COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM UPAYA MENYELESAIKAN KRISIS...
Transcript of COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM UPAYA MENYELESAIKAN KRISIS...
1 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM UPAYA MENYELESAIKAN
KRISIS LISTRIK DI KOTA TANJUNGPINANG
JUNAIDI
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, FISIP UMRAH
A B S T R A K
Krisis listrik di Kota Tanjungpinang memerlukan banyak pihak untuk
mengatasinya. Seharusnya saat ini pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
Perseroan Terbatas Perusahaan Listrik Milik Negara ( PT PLN ) harus melakukan
Colaborasi dalam upaya menyelesaikan Krisis Listrik yang melanda hampir di
seluruh daerah termasuk Kota Tanjungpinang. Perlu pengawalan serius dalam
mengatsi krisis listrik krisis listrik yang semakin parah ini dapat di selesaikan.
Collaborative Governance sanggat di butuhkan dalam upaya menyelesaikannya.
Kolaborasi dalam permasalahan ini memastikan bahwa berbagai kepentinggan
yang di wakili atas dasar sanling ketergantugan para Stakeholder
Tujuan collaborative governance Upaya Menyelesaikan Krisis listrik di
Kota Tanjungpinang. Dalam pembahasan ini mengunakan penelitian deskriptif
kualitatif. Informen dalam penelitian ini adalah Walikota Tanjungpinang,
BAPPEDA, Ketua DPRD kota Tanjungpinang, Mahasiswa, Lembaga Swadaya
Masyarakat ( LSM ) dan Manager Arial Perusahaan Listrik Milik Negara ( PLN
)Tanjungpinang. Teknik analisis data yang di gunakan Analisis data deskriptif
kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat di analisa dalam mengatasi
permasalahan listrik sudah di upayakan dengan collaborative governance,
Pemerintah selama ini ikut membantu Perusahaan Listrik Negara menyelesaikan
krisis listrik di kota Tanjungpinang. Namun terkendala di kewenangan di mana
hirarki organisasi Perusahaan Listrik Negara yang keputusan sepenuhnya di
tentukan Pusat. Perusahaan listrik Negara belum bisa mengatasi masalah listrik
karena pembangunan tansmisi batam-bintan mengalami kendala, permasalahan
hutan lindung, dan pembebasan lahan.
Kata Kunci : Collaborative Governance, Perusahaan Listrik Negara ( PLN )
2 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM UPAYA MENYELESAIKAN
KRISIS LISTRIK DI KOTA TANJUNGPINANG
JUNAIDI
Studeent of science Of Governmet, FISIP UMRAH
A B S T R A C T
The power crisis in Tanjungpinang requires many parties to resolve it.
Supposedly this time the central government, local government, and the Company
Limited State-owned Electricity Company (PT PLN) must Colaborasi in efforts to
resolve the electricity crisis that hit almost all regions, including Tanjungpinang.
Override the need to escort serious power crisis worsening power crisis can be
resolved. Collaborative Governance sanggat in need in an effort to solve them.
Collaboration on this issue to make sure that the various kepentinggan are
represented on the basis Sanling reliance Stakeholders
Interest collaborative governance efforts Resolving power crisis in
Tanjungpinang. In this discussion uses descriptive qualitative research. Informen
in this study is the Mayor Tanjungpinang, Planning, Chairman of the Parliament
Tanjungpinang, Student, Non Governmental Organization (NGO) and the
Manager Arial State Owned Electricity Company (PLN) Tanjungpinang. Data
analysis techniques used descriptive qualitative data analysis.
Based on the research results can be analyzed in overcoming problems of
electricity've strived to collaborative governance, the Government has been
helping the State Electricity Company resolve the electricity crisis in the city of
Tanjungpinang. But constrained in the organizational hierarchy authority
where the State Electricity Company that the decision entirely in the set
center. State electricity company has not been able to overcome the problem of
electricity since the development of Batam-Bintan transmission experiencing
problems, problems of protected forests, and land acquisition.
Keywords : Collaborative Governance, State Electricity Company (PLN)
3 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
COLLABORATIVE
GOVERNANCE DALAM UPAYA
MENYELESAIKAN KRISIS
LISTRIK DI KOTA
TANJUNGPINANG
A. Latar Belakang
Berdasarkan konstitusi pada
pembukaan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun
1945 alenia ke empat menyebutkan
tujuan negara Indonesia salah
satunya adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum. Kesejahteraan
Umum yang menjadi tujuan negara
Indonesia, dapat di capai salah
satunya dengan melakukan
pembagunan nasional yang merata di
seluruh indonesia. (Mahfud, MD :
2006 : 1)
Kewajiban Pemerintah, baik
Pusat maupun Daerah (Kota) adalah
menyediakan kebutuhan dasar warga
negara dan masyarakatnya. Melalui
serangkaian kegiatan pembangunan,
berbagai sektor pembangunan,
menyentuh lapisan masyarakat yang
di sasarkan, menggunakan sumber-
sumber anggaran yang sah sesuai
peruntukannya untuk mencapai
tujuan mensejahterakan masyarakat
dan tentunya menggunakan dasar
hukum dan ketentuan yang berlaku
karena setiap perbuatan pemerintah
tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang.
Tenaga listrik merupakan
salah satu komponen utama dalam
mewujudkan dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan
mencerdaskan kehidupan bangsa
guna mewujudkan cita-cita bangsa.
Pemenuhan energi listrik sangat
penting dan berpengaruh pada
seluruh aktivitas rakyat maupuan
pemerintah. Di zaman moderen
sekarang, hapir seluruh aktifitas baik
di bidang eklonomi pertahanan dan
4 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
keamanan, politik budaya maupun
sosial. (Magdalena Silitonga : 2002 :
2)
Salah satu Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) berbentuk
persero adalah perusahaan listrik
milik negara yang selanjutnya di
sebut PT. PLN Persero yang
memberikan pelayanan jasa lisrik
kepada masyarakat dalam
penyediaan jasa yang berhugungan
dengan ketenaga listrikan untuk
memenuhi kebutuhan listrik
masyarakat, sebagai mana PT. PLN
persero selaku pemegang izin
monopoli untuk penyediaan listrik
sesuai dengan Keputusan Menteri
Sumber Daya Mineral ( KEPMEN
ESDM) Nomor 634-
12/20/600.3/2011 Tanggal 30
September 2011. Amanat Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012
Tentang kegiatan Penyediaan Tenaga
listrik Untuk kepentingan Umum di
laksanakan Harus Sesuai dengan
rencana umum ketenaga listrikan dan
rencana usaha penyediaan tenaga
Listrik.
