Hirschprung Disease

download Hirschprung Disease

of 41

description

Hirschprung Disease

Transcript of Hirschprung Disease

  • BAGIAN RADIOLOGI REFERAT FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2015 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

    HIRSCHSPRUNGS DISEASE

    OLEH:

    EVI ELVIRA LATIF

    10542 0196 10

    PEMBIMBING :

    dr. Iriani Bahar, Sp. Rad., M.Kes

    DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

    BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

    MAKASSAR

    2015

  • ii

    LEMBAR PENGESAHAN

    Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan bahwa:

    Nama : Evi Elvira Latif

    N I M : 10542 0196 10

    Judul Referat : Hirschsprungs Disease

    Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka Kepaniteraan Klinik di

    Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

    Makassar, Mei 2015

    Pembimbing

    (dr. Iriani Bahar, Sp. Rad., M.Kes)

  • iii

    KATA PENGANTAR

    Assalamualaikum wr.wb

    Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah serta

    petunjuknya sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas Referat ini. Salam dan salawat

    senantiasa tercurah kepada junjungan kita Baginda Nabiullah Muhammad SAW yang telah

    membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang terang benderang seperti yang kita

    rasakan sekarang ini.

    Referat ini merupakan suatu tugas yang berikan dalam rangka kepaniteraan klinik,.

    Penulis sadar, referat ini masih jauh dari ukuran kesempurnaan oleh karena itu sangat

    sangat dibutuhkan saran dan kritikan yang membangun dari para pembaca guna

    kesempurnaan pembuatan referat penulis selanjutnya.

    Akhir kata, penulis uacapkan terima kasih kepada dokter pembimbing dan semua

    pihak yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini.

    Billahi fii sabilil haq fastabiqul khairat

    Wassalamualaikum wr.wb

    Makassar, Mei 2015

    Penulis

  • iv

    DAFTAR ISI

    Halaman Sampul .......................................................................................................... i

    Lembar Pengesahan ..................................................................................................... ii

    Kata Pengantar ............................................................................................................. iii

    Daftar Isi ...................................................................................................................... iv

    A. PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

    B. ANATOMI DAN FISIOLOGI .............................................................................. 2

    C. DEFINISI ............................................................................................................... 9

    D. EPIDEMIOLOGI ................................................................................................... 9

    E. ETIOLOGI ............................................................................................................. 10

    F. KLASIFIKASI ....................................................................................................... 10

    G. PATOGENESIS .................................................................................................... 11

    H. DIAGNOSIS .......................................................................................................... 12

    1. Manifestasi Klinis ............................................................................................ 12

    2. Pemeriksaan Radiologi .................................................................................... 13

    3. Pemeriksaan Laboratorium ............................................................................... 21

    4. Anorektal Manometri ...................................................................................... 21

    5. Biopsi Rektum ................................................................................................. 22

    I. DIAGNOSIS BANDING ..................................................................................... 23

    J. PENATALAKSANAAN ....................................................................................... 25

    K. KOMPLIKASI ....................................................................................................... 28

    L. PROGNOSIS ......................................................................................................... 31

    Kajian Islam ................................................................................................................. 32

    Daftar Pustaka .............................................................................................................. 35

  • 1

    HIRSCHSPRUNGS DISEASE

    (Evi Elvira Latif, Iriani Bahar)

    A. PENDAHULUAN Usus besar merupakan organ yang ada dalam tubuh manusia. Usus besar

    merupakan tabung muscular dengan panjang sekitar 1,5 m yang terdiri dari caecum,

    colon, dan rectum. Diameter usus besar lebih besar daripada usus kecil. Semakin ke

    bawah menuju rectum, diameternya akan semakin kecil. Secara fisiologis, usus besar

    berfungsi untuk menyerap air, vitamin, dan elektrolit. Selain itu, usus besar juga

    berfungsi untuk menyimpan feses, dan mendorongnya keluar. Inervasi usus besar

    dilakukan oleh sistem saraf otonom. Inervasi usus besar sangat berkaitan dengan sel

    ganglion pada submukosa (Meissners) dan pleksus myenteric (Aurbachs) pada usus

    besar bagian distal. Apabila sel ganglion tersebut tidak ada, maka akan timbul penyakit

    yang disebut Hirschsprungs Disease.(1)

    Hirschsprungs Disease ditandai oleh tidak adanya ganglion sel di bagian distal

    colon dan meluas ke bagian proximal dengan panjang yang bervariasi. Aganglionik

    terbatas pada rektosigmoid 75% pasien, colon transversum 17% dan keseluruhan colon

    dengan segmen pendek pada ileum terminal yaitu 8%.(2)

    Penyakit Hirschsprung adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan

    tidak adanya ganglion dalam usus bagian distal, mengakibatkan obstruksi fungsional.

    Meskipun kondisi ini digambarkan oleh Ruysch di 1691 dan dipopulerkan oleh

    Hirschsprung tahun 1886, namun patofisiologi terjadinya peyakit ini belum diketahui

    secara jelas sampai pertengahan abad ke-20, dimana Whitehouse dan Kernohan

    menyatakan bahwa aganglionik pada bagian distal colon sebagai penyebab obstruksi

    pada penyakit ini.(3)

    Pada tahun 1949, Swenson mendeskripsikan tentang prosedur definitif pertama

    untuk penyakit Hirschsprung, yaitu rectosigmoidectomy dengan anastomosis coloanal.

    Sejak itu, operasi lainnya juga telah dijelaskan, termasuk teknik Duhamel dan Soave.

    Baru-baru ini, diagnosis dini dan kemajuan dalam teknik bedah telah menghasilkan

    morbiditas dan mortalitas menurun untuk pasien dengan penyakit Hirschsprung.(3)

    Sebagian besar kasus penyakit Hirschsprung didiagnosis pada masa neonatus.

