Journal Reading Depression in Late Life
description
Transcript of Journal Reading Depression in Late Life
Depresi pada Lanjut Usia
Tinjauan dan Komentar
Dan G. Blazer
Abstrak
Depresi merupakan salah satu penyebab tersering dari penderitaan emosional yang terjadi pada
usia lanjut, dan secara signifikan menurunkan kualitas hidup pada dewasa lanjut. Dalam
beberapa tahun terakhir, telah banyak literatur yang membahas kejadian depresi pada usia lanjut.
Kesenjangan pada pemahaman mengenai akibat yang dapat terjadi pada depresi pada usia lanjut
telah banyak dibahas. Berbagai temuan menarik muncul mengenai etiologi dari depresi pada usia
lanjut. Jumlah studi yang mendokumentasikan data-data mengenai terapi meningkat secara
dramatis. Dalam jurnal ini akan dibahas mengenai definisi kasus, telaah lebih lanjut mengenai
studi epidemiologi dan komunitas terkini, akibat terjadinya depresi pada usia lanjut, termasuk di
dalamnya studi morbiditas dan mortalitas. Bukti-bukti mengenai teori etiologi yang mendasari
terjadinya depresi pada usia lanjut yang ditilik dari sudut pandang biopsikososial, dan terapi
terkini yang diadministrasikan pada kelompok lanjut usia juga akan ditelaah lebih lanjut.
Definisi Kasus
Depresi merupakan salah satu penyebab tersering dari penderitaan emosional yang terjadi pada
usia lanjut, dan secara signifikan menurunkan kualitas hidup pada dewasa lanjut. Terdapat
kesenjangan pemahaman pada sebagian besar klinisi mengenai definisi dari depresi yang
signifikan secara klinis. Depresi major didiagnosis berdasarkan DSM IV apabila seseorang
mengalami satu atau dua gejala mayor (penurunan mood dan kehilangan minat) diikuti 4 atau
lebih gejala berikut selama 2 minggu (perasaan tidak berharga dan merasa bersalah,
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan membuat keputusan, kelelahan, agitasi psikomotor
atau retardasi, insomnia atau hipersomnia, penurunan atau peningkatan berat badan dan nafsu
makan, pemikiran akan kematian berulang kali dan ide bunuh diri). Depresi minor didiagnosis
berdasarkan Appendix dari DSM IV, apabila hanya satu criteria mayor yang terpenuhi diikuti
1
dengan 3 gejala tambahan. Kriteria lainnya adalah apabila gejala depresi memenuhi skor 16+
dari Center of Epidemiologic Depression Scale (CES-D), namun tidak memenuhi criteria untuk
depresi mayor.
Depresi pada usia lanjut sering disertai oleh penyakit komorbid baik itu fisik maupun psikiatri.
Sebagai contoh, depresi sangat sering terjadi pada pasien yang sedang dalam masa penyembuhan
dari infark miokard dan kondisi jantung lainnya, dan pada pasien-pasien yang menderita
diabetes, fraktur panggul, dan stroke. Pada penelitian yang melibatkan komunitas lanjut usia di
Meksiko dan Amerika, depresi diasosiasikan dengan diabetes, arthritis, inkontinensia urine,
inkontinensia alvi, penyakit ginjal, dan ulcer. Sedangkan depresi major secara umum terdapat
pada 20% dari penderita Alzheimer.
Epidemiologi Depresi pada Usia Lanjut
Gejala depresi pada usia lanjut lebih jarang terjadi pada usia pertengahan apabila dibandingkan
dengan usia lanjut, walaupun pada sebagian besar klinisi berpendapat bahwa data tersebut adalah
bias, yang merupakan akibat sekunder dari peningkatan mortalitas dari manusia usia lanjut yang
mengalami depresi dan kesulitan pada pencarian kasus. Pada studi akhir-akhir ini, penurunan
gejala depresi pada usia lanjut apabila dibandingkan dengan usia pertengahan, diasosiasikan
dengan penurunan kesulitan ekonomi dan penurunan hubungan interpersonal negatif yang terjadi
antara pasien usia lanjut dan lingkungannya. Peningkatan religiusitas juga dihubungkan dengan
penurunan frekuensi dari terjadinya sindrom depresi pada usia lanjut.
Data prevalensi dari gejala depresif yang signifikan terjadi pada komunitas usia lanjut
menunjukkan angka 8% hingga 16% dari keseluruhan populasi. Beberapa studi menunjukkan
bahwa prevalensi depresi terjadi lebih sering pada kebangsaan Meksiko dan Amerika, apabila
dibandingkan dengan Kaukasia non-hispanik dan kebangsaan Afrika Amerika. Pada salah satu
studi, 25% penduduk usia lanjut berkebangsaan Meksiko Amerika memiliki skor >16 pada tes
CES-D. Namun, penduduk berkebangsaan Afrika Amerika secara general memiliki gejala
depresif yang lebih rendah dan umumnya tidak diterapi dengan antidepresan.
