makalah kelompok 3
-
Upload
sisilia-rindi-kurniasari -
Category
Documents
-
view
157 -
download
0
Transcript of makalah kelompok 3
DIARE
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dasar Pemberantasan Penyakit
(DPP) Semester IV
Oleh :
Kelompok 3
1. Ratih Ristyanti (25010111130154)
2. Kirana Tri Cahyani (25010111130170)
3. Sisilia Rindi K. (25010111130189)
4. Annisa Zara Nuradinda (25010111130209)
5. Riska Wulandari (25010111130222)
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2013
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, tauhid serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah dengan tema penyakit diare ini
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah dasar
pemberantasan penyakit semester IV.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih banyak
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini
yaitu :
1. Ibu Lintang Dian,SKM, Mkes selaku dosen mata kuliah dasar
pemberantasan penyakit
2. Orangtua yang sangat membantu dalam pemberian motivasi serta
nasehat yang bermanfaat dalam proses penyelesaian penulisan
laporan
3. Teman-teman yang telah memberi motivasi bagi penyusunan laporan
praktikum ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini memerlukan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk penyempurnaanya. Akhir kata, berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca.
Semarang, Mei 2013
penulis
2
DAFTAR ISI
Cover.........................................................................................................i
Kata pengantar...........................................................................................ii
Daftar isi....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah.......................................................................1
B. Rumusan masalah................................................................................2
C. Tujuan..................................................................................................2
BAB II ISI
A. Etiologi ...............................................................................................4
B. Masa inkubasi dan penularan penyakit................................................10
C. Gejala dan tanda penyakit serta cara diagnosisnya.............................20
D. Transmisi penyakit .............................................................................21
E. Riwayat alamiah penyakit ..................................................................24
F. Pengobatan .........................................................................................27
G. Perkembangan penyakit di Indonesia.................................................31
H. Faktor apa yang berhubungan ............................................................33
I. Pencegahan ........................................................................................36
J. Gambaran epidemiologi umum...........................................................38
K. Gambaran epidemiologi di Indonesia..................................................39
L. Tujuan P3M ........................................................................................41
M. Strategi P3M diare...............................................................................41
N. Ukuran epidemiologi yang dapat dipakai ...........................................46
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................52
B. Saran ...................................................................................................54
DAFTAR PUSTAKA................................................................................55
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sampai saat ini penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan
dunia terutama di negara berkembang. Besarnya masalah tersebut terlihat
dari tingginya angka kesakitan dan kematian akibat diare (Salwan, 2008).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2008, 15% dari
kematian anak dibawah 5 tahun disebabkan oleh penyakit diare (WHO,
2008).Di Indonesia, diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat utama.
Menurut WHO (1980), diare adalah buang air besar encer atau cair
lebih dari tiga kali sehari. Dimana pada dunia ke-3, diare adalah penyebab
kematian paling umum kematian balita, membunuh lebih dari 1,5 Juta
orang pertahun. Diare kondisinya dapat merupakan gejala dari luka,
penyakit, alergi (Fructose, Lactose), penyakit dan makana atau kelebihan
Vitamin C dan biasanya disertai sakit perut dan seringkali enek dan
muntah. Dimana menurut WHO (1980) diare terbagi dua berdasarkan
mula dan lamanya, yaitu diare akut dan diare kronik.
Diare merupakan penyakit berbahaya karena dapat mengakibatkan
kematian dan dapat menimbulkan letusan kejadian luar biasa (KLB).
Penyebab utama kematian pada diare adalah dehidrasi yaitu sebagai akibat
hilangnya cairan dan garam elektrolit pada tinja diare (Depkes RI,
1998). Keadaan dehidrasi kalau tidak segera ditolong 50-60% diantaranya
dapat meninggal.
Di Indonesia angka kesakitan diare pada tahun 2002 sebesar 6,7
perV1.000 penduduk,sedangkan tahun 2003 meningkat menjadi 10,6 per
1.000 penduduk. Tingkat kematian akibat diare masih cukup tinggi.
Survey Kesehatan Nasional menunjukkan bahwa diare merupakan
1
penyebab kematian nomor dua yaitu sebesar 23,0% pada balita dan nomor
tiga yaitu sebesar 11,4% pada bayi (Zubir et al, 2006).
Penyakit diare merupakan penyakit yang berbasis lingkungan.
Beberapa faktor yang berkaitan dengan kejadian diare yaitu tidak
memadainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja, kekurangan
sarana kebersihan (pembuangan tinja yang tidak higienis), kebersihan
perorangan dan lingkungan yang jelek, penyiapan makanan kurang matang
dan penyimpanan makanan masak pada suhu kamar yang tidak semestinya
(Sander, 2005). Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak
langsung menjadi pendorong terjadinya diare yaitu faktor agent, penjamu,
lingkungan dan perilaku. Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling
dominan yaitu sarana penyediaan air bersih dan pembuangan tinja, kedua
faktor berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor
lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta terakumulasi
dengan perilaku manusia yang tidak sehat, maka penularan diare dengan
mudah dapat terjadi (Zubir et al, 2006).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana etiologi penyakit diare ?
2. Bagaimana masa inkubasi dan penularan penyakit diare?
3. Bagaimana gejala dan tanda penyakit diare serta cara diagnosisnya?
4. Bagaimana transmisi penyakit diare?
5. Bagaimana riwayat alamiah penyakit diare?
6. Bagaimana cara pengobatan diare ?
7. Bagaimana perkembangan penyakit diare di Indonesia?
8. Faktor apa sajakah yang berhubungan dengan penyakit diare ?
9. Bagaimana cara pencegahan penyakit diare?
10. Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit diare secara umum?
11. Bagaimana gambaran epidemiologi diare di Indonesia?
12. Apa tujuan P3M diare?
13. Bagaimana strategi P3M diare?
14. Ukuran epidemiologi apa saja yang dapat di pakai?
2
C. TUJUAN
1. Mengetahui etiologi penyakit diare
2. Mengetahui masa inkubasi dan penularan penyakit diare
3. Mengetahui gejala dan tanda penyakit diare serta cara diagnosisnya
4. Mengetahui transmisi penyakit diare
5. Mengetahui riwayat alamiah penyakit diare
6. Mengetahui cara pengobatan diare
7. Mengetahui perkembangan penyakit diare di Indonesia
8. Mengetahui faktor apa yang berhubungan dengan penyakit diare
9. Mengetahui cara pencegahan penyakit diare
10. Mengetahui gambaran epidemiologi penyakit diare secara umum
11. Mengetahui gambaran epidemiologi diare di Indonesia
12. Mengetahui tujuan P3M diare
13. Mengetahui strategi P3M diare
14. Mengetahui ukuran epidemiologi yang dapat dipakai
3
BAB II
ISI
A. ETIOLOGI
Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan
6 besar, tetapi yang sering ditemukan di lapangam ataupun klinis adalah
diare yang disebabkan infeksi dan keracunan. Untuk mengenal penyebab
diare yang digambarkan dalam bagan berikut :
Diare akut karena infeksi disebabkan oleh masuknya
mikroorganisme atau toksin melalui mulut. Kuman tersebut dapat melalui
4
air, makanan atau minuman yang terkontaminasi kotoran manusia atau
hewan, kontaminasi tersebut dapat melalui jari/tangan penderita yang telah
terkontaminasi (Suzanna, 1993). Berikut macam-macam mikroorganisme
penyebab infeksi :
a. Virus
Diare karena virus ini biasanya tak berlangsung lama, hanya
beberapa hari (3- 4 hari) dapat sembuh tanpa pengobatan (selft
limiting disease). Penderita akan sembuh kembali setelah enterosit
usus yang rusak diganti oleh enterosit yang baru dan normal serta
sudah matang, sehingga dapat menyerap dan mencerna cairan serta
makanan dengan baik (Manson’s, 1996).
Virus merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak
(70 – 80%). Beberapa jenis virus penyebab diare akut :
1) Rotavirus serotype 1,2,8,dan 9 : pada manusia. Serotype 3
dan 4 didapati pada hewan dan manusia. Dan serotype 5,6,
dan 7 didapati hanya pada hewan.
2) Norwalk virus : terdapat pada semua usia, umumnya akibat
food borne atau water borne transmisi, dan dapat juga
terjadi penularan person to person.
3) Astrovirus, didapati pada anak dan dewasa
4) Adenovirus (type 40, 41)
5) Small bowel structured virus
6) Cytomegalovirus
b. Bakteri
Bakteri penyebab diare dapat dibagi dalam dua golongan
besar, ialah bakteri non invasif dan bakteri invasif. Termasuk
dalam golongan bakteri noninfasif adalah: Vibrio cholerae, E.colli
patogen (EPEC, ETEC, EIEC), sedangkan golongan bakteri invasif
adalah Salmonella sp (Vila J et al., 2000).
Diare karena bakteri invasif dan noninvasif terjadi melalui
salah satu mekanisme yang berhubungan dengan pengaturan
transport ion dalam sel-sel usus berikut ini: cAMP (cyclic
5
Adenosin Monophosphate), cGMP (cyclic Guanosin
Monophosphate), Ca-dependet dan pengaturan ulang sitoskeleton
(Mandal et al,., 2004).
Berikut uraian macam-macam bakteri penyebab diare :
1) Enterotoxigenic E.coli (ETEC). Mempunyai 2 faktor
virulensi yang penting yaitu faktor kolonisasi yang
menyebabkan bakteri ini melekat pada enterosit pada usus
halus dan enterotoksin (heat labile (HL) dan heat stabile (ST)
yang menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit yang
menghasilkan watery diarrhea. ETEC tidak menyebabkan
kerusakan brush border atau menginvasi mukosa.
2) Enterophatogenic E.coli (EPEC). Mekanisme terjadinya diare
belum jelas. Didapatinya proses perlekatan EPEC ke epitel
usus menyebabkan kerusakan dari membrane mikro vili yang
akan mengganggu permukaan absorbsi dan aktifitas
disakaridase.
3) Enteroaggregative E.coli (EAggEC). Bakteri ini melekat kuat
pada mukosa usus halus dan menyebabkan perubahan
morfologi yang khas. Bagaimana mekanisme timbulnya diare
masih belum jelas, tetapi sitotoksin mungkin memegang
peranan.
4) Enteroinvasive E.coli (EIEC). Secara serologi dan biokimia
mirip dengan Shigella. Seperti Shigella, EIEC melakukan
penetrasi dan multiplikasi didalam sel epitel kolon.
5) Enterohemorrhagic E.coli (EHEC). EHEC memproduksi
verocytotoxin (VT) 1 dan 2 yang disebut juga Shiga-like toxin
yang menimbulkan edema dan perdarahan diffuse di kolon.
Pada anak sering berlanjut menjadi hemolytic-uremic
syndrome.
6) Shigella spp. Shigella menginvasi dan multiplikasi didalam
sel epitel kolon, menyebabkan kematian sel mukosa dan
timbulnya ulkus. Shigella jarang masuk kedalam alian darah.
6
Faktor virulensi termasuk : smooth lipopolysaccharide cell-
wall antigen yang mempunyai aktifitas endotoksin serta
membantu proses invasi dan toksin (Shiga toxin dan Shiga-
like toxin) yang bersifat sitotoksik dan neurotoksik dan
mungkin menimbulkan watery diarrhea
7) Campylobacter jejuni (helicobacter jejuni). Manusia
terinfeksi melalui kontak langsung dengan hewan (unggas,
anjing, kucing, domba dan babi) atau dengan feses hewan
melalui makanan yang terkontaminasi seperti daging ayam
dan air. Kadang-kadang infeksi dapat menyebar melalui
kontak langsung person to person. C.jejuni mungkin
menyebabkan diare melalui invasi kedalam usus halus dan
usus besar.Ada 2 tipe toksin yang dihasilkan, yaitu cytotoxin
dan heat-labile enterotoxin. Perubahan histopatologi yang
terjadi mirip dengan proses ulcerative colitis.
