BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Administrasi Publikrepository.ub.ac.id/2674/3/BAB II.pdf · Pertama...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Administrasi Publikrepository.ub.ac.id/2674/3/BAB II.pdf · Pertama...
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Administrasi Publik
Penyelenggaraan semua kepentingan publik dan masalah publik (Public
interests and public affairs) yang ada pada suatu negara merupakan ruang lingkup
kegiatan administrasi Publik (Mindarti, 2007: 3). Sebelum melangkah lebih jauh
mengenai definisi Administrasi Publik, sangat penting memahami arti daripada
Administrasi itu sendiri. Siagian (2003: 2-3) berpendapat bahwa administrasi
didefinisikan sebagai keseluruhan proses kerja sama antara dua orang manusia
atau lebih yag didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan sebelumnya. Dari definisi ini sedikitya ada tiga hal yang perlu
dipahami dalam mendalami Administrasi. Pertama Administrasi sebagai seni,
dimana administrasi didefinisikan sebagai suatu proses yang hanya mengetahui
permulaannya, namun tidak diketahui bagaimana akhirnya. Kedua administrasi
memiliki unsur-unsur tertentu, dalam definisi diatas terdapat unsur dua manusia
(aktor) atau lebih, ada tujuan yang hendak dicapai, tugas yang harus dilaksanakan,
serta adanya peralatan dan perlengkapan untuk menjalankan tugas. Ketiga
administrasi dapat dimaknai sebagai suatu proses kerjasama. Kusdi (2009: 8-9)
mengaitkan Administrasi dengan sebuah organisasi, dimana dalam pengelolaan
organisasi merupakan kombinasi aspek administratif dan manajerial. Dalam
organisasi untuk mencapai tujuan terdapat sedikitnya empat tahap, antara lain
Planning, Organizing, Directing, dan Controling. Jika diamati, maka administrasi
14
15
dan manajemen adalah suatu proses yang saling melengkapi. Organisasi
merupakan agen/target dari proses administrasi dan manajemen.
Definisi diatas menguatkan, bahwa lingkup kegiatan administrasi
sangatlah luas. Sebagaimana diungkapkan oleh Simonmons and Dvorin (1977:
204) sebagaimana dikutip oleh Mindarti (2007: 66) Ilmu administrasi bangsa
eropa merupakan konsekuensi dari adanya kebutuhan membentuk sebuah negara
yang kompak dalam keseluruhan bagian yang ada dan kebutuhan membuat bentuk
pemerintahan yang sangat tersentralisasi. Akan tetapi dalam perspektif kehidupan
berbiokrasi, Tjiptoherijanto dan Manurung (2010: 111) dalam bukunya
mengungkapkan bahwa definisi Administrasi Publik yang diusulkan oleh
Woodrow Wilson menekankan adanya perbedaan sisi Politis dan formal
administrasi publik, dimana administrasi publik merupakan proses
operasionalisasi keputusan politik, sehingga Wilson memisahkan antara wilayah
politik dengan wilayah administrasi. Sejalan dengan pemikiran Wilson, White
(1967) yang dikutip oleh Tjiptoherijanto dan Manurung membedakan antara
administrasi dengan sistem administrasi publik. White memiliki kesamaan dengan
Wilson terkait administrasi publik. Menurut White, Administrasi adalah
operasionalisasi kebijakan publik atau keputusan politik, sedangkan, sistem
administrasi publik merupakan kristalisasi secara formal, pengalaman-
pengalaman hidup bermasyarakat.
Ditegaskan oleh Nigro and Nigro (1970) dikutip oleh Mindarti (2007: 4)
administrasi publik adalah suatu proses kerjasama dalam lingkungan
pemerintahan yang meliputi ketiga cabang pemerintahan yaitu legislative,
16
eksekutif, dan yudikatif. Senada dengan Nigro and Nigro, Domock dan Koening
menegaskan bahwa dalam pengertian luas, administrasi publik adalah kegiatan
negara dalam melaksanakan kekuasaan politiknya. Santosa (2012: 47)
mengemukakan, Elemen pokok dalam administrasi publik adalah bahwa setiap
organ pemerintah tanpa memandang tingkatannya, harus melayani urusan publik.
rakyat sebagai pembayar pajak mempunyai hak untuk mengetahui bagaimana
uang negara dipergunakan.
Senada diungkapkan oleh chander dan plano (1988) dikutip oleh Keban
(2008: 3), administrasi public merupakan proses dimana sumberdaya dan personel
publik diorganisir dan dikoordinasikan untuk memfokuskan,
mengimplementasikan dan mengelola keputusan-keputusan dalam kebijakan
publik. Dilanjutkan oleh McCurdy (1986) yang mengemukakan bahwa
administrasi publik dapat dilihat sebagai suatu proses politik sebagai salah satu
metode memerintah Negara dalam melakukan berbagai fungsi Negara. Definisi-
definisi yang telah dikemukakan mematahkan bahwa administrasi publik
merupakan kegiatan ketik-mengetik, ketatausahaan, dan urusan perkantoran
pemerintahan sebagaimana dikenal oleh masyarakat umum. Administrasi publik
lebih dari kegiatan tersebut, merupakan seni dan ilmu yang diinginkan untuk
mengatur kepentingan-kepentingan publik dalam melaksanakan tugas yang sudah
ditetapkan. Selain itu administrasi publik bukan hanya persoalan manajerial
namun mengarah pada pula pada persoalan politik.
Administrasi Publik sebagai sebuah penyelenggaraan pemerintahan
memiliki peran penting dalam tata kelola sistem pemerintahan. Melalui kebijakan-
17
kebijakannya, pemerintah berperan aktif dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara, namun dengan tuntutan pelaksanaan Good Governance, pemerintah
dituntut untuk mengurangi porsi keterlibatan dalam penyelenggaraan pelayanan
Publik. Porsi lebih besar diberikan kepada masyarakat dan sektor privat (swasta).
