kortikosteroid.doc

download kortikosteroid.doc

of 9

description

kortikosteroid

Transcript of kortikosteroid.doc

ADRENOKORTIKOSTEROID

Mekanisme KerjaKortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Seperti hormon steroid lain, adrenokortikoid mengikat reseptor sitoplasmik intraseluler pada jaringan target. Ikatan kompleks antara kortikosteroid dengan reseptor protein akan masuk ke dalam inti sel dan diikat oleh kromatin. Ikatan reseptor protein-kortikosteroid-kromatin mengadakan transkripsi DNA, membentuk mRNA dan mRNA merangsang sintesis protein spesifik. Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.Faal dan FarmakodinamikKortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf, dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi perubahan lingkungan.

Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormon-hormon lain. Peran kortikosteroid dalam kerjasama ini disebut permissive effects, yaitu kortikosteroid diperlukan supaya terjadi suatu efek hormon lain, diduga mekanismenya melalui pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respon jaringan terhadap hormon lain. Misalnya otot polos bronkus tidak akan berespon terhadap katekolamin bila tidak ada kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid dosis fisiologis akan mengembalikan respon tersebut.

Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik atau farmakologik, tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu. Misalnya, hewan tanpa kelenjar adrenal yang berada dalam keadaan optimal hanya membutuhkan kortikosteroid dosis kecil untuk dapat mempertahankan hidupnya. Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologic, umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat antiinflamasinya.

Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan atas dua golongan besar, yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol. Sebaliknya golongan mineralokortikoid efek utamanya adalah terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Prototip golongan ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan mineralokortikoid tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 -fluorokortisol.

Tabel 2. Tabel Perbandingan Potensi Relatif dan Dosis Ekuivalen Beberapa Sediaan KortikosteroidKortikosteroidPotensiLama kerjaDosis ekuivalen (mg)*

Retensi natriumAnti-inflamasi

Kortisol (hidrokortison)11S20

Kortison0,80,8S25

Kortikosteron150,35S-

6--metilprednisolon0,55I4

Fludrokortison (mineralokortikoid)12510I-

Prednisone0,84I5

Prednisolon0,84I5

Triamsinolon05I4

Parametason010L2

Betametason025L0,75

Deksametason025L0,75

Keterangan:

* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.

S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam);

I= intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam);

L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam).

Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya, antara lain kerja singkat (36 jam).Metabolismea. Metabolisme karbohidrat dan protein. Glukokortikoid meningkatkan kadar glukosa darah sehingga merangsang pelepasan insulin dan menghambat masuknya glukosa ke dalam sel otot. Glukokortikoid juga merangsang lipase yang sensitive dan menyebabkan lipolisis. Peningkatan kadar insulin merangsang lipogenesis dan sedikit menghambat lipolisis sehingga hasil akhirnya adalah peningkatan deposit lemak, peningkatan pelepasan asam lemak, dan gliserol ke dalam darah. Efek ini paling nyata pada kondisi puasa, dimana kadar glukosa otak dipertahankan dengan cara glukoneogenesis, katabolisme protein otot melepas asam amino, perangsangan lipolisis, dan hambatan ambilan glukosa di jaringan perifer. Hormon ini menyebabkan glukoneogenesis di perifer dan di hepar. Di perifer steroid mempunyai efek katabolic. Efek katabolik inilah yang menyebabkan terjadinya atrofi jaringan limfoid, pengurangan massa jaringan otot, terjadi osteoporosis tulang, penipisan kulit, dan keseimbangan nitrogen menjadi negative. Asam amino tersebut dibawa ke hepar dan digunakan sebagai substrat enzim yang berperan dalam produksi glukosa dan glikogen.

b. Metabolisme lemak. Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar jangka panjang atau pada sindrom cushing, terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang khas. Lemak akan terkumpul secara berlebihan pada depot lemak; leher bagian belakang (buffalo hump), daerah supraklavikula dan juga di muka (moon face), sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan menghilang.

