COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN...

24
COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN HUTAN MANGROVE DI TOKOJO KELURAHAN KIJANG KOTA NASKAH PUBLIKASI Oleh: SITI AMSJARINA NIM : 1210565201096 PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2017

Transcript of COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN...

Page 1: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN

HUTAN MANGROVE DI TOKOJO KELURAHAN KIJANG KOTA

NASKAH PUBLIKASI

Oleh:

SITI AMSJARINA

NIM : 1210565201096

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

TANJUNGPINANG

2017

Page 2: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

1

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN

HUTAN MANGROVE DI TOKOJO KELURAHAN KIJANG KOTA

SITI AMSJARINA

Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan ilmu Politik Universitas

Maritim Raja Ali Haji

A B S T R A K

Kerusakan kawasan hutan ini tidak akan terjadi apabila adanya pengawasan,

tidak hanya pengawasan dari Pemerintah Daerah saja namun masyarakat juga harus

ikut andil di dalam proses pengawasan kawasan hutan khususnya hutan mangrove.,

kerjasama antara pemerintah dan masyarakat inilah yang disebut dengan

Collaborative Governance. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia salah satunya di

Kabupaten Bintan kini semakin mengkhawatirkan, dalam hal ini Pemerintah Daerah

bertanggung jawab atas wilayah hutan masing-masing Daerah.

Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui bagaimana Colabborative Governance

dalam mengawasi hutan mangrove sebagai kawasan hutan yang hampir punah.

Dalam penelitian ini yang menjadi informannya adalah Dinas Lingkungan Hidup,

Dinas Kelautan dan Perikanan Lurah Tokojo, serta pegawai BPPPD. Analisis data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Collaborative

Governance Dalam Mengawasi Kawasan Hutan Mangrove Di Tokojo Kelurahan

Kijang Kota sudah berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari : pemerintah

melakukan pengawasan mengacu pada Undang-Undang Nomor 45 Tentang

kehutanan, kemudian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pemerintah daerah.

Kemudian berdasarkan penelitian maka diketahui bahwa sudah ada kewenangan

masing-masing organisasi perangkat daerah dalam pengawasan mangrove ini

Kata Kunci : Colabborative Governance, Pemerintah, Hutan Mangrove

Page 3: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

2

A B S T R A C T

Damage to forest areas this will not occur if the existence of the surveillance,

not only the supervision of the local governments but society should also participate

in the process of forest areas supervisory especially mangrove forests., a joint

venture between the Government and the community this is called Collaborative

Governance. The damage of mangrove forests in Indonesia's Bintan Regency one

increasingly worrying, in this case local government responsible for the respective

area of forest areas.

The aim in this study to find out how Colabborative Governance in overseeing

the mangrove forest as forest area which is almost extinct. In this research that

became informannya is the Department of the environment, the marine and Fisheries

Agency Head Tokojo, as well as officials of the BPPPD. The analysis of the data

used in this study is the analysis of qualitative data.

Based on the research results then can be drawn the conclusion that

Collaborative Governance In Overseeing the area of Mangrove Forests in the

Tokojo Neighborhood Deer City is already well underway, it can be seen from:

Government surveillance refers to Act No. 45 Of forestry, then Act No. 23 of 2014,

local government. Then based on the research then note that there is already an

authority on each organization's mangrove areas supervisory devices in this

Keywords: Government, Governance, Colaborative Mangrove Forests

Page 4: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

3

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu ekosistem pesisir yang

mengalami tingkat degradasi cukup

tinggi akibat pola pemanfaatannya yang

cenderung tidak memperhatikan aspek

kelestariannya adalah hutan mangrove.

Hutan mangrove merupakan salah satu

sumberdaya pesisir yang berperan

penting dalam pembangunan. Melihat

gejala perusakan hutan mangrove untuk

berbagai kepentingan tersebut maka

perlu dilakukan pengelolaan hutan

mangrove secara lestari. Pengawasan

dilakukan dalam usaha menjamin

kegiatan terlaksana sesuai dengan

kebijakan, strategi, keputusan, rencana

dan program kerja yang telah dianalisa,

dirumuskan dan ditetapkan sebelumnya

dalam wadah yang disusun.

Dalam mengelola hutan managrove

dibutuhkan pengawasan. Pengawasan

sangatlah penting dalam setiap

pekerjaan baik itu organisasi kecil

maupun organisasi besar. Sebab dengan

adanya pengawasan yang baik maka

suatu pekerjaan akan dapat berjalan

dengan lancar dan dapat menghasilkan

hasil kerja yang baik pula. Karena

Mangrove sangat penting artinya dalam

pengelolaan sumber daya pesisir di

sebagian besar-walaupun tidak semua-

wilayah Indonesia. Fungsi mangrove

yang terpenting bagi daerah pantai

adalah menjadi penghubung antara

daratan dan lautan. Tumbuhan, hewan

benda-benda lainnya, dan nutrisi

tumbuhan ditransfer ke arah daratan

atau ke arah laut melalui mangrove.

Mangrove berperan sebagai filter untuk

mengurangi efek yang merugikan dari

perubahan lingkungan utama, dan

sebagai sumber makanan bagi biota laut

(pantai) dan biota darat.

Hutan mangrove merupakan salah

satu bentuk ekosistem hutan yang unik

dan khas, terdapat di daerah pasang

surut di wilayah pesisir, pantai, atau

pulau-pulau kecil, dan merupakan

potensi sumberdaya alam yang sangat

potensial. Hutan mangrove memiliki

nilai ekonomis dan ekologis yang

tinggi, juga sebagai wahana hutan

wisata dan atau penyangga

perlindungan wilayah pesisir dan

pantai, dari berbagai ancaman

sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi

air laut, serta sebagai sumber pakan

habitat biota laut, tetapi ekosistem

mangrove ini sangat rentan terhadap

kerusakan apabila kurang bijaksana

dalam mempertahankan, melestarikan

dan pengelolaannya.

Kabupaten Bintan Provinsi

Kepulauan Riau memiliki wisata

ekosistem mangrove terbesar di Asia

Tenggara dengan luas keseluruhannya

±7.956 Ha Berdasarkan Data yang

diperoleh dari Direktorat Jenderal Bina

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan

perhutanan Sosial Kementerian

Kehutanan. Kerusakan-kerusakan hutan

mangrove mengakibatkan semakin

berkurangnya luas hutan mangrove di

Kabupaten Bintan yang disebabkan

oleh aktivitas pembangunan.

Hutan mangrove di Kabupaten

Bintan harusnya dimanfaatkan sebagai

pelindung dan kawasan penyangga juga

sebagai pemasok perekonomian

masyarakat nelayan untuk mencari

ikan. Meskipun demikian, masih

Page 5: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

4

banyak hutan mangrove yang

dimanfaatkan sebagai bahan kayu dan

keperluan rumah tangga, lahan

pertambakan, pelabuhan, pemukiman

dan industry.

Kerusakan hutan mangrove di

Indonesia salah satunya di Kabupaten

Bintan kini semakin mengkhawatirkan,

dalam hal ini Pemerintah Daerah

bertanggung jawab atas wilayah hutan

masing-masing Daerah yang juga

tertuang dalam Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah pada pasal 14 ayat (2)

menjelaskan bahwa Urusan

Pemerintahan bidang kehutanan

sebagaimana yang berkaitan dengan

pengelolaan taman hutan raya

kabupaten/kota menjadi kewenangan

Daerah kabupaten/kota.

Kerusakan kawasan hutan ini tidak

akan terjadi apabila adanya

pengawasan, tidak hanya pengawasan

dari Pemerintah Daerah saja namun

masyarakat juga harus ikut andil di

dalam proses pengawasan kawasan

hutan khususnya hutan mangrove.,

kerjasama antara pemerintah dan

masyarakat inilah yang disebut dengan

Collaborative Governance.

Collaborative Governance menurut

Tang dan Masmanian dalam Dewi

(2012:71) mendefinisikan bahwa:

Collaborative Governance :

A concept that describes the

process of

establishing,steering,

facilitating, operating dan

monitoring cross-sectoral

organizational

arrangements to address

public policy problems that

cannot be easily addressed

by a single organization or

the public sector alone.

These arrangementsare

characterized by joint

effort, reciprocal

expectations, and voluntary

participation among

formally autonomous

entities, from two or more

sector –public, for profit,

and nonprofits –in order to

leverage (build on) the

unique attributes and

resources of each.

