BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1 Teori Agensi
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1 Teori Agensi
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1 Teori Agensi
Teori ini diusulkan oleh Jensen dan Meckling (1976), yang menjelaskan
bahwa teori keagenan adalah kontrak antara manajer (agen) dan pemilik
(prinsipal). Agar hubungan kontrak ini berjalan lancar, pemilik akan
mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan kepada manajer. Hubungan
keagenan adalah kontrak di mana satu atau beberapa orang (pemberi kerja atau
principal) mempekerjakan orang lain (agen) untuk melaksanakan sejumlah
layanan yang mendelegasikan wewenang untuk membuat keputusan kepada
agen (Jensen dan Meckling, 1976).
Dalam kerangka manajemen keuangan, hubungan keagenan adalah di
antara pemegang saham dan manajer, dan / atau antara pemegang saham dan
kreditur. Manajer perusahaan dapat membuat keputusan yang bertentangan
dengan tujuan perusahaan untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham.
Dalam hal ini, pengambilan keputusan manajer dibantu oleh karyawan.
Keputusan untuk memperluas bisnis dapat didorong oleh keinginan manajer
untuk membuat divisi mereka sendiri berkembang dengan maksud untuk
mendapatkan tanggung jawab dan kompensasi yang lebih besar.
Dengan perubahan waktu, masalah agensi tidak hanya terbatas pada
prinsipal dan agen, tetapi juga pihak lain seperti kreditur, pemegang saham
10
utama dan pemegang saham minoritas. Para peneliti ekonomi dan keuangan
telah mengkategorikan masalah keagenan tiga jenis, seperti yang
digambarkan dalam gambar 1.
Gambar 1. Jenis Masalah Keagenan
Sumber : (Panda and Leepsa, 2017)
Tipe pertama adalah antara prinsipal dan agen, yang timbul karena
asimetri informasi dan varians dalam sikap risksharing (Jensen & Meckling,
1976). Jenis konflik kedua terjadi antara pemegang saham besar dan kecil
(Gilson & Gordon, 2003) dan itu muncul karena pemilik utama mengambil
keputusan untuk manfaat mereka dengan mengorbankan pemegang saham
kecil. Jenis ketiga masalah agensi terjadi antara pemilik dan kreditor, konflik
ini terbangun ketika pemilik mengambil keputusan investasi yang lebih
berisiko yang berbeda dengan kehendak para kreditor.
a. Tipe 1: Masalah Prinsipal-Agen
Masalah agensi antara pemilik dan pengelola di perusahaan karena ada
pemisahan kepemilikan kontrol yang ditemukan pada perusahaan
perusahaan besar (Berle & Means, 1932). Pemilik menugaskan tugas
kepada para manajer untuk mengelola perusahaan dengan harapan bahwa
manajer akan bekerja untuk kepentingan pemiliknya. Namun, manajer
11
lebih tertarik pada maksimalisasi kompensasi mereka. Argumen tentang
perilaku dalam memuaskan diri agen didasarkan pada perilaku rasionalitas
manusia (Williamson, 1985), yang menyatakan bahwa tindakan manusia
bersifat rasional dan termotivasi untuk memaksimalkan tujuan mereka
sendiri. Konflik kepentingan antara prinsipal dan agen dan kurangnya
pemantauan yang tepat pada struktur kepemilikan yang kurang menyebar
akan mengarah pada suatu konflik, yang dikenal sebagai konflik prinsipal–
agen.
b. Tipe- 2: Masalah Prinsipal – Prinsipal
Asumsi yang mendasari masalah peragenan jenis ini adalah konflik
kepentingan antara pemilik utama dan pemilik kecil. Pemilik utama
disebut sebagai orang atau sekelompok orang yang memegang saham
mayoritas perusahaan, sementara pemilik kecil adalah orang-orang yang
memegang sebagian kecil saham perusahaan. Pemilik mayoritas memiliki
kekuatan voting yang lebih tinggi dan dapat mengambil keputusan apa pun
demi keuntungan mereka, yang menghambat kepentingan pemegang
saham minoritas (Fama & Jensen, 1983). Jenis masalah keagenan ini
berlaku di semua perusahaan, di mana kepemilikan terkonsentrasi pada
beberapa orang saja atau pemilik keluarga, maka pemegang saham
minoritas merasa sulit untuk melindungi kepentingan atau kekayaan
mereka (Demsetz & Lehn, 1985).
12
c. Tipe – 3: Masalah Principal – Kreditur
Konflik antara pemilik dan kreditur timbul karena adanya keputusan
pembiayaan yang diambil oleh pemegang saham (Damodaran, 1997).
Pemegang saham mencoba berinvestasi dalam proyek-proyek berisiko, di
mana mereka mengharapkan laba yang lebih tinggi. Risiko tinggi ini akan
meningkatkan beban keuangan dan mengurangi peniliaan atas hutang,
sehingga hal ini akan berpengaruh pada kreditor. Jika proyek tersebut
berhasil, maka pemilik akan menikmati keuntungan besar, sementara
keuntungan yang dirasakan kreditor tetap karena mereka hanya
mendapatkan bunga tetap. Di sisi lain, jika proyek gagal, maka kreditor
akan turut menanggung kerugian dan secara umum masalah ini akan
muncul dalam situasi seperti ini.
2.1.2. Perusahaan
Kata perusahaan sangat sering kita dengar dan diucapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Bahkan kita pun sesungguhnya sering berhubungan dengan
perusahaan baik itu perusahaan kecil, menengah atau perusahaan ternama.
Menurut Ebert dan Griffin, (2006): “Perusahaan adalah satu organisasi yang
menghasilkan barang dan jasa untuk mendapatkan laba.” Selain itu menurut
Abdul Kadir Muhammad dalam bukunya Pengantar Hukum Perusahaan di
Indonesia (2010) menyatakan: “Bahwa berdasarkan tinjauan hukum, istilah
perusahaan mengacu pada badan hukum dan perbuatan badan usaha dalam
menjalankan usahanya. Lebih lanjut, perusahaan adalah tempat terjadinya
kegiatan produksi dan berkumpulnya semua faktor produksi dengan acuan laba.”
13
Selain itu menurut Swastha dan Sukotjo (2002) pengertian dari
perusahaan adalah: “Suatu organisasi produksi yang menggunakan dan
mengkoordinir sumber- sumber ekonomi untuk memuaskan kebutuhan dengan
cara yang menguntungkan”. Pengertian perusahaan juga tertera di perundangan
negara pada Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan pada Pasal 1 huruf b, yang
berbunyi: “Setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat
tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan. Dalam
wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memeroleh keuntungan dan
atau laba.”
Maka berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perusahaan
merupakan salah satu bentuk usaha yang mencari suatu keuntungan atau laba,
baik yang bergerak dalam bidang usaha produksi barang ataupun dalam bidang
usaha jasa dan memiliki suatu struktur organisasi, manajemen, lokasi dan
karyawan atau pegawai.