c. Keseimbangan air dan elektrolit. Mineralokortikoid dapat meningkatkan reabsorpsi Na+ serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli distal. Dengan dasar mekanisme inilah, pada hiperkortisisme terjadi: retensi Na yang disertai ekspansi volume cairan ekstrasel, hipokalemia, dan alkalosis. Pada hipokortisisme terjadi keadaan sebaliknya: hiponatremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel berkurang dan hidrasi sel.d. Sistem kardiovaskular. Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah terhadap keseimbangan air and elektrolit; misalnya pada hipokortisisme, terjadi pengurangan volume yang diikuti peningkatan viskositas darah. Bila keadaan ini didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya kolaps kardiovaskular. Pengaruh langsung steroid terhadap sistem kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol, dan miokard. Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut: permeabilitas dinding kapiler meningkat, respons vasomotor pembuluh darah kecil menurun, fungsi jantung dan curah jantung menurun, sehingga pasien harus dimonitor untuk gejala dan tanda-tanda edema paru. Pada aldosteronisme primer gejala yang mencolok ialah hipertensi dan hipokalemia. Hipokalemia diduga disebabkan oleh efek langsung aldosteron pada ginjal, sedangkan hipertensi diduga akibat retensi Na yang berlebihan dan berlangsung lama yang dapat menimbulkan edema antara dinding arteriol, akibatnya diameter lumen berkurang dan resistensi pembuluh perifer akan bertambah.

e. Otot rangka. Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi dengan baik, dibutuhkan kortiosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila hormon ini berlebihan, timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut. Disfungsi otot pada insufisiensi adrenal diakibatkan oleh gangguan sirkulasi. Pada keadaan ini tidak terjadi kerusakan otot maupun sambungan saraf otot. Pemberian transfuse atau kortisol dapat mengembalikan kapasitas kerja otot. Kelemahan otot pada pasien aldosterisme primer, terutama karena adanya hipokalemia. Pada pemberian glukokortikoid dosis besar untuk waktu lama dapat timbul wasting otot rangka yaitu pengurangan massa otot, diduga akibat efek katabolik dan antianaboliknya pada protein otot yang disertai hilangnya massa otot, penghambatan aktivitas fosforilase, dan adanya akumulasi kalsium otot yang menyebabkan penekanan fungsi mitokondria.

f. Susunan saraf pusat. Pengaruh kortikosteroid terhadap SSP dapat secara langsung dan tidak langsung. Pengaruhnya secara tidak langsung disebabkan efeknya pada metabolisme karbohidrat, sistem sirkulasi, dan keseimbangan elektrolit. Adanya efek steroid pada SSP ini dapat dilihat dari timbulnya perubahan mood, tingkah laku, EEG, dan kepekaan otak, terutama untuk penggunaan waktu lama atau pasien penyakit Addison.Pengunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menimbulkan serangkaian reaksi yang berbeda-beda. Sebagian besar mengalami perbaikan mood yang mungkin disebabkan hilangnya gejala penyakit yang sedang diobati; yang lain memperlihatkan keadaan euphoria, insomnia, kegelisahan, dan peningkatan aktivitas motorik. Kortisol juga dapat menimbulkan depresi. Pasien yang pernah mengalami gangguan jiwa sering memperlihatkan reaksi psikotik.

g. Elemen pembentuk darah. Glukokortikoid dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan jumlah sel darah merah, hal ini terbukti dari seringnya timbul polisitemia pada sindrom cushing. Sebaliknya pasien Addison dapat mengalami anemia normokromik, normositik yang ringan. Glukokortikoid juga dapat meningkatkan jumlah leukosit PMN, karena mempercepat masuknya sel-sel tersebut ke dalam darah dari sumsum tulang dan mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi. Sedangkan jumlah sel limfosit, eosinofil, monosit, dan basofil dapat menurun dalam darah setelah pemberian glukokortikoid.

h. Efek anti-inflamasi. Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Penggunaan kortokosteroid dalam klinik sebagai antiinflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebabnya tetap ada.Konsep terbaru memperkirakan bahwa efek imunosupresan dan antiinflamasi yang selama ini dianggap sebagai efek farmakologi kortikosteroid sesungguhnya secara fisiologis pun merupakan mekanisme protektif.