Sesuai dengan teori di atas

Collaborative Governance dari pihak

Pemerintah sebagai Instansi yang

mengawasi, mengendalikan, memantau

dan mengevaluasi pada hutan mangrove

bersama-sama dengan Dinas

Lingkungan Hidup sebagai Instansi

yang mengawasi tentang lingkungan

hidup pada kawasan hutan mangrove,

dan yang ketiga yaitu Dinas Kelautan

dan Perikanan instansi yang berfungsi

untuk mengawasi Ekosistem pada

Hutan Mangrove.

Wilayah Hutan mangrove yang

mengalami kerusakan akibat

penimbunan pada wilayah Kabupaten

Bintan adalah kawasan hutan mangrove

di Tokojo Kelurahan Kijang Kota

Kecamatan Bintan Timur. Kerusakan

terjadi diakibatkan oleh penimbunan

yang dilakukan PT.Sinar Body Cipta

(SBC) lebih dari titik koordinat yang

telah ditentukan Pemerintah Kabupaten

Bintan, jelas bahwa pada Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 27

Tahun 2007 Tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

pada bagian keenam Larangan dalam

Pasal 35 huruf (e), (f) dan (g) yang

menjelaskan Dalam pemanfaatan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,

setiap orang secara langsung atau tidak

langsung dilarang melakukan konversi

Page 6: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

5

Ekosistem mangrove di Kawasan atau

Zona budidaya yang tidak

memperhitungkan keberlanjutan fungsi

ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,

menebang mangrove di kawasan

konservasi untuk kegiatan industri,

pemukiman, dan/atau kegiatan lainnya.

Penimbunan hutan mangrove

dilakukan oleh PT.Sinar Bodhi Cipta

(SBC) sejak tahun 2014. Dalam hal

perizinan dari Badan Penanaman Modal

dan Perizinan Daerah (BMPD) hanya

memberikan izin kepada PT.Sinar Body

Cipta seluas 3 Ha yang diberi izin untuk

ditimbun. Berdasarkan data dari Dinas

Pertanian dan Kehutanan Kabupaten

Bintan tanah atas nama PT. Sinar Body

Cipta (SBC) seluas ± 18,30 Ha, Namun

penimbunan terus dilakukan sehingga

luasnya hampir menutupi semua hutan

mangrove dikawasan Tersebut.

Alasan pembangunan ini untuk

mendirikan perumahan bagi masyarakat

nelayan yang kurang mampu, tetapi

pada kenyataannya justru dibangun

pagar tembok setinggi lebih kurang 1,5

meter sampai 2 meter menutupi lokasi

tersebut, munculnya praduga dari

masyarakat bahwa dibangunnya tembok

tersebut untuk menutupi segala aktivitas

yang terjadi di lokasi. Walaupun sudah

dilakukan sidak pada tahun 2015 oleh

Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan

Satpol PP bidang lingkungan hidup dan

sudah dipasang garis Penyidik Pegawai

Negeri Sipil (PPNS) tetap saja mereka

melakukan aktivitasnya sehingga

berdampak juga kepada masyarakat

seperti para nelayan sulit memperoleh

ikan, pencemaran udara, dan aktivitas

masyarakat terganggu akibat keluar

masuknya kendaraan berat.

Permasalahan lain adalah

adanya tumpang tindih kewenangan

juga terlihat pada saat pengalihan

fungsi hutan mangrove menjadi

pelabuhan lain, sebagai daerah

kepulauan dengan lalu lintas utamanya

adalah lalu lintas laut, sektor

perhubungan laut dalam hal ini dinas

perhubungan terus mengupayakan

perluasan pembangunan pelabuhan.

Dari permasalahan tumpang tindih

kewenangan dan peraturan tersebut

diatas, masing-masing sektoral

memiliki aturan hukum sendiri-sendiri,

sehingga setiap sektor juga memiliki

kewenangannya sendiri-sendiri. Disatu

sisi, Sektor kehutanan memiliki

kewenangan untuk menjaga kelestarian

hutan mangrove, jika tidak dilanggar,

sanksi yang termuat dalam Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 pun

sangat jelas

Selain permasalahan tersebut

untuk mengarahkan pembangunan di

Kabupaten Bintan dengan

memanfaatkan ruang wilayah secara

berdaya guna, berhasil guna, serasi,

selaras, seimbang dan berkelanjutan

maka disusun Peraturan Daerah

Kabupaten Bintan Nomor : 2 Tahun

2012 Tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Kabupaten Bintan Tahun

2011-2031. Dalam perda tersebut

dijelaskan bahwa kawasan lindung laut

lokal yang didalamnya termasuk hutan

mangrove harus dilindungi, akan tetapi

secara spesifik perda tersebut tidak

mencantumkan wilayah hutan

mangrove mana yang harus

didilindungi dan dilestarikan. Hal ini

berpotensi mengakibatkan semakin

berkurangnya hutan mangrove di

kabupaten Bintan.

Dari uraian di atas penulis

tertarik uuntuk melakukan penelitian

yang lebih jauh tentang fenomena yang

terjadi dilapangan, dalam sebuah usulan

penelitian dengan judul :

“COLLABORATIVE GOVERNANCE

Page 7: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

6

DALAM MENGAWASI KAWASAN

HUTAN MANGROVE DI TOKOJO

KELURAHAN KIJANG KOTA”.

B. Perumusan Masalah

Hutan mangrove di

Kabupaten Bintan harusnya

dimanfaatkan sebagai pelindung dan

kawasan penyangga juga sebagai

pemasok perekonomian masyarakat

nelayan untuk mencari ikan. Meskipun

demikian, masih banyak hutan

mangrove yang dimanfaatkan sebagai

bahan kayu dan keperluan rumah

tangga, lahan pertambakan, pelabuhan,

pemukiman dan industri, hal ini

dikarenakan masih ada permasalahan

berkaitan dengan tumpang tindih

kewenangan antar instansi pemerintah.

Seperti pada saat pengalihan fungsi

hutan mangrove ada beberapa instansi

yang terlibat baik Dinas Kelautan dan

Perikanan, Dinas Lingkungan Hidup

sampai dengan BdnPPD (Badan

Perencanaan, Penelitisn, Kabupaten

Bintan. Berdasarkan latar belakang

masalah di atas mengenai

Collabborative Governance dalam

mengawasi kawasan hutan mangrove

maka peneliti mengidentifikasikan

Rumusan masalahnya yaitu :

Bagaimana Collaborative Governance

Dalam Mengawasi Kawasan Hutan

Mangrove di Tokojo Kelurahan Kijang

Kota?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian

termasuk Untuk mengetahui bagaimana

Colabborative Governance dalam

mengawasi hutan mangrove sebagai

kawasan hutan yang hampir punah.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaannya untuk

mengembangkan wawasan ilmu

pemerintahan. Khususnya

mengenai Collabborative

Governance dalam mengawasi

kawasan lindung hutan

mangrove.

b. Hasil penelitian di harapkan

dapat menjadi sumbangan

pemikiran atau saran untuk

Pemerintah Kabupaten Bintan

agar dapat lebih

memaksimalkan kinerja agar

tidak ada lagi yang menimbun

dan merusak kawasan hutan

Mangrove.

D. Konsep Operasional

Hasil penelitian secara empiris

maka peneliti perlu

mengoperasionalkan konsep yang

masih abstrak agar mempermudah

dalam proses pemberian nilai atas

masing-masing indikator dari konsep.

Berkenaan dengan penelitian ini

peneliti lebih menjelaskan bagaimana

Collaborative Governance terhadap

pengawasan hutan mangrove yaitu

mengacu pada pendapat Thomson dan

Perry (2007:3) mendefinisikan

kolaborasi adalah proses di mana para

aktor otonom atau semi-otonom

berinteraksi melalui negosiasi formal

maupun informal dan dipaparkan dalam

lima dimensi kunci kolaborasi yaitu:

1. Governance (pemerintahan): para

pihak yang berkolaborasi harus

memahami bagaimana cara untuk

bersama-sama membuat keputusan

tentang aturan-aturan yang akan

mengatur hubungan dalam

mengawasi mangrove.

Page 8: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

7

2. Administration (administrasi):

Implementasi dan manajemen

membuat suatu tujuan sehingga

mengetahui apa yang dibutuhkan

untuk mencapai suatu tujuan

melalui sistem operasi yang efektif

serta mendukung kejelasan peran

dan saluran komunikasi yang efektif

antara pemerintah dalam

mengawasi mangrove di Kabupaten

Bintan.

