Makalah Kelompok Diversi
-
Upload
ririnnfitry -
Category
Documents
-
view
748 -
download
6
Transcript of Makalah Kelompok Diversi
Tugas Kelompok:
Konsep Diversi Dalam Prespektif Hukum Nasional,
Hukum Internasional dan Studi Komparasi
Dosen Pengampu:
Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum.
Oleh Kelompok 1:
Alith Prakarsa, SH / 11010111400001 Aris Hardinanto, SH / 11010111400002 Chairil Abdi Baso, SH / 11010111400004 Christian Adiputra, SH / 11010111400005 Endra Syaifuddin, SH / 11010111400006 Dwi Oktavia Ariyanti, SH / 11010111400007 Firman Arief Pribadi, SH / 11010111400008
SISTEM PERADILAN PIDANA MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG2012
Konsep Diversi Dalam Prespektif Hukum Nasional,
Hukum Internasional dan Studi Komparasi
A. Pendahuluan
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita
perjuangan bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan
nasional kedepan.1 Oleh karena itu diperlukan pembinaan secara terus menerus
demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan
sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang membahayakan atau
merusak masa depan anak.
Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat, apabila dicermati
perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas
maupun modus operandi yang dilakukan, kadang-kadang tindakan pelanggaran
yang dilakukan anak dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para
orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang dilakukan
anak seolah-olah tidak berbanding lurus dengan usia pelaku. Oleh karena itu,
berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak, perlu segera
dilakukan.2
Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak (politik
kriminal anak) saat ini melalui penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile
1 Ediwarman, 2006, Peradilan Anak di Persimpangan Jalan dalam Prespektif Victimology (belajar dari kasus Raju), Vol.18 No. 1, April 2006, Jurnal Mahkamah, Pekan baru, hlm.8.
2 Nandang Sambas, 2010, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu,Yogyakarta, hlm.103.
Justice). Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile Justice) tidak
semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak yang telah
melakukan tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa
penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan kesejahteraan
anak pelaku tindak pidana.
Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan
anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negative yang tidak
diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.3 Untuk itu, kegiatan
perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan
kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan
anak. Aspek kedua, menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan
tersebut.4
Secara internasional dikehendaki bahwa tujuan penyelenggaraan sistem
peradilan anak, mengutamakan pada tujuan untuk kesejahteraan anak. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam United
Nations Standard Minimum Rules For the Administration of Juvenile Justice (SMR-JJ)
atau The Beijing Rules, bahwa tujuan peradilan anak (Aims of Juvenile Justice),
sebagai berikut :
“The juvenile Justice System shall emphasize wel-being of the juvenile ang
shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion
3 Arief Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademi Pressindo, Jakarta, hlm. 222.4Zulmansyah Sekedang dan Arief Rahman, 2008, Selamatkan Anak-anak Riau, KPAID Riau, Pekanbaru, hlm. 121.
to the circumstances of both the offender and offence.”(Sistem Peradilan
pidana bagi anak / remaja akan mengutamakan kesejahteraan remaja dan
akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum
berusia remaja akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada
pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya).5
Dalam Standard Minimum Rules Juvenile Justice (SMR-JJ) atau The Beijing Rules,
juga ditegaskan beberapa prinsip sebagai pedoman dalam mengambil keputusan,
yakni dalam Rule 17.1, yang menyatakan bahwa dalam mengambil keputusan harus
berpedoman pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
a) Bentuk-bentuk reaksi/sanksi yang diambil selamanya harus diseimbangkan tidak
hanya pada keadaan-keadaan dan keseriusan/berat ringannya tindak pidana (the
circumstances and the gravity of the juvenile) tetapi juga pada keadaan-keadaan
dan kebutuhan-kebutuhan si anak (the circumstances and of the juvenile) serta
pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat (the needs of the society);
b) Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pribadi anak hanyamdikenakan
setelah pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin;
c) Perampasan kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali anak melakukan
tindakan kekerasan yang serius terhadap orang lain atau terus menerus
melakukan tindak pidana serius dan kecuali tidak ada bentuk sanksi lain yang
lebih tepat;
5 Abintoro Prakoso, 2010, Vage Normen Sebagai Sumber Hukum Diskresi yang Belum diterapkan oleh Polisi Penyidik Anak, Vol.17, No.2, April 2010, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Yogyakarta, hlm.251.
