Fiktif Disudutkan Saksi - Audit Board of Indonesia...Sub Bagian Humas dan Tata Usalra BPI( Rl Perwal
Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
Transcript of Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
1
Bab I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra sebagai sebuah produk budaya telah dipandang sebagai salah satu
elemen yang penting dalam perkembangan kehidupan manusia baik sebagai
makhluk sosial maupun individu. Kutha Ratna (2004:332) menyatakan bahwa
fungsi utama karya sastra adalah untuk melukiskan dan mencerminkan kehidupan
manusia, sedangkan kehidupan manusia itu selalu mengalami perkembangan.
Artinya semakin kompleks kehidupan manusia semakin berkembang pula genre
yang dimiliki oleh sastra. Dapat dilihat buktinya pada zaman Yunani Kuno,
pembicaraan terhadap sastra hanya sebatas pada puisi. Lain halnya dengan kondisi
saat ini, genre-genre sastra telah berkembang sangat jauh dibandingkan dengan
yang terdapat pada zaman tersebut.
Saat ini genre prosa, lebih khususnya lagi novel, adalah jenis karya sastra
yang paling populer. Hal tersebut dikarenakan novel memiliki sarana penceritaan
yang paling lengkap dan dianggap memiliki kemiripan paling dekat dengan narasi
nonsastra (Ratna, 2011:482). Jika dilihat awal perkembangannya kata ‘novel’ pada
akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 memang dapat digunakan untuk kejadian
nyata maupun fiktif (Eagleton, 2006:2). Hal tersebut setidaknya dapat menjelaskan
2
keluwesan yang dimiliki oleh novel dari segi penceritaannya yang dapat
menggabungkan antara unsur-unsur fiktif dan faktual sehingga menghasilkan
sebuah karya yang menarik untuk disimak. Dalam hal ini perlu ditekankan kembali
unsur kefiktifan yang dimiliki oleh karya sastra. Para penikmat genre tersebut tidak
jarang terpukau oleh unsur-unsur faktual yang dibubuhi oleh pengarang sehingga
terhanyut dan melupakan hal terpenting bahwa yang mereka baca adalah fiktif
belaka.
André Malraux, sebagai salah satu pengarang besar Prancis abad ke-20, telah
dikenal melalui novel-novelnya yang banyak menampilkan unsur-unsur faktual.
Karya-karya yang ia hasilkan sebagian besar memang terinspirasi langsung dari
pengalaman-pengalaman hidupnya yang penuh petualangan. Lahir di Paris pada 3
November 1901 selain seorang novelis Malraux juga merupakan seorang seniman,
sejarawan dan negarawan yang aktif mendukung jendral Charles de Gaulle sehingga
selama masa pemerintahan sang jendral, Malraux ditugaskan untuk menjadi menteri
kebudayaan Prancis karena kepiawaian yang dimilikinya1.
Saat-saat mudanya ia gunakan untuk bertualang menjelajahi hutan di
Indochina untuk mencari peninggalan-peninggalan peradaban Khmer kuno. Aksinya
tersebut membuat ia ditangkap oleh pemerintah kolonial Prancis di Kamboja karena
dianggap telah melakukan penjarahan makam. Malraux akhirnya dinyatakan bebas
setelah mengajukan banding pada pemerintah di Paris. Penganiyaan yang ia terima
1 André Lagard et al. 1973. XXe Siècle Collection Littéraire. Paris, Bruxelles, Montréal : Bordas.
Halaman 482
3
selama masa penahanan oleh pemerintah kolonial membuatnya menjadi seorang
anti-kolonialisme dan mendukung pergerakan Jeune-Annam, sebuah kelompok
pergerakan kemerdekaan Vietnam, dengan mendirikan sekaligus menjadi editor
surat kabar L'Indochine Enchaînée2.
Sekembalinya Malraux ke Eropa, karena meluasnya ancaman fasisme yang
dipimpin oleh Hitler, ia turut pula terjun langsung pada peristiwa-peristiwa yang
penting seperti perang sipil di Spanyol dan perang dunia kedua. Pada kedua perang
tersebut ia turut serta dalam berbagai aksi pertempuran. Di Spanyol ia dipercaya
oleh pasukan Republik untuk menjadi kapten bagi satu skuadron pesawat tempur
dengan pangkat kolonel. Setelah melalui berbagai pertempuran di front terdepan ia
berangkat ke Amerika Serikat dengan tujuan membantu mengumpulkan dana untuk
keperluan medis di Spanyol. Selanjutnya pada perang dunia kedua yang meletus
pada tahun 1939, Malraux mendaftarkan diri menjadi anggota militer dan
ditempatkan sebagai prajurit di unit tank Prancis. Saat Jerman berhasil
menundukkan pasukan Prancis Malraux juga ikut tertangkap dan dijadikan tahanan
selama masa penaklukan. Ia mampu melarikan diri dari tahanan namun kembali
tertangkap dan baru dapat dibebaskan setelah pasukan sekutu membebaskan Prancis.
Setelah itu ia membentuk dan memimpin Brigade Alsace-Loraine untuk
2 Curtis Cate. 1997. André Malraux : A Biography. New York : Fromm Publishing. Halaman 86-96
4
melanjutkan peperangan melawan Jerman mendampingi pasukan divisi satu Prancis
hingga perang dunia kedua berakhir3.
Berbagai aksi dan petualangan yang dialami oleh Malraux tersebut menjadi
inspirasi utama bagi karya-karyanya. Karya pertamanya berjudul Les Conquérants,
yang terbit pada tahun 1928 terinspirasi dari perjalanannya selama di Indochina.