Perseroan Terbatas (PT).
Perusahaan Listrik Milik Negara
(PLN) sebagai penyelenggara usaha
penyediaan tenaga listrik dalam
melaksanakan fungsinya berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2009 Tentang Ketenaggalistrikan.
yang selanjutnya disebut Undang-
Undang Ketenagalistrikan, Pasal 4
ayat (1) Undang-Undang
Ketenaggalistrikan mengatur bahwa
pelaksanaan usaha penyediaan
tenaga listrik di lakukan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dilakukan oleh Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah.
5 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
Kota Tanjungpinang
merupakan salah satu kota yang
mengalami pertumbuhan penduduk
sangat cepat. Berikut data penduduk
yang dapat dilihat dari tabel berikut
ini :
Tabel 1.1
Jumlah penduduk
No Tahun Jumlah
penduduk
1 2012 194.099 Jiwa
2 2013 196.980 Jiwa
3 2014 199.723 Jiwa
4 2015 203.153 Jiwa
Sumber : BPS Tanjungpinang,
2015
Tahun 2012, jumlah
penduduk Tanjungpinang berjumlah
194.099 orang. Jumlah itu meningkat
menjadi 196.980 orang di tahun 2013
atau bertambah sebanyak 2.881 juwa.
Dan di tahun 2014, jumlahnya
meningkat cukup siginifikan, naik
menjadi 199.723 jiwa kemudian
kembali naik pada tahun 2015
mencapai 203.153 Jiwa.
Pertumbuhan penduduk di Kota
Tanjungpinang tentunya akan
mempengaruhi kebutuhan listrik.
Dengan pertumbuhan penduduk
yang tidak di berengi degan daya
listrik yang mencukupi, sehingga
menimbulkan masalah krisis listrik di
Kota Tanjungpinang.
Tabel 1.2
Pertumbuhan Kelistrian
Kota Tanjungpinang
Urai
an
Sa
tu
an
20
11
20
12
20
13
20
14
20
15
Juml
ah
Pela
ngga
n
PL
G
14
1.9
22
15
8.8
34
17
8.8
84
19
3.8
34
20
4.2
92
(
%)
21,
7
11,
9
12,
6
8,4
%
5,4
%
6 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
% % %
Day
a
Ters
amb
ung
M
V
A
24
4,8
7
28
1,4
32
9,1
6
35
9,1
6
38
1,4
(
%)
27,
6
%
14,
9
%
17,
0
%
9,1
%
6,2
%
Rasio elektrifikasi
menandakan tingkat perbandingan
jumlah penduduk yang menikmati
listrik dengan jumlah total penduduk
di suatu wilayah atau negara. Data
dari International Energy Agency,
rasio elektrifikasi Indonesia hanya
sekitar 60%, artinya 40% penduduk
Indonesia belum menikmati listrik.
Rasio elektrifikasi ini sangat
berhubungan dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Proyek Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU) 10.000 MW pun
akhirnya menjadi solusi pemerintah
untuk meningkatkan rasio
elektrifikasi nasional yang
berdampak pada peningkatan
pertumbuhan ekonomi nasional.
(
http://topanhakim.wordprees.com/20
10/10/13)
Krisis listrik Tanjungpinang
memerlukan komitmen banyak pihak
untuk mengatasinya. Seharusnya saat
ini pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan PT PLN (Persero)
memiliki kolaborasi dalam
penanganan krisis listrik yang
melanda hampir di semua daerah
termasuk Kota Tanjungpinang. Perlu
pengawalan yang lebih serius agar
penanganan krisis listrik yang kian
parah ini dapat segera ditangani
sesuai jadwal.
7 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
Paradigma tata kelola
pemerintahan telah bergeser dari
Government ke arah Governance
yang menekankan pada kolaborasi
dalam kesetaraan dan keseimbangan
antara pemerintah, sektor swasta, dan
masyarakat madani. Publik menjadi
tolak ukur keberhasilan pelaksanaan
tugas dan pengukuran kinerja
pemerintah melalui birokrasi.
Kolaborasi yang efektif terwujud dari
berbagai proses seperti komunikasi,
kerjasama, dan fleksibilitas.
Kolaborasi adalah suatu kondisi
dimana semua stakeholder yang
secara otomatis akan saling
berkontribusi. (
http://khadafidsociality.bilogospot.co
.id/2011/07)
Pada paparan gejala yang
telah dijelaskan dilatar belakang
maka penulis mengasumsikan untuk
menyelesaikan permasalahan listrik
sudah seharusnya pemerintah
melakukan collaborative
governance. Fokusnya adalah pada
pengambilan keputusan kolektif yang
menyiratkan bahwa pemerintahan ini
tidak hanya satu individu yang
membuat keputusan melainkan
tentang kelompok individu atau
organisasi atau sistem organisasi
yang membuat keputusan.
Collaborative Governance
sangat dibutuhkan dalam upaya
menyelesaikan krisis listrik di Kota
Tanjugpinang. Kolaborasi dalam
permasalahan ini untuk memastikan
bahwa berbagai kepentingan yang
diwakili. Berdasarkan permasalahan
tersebut peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian secara
mendalam berkaitan dengan judul
:“COLLABORATIVE
GOVERNANCE DALAM UPAYA
MENYELESAIKAN KRISIS
8 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
LISTRIK DI KOTA
TANJUNGPINANG. ”
B. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini
adalah deskriftif kualitatif
yaitu hanya memaparkan data
yang diperoleh dari hasil
wawancara secara ilmiah.
Sugiyono (2012 : 15) bahwa
“data kualitatif adalah data
yang dinyatakan dalam
bentuk kata, kalimat, dan
gambar.” Dari data yang telah
terkumpul sesuai dengan
indikator permasalahan
peneliti mengolah dan
menganalisa data-data yang
terkumpul tersebut menjadi
data yang sistematik, teratur
dan terstruktur sehingga
mempunyai makna sesuai
permasalahan yang berkaitan
dengan objek penelitian
C. LANDASAN TEORITIS
1. Collaborative Governance
Satu komponen penting dari
istilah collaborative governance
adalah “governance.” Banyak
penelitian yang telah membangun
definisi governance, akan tetapi
definisi tersebut masih sebatas
dengan apa yang dapat dikerjakan
oleh pemerintah dan difalsifikasi
olehnya, namun belum
komprehensif. Sebagai contoh, Lynn,
Heinrich dan Hill (2001: 7)
menafsirkan pemerintahan secara
luas sebagai rezim hukum, aturan,
peradilan, dan praktek-praktek
administratif yang didukung untuk
membatasi, meresepkan dan
mengaktifkan penyediaan barang
publik. Definisi ini menyediakan
ruang untuk struktur pemerintahan
9 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
tradisional serta muncul bentuk
badan pengambilan keputusan publik
atau swasta. Stoker, di sisi lain,
berpendapat pemerintahan yang
merujuk kepada aturan dan
membentuk panduan pengambilan
keputusan kolektif.
