Insomnia.docx
-
Upload
achmad-faiz-sulaiman -
Category
Documents
-
view
190 -
download
1
description
Transcript of Insomnia.docx
![Page 1: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/1.jpg)
REFERAT
Tinjauan Artikel
DIAGNOSIS, PREVALENSI, PATOFISIOLOGI, DAMPAK,
DAN TERAPI INSOMNIA
Disusun Oleh
Bernadeta Erika P. (G9911112032)
Devika Yuldharia (G9911112047)
Dinar Handayani Asri H. (G9911112056)
Etika Andi Rakhman (G9911112065)
Rizky Amalia P. (G99122102)
Yosephine Nina W. (G99122112)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2013
![Page 2: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/2.jpg)
Tinjauan Artikel
Diagnosis, Prevalensi, Patofisiologi, Dampak, dan Terapi Insomnia
Wilfred R. Pigeon
Di berbagai negara, insomnia merupakan gangguan tidur yang mempunyai
prevalensi kejadian tinggi dan sering terjadi dalam bentuk akut serta 10% dalam
bentuk kronis. Prevalensi kejadian insomnia cukup tinggi pada berbagai kondisi
medis dan psikis, di mana insomnia juga bisa muncul sebagai faktor risiko.
Etiologi dan patofisiologi insomnia tergantung dari kondisi tiap individu.
Pemberian agen hipnotik-sedatif dan intervensi terapi kognitif-perilaku telah
dilakukan pada insomnia, dan setiap jenis intervensi telah terbukti secara empiris
dalam keberhasilan penanganan insomnia.
Kata kunci: aethiology – assesment – co-morbidity – consequences – diagnosis –
insomnia – patophysiology – prevalence – treatment
Insomnia merupakan gangguan tidur yang dapat terjadi secara akut
kemudian menghilang, atau dapat juga berkembang menjadi penyakit kronis yang
sangat mengganggu. Meskipun gejala utama dari insomnia berupa kesulitan
memulai tidur atau mempertahankan tidur biasanya tampak jelas, penilaian
insomnia secara menyeluruh sebaiknya tetap dilakukan untuk dapat menentukan
intervensi spesifik terhadap insomnia. Patofisiologi insomnia sangat kompleks
dan multifaktorial. Banyak hal yang dapat berperan dalam sistem ‘tidur-bangun’,
serta sering terdapat perilaku tambahan dan pemahaman spesifik pada setiap
individu yang mendukung patofisologi tersebut. Kejadian insomnia kronis cukup
sering, dan memiliki dampak sosial yang merugikan. Bahkan, terdapat hubungan
antara insomnia kronis dengan kecenderungan morbiditas hingga mortalitas. Akan
tetapi, saat ini telah ada beberapa terapi yang aman dan efektif untuk insomnia.
![Page 3: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/3.jpg)
Definisi dan Diagnosis Insomnia
Definisi Insomnia
Kriteria diagnosis untuk insomnia menurut International Cassification of
Sleep Disorders (ICSD) edisi ke-2 meliputi :
1. Keluhan utama berupa kesulitan untuk memulai tidur atau mempertahankan
tidur, atau tidur yang tidak lelap, selama setidaknya 1 bulan.
2. Gangguan tidur tersebut menimbulkan gangguan klinis yang berarti (kelelahan
di siang hari), atau gangguan dalam kehidupan sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lainnya.
3. Gangguan tidur tersebut tidak muncul secara terpisah jika terdapat gangguan
tidur lainnya (narkolepsi, gangguan saluran napas, dll.).
4. Gangguan tidur tersebut bukanlah efek langsung dari pemakaian obat-obatan
(penyalahgunaan obat, terapi pengobatan), atau kondisi medis atau psikiatris
lainnya.
Dalam nosologi, definisi insomnia primer mengacu pada ketiga jenis
berikut yaitu psikofisiologis, paradoksikal, dan idiopatik. Selain kriteria di atas,
pada insomnia psikofisiologis terdapat kriteria tambahan yaitu adanya tanda
ketegangan somatis serta hal-hal lain yang berkontribusi dalam insomnia.
Insomnia paradoksikal mengacu pada perbedaan yang mencolok antara keluhan
subjektif dengan temuan polisomnografik yang mengarah pada pola tidur normal.
Insomnia idiopatik adalah ketidakmampuan jangka panjang dalam mencapai tidur
adekuat, yang bisa dimulai pada masa anak-anak, dan kemungkinan terjadi karena
kelainan kontrol neurologis pada sistem ‘tidur-bangun’. Terdapat tujuh klasifikasi
tambahan lain pada insomnia kronis yang berhubungan dengan berbagai faktor
komorbid insomnia.1
Terdapat penelitian yang menetapkan kriteria diagnosis insomnia (Tabel
1).2 Penelitian tersebut sesuai dengan kriteria dari ICSD. Kriteria tersebut disusun
berdasarkan bukti-bukti dari sumber terkini dan ditampilkan secara tersendiri,
mudah dibaca, dan dapat diakses dalam satu manuskrip.
![Page 4: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/4.jpg)
Kriteria nosologi tidak menentukan tingkat keparahan dan keseringan
insomnia. Tidak ada patokan mengenai berapa banyak kelemahan fisik atau
berapa sedikit abnormalitas tidur yang timbul. Selain itu, tidak terdapat patokan
untuk jumlah munculnya kejadian gangguan tidur pada malam hari tiap minggu
(atau tiap bulan), untuk memenuhi kriteria insomnia. Meskipun demikian,
kebanyakan dokter dan peneliti menggunakan standar waktu 30 menit untuk
tertidur dan/atau 30 menit untuk tetap terjaga setelah onset tidur, serta total
waktu tidur < 6,5 jam tiap malam untuk membedakan antara tidur normal dengan
tidur abnormal. Pada berbagai penelitian, kriteria inklusi timbulnya keluhan utama
3 malam tiap minggu jarang dipergunakan secara klinis. Terlepas dari kriteria
nosologi, penilaian ini cukup standard untuk diagnosis insomnia.
Tabel I. Kriteria Diagnosis InsomniaUntuk menentukan kriteria diagnosis insomnia pada penelitian ini, individu harus memenuhi tiap tiga kriteria berikut :1. Laporan minimal 1 keluhan tidur berikut:
a. kesulitan memulai tidurb. kesulitan mempertahankan tidurc. terbangun terlalu dini, ataud. tidur tidak lelap yang berlangsung kronis, atau kualitas tidur yang jelek.
