Makalah hubungan antarpribadi
Click here to load reader
Transcript of Makalah hubungan antarpribadi
DAFTAR ISI
Daftar Isi…………………………………………………………………...1
KATA PENGANTAR……………………………………………………..3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….4
1.1 Latar Belakang……………………………………….………….4
BAB II PEMBAHASAN………..…………………………..…………...…6
2.1 Kebutuhan Afiliasi (NAFF)…..…………………………..……..6
2.1.1 Hipotesis Rasa Memiliki………………………………6
2.1.2 Hipotesis Penahan Stres……………………………….7
2.2 Komunikasi Antarpribadi………...……………………………..8
2.3 Prinsip-Prinsip Ketertarikan………….………………………....9
2.3.1 Kedekatan……………………………………………..9
2.3.2 Daya Tarik Fisik……………………………………..10
2.3.3 Kesamaan…………………………………………….11
2.3.4 Ketimbalbalikan……………………………………...12
2.4 Hubungan dengan Orang yang Belum Dikenal………………..13
2.5 Hubungan Romantis………………………………………...…14
2.5.1 Cinta………………………………………………….14
2.6 Pernikahan…………………………………………………..…15
2.7 Gangguan Pada Hubungan…………………………………….15
2.7.1 Dampak Putus Hubungan……………………………16
2.7.2 Kesepian……………………………………………..16
1
BAB III KESIMPULAN………………………………………………....18
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………......19
2
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur selalu tercurah kepada Allah Tuhan semesta
alam, yang telah memberikan nikmatNya kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa pula shalawat serta salam selalu
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada seluruh sahabat, keluarga,
serta pengikutnya hingga akhir zaman.
Tak lupa penulis ucapkan kepada :
1. Ibu Laila Meiliyandrie Indah Wardani, Ph.D, selaku dosen
mata kuliah psikologi sosial yang telah memberikan waktu
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai
waktu yang telah di tentukan.
2. Keluarga dari penulis, yang telah banyak memberikan
motivasi, dorongan secara moral maupun material dan doa
3. Teman-teman sekelas, yang sama-sama sedang berjuang dan
terus belajar untuk mengembangkan kemampuan di dalam
dirinya masing-masing.
Akhir kata, penulis dengan ikhlas menerima kritik dan saran dari
pembaca, agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi dalam pembuatan karya
berikutnya.
Semoga saja karya penulis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
khusunya bagi para pembaca.
PENULIS
14 Juni 2014
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Psikologi sosial termasuk salah satu ilmu yang baru berkembang,
sehingga akhirnya definisi dari psikologi sosial itu sendiri sangat luas
maknanya. Banyaknya literatur maupun tokoh yang mengemukakan
mengenai definisi psikologi sosial itu sendiri, mampu membuat kita
memahami makna dan definisi dari psikologi sosial itu sendiri sesuai
dengan penelitian maupun pelajaran terkait ilmu ini.
Oleh karenanya, berkembangnya ilmu psikologi sosial juga
berkaitan erat dengan berkembangnya tingkah laku dalam bermasyarakat.
Semakin tinggi perubahan yang terjadi dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi, sedikit banyak juga mempengaruhi pola interaksi yang berlaku
dalam bermasyarakat. Contoh kasus ini lah yang membuat psikologi sosial
terus bergerak menuju perubahan zaman dan disesuaikan dengan kondisi
yang terjadi saat ini.
Apabila dilihat dari pola interaksi masyarakat saat ini, mereka sudah
hampir melupakan kelekatan yang terjadi diantara sesamanya. Mudahnya
akses internet yang ada membuat mereka terhubung sangat dekat, namun
sekaligus menjauhkan kelekatan itu sendiri. Ini akhirnya menjadi sebuah
fenomena yang cukup serius, karena dilihat dari sikapnya, manusia mulai
lebih mementingkan individualistik dan melupakan kebersamaan. Asumsi
dasar ini mulai lahir dari kebutuhan-kebutuhan kejiwaan setiap individu
dalam berhubungan dengan orang lain.