d) Kesejahteraan anak harus menjadi faktor pedoman dalam mempertimbangkan
kasus anak.6
Demikian pula secara khusus ketentuan yang mengatur sistm peradilan pidana
anak di Indonesia ditetapkan dalam Undang-undang No 3 Tahun 1997. Dibentuknya
Undang-undang tentang pengadilan anak, antara lain karena disadari bahwa walaupun
kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat,
namun hal tersebut diakui sebagai suatu gejala umum yang harus diterima sebagai
fakta sosial. Oleh karena itu, perlakuan terhadap anak nakal seyogianya berbeda
dengan perlakuan terhadap orang dewasa. Anak yang melakukan kenakalan
berdasarkan perkembangan fisik, mental maupun sosial mempunyai kedudukan yang
lemah dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga perlu ditangani secara khusus.7
Kritik-kritik terhadap penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak masih saja
terus mengalir, setelah kasus Mohammad Azwar alias Raju, anak berusia 8 tahun yang
menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Stabat Kab. Langkat
Sumatera Utara, karena berkelahi dengan seorang anak lain pada tahun 2006,
kemudian kasus persidangan anak kembali mendapat sorotan, Pengadilan Negeri
Tangerang, Banten menyidangkan 10 orang anak yang masih di bawah umur dengan
dugaan melakukan permainan koin dengan taruhan uang senilai Rp1000,00. Masalah
penanganan anak nakal dan anak yang bermasalah dengan hukum kembali mencuat
ketika Aal anak berusia 15 tahun yang divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Palu
atas dakwaan mencuri sandal milik seorang anggota Polri, kasus ini telah menimbulkan
berbagai tanggapan dari para pemerhati anak di negeri ini, bahkan Ketua Komnas
6 Nandang Sambas, op.cit. hlm. 26.7 Bambang Waluyo, 2008, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 29.
Perlindungan Anak dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta meminta kasus-
kasus ini dijadikan pintu masuk untuk mengamandemen Undang-undang Pengadilan
Anak.8 Banyak kalangan menyatakan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak
dalam implementasinya masih jauh keinginan untuk dapat mendukung mewujudkan
tujuan kesejahteraan anak dan kepentingan terbaik bagi anak.
Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas
kejahatan ringan, sperti pencurian Pada umumnya mereka tidak mendapatkan
dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan demikian, tidak
mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anaknnya dijebloskan ke penjara atau rumah
tahanan. Sebagai contoh sepanjang tahun 2000 tercatat dalam statistik criminal
kepolisian terdapat lebih dari 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana.
Pada bulan Januari hingga Mei 2002 ditemukan 4.325 tahanan anak di rumah tahanan
dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk
anak anak yang ditahan di kantor polisi (polsek, polres, polda, mabes). Kemudian pada
tahun yang sama tercatat 9.456 anak anak yang berstatus anak didik (anak sipil, anak
Negara, dan anak pidana) tersebar di seluruh Rutan dan LP untuk orang dewasa.
Kondisi ini sangat memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan dengan
sistem peradilan dan mereka ditempatkan di tempat penahanan dan pemenjaraan
bersama orang dewasa sehingga mereka rawan mengalami tindak kekerasan. Melihat
prinsip-prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan
terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme
pidana atau biasa disebut diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan
8 M.Musa,2007, Peradilan Restoratif suatu Pemikiran Alternatif System Peradilan Anak Indonesia, Jurnal Mahkamah, Vol.19 No.2, Oktober 2007, Pekan Baru, hlm 169.
untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam LP rawan terjadi
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Oleh karena itulah mengapa diversi
khususnya melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu pertimbangan yang
sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.9
Dari hasil pengamatan yang penulis lakukan terhadap pelaksanaan peradilan
pidana anak, terdapat fakta bahwa proses pengadilan pidana bagi anak, menimbulkan
dampak negatif pada anak. Untuk menghindari efek atau dampak negatif proses
peradilan pidana terhadap anak ini United Standar Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) telah memberikan pedoman
sebagai upaya menghindari efek negatif tersebut dengan memberikan kewenangan
kepada aparat penegak hukum mengambil tindakan-tindakan kebijakan dalam
menangani masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal, tindakan
ini disebut diversi (Diversion).
