COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN...
Transcript of COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN...
COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN
HUTAN MANGROVE DI TOKOJO KELURAHAN KIJANG KOTA
NASKAH PUBLIKASI
Oleh:
SITI AMSJARINA
NIM : 1210565201096
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2017
1
COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN
HUTAN MANGROVE DI TOKOJO KELURAHAN KIJANG KOTA
SITI AMSJARINA
Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan ilmu Politik Universitas
Maritim Raja Ali Haji
A B S T R A K
Kerusakan kawasan hutan ini tidak akan terjadi apabila adanya pengawasan,
tidak hanya pengawasan dari Pemerintah Daerah saja namun masyarakat juga harus
ikut andil di dalam proses pengawasan kawasan hutan khususnya hutan mangrove.,
kerjasama antara pemerintah dan masyarakat inilah yang disebut dengan
Collaborative Governance. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia salah satunya di
Kabupaten Bintan kini semakin mengkhawatirkan, dalam hal ini Pemerintah Daerah
bertanggung jawab atas wilayah hutan masing-masing Daerah.
Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui bagaimana Colabborative Governance
dalam mengawasi hutan mangrove sebagai kawasan hutan yang hampir punah.
Dalam penelitian ini yang menjadi informannya adalah Dinas Lingkungan Hidup,
Dinas Kelautan dan Perikanan Lurah Tokojo, serta pegawai BPPPD. Analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Collaborative
Governance Dalam Mengawasi Kawasan Hutan Mangrove Di Tokojo Kelurahan
Kijang Kota sudah berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari : pemerintah
melakukan pengawasan mengacu pada Undang-Undang Nomor 45 Tentang
kehutanan, kemudian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pemerintah daerah.
Kemudian berdasarkan penelitian maka diketahui bahwa sudah ada kewenangan
masing-masing organisasi perangkat daerah dalam pengawasan mangrove ini
Kata Kunci : Colabborative Governance, Pemerintah, Hutan Mangrove
2
A B S T R A C T
Damage to forest areas this will not occur if the existence of the surveillance,
not only the supervision of the local governments but society should also participate
in the process of forest areas supervisory especially mangrove forests., a joint
venture between the Government and the community this is called Collaborative
Governance. The damage of mangrove forests in Indonesia's Bintan Regency one
increasingly worrying, in this case local government responsible for the respective
area of forest areas.
The aim in this study to find out how Colabborative Governance in overseeing
the mangrove forest as forest area which is almost extinct. In this research that
became informannya is the Department of the environment, the marine and Fisheries
Agency Head Tokojo, as well as officials of the BPPPD. The analysis of the data
used in this study is the analysis of qualitative data.
Based on the research results then can be drawn the conclusion that
Collaborative Governance In Overseeing the area of Mangrove Forests in the
Tokojo Neighborhood Deer City is already well underway, it can be seen from:
Government surveillance refers to Act No. 45 Of forestry, then Act No. 23 of 2014,
local government. Then based on the research then note that there is already an
authority on each organization's mangrove areas supervisory devices in this
Keywords: Government, Governance, Colaborative Mangrove Forests
3
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu ekosistem pesisir yang
mengalami tingkat degradasi cukup
tinggi akibat pola pemanfaatannya yang
cenderung tidak memperhatikan aspek
kelestariannya adalah hutan mangrove.
Hutan mangrove merupakan salah satu
sumberdaya pesisir yang berperan
penting dalam pembangunan. Melihat
gejala perusakan hutan mangrove untuk
berbagai kepentingan tersebut maka
perlu dilakukan pengelolaan hutan
mangrove secara lestari. Pengawasan
dilakukan dalam usaha menjamin
kegiatan terlaksana sesuai dengan
kebijakan, strategi, keputusan, rencana
dan program kerja yang telah dianalisa,
dirumuskan dan ditetapkan sebelumnya
dalam wadah yang disusun.
Dalam mengelola hutan managrove
dibutuhkan pengawasan. Pengawasan
sangatlah penting dalam setiap
pekerjaan baik itu organisasi kecil
maupun organisasi besar. Sebab dengan
adanya pengawasan yang baik maka
suatu pekerjaan akan dapat berjalan
dengan lancar dan dapat menghasilkan
hasil kerja yang baik pula. Karena
Mangrove sangat penting artinya dalam
pengelolaan sumber daya pesisir di
sebagian besar-walaupun tidak semua-
wilayah Indonesia. Fungsi mangrove
yang terpenting bagi daerah pantai
adalah menjadi penghubung antara
daratan dan lautan. Tumbuhan, hewan
benda-benda lainnya, dan nutrisi
tumbuhan ditransfer ke arah daratan
atau ke arah laut melalui mangrove.
Mangrove berperan sebagai filter untuk
mengurangi efek yang merugikan dari
perubahan lingkungan utama, dan
sebagai sumber makanan bagi biota laut
(pantai) dan biota darat.
Hutan mangrove merupakan salah
satu bentuk ekosistem hutan yang unik
dan khas, terdapat di daerah pasang
surut di wilayah pesisir, pantai, atau
pulau-pulau kecil, dan merupakan
potensi sumberdaya alam yang sangat
potensial. Hutan mangrove memiliki
nilai ekonomis dan ekologis yang
tinggi, juga sebagai wahana hutan
wisata dan atau penyangga
perlindungan wilayah pesisir dan
pantai, dari berbagai ancaman
sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi
air laut, serta sebagai sumber pakan
habitat biota laut, tetapi ekosistem
mangrove ini sangat rentan terhadap
kerusakan apabila kurang bijaksana
dalam mempertahankan, melestarikan
dan pengelolaannya.
Kabupaten Bintan Provinsi
Kepulauan Riau memiliki wisata
ekosistem mangrove terbesar di Asia
Tenggara dengan luas keseluruhannya
±7.956 Ha Berdasarkan Data yang
diperoleh dari Direktorat Jenderal Bina
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan
perhutanan Sosial Kementerian
Kehutanan. Kerusakan-kerusakan hutan
mangrove mengakibatkan semakin
berkurangnya luas hutan mangrove di
Kabupaten Bintan yang disebabkan
oleh aktivitas pembangunan.
Hutan mangrove di Kabupaten
Bintan harusnya dimanfaatkan sebagai
pelindung dan kawasan penyangga juga
sebagai pemasok perekonomian
masyarakat nelayan untuk mencari
ikan. Meskipun demikian, masih
4
banyak hutan mangrove yang
dimanfaatkan sebagai bahan kayu dan
keperluan rumah tangga, lahan
pertambakan, pelabuhan, pemukiman
dan industry.
Kerusakan hutan mangrove di
Indonesia salah satunya di Kabupaten
Bintan kini semakin mengkhawatirkan,
dalam hal ini Pemerintah Daerah
bertanggung jawab atas wilayah hutan
masing-masing Daerah yang juga
tertuang dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah pada pasal 14 ayat (2)
menjelaskan bahwa Urusan
Pemerintahan bidang kehutanan
sebagaimana yang berkaitan dengan
pengelolaan taman hutan raya
kabupaten/kota menjadi kewenangan
Daerah kabupaten/kota.
Kerusakan kawasan hutan ini tidak
akan terjadi apabila adanya
pengawasan, tidak hanya pengawasan
dari Pemerintah Daerah saja namun
masyarakat juga harus ikut andil di
dalam proses pengawasan kawasan
hutan khususnya hutan mangrove.,
kerjasama antara pemerintah dan
masyarakat inilah yang disebut dengan
Collaborative Governance.
Collaborative Governance menurut
Tang dan Masmanian dalam Dewi
(2012:71) mendefinisikan bahwa:
Collaborative Governance :
A concept that describes the
process of
establishing,steering,
facilitating, operating dan
monitoring cross-sectoral
organizational
arrangements to address
public policy problems that
cannot be easily addressed
by a single organization or
the public sector alone.
These arrangementsare
characterized by joint
effort, reciprocal
expectations, and voluntary
participation among
formally autonomous
entities, from two or more
sector –public, for profit,
and nonprofits –in order to
leverage (build on) the
unique attributes and
resources of each.
