BAB IV JUAL BELI ANJING DAN KUCING DALAM HADIS
Transcript of BAB IV JUAL BELI ANJING DAN KUCING DALAM HADIS
90
BAB IV
JUAL BELI ANJING DAN KUCING DALAM HADIS
A. Kualitas Hadis Tentang Jual Beli Anjing Dan Kucing
1. Kualitas Sanad Hadis
Penelitian hadis tentang jual beli anjing dan kucing dalam Sunan Abu>
Dawu>d ini dapat dimulai dari periwayat pertama ataupun periwayat terakhir
(mukharrij). Pada penelitian sanad hadis ini dimulai dari periwayat terakhir
yakni Abu> Da >wud dan seterusnya sampai periwayat pertama yakni Ja >bir bin
Abdullah:
1) Abu> Dawu >d
Abu > Da>wud menerima hadis ini dari tiga gurunya yakni Ibra >him
bin Mu >sa (wafat tahun 220 H), Al-Rabi‟ bin Na>fi‟(wafat tahun 241 H), dan
„Ali bin B{ahr (wafat tahun 234 H). Guru-gurunya tersebut wafat sebelum
Abu> Dawu >d, hal ini dapat dibuktikan ketika Ibra >him bin Mu >sa wafat Abu>
Da>wud berusia 18 tahun, selain itu pada saat Abu > Da>wud berusia 32 tahun
„Ali bin B{ahr juga telah meninggal dunia, selanjutnya Al-Rabi‟ bin Na>fi‟
wafat pada saat Abu > Dawu>d berusia 39 tahun. Dilihat dari segi tahun wafat
mereka, memberi indikasi bahwa adanya pertemuan antara Abu > Dawu>d
dan guru-gurunya dalam masa hidupnya. Abu > Da>wud telah populer
dikalangan para muhaddithin akan ke-thiqah-annya dan ke-wara’-annya.
Dalam menerima hadis dari ketiga gurunya, Abu Dawud
menggunakan lafadh atau kata h{addathana> . Lafadh tersebut menunjukkan
90
91
adanya proses penerimaan hadis secara al-sama’. Cara demikian ini,
merupakan cara yang tinggi nilainya, menurut jumhur ulama‟. Dengan
demikian, periwayatan Abu > Da>wud yang mengatakan bahwa dia telah
menerima riwayat hadis di atas dari ketiga gurunya dengan cara atau
metode al-sama’, maka hal ini dapat dipercaya kebenarannya. Melihat
fakta tersebut , terbukti bahwa sanad antara Abu> Da>wud dengan ketiga
gurunya yakni Ibra >him bin Mu >sa, Al-Robi‟ bin Na>fi‟, dan „Ali bin B {ahr
dalam keadaan bersambung (muttas {il).
2) Ibra>him bin Mu >sa
Ibra>him bin Mu >sa menerima hadis dari gurunya yang bernama „Isa
bin Yu>nus yang wafat pada tahun 182 Hijriah. Hal ini menunjukkan bahwa
„Isa bin Yu >nus telah wafat terlebih dahulu sebelum Ibra >him bun Mu >sa.
Dilihat dari tempat berpetualang mencari ilmu Ibra >him bin Mu >sa yang
pernah ke Syam, maka muncul indikasi bahwa mereka pernah bertemu,
karena „Isa bin Yu >nus tinggal di Syam, sehingga dapat dikatakan bahwa
keduanya pernah hidup dalam satu zaman, meski masing-masing berada
dalam t}abaqat yang berbeda.
Periwayatannya menggunakan lambang haddathana >, lambang
tersebut menunjukkan bahwa hadis yang diperoleh melalui metode al-
sama’ artinya bahwa antara keduanya telah terjadi proses pertemuan guru
dan murid. Cara demikian ini, merupakan cara yang tinggi nilainya,
menurut jumhur ulama‟. Dengan demikian, periwayatan Ibrahi >m bin Mu >sa
92
yang menerima riwayat hadis di atas dari „Isa bin Yu >nus, maka yang
demikian ini dapat dipercaya kebenarannya dan bersambung (muttas}i>l).
Para kritikus hanya mengungkapkan ta’di >l terhadap Ibra>him bin
Mu>sa dengan pujian tsiqqah yang merupakan pujian yang tinggi. Semua
itu berarti sanad antara Ibra >him bin Mu >sa dengan „Isa bin Yu >nus bisa
diterima.