8) Vibrio cholerae 01 dan V.choleare 0139. Air atau makanan
yang terkontaminasi oleh bakteri ini akan menularkan kolera.
Penularan melalui person to person jarang terjadi. V.cholerae
melekat dan berkembang biak pada mukosa usus halus dan
menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan diare. Toksin
kolera ini sangat mirip dengan heat-labile toxin (LT) dari
ETEC. Penemuan terakhir adanya enterotoksin yang lain
yang mempunyai karakteristik tersendiri, seperti accessory
cholera enterotoxin (ACE) dan zonular occludens toxin
(ZOT). Kedua toksin ini menyebabkan sekresi cairan
kedalam lumen usus.
9) Salmonella (non thypoid). Salmonella dapat menginvasi sel
epitel usus. Enterotoksin yang dihasilkan menyebabkan diare.
Bila terjadi kerusakan mukosa yang menimbulkan ulkus,
akan terjadi bloody diarrhea
c. Protozoa
7
1) Giardia lamblia. Parasit ini menginfeksi usus halus.
Mekanisme patogensis masih belum jelas, tapi dipercayai
mempengaruhi absorbsi dan metabolisme asam empedu.
Transmisi melalui fecal-oral route. Interaksi host-parasite
dipengaruhi oleh umur, status nutrisi,endemisitas, dan status
imun. Didaerah dengan endemisitas yang tinggi, giardiasis
dapat berupa asimtomatis, kronik, diare persisten dengan atau
tanpa malabsorbsi. Di daerah dengan endemisitas rendah,
dapat terjadi wabah dalam 5 – 8 hari setelah terpapar dengan
manifestasi diare akut yang disertai mual, nyeri epigastrik
dan anoreksia. Kadang-kadang dijumpai malabsorbsi dengan
faty stools,nyeri perut dan gembung.
2) Entamoeba histolytica. Prevalensi Disentri amoeba ini
bervariasi,namun penyebarannya di seluruh dunia. Insiden
nya mningkat dengan bertambahnya umur,dan teranak pada
laki-laki dewasa. Kira-kira 90% infksi asimtomatik yang
disebabkan oleh E.histolytica non patogenik (E.dispar).
Amebiasis yang simtomatik dapat berupa diare yang ringan
dan persisten sampai disentri yang fulminant.
3) Cryptosporidium. Dinegara yang berkembang,
cryptosporidiosis 5 – 15% dari kasus diare pada anak. Infeksi
biasanya siomtomatik pada bayi dan asimtomatik pada anak
yang lebih besar dan dewasa. Gejala klinis berupa diare akut
dengan tipe watery diarrhea, ringan dan biasanya self-
limited. Pada penderita dengan gangguan sistim kekebalan
tubuh seperti pada penderita AIDS, cryptosporidiosis
merupakan reemerging disease dengan diare yang lebih berat
dan resisten terhadap beberapa jenis antibiotik.
4) Microsporidium spp
5) Isospora belli
6) Cyclospora cayatanensis
d. Helminths
8
1) Strongyloides stercoralis. Kelainan pada mucosa usus akibat
cacing dewasa dan larva, menimbulkan diare.
2) Schistosoma spp. Cacing darah ini menimbulkan kelainan
pada berbagai organ termasuk intestinal dengan berbagai
manifestasi, termasuk diare dan perdarahan usus..
3) Capilaria philippinensis. Cacing ini ditemukan di usus halus,
terutama jejunu, menyebabkan inflamasi dan atrofi vili
dengan gejala klinis watery diarrhea dan nyeri abdomen.
4) Trichuris trichuria. Cacing dewasa hidup di kolon, caecum,
dan appendix. Infeksi berat dapat menimbulkan bloody
diarrhea dan nyeri abdomen.
Tabel di bawah menunjukkan tipe diare yang ditimbulkan oleh
berbagai mikroorganisme penyebab infeksi :
Penyebab diare juga dapat bermacam macam tidak selalu karena
infeksi dapat dikarenakan faktor malabsorbsi seperti malabsorbsi
9
karbohidrat, disakarida (intoleransi laktosa, maltosa, dan sukrosa)
monosakarida (inteloransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa), Karena faktor
makanan basi, beracun, alergi karena makanan, dan diare karena faktor
psikologis, rasa takut dan cemas (Vila J et al., 2000).
B. MASA INKUBASI DAN PENULARAN
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan
berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang
berlangsung lebih dari 14 hari. Masa inkubasi penyakit diare bermacam-
macam tergantung dari jenis mikroorganismenya.
a. Infeksi non-invasif.
1) Stafilococcus aureus
Keracunan makanan karena stafilokokkus disebabkan
asupan makanan yang mengandung toksin stafilokokkus,
yang terdapat pada makanan yang tidak tepat cara
pengawetannya. Enterotoksin stafilokokus stabil terhadap
panas.
Gejala terjadi dalam waktu 1 – 6 jam setelah asupan
makanan terkontaminasi. Sekitar 75 % pasien mengalami
mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang kemudian diikuti
diare sebanyak 68 %. Demam sangat jarang terjadi.
Lekositosis perifer jarang terjadi, dan sel darah putih tidak
terdapat pada pulasan feses. Masa berlangsungnya penyakit
kurang dari 24 jam.
Diagnosis ditegakkan dengan biakan S. aureus dari
makanan yang terkontaminasi, atau dari kotoran dan
muntahan pasien.
Terapi dengan hidrasi oral dan antiemetik. Tidak ada
peranan antibiotik dalam mengeradikasi stafilokokus dari
makanan yang ditelan.
2) Bacillus cereus
10
B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik,
membentuk spora. Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan
gejala muntah dan diare, dengan gejala muntah lebih
dominan.
Gejala dapat ditemukan pada 1 – 6 jam setelah asupan
makanan terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit
kurang dari 24 jam. Gejala akut mual, muntah, dan nyeri
abdomen, yang seringkali berakhir setelah 10 jam. Gejala
diare terjadi pada 8 – 16 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi dengan gejala diare cair dan kejang abdomen.
Mual dan muntah jarang terjadi. Terapi dengan rehidrasi oral
dan antiemetik.
3) Clostridium perfringens
C perfringens adalah bakteri batang gram positip,
anaerob, membentuk spora. Bakteri ini sering menyebabkan
keracunan makanan akibat dari enterotoksin dan biasanya
sembuh sendiri . Gejala berlangsung setelah 8 – 24 jam
setelah asupan produk-produk daging yang terkontaminasi,
diare cair dan nyeri epigastrium, kemudian diikuti dengan
mual, dan muntah. Demam jarang terjadi. Gejala ini akan
berakhir dalam waktu 24 jam.
Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan
isolasi lebih dari 105 organisma per gram makanan,
menegakkan diagnosa keracunan makanan C perfringens .
Pulasan cairan fekal menunjukkan tidak adanya sel
polimorfonuklear, pemeriksaan laboratorium lainnya tidak
diperlukan.
Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.
4) Vibrio cholerae
V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif,
berbentuk koma dan menyebabkan diare yang menimbulkan
dehidrasi berat, kematian dapat terjadi setelah 3 – 4 jam pada
11
pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera dapat
mempengaruhi transport cairan pada usus halus dengan
meningkatkan cAMP, sekresi, dan menghambat absorpsi
cairan. Penyebaran kolera dari makanan dan air yang
terkontaminasi.
Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah,
yang secara cepat menjadi diare berat, diare seperti air cucian
beras. Pasien kekurangan elektrolit dan volume darah.
Demam ringan dapat terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan
dan harus segera digantikan yang sesuai. Kalium dan
bikarbonat hilang dalam jumlah yang signifikan, dan
penggantian yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses
dapat ditemukan V.cholerae.
Target utama terapi adalah penggantian cairan dan
elektrolit yang agresif. Kebanyakan kasus dapat diterapi
dengan cairan oral. Kasus yang parah memerlukan cairan
intravena. Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa
berlangsungnya diare. Tetrasiklin 500 mg tiga kali sehari
selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg sebagai dosis tunggal,
merupakan pilihan pengobatan. Perbaikan yang agresif pada
kehilangan cairan menurunkan angka kematian ( biasanya < 1
%). Vaksin kolera oral memberikan efikasi lebih tinggi
dibandingkan dengan vaksin parenteral.
5) Escherichia coli patogen
E. coli patogen adalah penyebab utama diare pada
pelancong. Mekanisme patogen yang melalui enterotoksin
dan invasi mukosa. Ada beberapa agen penting, yaitu :
i. Enterotoxigenic E. coli (ETEC).
ii. Enterophatogenic E. coli (EPEC).
iii. Enteroadherent E. coli (EAEC).
iv. Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
12
v. Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau
EAEC mengalami gejala ringan yang terdiri dari diare cair,
mual, dan kejang abdomen. Diare berat jarang terjadi,
dimana pasien melakukan BAB lima kali atau kurang
dalam waktu 24 jam. Lamanya penyakit ini rata-rata 5 hari.
Demam timbul pada kurang dari 1/3 pasien. Feses berlendir
tetapi sangat jarang terdapat sel darah merah atau sel darah
putih. Lekositosis sangat jarang terjadi. ETEC, EAEC, dan
EPEC merupakan penyakit self limited, dengan tidak ada
gejala sisa.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik
untuk E coli, lekosit feses jarang ditemui, kultur feses
negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan EHEC dapat
diisolasi dari kultur, dan pemeriksaan aglutinasi latex
khusus untuk EHEC tipe O157.
Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat.
Antidiare dihindari pada penyakit yang parah. ETEC
berespon baik terhadap trimetoprim-sulfametoksazole atau
kuinolon yang diberikan selama 3 hari. Pemberian
antimikroba belum diketahui akan mempersingkat penyakit
pada diare EPEC dan diare EAEC. Antibiotik harus
dihindari pada diare yang berhubungan dengan EHEC.
b. Infeksi Invasif
1) Shigella
Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui
makanan atau air. Organisme Shigella menyebabkan disentri
basiler dan menghasilkan respons inflamasi pada kolon
melalui enterotoksin dan invasi bakteri.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala
adanya nyeri abdomen, demam, BAB berdarah, dan feses
13
berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri abdomen,
dan diare cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3
– 5 hari kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang
dewasa adalah 7 hari, pada kasus yang lebih parah menetap
selama 3 – 4 minggu. Shigellosis kronis dapat menyerupai
kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi,
termasuk gejala pernapasan, gejala neurologis seperti
meningismus, dan Hemolytic Uremic Syndrome. Artritis
oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak
terjadinya disentri.
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear
dan sel darah merah. Kultur feses dapat digunakan untuk
isolasi dan identifikasi dan sensitivitas antibiotik.
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau
intravena, tergantung dari keparahan penyakit. Derivat opiat
harus dihindari. Terapi antimikroba diberikan untuk
mempersingkat berlangsungnya penyakit dan penyebaran
bakteri. Trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolon
dua kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotik yang
dianjurkan.
2) Salmonella nontyphoid
Salmonella nontipoid adalah penyebab utama
keracunan makanan di Amerika Serikat. Salmonella
enteriditis dan Salmonella typhimurium merupakan
penyebab. Awal penyakit dengan gejala demam, menggigil,
dan diare, diikuti dengan mual, muntah, dan kejang abdomen.
Occult blood jarang terjadi. Lamanya berlangsung biasanya
kurang dari 7 hari.
Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan
sel darah putih se. Kultur darah positip pada 5 – 10 % pasien
kasus dan sering ditemukan pada pasien terinfeksi HIV.
14
Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi
dengan hidrasi adekuat. Penggunaan antibiotik rutin tidak
disarankan, karena dapat meningkatan resistensi bakteri.
Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi salmonellosis,
usia ekstrem ( bayi dan berusia > 50 tahun),
immunodefisiensi, tanda atau gejala sepsis, atau infeksi fokal
(osteomilitis, abses). Pilihan antibiotik adalah trimetoprim-
sulfametoksazole atau fluoroquinolone seperti ciprofloxacin
atau norfloxacin oral 2 kali sehari selama 5 – 7 hari atau
Sephalosporin generasi ketiga secara intravena pada pasien
yang tidak dapat diberi oral.
