COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM UPAYA MENYELESAIKAN KRISIS...

35
1 | Naskah Publikasi JUNAIDI COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM UPAYA MENYELESAIKAN KRISIS LISTRIK DI KOTA TANJUNGPINANG JUNAIDI Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, FISIP UMRAH A B S T R A K Krisis listrik di Kota Tanjungpinang memerlukan banyak pihak untuk mengatasinya. Seharusnya saat ini pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Perseroan Terbatas Perusahaan Listrik Milik Negara ( PT PLN ) harus melakukan Colaborasi dalam upaya menyelesaikan Krisis Listrik yang melanda hampir di seluruh daerah termasuk Kota Tanjungpinang. Perlu pengawalan serius dalam mengatsi krisis listrik krisis listrik yang semakin parah ini dapat di selesaikan. Collaborative Governance sanggat di butuhkan dalam upaya menyelesaikannya. Kolaborasi dalam permasalahan ini memastikan bahwa berbagai kepentinggan yang di wakili atas dasar sanling ketergantugan para Stakeholder Tujuan collaborative governance Upaya Menyelesaikan Krisis listrik di Kota Tanjungpinang. Dalam pembahasan ini mengunakan penelitian deskriptif kualitatif. Informen dalam penelitian ini adalah Walikota Tanjungpinang, BAPPEDA, Ketua DPRD kota Tanjungpinang, Mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ) dan Manager Arial Perusahaan Listrik Milik Negara ( PLN )Tanjungpinang. Teknik analisis data yang di gunakan Analisis data deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat di analisa dalam mengatasi permasalahan listrik sudah di upayakan dengan collaborative governance, Pemerintah selama ini ikut membantu Perusahaan Listrik Negara menyelesaikan krisis listrik di kota Tanjungpinang. Namun terkendala di kewenangan di mana hirarki organisasi Perusahaan Listrik Negara yang keputusan sepenuhnya di tentukan Pusat. Perusahaan listrik Negara belum bisa mengatasi masalah listrik karena pembangunan tansmisi batam-bintan mengalami kendala, permasalahan hutan lindung, dan pembebasan lahan. Kata Kunci : Collaborative Governance, Perusahaan Listrik Negara ( PLN )

Transcript of COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM UPAYA MENYELESAIKAN KRISIS...

1 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM UPAYA MENYELESAIKAN

KRISIS LISTRIK DI KOTA TANJUNGPINANG

JUNAIDI

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, FISIP UMRAH

A B S T R A K

Krisis listrik di Kota Tanjungpinang memerlukan banyak pihak untuk

mengatasinya. Seharusnya saat ini pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan

Perseroan Terbatas Perusahaan Listrik Milik Negara ( PT PLN ) harus melakukan

Colaborasi dalam upaya menyelesaikan Krisis Listrik yang melanda hampir di

seluruh daerah termasuk Kota Tanjungpinang. Perlu pengawalan serius dalam

mengatsi krisis listrik krisis listrik yang semakin parah ini dapat di selesaikan.

Collaborative Governance sanggat di butuhkan dalam upaya menyelesaikannya.

Kolaborasi dalam permasalahan ini memastikan bahwa berbagai kepentinggan

yang di wakili atas dasar sanling ketergantugan para Stakeholder

Tujuan collaborative governance Upaya Menyelesaikan Krisis listrik di

Kota Tanjungpinang. Dalam pembahasan ini mengunakan penelitian deskriptif

kualitatif. Informen dalam penelitian ini adalah Walikota Tanjungpinang,

BAPPEDA, Ketua DPRD kota Tanjungpinang, Mahasiswa, Lembaga Swadaya

Masyarakat ( LSM ) dan Manager Arial Perusahaan Listrik Milik Negara ( PLN

)Tanjungpinang. Teknik analisis data yang di gunakan Analisis data deskriptif

kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat di analisa dalam mengatasi

permasalahan listrik sudah di upayakan dengan collaborative governance,

Pemerintah selama ini ikut membantu Perusahaan Listrik Negara menyelesaikan

krisis listrik di kota Tanjungpinang. Namun terkendala di kewenangan di mana

hirarki organisasi Perusahaan Listrik Negara yang keputusan sepenuhnya di

tentukan Pusat. Perusahaan listrik Negara belum bisa mengatasi masalah listrik

karena pembangunan tansmisi batam-bintan mengalami kendala, permasalahan

hutan lindung, dan pembebasan lahan.

Kata Kunci : Collaborative Governance, Perusahaan Listrik Negara ( PLN )

2 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM UPAYA MENYELESAIKAN

KRISIS LISTRIK DI KOTA TANJUNGPINANG

JUNAIDI

Studeent of science Of Governmet, FISIP UMRAH

A B S T R A C T

The power crisis in Tanjungpinang requires many parties to resolve it.

Supposedly this time the central government, local government, and the Company

Limited State-owned Electricity Company (PT PLN) must Colaborasi in efforts to

resolve the electricity crisis that hit almost all regions, including Tanjungpinang.

Override the need to escort serious power crisis worsening power crisis can be

resolved. Collaborative Governance sanggat in need in an effort to solve them.

Collaboration on this issue to make sure that the various kepentinggan are

represented on the basis Sanling reliance Stakeholders

Interest collaborative governance efforts Resolving power crisis in

Tanjungpinang. In this discussion uses descriptive qualitative research. Informen

in this study is the Mayor Tanjungpinang, Planning, Chairman of the Parliament

Tanjungpinang, Student, Non Governmental Organization (NGO) and the

Manager Arial State Owned Electricity Company (PLN) Tanjungpinang. Data

analysis techniques used descriptive qualitative data analysis.

Based on the research results can be analyzed in overcoming problems of

electricity've strived to collaborative governance, the Government has been

helping the State Electricity Company resolve the electricity crisis in the city of

Tanjungpinang. But constrained in the organizational hierarchy authority

where the State Electricity Company that the decision entirely in the set

center. State electricity company has not been able to overcome the problem of

electricity since the development of Batam-Bintan transmission experiencing

problems, problems of protected forests, and land acquisition.

Keywords : Collaborative Governance, State Electricity Company (PLN)

3 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

COLLABORATIVE

GOVERNANCE DALAM UPAYA

MENYELESAIKAN KRISIS

LISTRIK DI KOTA

TANJUNGPINANG

A. Latar Belakang

Berdasarkan konstitusi pada

pembukaan Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun

1945 alenia ke empat menyebutkan

tujuan negara Indonesia salah

satunya adalah untuk memajukan

kesejahteraan umum. Kesejahteraan

Umum yang menjadi tujuan negara

Indonesia, dapat di capai salah

satunya dengan melakukan

pembagunan nasional yang merata di

seluruh indonesia. (Mahfud, MD :

2006 : 1)

Kewajiban Pemerintah, baik

Pusat maupun Daerah (Kota) adalah

menyediakan kebutuhan dasar warga

negara dan masyarakatnya. Melalui

serangkaian kegiatan pembangunan,

berbagai sektor pembangunan,

menyentuh lapisan masyarakat yang

di sasarkan, menggunakan sumber-

sumber anggaran yang sah sesuai

peruntukannya untuk mencapai

tujuan mensejahterakan masyarakat

dan tentunya menggunakan dasar

hukum dan ketentuan yang berlaku

karena setiap perbuatan pemerintah

tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang.