Gejala depresi lebih sering terjadi pada manusia lanjut usia. Frekuensi yang tinggi tersebut
disebabkan oleh faktor penuaan, proporsi wanita yang lebih tinggi, disabilitas fisik yang tinggi,
kerusakan kognitif yang lebih berat, dan status sosioekonomi yang lebih rendah. Apabila faktor-
faktor tersebut dikontrol, maka tidak terdapat hubungan antara terjadinya gejala depresi dengan
2
umur. Insidensi 1 tahun dari gejala depresif yang signifikan menunjukkan bahwa gejala depresi
adalah tinggi pada kelompok umur yang tertinggi, yaitu pada usia >85 tahun.
Estimasi prevalensi kasus depresi major pada sample komunitas lanjut usia menunjukkan hasil
yang rendah, berkisar antara 1% hingga 4% secara keseluruhan, dengan prevalensi lebih tinggi
pada wanita namun tidak terdapat perbedaan ras maupun etnik. Pada studi yang dilakukan oleh
North Carolina Epidemiologic Catchment Area (ECA) yang menggunakan Diagnositic Interview
Schedule sebagai pedoman diagnostik, estimasi prevalensi depresi major adalah sebesar 0.8%,
2% untuk distimia, dan 4% untuk depresi minor.
Dampak dari Depresi pada Usia Lanjut
Perjalanan depresi pada usia lanjut
Studi berkelanjutan selama 6 tahun pada komunitas dewasa tua di Belanda menunjukkan
kronisitas terjadinya depresi pada lanjut usia. Di antara subjek yang menderita gejala depresi
secara signifikan tersebut, 23% akan mengalami kekambuhan, 44% mengalami gejala depresi
yang fluktuatif dan memburuk, dan 33% akan mengalami gejala depresi kronik yang berat. 35%
dari angka kejadian depresi mayor dan 52% kejadian distimik akan berlangsung kronis dan
berkepanjangan.
Depresi mayor pada orang yang lebih tua akan mengalami kekambuhan secara kronis seperti
yang disebutkan pada berbagai studi berkelanjutan. Pada studi yang dilakukan selama 6 tahun
pada orang lanjut usia yang mengalami depresi, 31% mengalami kesembuhan dan dapat
beraktivitas seperti biasa, 28% mengalami satu kali kekambuhan namun pada akhirnya mencapai
kesembuhan, 23% mengalami kesembuhan parsial, dan 17% tetap mengalami depresi
berkepanjangan sampai akhir studi. Pada penelitian yang lain, di antara kelompok-kelompok
pasien usia lanjut yang mengalami depresi (banyak di antaranya juga menderita penyakit medis
komorbid) setelah diikuti selama satu tahun, 35% mengalami luaran klinis yang baik, 48%
mengalami kekambuhan dan tetap mengalami gejala depresi sampai akhir studi, 3% mengalami
dementia, dan 14% di antaranya meninggal. Pada sebuah studi yang focus pada subjek yang
mengalami depresi pada usia lebih muda, dan berhasil bertahan hingga usia lanjut setelah diikuti
dalam studi selama 25 tahun, hanya 12% yang tetap sehat dan dapat beraktivitas seperti biasa.
Penemuan ini juga serupa dengan penelitian-penelitian yang dilakukan pada subjek yang
berumur dewasa tua dan pertengahan. Pasien usia lanjut yang mengalami depresi tanpa disertai
3
dengan kondisi medis komorbid atau dementia dan dirawat secara optimal dapat mencapai luaran
klinis yang baik, dengan lebih dari 80% akan sembuh dan tetap dapat beraktivitas sampai akhir
dari studi. Sebaliknya, pasien lanjut usia yang tidak memiliki dukungan keluarga dan sosial yang
baik, akan membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa sembuh.
Dampak pada Komorbid Medis, Kerusakan Fungsional dan Kerusakan Kognitif
Penyakit komorbid medis, kerusakan fungsional dan kognitif serta penyakit komorbid seperti
dementia, dapat menyebabkan terjadinya depresi. Depresi yang menyertai penyakit komorbid
medis juga mempengaruhi terjadinya perburukan dari luaran klinis yang diharapkan. Depresi
merupakan penyebab utama dari penurunan berat badan pada usia lanjut. Depresi sering
diasosiasikan dengan terjadinya penyakit medis kronis seperti penyakit kardiovaskular, dan dapat
mempersulit perjalanan penyakit tersebut. Pada suatu penelitian, pasien depresi yang berumur
lebih tua dengan disertai infark miokard, rentan untuk mengalami kematian pada 4 bulan
pertama. Depresi pada usia lanjut merupakan faktor risiko independen terjadinya gagal jantung
pada wanita usia lanjut namun tidak pada laki-laki lanjut usia. Pada studi lainnya, depresi
diasosiasikan dengan penurunan mineral tulang pada subjek yang berummur >65 tahun. Depresi
pada usia tua juga merupakan faktor risiko terjadinya penurunan kesehatan pada usia tua.