2. Kesulitan tidur terjadi meskipun terdapat kesempatan untuk tidur yang adekuat.3. Timbulnya 1 dari bentuk keterbatasan di siang hari yang diakibatkan kesulitan tidur
di malam hari:a. Lemah / malaiseb. Gangguan pada perhatian, konsentrasi, memoric. Disfungsi pada aspek sosial / pekerjaan, atau kinerja di sekolah yang burukd. Gangguan mood atau iritabilitase. Mengantuk di siang harif. Penurunan motivasi, energi, inisiatifg. Sering melakukan kesalahan, kecelakaan saat bekerja atau saat mengendarah. Pusing berdenyut, dengan atau tanpa gejala GIT karena sedikitnya tiduri. Kekhawatiran tentang tidur
Diagnosis Insomnia
Diagnosis insomnia termasuk riwayat kebiasaan tidur, riwayat medis, dan
riwayat psikiatris.3 Riwayat kebiasaan tidur dapat dimulai dengan review
kronologis tidur, mulai dari masa anak-anak. Hal ini termasuk: mengidentifikasi
berbagai faktor yang memicu kejadian insomnia (apakah faktor-faktor ini masih
![Page 5: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/5.jpg)
ada); tekanan dalam kehidupan saat ini; faktor yang dianggap berkontribusi
terhadap munculnya insomnia; deskripsi tentang pola dan jadwal tidur khas
selama 24 jam dan seberapa sering pola khas tersebut terjadi di malam hari;
bagaimanakah perbedaan antara malam yang baik dengan malam yang buruk;
berbagai pola tidur mingguan, bulanan, atau musiman jika teridentifikasi; strategi
apa sajakah yang sudah dicoba untuk memperbaiki gangguan tidur, dan sejauh
mana strategi tersebut bekerja. Identifikasi riwayat kebiasaan tidur juga termasuk
pertanyaan untuk menghilangkan kemungkinan gangguan tidur yang lain.
Diagnosis banding juga termasuk membedakan insomnia primer dari insomnia
komorbid. Beberapa kondisi mempengaruhi target utama dalam intervensi terapi
insomnia. Kriteria eksklusi tipikal untuk memulai terapi insomnia antara lain
kondisi medis tak stabil atau tak terobati, kondisi psikiatris, atau gangguan kondisi
lainnya (seperti penyakit refluk gastroesofageal – GERD, kejang, kelainan
neuroendokrin, sleep apneu, gangguan bipolar, penyakit mental yang berat,
pemakaian obat tertentu). Penting untuk diketahui bahwa insomnia komorbid akan
diterapi sehubungan dengan penyakit primernya, bahkan sebagai terapi awal.
Sejumlah laporan penelitian bermunculan tentang diagnosis gangguan
tidur. Dari sekian banyak penelitian, yang dipergunakan adalah Pittsburgh Sleep
Quality Index,4 yang menyediakan penilaian tidur secara global, dan Insomnia
Severity Index,5 yang dirancang khusus untuk insomnia. Dari berbagai penelitian,
didapatkan bahwa pengukuran yang paling bermanfaat adalah catatan tidur harian,
di mana pasien diminta untuk melengkapi catatan tersebut selama 1-2 minggu.
Minimal, catatan tidur mencakup waktu tidur, menit untuk tertidur, seberapa
sering dan lamanya terjaga, serta waktu saat terjaga terakhir dan bangun tidur.
Dari data ini, pola tidur pasien untuk periode 1-2 minggu dapat diperkirakan. Hal
ini termasuk ketenangan tidur, waktu saat terbangun, rata-rata waktu di tempat
tidur, waktu tidur total, dan efisiensi tidur (waktu tidur dibagi waktu di tempat
tidur). Pengukuran tidur secara objektif dapat diketahui dengan wrist-worn
actigraphy. Meskipun tidak seinformatif laporan polisomnografi sepanjang
malam, actigrafi dapat dikombinasikan atau dapat mengganti catatan tidur harian.
Kecuali jika terdapat kecurigaan suspek insomnia paradoksikal atau gangguan
![Page 6: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/6.jpg)
tidur lainnya (misal sleep apneu), polisomnografi tidak diindikasikan untuk
mendiagnosis insomnia.
Satu pertimbangan penting bagi dokter bahwa berbagai metode evaluasi
tidur bukanlah merupakan suatu standard pada praktek umum. Menanyakan hal
sederhana seperti ‘bagaimanakah tidur anda?’ dapat dilakukan untuk mulai
mengungkap adanya insomnia kronis. Mengingat tingginya prevalensi insomnia,
diharapkan dokter dapat memulai percakapan yang baik untuk mengarahkan
diagnosis gangguan tidur, atau sebagai landasan bagi dokter untuk
menindaklanjuti pasien insomnia di praktek mereka.
Epidemiologi Insomnia
Insomnia adalah kondisi yang angka kejadiannya tinggi. Kurang lebih 1/3
sampai 1/4 dari populasi di negara industri melaporkan adanya gangguan tidur,
dan sekitar 10% menjadi insomnia persisten.6
Sebagaimana dinyatakan dalam US National Institutes Of Health State
mengenai gejala dan manajemen insomnia kronis pada dewasa,7 didapatkan:
Hasil dari penelitian berdasar populasi bahwa sekitar 30% dari populasi
umum mengeluhkan gangguan tidur. Sekitar 10% dari populasi memiliki gejala
keterbatasan fungsional (kelelahan) di siang hari yang mengarah pada insomnia,
meskipun belum jelas berapa proporsinya yang mengarah ke insomnia kronis.
Prevalensi yang lebih tinggi didapati pada praktek klinis, di mana 1/2 dari
responden melaporkan adanya gangguan tidur.