Tenaga listrik merupakan

salah satu komponen utama dalam

mewujudkan dan meningkatkan

kesejahteraan rakyat dan

mencerdaskan kehidupan bangsa

guna mewujudkan cita-cita bangsa.

Pemenuhan energi listrik sangat

penting dan berpengaruh pada

seluruh aktivitas rakyat maupuan

pemerintah. Di zaman moderen

sekarang, hapir seluruh aktifitas baik

di bidang eklonomi pertahanan dan

4 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

keamanan, politik budaya maupun

sosial. (Magdalena Silitonga : 2002 :

2)

Salah satu Badan Usaha

Milik Negara (BUMN) berbentuk

persero adalah perusahaan listrik

milik negara yang selanjutnya di

sebut PT. PLN Persero yang

memberikan pelayanan jasa lisrik

kepada masyarakat dalam

penyediaan jasa yang berhugungan

dengan ketenaga listrikan untuk

memenuhi kebutuhan listrik

masyarakat, sebagai mana PT. PLN

persero selaku pemegang izin

monopoli untuk penyediaan listrik

sesuai dengan Keputusan Menteri

Sumber Daya Mineral ( KEPMEN

ESDM) Nomor 634-

12/20/600.3/2011 Tanggal 30

September 2011. Amanat Peraturan

Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012

Tentang kegiatan Penyediaan Tenaga

listrik Untuk kepentingan Umum di

laksanakan Harus Sesuai dengan

rencana umum ketenaga listrikan dan

rencana usaha penyediaan tenaga

Listrik.

Perseroan Terbatas (PT).

Perusahaan Listrik Milik Negara

(PLN) sebagai penyelenggara usaha

penyediaan tenaga listrik dalam

melaksanakan fungsinya berdasarkan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2009 Tentang Ketenaggalistrikan.

yang selanjutnya disebut Undang-

Undang Ketenagalistrikan, Pasal 4

ayat (1) Undang-Undang

Ketenaggalistrikan mengatur bahwa

pelaksanaan usaha penyediaan

tenaga listrik di lakukan oleh

Pemerintah dan Pemerintah Daerah

dilakukan oleh Badan Usaha Milik

Negara dan Badan Usaha Milik

Daerah.

5 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

Kota Tanjungpinang

merupakan salah satu kota yang

mengalami pertumbuhan penduduk

sangat cepat. Berikut data penduduk

yang dapat dilihat dari tabel berikut

ini :

Tabel 1.1

Jumlah penduduk

No Tahun Jumlah

penduduk

1 2012 194.099 Jiwa

2 2013 196.980 Jiwa

3 2014 199.723 Jiwa

4 2015 203.153 Jiwa

Sumber : BPS Tanjungpinang,

2015

Tahun 2012, jumlah

penduduk Tanjungpinang berjumlah

194.099 orang. Jumlah itu meningkat

menjadi 196.980 orang di tahun 2013

atau bertambah sebanyak 2.881 juwa.

Dan di tahun 2014, jumlahnya

meningkat cukup siginifikan, naik

menjadi 199.723 jiwa kemudian

kembali naik pada tahun 2015

mencapai 203.153 Jiwa.

Pertumbuhan penduduk di Kota

Tanjungpinang tentunya akan

mempengaruhi kebutuhan listrik.

Dengan pertumbuhan penduduk

yang tidak di berengi degan daya

listrik yang mencukupi, sehingga

menimbulkan masalah krisis listrik di

Kota Tanjungpinang.

Tabel 1.2

Pertumbuhan Kelistrian

Kota Tanjungpinang

Urai

an

Sa

tu

an

20

11

20

12

20

13

20

14

20

15

Juml

ah

Pela

ngga

n

PL

G

14

1.9

22

15

8.8

34

17

8.8

84

19

3.8

34

20

4.2

92

(

%)

21,

7

11,

9

12,

6

8,4

%

5,4

%

6 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

% % %

Day

a

Ters

amb

ung

M

V

A

24

4,8

7

28

1,4

32

9,1

6

35

9,1

6

38

1,4

(

%)

27,

6

%

14,

9

%

17,

0

%

9,1

%

6,2

%

Rasio elektrifikasi

menandakan tingkat perbandingan

jumlah penduduk yang menikmati

listrik dengan jumlah total penduduk

di suatu wilayah atau negara. Data

dari International Energy Agency,

rasio elektrifikasi Indonesia hanya

sekitar 60%, artinya 40% penduduk

Indonesia belum menikmati listrik.

Rasio elektrifikasi ini sangat

berhubungan dengan tingkat

pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga

Uap (PLTU) 10.000 MW pun

akhirnya menjadi solusi pemerintah

untuk meningkatkan rasio

elektrifikasi nasional yang

berdampak pada peningkatan

pertumbuhan ekonomi nasional.

(

http://topanhakim.wordprees.com/20

10/10/13)

Krisis listrik Tanjungpinang

memerlukan komitmen banyak pihak

untuk mengatasinya. Seharusnya saat

ini pemerintah pusat, pemerintah

daerah, dan PT PLN (Persero)

memiliki kolaborasi dalam

penanganan krisis listrik yang

melanda hampir di semua daerah

termasuk Kota Tanjungpinang. Perlu

pengawalan yang lebih serius agar

penanganan krisis listrik yang kian

parah ini dapat segera ditangani

sesuai jadwal.

7 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

Paradigma tata kelola

pemerintahan telah bergeser dari

Government ke arah Governance

yang menekankan pada kolaborasi

dalam kesetaraan dan keseimbangan

antara pemerintah, sektor swasta, dan

masyarakat madani. Publik menjadi

tolak ukur keberhasilan pelaksanaan

tugas dan pengukuran kinerja

pemerintah melalui birokrasi.

Kolaborasi yang efektif terwujud dari

berbagai proses seperti komunikasi,

kerjasama, dan fleksibilitas.

Kolaborasi adalah suatu kondisi

dimana semua stakeholder yang

secara otomatis akan saling

berkontribusi. (

http://khadafidsociality.bilogospot.co

.id/2011/07)

Pada paparan gejala yang

telah dijelaskan dilatar belakang

maka penulis mengasumsikan untuk

menyelesaikan permasalahan listrik

sudah seharusnya pemerintah

melakukan collaborative

governance. Fokusnya adalah pada

pengambilan keputusan kolektif yang

menyiratkan bahwa pemerintahan ini

tidak hanya satu individu yang

membuat keputusan melainkan

tentang kelompok individu atau

organisasi atau sistem organisasi

yang membuat keputusan.