2.1.3. Perusahaan Keluarga
Perusahaan keluarga merupakan bentuk organisasi yang umum baik di
negara maju dan berkembang. Kepemilikan keluarga dan perusahaan yang
dikuasai keluarga menyumbang sekitar 90% dari bisnis yang didirikan di Amerika
Serikat (Poza, 2007). Di negara-negara Asia Timur, lebih dari dua-pertiga dari
perusahaan dikendalikan oleh pendiri keluarga atau individu. Perusahaan keluarga
memainkan peran penting dalam sebagian besar negara di seluruh dunia karena
mereka mendominasi lanskap ekonomi, bukan hanya dalam hal jumlah,
14
pendapatan kotor, dan pekerjaan, tetapi juga karena mereka adalah mesin penting
pertumbuhan, kemakmuran, dan kesejahteraan.
Perusahaan keluarga dibandingkan perusahaan bukan keluarga dapat
dilihat dari dua perspektif, kepemilikan dan manajemen. Dari perspektif
kepemilikan, keunikan perusahaan keluarga adalah anggota keluarga memegang
sejumlah besar aset perusahaan. Dari perspektif manajemen, salah satu
karakteristik umum dari perusahaan keluarga adalah anggota keluarga berfungsi
sebagai CEO perusahaan atau mengisi posisi manajemen puncak lainnya.
Banyak definisi perusahaan keluarga disampaikan oleh penelitian-
penelitan sebelumnya, kebanyakan dari usulan definisi itu berfokus pada beberapa
faktor yang melingkupi perusahaan keluarga seperti kepemilikan, kendali,
keterlibatan keluarga, manajemen dan keinginan untuk melestarikan suksesi antar
generasi atau masalah-masalah budaya. Beberapa definisi masih terbuka untuk
didiskusikan, namun unsur keterlibatan dan pendekatan inti tampaknya menjadi
tumpang tindih.
Menurut Saito (2008) perusahaan keluarga adalah perusahaan-
perusahaan dimana keluarga pendiri perusahaan memberikan pengaruh terhadap
kebijakan-kebijakan, strategi, isu personal dan berbagai bagian lainnya di
perusahaan melalui kepemilikan dan partisipasi di manajemen perusahaan. Selain
itu suatu perusahaan dikatakan sebagai perusahaan keluarga apabila pendiri
perusahaan atau keturunannya menjabat sebagai presiden direktur atau chairman
dan keluarga pendiri perusahaan merupakan pemegang saham terbesar dalam
perusahaan. Keterlibatan keluarga dalam perusahaan lah yang membuat
15
perusahaan keluarga menjadi berbeda dibanding dengan perusahaan bukan
keluarga.
Sedangkan beberapa penelitian menggunakan persentase 5% sebagai
jumlah saham yang harus dimiliki oleh keluarga (Villalonga dan Amit, 2006).
Andres (2008) mengklasifikan perusahaan sebagai perusahaan keluarga memiliki
saham minimal 25% atau terdapat anggota keluarga yang mempunyai jabatan
pada dewan direksi atau dewan komisaris perusahaan. Sementara itu Churchill
dan Hatten (1987) lebih cenderung menambahkan faktor keberadaan keluarga
pada saat terjadinya suksesi yang berasal dari dalam anggota keluarga.
Perusahaan keluarga adalah perusahaan di mana sebuah keluarga
mengerahkan kuasa atas organisasi dan arah strategi melalui kepemilikan,
manajemen puncak, atau posisi dewan (Pieper, Klein, dan Jaskiewicz, 2008).
Perusahaan, di mana anggota keluarga pendiri berpartisipasi dalam manajemen,
tampil lebih baik. Meskipun pertumbuhan mereka lebih kuat, tidak ada bukti
ditemukan bahwa perusahaan keluarga kurang stabil daripada perusahaan lain
dalam jangka panjang (Lee, 2006).
McConnaughy, Walker, Henderson, dan Mishra (1998) menemukan
bahwa perusahaan keluarga lebih efisien dan berharga daripada bukan perusahaan
keluarga. Perusahaan keluarga memiliki visi jangka panjang dalam investasi dan
menghasilkan hasil yang lebih baik karena keluarga ingin meneruskannya ke
generasi penerus (James, 1999; Casson, 1999; Chami, 1999).
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa perusahaan keluarga
adalah model yang baik untuk mengurangi jenis biaya sebagai kepentingan
16
pemilik, berkonsentrasi pada hubungan keluarga, biasanya selaras dengan
kepentingan manajer untuk berkonsentrasi pada profitabilitas dan keunggulan
kompetitif (Villalonga dan Amit 2006). Ini akan maksimalkan kekayaan
pemegang saham.
Perusahaan keluarga dengan pemilik keluarga yang memegang
mayoritas hak suara cenderung memiliki kepentingan pribadi dan akan
menggunakan kekuasaan mereka untuk mengambil keuntungan pribadi dengan
mengambil alih sumber daya untuk perusahaan yang dimiliki oleh mereka atau
anggota keluarga lainnya, serta akan mengambil alih hak-hak pemegang saham
minoritas (Villalonga dan Amit, 2006).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perusahaan keluarga
adalah perusahaan yang dikelola dan dimiliki oleh anggota keluarga dimana
proses pengambilan keputusan, penyusunan kebijaksanaan maupun strategi
dilakukan oleh pihak keluarga, serta ada anggota keluarga yang memegang posisi
penting di dalam perusahaan, seperti posisi presiden direktur atau chairman.
2.1.4. Tata Kelola dan Kendali Keluarga
Dalam perusahaan keluarga, salah satu masalah yang paling penting
adalah keberlanjutan dan salah satu cara terbaik untuk mengatasi masalah ini
adalah dengan membentuk sistem tata kelola perusahaan. Menurut Gillan dan
Starks (1998) tata kelola perusahaan adalah sebagai sistem hukum, aturan, dan
faktor-faktor yang mengendalikan operasi di sebuah perusahaan. Pilar tata kelola
perusahaan adalah untuk mendukung nilai-nilai inti, akuntabilitas, transparansi,
17
keadilan, keterbukaan dan tanggung jawab yang berkaitan dengan keberhasilan
semua bisnis (Gulzar dan Wang, 2010). Sistem tata kelola perusahaan tidak hanya
mencakup proses-proses, struktur, kebijakan dan undang-undang untuk tujuan
mengelola sebuah perusahaan, tetapi juga mengandung pendekatan dewan untuk
mengawasi operasional perusahaan, dan juga akuntabilitas anggota dewan kepada
perusahaan dan pemegang saham.