3. Organizational Autonomy (otonomi

organisasi): Mempertahankan

identitas yang berbeda dan

wewenang organisasi yang

dipisahkan dari identitas

kolaboratif. Sehingga dapat dibagi

sesuai dengan kewenangannya.

4. Mutualisme (Kebersamaan):

Kebersamaan berakar pada saling

ketergantungan. Pemerintah Daerah

yang berkolaborasi harus saling

ketergantungan pada hubungan

yang saling menguntungkan

didasarkan atas perbedaan

kepentingan atau kepentingan

bersama.

5. Norms (norma): Timbal balik dan

kepercayaan, terkait erat secara

konseptual.

E. Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan

penulis adalah penelitian yang bersifat

Deskripsi kualitatif. Adapun Dalam

Silalahi (2012:28-29) menurut Mely G.

Tan Penelitian yang bersifat deskriptif

bertujuan menggambarkan secara tepat

sifat-sifat suatu undividu, keadaan,

gejala, atau kelompok tertentu, atau

frekuensi atau penyebaran suatu gejala

atau frekuensi ada nya hubungan

tertentu anatara suatu gejala lain dalam

masyarakat. Dalam hal ini mungkin

sudah ada hipotesis-hipotesis mungkin

sebelum tergantung dari sedikit-

banyaknya pengetahuan tentang

masalah yang bersangkutan.

Penelitian deskriptif bisa digunakan

baik untuk menjawab pertanyaan-

pertanyaan penelitian (tidak

berhipotesis) dan menguji hipotesis

(berhipotesis). Dalam hal terakhir,

hipotesis yang di uji adalah hipotesis

deskriptif yang hanya menyatakan

perkiraan atas karakteristik tertentu dari

satu populasi. Penelitian deskriptif bisa

sederhana dan bisa rumit, dan bisa

dilakukan di laboraturium atau

dilapangan dapat menggunakan segala

metode pengumpulan data dan bisa

kualitatif atau kuantitatif. Penelitian

deskriptif yang sederhana berhubungan

dengan berbagai pertanyaan univariat

yang menyatakan sesuatu mengenai

ukuran, bentuk, distribusi, pola, atau

keberadaan suatu variabel yang

dimasalahkan.

F. Teknik Analisis Data

Menurut Silalahi (2012:339)

Analisis data kualitatif dilakukan

apabila data empiris yang diperoleh

adalah data kualitatif berupa kumpulan

berwujud kata-kata dan bukan

rangkaian angka serta tidak dapat

disusun dalam kategori-kategori

/struktur klasifikasi. Data (dalam wujud

kata-kata) mungkin telah dikumpulkan

dalam aneka macam cara (observasi,

wawancara, intisari dokumen, pita

rekamman) dan biasanya diproses

sebelum siap digunakan (melalui

pencacatan, pengetikan penyuntingan,

atau alih tulis), tetapi analisis kualitatif

tetap menggunakan kata-kata yang

biasanya disusun kedalam teks yang

diperluas, dan tidak menggunakan

perhitungan matematis atau statistika

sebagai alat bantu analisis.

Page 9: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

8

Menurut Miles dan Huberman .

kegiatan analisis terdiri dari tiga alur

kegiatan yang terjadi secara bersamaan

yaitu, Reduksi data, penyajian data, dan

penarikan kesimpulan /Verifikasi.

a. Reduksi Data Reduksi data

merupakan suatu bentuk analisis

yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan,

membuang yang tidak perlu,

dan mengorganisasi data

sedemikian rupa hingga

kesimpulan-kesimpulan finalnya

dapat ditarik dan di Verifikasi.

Reduksi data atau proses

tranformasi ini berlanjut terus

sesudah penelitian lapangan,

sampai laporan akhir lengkap

tersusun.

b. Penyajian Data. Penyajian data

dalam penelitian dewasa ini juga

dapat dilakukan dalam berbagai

jenis matriks, grafik, jaringan

dan bagan. Semuanya dirancang

guna menggabungkan informasi

yang tersusun dalam suatu

bentuk yang padu dan mudah

diraih. Dengan demikian

seorang penganalisis dapat

melihat apa yang sedang terjadi

dan menentukan apakah apakah

menarik kesimpulan yang benar

ataukah terus melangkah

melakukan analisis yang

menurut saran yang dikiaskan

oleh penyajian sebagai sesuatu

yang mungkin berguna.

c. Penarikan

Kesimpulan/Verifikasi.

Kegiatan analisis yang ketiga

adalah menarik kesimpulan dan

verifikasi. Ketika kegiatan

pengumpulan data dilakukan,

seorang penganalisis kualitatif

mulai mengartikan benda-

benda, mencatat keteraturan,

pola-pola, penjelasan,

konfigurasi-konfigurasi, yang

mungkin, alur sebab akibat dan

proporsi. Mula-mula

kesimpulan belum jelas, tetapi

kemudian mulai meningkat

menjadi lebih terperinci.

II. LANDASAN TEORI

A. Collabborative Governance

Dalam Asri (2010:11) menurut

Sudarmo Pengertian kolaborasi secara

umum bisa dibedakan ke dalam

duapengertian: (1) kolaborasi dalam arti

proses, dan (2) kolaborasi dalam arti

normative. Pengertian kolaborasi dalam

arti sebuah proses merupakan

serangkaian proses atau cara

mengatur/mengelola atau memerintah

secara institusional. Dalam pengertian

ini, Pemerintah Kabupaten Bintan dan

masyarakat dalam pengawasan hutan

mangrove sesuai dengan porsi peran

dan tujuannya masing-masing. Namun

dalam kolaborasi ini instansi -instansi

yang terlibat secara interaktif

melakukan governance bersama

.Adapun keterlibatanya tidak selalu

sama kerjanya.

Thomson dan Perry (2007:3)

mendefinisikan kolaborasi adalah

proses di mana para aktor otonom atau

semi-otonom berinteraksi melalui

negosiasi formal maupun informal,

secara bersama menciptakan aturan dan

struktur yang mengatur hubungan

mereka dan cara-cara untuk bertindak

atau memutuskan masalah bersama. Ini

berarti suatu proses yang melibatkan

norma-norma bersama dan interaksi

yang saling menguntungkan.

Berdasarkan definisi tersebut ada lima

dimensi kunci kolaborasi yaitu:

Page 10: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

9

1. Governance (pemerintahan):

para pihak yang berkolaborasi

harus memahami bagaimana

cara untuk bersama-sama

membuat keputusan tentang

aturan-aturan yang akan

mengatur perilaku dan

hubungan mereka.

2. Administration (administrasi):

kolaborasi bukanlah usaha self

administering. Organisasi

berkolaborasi karena mereka

berniat untuk mencapai tujuan

tertentu. Struktur administratif

tersebut berbeda secara

konseptual dari pemerintahan

karena kurang berfokus atas

persediaan kelembagaan dan

lebih pada implementasi dan

manajemen apa yang

dibutuhkan untuk mencapai

suatu tujuan melalui sistem

operasi yang efektif serta

mendukung kejelasan peran dan

saluran komunikasi yang efektif.

3. Organizational Autonomy

(otonomi organisasi): dimensi

kolaborasi ini menjelaskan dua

dinamika potensial dan

kekecewaan yang tersirat dalam

upaya kolaboratif. Para mitra

pada kenyataan berbagi identitas

ganda. Mereka mempertahankan

identitas yang berbeda dan

wewenang organisasi yang

dipisahkan dari identitas

kolaboratif.

4. Mutualisme (Kebersamaan):

kebersamaan berakar pada

saling ketergantungan.

Organisasi yang berkolaborasi

harus saling ketergantungan

pada hubungan yang saling

menguntungkan didasarkan atas

perbedaan kepentingan atau

kepentingan bersama.

5. Norms (norma): timbal balik

dan kepercayaan, terkait erat

secara konseptual.

Sedangkan kolaborasi dalam

pengertian normatif merupakan

aspirasi, atau tujuan-tujuan fisolofi bagi

pemerintah untuk mencapai interaksi-

interaksinya dengan para partner atau

mitranya. Pada kolaborasi normative ini

pemerintah bekerja sama dengan

melibatkan instansi non-pemerintah.