Collaborative Governance

sangat dibutuhkan dalam upaya

menyelesaikan krisis listrik di Kota

Tanjugpinang. Kolaborasi dalam

permasalahan ini untuk memastikan

bahwa berbagai kepentingan yang

diwakili. Berdasarkan permasalahan

tersebut peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian secara

mendalam berkaitan dengan judul

:“COLLABORATIVE

GOVERNANCE DALAM UPAYA

MENYELESAIKAN KRISIS

8 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

LISTRIK DI KOTA

TANJUNGPINANG. ”

B. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini

adalah deskriftif kualitatif

yaitu hanya memaparkan data

yang diperoleh dari hasil

wawancara secara ilmiah.

Sugiyono (2012 : 15) bahwa

“data kualitatif adalah data

yang dinyatakan dalam

bentuk kata, kalimat, dan

gambar.” Dari data yang telah

terkumpul sesuai dengan

indikator permasalahan

peneliti mengolah dan

menganalisa data-data yang

terkumpul tersebut menjadi

data yang sistematik, teratur

dan terstruktur sehingga

mempunyai makna sesuai

permasalahan yang berkaitan

dengan objek penelitian

C. LANDASAN TEORITIS

1. Collaborative Governance

Satu komponen penting dari

istilah collaborative governance

adalah “governance.” Banyak

penelitian yang telah membangun

definisi governance, akan tetapi

definisi tersebut masih sebatas

dengan apa yang dapat dikerjakan

oleh pemerintah dan difalsifikasi

olehnya, namun belum

komprehensif. Sebagai contoh, Lynn,

Heinrich dan Hill (2001: 7)

menafsirkan pemerintahan secara

luas sebagai rezim hukum, aturan,

peradilan, dan praktek-praktek

administratif yang didukung untuk

membatasi, meresepkan dan

mengaktifkan penyediaan barang

publik. Definisi ini menyediakan

ruang untuk struktur pemerintahan

9 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

tradisional serta muncul bentuk

badan pengambilan keputusan publik

atau swasta. Stoker, di sisi lain,

berpendapat pemerintahan yang

merujuk kepada aturan dan

membentuk panduan pengambilan

keputusan kolektif.

Proses penyelenggaraan

negara yang melibatkan banyak aktor

dalam menyelesaikan masalah publik

merupakan suatu keharusan yang

dilakukan oleh pemerintah saat ini.

Mengingat bahwa

konsep governance itu sendiri

meliputi integrasi antara berbagai

sektor yang ada dalam suatu negara,

yang dalam hal ini negara tidak lagi

dominan dan tidak lagi dapat

menyelenggarakan suatu negara

tanpa adanya keterlibatan dari sektor

lain seperti lembaga non pemerintah

termasuk masyarakat dalam suatu

negara. Collaborative governance tidak

muncul secara tiba-tiba karena hal

tersebut ada disebabkan oleh inisiatif

dari berbagai pihak yang mendorong

untuk dilakukannya kerjasama dan

koordinasi dalam menyelesaikan

masalah yang sedang dihadapi oleh

publik. Dalam hal ini masalah krisis

listrik merupakan masalah yang

kompleks dan memerlukan tindakan

kolaborasi segera oleh semua pihak

yang terkait dengan masalah krisis

listrik. Adanya kompleksitas masalah

yang mengharuskan terjadinya

kolaborasi ini dijelaskan dalam teori

yang dikemukakan oleh (Ansell and

Gash dalam Sudarmo, 2011:104) Hal

ini sejalan dengan pendapat Hudson

dan Hardy dalam Everingham

(2012:177) berikut : Hal ini

menunjukkan bahwa alasan untuk

pemerintahan kolaboratif lebih baik

dipahami sebagai potensi laten yang

membutuhkan keahlian, konstruksi dan

investasi untuk menyadari. Sebagai

10 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

Hudson dan Hardy (2002) berpendapat,

kolaboratif jaringan tidak mungkin

untuk tumbuh secara spontan tetapi

harus "dibudidayakan”. Pentingnya

melakukan collaborative

governance antara lain karena:

1. Kegagalan implementasi

kebijakan di tataran lapangan

2. Ketidakmampuan kelompok-

kelompok, terutama karena

pemisahan rezim-rezim

kekuasaan untuk

menggunakan arena-arena

institusi lainnya untuk

menghambat keputusan

3. Mobilisasi kelompok

kepentingan

4. Tingginya biaya dan

politisasi regulasi (Ansell and

Gash dalam Sudarmo,

2011:105)

Kemunculan dan

dikembangkannya collaborative

governance adalah sebagai sebuah

alternatif bagi :

1. Pemikiran-pemikiran yang

semakin luas tentang

pluralisme kelompok

kepentingan

2. Adanya kegagalan

akuntabilitas manajerialisme

(terutama manajemen ilmiah

yang semakin dipolitisasi)

dan kegagalan

implementasinya. (Ansell and

Gash dalam Sudarmo,

2011:105)

Secara umum collaborative

governance muncul secara adaptif

atau dengan sengaja diciptakan

secara sadar karena alasan-alasan

sebagai berikut :

1. Kompleksitas dan saling

ketergantungan antar institusi

11 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

2. Konflik antar kelompok

kepentingan yang bersifat

laten dan sulit diredam

3. Upaya mencari cara-cara baru

untuk mencapai legitimasi

politik (Ansell and Gash

dalam Sudarmo, 2011:104)

Chris Ansell dan Alison Gash

(2007) memberikan definisi

Collaborative Governance secara

jelas, yaitu A governing arrangement

where one or more public agencies

directly engage non-stet stakeholders

in a collective decision-making

process that is formal, consensus-

oriented, and deliberative and that

aims to make or implement public

policy or manage public program or

assets Berdasarkan pemaparan

Ansell dan Gash di atas dapat

dipahami bahwa Konsep

Collaborative Governance

merupakan sebuah tipe dari

governance. Collaborative

Governance sendiri membayangkan

adanya sebuah forum deliberatif, di

mana para stakeholder yang terlibat

dapat melakukan proses dialog

hingga mencapai sebuah konsensus

terkait permasalahan publik tertentu.

Setidaknya ada empat aspek penting

dari Collaborative Governance,yaitu

eksistensi forum deliberatif, aktor

majemuk meliputi aktor negara dan

non-negara, berorientasi consensus,

dan terkait kebijakan publik

(orientasi public goods) (Ansell &

Gash 2007).

Kolaborasi dipahami sebagai

kerjasama antar aktor, antar

organisasi atau antar institusi dalam

rangka pencapain tujuan yang tidak

bisa dicapai atau dilakukan secara

independent. Dalam bahasa

Indonesia, istilah kerjasama dan

kolaborasi masih digunakan secara

12 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

bergantian dan belum ada upaya

untuk menunjukkan perbedaan dan

kedalaman makna dari istilah

tersebut.