Insomnia kronis biasanya tidak sembuh spontan, meskipun bentuk
insomnia yang muncul (initial, middle, atau late) mempunyai waktu
penyembuhan yang bervariasi.8 Subjek dari sebuah penelitian yang menunjukkan
rata-rata kronisitas 10 tahun pada penilaian awal, 88%-nya berlanjut menjadi
insomnia pada 5 tahun berikutnya.9 Insomnia juga merupakan kondisi komorbid
yang penting, dan lebih sering muncul sebagai faktor komorbid suatu penyakit
daripada sebagai insomnia primer.10 Perhitungan biaya untuk insomnia tidak
hanya terbatas pada tidur yang tidak lelap. Insomnia kronis cenderung tidak dapat
![Page 7: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/7.jpg)
sembuh, menimbulkan gangguan, membutuhkan biaya banyak, dan dapat
meningkatkan risiko munculnya penyakit medis dan psikiatris lainnya.
Etiologi dan Patofisiologi Insomnia
Perspektif Perilaku dan Kognitif
Dari sudut pandang kognitif-perilaku, insomnia tak pernah berdiri sendiri.
Selalu terdapat sejumlah hubungan dan seringkali tumpang tindih. Semua sudut
pandang tersebut menyokong pendapat bahwa insomnia merupakan kondisi yang
berkembang dari waktu ke waktu, yang berhubungan dengan maladaptasi antara
perilaku dan kognitif, dan menjadi kronis kecuali jika dapat ditangani secara
agresif saat fase akutnya.
Spielman dkk.,11 mengungkapkan hal yang dikenal sebagai ‘Model 3-P’
insomnia, yang sebenarnya merupakan model diatesis-stress. Model tersebut
menunjukkan bahwa:
1. Setiap individu bisa secara primer menjadi insomnia oleh karena
kecenderungan karakteristik tiap individu, seperti berbagai tipe hyperarousal
dan/atau mudah khawatir.
2. Faktor pencetus, seperti kehidupan yang penuh tekanan dan/atau munculnya
penyakit baru, yang menyebabkan perubahan baru, dan
3. Faktor predisposisi, seperti strategi pertahanan diri yang maladaptif seperti
tidur sebentar-sebentar atau memperpanjang waktu tidur, meskipun jeda
tidurnya menjadi semakin berkurang, sebagai hasilnya kondisi yang
memburuk dan menjadi insomnia kronis.
Pada penelitian lainnya, direncanakan tambahan pada model dasar ini.12
Misalnya adalah model yang menggabungkan aspek lain insomnia termasuk
bagaimana pasien mencari keamanan, memiliki kepercayaan disfungsional
tentang tidur, atau termasuk dalam kepribadian yang memiliki kekhawatiran
berlebih. Pasien mungkin saja memiliki gangguan primer pada kortikal dalam hal
keinginan tidur dan memerlukan perhatian lebih untuk menstimuli bahwa tidur itu
mudah. Model ini menyediakan berbagai alasan rasional yang meyakinkan untuk
![Page 8: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/8.jpg)
diterapkan pada terapi yang targetnya adalah etiologi insomnia, yaitu terapi
kognitif-perilaku.
Perspektif Fisiologis
Hyperarousal, disritmia sirkadian, dan disregulasi homeostatis fase tidur
dapat berkontribusi untuk terjadinya insomnia. Mekanisme kerja tubuh terbesar
yang dikenal sebagai hyperarousal digambarkan sebagai peningkatan pada level
basal atau kegagalan penurunan level basal saat malam hari dan berlanjut ke aspek
somatis atau fisiologis, kognitif, dan kortikal/neurofisiologi.12 Dalam hal
fisiologis, terdapat peningkatan frekuensi nadi, respon galvanik kulit, bangkitan
simpatis (diukur sebagai variabilitas nadi), dan peningkatan aktivitas aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).12 Dalam hal kognitif, pasien dengan
insomnia lebih rentan terhadap gangguan ansietas menyeluruh dan gangguan tidur
yang disebabkan oleh ansietas. Pasien secara selektif akan memperhatikan dan
memantau gejala-gejala insomnia.12 Dalam hal kortikal atau neurofisiologi, pasien
dengan insomnia menunjukkan peningkatan aktivitas EEG frekuensi tinggi pada
saat onset tidur dan selama tidur fase non-rapid eye movement (REM).12 Terdapat
peningkatan metabolisme otak baik pada saat terjaga maupun tidur fase non-
REM.13 Selain itu, selama transisi dari terjaga ke fase tidur, pasien mengalami
penurunan metabolisme pada sistem aktivasi retikularis ascending, hipokampus,
amigdala, dan korteks cinguli anterior.14 Secara keseluruhan, terdapat bukti yang
nyata yang mendukung hubungan antara hyperarousal dengan insomnia.
Sehubungan dengan gangguan regulasi irama sirkadian, penelitian
menunjukkan bahwa kelainan kronobiologis, dalam bentuk pergeseran fase irama
suhu basal tubuh, dapat berhubungan dengan masalah dalam memulai dan
mempertahankan tidur.12 Pergeseran ini serupa dengan perubahan yang terdapat
pada gangguan irama sirkadian penuh, hanya saja dengan nilai yang lebih rendah.
Kelainan ini dapat dipengaruhi dan diperburuk dengan kebiasaan. Beberapa
pasien mengubah jadwal tidur dan aktivitas mereka. Beberapa pasien mencoba
tidur sebelum penurunan suhu basal tubuh, dan terbukti berhubungan dengan
onset tidur.15 Perilaku tersebut pada akhirnya dapat mengatur ulang ‘jam biologis’
![Page 9: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/9.jpg)
dan mengakibatkan pergeseran fase suhu basal tubuh yang dapat diamati. Secara
keseluruhan walaupun kecil, terdapat bukti yang mendukung hubungan antara
faktor sirkadian dengan insomnia primer.
Pada ulasan lain,16 terdapat beberapa pernyataan bahwa perubahan pada
homeostasis tidur dapat menjadi faktor predisposisi dan mempercepat insomnia,
dan/atau membuat insomnia tidak dapat disembuhkan. Secara spesifik, pasien
dengan insomnia primer dibandingkan dengan pasien cukup tidur, cenderung
menunjukkan kelainan pada homeostasis. Pertama, kecenderungan tidur diukur
dengan Multiple Sleep Latency Test (MSLT),17 di mana waktu tidur siang hari dan
peluang tidur siang mewakili tingkat kantuk objektif atau dorongan tidur.