Konsep diversi ternyata telah dimunculkan dalam Rancangan Undang-undang
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) maupun dalam Rancangan
Undang-undang Pengadilan Anak. Di dalam RUU-KUHP terdapat ketentuan tentang
konsep diversi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 114 RUU-KUHP. Sedangkan
dalam Rancangan Undang-undang Pengadilan Anak, konsep diversi terdapat dalam
Pasal 1, Pasal 6-12, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 28, Pasal 38, dan Pasal 49.
B. Rumusan Permasalahan
9 http://anjarnawanyep.wordpress.com/konsep-diversi-dan-restorative-justice
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah dalam
makalah ini yaitu, bagaimanakah konsep diversi Konsep Diversi Dalam Prespektif
Hukum Nasional, Hukum Internasional dan Studi Komparasi?
BAB I
PEMBAHASAN
A. Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Anak
Diversi secara etimologis data dilihat dalam black’s law dictionary (1990),
khususnya yang menjelaskan divertion program, disposition of court directs crime
defendant either before or after adjudication of guilt in with of Sehubungan dengan hal
ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk : (i)
resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana; (ii) pemberantasan kejahatan; (iii)
dan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan
sistem peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama
(resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Namun upaya lain diluar
mekanisme pidana atau peradilan dapat dilakukan dengan beberapa metode
diantaranya metode Diversi dan Restorative Justice. Diversi adalah pengalihan
penanganan kasus kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses
formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan diversi dapat diterapkan bagi
penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Adapun yang menjadi
tujuan upaya diversi adalah10:
a) untuk menghindari anak dari penahanan;
b) untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat
c) untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
d) agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
e) untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa
harus melalui proses formal;
f) menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan
g) menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
10 ibid
Adapun ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia yang di dalamnya
merumuskan ketentuan penyelesaian kasus anak nakal/ anak yang bermasalah dengan
hukum, antara lain:
a) KUHP
Konsep diversi merupakan pemberian kewenangan bagi penegak hukum anak,
setelah dengan pertimbangan yang layak, maka penegak hukum akan mengambil
tindakan-tindakan kebijakan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar
anak dengan tidak mengambil jalan formal, antara lain menghentikan atau tidak
meneruskan/ melepaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan/
menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial
lainnya, seperti penyerahan kepada orang tua/wali, pembinaan sosial, pemberian
peringatan/nasihat/konseling, pengenaan denda ataupun memberi ganti rugi kepada
korban.
Menyimak hal-hal yang terdapat dalam diversi tersebut, jika suatu perkara anak
dikenakan diversi maka: a.tidak dilakukan penuntutan, sehingga penuntutan dihentikan;
b.pemeriksaan perkara di pengadilan dihentikan; c.anak tidak menjalani putusan
pidana. Dengan demikian, perlu ditelaah lebih lanjut di dalam KUHP tentang bagaimana
ketentuan tidak dilakukan penuntutan; bagaimana pemeriksaan perkaranya dihentikan;
bagaimana anak tidak menjalani putusan (pidana).
Substansi penghentian penuntutan dalam KUHP, sangat berbeda dengan
substansi penghentian penuntutan dalam konsep diversi, dengan dasar tujuan untuk
kepentingan menghindari efek negatif proses penuntutan terhadap anak. Konsep
diversi dalam penghentian penuntutan untuk melindungi pelaku, sedangkan
penghentian penuntutan dalam KUHP adalah pembayaran denda atas perbuatan yang
dilakukan oleh pelaku. KUHP tidak menentukan pemeriksaan perkara dapat dihentikan
dengan alasan demi kepentingan perlindungan anak. Konsep diversi dalam bentuk
penghentian pemeriksaan pengadilan tidak terdapat dalam KUHP. Di dalam KUHP
terdapat ketentuan tentang pidana bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 a
KUHP. Ketentuan Pasal 14 a KUHP ini walaupun sama-sama dalam bentuk tidak
menjalani pidana, tetapi sangat berbeda dengan konsep diversi. Putusan pidana
bersyarat merupakan hasil putusan akhir yang merupakan pertanggung jawaban pidana
dari pelaku tindak pidana, dan pelaku tidak menjalani pidana ini karena dengan adanya
putusan pidana bersyarat. Lain dengan tidak menjalani putusan di dalam diversi, yaitu
karena demi perlindungan anak dan kesejahteraan anak.
b) Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Sanksi hukum pidana yang dapat dijatuhkan pada anak diatur dalam Pasal 22
sampai dengan Pasal 32 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Bentuk-bentuk sanksi dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tersebut tampak sama
dengan bentuk-bentuk program diversi, seperti: pengawasan masyarakat (community
supervision); restitusi (restitution); kompensasi (conpensation); denda (fine); pemberian
nasihat (conseling); pelayanan klien khusus; kegiatan yang melibatkan pihak
keluarga (family Intervention).
Dengan mencermati bentuk-bentuk sanksi tindakan dalam Undang-undang No. 3
Tahun 1997 dengan bentuk-bentuk program diversi, tampak terdapat kesamaan antara
program diversi dengan salah satu bentuk sanksi tindakan dalam Undang-undang No.
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak. Namun demikian, bentuk-bentuk sanksi dalam
UU tersebut merupakan produk putusan hakim melalui proses pemeriksaan perkara
pidana secara formal. Sanksi-sanksi dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tersebut,
sudah dapat menimbulkan efek negatif proses pengadilan dan menimbulkan stigma
(cap jahat) terhadap anak. Dengan adanya putusan-putusan dalam Undang-undang
No. 3 Tahun 1997 telah menimbulkan cap secara yuridis bahwa anak tersebut sebagai
Anak Nakal, hal ini tentunya berbeda dengan tujuan yang dikehendaki oleh konsep
diversi.
Kebijakan formulasi dalam UU No. 3 Tahun 1997, tidak menentukan diversi
dalam bentuk penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan serta penghentian
pemeriksaan dalam rangka perlindungan anak (kecuali bagi pelaku anak yang berumur
kurang dari 8 tahun). Namun demikian dengan adanya jenis putusan hakim berupa:
denda; mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh; menyerahkan
kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau
menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Kemasyarakatan yang
bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, sama dengan bentuk-
bentuk program diversi. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan adanya indikasi dapat
diterimanya konsep diversi.
a. Penyidikan Anak
Mencermati ketentuan-ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) dan UU
Pengadilan Anak, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa kewenangan pihak
penyidik (kepolisian) dalam penanganan kasus anak nakal, sebagai berikut:
1. Terhadap anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana, maka penyidik harus menyerahkan anak terebut
kepada orang tua/walinya atau orang tua asuhnya, atau kepada Departemen
sosial (Pasal 5 UU No. 3 Tahun 1997);
2. Penyidik wajib meminta pertimbangan dan saran Bapas dan ahli lainnya seperti
ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama atau petugas kemasyarakatan
lainnya (Pasal 42 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997);
3. Kepolisian sebagai penyidik dapat menghentikan penyidikan (Pasal 7 UU No. 8
Tahun 1981);
4. Penyelidik dan penyidik Kepolisian dapat melakukan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggung jawab yang dilaksanakan jika memenuhi syarat-syarat, yaitu:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan;
c. Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. Menghormati Hak Asasi Manusia (Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1981).
Ketentuan-ketentuan tersebut menurut penulis, sebagi peluang bagi penyidik
untuk melakukan diversi terhadap kasus anak. Penyidik wajib meminta pertimbangan
dan saran Bapas dan ahli lainnya seperti ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli
agama atau petugas kemasyarakatan lainnya (Pasal 42 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997).