Sesuai dengan teori di atas
Collaborative Governance dari pihak
Pemerintah sebagai Instansi yang
mengawasi, mengendalikan, memantau
dan mengevaluasi pada hutan mangrove
bersama-sama dengan Dinas
Lingkungan Hidup sebagai Instansi
yang mengawasi tentang lingkungan
hidup pada kawasan hutan mangrove,
dan yang ketiga yaitu Dinas Kelautan
dan Perikanan instansi yang berfungsi
untuk mengawasi Ekosistem pada
Hutan Mangrove.
Wilayah Hutan mangrove yang
mengalami kerusakan akibat
penimbunan pada wilayah Kabupaten
Bintan adalah kawasan hutan mangrove
di Tokojo Kelurahan Kijang Kota
Kecamatan Bintan Timur. Kerusakan
terjadi diakibatkan oleh penimbunan
yang dilakukan PT.Sinar Body Cipta
(SBC) lebih dari titik koordinat yang
telah ditentukan Pemerintah Kabupaten
Bintan, jelas bahwa pada Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
pada bagian keenam Larangan dalam
Pasal 35 huruf (e), (f) dan (g) yang
menjelaskan Dalam pemanfaatan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
setiap orang secara langsung atau tidak
langsung dilarang melakukan konversi
5
Ekosistem mangrove di Kawasan atau
Zona budidaya yang tidak
memperhitungkan keberlanjutan fungsi
ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
menebang mangrove di kawasan
konservasi untuk kegiatan industri,
pemukiman, dan/atau kegiatan lainnya.
Penimbunan hutan mangrove
dilakukan oleh PT.Sinar Bodhi Cipta
(SBC) sejak tahun 2014. Dalam hal
perizinan dari Badan Penanaman Modal
dan Perizinan Daerah (BMPD) hanya
memberikan izin kepada PT.Sinar Body
Cipta seluas 3 Ha yang diberi izin untuk
ditimbun. Berdasarkan data dari Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Bintan tanah atas nama PT. Sinar Body
Cipta (SBC) seluas ± 18,30 Ha, Namun
penimbunan terus dilakukan sehingga
luasnya hampir menutupi semua hutan
mangrove dikawasan Tersebut.
Alasan pembangunan ini untuk
mendirikan perumahan bagi masyarakat
nelayan yang kurang mampu, tetapi
pada kenyataannya justru dibangun
pagar tembok setinggi lebih kurang 1,5
meter sampai 2 meter menutupi lokasi
tersebut, munculnya praduga dari
masyarakat bahwa dibangunnya tembok
tersebut untuk menutupi segala aktivitas
yang terjadi di lokasi. Walaupun sudah
dilakukan sidak pada tahun 2015 oleh
Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan
Satpol PP bidang lingkungan hidup dan
sudah dipasang garis Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) tetap saja mereka
melakukan aktivitasnya sehingga
berdampak juga kepada masyarakat
seperti para nelayan sulit memperoleh
ikan, pencemaran udara, dan aktivitas
masyarakat terganggu akibat keluar
masuknya kendaraan berat.
Permasalahan lain adalah
adanya tumpang tindih kewenangan
juga terlihat pada saat pengalihan
fungsi hutan mangrove menjadi
pelabuhan lain, sebagai daerah
kepulauan dengan lalu lintas utamanya
adalah lalu lintas laut, sektor
perhubungan laut dalam hal ini dinas
perhubungan terus mengupayakan
perluasan pembangunan pelabuhan.
Dari permasalahan tumpang tindih
kewenangan dan peraturan tersebut
diatas, masing-masing sektoral
memiliki aturan hukum sendiri-sendiri,
sehingga setiap sektor juga memiliki
kewenangannya sendiri-sendiri. Disatu
sisi, Sektor kehutanan memiliki
kewenangan untuk menjaga kelestarian
hutan mangrove, jika tidak dilanggar,
sanksi yang termuat dalam Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 pun
sangat jelas
Selain permasalahan tersebut
untuk mengarahkan pembangunan di
Kabupaten Bintan dengan
memanfaatkan ruang wilayah secara
berdaya guna, berhasil guna, serasi,
selaras, seimbang dan berkelanjutan
maka disusun Peraturan Daerah
Kabupaten Bintan Nomor : 2 Tahun
2012 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Bintan Tahun
2011-2031. Dalam perda tersebut
dijelaskan bahwa kawasan lindung laut
lokal yang didalamnya termasuk hutan
mangrove harus dilindungi, akan tetapi
secara spesifik perda tersebut tidak
mencantumkan wilayah hutan
mangrove mana yang harus
didilindungi dan dilestarikan. Hal ini
berpotensi mengakibatkan semakin
berkurangnya hutan mangrove di
kabupaten Bintan.
Dari uraian di atas penulis
tertarik uuntuk melakukan penelitian
yang lebih jauh tentang fenomena yang
terjadi dilapangan, dalam sebuah usulan
penelitian dengan judul :
“COLLABORATIVE GOVERNANCE
6
DALAM MENGAWASI KAWASAN
HUTAN MANGROVE DI TOKOJO
KELURAHAN KIJANG KOTA”.
B. Perumusan Masalah
Hutan mangrove di
Kabupaten Bintan harusnya
dimanfaatkan sebagai pelindung dan
kawasan penyangga juga sebagai
pemasok perekonomian masyarakat
nelayan untuk mencari ikan. Meskipun
demikian, masih banyak hutan
mangrove yang dimanfaatkan sebagai
bahan kayu dan keperluan rumah
tangga, lahan pertambakan, pelabuhan,
pemukiman dan industri, hal ini
dikarenakan masih ada permasalahan
berkaitan dengan tumpang tindih
kewenangan antar instansi pemerintah.
Seperti pada saat pengalihan fungsi
hutan mangrove ada beberapa instansi
yang terlibat baik Dinas Kelautan dan
Perikanan, Dinas Lingkungan Hidup
sampai dengan BdnPPD (Badan
Perencanaan, Penelitisn, Kabupaten
Bintan. Berdasarkan latar belakang
masalah di atas mengenai
Collabborative Governance dalam
mengawasi kawasan hutan mangrove
maka peneliti mengidentifikasikan
Rumusan masalahnya yaitu :
Bagaimana Collaborative Governance
Dalam Mengawasi Kawasan Hutan
Mangrove di Tokojo Kelurahan Kijang
Kota?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian
termasuk Untuk mengetahui bagaimana
Colabborative Governance dalam
mengawasi hutan mangrove sebagai
kawasan hutan yang hampir punah.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaannya untuk
mengembangkan wawasan ilmu
pemerintahan. Khususnya
mengenai Collabborative
Governance dalam mengawasi
kawasan lindung hutan
mangrove.
b. Hasil penelitian di harapkan
dapat menjadi sumbangan
pemikiran atau saran untuk
Pemerintah Kabupaten Bintan
agar dapat lebih
memaksimalkan kinerja agar
tidak ada lagi yang menimbun
dan merusak kawasan hutan
Mangrove.
D. Konsep Operasional
Hasil penelitian secara empiris
maka peneliti perlu
mengoperasionalkan konsep yang
masih abstrak agar mempermudah
dalam proses pemberian nilai atas
masing-masing indikator dari konsep.
Berkenaan dengan penelitian ini
peneliti lebih menjelaskan bagaimana
Collaborative Governance terhadap
pengawasan hutan mangrove yaitu
mengacu pada pendapat Thomson dan
Perry (2007:3) mendefinisikan
kolaborasi adalah proses di mana para
aktor otonom atau semi-otonom
berinteraksi melalui negosiasi formal
maupun informal dan dipaparkan dalam
lima dimensi kunci kolaborasi yaitu:
1. Governance (pemerintahan): para
pihak yang berkolaborasi harus
memahami bagaimana cara untuk
bersama-sama membuat keputusan
tentang aturan-aturan yang akan
mengatur hubungan dalam
mengawasi mangrove.
7
2. Administration (administrasi):
Implementasi dan manajemen
membuat suatu tujuan sehingga
mengetahui apa yang dibutuhkan
untuk mencapai suatu tujuan
melalui sistem operasi yang efektif
serta mendukung kejelasan peran
dan saluran komunikasi yang efektif
antara pemerintah dalam
mengawasi mangrove di Kabupaten
Bintan.