Didapatkan bahwa pasien dengan insomnia cenderung mempunyai total waktu
tidur yang lebih sedikit daripada pasien dengan cukup tidur, dan diduga akan
mempunyai tingkat ketenangan tidur yang lebih singkat pada pemeriksaan MSLT.
Kebanyakan penelitian MSLT mendukung pernyataan bahwa pasien dengan
insomnia mempunyai tingkat ketenangan tidur yang normal atau lebih dari
normal.18 Hal ini menunjukkan kemungkinan penurunan dorongan untuk tidur,
dan dapat menunjukkan adanya kerusakan pada sistem homeostasis tidur.
Kedua, pasien dengan insomnia memiliki lebih sedikit Slow Wave Sleep
(SWS) daripada pasien dengan cukup tidur, walaupun sebuah penelitian
menunjukkan temuan nol.16 Berkurangnya SWS tidak secara langsung
berpengaruh terhadap gangguan regulasi homeostasis. Ketiga, pada pasien
insomnia terdapat gelombang SWS yang berkurang, sebuah respon utama
terhadap keadaan kurang tidur. Akhirnya, pada intervensi dengan target
homeostasis pada pasien dengan insomnia, didapatkan peningkatan SWS pada
pengobatan awal yang berlebihan.
Perubahan-perubahan yang terjadi menjelaskan faktor yang berpengaruh
pada homeostasis tidur. Sebagai contoh, regulasi penurunan suhu tubuh pada
onset tidur merupakan hal yang penting pada inisisasi SWS, sehingga dapat
diketahui gangguan pada termoregulasi.19 Hyperarousal dapat menjelaskan lebih
banyak daripada tingkat ketenangan tidur yang diharapkan didapatkan dari MSLT
dan berpotensi menciptakan barrier terhadap SWS konsisten. Dari semua
![Page 10: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/10.jpg)
kemungkinan, terdapat adanya interaksi antara hyperarousal, disritmia sirkadian,
dan proses homeostasis, yang berperan dalam patofisiologi terjadinya insomnia.
Pada bagian mana peranannya dalam kejadian insomnia, masih belum dapat
dijelaskan. Yang diketahui saat ini adalah bahwa terlepas dari bagaimana
dimulainya, insomnia mengandung sejumlah dampak.
Dampak-Dampak Insomnia
Dampak Ekonomi
Dari segi sosial ekonomi, di Amerika Serikat, insomnia diperkirakan
memakan biaya, langsung maupun tak langsung, lebih dari 100 miliar dollar US
setiap tahunnya.20 Biaya langsung diperkirakan 13 milliar dollar US per tahun,
yang digunakan sebagai pengganti biaya visite dokter, resep, dan prosedural.21
Biaya tak langsung berhubungan dengan biaya kendaraan bermotor dan
kecelakaan kerja, penurunan produktivitas, dan besarnya angka pembolosan yang
merupakan penyebab utama dari dampak ekonomi dari insomnia. Pasien dengan
insomnia dilaporkan mempunyai kemungkinan mengalami kejadian kecelakaan
mobil sebesar 2,5 kali lebih tinggi daripada pasien yang tidak insomnia.22,23 Hal ini
pada umumnya disebabkan oleh rasa lelah pada pasien insomnia. Pada sebuah
penelitian di Australia, biaya tahunan pada kecelakaan kerja berkisar 1,9 milliar
dollar Australia. Pasien dengan insomnia mempunyai kemungkinan mengalami
kecelakaan sebesar 8 kali lebih tinggi daripada pasien cukup tidur.23 Pada level
individu, Ozminkowski menyatakan bahwa pasien dengan insomnia
menghabiskan biaya kesehatan 1.200 dollar US lebih tinggi daripada pasien tanpa
insomnia.24
Dampak Kognitif, Sosial, dan Pekerjaan
Beberapa penelitian menunjukkan individu dengan insomnia kronis, jika
dibandingkan dengan individu tanpa insomnia atau insomnia okasional,
mempunyai lebih banyak kesulitan dalam bidang intelektual, fungsi sosial,
dan/atau pekerjaan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pasien dengan
insomnia kronis, secara subjektif, mempunyai kekurangan dalam performa
![Page 11: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/11.jpg)
intelektual.25-27 Akan tetapi, evaluasi objektif pada pasien insomnia belum
menunjukkan adanya bukti yang reliable mengenai adanya defisit kognitif.28
Perbedaan ini mungkin berhubungan dengan bias hasil negatif (sebenarnya tidak
berbeda dari normal)29,30, atau mungkin juga disebabkan oleh apresiasi dan usaha
ekstra yang dilakukan pasien untuk menjaga kinerja normal atau mendekati
normal.28 Dalam hal fungsi sosial, insomnia kronis dapat menyebabkan penurunan
kemampuan untuk mengatasi gangguan ringan, gangguan perasaan dalam
menikmati kehidupan dalam lingkungan keluarga dan sosial, serta gangguan relasi
interpersonal dengan pasangan hidup.27 Dalam hal pekerjaan, insomnia kronis
berhubungan dengan ketidakpuasan akan pekerjaan dan produktivitas, performa
yang menurun, serta meningkatnya pembolosan.31-33
Dampak Kesehatan
Gangguan mood
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa insomnia merupakan
faktor risiko untuk onset dan berulangnya kejadian Major Depressive Disorder
(MDD).34 Banyak penelitian epidemiologis cross sectional dilakukan untuk
menentukan prevalensi kejadian insomnia dan depresi. Kedua gangguan tersebut
mempunyai prevalensi kejadian yang tinggi dan sering terjadi pada semua usia,
terutama usia tua dan wanita. Meskipun gangguan-gangguan ini mempunyai
variasi definisi dalam berbagai penelitian, pada umumnya prevalensi kejadian
insomnia sekitar 15% sedangkan depresi 8-9%.35,36 Sebagai contoh, perkiraan
prevalensi kejadian berdasarkan data National Institute of Mental Health
Epidemiologic Catchment Area adalah 10% untuk insomnia dan 5% untuk depresi
(n=7.954). Pada subjek kelompok insomnia, 23% subjek mengalami depresi; dari
subjek kelompok depresi, 42% subjek mengalami insomnia.37 Stewart dkk.,
menggunakan kriteria diagnostik yang lebih kuat untuk melakukan pendataan
Second National Survey of Psychiatric Morbidity yang dilakukan di Inggris
(n=8.850). Dengan kriteria yang lebih kuat ini, estimasi prevalensi kejadian
insomnia adalah 5% dan depresi 3%. Di antara subjek penelitian dari kelompok
![Page 12: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/12.jpg)
insomnia, 21% subjek mengalami depresi, dan dari subjek kelompok depresi, 40%
subjek mengalami insomnia.
