BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengantar 2.2 Teori Keagenanrepository.ub.ac.id/107466/3/BAB_II.pdf ·...

31
10 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengantar Dalam bab ini akan menguraikan teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, kerangka konseptual penelitian, penelitian sebelumnya terkait dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitan serta pengembangan hipotesis. 2.2 Teori Keagenan Teori keagenan dipopulerkan oleh Michael C. Jensen dan William H. Meckling pada tahun 1967 dimana dasar teori keagenan ini merupakan hubungan antara pihak yang mendelegasikan wewenang (principal) dan pihak yang bertanggung jawab atas wewenang tersebut (agent). Teori ini dikembangkan dengan pendekatan teori akuntansi positif, dimana asumsi dasar yang digunakan adalah setiap individu dalam melakukan suatu tindakan didasarkan semata-mata pada kepentingan pribadi. Menurut Jensen dan Meckling (1976), pendelegasian prinsipal terhadap agen berkaitan dengan pengambilan keputusan. Dalam teori keagenan, perusahaan memiliki sekumpulan kontrak antara manajer perusahaan dengan pemegang saham. Prinsipal atau pemilik perusahaan mendelegasikan tanggung jawab kepada manajemen yang berperan sebagai agen dalam mengelola perusahaan. Manajer perusahaan yang didelegasikan tersebut memiliki tanggung jawab dalam mengelola perusahaan dan bertanggung jawab kepada prinsipal untuk menyediakan laporan keuangan perusahaan.

Transcript of BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengantar 2.2 Teori Keagenanrepository.ub.ac.id/107466/3/BAB_II.pdf ·...

  • 10

    BAB II

    KAJIAN TEORI

    2.1 Pengantar

    Dalam bab ini akan menguraikan teori yang digunakan sebagai landasan

    dalam penelitian, kerangka konseptual penelitian, penelitian sebelumnya terkait

    dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitan serta pengembangan

    hipotesis.

    2.2 Teori Keagenan

    Teori keagenan dipopulerkan oleh Michael C. Jensen dan William H.

    Meckling pada tahun 1967 dimana dasar teori keagenan ini merupakan hubungan

    antara pihak yang mendelegasikan wewenang (principal) dan pihak yang

    bertanggung jawab atas wewenang tersebut (agent). Teori ini dikembangkan

    dengan pendekatan teori akuntansi positif, dimana asumsi dasar yang digunakan

    adalah setiap individu dalam melakukan suatu tindakan didasarkan semata-mata

    pada kepentingan pribadi. Menurut Jensen dan Meckling (1976), pendelegasian

    prinsipal terhadap agen berkaitan dengan pengambilan keputusan. Dalam teori

    keagenan, perusahaan memiliki sekumpulan kontrak antara manajer perusahaan

    dengan pemegang saham. Prinsipal atau pemilik perusahaan mendelegasikan

    tanggung jawab kepada manajemen yang berperan sebagai agen dalam mengelola

    perusahaan. Manajer perusahaan yang didelegasikan tersebut memiliki tanggung

    jawab dalam mengelola perusahaan dan bertanggung jawab kepada prinsipal

    untuk menyediakan laporan keuangan perusahaan.

  • 11

    Hubungan keagenan ini memiliki potensi untuk memunculkan suatu

    konflik atau masalah antar kedua belah pihak tersebut. Weston dan Copelan

    (1997) mendefinisikan konflik keagenan merupakan divergensi kepentingan yang

    timbul diantara prinsipal dan agen. Permasalahan tersebut dikarenakan adanya

    kepentingan yang saling bertentangan antar keduanya terkait dengan informasi

    asimetri. Hubungan baik antara prinsipal dan agen dianggap sukar terjadi karena

    masing-masing pihak cenderung untuk berperilaku mementingkan dirinya sendiri

    (self-interest). Pemilik perusahaan menginginkan manajer untuk mengelola

    perusahaan sebaik-baiknya untuk keuntungan pemilik perusahaan. Disamping itu,

    manajer juga memiliki cenderung untuk tidak mengungkapkan seluruh informasi

    yang dimiliki kepada para pemilik perusahaan atau stakeholdernya. Kondisi ini

    dapat memicu terjadinya informasi asimetris karena pihak manajemen (agent)

    memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan pemilik perusahaan

    (principal). Dengan menggunakan asumsi bahwa setiap individu dalam bertindak

    untuk memaksimalkan kepentingan sendiri, maka manajer dengan informasi

    asimetri yang dimilikinya cenderung untuk tidak mengungkapkan informasi yang

    tidak diketahui oleh pihak prinsipal (Putri & Nasir, 2006). Informasi asimetris

    dapat memberikan celah kepada manajer untuk dapat mempengaruhi angka-angka

    akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan.

    Terkait dengan asumsi atas sifat dasar manusia, Eisenhardt (1989) telah

    mencoba untuk menjelaskan asumsi sifat dasar manusia yang digunakan sebagai

    dasar dalam pengembangan teori keagenan yaitu :

  • 12

    1. Setiap individu dalam melakukan tindakan atau keputusan dengan tujuan

    untuk memaksimalkan kepentingan pribadi (self-interest),

    2. Individu memiliki daya pikir yang terbatas mengenai persepsi di masa

    yang akan datang (bounded-rationality), dan

    3. Individu cenderung untuk menghidari risiko (risk averse).

    Berdasarkan dari ketiga asumsi sifat dasar tersebut, manager selaku agen

    cenderung untuk bersikap oportunistik dalam memanfaatkan informasi asimetri

    yang ada demi memaksimalkan kepentingan pribadinya.

    Konflik keagenan terus mengalami perkembangan karena adanya

    perbedaan dalam mengendalikan perusahaan. Konflik keagenan antara lain:

    1. Konflik antara Pemegang Saham dengan Manajemen.

    Konflik yang terjadi antara pemegang saham dengan manajemen terkait

    dengan aktivitas pengambilan keputusan pendanaan (financing decision)

    dan pengambilan keputusan terkait dengan pengalokasian dana

    (allocating decision). Dalam kondisi ini, manajemen cenderung untuk

    bertindak atas dasar kepentingan pribadinya atau dengan kata lain sudah

    tidak didasarkan pada maksimalisasi nilai dalam pengambilan keputusan

    pendanaan (Jensen & Meckling, 1976).

    2. Konflik antara Pemegang Saham dengan Kreditur.

    Konflik yang terjadi antara pemegang saham dengan kreditur terkait

    dengan pelunasan hutang dan bunga pinjaman. Konflik ini biasanya

    terjadi pada perusahaan dalam struktur kepemilikan yang terkonsentrasi.

  • 13

    Dalam struktur kepemilikan perusahaan terkonsentrasi, maka pemegang

    saham memiliki intervensi dalam mengendalikan perusahaan. Dengan

    kata lain, pemegang saham sekaligus sebagai manajer perusahaan.