Namun dalam penyelenggaraannya saat ini, pemerintah tetaplah menjadi aktor
dominan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga pelayanan pubik
dirasa belum begitu maksimal.
B. Desentralisasi
Desentralisasi di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang, berliku-
liku dan diwarnai dengan intrik politik. Dimulai dari Decentralisatie wet tahun
1903 sampai ke Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Desentralisasi dalam arti sempit (devolution) akan berkaitan dengan dua
hal, pertama adanya sub-divisi teritorial dari suatu negara yang mempunyai
ukuran otonomi. Kedua, lembaga-lembaga tersebut akan direkrut secara
demokratis. Berbagai keputusan akan diambil berdasarkan prosedur demokratis
(Smith dikutip oleh Muluk, 2009: 55).
Menurut Lityack dan Seddon, 1999 dan Shah, 1998 dikutip oleh Jaya
(2010: 4), Kebijakan Desentralisasi dan otonomi daerah di negara berkembang
termasuk Indonesia telah menggunakan tiga tipe teori desentralisasi, yaitu
desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal.
Desentralisasi politik merupakan mekanisme dimana pemerintah pusat
memberikan kekuasaannya kepada daerah, yang disebut otonomi daerah.
18
desentralisasi administrasi adalah penyerahan wewenang administratif dari pusat
kepada pemerintah daerah. ada tiga bentuk desentralisasi administrasi, yaitu
dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Sedangkan desentralisasi fiskal merupakan
penambahan tanggungjawab keuangan dan kemampuan pemerintah daerah.
Domai (2011: 15) mengungkapkan “bahwa konsep desentralisasi telah
ditafsirkan berbeda-beda diberbagai negara dan keanekaragaman politik dan
ekonomi serta alasan administratif telah dikemukakan untuk menetapkan prosedur
perencanaan desentralisasi”. Campo dan Sundaram dikutip oleh Wasistiono
(2010: 8) mengemukakan bahwa
in some unitary of system government, subnational entities exercise their
powers by virtue of the ultra vires (beyond the powers) prisciple; their
powers are specially delegated to them by central government, which can
override their decisions. In other unitary systems, local governments
operate under the general competence principle, and are in principle
entitled to exercise all powers that are not reserved to central government.
Dari pendapat diatas, dalam konteks negara dibedakan antara
desentralisasi di negara berbentuk federal dan negara berbentuk kesatuan. Dalam
negara berbentuk federal, negara bagian atau provinsi dapat ada lebih dulu
dibandingkan negara federalnya, yang berakibat pada kekuasaan yang justru
berada pada negara bagaian atau provinsi. Pemerintah federal tidak
diperkenankan mencampuri urusan negara bagian atau provinsi kecuali yang telah
ditetapkan dalam konstitusi negara federal. Pada negara kesatuan pemerintah
daerah atau provinsi merupakan bentukan dari pemerintah pusat sehingga
kekuasaan terdapat pada pemerintah pusat.
19
Dalam konteks hubungan antar pemerintah, dikutip oleh Domai (2011:
15), Rondenelli mengungkapkan:
Desentralisasi berarti pemindahan atau penyerahan perencanaan, membuat
keputusan atau otoritas manajeman dari pemerintah pusat dan
perwakilannya kepada organisasi lapangan, unit-unit pemerintahan yang
lebih rendah, badan hukum publik, penguasa wilayah luas maupun
regional, para ahli fungsional, ataupun kepada organisasi non pemerintah
Pendapat lain menjelaskan, desentralisasi adalah penyerahan sebagian
urusan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk mengurus dan mengatur
daerahnya sendiri (Syafiie,2013: 82). Selain itu, menurut Adisasmita (2011: 19)
menyatakan bahwa Desentralisasi sering dikonotasikan dengan pemberian
Otonomi Daerah (Otoda). Desentralisasi dapat mewarnai dan mewadahi
penyelenggaraan pemerintahan suatu negara dan mencirikan reformasi dan
modernisasi pemerintahannya. Pendapat ini didukung oleh Lionardo (2009: 19)
yang mengungkapkan bahwa “otonomi daerah juga dimaknai sebagai perwujudan
pelaksanaan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang
merupakan penerapan konsep teori areal division of power yang membagi
kekuasaan secara vertikal”.
Argumentasi mengenai desentralisasi pada dasarnya mengarah pada
pembagian urusan-urusan pemerintah pusat atau federal kepada pemerintah
daerah atau lokal untuk mengatur pemerintahannya sesuai dengan kesepakatan
yang telah ditentukan. Sementara itu, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014, konteks pembagian kewenangan terdiri dari urusan wajib, konkuren, dan
pemerintahan umum, dimana telah terdapat pengaturan siapa dan bagaimana
menjalankan kewenangannya. Mengacu pada desentralisasi kewenangan, urusan
20
pemerintahan pilihan yang merupakan bagian dari urusan pemerintahan konkuren
adalah urusan pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah sesuai dengan
potensi yang dimiliki Daerahnya. Sesuai dengan pasal 12 ayat (3), urusan
Pemeintahan Pilihan meliputi kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian,
kehutanan, energy dan sumberdaya mineral, perdagangan, perindustrian, dan
transmigrasi. Urusan-urusan pilihan diberikan kepada daerah untuk meningkatkan
daya saing daerah sesuai dengan potensinya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat local sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
C. Pemerintah Daerah
1. Pengertian
Pembentukan daerah dimaksudkan untuk meningkatkan palayanan
publik untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di
tingkat lokal. Oleh karena itu pembentukan daerah harus memperhatikan
beberapa faktor, antara lain kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas
wilayah, kependudukan, dan pertimbangan dari aspek sosial politik, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan, serta pertimbangan dan syarat lain
yang memungkinkan daerah mewujudkan tujuan pembentukan (Sunarno,
2012: 15). Pembentukan daerah sendiri dapat dilakukan dengan cara
penggabungan atau pemekaran wilayah. Bentuk negara Indonesia adalah
Kesatuan, sehingga pembentukan, penggabungan, penghapusan daerah
dilakukan oleh pemerintah pusat. Pembentukan daerah didasarkan cara
21
delegation bukannya constitutional provision seperti di AS (Muluk, 2009:
194).