Hanya beberapa mekanisme spesifik yang diperkirakan mendasari hubungan-hubungan tersebut,
dan beberapa sudah menjadi teori dan dieksplorasi lebih lanjut. Terdapat peningkatan aktivasi
platelet pada pasien depresi lanjut usia, terutama pada pasien yang memiliki polimorfism regio
promotor terkait transporter serotonin 5-HTTLPR (kelompok ini memiliki faktor platelet 4 dan
level tromboglobulin yang lebih tinggi). Penemuan tersebut mengindikasikan bagaimana
sebagian pasien depresi pada usia lanjut berada pada risiko biologis yang lebih tinggi untuk
mengalami morbiditas dan mortalitas akibat penyakit jantung iskemik. Penurunan nafsu makan
dapat menyebabkan penurunan indeks masa tubuh, berhubungan dengan terjadinya depresi pada
usia lanjut dan gagal tumbuh. Pada suatu studi prospektif yang dilaksanakan selama 18 bulan,
pada komunitas lanjut usia (termasuk di dalamnya perawat untuk pasien-pasien dementia dan
kontrol), yang diketahui mengalami depresi ringan yang kronis, akan mengalami penurunan
respon sel T terhadap 2 mitogen. Sebagai tambahan, di antara semua subjek yang mengalami
depresi, pasien berusia lanjut diasosiasikan dengan respon blastogenik yang lebih buruk terhadap
mitogen. Stres atau tekanan yang dialami oleh perawat dapat memperburuk penurunan respon
4
blastogenik tersebut. Pasien usia lanjut dengan depresi memiliki level interleukin-6 yang lebih
tinggi, mengindikasikan adanya peningkatan aktivitas inflamasi, yang dapat dihubungkan dengan
terjadinya peningkatan resorpsi tulang, yang kemudian dapat meningkatkan risiko terjadinya
patah tulang panggul.
Depresi secara jelas diasosiasikan dengan terjadinya perburukan fungsional dan mempengaruhi
status disabilitas sepanjang waktu. Pada suatu penelitian, depresi dapat meningkatkan risiko
untuk terjadinya disabilitas pada kehidupan sehari-hari, serta disabilitas mobilisasi setelah 6
tahun sebesar 67% dan 73%. Bahkan gejala depresi yang ringan dapat dihubungkan dengan
penurunan kapasitas fungsional. Disabilitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
depresi. Beberapa penjelasan mengenai hal tersebut telah diajukan. Disabilitas fisik dapat
menyebabkan berbagai peristiwa hidup yang negatif. Disabilitas fisik dapat menyebabkan
pembatasan dalam aktivitas sosial dan rekreasi, rasa terisolasi dan penurunan kualitas dukungan
sosial. Apabila disabilitas fisik dapat diatasi, maka depresi dapat disembuhkan. Namun terdapat
penjelasan lain bahwa depresi itu sendiri adalah sebuah keadaan kelumpuhan. Hal ini dapat
dijelaskan dengan kerusakan kognitif yang diakibatkan oleh depresi, menyebabkan seseorang
menjadi tidak bisa melakukan apa-apa secara mandiri. Apabila depresi menjadi komorbid dari
penyakit stroke, maka luaran klinis fungsional pasien terancam untuk terganggu.
Penurunan fungsional merupakan suatu kondisi tak terelakkan yang mengikuti suatu depresi.
Diagnosis depresi pada lanjut usia menyebabkan terjadinya penurunan peran fungsional pasien
namun tidak halnya dengan fungsional fisik pasien. Dukungan instrumental pada pasien lanjut
usia (bantuan dalam melaksanakan aktivitas kecil), merupakan faktor protektif terhadap
penurunan lebih lanjut disabilitas pasien dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Depresi berat dengan kerusakan kognitif merupakan suatu faktor risiko terjadinya penyakit
Alzheimer dalam 5 tahun. Gejala depresi dini pada subjek dengan kerusakan kognitif minimal,
dapat menunjukkan gejala-gejala penyakit Alzheimer maupun demensia vaskular. Depresi lebih
lanjut dapat mempersulit perjalanan penyakit Alzheimer dengan peningkatan disabilitas dan
agresi fisik sehingga akan meningkatkan beban dan depresi dari perawat. Namun, pada suatu
studi prospektif, gejala depresi pada pasien AD dapat sembuh dengan sendirinya tanpa terapi
obat-obatan tertentu apabila dibandingkan dengan demensia vaskular, dimana gejala depresi
bersifat resisten dan dapat mengalami remisi bahkan setelah diberikan regimen obat.
5
Mortalitas tidak terkait bunuh diri
Mortalitas tidak terkait bunuh diri merupakan luaran klinis signifikan yang terjadi akibat depresi
pada usia lanjut. Berdasarkan sebuah review dari 61 laporan yang ada, 72% menunjukkan
adanya korelasi positif antara depresi dan kematian pada orang-orang lanjut usia. Review lain
menunjukkan bahwa dari 23 studi mortalitas pada kejadian depresi, risiko mengalami kematian
pada pasien yang mengalami depresi adalah 1.75. Data representatif oleh ECA menunjukkan
bahwa terdapat risiko 4 kali lebih besar untuk mengalami kematian pada pasien usia lanjut yang
mengalami gangguan mood setelah diikuti selama 15 bulan.