Sistem tata kelola perusahaan keluarga adalah sistem struktur dan proses
dimana perusahaan keluarga diarahkan dan dikendalikan. Mekanisme tata kelola
yang paling menonjol dari sistem pengendalian internal perusahaan adalah
struktur dewan direksi (Jensen, 1993). Anggota keluarga biasanya memiliki posisi
penting dalam tim manajemen dan dewan direksi. Dengan demikian, perusahaan-
perusahaan ini mungkin memiliki tata kelola perusahaan dan akuntabilitas yang
lebih rendah karena pengawasan yang tidak efektif oleh dewan. Anggota dewan
bukan keluarga memberikan pengawasan yang lebih baik dari manajemen karena
mereka tidak terikat oleh hubungan sosial keluarga (Brockhoff dan Witt, 2009).
Semua instrumen tata kelola perusahaan, pada dasarnya, berfungsi untuk
mengurangi biaya agensi dengan mengurangi informasi asimetris atau dengan
harmonisasi kepentingan principal dan agen melalui struktur insentif yang tepat
(Witt, 2008). Dalam perusahaan keluarga, kepemilikan dan manajemen biasanya
tumpang tindih sampai batas tertentu. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa biaya
agensi lebih rendah pada perusahaan milik keluarga.
Perusahaan keluarga sering dikaitkan dengan konflik keagenan, dimana
konflik keagenan mempengaruhi profitabilitas dan nilai perusahaan. Salah satu
18
kelebihan dari perusahaan keluarga adalah dapat menekan konflik keagenan tipe I,
yaitu perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen perusahaan
(Anderson dan Reeb, 2003). Berkurangnya konflik keagenan tipe I dikarenakan
oleh kekayaan keluarga yang memiliki kaitan erat dengan kesejahteraan
perusahaan sehingga keluarga dapat memiliki insentif yang kuat untuk mengawasi
manajer. Selain itu, keterlibatan keluarga dalam sebuah perusahaan dalam jangka
panjang memudahkan perusahaan dalam memonitor dan mendisiplinkan
manajemennya. Hal ini membatasi manajemen dalam memanfaatkan sumber daya
perusahaan untuk kepentingan diri sendiri sehingga berakibat pada peningkatan
profitabilitas perusahaan (Ang, Cole, dan Lin, 2000).
Meskipun dapat mengurangi konflik keagenan tipe I, perusahaan
keluarga dapat menimbulkan konflik keagenan tipe II (Anderson dan Reeb, 2003,
Villalonga dan Amit, 2006), yaitu adanya perbedaan kepentingan antara investor
mayoritas dan investor minoritas. Pemegang saham mayoritas, dalam hal ini
keluarga, memiliki kecenderungan untuk mempertahankan dominasinya di dalam
perusahaan, melalui manajemennya dan juga pembatasan praktik GCG.
Pembatasan praktik GCG pada akhirnya membatasi perlindungan terhadap
pemegang saham minoritas, bertentangan dengan prinsip tata kelola perusahaan
untuk perlakuan yang setara terhadap pemegang saham. Sehingga konflik
kepentingan ini berujung pada ekspropriasi oleh pemegang saham keluarga
terhadap pemegang saham minoritas, dengan praktik tata kelola perusahaan yang
tidak cukup baik. Penelitian yang dilakukan oleh Claessens et al., (1999)
19
menemukan bahwa perusahaan yang memiliki konflik antara investor mayoritas
dan minoritas akan dihargai dengan nilai rendah.
Keluarga sangat peduli terhadap kelangsungan hidup perusahaan dan
memiliki kendali yang efektif, dikarenakan sebagian besar harta keluarga
diinvestasikan ke dalam perusahaan. Perusahaan keluarga yang dikendalikan oleh
para pendiri umumnya berjalan lebih efisien, memiliki nilai ekuitas pasar yang
lebih besar dan membawa utang lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan
lain (McConaughy et al., 2001).
Kendali keluarga merupakan suatu hal yang umum bahkan dominan di
perusahaan terbuka di dunia. Keluarga seringkali berperan sebagai controlling
shareholder dan kendali keluarga seringkali signifikan. Dapat didefinisikan
bahwa kendali keluarga adalah kendali dalam perusahaan dengan struktur
kepemilikan mayoritas adalah kepemilikan keluarga (Din dan Javid, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Anderson dan Reeb (2003) menyatakan bahwa
kendali keluarga adalah perusahaan dengan pemegang saham pengendali
terbesarnya (setidaknya memegang 10% hak suara) adalah keluarga, individu,
atau perusahaan yang tidak terdaftar sebagai perusahaan publik, yang memberikan
mereka hak untuk mengendalikan manajemen.
Keluarga merupakan sebuah unit kesatuan (baik individu atau grup) baik
dari pernikahan atau darah (Claessens et al., 2000). Untuk menggambarkan
kendali di perusahaan, digunakan batasan kepemilikan minimal 10% karena titik
tersebut merupakan batas yang signifikan untuk memberikan hak suara dan di
kebanyakan negara diwajibkan untuk mengungkapkan kepemilikan 10%.
20
Dalam penelitan terdahulu yang dilakukan Shleifer dan Vishny (1997)
mengatakan bahwa kendali keluarga pada perusahaan keluarga dianggap kurang
efisien karena keluarga memiliki kecenderungan melakukan tindakan yang tidak
memaksimalkan nilai perusahaan karena mementingkan keuntungan pribadi.
Keluarga juga sering dituduh mempertimbangkan posisi eksekutif dalam
perusahaan sebagai saluran untuk menyediakan posisi untuk generasi berikutnya,
hal ini dikarenakan keluarga juga memiliki pandangan jangka panjang atas
perusahaan dan menganggap perusahaan merupakan asset yang harus diturunkan
ke keturunannya. Selain itu, keluarga sebagai pemilik perusahaan cenderung
menggunakan laba untuk kepentingan pribadi karena menyatunya kendali dan
kepemilikan (Fama dan Jensen, 1983).
Holderness dan Sheehan (1988) menunjukkan bahwa perusahaan
keluarga dapat menurunkan profitabilitas dan nilai perusahaan. Hasil penelitian
tersebut didukung Gómez-Mejía, Nuñez-Nikel, dan Gutiérrez (2001) yang
melaporkan bahwa keluarga cenderung mendukung anggota keluarga dalam
mengisi posisi manajemen, yang mengarah ke kerugian kompetitif dibandingkan
dengan bukan perusahaan keluarga.
Dari beberapa dampak negatif yang telah disebutkan di atas , kendali
keluarga juga memberikan dampak positif bagi perusahaan. Tingkat kendali
keluarga pada suatu perusahaan keluarga sangat mempengaruhi kinerja,
setidaknya dalam hal profitabilitas (Allouche et al., 2008). Sisi positif dari
kendali keluarga adalah perusahaan keluarga dapat meningkatkan profitabilitas
21
dan nilai perusahaan (Anderson dan Reeb, 2003; Villalonga dan Amit, 2006;
Bertrand dan Scholar, 2006).