Novel tersebut bercerita tentang perjuangan partai Kuomintang dan partai Komunis
Cina dalam revolusi di Kanton pada tahun 1920-an. Dilanjutkan dengan La Voie
Royale yang terbit pada tahun 1930, Malraux menuangkan kisah perjalanannya
mencari peninggalan peradaban Khmer kuno di hutan Indochina ke dalam karyanya
tersebut. Berikutnya Le Temps du Mépris (1935) dan L’Espoir (1938) merupakan
karyanya yang dihasilkan selama masa-masa pergolakan fasisme di Eropa. Le
Temps du Mépris menceritakan perlawanan bawah tanah terhadap Nazi di Jerman
sedangkan L’Espoir mengisahkan kilas balik kejadian selama sembilan bulan
pertama perang sipil di Spanyol. Selain karya-karya Malraux di atas terdapat satu-
satunya novel yang dianggap sebagai sebuah masterpiece dan berhasil mendapatkan
penghargaan ternama Prix Goncourt dari Académie Goncourt yaitu La Condition
Humaine 4 . Penciptaan Novel La Condition Humaine didasari atas rasa simpati
Malraux terhadap kaum komunis di Cina. La Condition Humaine berlatar belakang
kondisi revolusi di Shanghai pada tahun 1927 yang berakhir tragis dengan
pembantaian anggota-anggota komunis militan Shanghai oleh partai Kuomintang
3 André Georges Malraux. (2011). Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Classroom
Edition. Chicago: Encyclopædia Britannica 4 Ibid
5
pimpinan Chang-Kai-Shek. Sebelumnya partai Komunis Cina dan Kuomintang
bersatu untuk melawan pemerintahan utara namun seiring kekalahan musuh
bersama mereka itu, gesekan-gesekan kepentingan antara dua partai besar tersebut
sebagai pemimpin Cina yang baru tidak terelakkan lagi. Partai Komunis Cina yang
didukung oleh kaum buruh dan petani ingin mendirikan pemerintahan yang berbasis
ajaran komunis, sedangkan partai Kuomintang yang didukung oleh kaum borjuis
menentang hal tersebut karena harta yang mereka miliki terancam diambil alih oleh
pemerintah komunis jika hal itu terjadi. Selain itu terjadi pula perpecahan di dalam
tubuh partai Komunis antara Komunis militan Shanghai dan Komunis Internasional
atau Komintern. Komunis militan berkeinginan keras agar partai Komunis Cina
memisahkan diri dari Kuomintang dan mengobarkan revolusi untuk mengambil alih
Cina sedangkan Komintern menginginkan hal yang sebaliknya dengan alasan posisi
mereka yang dianggap masih lemah.
Novel La Condition Humaine mampu menarik pembacanya untuk larut ke
dalam sebuah peristiwa revolusi yang penuh akan penderitaan tiap-tiap tokohnya
untuk menemukan makna hidup dan perjuangan masing-masing individu. Tokoh-
tokoh yang dimaksud bukan hanya berasal dari pihak-pihak yang mendukung
terjadinya revolusi melainkan juga mereka yang menentang atau bahkan tidak
peduli terhadap keberlangsungan revolusi. Makna novel La Condition Humaine
bukanlah semata-mata pertarungan antara dua kubu yang saling berhadapan secara
frontal dan juga bukan untuk menundukkan suatu musuh dalam pertikaian. Makna
novel lebih ditekankan pada upaya pencarian arti hidup dan pembebasan diri dari
6
kodrat kemanusiaan yang dimiliki oleh para tokohnya. Hal tersebutlah yang
menjadikan La Condition Humaine sangat menarik untuk ditinjau dari segi
penokohan novel. Tiap-tiap individu dalam La Condition Humaine merupakan
tokoh sentral yang tergabung dalam sebuah komunitas revolusi. Setiap tokoh novel
memiliki keunikan ditinjau dari latar belakang dan permasalahan hidup yang
mereka hadapi.
Di antara tokoh-tokoh dalam novel La Condition Humaine pengarang nampak
memiliki simpati tersendiri dengan memberikan penekanan terhadap pentingnya
tokoh yang bernama Baron de Clappique dalam bukunya Anti-Mémoire5. Clappique
digambarkan sebagai tokoh yang hidup dalam imajinasi dan menjauhkan diri dari
realitas kehidupan. Ia terjebak di antara orang-orang yang mendukung revolusi dan
orang-orang yang menentangnya. Sementara ia dapat berguna bagi kepentingan
revolusi namun juga dapat merugikan bahkan fatal bagi perjuangan. Perilakunya
konyol, sulit ditebak dan hampir tidak pernah serius seperti seseorang yang
memiliki kepribadian ganda. Seringkali ia meniru gaya tokoh-tokoh terkenal dan
seakan-akan mengasosiasikan dirinya dengan tokoh yang ia tiru tersebut. Ia pun
gemar menceritakan kisah-kisah imajinasi yang seolah-olah nyata sehingga menarik
perhatian orang-orang yang berbicara dengannya. Clappique selalu bersembunyi di
balik kebohongan-kebohongan dan sikapnya yang sulit ditebak (Goldmann,
5 Claude Tannery. 1991. Malraux, the Absolute Agnostic; Or, Metamorphosis as Universal
Law.Chicago: University of Chicago Press.
7
1973:67). Penyebab dari semua tingkah laku aneh yang dimiliki oleh Clappique
adalah dikarenakan ia menderita gangguan psikologi yang disebut mythomania.
1.2 Permasalahan
Pada umumnya karya sastra menampilkan dikotomi antara tokoh protagonis
dan antagonis dalam unsur penokohannya. Banyak pengarang menyajikan
perseteruan dua sisi yang berlawanan tersebut sebagai sebuah konflik utama dalam
karya ciptaan mereka. Novel La Condition Humaine memiliki perbedaan dengan
karya-karya pada umumnya dalam aspek tersebut. Hal ini dikarenakan yang terjadi
di antara tokoh-tokohnya tidak difokuskan pada pertarungan antara dua kubu yang
saling berselisih. Perseteruan antara partai Kuomintang dan partai Komunis Cina
yang disajikan sepanjang novel La Condition Humaine hanyalah sebagai latar
belakang. Permasalahan utama yang ditonjolkan oleh pengarang dalam La
Condition Humaine ialah terletak pada upaya pencarian arti hidup dan pembebasan
diri tiap-tiap tokohnya. Di antara tokoh-tokoh tersebut penulis tertarik untuk
mengangkat tokoh Baron de Clappique sebagai objek utama penelitian dikarenakan
aspek kelainan psikologis berupa kecenderungan mythomaniac yang diderita
olehnya. Minimnya pemahaman di dalam masyarakat umum mengenai gangguan
psikologis tersebut menjadi masalah dalam menangkap pesan yang ingin
disampaikan oleh pengarang melalui tokoh Baron de Clappique. Pesan tersebut
nampak tersimpan dalam hubungan antara mythomania pada Clappique dengan
makna novel yang disampaikan oleh Malraux dalam karyanya tersebut.