Sedangkan dalam Dewi (2012:73)

menurut Fosler menjelaskan konsep

kolaborasi dengan mengatakan bahwa

kerjasama yang bersifat kolaboratif

melibatkan kerjasama yang intensif,

termasuk adanya upaya secara sadar

untuk melakukan aligment dalam

tujuan, strategi, agenda, sumberdaya,

dan aktivitas. Pemerintah Kabupaten

Bintan dan masyarakat yang pada

dasarnya memiliki tujuan yang berbeda

dalam hal ini haruslah bekerjasama

untuk mengawasi hutan mangrove

secara bersama-sama mulai dari

sasaran, strategi, sampai dengan

aktivitas dalam mencapai tujuan

bersama.

Dalam Raharja (2011:223)

Kolaborasi menurut Tadjudin (2000)

adalah tindakan para pihak untuk

menghasilkan kepuasan bersama atas

dasar “menang-menang” dalam

perspektif kerja sama antar stakeholder,

kolaborasi merupakan konsep relasi

antara organisasi relasi antar

pemerintahan, aliansi stratejik dan

network multi organisasi. Lebih jelas

Tadjudin (2000) menyatakan kolaborasi

membahas kerjasama dua atau lebih

stakeholder untuk mengelola sumber

daya yang sama, yang sulit dicapai bila

dilakukan secara individual. Jelas

Page 11: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

10

bahwa pada penelitian ini Pemerintah

Kabupaten Bintan dan Masyarakat

Tokojo bekerjasama untuk mengelola

dan mengawasi sumber daya hutan

mangrove yang tidak bisa dilakukan

oleh satu pihak saja.

Proses kolaborasi, menurut

Huxham-Vangen (1996)

mengemukakan enam hal ; (a)

Managing Aims ( menetapkan maksud,

tujuan dan sasaran), (b) Compromise (

dalam cara dan gaya kerja, norma dan

kultur) ; (c) communication,

(komunikasi untuk menumbuhkan

pemahaman yang sama serta

menghindari tragedy of commons) ; (d)

Democracy and Equality (memperjelas

siapa terlibat, kesetaraan dalam proses

keputusan serta pertanggungjawaban) ;

(e) Power and Trust (kesejajaran dan

konstribusi sesuai dengan kapasitas

serta pengendalian diri) ; (f)

Determination Commitment and

Stamina (komitmen untuk bekerja sama

dan keteguhan hati untuk melanjutkan

kesepakatan.

Collaborative Governance Dalam

Swastini (2010:10) menurut Sudarmo

(2010) Collaborative Governance

muncul dan dikembangkan secara

adaptif untuk merespon adanya

kompleksitas dan konflik-konflik

bernuansa politik atau persoalan-

persoalan yang menuntut diadopsinya

nilai-nilai demokrasi, namun konsep

tersebut tidak atau belum diinspirasikan

oleh filosofi politis atau teori tetrentu.

Dengan kata lain ada kecenderungan

bahwa dilakukannya collaborative

Governance didorong oleh adanya

upaya pragmatism dalam

menyelesaikan masalah yang selama ini

tidak kunjung teratasi melalui

penerapan teori-teori konvensional

yang selama ini dipercaya mampu

mengatasi masalah.

Dalam Dewi (2012:69) Menurut

Anshell dan Gash (2007) Collaborative

Governance is therefore a type of

Governance in which public and

private actors work collectively in

distinctive ways, using particular

processes, to establish laws and ruler

for the provision of public goods

Anshel dan Gash (2007)

mendefinisikan Collaborative

Governance Dalam Dewi (2012:70),

mereka menyatakan : A governing

arrangement where one or more public

agencies directly engage non-state

stakeholder in a collective decision

making process that is formal,

consensus-oriented, and deliberarive

and that aims to make or implement

public policy or manage public

programs or assets

Collaborative dalam penelitian ini

menggambarkan sebagai upaya-upaya

bersama dalam melaksanakan satu

tujuan yaitu memecahkan masalah yang

melibatkan instansi Pemerintah dan

non-Pemerintah yang peduli.

Sedangkan definisi lain menurut

Culpepper dalam Dewi (2012:71) juga

mendefinisikan Collaborative

Governance yaitu : Collaborative is the

availability of institutions that promote

interaction among government actors,

without state actors monopolizing

problem definition, goal-setting, or

metods of implementation

(Collaborative Governance

Pada prakteknya Pemerintah masih

dominan dalam memecahkan masalah,

tetapi dalam hai ini Pemerintah

harusnya melibatkan non Pemerintah

Page 12: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

11

untuk menetapkan tujuan dan

pelaksanaannya dengan baik. Definisi

selanjutnya tentang Collaborative

Governance menurut Tang dan

Masmanian dalam Dewi (2012)

mendefinisikan bahwa: A concept that

describes the process of establishing,

steering, facilitating, operating dan

monitoring cross-sectoral

organizational arrangements to address

public policy problems that cannot be

easily addressed by a single

organization or the public sector alone.

These arrangementsare characterized

by joint effort, reciprocal expectations,

and voluntary participation among

formally autonomous entities, from two

or more sector –public, for profit, and

nonprofits –in order to leverage (build

on) the unique attributes and resources

of each.

Dari pengertian Collaborative di

atas pemerintah harus lah bekerjasama

dalam melaksanakan,

menyediakan,melaksanakan dan

mengawasi secara bersama dengan

adanya hubungan timbal-balik dalam

memecahkan masalah yang tidak bisa

ditangani oleh satu pihak saja.

Pengaturan ini ditandai dengan

upaya bergabung, harapan timbal-balik,

dan partsipasi sukarela antara entitas

otonom resmi, dari dua atau lebih sector

–public, profit dan non profit –dalam

rangka meningkatkan (membangun)

atribut unik dan sumberdaya dari

masing-masing.

B. Governance

Governance berbeda dengan

Government, menurut Hetifah (2009:2)

sejatinya Konsep Governance harus

dipahami sebagai suatu sebagai suatu

proses, bukan struktur atau instansi.

Governance juga menunjukkan

inklusivitas. Kalau Government dilihat

sebagai “mereka”, maka Governance

adalah “kita”. Dalam Dewi (2012:66)

Government mengandung pengertian

seolah hanya politisi dan pemerintahlah

yang mengatur, melakukan sesuatu,

memberikan pelayanan, sementara sisa

dari kata “kita” :adalah penerima yang

pasif. Sementara Governance

meleburkan perbedaan antara

“Pemerintah” dan yang “diperintah”

karena kita semua adalah bagian dari

proses Governance.

Dwiyanto (2005) juga

mengemukakan pendapatnya dalam

Dewi (2012:67) Governance menunjuk

pada pengertian bahwa kekuasaan tidak

lagi semata-mata dimiliki atau menjadi

urusan Pemerintah. Governance

menekankan pada pelaksanaan fungsi

governing secara bersama-sama oleh

Pemerintah dan institusi-institusi lain

yakni LSM, Perusahaan Swasta

maupun warga Negara.

Juga dalam Toha (2010:62-63)

menurut United Nations Development

Programme (UNDP) merumuskan

istilah Governance sebagai suatu

Exercise dari kewenangan politik,

ekonomi, dan administrasi untuk

menata, mengatur dan mengelola

masalah-masalah sosialnya (UNDP,

1997) istilah governance menunjukkan

suatu proses dimana rakyat bisa

mengatur ekonominya, institusi dan

sumber-sumber sosial dan politiknya

tidak hanya dipergunakan untuk

pembangunan, tetapi juga untuk

menciptakan kosehi, integrasi, dan

untuk kesejahteraannya. Dengan

demikian jelas sekali, bahwa

kemampuan suatu Negara mencapai

tujuan-tujuan pembangunan itu sangat

Page 13: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

12

tergantung pada kualitas tata

kepemerintahannya dimana pemerintah

melakukan interaksi dengan organisasi-

organisasi komersial dan civil society.

Dimana pemerintah kabupaten Bintan

dan masyarakat tekojo membangun

komunikasi yang baik dalam

mengawasi hutan mangrove dan dengan

membuat tata kelola pemerintahan yang

baik dan berkualitas untuk mencapai

kesejahteraan bersama.

Sedangkan menurut Pandji

(2009:130) Governance merupakan

paradigma baru dalam tatanan

pengelolaaan kepemerintahan. Ada tiga

pilar Governance , yaitu pemerintah,

sector swasta, dan masyarakat.