3. Organizational Autonomy (otonomi
organisasi): Mempertahankan
identitas yang berbeda dan
wewenang organisasi yang
dipisahkan dari identitas
kolaboratif. Sehingga dapat dibagi
sesuai dengan kewenangannya.
4. Mutualisme (Kebersamaan):
Kebersamaan berakar pada saling
ketergantungan. Pemerintah Daerah
yang berkolaborasi harus saling
ketergantungan pada hubungan
yang saling menguntungkan
didasarkan atas perbedaan
kepentingan atau kepentingan
bersama.
5. Norms (norma): Timbal balik dan
kepercayaan, terkait erat secara
konseptual.
E. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan
penulis adalah penelitian yang bersifat
Deskripsi kualitatif. Adapun Dalam
Silalahi (2012:28-29) menurut Mely G.
Tan Penelitian yang bersifat deskriptif
bertujuan menggambarkan secara tepat
sifat-sifat suatu undividu, keadaan,
gejala, atau kelompok tertentu, atau
frekuensi atau penyebaran suatu gejala
atau frekuensi ada nya hubungan
tertentu anatara suatu gejala lain dalam
masyarakat. Dalam hal ini mungkin
sudah ada hipotesis-hipotesis mungkin
sebelum tergantung dari sedikit-
banyaknya pengetahuan tentang
masalah yang bersangkutan.
Penelitian deskriptif bisa digunakan
baik untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan penelitian (tidak
berhipotesis) dan menguji hipotesis
(berhipotesis). Dalam hal terakhir,
hipotesis yang di uji adalah hipotesis
deskriptif yang hanya menyatakan
perkiraan atas karakteristik tertentu dari
satu populasi. Penelitian deskriptif bisa
sederhana dan bisa rumit, dan bisa
dilakukan di laboraturium atau
dilapangan dapat menggunakan segala
metode pengumpulan data dan bisa
kualitatif atau kuantitatif. Penelitian
deskriptif yang sederhana berhubungan
dengan berbagai pertanyaan univariat
yang menyatakan sesuatu mengenai
ukuran, bentuk, distribusi, pola, atau
keberadaan suatu variabel yang
dimasalahkan.
F. Teknik Analisis Data
Menurut Silalahi (2012:339)
Analisis data kualitatif dilakukan
apabila data empiris yang diperoleh
adalah data kualitatif berupa kumpulan
berwujud kata-kata dan bukan
rangkaian angka serta tidak dapat
disusun dalam kategori-kategori
/struktur klasifikasi. Data (dalam wujud
kata-kata) mungkin telah dikumpulkan
dalam aneka macam cara (observasi,
wawancara, intisari dokumen, pita
rekamman) dan biasanya diproses
sebelum siap digunakan (melalui
pencacatan, pengetikan penyuntingan,
atau alih tulis), tetapi analisis kualitatif
tetap menggunakan kata-kata yang
biasanya disusun kedalam teks yang
diperluas, dan tidak menggunakan
perhitungan matematis atau statistika
sebagai alat bantu analisis.
8
Menurut Miles dan Huberman .
kegiatan analisis terdiri dari tiga alur
kegiatan yang terjadi secara bersamaan
yaitu, Reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan /Verifikasi.
a. Reduksi Data Reduksi data
merupakan suatu bentuk analisis
yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan,
membuang yang tidak perlu,
dan mengorganisasi data
sedemikian rupa hingga
kesimpulan-kesimpulan finalnya
dapat ditarik dan di Verifikasi.
Reduksi data atau proses
tranformasi ini berlanjut terus
sesudah penelitian lapangan,
sampai laporan akhir lengkap
tersusun.
b. Penyajian Data. Penyajian data
dalam penelitian dewasa ini juga
dapat dilakukan dalam berbagai
jenis matriks, grafik, jaringan
dan bagan. Semuanya dirancang
guna menggabungkan informasi
yang tersusun dalam suatu
bentuk yang padu dan mudah
diraih. Dengan demikian
seorang penganalisis dapat
melihat apa yang sedang terjadi
dan menentukan apakah apakah
menarik kesimpulan yang benar
ataukah terus melangkah
melakukan analisis yang
menurut saran yang dikiaskan
oleh penyajian sebagai sesuatu
yang mungkin berguna.
c. Penarikan
Kesimpulan/Verifikasi.
Kegiatan analisis yang ketiga
adalah menarik kesimpulan dan
verifikasi. Ketika kegiatan
pengumpulan data dilakukan,
seorang penganalisis kualitatif
mulai mengartikan benda-
benda, mencatat keteraturan,
pola-pola, penjelasan,
konfigurasi-konfigurasi, yang
mungkin, alur sebab akibat dan
proporsi. Mula-mula
kesimpulan belum jelas, tetapi
kemudian mulai meningkat
menjadi lebih terperinci.
II. LANDASAN TEORI
A. Collabborative Governance
Dalam Asri (2010:11) menurut
Sudarmo Pengertian kolaborasi secara
umum bisa dibedakan ke dalam
duapengertian: (1) kolaborasi dalam arti
proses, dan (2) kolaborasi dalam arti
normative. Pengertian kolaborasi dalam
arti sebuah proses merupakan
serangkaian proses atau cara
mengatur/mengelola atau memerintah
secara institusional. Dalam pengertian
ini, Pemerintah Kabupaten Bintan dan
masyarakat dalam pengawasan hutan
mangrove sesuai dengan porsi peran
dan tujuannya masing-masing. Namun
dalam kolaborasi ini instansi -instansi
yang terlibat secara interaktif
melakukan governance bersama
.Adapun keterlibatanya tidak selalu
sama kerjanya.
Thomson dan Perry (2007:3)
mendefinisikan kolaborasi adalah
proses di mana para aktor otonom atau
semi-otonom berinteraksi melalui
negosiasi formal maupun informal,
secara bersama menciptakan aturan dan
struktur yang mengatur hubungan
mereka dan cara-cara untuk bertindak
atau memutuskan masalah bersama. Ini
berarti suatu proses yang melibatkan
norma-norma bersama dan interaksi
yang saling menguntungkan.
Berdasarkan definisi tersebut ada lima
dimensi kunci kolaborasi yaitu:
9
1. Governance (pemerintahan):
para pihak yang berkolaborasi
harus memahami bagaimana
cara untuk bersama-sama
membuat keputusan tentang
aturan-aturan yang akan
mengatur perilaku dan
hubungan mereka.
2. Administration (administrasi):
kolaborasi bukanlah usaha self
administering. Organisasi
berkolaborasi karena mereka
berniat untuk mencapai tujuan
tertentu. Struktur administratif
tersebut berbeda secara
konseptual dari pemerintahan
karena kurang berfokus atas
persediaan kelembagaan dan
lebih pada implementasi dan
manajemen apa yang
dibutuhkan untuk mencapai
suatu tujuan melalui sistem
operasi yang efektif serta
mendukung kejelasan peran dan
saluran komunikasi yang efektif.
3. Organizational Autonomy
(otonomi organisasi): dimensi
kolaborasi ini menjelaskan dua
dinamika potensial dan
kekecewaan yang tersirat dalam
upaya kolaboratif. Para mitra
pada kenyataan berbagi identitas
ganda. Mereka mempertahankan
identitas yang berbeda dan
wewenang organisasi yang
dipisahkan dari identitas
kolaboratif.
4. Mutualisme (Kebersamaan):
kebersamaan berakar pada
saling ketergantungan.
Organisasi yang berkolaborasi
harus saling ketergantungan
pada hubungan yang saling
menguntungkan didasarkan atas
perbedaan kepentingan atau
kepentingan bersama.
5. Norms (norma): timbal balik
dan kepercayaan, terkait erat
secara konseptual.
Sedangkan kolaborasi dalam
pengertian normatif merupakan
aspirasi, atau tujuan-tujuan fisolofi bagi
pemerintah untuk mencapai interaksi-
interaksinya dengan para partner atau
mitranya. Pada kolaborasi normative ini
pemerintah bekerja sama dengan
melibatkan instansi non-pemerintah.
