BAB I-5 ready ok
-
Upload
yuliasminde-sofyana -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
Transcript of BAB I-5 ready ok
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
1/72
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan masih dilaksanakan di Indonesia pada segala bidang
guna mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil,
makmur dan merata baik materi maupun spiritual. Visi pembangunan
kesehatan di Indonesia yang dilaksanakan adalah Indonesia Sehat 2010
dimana penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu
memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta
memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Departemen Kesehatan
RI, 2002:5). Menurut teori yang dikemukakan oleh H.L. Blum yang dikutip
oleh A.M.Sugeng Budiono, dkk (2003:97) bahwa status kesehatan sangat
dipengaruhi oleh faktor keturunan, pelayanan kesehatan, perilaku dan
lingkungan. Hal tersebut berlaku pula pada kesehatan tenaga kerja.
Kesehatan kerja merupakan spesialisasi ilmu kesehatan atau
kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja atau masyarakat
pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya baik fisik, mental
maupun sosial dengan usaha preventif atau kuratif terhadap penyakit atau
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
2/72
2
gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pekerjaan dan lingkungan
kerja serta terhadap penyakit umum. Sehat digambarkan sebagai suatu kondisi
fisik, mental dan sosial seseorang yang tidak saja bebas dari penyakit atau
gangguan kesehatan melainkan juga menunjukkan kemampuan untuk
berinteraksi dengan lingkungan dan pekerjaannya (A.M.Sugeng Budiono,
dkk, 2003:97).
Kesehatan kerja dapat tercapai secara optimal jika tiga komponen
kerja berupa kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja dapat
berinteraksi secara baik dan serasi.
Lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat misalnya bising yang
melebihi ambang batas merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan. Kebisingan merupakan suara yang tidak diinginkan.
Kebisingan selain dapat menimbulkan ketulian sementara (themporary
threshold shift ) dan ketulian permanen ( permanent threshold shift ) juga
akan berdampak negatif lain seperti gangguan komunikasi, efek pada
pekerjaan dan reaksi masyarakat. Terutama apabila tidak dikelola dengan
baik, mesin-mesin yang digunakan dapat menjadi sumber bising di tempat
kerja. Kebisingan 85 dB untuk 8 jam perhari jika hanya terpapar satu hari saja
pengaruhnya tidak signifikan terhadap kesehatan, tetapi jika berlangsung
setiap hari terus-menerus minggu demi minggu, bulan bahkan tahunan, maka
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
3/72
3
suatu saat akan melewati batas dimana paparan kebisingan tersebut akan
menyebabkan gangguan pendengaran (Dwi Sasongko P, dkk, 2000:20).
Gangguan pendengaran akibat paparan bising (noise induced hearing
loss) atau tuli akibat bising, merupakan jenis tuli yang paling sering
ditemukan pada pekerja industri di Negara berkembang dan Negara maju
dengan sistem konservasi pendengaran yang belum dilaksanakan dengan
baik. Kemajuan dalam bidang industri dan transportasi mengakibatkan
bertambah banyak sumber penyebab kebisingan. Kepustakaan menyebutkan
di Manchester (Inggris) 25% dari penduduk kota terpapar bising yang
bersumber dari industri elektrik dan mesin, sementara di daerah pinggiran
kota paparan bising berasal dari industri tenun tradisional maupun modern,
sehingga di dapatkan dari penderita tuli penyebabnya berasal dari paparan
bising lingkungan kerja. Di Amerika lebih dari 5,1 juta pekerja terpapar oleh
bising dengan intensitas lebih dari 85 dB dan masih banyak lagi sumber bising
yang berasal dari berbagai macam bidang. Polandia merupakan negara dengan
profil industri yang hampir sama dengan Indonesia terdapat 5 juta pekerja
industri dengan 600.000 diantaranya berisiko terpapar bising, dengan
perkiraan 25 % dari jumlah yang terpajan terjadi gangguan pendengaran
akibat bising. Dari seluruh penyakit akibat kerja dapat diidentifikasi penderita
tuli akibat bising lebih dari 36 kasus baru dari 100.000 pekerja setiap tahun.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
4/72
4
Semakin bisingnya lingkungan karena semakin banyaknya kendaraan
bermotor, tidak terawatnya mesin dan knalpot kendaraan bermotor tersebut,
serta kerapnya penggunaan klakson, tentu akan menambah faktor resiko
gangguan pendengaran. Pembangunan gedung-gedung, pengoperasian mesin-
mesin pabrik tanpa memenuhi persyaratan kesehatan pendengaran, menambah
paparan kebisingan di dunia kerja. Mesin-mesin rumah tangga yang tidak
terawat seperti pendingin ruangan, kipas angin, dan peralatan listrik lain juga
merupakan kebisingan di dalam rumah, bahkan ke lingkungan tetangga. Gaya
hidup kini seperti penggunaan earphone, headphone, bahkan handphone
untuk mendengarkan musik, terutama dengan volume yang tinggi, menambah
banyaknya faktor resiko ketulian.
Dari hasil pertemuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kawasan
SEARO di Srilanka pada tahun 2002, ditetapkan bahwa ketulian akibat
paparan terhadap kebisingan menjadi salah satu prioritas utama masalah
gangguan yang harus ditanggulangi, tentu saja selain upaya pencegahan dan
penanganan otitis media supuratif kronis dan presbikusis. Prioritas juga
ditujukan pada upaya penanganan atau penemuan dan inovasi yang dapat
membantu para penderita tuli kongenital (tuli saat lahir karena berbagai
sebab), menurut perkiraan WHO pada tahun 1995 terdapat 120 juta penderita
gangguan pendengaran di seluruh dunia. Jumlah tersebut mengalami
peningkatan yang sangat bermakna pada tahun 2001 menjadi 250 juta orang;
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
5/72
5
222 juta diantaranya adalah penderita dewasa sedangkan sisanya ( 28 juta )
adalah anak berusia di bawah 15 tahun. Dari jumlah tersebut kira kira 2/3
diantaranya berada di negara berkembang. Peningkatan jumlah penderita
gangguan pendengaran ini kemungkinan disebabkan oleh peningkatan
insidens, identifikasi yang lebih baik atau akibat meningkatnya usia harapan
hidup.