Sementara itu, paradigma pengelolaaan

pemerintahan yang sebelumnya

berkembang adalah government sebagai

satu-satunya penyelenggara

pemerintahan.

C. Pengawasan

Kata “pengawasan” berasal dari

kata awas, berarti antara lain

“penjagaan” istilah “pengawasan”

dikenal dalam ilmu managemen dan

ilmu administrasi yaitu sebagai salah

satu unsur dalam kegiatan pengelolaan.

George R. Terry menggunakan istilah

“control” sebagaimana yang dikutip

oleh Muchsan dalam irfan (2004:88-

89), artinya adalah: “control is to

determine what is accomplished,

evaluate it, and apply corrective

measure, if needed to ensure result in

keeping with the plan”(pengawasan

adalah menentukan apa yang telah

dicapai, mengevaluasi dan menerapkan

tindakan korektif, jika perlu,

memastikan hasil yang sesuai dengan

rencana)

Yaitu instansi pemerintah yang

bertanggung jawab dalam mengevaluasi

dan bertindak dengan teliti dan perlu

memastikan hasil yang sesuai dengan

rencana yang telah dibuatnya. Begitu

pula dengan pendapat Muchsan ia

berpendapat bahwa kegiatan untuk

menilai suatu pelaksanaan tugas secara

de facto, sedangkan tujuan pengawasan

hanya terbatas pada percocokan apakah

kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai

dengan tolak ukur yang telah ditetapkan

sebelumnya (dalam hal ini berujud

suatu rencana/plan). Ini adalah

Pengawasan oleh pemerintah dan

masyarakat yang dilakukan secara nyata

dalam hal ini terjun langsung kelokasi

untuk mengawasinya, apakah sesuai

dengan tolak ukur yang ditetapkan

sebelumnya.

Sama hal nya dengan Muchsan,

Sujamto (1996:83) juga berpendapat

bahwa Pengawasan adalah segala usaha

atau kegiatan untuk mengetahui dan

menilai kenyataan yang sebenarnya

tentang pelaksanaan tugas atau

kegiatan, apakah sesuai dengan yang

semestinya atau tidak. Dalam Makmur

(2011:176) menurut Sondang P.Siagian

mengatakan pengawasan adalah “proses

pengamatan dari pelaksanaan seluruh

kegiatan organisasi untuk menjamin

agar supaya semua pekerjaan yang

sedang dilakukan berjalan sesuai

dengan rencana yang telah ditentukan

sebelumnya.” Ini menukjukkan bahwa

pemerintah dalam pengamatan untuk

menjamin semua pekerjaan sesuai

dengan rencana.

Pengawasan adalah suatu upaya yang

sistematik untuk menetapkan kinerja

standar pada perencanaan untuk

merancang sistem umpan balik

informasi, untuk membandingkan

Page 14: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

13

kinerja aktual dengan standar yang

telah ditentukan, untuk menetapkan

apakah telah terjadi suatu

penyimpangan tersebut, serta untuk

mengambil tindakan perbaikan yang

diperlukan untuk menjamin bahwa

semua sumber daya perusahaan atau

pemerintahan telah digunakan seefektif

dan seefisien mungkin guna mencapai

tujuan perusahaan atau pemerintahan.

Dari beberapa pendapat tersebut

diatas dapat dianalisa bahwa

pengawasan merupakan hal penting

dalam menjalankan suatu perencanaan.

Dengan adanya pengawasan maka

perencanaan yang diharapkan oleh

manajemen dapat terpenuhi dan

berjalan dengan baik. Menurut Winardi

(2000:585) "Pengawasan adalah semua

aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak

manajer dalam upaya memastikan

bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil

yang direncanakan".

Menurut Basu Swasta (1996:216)

"Pengawasan merupakan fungsi yang

menjamin bahwa kegiatan-kegiatan

dapat memberikan hasil seperti yang

diinginkan". Menurut Kadarman

(2001:159) Pengawasan adalah suatu

upaya yang sistematik untuk

menetapkan kinerja standar pada

perencanaan untuk merancang sistem

umpan balik informasi, untuk

membandingkan kinerja aktual dengan

standar yang telah ditentukan, untuk

menetapkan apakah telah terjadi suatu

penyimpangan tersebut, serta untuk

mengambil tindakan perbaikan yang

diperlukan untuk menjamin bahwa

semua sumber daya perusahaan telah

digunakan seefektif dan seefisien

mungkin guna mencapai tujuan

perusahaan. Dari beberapa pendapat

tersebut di atas dapat ditarik dianalisa

bahwa pengawasan merupakan hal

penting dalam menjalankan suatu

perencanaan. Dengan adanya

pengawasan maka perencanaan yang

diharapkan oleh manajemen dapat

terpenuhi dan berjalan dengan baik.

Tanpa adanya pengawasan dari pihak

manajer/atasan maka perencanaan yang

telah ditetapkan akan sulit diterapkan

oleh bawahan dengan baik. Sehingga

tujuan yang diharapkan oleh perusahaan

akan sulit terwujud.

Pengawasan yaitu usaha sistematik

menetapkan standar pelaksanaan

dengan tujuan perencanaan, merancang

sistem informasi umpan balik,

membandingkan kegiatan nyata dengan

standar, menentukan dan mengukur

deviasi-deviasi dan mengambil

tindakan koreksi yang menjamin bahwa

semua sumber daya yang dimiliki telah

dipergunakan dengan efektif dan

efisien. Pengendalian atau Pengawasan

adalah proses mengarahkan seperangkat

variable (manusia, peralatan, mesin,

organisasi) kearah tercapainya suatu

tujuan atau sasaran manajemen.

Pengawasan (controlling) merupakan

fungsi manajemen yang tidak kalah

pentingnya dalam suatu organisasi.

Semua fungsi terdahulu, tidak akan

efektif tanpa disertai fungsi

pengawasan.

Dale (dalam Winardi, 2000:224)

dikatakan bahwa pengawasan tidak

hanya melihat sesuatu dengan seksama

dan melaporkan hasil kegiatan

mengawasi, tetapi juga mengandung

arti memperbaiki dan meluruskannya

sehingga mencapai tujuan yang sesuai

dengan apa yang direncanakan.

Atmosudirjo (2000:11) mengatakan

bahwa pada pokoknya pengawasan

adalah keseluruhan daripada kegiatan

Page 15: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

14

yang membandingkan atau mengukur

apa yang sedang atau sudah

dilaksanakan dengan kriteria, norma-

norma, standar atau rencana-rencana

yang telah ditetapkan sebelumnya.

Pengawasan merupakan suatu

usaha sistematik untuk menetapkan

standar pelaksanaan tujuan dengan

tujuan-tujuan perencanaan, merancang

sistem informasi umpan balik,

membandingkan kegiatan nyata dengan

standar yang telah ditetapkan

sebelumnya, menentukan dan

mengukur penyimpangan-

penyimpangan serta mengambil

tindakan koreksi yang diperlukan.

Dalam pengawasan terdapat beberapa

tipe pengawasan seperti yang

diungkapkan Winardi (2000 : 589).

Fungsi pengawasan dapat dibagi dalam

tiga macam tipe, atas dasar fokus

aktivitas pengawasan, antara lain:

Pengawasan Pendahuluan, Pengawasan

pada saat kerja berlangsung,

Pengawasan Feed Back. Prosedur-

prosedur pengawasan pendahuluan

mencakup semua upaya manajerial

guna memperbesar kemungkinan

bahwa hasil-hasil aktual akan

berdekatan hasilnya dibandingkan

dengan hasil-hasil yang direncanakan.

D. Koordinasi pemerintahan

Pemerintah adalah organ yang

berwenang memproses pelayanan

publik dan berkewajiban memproses

pelayanan sipil bagi setiap orang

melalui hubungan pemerintahan,

sehingga setiap angota masayarakat

yang bersangkutan menerima pada saat

yang di perlukan ( Ndhraha, 2003 : 6 )

Definisi pemerintahan lainnya yang di

kemukakan oleh Taliziduhu Ndaraha

dalam bukunya yang berjudul

Kybernologi (ilmu pemerintahan baru)

sbagai berikut : Pemerintahan adalah

sebuah sistem multiproses yang

bertujunan memenuhi dan melindungi

kebutuhan dan tuntutan yang di

perintah akan jasa layanan sivil.