Sedangkan dalam Dewi (2012:73)
menurut Fosler menjelaskan konsep
kolaborasi dengan mengatakan bahwa
kerjasama yang bersifat kolaboratif
melibatkan kerjasama yang intensif,
termasuk adanya upaya secara sadar
untuk melakukan aligment dalam
tujuan, strategi, agenda, sumberdaya,
dan aktivitas. Pemerintah Kabupaten
Bintan dan masyarakat yang pada
dasarnya memiliki tujuan yang berbeda
dalam hal ini haruslah bekerjasama
untuk mengawasi hutan mangrove
secara bersama-sama mulai dari
sasaran, strategi, sampai dengan
aktivitas dalam mencapai tujuan
bersama.
Dalam Raharja (2011:223)
Kolaborasi menurut Tadjudin (2000)
adalah tindakan para pihak untuk
menghasilkan kepuasan bersama atas
dasar “menang-menang” dalam
perspektif kerja sama antar stakeholder,
kolaborasi merupakan konsep relasi
antara organisasi relasi antar
pemerintahan, aliansi stratejik dan
network multi organisasi. Lebih jelas
Tadjudin (2000) menyatakan kolaborasi
membahas kerjasama dua atau lebih
stakeholder untuk mengelola sumber
daya yang sama, yang sulit dicapai bila
dilakukan secara individual. Jelas
10
bahwa pada penelitian ini Pemerintah
Kabupaten Bintan dan Masyarakat
Tokojo bekerjasama untuk mengelola
dan mengawasi sumber daya hutan
mangrove yang tidak bisa dilakukan
oleh satu pihak saja.
Proses kolaborasi, menurut
Huxham-Vangen (1996)
mengemukakan enam hal ; (a)
Managing Aims ( menetapkan maksud,
tujuan dan sasaran), (b) Compromise (
dalam cara dan gaya kerja, norma dan
kultur) ; (c) communication,
(komunikasi untuk menumbuhkan
pemahaman yang sama serta
menghindari tragedy of commons) ; (d)
Democracy and Equality (memperjelas
siapa terlibat, kesetaraan dalam proses
keputusan serta pertanggungjawaban) ;
(e) Power and Trust (kesejajaran dan
konstribusi sesuai dengan kapasitas
serta pengendalian diri) ; (f)
Determination Commitment and
Stamina (komitmen untuk bekerja sama
dan keteguhan hati untuk melanjutkan
kesepakatan.
Collaborative Governance Dalam
Swastini (2010:10) menurut Sudarmo
(2010) Collaborative Governance
muncul dan dikembangkan secara
adaptif untuk merespon adanya
kompleksitas dan konflik-konflik
bernuansa politik atau persoalan-
persoalan yang menuntut diadopsinya
nilai-nilai demokrasi, namun konsep
tersebut tidak atau belum diinspirasikan
oleh filosofi politis atau teori tetrentu.
Dengan kata lain ada kecenderungan
bahwa dilakukannya collaborative
Governance didorong oleh adanya
upaya pragmatism dalam
menyelesaikan masalah yang selama ini
tidak kunjung teratasi melalui
penerapan teori-teori konvensional
yang selama ini dipercaya mampu
mengatasi masalah.
Dalam Dewi (2012:69) Menurut
Anshell dan Gash (2007) Collaborative
Governance is therefore a type of
Governance in which public and
private actors work collectively in
distinctive ways, using particular
processes, to establish laws and ruler
for the provision of public goods
Anshel dan Gash (2007)
mendefinisikan Collaborative
Governance Dalam Dewi (2012:70),
mereka menyatakan : A governing
arrangement where one or more public
agencies directly engage non-state
stakeholder in a collective decision
making process that is formal,
consensus-oriented, and deliberarive
and that aims to make or implement
public policy or manage public
programs or assets
Collaborative dalam penelitian ini
menggambarkan sebagai upaya-upaya
bersama dalam melaksanakan satu
tujuan yaitu memecahkan masalah yang
melibatkan instansi Pemerintah dan
non-Pemerintah yang peduli.
Sedangkan definisi lain menurut
Culpepper dalam Dewi (2012:71) juga
mendefinisikan Collaborative
Governance yaitu : Collaborative is the
availability of institutions that promote
interaction among government actors,
without state actors monopolizing
problem definition, goal-setting, or
metods of implementation
(Collaborative Governance
Pada prakteknya Pemerintah masih
dominan dalam memecahkan masalah,
tetapi dalam hai ini Pemerintah
harusnya melibatkan non Pemerintah
11
untuk menetapkan tujuan dan
pelaksanaannya dengan baik. Definisi
selanjutnya tentang Collaborative
Governance menurut Tang dan
Masmanian dalam Dewi (2012)
mendefinisikan bahwa: A concept that
describes the process of establishing,
steering, facilitating, operating dan
monitoring cross-sectoral
organizational arrangements to address
public policy problems that cannot be
easily addressed by a single
organization or the public sector alone.
These arrangementsare characterized
by joint effort, reciprocal expectations,
and voluntary participation among
formally autonomous entities, from two
or more sector –public, for profit, and
nonprofits –in order to leverage (build
on) the unique attributes and resources
of each.
Dari pengertian Collaborative di
atas pemerintah harus lah bekerjasama
dalam melaksanakan,
menyediakan,melaksanakan dan
mengawasi secara bersama dengan
adanya hubungan timbal-balik dalam
memecahkan masalah yang tidak bisa
ditangani oleh satu pihak saja.
Pengaturan ini ditandai dengan
upaya bergabung, harapan timbal-balik,
dan partsipasi sukarela antara entitas
otonom resmi, dari dua atau lebih sector
–public, profit dan non profit –dalam
rangka meningkatkan (membangun)
atribut unik dan sumberdaya dari
masing-masing.
B. Governance
Governance berbeda dengan
Government, menurut Hetifah (2009:2)
sejatinya Konsep Governance harus
dipahami sebagai suatu sebagai suatu
proses, bukan struktur atau instansi.
Governance juga menunjukkan
inklusivitas. Kalau Government dilihat
sebagai “mereka”, maka Governance
adalah “kita”. Dalam Dewi (2012:66)
Government mengandung pengertian
seolah hanya politisi dan pemerintahlah
yang mengatur, melakukan sesuatu,
memberikan pelayanan, sementara sisa
dari kata “kita” :adalah penerima yang
pasif. Sementara Governance
meleburkan perbedaan antara
“Pemerintah” dan yang “diperintah”
karena kita semua adalah bagian dari
proses Governance.
Dwiyanto (2005) juga
mengemukakan pendapatnya dalam
Dewi (2012:67) Governance menunjuk
pada pengertian bahwa kekuasaan tidak
lagi semata-mata dimiliki atau menjadi
urusan Pemerintah. Governance
menekankan pada pelaksanaan fungsi
governing secara bersama-sama oleh
Pemerintah dan institusi-institusi lain
yakni LSM, Perusahaan Swasta
maupun warga Negara.
Juga dalam Toha (2010:62-63)
menurut United Nations Development
Programme (UNDP) merumuskan
istilah Governance sebagai suatu
Exercise dari kewenangan politik,
ekonomi, dan administrasi untuk
menata, mengatur dan mengelola
masalah-masalah sosialnya (UNDP,
1997) istilah governance menunjukkan
suatu proses dimana rakyat bisa
mengatur ekonominya, institusi dan
sumber-sumber sosial dan politiknya
tidak hanya dipergunakan untuk
pembangunan, tetapi juga untuk
menciptakan kosehi, integrasi, dan
untuk kesejahteraannya. Dengan
demikian jelas sekali, bahwa
kemampuan suatu Negara mencapai
tujuan-tujuan pembangunan itu sangat
12
tergantung pada kualitas tata
kepemerintahannya dimana pemerintah
melakukan interaksi dengan organisasi-
organisasi komersial dan civil society.
Dimana pemerintah kabupaten Bintan
dan masyarakat tekojo membangun
komunikasi yang baik dalam
mengawasi hutan mangrove dan dengan
membuat tata kelola pemerintahan yang
baik dan berkualitas untuk mencapai
kesejahteraan bersama.
Sedangkan menurut Pandji
(2009:130) Governance merupakan
paradigma baru dalam tatanan
pengelolaaan kepemerintahan. Ada tiga
pilar Governance , yaitu pemerintah,
sector swasta, dan masyarakat.