Bunuh diri
Frekuensi terjadinya bunuh diri pada kelompok umur di atas 65 tahun di Amerika Serikat adalah
16.9/100000 setiap tahunnya. Frekuensi bunuh diri pada laki-laki berkulit putih meningkat
seiring usia, mencapai 62/100000 pada kelompok umur >65 tahun. Pasien lanjut usia yang
memutuskan bunuh diri cenderung berstatus janda, tinggal sendiri, dengan status sosial ekonomi
rendah, mengalami kualitas tidur yang buruk, kehilangan kepercayaan diri, dan mengalami
berbagai peristiwa hidup dengan tekanan yang besar, seperti permasalahan finansial dengan
konflik interpersonal. Metode bunuh diri yang paling sering digunakan adalah dengan
mengonsumsi obat dalam dosis tinggi. Apabila dibandingkan, peristiwa bunuh diri meningkat
seiring dengan usia, namun tindakan percobaan bunuh diri tidak mengalami peningkatan.
Diperkirakan terdapat 4 kali percobaan bunuh diri untuk satu kali peristiwa bunuh diri yang
berhasil pada pasien lanjut usia, apabila dibandingkan dengan 10 atau lebih tindakan percobaan
bunuh diri yang dilakukan untuk satu kali peristiwa bunuh diri yang berhasil pada pasien yang
berumur lebih muda. Ide bunuh diri adalah tinggi pada orang dewasa tua, berkisar 5% hingga
10% dari seluruh jumlah populasi dewasa tua.
Penggunaan fasilitas medis
Depresi pada lanjut usia menyebabkan peningkatan pelayanan rumah sakit dan kunjungan
poliklinik pada fasilitas medis. Sebagai contoh, gejala depresi diasosiasikan dengan peningkatan
sebesar 19% pada kunjungan poliklinik dan peningkatan biaya sebesar 30% pada pelayanan
poliklinik. Dengan mengonsumsi obat antidepresan, terjadi peningkatan biaya pelayanan
kesehatan sebesar 32%. Gejala depresi dan penggunaan antidepresan tidak secara signifikan
berhubungan dengan penggunaan pelayanan rawat inap dan biaya rawat inap.
6
Etiologi
Biologis
Diskusi apapun yang membahas mengenai etiologi biologis dari depresi dimulai dari adanya
penyakit medis yang menyertai. Selain diasosiasikan dengan penyakit dementia, kardiovaskular,
dan patah tulang panggul, di antara pasien dengan penyakit Parkinson, 21% di antaranya
memenuhi criteria untuk depresi mayor dan 20% memenuhi criteria untuk depresi minor.
Depresi telah lama diasosiasikan dengan nyeri pada pasien-pasien lanjut usia yang dirawat inap,
dan inkontinensia urine. Ketergantungan akan alcohol dan depresi mayor merupakan faktor
risiko berkembangnya penyakit komorbid lain dalam 1 tahun setelahnya.
Akhir-akhir ini muncul ketertarikan kuat untuk mencari kecenderungan genetic untuk terjadinya
gangguan mood selama siklus hidup manusia. Pada suatu penelitian yang dilakukan pada
komunitas kembar, genetic mempengaruhi sebesar 16% variasi pada skor total depresi
berdasarkan CES-D dan 19% dari keluhan psikosomatik. Sebaliknya, genetika berkontribusi
minimal pada variasi laporan gangguan mood depresi dan kesejahteraan psikologis. Walaupun
probabilitas untuk mengidentifikasi riwayat keluarga menderita gangguan mood pada pasien
lanjut usia dengan depresi adalah lebih rendah dibandingkan dengan usia pertengahan. Pada
suatu studi klinis, ditunjukkan bahwa risiko kerabat dekat untuk menderita depresi, pada salah
satu anggota keluarga lanjut usia yang telah mengalami depresi, adalah sebesar 8.3%,
dibandingkan dengan 20.1% risiko yang terjadi apabila kerabat dekat yang berusia lebih muda
yang menderita depresi.
Pada salah satu studi, disebutkan bahwa hiperintensitas pada deep white matter pada otak
diasosiasikan dengan terjadinya gejala depresi, terutama pada pasien dengan alel 4 pada gen
apolipoprotein. Penelitian lainnya memfokuskan pada gen yang dapat menyebabkan lesi vaskular
pada pembuluh darah otak. Dalam salah satu penelitian yang melibatkan pasien depresi pada usia
tua, ditemukan bahwa terdapat peningkatan mutasi C677T dari MTHFR (methylene
tetrahidrofolat reduktase) enzim. Mutasi ini dapat menyebabkan seseorang lebih rentan
mengalami depresi vaskular. CADASIL (cerebral autosomal dominan dengan infark arteriopathy
7
subkortikal dan leukoencephalopathy) adalah penyakit terkait gen 3. Depresi adalah salah satu
gejala awal dalam kondisi tersebut, menunjukkan bahwa polimorfisme genetik atau mutasi dapat
mempengaruhi orang dewasa tua untuk mengalami depresi vaskular.
Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa lesi vaskular pada beberapa regio otak
berkontribusi pada terjadinya depresi pada lanjut usia. MRI pasien-pasien yang mengalami
depresi menunjukkan adanya abnormalitas structural pada area-area kortikal-striatal-pallidal-
talamus-kortikal, termasuk di dalamnya lobus frontalis, kaudatus, dan putamen. Jalur
pensinyalan tersebut berfungsi dalam perkembangan strategi kinerja spontan yang dibutuhkan
untuk menjalankan kemampuan eksekutif.
Penelitian lain menemukan bahwa terdapat ukuran yang lebih kecil dari korteks orbital frontal
pada pasien dengan depresi, dan juga ditemukan volume hipokampus yang lebih kecil pada
orang-orang lanjut usia yang mengalami dementia dari waktu ke waktu. Lesi pada white matter
lobus frontalis pada pasien-pasien depresi usia tua diasosiasikan dengan peningkatan rasio
myoinositol-creatinin dan choline-creatinin. Perubahan tersebut dapat menyebabkan perubahan
biologis pada jaringan glial, sehingga mempengaruhi aktivitas sinaptik.
Aktivitas serotonin, terutama reseptor 5HT2A mengalami penurunan secara dramatis pada
beberapa regio otak pada umur pertengahan, dan terdapat penurunan yang lebih sedikit dari umur
pertengahan hingga usia tua. Reseptor tersebut pada subjek yang sehat akan mengalami
penurunan drastic dari umur dewasa muda hingga pertengahan (penurunan 70% dari umur 20
tahun hingga 60 tahun) dan penurunan tersebut tidak sedrastis saat muda. Kehilangan reseptor
terjadi pada berbagai regio di otak, di antaranya adalah anterior cingularis, korteks oksipital, dan
hipokampus. Hubungan antara penurunan serotonin dengan kejadian depresi dapat langsung
diteliti dengan menggunakan agen radioisotop atau situs perlekatan tritiated imipramine.
Terdapat penurunan yang signifikan pada jumlah platelet-situs TIB pada pasien depresi berusia
lanjut. Apabila dibandingkan dengan kontrol dan individu yang menderita penyakit Alzheimer.
Pada penelitian dengan menggunakan monyet (Macaca mulata), penurunan yang signifikan
terkait usia dari reseptor 5HT1A terdapat pada korteks frontal dan temporal saja. Pada
hipokampus, walaupun penurunan reseptor 5HT1A dinyatakan tidak signifikan apabila dikaitkan
dengan usia, namun derajat pelepasan agen apabila telah berikatan dengan reseptor agonis adalah
rendah pada monyet yang mengalami penuaan. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa
8
kerusakan reseptor 5HT1A dapat berhubungan dengan penurunan efikasi terapi antidepresan pada
pasien usia lanjut dengan depresi.
Perubahan endokrin juga diasosiasikan dengan kejadian depresi pada usia lanjut. Walaupun tes
menggunakan deksametason telah lama tidak digunakan untuk evaluasi diagnostik untuk depresi,
kortisol yang tidak tersupresi diasosiasikan dengan depresi pada usia lanjut apabila dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Depresi diasosiasikan dengan hipersekresi dari faktor pelepasan
kortikotropin yang berkontribusi dalam terjadinya gangguan dalam pola tidur dan pola makan,
penurunan libido dan perubahan psikomotor. Penuaan diasosiasikan dengan peningkatan respon
terhadap ACTH, kortisol dan DHEA-s dan CRF. Level DHEA yang rendah dikaitkan dengan
peningkatan risiko depresi dan peningkatan gejala depresi pada wanita tua. Level testosteron
total pada laki-laki adalah lebih rendah pada laki-laki lanjut usia dengan penyakit distimia
dibandingkan dengan laki-laki yang menderita depresi major dan laki-laki yang tidak menderita
depresi. Namun, efikasi penggunaan testosteron dalam mengobati depresi belum diterapkan.
Depresi juga diasosiasikan dengan hipotensi sistolik post prandial. Terapi hormon pada wanita
telah banyak diasosiasikan dengan perkembangan mood.
Psikologi
Penyimpangan perilaku, psikodinamika, dan kognitif semuanya dapat menjadi faktor penyebab
depresi pada usia lanjut. Perilaku ketidakberdayaan, yang digunakan untuk mendeskripsikan
peningkatan perilaku pasif yang disebabkan oleh adanya peristiwa tidak terduga, digunakan
untuk memaparkan gejala depresi yang terjadi selama siklus hidup manusia, dimana penyebab
dari gejala depresif itu sendiri adalah pemikiran bahwa memulai suatu aksi atau inisiatif pada
lingkungan yang secara berkelanjutan memberikan tekanan, adalah sia-sia. Hubungan antara
depresi dengan peristiwa hidup tidak menyenangkan dapat diinterpretasikan sebagai suatu respon
perilaku terhadap adanya stressor yang datang berkelanjutan. Depresi pada lanjut usia
diasosiasikan dengan adanya pelecehan emosional dan penelantaran semasa kecil, stressor pada
hubungan interpersonal dan masalah perilaku terhadap orang lain pada saat dewasa tua.
