukan, apa saja model pilihannya? Membuat baru atau merevisi atau do nothing? Peraturan level nasional atau lokal?
Dalam mengidentifikasi alternatif, mempertimbangkan apakah terdapat alternatif tindakan selain peraturan (non-regulatory; alternatif to regulation) yang dapat menyelesaikan masalah yang dituju. Yang dimaksud dengan alternatif non peraturan adalah alternatif tindakan yang tidak memerlukan kerangka peraturan perundang-undangan seperti UU, PP, dan Perda.
Langkah 4: Assessment atas manfaat dan biaya (keuntungan dan kerugian).
Checklist untuk tahapan analisis manfaat dan biaya:
Siapa yang diuntungkan dan dirugikan oleh masing-masing alternatif regulasi? (publik, swasta, pemerintah, produsen, konsumen, dan lain-lain)
Apa bentuk manfaat yang diterima dan biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak yang terkena pengaruh diterapkannya regulasi dan bagaimana masing-masing manfaat dan biaya tersebut dapat diukur?
Seberapa besarnya masing-masing manfaat dan biaya tersebut di atas dibandingkan dengan baseline yang digunakan? (ukuran kuantitatif atau kualitatif).
Dengan memperhitungkan seluruh manfaat dan biaya, baik yang dapat dikuantifi kasi ataupun tidak, apakah manfaat masing-masing alternatif melebihi biayanya atau sama atau sebaliknya?
Untuk semua alternatif yang layak (manfaat melebihi biaya) alternatif mana yang memiliki rasio manfaat biaya yang tertinggi?
Langkah 5: Konsultasi dengan para tenaga ahli, stakeholder dan publik.
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan adalah:
Konsultasi ditujukan untuk mengumpulkan informasi, membangun kelompok yang memihak untuk menyetujui adanya regulasi, dan menyusun laporan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Konsultasi dapat dilaksanakan dalam bentuk beragam, informal maupun formal (dengar pendapat, komentar, dll).
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
19
Harus direncanakan pada awal RIA.
Rencana konsultasi harus sudah mengenali pihak-pihak mana yang akan dilibatkan partisipasinya.
Prosesnya transparan, dialog berkesinambungan, pro aktif.
Langkah 6: Penentuan opsi terbaik (yang dipilih).
Pertimbangan dalam memilih (screening) alternatif.
Pertimbangan yang sering digunakan dalam screening alternatif adalah:
Legalitas: apakah pemerintah berhak secara legal untuk melakukan tindakan tersebut? legalitas ini mencakup legal menurut hukum domestik maupun internasional (misalnya perjanjian WTO).
Biaya (costs): berapa besar biaya yang harus dikeluarkan (terjadi) untuk melakukan tindakan tersebut? biaya ini mencakup biaya & kerugian yang ditanggung oleh pemerintah, konsumen, pelaku bisnis, dan UKM.
Dampak terhadap masyarakat: menyangkut seberapa besar pengaruh dari tindakan tersebut terhadap masyarakat. Pertimbangan dampak antara lain mencakup: (i) fairness & access for the poor: apakah masyarakat melihat tindakan tersebut cukup adil dan tidak menghalangi akses kaum miskin terhadap fasilitas dasar; (ii) instrusiveness: apakah regulasi terlalu mengganggu kegiatan masyarakat? (campur tangan pemerintah terlalu besar); (iii) faktor kesehatan, safety, dan lingkungan hidup: apakah tindakan tersebut terkait kesehatan, keselematan kerja, dan pelestarian lingkungan hidup; dan (iv) lingkup: apakah mempengaruhi sedikit atau banyak orang (penyebaran dampak).
Visibilitas dan kemungkinan mencapai sasaran: mengukur seberapa jauh tindakan tersebut dapat membantu pemerintah mencapai tujuan kebijakan.
Hambatan terhadap persaingan usaha yang sehat: mengukur seberapa besar alternatif tersebut mempengaruhi (menghambat) persaingan usaha.
Langkah 7: Perumusan strategi untuk menerapkan dan merevisi kebijakan (strategi implementasi)
Faktor-faktor yangharus dijadikan fokus perhatian dalam perumusan strategi implementasi adalah:
Mekanisme penerapan yang dapat digunakan untuk alternatif terpilih berdasarkan pada: Analisis kemungkinan alasan-alasan untuk
ketidakpatuhan; Review daftar berbagai kemungkinan mekanisme
penerapan untuk masing-masing alternatif regulasi maupun non-regulasi.