Sementara itu, paradigma pengelolaaan
pemerintahan yang sebelumnya
berkembang adalah government sebagai
satu-satunya penyelenggara
pemerintahan.
C. Pengawasan
Kata “pengawasan” berasal dari
kata awas, berarti antara lain
“penjagaan” istilah “pengawasan”
dikenal dalam ilmu managemen dan
ilmu administrasi yaitu sebagai salah
satu unsur dalam kegiatan pengelolaan.
George R. Terry menggunakan istilah
“control” sebagaimana yang dikutip
oleh Muchsan dalam irfan (2004:88-
89), artinya adalah: “control is to
determine what is accomplished,
evaluate it, and apply corrective
measure, if needed to ensure result in
keeping with the plan”(pengawasan
adalah menentukan apa yang telah
dicapai, mengevaluasi dan menerapkan
tindakan korektif, jika perlu,
memastikan hasil yang sesuai dengan
rencana)
Yaitu instansi pemerintah yang
bertanggung jawab dalam mengevaluasi
dan bertindak dengan teliti dan perlu
memastikan hasil yang sesuai dengan
rencana yang telah dibuatnya. Begitu
pula dengan pendapat Muchsan ia
berpendapat bahwa kegiatan untuk
menilai suatu pelaksanaan tugas secara
de facto, sedangkan tujuan pengawasan
hanya terbatas pada percocokan apakah
kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai
dengan tolak ukur yang telah ditetapkan
sebelumnya (dalam hal ini berujud
suatu rencana/plan). Ini adalah
Pengawasan oleh pemerintah dan
masyarakat yang dilakukan secara nyata
dalam hal ini terjun langsung kelokasi
untuk mengawasinya, apakah sesuai
dengan tolak ukur yang ditetapkan
sebelumnya.
Sama hal nya dengan Muchsan,
Sujamto (1996:83) juga berpendapat
bahwa Pengawasan adalah segala usaha
atau kegiatan untuk mengetahui dan
menilai kenyataan yang sebenarnya
tentang pelaksanaan tugas atau
kegiatan, apakah sesuai dengan yang
semestinya atau tidak. Dalam Makmur
(2011:176) menurut Sondang P.Siagian
mengatakan pengawasan adalah “proses
pengamatan dari pelaksanaan seluruh
kegiatan organisasi untuk menjamin
agar supaya semua pekerjaan yang
sedang dilakukan berjalan sesuai
dengan rencana yang telah ditentukan
sebelumnya.” Ini menukjukkan bahwa
pemerintah dalam pengamatan untuk
menjamin semua pekerjaan sesuai
dengan rencana.
Pengawasan adalah suatu upaya yang
sistematik untuk menetapkan kinerja
standar pada perencanaan untuk
merancang sistem umpan balik
informasi, untuk membandingkan
13
kinerja aktual dengan standar yang
telah ditentukan, untuk menetapkan
apakah telah terjadi suatu
penyimpangan tersebut, serta untuk
mengambil tindakan perbaikan yang
diperlukan untuk menjamin bahwa
semua sumber daya perusahaan atau
pemerintahan telah digunakan seefektif
dan seefisien mungkin guna mencapai
tujuan perusahaan atau pemerintahan.
Dari beberapa pendapat tersebut
diatas dapat dianalisa bahwa
pengawasan merupakan hal penting
dalam menjalankan suatu perencanaan.
Dengan adanya pengawasan maka
perencanaan yang diharapkan oleh
manajemen dapat terpenuhi dan
berjalan dengan baik. Menurut Winardi
(2000:585) "Pengawasan adalah semua
aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak
manajer dalam upaya memastikan
bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil
yang direncanakan".
Menurut Basu Swasta (1996:216)
"Pengawasan merupakan fungsi yang
menjamin bahwa kegiatan-kegiatan
dapat memberikan hasil seperti yang
diinginkan". Menurut Kadarman
(2001:159) Pengawasan adalah suatu
upaya yang sistematik untuk
menetapkan kinerja standar pada
perencanaan untuk merancang sistem
umpan balik informasi, untuk
membandingkan kinerja aktual dengan
standar yang telah ditentukan, untuk
menetapkan apakah telah terjadi suatu
penyimpangan tersebut, serta untuk
mengambil tindakan perbaikan yang
diperlukan untuk menjamin bahwa
semua sumber daya perusahaan telah
digunakan seefektif dan seefisien
mungkin guna mencapai tujuan
perusahaan. Dari beberapa pendapat
tersebut di atas dapat ditarik dianalisa
bahwa pengawasan merupakan hal
penting dalam menjalankan suatu
perencanaan. Dengan adanya
pengawasan maka perencanaan yang
diharapkan oleh manajemen dapat
terpenuhi dan berjalan dengan baik.
Tanpa adanya pengawasan dari pihak
manajer/atasan maka perencanaan yang
telah ditetapkan akan sulit diterapkan
oleh bawahan dengan baik. Sehingga
tujuan yang diharapkan oleh perusahaan
akan sulit terwujud.
Pengawasan yaitu usaha sistematik
menetapkan standar pelaksanaan
dengan tujuan perencanaan, merancang
sistem informasi umpan balik,
membandingkan kegiatan nyata dengan
standar, menentukan dan mengukur
deviasi-deviasi dan mengambil
tindakan koreksi yang menjamin bahwa
semua sumber daya yang dimiliki telah
dipergunakan dengan efektif dan
efisien. Pengendalian atau Pengawasan
adalah proses mengarahkan seperangkat
variable (manusia, peralatan, mesin,
organisasi) kearah tercapainya suatu
tujuan atau sasaran manajemen.
Pengawasan (controlling) merupakan
fungsi manajemen yang tidak kalah
pentingnya dalam suatu organisasi.
Semua fungsi terdahulu, tidak akan
efektif tanpa disertai fungsi
pengawasan.
Dale (dalam Winardi, 2000:224)
dikatakan bahwa pengawasan tidak
hanya melihat sesuatu dengan seksama
dan melaporkan hasil kegiatan
mengawasi, tetapi juga mengandung
arti memperbaiki dan meluruskannya
sehingga mencapai tujuan yang sesuai
dengan apa yang direncanakan.
Atmosudirjo (2000:11) mengatakan
bahwa pada pokoknya pengawasan
adalah keseluruhan daripada kegiatan
14
yang membandingkan atau mengukur
apa yang sedang atau sudah
dilaksanakan dengan kriteria, norma-
norma, standar atau rencana-rencana
yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pengawasan merupakan suatu
usaha sistematik untuk menetapkan
standar pelaksanaan tujuan dengan
tujuan-tujuan perencanaan, merancang
sistem informasi umpan balik,
membandingkan kegiatan nyata dengan
standar yang telah ditetapkan
sebelumnya, menentukan dan
mengukur penyimpangan-
penyimpangan serta mengambil
tindakan koreksi yang diperlukan.
Dalam pengawasan terdapat beberapa
tipe pengawasan seperti yang
diungkapkan Winardi (2000 : 589).
Fungsi pengawasan dapat dibagi dalam
tiga macam tipe, atas dasar fokus
aktivitas pengawasan, antara lain:
Pengawasan Pendahuluan, Pengawasan
pada saat kerja berlangsung,
Pengawasan Feed Back. Prosedur-
prosedur pengawasan pendahuluan
mencakup semua upaya manajerial
guna memperbesar kemungkinan
bahwa hasil-hasil aktual akan
berdekatan hasilnya dibandingkan
dengan hasil-hasil yang direncanakan.
D. Koordinasi pemerintahan
Pemerintah adalah organ yang
berwenang memproses pelayanan
publik dan berkewajiban memproses
pelayanan sipil bagi setiap orang
melalui hubungan pemerintahan,
sehingga setiap angota masayarakat
yang bersangkutan menerima pada saat
yang di perlukan ( Ndhraha, 2003 : 6 )
Definisi pemerintahan lainnya yang di
kemukakan oleh Taliziduhu Ndaraha
dalam bukunya yang berjudul
Kybernologi (ilmu pemerintahan baru)
sbagai berikut : Pemerintahan adalah
sebuah sistem multiproses yang
bertujunan memenuhi dan melindungi
kebutuhan dan tuntutan yang di
perintah akan jasa layanan sivil.