Akhirnya, psikologi sosial mencoba merangkum dan menjabarkan
setiap fenomena yang ada beserta masalah yang terkandung didalamnya.
4
Dan diharapkan juga bahwa psikologi sosial mampu menjawab segala
permasalahan tersebut. Sehingga keselarasan tetap terjalin di antara setiap
individu meskipun zaman terus berubah. Karena tidak mungkin juga
manusia menghentikan perubahan itu, atau memilih untuk tidak
mengikutinya. Maka, membangun sikap yang benar dalam mengikuti
perkembangan zaman dan problematika yang ada, menjadi salah satu
tanggungan bagi para psikolog sosial.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kebutuhan Afiliasi (NAFF)
Materi mengenai hubungan antarpribadi dimulai dengan adanya
kebutuhan setiap manusia untuk berafiliasi. Biasa disebut juga dengan
NAFF (need of affiliation). Yang mana setiap manusia berharap mampu
berhubungan dengan sesama manusia lainnya secara bersahabat dan
kooperatif. Dalam penjelasan mengenai kebutuhan berafiliasi ini terdapat
dua hipotesis besar, hipotesis rasa memiliki, dan hipotesis penahan stres.
2.1.1 Hipotesis Rasa Memiliki
Banyak peneliti yang mengklaim memiliki bukti yang mendukung
hipotesis rasa memiliki, yang menyatakan bahwa “kebutuhan untuk
memiliki adalah motivasi yang kuat, mendasar, dan sangat pervasif”
(Baumeister & Leary, dalam Mercer & Clayton, 2012: 164). Adapun dalil
ini didasari oleh dua sebab, pertama, penelitian yang menyelidiki gaya
kelekatan pada bayi hewan dan manusia. Kedua penelitian pada orang-orang
dewasa yang menunjukkan efek-efek negatif pengucilan sosial jangka
pendek dan pengasingan jangka panjang.
Dalam sebuah penelitian pada tahun 1969 yang dilakukan oleh
Bowlby dan diperbaharui pada tahun 1978 oleh Ainsworth, Blehar, Watess
dan Wall tentang deprivasi maternal menunjukkan, dorongan bawaan untuk
afiliasi yang tetap kita miliki sepanjang hidup. Pernyataan ini didukung oelh
sejumlah penelitian yang mengemukakan bukti tentang “bayi yang baru
lahir memiliki kecenderungan melihat ke arah wajah yang mereka sukai
ketimbang stimuli lain (Mondloch, dalam Mercer & Clayton, 2012: 164).
Selanjutnya diperkuat dengan adanya studi-studi observasional yang
6
menunjukkan bahwa bayi mempertahankan kedekatan fisik dengan ibu atau
memulihkannya jika kedekatan tersebut terputus. Dalam penelitian ini
menunjukkan munculnya konsekuensi-konsekuensi negatif jika kebutuhan
untuk kontak sosial ini tidak terpenuhi secara layak. Deprivasi sosial dalam
jangka panjang pada anak-anak dapat mengakibatkan trauma psikologis dan
gaya berhubungan dekat mereka di masa dewasa kelak.