Konsep pemerintah daerah dan pemerintahan daerah dapat
dianalogikan dua sisi mata uang, saling berkaitan. Pemerintah sebagai
palaksana sedanagkan pemerintahan sebagai sebuah sistem. Adisasmita
(2011: 16) mengungkapkan:
Pemerintah merupakan lembaga atau institusi yang
menyelenggarakan dan menyeimbangkan antara kebutujan
individu atau masyarakat akan barang dan pelayanan publik.
Pemahaman ini sejalan dengan terminologi ilmu pengetahuan
sosial modern yang mengartikan pemerintah daerah sebagai suatu
sistem yang berfungsi bersama-sama dengan sistem lain dalam
sistem yang lebih besar, dimana semua sistem tersebut berinteraksi
satu sama lain.
Sedangkan Konsep pemerintahan lokal sering diistilahkan dengan
“pemerintahan daerah”. Menurut Manan sebagaimana dikutip oleh
Lionardo (2009: 30) pengertian konsep pemerintahan lokal harus
dijabarkan terdahulu kedalam pengertian pemerintahan daerah sebagai
keseluruhan lingkungan jabatan organisasi. Dalam domain ini, pamaknaan
pemerintahan daerah masih mengandung pengertian jabatan pemerintahan
baik di level eksekutif, jabatan legislatif maupun yudikatif. Disambung
oleh lionardo (2009: 36) yang mengungkapkan bahwa luasnya pengertian
konsep pemerintahan lokal dapat juga dipetakan melalui beragam fungsi
pemerintahan yang dimiliki. Filosopi pemikiran ini adalah good local
governance akan terwujud, jika fungsi pemerintahan dapat dilakukan oleh
pemerintah daerah sesuai dengan fungsi pokok pemerintahan.
22
Muluk (2006: 1) mengungkapkan desentralisasi telah tampil
universal dan diakomodasi dalam berbagai paradigma yang berbeda.
Untuk memahami makna local government (pemerintahan lokal), sangat
perlu menyimak perkembangan perspektif local Government sebagaimana
dipaparkan oleh Smith (1985). Muluk dalam bukunya yang berjudul
Desentralisasi dan Pemerintahan daerah (2006: 1-2) memaparkan bahwa
B.C. Smith mempergunakan judul Decentralization in Theory dan bukan
Theory of Decentralization dalam bab 2 buku Decentralization : the
Territorial Dimention of the State. Hal ini karena bab tersebut memandang
desentralisasi dari sisi normatif dan mempertimbangkan peran sosial.
Diawali bagaimana teori demokrasi liberal yang mendukung desentralisasi
karena mampu memberikan kontribusi positif bagi perkembangan
demokrasi pada dua tingkatan. Pertama, desentralisasi memberikan
kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi nasional karena mampu
mebrikan fasilitas pendidikan politik. Kedua, local government mampu
memberikan masyarakat. Diingatkan oleh Hosein (dikutip oleh Muluk,
2009: 2) Local government dan local autonomy tidak dicerna sebagai
daerah atau pemerintah daerah tetapi merupakan masyarakat setempat.
Hossein dikutip oleh Nurcholis dkk (2010: 1.26-1.27) menjelaskan
bahwa local government dapat mengandung tiga arti. Pertama local
government sebagai pemerintah lokal. Kedua, local government berarti
pemerintahan lokal yang dilakukan oleh pemerintah lokal. Ketiga local
23
government berarti daerah otonom. Nurcholis dkk menggambarkan Local
Govenment sebagai berikut;
Gambar 1: Local government (Nurcholis dkk, 2010: 1.26)
Local government dalam arti pertama merujuk pada
lembaga/organisasinya, yaitu organ/badan/organisasi pemerintah di tingkat
daerah. Sedangkakn local government dalam arti kedua merujuk pada
fungsi/kegiatannya, sama dengan pemerintah daerah, yaitu kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah. Terakhir Local government sebagai
daerah otonom sebagaimana didefinisikan oleh The United Nation Divison
of Publik Administration (dikutip oleh Nurcholis dkk, 2010: 1.27) yaitu
sub-divisi politik nasional yang diatur oleh hukum dan secara subsansial
mempunyai kontrol atas urusan-urusan lokal, termasuk kekuasaan untuk
memungut pajak atau memecat pegawai. Ditambahkan oleh kutipan dari
Harris yang menjelaskan bahwa pemerintahan daerah (self local-
LOCAL
GOVERNMENT
PEMERINTAH
AN DAERAH
PEMERINTAH
DAERAH
DERAH
OTONOM
24
government) adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh badan-badan
daerah yang dipilih secara bebas dengan tetap mengakui supremasi
pemerintahan nasional.
Nurcholis dkk (2010: 1.27) menambahkan bahwa dengan merujuk
pada uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah berhubungan
dengan pemerintahan daerah otonom (self local-government).
Pemerintahan daerah otonom adalah pemerintahan daerah yang badan
pemerintahannya dipilih oleh penduduk setempat dan memiliki
kewenangan untuk mengatur dann mengurus urusannya sendiri
berdasarkan peraturan perundangan dan tetap mengakui supremasi dan
kedaulatan nasional. Sedangkan menurut Domai (2011: 6) “Pemerintahan
daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang
dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu pemerintah daerah dan
Dewan Perwakilan Daerah (DPRD)”. Dihubungkan dengan otonomi
daerah, Sabarno (2008: 3) memaparkan:
secara esensial sebenarnya dalam menyelenggarakan desentralisasi
terdapat dua elemen penting yang saling berkaitan, yaitu
pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan
menangani urusan pemerintahan tertentu yang diserahkan.