Menindak lanjuti pertemuan di atas, telah dibentuk forum regional
Asia Tenggara untuk menanggulangi gangguan pendengaran dan ketulian, di
Bangkok, tanggal 4 Oktober 2005. Organisasi ini dengan 11 anggotanya
bertujuan menurunkan angka gangguan pendengaran dan ketulian di wilayah
Asia tenggara, sebesar 50% di tahun 2015 dan 90% ditahun 2030.
Di Indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising
telah banyak dilakukan sejak lama. Survei yang dilakukan oleh Hendarmin
dalam tahun yang sama padaManufacturing Plant Pertamina dan dua pabrik
es di Jakarta mendapatkan hasil terdapat gangguan pendengaran pada 50%
jumlah karyawan disertai peningkatan ambang dengar sementara sebesar 5-10
dB pada karyawan yang telah bekerja terus-menerus selama 5-10 tahun.
Sundari pada penelitiannya di pabrik peleburan besi baja di Jakarta,
mendapatkan 31,55% pekerja menderita tuli akibat bising, dengan intensitas
bising antara 85 105 dB, dengan masa kerja rata-rata 8-9 tahun.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
6/72
6
Lusianawaty mendapatkan 7 dari 22 pekerja ( 31,8%) di perusahaan kayu
lapis Jawa Barat mengalami tuli akibat bising, dengan intensitas bising
lingkungan antara 84,9108,2 dB
Saat ini, sekitar 4-5 ribu bayi lahir tuli setiap tahunnya. Dari survei
kesehatan indera di 7 propinsi pada tahun 1994-1996 lalu saja diketahui
bahwa 0,4% penduduk Indonesia menderita ketulian dan 16,8 % penduduk
Indonesia menderita gangguan pendengaran. Jadi, diperkirakan setidaknya
sekitar 4 juta penduduk Indonesia tidak dapat mendengar dengan baik. 3,1%
dari mereka, menderita gangguan karena infeksi telinga tengah (otitis media
supuratif kronik/OMSK) yang antara lain juga disebabkan oleh paparan asap
rokok pada anak-anak. 0,1% tuli karena obat toksik (ototoksitas) dan 2,6% tuli
karena usia lanjut (presbikusis). 0,3% menderita ketulian karena terpapar
kebisingan.
Di NTB, penelitian tentang kebisingan terhadap tuli konduksi masih
sangat jarang diteliti, penulis menetapkan Gunungsari sebagai tempat
penelitian karena industri pengolahan kayu banyak terdapat didaerah
Gunungsari.
Nilai ambang batas adalah standar faktor tempat kerja yang dapat
diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan
dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
7/72
7
jam seminggu (KEPMENAKER No.Kep-51 MEN/1999). Nilai ambang batas
kebisingan di tempat kerja adalah intensitas suara tertinggi yang merupakan
nilai rata-rata, yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan
hilangnya daya dengar yang menetap untuk waktu kerja terus menerus tidak
lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu (A.M. Sugeng Budiono, dkk,
2003:298). Nilai ambang batas yang diperbolehkan untuk kebisingan ialah 85
dB, selama waktu pemaparan 8 jam berturut-turut.
Pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja adalah mengurangi
kenyamanan dalam bekerja, mengganggu komunikasi, mengurangi
pendengaran, dapat mengganggu pekerjaan dan menyebabkan timbulnya
kesalahan karena tingkat kebisingan yang sangat tinggi. Suara yang terlalu
bising dan berlangsung lama dapat menimbulkan stimulasi di daerah dekat
area penerimaan pendengaran primer yang akan menyebabkan sensasi suara
gemuruh dan berdenging, dengan timbulnya sensasi suara ini akan
menyebabkan gangguan pendengaran yang bersifat sementara hingga
permanen.
Dahulu penggunaan alat pengolahan kayu masih menggunakan alat -
alat sedehana seperti kapak yang tingkat pemaparan kebisingannya yang
sangat rendah dibandingkan sekarang yang menggunakan alat-alat gergaji
mesin misalnya dengan frekuensi suara yang tinggi.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
8/72
8
Kerusakan pada indera-indera pendengar yang menyebabkan ketulian.
Pemulihan terjadi secara cepat sesudah dihentikan kerja di tempat bising
untuk efek kebisingan sementara. Tetapi paparan bising terus-menerus
berakibat kehilangan daya dengar yang menetap dan tidak pulih kembali,
biasanya dimulai pada frekuensi sekitar 4.000 Hz dan kemudian meluas ke
frekuensi sekitarnya dan akhirnya mengenai frekuensi yang digunakan untuk
percakapan. Untuk itu pada pekerja diharapkan menggunakan digunakan alat
pelindung telinga. Alat pelindung telinga berguna untuk mengurangi
intensitas suara yang masuk ke dalam telinga.
Berdasarkan data tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang hubungan kebisingan terhadap themporary
threshold shift pada tenaga kerja pengolahan kayu di wilayah Gunungsari.
1.2 Perumusan Masalah
Adakah pengaruh kebisingan terhadap themporary threshold shift
(gangguan auditorial) pada tenaga kerja pengolahan kayu di wilayah
Gunungsari Kabupaten Lombok Barat tahun 2013 ?