Secara umum lebih dikenal

istilah kerjasama dari pada

kolaborasi, dan tidak ada

pemahaman yang lebih mendalam

tentang paradigma apa yang

seharusnya dianut. Imparial

(2004:13) mendefinisikan kolaborasi

adalah kegiatan bersama antara dua

atau lebih organisasi yang ditujukan

untuk meningkatkan nilai publik

dengan cara bekerja sama daripada

secara terpisah. Kolaborasi

merupakan proses interaktif dengan

melibatkan otonom sekelompok

aktor yang memanfaatkan aturan

bersama, norma atau struktur

organisasi untuk memecahkan

masalah, mencapai kesepakatan

melakukan tindakan bersama,

berbagi sumber daya seperti

informasi, dana atau staf.

Hogue (2003:6-8)

menjelaskan sebagai bentuk relasi

dan kerjasama antar organisasi,

collaboration berbeda dengan

coordination dan cooperation.

Perbedaannya terletak pada sifat

tujuan kerjasama dan bentuk

ketergantungannya. coordination dan

cooperation merupakan upaya

organisasi dari pihak yang berbeda

untuk mencapai tujuan bersama

dengan tujuan yang bersifat statis.

Hubungan antarorganisasi dalam

koordinasi dan kooperasi bersifat

independen. Pada collaboration,

seluruh pihak bekerjasama dan

membangun konsensus untuk

mencapai suatu keputusan yang

menghasilkan kemanfaatan bagi

seluruh pihak

13 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

Kemudian Beverly Cigler

(1999) dikutip Matkin (2009:5)

kegiatan kolaboratif digambarkan

pada pengembangan kebijakan dan

implementasi, mengidentifikasi

sebuah "continuum of partnerships"

di mana di salah satunya

"networking". Kemitraan yang

terorganisir secara longgar utamanya

untuk pertukaran informasi.

Berikutnya adalah "cooperative";

kemitraan yang melibatkan

kesepakatan yang sederhana dan

hubungan berkisar dari informal

menjadi agak formal. Kemudian

"coordinating"; kemitraan yang

memerlukan lebih banyak komitmen,

hubungan ketat dan lebih formalitas.

Terakhir, "collaboration" adalah

kemitraan paling terkuat, hubungan

jangka panjang dan formal serta

komitmen yang tinggi tentang

sumber daya.

Petter (dalam Dwiyanto :

2010:258) kerjasama yang bersifat

kolaboratif, hubungan principal-agen

tidak berlaku karena kerjasama yang

terjadi adalah kerjasama antara

partisipal dengan partisipal. Dalam

kerjasama seperti ini, masing-masing

pihak yang terlibat dalam kerjasama

tetap memiliki otonominya sendiri.

Para pihak yang berkolaborasi adalah

prinsipal dan sekaligus juga

bertindak sebagai agen untuk diri

mereka sendiri. Mereka sepakat

bekerjasama karena memiliki

kesamaan visi dan tujuan untuk

diwujudkan secara bersama-sama

yang mungkin akan sulit dicapai

ketika masing-masing bekerja

sendiri. Alter dan Hage (1993)

dikutip Agranoff and McGuire

(2003:35) menjelaskan kebutuhan

untuk berkolaborasi timbul dari

interdependensi (hubungan saling

14 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

ketergantungan) antara aktor, yang

disebabkan oleh masing-masing

aktor memiliki berbagai jenis dan

tingkat teknologi dan sumber daya

yang dibutuhkan untuk memenuhi

tugas. Interdependensi menginduksi

peningkatan frekuensi dan intensitas

komunikasi antar organisasi tersebut,

yang pada gilirannya memaksa

keputusan yang harus dibuat

bersama-sama dan tindakan yang

akan dilakukan secara kolektif

sampai tingkat tertentu.

Gray (2000) dalam tulisan

Graddy and Chen (2009) dalam

O’Leary, Gazley, McGuire and

Bingham (2009:57-58) dijelaskan

tiga dimensi kolaborasi yang efektif

yaitu pencapaian sasaran klien,

meningkatkan hubungan-hubungan

antar organisasi dan pengembangan

organisasi. Tiga dimensi yang

berbeda ini merefleksikan jenis-jenis

sasaran organisasi yang tidak sama

yang dicari dari kolaborasi antar

organisasi.

1. Dimensi pertama, pencapaian

sasaran klien menunjuk pada

tujuan utama dari sebagian

usaha sektor publik untuk

meningkatkan kolaborasi,

yaitu mendapatkan sumber

daya yang akan

meningkatkan pelayanan.

2. Kedua, hubungan antar

organisasi ditingkatkan untuk

menangkap kedua hal yakni

manfaat kolektif dan potensi

kolaborasi organisasi. Jika

organisasi dalam kegiatan

kolaboratif sama baiknya, hal

ini dapat meningkatkan

modal sosial pada masyarakat

yang dilayani. Hubungan

yang lebih baik antara

organisasi bekerja untuk

15 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

meningkatkan kesempatan

memecahkan masalah dan

membuka jalan bagi

hubungan masa depan yang

lebih baik.

3. Dimensi ketiga

pengembangan organisasi

sebagian besar langsung

menguntungkan organisasi.

Jika kolaborasi meningkatkan

pengembangan organisasi,

hal ini dapat meningkatkan

kapasitasnya untuk bersaing

secara efektif atas kontrak

masa depan dan dapat

meningkatkan

kemampuannya untuk

mencapai misi dan tujuan.

Kerangka proses kolaborasi

menunjukkan bahwa kolaborasi

terjadi dari waktu ke waktu sebagai

interaksi organisasi baik secara

formal dan informal melalui

rangkaian yang berulang dari

negosiasi, pengembangan komitmen

dan pelaksanaan komitmen tersebut.

Para ahli menggambarkan beberapa

tahap proses kolaborasi. Pandangan

Gray (1989) dikutip Krane and Lu

(2010:11) menjelaskan tiga fase

kerangka kolaborasi yakni masalah

pengaturan, penetapan arah dan

pelaksanaan. Himmelman (1996)

dikutip Krane and Lu (2010:11)

proses kolaborasi dilihat sebagai

sebuah rangkaian strategi yang

berkisar untuk mengubah masyarakat

melalui “empowerment

collaboration” atau kolaborasi

pemberdayaan.

Thomson dan Perry (2007:3)

mendefinisikan kolaborasi adalah

proses di mana para aktor otonom

atau semi-otonom berinteraksi

melalui negosiasi formal maupun

informal, secara bersama

16 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

menciptakan aturan dan struktur

yang mengatur hubungan mereka dan

cara-cara untuk bertindak atau

memutuskan masalah bersama. Ini

berarti suatu proses yang melibatkan

norma-norma bersama dan interaksi

yang saling menguntungkan.

Berdasarkan definisi tersebut ada

lima dimensi kunci kolaborasi yaitu:

1. Governance (pemerintahan):

Para pihak yang

berkolaborasi harus

memahami bagaimana cara

untuk bersama-sama

membuat keputusan tentang

aturan-aturan yang akan

mengatur perilaku dan

hubungan bersama.