    Penyakit Hirschsprung harus dipehatikan pada setiap bayi baru lahir yang belum

  • 2

    mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir. Sulit untuk

    membedakan antara distensi kolon dengan distensi pada usus kecil jika hanya melalui

    foto polos abdomen. Oleh karena itu, harus dilakukan pemeriksaan radiologi lanjutan

    untuk mendiagnosa penyakit ini. Pemeriksaan dengan barium enema adalah

    pemeriksaan yang terbaik untuk melihat obstruksi yang disebabkan oleh penyakit

    Hirschsprung ini. Meskipun kontras enema berguna dalam menegakkan diagnosis,

    biopsi rektal full-thickness tetap menjadi kriteria standar pemeriksaan. Setelah

    diagnosis dikonfirmasi, pengobatan definitif untuk menghilangkan usus aganglionik

    dan untuk mengembalikan kontinuitas usus yang sehat dengan rektum bagian

    distal.(3,16)

    B. ANATOMI DAN FISIOLOGI 1. Anatomi dan Embriologi Colon dan Rectum

    a. Colon

    Secara embriologi colon kanan berasal dari colon tengah, sedangkan

    colon kiri sampai dengan rectum berasal dari usus belakang. Dalam

    perkembangan embriologik kadang terjadi gangguan rotasi usus embrional,

    sehingga colon kanan dan caecum mempunyai mesenterium yang bebas.

    Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus sebagian besar usus

    yang sama halnya dapat terjadi dengan mesenterium yang panjang

    pada kolonsigmoid dengan radiksnya yang sempit.(4)

    Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang

    sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari caecum sampai kanalis ani.

    Diameter usus besar lebih besar dari pada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inch

    (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar

    dibagi menjadi caecum, colon, dan rectum. Pada caecum terdapat katup

    ileocaecal dan apendiks yang melekat pada ujung caecum. caecum

    menempati sekitar dua atau tiga inch pertama dari usus besar. Katup

    ileocaecal mengontrol aliran kimus dari ileum ke caecum. Colon dibagi lagi

    menjadi colon ascendens, transversum, descendens dan sigmoid. Tempat

    dimana colon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri

    atas berturut turut dinamakan flekxura hepatica dan fleksura lienalis. Colon

  • 3

    mulai setinggi crista iliaca dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S. Lekukan

    bagian bawah membelok ke kiri waktu colon sigmoid bersatu dengan rectum.

    Rectum terbentang dari colon sigmoid sampai dengan anus. Satu inci terakhir

    dari rectum terdapat canalis ani yang dilindungi oleh sfingter ani externus dan

    internus. Panjang rectum sampai canalis ani adalah 5,9 inch.(5)

    Gambar 1. Anatomi Colon(6)

    Dinding colon terdiri dari empat lapisan, yaitu tunika serosa, muskularis,

    tela submukosa dan tunika mukosa, akan tetapi usus besar mempunyai

    gambaran-gambaran yang khas berupa: lapisan otot longitudinal tdk sempurna

    tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut tenia coli yang bersatu pada

    sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus tertarik

    dari berkerut mambantuk kantong-kantong kecil yang disebut haustra. Pada

    taenia, melekat kantong-kantong kecil perineum yang berisi lemak yang disebut

    appendices epiploica. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus

    liberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak dari

    pada usus halus.(5)

  • 4

    Gambar 2. Lapisan Dinding Colon (7)

    Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterica superior dan

    inferior. Arteri mesenterica superior memvaskularisasi colon bagian kanan, dari

    caecum sampai dua per tiga proximal colon transversum. Arteri mesenterica

    superior mempunyai tiga cabang utama, yaitu arteri ileocolica, arteri colica

    dextra dan arteri colica media. Sedangkan arteri mesenterica inferior

    memvaskularisasi colon bagian kiri (mulai dari 1/3 distal colon transversum

    sampai rectum bagian proximal). Arteri mesenterica inferior mempunyai tiga

    cabang yaitu arteri colica sinistra, arteri rectalis superior, dan arteri

    sigmoidea.(5)

    Gambar 3. Vaskularisasi Colon (8)

  • 5

    Vaskularisasi tambahan daerah rectum diatur oleh arteri sacralis media

    dan arteri hemoroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari colon dan

    rectum superior melalui vena mesenterica superior dan inferior serta vena

    hemoroidalis superior, yaitu bagian dari system portal yang mengalirkan darah

    ke hati.(5)

    Persarafan usus besar dilakukan oleh system saraf otonom dengan

    pengecualian spingter eksterna yang berada di bawah control voluntar. Serabut

    parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah colon transversum,

    dan saraf pervicus yang berasal dari daerah sacral mensuplai bagian distal.

    Serabut simpati meninggalkan medulla spinalis melalui saraf splangnikus untuk

    mencapai colon. Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi

    dan kontrasi, serta perangsangan spingter rectum, sedangkan perangsangan

    parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. (9)

    Sistem saraf otonomik intrinsic pada usus terdiri dari tiga plexus :

    1. plexus auerbach: terletak diantara lapisan otot sirkuler dan

    longitudinal

    2. plexus henle : terletak di sepanjang batas dalam otot sirkuler.

    3. Plexus meissner : terletak di submukosa.

    Pada penderita Hirschsprungs Disease, tidak dijumpai ganglion

    pada ketiga plexus tersebut.(9)

    Gambar 4. Skema saraf autonom intrinsik usus(6)

  • 6

    Jadi pasien dengan kerusakan medulla spinalis, maka fungsi ususnya

    tetap normal, sedangkan pasien dengan Hirschsprungs Disease akan

    mempunyai fungsi usus yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi ke

    absenan plexus aeurbach dan meissner. (10)

    b. Rectum

    Rectum memiliki tiga buah valvula : superior kiri, medial kanan dan

    inferior kiri. 2/3 bagian distal rectum terletak di rongga pelvis dan terfiksasi,

    sedangkan 1/3 bagian proximal terletak di rogga abdomen dan relative mobile.