Dari penelitian-penelitian yang ada, kecenderungan terjadinya depresi
pada insomnia dibandingkan terjadinya insomnia pada depresi diperkirakan
sebesar dua kali lipat. Data ini menunjukkan bahwa insomnia dapat
dipertimbangkan sebagai faktor risiko terjadinya depresi.
Beberapa penelitian longitudinal menunjukkan hubungan lain antara
insomnia dengan depresi. Pada sebuah penelitian yang dilakukan pada pasien
remisi, insomnia pada depresi berulang merupakan gejala utama yang mengawali
episode depresi baru dan akan mencapai puncaknya pada minggu rekurensinya.
Hal ini menunjukkan bahwa insomnia merupakan faktor risiko sekaligus tanda
prodormal episode depresi berulang.39
Penelitian longitudinal lain menilai bahwa insomnia yang terjadi satu atau
dua kali dapat memprediksi adanya depresi pada saat terjadinya insomnia yang
kedua. Termasuk di antaranya, beberapa penelitian yang menilai terjadinya
depresi baru dalam periode waktu 1-3 tahun,37,40-46 dengan odds ratio (OR) 2-4
untuk insomnia, yang disertai insomnia dibandingkan dengan yang tidak disertai
insomnia. Sebuah penelitian metaanalisis yang dilakukan terhadap orang dewasa
menunjukkan bahwa gangguan tidur, dengan OR 2.6, merupakan dampak dari
sebuah kehilangan (OR 3.3), sebagai faktor risiko terjadinya depresi yang
berlangsung seumur hidup.47
Beberapa penelitian longitudinal jangka panjang telah dilakukan. Pada
sebuah penelitian yang dilakukan terhadap laki-laki usia perguruan tinggi,
kejadian insomnia di perguruan tinggi menunjukkan risiko relatif 2.0 (1.2 – 3.3)
untuk berkembang menjadi depresi 30 tahun berikutnya. Pada penelitian jangka
panjang lain, insomnia baseline merupakan prediktor independen terjadinya
depresi pada 12 tahun kemudian pada wanita, tetapi tidak pada pria. Berdasarkan
analisis data epidemiologis yang dilakukan di Zurich, yang menilai adanya
insomnia dan depresi pada 6 kali pengamatan selama rentang waktu 20 tahun,
Buysse dkk.50, menemukan bahwa pada setiap kejadian depresi tanpa disertai
![Page 13: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/13.jpg)
insomnia, sangat terkait dengan munculnya terjadinya insomnia dan depresi pada
kesempatan berikutnya.
Akhirnya, salah satu penilaian terbaru data percobaan klinis terhadap
intervensi depresi berbasis perawatan primer menunjukkan bahwa komorbiditas
insomnia merupakan faktor risiko untuk depresi yang tak dapat sembuh.51 Pasien
dengan insomnia baseline dengan 3 bulan penilaian, mengalami penurunan respon
pengobatan pada bulan ke-6 dan 12, jika dibandingkan dengan pasien dengan
insomnia baseline atau dalam waktu 2 bulan, atau tidak keduanya.
Walaupun insomnia bukan satu-satunya faktor risiko yang signifikan
untuk depresi, penting untuk mengetahui keberadaannya. Data ini menunjukkan
bahwa kedua insiden dan insomnia persisten memprediksi onset baru depresi dan
depresi berulang dan bisa berfungsi sebagai batasan efektif penggunaan terapi
antidepresi.
Dengan melihat kondisi gangguan emosi yang lain, lima penelitian
retrospektif menunjukkan bahwa pasien mengidentifikasi gangguan tidur sebagai
gejala prodormal dari episode manik, bukan depresi bipolar.52 Lima penelitian dari
berbagai variasi rancangan menjelaskan hubungan antara insomnia dengan
kejadian bunuh diri.53-57 Gangguan ansietas menyeluruh pada insomnia lebih
banyak dilaporkan terjadi dibandingkan dengan depresi pada insomnia38,58-60. Data
epidemiologi menunjukkan bahwa 24% responden dengan insomnia memiliki
gangguan ansietas dan mereka enam kali lebih rentan terkena gangguan ansietas
dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki insomnia37.
Gangguan ansietas dan penyalahgunaan zat
Gangguan tidur, seperti mimpi buruk dan insomnia, sering dijumpai pada
pasien post traumatic stress disorder (PTSD) baik pada populasi umum61 maupun
pada veteran perang.62 Persentase insomnia pada populasi berkisar antara 60-
90%.61-63 Harvey dan Bryant64 menemukan bahwa 72% penduduk pernah
mengalami gangguan tidur dalam sebulan karena trauma, yang kemudian
berkembang menjadi PTSD. Di lain pihak, insomnia merupakan gejala residual
yang umum terjadi pada pengobatan PTSD.63 Walaupun tidak banyak bukti bahwa
insomnia merupakan faktor risiko untuk depresi, insomnia sering terjadi
![Page 14: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/14.jpg)
bersamaan dengan PTSD dan berkembang dalam perjalanan penyakit sampai
terjadinya resolusi.
Pada populasi dengan generalized anxiety disorder (GAD) didapatkan data
mengenai lama waktu tidur yang lebih sedikit. Dilaporkan bahwa 141 pasien
insomnia yang datang ke klinik mengeluhkan GAD sebagai gangguan psikiatris
yang sering terjadi. Data cross sectional dari 1.007 responden, paling tidak satu
gejala ansietas dialami 36% responden dengan riwayat insomnia, dan 19%
responden yang tidak memiliki riwayat insomnia. Pada insomnia contoh spesifik
gangguan ansietas terjadi pada daftar berikut: GAD 8%, gangguan panik 6%,
obsesif kompulsif 5% dan fobia 25%.44 Hal ini jelas memerlukan perhatian ekstra.