Tentunya yang di perintah berdasarkan
posisi yang di pegangnya, misalnya
sebagai pelangan, yang tidak berdaya
dan sebagainya pada dasarnya, proses-
proses itu komulatif, proses demend-
feadback (feedforward) Menurut Inu
Kencana dalam bukunya yang berjudul
Manajemen Pemerintahan (2011:35),
Bentuk Koordinasi adalah:
a. Koordinasi Horizontal
Koordinasi Horizontal
adalah penyelarasan
kerjasama secara
harmonis dan sinkron
antar lembaga lembaga
yang sederajat.
b. Koordinasi Vertikal
Vertikal adalah
penyelarasan kerjasama
secara harmonis dan
sinkron dari lembaga
yang sederajat lebih
tinggi kepada lembaga
lembaga lain yang
derajatnya lebih rendah.
c. Koordinasi Fungsional
Koordinasi Fungsional
adalah penyelarasan
kerjasama secara
harmonis dan sinkron
antar lembaga lembaga
yang memiliki
kesamaan dalam fungsi
pekerjaan misalnya
antar sesama para
kepala bagian hubungan
masyarakat
15
Unsur-unsur koordinasi menurut
menurut Terry dalam Inu Kencana
(2011:167):
a. Usaha-usaha sinkronisasi
yang teratur (orderly
synchronization of effort)
b. Pengaturan waktu (timing)
dan terpimpin (directing)
c. Harmonis (harmonious)
d. Tujuan yang ditetapkan
(stated objective)
Koordinasi pemerintahan
merupkan kegitan-kegiatan
penyelengaraan pemerintahan yang
di tujukan ke arah tujuan yang
hendak di capai yaitu yang telah di
tetapkan menjadi garis-garis besar
haluan nagara dan garis-garis besar
haluan pembagunan negara baik
pusat maupun tingkat daerah, guna
menuju pada sasaran dan tujuan,
gerak kegiatan yang harus ada
pengandalian, sebagai alat untuk
menjamin berlangsungnya kegiatan
yang di maksud dengan
pengendalian disini adalah kegiatan
yang untuk menjamin kesesuian
karya dan rencana, program
pemerintah, dan ketentuan-ketentuan
lainnya yang telah ditetapkan
termasuk tindakan kolektif terhadap
ketidak mampuan atau
penyimpangan.
Proses pengandalian
menghasilkan data dan fakta-fakta
baru yang terjadi dalam pelaksanaan.
apa yang di rencanakan tidak selalu
cocok pakta lapangan dengan
kenyataan ini lah pengendalian
berguna sekali untuk pelaksanaan
selanjutnya. Bagi penyelengaraan
pemerintahan terutama daerah,
koordinasi bukan hanya kerja sama,
melainkan integrasi dan singronisasi
yang mengandung keharusan adanya
komunikasi yang teratur antara
sesama pejabat yang bersangkutan
dengan memahami dan
mengedepankan ketentuan hukum
yang berlaku sesuai sautu aturan
pelaksanan.
III. GAMBARAN UMUM LOKASI
PENELITIAN
Kelurahan Kijang Kota
merupakan hasil pemekaran Wilayah
Kelurahan Kijang yang terbagi menjadi
empat wilayah kelurahan antara lain
Kelurahan Kijang Kota, Kelurahan Sei
Enam, Kelurahan Gunung Lengkuas
dan Kelurahan Sei Lekop. Sejarah dan
latar belakang Kelurahan Kijang Kota
pada awal sebelum terbentuknya
wilayah pemekaran adalah merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari
Kelurahan Kijang, sebutan tersebut
merupakan perubahan status nama dari
Kelurahan Kampung Kijang yang
secara identik lebih dikenal sebagai
wilayah Tambang Bauksit sekaligus Ibu
Kota Kecamatan Bintan Timur.
Keberadaan Kelurahan Kijang
Kota sangat diuntungkan dengan
adanya aktifitas Pelabuhan Sribayintan
sebagai jalur pintu masuk dan
keluarnya orang dan barang, yang
secara langsung maupun tidak langsung
sangat berdampak pada pertumbuhan
perekonomian Kijang khususnya dan
Kabupaten Bintan pada umumnya.
Adapun sisi lain dari dampak
perkembangan kegiatan ekonomi dan
16
perdagangan di Kijang Kota yang tidak
dapat dielakkan adalah menyangkut
hal-hal seperti mobilisasi penduduk
yang tidak menutup kemungkinan
terbukanya masalah-masalah sosial
kemasyarakatan kedepannya.
Latar belakang nama Kelurahan Kijang
Kota sejalan dengan perkembangan
keadaan wilayah yang mengalami
beberapa kali perubahan , berawal
tahun 1947 sampai dengan tahun 1994
dengan sebutan Kelurahan Kampung
Kijang, tahun 1994 sampai dengan
tahun 2004 menjadi Kelurahan Kijang
yang mencakup luas wilayah ± 139
KM dengan batas batas yaitu :
-Sebelah Utara : berbatas
dengan Desa Gunung Kijang/Desa
Tuapaya
-Sebelah Selatan : berbatas
dengan Desa Mantang Baru/Selat
Kijang
-Sebelah Barat : berbatas
dengan Selat Kijang
-Sebelah Timur : berbatas
dengan Desa Batu IX
Kec.Tanjung Pinang Timur
Penduduk Kelurahan Kijang Kota
terdiri dari berbagai etnis maupun suku
secara garis besarnya antara lain yaitu
etnis Melayu, Jawa, Sunda, Batak,
Minang, Madura, Tionghoa, Bugis,
Buton, Flores, Bawean dan lain
sebagainya. Jumlah penduduk
Kelurahan Kijang Kota terhitung Maret
2015 berjumlah sebanyak 22.468 jiwa
dengan perincian sebagai berikut :
Jumlah laki-laki : 11.510 jiwa.
Jumlah perempuan : 10.958 jiwa.
Jumlah KK: 8.543 Kepala Keluarg
IV. ANALISA DATA DAN
PEMBAHASAN
1. Governance (pemerintahan)
Berdasarkan hasil wawancara
dengan informan maka diketahui bahwa
pemerintah menjalankan pengawasan
mangrove ini berdasarkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Dilindungi lintas
sektoral, ekosistem hutan mangrove
masih terancam. Hamparan tanaman di
tepian pantai dengan fungsi ekologi,
ekonomi, dan sosial. Mangrove
merupakan sumber daya penting dalam
menjaga keberlanjutan ekosistem
pesisir yang berfungsi sebagai ruang
berkembangbiaknya sumber daya ikan,
sabuk hijau ketika bencana, pencegah
laju abrasi pantai, hingga bahan bakar
kayu. Namun, tetap saja perlindungan
mangrove tak optimal. Oleh karena itu,
kewenangan pengelolaan hutan
mangrove sebagai kewenangan KKP,
menghentikan alih fungsi mangrove
jadi perkebunan kelapa sawit atau
pertambakan budidaya, dan memproses
hukum pelaku konversi hutan bakau
perusak ekosistem pesisir.
2. Administration (administrasi)
Berdasarkan hasil wawancara
dengan informan diketahui bahwa
dalam segi administrasi ada garis
kewenagan masing-masing instansi
terkait. Di Indonesia sendiri
pengelolaan mangrove didasarkan pada
tiga tahapan utama, yaitu tahapan
ekologi dan sosial ekonomi,
kelembagaan dan perangkat hukum,
serta strategi dan pelaksanaan rencana.
Pada tahapan ekologi semua dampak
kegiatan manusia terhadap ekosistem
17
mangrove haris diidentifikasi, baik
yang telah terjadi maupun yang akan
terjadi. Di samping lembaga-lembaga
lain, Departemen Pertanian dan
Kehutanan, serta Departemen Kelautan
dan Perikanan, merupakan lembaga
yang sangat berkompeten dalam
pengelolaan mangrove. Koordinasi
antar instansi yang terkait dengan
pengelolaan mangrove adalah
mendesak untuk dilakukan saat ini.