    Kedua bagian ini dipisahka oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior

    lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah

    bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang

    lebih proximal; dikelilingi oleh spingter ani (external dan internal) serta otot-

    otot yang mengatur pasase isi rectum ke dunia luar. Spingter ani externa terdiri

    dari tiga sling : atas, medial dan depan.(9)

    Gambar 5. Rectum dan anal canal(6)

  • 7

    Persarafan motorik spingter ani interna berasal dari serabut saraf

    simpatis (N. Hypogastricus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut

    saraf parasimpatis (N. Splenicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua

    jenis serabut saraf ini membentuk plexus rectalis. Sedangkan musculus levator

    anii dipersarafi oleh N. Sacralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi

    spingter ani externa dan m. puborectals. Saraf simpatis tidak mempengaruhi

    otot rectum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh N. splenicus (parasimpatis).

    Akibatnya kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh N. pudendalis dan N.

    slenicus pelvic (saraf parasimpatis.).(9)

    Gambar 6. Saraf pada perineum (laki-laki)(8)

    Pendarahan rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan medialis

    (a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti oleh a.uterina)

    yang merupakan cabang dari a.mesenterika inferior. Sedangkan arteri

    hemorrhoidalis inferior adalah cabang dari a.pudendalis interna,berasal dari a.iliaka

    interna,mendarahi rektumbagiandistal dan daerah anus.(11)

  • 8

    Gambar 7. Vaskularisasi Rectum(8)

    2. Fisiologi Colon Fungsi usus besar adalah menyerap air, vitamin dan elektrolit, eksresi

    mucus serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700

    1000 mil cairan usus halus yang diterima oleh colon, hanya 150 200 mil yang

    dikeluarkan sebagai feses setiap harinya. Udara ditelan sewaktu makan, minum atau

    menelan ludah. (12)

    Oksigen dan carbon dioksia didalamnya di serap di usus, sedangkan

    nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dari peragian dikeluarkan sebagai

    flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 mil sehari. Pada infeksi usus,

    produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus, gas tertimbun di saluran

    cerna yang menimbulkan flatulensi.(12)

    3. Fisiologi Saluran Anal Pubo-rektal sling dan tonus spinkter ani eksterna bertanggung jawab atas

    penutupan saluran anal ketika istirahat. Jika ada peristaltik yang kuat, akan

    menimbulkan regangan pada sleeve and sling. Untuk menghambat gerakan

    peristaltik tersebut ( seperti mencegah flatus ) maka diperlukan kontraksi spinkter

    eksterna dan sling yang kuat secara sadar. Sleeve and sling dapat membedakan

  • 9

    antara gas, benda padat, benda cair, maupun gabungan, serta dapat mengeluarkan

    salah satu tanpa mengeluarkan yang lain. (11)

    Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat.

    Kontinensia adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada waktu

    dan tempat yang diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks,

    namun dapat dikelompokkan atas 4 tahapan:

    a. Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal

    ke rektum, seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3

    kali/hari) serta refleks gastrokolik.

    b. Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex,

    yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani interna

    secara involunter.

    c. Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara involunter.

    Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat

    kegagalan kontraksi spingter itu sendiri.

    d. Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal secara

    volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut, hingga

    defekasi dapat terjadi(11)

    C. DEFINISI Hirschsprungs Disease adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus,

    mulai dari spinkter ani interna ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi tetapi

    selalu termasuk anus dan setidak tidaknya sebagian rectum dengan gejala klinis berupa

    gangguan pasase usus fungsional.(11)

    Hirschsprung Disease dikarakteristikan sebagai tidak adanya sel ganglion di

    pleksus myenterikus (auerbachs) dan submukosa (meissner).(13)

    D. EPIDEMIOLOGI Insiden Hirschsprung Disease bervariasi dari 1 di 5.000 hingga 1 dari 10.000

    kelahiran hidup. Dominan pada laki-laki dengan perbandingan 3: 1 sampai 5: 1. Dari

    jumlah kasus yang didapatkan 94% diantranya adalah pada bayi yang berusia dibawah

    5 tahun. Kasus yang melibatkan orang dewasa sangat jarang.(14,15)

  • 10

    Di United States, Hirschsprungs Disease terjadi pada sekitar 1 per 5000

    kelahiran hidup. Sedangkan secara internasional, prevalensi dapat bervariasi menurut

    wilayah dan telah terbukti ssebanyak 1 per 3000 kelahiran hidup di Negara Federasi

    Mikronesia.(16)

    Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko terjadinya

    Hirschsprungs Disease.penyakit ini lebih sering terjadi secara diturunkan oleh ibu

    aganglionosis disbanding oleh ayah. Sebanyak 12,5% dari kembaran pasien mengalami

    aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan

    menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan kembar, yang terkena kebanyakan

    mengalami long segment aganglionosis.(17)

    Insiden Hirschsprungs Disease di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi

    berkisar di satu di antara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia

    220 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir

    1540 bayi dengan Hirschsprungs Disease. Kartono mencatat 40 sampai 60 pasien

    Hirschsprungs Disease yang dirujuk setiap tahunnya ke RS Cipto Mangunkusumo

    Jakarta.(18)

    E. ETIOLOGI Hirschsprungs Disease terjadi karena tidak adanya ganglion pada pleksus

    myenterikus (auerbach) dan sub mukosa (meissner) pada rectum atau colon. Neuron

    enteric berasal dari neural crest dan bermigrasi secara caudal bersama dengan serat

    saraf vagus di sepanjang usus. Sel-sel ganglion akan tiba di colon proximal pada 8

    minggu usia kehamilan dan tiba di anus pada 12 minggu usia kehamilan. Kegagalan

    migrasi neuron enterik pada colon dan atau rectum ini akan membentuk segmen

    aganglionik. Hal ini menyebabkan Hirschsprungs Disease.(16)