Berdasarkan suatu studi meta-analisis jumlah peristiwa hidup negatif yang dialami oleh pasien
berhubungan dengan kejadian depresi di masa tua. Hubungan yang didapat antara peristiwa
hidup yang berat dengan onset adalah diperlukan peristiwa atau stressor yang kuat untuk dapat
memicu episode pertama depresi. Untuk selanjutnya, maka stressor ringan pun dapat memicu
9
terjadinya kekambuhan. Dapat disimpulkan, bahwa sekali saja perilaku depresi mengikuti sebuah
stressor, maka faktor pencetus untuk dapat menyebabkan episode selanjuntya dapat hanya berupa
stressor ringan.
Sosial
Hubungan antara depresi pada usia lanjut dan lemahnya dukungan sosial telah diteliti sejak lama.
Pada suatu studi komunitas di Hongkong, lemahnya dukungan sosial dan depresi adalah
berhubungan (besar dan komposisi lingkungan sosial, frekuensi kontak sosial, kepuasan akan
dukungan sosial dan dukungan emosional). Pada penelitian yang dilakukan dengan subjek
perawat pasien dementia, prevalensi dari penyakit depresi mencapai 45% - 47% dan wanita
tersebut 2x lebih cenderung untuk menggunakan obat psikotropika. Kesepian atau kesendirian
dapat menjadi kunci penyebab terjadinya depresi di antara perawat atau pengasuh. Beberapa
gejala depresi, seperti kurangnya ketertarikan untuk berinteraksi sosial, kecenderungan untuk
hanya melibatkan diri-sendiri dalam mengerjakan sesuatu, membuktikan bahwa orang lanjut usia
yang kurang berinteraksi sosial lebih berisiko untuk mengalami depresi.
Spiritual
Praktik keagamaan telah diasosiasikan dengan penurunan gejala depresi pada suatu penelitian di
Eropa. Hal ini terutama terjadi ketika pada praktik keagamaan juga tertanam orientasi nilai-nilai
tradisional. Penelitian tersebut menemukan bahwa religious coping dikaitkan dengan penurunan
dalam beberapa jenis gejala depresi, termasuk di antaranya kehilangan minat, merasa tidak
berharga, menarik diri dari interaksi sosial, kehilangan harapan, dan gejala kognitif lainnya dari
depresi. Namun religious coping tidak berhubungan dengan penurunan dari gejala somatic.
Evaluasi Diagnostik
Penegakan diagnostik dari depresi pada usia lanjut dilakukan berdasarkan presentasi gejala dan
etiologi. Pada dasarnya, diagnosis ditegakkan dengan berbasis wawancara dengan pasien dan
didukung oleh pemeriksaan laboratorium. Tidak terdapat marker biologis atau tes yang spesifik
untuk penegakkan diagnosis, kecuali seperti pada kasus depresi vaskular, adanya hiperintensitas
pada white matter area subkorteks yang terlihat pada MRI penting untuk penegakkan diagnosis.
Skrining pada fasilitas pelayangan primer adalah sangat penting, menggunakan Geriatric
Depression Sclae dan CES-D. Frekuensi terjadinya depresi adalah tinggi pada pelayanan primer,
10
diikuti dengan kejadian dan ide untuk bunuh diri. Prevalensi percobaan bunuh diri di tingkat
pelayanan kesehatan primer adalah sebesar 1% dan sebesar 5% dari keseluruhan dewasa tua
melaporkan gejala-gejala depresi yang dimilikinya di pelayanan kesehatan primer.
Status kognitif dinilai menggunakan MMSE (Mini Mental State Examination). Status nutrisi
merupakan faktor penting yang harus dinilai pada penderita lanjut usia, termasuk di antaranya
tinggi badan, berat badan, riwayat penurunan berat badan, tes laboratorium untuk
hipoalbuminemia, dan kolesterol, mengingat risiko terjadinya gagal tumbuh pada orang tua.
Status fungsional, fungsi sosial dan pekerjaan, medikasi, mobilitas dan keseimbangan,
pengukuran tekanan darah dua posisi, dan skrining kimia darah serta elektrokardiogram apabila
terdapat riwayat penyakit jantung dan terdapat penggunaan antidepresan.
Terapi
Medikasi menggunakan antidepresan menjadi basis dalam terapi depresi berat dan sedang pada
dewasa tua. Studi yang membandingkan mengenai efikasi dari TCA dan SSRI umumnya
menemukan efikasi yang setara di antara kedua obat, namun dengan efek samping yang lebih
minimal apabila menggunakan SSRI. Maka dari itu, SSRI merupakan terapi pilihan.