Proses penyelenggaraan
negara yang melibatkan banyak aktor
dalam menyelesaikan masalah publik
merupakan suatu keharusan yang
dilakukan oleh pemerintah saat ini.
Mengingat bahwa
konsep governance itu sendiri
meliputi integrasi antara berbagai
sektor yang ada dalam suatu negara,
yang dalam hal ini negara tidak lagi
dominan dan tidak lagi dapat
menyelenggarakan suatu negara
tanpa adanya keterlibatan dari sektor
lain seperti lembaga non pemerintah
termasuk masyarakat dalam suatu
negara. Collaborative governance tidak
muncul secara tiba-tiba karena hal
tersebut ada disebabkan oleh inisiatif
dari berbagai pihak yang mendorong
untuk dilakukannya kerjasama dan
koordinasi dalam menyelesaikan
masalah yang sedang dihadapi oleh
publik. Dalam hal ini masalah krisis
listrik merupakan masalah yang
kompleks dan memerlukan tindakan
kolaborasi segera oleh semua pihak
yang terkait dengan masalah krisis
listrik. Adanya kompleksitas masalah
yang mengharuskan terjadinya
kolaborasi ini dijelaskan dalam teori
yang dikemukakan oleh (Ansell and
Gash dalam Sudarmo, 2011:104) Hal
ini sejalan dengan pendapat Hudson
dan Hardy dalam Everingham
(2012:177) berikut : Hal ini
menunjukkan bahwa alasan untuk
pemerintahan kolaboratif lebih baik
dipahami sebagai potensi laten yang
membutuhkan keahlian, konstruksi dan
investasi untuk menyadari. Sebagai
10 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
Hudson dan Hardy (2002) berpendapat,
kolaboratif jaringan tidak mungkin
untuk tumbuh secara spontan tetapi
harus "dibudidayakan”. Pentingnya
melakukan collaborative
governance antara lain karena:
1. Kegagalan implementasi
kebijakan di tataran lapangan
2. Ketidakmampuan kelompok-
kelompok, terutama karena
pemisahan rezim-rezim
kekuasaan untuk
menggunakan arena-arena
institusi lainnya untuk
menghambat keputusan
3. Mobilisasi kelompok
kepentingan
4. Tingginya biaya dan
politisasi regulasi (Ansell and
Gash dalam Sudarmo,
2011:105)
Kemunculan dan
dikembangkannya collaborative
governance adalah sebagai sebuah
alternatif bagi :
1. Pemikiran-pemikiran yang
semakin luas tentang
pluralisme kelompok
kepentingan
2. Adanya kegagalan
akuntabilitas manajerialisme
(terutama manajemen ilmiah
yang semakin dipolitisasi)
dan kegagalan
implementasinya. (Ansell and
Gash dalam Sudarmo,
2011:105)
Secara umum collaborative
governance muncul secara adaptif
atau dengan sengaja diciptakan
secara sadar karena alasan-alasan
sebagai berikut :
1. Kompleksitas dan saling
ketergantungan antar institusi
11 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
2. Konflik antar kelompok
kepentingan yang bersifat
laten dan sulit diredam
3. Upaya mencari cara-cara baru
untuk mencapai legitimasi
politik (Ansell and Gash
dalam Sudarmo, 2011:104)
Chris Ansell dan Alison Gash
(2007) memberikan definisi
Collaborative Governance secara
jelas, yaitu A governing arrangement
where one or more public agencies
directly engage non-stet stakeholders
in a collective decision-making
process that is formal, consensus-
oriented, and deliberative and that
aims to make or implement public
policy or manage public program or
assets Berdasarkan pemaparan
Ansell dan Gash di atas dapat
dipahami bahwa Konsep
Collaborative Governance
merupakan sebuah tipe dari
governance. Collaborative
Governance sendiri membayangkan
adanya sebuah forum deliberatif, di
mana para stakeholder yang terlibat
dapat melakukan proses dialog
hingga mencapai sebuah konsensus
terkait permasalahan publik tertentu.
Setidaknya ada empat aspek penting
dari Collaborative Governance,yaitu
eksistensi forum deliberatif, aktor
majemuk meliputi aktor negara dan
non-negara, berorientasi consensus,
dan terkait kebijakan publik
(orientasi public goods) (Ansell &
Gash 2007).
Kolaborasi dipahami sebagai
kerjasama antar aktor, antar
organisasi atau antar institusi dalam
rangka pencapain tujuan yang tidak
bisa dicapai atau dilakukan secara
independent. Dalam bahasa
Indonesia, istilah kerjasama dan
kolaborasi masih digunakan secara
12 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
bergantian dan belum ada upaya
untuk menunjukkan perbedaan dan
kedalaman makna dari istilah
tersebut.
Secara umum lebih dikenal
istilah kerjasama dari pada
kolaborasi, dan tidak ada
pemahaman yang lebih mendalam
tentang paradigma apa yang
seharusnya dianut. Imparial
(2004:13) mendefinisikan kolaborasi
adalah kegiatan bersama antara dua
atau lebih organisasi yang ditujukan
untuk meningkatkan nilai publik
dengan cara bekerja sama daripada
secara terpisah. Kolaborasi
merupakan proses interaktif dengan
melibatkan otonom sekelompok
aktor yang memanfaatkan aturan
bersama, norma atau struktur
organisasi untuk memecahkan
masalah, mencapai kesepakatan
melakukan tindakan bersama,
berbagi sumber daya seperti
informasi, dana atau staf.
Hogue (2003:6-8)
menjelaskan sebagai bentuk relasi
dan kerjasama antar organisasi,
collaboration berbeda dengan
coordination dan cooperation.
Perbedaannya terletak pada sifat
tujuan kerjasama dan bentuk
ketergantungannya. coordination dan
cooperation merupakan upaya
organisasi dari pihak yang berbeda
untuk mencapai tujuan bersama
dengan tujuan yang bersifat statis.