Pengucilan sosial telah diteliti melalui manipulasi-manipulasi
eksperimental berupa penolakan jangka pendek dan studi-studi korelasional
tentang rasa kesepian yang dilaporkan sendiri, yang mana berupa akibat dari
pengasingan jangka panjang. Dan dari beberapa penelitian tersebut
didapatkan hasil yang negatif apabila “kebutuhan afiliasi” seorang individu
tidak terpenuhi. Meski begitu, beberapa peneliti berargumen bahwa
pengucilan sosial dapat memotivasi individu untuk berafiliasi dan
berhubungan kembali dengan orang-orang di sekitar mereka (Maner,
DeWall, Baumeister & Shaller, 2007). Namun, efek dari pengucilan sosial
pada emosi, setelah diperdebatkan dan disertai beberapa bukti bahwa
pengucilan sosial mengakibatkan afek negatif, dan juga dapat menunjukkan
afek yang menumpulkan emosi. Dijelaskan pula, bahwa tidak ada
kesepakatan diantara penulis mengenai apakah penolakan memengaruhi
harga diri. Bahkan dua analisis meta-analisis yang dilakukan pada waktu
yang sama menghasilkan kesimpulan yang berbeda terkait hubungan antara
penolakan dan harga diri (Blackheart, Nelson, Knowles & Baumeister,
2009; Gerber & Wheeler, 2009)
2.1.2 Hipotesis Penahan Stres
Hipotesis ini berpendapat bahwa dukungan sosial membantu kita
menilai suatu peristiwa penuh stress dan merumuskan strategi-strategi untuk
mengatasinya. Terkait hal ini, banyak penelitian yang menunjukkan peran
dukungan sosial dengan menggunakan paradigma eksperimental
(dikembangkan dari studi klasik Schacter tahun 1959). Dalam penelitian ini,
para peserta yang berada dalam kondisi kecemasan tinggi, diminta untuk
memilih apakah mereka mau berinteraksi dengan orang lain atau tidak.
7
Dari banyak temuan dalam skenario ini, kita mencari teman yang
sama dengan diri kita atau yang berada dalam suatu situasi yang sama.
Terdapat dua penjelasan utama untuk NAFF kita dalam situasi-situasi penuh
stress:
• Perbandingan Sosial. Membahas situasi yang kita hadapi dengan
orang lain memberi kita “kejernihan kognitif”— membantu kita
mengambil keputusan-keputusan tentang apa yang harus dilakukan
— dan “kejernihan emosional”— member kita pemahaman yang
lebih baik tentang perasaan-perasaan kita sendiri dan bagaimana
mengatasinya.
• Teori manajemen terror. Afiliasi meningkatkan harga diri dan
mengurangi terror tentang keniscayaan kematian. (Mercer &
Clayton, 2012:166)
2.2 Komunikasi Antarpribadi
Setelah membahas mengenai kebutuhan dasar manusia untuk
berafiliasi, kini kita akan membahas mengenai komunikasi antarpribadi.
Sebagai makhluk sosial, setiap manusia membutuhkan komunikasi terhadap
sesamanya, dan komunikasi salah satu cara agar kebutuhan berafiliasi itu
terwujud. Dalam komunikasi salah satu pihak menyampaikan pesan atau
biasa disebut juga pengirim/transmitter atau komunikator, kemudian pihak
yang menerima disebut receiver atau komunikan. Dan isi pesan atau
pembicaraan adalah pesan (komunike). Maka dari itu, syarat komunikasi
dapat berjalan dengan baik paling tidak memerlukan dua pihak.
Sedangkan menurut Hartley, dalam Sarwono (2002:193), “ada
berbagai jenis komunikasi, yaitu antara individu dan individu, antara
individu dan massa, dan antara kelompok dengan massa, yang masing-
masing dapat berlangsung secara tatap muka, atau dengan bantuan alat atau
teknologi(telepon, radio, tv, film, dan sebagainya).” Namun komunikasi
antarindividu yang paling efektif dan paling lengkap mengandung berbagai
faktor psikologis adalah komunikasi langsung/tatap muka. Komunikasi
8
bertatap muka menurut Hartley dalam Sarwono (2002:193) “mengandung
berbagai aspek. Pertama, tatap muka itu sendiri yang membedakannya dari
komunikasi jarak jauh atau komunikasi dengan alat. Dalam komunikasi
tatap muka ada peran yang harus dijalankan oleh masing-masing pihak dan
peran itu merupakan bagian dari proses komunikasi itu sendiri. Dalam hal
ini diperlukan saling percaya, saling terbuka, dan saling suka antara kedua
pihak agar terjadi komunikasi. Aspek lain, yaitu adanya hubungan dua arah.