3) Ar-Ra>bi‟ bin Na>fi‟
Ar-Ra>bi‟ bin Na>fi‟ menerima hadis dari gurunya yang bernama
„Isa bin Yu >nus yang wafat pada tahun 182 Hijriah. Hal ini menunjukkan
bahwa „Isa bin Yu >nus telah wafat terlebih dahulu sebelum Ar-Ra>bi‟ bin
Na>fi‟.
Periwayatannya menggunakan lambang haddathana >, lambang
tersebut menunjukkan bahwa hadis yang diperoleh melalui metode al-
sama’ artinya bahwa antara keduanya telah terjadi proses pertemuan guru
dan murid. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya proses perlawatan
keduanya dalam mempelajari hadis yakni di Kufah,, di sanalah
kemungkinan besar mereka bertemu. Cara demikian ini, merupakan cara
yang tinggi nilainya, menurut jumhur ulama‟. Dengan demikian,
periwayatan Ar-Ra>bi‟ bin Na>fi‟yang menerima riwayat hadis di atas dari
„Isa bin Yu >nus, maka yang demikian ini dapat dipercaya kebenarannya
dan bersambung (muttas}i>l).
Para kritikus hanya mengungkapkan ta’di >l terhadap Ar-Ra>bi‟ bin
Na>fi‟dengan pujian tsiqqah yang merupakan pujian yang tinggi. Semua itu
93
berarti sanad antara Ibra>him bin Mu>sa dengan „Isa bin Yu >nus bisa
diterima.
4) „Ali bin B{ahr
„Ali bin B{ahr menerima hadis dari gurunya yang bernama „Isa bin
Yu>nus yang wafat pada tahun 182 Hijriah. Hal ini menunjukkan bahwa
„Isa bin Yu >nus telah wafat terlebih dahulu sebelum „Ali bin B{ahr.
Periwayatannya menggunakan lambang akhbaraana >, lambang
tersebut menunjukkan bahwa hadis yang diperoleh melalui metode al-
sama’ artinya bahwa antara keduanya telah terjadi proses pertemuan guru
dan murid. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya proses perlawatan
keduanya dalam mempelajari hadis yakni di Kufah,, di sanalah
kemungkinan besar mereka bertemu. Cara demikian ini, merupakan cara
yang tinggi nilainya, menurut jumhur ulama‟. Dengan demikian,
periwayatan Ar-Ra>bi‟ bin Na>fi‟yang menerima riwayat hadis di atas dari
„Isa bin Yu >nus, maka yang demikian ini dapat dipercaya kebenarannya
dan bersambung (muttas}i>l).
5) „Isa bin Yu >nus
„Isa bin Yu >nus menerima hadis dari gurunya yang bernama Al-
A‟mash (Sulaiman bin Mihran) yang wafat pada tahun 147 Hijriah. Hal ini
menunjukkan bahwa Al-A‟mash telah wafat terlebih dahulu sebelum „Isa
bin Yu>nus.
Dilihat dari tempat tinggal antara keduanya yang sama-sama
berada di Kufah maka dapat di indikasikan bahwa antara keduanya telah
94
terjadi proses pertemuan guru dan murid. „Isa bin Yu >nus menerima hadis
dari Al-A‟mash menggunakan lambang „an, walaupun periwayatannya
menggunakan lambang „an,tetapi dipastikan bahwa mereka tetap bertemu,
karena berada dalam kota yang sama yakni Kufah. Selain itu ulama‟
sepakat bahwa „Isa bin Yu >nus adalah seorang seorang yang tsiqqah.
6) Al-A‟mash
Al-A‟mash yakni Sulaiman bin Mihran, menerima hadis dari
gurunya yakni T{alh {ah bin Na<fi‟. Dilihat dari tempat perlawatannya,
mereka diindikasikan bertemu di Kufah karena Al-A‟mash merupakan
kalangan tabi‟in yang bertempat tinggal di Kufah, begitu juga T{alh {ah bin
Na<fi‟. Ibnu H{ibba>n menyebutkannya sebagai orang yang thiqqah, begitu
juga Abu > H{a>tim dan an-Nasa‟i, keduanya menilai Al-Amash sebagai orang
yang thiqqah. Al-A‟mash menerima hadis dari T{alh {ah bin Na<fi‟ dengan
menggunakan kata ‘an. Meskipun ia menggunakan kata ‘an, tetapi dapat
dipastikan mereka bertemu dengan alasan bahwa keduanya sama-sama
pernah mengabdi di tempat yang sama yakni Kufah, dan ulama juga telah
sepakat mengatakan bahwa Al-A‟mash merupakan murid dari T{alh {ah bin
Na<fi‟.