Norma ini dapat menggerakkan perintah, yaitu kewajiban untuk melakukan sesuatu,
sehingga penyidik wajib memperhatikan pertimbangan Bapas dan sekaligus
menerapkan saran Bapas, misalnya agar anak diasuh oleh orang tuanya atau saran
agar dilakukan perdamaian.
b. Penuntutan Terhadap Anak
Penuntutan terhadap anak dalam UU Pengadilan Anak dan UU Kejaksaan
Republik Indonesia, tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang kewenangan
kejaksaan untuk melakukan diversi dalam perkara Anak Nakal. Kejaksaan mempunyai
kewenangan pemghentian penuntutan, sebatas dengan alasan-alasan apabila tidak
cukup bukti-buktinya, peristiwanya bukan merupakan tindak pidana, dan perkara
dihentikan karena perkara tersebut ditutup demi hukum.
c. Pemeriksaan Pengadilan Anak
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang penjatuhan sanksi oleh hakim anak
dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997, tampak tidak ada peluang bagi hakim untuk
melakukan tindakan diversi terhadap Anak Nakal. Dilain pihak apabila melihat beberapa
ketentuan dalam Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
yang berkaitan dengan tugas-tugas hakim sebagai berikut:
1. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (1));
2. Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusan hakim
dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat (Pasal
5 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 5 ayat (1));
3. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan
pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa, sehingga putusan yang dijatuhkan
sesuai dan adil dengan kesalahan yang dilakukannya (Pasal 8 ayat (2) dan
Penjelasan Pasal 8 ayat (2)).
Dengan mencermati beberapa ketentuan dalam Undang-undang No.48 Tahun
2009, memang tidak ada ketentuan yang mengatur pemberian kewenangan hakim
untuk melakukan diversi dalam perkara anak. Namun demikian apabila melihat
ketentuan: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”, dan “Hakim dan
hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nili hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”, maka sebenarnya konsep diversi untuk
perlindungan anak tidak bertentangan dengan maksud penyelenggaraan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
d. Pelaksanaan Sanksi Hukum Pidana Anak
Kebijakan formulasi pelaksanaan putusan pengadilan anak dalam hubungannya
dengan konsep diversi, antara lain sebagai berikut:
1. Pelaksanaan pidana bersyarat sama dengan salah satu bentuk program diversi;
2. Pelaksanaan pidana denda, sama dengan pembayaran denda dalam konsep
diversi;
3. Pelaksanaan sanksi tindakan kepada anak nakal, sama dengan pelaksanaan
program diversi, karena sanksi tindakan tersebut berupa pembinaan oleh orang tua,
mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja ataupun diserahkan pada
Departemen Sosial/Organisasi Sosial Kemasyarakatan.
c) Konsep Diversi Dalam RUU Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Saat ini telah terdapat Rancangan Undang-undang Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, di dalamnya terdapat konsep diversi sebagai bahan pembaruan. Antara
lain dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 6-12, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 28, Pasal 38, dan
Pasal 49. Pada Pasal 1 angka 6 di jelaskan bahwa diversi adalah suatu pengalihan
penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan
pidana. Dalam Rancangan Undang-undang ini ditegaskan bahwa tujuan diversi adalah
untuk:
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. Menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak.
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan
orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
B. Konsep Diversi yang tersebar di beberapa peraturan Perundang-undangan
Konsep diversi dalam peraturan yang tidak langsung mengatur sistem peradilan
pidana anak seperti: Undang-undang Kesejahteraan Anak; Undang-undang HAM;
Undang-undang Perlindungan Anak. Ketentuan ini mengatur tentang hak-hak anak,
mengatur perlakuan terhadap anak, sehingga ketentuan-ketentuan ini berlaku pula bagi
anak yang melakukan tindak pidana. Oleh karena itu perundang-undangan tersebut
menjadi perhatian dan pedoman bagi penegak hukum anak.
a. Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Konsep diversi senada dengan kehendak UU Kesejahteraan anak, dengan
adanya ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan berdasarkan kasih
saying baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh
kembang dengan wajar;
2. Orang tua yang pertama-tama bertangggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan
anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial;
3. Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang
bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa
pertumbuhan dan perkembangannya. Pelayanan dan asuhan juga diberikan kepada
anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan
keputusan hakim;
4. Usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan,
pencegahan, dan rehabilitasi dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
b. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang Hak Asasi Manusia mengatur perlindungan anak dan hak anak-
anak diatur dalam Pasal 52 sampai dengan Pasal 66. Berdasarkan ketentuan dalam
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 ini tampak bahwa perlakuan terhadap anak yang
melakukan tindak pidana, ditentukan sebagai berikut.
a. Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya, kecuali jika ada
alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak;
b. Hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap
dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang.
c. Berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan penyiksaan, atau Penjatuhan
hukuman yang tidak manusiawi;
d. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku
tindak pidana yang masih anak;
e. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya
terakhir;
f. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara
manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai
dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi
kepentingannya.