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
9/72
9
1.3 Tujuan Penelitian1.3.1
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh
kebisingan terhadap themporary threshold shift(gangguan auditorial)
pada tenaga kerja Pengolahan Kayu di wilayah Gunungsari
Kabupaten Lombok Barat tahun 2013.
1.3.2 Tujuan Khusus1.3.2.1 Untuk mengetahui berapa lama tenaga kerja bekerja pada
industri pengolahan kayu.
1.3.2.2 Untuk mengetahui lama paparan tenaga kerja dalam sehariterhadap kebisingan di tempat kerja.
1.3.2.3
Untuk mengetahui intensitas kebisingan yang didengar
tenaga kerja setiap hari.
1.4 Manfaat Penelitian1.4.1 Manfaat Bagi Pendidikan
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan data dan
informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pustaka guna
pengembangan ilmu kesehatan dan keselamatan kerja.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
10/72
10
1.4.2 Manfaat Bagi Masyarakat
Dapat mengurangi tingkat kebisingan yang mengganggu kesehatan
dan melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap resiko gangguan
pendengaran.
1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti
Dapat meningkatkan pengetahuan dan sarana pengembangan teori
yang telah di dapat dalam perkuliahan sehingga diperoleh pengalaman
langsung khususnya mengenai kesehatan dan keselamatan kerja yang
ditulis dalam bentuk tulisan ilmiah.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
11/72
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Pendengaran Akibat BisingBising dalam kesehatan kerja diartikan sebagai suara yang dapat
menurunkan pendengaran baik secara kuantitatif (peningkatan ambang
pendengaran) maupun secara kualitatif (penyempitan spektrum pendengaran),
serta dapat pula menimbulkan gangguan selain pada pendengaran, berkaitan
dengan faktor intensitas, frekuensi, durasi dan pola waktu. Intensitas diartikan
sebagai banyaknya arus energi yang diterima oleh pendengaran per satuan
luas, biasanya disebut desibel atau ditulis dB.
Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss)
ialah gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh terpajan bising yang
cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan
oleh bisingnya lingkungan kerja. Secara klinis pajanan bising pada organ
pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar
sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan ambang dengar
menetap (permanent threshold shift) (THT, 2010 : 49).
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
12/72
12
2.1.1 Suara2.1.1.1
Definisi Suara
Beberapa definisi dari suara atau bunyi menurut beberapa ahli
antara lain :
a. Menurut teori fisika, bunyi adalah rangsangan yang diterimaoleh saraf pendengaran yang berasal dari suatu sumber bunyi.
b.
Suara adalah sensasi yang dihasilkan apabila getaran
longitudinal molekul-molekul dari lingkungan luar, yaitu fase
pemadatan dan perenggangan dari molekul-molekul yang
silih berganti, mengenai membran timpani. Pola dari gerakan
ini digambarkan sebagai perubahan-perubahan tekanan pada
membran timpani tiap unit waktu merupakan sederetan
gelombang dan gerakan ini dalam lingkungan sekitar kita
umumnya dinamakan gelombang suara (W.F. Ganong,
2008:185).
c. Suara atau bunyi adalah variasi tekanan yang merambatmelalui udara dan dapat dideteksi oleh telinga manusia.
2.1.1.2 Karakteristik SuaraKarakteristik fisik gelombang suara terdiri atas : ( Tambunan S,
2005)
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
13/72
13
a. Frekuensi
Frekuensi diartikan sebagai jumlah getaran dalam tekanan
suara yang diterima oleh pendengaran per satuan waktu
(Hertz per detik). Durasi diartikan sebagai waktu dari suatu
sumber suara atau bunyi yang diterima oleh pendengaran.
Sedangkan pola waktu adalah seberapa sering pendengaran
menerima suara atau bunyi. Sifat dari bunyi ditentukan oleh
frekuensi dan intesitasnya.
Frekuensi merupakan jumlah perubahan tekanan dalam
setiap detiknya atau frekuensi setiap detiknya dalam satuan
Hertz (Hz). Setiap orang relatif sedikit berbeda, tetapi
respon pendengaran orang muda terletak pada frekuensi 18-
2.000 Hz. Kecepatan rambatan suara bervariasi tergantung
pada medium dan suhu, tetapi untuk kecepatan perambatan
suara pada medium udara pada suhu 20oC berkisar 344 m/s,
pada kondisi tersebut maka panjang gelombang suara
berkisar 13 inch (0,344 m) pada frekuensi 1.000 Hz.
(Wardhana, W.A., 2001).
Frekuensi bunyi yang terpenting adalah 250 Hz, 1.000 Hz,
2.000 Hz, 8.000 Hz. Frekuensi bunyi yang dapat didengar
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
14/72
14
oleh telinga manusia adalah 18-20.000 Hz. Bunyi yang
kurang dari 18 Hz dinamakan bunyi infrasonik dan bunyi
yang lebih dari 20.000 Hz dinamakan bunyi ultrasonik.
Frekuensi 4.000 Hz merupakan frekuensi yang paling peka
ditangkap oleh pendengaran kita, biasanya ketulian
pemaparan bising atau adanya gangguan pendengaran
terjadi pada frekuensi ini. ( Wardhana, W.A., 2001).
b. Amplitudo
Amplitudo sebuah gelombang suara adalah tingkat gerakan
molekul-molekul udara dalam gelombang, yang sesuai
terhadap perubahan dalam tekanan udara yang sesuai
gelombang. Lebih besar amplitudo gelombang maka lebih
keras molekul-molekul udara untuk menabrak gendang
telinga dan lebih keras suara yang terdengar (Tambunan S,
2005). Amplitudo gelombang suara dapat diekspresikan
dalam istilah satuan absolut dengan pengukuran jarak
sebenarnya perubahan letak molekul-molekul udara,
perubahan tekanan atau energi yang terkandung dalam
gelombang (Wardhana,W.A., 2001).