Tentunya yang di perintah berdasarkan

posisi yang di pegangnya, misalnya

sebagai pelangan, yang tidak berdaya

dan sebagainya pada dasarnya, proses-

proses itu komulatif, proses demend-

feadback (feedforward) Menurut Inu

Kencana dalam bukunya yang berjudul

Manajemen Pemerintahan (2011:35),

Bentuk Koordinasi adalah:

a. Koordinasi Horizontal

Koordinasi Horizontal

adalah penyelarasan

kerjasama secara

harmonis dan sinkron

antar lembaga lembaga

yang sederajat.

b. Koordinasi Vertikal

Vertikal adalah

penyelarasan kerjasama

secara harmonis dan

sinkron dari lembaga

yang sederajat lebih

tinggi kepada lembaga

lembaga lain yang

derajatnya lebih rendah.

c. Koordinasi Fungsional

Koordinasi Fungsional

adalah penyelarasan

kerjasama secara

harmonis dan sinkron

antar lembaga lembaga

yang memiliki

kesamaan dalam fungsi

pekerjaan misalnya

antar sesama para

kepala bagian hubungan

masyarakat

Page 16: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

15

Unsur-unsur koordinasi menurut

menurut Terry dalam Inu Kencana

(2011:167):

a. Usaha-usaha sinkronisasi

yang teratur (orderly

synchronization of effort)

b. Pengaturan waktu (timing)

dan terpimpin (directing)

c. Harmonis (harmonious)

d. Tujuan yang ditetapkan

(stated objective)

Koordinasi pemerintahan

merupkan kegitan-kegiatan

penyelengaraan pemerintahan yang

di tujukan ke arah tujuan yang

hendak di capai yaitu yang telah di

tetapkan menjadi garis-garis besar

haluan nagara dan garis-garis besar

haluan pembagunan negara baik

pusat maupun tingkat daerah, guna

menuju pada sasaran dan tujuan,

gerak kegiatan yang harus ada

pengandalian, sebagai alat untuk

menjamin berlangsungnya kegiatan

yang di maksud dengan

pengendalian disini adalah kegiatan

yang untuk menjamin kesesuian

karya dan rencana, program

pemerintah, dan ketentuan-ketentuan

lainnya yang telah ditetapkan

termasuk tindakan kolektif terhadap

ketidak mampuan atau

penyimpangan.

Proses pengandalian

menghasilkan data dan fakta-fakta

baru yang terjadi dalam pelaksanaan.

apa yang di rencanakan tidak selalu

cocok pakta lapangan dengan

kenyataan ini lah pengendalian

berguna sekali untuk pelaksanaan

selanjutnya. Bagi penyelengaraan

pemerintahan terutama daerah,

koordinasi bukan hanya kerja sama,

melainkan integrasi dan singronisasi

yang mengandung keharusan adanya

komunikasi yang teratur antara

sesama pejabat yang bersangkutan

dengan memahami dan

mengedepankan ketentuan hukum

yang berlaku sesuai sautu aturan

pelaksanan.

III. GAMBARAN UMUM LOKASI

PENELITIAN

Kelurahan Kijang Kota

merupakan hasil pemekaran Wilayah

Kelurahan Kijang yang terbagi menjadi

empat wilayah kelurahan antara lain

Kelurahan Kijang Kota, Kelurahan Sei

Enam, Kelurahan Gunung Lengkuas

dan Kelurahan Sei Lekop. Sejarah dan

latar belakang Kelurahan Kijang Kota

pada awal sebelum terbentuknya

wilayah pemekaran adalah merupakan

bagian yang tak terpisahkan dari

Kelurahan Kijang, sebutan tersebut

merupakan perubahan status nama dari

Kelurahan Kampung Kijang yang

secara identik lebih dikenal sebagai

wilayah Tambang Bauksit sekaligus Ibu

Kota Kecamatan Bintan Timur.

Keberadaan Kelurahan Kijang

Kota sangat diuntungkan dengan

adanya aktifitas Pelabuhan Sribayintan

sebagai jalur pintu masuk dan

keluarnya orang dan barang, yang

secara langsung maupun tidak langsung

sangat berdampak pada pertumbuhan

perekonomian Kijang khususnya dan

Kabupaten Bintan pada umumnya.

Adapun sisi lain dari dampak

perkembangan kegiatan ekonomi dan

Page 17: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

16

perdagangan di Kijang Kota yang tidak

dapat dielakkan adalah menyangkut

hal-hal seperti mobilisasi penduduk

yang tidak menutup kemungkinan

terbukanya masalah-masalah sosial

kemasyarakatan kedepannya.

Latar belakang nama Kelurahan Kijang

Kota sejalan dengan perkembangan

keadaan wilayah yang mengalami

beberapa kali perubahan , berawal

tahun 1947 sampai dengan tahun 1994

dengan sebutan Kelurahan Kampung

Kijang, tahun 1994 sampai dengan

tahun 2004 menjadi Kelurahan Kijang

yang mencakup luas wilayah ± 139

KM dengan batas batas yaitu :

-Sebelah Utara : berbatas

dengan Desa Gunung Kijang/Desa

Tuapaya

-Sebelah Selatan : berbatas

dengan Desa Mantang Baru/Selat

Kijang

-Sebelah Barat : berbatas

dengan Selat Kijang

-Sebelah Timur : berbatas

dengan Desa Batu IX

Kec.Tanjung Pinang Timur

Penduduk Kelurahan Kijang Kota

terdiri dari berbagai etnis maupun suku

secara garis besarnya antara lain yaitu

etnis Melayu, Jawa, Sunda, Batak,

Minang, Madura, Tionghoa, Bugis,

Buton, Flores, Bawean dan lain

sebagainya. Jumlah penduduk

Kelurahan Kijang Kota terhitung Maret

2015 berjumlah sebanyak 22.468 jiwa

dengan perincian sebagai berikut :

Jumlah laki-laki : 11.510 jiwa.

Jumlah perempuan : 10.958 jiwa.

Jumlah KK: 8.543 Kepala Keluarg

IV. ANALISA DATA DAN

PEMBAHASAN

1. Governance (pemerintahan)

Berdasarkan hasil wawancara

dengan informan maka diketahui bahwa

pemerintah menjalankan pengawasan

mangrove ini berdasarkan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup. Dilindungi lintas

sektoral, ekosistem hutan mangrove

masih terancam. Hamparan tanaman di

tepian pantai dengan fungsi ekologi,

ekonomi, dan sosial. Mangrove

merupakan sumber daya penting dalam

menjaga keberlanjutan ekosistem

pesisir yang berfungsi sebagai ruang

berkembangbiaknya sumber daya ikan,

sabuk hijau ketika bencana, pencegah

laju abrasi pantai, hingga bahan bakar

kayu. Namun, tetap saja perlindungan

mangrove tak optimal. Oleh karena itu,

kewenangan pengelolaan hutan

mangrove sebagai kewenangan KKP,

menghentikan alih fungsi mangrove

jadi perkebunan kelapa sawit atau

pertambakan budidaya, dan memproses

hukum pelaku konversi hutan bakau

perusak ekosistem pesisir.

2. Administration (administrasi)

Berdasarkan hasil wawancara

dengan informan diketahui bahwa

dalam segi administrasi ada garis

kewenagan masing-masing instansi

terkait. Di Indonesia sendiri

pengelolaan mangrove didasarkan pada

tiga tahapan utama, yaitu tahapan

ekologi dan sosial ekonomi,

kelembagaan dan perangkat hukum,

serta strategi dan pelaksanaan rencana.

Pada tahapan ekologi semua dampak

kegiatan manusia terhadap ekosistem

Page 18: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

17

mangrove haris diidentifikasi, baik

yang telah terjadi maupun yang akan

terjadi. Di samping lembaga-lembaga

lain, Departemen Pertanian dan

Kehutanan, serta Departemen Kelautan

dan Perikanan, merupakan lembaga

yang sangat berkompeten dalam

pengelolaan mangrove. Koordinasi

antar instansi yang terkait dengan

pengelolaan mangrove adalah

mendesak untuk dilakukan saat ini.

Dalam kerangka pengelolaan dan

pelestarian mangrove, terdapat dua

konsep utama yang dapat diterapkan.