    Villalonga dan Amit (2006) menyatakan bahwa pemegang saham

    mayoritas dapat memanfaatkan posisi pengendali pada sebuah perusahaan

    untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang hal ini dibebankan kepada

    pemegang saham minoritas. Konflik keagenan tipe ini cenderung terjadi

    pada perusahaan dengan kepemilikan individual atau keluarga (family

    ownership). Sehingga hal ini sangat memungkinkan untuk terjadi praktik

    ekspropriasi dan monitoring dalam perusahaan tersebut.

    3. Konflik antara Pemegang Saham, Manajer dan Kreditur

    Dalam lingkungan usaha yang tidak stabil, seringkali perusahaan

    mengalami kesulitan keuangan (financial distress). Dalam kondisi

    perusahaan yang cenderung untuk mengalami kebangkrutan, manajer

    sebaiknya segera membuat keputusan terkait keberlangsungan

    perusahaan. Keputusan tersebut misalnya melakukan likuidasi perusahaan

    dengan cara menjual segala aset yang dimiliki oleh perusahaan tersebut,

    atau dengan melakukan reorganisasi untuk mempertahankan kedudukan

    perusahaan. Kondisi yang seperti ini mendorong munculnya konflik yang

    melibatkan para pemegang saham dengan manajer atau para kreditur, dan

    juga keduanya. Karena terdapat pihak berpendapat bahwa perusahaan

    yang sedang berada diambang kebangkrutan akan lebih bernilai jika

  • 14

    perusahaan tersebut dilikuidasi daripada perusahaan melakukan

    reorganisasi.

    Konflik keagenan tersebut dapat diminimalisasi dengan melakukan

    monitoring yang tentunya aktivitas tersebut memerlukan biaya tambahan yang

    disebut sebagai biaya keagenan. Biaya keagenan merupakan biaya yang

    dikeluarkan prinsipal dalam menentukan kontrak dengan agen guna

    mengorganisasikan kepemilikan perusahaan yang bersangkutan dengan tujuan

    menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen (Weston & Copeland, 1997).

    Biaya keagenan ini muncul karena pihak agen mengambil keputusan yang kurang

    tepat dalam sudut pandang prinsipal. Menurut Jensen dan Meckling, biaya

    keagenan ini merupakan penjumlahan biaya-biaya antara lain:

    1. The monitoring expenditures by the principal: yaitu biaya yang

    dikeluarkan oleh prinsipal terkait dengan melakukan pengawasan dan

    pengendalian terhadap tindakan agen dalam mengelola perusahaan.

    2. The bonding expenditures by the agent: yaitu biaya yang dikeluarkan oleh

    agen untuk memberikan jaminan kepada prinsipal bahwa tindakan yang

    dilakukan agen tidak merugikan prinsipal.

    3. The residual loss: penurunan utilitas baik agen maupun principal yang

    terikat dalam hubungan agensi.

    Selain dari ketiga kegiatan yang membentuk biaya keagenan tersebut,

    masih ada tindakan lain misalnya pengeluaran insentif atau bonus sebagai

    kompensasi yang diberikan kepada manajemen atas prestasi yang konsisten dalam

  • 15

    memaksimalkan pencapaian nilai perusahaan (Irfan, 2002) dan biaya untuk

    kontrak loyalitas (fidelity bond) yaitu kontrak antara perusahaan dengan pihak

    ketiga dimana pihak ketiga tersebut setuju untuk membayar kepada perusahaan

    apabila manajer bertindak secara tidak jujur sehingga merugikan perusahaan.

    Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa terdapat tida unsur

    tambahan yang dilakukan oleh agen dalam membatasi perilaku menyimpangnya,

    yaitu:

    1) Adanya pasar tenaga manajerial yang dapat meminimalisasi kesempatan

    pengelola yang berkinerja buruk dan berperilaku menyimpang dari

    keinginan pemegang saham yang dikelolanya.

    2) Adanya pasar modal yang dapat menjadi cermin kinerja manajer melalui

    harga saham perusahaan.

    3) Adanya market fot corporate control yang dapat menghambat tindakan

    menguntungkan diri pengelola sendiri dalam hal menghentikan pengelola

    dari jabatannya jika perusahaan yang dikelolanya memiliki kinerja rendah

    yang memungkinkan pemegang saham baru menggantikannya dengan

    pengelola lain setelah diambil alih.

    Transaksi pihak berelasi (RPT) merupakan transaksi yang bersifat

    opportunis yang dapat memicu terjadinya konflik kepentingan yang konsisten

    dengan teori keagenan seperti yang diungkapkan oleh Jensen dan Meckling

    (1976). Konflik keagenan yang terjadi antara manajer dengan pemegang saham

    yaitu bahwa kecenderungan manajer untuk secara tepat mengelola sumber daya

  • 16

    perusahaan untuk kepentingan pribadi, misalnya tambahan peghasilan atau

    keuntungan lain. Oleh karena itu, transaksi dengan pihak istimewa menyajikan

    potensi pengambilalihan (ekspropriasi) sumber daya perusahaan (Jensen dan

    Meckling, 1976).

    2.2.1 Struktur Kepemilikan Ultimat Terhadap Ekspropriasi

    Terdapat tiga penelitian yang telah dilakukan terkait dengan struktur

    kepemilikan yaitu penelitian yang dilakukan oleh Porta, Silanes dan Shleifer

    (1999), Claessens, Djankov dan Lang (2000) dan penelitian yang dilakukan oleh

    Faccio dan Lang (2002). Ketiga penelitian tersebut menggunakan pisah batas hak

    kontrol dalam menguji struktur kepemilikan. Hak kontrol adalah hak suara untuk

    dapat ikut serta dalam menentukan kebijkan perusahaan (Porta, et al., 1999). Dari

    ketiga penelitian tersebut mengindikasikan struktur kepemilikan terkonsentrasi

    hampir terjadi pada seluruh negara di dunia kecuali Amerika Serikat, Inggris dan

    Jepang.

    Konsentrasi kepemilikan menyebabkan adanya pemegang saham besar

    yang mengendalikan perusahaan yang disebut sebagai pemegang saham

    pengendali. Pemegang saham pengendali diklasikasifikasikan ke dalam lima

    kategori yaitu 1) keluarga, 2) pemerintah, 3) institusi keuangan dengan

    kepemilikan luas, 4) perusahaan dengan kepemilikan luas dan 5) pemegang saham

    pengendali lainnya (misalnya investor asing) (Claessens, et al., 2000; Faccio &

    Lang, 2002; Porta, et al., 1999).

    Mekanisme yang pada umumnya dilakukan oleh pemegang saham

    pengendali dalam mengendalikan perusahaan lain ada dua, yaitu kepemilikan

  • 17

    piramida (pyramidal ownership) dan kepemilikan lintas perusahaan (cross-

    holding company). Kepemilikan piramida adalah kepemilikan secara tidak

    langsung terhadap suatu perusahaan melalui perusahaan lain, baik melalui

    perusahaan publik maupun non-publik. Struktur kepemilikan piramida banyak

    dianut oleh negara-negara berkembang (Porta, et al., 1999). Dengan pisah batas

    hak kontrol 20%, Porta, et al., (1999) menemukan bahwa struktur kepemilikan

    piramida paling tinggi terjadi di Belgia (79%), Israel dan Swedia (53%).