Komunikasi tatap muka berbeda dari warta berita di tv atau radio karena
kedua pihak dapat saling menukar pesan. Dengan pertukaran pesan, terjadi
saling mengerti akan makna atau arti dari pesan itu. Jadi, dalam komunikasi
yang penting bukanlah pesannya semata, tetapi arti (meaning) dari pesan
itu.”
Selain itu juga terdapat komunikasi noninterpersonal, atau
komunikasi karena terpaksa. Dalam hal ini, kematangan kepribadian lebih
siap menerima berbagai peran dari pasangan komunikasinya (Kabul dalam
Sarwono, 2002:194). Ada pula kriteria dimengertinya pesan, yaitu adanya
kepuasan dan saling pengertian dalam interaksi yang bersangkutan. Apabila
sudah didapatkan kepuasan dari kedua belah pihak maka bisa disimpulkan
bahwa komunikasi antara kedua orang belah pihak sudah tercapai.
Kemudian setelah makna atau arti dari komunikas tatap muka, ada juga niat,
kehendak atau intense dari kedua pihak.
Menurut Monsour dalam Sarwono (2002:195), “adanya intense
untuk saling berkomunikasi akan mempercepat proses guna mencapai saling
pengertian secara kognitif dalam komunikasi antarpribadi.” Proses yang
terjadi terkadang berkaitan dengan waktu, seperti membutuhkan waktu.
Untuk mendapatkan pengertian yang semakin tinggi berbanding lurus
dengan waktu yang cukup lama.
2.3 Prinsip-Prinsip Ketertarikan
Kemudian, setelah kita membahas mengenai komunikasi dan dasar
kebutuhan manusia dalam berafiliasi. Kita akan memasuki bagian tentang
9
dengan siapa kita akan menjalin hubungan. Apa yang menyebabkan kita
menjalin hubungan dengan orang tersebut dan apa yang menyebabkan kita
memilih untuk berhubungan dengan dia.
2.3.1 Kedekatan
Dalam sebuah interaksi ada yang disebut dengan efek keakraban
(propinquity effect) yaitu orang-orang yang paling sering ditemui dan
dengan siapa ia paling sering berinteraksi adalah yang paling mungkin
menjadi teman atau kekasih. Dalam beberapa penelitian klasik disebutkan
seberapa penting kedekatan sebagai fasilitator ketertarikan. Hal ini
menunjukkan bahwa efek keakraban lebih bisa menjadi cerminan jarak
fungsional ketimbang jarak geografis. Artinya, hubungan itu bisa bermula
bukan karena tinggal berdekatan dengan orang tersebut, tapi dengan
seberapa sering kemungkinan mereka bertemu secara rutin.
Efek keakraban bekerja melalui meningkatnya familiaritas,
keberadaan, dan ekspektasi-ekspektasi bagi interaksi yang berkelanjutan.
Ada dua pandangan mengenai hal ini, yang pertama dari para psikolog
evolusioner, merekaa berpendapat bahwa akan adaptif bagi para leluhur
untu waspada terhadap segala sesuatu yang tidak dikenal dengan baik. Lain
halnya dengan yang disebutkan dalam perspektif kognitif, bahwa interaksi
memungkinkan orang untuk menggali kesamaan-kesamaan mereka dan
merasa saling menyukai.