Efektivitas biaya masing-masing alternatif mekanisme penerapan yang didasarkan pada: Tingkat kepatuhan yang dapat diharapkan untuk masing-
masing alternatif mekanisme; Biaya yang harus ditanggung pemerintah untuk masing-
masing alternatif mekanisme; Biaya yang harus ditanggung dunia usaha dan konsumen
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
20
untuk masing-masing mekanisme.
Beberapa jenis mekanisme yang dapat digunakan untuk mendorong kepatuhan antara lain: Peringatan secara lisan ataupun tertulis; Sanksi administratif; pengumuman kepada publik pihak-pihak yang tidak patuh; pembekuan atau pencabutan izin, dan sanksi pidana. Selain sanksi di atas, strategi untuk meningkatkan derajat kepatuhan harus juga mempertimbangkan kemungkinan penggunaan imbalan dan insentif untuk kepatuhan secara sukarela, seperti penyederhanaan terhadap perijinan bagi perusahaan yang mempunyai catatan baik dalam memenuhi berbagai ketentuan; dan pemberian penghargaan berdasarkan tingginya tingkat kepatuhan.
Langkah-langkah penerapan RIA tersebut dapat disederhanakan dalam
gambar berikut (Emmy Suparmiatun 2011 dan Steve Parker dan Usmanto Njo
2009):
Gambar: Tahapan Analisis Dampak Regulasi
Keseluruhan uraian mengenai RIA menegaskan, Analisis RIA merupakan
suatu metode evaluasi kebijakan publik dan pembuatan kebijakan publik yang
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Analisis RIA dapat digunakan
sebagai metode dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan, baik
mulai dari perencanaan maupun persiapan, yang dapat didahului dengan
pembuatan naskah akademik.
PE
RU
MU
SA
N
MA
SA
LA
H
IDE
NT
IFIK
AS
I T
UJU
AN
ALT
ER
NA
TIF
TIN
DA
KA
N
AN
ALIS
IS
BIA
YA
& M
AN
FA
AT
PE
MIL
IHA
N
TIN
DA
KA
N
ST
RA
TE
GI
IMP
LE
ME
NTA
SI
KONSULTASI PUBLIK
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
21
Pasal 5 UU 12/2011 menentukan, dalam membentuk Peraturan Perundang-
undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.
Asas kejelasan rumusan merupakan asas yang mendasari ragam bahasa
perundang-undangan. Penjelasan Pasal 5 huruf f UU 12/2011 menjelaskan:
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
A. CORAK KHAS RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (TP3) sebagaimana
dimuat dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memberikan
sejumlah ketentuan berkenaan dengan corak khas bahasa peraturan peundang-
undangan.
1. Bahasa Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya tunduk pada
kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan
kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa
Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang
bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan,
BAHASA PERUNDANG-UDANGAN
6
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
22
keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik
dalam perumusan maupun cara penulisan (TP3 No 242).
2. Ciri-ciri bahasa Peraturan Perundang-undangan antara lain: a. lugas dan
pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan; b. bercorak
hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai; c. objektif dan menekan
rasa subjektif (tidak emosi dalam mengungkapkan tujuan atau maksud);
d. membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan
secara konsisten; e. memberikan definisi atau batasan pengertian secara
cermat; penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu
dirumuskan dalam bentuk tunggal (Contoh: buku-buku ditulis buku, dan
murid-murid ditulis murid); dan penulisan huruf awal dari kata, frasa atau
istilah yang sudah didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama
jabatan, nama profesi, nama institusi/lembaga
pemerintah/ketatanegaraan, dan jenis Peraturan Perundang-undangan
dan rancangan Peraturan Perundang-undangan dalam rumusan norma
ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
- Pemerintah.
- Wajib Pajak.
- Rancangan Peraturan Pemerintah (TP3 No 243).
3. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti.
Contoh:
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini,
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Rumusan yang lebih baik:
(1) Permohonan beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
23
(TP3 No 244).
4. Tidak menggunaan kata atau frasa yang artinya tidak menentu atau
konteksnya dalam kalimat tidak jelas.
Contoh: Istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas
dibandingkan dengan istilah minuman beralkohol.
(TP3 No 245).
5. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang-undangan,
gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.
Contoh kalimat yang tidak baku:
Izin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut.
Contoh kalimat yang baku:
Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dapat dicabut izin usahanya.
(TP3 No 246).
B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (TP3) sebagaimana
dimuat dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memberikan
sejumlah ketentuan berkenaan dengan pilihan kata atau istilah.