Kedua konsep tersebut pada dasarnya

memberikan legitimasi dan pengertian

bahwa mangrove sangat memerlukan

pengelolaan dan perlindungan agar

dapat tetap lestari. Kedua kosep

tersebut adalah perlindungan hutan

mangrove dan rehabilitasi hutan

mangrove (Bengen, 2001). Salah satu

cara yang dapat dilakukan dalam

rangka perlindungan terhadap

keberadaan hutan mangrove adalah

dengan menunjuk suatu kawasan hutan

mangrove untuk dijadikan kawasan

konservasi, dan sebagai bentuk sabuk

hijau di sepanjang pantai dan tepi

sungai. Saat ini dikembangkan suatu

pola pengawasan pengelolaan

ekosistem mangrove partisipasi

3. Organizational Autonomy (otonomi

organisasi)

Berdasarkan hasil wawancara dengan

informan maka diketahui bahwa

kewenangan sudah di susun untuk

masing-masing instansi. Pelaksanaan

suatu kebijakan pemerintah dapat nilai

baik ketika adanya kerja sama antar

implementor untuk mencapai dari

tujuan tersebut, hal ini tentu saja

bergantung juga kepada pembagian

tugas yang diberikan kepada pelaksana

kebijakan agar dapat melaksanakan

tugas dan fungsinya sesuai dengan

aturan yang ditetapkan untuk

menjalankan kebijakan tersebut.

Adapun pembagian tugas ini bertujuan

untuk memudahkan pekerjaan serta

mengelompokan tugas sesuai dengan

tanggung jawab masing-masing

personil atau unit kerja. Berdasarkan

jawaban daeri ketiga responden diatas

dapat diketahui bahwa tidak adanya

pembagian tugas secara khusus untuk

melaksanakan kebijakan ini melainkan

hanya menyesuaikan dengan tupoksi

yang ada sesuai dengan bidang masing

masing

4. Mutualisme (Kebersamaan)

Berdasarkan hasil wawancara

dengan informan maka dapat dianalisa

bahwa sudah ada koordinasi instansi

terkait. Dalam perda (menurut pasal 35

tentang penetapan lokasi) dijelaskan

bahwa kawasan lindung laut lokal yang

didalamnya termasuk hutan mangrove

harus dilindungi, akan tetapi secara

spesifik perda tersebut tidak

mencantumkan wilayah hutan

mangrove mana yang harus

didilindungi dan dilestarikan. Hal ini

berpotensi mengakibatkan semakin

berkurangnya hutan mangrove di

kabupaten Bintan.

Tugas pokok dan fungsi beberapa

instansi terkait adalah sebagai berikut :

1. Dinas Lingkungan Hidup. Tugas

pokok, fungsi dan rincian uraian

pekerjaan bidang pengawasan

dan pemantauan sub bidang

pada Dinas Lingkungan Hidup

Kabupaten Bintan khususnya

bagi pengawasan mangrove

yaitu melakukan pengawasan

dan pemantauan lingkungan

hidup, yang dirincikan sebagai

berikut :

Page 19: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

18

a. Penyelenggaraan

perencanaan bidang

pengawasan dan

pemantauan

b. Pengumpulan dan

pengolahan data sebagai

bahan perumusan

kebijakan lingkup

bidang pengawasan dan

pemantauan.

c. Penyelenggaraan

koordinasi dengan unit

kerja lain baik di dalam

maupun di luar

organisasi dalam rangka

kelancaran pelaksanaan

tugas.

d. Pelaksanaan tugas lain

yang diberikan oleh

kepala badan.

2. Dinas Kelautan dan Perikanan.

Dinas ini juga memiliki andil

dalam mengawasi kawasan

mangrove, karena akan

berhubungan dengan sumber

daya perikanan, dan kesehatan

lingkungan perairan. Berikut

tugas dari Dinas kelautan dan

perikanan:

a. Perumusan kebijakan

teknis di bidang kelautan

dan perikanan

b. Penyelenggaraan

pelayanan umum di

bidang kelautan dan

perikanan

c. Pembinaan dan

pelaksanaan tugas tata

usaha dinas

d. Pelaksanaan tugas yang

diberikan oleh Bupati.

3. Badan Perencanaan

Pembanguna Daerah. Badan ini

merupakan badan yang penting

yang ada di Kabupaten Bintan,

badan perencanaan daerah

mengurusi banyak bidang

penting seperti bidang sosial dan

perekonomian, bidang

pendataan dan pengembangan,

bidang penelitian dan

pengembangan, sampai dengan

Bidang Infrastuktur dan Sumber

Daya Alam yang juga berfungsi

sebagai dasar dalam

pengelolaan mangrove, yang

dapat di uraikan sebagai berikut

:

a. penyelenggaraan

perencanaan sub bidang

infrastruktur dan sumber

daya alam ;

b. pengumpulan dan

pengolahan data sebagai

bahan perumusan

kebijakan lingkup sub

bidang infrastruktur dan

sumber daya alam;

c. penyelenggaraan

koordinasi dengan unit

kerja lain dalam rangka

kelancaraan pelaksanaan

tugas;

d. penyelenggaraan

monitoring, evaluasi dan

pelayanan perencanaan

sub bidang infrastruktur

dan sumber daya alam;

e. pelaksanaan tugas lain

yang diberikan oleh

kepala bidang.

Berdasarkan uraian dari setiap

instansi terkait beserta kewenangannya

jelas bahwa tidak ada tumpang tindih,

karena setiap instansi di bagi sesuai

tugas dan fungsinya dalam pengelolaan

mangrove. Pola pengawasan

pengelolaan ekosistem mangrove yang

dikembangkan adalah pola partisipatif

meliputi : komponen yang diawasi,

sosialisasi dan transparansi kebijakan,

institusi formal yang mengawasi, para

Page 20: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

19

pihak yang terlibat dalam pengawasan,

mekanisme pengawasan, serta insentif

dan sanksi.

Masing-masing sektoral memiliki

aturan hukum sendiri-sendiri, sehingga

setiap sektor juga memiliki

kewenangannya sendiri-sendiri.

Kabupaten Bintan adalah daerah

kepulauan dengan kawasan perairan,

sehingga mata pencaharian masyarakat

Kabupaten Bintan sebagian besar

adalah nelayan atau bergantung pada

area perairan/perikanan sehingga di

butuhkan peran Dinas Kelautan dan

perikanan dengan melakukan

pengolahan dan rehabilitasi dan

perlindungan sumber daya, serta

melakukan pengawasan dan penertiban

sumber daya yang sesuai dengan Perda

Kabupaten Bintan Nomor 7 Tahun

2008 tentang pembentukan organisasi

dinas daerah Kabupaten Bintan. Dinas

Keluatan menjamin bahwa mangrove

tetap ada dan di kelola dengan baik agar

tidak mengganggu habitat dari ikan-

ikan yang menjadi mata pencaharian

sebagian masyarakat di Kabupaten

Bintan.

5. Norms (norma)

Berdasarkan hasil wawancara dengan

informan sudah ada aturan berkaitan

dengan pembagian tugas untuk

pengawasan mangrove di Kabupaten

Bintan, aturan mengacu pada Undang-

Undang pemerintah daerah dan

Pengelolaan ekosistem mangrove

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51

ayat (2) huruf g dilakukan melalui :

Rehabilitasi dan pengamanan sempadan

pantai dan sempadan sungai;

Pemantapan dan pelestarian hutan

mangrove.

Namun Seperti yang terjadi di

Tokojo, saat ini penimbunan hutan

mangrove belum mampu dihentikan,

penimbunan dilakukan sampai ke laut.

Diduga, luas lahan yang sebelumnya

dikabarkan seluas 18 hektar, namun,

indikasi perkiraan, penimbunan yang

dilakukan itu mencapai sekitar puluhan

hetar, hingga menutupi hampir seluruh

hutan mangrove tersebut. Selain itu,

terlihat juga alat berat jenis kobe,

eskafator yang diduga digunakan untuk

memperlancar aktivitas penimbunan

dan beberapa camp. Aktivitas

penimbunan itu masih saja berjalan

dengan lancar, hingga melebar ke laut.

Padahal jika merujuk pada Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 27

Tahun 2007 Tentang Pengelolaan

Pulau-Pulau Kecil pada bagian keenam

Larangan dalam Pasal 35 huruf (f) dan

(g) yang menjelaskan Dalam

pemanfaatan Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara

langsung atau tidak langsung dilarang

melakukan konversi Ekosistem

mangrove di Kawasan atau Zona

budidaya yang tidak memperhitungkan

keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil, menebang

mangrove di kawasan konservasi untuk

kegiatan industri, pemukiman, dan/atau

kegiatan lain.