Antidepresan bahkan terbukti efektif pada subjek dengan hiperintensitas subkortikal (depresi
vaskular). Walaupun subjek dengan depresi dan penurunan volume frontotemporal pada MRI
lebih resisten terhadap antidepresan.
Antidepresan terbukti kurang efektif dalam menangani depresi yang kurang berat. Studi berskala
besar pada pelayanan primer menunjukkan bahwa paroxetine memiliki manfaat yang sedang
untuk menangani sindrom depresi dan memperbaiki fungsi kesehatan mental pada pasien lanjut
usia dengan distimia dan pasien lanjut usia dengan depresi minor.
Sebagian besar SSRI menunjukkan efektivitas yang baik pada pasien lanjut usia, termasuk di
dalamnya fluoxetine, sertraline, paroxetine, citalopram, dan fluvoxamine. Antidepresan generasi
terbaru diantaranya adalah venlafaxine, mirtazapine, nefazodone, dan bupropion. Pada consensus
terbaru mengenai praktek psikiatris geriatric, penggunaan SSRI dengan psikoterapi merupakan
terapi pilihan untuk depresi pada usia lanjut. Bupropion dan mirtazapine merupakan lini kedua.
Medikasi dan psikoterapi merupakan terapi yang direkomendasikan untuk penyakit distimia.
Sedangkan edukasi dan pengawasan merupakan rekomendasi terapi untuk depresi minor yang
terjadi dalam waktu kurang dari 2 minggu. Namun apabila gejala menetap, direkomendasikan
11
menggunakan medikasi dan psikoterapi. Antidepresan yang direkomendasikan untuk menangani
depresi mayor dan minor adalah citalopram (20-30 mg), sertralin (50-100 mg), paroxetin (20-30
mg), fluoxetin (20 mg). Nortriptilin (40-100 mg) merupakan agen trisiklik yang
direkomendasikan, dengan desipramine (50-100 mg) sebagai alternatif. Rekomendasi
berdasarkan consensus adalah penggunaan antidepresan secara berkelanjutan hingga 3-6 minggu
sebelum dilakukan penggantian obat atau medikasi. Apabila hanya terdapat sedikit perubahan
atau tidak terdapat respon terhadap terapi, maka regimen yang digunakan diganti dengan
venlafaxine (75-100 mg). Untuk penderita yang mengalami episode depresi yang pertama diikuti
dengan kesembuhan setelah menerima terapi antidepresan, direkomendasikan menjalani terapi
berkelanjutan selama 1 tahun. Untuk penderita yang mengalami 2 episode depresi, dibutuhkan
terapi berkelanjutan selama 2 tahun. Dan untuk 3 episode disarankan untuk menjalani terapi
antidepresan selama 3 tahun.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi efikasi dari obat antidepresan pada usia tua. Sebagai
contoh, terapi estrogen dan DHEA telah terbukti menyebabkan potensiasi dari sertraline.
Sitokrom dari enzim P450 yang bertugas untuk memetabolisme sebagian besar obat, dihambat
oleh antidepresan, seperti CYP3A, CYP2D6, DYP2C, CYP1A2, CYP2E1. Enzim CYP3A
berfungsi untuk memetabolisme 60% medikasi yang kita gunakan saat ini. Fluoxetin merupakan
inhibitor sedang dari enzim CYP3A4. Diperkirakan sebanyak 8-10% orang dewasa mengalami
defisiensi enzim CYP2dD6, dan paroxetine merupakan inhibitor dari enzim tersebut.
Pasien rawat inap berusia lanjut yang diterapi dengan menggunakan SSRI atau venlafarine
berada pada risiko untuk mengalami hiponatremia (39%) dan seharusnya mengecek level sodium
sebelum dan sesudah pengobatan. Hiponatremi tersebut terjadi akibat sekresi yang tidak sesuai
dari hormon antidiuretik. Efek samping lainnya mengenai pemakaian SSRI antra lain adanya
risiko jatuh, syndrome serotonin (gelisah, letargi, hipertonisitas, rabdomiolisis, gagal ginjal dan
kematian).
Subjek yang mengalami depresi dengan gejala psikotik berespon tidak terlalu baik terhadap
antidepresan, namun merespon baik terhadap ECT. Pada suatu penelitian yang menggunakan
ECT bilateral dan farmakoterapi untuk membandingkan efikasinya, kelompok umur >65 tahun
merespon lebih baik terhadap ECT apabila dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih
muda. Gangguan memori merupakan efek samping utama dari ECT yang dapat mempengaruhi
12
kualitas hidup pasien. Prosedur terbaru dengan menggunakan repetitive transcranial magnetic
stimulation tidak memerlukan anesthesia dan induksi terjadinya kejang dapat dihindari.
Walaupun tidak diteliti khusus pada kelompok lanjut usia, namun pasien yang ditangani dengan
rTMS mendapat respon yang baik apabila dibandingkan dengan ECT.