8
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, didapatkan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:
1) Penyebab dan gejala-gejala kecenderungan mythomaniac yang diderita
oleh Baron de Clappique.
2) Akibat kecenderungan mythomaniac terhadap diri Baron de Clappique dan
lingkungan di sekitarnya.
3) Hubungan antara mythomania pada tokoh Baron de Clappique dengan
tema takdir manusia dalam novel.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua macam tujuan, yaitu tujuan teoritis dan tujuan
praktis. Tujuan teoritis penelitian ini adalah menghadirkan pemahaman mengenai
gejala dan penyebab kecenderungan mythomaniac yang diderita oleh tokoh Baron
de Clappique dalam novel La Condition Humaine dengan menggunakan teori
psikologi sastra dan pemahaman mengenai kecenderungan mythomaniac dari
beberapa ahli psikologi. Penelitian ini bertujuan pula untuk mengembangkan
psikologi sastra sebagai sebuah teori yang mampu mengungkap berbagai
penggunaan konsep kelainan psikolgis dalam suatu karya sastra.
Tujuan praktis penelitian ini adalah sebagai sebuah sumbangan pembelajaran
serta apresiasi kesusatraan Prancis khususnya novel La Condition Humaine. Lebih
9
lanjut penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan wawasan dan pemahaman
yang lebih luas kepada pembaca mengenai konsep mythomania yang diterapkan
dalam suatu karya sastra sehingga pesan pengarang yang ingin diungkapkan
melaluinya dapat diterima dengan lebih baik.
1.5 Tinjauan Pustaka
Karya-karya yang dihasilkan oleh André Malraux tentunya telah banyak
dijadikan objek penelitian. Di antaranya yang terkenal adalah penelitian yang
dilakukan oleh Lucien Goldmann dalam bukunya Pour Une Sociologie du Roman.
Dalam penelitian tersebut Goldmann menggunakan teori strukturalisme genetik
yang ia ciptakan untuk menganalisis novel-novel André Malraux, khususnya tiga
novel pertamanya yaitu Les Conquérants, La Voie Royale dan La Condition
Humaine. Sesuai dengan tujuan teori strukturalisme genetik, Goldmann dalam
penelitianya mengungkapkan pandangan dunia Malraux di dalam karya-karyanya.
Melalui dua novel revolusi yang diciptakan Malraux yaitu Les Conquérants (1928)
dan La Condition Humaine (1933), Goldmann menyatakan bahwa Malraux tidak
mengidentifikasikan dirinya dengan partai komunis pada saat ia menulis kedua
novel tersebut. Partai tersebut memang hadir dalam karyanya namun nilai-nilai
fundamental yang menyusun dunia di dalam dua karya tersebut berbeda. Selain itu
diungkapkan pula faktor-faktor yang memberikan pengaruh terhadap pemikiran
Malraux dalam karyanya-karyanya seperti latar belakang sejarah dan kondisi sosial
saat karya tersebut dihasilkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun
10
menggunakan objek penelitian yang sama namun teori yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu psikologi sastra, berbeda dengan yang digunakan oleh
Goldmann, yaitu strukturalisme genetik.
Selain itu ditemukan juga sebuah skripsi di dalam lingkungan Fakultas Ilmu
Budaya UGM yang berjudul Roman La Condition Humaine Karya André Malraux
oleh Mohammad Ma’sum (1994). Dengan menggunakan teori struktural, skripsi
tersebut meneliti tentang unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada novel seperti alur,
penokohan, latar, sudut pandang dan tema. Keberadaan unsur-unsur intrinsik
tersebut dibuktikan memilki perpaduan yang harmonis antara satu dan yang lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Ma’sum turut membantu peneliti dalam memahami
struktur yang terdapat dalam novel La Condition Humaine.
Artikel mengenai biografi pengarang didapatkan melalui beberapa sumber.
Pertama, buku yang berjudul XXe Siècle Collection Littéraire (1973) yang ditulis
oleh sebuah tim yang dikepalai oleh André Lagard. Sumber yang kedua penulis
dapatkan melalui aplikasi software komputer yang berisi kumpulan artikel digital
yaitu Encyclopedia Britannica Classroom Edition. Terakhir ditemukan buku yang
berjudul André Malraux: A Biography karangan Curtis Cate. Ketiga sumber tersebut
membantu penulis untuk memahami lebih mendalam tentang latar belakang André
Malraux.
Penelitian lain seputar karya-karya Malraux berupa skripsi telah dilakukan
pula oleh Renny Sjahrul Azwar (1976) di dalam lingkungan Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dengan judul Penggambaran Tentang
11
Asia dalam Tiga Novel Malraux. Melalui penelitian ini digambarkan pandangan
Malraux mengenai lingkungan di Asia dalam tiga novel pertamanya dengan
menggunakan teori struktural. Penelitian ini turut memberikan pandangan yang
lebih luas kepada peneliti mengenai hubungan di antara trilogi novel Asia karya
Malraux.