Prinsip-prinsip tersebut tampak selaras dengan tujuan dan bentuk program
diversi, seperti: a.anak tidak dipisahkan dengan orang tua; b. penangkapan, penahanan
atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku
dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
c. Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Ketentuan Pasal 64 dalam UU No. 23 Tahun 2002 ini tampak sesuai dengan
tujuan konsep diversi, karena terdapat kesamaan tujuan diversi dan tujuan
perlindungan khusus yang diberikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum,
berupa: perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan harkat
anak; penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga;
dan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi.
C. Konsep Diversi Berdasarkan Hukum Internasional
Ketentuan-ketentuan dalam UU Peradilan Anak dijiwai semangat untuk
menjauhkan anak dari pengaruh buruk penjatuhan sanksi pidana. Namun Indonesia tak
lepas dari kecaman karena di negeri ini anak yang berhadapan dengan hukum,
terutama yang dibawa kesistem peradilan pidana masih saja dijatuhi pidana
perampasan kemerdekaan (punitive approach), sesuatu yang secara sosiologis dikenal
dengan nama penjara. Penelitian AusAID dan UNICEF menunjukkan bahwa 85 prosen
anak yang menjalani proses peradilan dipidana, kebanyakan karena melakukan
kejahatan ringan.
Persoalan besarnya adalah jika anak-anak berada dalam penjara, hak-hak
mereka yang dijamin oleh Undang-undang Perlindungan anak besar kemungkinan tak
akan dapat dipenuhi. Fakta menunjukkan bahwa di banyak penjara, anak-anak dan
orang muda seringkali diingkari haknya akan perawatan medis, pendidikan, dan
perkembangan individunya. Lebih jauh, proses peradilan pidana anak-anak
menimbulkan dampak negative berupa stigma (sebagai anak nakal) yang dapat
memperbesar tingkah laku menyimpang dan dapat membentuk karakter criminal
sehingga sulit bagi anak untuk kembali kedalam masyarakat.
Masyarakat akan terus tetap menganggap mereka sebagai anak nakal, bahkan
disekolahpun anak sulit diterima kembali. Apabila dikaitkan dengan salah satu tujuan
hukum pidana sebagai ultimum remidium, maka penjatuhan pidana ini kurang tepat,
oleh karenanya perlu untuk dilakukan upaya agar anak sebisa mungkin tidak masuk
penjara. Pada titik inilah diversi menemukan relevansinya sebagai upaya penyelesaian
konflik dalam hal terjadinya perbuatan pidana oleh anak.
Membicarakan diversi, maka instrumen hukum yang paling banyak dirujuk
adalah Convention on the Rights of The Child (CRC). Dinyatakan dalam Article 37
perjanjian internasional ini bahwa “No child shall be deprived of her or his liberty
unlawfully or arbitrarily. The arrest, detention, or imprisonment of a child shall be in
conformity with the law and shall be used only as a measure of last resort and for the
shortest appropriate period of time ”. Diratifikasi Indonesia melalui Keppres No. 36
Tahun 1990, article 40.1 CRC pada intinya menyatakan agar anak yang bermasalah
dengan hukum dihormati hak dan martabatnya dan agar perlakuan terhadap anak
dilakukan dengan mengingat usia anak serta reintegrasi sosial anak.Sesuai dengan
article 40.3 CRC, Indonesia harus melakukan upaya untuk mengintroduksi diversi
terhadap juvenile offenders dan memastikan bahwa upaya itu berkesesuaian dengan
berbagai standar minimum yang ada.