    F. KLASIFIKASI Menurut letak segmen aganglionik, maka penyakit ini di bagi dalam :(19)

    1. Megakolon congenital segmen pendek

    Bila segmen aganglionik meliputi rectum sampai sigmoid (70 80%)

    2. Mengakolon congenital segmen panjang (20%)

    Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid

  • 11

    3. Kolon aganglionik total

    Bila segmen aganglionik mengenai seluruh colon (5 11%)

    4. Colon aganglionik universal

    Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%)

    G. PATOGENESIS Pada penyakit ini, colon mulai dari yang paling distal sampai pada bagian usus

    yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion parasimpatis

    intramural. Bagian colon aganglionik itu tidak dapat mengembang sehingga tetap

    sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini colon proximal yang

    normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk megacolon.(20)

    Pleksus mesenteric (aeurbach) dan pleksus submukosal (meisnner) tidak

    ditemukan, menyebabkan berkurangnya peristaltik usus dan fungsi lainnya. Mekanism

    eakurat mengenai perkembangan penyakit ini tidak diketahui. Sel ganglion enteric

    berasal dari diferensiasi sel neuroblast. Selama perkembangan normal, neuroblast dapat

    ditemukan di usus halus pada minggu ke tujuh usia gestasi dan akan sampai ke colon

    pada minggu 12 usia gestasi. Kemungkinan salah satu etiologi Hirschsprungs Disease

    adalah adanya defek pada migrasi sel neuroblast ini dalam jalurnya menuju ussu bagian

    distal. Migrasi neuroblast yang normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan

    neuroblast dalam bertahan, berproliferasi atau berdiferensiasi pada segment

    aganglionik distal. Distribusi komponen telah terjadi pada usus yang aganglionik.

    Komponen tersebut adalah fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule dan

    factor neurotropik.(21)

    Motalitas yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsic. Ganglia

    ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana relaksasi mendominasi.

    Fungsi usus telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik. Kendali ekstrinsik utamanya

    melalui serat kolinergik dan andregenik. Saat kolinergik ini menyebabkan kontraksi,

    dan serat adregenic menyebabkan inhibisi. Pada pasien dengan HirschsprungS

    Disease, sel ganglion tidak ditemukan sehingga control intrinsic menurun,

    menyebabkan peningkatan control persarafan ekstrinsik. Innervasi dari system

    adregenik diduga mendominasi system kolinergik, mengakibatkan peningkatan tonus

    otot polos usus. Dengan hilangnya kendali saraf intrinsic, peningkatan tonus tidak di

  • 12

    imbangi dan mengakibatkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltic

    yang tidak terkoordinasi dan pada akhirnya terjadi obstruksi fungsional.(22)

    H. DIAGNOSIS 1. Manifestasi Klinis

    Hirschsprungs Disease dapat dibedakan bersadarkan usia gejala klinis

    mulai terlihat, yaitu(11)

    a. Periode Neonatal Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran

    mekonium yag terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran

    mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis

    yang signifikan. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang

    manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis

    merupakanancaman komplikasi yang serius bagi penderita Hirschsprungs

    Disease ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi

    saat usia 2 4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu.

    Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, fese berbau busuk dan disertai

    demam. Swenson mencatat hamper 1/3 kasus Hirschsprungs Disease datang

    dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah

    dilakukan kolostomi.(11)

    Gambar 8. Foto pasien penderita Hirschsprung berusia 3 hari.

    Terlihat abdomen sangat distensi dan pasien kelihatan menderita sekali(11)

  • 13

    b. Periode Anak Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah

    konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan

    peristaltic usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur,

    maka feses biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi liquid dan berbau

    tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam

    beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.

    Gambar 9. Foto anak yang telah besar, sebelum dan sesudah tindakan

    definitif bedah. Terlihat status gizi anak membaik setelah operasi.(11)

    2. Pemeriksaan Radiologi a. Foto Polos Abdomen (BNO)

    Sulit untuk membedakan antara distensi kolon dengan distensi pada usus

    kecil jika hanya melalui foto polos abdomen. oleh karena itu, harus dilakukan

    pemeriksaan radiologi lanjutan untuk mendiagnosa penyakit ini. Pemeriksaan

    dengan barium enema adalah pemeriksaan yang terbaik untuk melihat obstruksi

    yang disebabkan oleh Hirschsprungs Disease.(16)

  • 14

    Gambar 10. Foto polos abdomen padaHirschsprungs Disease(19)

    b. Pemeriksaan Barium Enema Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnose

    Hirschsprungs Disease adalah barium enema, dimana akan dijumpai tiga tanda

    khas:

    1) Tampak daerah penyempitan di bagian rectum ke proximal yang

    panjangnya bervariasi.

    2) Terdapat daerah transisi, terlihat di proximal daerah penyempitan kea rah

    daerah dilatasi

    3) Terdapat daerah pelebaran lumen di proximal daerah transisi.

    Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas

    Hirschsprungs Disease, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium,

    yakni foto setelah 24 48 jam barium dibiarkan membaur denga feses.

    Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur denga feses kea

    rah proximal colon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprungs

    Disease namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat

    menggumpal di daerah rectum dan sigmoid.(11)

  • 15

    Gambar 11. Pemeriksaan barium enema pada penderita dengan penyakit

    Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid

    serta pelebaran di bagian atas dari zona transisi(11)

    Gambar 12. Zona transisi yang khas, tampak dilatasi di antara kolon

    yang terisi massa feses dibagian atas dan rektum

    yang relatif menyempit di bagian bawah(23)

  • 16

    Gambar 13. Pemeriksaan dengan kontras (barium enema) pada bayi

    menunjukkan segmen aganglionik yang ireguler dan mengalami spasme.(23)

    Gambar 14. Tampak penyempitan dibagian rektum dan sigmoid

    pada foto barium enema sisi lateral.(24)