Ditemukan pula buku yang berjudul Malraux, the Absolute Agnostic; Or,
Metamorphosis as Universal Law karangan Claude Tannery (1991).Di dalam buku
tersebut terkandung analisis singkat mengenai tokoh Baron de Clappique yang
membantu peneliti untuk memahami lebih lanjut tokoh tersebut. Selain itu buku
tersebut juga berisi dukungan Tannery terhadap analisis lebih mendalam terhadap
tokoh Baron de Clappique yang membuat peneliti semakin yakin untuk menelitinya.
Untuk mendukung pemahaman mengenai teori psikologi sastra penulis
mengacu pada buku Psikologi Sastra : Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh
Kasus karangan Albertine Minderop (2011). Buku ini berisi tentang penjelasan
berbagai teori sastra disertai dengan contoh analisisnya di dalam meneliti karya
sastra yang membantu penulis dalam memahami teori psikologi sastra.
Selain itu ditemukan pula buku Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi,
Model, Teori, dan Aplikasi (2013) karangan Dr. Suwardi Endraswara, M. Hum dan
buku Antropologi Sastra: Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif
karangan Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U. (2011). Kedua buku tersebut
menjelaskan secara singkat mengenai teori psikologi sastra sehingga membantu
penulis dalam memahami teori psikologi sastra dengan lebih baik.
12
Ditemukan pula buku berjudul Psikologi Kepribadian karangan Alwisol
(2004) dan Sumadi Suryabrata (2007). Dalam kedua buku tersebut penulis
menemukan pembahasan mengenai teori kepribadian Jung sehingga membantu
dalam memahami teori yang akan digunakan.
Literatur mengenai mythomania penulis dapatkan melalui dua artikel dalam
jurnal online, Psychiatric Times, yang ditulis oleh Dr. Charles C. Dike yang
berjudul Pathological lying: symptom or disease? Lying with no apparent motive or
benefit (2008) dan Pathological Lying: If lying is a common human behavior, when
does it become pathological? (2007). Selain itu penulis juga menemukan buku yang
berjudul The Mythomanias: The nature of deception and Self-Deception (1997)
karangan Michael Mysbodolsky yang membahas mythomania secara lebih
komperhensif.
Ditemukan pula beberapa penelitian lain di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya
UGM yang menggunakan teori psikologi sastra sebagai pendekatannya. Di
antaranya adalah sebuah skripsi yang disusun oleh Dewi Setyawati (2007) berjudul
Penyimpangan Perilaku Tokoh Utama dalam Roman J’irai Cracher Sur Vos
Tombes Karya Boris Vian (Tinjauan Psikologi Behaviorisme). Skripsi ini meneliti
tentang penyimpangan tokoh Lee yang agresif dan egois dengan menggunakan teori
analisis psikologi behaviorisme. Penelitian lainnya yaitu skripsi berjudul Psikologi
Remaja Tokoh Cécile dalam Roman Bonjour Tristesse Karya Françoise Sagan
(Tinjauan Psikoanalisis) yang disusun oleh Shella Raisadora (2010). Penelitian ini
membahas tentang kondisi psikologi remaja pada tokoh Cécile yang menunjukan
13
ciri-ciri kelabilan. Raisadora menggunakan dua teori pada penelitian ini yaitu
semiotika yang digunakan untuk menemukan bentuk-bentuk kelabilan pada tokoh
Cécile dan dilanjutkan dengan teori psikoanalisis. Selain itu ditemukan pula
penelitian yaitu skripsi yang berjudul Motif Pembunuhan Kenji Oleh Yayoi dalam
Novel Auto Karya Natsuo Kirino: Sebuah Pendekatan Psikologi Humanistik oleh
Fatma Noor Aini (2010). Penelitian yang dilakukan oleh Aini ini mengungkapkan
hubungan antara pemenuhan kebutuhan dasar Yayoi dengan motif pembunuhan
yang dia lakukan terhadap Kenji, suaminya, dengan menggunakan teori psikologi
humanistik Abraham Maslow. Terlihat bahwa ketiga penelitian di atas memiliki
pendekatan yang sama dengan penelitian ini, yaitu pendekatan psikologi sastra.
Meskipun demikian objek penelitian dan permasalahan yang teradapat pada
penelitian ini berbeda.
1.6 Landasan Teori
Dalam landasan teori berikut akan dikemukakan teori-teori yang mendukung
penelitian. Adapun bahasan teori mencakupi: psikologi sastra, teori kepribadian,
konsep rasa berasalah dan pemahaman mengenai mythomania.
1.6.1 Mythomania
Mythomania dalam istilah psikologi dapat juga disebut sebagai pseudologia
fantastica atau pathological lying. Pengertian lebih lanjut terhadap mythomania
pertama kali disampaikan oleh Ernest Dupré (1905), seorang ahli psikologi yang
14
pertama kali mengusulkan istilah untuk gangguan psikologis tersebut. Menurutnya
mythomania adalah suatu bentuk ketidakseimbangan mental pada diri seseorang
untuk mengubah-ubah fakta, mereka-reka cerita dan menciptakan dongeng imajiner6.
Penderita mythomania akan terus menerus mengubah-ubah fakta atau berbohong
dan tanpa ragu menimpalinya dengan kebohongan lain apabila tindakan tersebut
mulai terungkap dan si penderita mulai terpojok sementara bagi mereka untuk
mengatakan kebenaran adalah suatu kejanggalan.
Dr. Charles C. Dike (2007:4-5), seorang psikiater sekaligus peneliti di Yale
University School of Medicine, dalam artikelnya menjelaskan bahwa penderita
mythomania memiliki durasi yang sangat lama dalam mempertahankan perilakunya
tersebut bahkan mungkin bisa seumur hidup7. Apabila kebohongan biasa dapat
dikatagorikan sebagai perilaku retrospektif, maka mythomania dapat dikategorikan
sebagai perilaku prospektif. Perilaku retrospektif ditujukan untuk melawan tindakan
penghukuman, melindungi teman dari masalah, menunjukkan kewibawaan, atau
sebagainya. Poin utama dari perilaku ini adalah bahwa tindakan yang dilakukan
memiliki periode yang sangat singkat dan tidak ada kelanjutannya di masa depan.