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
15/72
15
c. Panjang gelombang suara
Salah satu satuan yang erat dengan frekuensi adalah panjang
gelombang. Panjang gelombang merupakan jarak antara dua
gelombang yang dekat dengan perpindahan dan kecepatan
partikel yang sama dalam satu bidang medan bunyi datar.
Sehingga dengan mengetahui kecepatan dan frekuensi bunyi
dapat ditentukan panjang gelombangnya. Panjang
gelombang suara yang dapat didengar telinga manusia mulai
dari beberapa sentimeter sampai kurang lebih 20 meter.
(Wahyu A., 2003).
2.1.1.3 Sumber Suara
Di lingkungan kerja, jenis dan jumlah sumber suara sangat
beragam. Beberapa diantaranya adalah : ( Tambunan S, 2005)
a. Suara mesin
Jenis mesin penghasil suara di tempat kerja sangat bervariasi,
demikian pula karakteristik suara yang dihasilkan.
Contohnya adalah mesin pembangkit tenaga listrik seperti
genset, mesin diesel, dan sebagainya. Di tempat kerja, mesin
pembangkit tenaga listrik umumnya menjadi sumber-sumber
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
16/72
16
kebisingan berfrekuensi rendah adalah < 400 Hz. Industri
pengolahan kayu juga menggunakan mesin-mesin yang bisa
menimbulkan suara yang cukup besar, misalnya : pada
penggunaan gergaji bundar, mesin bor, band saw, mesin
ketam (planner).
b. Benturan antara alat kerja dan benda kerja
Proses menggerinda permukaan metal dan umumnya
pekerjaan penghalusan permukaan benda kerja,
penyemprotan, pengupasan cat (sand blasting), pengelingan
(riveting), memalu (hammering), dan pemotongan seperti
proses penggergajian kayu dan metal cutting, merupakan
sebagian contoh bentuk benturan antara alat kerja dan benda
kerja yang menimbulkan kebisingan. Penggunaan gergaji
bundar (circular blades) dapat menimbulkan tingkat
kebisingan antara 80 dB120 dB.
c. Aliran material
Aliran gas, air atau material-material cair dalam pipa
distribusi material di tempat kerja, apalagi yang berkaitan
dengan proses penambahan tekanan (high pressure
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
17/72
17
processes) dan pencampuran, sedikit banyak akan
menimbulkan kebisingan di tempat kerja. Demikian pula
pada proses-proses transportasi material-material padat
seperti batu, kerikil yang melalui proses pengolahannya.
d. Manusia
Dibandingkan dari sumber suara lainnya, tingkat kebisingan
suara manusia memang tetap diperhitungkan sebagai sumber
suara di tempat kerja.
2.1.2 Telinga2.1.2.1 Anatomi Telinga
Gambar 2.1. Telinga
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
18/72
18
Gambar 2.2. Pembagian telinga
Tabel 2.1. Pembagian telinga
Telinga Luar
Terdiri dari daun telinga dan liang telinga (audiotory canal), dibatasi oleh
membran timpani. Telinga bagian luar berfungsi sebagai mikrofon yaitu
menampung gelombang suara dan menyebabkan membran timpani
bergetar. Semakin tinggi frekuensi getarannya semakin cepat pula
membran timpani tersebut bergetar begitu juga sebaliknya.
Telinga Tengah
Gendang telinga, bergetar saat adanya gelombang udara.
Gelombang udara disalurkan melalui 3 tulang auditori (malleus, incus,
stapes). Stapes (meyalurkan transmisi getar ke telinga dalam yang
berisi cairan). Tuba eustachius (saluran auditori) merupakan sambungan dari telinga
tengah ke nasofaring.
Telinga Dalam
Telinga dalam merupakan rongga di dalam tulang temporal dikenal
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
19/72
19
dengan tulang labirin.
Cairan antara tulang dan membran disebut cairan perlimfe dan yang
terdapat di dalam membran disebut cairan endolimfe.
Struktur membran disebut koklea yang berkaitan dengan pendengaran
dan utrikulus, sakulus, semisirkularis canal berkaitan dengan
keseimbangan telinga dalam.
Koklea berbentuk seperti rumah siput yang terdiri dari 3 saluran.
saluran tengah berisi organ reseptor untuk pendengaran yaitu organ
corti, reseptor ini dikenal sebagai sel rambut yang berisi
persambungan dengan saraf kranial VIII.
2.1.2.2 Fisiologi Pendengaran
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang
diteruskan ke liang telinga dan mengenai membran timpani
sehingga membran timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke
tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain.
Selanjutnya stapes menggerakkan foramen ovale yang
juga menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran
diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong
endolimfe dan membran basalis ke arah bawah dan perilimfe
dalam skala timpani akan bergerak sehingga foramen rotundum
terdorong ke arah luar.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
20/72
20
Pada waktu istirahat, ujung sel rambut corti berkelok, dan
dengan terdorongnya membran basal, ujung sel rambut itu
menjadi lurus. Rangsangan fisik ini berubah menjadi
rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium dan
Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang N. VIII, kemudian
meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di
otak melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis.
2.1.2.3 Tes Fungsi Pendengaran
Untuk memeriksa pendengaran dilakukan pemeriksaan
hantaran melalui udara dari melalui tulang dengan memakai
garputala atau audiometer nada murni.
Kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli
konduksi, berarti terdapat kelainan di telinga luar atau telinga
tengah dan apabila kelainan terdapat pada telinga dalam
menyebabkan tuli sensorineural koklea atau retrokoklea.
Secara fisiologi telinga dapat mendengar nada antara 20
sampai 18.000 Hz. Untuk pendengaran sehari-hari yang paling
efektif antara 500-2.000 Hz. oleh karena itu untuk memeriksa
pendengaran dipakai garputala 512, 1024 dan 2048.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
21/72
21
Penggunaan ketiga garpu tala ini penting untuk pemeriksaan
secara kualitatif. Bila terdapat satu frekuensi ini terganggu
penderita akan sadar adanya gangguan pendengaran. Bila tidak
mungkin menggunakan ketiga garputala itu, maka diambil 512
Hz karena penggunaan garputala ini tidak terlalu dipengaruhi
suara bising disekitarnya.
Audiologi ialah ilmu yang mempelajari tentang fungsi
pendengaran yang erat berhubungan dengan habilitasi dan
rehabilitasinnya.
Rehabilitasi adalah usaha untuk mengembalikan fungsi
yang pernah dimiliki, sedangkan habilitasi adalah usaha untuk
memberikan fungsi yang seharusnya dimiliki. Audiologi medik
dibagi atas :
a. Audiologi DasarAudiologi dasar ialah pengetahuan mengenai nada murni,
bising, gangguan pendengaran, serta cara pemeriksaan.
Pemeriksaan pendengaran dilakukan dengan :
1. Tes pelanaPemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Terdapat
berbagai macam tes pelana, seperti :
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
22/72
22
o Tes rinneTes untuk membandingkan hantaran melalui udara
dan hantaran melalui tulang pada telinga yang
diperiksa.
o Tes weberTes pendengaran untuk membandingkan hantaran
tulang telinga kiri dengan telinga kanan.
o tes schwabachMembandingkan hantaran tulang orang yang
diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya
normal.
o tes bing ( tes oklusi)Cara pemeriksaan : tragus telinga yang diperiksa
ditekan sampai menutup liang telinga, sehingga
terdapat tuli konduksi kira-kira 30 dB. Pelana
digetarkan dan diletakkan pada pertengahan kepala
(seperti pada tes weber).
Penilaian : bila terdapat lateralisasi ke telinga yang
ditutup, berarti telinga tersebut normal. Bila bunyi
pada telinga yang ditutup tidak bertambah keras,
berarti telinga tersebut menderita tuli konduksi.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
23/72
23
o tes stingerDigunakan pada pemeriksaan tuli anorganik
(stimulasi atau pura-pura tuli).
cara pemeriksaan : menggunakan prinsip masking.
Misalnya pada penderita yang pura-pura tuli pada
telinga kiri. Dua buah pelana yang sama digetarkan
masing-masing diletakkan didepan telinga kiri atau
kanan, dengan cara tidak terlihat oleh yang akan
diperiksa. Pelana yang pertama digetarkan dan
diletakkan didepan telinga kanan (yang normal)
sehingga jelas terdengar. Kemudian pelana yang
kedua digetarkan lebih keras didepan telinga kiri
(yang pura-pura tuli). Apabila kedua telinga normal
karena efek masking, hanya telinga kiri yang
mendengar bunyi, jadi telinga kanan tidak akan
mendengar bunyi. Tetapi bila telinga kiri tuli,
telinga kanan akan tetap mendengar bunyi.
2. Tes berbisikPemeriksaan ini bersifat semi-kuantitatif, menentukan
derajat ketulian secara kasar, hal yang perlu
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
24/72
24
diperhatikan ialah ruangan cukup tenang, dengan
panjang minimal 6 meter.
a. Audiologi Khusus
Audiologi khusus diperlukan untuk membedakan tuli
sensorineural koklea dengan retrokoklea. (THT,2010:16-18).
Uji garputalla yang sering digunakan untuk membedakan
antara tuli saraf dan tuli hantaran adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2. Uji Tes Garputalla
Weber Rinne Schwabach
Cara Pangkal garputalla
yang bergetar
diletakan di vertextengkorak
Pangkal garputalla diletakkan
di prosesus mastoideus
sampai subyek tidak lagimendengarkannya lalu
garputalla diletakan didekat
telinga
Hantaran tulang
pasein dibandingkan
dengan subyek yangnormal (pemeriksa)
Normal Tidak ada lateralisasi Mendengaran hantaran di
udara setelah hantaran tulang
Sama dengan
pemeriksa
Tuli
Hantaran
Lateralisasi ketelinga
yang sakit
Tidak mendengar hantaran di
udara
Hantaran tulang lebih
baik daripada normal
Tuli Saraf Lateralisasi ketelinga
yang sehat
Terdengar hantaran udara
(selama tuli saraf parsial)
Hantaran tulang lebih
buruk daripada
normal
Sumber : (W.F. Ganong, 2008)
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
25/72
25
2.1.3 Kebisingan2.1.3.1
Definisi Kebisingan
Kebisingan merupakan masalah kesehatan yang selalu
timbul, baik pada industri besar seperti pabrik baja, pabrik mobil
maupun industri rumah tangga seperti penggergajian kayu, pande
besi, pengrajin kuningan serta aneka logam lainnya.
Kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki karena
tidak sesuai dengan konteks ruang dan waktu sehingga dapat
menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan
manusia (Dwi P. Sasongko, dkk, 2000:1).