    Claessens, et al., (2000) dengan tingkat pisah batas hak kontrol yang sama

    mengindikasikan bahwa negara dengan struktur kepemilikan tertinggi adalah

    Indonesia (67%) dan Singapura (55%). Kawasan Eropa, struktur kepemilikan

    piramida paling tinggi di negara Norwegia (34%) dan Belgia (25%) (Faccio &

    Lang, 2002). Lintas kepemilikan adalah kepemilikan pemegang saham pengendali

    terhadap dua atau lebih perusahaan yang saling memiliki antara yang satu dengan

    yang lainnya. Dengan menggunakan pisah batas hak kontrol 20%, Porta, et al.,

    (1999) menyatakan 3% perusahaan publik adalah perusahaan lintas kepemilikan.

    Simpulan penelitian Claessens, et al., (2000) dan Faccio dan Lang (2002)

    menyatakan 10% perusahaan publik di Asia dan 1% perusahaan publik di Eropa

    adalah perusahaan lintas kepemilikan.

    Struktur kepemilikan ultimat, baik kepemilikan piramida atau lintas

    kepemilikan, dapat memicu terjadinya konflik kepentingan antara pemegang

    saham pengendali dan pemegang saham minoritas. Pemegang saham pengendali

    mampu untuk mengendalikan hak aliran kas, hal ini dapat terjadi karena

    pemegang saham pengendali juga turut serta dalam mengendalikan perusahaan

  • 18

    secara langsung. Dampaknya adalah pemegang saham pengendali tidak segan

    untuk melakukan praktik ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas.

    Struktur kepemilikan terkonsentrasi merupakan konsekuensi atas lemahnya

    perlindungan terhadap pemegang saham minoritas (Porta, et al., 1999).

    Ekspropriasi merupakan suatu proses pemanfaatan hak kontrol untuk

    memaksimalkan kesejahteraan suatu individu dengan melakukan distribusi

    kekayaan dari pihak lain. Cara yang dapat dilakukan dalam praktik ekspropriasi

    misalnya pemegang saham pengendali berusaha untuk memperkaya dirinya

    sendiri dengan tidak membayarkan deviden kepada pemegang saham minoritas,

    mentransfer keuntungan ke perusahaan lain yang juga berada dibawah kendalinya

    (Claessens, Djankov, Fan, & Lang, 1999a) dan juga melakukan transaksi

    penjualan dan pembelian dengan pihak berelasi. Terdapat beberapa kebijakan

    yang dapat memicu ekspropriasi misalnya kebijakan operasi perusahaan (gaji,

    tunjangan yang tinggi, bonus dan kompensasi yang besar, dana pension yang

    tinggi dan tidak membagikan deviden), kebijakan kontraktual antar perusahaan

    (harga transfer yang lebih murah pada perusahaan sepengendali, penjualan aktiva

    yang lebih murah daripada harga pasar kepada perusahaan sepengendali),

    kebijakan freezing out (menjual saham perusahaan kepada pihak lain yang masih

    terkait dengan pemegang saham pengendali dengan harga dibawah harga pasar).

    Claessens, et al., (1999a) melakukan penelitian terhadap perusahaan di

    Asia Timur yang rawan terhadap praktik ekspropriasi dengan mengukur dampak

    pemisahan hak aliran kas dan hak kontrol. Hasil penelitian menunjukkan hak

    aliran kas oleh perusahaan kepemilikan terkonsentrasi lebih tinggi daripada

  • 19

    perusahaan dengan kepemilikan tersebar. Hal ini mengindikasikan terjadinya

    praktik ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas. Penelitian yang

    dilakukan oleh Cheung, Rau & Stouraitis (2006) dan Cheung, Jing, Lu, Rau &

    Stouraitis (2009) juga melakukan investigasi terhadap praktik ekspropriasi melalui

    transaksi dengan pihak terkait. Cheung, Rau & Stouraitis (2006) menginvestigasi

    tipe transaksi antar pihak terkait yang mengindikasikan adanya ekspropriasi

    terhadap pemegang saham minoritas pada perusahaan publik di Hongkong.

    Penelitian lain yang dilakukan oleh Cheung, Jing, Lu, Rau & Stouraitis (2009)

    menginvestigasi praktik ekspropriasi melalui tunneling pada perusahaan publik di

    China. Tunneling merupakan suatu kondisi pada saat perusahaan menerima kas

    atau pinjaman dari pihak terkait atau dari pemegang saham pengendali. Misalnya,

    jika perusahaan melakukan akuisisi aset, barang atau jasa dari pihak terkait

    dengan haga dibawah harga pasar, maka transaksi ini dapat mengindikasikan

    tunneling (Cheung, et al., 2009). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

    tunneling lebih sering dilakukan oleh perusahaan publik di China disertai dengan

    minimalisasi pengungkapan informasi terkait dengan transaksi antar pihak terkait.

    Tunneling adalah pengalihan keluar atas aset dan keuntungan dari perusahaan

    anak untuk kepentingan perusahaan induk atau sebelaiknya dengan tujuan

    memberikan keuntungan bagi pemegang saham pengendali (Johnson, Porta,

    Lopez-de-silanes, & Shleifer, 2000). Terdapat dua bentuk tunneling yaitu:

    1) Pemegang saham pengendali memindahkan sumber daya perusahaan

    untuk kepentingan sendiri melalui transaksi pihak istimewa yang dapat

    diatur sedemikian rupa atau dengan self-dealing transaction. Transaksi

  • 20

    yang dilakukan dengan self-dealing termasuk dalam tindakan pencurian

    atau kecurangan sehingga transaksi tersebut tidak dapat terdeteksi.

    Transaksi tersebut dalam bentuk penjualan aset maupun kesepakatan

    penjualan misalnya harga transfer yang hanya memberikan manfaat pada

    pemegang saham pengendali, meningkatkan kompensasi manajer,

    penjaminan hutang, peluang dilakukannya ekspropriasi dan sebagainya.

    2) Pemegang saham pengendali dapat meningkatkan porsi sahamnya tanpa

    memberikan kontribusi aset apapun bagi perusahaan melalui saham

    dilutif, pembatasan terhadap pemegang saham non-pengendali atau

    transaksi lain yang dapat merugikan pemegang saham non-pengendali.

    2.2.2 Teori Keagenan dan Transaksi Antar Pihak Terkait

    Berdasarkan PSAK No.7 (Revisi 2009) mengenai “Pengungkapan Pihak-

    Pihak yang memiliki Hubungan Istimewa”, pihak-pihak yang memiliki hubungan

    istimewa adalah orang atau entitas yang terkait dengan entitas tertentu dalam

    menyiapkan laporan keuangannya (dalam pernyataan ini dirujuk sebagai “entitas

    pelapor”). Transaksi yang mempunyai hubungan istimewa adalah suatu

    pengalihan sumber daya, jasa arau kewajiban antara entitas pelapor dengan pihak-

    pihak yang memiliki hubungan istimewa, terlepas apakah ada harga yang

    dibebankan.