Dijelaskan lebih lanjut dalam halaman 4,
Dalam tataran Yuridis-normatif, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 telah menentukan konsep Indonesia
sebagai Eenheidstaat sehingga didalamnya tidak memungkinkan
adanya daerah yang bersifat staat juga. Hal ini berarti pembentukan
daerah otonom di Indonesia diletakkan dalam kerangka
desentralisasi dengan tiga ciri utama, yaitu
25
a. Tidak memilikinya yuridis kedaulatan yang bersifat semu
kepada daerah selayaknya dalam negara bagian pada negara
yang berbentuk federal;
b. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atas
urusan pemerintahan tertentu yang ditetapkan dalam suatu
peratuan perundang-undangan tingkat nasional;
c. Penyerahan urusan tersebut direpresentasikan sebagi bentuk
pengakuan pemerintah pusat pada pemerintah daerah dalam
rangka mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan ciri
khasnya masing-masing.
Uraian diatas semakin menguatkan bahwa pemerintah daerah
dalam sistem Negara Kesatuan akan selalu bergantung pada Pemerintah
pusat dalam beberapa hal. Melalui desentralisasi dan otonomi daerah,
daerah otonom semakin bisa bergerak dengan leluasa dalam
mengembangkan daerahnya sesuai dengan kesepakatan desentralisasi.
Daerah tidak dapat sepenuhnya mandiri, karena dalam beberapa hal
terutama yang berhubungan dengan “Internasional” tetap dikendalikan
oleh pusat, sekalipun daerah dapat melakukan hubungan Internasional.
2. Fungsi Pemerintah Daerah
Anderson dikutip oleh Lionardo (2009: 36) menjelasakan bahwa
pemerintah daerah pada harus mampu menjalankan beberapa fungsi
pemerintahan yang tidak hanya pada tataran normatif, tetapi juga substansi
persoalan yang ada di daerah, antara lain:
1. Penyedia infrastruktur ekonomi. Pemerintah daerah harus
menyediakan lembaga pelaksana beserta peraturannya yang
diperlukan bagi keberlangsungan ekonomi lokal
26
2. Menyediakan layanan barang dan jasa kolektif. Hal ini bertujuan
memenuhi kebutuhan masyarakat (publik and service goods)
3. Mediasi konflik sosial masyarakat. Fungsi ini perlu dijalankan
karena dengan penyelesaian dan meminimalkan konflik akan
menjamin ketertiban dan stabilitas masyarakat
4. Menjaga kompetensi terutama mengenai pengawasan dalam
perdagangan
5. Memelihara Sumber Daya Alam, menyangkut pengelolaan dan
pemanfaatannya
6. Menjamin aksebilitas warga negara dalam mendapatkan barang
dan jasa publik
7. Menjaga stabilitas ekonomi lokal dengan cara melakukan
dinamisasi kebijakan.
Sementara itu, Nurcholis dkk (2010: 8.12) mengungkapkan,
pemerintahan baik pusat maupun daerah mempunyai 3 fungsi
utama, yaitu, (1) memberikan pelayanan/services baik pelayanan
perseorangan maupun pelayanan publik/khalayak, (2) melakukan
pembangunan fasilitas ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi (development for economic growth), dan (3) memberikan
perlindungan/protective masyarakat.
Dilanjutkan dengan penjelasannya, Public services function
berarti pemerintah wajib memberikan pelayanan baik perseorangan
maupun publik. Pemerintah daerah, wajib memberikan pelayanan
perseorangan maupun publik dengan biaya murah, cepat, dan baik,
serta berkeadilan. Fungsi kedua yaitu melakukan pembangunan
27
fasilitas ekonomi sebagai sarana pertumbuhan ekonomi, dengan cara
membangnun semua sektor yang berhubungan /tidak lagsung dengan
kemudahan kegiatan ekonomi. fungsi terakhir adalah memberikan
pelayanan perlindungan masyarakat, yaitu upaya pemerintah daerah
untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat sehingga tercipta
ketertiban, rasa tentram, dan rasa aman pada masyarakat.
Sementara itu, Muluk (2009: 114) berpendapat, fungsi utama
pemerintah daerah adalah dalam pelayanan publik. Peran pemerintah
daerah dalam pelayanan publik dapat tercermin dari penggunaan
instrumen kebijakannya. Secara teoritis peran pemerintah dijabarkan
secara umum, peran dan fungsi pemerintah secara spesifik disebutkan
dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah, dimana di Indonesia Peran
dan Fungsi Pemerintah dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
3. Desentralisasi
Syaffiie (2013: 83-84) menjelaskan bahwa ada tiga asas yang
perlu untuk dijalankan dalam menerapkan otonomi daerah, antara lain
(1) Desentralisasi yaitu, penyerahan sebagian urusan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur
daerahnya sendiri. Berdasarkan asas ini, daerah memiliki hak beserta
kewajiban untuk memaksimalkan potensi daerahnya guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (2) Dekonsentrasi yang
28
pelimpahan wewenang dari aparat pejabat diatasnya. Dalam
menjalankan asas ini, lembaga/instansi/badan/pejabat yang lebih tinggi
memberikan wewenang kepada lembaga/instansi/badan/pejabat
dibawahnya yang ada didaerah; dan (3) Tugas Pembantuan
(medebewind) pemerintah daerah ikut serta mengurus urusan akan
tetapi pertanggungjawaban ada pada pemerintah pusat.
Desentralisasi di Indonesia memiliki sejarah yang cukup
panjang, berliku-liku dan diwarnai dengan intrik politik. Dimulai dari
Decentralisatie wet tahun 1903 sampai ke Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Desentralisasi dalam arti
sempit (devolution) akan berkaitan dengan dua hal, pertama adanya
sub-divisi teritorial dari suati negara yang mempunyai ukuran otonomi.
Kedua, lembaga-lembaga tersebut akan direkrut secara demokratis.
Berbagai keputusan akan diambil dalam berdasarkan prosedur
demokratis (Smith dikutip oleh Muluk, 2009: 55).