Sedangkan perilaku prospektif bertujuan untuk menghindari ancaman yang akan
datang baik yang bersifat fiksi, ilusi maupun kenyataan. Tujuan tersebut kemudian
direpresentasikan dalam sebuah agenda berkepanjangan yang disusun sebagai suatu
6Henriette Bloch, et al. 1991. Grand dictionnaire de la psychologie. Paris: Larousse Hal. 490 7Charles. C. Dike. 2007. Pathological Lying: If lying is a common human behavior, when does it
become pathological, (Online) (http://www.sequeltsi.com/files/library/Pathological_Lying. pdf diakses pada: 22/05/2013) Halaman 4-5.
15
strategi defensif. Strategi tersebut akan terus dilakukan meskipun dengan
mengabaikan perubahan kondisi pada identitas diri, perilaku, kebiasaan ataupun
ingatan si penderita. Hal tersebut merupakan penyebab dari kerusakan diri penderita
yang membuatnya semakin sulit dipahami oleh orang-orang di sekitarnya
(Myslobodsky, 1997:5-6). Dalam jurnal penelitian Dupré berikutnya pada tahun
1925 kata mythomania dapat pula diartikan sebagai suatu perilaku kepura-puraan
dan penyamaran yang pelakunya hidup dalam penderitaan di balik “topeng”
(Myslobodsky 1997:2). Dari pernyataan berbagai ahli psikolgi mengenai
mythomania yang telah disebutkan dapat diambil kesimpulan bahwa mythomania
adalah suatu bentuk gangguan psikologis yang membuat penderitanya hidup di
dalam kepalsuan yang diciptakan baik oleh pikiran, perasaan maupun tindakannya
sendiri baik dengan cara berbohong, berfantasi, ataupun tindakan-tindakan lainya
yang dapat menyembunyikan atau mengalihkan sifat dan tujuan asli yang mereka
miliki.
Secara umum terdapat beberapa faktor fundamental yang menjadi latar
belakang penyebab terjadinya kecenderungan mythomaniac. Berikut ini adalah
faktor-faktor yang dapat melatarbelakangi munculnya gejala gangguan psikologis
ini yaitu:
a. Kegagalan berturut-turut di masa lalu, misalnya dalam bidang akademis atau
profesional.
b. Ketidakpuasan terhadap kehidupan yang dijalani.
c. Merasa kehilangan orang terdekat, misalnya karena disebabkan oleh kematian.
16
d. Tindakan tidak menyenangkan yang sering diterima dari lingkungan yang
buruk di sekitar penderita.
e. Perubahan gaya hidup masyarakat di sekitar penderita.
f. Depresi dan kegelisahan yang berlebih (Myslobodsky 1997:6).
Faktor-faktor di atas berperan besar dalam latar belakang seseorang yang
memiliki gangguan mythomania sehingga timbul beberapa gejala umum yang dapat
diamati dari penderita. Gejala penderita mythomania dapat disebut juga sebagai
mythopathology. Dupré dalam jurnal-jurnal medisnya (1905-1919) mendeskrpsikan
beberapa gejala yang pada umumnya dimiliki oleh para penderita mythomania 8 .
Untuk melengkapi mythopathology yang telah disampaikan Dupré, Myslobodsky
(1997) turut pula mendeskripsikan beberapa gejala gangguan psikologis ini. gejala-
gejala mythomania tersebut antara lain:
a. Gemar Mempernainkan Fakta atau Berbohong
Penderita mythomania cenderung sering mempermainkan fakta dengan cara
melebih-lebihkan, memutarbalikan, atau menguranginya sehingga ia dapat
mengambil keuntungan dari tindakannya tersebut. Perilakunya itu dilakukan
secara spontan sehingga terlihat tidak mencurigakan bagi orang-orang
disekeliling penderita. Gejala ini timbul akibat masa lalu si penderita yang
sering mendapatkan kegagalan dalam hidup dan sering pula mendapatkan
tekanan dari lingkungannya sehingga ia berusaha dengan cara mempermainkan
8 Dupré, Ernest. 1925. Pathologie de L’imagination et de L’émotivité. Paris: Payot.
17
fakta untuk menutup-nutupi kebenaran yang ia anggap tidak menguntungkan
dirinya.
b. Membuat Ide-ide Fantasi
Penderita mythomania memiliki kegemaran membuat ide-ide yang sifatnya
fantasi. Ia menolak realitas dengan cara menutupinya dengan khayalan fantasi
yang menyenangkan Hal tersebut disebabkan oleh berbagai kegagalan yang
terus menerus dialami oleh si penderita sehingga membuatnya jatuh ke dalam
jurang fantasi alam bawah sadarnya sebagai pelarian dari kegagalan–kegagalan
yang pernah dialami sebelumnya. Si penderita lebih memilih fantasi sebagai
tempat pelariannya dikarenakan segala hal yang berhubungan dengan realita
baginya adalah sesuatu yang kejam disebabkan pengalamannya yang pernah ia
rasakan dahulu.
c. Gemar Menuturkan Cerita
Penderita mythomania gemar menceritakan suatu kisah yang dilebih-lebihkan
dan bersifat fantastis. Hal tersebut dilakukan guna menarik perhatian orang-
orang diseklilingnya dengan menunjukkan bahwa dirinya memiliki sifat yang
menyenangkan, bijaksana dan berwawasan luas. Kegemarannya ini didasarkan
atas ketidakpuasan terhadap hidup yang dimiliki penderita. Keadaan hidup yang
cenderung bertolak belakang dengan keinginan penderita membuatnya
menciptakan sendiri cerita-cerita fiktif yang ia lakukan sebagai penghibur diri.
Ia mencari persembunyian di dalam cerita-cerita fiktifnya tersebut akan tetapi ia
18
akan berusaha menghindar jika mulai menyinggung kehidupannya yang asli.