2. Administration

(administrasi): Kolaborasi

bukanlah usaha self

administering. Organisasi

berkolaborasi karena mereka

berniat untuk mencapai

tujuan tertentu. Struktur

administratif tersebut berbeda

secara konseptual dari

pemerintahan mereka karena

kurang berfokus atas

persediaan kelembagaan dan

lebih pada implementasi dan

manajemen apa yang

dibutuhkan untuk mencapai

suatu tujuan melalui sistem

operasi yang efektif serta

mendukung kejelasan peran

dan saluran komunikasi yang

efektif.

3. Organizational Autonomy

(otonomi organisasi):

Dimensi kolaborasi ini

menjelaskan dua dinamika

potensial dan kekecewaan

yang tersirat dalam upaya

kolaboratif. Para mitra pada

kenyataan berbagi identitas

17 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

ganda. Mereka

mempertahankan identitas

yang berbeda dan wewenang

organisasi yang dipisahkan

dari identitas kolaboratif.

4. Mutualisme (Kebersamaan):

Kebersamaan berakar pada

saling ketergantungan.

Organisasi yang

berkolaborasi harus saling

ketergantungan pada

hubungan yang saling

menguntungkan didasarkan

atas perbedaan kepentingan

atau kepentingan bersama.

5. Norms (norma): Timbal balik

dan kepercayaan, terkait erat

secara konseptual.

2. Governance

Konsep governance bukanlah

konsep baru, konsep governance

sama luasnya dengan peradaban

manusia, salah satu pembahasan

tentang good governance dapat

ditelusuri dari tulisan J.S Endarlin

(Setyawan, 2004:223) governance

merupakan suatu terminologi yang

digunakan untuk mengganti istilah

government, yang menunjuk

penggunaan otoritas politik, ekonomi

dan administrasi dalam mengelola

masalah-masalah kenegaraan.

Governance yang diterjemahkan

menjadi tata pemerintahan adalah

penggunaan wewenang ekonomi,

politik dan administrasi guna

mengelola urusan-urusan negara

pada semua tingkat.

Tata pemerintahan

mencangkup seluruh mekanisme,

proses dan lembaga-lembaga dimana

warga dan kelompok-kelompok

masyarakat mengutamakan

kepentingan mereka, menggunakan

hak hukum, memenuhi kewajiban

dan menjembatani perbedaan-

18 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

perbedaan diantara mereka. Defenisi

lain menyebutkan governance adalah

mekanisme pengelolaan sumber daya

ekonomi dan social yang melibatkan

pengaruh sector negara dan sektor

non-pemerintah dalam suatu usaha

kolektif. Defenisi ini mengasumsikan

banyak aktor yang terlibat dimana

tidak ada yang sangat dominan yang

menentukan gerak aktor lain.

Pesan pertama dari

terminology governance membantah

pemahaman formal tentang

berkerjanya institusi-institusi negara.

Governance mengakui bahwa

didalam masyarakat terdapat banyak

pusat pengambilan keputusan yang

berkerja pada tingkat yang berbeda

(Winarno, 2002:122).

Governance sebagai proses

pengambilan keputusan dan proses

yang mana keputusan itu

diimplementasikan, maka analisis

governance difokuskan pada faktor-

faktor formal dan informal yang

terlibat dalam pengambilan

keputusan dan implementasinya serta

struktur formal dan informal yang

disususun untuk mendatangkan

implementasi keputusan.

Governance dapat digunakan dalam

beberapa konteks seperti coorporate

governance, international

governance, national governance

dan local governance (Mardiasmo,

2002:14). Menurut Kooiman

(Setyawan, 2004 : 224) mengatakan

governance merupakan serangkaian

proses interaksi social politik antara

pemerintah dengan masyarakat

dalam berbagai bidang yang

berkaitan dengan kepentingan

masyarakat dan intervensi

pemerintah atas kepentingan-

kepentingan tersebut.

19 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

Governance merupakan

mekanisme-mekanisme, prosesproses

dan institusi-institusi melalui warga

negara mengartikulasikan

kepentingan-kepentingan mereka,

memediasi perbedaan-perbedaan

mereka serta menggunakan hak dan

kewajiban legal mereka (Setyawan,

2004:12). Dalam konteks ini

governance memeiliki hakikat yang

sesuai yaitu bebas dari

penyalahgunaan wewenang dan

korupsi serta dengan pengakuan hak

berlandaskan pada pemerintahan

hukum.

3. Koordinasi pemerintahan

Pemerintah adalah organ

yang berwenang memperoses

pelayanan publik dan berkewajiban

memperoses pelayanan sipil bagi

setiap orang melalui hubungan

pememrintahan, sehingga setiap

angota masayarakat yang

bersangkutan menerima pada saat

yang di perlukan ( Ndhraha, 2003 : 6

) Definisi pemerintahan lainnya yang

di kemukakan oleh Taliziduhu

Ndaraha dalam bukunya yang

berjudul Kybernologi ( ilmu

pemerintahan baru ) sbagai berikut :

Pemerintahan adalah sebuah sistem

multiproses yang bertujunan

memenuhi dan melindungi

kebutuhan dan tuntutan yang di

perintah akan jasa layanan sipil.

Tentunya yang di perintah

berdasarkan posisi yang di

pegangnya, misalnya sabagai sebagai

pelangan yang tidak berdaya dan

sebagainya pada dasarnya, proses-

proses itu komulatif, proses demend-

feadback (feedforward) Menurut Inu

Kencana dalam bukunya yang

berjudul Manajemen Pemerintahan

(2011:35), Bentuk Koordinasi

adalah:

20 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

a. Koordinasi Horizontal

Koordinasi

Horizontal adalah

penyelarasan

kerjasama secara

harmonis dan sinkron

antar lembaga

lembaga yang

sederajat.

b. Koordinasi Vertikal

Vertikal adalah

penyelarasan

kerjasama secara

harmonis dan sinkron

dari lembaga yang

sederajat lebih tinggi

kepada lembaga

lembaga lain yang

derajatnya lebih

rendah.

c. Koordinasi

Fungsional

Koordinasi

Fungsional adalah

penyelarasan

kerjasama secara

harmonis dan sinkron

antar lembaga

lembaga yang

memiliki kesamaan

dalam fungsi

pekerjaan misalnya

antar sesama para

kepala bagian

hubungan

masyarakat.

Unsur-unsur koordinasi

menurut menurut Terry dalam Inu

Kencana (2011:167):

a. Usaha-usaha sinkronisasi

yang teratur (orderly

synchronization of effort)

b. Pengaturan waktu

(timing) dan terpimpin

(directing)

21 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

c. Harmonis (harmonious)

d. Tujuan yang ditetapkan

(stated objective)

Koordinasi pemerintahan

merupkan kegitan-kegiatan

penyelengaraan pemerintahan

yang di tujukan ke arah tujuan

yang hendak di capai yaitu yang

telah di tetapkan menjadi garis-

garis besar haluan nagara dan

garis-garis besar haluan

pembagunan negara baik pusat

maupun tingkat daerah, guna

menuju pada sasaran dan tujuan,

gerak kegiatan yang harus ada

pengandalian, sebagai alat untuk

menjamin berlangsungnya

kegiatan, yang di maksud dengan

pengendalian disini adalah

kegiatan yang untuk menjamin

kesesuian karya dan rencana,

program pemerintah, dan

ketentuan-ketentuan lainnya yang

telah ditetapkan termasuk

tindakan kolektif terhadap ketidak

mampuan atau penyimpangan.