Domai (2011: 15) mengungkapkan “bahwa konsep
desentralisasi telah ditafsirkan berbeda-beda diberbagai negara dan
keanekaragaman politik dan ekonomi serta alasan administratif telah
dikemukakan untuk menetapkan prosedur perencanaan desentralisasi”.
Campo dan Sundaram dikutip oleh Wasistiono (2010: 8)
mengemukakan bahwa
in some unitary of system government, subnational entities
exercise their powers by virtue of the ultra vires (beyond the
powers) prisciple; their powers are specially delegated to them
by central government, which can override their decisions. In
29
other unitary systems, local governments operate under the
general competence principle, and are in principle entitled to
exercise all powers that are not reserved to central
government.
Dari pendapat diatas, dalam konteks negara dibedakan antara
desentralisasi di negara berbentuk federal dan negara berbentuk
kesatuan. Dalam negara berbentuk federal, negara bagian atau provinsi
dapat ada lebih dulu dibandingkan negara federalnya, yang berakibat
pada kekuasaan yang justru berada pada negara bagaian atau provinsi.
Pemerintah federal tidak diperkenankan mencampuri urusan negara
bagian atau provinsi kecuali yang telah ditetapkan dalam konstitusi
negara federal. Pada negara kesatuan pemerintah daerah atau provinsi
merupakan bentukan dari pemerintah pusat sehingga kekuasaan
terdapat pada pemerintah pusat.
Argumentasi mengenai desentralisasi pada dasarnya mengarah
pada pembagian urusan-urusan pemerintah pusat atau federal kepada
pemerintah daerah atau lokal untuk mengatur pemerintahannya sesuai
dengan kesepakatan yang telah ditentukan. Sementara itu, dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, konteks pembagian
kewenangan terdiri dari urusan wajib, konkuren, dan pemerintahan
umum, dimana telah terdapat pengaturan siapa dan bagaimana
menjalankan kewenangannya. Mengacu pada desentralisasi
kewenangan, urusan pemerintahan pilihan yang merupakan bagian dari
urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang wajib
30
dilaksanakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki
Daerahnya. Sesuai dengan pasal 12 ayat (3), urusan Pemeintahan
Pilihan meliputi kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian,
kehutanan, energy dan sumberdaya mineral, perdagangan,
perindustrian, dan transmigrasi. Urusan-urusan pilihan diberikan
kepada daerah untuk meningkatkan daya saing daerah sesuai dengan
potensinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat local sesuai
dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
4. Desentralisasi Pariwisata
Sunaryo (2013: 97) mengungkapkan bahwa pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah, khususnya di sektor pariwisata akan
berjalan dengan efektif jika didukung grang strategy sebagai acuan
pelaksanaan kebijakannya. Dalam proses ini dibutuhkan harmonisasi
didaerah dan antar pemerintah daerah, terutama dalam perumusan
kebijakan pelaksanaan program-program pembanguna pariwisata yang
bersifat lintas wilayah dan lintas sektor. Yang menjadi persoalan
penting dan masih menjadi agenda penting untuk mendapatkan
perhatian pihak yang terkait desentralisasi pariwisata adalah
kedudukan kepariwisataan sebagai klaster III dalam struktur
kementrian di Indonesia. Berikut merupakan diagram desentralisasi
pariwisata sebagai sektor pilihan:
31
Bagan 1. Diagram desentralisasi pariwisata
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pasal 12 ayat (3),
menebutkan bahwa sektor pariwisata merupakan urusan pilihan
pemerintah diantara delapan urusan pilihan lain. Daerah diberikan
kewenangan untuk memanfaatkan potensi daerahnya untuk kemajuan
daerahnya. Dengan pemberian kewenangan ini menunjukan adanya
keseriusan pemerintah (pusat) untuk menjalankan otonomi guna
meningkatkan daya saing deaerah dan kesejaheraan masyarakat.
D. Destinasi Pariwisata
1. Pariwisata
Kepariwisataan merupakan salah satu sektor pendorong
pertumbuhan ekonomi negara melalui perolehan devisa, membuka
lowongan usaha dan kerja yang berdampak pada kesejahteraan
masyarakat. Pariwisata berasal dari kata Pari dan Wisata, pari dalam
32
bahasa Indonesia berari Berulang kali, sedangkan wisata secara umum
dapat diartikan sebagai “perjalanan”. The World Tourism Organization
(WTO) dikutip oleh Hakim (2004: 1) mendefinisakan aktivitas Wisata
sebagai kegiatan manusia yang melakukan perjalanan “keluar dari
lingkungan asalnya” untuk tidak lebih dari satu tahun berlibur, berdagang,
atau urusan lainnya. Pitana dan Diarta (2009: 12) mengungkapkan konsep
pariwisata mengandung kata kunci “perjalanan” (tour) yang dilakukan
oleh seseorang, yang melancong demi kesenangan untuk sementara waktu,
bukan untuk menetap atau bekerja.
Muljadi dan Warman (2014: 8) mengutip Mc. Intosh menyatakan
pariwisata adalah: “A composite of activities, services and industries that
delivers a travel experience: transportation, accomodation, eating and
dringking establishment, shop, entertainment, activity, and other
hospitality service available for individuals or group that are away from
home”
Unsur utama pembentuk pengalaman wisatawan adalah berupa
daya tarik wisata dari suatu tempat yang di kunjungi. Definisi lain
mengatakan bahwa pariwisata adalah suatu kegiatan yang berhubungan
dengan perjalanan rekreasi, pelancongan, turisme. Pengkajian
kepariwisataan pada umumnya lebih menekankan pada aspek fisik dan
ekonomis yang dalam perkembangan berikutnya, perhatian terhadap aspek
budaya semakin meningkat. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya
kesadaran bahwa pembangunan kepariwisataan tanpa empertimbangkan
33
aspek sosial budaya secara matang justru akan mendatangkan dampak
buruk terhadap masyarakat (Hadiwijoyo, 2012: 41-42)
Menurut Zaenuri (2012: 58) dalam sistem pariwisata, terdapat
banyak aktor yang berperan, dimana aktor-aktor tersebut adalah pelaku
pariwisata yang ada pada berbagai sektor. Secara umum pelaku pariwisata
dikelompokkan dalam tiga pilar utama, yaitu: (1) masyarakat, (2) swasta,
dan (3) pemerintah.