Dalam kerangka pengelolaan dan
pelestarian mangrove, terdapat dua
konsep utama yang dapat diterapkan.
Kedua konsep tersebut pada dasarnya
memberikan legitimasi dan pengertian
bahwa mangrove sangat memerlukan
pengelolaan dan perlindungan agar
dapat tetap lestari. Kedua kosep
tersebut adalah perlindungan hutan
mangrove dan rehabilitasi hutan
mangrove (Bengen, 2001). Salah satu
cara yang dapat dilakukan dalam
rangka perlindungan terhadap
keberadaan hutan mangrove adalah
dengan menunjuk suatu kawasan hutan
mangrove untuk dijadikan kawasan
konservasi, dan sebagai bentuk sabuk
hijau di sepanjang pantai dan tepi
sungai. Saat ini dikembangkan suatu
pola pengawasan pengelolaan
ekosistem mangrove partisipasi
3. Organizational Autonomy (otonomi
organisasi)
Berdasarkan hasil wawancara dengan
informan maka diketahui bahwa
kewenangan sudah di susun untuk
masing-masing instansi. Pelaksanaan
suatu kebijakan pemerintah dapat nilai
baik ketika adanya kerja sama antar
implementor untuk mencapai dari
tujuan tersebut, hal ini tentu saja
bergantung juga kepada pembagian
tugas yang diberikan kepada pelaksana
kebijakan agar dapat melaksanakan
tugas dan fungsinya sesuai dengan
aturan yang ditetapkan untuk
menjalankan kebijakan tersebut.
Adapun pembagian tugas ini bertujuan
untuk memudahkan pekerjaan serta
mengelompokan tugas sesuai dengan
tanggung jawab masing-masing
personil atau unit kerja. Berdasarkan
jawaban daeri ketiga responden diatas
dapat diketahui bahwa tidak adanya
pembagian tugas secara khusus untuk
melaksanakan kebijakan ini melainkan
hanya menyesuaikan dengan tupoksi
yang ada sesuai dengan bidang masing
masing
4. Mutualisme (Kebersamaan)
Berdasarkan hasil wawancara
dengan informan maka dapat dianalisa
bahwa sudah ada koordinasi instansi
terkait. Dalam perda (menurut pasal 35
tentang penetapan lokasi) dijelaskan
bahwa kawasan lindung laut lokal yang
didalamnya termasuk hutan mangrove
harus dilindungi, akan tetapi secara
spesifik perda tersebut tidak
mencantumkan wilayah hutan
mangrove mana yang harus
didilindungi dan dilestarikan. Hal ini
berpotensi mengakibatkan semakin
berkurangnya hutan mangrove di
kabupaten Bintan.
Tugas pokok dan fungsi beberapa
instansi terkait adalah sebagai berikut :
1. Dinas Lingkungan Hidup. Tugas
pokok, fungsi dan rincian uraian
pekerjaan bidang pengawasan
dan pemantauan sub bidang
pada Dinas Lingkungan Hidup
Kabupaten Bintan khususnya
bagi pengawasan mangrove
yaitu melakukan pengawasan
dan pemantauan lingkungan
hidup, yang dirincikan sebagai
berikut :
18
a. Penyelenggaraan
perencanaan bidang
pengawasan dan
pemantauan
b. Pengumpulan dan
pengolahan data sebagai
bahan perumusan
kebijakan lingkup
bidang pengawasan dan
pemantauan.
c. Penyelenggaraan
koordinasi dengan unit
kerja lain baik di dalam
maupun di luar
organisasi dalam rangka
kelancaran pelaksanaan
tugas.
d. Pelaksanaan tugas lain
yang diberikan oleh
kepala badan.
2. Dinas Kelautan dan Perikanan.
Dinas ini juga memiliki andil
dalam mengawasi kawasan
mangrove, karena akan
berhubungan dengan sumber
daya perikanan, dan kesehatan
lingkungan perairan. Berikut
tugas dari Dinas kelautan dan
perikanan:
a. Perumusan kebijakan
teknis di bidang kelautan
dan perikanan
b. Penyelenggaraan
pelayanan umum di
bidang kelautan dan
perikanan
c. Pembinaan dan
pelaksanaan tugas tata
usaha dinas
d. Pelaksanaan tugas yang
diberikan oleh Bupati.
3. Badan Perencanaan
Pembanguna Daerah. Badan ini
merupakan badan yang penting
yang ada di Kabupaten Bintan,
badan perencanaan daerah
mengurusi banyak bidang
penting seperti bidang sosial dan
perekonomian, bidang
pendataan dan pengembangan,
bidang penelitian dan
pengembangan, sampai dengan
Bidang Infrastuktur dan Sumber
Daya Alam yang juga berfungsi
sebagai dasar dalam
pengelolaan mangrove, yang
dapat di uraikan sebagai berikut
:
a. penyelenggaraan
perencanaan sub bidang
infrastruktur dan sumber
daya alam ;
b. pengumpulan dan
pengolahan data sebagai
bahan perumusan
kebijakan lingkup sub
bidang infrastruktur dan
sumber daya alam;
c. penyelenggaraan
koordinasi dengan unit
kerja lain dalam rangka
kelancaraan pelaksanaan
tugas;
d. penyelenggaraan
monitoring, evaluasi dan
pelayanan perencanaan
sub bidang infrastruktur
dan sumber daya alam;
e. pelaksanaan tugas lain
yang diberikan oleh
kepala bidang.
Berdasarkan uraian dari setiap
instansi terkait beserta kewenangannya
jelas bahwa tidak ada tumpang tindih,
karena setiap instansi di bagi sesuai
tugas dan fungsinya dalam pengelolaan
mangrove. Pola pengawasan
pengelolaan ekosistem mangrove yang
dikembangkan adalah pola partisipatif
meliputi : komponen yang diawasi,
sosialisasi dan transparansi kebijakan,
institusi formal yang mengawasi, para
19
pihak yang terlibat dalam pengawasan,
mekanisme pengawasan, serta insentif
dan sanksi.
Masing-masing sektoral memiliki
aturan hukum sendiri-sendiri, sehingga
setiap sektor juga memiliki
kewenangannya sendiri-sendiri.
Kabupaten Bintan adalah daerah
kepulauan dengan kawasan perairan,
sehingga mata pencaharian masyarakat
Kabupaten Bintan sebagian besar
adalah nelayan atau bergantung pada
area perairan/perikanan sehingga di
butuhkan peran Dinas Kelautan dan
perikanan dengan melakukan
pengolahan dan rehabilitasi dan
perlindungan sumber daya, serta
melakukan pengawasan dan penertiban
sumber daya yang sesuai dengan Perda
Kabupaten Bintan Nomor 7 Tahun
2008 tentang pembentukan organisasi
dinas daerah Kabupaten Bintan. Dinas
Keluatan menjamin bahwa mangrove
tetap ada dan di kelola dengan baik agar
tidak mengganggu habitat dari ikan-
ikan yang menjadi mata pencaharian
sebagian masyarakat di Kabupaten
Bintan.
5. Norms (norma)
Berdasarkan hasil wawancara dengan
informan sudah ada aturan berkaitan
dengan pembagian tugas untuk
pengawasan mangrove di Kabupaten
Bintan, aturan mengacu pada Undang-
Undang pemerintah daerah dan
Pengelolaan ekosistem mangrove
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (2) huruf g dilakukan melalui :
Rehabilitasi dan pengamanan sempadan
pantai dan sempadan sungai;
Pemantapan dan pelestarian hutan
mangrove.
Namun Seperti yang terjadi di
Tokojo, saat ini penimbunan hutan
mangrove belum mampu dihentikan,
penimbunan dilakukan sampai ke laut.
Diduga, luas lahan yang sebelumnya
dikabarkan seluas 18 hektar, namun,
indikasi perkiraan, penimbunan yang
dilakukan itu mencapai sekitar puluhan
hetar, hingga menutupi hampir seluruh
hutan mangrove tersebut. Selain itu,
terlihat juga alat berat jenis kobe,
eskafator yang diduga digunakan untuk
memperlancar aktivitas penimbunan
dan beberapa camp. Aktivitas
penimbunan itu masih saja berjalan
dengan lancar, hingga melebar ke laut.