Hubungan antarorganisasi dalam
koordinasi dan kooperasi bersifat
independen. Pada collaboration,
seluruh pihak bekerjasama dan
membangun konsensus untuk
mencapai suatu keputusan yang
menghasilkan kemanfaatan bagi
seluruh pihak
13 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
Kemudian Beverly Cigler
(1999) dikutip Matkin (2009:5)
kegiatan kolaboratif digambarkan
pada pengembangan kebijakan dan
implementasi, mengidentifikasi
sebuah "continuum of partnerships"
di mana di salah satunya
"networking". Kemitraan yang
terorganisir secara longgar utamanya
untuk pertukaran informasi.
Berikutnya adalah "cooperative";
kemitraan yang melibatkan
kesepakatan yang sederhana dan
hubungan berkisar dari informal
menjadi agak formal. Kemudian
"coordinating"; kemitraan yang
memerlukan lebih banyak komitmen,
hubungan ketat dan lebih formalitas.
Terakhir, "collaboration" adalah
kemitraan paling terkuat, hubungan
jangka panjang dan formal serta
komitmen yang tinggi tentang
sumber daya.
Petter (dalam Dwiyanto :
2010:258) kerjasama yang bersifat
kolaboratif, hubungan principal-agen
tidak berlaku karena kerjasama yang
terjadi adalah kerjasama antara
partisipal dengan partisipal. Dalam
kerjasama seperti ini, masing-masing
pihak yang terlibat dalam kerjasama
tetap memiliki otonominya sendiri.
Para pihak yang berkolaborasi adalah
prinsipal dan sekaligus juga
bertindak sebagai agen untuk diri
mereka sendiri. Mereka sepakat
bekerjasama karena memiliki
kesamaan visi dan tujuan untuk
diwujudkan secara bersama-sama
yang mungkin akan sulit dicapai
ketika masing-masing bekerja
sendiri. Alter dan Hage (1993)
dikutip Agranoff and McGuire
(2003:35) menjelaskan kebutuhan
untuk berkolaborasi timbul dari
interdependensi (hubungan saling
14 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
ketergantungan) antara aktor, yang
disebabkan oleh masing-masing
aktor memiliki berbagai jenis dan
tingkat teknologi dan sumber daya
yang dibutuhkan untuk memenuhi
tugas. Interdependensi menginduksi
peningkatan frekuensi dan intensitas
komunikasi antar organisasi tersebut,
yang pada gilirannya memaksa
keputusan yang harus dibuat
bersama-sama dan tindakan yang
akan dilakukan secara kolektif
sampai tingkat tertentu.
Gray (2000) dalam tulisan
Graddy and Chen (2009) dalam
O’Leary, Gazley, McGuire and
Bingham (2009:57-58) dijelaskan
tiga dimensi kolaborasi yang efektif
yaitu pencapaian sasaran klien,
meningkatkan hubungan-hubungan
antar organisasi dan pengembangan
organisasi. Tiga dimensi yang
berbeda ini merefleksikan jenis-jenis
sasaran organisasi yang tidak sama
yang dicari dari kolaborasi antar
organisasi.
1. Dimensi pertama, pencapaian
sasaran klien menunjuk pada
tujuan utama dari sebagian
usaha sektor publik untuk
meningkatkan kolaborasi,
yaitu mendapatkan sumber
daya yang akan
meningkatkan pelayanan.
2. Kedua, hubungan antar
organisasi ditingkatkan untuk
menangkap kedua hal yakni
manfaat kolektif dan potensi
kolaborasi organisasi. Jika
organisasi dalam kegiatan
kolaboratif sama baiknya, hal
ini dapat meningkatkan
modal sosial pada masyarakat
yang dilayani. Hubungan
yang lebih baik antara
organisasi bekerja untuk
15 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
meningkatkan kesempatan
memecahkan masalah dan
membuka jalan bagi
hubungan masa depan yang
lebih baik.
3. Dimensi ketiga
pengembangan organisasi
sebagian besar langsung
menguntungkan organisasi.
Jika kolaborasi meningkatkan
pengembangan organisasi,
hal ini dapat meningkatkan
kapasitasnya untuk bersaing
secara efektif atas kontrak
masa depan dan dapat
meningkatkan
kemampuannya untuk
mencapai misi dan tujuan.
Kerangka proses kolaborasi
menunjukkan bahwa kolaborasi
terjadi dari waktu ke waktu sebagai
interaksi organisasi baik secara
formal dan informal melalui
rangkaian yang berulang dari
negosiasi, pengembangan komitmen
dan pelaksanaan komitmen tersebut.
Para ahli menggambarkan beberapa
tahap proses kolaborasi. Pandangan
Gray (1989) dikutip Krane and Lu
(2010:11) menjelaskan tiga fase
kerangka kolaborasi yakni masalah
pengaturan, penetapan arah dan
pelaksanaan. Himmelman (1996)
dikutip Krane and Lu (2010:11)
proses kolaborasi dilihat sebagai
sebuah rangkaian strategi yang
berkisar untuk mengubah masyarakat
melalui “empowerment
collaboration” atau kolaborasi
pemberdayaan.
Thomson dan Perry (2007:3)
mendefinisikan kolaborasi adalah
proses di mana para aktor otonom
atau semi-otonom berinteraksi
melalui negosiasi formal maupun
informal, secara bersama
16 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
menciptakan aturan dan struktur
yang mengatur hubungan mereka dan
cara-cara untuk bertindak atau
memutuskan masalah bersama. Ini
berarti suatu proses yang melibatkan
norma-norma bersama dan interaksi
yang saling menguntungkan.
Berdasarkan definisi tersebut ada
lima dimensi kunci kolaborasi yaitu:
1. Governance (pemerintahan):
Para pihak yang
berkolaborasi harus
memahami bagaimana cara
untuk bersama-sama
membuat keputusan tentang
aturan-aturan yang akan
mengatur perilaku dan
hubungan bersama.
2. Administration
(administrasi): Kolaborasi
bukanlah usaha self
administering. Organisasi
berkolaborasi karena mereka
berniat untuk mencapai
tujuan tertentu. Struktur
administratif tersebut berbeda
secara konseptual dari
pemerintahan mereka karena
kurang berfokus atas
persediaan kelembagaan dan
lebih pada implementasi dan
manajemen apa yang
dibutuhkan untuk mencapai
suatu tujuan melalui sistem
operasi yang efektif serta
mendukung kejelasan peran
dan saluran komunikasi yang
efektif.
3. Organizational Autonomy
(otonomi organisasi):
Dimensi kolaborasi ini
menjelaskan dua dinamika
potensial dan kekecewaan
yang tersirat dalam upaya
kolaboratif. Para mitra pada
kenyataan berbagi identitas
17 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
ganda. Mereka
mempertahankan identitas
yang berbeda dan wewenang
organisasi yang dipisahkan
dari identitas kolaboratif.