Penelitian dari Alameda County Study menunjukkan hubungan antara olahraga, depresi, dan
status fungsional. Di antara subjek yang tidak mengalami depresi, subjek yang memiliki aktivitas
yang rendah berada pada risiko yang lebih besar untuk menderita depresi saat follow up. Pada
penelitian tersebut, olahraga aerobik dapat dipertimbangkan sebagai alternatif maupun
pendamping dari terapi antidepresan pada usia lanjut. Namun, manfaat dari olahraga tidak
terbatas pada olahraga aerobik saja. Olahraga angkat berat terlah terbukti untuk menurunkan
gejala depresi setelah 20 minggu program dijalankan. Terapi cahaya menunjukkan manfaat,
terutama apabila kekambuhan depresi mengikuti siklus musim. 30 menit berada di bawah sinar
matahari dapat memperbaiki gejala depresi pada penelitian tersebut.
Psikologi
Psikoterapi telah menjadi pusat perhatian sebagai modalitas terapi depresi dalam 20 tahun
terakhir ini. Hal ini diakibatkan adanya pengembangan modalitas terapi, seperti Cognitive
Behavioral Therapy (CBT) dan Interpersonal Therapy (IPT). Terapi ini dapat diajarkan dengan
jelas dan dengan mudah pada klinisi dan dapat dimonitoring keakuratannya dalam prosedur
terapi. Sebagian besar psikoterapi bersifat jangka pendek, hanya 12-20 sesi. Namun psikoterapi
saat ini masih jarang untuk dijadikan modalitas terapi pada kasus-kasus depresi pada lanjut usia.
Pada suatu penelitian, ditemukan bahwa hanya 27% dari general internist yang akan merujuk
pasien depresi pada lanjut usia untuk psikoterapi. Pada suatu penelitian yang dilakukan di
Quebec, akseptabilitas dari suatu terapi ditentukan dari beratnya gejala. CBT dan cognitive
bibliotherapy cenderung digunakan pada depresi dengan gejala yang kurang berat, sedangkan
antidepresan cenderung digunakan apabila gejala depresi yang ditunjukkan lebih berat.
CBT terfokus pada pemikiran yang dapat memicu depresi. Tujuan terapeutik yang ingin dicapai
adalah untuk mengajarkan pada pasien agar dapat mengubah pola pikir atau beradaptasi dengan
pola pikir tersebut. Dengan adanya perubahan pola pikir, seseorang akan mengubah perilaku
yang disfungsional, dan perilaku tersebut, selanjutnya akan mengendapkan pikiran-pikiran
depresi. Mekanisme sentral dalam perubahan pola pikir ini adalah dengan pengembangan
13
metakognisi, yaitu melangkah mundur dan menanggapi pikiran dan peristiwa negatif sebagai
sesuatu yang sementara dan fana, dan bukan sebagai aspek yang melekat dalam diri.
IPT merupakan modalitas terapi yang terfokus pada 4 komponen yang diduga menyebabkan atau
mempertahankan suatu kondisi depresi: kesedihan (kematian dari orang yang dicintai),
perselisihan antarpribadi (konflik dengan anak-anak atau orang dewasa), transisi peran (pensiun),
dan interpersonal defisit (kurangnya keterampilan dalam bersaing). IPT telah terbukti sebagai
terapi yang efektif untuk subjek lanjut usia yang mengalami depresi.
Biblioterapi menekankan metode keterampilan akuisisi dengan pendekatan melalui bacaan buku.
Sebagai contoh, subjek dapat membaca Feeling Good, buku yang membahas mengenai
bagaimana mengembangkan keterampilan kognitif untuk mengatasi depresi. Berdasarkan
penelitian acak, biblioterapi terbukti efektif dan bermanfaat untuk kelompok dewasa. Orang tua
dapat membaca dan memproses ide di dalam buku tersebut dengan cara mereka sendiri.
Kekhawatiran adanya stigmatisasi dapat dihindari, dan bagi orang tua yang mengalami
disabilitas sehingga tidak mampu untuk beraktivitas sehari-harinya, tidak perlu repot untuk
melakukan kunjungan ke dokter.
Kombinasi Medikasi dan Psikoterapi
Pada pasien geriatric dengan depresi major yang berulang, terapi pemeliharaan dengan
nortriptyline atau IPT lebih efektif daripada plasebo dalam mencegah rekurensi. Terapi
kombinasi dengan menggunakan kedua metode merupakan strategi optimal untuk mengejar
kesembuhan. Terapi kombinasi dengan menggunakan nortriptiline dan IPT juga efektif untuk
mempertahankan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial.
Apakah depresi pada usia lanjut dapat dicegah?
Sejauh ini literature psikiatri yang ada menunjukkan hampir tidak ada bukti empiris dari
pencegahan primer psikososial. Terdapat beberapa referensi yang terfokus pada kontrol tekanan
darah untuk mencegah penyakit serebrovaskular dan depresi vaskular. Sebaliknya, pada jurnal
ini lebih ditekankan pada pencegahan sekunder, dimana pengobatan awal dari depresi dengan
medikasi dan psikoterapi dapat menekan gejala depresi dan mencegah terjadinya konsekuensi
serius nantinya.
14