Padahal jika merujuk pada Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil pada bagian keenam
Larangan dalam Pasal 35 huruf (f) dan
(g) yang menjelaskan Dalam
pemanfaatan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara
langsung atau tidak langsung dilarang
melakukan konversi Ekosistem
mangrove di Kawasan atau Zona
budidaya yang tidak memperhitungkan
keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, menebang
mangrove di kawasan konservasi untuk
kegiatan industri, pemukiman, dan/atau
kegiatan lain.
Siapapun yang melanggar pasal
pasal 35 huruf (f) dan (g) itu, maka
ketentuan pidananya tertuang dalam
Pasal 73 (1) huruf (b) yang menjelaskan
“Setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan cara dan metode yang
merusak ekosistem mangrove,
melakukan konversi ekosistem
mangrove, menebang mangrove untuk
kegiatan industri dan permukiman,
dan/atau kegiatan lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf
20
f, dan huruf g, Dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,- (dua miliar rupiah)
dan paling banyak Rp10.000.000.000,
(sepuluh miliar rupiah).
Mangrove banyak
mendatangkan permasalahan baik bagi
kehidupan masyarakat, lingkungan
sekitar bahkan nelayan yang
menggantungkan hidupnya dari hasil
laut, seperti sektor perikanan, dalam hal
ini Dinas Perikanan dan Kelautan,
mengacu pada Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 Tentang Perikanan,
bahwa wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia untuk penangkapan
ikan atau pembudiyaan ikan meliputi
sungai, danau, waduk, rawa dan
genangan air lainnya yang dapat
diusahakan serta lahan pembudidayaan
ikan yang potensial di wilayah
Republik Indonesia. Oleh karenanya,
hutan mangrove yang merupakan
daerah genangan air yang sangat
potensial untuk perikanan, oleh sektor
perikanan (Dinas Kelautan dan
Perikanan) dapat memanfaatkannya
sebagai area untuk dijadikan budidaya
perikanan, yakni sebagai area tambak
ikan. Hasilnya, daerah hutan mangrove
pun mulai berkurang.
Pengawasan dilaksanakan
dalam bentuk pengawasan langsung,
yaitu dengan cara melakukan
pemeriksaan terhadap kegiatan yang
ada di wilayah mangrove dengan
metode interview dan pemeriksaan
dokumen, yang meliputi tindakan
sebagai berikut :
1. Memeriksa izin pendirian
bangunan;
2. Menilai dan megevaluasi hasil
kegiatan
3. Memberikan saran-saran untuk
perbaikan ;
4. Melaporkan kepada Pimpinan
5. Merekomendasikan untuk
perbaikan
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa
Collaborative Governance Dalam
Mengawasi Kawasan Hutan Mangrove
Di Tokojo Kelurahan Kijang Kota
sudah berjalan dengan baik, hal ini
dapat dilihat dari : pemerintah
melakukan pengawasan mengacu pada
Undang-Undang Nomor 45 Tentang
kehutanan, kemudian Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014, pemerintah
daerah. Pengelolaan kawasan mangrove
tidak cukup hanya dengan peraturan
tata ruang yang mengatur dalam rangka
tata keruangannya saja. Berbagai
peraturan perundangan turut dilakukan
dalam rangka pengelolaan kawasan ini,
baik secara langsung atau tidak,
kemudian pemerintah menjalankan
pengawasan mangrove ini berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. ilindungi lintas
sektoral, ekosistem hutan mangrove
masih terancam. dalam segi
administrasi ada garis kewenagan
masing-masing instansi terkait
21
B. Saran
1. Harus ada sanksi yang tegas
bagi pengusaha maupun orang-
orang yang masih melakukan
penimbunan mangrove
2. Harus ada koordinasi dan
kerjasama antar instansi atau
OPD terkait agar meminimalisir
permasalahan mangrove di
Kabupaten Bintan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2013, Prosedur
Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta
A.Black, James dan Dean J.Champion.
2009, Metode & Masalah
Penelitian Sosial, Bandung :
PT Refika Aditama.
Atmosudirjo, S., Prajudi., 2000.
Administrasi Manajemen
Umum, Jakarta: CV Mas
Haji.
Basu Swastha, 1999, Asas-Asas
Pemasaran, Edisi Ketiga.
Penerbit Liberty: Yogyakarta.
Fachruddin, Irfan. 2004, Pengawasan
Peradilan Administrasi
Terhadap Tindakan
Pemerintah, Bandung : P.T.
Alumni.
Hetifah Sj. Sumarto. 2009. Inovasi,
Partisipasi, dan Good
Governance, 20 Prakarsa
Inovatif dan Partisipasi di
Indonesia, Edisi Kedua
(Revisi), Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Irfan. 2004. Reformasi Pelayanan
public. Trenggalek: Tim
Penyusun
Kadarman. 2001. Pengantar Ilmu
Manajemen. Jakarta :
Prenhallindo
Makmur. 2011, Efektivitas Kebijakan
Kelembagaan Pengawasan,
Bandung : PT Refika
Aditama.
Moleong, Lexy J. 2007, Metodelogi
Penelitian Kualitatif Edisi
Revisi, Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernologi
Ilmu Pemerintahan Baru,
Jilid I. Jakarta : PT. Rineka
Cipta.
Santosa, Pandji. 2009, Administrasi
Publik- Teori dan Aplikasi
Good Governance, Bandung
: PT Refika Aditama.
Silalahi, Ulber. 2012, Metodelogi
Penelitian Sosial, Bandung : PT Refika
Aditama.
Sugiyono, Agustus. 2012, Metode
Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D,
Bandung : CV ALFABETA
Sujamto. 1996, Aspek-aspek
Pengawasan Di Indonesia, Jakarta :
Sinar Grafika.
Sumarto, Sj. Hetifah. 2009, Inovasi,
dan Good Governance : 20
Prakarsa Inovatif dan
Partisipatif di Indonesi,
22
Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia.
Syafiie, Kencana, Inu. 2011.
Manajemen Pemerintahan.
Pustaka Reka Cipta.
Thoha, Miftah. 2010, Birokrasi dan
Politik di Indonesia, Jakarta :
PT RAJAGRAFINDO
PERSADA.
Winardi, J, 2000, Manajemen Perilaku
Organisasi, Cetakan Pertama,
Penerbit. Prenada Media,
Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
UU Republik Indonesia 2007, Undang-
Undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
UU Republik Indonesia 2014, Undang-
Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Desa.
JURNAL dan Data
Jurnal Dewi, Ratna Trisuma. 2012,
Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Collaborative
Governance Dalam
Pengembangan Industri Kecil
(studi kasus tentang kerajinan
Reyog dan Perjuntukan Reyog
di Kabupaten Ponorogo),
Program Studi Magister
Administrasi
Publik,Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Jurnal ITTO (International Tropical
Timber Organization). 2013,
Penyusunan Baseline Data
Pengelolaan Ekosistem
Mangrove Di Pulau Bintan.
Thompson, Perry and Miller. 2007.
Conceptualizing and Measuring
Collaboration. Jurnal of Public
Administration Research and
Theory Advance Access
published December 1, 2007
in Partnering with the Senior’s
Sectors”. Local Government
Sudies. 38 (2). 161-181.
Jurnal Raharja, Sam’un Jaja. 2011,
Pendekatan Kolaboratif Dalam
Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Citarum, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Padjadjaran
Bandung
Jurnal Swastini, Asri. 2010,
Collaborative Governance
Komisi Penanggulangan AIDS
23
dan Lembaga Swadaya
Masyarakat Lokal Dalam
Kasus HIV/AIDS Di Kota
Surakarta.Jurusan Ilmu
Administrasi, Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Data Badan Pusat Statistik, Bintan
Dalam Angka 2015
Data Dinas Pertanian dan Kehutanan
INTERNET
http://batamnews.co.id/berita-2105-
hutan-mangrove-kampung-tokojo-
bintan terancam-musnah.html. Diakses
pada hari Rabu, tanggal: 30 April 2016,
jam 21.45 WIB
http://www.lintaskepri.com/pt-sbc-
kangkangi-aturan-pemerintah.html.
Diakses pada hari Selasa, tanggal: 31
Mei 2016, jam 19.30 WIB