    Berikut ini contoh situasi transaksi antara pihak yang memiliki hubungan

    istimewa dan memerlukan pengungkapan:

    a) Pembelian atau penjualan barang (barang jadi atau setengah jadi),

    b) Pembelian atau penjualan property dan aset lainnya,

  • 21

    c) Menyediakan atau menerima jasa,

    d) Sewa,

    e) Pengalihan penelitian dan pengembangan,

    f) Pengalihan di bawah perjanjian lisensi,

    g) Pengalihan di bawah perjanjian pembiayaan (termasuk pinjaman dan

    kontribusi ekuitas dalam bentuk tunai arau dalam bentuk natura),

    h) Provisi atas jaminan atau agunan,

    i) Komitmen untuk berbuat sesuatu jika peristiwa khusus terjadi atau tidak

    terjadi dimasa depan, dan

    j) Penyelesaian liabilitas atas nama entitas atau pihak yang memiliki

    hubungan istimewa.

    Transaksi antar pihak berelasi adalah transaksi yang dilakukan antara

    perusahaan dengan insiders-nya atau afiliasinya (Chhaochharia & Grinstein,

    2007). Transaksi antar pihak terkait merupakan salah mekanisme potensial bagi

    pihak intern perusahaan untuk melakukan tindakan ekspropriasi terhadap

    pemegang saham minoritas melalui pengambilan keputusan secara sepihak (self-

    dealing). Transaksi antar pihak terkait (RPT) dapat terjadi dikarenakan adanya

    kontrak yang dilakukan antara direktur dengan pemegang saham mayoritas atau

    perusahaan lain yang masih dalam hubugan afiliasi. Sehingga pihak tersebut

    memiliki pengaruh terhadap transaksi untuk memaksimalkan kekayaan pribadi.

    Transaksi antar pihak terkait ini dinilai merugikan pihak pemegang saham

    minoritas. Namun tidak semua RPT mengindikasikan praktik ekspropriasi. Bagi

    beberapa pihak ada yang berpendapat bahwa RPT merupakan tindakan yang

  • 22

    membahayakan pemegang saham minoritas, tetapi bagi pihak tertentu RPT

    memberikan beberapa manfaat (Ryngaert & Thomas, 2007).

    Transaksi dengan pihak terkait umumnya dilakukan oleh direksi atau

    pemegang saham pengendali dengan pihak terkait diantara mereka sendiri dengan

    menggunakan wewenangnya dalam mempengaruhi kondisi transaksi agar sesuai

    dengan tujuan pribadi. Transaksi seperti ini juga akan memberikan perluang pada

    pemegang saham pengendali untuk mengambil alih kekayaan pemegang saham

    non-pengendali (tunneling) yang secara langsung mengeskpropriasi pemegang

    saham nonpengendali. Transaksi tersebut dilakukan antara lain melalui keputusan

    untuk membeli aset diatas harga pasar meskipun tidak ada nilai tambah strategis

    bagi operasi perusahaan (E. A. Gordon & Henry, 2005). Dengan demikian,

    transaksi antar pihak terkait dapat menyebabkan penyimpangan kegiatan

    perusahaan yang menghambat upaya memaksimalkan kesejahteraan pemegang

    saham non-pengendali.

    Ryngaert & Thomas (2007) mengklasifikasikan transaksi pihak berelasi

    menjadi dua berdasarkan waktu pelaksanaanya, yaitu transaksi ex-ante dan

    transaksi ex-post. Transaksi ex-ante didefinisikan sebagai transaksi yang terjadi

    ketika suatu perusahaan melakukan transaksi dengan pihak terafiliasi sebelum

    perusahaan tersebut terdaftar di bursa saham atau dengan kata lain belum menjadi

    perusahaan publik atau pihak teafiliasi tersebut belum sah menjadi pihak terkait

    perusahaan. Transaksi ex-post adalah transaksi yang dilakukan setelah perusahaan

    terdaftar sebagai perusahaan publik dan pihak lain telah sah sebagai pihak terkait

    dengan perusahaan. Transaksi ex-post berhubungan negatif terhadap kekayaan

  • 23

    pemegang saham dan kinerja perusahaan. Sehingga transasksi ex-post merupakan

    transaksi yang cenderung membahayakan bagi pemegang saham minoritas. Baik

    transaksi ex-ante maupun ex-post secara signifikan berpengaruh positif terhadap

    kesulitan keuangan perusahaan.

    Transaksi pihak berelasi dapat menyebabkan penyimpangan kegiatan

    perusahaan sehingga dapat menghambat upaya memaksimalkan kesejahteraan

    para pemegang saham non-pengendali (Dyanty, Utama, Rossieta, & Veronica,

    2012). Transaksi pihak berelasi yang merugikan dapat dipandang sesuai dengan

    hipotesis konflik kepentingan yang merupakan salah satu dari konflik dari teori

    keagenan (E. A. Gordon & Henry, 2005). Selain itu juga transaksi antar pihak

    berelasi memiliki dua hipotesis yang bertolak belakang, yaitu transaksi pihak

    berelasi sebagai transaksi oportunis atau sebagai transaksi yang efisien (A. E.

    Gordon, Henry, & Palia, 2004). Sebagai transaksi yang oportunis, transaksi yang

    dilakukan antar pihak berelasi menyebabkan benturan kepentingan yang konsisten

    dengan teori keagenan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Berle dan Means

    (1932) dan Jensen dan Meckling (1976). Transaksi pihak berelasi dapat digunakan

    sebagai alat untuk mengekspropriasi sumber daya perusahaan. Disisi lain,

    transaksi pihak berelasi dipandang sebagai transaksi efisiensi, dimana konsep ini

    dikembangkan oleh Coase (1937) dan Williamson (1975) yang menyatakan

    bahwa transaksi pihak berelasi tidak merugikan dan bahkan dapat memberikan

    manfaat terhadap pemegan saham (Chang & Hong, 2000; Jian & Wong, 2010;

    Khanna & Palepu, 2000; Stein, 1997).

  • 24

    Feliana (2007) melakukan penelitian terkait dengan pengaruh struktur

    kepemilikan perusahan dengan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan

    istimewa atau terafiliasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

    kepemilikan terkonsentrasi oleh keluarga menurunkan informativitas angka-angka

    akuntansi dalam pasar modal. Hal ini mengindikasikan bahwa kendali oleh

    keluarga akan menghasilkan informasi untuk kepentingan kalangan yang sangat

    terbatas saja, yaitu pihak keluarga pengendali perusahaan. Kemudian besarnya

    transaksi pihak berelasi yang diperoleh juga menurunkan informativitas atau

    keandalan angka-angka akuntansi. Hasil pengujian dalam penelitian ini

    mengindikasikan bahwa transaksi pihak berelasi yang mempengaruhi angka-

    angka pada neraca cenderung dianggap sebagai transaksi untuk kepentingan

    opportunis bagi pihak-pihak tertentu karena nilai yang ditunjukkan pada neraca

    adalah nilai yang belum menghasilkan atau belum dipergunakan. Nilai transaksi

    pihak berelasi yang mempengaruhi di laporan laba rugi cenderung dipandang

    efisiensi karena transaksi tersebut telah menghasilkan atau telah dipergunakan

    dalam operasional perusahaan.