Pertama, penggunaan kata paling. Gunakan kata paling, untuk menyatakan
pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman pidana atau
batasan waktu. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan:
a. waktu, gunakan frasa paling singkat atau paling lama untuk menyatakan
jangka waktu.
b. waktu, gunakan frasa paling lambat atau paling cepat untuk menyatakan
batas waktu.
c. jumlah uang, gunakan frasa paling sedikit atau paling banyak.
d. jumlah non-uang, gunakan frasa paling rendah dan paling tinggi (TP3 No
255).
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
24
Kedua, penggunaan kata kecuali. Untuk menyatakan makna tidak termasuk,
gunakan kata kecuali, dengan rincian:
a. Kata kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah
seluruh kalimat (TP3 No 257).
b. Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang
akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan (TP3 No 258). Contoh:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Pasal 1 .... 38. Penumpang adalah setiap orang yang berada di atas alat angkut,
kecuali awak alat angkut.
Ketiga, penggunaan kata selain. Untuk menyatakan makna termasuk,
gunakan kata selain (TP3 No 259). Contoh: Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas
Pasal 77 (1) Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
Keempat, penggunaan kata yang bermakna pengandaian atau kemungkinan,
dan suatu keadaan yang pasti akan terjadi di masa depan, dengan rincian:
a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola
karena-maka).
b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang
mengandung waktu.
c. Frasa dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan,
keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi
(pola kemungkinan-maka) (TP3 No 260).
d. Frasa pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti
akan terjadi di masa depan (TP3 No 261).
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
25
Kelima, penggunaan kata yang bermakna kumulatif dan alternatif, dengan
rincian:
a. Untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan kata dan (TP3 No 262).
b. Untuk menyatakan sifat alternatif, gunakan kata atau (TP3 No 263).
c. Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frasa
dan/atau (TP3 No 264).
Keenam, penggunaan kata sebagai penanda operator norma, dengan rincian
sebagai berikut:
a. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak (TP3 No 265).
b. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau
lembaga gunakan kata berwenang (TP3 No 266).
c. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang
diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat (TP3 No
267).
d. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan,
gunakan kata wajib (TP3 No 268).
e. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu,
gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang
bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat
seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut (TP3 No 269).
f. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang (TP3 No 270).
Metodelogi Perundang-undangan mengajarkan perihal langkah-langkah
sistematis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Terdapat
berbagai metodelogi perundang-undangan dalam Teori Legislasi. Tidak ada satu
pun metodelogi yang sempurna dan lengkap. Oleh karena itu perlu ada modifikasi
dan memadukan metodelogi perundang-undangan yang ada, dan menjadikan
rujukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
PENUTUP 7
METODOLOGI DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2016|
26
Perihal bahasa perundang-undangan, tercakup pula dalam metodelogi
perundang-undangan tersebut. Metode Pemecahan Masalah, merupakan salah
satu dari Metodelogi Perundang-undangan itu, mengajarkan tentang perlunya
memperhatikan faktor komunikasi. Faktor ini dapat dimaknai bukan saja
komunikasi dalam pengertian mengkomunikasikan peraturan perundang-
undangan yang telah dibentuk itu kepada kelompok masyarakat yang disasar dan
agen pelaksana, tapi juga bermakna perihal cara mengkomunikasikan gagasan
kebijakan ke dalam rumusan aturan hukum atau pasal dan ayat. Hal terakhir ini
memerlukan kemampuan menggnakan bahasa perundang-undangan.
Daftar Pustaka
Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyeskere, 2002, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis: Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang, Jakarta: Proyek ELIPS Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Emmy Suparmiatun, 2011, Kajian Ringkas Pengembangan Dan Implementasi Metode Regulatory Impact Analysis (RIA) Untuk Menilai Kebijakan (Peraturan dan Non Peraturan) Di Kementerian PPN/BAPPENAS, Jakarta: Biro Hukum Kementerian PPN/BAPPENAS.
Ida Nurseppy, Paryadi, dan David Ray, 2002, Pedoman Kaji Ulang Peraturan Indonesia, Balitbang Deperindag, Dinas Perindag Bali, PEG, USAID.
J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt, 2004, “Using legislative theory to improve law and development project”, Jurnal RegelMaat afl. 2004/4.
J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt, 2008, “Using legislative theory to improve law and development projects”, dalam J. Arnscheidt, B. Van Rooij, dan J. M. Otto, eds., Lawmaking for Development: Explorations into the Theory and Practice of International Legislative Projects, (Leiden: University Press).
KPPOD, 2013, Panduan Pembuatan Kebijakan (Perda Ramah Investasi), Jakarta: Ford Foundation dan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Steve Parker dan Usmanto Njo, 2009, Memajukan Reformasi Perundang-undangan Di Indonesia Peluang dan Tantangan, Program Peningkatan Daya Saing SENADA.