2.3.2 Daya Tarik Fisik
Sejumlah besar penelitian menunjukkan bahwa ketertarikan fisik
merupakan faktor utama dalam ketertarikan awal. Dikutip dari Buss dalam
Mercer & Clayton (2012: 169), para teoris evolusioner berpendapat bahwa
kita memilih pasangan yang menarik guna meningkatkan peluang
keberlangsungan hidup gen kita. Sejumlah poin dikemukakan untuk
mendukung pendapat evolusioner ini:
10
• Orang yang menarik bernasib lebih baik dalam hidup, mereka
menilai secara lebih positif, memiliki harga diri yang lebih tinggi,
gaji yang lebih tinggi, serta kesehatan fisik dan mental yang lebih
baik
• Individu-individu, terlepas dari ras, kelas, dan umur, memiliki rasa
yang sama tentang apa yang dianggap menarik
• Sifat-sifat yang kita anggap menarik mungkin merupakan indicator
kesuburan dan kesehatan
• Sejak usia sangat dini, bayi lebih menyukai wajah yang menarik
(diukur dengan lama waktu dalam memandangi foto).
Namun, bukan berarti bahwa setiap orang akan memilih pasangan
kencan yang paling menarik, adapun mereka akhirnya akan memilih sesuai
dengan tingkat daya tarik mereka sendiri. Perspektif evolusioner juga
menunjuk kepada perbedaan gender, bahwa laki-laki dianggap lebih
menghargai daya tarik fisik dari pada perempuan. Namun, biar
bagaimanapun laki-laki maupun perempuan sesungguhnya sama-sama
memilih pasangan yang lebih menarik.
2.3.3 Kesamaan
Salah satu temuan yang paling kuat dalam penelitian ketertarikan
antarpribadi adalah bahwa kita tertarik pada mereka yang sama dengan diri
kita—efek keterterikan-kesamaan (SAE— similarity attraction of effect)
(Byrne, dalam Mercer & Clayton, 2012:170). Kebanyakan dari kita akan
tertarik kepada orang yang lebih banyak memiliki kesamaan dengan kita,
entah itu kesamaan sikap, kepribadian, kegemaran, aktifitas, ataupun
demografi. Lebih jauh dari itu, menurut penelitian, semakin besar kesamaan
antara suami-istri, semakin bahagia mereka dan semakin kecil kemungkinan
untuk bercerai.
Dalam teori kognitif, berpendapat bahwa kesamaan memberikan
suatu rasa familiaritas. Berhubungan dengan orang yang sama dengan diri
11
kita mampu membenarkan sudut pandang kita dan meningkatkan harga diri.
Dikutip dalam buku Psikologi Sosial karya Mercer & Clayton (2012:170),
disebutkan bahwa terdapat bias konsensus semu, bias ini menyatakan bahwa
kita berasumsi orang lain memiliki sikap yang sama dengan diri kita. Ketika
kita mendapati bahwa seseorang memiliki sikap yang tidak sama, kita
mungkin tidak menyukai orang tersebut, karena ketidaksamaan itu akan
menimbulkan masalah dengan konsistensi kognitif. Ini pula yang
menjelaskan mengapa akhirnya kita menjadi, atau Nampak menjadi,
semakin sama dengan pasangan kita seiring waktu.
Jones, Pelham, Carvallo, dan Mirenberg (2004) mengajukan teori
egotism implisit, yang menyatakan bahwa orang secara umum melihat diri
mereka secara positif, sehingga apapun yang mengingatkan pada diri sendiri
dapat memicu asosiasi-asosiasi positif yang otomatis. Teori identitas sosial
(Tajfel dalam Mercer & Clayton, 2012:171) menyatakan bahwa orang yang
mengategorikan diri mereka dan orang lain sebagai amggota berbagai
kategori sosial membentuk identitas dengan kelompok-kelompok sosial
spesifik.
Namun, walau begitu kita tidak dapat menyatakan fenomena SAE
ersifat universal, adapun alasannya sebagai berikut:
• Tidak terdapat penjelasan gamblang terkait mekanisme yang
berperan dalam efek kesamaan
• Kebanyakan penelitian dilakukan di sekitar kampus-kampus
Universitas di Amerika.