Definisi lain adalah bunyi yang didengar sebagai
rangsangan pada sel saraf pendengar dalam telinga oleh
gelombang longitudinal yang ditimbulkan getaran dari sumber
bunyi atau suara dan gelombang tersebut merambat melalui
media udara atau pengantar lainnya, dan manakala bunyi atau
suara tersebut tidak dikehendaki oleh karena mengganggu atau
timbul di luar kemampuan orang yang bersangkutan, maka
bunyi-bunyian demikian dinyatakan sebagai kebisingan. Kualitas
suatu bunyi ditentukan oleh frekuensi dan intensitasnya
(Sumamur P.K., 2009:116).
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
26/72
26
Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik
(Hz). Suatu kebisingan terdiri dari campuran sejumlah
gelombang-gelombang sederhana dari beraneka frekuensi.
Intensitas atau arus energi per satuan luas yang dinyatakan dalam
desibel (dB) dengan membandingkannya dengan kekuatan dasar
0,0002 dyne/cm2
yaitu kekuatan dari bunyi dengan frekuensi
1.000 Hz yang tepat didengar oleh telinga manusia, dinyatakan
dengan rumus:
SPL = 2010
log p
po
Dengan: SPL (sound pressure level) = aras tekanan suara (dB)
p = tegangan suara yang bersangkutan (Pa)
po
= tegangan suara standar ( 0,0002 dyne/cm2
=
2x10-5
Pa ).
(Sumamur P.K., 2009:117).
Telinga manusia mampu mendengar frekunsi-frekuensi
diantara 18-20.000 Hz. Skala intensitas kebisingan dan sumber
kebisingan yang menyebabkannya. Kebisingan dalam
perusahaan dengan intensitas 60 dB berarti 106 kali intensitas
kebisingan standar.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
27/72
27
Tabel 2.3. Skala Intensitas Kebisingan dan Sumbernya
Intensiras(dB) Sumber KebisinganKerusakan alat
pendengaran120
(batas dengat tertinggi)
Menyebabkan
tuli
110
100
Halilintar
Meriam
Mesin uap
Sangat hiruk90
80
Jalan hiruk pikukPerusahaan sangat gaduhPeluit polisi
Kuat70
60
Kantor bisingJalan pada umumnya
RadioPerusahaan
Sedang50
40
Rumah gaduh
Kantor pada umumnyaPercakapan kuat
Radio perlahan
Teanang30
20
Rumah tenang
Kantor perorangan
AuditoriumPercakapam
Sangat tenang10
0
Suara daun
Berbisik(batas dengar terendah)
*Sumamur P.K., 2009
2.1.3.2 Tipe KebisinganJenis kebisingan yang sering dijumpai yaitu :
a. kebisingan yang kontinyubising dimana fluktuasi dari intensitasnya tidak lebih dari 6
dB dan tidak putus-putus. Dibagi menjadi 2 yaitu :
o kebisingan yang kontinyu dengan spektrum frekuensiyang luas (steady state wide band noise) , kurang dari 5
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
28/72
28
dB untuk periode 0,5 detik berturut-turut. Misalnya
suara kipas angin dan mesin tenun.
o kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit(steady state narrow band noise), bising ini juga relatif
tetap tetapi hanya memiliki frekuensi tertentu saja (500,
1.000, 4.000). Misalnya gergaji sirkuler dan katup gas.
b. kebisingan terputus-putus (intermittent noise)bising yang berlangsung secara tidak terus menerus
melaikan ada periode relatif tenang. Misalnya lalu lintas,
kendaraan, kapal terbang, kereta api.
c. kebisingan impulsif (impact or impulsive noise)bising ini memiliki perubahan intensitas suara melebihi 40
dB, dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan
pendengarnya. Misalnya suara tembakan, ledakan mercon,
meriam.
d. kebisingan impulsif berulangSama dengan bising impulsif hanya saja terjadi berulang-
ulang. Misalnya mesin di tempat perusahaan.
2.1.3.3 Sumber Bising
Sumber kebisingan dapat diidentifikasi jenis dan
bentuknya. Kebisingan yang berasal dari berbagai peralatan
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
29/72
29
memiliki tingkat kebisingan yang berbeda dari suatu model ke
model lain (Dwi P. Sasongko, dkk, 2000:12-13).
Proses pemotongan seperti proses penggergajian kayu
merupakan sebagian contoh bentuk benturan antara alat kerja
dan benda kerja yang menimbulkan kebisingan. Penggunaan
gergaji bundar dapat menimbulkan tingkat kebisingan antara 80-
120 dB. Kebisingan di bagian moulding perum perhutani berasal
dari penggunaan mesin dalam proses produksi seperti gergaji
mesin 115 dB, bor listrik 88 dB, dan mesin-mesin lain (Sihar
Tigor Benjamin Tambunan, 2005: 4,72).
2.1.3.4 Nilai Ambang Batas (NAB)
Nilai ambang batas adalah standar faktor tempat kerja yang
dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau
gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu
tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu
(KEPMENAKER No.Kep-51 MEN/1999). NAB kebisingan di
tempat kerja adalah intensitas suara tertinggi yang merupakan
nilai rata-rata, yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa
mengakibatkan hilangnya daya dengar yang menetap untuk
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
30/72
30
waktu kerja terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40
jam seminggu (A.M. Sugeng Budiono, dkk, 2003 : 298).
Berikut adalah pedoman pemaparan terhadap kebisingan
(NAB Kebisingan) berdasarkan lampiran II Keputusan Menteri
Tenaga Kerja No. Kep-51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang
Batas Faktor Fisika Di Tempat Kerja .