4. Mutualisme (Kebersamaan):
Kebersamaan berakar pada
saling ketergantungan.
Organisasi yang
berkolaborasi harus saling
ketergantungan pada
hubungan yang saling
menguntungkan didasarkan
atas perbedaan kepentingan
atau kepentingan bersama.
5. Norms (norma): Timbal balik
dan kepercayaan, terkait erat
secara konseptual.
2. Governance
Konsep governance bukanlah
konsep baru, konsep governance
sama luasnya dengan peradaban
manusia, salah satu pembahasan
tentang good governance dapat
ditelusuri dari tulisan J.S Endarlin
(Setyawan, 2004:223) governance
merupakan suatu terminologi yang
digunakan untuk mengganti istilah
government, yang menunjuk
penggunaan otoritas politik, ekonomi
dan administrasi dalam mengelola
masalah-masalah kenegaraan.
Governance yang diterjemahkan
menjadi tata pemerintahan adalah
penggunaan wewenang ekonomi,
politik dan administrasi guna
mengelola urusan-urusan negara
pada semua tingkat.
Tata pemerintahan
mencangkup seluruh mekanisme,
proses dan lembaga-lembaga dimana
warga dan kelompok-kelompok
masyarakat mengutamakan
kepentingan mereka, menggunakan
hak hukum, memenuhi kewajiban
dan menjembatani perbedaan-
18 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
perbedaan diantara mereka. Defenisi
lain menyebutkan governance adalah
mekanisme pengelolaan sumber daya
ekonomi dan social yang melibatkan
pengaruh sector negara dan sektor
non-pemerintah dalam suatu usaha
kolektif. Defenisi ini mengasumsikan
banyak aktor yang terlibat dimana
tidak ada yang sangat dominan yang
menentukan gerak aktor lain.
Pesan pertama dari
terminology governance membantah
pemahaman formal tentang
berkerjanya institusi-institusi negara.
Governance mengakui bahwa
didalam masyarakat terdapat banyak
pusat pengambilan keputusan yang
berkerja pada tingkat yang berbeda
(Winarno, 2002:122).
Governance sebagai proses
pengambilan keputusan dan proses
yang mana keputusan itu
diimplementasikan, maka analisis
governance difokuskan pada faktor-
faktor formal dan informal yang
terlibat dalam pengambilan
keputusan dan implementasinya serta
struktur formal dan informal yang
disususun untuk mendatangkan
implementasi keputusan.
Governance dapat digunakan dalam
beberapa konteks seperti coorporate
governance, international
governance, national governance
dan local governance (Mardiasmo,
2002:14). Menurut Kooiman
(Setyawan, 2004 : 224) mengatakan
governance merupakan serangkaian
proses interaksi social politik antara
pemerintah dengan masyarakat
dalam berbagai bidang yang
berkaitan dengan kepentingan
masyarakat dan intervensi
pemerintah atas kepentingan-
kepentingan tersebut.
19 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
Governance merupakan
mekanisme-mekanisme, prosesproses
dan institusi-institusi melalui warga
negara mengartikulasikan
kepentingan-kepentingan mereka,
memediasi perbedaan-perbedaan
mereka serta menggunakan hak dan
kewajiban legal mereka (Setyawan,
2004:12). Dalam konteks ini
governance memeiliki hakikat yang
sesuai yaitu bebas dari
penyalahgunaan wewenang dan
korupsi serta dengan pengakuan hak
berlandaskan pada pemerintahan
hukum.
3. Koordinasi pemerintahan
Pemerintah adalah organ
yang berwenang memperoses
pelayanan publik dan berkewajiban
memperoses pelayanan sipil bagi
setiap orang melalui hubungan
pememrintahan, sehingga setiap
angota masayarakat yang
bersangkutan menerima pada saat
yang di perlukan ( Ndhraha, 2003 : 6
) Definisi pemerintahan lainnya yang
di kemukakan oleh Taliziduhu
Ndaraha dalam bukunya yang
berjudul Kybernologi ( ilmu
pemerintahan baru ) sbagai berikut :
Pemerintahan adalah sebuah sistem
multiproses yang bertujunan
memenuhi dan melindungi
kebutuhan dan tuntutan yang di
perintah akan jasa layanan sipil.
Tentunya yang di perintah
berdasarkan posisi yang di
pegangnya, misalnya sabagai sebagai
pelangan yang tidak berdaya dan
sebagainya pada dasarnya, proses-
proses itu komulatif, proses demend-
feadback (feedforward) Menurut Inu
Kencana dalam bukunya yang
berjudul Manajemen Pemerintahan
(2011:35), Bentuk Koordinasi
adalah:
20 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
a. Koordinasi Horizontal
Koordinasi
Horizontal adalah
penyelarasan
kerjasama secara
harmonis dan sinkron
antar lembaga
lembaga yang
sederajat.
b. Koordinasi Vertikal
Vertikal adalah
penyelarasan
kerjasama secara
harmonis dan sinkron
dari lembaga yang
sederajat lebih tinggi
kepada lembaga
lembaga lain yang
derajatnya lebih
rendah.
c. Koordinasi
Fungsional
Koordinasi
Fungsional adalah
penyelarasan
kerjasama secara
harmonis dan sinkron
antar lembaga
lembaga yang
memiliki kesamaan
dalam fungsi
pekerjaan misalnya
antar sesama para
kepala bagian
hubungan
masyarakat.
Unsur-unsur koordinasi
menurut menurut Terry dalam Inu
Kencana (2011:167):
a. Usaha-usaha sinkronisasi
yang teratur (orderly
synchronization of effort)
b. Pengaturan waktu
(timing) dan terpimpin
(directing)
21 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
c. Harmonis (harmonious)
d. Tujuan yang ditetapkan
(stated objective)
Koordinasi pemerintahan
merupkan kegitan-kegiatan
penyelengaraan pemerintahan
yang di tujukan ke arah tujuan
yang hendak di capai yaitu yang
telah di tetapkan menjadi garis-
garis besar haluan nagara dan
garis-garis besar haluan
pembagunan negara baik pusat
maupun tingkat daerah, guna
menuju pada sasaran dan tujuan,
gerak kegiatan yang harus ada
pengandalian, sebagai alat untuk
menjamin berlangsungnya
kegiatan, yang di maksud dengan
pengendalian disini adalah
kegiatan yang untuk menjamin
kesesuian karya dan rencana,
program pemerintah, dan
ketentuan-ketentuan lainnya yang
telah ditetapkan termasuk
tindakan kolektif terhadap ketidak
mampuan atau penyimpangan.