Perilaku tersebut didorong pula oleh tekanan dari lingkungan yang dialami oleh
penderita. Latar belakang penderita mythomania yang sering diremehkan dan
dan dipandang rendah di dalam kehidupan sosialnya mencari pelarian dengan
melakukan perilaku tersebut.
d. Gemar Berperan Sebagai Tokoh Rekaan
Penderita mythomania memiliki kecenderungan untuk berperan sebagai suatu
tokoh yang penting atau terkenal seperti seorang raja, ilmuan terkenal,
bangsawan atau pengusaha kaya. Ia memerankan perannya ini terkadang hingga
berbulan-bulan yang terus ia ulangi dengan peran yang semakin rumit dan
penuh dengan petualangan. Si penderita sering kemudian menghilang dalam
pelarian yang memungkinkan dirinya untuk segera memulai lagi peran besar
lain dengan kepribadian palsu yang ia miliki. Gejala ini timbul sebagai bentuk
penolakan dari ketidakpuasan dengan kehidupan yang dimilikinya ditambah
dengan perubahan gaya hidup masyarakat sekitar yang memberikan kesempatan
bagi penderita untuk memuluskan perannya tersebut.
e. Gemar Terhadap Bacaan yang Berjenis Drama, Melodrama, atau Thriller
Dikarenakan kebiasaannya yang senang untuk bercerita dan berperan sebagai
tokoh yang penting, penderita mythomania umumya memiliki kegeramaran
terhadap bacaan yang berjenis drama, melodrama ataupun cerita-cerita detektif.
Jenis-jenis bacaan tersebut umumnya dekat dengan kehidupan masyarakat dan
banyak memiliki nilai moral yang terkandung di dalamnnya sehingga hal
19
tersebut dapat memberkan inspirasi bagi kebiasaan penderita yang gemar
bercerita dan berperan sebagai karakter lain.
f. Emosi Cenderung Tidak Stabil dan Sensitif Terhadap Saran
Penderita akan mengalami ketidakstabilan emosi ketika kebohongan yang ia
sampaikan pada targetnya mulai terungkap Emosi yang tidak stabil ini akan
sangat terlihat oleh orang-orang yang dekat dengannya. Pada saat itu pula
penderita memiliki kesensitifan berlebih terhadap saran yang ditujukan
kepadanya. Hal tersebut dikarenakan si penderita merasakan tekanan yang
ditujukan kepadanya sehingga membuatnya enggan untuk mengikuti saran atau
anjuran orang lain.
g. Tidak Mampu Memotivasi Diri
Depresi akibat kegagalan yang pernah dialami oleh penderita terus tertanam
dalam dirinya sehingga membuatnya merasa bahwa usaha-usaha yang ia
lakukan sia-sia. Hal tersebut membuat si penderita cenderung terlihat malas dan
tidak dapat memotivasi dirinya untuk melakukan pekerjaan yang seharusnya ia
lakukan.
h. Tidak Mampu Mengatur Skala Prioritas
Si penderita tidak dapat menahan diri untuk melawan tuntutan keadaan atau
suatu keharusan dengan melakukan hal yang sebaliknya. Hal tersebut
cenderung ia lakukan untuk menutupi masalah dan hal–hal yang membuatnya
merasa terganggu sehingga ia selalu dapat merasa nyaman dalam hidupnya.
Gejala ini dilatarbelakangi oleh kondisi penderita yang terus menerus
20
mengalami kegagalan dalam hidup yang membuatnya tidak nyaman atas suatu
usaha yang sebenarnya harus ia lakukan. Akibat trauma atas pengalaman pahit
yang pernah ia rasakan dalam hidupnya, si penderita cenderung mencari
berbagai alasan untuk menghindari satu tuntutan yang sebenarnya harus
dilaksakan olehnya.
Akibat ketidakmampuan untuk mengungkapkan jati dirinya, para penderita
mythomania selalu menggunakan berbagai perilaku menyimpang sebagai tabir yang
memisahkan antara dirinya dan dunia luar. Sampai saat ini penelitian belum
menunjukkan adanya pemulihan yang efektif terhadap gangguan psikologis ini. Hal
tersebut dikarenakan mythomania digolongkan sebagai suatu fenomena yang
terbilang sangat kompleks9.
1.6.2 Psikologi Sastra
Pendekatan psikologi sastra adalah pendekatan penelaahan sastra yang
menekankan pada segi-segi psikologis yang terdapat dalam suatu karya sastra (Semi,
1985:46). Secara definitif tujuannya adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang
terkandung dalam suatu karya. Psikologi sastra sebagaimana dimaksudkan dalam
pembicaraan ini adalah cara-cara penelitian yang dilakukan dengan menempatkan
karya sastra sebagai gejala yang dinamis. Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk
memahami hubungan antara psikologi dengan sastra yaitu:
9 Charles. C.Dike. (2008). Pathological lying: symptom or disease? Lying with no apparent motive or
benefit. Psychiatric Times,. Psychiatric Times, 25(7). (psychiatrictimes.com, diakses 22/05/2013)
21
a.) Memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis.
b.) Memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra.
c.) Memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.
Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang
kedua, yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-
tokoh fiksional yang terkandung dalam karya.pada umumnya, aspek-aspek
kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra, sebab semata-
mata dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan
dan diinvestasikan. Dalam analisis pada umumnya yang menjadi tujuan adalah
tokoh utama, tokoh kedua, tokoh ketiga dan seterusnya. Cara yang pertama
dipandang kurang begitu sesuai dengan penelitian sastra yang menyeluruh karena
bertentangan dengan sifat karya sastra yang otonom dan cara yang terakhir memiliki
kaitan dengan sosiologi sastra dan resepsi sastra sebagai psikologi sosial.
Langkah pemahaman teori psikologi sastra dapat dilakukan melalui dua cara,
pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian diadakan analisis
terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah
karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi
yang dianggap relevan untuk melakukan analisis (Ratna, 2004:344). Penelitian ini
akan menggunakan cara yang kedua dalam mengaplikasikan pemahaman teori
psikologi. Setelah itu langkah berikutnya yaitu dengan memperlihatkan bahwa teks
yang ditampilkan melalui suatu teknik dalam teori sastra yang ternyata dapat
22
mencerminkan suatu konsep dari psikologi yang diusung oleh tokoh fiksional
(Minderop, 2011:59).