Farmakokinetik.Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednisone adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.

Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva, dan ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.

Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada 2 jenis protein plasma, yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya untuk berikatan dengan globulin pengikatnya; kortisol mempunyai afinitas tinggi sedangkan metabolit yang terkonjugasi dengan asam glukuronat dan aldosteron afinitasnya rendah.

IndikasiUntuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.

Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis melebihi dosis substitusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya.

Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif. Kemudian dalam periode singkat dosis harus diturunkan bertahap sampai tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul lagi. Bila terapi bertujuan mengatasi keadaan yang mengancam pasien, maka dosis awal haruslah cukup besar. Bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis dapat dilipatgandakan.

Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis besar dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik. Untuk mengurangi efek supresi hipofisis-adrenal ini, dapat dilakukan modifikasi cara pemberian obat, misalnya dosis tunggal selang 1 atau 2 hari, tetapi cara ini tidak dapat diterapkan untuk semua penyakit.

Terapi substitusi. Terapi ini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal sendiri (insufisiensi primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder).

Terapi kortikosteroid digunakan antara lain untuk:

1. Insufisiensi adrenal akut. Bila insufisiensi primer, dosisnya 20-30 mg hidrokortison harus diberikan setiap hari. Perlu juga diberi preparat mineralokortikoid yang dapat menahan Na dan air.

2. Insufisiensi adrenal kronik. Dosisnya 20-30 mg per hari dalam dosis terbagi (20 mg pada pagi hari dan 10 mg pada sore hari). Banyak pasien memerlukan juga mineralokortikoid fluorokortison asetat dengan dosis 0,1-0,2 mg per hari; atau cukup dengan kortison dan diet tinggi garam.

3. Hyperplasia adrenal congenital.

4. Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi adenohipofisis.

Terapi non-endokrinDibawah ini dibahas beberapa penyakit yang bukan merupakan kelainan adrenal atau hipofisis, tetapi diobati dengan glukokortikoid. Dasar pemakaian disini adalah efek anti-inflamasinya dan kemampuannya menekan reaksi imun. Berikut adalah kasus yang menggunakan preparat kortikosteroid:

1. Fungsi paru pada fetus. Penyempurnaan fungsi paru fetus dipengaruhi sekresi kortisol pada fetus. Betametason atau deksametason selama 2 hari diberikan pada minggu ke 27-34 kehamilan. Dosis terlalu banyak akan mengganggu berat badan dan perkembangan kelenjar adrenal fetus.

2. Artriris. Kortikosteroid hanya diberikan pada pasien arthritis rheumatoid yang sifatnya progresif, dengan pembengkakan dan nyeri sendi yang hebat sehingga pasien tidak dapat bekerja, meskipun telah diberikan istirahat, terapi fisik dan obat golongan anti-inflamasi nonsteroid.

3. Penyakit Ginjal : Kortikosteroid dapat bermanfaat pada sindrom nefrotik yang disebabkan lupus eritematosus sistemik atau penyakit ginjal primer. Prednison 60 mg sehari dalam dosis terbagi diberikan selama 3-4 minggu. Bila terjadi penurunan proteinuria, dosis pemeliharaan dapat diberikan sampai satu tahun, tetapi prednison hanya diberikan 3 hari pertama dalam setiap minggu.

4. Penyakit kolagen : Pemberian dosis besar bermanfaat untuk eksaserbasi akut, sedangkan terapi jangka panjang hasilnya bervariasi. Untuk scleroderma umumnya obat ini kurang bermanfaat.