2.3.4 Ketimbalbalikan
Premis dasar ketimbal balikan yaitu “ kita akan menyukai orang-
orang yang menyukai kita”. Di sini terlihat bahwa harga diri merupakan
moderator utama efek ini. Individu-individu yang memiliki harga diri tinggi
kurang terpengaruh oleh respons-respons orang lain. “Hipotesis untung rugi
menyatakan bahwa kita akan tertarik pada mereka yang awalnya tidak
12
menyukai kita, namun kemudian secara bertahap mulai menyukai kita.”
(Mercer & Clayton, 2012:171).
Kenny dalam Mercer & Clayton (2012:171), membedakan dua tipe
ketimbalbalikan: rasa suka timbal-balik umum dan rasa suka timbal-balik
diadik. Bukti bagi rasa suka timbal-balik diadik tampaknya lebih dapat
diandalkan, sedangkan bukti bagi rasa suka timbal-balik umum tidak
konsisten.
2.4 Hubungan dengan Orang yang Belum Dikenal
Dalam judul kali ini sudah sedikit disinggung dalam judul yang
sebelumnya terkait kedekatan. Bahwasanya pertemuan yang berulang,
sejauh reaksi yang didapatkan pertama kali tidak terlalu negatif, maka itu
termasuk faktor utama yang memudahkan komunikasi berlangsung. Karena
pertemuan yang berulang tersebut mampu mengurangi kecemasan dan
adanya pembiasaan terhadap orang asing yang baru ditemui sehingga dapat
berhubungan lebih baik. Oleh sebab itu, faktor kedekatan fisik juga salah
satu faktor penting dalam peningkatan hubungan.
Selain itu, kedekatan fungsional juga penting, bukan hanya
kedekatan fisik. Bahkan dalam sebuah eksperimen lain membuktikan
bahwa yang dijumpai sambil lalu dapat lebih diingat daripada yang harus
dijumpai dengan penuh perhatian dan kesengajaan (Bornstein & D’Agostino
dalam Sarwono, 2002:198). Dalam hal ini, Zajonc menerangkan bahwa
emosi lebih primitif dan ada lebih dahulu dari akal atau rasio. Maka dari itu,
orang yang merasa takut, gugup, atau cemas saat bertemu dengan orang
baru bertemu atau yang belum dikenal bukan dikarenakan terdapat
prasangka-prsanagka, namun prasangka itulah yang kemudian
dikembangkan untuk menjelaskan emosi-emosi yang timbul.
Setelah kedekatan adapula afek yang akan berpengaruh terhadap
orang yang baru atau belum dikenal. Di pihak lain, interaksi antarpribadi
juga dapat mempengaruhi afek seseorang. Entah itu positif atau negatif,
tidak selalu bisa diprediksikan.
13
2.5 Hubungan Romantis
Pertemuan yang berulang, kedekatan yang intens, dan komunikasi
yang sering terjadi diantara dua individu dapat menimbulkan perasaan cinta
dan kasih sayang. Jika semula diantara keduanya tidak terdapat perasaan
apapun, seiring dengan berjalannya waktu hubungan tersebut berubah
menjadi hubungan yang lebih dekat lagi bahkan bisa menjadi sepasang
kekasih. Biasanya disebut juga hubungan romantik yang kelak hubungan ini
bisa berubah menjadi sebuah ikatan pernikahan.
2.5.1 Cinta
Menurut Izard dalam Sarwono (2012:71), cinta dapat mendatangkan
segala jenis emosi, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan.
Dalam teorinya, Stenberg (dalam Sarwono, 2012:71) mengemukakan bahwa
cinta memiliki tiga dimensi, yaitu hasrat (passion), keintiman (intimacy),
dan komitmen/keputusan (commitment/decision).