  • 17

    Gambar 15. Pemeriksaan barium enema yang dilakukan selanjutnya

    memperlihatkan gambaran megakolon yang tipikal, zona transisi serta

    bagian aganglionik yang tidak melebar(23)

    Gambar 16. Pemeriksaan barium enema pada seorang pria muda dengan

    penyakit Hirschsprung tipe segmen pendek. Pria ini mengalami konstipasi

    kronis yang berlangsung sepanjang hidupnya. Perhatikan adanya dilatasi

    usus besar dan residu feses.(23)

  • 18

    Gambar 17. Penyakit Hirschsprung pada bayi yang berusia 6 bulan dengan

    riwayat konstipasi kronis. Foto barium enema sisi lateral ini menunjukkan

    dilatasi pada sigmoid kolon proksimal dan kolon ascendens(25)

    Pada orang dewasa yang menderita penyakit ini, biasanya lesi hanya

    terbatas pada bagian sigmoid colon atau rectum. Pemeriksaan yang dilakukan

    pada penderita dewasa itu hampir sama seperti dengan pemeriksaan yang

    dilakukan ke bayi, yaitu dengan pemeriksaan barium enema. Dalam suatu studi,

    didapatkan pemeriksaan dengan CT Scan juga bermanfaat untuk menentukan

    letak zona transisi dari penyakit ini. Hasil gambaran CT Scan yang didapatkan

    juga sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologis pada biopsy rectum.(15)

  • 19

    Gambar 18. Gambaran penyakit Hirschsprung dengan segmen aganglionik

    di bagian atas rektum pada seorang pria muda berusia 19 tahun.

    AC = ascending colon, DC = descending colon.

    Segmen kolon yang lain dalam batas normal.(15)

    Gambar 19. Pemeriksaan double kontras barium enema tampak dilatasi

    bagian atas dari rektum dan rectosigmoid junction

    yang terisi massa feses (pada anak panah)(5)

  • 20

    Gambar 20. Foto CT scan dengan kontras potongan transversal tampak dilatasi

    bagian proksimal rektum serta bagian rektosigmoid yang terisi massa feses(15)

    Gambar 21. Foto CT scan kontras potongan transversal. Tampak zona transisi

    dan penyempitan di bagian distal rektum.(15)

  • 21

    c. Pemeriksaan Laboratorium CBC count : tes ini dilakukan untuk mendeteksi terjadinya

    komplikasi seperti enterokolitis yang disebabkan oleh Hirschsprungs

    Disease. Peningkatan WBC count atau bandemia harus dicurigai terjadinya

    enterokolitis.(16)

    d. Anorektal Manometri Pada anak berusia lebih lanjut dengan keluhan sembelit kronis dan

    riwayat atipikal baik untuk Hirschsprungs Disease atau konstipasi

    fungsional, manometri anorektal dapat membantu dalam membuat

    diagnosis. Anak-anak dengan Hirschsprungs Disease gagal untuk

    menunjukkan reflex relaksasi pada spingter ani interna dalam menggapai

    inflasi balon dubur.(16)

    Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat reflex anorektal pada

    pasien yang dicurigai dengan Hirschsprungs Disease. Orang yang

    menderita penyakit ini biasanya akan kehilangan atau berkurang ferleks

    anorektalnya. Penurunan reflex anorektal yang dimaksudkan adalah

    kurangnya relaksasi pada bagian anus setelah dilakukan inflasi balon di

    bagian rectum. Bagaimanapun, terdapat banyak perbedaan pendapat tentang

    penilaian pada tes diagnostic ini.(26)

    Gambar 22. manometri anorektal,yang memakai balon berisi udara

    sebagai transducernya. Pada penderita Hirschsprungs Disease (kanan),

    tidak terlihat relaksasi spingter ani.(19)

  • 22

    e. Biopsi Rectum Biopsi rectum merupakan tes yang paling akurat untuk mendetaksi

    Hirschsprungs Disease. Dokter mengambil bagian sangat kecil dari rectum

    untuk dilihat di bawah mikroskop. Anak-anak dengan Hirschsprugs

    Disease tidak mempunyai sel-sel ganglion pada sampel yang diambil. Pada

    biopsy hisap, jaringan dikeluarkan dari colon dengan menggunakan alat

    penghisap. Karena tidak melibatkan pemotongann jaringan colon maka

    tidak diperlukan anestesi.(27)

    Jika biopsy menunjukkan adanya ganglion, Hirschsprungs Disease

    tidak terbukti. Jika tidak terdapat sel-sel ganglion pada jaringan contoh,

    biopsy full-thickness lebih banyak jaringan dari lapisan yang lebih dalam

    dikeluarkan secara bedah untuk kemudian diperiksa di bawah mikroskop.

    Tidak adanya sel-sel ganglion menunjukka danya Hirschsprungs Disease(27)

    Gambar 23. Pewarnaan Acetylcholinesterase dari biopsy hisap rectum.

    Normal rektum menunjukan minimal aktivitas Acetylcholinesterase

    dari lamina propria dan ganglion submukosa(2)

  • 23

    Gambar 24. Penyakit Hirschsprung dikarakteristikan dengan

    peningkatan positif acetylcholinesterase di lamina propia

    dan penebalan serabut saraf di submukosa(2)

    I. DIAGNOSIS BANDING a. Meconium Plug Syndrome

    Riwayatnya sama seperti pemulaan Hirschsprungs Disease pada neonatus,

    tapi setelah colok dubur mekonium sudah keluar, defekasi selanjutnya normal. Pada

    foto polos, penderita dengan kelainan Meconium Plug Syndrome, tampak distensi

    dari pada bagian usus kecil dan usus besar yang mengisi seluruh bagian abdomen,

    namun tidak terlihat air fluid level. Sementara pada pemeriksaan barium enema,

    akan tampak gambaran meconium plug. Pemeriksaan ini dikatakan memiliki efek

    terapeuetik apabila meconium keluar dengan sendirinya setelah beberapa waktu

    kemudian.(19,28)