Proses pengandalian

menghasilkan data dan fakta-fakta

baru yang terjadi dalam

pelaksanaan. apa yang di

rencanakan tidak selalu cocok

pakta lapangan dengan kenyataan

ini lah pengendalian berguna

sekali untuk pelaksanaan

selanjutnya. Bagi penyelengaraan

pemerintahan terutama daerah,

koordinasi bukan hanya kerja

sama, melinkan integrasi dan

singronisasi yang mengandung

keharusan adanya komunikasi

yang teratur antara sesama pejabat

yang bersangkutan dengan

memahami dan mengndahkan

ketentuan hukum yang berlaku

sesuai suatu aturan pelaksanaan.

4. Kelistrikan

22 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

Listrik merupakan kebutuhan

yang sangat vital saat sekarang ini.

Hampir semua peralatan rumah

tangga dan pabrik-pabrik

menggunakan energi listrik untuk

menjalankannya. Namun

penggunaan energi listrik tersebut

tidaklah gratis. Energi listrik tersebut

harus dibayar sesuai dengan jumlah

penggunaannya, semakin lama /

banyak penggunaannya maka akan

semakin besar biaya yang harus

dikeluarkan. Pada rumah – rumah

atau perkantoran yang besar dimana

peralatan listrik yang digunakan

banyak, diperlukan adanya alat yang

dapat mengendalikan peralatan listrik

tersebut (menghidupkan dan

mematikannya). Hal ini sangat

berguna untuk mempermudah

pekerjaan pengguna sekaligus dapat

menghemat penggunaan listrik.

5. Pemerintah Daerah

Negara Republik Indonesia

merupakan Negara Kepulauan yang

terdiri dari beberapa daerah, yang

kesemua daerah tersebut merupakan

sebuah daerah otonom yang

mendapat pengakuan oleh Negara,

hal tersebut dinyatakan dalam Pasal

18 ayat (1) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945,

bahwa Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas beberapa

daerah-daerah provinsi dan daerah

provinsi itu dibagi atas kabupaten

dan kota yang tiap provinsi,

kabupaten dan kota itu mempunyai

pemerintah daerah yang diatur dalam

Undang-undang. Menurut Pasal 1

angka 2 Undang Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, pemerintahan daerah adalah

penyelenggaraan urusan

pemerintahan oleh pemerintah

daerah dan DPRD menurut asas

23 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

otonomi dan tugas pembantuan

dengan prinsip otonomi seluas-

luasnya dalam sistem dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam

UndangUndang Dasar Negara

Republik Indnesia Tahun 1945.

Dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan daerah sesuai dengan

amanat Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun

1945 maka pemerintahan daerah

yang dapat mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan,

menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan, diarahkan untuk

mempercepat terrwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan pelayanan,

pemberdayaan dan peran serta

masyarakat, serta peningkatan daya

saing daerah dengan

mempertimbangkan prinsip

demokrasi, pemerataan, keadilan,

keistimewaan, dan kekhususan suatu

daerah dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI).

Widjaja, (2005:25)

mengatakan bahwa dalam

penyelenggaraan urusan

pemerintahan, pemerintah daerah

menyelenggarakan pemerintahannya

dengan asas-asas sebagai berikut :

1. Asas desentralisasi, adalah

penyerahan wewenang

pemerintahan oleh

pemerintah pusat kepada

daerah otonom. Asas

desentralisasi ini dapat

ditanggapi sebagai hubungan

hukum keperdataan, yakni

penyerahan sebagian hak dari

pemilik hak kepada penerima

sebagian hak dengan obyek

tertentu. Pemilik hak

24 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

pemerintahan adalah ditangan

pemerintah, dan hak

pemerintahan tersebut

diberikan diberikan kepada

pemerintah daerah, dengan

objek hak berupa

kewenangan pemerintah

dalam bentuk untuk mengatur

urusan pemerintahan, namun

masih tetap dalam kerangka

NKRI.

2. Asas dekonsentrasi, adalah

pelimpahan wewenang

pemerintahan oleh

pemerintah kepada gubernur,

sebagai wakil pemerintah

kepada instansi vertical di

wilayah tertentu. Asas tugas

pembantuan, adalah

penguasaan dari pemerintah

kepada daerah kota dan atau

desa; dari pemerintahan

provinsi kepada pemerintah

kabupaten atau kota dan atau

desa; serta dari pemerintah

kabupaten atau kota kepada

desa untuk melaksanakan

tugas tertentu.

6. Wewenang Pemerintah Dalam

Kelistrikan

Dengan berlakunya Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014

terutama lampiran CC angka 5,

kewenangan dalam bidang

ketenagalistrikan hanya menjadi

wewenang pemerintahan pusat dan

pemerintahan Provinsi.

Padahal Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2009 tentang

Ketenagalistrikan nyata-nyata

mencantumkan kewenangan daerah

kabupaten/kota dalam urusan

ketenagalistrikan. Mulai dari

penetapan regulasi, hingga penetapan

tarif listrik bagi konsumen

sebagaimana tercantum dalam

25 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

ketentuan Pasal 5 ayat (3). Pemohon

mendalilkan bahwa telah terjadi

ketidakpastian hukum (legal

uncertainty) dengan kehadiran dua

undang-undang yang saling

bertentangan tersebut, yaitu Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014,

khusus lampiran CC angka 5, dan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2009.

C. HASIL PENELITIAN

1. Government (pemerintahan)

Pemerintahan dalam penelitian ini

adalah para pihak yang berkolaborasi

seperti PLN, dan Pemerintah daerah

harus memahami bagaimana cara

untuk bersama-sama membuat

keputusan tentang aturan-aturan yang

akan mengatur hubungan dalam

menyelesaikan krisis listrik tersebut.

Banyak pihak menuding PT

Perusahaan Listrik Negara (Persero)

atau PLN sebagai pihak yang harus

bertanggung jawab atas persoalan

listrik di wilayah tersebut.

Menanggapi tudingan tersebut, PLN

pun mencoba mengungkapkan

beberapa hal, di antaranya mengakui

perusahaan listrik pelat merah itu

tidak sanggup menangani krisis

listrik di Indonesia sendirian.

Pertumbuhan konsumsi listrik

yang tidak dapat di ikuti dengan

pertumbuhan pasokan listrik

mengakibatkan terjadi krisis listrik.