    Terdapat beberapa transaksi pihak berelasi yang mengarah pada praktik

    ekspropriasi misalnya, akuisisi aset yang dilakukan oleh perusahaan publik dari

    pihak terkait, penjualan aset dari perusahaan publik kepada pihak terkait,

    penjualan ekuitas oleh perusahaan publik kepada pihak terkait, hubungan

    perdagangan antara perusahaan publik dengan pihak terkait (misalnya transaksi

    penjualan barang dan jasa), pembayaran kas secara langsung atau penjaminan

    hutang oleh perusahaan publik kepada pihak terkait. Selain itu, terdapat transaksi

  • 25

    yang tidak mengarah pada praktik ekspropriasi tetapi hanya memberikan

    keuntungan bagi perusahaan publik. Transaksi tersebut antara lain penerimaan kas

    oleh perusahaan publik (disebut sebagai propping up) dan transaksi yang terjadi

    antara perusahaan publik dengan anak perusahaannya. Transaksi yang sekiranya

    rasional dan tidak mengarah pada praktik ekspropriasi misalnya pengambilalihan

    dimana pihak terkait merupakan perusahaan publik yang membentuk formasi

    kerja joint venture (Cheung, et al., 2006).

    2.3 Kerangka Konseptual Penelitian

    Dalam situasi pasar yang bergejolak seperti saat ini, para pemegang saham

    minoritas telah memiliki peran dalam mengawasi segala bentuk kegiatan yang

    dilakukan oleh dewan pengendali perusahaan sehingga dapat membantu dalam

    mewujudkan efektifitas dan tata kelola perusahaan yang baik. Selain itu, para

    pemegang saham minoritas juga turut berperan dalam pengembangan dan

    keberlanjutan pasar modal. Tanggung jawab pemegang saham minoritas, selain

    melakukan pengawasan terhadap tindakan dewan dalam perusahaan, juga

    mengamati kekuataan pemegang saham mayoritas dan mendorong adanya

    transparansi, praktik etis dan tata kelola perusahaan yang baik.

    Shkolnikov (2006) menyatakan bahwa praktik ekspropriasi pemegang

    saham minoritas di Asia memiliki keterkaitan dengan krisis finansial yang terjadi

    pada tahun 1997 dan praktik ini cenderung terjadi pada perusahaan dengan

    kepemilikan yang terkonsentrasi. Ekspropriasi didefinisikan sebagai sebuah

    proses dalam menggunakan kekuatan pengendali yang dimiliki oleh suatu pihak

    untuk memaksimalkan kekayaan pribadi dan mendisitribusikan kekayaan yang

  • 26

    diperolehnya kepada pihak lain (Claessens, et al., 1999b). Berdasarkan Santiago

    dan Brown (2007) eksprospriasi didefinisikan sebagai misalignment kepentingan

    antara kelompok pemegang saham atau pemilik yang substansial atas hak aliran

    kas, dimana hal ini membawa kedalam suatu kondisi manajer eksternal yang

    diisolasi dalam mekanisme pengendalian perusahaan tanpa ada alasan tertentu

    (unnecessary qualification).

    Praktik ekspropriasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1990an

    mengakibatkan krisis finansial yang terjadi di Asia dan adanya keterbatasan

    kemampuan dari perusahaan keluarga di Timur Tengah dan Amerika Latin untuk

    menarik investasi. Hal ini mensinyalir pentingnya memiliki pemegang saham

    minoritas dalam mekanisme pengawasan atas hukum pelanggaran dan dapat

    digunakan sebagai “alat jaminan” untuk investor (Shkolnikov, 2006). Santiago

    dan Brown (2007) dalam risetnya menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang

    menyebabkan para pemegang saham minoritas kecewa berinvestasi di perusahaan

    Amerika Latin. Pertama, keluarga pengendali perusahaan enggan untuk

    memperdagangkan sahamnya kepada pihak eksternal karena akan berakibat pada

    pengeceran kekuasaan (dilution of power). Kedua, lemahnya perundang-undangan

    yang ada di Amerika Latin meningkatkan level praktik ekspropriasi terhadap hak

    pemegang saham minoritas.

    Terdapat beberapa transaksi pihak berelasi yang digunakan dalam

    penelitian ini, antara lain: perdagangan aset, hubungan perdagangan dan transaksi

    pembayaran kas langsung. Transaksi tersebut penulis kelompokkan menjadi dua

    jenis, yaitu: (1) RP Sales yang meliputi kegiatan penjualan barang dan jasa oleh

  • 27

    perusahaan ke perusahaan lain yang memiliki hubungan istimewa dan (2) RP

    Purchase pembelian barang dan jasa dan pembayaran kas langsung oleh

    perusahaan ke perusahaan lain yang memiliki hubungan istimewa. Berikut ini

    merupakan pengelompokkan transaksi yang bersifat RP Sales dan RP Purchase

    yang digunakan dalam penelitian ini:

    RP Sales RP Purchase

    Penjualan aset oleh perusahaan publik

    dengan pihak terkait.

    Pembelian aset dan hubungan

    perdagangan (pembelian) oleh

    perusahaan publik dengan pihak

    terkait.

    Hubungan perdagangan (penjualan)

    oleh perusahaan publik dengan pihak

    terkait

    Transaksi pembayaran kas langsung

    atau penjaminan oleh perusahaan

    publik (grup) dengan pihak terkait

    Untuk menginvestigasi lebih lanjut terkait dengan faktor-faktor yang

    mempengaruhi praktik ekspropriasi di Indonesia, maka penulis membuat kerangka

    konsep penelitian sebagai berikut:

    Gambar 2.1

    Rerangka Konsep Penelitian

    INS: Konsentrasi

    Kepemilikan (X1)

    SIZE: Ukuran

    Perusahaan (X2)

    INDEP_COM: Dewan

    Komisaris (X3)

    PROF: Profitabilitas (X4)

    LVRG: Leverage (X5)

    RPS: RP Sales

    (Y1)

    RPP: RP Purchase

    (Y2)

  • 28

    2.4 Penelitian Sebelumnya dan Pengembangan Hipotesis

    2.4.1 Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan Terhadap Praktik Ekspropriasi

    Model konseptual pertama yang dibangun peneliti dalam riset ini adalah

    hubungan antara konsentrasi kepemilikan perusahaan terhadap praktik

    ekspropriasi yang terjadi di Indonesia. Konsentrasi kepemilikan merupakan

    ukuran sejauh mana sebaran kepemilikan dari saham yang terdaftar di bursa

    saham. Konsep konsentrasi kepemilikan ini cenderung diperluas untuk

    menggambarkan kepemilikan atau kontrol aset perusahaan di kalangan keluarga

    (family ownership) atau badan usaha tertentu. Struktur kepemilikan perusahaan

    yang menyebar dapat memberikan kekuatan yang signifikan kepada manajer

    untuk memaksimalkan kepentingan pribadinya dan bukan untuk kepentingan para

    pemegang saham dan hal ini akan memberikan pengaruh pada nilai pemegang

    saham yang tidak maksimal (Berle & Means, 1933).