3) Salmonella typhi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah
penyebab demam tiphoid. Demam tiphoid dikarakteristikkan
dengan demam panjang, splenomegali, delirium, nyeri
abdomen, dan manifestasi sistemik lainnya. Penyakit tiphoid
adalah suatu penyakit sistemik dan memberikan gejala primer
yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Sumber
organisme ini biasanya adalah makanan terkontaminasi.
Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada
sistem retikuloendotelial, menyebabkan hiperplasia, pada
lymph nodes dan Peyer pacthes di dalam usus halus.
Pembesaran yang progresif dan ulserasi dapat menyebabkan
perforasi usus halus atau perdarahan gastrointestinal.
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa
inkubasi 7-14 hari. Minggu pertama terjadi demam tinggi,
sakit kepala, nyeri abdomen, dan perbedaan peningkatan
temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan defekasi
normal. Pada minggu kedua terjadi splenomegali dan timbul
rash. Pada minggu ketiga timbul penurunan kesadaran dan
peningkatan toksemia, keterlibatan usus halus terjadi pada
minggu ini dengan diare kebiru-biruan dan berpotensi untuk
15
terjadinya ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi perbaikan
klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme.
Kultur darah positif pada 90% pasien pada minggu pertama
timbulnya gejala klinis. Kultur feses positif pada minggu
kedua dan ketiga.
Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi
selama jangka waktu penyakit. Kolesistitis jarang terjadi,
namun infeksi kronis kandung empedu dapat menjadi karier
dari pasien yang telah sembuh dari penyakit akut.
Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali
sehari selama 2 minggu. Jika terjadi resistensi, penekanan
sumsum tulang, sering kambuh dan karier disarankan
sepalosporin generasi ketiga dan flourokinolon. Sepalosforin
generasi ketiga menunjukkan effikasi sangat baik melawan S.
Thypi dan harus diberikan IV selama 7-10 hari, Kuinolon
seperti ciprofloksasin 500 mg 2 kali sehari selama 14 hari,
telah menunjukkan efikasi yang tinggi dan status karier yang
rendah. Vaksin thipoid oral (ty21a) dan parenteral (Vi)
direkomendasikan jika pergi ke daerah endemik.
4) Campylobakter
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C.
Jejuni dan C. Fetus, sering ditemukan pada pasien
immunocompromised.. Patogenesis dari penyakit toksin dan
invasi pada mukosa. Manifestasi klinis infeksi
Campylobakter sangat bervariasi, dari asimtomatis sampai
sindroma disentri. Masa inkubasi selama 24 -72 jam setelah
organisme masuk. Diare dan demam timbul pada 90% pasien,
dan nyeri abdomen dan feses berdarah hingga 50-70%.
Gejala lain yang mungkin timbul adalah demam, mual,
muntah dan malaise. Masa berlangsungnya penyakit ini 7
hari.
16
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah
merah. Kultur feses dapat ditemukan adanya Kampilobakter.
Kampilobakter sensitif terhadap eritromisin dan quinolon,
namun pemakaian antibiotik masih kontroversi. Antibiotik
diindikasikan untuk pasien yang berat atau pasien yang
nyata-nyata terkena sindroma disentri. Jika terapi antibiotik
diberikan, eritromisin 500 mg 2 kali sehari secara oral selama
5 hari cukup efektif. Seperti penyakit diare lainnya,
penggantian cairan dan elektrolit merupakan terapi utama.
5) Vibrio non-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan
mewabahnya gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V.
kolera dan V. mimikus telah dihubungkan dengan konsumsi
kerang mentah. Diare terjadi individual, berakhir kurang 5
hari. Diagnosa ditegakkan dengan membuat kultur feses yang
memerlukan media khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit
dan cairan. Antibiotik tidak memperpendek berlangsungnya
penyakit. Namun pasien dengan diare parah atau diare lama,
direkomendasikan menggunakan tetrasiklin.
6) Yersinia
Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif.
Diklasifikasikan sesuai dengan antigen somatik (O) dan
flagellar (H). Organisme tersebut menginvasi epitel usus.
Yersinia menghasilkan enterotoksin labil. Terminal ileum
merupakan daerah yang paling sering terlibat, walaupun
kolon dapat juga terinvasi.
Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri
abdomen, yang dapat diikuti dengan artralgia dan ruam
(eritrema nodosum atau eritema multiforme). Feses berdarah
dan demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis, mual,
muntah dan ulserasi pada mulut. Diagnosis ditegakkan dari
kultur feses. Penyakit biasanya sembuh sendiri berakhir
17
dalam 1-3 minggu. Terapi dengan hidrasi adekuat. Antibiotik
tidak diperlukan, namun dapat dipertimbangkan pada
penyakit yang parah atau bekterimia. Kombinasi
Aminoglikosid dan Kuinolon nampaknya dapat menjadi
terapi empirik pada sepsis.
7) Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157)
EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis
hemoragik. Wabah ini terjadi akibat makanan yang
terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi 7-10 hari setelah
asupan makanan atau air terkontaminasi. EHEC dapat
merupakan penyebab utama diare infeksius. Subtipe 0157 :
H7 dapat dihubungkan dengan perkembangan Hemolytic
Uremic Syndrom (HUS). Centers for Disease Control (CDC)
telah meneliti bahwa E Coli 0157 dipandang sebagai
penyebab diare berdarah akut atau HUS. EHEC non-invasif
tetapi menghasilkan toksin shiga, yang menyebabkan
kerusakan endotel, hemolisis mikroangiopatik, dan kerusakan
ginjal.
Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga
berat (hingga 10-12 kali perhari). Diare awal tidak berdarah
tetapi berkembang menjadi berdarah. Nyeri abdomen berat
dan kejang biasa terjadi, mual dan muntah timbul pada 2/3
pasien. Pemeriksaan abdomen didapati distensi abdomen dan
nyeri tekan pada kuadran kanan bawah. Demam terjadi pada
1/3 pasien. Hingga 1/3 pasien memerlukan perawatan di
rumah sakit. Lekositosis sering terjadi. Urinalisa
menunjukkan hematuria atau proteinuria atau timbulnya
lekosit. Adanya tanda anemia hemolitik mikroangiopatik
(hematokrit < 30%), trombositopenia (<150 x 109/L), dan
insufiensi renal (BUN >20 mg/dL) adalah diagnosa HUS.
HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari
setelah terkena diare. Faktor resiko HUS, usia (khususnya
18
pada anak-anak dibawah usia 5 tahun) dan penggunaan anti
diare.Penggunaan antibiotik juga meningkatkan resiko.
Hampir 60% pasien dengan HUS akan sembuh, 3-5% akan
meninggal, 5% akan berkembang ke penyakit ginjal tahap
akhir dan 30% akan mengalami gejala sisa proteinuria.
Trombosit trombositopenik purpura dapat terjadi tetapi lebih
jarang dari pada HUS.
Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E.
coli. Serotipe biasanya dilakukan pada laboratorium khusus.
Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi
komplikasi ginjal dan vaskuler. Antibiotik tidak efektif dalam
mengurangi gejala atau resiko komplikasi infeksi EHEC.
Nyatanya pada beberapa studi yang menggunakan antibiotik
dapat meningkatkan resiko HUS. Pengobatan antibiotik dan
anti diare harus dihindari. Fosfomisin dapat memperbaiki
gejala klinis, namun, studi lanjutan masih diperlukan.
8) Aeromonas
Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik
fakultatif. Aeromonas menghasilkan beberapa toksin,
termasuk hemosilin, enterotoksin, dan sitotoksin.
Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan.
Kadang-kadang feses berdarah. Penyakit sembuh sendiri
dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari biakan kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan
diare panjang atau kondisi yang berhubungan dengan
peningkatan resiko septikemia, termasuk malignansi,
penyakit hepatobiliar, atau pasien immunocompromised.
Pilihan antibiotik adalah trimetroprim sulfametoksazole.
9) Plesiomonas
Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif,
anaerobik fakultatif. Kebanyakan kasus berhubungan dengan
asupan kerang mentah atau air tanpa olah dan perjalanan ke
19
daerah tropik, Gejala paling sering adalah nyeri abdomen,
demam, muntah dan diare berdarah. Penyakit sembuh sendiri
kurang dari 14 hari. Diagnosa ditegakkan dari kultur feses.
Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare.
Pilihan antibiotik adalah tritoprim sulfametoksazole.
C. GEJALA, TANDA PENYAKIT DAN DIAGNOSIS
Diare terjadi dalam kurun waktu kurang atau sama dengan 15 hari
disertai dengan demam, nyeri abdomen dan muntah. Jika diare berat dapat
disertai dehidrasi. Muntah-muntah hampir selalu disertai diare akut, baik
yang disebabkan bakteri atau virus V. Cholerae. E. Coli patogen dan virus
biasanya menyebabkan watery diarrhea sedangkan campylobacter dan
amoeba menyebabkan bloody diarrhea (Manson’s, 1996).
Gambaran klinis diare akut yang disebabkan infeksi dapat disertai
dengan muntah, demam, hematosechia, berak-berak, nyeri perut sampai
kram(Triadmodjo, 1993).
Karena kehilangan cairan maka penderita merasa haus, berat badan
berkurang, mata cekung, lidah/ mulut kering, tulang pipi menonjol, turgor
berkurang, suara serak. Akibat asidosis metabolik akan menyebabkan
frekuensi pernafasan cepat, gangguan kardiovaskuler berupa nadi yang
cepat tekanan darah menurun, pucat, akral dingin kadang-kadang sianosis,
aritmia jantung karena gangguan elektrolit, anura sampai gagal ginjal
akut(Sudigbya, 1992; Triadmodjo, 1993).
Gejala diare akut dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu :
a. Fase prodromal (sindroma pra-diare) : pasien mengeluh penuh di
abdomen, nausea, vomitus, berkeringat dan sakit kepala.
b. Fase diare : pasien mengeluh diare dengan komplikasi (dehidrasi,
asidosis, syok, dan lain-lain), kolik abdomen, kejang dengan atau
tanpa demam, sakit kepala.
c. Fase pemulihan : gejala diare dan kolik abdomen berkurang,
disertai fatigue. (Kolopaking, 2002; Joan et al,. 1998).
20
D. TRANSMISI PENYAKIT
Penularan diare karena infeksi bakteri dan virus biasa melalui air
minum sehingga disebut water borne diseases atau penyakit bawaan air.
Sehingga pada penyebaran kasus diare, air merupakan media transmisi
tidak hidup atau biasa disebut vehicle.
Penyakit diare hanya dapat menyebar apabila mikroorganisme
penyebab masuk ke badan air yang dipakai oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain pada hidrosfer, penyebaran
penyakit diare juga dipengaruhi oleh perilaku masyarakat atau sosiosfer.
Penyebaran penyakit ini, seperti penyakit menular saluran pencernaan
dapat juga disebabkan karena tidak terbiasanya mencuci tangan setelah
buang air, dan komunitas masyarakat tidak mementingkan penyediaan
fasilitas cuci ini. Penularan lewat media air, tanah, makanan, dan vektor
juga ditentukan oleh perlakuan dan etik masyarakat terhadap lingkungan
disekitarnya (Sterrit, 1988).
Secara umum, penyakit fekal oral seperti diare dapat menyebar
melalui berbagai cara serta media transmisi antara lain melalui tangan
yang terkontaminasi, perabot yang tidak bersih, air cucian yang
mengandung agen, lalat, dan lainnya. Peran air dalam penyebaran penyakit
menular bawaan air dapat melalui berbagai cara:
(1) Air sebagai penyebar mikroorganisme pathogen;
(2) Air sebagai sarang organisme penyebar penyakit;
(3) Jumlah air bersih yang tersedia tidak mencukupi sehingga manusia
dalam masyarakat tidak dapat membersihkan diri dan lingkungan
sekitarnya dengan baik (sanitasi buruk);
(4) Air sebagai sarang host sementara suatu penyakit.