Keadaan ini bisa disebabkan oleh

salah satu faktor ataupun akumulasi

dari faktor-faktor berikut yaitu

keterbatasan sumber cadangan energi

yang tersedia untuk pembangkitan

tenaga listrik, keterbatasan dana

untuk membangun pembangkit listrik

yang baru, ataupun kesalahan

perencanaan pembangkitan yang

tidak dapat mengantisipasi

pertumbuhan konsumen terhadap

26 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

kebutuhan tenaga listrik. Selain itu,

penggunaan energi listrik secara

boros oleh konsumen juga sangat

berpotensi menyebabkan terjadinya

krisis listrik.

2. Administration (administrasi)

Implementasi dan manajemen

membuat suatu tujuan sehingga

mengetahui apa yang dibutuhkan

untuk mencapai suatu tujuan melalui

sistem operasi yang efektif serta

mendukung kejelasan peran dan

saluran komunikasi yang efektif

antara pemerintah dan PLN dalam

menyelesaikan krisis listrik di Kota

Tanjungpinang.

3. Organizational Autonomy

(otonomi organisasi)

Mempertahankan identitas yang

berbeda dan wewenang organisasi

yang dipisahkan dari identitas

kolaboratif. Sehingga dapat dibagi

sesuai dengan kewenangannya.

Berdasarkan Undang-Undang

Kelistrikan Nomor 30 Tahun 2011

dijelaskan bahwa ada peran

pemerintah kabupaten kota, PLN

adalah bagian dari pemerintah

Namun setelah berlakunya Undang-

undang no 23 Tahun 2014 maka

pemerintah kabupaten atau kota tidak

memiliki kewenangan dalam hal

ketenga listrikan di mana wewenang

kelistrikan ada di pemerintah pusat

dan pemertintah Provinsi. Dan

Permasalahan yang terjadi terkendala

di wewengan PLN dimana PLN aria

sipatnya hanya memberikan laoran

dan mejalankan tugas dari Hirarki

yang lebih tinggi karena kewenagan

PLN sepenuhnya di PLN pusat,

Namun masalah Listrik merupakan

masalah masyarakat, secara tidak

langsung merupakan tanggung jawab

pemerintah, sehingga pemerintah

juga harus berperan dalam upaya

27 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

menyelesaikan krisis listrik di kota

tanjungpinang sesuai dengan

kewenangan.

4. Mutualisme (Kebersamaan)

Kebersamaan berakar pada

saling ketergantungan. PLN dan

Pemerintah Daerah yang

berkolaborasi harus saling

ketergantungan pada hubungan yang

saling menguntungkan didasarkan

atas perbedaan kepentingan atau

kepentingan bersama. pemerintah

dan PLN mengupayakan adanya

kolaborasi terhadap permasalahan

listrik bukan hanya sekedar

koordinasi. Collaborative

governance adalah sebagai struktur

organisasi pemerintahan di mana

instansi pemerintahan secara

langsung mengajak para pemangku

kepentingan untuk membuat

keputusan secara bersama-sama

dalam sebuah forum yang bersifat

formal, berorientasi konsensus, dan

ada kebebasan, yang bertujuan untuk

membuat atau melaksanakan

kebijakan publik atau mengelola

program dan aset publik.

5. Norms (norma)

Timbal balik dan

kepercayaan, terkait erat secara

konseptual. Norma adalah

sekumpulan perangkat yang

mengatur manusia yang dijadikan

sebagai pedoman kehidupan

bermasyarakat. Penerapan norma

sangatlah penting dalam pekerjaan

agar dapat tercipta pekerjaan yang

dijalankan dapat mencapai

tujuannya, tertib serta terwujudnya

perasaan nyaman pada setiap anggota

masyarakat yang dilayani. Listrik

memberikan keuntungan bagi semua

pihak, maka tentunya upaya

penyelamatan dari krisis listrik

menjadi tanggung jawab bersama

28 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

bagi konsumen (sektor rumah

tangga, komersial dan industri) dan

produsen energi listrik (perusahaan

listrik negara dan swasta). Selain itu,

peran organisasi masyarakat,

organisasi profesi, akademisi juga

sangat dibutuhkan sebagai

katalisator, pengontrol dan mediator

untuk menjembatani masyarakat,

pemerintah dan perusahaan listrik

dalam implementasi penanggulangan

krisis listrik. Peran pemerintah (pusat

dan daerah) sebagai pengambil

kebijakan dan regulator juga harus

menjadi partisipan, fasilitator dan

pengontrol dalam menanggulangi

krisis listrik. Perlu adanya regulasi

untuk mengatur konsumen energi,

produsen energi, pasar dalam

pelaksanaan penanggulangan krisis

listrik.

D. PENUTUP

1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil

penelitian dapat di simpulkan

bahwa colaborative governance

sudah di lakukan dengan cukup

baik, hal ini dapat di lihat dari

berbagai upaya yang telah di

lakukan oleh stakeholder dalam

upaya menyelesaikan krisis

listrik di kota Tanjungpinang,

namun dari hasil penelitian

terungkap bahwa kedala yang

selama ini yang di hadapi oleh

pihak yang berkolaborasi (

Pemerintah Kota

Tanjungpinang, DPRD Kota

Tanjungpinang, Perseroan

Terbatas Perusahaan listrik milik

negara ( PT PLN ) arial cabang

Tanjungpinang,

wiraswasta,lembaga swadaya

masyarakat, masyarakat dan

mahaiswa). Namun Terdapat

kerkendala di kewanangan,

29 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

sementara masalah kewenangan

lebih besar di PLN sebagai pihak

yang memonopoli usaha jasa

pelayanan listrik di indonesia

sesuai dengan Surat keputusan

kementrian energi sumberdaya

dan mineral nomor : 634-

12/20/600.3/2011 tanggal 30

September 2011, dan kemudian

dari hasil penelitian juga

terungkap bahwa PLN memiliki

sistem hirarki dalam

organisasinya, di mana

keputusan tertinggi di putuskan

oleh PLN pusat dan PLN Arial

atau cabang hanya bersifat

memberikan laporan ataupun

pengajuan. Dan kendala Kedua

setelah berlakunya UU No 23

Tahun 2014 Pemerintah daerah

kabupaten kota, dalam masalah

ini pemerintahan daerah kota

Tanjungpinag Tidak memiliki

kewenangan dalam hal

kelistrikan karena masalah

kelistrikan merupakan

wewenang dari pemerintah pusat

dan pemerintah provinsi

kepualauan Riau, sehingga

pemerintah Kota Tanjungpinang

semakit sempit wewenagnya

dalam upaya menyelesaikan

krisis listrik.