    Penelitian terkait dengan konsentrasi kepemilikan pertama kali dilakukan

    oleh La-Porta, Silanes dan Shleifer (1999). Hasil penelitian yang dilakukan oleh

    La-Porta et al. (1999) menunjukkan adanya suatu gambaran yang berbeda terkait

    dengan struktur kepemilikan perusahaan modern yang dilakukan oleh Berle dan

    Means pada tahun 1933. Berle dan Means menginvestigasi perusahaan yang

    berada di United States dimana sebagian besar kepemilikan perusahaan di negara

    GRW: Pertumbuhan

    Perusahaan (X6)

    AFL: Dummy-Perusahaan

    Berafiliasi (X7)

  • 29

    tersebut tersebar, sedangkan di luar United States, terutama pada negara yang

    memiliki perlindungan terhadap pemegang saham masih lemah, kepemilikan

    perusahaan cenderung terkonsentrasi.

    Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh La-Porta (1999),

    Faccio dan Lang (2002) menunjukkan bahwa dari 13 negara di kawasan Eropa

    Barat, hanya perusahaan di Inggris dan Finlandia yang memiliki struktur

    kepemilikan tersebar. Kepemilikan perusahaan di Eropa Kontinental sudah

    terkonsentrasi (family controlled). Terkait dengan struktur kepemilikan

    perusahaan publik di Eropa, hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim,

    Kitsabunnarat-Chatjuthamard dan Nofsinger (2007) menunjukkan bahwa semakin

    tinggi perlindungan negara terhadap pemegang saham maka semakin sedikit

    perusahaan dengan struktur kepemilikan terkonsentrasi dan memiliki lebih banyak

    dewan direksi independen. Sama halnya dengan negara di Asia Timur, dimana

    negara yang memiliki tingkat perlindungan terhadap pemegang saham yang lebih

    tinggi, maka struktur kepemilikan perusahaan cenderung untuk menyebar,

    misalnya Jepang.

    Terdapat penelitian lain yang dilakukan oleh Santiago dan Brown (2007)

    dalam menginvestigasi 97 perusahaan di Amerika Latin (Chili, Brazil dan

    Meksiko) mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat kepemilikan

    terkonsentrasi maka semakin besar pula potensi praktik ekspropriasi atas hak

    pemegang saham minoritas. Selain itu penelitian lain dilakukan oleh Berkman,

    Cole dan Fu (2009) pada perusahaan publik di China mengindikasikan bahwa

    kepemilikan terkonsentrasi memiliki potensi untuk melakukan praktik

  • 30

    ekspropriasi atas hak pemegang saham minoritas. Bagaimanapun, hal ini juga

    dikuatkan oleh Claessens, et al. (1999b) bahwa belum ditemukannya bukti terkait

    praktik ekspropriasi pada perusahaan publik dengan struktur kepemilikan tersebar.

    Berdasarkan review literatur penelitian terkait tentang hubungan

    konsentrasi kepemilikan dengan praktik ekspropriasi di Indonesia melalui

    transaksi antar pihak istimewa atau berelasi, maka hipotesis yang dapat penulis

    susun adalah

    H1a: Konsentrasi kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap

    transaksi RP Sales pada perusahaan publik di Indonesia.

    H1b: Konsentrasi kepemilikian institusional berpengaruh positif terhadap

    transaksi RP Purchase pada perusahaan publik di Indonesia.

    2.4.2 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Praktik Ekspropriasi

    Ukuran perusahaan memiliki pengaruh yang berbeda terhadap praktik

    ekspropriasi yang terjadi pada perusahaan publik. Dalam hal ini ukuran

    perusahaan dilihat dari total aset yang dimiliki oleh perusahaan, yang dapat

    digunakan untuk kegiatan operasi perusahaan. Jika sebuah perusahaan memiliki

    total aset yang besar, maka pihak manajemen cenderung lebih leluasa dalam

    menggunakan aset perusahaan tersebut.

    Penelitian mengenai pengaruh ukuran perusahaan terhadap praktik

    ekspropriasi telah diteliti oleh Berkman, et al. (2009) dimana dalam hasil

    penelitian tersebut menemukan bahwa semakin kecil perusahaan maka semakin

    kecil pula dilakukan praktik ekspropriasi. Hal ini konsisten dengan hipotesis

  • 31

    bahwa semakin besar ukuran perusahaan maka semakin tinggi peluang untuk

    dilakukannya praktik ekspropriasi. Sesuai dengan sudut pandang teoritis yang

    dinyatakan oleh Ahmed dan Courtis (1999) bahwa ukuran perusahaan diharapkan

    berpengaruh positif dengan tingkat ekspropriasi. Dari beberapa penelitian terkait

    dengan pengaruh ukuran perusahaan terhadap praktik ekspropriasi, maka hipotesis

    yang dapat dirumuskan oleh peneliti adalah

    H2a: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap transaksi RP Sales

    pada perusahaan publik di Indonesia.

    H2b: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap RP Purchase pada

    perusahaan publik di Indonesia.

    2.4.3 Pengaruh Dewan Komisaris Terhadap Praktik Ekspropriasi

    Dari sudut pandang pemegang saham minoritas, mereka membutuhkan

    dewan komisaris yang tidak memiliki keterkaitan langsung (independen) dengan

    perusahaan untuk menjamin kepentingannya. Para pemegang saham minoritas

    menaruh kepercayaan terhadap dewan komisaris independen yang berperan

    sebagai lawan dari dewan komisaris yang memiliki keterikatan dengan

    manajemen perusahaan (dependen). Sehingga dewan komisaris bebas diharapkan

    dapat memberikan penilaian yang lebih objektif pada saat melakukan

    pengawasan, memberikan kompensasi dan dalam hal memperkerjakan manajer.

    Secara teoritis, semakin besar persentase dewan bebas maka semakin bagus tata

    kelola perusahaan dan semakin kecil tingkat ekspropriasi yang terjadi pada

    perusahaan (Kim, et al., 2007).

  • 32

    Penelitian yang dilakukan oleh Jaggi, Leung dan Gul (2009) terkait

    pengaruh dewan komisaris terhadap manajemen laba menemukan bahwa ada

    pengaruh antara dewan komisaris independen dan jumlah dewan komisaris secara

    keseluruhan. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin kecil persentase dewan

    komisaris independen maka tidak adanya pengawasan yang efektif yang dapat

    membatasi praktik manajemen laba. Jika dikaitkan dengan ekspropriasi, maka

    semakin kecil persentase dewan komisaris independen, tingkat ekspropriasi

    semakin tinggi.