Aspek positif dalam perusahaan keluarga adalah adanya komitmen yang
tinggi dari anggota keluarga, rasa memiliki yang menyebabkan lebih cepatnya
pencapaian tujuan perusahaan. Ada keserasian tata nilai dari anggota keluarga,
memudahkan terciptanya budaya korporasi yang sama diantara mereka, hingga
pengelolaan perusahaan berjalan lancar. Dalam bisnis keluarga juga ada rasa
saling percaya yang tinggi, dan hal ini menyebabkan proses pengawasan lebih
cepat. Untuk sumber keuangan, pada umumnya perusahaan didanai secara
konservatif atau berasal dari dana pribadi. Biasanya pengelolaan keuangan
perusahaan dilakukan secara hati-hati sebab menyangkut hajat hidup keluarga.
Silva dan Majluf (2008) menyatakan bahwa kendali keluarga,
khususnya, keterlibatan keluarga dalam dewan direksi, memiliki efek positif pada
kinerja perusahaan jika lembaga pemerintahan perusahaan dapat memanfaatkan
peluang yang beragam untuk koordinasi yang lebih baik, meningkatkan
komunikasi, dan manfaat saling percaya. Gambaran umum mengenai
perkembangan perusahaan keluarga di Indonesia adalah sebagian besar
perusahaan-perusahaan keluarga dipimpin dan dikendalikan oleh pendiri atau dari
kalangan keluarga. Selain itu dalam perusahaan keluarga banyak juga perusahaan
yang mempekerjakan anggota keluarganya dalam usaha tersebut.
Anderson dan Reeb (2003) menemukan bahwa perusahaan keluarga
mempunyai kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan lainnya,
terutama terjadi pada perusahaan dimana pendiri tersebut masih aktif menjadi
22
CEO perusahaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa CEO dari kalangan keluarga
dapat menghancurkan dua mitos: pertama, bahwa kepemilikan keluarga dan
keterlibatan adalah pengaruh negatif terhadap kinerja perusahaan, dan kedua,
bahwa pemegang saham minoritas yang terpengaruh oleh kepemilikan keluarga.
Berdasarkan Isakov dan Weisskopf (2009), kinerja perusahaan keluarga
dengan CEO eksternal rendah dibandingkan dengan mereka dengan para CEO
keluarga dalam konteks kinerja akuntansi (ROA). Di Benua Eropa, perusahaan
keluarga dengan CEO keluarga menunjukkan kinerja yang lebih baik
dibandingkan dengan perusahaan keluarga dengan para CEO non-keluarga
(Barontini dan Caprio, 2006).
Selain itu, Villalonga dan Amit (2006) meneliti tentang kontribusi
kepemilikan keluarga, kendali, dan manajemen terhadap kinerja perusahaan.
Penilitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa kepemilikan keluarga dapat
menambah nilai perusahaan ketika bentuk kendali keluarga dan manajerial
dikombinasikan dengan benar. Ketika pihak keluarga yang menduduki posisi
manjerial atau bertindak sebagai CEO melaksanakan mekanisme pengelolaan dan
pengendalian yang baik, maka justru akan memberikan dampak positif bagi
keluarga. Namun hal serupa tidak dapat ditemukan di Kanada menurut penilitian
yang dilakukan oleh Morck et al (2000) yang disebabkan oleh lemahnya
pertumbuhan perusahaan karena tingginya halangan atas kendali dari pihak luar,
dan investasi yang tidak inovatif.
23
2.1.5. Keberlanjutan Perusahaan Keluarga
Menjadi pemimpin perusahaan merupakan tantangan besar. Menciptakan
pemimpin perusahaan secara profesional merupakan tantangan besar berikutnya
yang harus dilakukan para pemimpin perusahaan agar perusahaannya dapat
berkembang secara berkelanjutan khususnya pada perusahaan keluarga. Terdapat
arena tarik ulur antara kepentingan keluarga dan kepentingan bisnis secara
profesional. Arena tarik ulur ini harus dikelola agar berjalan seiring dengan
kebutuhan bisnis untuk tumbuh.
Definisi umum mengenai keberlanjutan erat kaitannya dengan faktor-
faktor yang mempengaruhi kemampuan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
tanpa sebuah pengorbanan terhadap kemampuan generasi mendatang dalam
memenuhi kebutuhannya. Keberlanjutan suatu sistem bisnis keluarga adalah
kesatuan yang menyeluruh dan mengancam kewajaran sistem bisnis dan keluarga
(Danes, Loy, dan Stafford, 2008). Fungsi antara kesuksesan bisnis dan fungsi
keluarga merupakan keberlanjutan dari sebuah bisnis keluarga.
Kunci utama atas keberlanjutan bisnis keluarga merupakan kebutuhan
untuk mengamankan ketahanan jangka panjang dan kontinuitas bisnis pada masa
kepemilikkan dimana disisi lain menyeimbangkan kebutuhan untuk menggalakan
bisnis secara mandiri dan secara pengelolaannya. Miller dan Le Breton-Miller
(2007) mengembangkan tipologi yang menunjukkan bagaimana perusahaan milik
keluarga berbeda dengan perusahaan-perusahaan lain yang sebanding dalam
24
jangka panjang. Dengan demikian, pemilik keluarga dan pengusaha sangat
bergantung pada pilihan falsafat mereka yang mempengaruhi penilaian
berkelanjutan dan pengambilan keputusan strategis.
Dan juga sebuah program suksesi sangat penting bagi keberhasilan,
keberlanjutan, dan stabilitas dari setiap perusahaan (Goldman et al, 2009). Ini
dikarenakan tidak selamanya manajemen senior dapat menduduki jabatannya. Ada
saatnya ia harus menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada penggantinya.
Regenerasi kepemimpinan perlu dijalankan, terutama supaya menjaga visi dan
misi yang ingin dicapai dapat dilanjutkan oleh pemimpin berikutnya. Inilah
mengapa suksesi sangat diperlukan demi bertahannya sebuah perusahaan, apalagi
ditambah dengan persaingan yang ketat.
2.1.6. Kinerja Keuangan
Keseluruhan asset, kemampuan, proses organisasi, atribut perusahaan,
informasi, pengetahuan dan lain-lain yang dikendalikan oleh sebuah perusahaan
merupakan sumberdaya. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya, seluruh
sumberdaya tersebut membuat perusahaan mampu menyusun dan
mengimplementasikan berbagai strategi (Barney, 1991).
Efisiensi dalam hal utilitas sumberdaya dan disisi lain pencapaian tujuan
organisasi mengarah pada kinerja secara luas (Dyer, 2006). Kinerja perusahaan
dapat dikatakan suatu gambaran tentang kondisi keuangan suatu perusahaan yang
dianalisis dengan alat-alat analisis keuangan, sehingga dapat diketahui mengenai
baik buruknya keadaan keuangan suatu perusahaan yang mencerminkan prestasi
25
kerja dalam periode tertentu. Hal ini sangat penting agar sumber daya digunakan
secara optimal dalam menghadapi perubahan lingkungan. Penilaian kinerja
keuangan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen
agar dapat memenuhi kewajibannya terhadap para penyandang dana dan juga
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Kinerja perusahaan
dapat diukur dengan finansial dan non-finansial (Neely et al., 2000).