Hal ini juga terjadi pada kasus penyalahgunaan zat, di mana kasus tersebut
terjadi dua kali lipat pada individu dengan insomnia dibandingkan dengan
individu lain yang tidak memiliki riwayat insomnia. Pasien pengguna alkohol
yang memiliki riwayat insomnia menunjukkan dua kali lebih sering
mengkonsumsi alkohol untuk tidur dibandingkan pengguna alkohol tanpa riwayat
insomnia. Laporan menunjukkan bahwa pada pasien yang sedang dalam masa
penyembuhan dari ketergantungan alkohol, memiliki masalah terkait gangguan
tidur yang sering kambuh. Insomnia dan gangguan tidur yang lain dapat
memprediksi kekambuhan pecandu alkohol yang telah sembuh.65,66 Jadi,
berdasarkan data yang terbatas, insomnia mungkin merupakan sebuah indikator
risiko kekambuhan pada ketergantungan alkohol.
Gangguan dan kondisi medis
Terdapat hubungan rumit antara tidur dengan sistem imun.67 Insomnia
berhubungan dengan perubahan imunitas bawaan termasuk penurunan aktivitas
sel NK,68-69 peningkatan kadar IL-6,70 perubahan distribusi IL-6 dan TNF-α dari
malam hari ke siang hari.70 Sekresi IL-6 berbanding terbalik dengan kualitas tidur
dan lamanya SWS yang terukur dengan PSG.71 Data ini tidak mendukung
hubungan langsung antara insomnia dengan penyakit yang terkait sistem imun.
Terbatasnya data dari penelitian terkait imun adaptif juga mendukung.72 Namun
sekali lagi tidak ada data yang menghubungkan insomnia dengan perkembangan
penyakit infeksi tertentu.
![Page 15: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/15.jpg)
Penelitian cross sectional telah mengimplikasikan gangguan tidur pada
berbagai kondisi seperti diabetes mellitus tipe II dan sindroma prediabetik,
gangguan gastrointestinal, penyembuhan dari operasi jantung, dan berbagai
variasi kondisi nyeri kronis lainnya.73 Insomnia juga memiliki prevalensi tinggi
pada pasien dengan infeksi HIV.74 Penelitian epidemiologi longitudinal telah
menemukan bahwa insomnia meningkatkan risiko perkembangan hipertensi dan
penyakit kardiovaskular. Sebagai contoh, pada 4.794 pria Jepang yang bekerja di
bidang telekomunikasi yang dipantau selama empat tahun sampai mereka
menderita hipertensi, insomnia terkat dengan peningkatan signifikan risiko
hipertensi [OR 1.96:(1.42-2.70)].75 Pada 8.757 subjek tanpa hipertensi dan 11.863
subjek tanpa penyakit kardiovaskular yang dipantau selama enam tahun, insomnia
diperkirakan sedikit meningkatkan risiko hipetensi [OR 1.2:(91.03-1.30)] dan
penyakit kardiovaskular [OR 1.1:(1.1-2.0)].76
Saat ini, terdapat beberapa penelitian serial yang mendukung bahwa
kebiasaan tidur yang buruk dan insomnia dan/atau durasi tidur yang pendek
terkait dengan peningkatan mortalitas.76
Diperlukan bukti pasti yang menunjukkan hubungan antara insomnia
dengan berbagai variasi kondisi psikiatris dan medis untuk membuat hipotesis ini
layak. Adanya dampak insomnia terhadap individu dan masyarakat, membuat
kelainan ini membutuhkan pengobatan yang agresif. Saat ini, ada beberapa variasi
intervensi efektif yang tersedia untuk pengobatan insomnia.
Pengobatan Insomnia
Latar belakang sejarah
Dimulai pada tahun 1970an, kebijakan klinik konvensional dengan fokus
insomnia menyatakan bahwa insomnia bukan merupakan suatu kelainan,
melainkan merupakan sebuah gejala yang akan hilang ketika kelainan medis atau
kelainan psikiatris lain telah teratasi. Kebijakan ini telah lama ditinggalkan oleh
para klinisi dan peneliti. Mereka setuju bahwa insomnia merupakan suatu
kelainan dan bukan lagi sebagai gejala, karena insomnia masih ada walaupun
telah dilakukan pengobatan terhadap penyebab primernya, sehingga
![Page 16: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/16.jpg)
dikembangkanlah intervensi terhadap insomnia, yang dinilai berkhasiat untuk
meningkatkan kesehatan diri, emosi, konsentrasi, fungsi sehari-hari, dan kualitas
kehidupan.77
Berdasarkan beberapa studi metaanalisis, didapatkan literatur untuk
benzodiazepine (BZ), agonis reseptor benzodiazepine (BZRA), dan terapi
kognitif-perilaku untuk insomnia (Cognitive-Behavioural Theraphy for Insomnia
– CBT-I), konferensi NIH state of the Science menyimpulkan bahwa BZRA dan
CBT-I lebih efektif untuk mengobati insomnia jangka pendek dengan efek
samping yang lebih aman. Selain itu, CBT-I mempunyai efek yang lebih lama saat
pengobatan aktif dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa insomnia dapat diobati
sebagai gangguan yang sedang terjadi,78-86 dan pengobatan tidak hanya tertuju
pada insomnia tetapi juga gangguan lain yang sedang terjadi.87-98
Pengobatan Insomnia Akut
Pada sebagian besar pasien, insomnia akut dapat sembuh secara spontan.
Episode akut yang berlangsung antara 2-4 minggu dapat berkembang menjadi
insomnia kronis. Untuk alasan ini dan beberapa konsekuensi dari insomnia kronis,
penanganan awal sangat diperlukan. Hal ini mungkin berkaitan dengan peresepan
jangka pendek generasi hipnotik terbaru. Dalam pemilihan hipnotik untuk
insomnia, harus dipertimbangkan waktu paruh obat. Selain itu, strategi perilaku
dan kebiasaan juga harus dibicarakan dengan pasien untuk menghindari perilaku
atau kebiasaan yang tidak diinginkan. Perilaku dan kebiasaan yang harus dihindari
meliputi : (i) memperpanjang waktu tidur atau kesempatan untuk tidur termasuk
tidur siang, tidur sebelum mengantuk, (ii) menghabiskan waktu lebih dari 15-20
menit untuk bangun dari tempat tidur, dan (iii) menggunakan alkohol untuk
menginduksi tidur. Kesepakatan follow up yang terencana diperlukan untuk
mengetahui respon pengobatan.