1.6.2.1 Psikologi Kepribadian
Penelitian ini akan menggunakan teori kepribadian dari Carl Gustav Jung
(1875-1959). Dalam Alwisol (2004: 48), Jung menyatakan bahwa kepribadian atau
psyche mencakup keseluruhan pikiran, perasaan dan tingkah laku, kesadaran dan
ketidaksadaran. Kepribadian membimbing orang untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Sejak awal kehidupan, kepribadian adalah
kesatuan atau berpotensi membentuk kesatuan. Ketika mengembangkan kepribadian,
orang harus berusaha mempertahankan kesatuan dan harmoni antar semua elemen
kepribadian.
Kepribadian disusun oleh sejumlah sistem yang beroperasi dalam tiga
tingkat kesadaran; ego beroperasi pada tingkat sadar, kompleks beroperasi pada
tingkat tak sadar pribadi, dan arsetip beroperasi pada tingkat kolektif. Di samping
sistem-sistem yang terikat dengan daerah operasinya masing-masing, terdapat sikap
jiwa (introvert-ekstrovert) dan fungsi jiwa (pikiran-perasaan-persepsi-intuisi) yang
beroperasi pada semua tingkat kesadaran (Alwisol, 2004: 48). Sikap jiwa adalah
arah energi psikis (libido) yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap
dunianya, fungsi jiwa adalah suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teoritis
tetap meskipun lingkungannya berbeda-beda (Kuntjojo, 2009:30-31).
23
Jung dalam Suryabrata (2007) mengungkapkan konsep sikap jiwa sebagai
dasar pembagian tipe kepribadian. Konsep sikap jiwa dijelaskan sebagai arah dari
energi psikis umum atau libido yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia
terhadap dunianya. Arah aktivitas energi psikis itu dapat ke luar ataupun ke dalam,
dan arah orientasi manusia terhadap dirinya, dapat keluar ataupun ke dalam. Jadi,
berdasarkan sikap jiwa tersebut manusia digolongkan menjadi dua tipe yaitu:
manusia yang bertipe introvert dan manusia yang bertipe ekstrovert.
a. Manusia Bertipe Introvert
Manusia bertipe introvert dipengaruhi oleh dunia subjektif, yaitu dunia di dalam
dirinya sendiri. Orientasinya terutama tertuju ke dalam pikiran, perasaan serta
tindakan-tindakanya ditentukan oleh faktor subjektif. Penyesuaian dengan dunia
luar kurang baik, jiwanya tertutup, sukar bergaul, sukar berhubungan dengan orang
lain, kurang dapat menarik hati orang lain, tetapi penyesuaian dengan hatinya
sendiri baik. Bahayanya tipe ini apabila jarak dengan dunia objektif terlalu jauh,
maka seseorang dapat lepas dari dunia objektifnya. Ciri-ciri manusia tipe introvert
(1) pendiam artinya tidak suka bicara, (2) menarik diri adalah sifat yang dimiliki
seorang interoverts yang selalu ingin menyendiri dan kurang menyukai keramaian,
(3) penakut, (4) menahan diri artinya menahan diri dari suatu keinginan, (5) puas
dengan dirinya sendiri, (6) kaku adalah sifat kurang fleksibel terhadap suatu yang
baru dikenalnya karena kurang banyak mengenal dunia luar, (7) bijaksana adalah
sifat tepat dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan segala
kemungkinan dengan keputusan yang diambilnya, dan (8) teliti adalah mengerjakan
24
sesuatu dengan sepenuhnya untuk mendapatkan hasil yang sempurna (Suryabrata,
2007: 162).
b. Manusia Bertipe Ekstrovert
Manusia bertipe ekstrovert dipengaruhi oleh dunia objektifnya yaitu dunia di
luar dirinya. Orientasi tertuju keluar pikiran, perasaan, serta tindakannya ditentukan
oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun non sosial. Ciri-ciri tipe
ekstroverts adalah (1) bersikap positif terhadap masyarakat, sifat ini menunjukkan
bahwa masyarakat merupakan tempat yang tepat untuk berinteraksi, (2) hatinya
terbuka artinya terbuka terhadap hal-hal baru tanpa adanya rasa canggung, (3)
mudah bergaul artinya dapat dengan mudah berinteraksi dengan orang lain, (4)
menarik perhatian, (5) bergantung terhadap kelompok, (6) tidak teliti artinya
terburu-buru tanpa pemikiran yang matang, (7) mudah merubah suatu pendirian
karena pengaruh dari luar, dan (8) agresif artinya cepat mengambil tindakan dalam
suatu permasalahan (Suryabrata, 2007: 162).
Jung mengutarakan bahwa tipe-tipe tersebut dapat kita jumpai pada semua
lapisan masyarakat, baik laki-laki ataupun perempuan, orang dewasa ataupun anak-
anak. Dikatakan juga bahwa dalam satu keluarga kedua tipe tersebut, introvert dan
ekstrovert dapat ditemukan sekaligus. Sikap kedua tipe tersebut terhadap dunia luar
atau lingkungan sekitarnya bukanlah sikap yang diambil dengan sadar dan sengaja.
Sikap yang demikian dianggap mempunyai sebab tak sadar dan instinktif. Jung
menganggap sikap manusia terhadap dunia luar itu sebagai suatu soal penyesuaian
25
diri, sebab cara suatu tipe menyesuaikan diri dengan dunia luar akhirnya akan
bergantung kepada pembawaan.