Tabel 2.4. Nilai Ambang Batas Kebisingan
Waktu pemajanan per hari Intensitas kebisingan
dalam dBA
24 Jam
16
8
4
2
1
80
82
85
88
91
94
30 Menit
15
7,5
3,75
1,88
0,94
97
100
103
106
109
112
28,12 Detik
14,06
7,03
115
118
121
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
31/72
31
3,52
1,76
0,88
0,44
0,22
0,11
Tidak Boleh
124
127
130
133
136
139
140
2.1.3.5 Pengaruh Kebisingan
Pengaruh kebisingan pada tenaga kerja adalah adanya gangguan-
gangguan seperti di bawah ini (Departemen Kesehatan RI, 2003:
MI-2:37) :
a. Gangguan Fisiologis
Gangguan fisiologis adalah gangguan yang mula-mula
timbul akibat kebisingan. Pembicaraan atau instruksi dalam
pekerjaan tidak dapat didengar secara jelas, pembicara
terpaksa berteriak-teriak, selain memerlukan ekstra tenaga
juga menambah kebisingan (Departemen Kesehatan RI,
2003: MI-2:37).
Contoh gangguan fisiologis adalah naiknya tekanan darah,
nadi menjadi cepat, emosi meningkat, vasokontriksi
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
32/72
32
pembuluh darah (kesemutan), otot menjadi tegang atau
metabolisme tubuh meningkat. Semua hal ini sebenarnya
merupakan mekanisme daya tahan tubuh manusia terhadap
keadaan bahaya secara spontan (Benny L. Priatna dan Adhi
Ari Utomo, 2002:247). Kebisingan juga dapat menyebabkan
bertambahnya tonus otot yang dikarenakan gerakan mekanis
dengan frekuensi dibawah 20 Hz menjadi penyebab
kelelahan. (Sumamur P.K., 2009:145).
b. Gangguan Psikologis
Pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja adalah
mengurangi kenyamanan dalam bekerja, mengganggu
komunikasi, mengurangi konsentrasi (A.M. Sugeng Budiono,
dkk, 2003:33), dapat mengganggu pekerjaan dan
menyebabkan timbulnya kesalahan karena tingkat kebisingan
yang kecil saja dapat mengganggu konsentrasi (Benny L.
Priatna dan Adhi Ari Utomo, 2002:250). Kebisingan
mengganggu perhatian tenaga kerja yang melakukan
pengamatan dan pengawasan terhadap suatu proses produksi
atau hasil serta dapat membuat kesalahan-kesalahan akibat
terganggunya konsentrasi. Kebisingan yang tidak
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
33/72
33
terkendalikan dengan baik, juga dapat menimbulkan efek lain
yang salah satunya berupa meningkatnya kelelahan tenaga
kerja (Sumamur P.K., 2009: 128).
Bila gelombang suara datang dari luar akan ditangkap oleh
daun telinga kemudian gelombang suara ini melewati liang
telinga, dimana liang telinga ini akan memperkeras suara
dengan frekuensi sekitar 3.000 Hz dengan cara resonansi.
Suara ini kemudian diterima oleh gendang telinga, sebagian
dipantulkan dan sebagian diteruskan ke tulang-tulang
pendengaran dan akhirnya menggerakkan stapes yang
mengakibatkan terjadinya gelombang pada perlimfe. Telinga
tengah merupakan suatu kesatuan sistem penguat bunyi yang
diteruskan oleh gendang telinga. Gelombang pada perlimfe
pada skala media selanjutnya terus ke helicotremia skala
timpani dan menggerakkan fenestra rotundum untuk
membuang getaran ke telinga tengah akibat gelombang pada
perlimfe dan endolimfe ini terjadi gelombang pada basalis
yang mengakibatkan sel rambut pada organ corti mengenai
membran tektoria sampai membengkak dan terjadi potensial
listrik diteruskan sebagai rangsangan saraf ke daerah
penerimaan rangsangan pendengaran primer (auditorius
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
34/72
34
primer) yang terletak pada gyrus temporalis superior (W.F.
Ganong, 2008: 185-190).
c. Gangguan Patologis Organis
Pengaruh kebisingan terhadap alat pendengaran yang paling
menonjol adalah menimbulkan ketulian yang bersifat
sementara hingga permanen. (Departemen Kesehatan RI,
2003: MI-2:37).
Pengaruh utama dari kebisingan kepada kesehatan adalah
kerusakan pada indera-indera pendengar yang menyebabkan
ketulian progresif. Pemulihan terjadi secara cepat sesudah
dihentikan kerja di tempat bising untuk efek kebisingan
sementara. Tetapi paparan bising terus menerus berakibat
kehilangan daya dengar yang menetap dan tidak pulih
kembali, biasanya dimulai pada frekuensi sekitar 4.000 Hz
dan kemudian menghebat dan meluas ke frekuensi sekitarnya
dan akhirnya mengenai frekuensi yang digunakan untuk
percakapan (Sumamur P.K., 2009:121-122).
Di tempat kerja, tingkat kebisingan yang ditimbulkan oleh
mesin dapat merusak pendengaran dan dapat pula
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
35/72
35
menimbulkan gangguan kesehatan (tingkat kebisingan 80-90
dB atau lebih dapat membahayakan pendengaran). Seseorang
yang terpapar kebisingan secara terus menerus dapat
menyebabkan dirinya menderita ketulian. Ketulian akibat
kebisingan yang ditimbulkan akibat pemaparan terus
menerus dibagi menjadi dua yaitu :
1.
Temporary Threshold Shift
Temporary threshold shiftyaitu kehilangan pendengaran
sementara dan biasanya kerusakan pada telinga bagian
luar dan telinga bagian tengah.