Pengobatan insomnia kronis dengan farmakoterapi
Menurut sejarah, pertama kali barbiturat kemudian benzodiazepin
diindikasikan sebagai obat hipnotik-sedatif. Saat kedua obat tersebut terbukti
![Page 17: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/17.jpg)
efektif dalam mengatasi insomnia, ternyata level toleransi, peningkatan dosis,
potensi penyalahgunaan, ambang dosis letal, dan perubahan pada SWS dan/atau
REM yang merupakan efek dari barbiturat tidak dapat diterima. Penyebab yang
sama juga terjadi pada benzodiazepine, sekalipun dengan bukti yang lebih sedikit.
Akhir-akhir ini bahan campuran golongan agonis reseptor benzodiazepin (BZRA)
telah dikembangkan dan diterima secara luas sebagai standar praktek.7 Hal ini
karena tidak adanya sediaan golongan hipnotik-sedatif yang lain, terlebih lagi
perhatian tentang toleransi dan peningkatan dosis sisa masih kurang. Agen-agen
ini (zolpidem, zolpiclone, zaleplon, dan eszopiclone) mengikat reseptor
benzodiazepine secara lebih selektif dibandingkan ligan eksogen yang lain, serta
menghambat neurotransmisi korteks. Ramelton baru saja diterima sebagai
hipnotik-sedatif non-BZRA yang merupakan agonis reseptor melatonin, tidak
memiliki toleransi dan peningkatan dosis, serta memiliki efek samping yang lebih
aman dibandingkan BZRA.
Terlepas dari ketersediaan dan efikasi dari pengobatan hipnotik terbaru,
penggunaan antidepresi dan antipsikotik off-label untuk pengobatan insomnia
sudah umum dipakai. Hal ini berhubungan dengan beberapa alasan termasuk
banyak data pada penggunaan aman jangka panjang dari anti obat sedatif dan
antidepresi (dibandingkan dengan data tingkat keamanan jangka panjang BZRA),
frekuensi jadwal minum obat yang lebih sedikit, biaya dari BZRA, dan
kepercayaan bahwa insomnia merupakan gejala dari depresi. Praktek ini
didasarkan pada sedikitnya data terhadap agen yang terkait dengan insomnia.
Praktek ini didasarkan pada sedikit data efikasi dari agen-agen yang berhubungan
dengan insomnia. Ramelton dan BZRA (setelah mempertimbangkan CBT-I)
dianggap diterima pengobatan lini depan untuk insomnia kronis.7
Seperti yang telah dijelaskan di atas, pemilihan hipnotik yang sesuai
tergantung dari masing-masing individu. Dengan cara yang sama, pembahasan
mengenai prinsip perilaku dan kebiasaan pada insomnia dapat sangat bermanfaat
pada insomnia kronis. Sebagai tambahan, panduan pada tabel II mungkin dapat
dipertimbangkan.
![Page 18: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/18.jpg)
Tabel II. Prinsip Dasar dalam Insomnia Kronis1. Menilai, mengidentifikasi (dan mengobati) penyakit / kondisi psikiatris yang
berpengaruh terhadap insomnia.2. Menunda pengobatan terhadap insomnia tanpa memperhatikan komorbiditas
merupakan hal yang tidak perlu dan tidak menguntungkan.3. Tindak lanjut untuk menilai kemanjuran obat, dosis, dan efek samping obat.4. Jika insomnia sudah membaik, lakukan penyesuaian dosis.5. Lakukan pendampingan untuk mencegah kekambuhan saat pengobatan
dihentikan.
Dengan demikian obat hipnotik yang terkini dinilai cukup aman dan
efektif. Agen baru yang diteliti mungkin memiliki efek samping walaupun
memiliki efek langsung terhadap sistem ‘tidur-bangun’ dan potensial dalam
mengubah pola tidur. Kombinasi farmakoterapi dan CBT-I di mana hipnotik
digunakan untuk menstabilkan tidur dapat merupakan terapi kombinasi yang
menjanjikan.
Pengobatan Insomnia Kronis dengan CBT-I
Walaupun CBT-I dapat dipakai sebagai terapi tunggal, namun multi
component CBT-I merupakan pendekatan terapi terbaik. Program yang dapat
diberikan adalah terapi kognitif, terapi relaksasi, dan fototerapi jika ada indikasi.
Terapi kontrol stimulus: merupakan terapi perilaku lini pertama pada
insomnia primer kronis sehingga sebaiknya diprioritaskan. Pada terapi ini waktu
bangun pasien di tempat tidur dipersingkat untuk merekondisi keinginan untuk
tidur. Yang termasuk dalam terapi ini yaitu: (i) Pertahankan waktu bangun 7
hari/minggu, berapa banyak tidur pada malam hari tidak berpengaruh; (ii) Hindari
aktivitas lain selain tidur dan aktivitas seksual di tempat tidur; (iii) Tidurlah hanya
di tempat tidur; (iv) Tinggalkan tempat tidur ketika sudah bangun 10-15 menit;
dan (v) Kembali ke tempat tidur hanya jika mengantuk. Kombinasi dari langkah-
langkah tersebut akan membuat tempat tidur sebagai isyarat untuk tidur dan
mengembalikan irama sirkadian.
Pembatasan tidur: Terapi pembatasan tidur membuat pasien membatasi
waktu tidur mereka agar sebanding dengan waktu tidur total rata-rata,
sabagaimana tampak pada tabel III. Terapi ini merupakan kontraindikasi bagi
![Page 19: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/19.jpg)
pasien-pasien dengan gangguan bipolar, kejang, atau hipersomnolen karena dapat
memperburuk kondisi pasien.
Sleep hygiene: merupakan serangkaian instruksi yang akan membantu
pasien mempertahankan kualitas tidur dengan menjaga lingkungan yang kondusif
untuk tidur, mempertahankan waktu tidur dan bangun, menghindari tembakau,
alkohol, serta menghindari makan atau olah raga terlalu banyak beberapa jam
sebelum tidur. Sleep hygiene tidak terlalu bermanfaat jika digunakan sebagai
terapi tunggal.95 Pemberitahuan pasien dengan selebaran saja cenderung
mengakibatkan ketidakpatuhan, hilangnya kepercayaan, dan pemikiran bahwa
mungkin ada cara lain untuk membantu penyembuhan insomnia.