Berikut faktor-faktor penyebaran diare, antara lain :
a. faktor penyebaran kuman
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal-
oral antara lain melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja
21
dan atau kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku
dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan menigkatkan
resiko terjadinya diare. Perilaku tersebut antara lain :
1) Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama
kehidupan. Pada bayi yang tidak diberi ASI risiko untuk
menderita diare lebih besar daripada bayi yang diberi ASI
penuh, dan kemungkinan menderita dehidrasi berat lebih
besar.
2) Menggunakan botol susu. Penggunaan botol ini
memudahkan pencemaran oleh kuman karena botol susah
dibersihkan.
3) Memberikan makanan yang kurang bergizi pada usia diatas
6 bulan. Makanan yang kurang bergizi akan menyebabkan
anak menderita gizi kurang dan resiko terkena diare
semakin besar.
4) Menyimpan makanan pada suhu kamar. Bila makanan
disimpan beberapa jam pada suhu kamar, makanan akan
tercemar dan kuman akan berkembang biak.
5) Menggunakan air minum yang tercemar. Air mungkin
sudah tercemar dari sumbernya atau pada saat disimpan
dirumah. Pencemaran dirumah dapat terjadi kalau tempat
penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan yang
tercemar menyentuh air pada saat mengambil air dari
tempat penyimpanan.
6) Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar (BAB) dan
sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan dan
menyuapi anak.
7) Tidak membuang tinja (termasuk tinja bayi) dengan benar.
Sering beranggapan bahwa tinja bayi tidaklah berbahaya,
padahal sesungguhnya mengandung virus atau bakteri
dalam jumlah besar. Selain itu tinja binatang dapat pula
menyebabkan infeksi pada manusia.
22
b. faktor manusia yang meningkatkan kerentanan
Beberapa faktor manusia itu sendiri dapat meningkatkan
kejadian diare, beratnya diare dan lamanya diare, antara lain :
1) Tidak memberikan ASIsampai 2 tahun. ASI mengandung
antibodi yang dapat melindungi bayi terhadap berbagai kuman
penyebab diare seperti : Shigella dan Vibrio cholera.
2) Kurang gizi. Beratnya penyakit, lama, dan resiko kematian
karena diare menigkat pada balita yang menderita gangguan
gizi, terutama pada pendrita gizi buruk.
3) Campak, diare dan disentri sering terjadi dan berakibat berat
pada bayi anak balita yang sedang menderita campak dalam 4
minggu terakhir. Hal ini sebagai akibat dari penurunan
kekebalan tubuh penderita.
4) Immunodefisiensi. Keadaan ini mungkin hanya berlangsung
sementara misalnya sesudah infeksi virus, seperti campak dan
mungkin juga berlangsung lama seperti pada penderita AIDS
c. faktor lingkungan
Penyakit diare merupakan penyakit yang berbasis
lingkungan. Dua faktor yang dominan yaitu sarana air bersih dan
pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama
dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat
karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku
manusia yang tidak sehat pula yaitu melalui makanan dan
minuman, maka dapat menimbulkan kejadian diare. (Depkes RI,
2000).
Sedangkan cara penularan diare diantaranya adalah
a. kontaminasi makanan atau air dari tinja atau muntahan
penderita yang mengandung kuman penyebab.
b. kuman pada kotoran dapat langsung ditularkan pada orang lain
apabila melekat pada tangan dan kemudian dimasukkan ke
23
mulut atau dipakai untuk memegang makanan (Depkes RI,
1993)
E. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT
a. Tahap Patogenesis
Penyebab tersering diare pada anak adalah disebabkan oleh
rotavirus. Virus ini menyebabkan 40-60% dari kasus diare pada bayi
dan anak. Setelah terpapar dengan agen tertentu, virus akan masuk ke
dalam tubuh bersama dengan makanan dan minuman. Kemudian virus
itu akan sampai ke sel-sel epitel usus halus dan akan menyebabkan
infeksi dan merusakkan sel-sel epitel tersebut . Sel-sel epitel yang
rusak akan digantikan oleh sel enterosit baru yang berbentuk kuboid
atau sel epitel gepeng yang belum matang sehingga fungsi sel-sel ini
masih belum bagus. Hal ini menyebabkan vili-vlli usus halus
mengalami atrofi dan tidak dapat menyerap cairan dan makanan
dengan baik. Cairan dan makanan tadi akan terkumpul di usus halus
dan akan meningkatkan tekanan osmotik usus. Hal ini menyebabkan
banyak cairan ditarik ke dalam lumen usus dan akan menyebabkan
terjadinya hiperperistaltik usus. Cairan dan makanan yang tidak
diserap tadi akan didorong keluar melalui anus dan terjadilah diare.
Patogen enterik melekat pada sel mukosa melalui fimbrial atau
afimbrial. Setelah interaksi ini, patogenesis diare tergantung apakah
organisme masih menempel pada permukaan sel dan menghasilkan
toksin sekretorik, menginvasi ke dalam mukosa, atau penetrasi ke
dalam mukosa (tipe penetrasi sistemik).
Pada dasarnya mekanisme patogenesis diare infeksi dapat
dibagi menjadi :
a) Diare sekretorik karena toksin
b) Patomekanisme invasif
c) Diare karena perlukaan oleh substansi intraluminal
Diare sekretorik biasanya disebabkan adanya enterotoksin yang
dikeluarkan oleh organisme pada saat melekat pada permukaan sel.
24
Beberapa mekanisme toksin menimbulkan diare antara lain : (1)
aktivasi adenil siklase dengan akumulasi cAMP intra selular (Vibrio
cholera), (2) aktivasi guanil siklase dengan akumulasi cGMP intra
seluler (ETEC), (3) perubahan kalsium intra seluler (EPEC), dan (4)
stimulasi sistem saraf enterik (Vibrio cholera). Beberapa enterotoksin
lainnya menyebabkan diare melalui induksi sekresi klorida atau
inhibisi reabsorbsi natrium dan klorida.
Diare karena bakteri invasif diperkirakan sebagai penyebab 10-
20% kasus diare pada anak. Infeksi Shigella, E. Coli strain invasif dan
Camphyllobacter jejuni sering menimbulkan kerusakan mukosa usus
halus dan usus besar. Invasi bakteri diikuti oleh pembengkakan dan
kerusakan sel epitel mukosa usus, yang menyebabkan diketemukannya
sel-sel lekosit dan eritrosit dalam tinja atau darah segar.
Virus juga berperan dalam diare, memberikan perubahan
morfologi dan fungsional mukosa jejunum. Virus enteropatogen
seperti Rotavirus menyebabkan infeksi lisis pada enterosit. Invasi dan
replikasi virus dalam sel menginduksi kematian dan lepasnya sel.
Enterosit yang lepas digantikan oleh sel imatur. Akibatnya terjadi
penurunan enzim laktase dan gangguan transpor glukosa-Na+ karena
pengurangan aktivitas Na-K-ATPase. Hal ini menyebabkan terjadinya
maldigesti karbohidrat dan diare osmotik.
Hasil metabolisme bakteri kadang-kadang dapat berupa bahan
yang dapat melukai mukosa usus. Bahan hasil metabolit tadi berupa
dekonjugasi garam empedu, hidroksi asam lemak, asam organik rantai
penndek, dan substansi alkohol. Selain itu substansi ini dapat
merangsang usus sehingga terjadi diare.
b. Tahap Klinis
Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah,
demam, tenesmus, hematoschezia, nyeri perut dan atau kejang perut.
Akibat paling fatal dari diare yang berlangsung lama tanpa rehidrasi
yang adekuat adalah kematian akibat dehidrasi yang menimbulkan
renjatan hipovolemik atau gangguan biokimiawi berupa asidosis
25
metabolik yang berlanjut. Seseoran yang kekurangan cairan akan
merasa haus, berat badan berkurang, mata cekung, lidah kering, tulang
pipi tampak lebih menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi
serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh deplesi air yang
isotonik.
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya
dengan asam karbonat berkurang mengakibatkan penurunan pH darah
yang merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi pernapasan
meningkat dan lebih dalam.
Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat
dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120
x/menit), tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai
gelisah, muka pucat, akral dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena
kekurangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal
menurun sampai timbul oliguria/anuria. Bila keadaan ini tidak segera
diatsi akan timbul penyulit nekrosis tubulus ginjal akut yang berarti
suatu keadaan gagal ginjal akut.
Manifestasi klinik penyakit diare antara lain :
a) Perut mulas dan gelisah, suhu tubuh mungkin meningkat, nafsu
makan berkurang.
b) Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer,
kadang disertai wial dan wiata.
c) Warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena bercampur
empedu.
d) Anus dan sekitarnya lecet karena seringnya difekasi dan tinja
menjadi lebih asam akibat banyaknya asam laktat.
e) Terdapat tanda dan gejala dehidrasi, turgor kulit jelas (elistitas kulit
menurun), ubun-ubun dan mata cekung membran mukosa kering
dan disertai penurunan berat badan.
f) Perubahan tanda-tanda vital, nadi dan respirasi cepat tekan darah
turun, denyut jantung cepat, pasien sangat lemas, kesadaran
26
menurun (apatis, samnolen, sopora komatus) sebagai akibat
hipovokanik.
g) Diuresis berkurang (oliguria sampai anuria).
h) Bila terjadi asidosis metabolik klien akan tampak pucat dan
pernafasan cepat dan dalam.
F. PENGOBATAN
Dalam garis besarnya pengobatan diare dapat dibagi dalam
pengobatan kausal, pengobatan simtomatik, pengobatan cairan,
pengobatan dietetik
a. Pengobatan kausal
Pengobatan yang tepat terhadap kausa diare diberikan
setelah kita mengetahui penyebabnya yang pasti. Jika kausa diare
ini penyakit parenteral, diberikan antibiotika sistemik. Jika tidak
terdapat infeksi parenteral, sebenarnya antibiotika baru boleh
diberikan jika pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan
bakteri patogen. Karena pemeriksaan untuk menemukan bakteri ini
kadang-kadang sulit atau hasil pemeriksaan datang terlambat,
antibiotika dapat diberikan dengan memperhatikan umur penderita,
perjalanan penyakit, sifat tinja, dan sebagainya.