Bagan 2. Sektor Pariwisata dalam tiga pilar (Pitono dikutip
Zaenuri (2012: 59)
Masyarakat dalam konteks ini adalah masyarakat umum yang
ada pada destinasi sebagai pemilik sah dan berbagai sumberdaya yang
merupakan modal pariwisata, seperti kebudayaan. Sedangkan Swasta
adalah asosiasi usaha pariwisata dan para pengusaha, dan pemerintah
Masyarakat adat, tokoh, LSM
Pendukung, pemilik modal pariwisata
PEMERINTAH - Pusat - Provinsi - Kabupaten/kota
Regulator fasilitator
SWASTA PERHOTELAN BPW TRANSPORTASI 1. Saluran perilaku
konsumen 2. Keputusan membeli
produk 3. Perencanaan 4. pemantauan
Pelaku langsung pelayanan wisata
34
adalah pada wilayah administratif, baik pemerintah pusat, provinsi,
kabupaten/kota dan seterusnya.
Disamping istilah pariwisata, erat kaitannya dengan istilah
wisatawan. Wisatawan menurut Cohen dikutip oleh Ross (1998: 4)
adalah seorang pelancong yang melakukan perjalanan atas kemauan
sendiri untuk sementara saja, dengan harapan mendapat kenikmatan
dari hal-hal baru dan perubahan yang dialami selama dalam perjalanan
yang relatif lama dan tidak berulang. Menurut pendapat Cohen ada
tujuh ciri yang membedakan antara wisatawan dengan orang-orang
lain yang juga berpergian antara lain (1) sementara, (2) sukarela atau
atas kamauan sendiri, (3) perjalanan pulang pergi, (4) relatif lama, (5)
tidak berilang ulang, (6) tidak sebagai alat dan, (7) untuk sesuatu yang
baru dan perubahan.
Prinsip pengelolaan pariwisata yang baik pada intinya adalah
adanya koordinasi dan sinkronisasi program antar pemangku
kepentingan, serta adanya partisipasi aktif dan sinergis antar pemangku
kepentingan. Sunaryo (2013: 77-84) mengungkapkan, secara teoritis
pola manajemen penyelenggaraan pembangunan pariwisata yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan akan mudah dikenali
melalui ciri penyelenggaraan yang berasis prinsip-prinsip berikut:
1) Partisipasi masyarakat
2) Keterlibatan segenap pemangku kepentingan
3) Kemitraan kepemilikkan lokal
35
4) Pemanfaatan sumberdaya secara berlanjut
5) Mengakomodasi aspirasi masyarakat
6) Daya dukung lingkungan
Monitor dan evaluasi program
Pitana dan Diarta (2009: 86-87) mengungkapkan bahwa tujuan
pengelolaan pariwisata adalah untuk menyeimbangkan pertumbuhan
dan pendapatan ekonomi dengan pelayanan kepada wisatawan serta
pelidungan terhadap lingkungan dan pelestarian keberagaman budaya.
Maka diperlukan keterlibatan semua pemangku kepentingan sektor
pariwisata dalam rangka pengintegrasian pengelolaan pariwisata,
pemangku kepentingan tersebut antara lain:
1. Staff dari industri pariwisata
2. Konsumen
3. Investor dan developer
4. Pemerhati dan penggiat lingkungan
5. Pemerhati dan penggiat warisan dan pelestari budaya
6. Masyarakat tuan rumah
7. Pemerintah
8. Pelaku ekonomi lokal dan nasional
Sementara itu, Bramel dan Lane sebagaimana dikutip oleh
Pitana dan Diarta (2009: 87) beberapa manfaat dari adanya pelibatan
semua kelompok kepentingan antara lain:
36
1. Memperkuat perimbangan dari sisi lingkungan, sarana dan
prasarana fisik, serta sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk
menjamin keberlanjutan demi kesejahteraan di masa depan
2. Memungkinkan adanya pendekatan integratif dan holistik dalam
proses pengambilan keputusan
3. Memungkinkan adanya keadilan dalam pendistibusian keuntungan
dan biaya
4. Demokratisasi pengambilan keputusan, memberdayakan partisipan
untuk memperkuat capacity building dan skill acquisition.