Terapi kognitif: Beberapa bentuk terapi kognitif untuk insomnia sering
dilakukan bahkan sering tumpang tindih. Beberapa terapi berfokus pada
pendidikan,96 tujuan paradoks,97 perubahan pemahaman,98 perilaku mencari aman99
dan bias attensional.30 Walaupun pendekatan-pendekatan ini berbeda secara
prosedural, semua terapi ini berdasarkan observasi bahwa pasien dengan insomnia
memiliki pikiran negatif mengenai kondisinya sekaligus dampaknya. Pada
dasarnya terapi kognitif membantu pasien untuk mengurangi kecemasan dan hal-
hal yang dapat memicu timbulnya insomnia.
Tabel III. Langkah terapi pembatasan tidur1. Tetapkan waktu tidur total I (Total Sleep time – TST) rata-rata dalam 1-2
minggu.2. Tetapkan waktu terjaga secara pasti.3. Tetapkan jeda tidur dengan mengatur waktu tidur agar seimbang dengan TST
(jangan mengatur jeda tidur <4,5 jam).4. Jaga waktu tidur per minggu.5. Atur jeda tidur berdasarkan efisiensi waktu tidur per minggu.
a. Jika efisiensi ≥90%, naikkan jeda tidur 15 menitb. Jika efisiensi 85% - 90%, pertahankan jeda tidurc. Jika efisiensi <85%, turunkan jeda tidur 15 menit
6. Pertahankan waktu tidur harian dan sesuaikan setiap minggu sampai pengobatan selesai.
7. Pasien dapat melanjutkan terapi ini sendiri.
![Page 20: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/20.jpg)
Latihan relaksasi: Variasi teknik relaksasi otot dapat dilakukan dan
beberapa di antaranya dapat digunakan sabagai bagian dari rangkaian terapi CBT-
I. Terapi ini termasuk relaksasi otot, bernapas dengan diafragma, biofeedback, dan
lain sebagainya. Latihan relaksasi yang optimal merupakan cara yang termudah
bagi pasien. Namun terdapat beberapa kontra indikasi medis, misalnya relaksasi
otot progresif tidak cocok bagi pasien dengan gangguan neuromuskular atau
gangguan psikiatris. Terapi ini juga sulit ditoleransi oleh pasien dengan PTSD dan
dapat memicu kembali munculnya gejala.
Fototerapi: Sinar terang memiliki efek antidepresan dan merangsang tidur
bagi pasien yang mengalami gangguan irama sirkadian. Jika pasien memiliki
kecenderungan untuk tidur lebih malam dan bangun lebih siang (delay
component), maka penggunaan alarm dan tirai agar cahaya pagi masuk dapat
membantu. Jika pasien memiliki kecenderungan untuk tidur lebih awal dan
bangun terlalu awal (advanced component), sebaiknya biarkan cahaya sore
masuk. Terdapat beberapa efek samping pada fototerapi ini, di antaranya
insomnia, hipomania, agitasi, gangguan penglihatan, dan sakit kepala. Pasien-
pasien yang beresiko tinggi mengalami gangguan penglihatan seperti pasien
dengan diabetes mellitus sebaiknya berkonsultasi kepada dokter mata sebelum
memulai terapi ini. Sinar terang juga dapat memicu mania pada pasien yang
sebelumnya belum terdiagnosis dengan gangguan bipolar. Dengan demikian,
fototerapi merupakan kontraindikasi pada pasien dengan gangguan bipolar.
Penggunaan CBT-I standard dan alternatif-alternatif terbaru: CBT-I
biasanya dilakukan selama 6-8 minggu. Langkah-langkah terapi secara terinci
dilakukan selama durasi terapi100,101 dan efikasi data dinilai berdasarkan penelitian.
Dalam jangka waktu ini dokter dan pasien dapat memonitor perkembangan,
mempertahankan keberhasilan terapi, dan mencapai tujuan terapi yaitu mencapai
waktu total tidur yang sesuai.
Dalam prakteknya, jumlah sesi terapi disesuaikan dengan progresivitas
terapi, serta kemampuan pasien untuk mengendalikan diri terhadap intervensi.
Bukti-bukti menunjukkan 3-4x sesi terapi memiliki efikasi hasil yang baik.
![Page 21: Insomnia.docx](https://reader035.fdocument.pub/reader035/viewer/2022062217/55cf9cfb550346d033abc663/html5/thumbnails/21.jpg)
CBT-I dianjurkan untuk insomnia kronis dan insomnia akut yang tidak
sembuh dengan farmakoterapi. CBT-I dapat diberikan pada insomnia primer dan
insomnia yang disebabkan oleh beberapa kondisi medis / psikiatris.103
Simpulan
Insomnia merupakan bentuk gangguan tidur yang paling sering terjadi dan
banyak menimbulkan dampak negatif. Hal ini berhubungan langsung dengan efek
residu dari insomnia yang dapat menyebabkan rasa lelah, iritabilitas, dan
menurunkan performa aktivitas. Selain itu, biaya sosial yang ditimbulkan sebagai
dampak juga sebanding dengan morbiditas (medis dan psikiatris) yang timbul
karena insomnia kronis. Karena penyebab insomnia banyak dan multifaktorial,
maka multi-component CBT-I dapat merupakan pilihan bagi pasien dengan
insomnia kronis. Obat-obat hipnotik-sedatif baru berperan secara agresif terhadap
insomnia akut. Beberapa farmakoterapi lain memiliki efek yang baik terhadap
insomnia kronis. Namun CBT-I tampaknya merupakan pilihan terbaik setelah
pengobatan dihentikan. Ketika CBT-I tidak dapat diberikan, maka farmakoterapi
ditunda (watchful waiting) sampai insomnia muncul. Kombinasi CBT-I dan
hipnotik dapat diberikan dan membutuhkan lebih banyak data empiris. Pada
akhirnya, jika insomnia merupakan akibat dari kondisi medis atau psikiatris,
sebaiknya tetap dilakukan penatalaksanaan pada insomnia sembari mengobati
penyakit utama.