Tujuan penting didirikannya perusahaan adalah memaksimalkan kekayaan
pemegang saham melalui peningkatan nilai perusahaan (Brigham dan Houston,
2001). Untuk mencapai tujuan ini, perusahaan harus memanfaatkan keunggulan
dari kekuatan perusahaan dan secara terus menerus memperbaiki kelemahan –
kelemahan yang ada. Salah satu caranya adalah mengukur kinerja keuangan
dengan menganalisa laporan keuangan menggunakan rasio-rasio keuangan. Hasil
pengukuran terhadap pencapaian kinerja dijadikan dasar bagi manajemen atau
pengelola perusahaan untuk perbaikan kinerja pada periode berikutnya dan
dijadikan landasan pemberian reward dan punishment terhadap manajer dan
anggota organisasi.
Pengukuran kinerja keuangan perusahaan dapat diukur dari laporan
keuangan yang dikeluarkan secara periodik. Laporan keuangan berupa neraca,
rugi-laba, arus kas, dan perubahan modal yang secara bersama-sama memberikan
suatu gambaran tentang posisi keuangan perusahaan. Informasi yang terkandung
dalam laporan keuangan digunakan investor untuk memperoleh perkiraan tentang
laba dividen di masa mendatang dan risiko atas penilaian tersebut (Brigham dan
Houston, 2006). Dengan demikian pengukuran kinerja keuangan dari laporan
26
keuangan dapat digunakan sebagai alat ukur pertumbuhan kekayaan pemegang
saham (investor).
Nicholson dan Keil (2003) telah memasukan ROA sebagai ukuran kinerja
perusahaan karena ini adalah ukuran yang umum digunakan dalam literatur.
Maury (2006) menyatakan bahwa kendali keluarga dikaitkan dengan penilaian
perusahaan yang lebih tinggi dengan menggunakan rasio keuangan dari
perusahaan keluarga. Dalam hal keuangan, peran kendali keluarga merupakan hal
yang masih dipelajari dan stabilitas bisnis serta perencanaan jangka panjang
terlindungi oleh kepemilikan keluarga.
Para peneliti menggunakan rasio keuangan dalam pengukuran kinerja
perusahaan keluarga. Beberapa dari peneliti tersebut adalah Bhagat dan Bolton
(2008), Navarro, Gómez-Ansón, dan Cabeza-García (2011), McConaughy dan
Philips (1999), Barontini dan Caprio (2006), Anderson dan Reeb (2003), dan
Maury (2006). Definisi rasio keuangan yang digunakan dalam penelitian ini
menurut Houston & Brigham (2010) sebagai berikut:
1. Rasio Likuiditas
Merupakan rasio yang menunjukkan hubungan antara kas dan aktiva
lancar lainnya dari sebuah perusahaan dengan kewajiban lancarnya. Dan aset yang
diperdagangkan di pasar aktif sehingga dapat dikonversi dengan cepat menjadi
kas pada harga pasar berlaku. Rasio likuiditas yang digunakan dalam penelitian
ini sebagai berikut:
27
Current Ratio
Rasio ini dihitung dengan membagi aktiva lancar dengan
kewajiban lancar. Ini mengindikasikan bahwa dari setiap hutang
lancer dapat ditutupi oleh aktiva-aktiva yang diperkirakan bisa
diubah menjadi uang tunai dalam waktu singkat . Current ratio
dapat dihitung dengan formula:
Current Ratio = %100Lancar Hutang
Lancar Aktivax
2. Rasio Aktivitas
Rasio yang menunjukkan kemampuan serta efisiensi perusahaan dalam
memanfaatkan aktiva yang dimilikinya atau perputaran (turnover) dari aktiva
tersebut. Rasio aktivitas yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
Total Assets Turn Over
Rasio yang mengukur perputaran dari seluruh aktiva perusahaan
yang mana dihitung dengan membagi penjualan dengan total aktiva. Total assets
turn over dihitung sebagai berikut:
Turn Assets Turn Over = %100Aktiva Total
Penjualanx
3. Rasio Profitabilitas
Rasio Profitabilitas yaitu sekelompok rasio yang memperlihatkan
pengaruh gabungan dari likuiditas, aktivitas dan hutang terhadap hasil operasi.
Rasio profitabilitas yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
Return On Assets
28
Merupakan rasio yang diperoleh dari pendapatan bersih dibagi
dengan jumlah aktiva. Return on assets dihitung dengan rumus:
Return On Assets = %100Aktiva Total
Bersih Labax
4. Rasio Leverage
Rasio untuk mengukur tingkat sejauh mana aktiva perusahaan telah
dibiayai oleh penggunaan hutang. Rasio leverage mempunyai rasio yang
digunakan untuk mengukur berapa aset perusahaan yang dibelanjai dengan
hutang. Rasio leverage yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
Debt Ratio
Rasio ini membagi jumlah utang yang dimiliki perusahaan dengan
total aktiva. Debt ratio dapat dihitung sebagai berikut:
Debt Ratio = %100Aktiva Total
Hutang Totalx
5. Rasio Penilaian
Rasio Penilaian, yaitu rasio yang memberikan ukuran kemampuan
manajemen dalam menciptakan nilai pasar. Nilai perusahaan dalam beberapa
literatur yang dihitung berdasarkan harga saham disebut dengan beberapa
istilah di antaranya:
a) Price Earnings Ratio (PER) yaitu harga yang bersedia dibayar oleh
pembeli apabila perusahaan itu dijual. PER dapat dirumuskan sebagai PER
= Price per Share / Earnings per Share. Menurut Tandelilin (2001) dalam
Sari (2005) bahwa pendekatan PER merupakan pendekatan yang lebih
29
populer dipakai di kalangan analisis saham dan para praktisi. Pendekatan
PER disebut juga pendekatan multiplier dimana investor akan menghitung
berapa kali nilai earnings yang tercermin dalam harga suatu saham.
PER = sahamlembar per Laba
saham Harga
b) Tobin’s Q yaitu nilai pasar dari suatu perusahaan dengan membandingkan
nilai pasar suatu perusahaan yang terdaftar di pasar keuangan dengan nilai
penggantian aset (asset replacement value) perusahaan. Salah satu versi
Tobin’s Q yang dimodifikasi dan disederhanakan oleh Marsha dan Murtaqi
(2017), yang menyatakan bahwa Tobin Q didefinisikan sebagai [Total Nilai
Pasar Saham Perusahaan (jumlah saham yang beredar x harga saham) /
Total nilai aset]. Rasio ini dihitung menggunakan nilai pasar suatu
perusahaan yang kemudian dibagi oleh nilai aset perusahaan. Jumlah saham
yang beredar dikalikan dengan harga saham saat ini yang kemudian dibagi
dengan total aset.
Tobin’Q = Aktiva Total
beredar) saham x saham (Harga
Jika nilai pasar semata-mata merefleksikan asset yang tercatat suatu
perusahaan maka Tobin’s Q akan sama dengan 1. Jika Tobin’s Q lebih besar
dari 1, maka nilai pasar lebih besar dari nilai asset perusahaan yang tercatat.