7) Abu> S {afyan
Abu > S {afyan yakni T{alh {ah bin Na<fi‟, ia meriwayatkan hadis dari
Ja<bir bin „Abdullah. Abu> S {afyan merupakan kalangan tabi‟in yang
bertempat tinggal di Marwah ar-Roudh (Makkah), Ibnu H{ibba>n
menyebutkannya dalam riwayatnya yakni at-thiqqa <h, sedangkan Ah {mad
95
bin H{anbal dan an-Nas‟I menilai dengan Laisa bihi > ba’s yang artinya
orang yang tidak cacat. Begitu juga „Abdurrahman bin Abi H {atim, dia
menilai Abu> S {afyan dengan kata thiqqah. Namun berbeda lagi dengan
pandangan Waki>‟ bin Jarrah, ia menilai Abu> S {afyan dengan sebutan
s {ah{i >fah, S {u‟bah berpendapat bahwasanya Abu> S {afyan tidak mendengar
dari Ja>bir selain hanya empat hadis, sedangkan menurut al-„Ajali > hadis
yang ia riwayatkan Abu> S {afyan dinilai kurang kuat. Walaupun berkenaan
dengan tahun wafat antara Abu> S {afyan dan Ja<bir tidak diketahui, namun
dapat dipastikan antara Abu> S {afyan dengan Ja<bir pernah bertemu secara
langsung, sebagaimana ungkapan Abu> S {afyan, bahwasanya dia pernah
bertetangga dengan Ja <bir selama 6 bulan, dan ulama sepakat mengatakan
bahwa Abu > S {afyan merupakan murid dari Ja<bir.
Lambang periwayatannya adalah an. Para ulama hadis berpendapat
bahwa lambang an merupakan hadis mu‘an‘an. Hadis ini bisa dianggap
bersambung, dengan catatan bahwa hadis tersebut selamat dari tadli>s dan
dimungkinkan adanya pertemuan dan semasa, sebagaimana yang
disyaratkan Imam Al-Bukha>ri>, atau hanya semasa saja sebagaimana
syarat yang diajukan Imam Muslim. Adanya dua syarat yang ditegaskan
oleh Imam Al-Bukha>ri> dan Muslim serta bersihnya sifat tadli>s dari Abu>
S {afyan.
Adapun mengenai jarh dan ta’di >l terhadap perawi ini ditemukan.
Namun jika ada penilaian kritikus yang bertentangan maka yang diambil
adalah nilai pujian, kecuali jarh-nya yang ditetapkan mempunyai sebab-
96
sebab terperinci. Namun pada perawi ini yang men-jarh termasuk kritikus
yang mutashaddid, maka ungkapan jarh tersebut dikalahkan oleh kritikus
yang men-ta’di >l. Dengan demikian perawi ini bisa diterima.
8) Ja>bir
Ja>bir menerima hadis dari Rasulullah saw. Dalam menerima hadis
di atas Ja>bir menggunakan kata anna. Ja>bir merupakan salah satu dari
sahabat Nabi saw. yang berasal dari Madinah, Dia pernah mengikuti
beberapa peperangan beserta Rasulullah dan menjadi salah satu dari
peserta Baiat aqa <bah kedua beserta ayah dan pamannya. Oleh karenanya
dapat dikatakan bahwa sanad antara Ja>bir dengan Nabi saw. dalam
keadaan bersambung.
Demikianlah penelitian yang berdasarkan ketersambungan sanad
dan kualitas perawi. Secara keseluruhan perawi yang meriwayatkan hadis
tentang jual beli anjing dan kucing dalam Sunan Abu > Dawu>d nomor 3479
berkualitas thiqqah, s}adu>q, Totalitas nilai para perawi dari jalur Abu>
Dawu>d serta adanya mu‘as }s }arah dan liqa >’ dapat dijadikan bukti bahwa
jalur sanad Abu> Dawu>d ini bersambung mulai dari mukharrij hingga
sampai kepada informan utama, yakni Muhammad Rasulullah SAW.
Otentisitas sanad hadis Abu > Dawu>d nilainya menjadi lebih kuat saat
disandarkan pada riwayat-riwayat hadis dari jalur lain yang sama
pembahasannya, yakni riwayat Imam Muslim, at-Tirmidhi >, an-Nasa‟I dan
Ah}mad bin H }ambal. Selain itu sanad dari jalan Abu > Dawu >d ini setelah di
teliti, tidak di temukan adanya shadh maupun ‘illat.
97
2. Kualitas Matan Hadis
a. Analisis Kemungkinan Adanya Sha >dh dan „Illah Hadis.