Di Indonesia diperkirakan kasus diare yang disebabkan
oleh infeksi kira-kira 50-75%. Bila pada pemeriksaan tinja
ditemukan leukosit 10 – 20/LP, maka penyebab diare tersebut
dapat dianggap infeksi enteral. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas,
pada penderita diare antibiotika hanya boleh diberikan jika :
a) Ditemukan bakteri patogen pada pemeriksaan mikroskopik
atau biakan.
b) Pada pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik
ditemukan darah pada tinja.
c) Secara klinis terdapat tanda-tanda yang menyokong adanya
infeksi enteral.
d) Didaerah endemik kolera (diberi tetrasiklin)
27
e) Pada neonatus jika diduga terjadi nosokomial.
b. Pengobatan simtomatik
a) Obat-obat anti diare
Obat-obat yang berkhasiat menghentikan diare
secara cepat seperti antispasmodik/spasmolitik atau opium
(papeverin, Extracum Beladona, leoperamid, kodein, dan
sebagainyaP) justru akan memperburuk keadaan karena
akan menyebabkan terkumpulnya cairan di lumen usus dan
akan menyebabkan terjadinya perlipatgandaan bakteri,
gangguan digesti dan absorpsi.
b) Antiemetik
Obat antiemetik seperti chlorpromazine (largactil)
terbukti selain mencegah muntah juga dapat mengurangi
sekresi dan kehilangan cairan bersama tinja. Pemberian
dalam dosis adekuat (sampai dengan 1mg/kgbb/hari)
kiranya cukup bermanfaat.
c) Antipiretik
Obat antipiretik seperti preparat salisilat (asetosal, aspirin)
dalam dosis rendah (25mg/tahun/kali) ternyata selain
berguna untuk menurunkan panas yang terjadi sebagai
akibat dehidrasi atau panas karena infeksi penyerta, juga
mengurangi sekresi cairan yang keluar bersama tinja.
c. Pengobatan cairan
Untuk menentukan jumlah cairan yang perlu diberikan
kepada penderita diare, harus diperhatikan jumlah cairan yang
harus diberikan sama dengan :
a) Jumlah cairan yang telah hilang melalui diare atau muntah
(Previous water losses = PWL), ditambah dengan,
b) Banyaknya cairan yang hilang melalui keringat, urin, dan
pernapasan (Normal water loss = NWL), ditambah dengan,
28
c) Banyaknya cairan yang hilang melalui tinja dan muntah
yang masih terus berlangsung (Concomitant water losses =
CWL)
Jenis cairan, ada dua jenis yaitu cairan rehidrasi oral dan
cairan rehidrasi parental (IV)
a) Cairan rehidrasi oral (CRO)
Ada beberapa macam cairan rehidrasi oral, seperti
cairan rehidrasi oral dengan formula lengkap yang
mengandung NaCl, KCl, NaHCO3 dan glukosa atau
penggantinya, yang dikenal dengan nama oralit. Kemudian
ada cairan rehidrasi oral yang tidak mengandung komponen
tersebut, misalnya larutan garam-gua (LGG), larutan tepung
beras-garam, ar tajin, air kelapa, dan cairan lain yang
tersedia di rumah disebut CRO tidak lengkap.
b) Cairan rehidrasi parental (CRP)
Sebagai hasil rekomendasi Seminar Rehidrasi
Nasional ke I s/d IV dan Pertemuan Ilmiah Penelitian
Diare, Litbangkes digunakan Ringer Laktat sebagai cairan
rehidrasi parental tunggal untuk digunakan di Indonesia,
dan cairan ini yang terdapat di Puskesmas dan rumah sakit
di Indonesia. Pada diare dengan penyakit (KKP, janting,
ginjal) cairan yang dianjurkan adalah Half Strength Darrow
Glukose.
d. Pengobatan dietetik
Selama anak diare, terdapat gangguan gizi yang disebabkan
intake dan absorbsi yang kurang, dan metabolisme yang terganggu.
Untuk memenuhi kebutuhan cairan, selain dari infus juga tetap
diberikan ASI karena dengan pemberian ASI akan memperpendek
masa diare, mempunyai nilai gizi tinggi dan mudah dicerna, serta
mengandung factor proteksi: antibody, sel-sel darah putih, enzim
dan hormon yang melindungi permukaan usus bayi terhadap invasi
29
mikroorganisme patogen dan protein asing. Selain itu juga
ditambah susu LLM 8x60cc dan pemberian oralit tiap mencret bila
anak mau minum.
Kombinasi diet ini belum mencukupi kebutuhan kalori harian pada
anak ini yaitu sebesar 72,60% dan protein sebesar 72,84%. Hal ini
disebabkan pada hari pertama anak membutuhkan cairan lebih
banyak untuk rehidrasi sehingga pemberian dietnya harus
menyesuaikan dengan jumlah infus yang diberikan. Jumlah kalori
akan ditingkatkan secara bertahap pada hari berikutnya seiring
dengan pengurangan jumlah infus.
LLM diberikan karena pada pasien ini terjadi intoleransi
laktosa yang ditandai dari hasil pemeriksaan clini tes (+). Laktosa
hanya dapat diserap oleh usus setelah dihidrolisis menjadi
monosakarida oleh enzim lactase jika aktivitas lactase menurun
atau tidak ada sama sekali makalaktosa yang tidak tercerna akan
masuk ke usus besar dan difermentasi oleh mikroflora usus dan
dihasilkan asam laktat dan gas. Adanya produksi gas inidapat
menyebabkan terjadinya kembung,mulas dan diare. Intoleransi
laktosa ringan bersifat sementara dan dalam waktu 2-3 hari akan
sembuh terutama pada anak dengan gizi yang baik. Sebagaimana
intoleransi laktosa, maka intoleransi lemak pada diare akut sifatnya
sementara dan tidak terlalu berat sehingga tidak memerlukan
formula khusus. Pada situasi yang memerlukan banyak energi
seperti pada fase penyembuhan diare,diet rendah lemak justru
dapat memperburuk keadaan malnutrisi dan dapat menimbulkan
diare kronik.
G. PERKEMBANGAN PENYAKIT DI INDONESIA
Penyakit diare di Indonesia sampai saat ini masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat. Kejadian diare pada bayi dan balita lebih
banyak ditemukan dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Hasil
30
survei Dekes RI, diperoleh angka kesakitan diare untuk tahun 2000
sebesar 301 per 1.000 penduduk
a) Angka kematian akibat penyakit diare di Indonesia menurut
kelompok umur menunjukkan bahwa pada kelompok umur 1-4
tahun angka kematian diare menduduki urutan kedua, yaitu 134 per
100.000 setelah pneumonia
b) Salah satu penyebab masih tingginya angka kesakitan dan
kematian tersebut karena kondisi kesehatan lingkungan yang
belum memadai. Angka kejadian diare di sebagian besar wilayah
Indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia, sekitar 162
ribu balita meninggal setiap tahun atau sekitar 460 balita setiap
harinya. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di
Indonesia, diare merupakan penyebab kematian nomor 2 pada
balita dan nomor 3 bagi bayi serta nomor 5 bagi semua umur.
Setiap anak di Indonesia mengalami episode diare sebanyak 1,6 – 2
kali per tahun.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2004, angka kematian akibat diare 23 per 100 ribu penduduk dan
pada balita 75 per 100 ribu balita. Selama tahun 2006 sebanyak 41
kabupaten di 16 provinsi melaporkan KLB (kejadian luar biasa)
diare di wilayahnya. Jumlah kasus diare yang dilaporkan sebanyak
10.980 dan 277 diantaranya menyebabkan kematian. Hal tersebut,
terutama disebabkan rendahnya ketersediaan air bersih, sanitasi
buruk dan perilaku hidup tidak sehat,serta perilaku masyarakat
yang enggan mencuci tangan.
Prevalensi diare pada tahun 1997 adalah lebih rendah bila
dibandingkan dengan hasil survey pada tahun 1991 sebesar 11 % dan
tahun 1994 sebesar 12%.. Pada tahun 1997 prevalensi diare lebih tinggi di
daerah pedesaan daripada di perkotaan, tetapi membandingkan wilayah
Jawa-Bali dengan luar Jawa-Bali tidak tampak perbedaan yang berarti.
Sampai saat ini penyakit diare masih merupakan masa1ah
kesehatan rnasyarakat di Sulawesi Selatan. Hal ini dapat dilihat pada
31
pencatatan dan pelaporan Puskesmas dan Rumah Sakit di Sulawesi Selatan
pada tahun 1999 dimana penyakit diare menempati urutan keempat dari 10
besar penyakit rawat jalan dengan angka kesakitan 3,34 per 1000
penduduk.
Penyakit diare di Propinsi Sulawesi Selatan masih termasuk dalam
10 penyakit terbesar bahkan menduduki urutan pertama dengan angka
kesakitan sebesar 58,2% tahun 2000 dan pada tahun yang sama jumlah
penderita dan kematian akibat penyakit diare di Propinsi Sulawesi Selatan
yaitu : umur < 1 tahun sebanyak 37.937 penderita dan yang mati 20 orang,
umur 1-4 tahun sebanyak 53.282 orang penderita dan yang mati 13 orang,
umur 5 tahun ke atas tercatat 125.407 orang penderita dan yang mati
sebanyak 47 orang dengan CFR 0,02 % dan IR 26,58 %.
Penyakit diare di puskesmas Kaimana Kabupaten Kaimana
Propinsi Irian Jaya Barat masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
setiap tahunnya. Pada tahun 2000 tercatat penyakit diare menempati urutan
ke dua berdasarkan pola kesakitan 10 besar penyakit rawat jalan di
Puskesmas, setelah penyakit infeksi akut lain pada saluran pernapasan
bagian atas, dengan angka kesakitan 20,25 per 1000 penduduk.
Kematian bayi di Indonesia sangat tinggi. Bahkan di seluruh dunia,
Indonesia menduduki rangking keenam dengan angka kejadian sekitar 6
juta bayi yang mati pertahunnya. Kasus kematian bayi di Indonesia ini,
kematian bayi di Indonesia disebabkan oleh penyakit diare. Untuk
mendiagnosis diare, maka pemeriksaan antigen secara langsung dari tinja
mempunyai nilai sensitifitas cukup tinggi (70-90%), tetapi biaya
pemeriksaan cukup mahal.
Proporsi diare akut rotavirus selama 1 tahun penelitian di Indonesia
adalah 56,5 % dengan 95 % CI 51,3 - 61, 6%. Hasil ini sama dengan
penelitian-penelitian di luar negeri sebelumnya, antara lain Rodriquez
(1974-1975) dan Pickering. (1978-1979) mendapatkan angka kejadian
47% dan 59%, sedangkan di Indonesia penelitian Yorva (tahun 1998)
mendapatkan angka 50% hampir sama dengan penelitian ini dan sama
dengan negara maju. Hasil ini memprediksi adanya perbaikan hygiene dan
32
sanitasi kita. Kasus diare rotavirus merata sepanjang tahun, sedangkan
kasus diare non rotavirus dan diare keseluruhan meningkat pada musim
kemarau, tetapi tidak ada trend menurut musim. Keadaan ini berkaitan
dengan cara penularan diare non rotavirus yang water borne dan melalui
tangan mulut, sedangkan diare rotavirus selain ditularkan secara fekal oral,
diduga ditularkan juga melalui droplet saluran napas.
Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan 5.051 kasus diare
sepanjang tahun 2005 lalu di 12 provinsi. Jumlah ini meningkat drastis
dibandingkan dengan jumlah pasien diare pada tahun sebelumnya, yaitu
sebanyak 1.436 orang. Di awal tahun 2006, tercatat 2.159 orang di Jakarta
yang dirawat di rumah sakit akibat menderita diare. Melihat data tersebut
dan kenyataan bahwa masih banyak kasus diare yang tidak terlaporkan,
departemen kesehatan menganggap diare merupakan isu prioritas
kesehatan di tingkat lokal dan nasional karena punya dampak besar pada
kesehatan mayarakat (Depkes RI 2008).
Prevalensi diare berdasarkan umur menurut data dari hasil Riset
Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS) tahun 2007, diare tersebar di
semua kelompok umur dengan prevalensi tertinggi terdeteksi pada balita
(16,7%). Prevalensi diare 13% lebih banyak di perdesaan dibandingkan
perkotaan,cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan rendah dan
tingkat pengeluaran RT per kapita rendah. Prevalensi diare yang tinggi
pada bayi dan anak balita tidak selalu diberi oralit, proporsi yang
mendapat oralit pada ke dua kelompok umur tersebut berturut-turut 52,8%
dan 55,5%.
H. FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
a. Faktor Infeksi
Faktor infeksi penyebab diare dapat dibagi dalam infeksi
parenteral dan infeksi enteral. Di negara berkembang, campak yang
disertai diare merupakan faktor yang sangat penting pada morbiditas
dan mortalitas anak. Walaupun mekanisme sinergetik antara campak
33
dan diare pada anak belum diketahui, diperkirakan kemungkinan virus
campak sebagai penyebab diare secara enteropatogen.
Sampai beberapa tahun yang lalu kuman-kuman patogen hanya
dapat diidentifikasikan 25% dari tinja penderita diare akut. Pada saat ini
dengan menggunakan teknik yang baru, tenaga laboratorium yang
berpengalaman dapat mengidentifikasikan sekitar 75% kasus yang
datang ke sarana kesehatan dan sekitar 50% kasus-kasus ringan di
masyarakat.