  • 24

    Gambar 25. Tampak multiple meconium plug yang terdapat pada seorang

    bayi baru lahir dengan Meconium Plug syndrome(28)

    b. Akalasia Recti Keadaan dimana spingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip

    dengan Hirschsprungs Disease, tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak

    adanya ganglion Meissner dan Aeurbach.(19)

    Gambar 26. Akalasia Recti(31)

  • 25

    J. PENATALAKSANAAN 1. Tindakan Non Bedah

    Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah komplikasi yang

    mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada saat

    operasi defenitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi

    cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan

    nonbedah yang dapat dikerjakan adalah pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan

    pipa rektum, pemberian antibiotik, lavase colon dengan irigasi cairan, koreksi

    elektrolit serta pengaturan nutrisi(19)

    2. Tindakan Bedah a. Tidakan Bedah Sementara

    Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen

    dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal

    bagian distal. Tindakan dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan

    mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab

    utama terjadinya kematian pada penderita penyakit Hirschsprung. Manfaat

    lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan

    tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita

    Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan

    anastomose.(19)

    b. Tindakan Bedah Definitif Ada beberapa cara tindakan pembedahan yang dapat digunakan untuk

    tindakan bedah definitif antara lain teknik Swenson, Duhamel, Soave dan

    Rehbein Operation(19)

    1) Prosedur Swenson

    Swenson memperkenalkan prosedur rektosigmoidektomi dengan

    preservasi sfingter anal. Anastomosis dilakukan langsung di luar rongga

    peritoneal. Pembedahan ini disebut sebagai prosedur rektosigmoidektomi

    dilanjutkan dengan pull-through abdomino-perineal. Puntung rektum

  • 26

    ditinggalkan 2-3 cm dari garis mukokutan. Pada masa pascabedah

    ditemukan beberapa komplikasi seperti kebocoran anastomosis, stenosis,

    inkontinensi, enterokolitis dan lain-lain.(29)

    Teknik Pembedahan

    Reseksi kolon aganglion dimulai dengan pemotongan arteri dan vena

    sigmoidalis dan hemoroidalis superior. Segmen sigmoid dibebaskan

    beberapa sentimeter dari dasar peritoneum sampai 1-2 cm proksimal

    kolostomi. Puntung rektosigmoid dibebaskan dari jaringan sekitarnya di

    dalam rongga pelvis untuk dapat diprolapskan melalui anus. Pembebasan

    kolon proksimal dilakukan untuk memungkinkan kolon tersebut dapat

    ditarik ke perineum melalui anus tanpa tegangan.(29)

    Puntung rektum diprolapskan dengan tarikan klem yang dipasang di

    dalam lumen. Pemotongan rektum dilakukan 2 cm proksimal dari garis

    mukokutan, bagian posterior dan bagian anterior sama tinggi (Prosedur

    Swenson I). Atau pemotongan dilakukan dengan arah miring, 2 cm di

    bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior (prosedur Swenson II).

    Selanjut-nya, kolon proksimal ditarik ke perineum melalui puntung rektum

    yang telah terbuka. Anastomosis dilakukan dengan jahitan dua lapis dengan

    menggunakan benang sutera atau benang vicryl. Setelah anastomosis

    kolorektal selesai dilakukan, kemudian rektum dimasukkan kembali ke

    rongga pelvis. Reperitonealisasi dilakukan dengan perhatian pada

    vaskularisasi kolon agar tidak terjahit. Penutupan dinding abdomen

    dilakukan setelah pencucian rongga peritoneum. Kateter dan pipa rektal

    kecil dipertahankan untuk 2 - 3 hari.(29)

    2) Prosedur Duhamel

    Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi

    kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini

    adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui

    bagian posterior rectum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior

    rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang

  • 27

    ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to

    side. Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya

    sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam

    puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang.(19)

    Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel,

    diantaranya:

    a) Modifikasi Grob (1959)

    Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal

    setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensi

    b) Modifikasi Talbert dan Ravitch

    Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side

    to side yang panjang

    c) Modifikasi Ikeda

    Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose, yang terjadi

    setelah 6-8 hari kemudian

    d) Modifikasi Adang

    Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal dibiarkan prolaps

    sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada

    hari ke 7-14 pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan

    pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya.

    Pemasangan klem disini lebih dititik beratkan pada fungsi

    hemostasis.(19)

    3) Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through

    Soave mengerjakan prosedur bedah yang berbeda dengan dua

    prosedur bedah seperti diuraikan di atas. la melakukan pendekatan

    abdominoperineal dengan membuang lapisan mukosa rektosigmoid dari

    lapisan seromuskular. Selanjutnya dilakukan penarikan kolon berganglion

    normal keluar anus melalui selubung seromuskular rektosigmoid. Prosedur

    ini disebut juga sebagai prosedur pull-through endorektal. Setelah 21 hari,

    sisa kolon yang diprolapskan dipotong. Boley pada waktu yang hampir

    bersamaan melakukan prosedur pull-through endorektal persis seperti

  • 28

    prosedur Soave dengan anastomosis langsung tanpa kolon diprolapskan

    lebih dahulu. Tehnik ini dilakukan untuk mencegah retraksi kolon bila

    terjadi nekrosis bagian kolon yang diprolapskan.(29)

    4) Prosedur Rehbein

    Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana

    dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum

    pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan

    1 lapis yang dikerjakan intra abdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi,

    sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.(19)

    K. KOMPLIKASI Secara garis besar, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung

    dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan

    fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi terjadinya penyulit

    pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi umum penderita saat

    operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah,

    jenis dan cara pemberian antibiotik serta perawatan pasaca bedah.(19)

    1. Kebocoran Anastomose Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan

    yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada

    kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma

    colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-

    hati.(19)

    Kartono mendapatkan angka kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan

    menggunakan prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakan dengan prosedur

    Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu kasus pun mengalami

    kebocoran.(19)

    Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam.

    Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh,

    terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran berat dapat terjadi demam

  • 29

    tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila

    dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen

    proksimal.(19,30)

    2. Stenosis Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan

    penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan terbentuknya

    jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis sirkuler

    biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior

    berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang

    biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan

    defekasi yaitu kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal.

    Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari

    businasi hingga sfingterektomi posterior. (30)

    3. Enterokolitis Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat

    berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat

    enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5%

    masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan

    angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur

    Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-

    tanda enterokolitis adalah(30)

    1) Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit

    2) Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi,

    3) Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari

    4) Pemberian antibiotika yang tepat.

    Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab/prosedur operasi

    yang telah dikerjakan. Businasi pada stenosis, sfingterotomi posterior untuk spasme

    spingter ani, dapat juga dilakukan reseksi ulang stenosis. Prosedur Swenson

    biasanya disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga perlu spinkterektomi

    posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi, penyebab enterokolitis

  • 30

    biasanya adalah pemotongan septum yang tidak sempurna sehingga perlu dilakukan

    pemotongan ulang yang lebih panjang.(19)

    Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada

    pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan penyebab

    kecacatan dan kematian pada megakolon kongenital, mekanisme timbulnya

    enterokolitis menurut Swenson adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus pasca

    bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon aganlionik yang

    tersisa masih spastik. Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen

    diikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif cair

    dan berbau busuk. Enterokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah

    karena terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang sulit pada megakolon

    kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca pullthrough, kadang ahli

    bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan enterokolitis berulang pasca

    bedah.(19)

    4. Gangguan Fungsi Spingter Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima

    universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling (kecepirit) merupakan

    parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai fungsi anorektal

    pasca operasi, meskipun secara teoritis tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah

    suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita,

    keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai kecipirit, umur dan lamanya

    pasca operasi sangatlah menentukan, Swenson memperoleh angka 13,3% terjadinya

    kecipirit, sedangkan Kleinhaus justru lebih rendah yakni 3,2% dengan prosedur

    yang sama. Kartono mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur Swenson dan 0%

    untuk prosedur Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga

    memberikan angka 0%. Pembedahan dikatakan berhasil bila penderita dapat

    defekasi teratur dan kontinen.(19)

  • 31

    L. PROGNOSIS Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi, 90% pasien

    dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami

    penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan

    saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian

    akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.(19)

  • 32

    KAJIAN ISLAM

    Sesuatu yang tidak akan dipungkiri siapa pun adalah kehidupan ini tidak hanya

    dalam satu keadaan. Ada senang, ada duka. Ada canda, begitu juga tawa. Ada sehat, namun

    juga adakalanya sakit. Dan semua ini adalah sunnatullah yang mesti dihadapi orang

    manapun.

    Di antara hal yang paling menarik dalam hal ini adalah di mana seorang manusia

    menghadapi ujian berupa sakit. Tentu keadaan sakit ini lebih sedikit dan sebentar

    dibanding keadaan sehat. Yang perlu diketahui oleh setiap muslim adalah tidaklah Allah

    menetapkan (mentaqdirkan) suatu taqdir melainkan di balik taqdir itu terdapat hikmah,

    baik diketahui ataupun tidak. Dengan demikian, hati seorang muslim harus senantiasa

    ridho dan pasrah kepada ketetapan Rabb-nya.

    Saat seseorang mengalami sakit, hendaknya ia menyadari bahwa Rasulullah SAW

    yang merupakan manusia termulia sepanjang sejarah juga pernah mengalaminya.

    Hiburan Untuk Orang yang Tertimpa Musibah

    Agar sakit itu berbuah kebahagiaan, bukan keluh kesah, hendaknya seorang muslim

    mengetahui janji-janji yang Allah berikan, baik dalam Al Quran maupun melalui lisan

    Rasul-Nya, Muhammad SAW.

    Allah Taala berfirman :

    Artinya:

    Katakanlah (Muhammad), Tidak akan menimpa kami kecuali apa yang telah Allah

    tetapkan untuk kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang

    beriman harus bertawakal. (QS. At Taubah: 51).

    Juga firman-Nya,

    ) () (

  • 33

    Artinya:

    Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri

    melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.

    Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian

    itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya

    kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah

    tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS Al Hadid: 22-

    23)

    Rasulullah SAW bersabda,:

    Tidaklah seorang muslim yang tertimpa gangguan berupa penyakit atau semacamnya,

    kecuali Allah akan menggugurkan bersama dengannya dosa-dosanya, sebagaimana pohon

    yang menggugurkan dedaunannya. (HR. Bukhari dan Muslim)

    Sesungguhnya besarnya pahala itu berbanding lurus dengan besarnya ujian. Dan

    sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Siapa yang

    ridha, baginya ridha(Nya), namun siapa yang murka, maka baginya kemurkaan(Nya).

    (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

    Setiap Penyakit Pasti ada Obatnya

    Hal lain yang seyogyanya diketahui oleh seorang muslim adalah tidaklah Allah

    menciptakan suatu penyakit kecuali Dia juga menciptakan penawarnya. Hal ini

    sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW

    Artinya :

    Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan penawarnya. (HR

    Bukhari).

  • 34

    Imam Muslim merekam sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu

    anhu, dari Rasulullah SAW bahwasannya beliau bersabda,

    Artinya:

    Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat itu tepat untuk suatu penyakit, penyakit itu akan

    sembuh dengan seizin Allah Azza wa Jalla.

    Kesembuhan itu hanya Datang dari Allah

    Allah berfirman menceritakan kekasih-Nya, Ibrahim alaihissalam,

    Artinya:

    Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku. [QS Asy Syuara: 80]

    Di surat Al Anam (ayat: 17)

    Artinya:

    Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang

    menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan

    kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.