Jika diteliti berdasarkan redaksi matan, terlihat bahwa tidak ada
satupun riwayat selain jalur Abu> Dawu>d bertentangan dengan riwayat jalur
Abu> Dawu >d. Pertentangan yang dimaksudkan di sini adalah pertentangan
prinsip muatan hadis. Namun secara redaksional, antara riwayat Abu>
Dawu>d dengan riwayat lain tidak ada perbedaan, hanya pada jalur an-
Nasa‟i yang berbeda yakni terdapat tambahan redaksi د ي ص ب ل ك الا . Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa riwayat hadis jalur Abu> Dawu >d tidak
mengandung sha >dh.
Selanjutnya dari sisi kecacatan hadis, tidak terlihat kecacatan yang
mengarah pada adanya ‘illah hadis dalam riwayat Abu> Dawu >d ini.
Demikian ini karena jalur sanad Abu> Dawu>d bersambung sampai Nabi,
sehingga sama sekali tidak ada unsur mauqu>f atau mursal dalam sanad
tersebut. Ditambah pula adanya sanad-sanad lain selain jalur Abu > Dawu>d
yang mendukung keakuratan sanad Abu> Dawu >d. Adanya perawi-perawi
yang memiliki kualitas thiqah, mengurangi kemungkinan adanya tadli >s,
sehingga kesamaran-kesamaran sanad yang disebabkan tadli >s tidaklah
muncul dalam deretan sanad Abu> Dawu>d ini. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa sanad hadis jalur Abu> Dawu>d tidak memiliki kecacatan
(‘Illah). Namun dalam hadis pendukung riwayat an-Nasa‟i mengalami
perbedaan lafadz, lebih tepatnya terdapat penambahan lafadh, yang mana
penambahan tersebut menurut jumhur ulama‟ adalah sha >dh, Imam Ah {mad,
98
an-Nawawi serta as-Suyu >t {i men-d{oif-kan, an-Nasa‟i sendiri menyatakan
bahwa penambahan tersebut adalah munkar, dan muhaddithin sepakat
akan ke-d {oif-an penambahan tersebut. Selain itu dalam hadis riwayat al-
Thirmidhi > yang lain juga menyatakan ke-d{oif-an penambahan tersebut
yakni
اخربناوكيععن ب ر ن اابوكر ي ب انبنمل ععناا ازهمممعناا ىريرةلال ىععنننحماا خ امسويميدالكلبا كلبالصميدلالابوعيسعىذاحديثاليصحمنىذاالوجووابوازهممم االم
بناحلجماج شع ب ع يميدبنمفيانوتكلممفيو عنبنمفيانوتكلمفيو رو ي وضعمفوو ل د ج ابرعنالنميبصلعاهللعليووملممحنوىذاواليصحمامنانهايضا
Dari keterangan dari hadis riwayat al-Thirmidhi > tersebut
menunjukkan bahwa adanya pengecualian pemberian harga atu jual beli
anjing(anjing pemburu) adalah sesuatu yang tidak benar dan merupakan
penjelasan yang lemah. Selanjutnya penelitian ini akan dilanjutkan pada
validitas hadis, hal ini dilakukan untuk mengetahui tentang ke-shahih-an
matan hadis, langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Korelasi terhadap Alquran
Alquran adalah sumber utama dalam Islam yang menjadi
dasar untuk melaksanakan berbagai ajaran baik yang us {ul maupun
yang furu’, maka Alquran haruslah berfungsi sebagai penentu hadis
yang dapat diterima dan sebaliknya. Hadis yang tidak sejalan dengan
Alquran haruslah ditinggalkan sekalipun sanad-nya s {ah{i >h{. sebelum
membahas tentang ayat alquran yang berhubungan dengan jual beli
99
anjing dan kucing maka perlu mengetahui terlebih dahulu terkait
kaidah ushulnya.
Kaidah ushul tentang jual beli tersebut berbunyi Kullu maa
hurrimaa ‘ala al-‘ibaad fabai’uhu haraam (Segala sesuatu yang
diharamkan atas hamba, maka memperjualbelikannya adalah haram
juga). Melihat kaidah tersebut, secara tidak langsung menyebutkan
bahwasanya sesuatu yang haram dimakan maka untuk
memperjualbelikannya juga haram. Dari pemahaman tersebut
ditemukan adanya lafaz { Alquran yang bertentangan dengan hadis yang
membicarakan tentang jual beli anjing dan kucing yakni
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor -
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang
dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang".