5. Penyakit mata : Kortikosteroid dapat mengatasi gejala inflamasi mata bagian luar maupun pada segmen anterior. Obat dapat diberikan pada kantung konjungtiva yang akan mencapai kadar terapi dalam cairan mata, sedangkan pada gangguan bagian mata posterior lebih baik diberikan sistemik. Umumnya dipakai larutan deksametason fosfat 0,1% agi dan siang dan salep mata deksametason fosfat 0,05% pada malam hari. Inflamasi segmen posterior diatasi dengan 30 mg prednison oral per hari dalam dosis yang terbagi. Kortikosteroid dapat meningkatkan tekanan intraokular, maka bila digunakan lebih dari 2 minggu dianjurkan untuk memeriksa tekanan intraokular secara teratur. Kortikosteroid tidak boleh diberikan pada pasien dengan glaukoma sudut sempit kecuali sangat dibutuhkan (kontraindikasi relatif).

6. Penyakit kulit. Yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan steroidnya. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara sistemik.

SISTEMIK STEROIDS

Kortikosteroids sistemik (glucocorticoids) adalah derivatif sintetis dari alam steroid, cortisol, yang dihasilkan oleh adrenal glands. Mereka disebut "sistemik" steroids jika diambil oleh mulut atau diberikan suntikan yang bertentangan untuk kortikosteroid topikal, yang diaplikasikan langsung ke kulit. steroids Sistemik termasuk Prednisone, prednisolone, methylprednisolone, betamethasone, dexamethasone, triamcinolone dan hydrocortisone.

Sistemik steroids bekerja dengan cara yang sama seperti alam cortisol, dan diresepkan untuk banyak penyakit serius.Tabel 3. Sediaan Kortikosteroid dan Analog SintetiknyaNama generikBentuk oralParenteralTopicalTopical pada mata

Desoksikortikosteron asetat5 mg/ml (minyak)

Fluodrokortison asetat0,1 mg

Kortisol/hidrokortison5-20 mg25, 50 mg/ml (suspensi)0,1-2% (krim, salep, losion)0,2% (suspensi, salep)

Kortisol asetat25 mg/5 ml (suspensi)0,1-1% (krim, salep, losion)1,5% (salep)

Kortisol sipionat2 mg/ml (suspensi)

Kortison asetat5-25 mg25, 50 mg/ml (suspensi)

Prednisone5 mg

Prednisolon5 mg

Metilprednisolon4 mg40 mg/ml

6-metil prednisolon4 mg20, 40, 80 mg/ml (suspensi)0,25, 1%

Metilprednisolon Na suksinat40-1.000 mg bubuk

Deksametason0,5 mg (eliksir)4 mg/ml0,01-0,1%0,1%

Deksametason asetat2-16 mg/ml (suspensi)

Deksametason Na-fosfat4-24 mg/ml0,1%0,05; 0,1%

Parametason asetat1,2 mg

Flusinolon asetonid0,01-0,2%

Flumetason pivalat0,025% (krim)

Betametason0,6 mg

Betametason dipropionat0,05; 0,1%

Betametason valerat0,01; 0,1%

Triamsinolon4 mg

Triamsinolon asetonid40 mg/ml (suspensi)0,1; 0,5 mg (krim, dll)

Triamsinolon diasetat2 dan 4 mg/ 5 ml (sirup)25, 40 mg/ml (suspensi)

Halsinonid0,025; 0,1%

Efek Samping dari Penggunaan Steroids Sistemik Jangka Panjanga. Selama dan setelah pengobatan steroid, maka kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang dihasilkan dari kelenjar di bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA) penindasan axis. Untuk sampai dua belas bulan setelah steroids dihentikan, kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres seperti infeksi atau trauma dapat mengakibatkan sakit parah.

b. Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua, orang-orang yang kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan diabetes atau masalah paru-paru. Osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang belakang, ribs atau pinggul bersama dengan sedikit trauma. Ini terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari pasien dirawat dengan lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan hingga 50% dari pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.

c. Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar ketinggalan jika steroids akan dihentikan (tetapi biasanya tidak).

d. Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.

e. Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi pinggul).

f. Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).

g. Kenaikan lemak darah (trigliserida).

h. Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity.

i. Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan berat badandan gagal jantung.

j. Kegoyahan dan tremor.

k. Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan katarak subcapsular posterior.

l. Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi, kegembiraan, delirium atau depresi.

m. Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.

n. Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi diresepkan (misalnya tuberkulosis).

o. Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan anti-inflamasi.