Salah satu standar dalam diversi adalah United Nations Standard Minimum
Rules for the Administration of Juvenile Justice (dikenal sebagai Beijing Rules). Article 5
Beijing Rules menyatakan “ the juvenile justice system shall emphasize the well-being
of the juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in
proportion to the circumstances of both the offenders and the offence”. Beijing Rules
sendiri memberikan definisi diversi sebagai remaja/anak yakni anak atau orang muda
yang menurut system hukum masing-masing, dapat diperlakukan atas suatu
pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda dari perlakuan terhadap orang dewasa
( Peraturan 2.2 huruf c ). Pada intinya Beijing Rules memberikan kewenangan kepada
aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan pengalihan pemeriksaan formal,
yang disebut diversi.
Selain Beijing Rules, berbagai standar yang lain adalah UN Standard Minimum
Rules for Non-Custodial Measures 1990 (Tokyo Rules), UN Guidelines for the
Prevention of Juvenile Delinquency (Riyadh Guidelines), dan UN Rules for the
Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty (1990). Di luar instrumen hukum
sebagaimana disebut di atas kita masih bisa menyebutkan UU No. 5 Tahun 1998
tentang ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya
memuat klausul perlindungan hak anak.
Dengan diversi, maka tidak setiap perkara pidana yang pelakunya anak
langsung masuk dalam sistem peradilan pidana. Alih-alih demikian, diupayakan suatu
penyelesaian konflik melalui forum yang disebut sebagai mediasi penal. Mediasi penal
sendiri merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar
pengadilan (biasa dikenal dengan istilah ADR atau Alternative Dispute Resolution ).
Pasal 25 ayat (2) Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia
Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua
anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus
mendapat perlindungan sosial yang sama.
D. Konsep Diversi Berdasarkan Kajian Komparasi
Negara-negara lain yang telah mengimplementasikan konsep diversi dalam
peradilan anak antara lain, seperti Selandia Baru, Philippina, Australia, Jepang,
Amerika Serikat, China, Israel, Belanda. Berikut dibawah ini akan penulis uraikan
secara ringkas bagaimana konsep diversi di negara-negara tersebut.
1. Selandia Baru
Polisi yang menangani perkara pidana di negeri ini memiliki 4 (empat) tahapan
penanganan yang dapat diterapkan pada tersangka/terdakwa anak, yaitu:
a. Mereka dapat menggunakan peringatan secara informal;
b. Peringatan tertulis;
c. Merancang sebuah program dalam kerangka program diversi;dan
d. Merancang sebuah family group conferences (meskipun belum ada proses
pembuktian dalam sidang pengadilan anak).11
2. Philippina
Di Philippina pendekatan keadilan restoratif (termasuk di dalamnya dengan
konsep barangay) utamanya dipakai untuk penanganan perkara pidana oleh anak.
Dalam hal ini, penanganan tersangka anak terkait dengan program pengentasan
kemiskinan dan perlindungan hak-hak anak.
3. Australia
11 Eva Achjani Zulfa, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agubg, Bandung, hlm. 161.
Di Australia terdapat Undang-undang Tindak Pidana Anak (The Young Offenders
Act, 1997), dimana dalam Undang-undang tersebut memberikan kewenangan kepada
penegak hukum (polisi) untuk melakukan diversi terhadap pelaku anak.
4. Jepang
Sistem peradilan pidana anak di Jepang menganut asas Prioritas Perlindungan
(Hogo Yuusen Shugi), Asas Penyerahan Semua Perkara (zenkensoochi-shugi) dan
Asas Diversi.
5. Amerika Serikat
Hukum acara pengadilan anak di Amerika Serikat (AS) menunjukkan
keanekaragaman dari satu yuridiksi ke yuridiksi lain di negara-negara bagian AS.
Perkara anak yang masuk ke pengadilan anak didasarkan atas berita acara dari polisi,
penuntut umum dan diperiksa oleh hakim baik secara formal maupun informal. Kasus-
kasus “status offence” kebanyakan diproses secara informal, sedangkan kasus yang
ditangani lewat prosedur formal kebanyakan kejahatan berat atau pelaku berusia lebih
tua atau jika telah terekam dalam “juvenile crime record”.