Siapapun yang melanggar pasal

pasal 35 huruf (f) dan (g) itu, maka

ketentuan pidananya tertuang dalam

Pasal 73 (1) huruf (b) yang menjelaskan

“Setiap orang yang dengan sengaja

menggunakan cara dan metode yang

merusak ekosistem mangrove,

melakukan konversi ekosistem

mangrove, menebang mangrove untuk

kegiatan industri dan permukiman,

dan/atau kegiatan lain sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf

Page 21: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

20

f, dan huruf g, Dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

pidana denda paling sedikit

Rp2.000.000.000,- (dua miliar rupiah)

dan paling banyak Rp10.000.000.000,

(sepuluh miliar rupiah).

Mangrove banyak

mendatangkan permasalahan baik bagi

kehidupan masyarakat, lingkungan

sekitar bahkan nelayan yang

menggantungkan hidupnya dari hasil

laut, seperti sektor perikanan, dalam hal

ini Dinas Perikanan dan Kelautan,

mengacu pada Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2004 Tentang Perikanan,

bahwa wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia untuk penangkapan

ikan atau pembudiyaan ikan meliputi

sungai, danau, waduk, rawa dan

genangan air lainnya yang dapat

diusahakan serta lahan pembudidayaan

ikan yang potensial di wilayah

Republik Indonesia. Oleh karenanya,

hutan mangrove yang merupakan

daerah genangan air yang sangat

potensial untuk perikanan, oleh sektor

perikanan (Dinas Kelautan dan

Perikanan) dapat memanfaatkannya

sebagai area untuk dijadikan budidaya

perikanan, yakni sebagai area tambak

ikan. Hasilnya, daerah hutan mangrove

pun mulai berkurang.

Pengawasan dilaksanakan

dalam bentuk pengawasan langsung,

yaitu dengan cara melakukan

pemeriksaan terhadap kegiatan yang

ada di wilayah mangrove dengan

metode interview dan pemeriksaan

dokumen, yang meliputi tindakan

sebagai berikut :

1. Memeriksa izin pendirian

bangunan;

2. Menilai dan megevaluasi hasil

kegiatan

3. Memberikan saran-saran untuk

perbaikan ;

4. Melaporkan kepada Pimpinan

5. Merekomendasikan untuk

perbaikan

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa

Collaborative Governance Dalam

Mengawasi Kawasan Hutan Mangrove

Di Tokojo Kelurahan Kijang Kota

sudah berjalan dengan baik, hal ini

dapat dilihat dari : pemerintah

melakukan pengawasan mengacu pada

Undang-Undang Nomor 45 Tentang

kehutanan, kemudian Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014, pemerintah

daerah. Pengelolaan kawasan mangrove

tidak cukup hanya dengan peraturan

tata ruang yang mengatur dalam rangka

tata keruangannya saja. Berbagai

peraturan perundangan turut dilakukan

dalam rangka pengelolaan kawasan ini,

baik secara langsung atau tidak,

kemudian pemerintah menjalankan

pengawasan mangrove ini berdasarkan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup. ilindungi lintas

sektoral, ekosistem hutan mangrove

masih terancam. dalam segi

administrasi ada garis kewenagan

masing-masing instansi terkait

Page 22: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

21

B. Saran

1. Harus ada sanksi yang tegas

bagi pengusaha maupun orang-

orang yang masih melakukan

penimbunan mangrove

2. Harus ada koordinasi dan

kerjasama antar instansi atau

OPD terkait agar meminimalisir

permasalahan mangrove di

Kabupaten Bintan.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2013, Prosedur

Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta

A.Black, James dan Dean J.Champion.

2009, Metode & Masalah

Penelitian Sosial, Bandung :

PT Refika Aditama.

Atmosudirjo, S., Prajudi., 2000.

Administrasi Manajemen

Umum, Jakarta: CV Mas

Haji.

Basu Swastha, 1999, Asas-Asas

Pemasaran, Edisi Ketiga.

Penerbit Liberty: Yogyakarta.

Fachruddin, Irfan. 2004, Pengawasan

Peradilan Administrasi

Terhadap Tindakan

Pemerintah, Bandung : P.T.

Alumni.

Hetifah Sj. Sumarto. 2009. Inovasi,

Partisipasi, dan Good

Governance, 20 Prakarsa

Inovatif dan Partisipasi di

Indonesia, Edisi Kedua

(Revisi), Yayasan Obor

Indonesia. Jakarta.

Irfan. 2004. Reformasi Pelayanan

public. Trenggalek: Tim

Penyusun

Kadarman. 2001. Pengantar Ilmu

Manajemen. Jakarta :

Prenhallindo

Makmur. 2011, Efektivitas Kebijakan

Kelembagaan Pengawasan,

Bandung : PT Refika

Aditama.

Moleong, Lexy J. 2007, Metodelogi

Penelitian Kualitatif Edisi

Revisi, Bandung : PT Remaja

Rosdakarya.

Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernologi

Ilmu Pemerintahan Baru,

Jilid I. Jakarta : PT. Rineka

Cipta.

Santosa, Pandji. 2009, Administrasi

Publik- Teori dan Aplikasi

Good Governance, Bandung

: PT Refika Aditama.

Silalahi, Ulber. 2012, Metodelogi

Penelitian Sosial, Bandung : PT Refika

Aditama.

Sugiyono, Agustus. 2012, Metode

Penelitian Kuantitatif

Kualitatif dan R&D,

Bandung : CV ALFABETA

Sujamto. 1996, Aspek-aspek

Pengawasan Di Indonesia, Jakarta :

Sinar Grafika.

Sumarto, Sj. Hetifah. 2009, Inovasi,

dan Good Governance : 20

Prakarsa Inovatif dan

Partisipatif di Indonesi,

Page 23: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

22

Jakarta : Yayasan Obor

Indonesia.

Syafiie, Kencana, Inu. 2011.

Manajemen Pemerintahan.

Pustaka Reka Cipta.

Thoha, Miftah. 2010, Birokrasi dan

Politik di Indonesia, Jakarta :

PT RAJAGRAFINDO

PERSADA.

Winardi, J, 2000, Manajemen Perilaku

Organisasi, Cetakan Pertama,

Penerbit. Prenada Media,

Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN

UU Republik Indonesia 2007, Undang-

Undang Republik Indonesia

Nomor 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil.

UU Republik Indonesia 2014, Undang-

Undang Republik Indonesia

Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Desa.

JURNAL dan Data

Jurnal Dewi, Ratna Trisuma. 2012,

Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Collaborative

Governance Dalam

Pengembangan Industri Kecil

(studi kasus tentang kerajinan

Reyog dan Perjuntukan Reyog

di Kabupaten Ponorogo),

Program Studi Magister

Administrasi

Publik,Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

Jurnal ITTO (International Tropical

Timber Organization). 2013,

Penyusunan Baseline Data

Pengelolaan Ekosistem

Mangrove Di Pulau Bintan.

Thompson, Perry and Miller. 2007.

Conceptualizing and Measuring

Collaboration. Jurnal of Public

Administration Research and

Theory Advance Access

published December 1, 2007

in Partnering with the Senior’s

Sectors”. Local Government

Sudies. 38 (2). 161-181.

Jurnal Raharja, Sam’un Jaja. 2011,

Pendekatan Kolaboratif Dalam

Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai Citarum, Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Padjadjaran

Bandung

Jurnal Swastini, Asri. 2010,

Collaborative Governance

Komisi Penanggulangan AIDS

Page 24: COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENGAWASI KAWASAN …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · Komisi I DPRD Kabupaten Bintan dan Satpol PP bidang lingkungan

23

dan Lembaga Swadaya

Masyarakat Lokal Dalam

Kasus HIV/AIDS Di Kota

Surakarta.Jurusan Ilmu

Administrasi, Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

Data Badan Pusat Statistik, Bintan

Dalam Angka 2015

Data Dinas Pertanian dan Kehutanan

INTERNET

http://batamnews.co.id/berita-2105-

hutan-mangrove-kampung-tokojo-

bintan terancam-musnah.html. Diakses

pada hari Rabu, tanggal: 30 April 2016,

jam 21.45 WIB

http://www.lintaskepri.com/pt-sbc-

kangkangi-aturan-pemerintah.html.

Diakses pada hari Selasa, tanggal: 31

Mei 2016, jam 19.30 WIB