2. Pengertian Destinasi Pariwisata
Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi
Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih
wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas
umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling
terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan (Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat (6)). Destinasi merupakan suatu
tempat yang dikunjungi dengan waktu yang signifikan selama perjalanan
seseorang dibandingkan dengan tempat lain yang dilalui selama perjalanan
(Pitana & Diarta, 2009: 126). Lebih lanjut, Kusdianto dikutip oleh Pitana
& Diarta (2009: 126-127), menggolongkan destinasi wisata berdasarkan
ciri-ciri: 1) destinasi sumber daya alam, 2) destinasi sumber daya budaya,
3) fasilitas rekreasi, 4) event, 5) aktivitas spesifik, dan 6) daya tarik
37
psikologis. Secara umum, Destinasi Wisata dikelompokkan menjadi alam,
budaya dan buatan, namun diantara ketiga wisata tersebut terdapat satu
wisata yang memelukan intervensi khusus, yaitu minat khusus, (Zaenuri,
2012: 61) sebagaimana terlihat dalam gambar berikut:
Gambar 2. Destinasi Pariwisata (Edward Inskep dalam Kusworo, dikutip
oleh Zaenuri (2012: 61)
Wisata Alam adalah obyek dan daya tarik wisata yang merupakan
karunia Tuhan, daya tarik wisata diakibatkan oleh dinamika alam dan
diciptakan oleh Tuhan. Sedangkan daya tarik budaya merupakan hasil dari
budi dan daya manusia yang menjadi warisan masyarakat. Selain itu,
terdapat daya tarik buatan yang merupakan hasil kreasi manusia yang
memiliki perbedaan dengan tempat lain dan bersifat kelokalan hanya di
daerah tersebut. Sedangkan wisata Khusus diperlukan prasyarat tertentu,
dan tidak semua orang tertarik atau bisa melakukan wisata minat khusus
Iklim, keindahan alam,
pantai, flora dan fauna,
karakter khas
lingkungan, taman dan
kawasan konservasi
serta kesehatan
bangunan arsitektur,
landscape, benda cagar
budaya, benda
peninggalan sejarah,
kesenian, tradisi,
upacara keagamaan,
adat sistiadat, seni
budaya
heme parks wisata,
kota, resor kota,
Fasilitas pertemuan,
pertokoan, fasilitas
olahraga, hiburan,
clubbing
Daya tarik
alam
Daya tarik
Budaya
Daya tarik
Buatan
Wisata Minat
Khusus
38
ini. Wisata minat khusus bisa berbentuk petualangan dan menguji nyali
setiap wisatawan (Zaenuri, 2012: 62)
3. Pengembangan Pariwisata
Sunaryo (2013) mengungkapkan bahwa dari banyak batasan
pengertian telah diberikan oleh para pakarnya, pada intinya mengandung
tujuan yang sama bahwa kerangka pengembangan Destinasi Pariwisata
paling tidak harus mencakup komponen-komponen berikut:
a. Objek Daya Tarik (Atraction)
Mencakup daya tarik yang berbasis utama pada kekayaan
alam, budaya maupun buatan/artifical. Atraksi merupakan daya
tarik yang akan melahirkan motivasi dan keinginan wisatawan
untuk mengunjungi destinasi wisata.
b. Aksesibilitas (Accebility)
Mencakup dukungan sistem transportasi yang memadai.
Yang dimaksud aksesibilitas wisata dalam hal ini adalah segenap
sarana yang memberikan kemudahan kepada wisatawan mencapai
suatu destinasi maupun tujuan wisata terkait. Aksesibilitas tidak
hanya menyangkut kemudahan transportasi, akan tetapi juga waktu
yang dibutuhkan, tanda petunjuk arah dan perangkat lainnya.
c. Amenitas (Amenities)
Pada hakekatnya amenitas merupakan fasilitas dasar seperti
utilitas, jalan raya, transportasi, akomodasi, pusat informasi
39
pariwisata dan pusat perbelanjaan yang kesemuanya digunakan
untuk mempermudah wisatawan. Berbagai fasilitas yang perlu
dikembangkakn antara lain akomodasi, rumah makan, retail, toko
cinderamata, penukaran mata uang, biro perjalanan, pusat
informasi, dan fasilitas kenyamanan lain.
d. Kelembangaan (Institutions)
Keberadaan dan peran masing-masing unsur dalam
mendukung terlaksananya kegiatan pariwisata termasuk
masyarakat setempat sebagai tuan rumah. Kelembagaan pariwisata
yang disebut juga dengan Destination Management Organization
(DMO) merupakan bentuk otoritas manajemen yang mencakup
keseluruhan fungsi pengelolaan terhadap elemen-elemen
pembentuk destinasi. Aspek pembentuk Destinasi yang dimaksud
antara lain Pengembangan Produk, Pengembangan Pemasaran dan
Pengembagan Lingkungan.
40
Adapun konstruksi sistem destinasi pariwisata sebagai berikut:
Gambar 3. Ilustrasi Konstruksi Sistem
Destinasi Pariwisata (Sunaryo,
2013: 160)
Gambar 4. Ilustrasi konsep destinasi pariwisata
dan jejaring komponen
pendukungnya dalam konteks
keruangan/spasial, sumber; Gunn
dikutip oleh Sunaryo (2013: 160)
4. Perencanaan Destinasi Pariwisata
Sunaryo (2013) mengungkapkan setidaknya terdapar 3 (tiga)
pendekatan yang dapat digunakan perencana dalam membuat Zonasi
41
atau delienasi dalam rangka menetapkan keberadaan Destinasi
Pariwisata, ketiga pendekatan tersebut antara lain
a. Pendekatan Persepsi Pasar (Market Preception)
Aspek pasar memiliki posisi yang sangat strategis
yang akan menjadi dasar pijakan pengembangan produk atau
destinasi pariwisata. salah satu tolok ukur keberhasilan
pengembangan destinasi pariwisata adalah apabila pasar
merespon pengembangan suatu destinasi yang ditunjukkan
dengan tingkat kunjungan wisatawan, lama tinggal
wisatawan dan pembelanjaan wisatawan di destinasi yang
dikunjungi.
b. Pedekatan Lintas Batas (Borderless Tourism)
Konsep pariwisata lintas batas atau tanpa batas
(borderless) merupakan salah satu implikasi dari dampak
globalisasi. Hubungan (interconnection) antar wilayah atau
negara merupakan salah satu isu perubahan yang paling
penting untuk diperhatikan dan harus dijadikan dasar pijakan
utama dalam perencanaan pengembangan destinasi
pariwisata diberbagai tingkatan. Konsep pariwisata lintas
batas atau tanpa batas dapat diterjemahkan sebagai konsep
pengembangan spasial yang lebih operasional dalam program
kemitraan strategis antar wilayah yang berdekatan atau
42
kerjasama lintas batas untuk mengembangkan destinasi
kepariwisataan.
c. Pendekatan Klaster Kepariwisataan
Pada hakekatnya pengertian sebuah Destinasi
Pariwisata yang didalamnya terdapat unsur-unsur produk,
mata rantai pelayanan dan pelakunya (atraksi dan daya tarik,
amenitas, akeseibilitas, dan infrastruktur pendukung serta
masyarakat) sudah mencerminkan adanya konsep klaster
dalam penetapan destinasi pariwisata. pendekatan klaster
dalam pengembangan destinasi pariwisata pada prinsipnya
telah memusatkan perhatian pada penguatan kualitas kinerja
hubungan antar mata rantai usaha yang terkait dengan sistem
pendukung lainnnya sehingga akan meningkatkan afektifitas
dan daya saing kawasan desitinasi tersebut.