6. China
Di China polisi memiliki kewenangan untuk memberikan peringatan atau untuk
menjatuhkan sejumlah denda yang nominal maksimalnya adalah dua ratus yuan bagi
para pelaku kejahatan ataupun pelanggaran ringan. Hal ini dimaksudkan sebagai
bentuk pengendalian keamanan dan ketertiban dalam upaya menegakkan hukum.
7. Israel
Program-program dan praktik-praktik diversi di Israel, sebagai berikut:
a. The “No File” procedure, and The”No File” procedure in case of drug abuse
(penghapusan perkara dan penghapusan perkara dalam kasus kekerasan akibat
minuman keras);
b. Closing a criminal file (penutupan perkara);
c. Restitution (restitusi);
d. Mediation (mediasi);
e. Group treatment for sex offenders (tindakan bagi pelaku kejahatan seksual);
f. Community service (kerja sosial);
g. Dealing with offenders in civil care proceedings (menyelesaikan secara prosedur
perdata);
h. Other institution and program with deal delinquent juveniles (perlakuan-perlakuan
dan program-progran lainnya dalam penanganan kenakalan remaja).
8. Belanda
Dalam sistem peradilan pidana anak di Belanda terdapat ketentuan yang
berkaitan dengan diskresi dan diversi ini dalam bentuk:
a. Transaksi polisi;
b. Penyampingan perkara oleh polisi;
c. Transaksi oleh penuntut umum;
d. Sanksi alternatif.
Konsep diversi sesuai dengan paradigma keadilan restoratif, dapat diketahui
berdasarkan kesamaan program-program diversi dengan bentuk-bentuk sanksi dalam
peradilan dengan paradigma keadilan restoratif. Bentuk-bentuk sanksi dalam hal ini,
yaitu: restitusi; mediasi pelaku dan korban; pelayanan korban; restorasi masyarakat;
pelayanan langsung pada korban; denda restoratif.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas, kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan
terhadap dua pokok permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Konsep diversi yang terdapat dalam system peradilan pidana anak di Indonesia,
walaupun hukum pidana formal anak tidak ada ketentuan yang secara tegas
mengatur tentang diversi, namun terdapat beberapa ketentuan yang bisa dijadikan
peluang bagi penyidik, penuntut umum dan hakim anak, untuk dapat melakukan
diversi terhadap kasus anak. pelaksanaan putusan pengadilan anak terdapat
beberapa kesamaan dengan program diversi antara lain: pelaksanaan pidana
bersyarat; pelaksanaan pidana denda; dan pelaksanaan sanksi tindakan kepada
anak nakal.Ada beberapa peraturan yang dapat menjadi dasar untuk
mengimplementasikan konsep diversi dalam sistem peradilan pidana anak, antara
lain: UU Kesejahteraan Anak; UU Hak Asasi Manusia; UU Perlindungan Anak.
2. Konsep diversi relevan untuk diimplementasikan dalam pembaruan sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia, karena terdapat relevansi secara filosofis,
yuridis, sosiologis, teoritis dan sesuai secara komparatif.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Gosita, Arief, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademik Pressindo, Jakarta.
Sambas, Nandang, 2010, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha
Ilmu, Yogyakarta.
Sekedang, Zulmansyah dan Arief Rahman, 2008,Selamatkan Anak-anak Riau, KPAID
Riau, Pekanbaru.
Waluyo, Bambang, 2008, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta.
Zulfa, Eva Achjani, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agubg, Bandung.
Jurnal
Musa, Muhammad, 2002, Peradilan Restoratif sebagai Suatu Pemikiran Alternatif
system Peradilan Anak Indonesia. Dalam Jurnal Makalah, Volume 19 No 2,
Oktober 2002, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru.
Prakoso, Abintoro, 2010, Vage Normen sebagai Sumber Hukum Diskresi yang
belum Diterapkan oleh Polisi Penyidik Anak, dalam Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, Volume 17 No. 2, April 2010, Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta.
Warman, Edi, 2006, Peradilan Anak di Persimpangan jalan dalam Perspektif
Victimology, dalam Jurnal Makalah, Volume 18 Nomor 1, April 2006,
Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Lain-lain
http://anjarnawanyep.wordpress.com/konsep-diversi-dan-restorative-justice