  • 35

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Surya, Putu Ayu Ines Lassiyani Surya. Dharmajaya, I Made. Artikel Gejala dan

    Diagnosis Penyakit Hirschsprung. Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

    2. Hollwarth, M.and Puri, M. 2006. Pediatric Surgery. Berlin : Springer-Verlag

    3. Justin P Wagner, MD Resident Physician. Chief Editor: Julian Katz, MD. 2014. Hirschsprungs Disease. Department of Surgery, University of California, Los Angeles, David Geffen School of Medicine. Available at: http://emedicine.medscape.com Accessed : Thursday 14 May 2015.

    4. Sadler,T.W. 2000. Sistem Pencernaan. Dalam : Embriologi Kedokteran Langman Edisi 7,Jakarta : EGC

    5. Lindseth, Glenda N, 2005. Gangguan Usus Besar. Dalam: Hartanto Huriawati. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit , Volume 1, Edisi 6.Jakarta: EGC.

    6. Frank H. Netter, MD. 2006. Atlas of Netter 4th Edition. Philadelphia : Elsevier

    Saunders.

    7. Eroschenko, Victor P. 2010. Atlas Histologi diFiore. Jakarta: EGC

    8. Urban, Fischer. 2007. Atlas of Human Anatomy Sobotta

    9. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies of The Gastrointestinal Tract In: Caffeys Pediatric Diagnostic Imaging 10th edition. Philadelphia: Elsevier-Mosby.

    10. Taylo,Clive R, 2005. Struktur dan Fungsi, Sindrom Malabsorbsi, Obstruksiusus.

    Mahanani, Dewi Asih,dkk. Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta: EGC

    11. Irwan, Budi. 2003. Pengamatan fungsi anorektal pada penderita penyakit Hirschprung pasca operasi pull- through .Bagian ilmu bedah fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara.

    12. Pieter, John, 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum.Sjamsuhidaja R,

    dalam: De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta : EGC

    13. Wanner B.W. 2004. Chapter 70. Pediatric Surgery in TOWNSEND SABISTON TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. W.B. Philadelphia : Saunders Company.

  • 36

    14. Nurko, Samuel. MD., MPH. Hirschsprungs Disease. Director Center for Motility and Functional Gastrointestinal Disorders, Childrens Hospital, Boston. Available at: http://www.motilitysociety.org accessed: Friday 15 may 2015.

    15. Hye Jin Kim, MD, Ah Young Kim,MD, Choong Wok Lee, MD, Chang Sik Yu,

    MD,Jung Sun Kim, MD, Pyo Nyun Kim,MD, Moon Cayu Lee, MD and Hyun Kwon Ha, MD . 2008. Hirschprung Disease and Hypoaganglionosis In Adults. Available at : http://pubs.rsna.org accessed : Friday 15 may 2015

    16. Holly L Neville, MD., Chief Editor: Carmen Cuffari, MD. Pediatric Hirsprungs

    Disease Associate Professor of Clinical Surgery, Division of Pediatric Surgery, University of Miami, Leonard M Miller School of Medicine. Available at: http://emedicine.medscape.com accessed : Saturday 16 may 2015

    17. Holschneider A., Ure B.M.,2000. Chapter 34 Hirschsprung Disease in: Aschraft

    Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Philadelphia : Saunders Company

    18. Corputty, Elfianto D, Lampus, Harsali F, Monoarfa, Alwin. Gambaran pasien hirschsprung di rsup prof. Dr. R. D. Kandou manado periode januari 2010 September 2014. Available at: http://ejournal.unsrat.ac.id accessed Sunday 17 may 2015

    19. Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto

    20. Jong w, Syamsuhidayat R. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC

    21. L Lee Steven, MD Chief , Pediatric Surgery. Kqisar Permanene, Los Angeles,

    Medical Center. Hirschsprungs Disease. Available at: http://www.emedicine.medscape.com. Accessed: Sunday 17 may 2015

    22. Ashraft, K. Pediatric surgery 4th edition. Philadelphia : Elsevier saunder

    23. Pediatric Radiology , Chapter 52 ,Pediatric Abdomen and Pelvis Fundamentals of

    Diagnostic Radiology dalam 3rd Edition ditulis oleh William E. Brant MD, FACR dan Clyde A. Helms MD.

    24. Ciro Yoshida, Jr, MD. 2011. Hirschprung Disease Imaging, in: Medscape

    Referrence, Drug. Disease and Procedure . available at: http://www.emedicine. medscape.com accessed Sunday 17 may 2015

    25. Teresa Berrocal, MD, Manuel Lamas, MD, Julia Gutierrez, MD, Isabel Torres,

    MD, Consuelo Prieto, MD, and Maria Luisa del Hoyo, MD. Congenital anomalies of the small intestine, colon, and rectum. Available at : Radiographics.rsna.org. accessed at Saturday 16 may 2015

  • 37

    26. Alberto Pena dan Marc A Levitt, Surgical Therapy of Hirschprung Disease dalam Constipation Etiology, Evaluation and Management. Ditulis oleh; Steven Wexner dan Graeme S. Duthie. Springer- Verlag London Limited 2006. Pediatric Surgical Problem Chapter 18 dalam Colon and Rectal Surgery ditulis oleh Marwin L.Corman. Edisi ke 5. Lippincott Williams and Wilkins 2005.

    27. Penatalaksanaan Pasien dengan penyakit Hirschprung. Available at :

    www.infokedokteran.com accessed at : Monday 18 may 2015

    28. Vera Loening-Baucke ,MD and Ken Kimura,MD, Failur to Pass meconium: Diagnosing Neonatal Intestinal Obstruction. 1999. available at: www.American Family Physician.com. accessed at Monday 18 may 2015

    29. Hansen, T.J., Koeppen, B.M. 2006. Chapter35 Digestive System in Netters Atlas

    of Humans Anatomy. McGraw-Hill. New York.

    30. Swenson O. 2002. Hirschsprungs disease : A Review. J Pediatr.

    31. https://classconnection.s3.amazonaws.com