    Penelitian lain juga dilakukan oleh Santiago dan Brown (2007) yang

    dilakukan di Amerika Latin menemukan tidak ada hubungan antara dewan

    komisaris dan praktik ekspropriasi. Hal ini dapat terjadi disebabkan adanya

    perbedaan karakteristik dewan komisaris yang berpengaruh secara tidak langsung

    terhadap praktik ekspropriasi. Praktik ekspropriasi terhadap pemegang saham

    minoritas dapat terjadi jika tata kelola dalam suatu perusahaan kurang efektif.

    Efektivitas tata kelola perusahaan dipengaruhi oleh komposisi dewan komisaris,

    apalagi pada perusahaan di Asia yang pada umumnya berbentuk grup bisnis.

    Dengan adanya fenomena ini, peneliti dapat merumuskan hipotesis terkait dengan

    pengaruh dewan direksi terhadap praktik ekspropriasi sebagai berikut:

    H3a: Dewan Komisaris Independen berpengaruh negatif terhadap transaksi

    RP Sales pada perusahaan publik di Indonesia.

    H3b: Dewan Komisaris Independen berpengaruh negatif terhadap transaksi

    RP Purchase pada perusahaan publik di Indonesia.

  • 33

    2.4.4 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Praktik Ekspropriasi

    Rasio profitabilitas merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur

    kemampuan para eksekutif perusahaan dalam menciptakan keuntungan, baik

    dalam bentuk laba perusahaan maupun dalam nilai ekonomis atas penjualan, aset

    bersih perusahaan maupun modal sendiri (shareholder equity) (Raharjaputra,

    2009). Profitabilitas yang tinggi mencerminkan kemampuan perusahaan dalam

    menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi para pemegang saham. Selain itu,

    tingkat profitabilitas yang tinggi juga disinyalir akan menarik minat investor

    untuk menanamkan modalnya pada perusahaan. Tingkat profitabilitas dapat

    menunjukkan seberapa baik pengelolaan manajemen perusahaan, sehingga

    semakin tinggi tingkat profitabilitas suatu perusahaan maka diharapkan akan

    semakin kecil praktik ekspropriasi yang terjadi pada perusahaan (Berkman, et al.,

    2009). Hasil riset yang dilakukan oleh Berkman, et al. (2009) adalah perusahaan

    dengan tingkat profitabilitas dan pertumbuhan yang tinggi cenderung untuk

    terhindar dari praktik ekspropriasi.

    Penelitian lain juga dilakukan oleh Mustafa, Latif dan Taliyang (2011)

    pada perusahaan yang terdaftar di bursa efek Malaysia menyatakan bahwa

    perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang rendah justru cenderung melakukan

    praktik ekspropriasi. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat proftabilitas

    perusahaan maka memberikan manfaat kepada perusahaan untuk mengurangi

    potensi dilakukannya ekspropriasi hak pemegang saham minoritas di Malaysia.

    Dari beberapa penelitian tersebut mengantarkan penulis untuk dapat merumuskan

    hipotesis sebagai berikut:

  • 34

    H4a: Tingkat profitabilitas berpengaruh negatif terhadap transaksi RP Sales

    pada perusahaan publik di Indonesia.

    H4b: Tingkat profitabilitas berpengaruh negatif terhadap transaksi RP

    Purchase pada perusahaan publik di Indonesia.

    2.4.5 Pengaruh Leverage Terhadap Praktik Ekspropriasi

    Salah satu faktor penting yang termasuk dalam unsur pendanaan adalah

    hutang (leverage). Hutang memiliki keterkaitan dengan solvabilitas perusahaan,

    dimana solvabilitas merupakan indikator untuk melihat sejauh mana aLeveset

    perusahaan dibiayai oleh hutang dibandingkan dengan modal sendiri (Weston

    Copeland 1992). Leverage dapat diartikan sebagai indikator yang menunjukkan

    tingkat risiko yang melekat pada suatu perusahaan. Artinya semakin tinggi tingkat

    hutang suatu perusahaan maka semakin tinggi tingkat risiko investasinya.

    Semakin tinggi tingkat hutang suatu perusahaan maka hal ini mengindikasikan

    bahwa perusahaan tersebut tidak mampu untuk melakukan pelunasan hutang

    karena total hutang lebih besar daripada total aset yang dimiliki oleh perusahaan

    tersebut (Horne 1997).

    Faccio, Lang & Young (2007) meregresikan hutang yang terdapat dalam

    indeks perusahaan untuk mendeteksi praktik ekspropriasi oleh pemegang saham

    pengendali dimana rasio yang digunakan adalah rasio hak kepemilikan (O)

    terhadap hak kontrol (C) dan indeks atas hak kreditur. Pada perusahaan yang

    dapat mengakses pinjaman dengan pihak terkait (Related Party Loan), semakin

    rendah rasio O/C akan meningkatkan hutang pada saat lemahnya perlingdungan

    terhadap kreditur, namun akan menurunkan hutang pada saat perlindungan

  • 35

    kreditur kuat. Semakin tinggi rasio hutang maka akan memberikan kendali sumber

    daya yang lebih besar kepada pemegang saham pengendali untuk diambil alih

    (expropriate). Hutang dapat digunakan untuk membatasi praktik ekspropriasi di

    perusahaan dengan struktur kepemilikan tersebar sebagaimana di Amerika, namun

    hutang juga dapat memfasilitasi praktik ekspropriasi pada perusahaan dengan

    struktur kepemilikan piramida sebagaimana perusahaan yang berada di wilayah

    Eropa dan Asia. Hasil temuannya adalah terdapat dua kelompok yang merupakan

    pihak yang dirugikan atas hutang yaitu pemegang saham bank dan pemilik

    deposito, dan pemegang saham minoritas dari perusahaan berhutang (indebted

    company). Pada saat perlindungan kreditur lemah, maka pemegang saham

    pengendali cenderung akan mengalokasikan modal ke tempat yang memberikan

    tingkat pengembalian privat yang tinggi dibandingkan dengan alokasi ke tempat

    yang memberikan manfaat sosial.

    Bunkanwanicha, Gupta & Rokhim (2008) melakukan penelitian terkait

    dengan hubungan antara hutang dan tata kelola perusahaan pada negara

    berkembang dengan menggunakan data perusahaan yang terdaftar di Thailand dan

    Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara

    struktur hutang dengan tata kelola perusahaan. Beliau menemukan bahwa semakin

    tinggi tata kelola perusahaan dengan indikator entrenchment effect yang kecil,

    cenderung memiliki tingkat hutang yang lebih tinggi. Dengan demikian, penelitian

    tersebut mengindikasikan bahwa perusahaan dengan tingkat leverage yang lebih

    tinggi maka akan semakin memiliki kesempatan yang kecil untuk melakukan

    praktik ekspropriasi. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang diungkapkan oleh

  • 36

    Jensen (1986) bahwa perusahaan yang tidak mampu untuk membayar deviden

    dikarenakan memiliki tingkat hutang yang tinggi cenderung memiliki tingkat

    ekspropriasi pemegang saham minoritas yang lebih kecil. Dari adanya beberapa

    penelitian yang telah dilakukan terkait dengan tingkat hutang dengan praktik

    ekspropriasi, maka hipotesis yang dapat disusun oleh penulis adalah

    H5a: Tingkat leverage berpengaruh negatif terhadap transaksi RP Sales

    pada perusahaan publik di Indonesia.