Penyebab infeksi utama timbulnya diare adalah golongan virus,
bakteri, dan parasit. Rotavirus merupakan penyebab utama diare akut
pada anak. Sedangkan bakteri penyebab diare tersering antara lain
ETEC, Shigella, Campylobacter.
b. Faktor Umur
Pengaruh usia tampak jelas pada manifestasi diare. Komplikasi
lebih banyak terjadi pada umur di bawah 2 bulan secara bermakna,
dan makin muda usia bayi makin lama kesembuhan klinik diarenya.
Kerusakan mukosa usus yang menimbulkan diare dapat terjadi karena
gangguan integritas mukosa usus yang banyak dipengaruhi dan
dipertaruhkan oleh sistem imunologik intestinal serta regenerasi epitel
usus yang pada masa bayi muda masih terbatas kemampuannya.
Beberapa survei menghasilkan beberapa kejadian diare
tertinggi pada golongan bayi umur 6-24 bulan. Keadaan tersebut
terjadi sangat mungkin karena pada umur 6-24 bulan jumlah air susu
ibu sudah mulai berkurang dan pemberian makanan sapih yang kurang
nilai gizinya serta nilai kebersihannya.
c. Faktor Status Gizi
Pada penderita malnutrisi serangan diare terjadi lebih sering
dan lama. Semakin buruk keadaab gizi anak, semakin sering dan berat
diare yang dideritanya. Diduga bahwa mukosa penderita malnutrisi
sangat peka terhadap infeksi, namun konsep ini tidak seluruhnya
diketahui, patogenesis yang terperinci tidak diketahui.
34
Di negara maju dengan tingkat pendidikan dan tingkat
kesehatan yang tinggi, kelompok bayi yang mendapat air susu ibu
lebih jarang menderita diare karena infeksi enteral dan parenteral. Hal
ini disebabkan karena berkurangnya kontaminasi bakteri serta
terdapatnya zat-zat anti infeksi dalam air susu ibu.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada penderita malnutrisi
adalah perubahan gastrointestinal dan perbahan sistem imunitas.
d. Faktor Lingkungan
Sebagian besar penularan penyakit diare adalah melalui dubur,
kotoran, dan mulut. Dalam hal mengukur kemampuan penularan
penyakit di samping tergantung jumlah dan kekuatan penyebab
penyakit, juga tergantung dari kemampuan lingkungan untuk
menghidupinya, serta mengembangkan kuman penyebab penyakit
diare.
Sehingga dapat dikatakan bahwa penularan penyakit diare
merupakan hasil dari hubungan antara faktor jumlah kuman yang
disekresi (penderita atau carrier), kemampuan kuman untuk hidup di
lingkungan, dan dosis kuman untuk menimbulkan infeksi, disamping
ketahanan penjamu untuk menghadapi mikroba tadi.
Perubahan atau perbaikan air minum dan jamban secara fisik
tidak menjamin hilangnya penyakit diare, tetapi perubahan sikap dan
tingkah laku manusia yang memanfaatkan sarana tersebut di atas
sangat menentukan keberhasilan perbaikan sanitasi dalam mengurangi
masalah diare.
e. Faktor Susunan Makanan
Faktor susunan makanan terhadap terjadinya diare tampak
sebagai kemampuan usus untuk menghadapi kendala yang berupa :
a) Antigen
Susunan makanan mengandung protein yang tidak
homolog, sehingga dapat berlaku sebagai antigen. Lebih-lebih pada
bayi dimana kondisi ketahanan lokal usus belum sempurna
sehingga terjadi migrasi molekul makro.
35
b) Osmolaritas
Susunan makanan baik berupa formula susu maupun
makanan padat yang memberikan osmolaritas yang tinggi sehingga
dapat menimbulkan diare, misalnya Neonatal Entero Colitis
Necroticans pada bayi.
c) Malabropsi
Kandungan nutrien makanan yang berupa karbohidrat,
lemak, maupun protein dapat menimbulkan intoleransi, malabsopsi
maupun alergi sehingga terjadi diare pada anak maupun bayi.
d) Mekanik
Kandungan serat yang berlebihan dalam susunan makanan
secara mekanik dapat merusak fungsi mukosa usus sehingga timbul
diare.
I. PENCEGAHAN
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral,
penularannya dapat dicegah dengan cara sebagai berikut:
a. Menjaga higiene pribadi yang baik, termasuk sebagai berikut:
1. Mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama
mengolah makanan.
2. Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan
hewan ternak harus terjaga dari kotoran manusia.
3. Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, maka
harus diberikan perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan
untuk membersihkan makanan, atau air yang digunakan untuk
memasak harus disaring dan diklorinasi. Jika ada kecurigaan
tentang keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang diambil
dari danau atau air, harus direbus dahulu beberapa menit sebelum
dikonsumsi. Ketika berenang di danau atau sungai, harus
diperingatkan untuk tidak menelan air.
36
4. Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air
yang bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum
dikonsumsi.
5. Limbah manusia atau hewan yang tidak diolah tidak dapat
digunakan sebagai pupuk pada buah-buahan dan sayuran.
6. Semua daging dan makanan laut harus dimasak.
7. Hanya produk susu yang dipasteurisasi dan jus yang boleh
dikonsumsi. Wabah EHEC terakhir berhubungan dengan
meminum jus apel yang tidak dipasteurisasi yang dibuat dari apel
terkontaminasi, setelah jatuh dan terkena kotoran ternak.
b. Vaksinasi
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius,
tetapi efektivitas dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini,
vaksin yang tersedia adalah untuk V. colera, dan demam tipoid. Vaksin
kolera parenteral kini tidak begitu efektif dan tidak direkomendasikan
untuk digunakan. Vaksin oral kolera terbaru lebih efektif, dan durasi
imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid parenteral yang lama hanya
70 % efektif dan sering memberikan efek samping. Vaksin parenteral
terbaru juga melindungi 70 %, tetapi hanya memerlukan 1 dosis dan
memberikan efek samping yang lebih sedikit. Vaksin tipoid oral telah
tersedia, hanya diperlukan 1 kapsul setiap dua hari selama 4 kali dan
memberikan efikasi yang mirip dengan dua vaksin lainnya.
c. Hindari makan makanan yang terlalu pedas dan asam
d. Menjaga kondisi tubuh dengan olah raga dan minum air 8-12 kali
sehari.
J. GAMBARAN EPIDEMIOLOGI UMUM
37
Distribusi penyebaran penyakit diare merupakan penyebaran kuman
penyebab diare. Kuman penyebab diare melalui fecal oral antara lain
melalui makanan dan minuman yang tercemar atau kontak langsung
dengan tinja penderita.
a. Distribusi penyakit diare menurut orang.
Penyakit diare menyerang pada semua orang dan yang
terbanyak pada golongan umur di bawah umur lima tahun yaitu 70-
80% dari penderita, kejadian diare pada bayi mulai meningkat sejak
usia 6 bulan dan mencapai puncaknya pada usia 1-2 tahun. Bila dilihat
dari faktor jenis kelamin tidak ada perbedaan angka prevalensi anak
golongan laki-laki dengan perempuan.
b. Distribusi menurut faktor tempat.
Insiden penyakit diare dalam bentuk kejadian luar biasa
dipengaruhi oleh mobilisasi darat maupun laut.
c. Distribusi menurut faktor waktu.
Biasanya insiden meningkat pada musim kemarau dan awal
musim hujan. Pada musim kemarau air yang diperoleh menjadi
terbatas serta penggunaan air yang berulang dan pada awal musim
hujan sumber air menjadi tercemar.
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh
dunia. Di Amerika Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga
dari daftar keluhan pasien pada ruang praktek dokter, sementara di
beberapa rumah sakit di Indonesia data menunjukkan diare akut karena
infeksi terdapat peringkat pertama s/d ke empat pasien dewasa yang
datang berobat ke rumah sakit.
Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2
episode/orang/tahun sedangkan di negara berkembang lebih dari itu. Di
38
USA dengan penduduk sekitar 200 juta diperkirakan 99 juta episode
diare akut pada dewasa terjadi setiap tahunnya. WHO memperkirakan
ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun dengan mortalitas 3-4
juta pertahun.
Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta
episode diare pada orang dewasa per tahun.10 Dari laporan surveilan
terpadu tahun 1989 jumlah kasus diare didapatkan 13,3 % di
Puskesmas, di rumah sakit didapat 0,45% pada penderita rawat inap
dan 0,05 % pasien rawat jalan. Penyebab utama disentri di Indonesia
adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter jejuni, Escherichia coli,
dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh
Shigella dysentery, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh
Shigella flexneri, Salmonella dan Enteroinvasive E.coli ( EIEC).
Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk
mendekati pasien diare akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan
atau minuman terkontaminasi, berpergian, penggunaan antibiotik, HIV
positif atau AIDS, merupakan petunjuk penting dalam
mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk diare infeksi.
K. GAMBARAN EPIDEMIOLOGI DI INDONESIA
Penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan di negara
berkembang, terutama di Indonesia baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Penyakit diare bersifat endemis juga sering muncul sebagai Kejadian Luar
Biasa (KLB) dan diikuti korban yang tidak sedikit. Untuk mengatasi
penyakit diare dalam masyarakat baik tata laksana kasus maupun untuk
pencegahannya sudah cukup dikuasai. Akan tetapi permasalahan tentang
penyakit diare masih merupakan masalah yang relatif besar.
Angka kesakitan diare sekitar 200-400 kejadian di antara 1000
penduduk setiap tahunnya. Dengan demikian di Indonesia dapat
ditemukan sekitar 60 juta kejadian setiap tahunnya, sebagian besar (70-
39
80%) dari penderita ini adalah Anak di bawah Lima Tahun (BALITA).
Sebagian dari penderita (1- 2%) akan jatuh ke dalam dehidrasi dan kalau
tidak segera ditolong 50- 60% di antaranya dapat meninggal. Kelompok
ini setiap tahunnya mengalami kejadian lebih dari satu kejadian diare.
Sampai saat ini penyakit diare merupakan penyebab utama
kesakitan dan kematian, khususnya pada bayi dan balita di Indonesia.
Pemerintah telah menerapkan berbagai strategi pemberantasan dan
pengendalian penyakit diare ini. Beberapa dasar pelaksanaan
pemberantasan penyakit ini antara lain :
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1216/MENKES/SK/XI/2001 tentang Pedoman Pemberantasan
Penyakit Diare
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesi No.HK.03.0
1/160/1/2010 tentang Rencana Strategi Kementerian Kesehatan Tahun
2010-2014,
Beberapa point dari peraturan diatas antara lain ditargetkan Case
Fatality Rate (CFR) diare pada saat Kejadian Luar Biasa (KLB) kurang
dari 1 dan jumlah kasus diare sebanyak 285 per 1000 penduduk.
Beberapa perilaku menyebabkan penyebaran kuman enterik dan
dapat meningkatkan resiko terjadinya diare, antara lain tidak memberikan
ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan, menggunakan botol
susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air
minum yang tercemar, tidak mencuci tangan dengan sabun sesudah buang
air besar atau sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan atau
menyuapi anak, dan tidak membuang tinja dengan benar.
Sementara faktor penjamu, dapat meningkatkan insiden, beberapa
penyakit dan lamanya diare. Faktor-faktor tersebut adalah tidak
40
memberikan ASI sampai umur 2 tahun, kurang gizi,campak, dan secara
proposional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita.
Sedangkan berdasarkan faktor lingkungan, penyakit diare
merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang
dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini
akan berinteraksi dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan
tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan
perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka
dapat menimbulkan penyakit diare (Sudaryat, 2010).
L. TUJUAN P3M
Tujuan program pemberantasan diare adalah menurunkan angka
kematian dan kesakitan pada bayi dan balita yang disebabkan oleh
penyakit diare. Tujuan program tersebut dalam jangka pendek untuk
menurunkan angka kematian karena penyakit diare serta akibat lain dari
penyakit diare, khususnya keadaaan gizi dari penderita serta menemukan
keadaan gizi dari penderita serta menemukan keadaan dini dari timbulnya
KLB atau wabah dan segera mengadakan kegiatan penanggulangannya.