Sejalan dengan unsur-unsur pengembangan desinasi
pariwisata, menurut Carter dan Fabricius sebagaimana
dikutip Sunaryo (2013), berbagai elemen dasar yang harus
diperhatikan dalam perencanaan pengembangan sebuah
destinasi pariwisata, paling tidak mencakup aspek-aspek
berikut
- Pengembangan Atraksi dan Daya Tarik Wisatawan
- Pengembangan Amenitas dan Akomodasi Wisata
- Pengembangan Aksesibilitas
43
- Pengembangan Image (Citra Wisata)
E. Ekowisata
Ekowisata merupakan bentuk kegiatan wisata khusus, yang
diposisikan sebagai lawan Wisata Massal (Mass Tourism). Berbeda dengan
wisata konvensional, ekowisata menitik beratkan tehadap kelestarian
sumberdaya pariwisata. Domanik & Weber mengutip TIES (2006: 36)
mengartikan Ekowisata sebagai perjalanan wisata alam yang
bertanggungjawab dengan cara mengonservasi lingkungan dan
meningkatkan kesejahteraan mesyarakat lokal. Ekowisata dalam hal ini
diartikan dalam 3 (tiga) perspektif, pertama ekowisata sebagai produk,
kedua ekowisata sebagai pasar, dan ketiga ekowisata sebagai pendekatan
pengembangan. Didukug oleh beberapa pakar, antara lain Paul. B. Sherman
dan John A. Dixon (1991), Lindberg (1989), Van^t Hof (1989) dikutip oleh
Sunaryo (2013: 48) salah satu prinsip penting yang dituntut untuk selalu
konsisten dilaksanakan oleh model pengembangan ekowisata adalah adanya
kebijakan memungut sejumlah prosentase dari pendapatan yang diperoleh
dari industri pariwisata yang harus dikembalikan lagi kepada lingkungan
yang perlu untuk dilestarikan, termasuk untuk peningkatan kesejahteraan
sosial-ekonomi dan budaya masyarakat disekitarnya.
Nugroho (2011: 15) berpendapat bahwa Ekowisata adalah sebagian
dari sustainable tourism, dimana sustainable tourism adalah sektor ekonomi
yang lebih luas dari ekowisata yang mencakup sektor-sektor pendukung
kegiatan wisata secara umum, meliputi wisata bahari (beach and sun
44
tourism), wisata pedesaan (rural and agro tourism), wisata alam (natural
tourism), wisata budaya (cultural tourism), atau perjalanan bisnis (business
travel). Didukung dengan kutipan dari Quebec (hasil temuan anggota TIES),
ekowisata adalah sustainable tourism yang secara spesifik memuat upaya-
upaya:
a. Kontribusi aktif dalam konservasi alam dan budaya
b. Partisipasi penduduk lokal dalam perencanaan, pembangunan
dan operasional kegiatan wisata serta menikmati kesejahteraan
c. Transfer pengetahuan tentang warisan budaya dan alam kepada
pengunjung
d. Bentuk wisata independen atau kelompok berukuran kecil
Pengembangan Destinasi Pariwisata berbasis Ekowisata sedikitnya
melibatkan 7 unsur yang saling berkaitan, antara lain
b. Edukasi (Education)
c. Konservasi (Conservation)
d. Apresiasi (Appresiation)
e. Sustainable
f. Enjoying
g. Kesejahteraan masyarakat lokal
F. Penelitian Terdahulu
Penelitian oleh Sriyani Andayani (2012) dengan Judul
Pengembangan Kawasan Wisata Balekambang Kabupaten Malang secara
45
umum membahas karakteristik Pantai Balekambang, potensi dan masalah
serta menyusun strategi pengembangan kawasan wisata Pantai
Balekambang. Dalam penelitian ini diprediksi adanya peningkatan
pengunjung rata-rata 8,4% per tahun, yang pada Tahun 2016 diprediksi akan
mencapai 386.052 pengunjung dan pada 2021 sebanyak 534.504
pengunjung. Penemuan lain adalah adanya permasalahan yang dimiliki
antara lain kurangnya kebersihan, pencemaran lingkungan, sulitnya
aksesibilitas, belum adanya keterkaitan dengan objek lain, keterbatasan jenis
atraksi pariwisata, kurangnya sarana dan prasarana wisata, ketidakteraturan
PKL, belum optimalnya tingkat pelayanan, belum adanya usaha promosi,
persaingan pariwisata, dan pengelolaan wisata yang kurang baik. Selain itu
pada penelitian ini dibuktikan pengembangan kawasan wisata pantai
balekambang menggunakan konsep Rapid Growh Strategy dengan prioritas
pada penambahan jenis antraksi budaya, meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam menjaga kualitas dan kuantitas lingkungan,
meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana penunjang
pariwisata, pemanfaatan Jalur Lintas Selatan dan letak strategis kawasan
pantai Balekambang.
Penelitian ini terdapat beberapa ketidaksesuaikan yang
menginspirasi penulis untuk melakukan penelitian. Antara lain:
1. Prediksi yang menyatakan pengunjung pada tahun 2016 akan
386.052 pengunjung dan pada 2021 sebanyak 534.504
pengunjung terbantahkan. Karena Pantai Balekambang telah
46
berkembang lebih cepat dari prediksi, yaitu 526.692 pengunjung
pada 2016, melebihi ekspektasi peneliti.
2. Konsep Rapid Growh Strategy mengabaikan adanya potensi
wisata lain sebagai suatu kesatuan, sehingga akan menimbulkan
persaingan pengembangan yang akan berdampak pada
kesenjangan kunjungan wisata.