• Hasrat
Dimensi ini menekankan pada intensnya perasaan serta perasaan
(keterbangkitan) yang muncul dari daya tarik fisik dan daya tarik
seksual. Pada jenis ini, seseorang mengalami ketertarikan fisik
secara nyata, selalu memikirkan orang yang dicintainya sepanjang
waktu, melakukan kontak mata secara intens saat bertemu,
mengalami perasaan indah seperti melambung ke udara, mengagumi
dan terpesona dengan pasangan, detak jantung meningkat,
mengalami perasaan sejahtera, ingin selalu bersama pasangan yang
dicintai, memiliki energy yang besar untuk melakukan sesuatu demi
pasangan mereka, merasakan adanya kesamaan dalam banyak hal,
serta tentu saja merasa sangat bahagia.
• Keintiman
14
Dimensi ini tertuju pada kedekatan perasaan antara dua orang dan
kekuatan yang mengikat mereka untuk bersama. Sebuah hubungan
akan mencapai keintiman emosional jika kedua belah pihak saling
mengerti, terbuka, dan saling mendukung, serta bisa berbicara apa
pun tanpa merasa takut ditolak. Mereka mampu untuk saling
memaafkan dan menerima, khusunya ketika mereka tidak
sependapat atau berbuat kesalahan.
• Komitmen/Keputusan
Pada dimensi ini, seseorang berkeputusan untuk tetap bersama
dengan seorang pasangan dalam hidupnya. Komitmen dapat
bermakna mencurahkan perhatian, melakukan sesuatu untuk
menjaga suatu hubungan tetap langgeng, melindungi hubungan
tersebut dari bahaya, serta memperbaiki bila hubungan dalam
keadaan kritis.
2.6 Pernikahan
Pernikahan adalah sebuah komitmen yang serius antarpasangan, dan
dengan mengadakan pesta pernikahan, berarti secara sosial diakui bahwa
saat itu pasangan telah resmi menjadi suami istri. Duvall & Miller dalam
Sarwono (2012:73), menjelaskan bahwa pernikahan adalah hubungan pria
dan wanita yang diakui secara sosial, yang ditujukan untuk melegalkan
hubungan seksual, melegitimasi membesarkan anak, dan membangun
pembagian peran diantara sesama pasangan.
Pernikahan adalah puncak dari hubungan intim antarjenis. Di dalam
perkawinan kedua belah pihak saling membagi pengalaman dan perasaan
serta pikiran, sehingga akhirnya pasangan-pasangan yang sudah menikah
cukup lama mempunyai kemiripan dalam sikap, nilai-nilai, minat, dan sifat
(Pearson & Lee dalam Sarwono, 2002:220)
2.7 Gangguan Pada Hubungan
15
Sumber-sumber yang konflik yang dapat mengganggu hubungan
antarpribadi, antara lain adalah perilaku-perilaku tertentu seperti tidak dapat
dipercaya, watak yang tidak menyenangkan, emosi yang tidak stabil,
ketidaksamaan yang terungkap dalam sikap, kebiasaan, nilai, dan
sebagainya, kebosanan, kata-kata dan perbuatan yang positif mulai diganti
dengan yang negative, dan saling menyalahkan. (Sarwono, 2002:222)
2.7.1 Dampak Putus Hubungan
Putusnya hubungan antapribadi dapat menimbulkan perasaan
bersalah. Jika yang putus itu adalah hubungan percintaan, dampaknya lebih
berat daripada hubungan persahabatan. Putus hubungan cinta dapat
menimbulkan perasaan tidak tenang dan selalu menimbulkan perasaan sakit
hati dan kemarahan(Rose dalam Sarwono, 2002:222). Dalam hal ini, jika
sudah ada alternatif lain atau hubungan antarpribadi lainnya yang setara
sebagai pengganti, dampaknya tidak terlalu berat daripada jika hubungan itu
putus begitu saja(Jemmot, Ashby & Lindenfeld dalam Sarwono, 2002:222).
2.7.2 Kesepian
Sisi lain dari hubungan antarpribadi adalah kesepian (loneliness).