Hal ini menandakan bahwa saham overvalued. Apabila Tobin’s Q kurang
dari 1, nilai pasarnya lebih kecil dari nilai tercatat asset perusahaan. Ini
menandakan bahwa saham undervalued.
30
2.2. Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang sejenis yang berhubungan
dengan penelitian ini. Hasil penilitian sebagai berikut:
1) Cahyani dan Sanjaya (2014) melakukan penelitian dengan judul Analisis
Perbedaan Dividen Pada Perusahaan Keluarga Dan Non Keluarga
Berdasarkan Kepemilikan Ultimat. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis apakah ada perbedaan dividen yang dibagikan perusahaan
keluarga dan non keluarga berdasarkan kepemilikan akhir. Metode
sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah 400 perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (IDX), dengan periode
penelitian 2009-2012. Hasil analisis data menunjukkan ada perbedaan
secara signifikan dividen yang dibagikan antara perusahaan keluarga dan
bukan keluarga. Perusahaan keluarga membayar dividen lebih rendah
daripada perusahaan non keluarga.
2) Gill dan Kaur (2015) dengan penelitiannya yang berjudul Family
Involvement in Business and Financial Performance: A Panel Data
Analysis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
keterlibatan keluarga di bisnis (FIB) dengan kinerja keuangan (FP) pada
perusahaan yang termasuk dalam S & P BSE 500 Index selama periode
2006–2010. Selain itu penelitian bertujuan untuk mengetahui perbedaan
dalam pengukuran akuntansi dan kinerja keuangan antara perusahaan
keluarga (FCs) dan perusahaan non-keluarga (NFC). Model analisis
regresi panel fixed-effect digunakan untuk memeriksa hubungan tersebut.
31
Hasil penelitian menemukan bahwa keterlibatan anggota keluarga dalam
mengontrol bisnis keluarga (FIB) berhubungan secara signifikan dengan
kinerja perusahaan. Selanjutnya, kinerja perusahaan lebih tinggi untuk
perusahaan yang dikontrol oleh keluarga dibandingkan perusahaan non
keluarga.
3) Ondrej Machek, Martin Brabec, Jiri Hnilica (2013) dengan judul
Measuring Performance Gaps Between Family and Non-Family
Businesses: A Meta-Analysis of Existing Evidence. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah bisnis keluarga akan memiliki kinerja
perusahaan yang lebih baik daripada bisnis non-keluarga. Penelitian ini
menggunakan teknik analisis meta-analisis yaitu melakuan pengkajian
terhadap 78 penelitian. Setelah menganalisa sebanyak 78 penelitian
terhadap hubungan antara kepemilikan keluarga dengan kinerja
perusahaan menemukan bahwa hampir sebagian besar penelitian
menunjukkan adanya hubungan yang kuat keterlibatan keluarga terhadap
kinerja bisnis. Ukuran rata-rata pengaruhnya cukup positif, yang
menunjukkan adanya pengaruh positif kepemilikan dan manajemen
keluarga terhadap kinerja bisnis. Hasil juga menemukan bahwa ROA
sejauh ini merupakan ukuran yang paling sering digunakan kinerja
perusahaan, diikuti oleh Tobin’Q, pertumbuhan penjualan dan ROE.
4) Villalonga dan Amit (2006) dalam jurnalnya yang berjudul “How do
family ownership, control, and management effect firm value?”
Menganalisis pengaruh family ownership, control dan management
32
terhadap nilai perusahaan, dengan mengambil data pada seluruh
perusahaan pada Fortune-500 selama periode 1994-2000. Hasil
penelitiannya menunjukan bahwa family ownership dapat meningkatkan
nilai bagi perusahaan hanya jika pendiri perusahaan menjabat sebagai
CEO atau menduduki posisi chairman dengan merekrut CEO.
5) Özer (2012) dalam jurnalnya yang berjudul “The role of family control on
financial performance of family business in Gebze” Menganalisis peran
family control terhadap kinerja keuangan perusahaan keluarga, dengan
mengambil data pada 16 perusahaan keluarga di Gebze. Hasil
penelitiannya menunjukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara
Family member CEO dan Non family member CEO sejauh ROS yang
bersangkutan. Family member CEO lebih berhasil sejauh rasio ROA yang
bersangkutan, tetapi kurang berhasil sejauh rasio Total Debt/Total Asset
dan Non family member CEO lebih berhasil sejauh rasio Total Debt/Total
Asset yang bersangkutan, tetapi kurang berhasil sejauh rasio ROA.
6) Chu (2011) menguji hubungan family ownership dengan kinerja
perusahaan (ROA) dengan memperhitungkan keberadaan dari family
management, family control dan sebagai tambahan ukuran perusahaan
juga diperhitungkan dalam penelitiannya. Sampel yang digunakan adalah
786 perusahaan yang telah go public di Taiwan selama periode 2002-2007.
Hasil dari penelitian menunjukan bahwa family ownership memliki
hubungan positif signifikan terhadap kinerja perusahaan. Hubungan positif
tersebut lebih kuat apabila anggota keluarga pendiri perusahaan menjabat
33
sebagai CEOs, top manager, chairperson atau menjadi anggota dewan
direksi dari perusahaan. Hubungan antara family ownership dan kinerja
perusahaan juga lebih kuat dalam ukuran bisnis kecil dan menengah.
7) Barontini dan Caprio (2006) dengan jurnal yang telah dibuatnya yaitu
“The Effect of Family Control on Firm Value and Performance: Evidence
from Continental Europe” Dalam penelitiannya yang menggunakan 675
sampel perusahaan yang terdaftar di 11 negara Eropa menemukan adanya
hubungan positif signifikan antara kepemilikan keluarga dan nilai
perusahaan. Meskipun keterlibatan keluarga dalam suatu perusahaan
merupakan suatu alat yang paling dominan untuk mempertinggi kontrol
dalam perusahaan dan menunjukkan pemisahan yang lebih besar antara
kontrol dengan hak arus kas, namun terbukti bahwa nilai perusahaan dan
kinerja operasi perusahaan lebih tinggi. Ketika sebuah perusahaan dengan
kepemilikan keluarga dikelola oleh anggota keluarga, konflik antara
pemegang saham, manajer, dan kreditur dapat diminimalkan. Hal tersebut
terjadi karena keterlibatan keluarga baik pendiri maupun pewaris (penerus)
memiliki komitmen yang lebih tinggi terhadap perusahaan dan dengan
adanya anggota keluarga tersebut dapat memonitor perusahaan dengan
lebih baik.