Proses pengandalian
menghasilkan data dan fakta-fakta
baru yang terjadi dalam
pelaksanaan. apa yang di
rencanakan tidak selalu cocok
pakta lapangan dengan kenyataan
ini lah pengendalian berguna
sekali untuk pelaksanaan
selanjutnya. Bagi penyelengaraan
pemerintahan terutama daerah,
koordinasi bukan hanya kerja
sama, melinkan integrasi dan
singronisasi yang mengandung
keharusan adanya komunikasi
yang teratur antara sesama pejabat
yang bersangkutan dengan
memahami dan mengndahkan
ketentuan hukum yang berlaku
sesuai suatu aturan pelaksanaan.
4. Kelistrikan
22 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
Listrik merupakan kebutuhan
yang sangat vital saat sekarang ini.
Hampir semua peralatan rumah
tangga dan pabrik-pabrik
menggunakan energi listrik untuk
menjalankannya. Namun
penggunaan energi listrik tersebut
tidaklah gratis. Energi listrik tersebut
harus dibayar sesuai dengan jumlah
penggunaannya, semakin lama /
banyak penggunaannya maka akan
semakin besar biaya yang harus
dikeluarkan. Pada rumah – rumah
atau perkantoran yang besar dimana
peralatan listrik yang digunakan
banyak, diperlukan adanya alat yang
dapat mengendalikan peralatan listrik
tersebut (menghidupkan dan
mematikannya). Hal ini sangat
berguna untuk mempermudah
pekerjaan pengguna sekaligus dapat
menghemat penggunaan listrik.
5. Pemerintah Daerah
Negara Republik Indonesia
merupakan Negara Kepulauan yang
terdiri dari beberapa daerah, yang
kesemua daerah tersebut merupakan
sebuah daerah otonom yang
mendapat pengakuan oleh Negara,
hal tersebut dinyatakan dalam Pasal
18 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945,
bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas beberapa
daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten
dan kota yang tiap provinsi,
kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintah daerah yang diatur dalam
Undang-undang. Menurut Pasal 1
angka 2 Undang Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah
daerah dan DPRD menurut asas
23 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam
UndangUndang Dasar Negara
Republik Indnesia Tahun 1945.
Dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah sesuai dengan
amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun
1945 maka pemerintahan daerah
yang dapat mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan,
menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan, diarahkan untuk
mempercepat terrwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah dengan
mempertimbangkan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan, dan kekhususan suatu
daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Widjaja, (2005:25)
mengatakan bahwa dalam
penyelenggaraan urusan
pemerintahan, pemerintah daerah
menyelenggarakan pemerintahannya
dengan asas-asas sebagai berikut :
1. Asas desentralisasi, adalah
penyerahan wewenang
pemerintahan oleh
pemerintah pusat kepada
daerah otonom. Asas
desentralisasi ini dapat
ditanggapi sebagai hubungan
hukum keperdataan, yakni
penyerahan sebagian hak dari
pemilik hak kepada penerima
sebagian hak dengan obyek
tertentu. Pemilik hak
24 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
pemerintahan adalah ditangan
pemerintah, dan hak
pemerintahan tersebut
diberikan diberikan kepada
pemerintah daerah, dengan
objek hak berupa
kewenangan pemerintah
dalam bentuk untuk mengatur
urusan pemerintahan, namun
masih tetap dalam kerangka
NKRI.
2. Asas dekonsentrasi, adalah
pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur,
sebagai wakil pemerintah
kepada instansi vertical di
wilayah tertentu. Asas tugas
pembantuan, adalah
penguasaan dari pemerintah
kepada daerah kota dan atau
desa; dari pemerintahan
provinsi kepada pemerintah
kabupaten atau kota dan atau
desa; serta dari pemerintah
kabupaten atau kota kepada
desa untuk melaksanakan
tugas tertentu.
6. Wewenang Pemerintah Dalam
Kelistrikan
Dengan berlakunya Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014
terutama lampiran CC angka 5,
kewenangan dalam bidang
ketenagalistrikan hanya menjadi
wewenang pemerintahan pusat dan
pemerintahan Provinsi.
Padahal Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan nyata-nyata
mencantumkan kewenangan daerah
kabupaten/kota dalam urusan
ketenagalistrikan. Mulai dari
penetapan regulasi, hingga penetapan
tarif listrik bagi konsumen
sebagaimana tercantum dalam
25 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
ketentuan Pasal 5 ayat (3). Pemohon
mendalilkan bahwa telah terjadi
ketidakpastian hukum (legal
uncertainty) dengan kehadiran dua
undang-undang yang saling
bertentangan tersebut, yaitu Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014,
khusus lampiran CC angka 5, dan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2009.
C. HASIL PENELITIAN
1. Government (pemerintahan)
Pemerintahan dalam penelitian ini
adalah para pihak yang berkolaborasi
seperti PLN, dan Pemerintah daerah
harus memahami bagaimana cara
untuk bersama-sama membuat
keputusan tentang aturan-aturan yang
akan mengatur hubungan dalam
menyelesaikan krisis listrik tersebut.
Banyak pihak menuding PT
Perusahaan Listrik Negara (Persero)
atau PLN sebagai pihak yang harus
bertanggung jawab atas persoalan
listrik di wilayah tersebut.
Menanggapi tudingan tersebut, PLN
pun mencoba mengungkapkan
beberapa hal, di antaranya mengakui
perusahaan listrik pelat merah itu
tidak sanggup menangani krisis
listrik di Indonesia sendirian.
Pertumbuhan konsumsi listrik
yang tidak dapat di ikuti dengan
pertumbuhan pasokan listrik
mengakibatkan terjadi krisis listrik.
Keadaan ini bisa disebabkan oleh
salah satu faktor ataupun akumulasi
dari faktor-faktor berikut yaitu
keterbatasan sumber cadangan energi
yang tersedia untuk pembangkitan
tenaga listrik, keterbatasan dana
untuk membangun pembangkit listrik
yang baru, ataupun kesalahan
perencanaan pembangkitan yang
tidak dapat mengantisipasi
pertumbuhan konsumen terhadap
26 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
kebutuhan tenaga listrik. Selain itu,
penggunaan energi listrik secara
boros oleh konsumen juga sangat
berpotensi menyebabkan terjadinya
krisis listrik.
2. Administration (administrasi)
Implementasi dan manajemen
membuat suatu tujuan sehingga
mengetahui apa yang dibutuhkan
untuk mencapai suatu tujuan melalui
sistem operasi yang efektif serta
mendukung kejelasan peran dan
saluran komunikasi yang efektif
antara pemerintah dan PLN dalam
menyelesaikan krisis listrik di Kota
Tanjungpinang.