Dalam ayat tersebut menerangkan bahwasanya yang dilarang
atau diharamkan untuk dimakan adalah bangkai, darah, dan daging
babi. Sedangkan untuk anjing dan kucing tidak disebutkan secara
langsug. Secara global (yang dimaksud surat Al An‟am ayat 145),
100
keumuman yang ada berlaku jika kita lihat dari hewan yang dimakan
sebagaimana yang dimaksudkan dalam konteks ayat dan terdapat
nantinya istitsna‟ (pengecualian). Namun hewan-hewan yang
mengalami pengecualian sehingga dihukumi haram tetap perlu kita
tambahkan dengan melihat dalil lainnya dari Alquran dan As Sunnah
yang menunjukkan masih ada hewan lain yang diharamkan. Tetapi
kenyataannya diriwayatkan dari Ibnu „Abbas, Ibnu „Umar, dan
„Aisyah, mereka menyatakan bahwa tidak ada hewan yang haram
kecuali yang disebutkan dalam surat Al An‟am ayat 145. Imam Malik
pun berpendapat demikian. Namun ini adalah pendapat yang lemah.
Karena ini sama saja mengabaikan pelarangan hewan lainnya setelah
turunnya surat Al An‟am ayat 145. Pendapat ini juga sama saja
meniadakan hewan-hewan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu
„alaihi wa sallam sebagai hewan yang haram untuk dimakan, yang
beliau menyebutkan hal tersebut setelah turunnya surat Al An‟am ayat
145. Peniadaan yang dilakukan tersebut dinilai tanpa adanya sebab
dan tanpa ada indikator yang menunjukkan diharuskannya peniadaan
tersebut. Ayat Alquran yang menunjukkan tentang pelarangan hewan
yang turun setelah surat al-An‟am ayat 145 adalah surat al-Maidah
ayat 3 yakni,
101
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik,
yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib
dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. pada hari iniorang-orang kafir telah putus asa untuk
(mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka
dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-
ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dari ayat diatas menunjukkan bahwa yang dilarang dalam
Alquran terkait keharaman memakannya tidak hanya mutlak terdapat
pada surat al-An‟am ayat 146, akan tetapi terdapat juga dalam surat al-
Maidah ayat 3, selain itu dikuatkan pula dengan beberapa sabda Nabi
mengenai haramnya memakan binatang yang bertaring dan
mempunyai cakar, yang mana anjing dan kucing termasuk dalam
kategori binatang tersebut. Jadi secara tidak langsung larangan
memakan binatang tersebut menjadi penyebab larangan jual beli
anjing dan kucing.
2. Korelasi terhadap hadis
Mencari hadis lain yang setema tidak lain adalah sebagai
salah satu usaha untuk mengetahui kebenaran matan hadis tentang jual
beli anjing dan kucing dengan mempertimbangkan teks-teks hadis lain
102
yang masih memiliki pembahasan dalam satu tema yang sama dengan
tema hadis yang dikaji sebagai berikut:
1) Hadis riwayat Al-Bukhori
بكربنعبدالرحنحدثناحيىيبنحيىيلالرأتعلعمالكعنابنشابعنايبرمولاهللصلعاهللعليووملم ىععنننالكلبعنايبمسعوناألنصاريانم
ومرالبغيوحلوانالكاىن2) Hadis riwayat Ibnu Majah
حدثناىشامبنع مارثناالوليدبنمسل عأنبأناابنهليعععناا المبريعنجابرلال: ىعرمولاهللصلعاهللعليووملممعنننالسنمور
Kedua hadis di atas jika ditinjau dari maknanya memiliki
kandungan maksud yang sama dan dapat diindikasikan dalam riwayat
hadis yang mampu menjadi pendukung bagi kebenaran matn hadis
jual beli anjing dan kucing.
3. Korelasi terhadap akal
Jual beli anjing dan kucing merupakan suatu praktik jual
beli yang dianggap sebagai seburuk-buruk penghasilan dan sesuatu
yang tidak baik. Meskipun dalam Alquran tidak spesifik menyebutkan
tentang jual beli anjing dan kucing, tetapi ketika dikonfirmasikan
dengan akal juga dalam hadis ini Nabi saw., juga memberikan aba-aba
atau sebuah peringatan yang diperuntukan kepada umat Islam agar
berhati-hati ketika membelanjakan harta yang dimiliki. Walaupun
praktik jual beli ini memberikan keuntungan yang berlimpah bagi
penjualnya, dan memberikan kepuasan terhadap pembelinya, akan
103
tetapi praktik jual beli ini selain bertentangan dengan hadis Nabi saw,
juga dinilai termasuk perbuatan yang kurang wajar.