    H5b: Tingkat leverage berpengaruh negatif terhadap transaksi RP Purchase

    pada perusahaan publik di Indonesia.

    2.4.6 Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan Terhadap Praktik Ekspropriasi

    Pertumbuhan perusahaan merupakan sebuah indikator yang menunjukkan

    bahwa perusahaan tersebut mampu untuk meningkatkan ukuran perusahaan.

    Terdapat beberapa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan perusahaan

    antara lain faktor ukuran perusahaan, produktifitas perusahaan dan biaya input

    (Nugroho, 2008). Faktor umur dan lokasi perusahaan tidak terlalu berpengaruh

    secara signifikan terhadap pertumbuhan perusahaan. Indikator yang dapat

    digunakan untuk mendeteksi pertumbuhan perusahaan dapat ditunjukkan melalui

    pertumbuhan penjualan, pertumbuhan laba operasi perusahaan, pertumbuhan laba

    bersih dan pertumbuhan modal sendiri. Pertumbuhan perusahaan dapat memicu

    adanya konflik keagenan terkait dengan pembuatan keputusan pendanaan. Suatu

    perusahaan dengan tingkat pertumbuhan tinggi cenderung membutuhkan dana

    yang besar yang diperoleh dari eksternal perusahaan dan melakukan pembuatan

  • 37

    keputusan terkait dengan dana yang diperoleh untuk diinvestasikan (Rajan &

    Zingales, 1998).

    Durnev, Errunza dan Molchanov (2009) melakukan penelitian terkait

    dengan pengaruh transparansi perusahaan terhadap efisiensi investasi perusahaan

    dan pertumbuhan perusahaan dalam kondisi perlindungan hak properti. Dalam

    penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pada negara yang memiliki tingkat

    perlindungan property yang lemah maka transparansi dan pertumbuhan akan

    cenderung lemah. Dengan adanya transparansi dan pertumbuhan yang lemah

    maka hal ini akan memberikan kesempatan kepada para pemegang saham

    pengendali untuk melakukan praktik ekspropriasi. Fenomena tersebut diperkuat

    oleh penelitan yang dilakukan oleh Berkman, et al., (2009) yang mengindikasikan

    bahwa kesempatan pemegang saham pengendali untuk melakukan praktik

    ekspropriasi cenderung lebih besar pada perusahaan yang memiliki tingkat

    pertumbuhan yang lebih lemah. Selain itu juga tunneling mengindikasikan dapat

    mengurangi pertumbuhan aset dimana hal tersebut akan berpengaruh pada

    kesempatan pertumbuhan suatu perusahaan.

    Pertumbuhan perusahaan diharapkan dapat mengurangi konflik keagenan

    yang timbul antara pemegang saham pengendali dengan pemegang saham

    minoritas. Dengan kata lain, pertumbuhan perusahaan diharapkan dapat

    mengurangi terjadinya praktik ekspropriasi yang dilakukan oleh pemegang saham

    pengendali terhadap pemegang saham minoritas. Pertumbuhan perusahaan yang

    cenderung lemah dikarakteristikkan oleh tingkat pengendali kepemilikan dewan

    yang lebih tinggi dan tingkat pengungkapan voluntair yang lebih rendah.

  • 38

    Singkatnya, perusahaan dengan tingkat pertumbuhan tinggi didominasi

    oleh pemegang saham minoritas (outside stakeholder) sedangkan perusahaan

    dengan tingkat pertumbuhan yang rendah didominasi oleh pemegang saham

    pengendali (Akhtaruddin & Hossain, 2008). Dari berbagai penelitian tersebut

    diatas, maka penulis dapat menyusun hipotesis sebagai berikut

    H6a: Pertumbuhan perusahaan berpengaruh negatif terhadap transaksi RP

    Sales pada perusahaan publik di Indonesia.

    H6b: Pertumbuhan perusahaan berpengaruh negatif terhadap transaksi RP

    Purchase pada perusahaan publik di Indonesia.

    2.4.7 Pengaruh Afiliasi Perusahaan Terhadap Praktik Ekspropriasi

    Perusahaan afiliasi (affiliated company) adalah perusahaan yang secara

    efektif dikendalikan oleh perusahaan lain, atau tergabung dengan perusahaan atau

    beberapa perusahaan lain karena kepentingan atau kepemilikan atau pengurus

    yang sama. Dalam melaksanakan proses bisnisnya, tidak jarang perusahaan

    melakukan transaksi afiliasi. Transaksi afiliasi adalah transaksi yang dilakukan

    oleh perusahaan atau perusahaan terkendali dari perusahaan atau afiliasi dari

    anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau pemegang saham utama

    perusahaan. Transaksi afiliasi dapat memicu benturan kepentingan (conflict of

    interest) dan transaksi seperti ini berpotensi untuk merugikan pemegang saham,

    terutama pemegang saham minoritas. Hal ini dapat disebabkan karena

    pengelolaan perusahaan dilakukan secara tidak benar dan perusahaan tersebut

    tidak menerapkan tata kelola yang baik. Tata kelola perusahaan juga dipengaruhi

  • 39

    oleh latar belakang perusahaan itu sendiri. Perusahaan yang berlatar belakang dari

    perusahaan keluarga yang belum memisahkan fungsi pengelolaan dan

    kepemilikan perusahaan membuat para pemegang saham tidak dapat

    menggunakan haknya dengan benar sehingga membuat potensi tindakan yang

    mengandung konflik kepentingan semakin besar, terutama transaksi afiliasi.

    Khusus mengenai transaksi afiliasi, penerapan tata kelola perusahaan

    bertujuan dan bermanfaat untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan

    para pemegang saham sebagai pihak yang dirugikan apabila dalam transaksi

    tersebut mengandung benturan kepentingan yang dapat merugikan pemegang

    saham. Transaksi afiliasi yang tidak dikelola dengan baik, akan memicu terjadinya

    praktik ekspropriasi yang dilakukan oleh pemegang saham mayoritas terhadap

    pemegang saham minoritas. Perlindungan kepentingan pemegang saham

    (minoritas) terhadap benturan kepentingan dalam transaksi afiliasi salah satunya

    dengan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik. Dengan adanya tata kelola

    perusahaan yang baik, maka kerugian yang diakibatkan oleh adanya benturan

    kepentingan dalam suatu transaksi afiliasi dapat dihindarkan.

    Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa transaksi afiliasi dapat

    dikendalikan dengan penerapan tata kelola perusahaan yang baik guna mencegah

    benturan kepentingan antara pemegang saham mayoritas dan minoritas. Sehingga

    hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini terkait dengan hubungan

    afiliasi dengan praktik ekspropriasi sebagai berikut

    H7a: Afiliasi perusahaan berpengaruh negatif terhadap transaksi RP Sales

    pada perusahan publik di Indonesia.

  • 40

    H7b: Afiliasi perusahaan berpengaruh negatif terhadap transaksi RP

    Purchase pada perusahaan publik di Indonesia.