Tujuan jangka panjang yaitu untuk menurunkan angka kesakitan karena
penyakit diare sehingga tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Hal ini sejalan dengan ditemukannya Upaya Rehidrasi Oral (URO) dengan
oral elektrolit (ORALIT) yang efektif untuk penderita diare dengan segala
macam sebab dan untuk semua golongan umur.
M. STRATEGI P3M
Adapun Strategi pemberantasan penyakit diare, adalah:
(1) Advokasi, melaksanakan pendekatan kepada para pengambil keputusan
sesuai tingkat administratif pelaksana program baik lintas program
maupun sektor guna mendukung pelaksanaan program pemberantasan
penyakit diare
41
(2) Melaksanakan upaya untuk mengembangkan norma hidup sehat di
masyarakat untuk mendapatkan social support dalam komunikasi
pemberantasan penyakit diare;
(3) Mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan masyarakat
dalam melaksanakan tatalaksana penderita diare dan pencegahan diare
atau empowerment (Depkes RI, 2007).
Kegiatan pemberantasan penyakit diare, yang ditetapkan Depkes
RI (2007),
adalah:
1. Pendekatan Pimpinan/Pengambil Keputusan (Advocacy) :
a. Menentukan dan memantapkan bentuk dukungan yang
diharapkan dari para pengambil keputusan.
b. Menentukan sasaran: Sasaran ditentukan dalam 3 (tiga) kategori,
yaitu:
(1) Pimpinan lintas program ditentukan berdasarkan
keterkaitannya dengan program terkait,
(2) Pimpinan lintas sektor ditentukan berdasarkan keterkaitannya
dengan kelompok masyarakat sasaran, dan
(3) Penyandang/Sumber dana, dan semua semua agensi yang
berpotensi, termasuk pengusaha (BUMN, Swasta), bantuan luar
negeri, dan lain-lain.
c. Menentukan perilaku yang diharapkan, yaitu:
(1) Pimpinan lintas program dalam tatalaksana penderita diare
dan pencegahan penyakit diare diharapkan membantu dalam
Petunjuk operasional dan bentuk terpadu lainnya, Koordinasi dan
pengawasan, dan Dukungan sumber daya;
(2) Pimpinan lintas sektor, terutama dalam pencegahan penyakit
diare, diharapkan dapat membantu dalam Penerbitan petunjuk
operasional, Melaksanakan koordinasi dan pengawasan,
Mengusahakan sumber daya; dan
42
3) Penyandang dana, diharapkan dapat membantu dalam
Menyediakan dana, Menyediakan sarana, dan menyediakan tenaga
ahli.
d. Menentukan pesan, merujuk ke tujuan yang hendak dicapai. Secara
prinsip, mengembangkan pesan dengan dasar untuk mencegah
kejadian dan kematian karena diare.
e. Menentukan Metode dan Teknik, Disesuaikan dengan segmen
sasaran Advocacy, antara lain: Pendekatan langsung, Seminar,
Rapat kerja, Lokakarya, Sarasehan.
f. Menentukan Media, disesuaikan dengan segmen sasaran dan
metode serta teknik penyampaian, misal: Proposal, Buku Pedoman,
Makalah, Leaflet
2. Dukungan Suasana (Social Support), meliput i:
a. Rangkaian kegiatan hampir sama dengan Advocacy, tetapi
kelompok sasaran lebih ke tingkat teknis operasional secara
berjenjang, antara lain Kader, Tim Penggerak PKK, tokoh
masyarakat di tingkat kecamatan, Kab/Kota dan Propinsi.
b. Materi KIE lebih operasional dari pencegahan penyakit dan
tatalaksana penderita yang cepat dan tepat, antara lain: menolong
penderita diare di rumah tangga, penyuluhan tentang pencegahan
penyakit diare.
c. Metode, teknik dan bentuk media disesuaikan dengan kelompok
sasaran. Begitu pula sarana yang digunakan disesuaikan dengan
kondisi, seperti cetak, elektronik dan tradisional.
3. Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment), meliputi:
a. Sebagai sasaran utama KIE adalah masyarakat. Secara aktif
masyarakat terutama ibu yang mempunyai balita dapat
melaksanakan tatalaksana diare dengan benar dan kegiatan
pencegahan yang efektif.
b. Materi pesan adalah :
(1) Tatalaksana penderita diare di rumah tangga dan
43
(2) Pencegahan penyakit diare
c. Metode dan teknik, selain disesuaikan segmen pasar, diupayakan
berlangsung dinamis, misalnya tatap muka, simulasi, demonstrasi,
penyuluhan kelompok.
d. Media saluran komunikasi, pemilihan media hendaknya
disesuaikan dengan segmen sasaran yaitu menggunakan
perpaduan media cetak dan elektronika.
Pemantauan terhadap program pemberantasan penyakit diare lebih
ditujukan pada aspek proses. Pemantauan terhadap proses dapat dilakukan
dalam bentuk angket, supervisi atau rapid assessment survey, sedangkan
penilaian lebih ditujukan pada dampak program dan sering disebut
evaluasi. Pelaksanaan penilaian dapat dilaksanakan pada pertengahan
atau akhir pelaksanaan program. Indikator dikembangkan sesuai dengan
tujuan program. Penilaian dapat dirancang untuk dilaksanakan sendiri atau
digabung dalam survei besar dengan program lain, seperti SKRT atau
SDKI. Lokasi penilaian adalah di lapangan (masyarakat) dan sarana
pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan Rumah Sakit (Depkes RI,
2007).
Program pemberantasan penyakit diare, juga mencakup kegiatan
Pencegahan Penyakit Diare, yang diharapkan dapat memberi dukungan
untuk menurunkan angka kejadian kematian akibat diare. Adapun upaya
pencegahan penyakit diare untuk masyarakat, meliputi (Depkes RI, 2007):
1. Penggunaan botol susu dan dot yang steril, penggunaan botol yang
tidak bersih atau sudah dipakai selama berjam-jam dibiarkan di
lingkungan yang panas, sering menyebabkan infeksi usus yang
parah karena botol dapat tercemar oleh kuman-kuman/bakteri
penyebab diare.
2. Menggunakan air bersih yang cukup. Masyarakat dapat
mengurangi resiko terhadap serangan diare yaitu dengan
menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari
kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah,
44
dan yang harus diperhatikan oleh keluarga: ambil air dari sumber
air yang bersih, ambil dan simpan air dalam tempat yang bersih
dan tertutup serta gunakan gayung khusus untuk mengambil air,
pelihara atau jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang, anak-
anak mandi, gunakan air yang direbus, cuci semua peralatan masak
dan makan dengan air yang bersih dan cukup. Menurut Chandra
(2007), Air bersih adalah air yang dipergunakan untuk keperluan
sehari-hari dan kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan air
bersih sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan dapat diminum apabila dimasak. Masyarakat yang terjangkau
oleh penyediaan air yang benar-benar bersih mempunyai resiko
menderita diare lebih kecil dibanding dengan masyarakat yang
tidak mendapatkan air bersih.
3. Mencuci tangan dengan sabun, kebiasaan yang berhubungan
dengan kebersihan perorangan yang penting dalam penularan
kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan
sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja
anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makan
anak dan sebelum makan, mempunyai dampak dalam kejadian
diare.
4. Menggunakan jamban, pengalaman di beberapa negara
membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban mempunyai
dampak yang besar dalam penurunan resiko terhadap penyakit
diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat dan
keluarga harus buang air besar di jamban, dan yang harus
diperhatikan oleh keluarga: keluarga harus mempunyai jamban
yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh seluruh anggota
keluarga; bersihkan jamban secara teratur; bila tidak ada jamban,
jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air besar sendiri,
hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak dan tempat anak-anak
bermain serta lebih kurang 10 meter dari sumber air, hindari buang
air besar tanpa alas kaki.
45
5. Membuang tinja balita yang benar. Banyak orang yang
beranggapan bahwa tinja balita itu tidak berbahaya. Hal ini tidak
benar karena tinja balita dapat pula menularkan penyakit pada
anak-anak dan orang tuanya. Tinja balita harus dibuang secara
bersih dan benar; dan yang harus diperhatikan oleh keluarga:
Kumpulkan segera tinja balita dan buang ke jamban, Bantu anak-
anak buang air besar di tempat yang bersih dan mudah dijangkau
olehnya, Bila tidak ada jamban, pilih tempat untuk membuang tinja
anak seperti dalam lubang atau di kebun kemudian ditimbun,
Bersihkan dengan benar setelah buang air besar dan cuci tangannya
dengan sabun.
6. Pemberian Imunisasi campak. Diare sering timbul menyertai
campak, sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat
mencegah diare. Oleh karena itu beri anak imunisasi campak
segera setelah berumur 9 bulan.Penyakit diare disebabkan oleh
mikro organisme (seperti bakteri, parasit, protozoa, dan virus)
melalui kontaminasi makanan dan minuman yang tercemar tinja,
sedangkan faktor yang berpengaruh lainnya meliputi faktor pejamu
dan faktor lingkungan. Untuk kasus diare pada balita, perilaku
orang dewasa yang menangani makanan merupakan salah satu
faktor penting. Sehingga meningkatkan pengetahuan dan merubah
sikap ibu rumah tangga dengan anak balita tentang perilaku hidup
bersih dan sehat, diharapkan terjadi penurunan jumlah insiden
diare di kelompok balita (Depkes RI, 2007).
N. UKURAN EPIDEMIOLOGI YANG DI PAKAI
Tingkat Kesakitan (Morbidity Rate)
1. Prevalence (Crude Prevalence Proportion)
Jumlah individu sakit dalam suatu populasi pada suatu
waktu tertentu (tanpa membedakan kasus lama atau kasus baru)
46
Prevalensi (P) = Jumlah individu sakit pada waktu tertentu
Populasi berisiko pada waktu tertentu
Ilustrasi:
20 orang di desa jetak, Kab. pekalongan yang terdiri dari
total 200 orang menderita diare, maka prevalensi diare di desa
jetak, Kab. pekalongan tersebut adalah
Prevalensi = (20/200) x 100%= 10%
2. Insidensi
Menggambarkan jumlah kasus baru yang terjadi di dalam
suatu populasi selama periode waktu tertentuInsidensi mengukur
pergerakan individu dari status bebas penyakit ke status sakit
• Proporsi individu tak sakit menjadi sakit selama periode
penelitian
• Tidak ada penambahan individu selama pengamatan
• Disebut juga risk rate:
• Pendugaan probabilitas penyakit selama periode waktu tertentu
• Memiliki interpretasi terhadap populasi dan individu
Insidensi Kumulatif = Jumlah kasus baru (individu sehat
yang menjadi sakit)
(Cumulative Incidence) Jumlah individu sehat pada awal
pengamatan
Jika ada individu yang keluar dari populasi yang diamati
= Jml kasus baru
Jml individu sehat pada awal pengamatan – ½(jml individu
yg keluar)
47
Ilustrasi:
20 mahasiswa terkena diare di fakultas peternakan selama
satu bulan. Pada awal bulan terdapat 100 mahasiswa di fakultas
peternakan tersebut dan semuanya sehat, maka Insidensi
kumulatifnya = (20/100)=0.2
Dari ilustrasi di atas, jika 2 mahasiswa keluar selama
periode pengamatan maka risk rate = 20/{100-(½x2)}=0.2
3. Tingkat Serbuan (Attack Rate)
Hampir sama dengan insidensi, tetapi digunakan jika
periode risiko terpapar penyakit sangat singkat, misal: akibat
keracunan makanan, reaksi nuklir, dsb.