Selain itu menurut adat kebiasaan masyarakat muslim,
secara umum binatang yang diperjualbelikan adalah binatang yang
dapat diambil manfaatnya, khususnya dapat dikonsumsi. Namun
berbeda dengan jual beli anjing dan kucing selain dinilai kurang
bermanfaat hal ini bisa berakibat pada penghambur-hamburan uang,
karena seperti yang diketahui harga anjing maupun kucing sangat
mahal.
B. Kehujjahan Hadis Tentang Jual Beli Anjing Dan Kucing
Setelah melakukan kritik sanad dan matan di atas, dapat dikemukakan
bahwa hadis tentang jual beli anjing dan kucing yang diriwayatkan oleh Abu>
Dawu>d yang sedang menjadi objek penelitian ini dinilai mempunyai sanad h{asan
karena terdapat perawi yang kurang d{a>bit { yaitu lemah hafalannya. Perawi yang
bernilai lemah atas hafalannya adalah Abu> S {afyan, namun hal tersebut tidak
menjadikan hadis tentang jual beli anjing dan kucing ini berkualitas da’if karena
selain muttas }il juga terhindar dari sha >dh maupun ‘illat. Selain itu hadis tentang
jual beli anjing dan kucing ini juga diriwayatkan dari beberapa jalur yang
menguatkan yakni imam Muslim, an-Nasa‟i, at-Tirmidhi >, dan Ah{mad bin H {ambal
sehingga derajat hadis tersebut bisa meningkat menjadi s {ahih li ghairihi dan
dapat dijadikan pedoman untuk ber-hujjah terhadapnya.
104
C. Makna Hadis Tentang Jual Beli Anjing Dan Kucing
melarang atau mencegah : نهى
harga : ثمن
anjing : الكلب
kucing : السنور
Kata السنور berarti kucing, dimana kata ini adalah muradif atau persamaan
kata dari هر, jama‟nya هررة.1 Makna kata naha dalam lafadh tersebut adalah
melarang atau mencegah, dimana pemberian makna lafadh naha tersebut
merupakan makna secara hakiki bukan makna majazi, sehingga makna lafadh
tersebut benar-benar perintah untuk melarang adanya praktik jual beli anjing dan
kucing, walaupun selanjutnya makna larangan tersebut sampai derajat keharaman
atau hanya larangan yang bersifat makruh.
Dalam memahami larangan pemberian harga terhadap anjing, yang di
maksud anjing dalam hadis diatas adalah anjing kecil atau besar, untuk berburu,
penunjuk jalan maupun untuk mengolah tanah.2 Dalam praktik penjualan ini
dinyatakan tidak sah, uang hasil penjualannya tidak halal, dan tidak
diperhitungkan atas orang yang menghilangkannya, baik anjing itu terlatih
maupun tidak terlatih, dan baik anjing itu termasuk yang boleh dimanfaatkan
maupun yang tidak. Hal ini merupakan pendapat yang dianut oleh mayoritas
ulama, diantaranya adalah Abu Hurairah, Hasan al-Bashri, Rabi‟ah, Al-Jauza‟i,
Al-Hakam, Hammad, Syafi‟i, Ahmad, Dawud, Ibnu Al-Mundzir, dan lainnya.
1 Ibnu Manz {ur, Lisa >n al-Arab (Kairo: Da >r al-Ma‟a >rif, TT), 4650.
2Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Zaadul Ma’ad, penerjemah: Kathur Suhardi
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), 428.
105
Berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa anjing yang
dimanfaatkan boleh dijual dan diperhitungkan nilainya atas orang yang
menghilangkannya.3
Ibnu Al-Mundzir menyampaikan dari Jabir, Atha‟ dan An-Nakha‟i,
bahwasanya dibolehkan menjual anjing pemburu bukan yang lain. Sedangkan
yang disampaikan Imam Malik terdapat beberapa riwayat, di antaranya:
1. Anjing tidak boleh dijual, namun nilainya diperhitungkan atas orang yang
menjual dan nilainya tetap diperhitungkan
2. Anjing boleh dijual dan nilainya tetap diperhitungkan
3. Anjing tidak boleh dijual dan nilainya tidak diperhitungkan atas orang yang
menghilangkannya.
Ada yang berpendapat, apabila pemanfaatan sesuatu hukumnya haram,
maka penjualannya juga haram. Jadi hukum penjualannya mengikuti hukum
barang dan pemanfaatannya atau gambarannya secara umum, apalagi ada
percampuran antara yang halal dan yang haram.4
Berkaitan dengan adanya pelarangan terhadap jual beli anjing, hal ini
merupakan solusi yang baik, karena di banding dengan kadar manfaat yang bisa di
ambil, kadar kemudhratan dan kerugiannya lebih besar. Sebagaimana dalam hadis
3Imam an-Nawawi, Al-Minha >j Syarah Shahih Muslim, Jilid VII (Jakarta: Darus
Sunnah, 2013), 717. 4Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Zaadul Ma’ad…, 428.