3. Organizational Autonomy
(otonomi organisasi)
Mempertahankan identitas yang
berbeda dan wewenang organisasi
yang dipisahkan dari identitas
kolaboratif. Sehingga dapat dibagi
sesuai dengan kewenangannya.
Berdasarkan Undang-Undang
Kelistrikan Nomor 30 Tahun 2011
dijelaskan bahwa ada peran
pemerintah kabupaten kota, PLN
adalah bagian dari pemerintah
Namun setelah berlakunya Undang-
undang no 23 Tahun 2014 maka
pemerintah kabupaten atau kota tidak
memiliki kewenangan dalam hal
ketenga listrikan di mana wewenang
kelistrikan ada di pemerintah pusat
dan pemertintah Provinsi. Dan
Permasalahan yang terjadi terkendala
di wewengan PLN dimana PLN aria
sipatnya hanya memberikan laoran
dan mejalankan tugas dari Hirarki
yang lebih tinggi karena kewenagan
PLN sepenuhnya di PLN pusat,
Namun masalah Listrik merupakan
masalah masyarakat, secara tidak
langsung merupakan tanggung jawab
pemerintah, sehingga pemerintah
juga harus berperan dalam upaya
27 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
menyelesaikan krisis listrik di kota
tanjungpinang sesuai dengan
kewenangan.
4. Mutualisme (Kebersamaan)
Kebersamaan berakar pada
saling ketergantungan. PLN dan
Pemerintah Daerah yang
berkolaborasi harus saling
ketergantungan pada hubungan yang
saling menguntungkan didasarkan
atas perbedaan kepentingan atau
kepentingan bersama. pemerintah
dan PLN mengupayakan adanya
kolaborasi terhadap permasalahan
listrik bukan hanya sekedar
koordinasi. Collaborative
governance adalah sebagai struktur
organisasi pemerintahan di mana
instansi pemerintahan secara
langsung mengajak para pemangku
kepentingan untuk membuat
keputusan secara bersama-sama
dalam sebuah forum yang bersifat
formal, berorientasi konsensus, dan
ada kebebasan, yang bertujuan untuk
membuat atau melaksanakan
kebijakan publik atau mengelola
program dan aset publik.
5. Norms (norma)
Timbal balik dan
kepercayaan, terkait erat secara
konseptual. Norma adalah
sekumpulan perangkat yang
mengatur manusia yang dijadikan
sebagai pedoman kehidupan
bermasyarakat. Penerapan norma
sangatlah penting dalam pekerjaan
agar dapat tercipta pekerjaan yang
dijalankan dapat mencapai
tujuannya, tertib serta terwujudnya
perasaan nyaman pada setiap anggota
masyarakat yang dilayani. Listrik
memberikan keuntungan bagi semua
pihak, maka tentunya upaya
penyelamatan dari krisis listrik
menjadi tanggung jawab bersama
28 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
bagi konsumen (sektor rumah
tangga, komersial dan industri) dan
produsen energi listrik (perusahaan
listrik negara dan swasta). Selain itu,
peran organisasi masyarakat,
organisasi profesi, akademisi juga
sangat dibutuhkan sebagai
katalisator, pengontrol dan mediator
untuk menjembatani masyarakat,
pemerintah dan perusahaan listrik
dalam implementasi penanggulangan
krisis listrik. Peran pemerintah (pusat
dan daerah) sebagai pengambil
kebijakan dan regulator juga harus
menjadi partisipan, fasilitator dan
pengontrol dalam menanggulangi
krisis listrik. Perlu adanya regulasi
untuk mengatur konsumen energi,
produsen energi, pasar dalam
pelaksanaan penanggulangan krisis
listrik.
D. PENUTUP
1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil
penelitian dapat di simpulkan
bahwa colaborative governance
sudah di lakukan dengan cukup
baik, hal ini dapat di lihat dari
berbagai upaya yang telah di
lakukan oleh stakeholder dalam
upaya menyelesaikan krisis
listrik di kota Tanjungpinang,
namun dari hasil penelitian
terungkap bahwa kedala yang
selama ini yang di hadapi oleh
pihak yang berkolaborasi (
Pemerintah Kota
Tanjungpinang, DPRD Kota
Tanjungpinang, Perseroan
Terbatas Perusahaan listrik milik
negara ( PT PLN ) arial cabang
Tanjungpinang,
wiraswasta,lembaga swadaya
masyarakat, masyarakat dan
mahaiswa). Namun Terdapat
kerkendala di kewanangan,
29 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
sementara masalah kewenangan
lebih besar di PLN sebagai pihak
yang memonopoli usaha jasa
pelayanan listrik di indonesia
sesuai dengan Surat keputusan
kementrian energi sumberdaya
dan mineral nomor : 634-
12/20/600.3/2011 tanggal 30
September 2011, dan kemudian
dari hasil penelitian juga
terungkap bahwa PLN memiliki
sistem hirarki dalam
organisasinya, di mana
keputusan tertinggi di putuskan
oleh PLN pusat dan PLN Arial
atau cabang hanya bersifat
memberikan laporan ataupun
pengajuan. Dan kendala Kedua
setelah berlakunya UU No 23
Tahun 2014 Pemerintah daerah
kabupaten kota, dalam masalah
ini pemerintahan daerah kota
Tanjungpinag Tidak memiliki
kewenangan dalam hal
kelistrikan karena masalah
kelistrikan merupakan
wewenang dari pemerintah pusat
dan pemerintah provinsi
kepualauan Riau, sehingga
pemerintah Kota Tanjungpinang
semakit sempit wewenagnya
dalam upaya menyelesaikan
krisis listrik.