AR = Jml yang sakit selama waktu pemaparan
Total individu yang terpapar
Ilustrasi:
o 46 dari 75 orang yang makan di suatu pesta menderita diare
beberapa jam kemudian setelah makan,
maka Attack rate = (46/75) x 100% = 61% \
o Setelah diteliti lebih lanjut ditemukan bahwa 43 dari 54 orang
mengkonsumsi pecel menjadi diare, maka attack rate untuk
yang mengkonsumsi pecel menjadi diare: (43/54) x 100% =
80%,
4. proporsi
“Proporsi" merupakan Bentuk khusus dari rasio, yaitu nilai
pembilangnya merupakan himpunan bagian dari penyebutnya
Misalnya, "proporsi penyakit diare di Rumah sakit A
tahuan 1999 adalah 10 berarti jumlah kejadian penyakit diare di
48
Rumah sakit A tahun 1999 adalah dari seluruh kasus penyakit yang
ada di wilayah Rumah sakit A. Proporsi biasanya digunakan untuk
mengukur angka suatu penyakit terhadap penyakit lainnya.
Semakin tinggi angka proporsi ini berarti semakin banyak kejadian
penyakit tersebut dibandingkan dengan penyakit lainnya dalam
suatu wilayah dan waktu tertentu (Azrul Azwar 1999).
Tingkat Kematian (Mortality Rate)
1. Cause-spesific Mortality Rate:
= Total individu mati karena penyakit X pada periode wkt tertentu
Populasi berisiko pd periode wkt tertentu x ITC
2. Crude Mortality (true) Rate:
= Total individu mati pada periode wkt tertentu
Populasi berisiko pd periode wkt tertentu x ITC
3. Tingkat Kefatalan (Case Fatality Rate)
= Total yg mati akibat penyakit X dalam periode waktu tertentu
Total hewan yang menderita penyakit X
Contoh :
Hasilnya telah terjadi kematian karena diare (dehidrasi)
sebanyak 5 orang dari 373 penderita diare (Case Fatality Rate =1.3
%) selama satu bulan mulai dari 15 Mei Sampai dengan 15 Juni 2009,
di wilayah Kerja Puskesmas Batupanga Kecamatan Luyo Kabupaten
Polewali Mandar. Case Fatality Rate yang selanjutnya di singkat CFR
dengan 1,3 % artinya jika dalam hitungan populasi penderita yaitu tiap
100 penderita diare cenderung ditemukan 1-2 penderita diare yang
berlanjut pada dehidrasi dan kemudian mengakibatkan kematian atau
juga setiap 50 penderita ada satu kematian diare karena dehidrasi.
49
Penghitungan Indikator Cakupan Pelayanan Diare
1. Perkiraan penderita diare
Hasil dari penghitungan berguna untuk menghitung capaian program
disamping juga untuk nantinya dalam perencanaan kebutuhan obat
penunjang diare. Perkiraan penderita diare adalah Angka diare (insidens) x
jumlah penduduk dalam 1th.Insidens adalah angka kesakitan diare baru
(golongan balita) per tahun, yang didapatkandari hasil survey depkes. Untuk
tahun 2011 insidens yang dipakai adalah 411 / 1000 penduduk *)
2. Angka Penemuan Penderita
> Target penemuan penderita adalah 10 % dari perkiraan penderita dalam 1
tahun
3. Cakupan pelayanan
Merupakan prosentase jumlah penderita diare yang dilayani dalam1
tahun dibagi dengan target penemuan penderita pada tahun yang sama.
Contoh Kasus: Jumlah penduduk di wilayah Puskesmas 2011 =
30.000 penduduk. Jumlah kasus diare pada tahun 2011 = 1.000 penderita.
Hitung cakupan pelayanan penderita diare ??
Penyelesaian :
1) Hitung Perkiraan Penderita = insidens diare x jumlah penduduk
= 411 / 1000 x 30.000 penduduk = 12.330 penderita
2) Hitung target penemuan penderita = 10 % x jumlah perkiraan penderita
50
51
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Etiologi penyakit
Secara klinis penyebab diare adalah virus,bakteri,protozoa dan
Helminths tetapi yang sering ditemukan di lapangam ataupun klinis
adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan.
2. Masa inkubasi dan penularan penyakit diare
Masa inkubasi diare dipengaruhi oleh jenis mikroorganisme yang
mengkontaminasi
3. gejala dan tanda penyakit diare serta cara diagnosisnya
a. Gejala diare akut : Fase prodromal, fase diare dan fase
pemulihan
b. Diagnosis diare dilakukan dengan kultur fases
4. Transmisi penyakit diare
a. Air merupakan media transmisi penyakit diare sehingga disebut
water borne disease
b. Transmisi diare dipengaruhi oleh faktor-faktor yang antara lain:
faktor penyebaran kuman, faktor manusia yang meningkatkan
kerentanan, dan faktor lingkungan
c. Secara umum, penyakit fekal oral seperti diare dapat menyebar
melalui berbagai cara serta media transmisi antara lain melalui
tangan yang terkontaminasi, perabot yang tidak bersih, air
cucian yang mengandung agen, lalat, dan lainnya
5. Riwayat alamiah penyakit diare
Riwayat alamiah penyakit diare dibagi kedalam tahap patogenesis dan
tahap klinis
6. Cara pengobatan diare
52
Dalam garis besarnya pengobatan diare dapat dibagi dalam pengobatan
kausal, pengobatan simtomatik, pengobatan cairan, pengobatan
dietetik
7. perkembangan penyakit diare di Indonesia
a. Penyakit diare di Indonesia sampai saat ini masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat.
b. Kejadian diare pada bayi dan balita lebih banyak ditemukan
dibandingkan dengan kelompok umur lainnya
c. Kasus kematian bayi di Indonesia ini, kematian bayi di
Indonesia disebabkan oleh penyakit diare
8. Faktor yang berhubungan dengan penyakit diare
Faktor yang berhubungan dengan penyakit diare : faktor infeksi, faktor
umur, faktor status gizi, faktor lingkungan, dan faktor susunan
makanan
9. Cara pencegahan penyakit diare
Penularannya dapat dicegah dengan cara sebagai berikut: Menjaga
higiene pribadi yang baik , vaksinasi, hindari makan makanan yang
terlalu pedas dan asam, Menjaga kondisi tubuh dengan olah raga dan
minum air 8-12 kali sehari
10. Gambaran epidemiologi penyakit diare secara umum
a. Distribusi penyebaran diare dipengaruhi oleh faktor orang,
tempat dan waktu
b. Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh
dunia
11. Gambaran epidemiologi diare di Indonesia
Di Indonesia dapat ditemukan sekitar 60 juta kejadian setiap
tahunnya, sebagian besar (70-80%) dari penderita ini adalah Anak di
bawah Lima Tahun (BALITA)
12. Tujuan P3M diare
Tujuan program pemberantasan diare adalah menurunkan angka
kematian dan kesakitan pada bayi dan balita yang disebabkan oleh
penyakit diare
53
13. Strategi P3M diare
Adapun Strategi pemberantasan penyakit diare, adalah:
1) Advokasi, melaksanakan pendekatan kepada para pengambil
keputusan sesuai tingkat administratif pelaksana program baik
lintas program maupun sektor guna mendukung pelaksanaan
program pemberantasan penyakit diare
2) Melaksanakan upaya untuk mengembangkan norma hidup
sehat di masyarakat untuk mendapatkan social support dalam
komunikasi pemberantasan penyakit diare;
3) Mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan
masyarakat dalam melaksanakan tatalaksana penderita diare
dan pencegahan diare atau empowerment (Depkes RI, 2007).
14. Ukuran epidemiologi pakai
o Tingkat kesakitan : prevelence, insidensi, tingkat serbuan,
proporsi
o Tingkat kematian : Cause-spesific Mortality Rate, Crude
Mortality (true) Rate, Tingkat Kefatalan (Case Fatality Rate)
o Penghitungan Indikator Cakupan Pelayanan Diare : Perkiraan
penderita diare, Angka Penemuan Penderita, Cakupan
pelayanan
B. SARAN
1. Diharapkan bagi instansi kesehatan terutama puskesmas dapat
melakukan peningkatan perbaikan sarana air bersih, fasilitas jamban
sehat serta mengupayakan peningkatan program penyehatan
lingkungan dan penanganan kualitas air bersih secara agar kejadian
diare dapat dikurangi
2. Masyarakat sebaiknya melakukan tindakan pencegahan terjadinya
diare dengan menjaga kebersihan lingkungan dan melakukan
pengolahan air sampai mendidih sebelum air dikonsumsi.
54
DAFTAR PUSTAKA
A.H. Markum, 1991, Buku Ajar Kesehatan Anak, jilid I, Penerbit FKUI
Aswitha Boediarso, Suharyono, EM Halimun, 1988, Gastroenterologi Anak
Praktis, Balai Penerbit FK UI, Jakarta
Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL,
Henry NK, et al editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious
Disease. New York: Lange Medical Books, 2003. 225 - 68.
Goldfinger SE : Constipation, Diarrhea, and Disturbances of Anorectal
Function, In : Braunwald, E, Isselbacher, K.J, Petersdorf, R.G, Wilson, J.D,
Martin, J.B, Fauci AS (Eds) : Harrison’s Principles of Internal Medicine, 11th
Ed. McGraw-Hill Book Company, New York, 1987, 177 – 80.
Depkes RI. 2009. Buku Pedoman Pengendalian Penyakit Diare;
Depkes RI. 2010, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
HK.03.01/160/I/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
Tahun 2010;
Depkes RI. 2001, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor1
216/Menkes/SK/X1/2001 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare;
Depkes RI. 2008, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
852/Menkes/SK/IX/2009 tentang Strategi Nasional Total Berbasis
Masyarakat
55
http://dinkessulsel.go.id/new/images/pdf/pedoman/pedoman%20tatalaksana
%20diare.pdf
http://eprints.undip.ac.id/33641/3/Bab_2.pdf
http://eprints.undip.ac.id/37538/1/Festy_G2A008082_Lap_kti.pdf
Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell
JH, editors. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2nd
edition. New York: Lange Medical Books, 2003. 131 - 50
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Panti Rapih. 2013. Diare. http://pantirapih.or.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=174:diare&catid=54:kesehatan-ibu-
dan-anak&Itemid=99. Diakses pada 10 Mei 2013
Pitisuttithum P : Acute Dysentry, DTM&H Course 2002, Faculty of Tropical
Medicine, Mahidol University, Bangkok, Thailand.
Price & Wilson 1995, Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
Buku 1, Ed.4, EGC, Jakarta
Procop GW, Cockerill F. Vibrio & Campylobacter. In: Wilson WR, Drew
WL, Henry NK, et al, Editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious
Disease, New York: Lange Medical Books, 2003. 603 - 13.
Procop GW, Cockerill F. Enteritis Caused by Escherichia coli & Shigella &
Salmonella Species. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,et al, Editors.
Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease, New York: Lange
Medical Books, 2003. 584 - 66.
56
Sirivichayakul C : Acute Diarrhea in Children, In : Tropical Pediatrics for
DTM&H 2002, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol Univesity, Bangkok,
Thailand,1-13.
Soetjiningsih 1998, Tumbuh Kembang Anak, EGC, Jakarta
Soeparman & Waspadji, 1990, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Ed. Ke-3, BP
FKUI, Jakarta.
Sudaryat, S., 2010, Gastroenterologi Anak Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas UNUD;
Suharyono, 1986, Diare Akut, lembaga Penerbit Fakultas Kedokteran UI,
Jakarta
Talang Kab. Solok Prop. Sumbar.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31798. diakses pada 14 Mei
2013
Tantivanich S : Viruses Causing Diarrhea, DTM&H Course 2002, Faculty of
Tropical Medicine, Mahidol University, Bangkok, Thailand.
Whaley & Wong, 1995, Nursing Care of Infants and Children, fifth edition,
Clarinda company, USA.
Zulhendri. 2002. Gambaran Epidemiologi Penyakit Diare Pada Balita di
Puskesmas
57