106
انم٬عنعبداهللابنمغفل٬عنمطرف٬عنأا التيماح٬حدثناشعبع٬اخربناوىببنجريرلو هم ب ع م رات ن اء ف اغ س ال ل بف ٬النيبصلعاهللعليووململال:إ ذ او ل غ ال ك ن ع ع فرو هف و الثام
. الطر اب
Wahab bin Jarir mengabarkan kepada kami, Syu‟bah
menceritakan kepada kami, dari Abu Tayah, dari Matharrif, dari
Abdullah bin Mughaffal; sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “jika
seekor anjing menjilat sebuah bejana, maka basuhlah bejana tersebut
sebanyak tujuh kali, dan untuk basuhan yang kedelapan gunakanlah debu
dan tanah.5
Hadis di atas menjelaskan bahwasanya jilatan anjing harus dibasuh
sebanyak tujuh kali, dan pada basuhan yang terakhir harus di campur dengan
tanah, dalam anjuran tersebut tersimpan pesan rahasia yang menjadi tanda tanya
terkait jilatan anjing yang harus di bersihkan dengan cara demikian. Seiring
dengan berjalannya waktu, pertanyaan tersebut terjawab melalui penelitian-
penelitian modern, bahwasanya air liur anjing dari jenis apapun berbahaya bagi
manusia. air liur anjing mengandung virus berbentuk pita cair, semakin kecil
ukuran mikroba, ia akan semakin efektif untuk menempel dan melekat pada
dinding sebuah wadah. Dalam hal ini tanah berperan sebagai penyerap mikroba
berikut virus-virusnya yang menempel dengan lembut pada wadah atau bejana.
Persatuan Dokter Kesehatan Anak di Munich-Jerman, mengungkapkan
bahwa air liur anjing mengandung berbagai kuman penyebab penyakit. Bakteri
tersebut dapat masuk dan menyerang organ dalam manusia melalui sistem
terbuka.
5Abdul Syakur Abdur Razak, Sunan Ad-Darimi, jilid 1 (Jakarta: Buku Islam Rahmatan,
tt), 441.
107
Cacing pita yang terdapat pada anjing bentuknya sangat kecil dan tidak
dapat di lihat, cacing-cacing ini tidak dapat tumbuh pada diri manusia dan hewan,
melainkan berupa jerawat-jerawat dan bisul-bisul baru yang satu sama lain sangat
berbeda dengan cacing pita itu sendiri. Bisul yang terdapat pada binatang tidak
lebih dari sebesar apel, akan tetapi bisul pada diri manusia yang di sebabkan
cacing pita besarnya bisa mencapai sebesar kepal tangan atau sebesar kepala anak
kecil yang penuh dengan nanah. Pada awalnya bisul ini menyerang hati manusia,
akan tetapi kemudian pindah pada paru-paru, lengan, limpa dan anggota tubuh
yang lain.6
Melihat fakta-fakta tersebut, maka dapat di jadikan pertimbangan untuk
memperjualbeliaknnya, karna resiko kerugian yang didapatkan lebih banyak
daripada manfaatnya terhadap manusia, terutama dari segi kesehatan. Selain itu
anjing merupakan hewan yang bertaring dan berkuku tajam dan termasuk dalam
kategori binatang buas, walaupun sudah di jinakkan.
Sedangkan dalam mengartikan kucing, disini terdapat dua macam definisi,
yakni kucing yang jinak dan kucing yang liar. Kucing yang jinak adalah kucing
yang terbiasa datang kepada manusia, tidur disekitarnya, dan dapat membersihkan
dan mencegah rumah dari serangan tikus, dan kucing yang liar adalah kucing
yang tidak mempunyai tuan, dan dikhawatirkan dapat mengganggu keselamatan
manusia.7 Selain itu yang dimaksud dengan kucing yang liar adalah kucing yang
memakan burung dan ayam. Akan tetapi saat ini kucing sudah terbiasa makan
6Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram, terj. Tim Penerbit Jabal (Bandung: Jabal,
2012), 116-117. 7Abu > Tayyib Muhammad Syams al-Haq , Aun al-Ma’bu >d, Jilid V (Beirut: Dar al-
Kutub al-„Alamiyah, 1990), 270.