8) Anderson dan Reeb (2003) dalam jurnalnya yang berjudul “Founding-
family ownership and firm performance: Evidence from the S&P 500,”
Meneliti hubungan antara founding-family ownership dengan kinerja
perusahaan, dengan mengambil sampel 403 perusahaan dari indeks S&P
34
500 di Amerika Serikat. Mereka menemukan bahwa kinerja perusahaan
keluarga lebih baik dibandingkan perusahaan non keluarga. Analisis yang
mereka lakukan mengungkapkan bahwa hubungan antara kepemilikan
perusahaan oleh keluarga dan kinerja perusahaan adalah non-linier.
Kinerja perusahaan dengan anggota keluarga menjabat sebagai CEO lebih
baik dibandingkan dengan perusahaan keluarga dengan CEO berasal dari
pihak luar.
9) Allouche et al (2008) dalam jurnalnya yang berjudul “The Impact of
Family Control on the Performance and Financial Characteristics of
Family Versus Nonfamily Businesses in Japan: A Matched-Pair
Investigation” Meneliti dampak family control terhadap kinerja dan
membandingkan family businesses dan non family businesses pada
perusahaan-perusahaan di Jepang pada tahun 1998 dan 2003. Analisis
yang mereka lakukan mengungkapkan bahwa kinerja bisnis keluarga lebih
baik dari bisnis non keluarga, baik untuk keuntungan dan struktur keuangan,
dan di sisi lain, tingkat kendali keluarga sangat mempengaruhi kinerja,
setidaknya dalam hal profitabilitas.
2.3. Hipotesis Penelitian
2.3.1 Perbedaan Likuiditas antara Perusahaan Keluarga dan Non
Keluarga
Current Ratio yang tinggi menunjukkan adanya uang kas yang
berlebihan dibanding dengan tingkat kebutuhan atau adanya unsur aktiva
lancar yang rendah likuiditasnya yang berlebih-lebihan. Current Ratio yang
35
tinggi tersebut baik dari sudut pandangan kreditur, tetapi dari sudut
pandangan pemegang saham (investor) kurang menguntungkan karena aktiva
lancar tidak didayagunakan dengan efektif. Sebaliknya Current Ratio yang
rendah relatif lebih riskan, tetapi menunjukkan bahwa manajemen telah
mengoperasikan aktiva lancar secara efektif (Djarwanto, 2001).
Hubungan perusahaan keluarga dengan Current Ratio dijelaskan
bahwa Keterlibatan keluarga dalam bisnis memiliki potensi yang dapat
meningkatkan kinerja keuangan yang disebabkan oleh agency cost (Litz et al.
2004). Agency cost ini dapat timbul ketika perusahaan keluarga
mempekerjakan pihak luar keluarga sebagai agen di perusahaan. Penelitian
dari Litz et al. (2004) menjelaskan bahwa perusahaan yang dikelola oleh
keluarga akan memiliki tingkat agency cost sama dengan nol sesuai dengan
penelitian dari Jensen dan Meckling (1976). Current Ratio merupakan
perbandingan dari total hutang lancar dengan aktiva lancar seperti kas,
piutang dan persediaan yang termasuk didalamnya adalah investasi. Ketika
terjadi biaya keagenen yang sangat rendah, maka iklim investasi menjadi
semakin tinggi sehingga akan meningkatkan aktiva lancarnya.
Agency theory tipe I menyoroti konflik antara manajer dan pemegang
saham. Berdasarkan agency theory tipe I, perusahaan dengan manajemen
keluarga merupakan salah satu bentuk organisasi yang paling efisien dan
agency cost-nya paling kecil (Fama & Jensen, 1983). Selain itu, keunikan
strukur dari perusahaan keluarga memotivasi family managers untuk berkerja
dan mencapai tujuan utama perusahaan sekaligus berkontribusi pada kinerja
36
perusahaan (Kim & Gao, 2013). Hasil penelitian Gill dan Kaur (2015)
menemukan bahwa , kinerja perusahaan lebih tinggi untuk perusahaan yang
dikontrol oleh keluarga dibandingkan perusahaan non keluarga.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis pertama penelitian ini
adalah :
H1. Terdapat perbedaan rasio likuiditas antara perusahaan keluarga dan
perusahaan non keluarga.
2.3.2 Perbedaan Rasio Aktivitas Antara Perusahaan Keluarga dan Non
Keluarga
Rasio aktivitas, menunjukan sejauh mana efisiensi perusahaan dalam
menggunakan asset untuk memperoleh penjualan. Rasio aktivitas
menggambarkan hubungan antara tingkat operasi perusahaan dengan asset
yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan operasi tersebut. Aktivitas
perusahaan menunjukan tingkat efektivitas yang ada pada perusahaan.
Semakin tinggi tingkat aktivitas yang ada pada perusahaan semakin besar
aliran kas yang diterima perusahaan berarti semakin efektif dalam mengelola
aktivitas transaksi yang ada di perusahaan, sehingga akan mendorong pada
peningkatan nilai perusahaan. Perusahaan dengan aktivitas yang besar akan
cenderung memiliki perputaran penjualan yang semakin besar, sehingga akan
meningkatkan laba, sehingga hal ini akan direspon positif oleh investor yang
ditunjukkan dengan peningkatan harga sahamnya.
Menurut Altindag et al (2011) salah satu keunggulan bisnis keluarga
adalah memberikan perhatian yang lebih besar kepada pelanggan
37
dibandingkan bisnis lainnya. Hal ini menyebabkan kepentingan pelanggan
menjadi diutamakan. Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi penjualan
produknya sehingga aktivitas perusahaan mengalami peningkatan. Hasil
penelitian Ondrej Machek, Martin Brabec, Jiri Hnilica (2013) menemukan
bahwa adanya pengaruh positif kepemilikan dan manajemen keluarga
terhadap kinerja bisnis yang salah satu ukurannya adalah dari penjualan
perusahaan. Berdasarkan teori tersebut maka hipotesis kedua penelitian ini
adalah sebagai berikut :
H2. Terdapat perbedaan rasio aktivitas antara perusahaan keluarga dan
perusahaan non keluarga
2.3.3 Perbedaan Profitabilitas Antara perusahaan Keluarga dan Non
Keluarga
Rasio profitabilitas, dapat mengukur seberapa besar kemampuan
perusahaan memperoleh laba baik dalam hubungannya dengan penjualan ,
asset maupun laba bagi modal sendiri. Semakin besar profitabilitas
perusahaan menunjukkan bahwa kinerja perusahaan dalam keadaan cukup
bagus sehingga perusahaan mampu untuk membayar beban dan kewajiban
perusahaan.
Adanya family control diyakini akan terus menungguli perusahaan
keluarga karena adanya keunikan, dan semangat dari perusahaan keluarga.
Adanya keunikan membuat perusahaan mencapai competitive advantage
dan memiliki sense of belonging yang tinggi membuat pemilik peduli
dengan kelangsungan hidup perusahaan sehingga mereka memiliki
38
dorongan untuk melakukan kontrol pada perusahaan secara efektif.