Upaya-upaya yang

dilakukan oleh pihak yang

berkolaborasi dengan menemui

GM PLN Wilayah Riau dan

Kepulauan Riau, supaya masalah

kelistrikan di kota

Tanjungpinang segera teratasi,

namun berjalanya waktu teryata

hasil pertemuan tidak

mebuahkan hasil karena PLN

pusat tidak menyetujui,

dikarenakan masih banyak

daerah lain yang menjadi skala

30 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

proritas PLN pusat, kemudian

pemerintah kota Tanjungpinang

sebelum berlakunya UU 23

tahun 2014 beserta jajarannya

juga mencoba mengandeng

pihak ketiga dalam

menyelesaikan masalah

kelistikan namun berjalannya

waktu mengalami kendala-

kendala, apakah kendala internal

maupun external kendala

internal misalnya masalah

permodalan atau anggaran

kendala ekternal kesepakan

dengan pihak PLN sebagai

pemengang hak pelayanan jasa

listrik, yang memiiki regulasi,

regulasi pembayaran atau

penjualan arus listrik yang tidak

dapat tersepakati. Dan pada

akhirnya kebali gagal,

sedangkan alternatif yang lain

ialah interkoneksi batam-bintan,

dan kembali mengalami

beberapa kendala salah satunya

ialah adanya wilayah yang

masuk dalam kawasan hutan

lindung dalam hal ini pemerintah

derah kota Tanjungpinang dan

pemerintah daerah provinsi

kepulaun riau turut mebantu

untuk mempermudah

permohonan izin guna

percepatan keluarnya izin dari

kementrian kehutanan dan

mambantu dalam proses

pembebasan lahan yang

termasuk daerah hutan lindung,

juga pembebasan lahan

masyarakat interconeksi batam

bintan tahap I.

Pemerintah daerah juga

pernah mengandeng pihak ketiga

Sebelum Berlakunya UU No 23

tahun 2014 untuk mendatangkan

mesin sewa dengan kapasitas

31 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

12MW di PLTD Suka bernang,

dengan mempermudah

perizinan, pengawasan sebagai

solusi jangka pendek, dan setiap

terjadi pemdaman dan

megalamai kemarahan

masyarakat pemerintah daerah

turut hadir bersama masyarakat

dan PLN untuk memfasilitasi,

memediasi apa tuntutan

masyarakat dengan pihak PLN

untuk mecari solusi bersama.

Pola colaborative governance

yang oleh stack holder

contohnya dalam pembahasan

RPJM dan MUSRENBANG,

pemerintah daerah melalui

badan perencanaan pembagunan

daerah melibatkan semua pihak

termasuk PLN, swasata dan

masyarakat juga sering

melakukan rapat-rapat dalam

pembahasan masalah kelistrikan

di kota Tanjungpinang.

Namun dalam

Colaborative Governane juga

masih terdapat beberapa

kekurangan dalam hal regulasi

yang mengatur Colaborative

governance antara pemerintahan

daeah kota Tanjungpinang

dengan PLN, dalam hal

menentukan hubungan bersama

PLN Karena berbenturan dengan

Undang-undang No 23 Tahun

2014 tentang pemerintahan

Daerah sehingga Rancangan

Ketenaga Listrikan daerah (

RUKD ) masih sebatas Draf.

Namun juga terdapat

kelemahan dalam hal

perencanaan pembagunan daerah

Kota Tanjungpinang yang

kurang memperhatikan jumlah

daya yang tersedia dengan

32 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

pembagunan contoh dalam

pemberian izin mendirikan

bagunan pihak pengembang

perumahan ruko-ruko yang

belum di manfaatkan namun

sudah di aliri listrik Sehingga

melunjaknya kebutuhan daya

Listrik.

2. Saran

Adapun saran yang dapat

disampaikan adalah sebagai berikut :

1. Sebaiknya pemerintah daerah

harus membuat regulasi

tentang pembatasan

dan pengawasan terhadap

pembagunan perumahan baru

setiap tahun agar tidak terjadi

menjamurnya perumahan-

perumahan baru ruko-ruko

baru yang menyebabkan

melunjaknya kebutuhan akan

daya listrik.

2. PLN sebaiknya memberikan

informasi selengkapnya

kepada pemerintah dan LSM

tentang sebab permasalahan

yang terjadi, hal ini akan

membantu memecahkan

permasalahan yang ada

bersama-sama.

3. Pemerintah daerah dan PLN

harus membangun

Collaborative Governance

dalam memenuhi kebutuhan

listrik di Kota

Tanjungpinang. Dimana tugas

pemerintah daerah adalah

untuk mensejahterakan dan

menjamin kebutuhan publik

salah satunya adalah dengan

pemenuhan kebutuhan listrik.

Kualitas pelayanan

pemerintahan, pembangunan,

maupun perekonomian juga

investasi harus diperkirakan

33 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

dengan meperhitungkan

kebutuhan listrik di setiap

perencanaan untuk mencapai

visi dan misi pemerintah kota

Tanjungpinang.

4. Colaborative Governace

dalam upaya menyelesaikan

krisis listrik di kota

Tanjugpinang Harus Terus di

bangun, baik pemerintah

daerah kota Tanjungpinang,

Provinsi Kepulauan Riau,

PLN Arial Kota

Tanjungpinang, LSM, Swasta

maupuan Masyarakat.

5. Bagi masyarakat sebaiknya

lebih dapat memanfaatkan

listrik dengan sebaik-baiknya

dan tidak melakukan

pemborosan.

34 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Dwiyanto, Agus. 2010. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif dan

Kolaboratif. Yogyakarat. Gadjah Mada University Press.

Hasibuan . 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia, cetakan kesembilan, Jakarta

: PT Bumi Aksara.

Inu, Kencana Syafiie. 2011. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Rineka.

Cipta.

Magdelena Silitoga. 2002. Pertangungjawabanm pidana Korporasi terhadap

tindak pidana Ketenagalistrikan” Program Paska Sarjana( Magister)

Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

Moh. Mahfud MD. 2006. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Cetakan

kelima, Liberty, Yogyakarta.

Miles B,Matthew dan Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber

Metode-metode Baru, Universitas Indonesia Press,Jakarta.

Ndraha. 2003. Kybernologi Ilmu Pemerintahan Baru, Jilid I. Jakarta : PT. Rineka

Cipta.

Sudarmo. 2011. Isu-isu Administrasi Publik Dalam Perspektif Governance.

Surakarta: Smart Media.

Sugiyono. 2012. Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan H & D. CV. Alfabeta :

Bandung

Winardi. 2002. Asas-Asas Manajemen. Bandung: Mandar Maju.

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenaggalistrikan

Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 Tentang kegiatan Penyediaan

Tenaga listrik.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

35 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I

Jurnal :

Ansell, Chris and Alison Gash. 2007. “Collaborative Governance in Theory and

Practice”. Journal of Public Administration Research and Theory. 18(4). 543-

571.

Everingham, Jo-Anne; Jeni Warburton; Michael Cuthill; Helen Bartlett. 2012.

“Collaborative Governance of Ageing : Challenges for Local Government

Thompson, Perry and Miller. 2007. Conceptualizing and Measuring

Collaboration. Jurnal of Public Administration Research and Theory

Advance Access published December 1, 2007

in Partnering with the Senior’s Sectors”. Local Government Sudies. 38 (2).

161-181.