108
berdampingan dengan ayam, artinya saat ini sudah jarang ada kucing yang
memakan ayam yang masih hidup.8
Sejak zaman dahulu, kucing merupakan binatang yang terbiasa berkeliaran
di sekitar manusia, walaupun keberadaannyaa tanpa ada yang mengakui dan
jarang di harapkan akan tetapi kebanyakan manusia dengan senang hati
memberikan makanan terhadapnya, walaupun hanya berupa sisa-sisa makanan.
Kucing termasuk binatang yang malas, maka dari itu tidak bisa hidup tanpa belas
kasih dari manusia, hal tersebut yang menjadi salah satu penyebab kucing selalu
berada di sekitar manusia. adanya kebiasaan kucing yang suka berbaur dengan
manusia ini sehingga Rasulullah memberikan keistimewaan tersendiri
terhadapnya, sebagaimana dalam hadis riwayat Abu > Dawu>d sebagai berikut
عنحيدةبنتعبيد٬عنإمحاقبنعبداهللبناا طلحع٬اخربنامالك٬اخربنااحلكمبنازهبارككعببنمالك٬بنرفاعع كبشعبنت وكانتحتتابنأا لتانة:أنابالتانةنخلعليا٬عن
لالتكبشع:٬حىتش ر ب ت اابولتانةالناء عهل غ ص أ ف ون م بر ش ت فجاءتىرة ٬اوء ضلوو ت ب ك س ف ا ر ف ا نرمولاهللصلعاهللعليووململال:تعجبنييابنتأخع؟للت:نعم.لالفقال:ارظن أ ن
بنجس امناىيمنالطوافنيعليكموالطوافات.٬ا ىاليست
Hakam bin al-Mubarak mengabarkan kepada kami, Malik mengabarkan
kepada kami, dari Ihaq bin Abdullah bin Abu Thalhah, dari Humaidah binti
Ubaid bin Rifa‟ah, dari Kabsyah binti Ka‟ab bin Malik, saat itu iamenjadi istri
Ibnu Abu Qatadah. Suatu hari Abu Qatadah masuk ke dalam rumahnya dan ia
menuangkan air ke bejana tempat wudhu. Setelah itu, datang seekor kucing dan
minum dari bejana tersebut. Melihat hal demikian, Abu Qtadah justru
memiringkan bejana tersebut agar si kucing dapat minum dengan nyaman,
kemudian ia berkata, “Apakah kamu merasa heran wahai keponakanku?” Aku
menjawab, “ya.” Kemudian ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw pernah
8 Subh{i > bin Muhammad Ramadhan dan Ummu Isra‟ binti „Arafah, Fath{ Dhi al-
Jala>li Wa al-Ikra>m, Juz III (Kairo: al-Maktabah al-Islamiyyah, 2006), 501.
109
bersabda, “sesungguhnya kucing tidak najis. Ia adalah hewan yang seringkali
berada di antara (mengitari) kalian.
Pendapat yang diucapkan Abu Qatadah tersebut memberikan
keistimewaan yang tersendiri bagi kucing, karena walaupun kucing termasuk
binatang yang diharamkan untuk dimakan, akan tetapi kucing tidak dihukumi
sebagai binatang yang najis, sehingga adanya larangan dalam kata naha dalam
hadis Abu> Dawu >d, bukan berarti pengharaman terhadap jual beli kucing, akan
tetapi adanya larangan tersebut lebih cenderung pada larangan yang bersifat
makruh tanzih (makruh yang mendekati kebolehan) sebab menjual kucing
bukanlah perbuatan yang menunjukan akhlak baik dan dapat merendahkan
muru‟ah (citra diri), selain itu yang di maksud terlarang dalam hadis di atas adalah
kucing liar yang merugikan dan cenderung menyerang manusia, seperti; macan
tutul, srigala, ceetah. Kucing jenis tersebut di nilai tidak bermanfaat bagi manusia.
Kucing yang bermanfaat adalah kucing yang memakan tikus, tokek, dan
jangkrik. Sebagian kucing, ada yang berada di dekat seorang yang tidur, dan dada
kucing tersebut bersuara dan memiliki gerakan tertentu. Jika ada hewan yang akan
mendekati manusia yang sedang tidur tadi maka, dengan sigap, kucing tersebut
menangkapnya.9
Pernyataan tersebut memberikan gambaran bahwasanya apabila kucing
yang diperjualbelikan merupakan kucing yang bermanfaat dan tidak merugikan
manusia, seperti kucing anggora, persia, dan kucing-kucing rumahan maka
penjualannya sah dan hasil penjualannya halal.
9Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘Ala Zaad Al-
Mustaqni, jilid 8 (tt: Darus Sunnah, tt), 113-114.