Adanya semangat yang lebih unggul akan membuat kinerja perusahaan
keluarga lebih unggul dibanding non keluarga. Adanya emangat dan
kontrol yang efektif tersebut akan direfleksikan dalam strategi perusahaan
dan menghasilkan profitabilitas yang lebih tinggi (Santoso & Juniarti,
2014)
Hasil penelitian bertentangan dengan penelitian Cahyani dan Sanjaya
(2014) menemukan bahwa ada perbedaan secara signifikan dividen yang
dibagikan antara perusahaan keluarga dan bukan keluarga. Hasil penelitian
Ondrej Machek, Martin Brabec, Jiri Hnilica (2013) juga menemukan
bahwa adanya pengaruh positif kepemilikan dan manajemen keluarga
terhadap kinerja bisnis yang diukur dengan ROA. Berdasarkan penjelasan
tersebut maka hipotesis keempat adalah sebagai berikut:
H3. Terdapat perbedaan rasio profitabilitas antara perusahaan keluarga dan
perusahaan non keluarga
2.3.4 Perbedaan Rasio Leverage Antara Perusahaan Keluarga dan
Perusahaan Non Keluarga
Rasio leverage yang diproksikan dengan Debt Ratio (DR) digunakan
dalam penelitian yaitu karena dapat mengetahui perbandingan antara
penggunaan hutang dengan total asset perusahaan tersebut dalam membiayai
operasional banyak menggunakan hutang atau modal sendiri. Semakin kecil
rasio leverage maka perusahaan-perusahaan tersebut sangat kecil sekali
pendanaan nya yang berasal dengan menggunakan hutang atau pendanaan dari
39
luar. Penggunaan dana dari luar yang sangat kecil dapat menjauhkan dari
resiko kebangkrutan. Hasil penelitian Özer (2012) menemukan bahwa ada
perbedaan signifikan Total Debt/Total Asset antara Family member CEO dan
Non family member CEO dimana perusahaan non keluarga memiliki Total
Debt/Total Asset yang lebih tinggi.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis keempat penelitian
adalah :
H4. Terdapat perbedaan rasio leverage antara perusahaan keluarga dan
perusahaan non keluarga
2.3.5 Perbedaan Rasio Penilaian Antara Perusahaan Keluarga dengan
Perusahaan Non Keluarga
Rasio Penilaian, yaitu rasio yang memberikan ukuran kemampuan
manajemen dalam menciptakan nilai pasar. Menurut Hanafi dan Halim
(2009) rasio nilai pasar dapat diukur dengan Price Earning Ratio (PER).
Price Earning Ratio adalah rasio yang menggambarkan ketersediaan
investasi membayar suatu jumlah tertentu untuk setiap perolehan laba
perusahaan. Menurut Khosravani, dkk (2012) mengatakan bahwa price
earning ratio masing-masing saham dapat menjadi faktor yang efektif
dalam pengambilan keputusan investor. Beberapa peserta di pasar yang
sensitif terhadap fluktuasi rasio PER dan mencoba untuk menemukan rasio
yang cocok. Biasanya, ketika spekulan PER telah mengalami tren
penurunan, membeli saham, karena mereka percaya bahwa pengurangan
ini bersifat sementara dan akan ditingkatkan di masa depan. Namun
40
pandangan ini ke PER tidak umum dan tergantung pada kondisi yang ada
perusahaan. Ketika investor memiliki beberapa harapan untuk sebuah
perusahaan, pembelian saham dan permintaan yang tinggi, harga saham
perusahaan akan meningkat dan sebagai hasilnya, price earning ratio akan
meningkat.
Perusahaan keluarga akan memiliki superior incentives yang
ditunjukkan dengan adanya pemikiran jangka panjang terhadap
kelangsungan hidup perusahaan yang akan diimplementasikan dengan
keputusan investasi jangka panjang yang menguntungkan dengan adanya
pemberian return yang stabil. Hal ini membawa pengaruh reputasi
perusahaan menjadi lebih baik serta direspon positif oleh investor karena
membuatnya merasa aman untuk berinvestasi. Serta membuat stock market
price perusahaan keluarga lebih baik dan lebih tinggi, sehingga rasio
penilaian harga saham juga mengalami peningkatan (Santoso dan Januarti,
2014). Hasil penleitian Villalonga dan Amit (2006) menemukan bahwa
family ownership dapat meningkatkan nilai bagi perusahaan hanya jika
pendiri perusahaan menjabat sebagai CEO atau menduduki posisi
chairman dengan merekrut CEO.
Berdasarkan teori tersebut maka hipotesis kelima penelitian ini
adalah :
H5 : Terdapat perbedaan rasio penilaian harga saham antara perusahaan
keluarga dan perusahaan non keluarga
41
2.3.6 Perbedaan Nilai Perusahaan Antara Perusahaan Keluarga dengan
Perusahaan Non Keluarga
Konflik keagenan tipe II muncul sebagai akibat adanya tindakan
expropriation dari pihak keluarga dalam perusahaan. Pihak keluarga, akan
memperkaya diri dengan tidak membayar dividen, atau melakukan transfer
keuntungan ke perusahaan lain yang mereka kuasai, atau de facto
expropriation dengan mengejar tujuan nonprofit-maximazing (Thadete dan
Juniarti, 2014). Keluarga juga bertindak sebagai pemegang ekuitas
perusahaan mempunyai insentif untuk mendorong perusahaan agar
mengambil banyak keputusan dengan resiko yang tinggi dengan tujuan
memaksimalkan kekayaan investor mayoritas (Jensen & Meckling, 1976).
Indonesia memiliki tingkat perlindungan investor yang rendah,
memungkinkan expropriation terjadi dalam perusahaan family control. Hal
ini akan berakibat pada turunnya nilai perusahaan karena dapat
menimbulkan kerugian bagi investor minoritas (Thadete dan Juniarti,
2014).
Hasil penelitian Cahyani dan Sanjaya (2014) menemukan bahwa
Perusahaan keluarga membayar dividen lebih rendah daripada perusahaan
non keluarga. Sedangkan hasil penelitian Villalonga dan Amit (2006)
menemukan bahwa family ownership dapat meningkatkan nilai bagi
perusahaan hanya jika pendiri perusahaan menjabat sebagai CEO atau
menduduki posisi chairman dengan merekrut CEO. Berdasarkan teori
tersebut maka hipotesis keenam penelitian ini adalah :
42
H6 : Terdapat perbedaan nilai perusahaan antara perusahaan keluarga dan
perusahaan non keluarga
2.4. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan teori dan telaah penelitian sebelumnya maka dapat digambarkan
kerangka teori sebagai berikut:
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Perusahaan Keluarga Perusahaan Non Keluarga
Kinerja Perusahaan
1. Likuiditas
2. Aktivitas
3. Profitabilitas
4. Leverage
5. Rasio Penilaian Harga Saham
6. Nilai Perusahaan
Kinerja Perusahaan
1. Likuiditas
2. Aktivitas
3. Profitabilitas
4. Leverage
5. Rasio Penilaian Harga Saham
6. Nilai Perusahaan
UJI BEDA