Kesepian adalah perasaan yang timbul jika harapan untuk terlibat dalam
hubungan yang akrab dengan seseorang tidak tercapai (Peplau&Perlman
dalam Sarwono, 2002:223). Karena sifatnya yang bersifat yang berupa
perasaan, kesepian bersifat subjektif. Ia harus dibedakan dari pengertian
kesendirian. Kesendirian lebih bersifat fisik objektif, yaitu suatu keadaan
dimana seseorang sedang tidak bersama orang lain.
Dalam hubungan inilah dapat dimengerti bahwa masa remaja adalah
masa yang penuh kemungkinan terjadinya kesepian, karena remaja
mengalami berbagai proses perpisahan dalam tempo yang singkat. Seperti
pindah sekolah, lulus kuliah, pergi dari orang tua, putus dari pacar,
dikhianati sahabat, dan lain sebagainya dalam rangka pencarian jati
diri(Brennan dalam Sarwono, 2002:225). Salah satu akibat dari rasa
kesepian pada remaja ini adalah keputusasaan, sehingga di berbagai
16
lingkungan budaya cukup sering terjadi remaja yang bunuh diri. Untuk
mengatasi keputusasaan itu diperlukan keterampilan sosial yang baik, yang
tidak dimiliki oleh setiap orang (Sarwono, 2002:225).
Mereka yang tidak mempunyai cukup keterampilan sosial seperti
kurang dapat bergaul, biasanya melarikan diri ke khayalannya sendiri
(menjadi pelamun) atau menjadi peminum alkohol atau penyalahgunaan
obat(Revenson dalam Sarwono, 2002:225). Sebagian yang lain lari ke
music, tetapi hasilnya malah semakin depresi (Davis&Kraus dalam
Sarwono, 2002:225).
17
BAB III
KESIMPULAN
Psikologi social membahas mengenai hubungan antara manusia
dengan manusia lainnya dan kaitannya saat mereka berinteraksi dengan
sesame di lingkungan social. Hubungan antarpribadi berbicara mengenai
sikap seseorang saat ia harus berhadapan dengan orang yang belum dikenal,
bagaimana reaksinya, apa yang akan terjadi dan bagaimana ia menyikapi
perasaannya tersebut. Kemudian hubungan tersebut menjadi lebih dekat dan
lebih baik jika perasaan pertama yang timbul bersifat postif. Jika sebaliknya,
maka kemungkinan hubungan itu tidka akan berlanjut ke hubungan yang
lebih jauh lagi.
Setelah itu dilanjut kepada pernikahan yang membawa pada sebuah
komitmen diantara dua individu. Komitmen yang membuat hubungan
mereka menjadi lebih kompleks untuk dipertahankan dan diperkuat. Namun,
sebuah hubungan bisa memiliki akhir jika terdapat perilaku-perilaku yang
membuta hubungan merenggang dan hubungan tersebut akhirnya berakhir.
18
DAFTAR PUSTAKA
Blackheart, G. C., Nelson, B. C., Knowles, M. L., & Baumeister, R. F.
2009. Rejection elicits emotional reactions but nether causes
immediate distress nor lowers sel-esteem: A meta-analytical review
of 192 studies of social exclusion. Personality and Social
Psychology Review, 13, 269-309.
Maner, J. K., DeWall, C. N., Baumeister, R. F., & Shaller, M. 2007. Does
social exclusion motivate interpersonal reconnection?: Resolving the
‘porcupine problem’. Journal of Personality and Social Psychology,
9(1) 422-455.
Mercer, Jenny dan Debbie Clayton. 2012. Psikologi Sosial (Terjemahan).
Jakarta: Penerbit Erlangga
Sarwono, Sarlito W. dan Eko A. Meinarno. 2012. Psikologi Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika
Sarwono, Sarlito W. 2002. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori
Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka
19