1.6.2.2 Konsep Rasa Bersalah.
Kegembiraan, kemarahan, ketakutan dan kesedihan kerap kali dianggap
sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotions). Situasi yang
membangkitkan perasaan-perasaan tersebut sangat terkait dengan tindakan yang
ditimbulkan dan mengakibatkan meningkatnya ketegangan, (Krech, via Minderop,
2011:39-40). Perasaan bersalah dan menyesal juga tergolong ke dalam klasifikasi
emosi. Perasaan bersalah muncul dari adanya persepsi perilaku seseorang yang
bertentangan dengan nilai-nilai moral atau etika yang dibutuhkan oleh suatu kondisi.
Perasaan bersalah kerap kali ringan dan cepat berlalu, tetapi dapat pula bertahan
lama. Derajat yang lebih rendah dari perasaan bersalah kadang-kadang dapat
dihapuskan karena si individu mengingkarinya dan ia merasa benar. Upaya tersebut
dilakukan karena adanya kekuatan positif untuk memperoleh kesenangan. Para
anthropologis menunjukkan bahwa larangan-larangan moral cenderung diciptakan
oleh suatu masyarakat, yang disebabkan oleh kepentingan masyarakat untuk
mencegah terjadinya suatu kejadian, yang pada dasarnya masyarakat itu sendiri
menginginkannya. Alasan yang lebih penting lagi ialah adanya pelanggaran yang
kadangkala memuaskan karena dialami sebagai penolakan keuasaan dari luar,
sebagai suatu ekspresi otonomi dan kekuasaan diri pribadi. Sumber mendasar dari
keyakinan individu tentang kebaikan dan keburukan dari tindakan tertentu bisa
26
disadari atau tidak disadari. Tetapi rasa besalah mengalir langsung dari apa yang
dirasakannya sebagai suatu transgresi terhadap moralitas, (Minderop, 2011: 40-41).
Terdapat perbedaan yang tajam dalam diri seseorang dalam menangkap
situasi yang menjurus pada rasa bersalah. Ada orang yang sadar apa yang harus
dilakukannya dan ia sungguh memahami bahwa ia telah melanggar suatu keharusan.
Contohnya, seseorang berpendapat bahwa ia merasa bersalah karena ia mendiamkan
pelayan toko mengembalikan uang berlebih. Ada pula orang yang merasa bersalah,
tetapi ia tidak tahu penyebabnya serta tidak tahu bagaimana menghilangkannya,
(Krech, via Minderop, 2011:202).
Karya sastra yang bermutu menurut pandangan pendekatan psikologis adalah
adanya karya sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin
manusia karena hakikat kehidupan manusia itu adalah perjuangan menghadapi
kekalutan batinnya sendiri. Perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari bagi
setiap orang belum sepenuhnya menggambarkan diri mereka masing-masing. Apa
yang diperlihatkan belum tentu dengan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam
dirinya karena manusia seringkali berusaha menutupinya. Kejujuran, kecintaan,
kemunafikan dan lain-lain berada di dalam batin masing-masing yang kadang-
kadang terlihat gejalanya daría luar dan kadang kala tidak, (Endraswara via
Minderop, 2011:203)
27
1.7 Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, artinya penafsiran yang
dilakukan disajikan dalam bentuk deskriptif. Metode tersebut menitikberatkan pada
data alamiah dan mendasarkan kepada kualitas yang terdapat dalam data (Ratna,
2004:46-47). Sumber data dalam penelitian ini adalah kata, kalimat dan ungkapan
dalam novel La Condition Humaine karya André Malraux. Langkah-langkah yang
digunakan dalam menyusun penelitian ini adalah:
1. Menentukan karya sastra yang dijadikan objek penelitian yaitu novel La
Condition Humaine Karya André Malraux.
2. Melakukan pembacaan novel secara heuristik, yaitu membaca novel
secara keseluruhan untuk memahami isi alur dan cerita lalu dilanjutkan
dengan membuat bagan yang berisi peristiwa, tokoh, waktu dan tempat
sehingga dapat memudahkan peneliti dalam menemukan peristiwa-
peristiwa penting dalam novel yang diteliti.
3. Melakukan pembacaan secara hermeneutik, yaitu pembacaan secara lebih
detail dibantu dengan bagan peristiwa yang telah dibuat dengan tujuan
untuk menemukan permasalahan dalam novel.
4. Melakukan tinjauan pustaka dengan mencari bahan yang mendukung
objek analisis, yaitu tulisan-tulisan mengenai tokoh Baron de Clappique,
psikologi sastra dan kecenderungan mythomaniac.
5. Menganalisis novel La Condition Humaine dengan menggunakan
pendekatan psikologi sastra dan teori mengenai mythomania untuk
28
menganalisis kecenderungan mythomaniac pada tokoh Baron de
Clappique. Selanjutnya teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik pustaka karena sumber data diperoleh dari
sumber tertulis. Teknik tersebut mencakup kegiatan: mengumpulkan,
mendeskripsikan dan menganlisis data secara kritis.
6. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis data guna menjawab
permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam rumusan masalah.
1.8 Sistematika Penulisan
Bab I berisi pendahuluan yang diawali dengan latar belakang, yaitu uraian
secara umum mengenai apa yang akan diteliti. Setelah itu masuk pada sub bab
permasalahan yang menjelaskan permasalahan pada objek material. Setelah itu
dilanjutkan dengan rumusan masalah yaitu pemfokusan terhadap permasalahan
yang terdapat dalam objek materi penelitian. Selanjutnya adalah tujuan penelitian
yang berisi tentang tujuan dilakukannya penelitian ini. Berikutnya adalah tinjauan
pustaka, yaitu penjelasan mengenai penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan
dengan objek penelitian yang digunakan. Dilanjutkan dengan landasan teori, yaitu
berisi penjelasan tentang teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan
yang ada dalam objek penelitian. Setelah itu dilanjutkan dengan metode penelitian
yang merupakan uraian tahap-tahap kegiatan penelitian. Terakhir adalah sistematika
penulisan yang berisi kerangka penelitian dengan tujuan mempermudah pengerjaan
dan pembacaan laporan penelitian.