Upaya-upaya yang
dilakukan oleh pihak yang
berkolaborasi dengan menemui
GM PLN Wilayah Riau dan
Kepulauan Riau, supaya masalah
kelistrikan di kota
Tanjungpinang segera teratasi,
namun berjalanya waktu teryata
hasil pertemuan tidak
mebuahkan hasil karena PLN
pusat tidak menyetujui,
dikarenakan masih banyak
daerah lain yang menjadi skala
30 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
proritas PLN pusat, kemudian
pemerintah kota Tanjungpinang
sebelum berlakunya UU 23
tahun 2014 beserta jajarannya
juga mencoba mengandeng
pihak ketiga dalam
menyelesaikan masalah
kelistikan namun berjalannya
waktu mengalami kendala-
kendala, apakah kendala internal
maupun external kendala
internal misalnya masalah
permodalan atau anggaran
kendala ekternal kesepakan
dengan pihak PLN sebagai
pemengang hak pelayanan jasa
listrik, yang memiiki regulasi,
regulasi pembayaran atau
penjualan arus listrik yang tidak
dapat tersepakati. Dan pada
akhirnya kebali gagal,
sedangkan alternatif yang lain
ialah interkoneksi batam-bintan,
dan kembali mengalami
beberapa kendala salah satunya
ialah adanya wilayah yang
masuk dalam kawasan hutan
lindung dalam hal ini pemerintah
derah kota Tanjungpinang dan
pemerintah daerah provinsi
kepulaun riau turut mebantu
untuk mempermudah
permohonan izin guna
percepatan keluarnya izin dari
kementrian kehutanan dan
mambantu dalam proses
pembebasan lahan yang
termasuk daerah hutan lindung,
juga pembebasan lahan
masyarakat interconeksi batam
bintan tahap I.
Pemerintah daerah juga
pernah mengandeng pihak ketiga
Sebelum Berlakunya UU No 23
tahun 2014 untuk mendatangkan
mesin sewa dengan kapasitas
31 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
12MW di PLTD Suka bernang,
dengan mempermudah
perizinan, pengawasan sebagai
solusi jangka pendek, dan setiap
terjadi pemdaman dan
megalamai kemarahan
masyarakat pemerintah daerah
turut hadir bersama masyarakat
dan PLN untuk memfasilitasi,
memediasi apa tuntutan
masyarakat dengan pihak PLN
untuk mecari solusi bersama.
Pola colaborative governance
yang oleh stack holder
contohnya dalam pembahasan
RPJM dan MUSRENBANG,
pemerintah daerah melalui
badan perencanaan pembagunan
daerah melibatkan semua pihak
termasuk PLN, swasata dan
masyarakat juga sering
melakukan rapat-rapat dalam
pembahasan masalah kelistrikan
di kota Tanjungpinang.
Namun dalam
Colaborative Governane juga
masih terdapat beberapa
kekurangan dalam hal regulasi
yang mengatur Colaborative
governance antara pemerintahan
daeah kota Tanjungpinang
dengan PLN, dalam hal
menentukan hubungan bersama
PLN Karena berbenturan dengan
Undang-undang No 23 Tahun
2014 tentang pemerintahan
Daerah sehingga Rancangan
Ketenaga Listrikan daerah (
RUKD ) masih sebatas Draf.
Namun juga terdapat
kelemahan dalam hal
perencanaan pembagunan daerah
Kota Tanjungpinang yang
kurang memperhatikan jumlah
daya yang tersedia dengan
32 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
pembagunan contoh dalam
pemberian izin mendirikan
bagunan pihak pengembang
perumahan ruko-ruko yang
belum di manfaatkan namun
sudah di aliri listrik Sehingga
melunjaknya kebutuhan daya
Listrik.
2. Saran
Adapun saran yang dapat
disampaikan adalah sebagai berikut :
1. Sebaiknya pemerintah daerah
harus membuat regulasi
tentang pembatasan
dan pengawasan terhadap
pembagunan perumahan baru
setiap tahun agar tidak terjadi
menjamurnya perumahan-
perumahan baru ruko-ruko
baru yang menyebabkan
melunjaknya kebutuhan akan
daya listrik.
2. PLN sebaiknya memberikan
informasi selengkapnya
kepada pemerintah dan LSM
tentang sebab permasalahan
yang terjadi, hal ini akan
membantu memecahkan
permasalahan yang ada
bersama-sama.
3. Pemerintah daerah dan PLN
harus membangun
Collaborative Governance
dalam memenuhi kebutuhan
listrik di Kota
Tanjungpinang. Dimana tugas
pemerintah daerah adalah
untuk mensejahterakan dan
menjamin kebutuhan publik
salah satunya adalah dengan
pemenuhan kebutuhan listrik.
Kualitas pelayanan
pemerintahan, pembangunan,
maupun perekonomian juga
investasi harus diperkirakan
33 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
dengan meperhitungkan
kebutuhan listrik di setiap
perencanaan untuk mencapai
visi dan misi pemerintah kota
Tanjungpinang.
4. Colaborative Governace
dalam upaya menyelesaikan
krisis listrik di kota
Tanjugpinang Harus Terus di
bangun, baik pemerintah
daerah kota Tanjungpinang,
Provinsi Kepulauan Riau,
PLN Arial Kota
Tanjungpinang, LSM, Swasta
maupuan Masyarakat.
5. Bagi masyarakat sebaiknya
lebih dapat memanfaatkan
listrik dengan sebaik-baiknya
dan tidak melakukan
pemborosan.
34 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Dwiyanto, Agus. 2010. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif dan
Kolaboratif. Yogyakarat. Gadjah Mada University Press.
Hasibuan . 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia, cetakan kesembilan, Jakarta
: PT Bumi Aksara.
Inu, Kencana Syafiie. 2011. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Rineka.
Cipta.
Magdelena Silitoga. 2002. Pertangungjawabanm pidana Korporasi terhadap
tindak pidana Ketenagalistrikan” Program Paska Sarjana( Magister)
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
Moh. Mahfud MD. 2006. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Cetakan
kelima, Liberty, Yogyakarta.
Miles B,Matthew dan Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber
Metode-metode Baru, Universitas Indonesia Press,Jakarta.
Ndraha. 2003. Kybernologi Ilmu Pemerintahan Baru, Jilid I. Jakarta : PT. Rineka
Cipta.
Sudarmo. 2011. Isu-isu Administrasi Publik Dalam Perspektif Governance.
Surakarta: Smart Media.
Sugiyono. 2012. Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan H & D. CV. Alfabeta :
Bandung
Winardi. 2002. Asas-Asas Manajemen. Bandung: Mandar Maju.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenaggalistrikan
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 Tentang kegiatan Penyediaan
Tenaga listrik.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
35 | N a s k a h P u b l i k a s i J U N A I D I
Jurnal :
Ansell, Chris and Alison Gash. 2007. “Collaborative Governance in Theory and
Practice”. Journal of Public Administration Research and Theory. 18(4). 543-
571.
Everingham, Jo-Anne; Jeni Warburton; Michael Cuthill; Helen Bartlett. 2012.
“Collaborative Governance of Ageing : Challenges for Local Government
Thompson, Perry and Miller. 2007. Conceptualizing and Measuring
Collaboration. Jurnal of Public Administration Research and Theory
Advance Access published December 1, 2007
in Partnering with the Senior’s Sectors”. Local Government Sudies. 38 (2).
161-181.