Pada keadaan ini terjadi kenaikan nilai ambang
pendengaran secara sementara setelah adanya pajanan
terhadap suara dan bersifat reversibel. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya pergeseran nilai ambang
pendengaran ini adalah level suara, durasi pajanan,
frekuensi yang diuji, spektrum suara, dan pola pajanan
temporal, serta faktor-faktor lain seperti : pajanan bising,
usia, status kesehatan, obat-obatan (beberapa obat dapat
bersifat ototoksik sehingga menimbulkan kerusakan
sementara maupun permanen).
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
36/72
36
2. Permanent Threshold ShiftPermanent threshold shiftyaitu kehilangan pendengaran
secara permanen atau disebut ketulian saraf dan biasanya
mengenai telinga bagian dalam. (Benny L. Priatna dan
Adhi Ari Utomo, 2002:250).
Data yang mendukung adanya pergeseran nilai ambang
pendengaran permanen didapatkan dari laporan-laporan
dari pekerja di industri karena tidak mungkin melakukan
eksperimen pada manusia. Dari data observasi di
lingkungan industri, faktor-faktor yang mempengaruhi
respon pendengaran terhadap bising di lingkungan kerja
adalah tekanan suara di udara, durasi total pajanan,
spektrum bising, alat transmisi ke telinga, serta
kerentanan individu terhadap kehilangan pendengaran
akibat bising.
d. Pengendalian Kebisingan
Pengendalian kebisingan di lingkungan kerja dapat dilakukan
upaya-upaya sebagai berikut (A.M. Sugeng Budiono, dkk,
2003:299) :
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
37/72
37
1. Survei dan Analisis KebisinganKegiatan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi
lingkungan kerja apakah tingkat kebisingan telah
melampaui NAB, bagaimana pola kebisingan di tempat
kerja serta mengevaluasi keluhan yang dirasakan oleh
masyarakat sekitar. Perlu dilakukan analisis intensitas
dan frekuensi suara, sifat, jenis kebisingan, terus-menerus
atau berubah-ubah dan sebagainya. Berdasarkan hasil
survei dan analisis ini, ditentukan apakah program
perlindungan ini perlu segera dilaksanakan atau tidak di
perusahaan tersebut.
2. Teknologi PengendalianDalam hal ini dilakukan upaya menentukan tingkat suara
yang dikehendaki, menghitung reduksi kebisingan dan
sekaligus mengupayakan penerapan teknisnya. Teknologi
pengendalian yang ditujukan pada sumber suara dan
media perambatnya dilakukan dengan mengubah cara
kerja, dari yang menimbulkan bising menjadi
berkurangnya suara yang menimbulkan bising,
menggunakan penyekat dinding dan langit-langit yang
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
38/72
38
kedap suara, mengisolasi mesin-mesin yang menjadi
sumber kebisingan, substitusi mesin yang bising dengan
mesin yang kurang bising, menggunakan pondasi mesin
yang baik agar tidak ada sambungan yang goyang dan
mengganti bagian-bagian logam dengan karet, modifikasi
mesin atau proses, merawat mesin dan alat secara teratur
dan periodik (A.M. Sugeng Budiono, dkk, 2003:34).
3. Pengendalian Secara AdministratifPengendalian secara administratif dapat dilakukan
dengan adanya pengadaan ruang kontrol pada bagian
tertentu dan pengaturan jam kerja, disesuaikan dengan
NAB yang ada.
4. Penggunaan Alat Pelindung DiriUntuk menghindari kebisingan digunakan alat pelindung
telinga. Alat pelindung telinga berguna untuk
mengurangi intensitas suara yang masuk ke dalam
telinga. Ada dua jenis alat pelindung telinga, yaitu
sumbat telinga atau ear plug dan tutup telinga atau ear
muff(A.M. Sugeng Budiono, dkk, 2003:35).
o Sumbat telinga (earplug), dapat mengurangi kebisingan8-30 dB. Biasanya digunakan untuk proteksi sampai
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
39/72
39
dengan 100 dB. Beberapa tipe dari sumbat telinga
antara lain : formable type, costum-molded type,
premolded type.
o Tutup telinga (earmuff), dapat menurunkan kebisingan25-40 dB. Digunakan untuk Proteksi sampai dengan
110 dB.
o Helm (Helmet), mengurangi kebisingan 40-50 dB.Pengendalian kebisingan dapat dilakukan juga dengan
pengendalian secara medis yaitu dengan cara
memeriksaan kesehatan secara teratur.
5.Pemeriksaan AudiometriDilakukan pada saat awal masuk kerja secara periodik,
secara khusus dan pada akhir masa kerja (A.M. Sugeng
Budiono, dkk 2003:34), dan pemeriksaan berkala
audiometri pada pekerja yang terpapar (Benny L. Priatna
dan Adhi Ari Utomo, 2002:252).
6.Pelatihan dan PenyuluhanPada pekerja semua orang di perusahaan tentang manfaat,
cara pemakaian dan perawatan alat pelindung telinga,
bahaya kebisingan di tempat kerja dan aspek lain yang
berkaitan (A.M. Sugeng Budiono, dkk, 2003:301).
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
40/72
40
2.2.Kerangka Teori
Lingkungan kerja
Pengaruh auditorial :
Tuli akibat bising (Noise
induced hearing loss)
kebisingan
Pengaruh non auditorial :
Gangguan komunikasi,gelisah,rasa tidak
nyaman, gangguan tidur, peningkatan
tekanan darah,dll
Pekerja
Peningkatan ambang dengar sementara
(temporary threshold shift)
dan
a. Suara mesin
b. Benturan antara alat ker
dan benda kerja
c. Manusia
d. Aliran material
Ket.
Yg berpengaruh
Yg diteliti
peningkatan ambang dengar menetap
(permanent threshold shift)
Lama Bekerja
Lama Paparan/hari
Intensitas Kebisingan
Kerusakan sel-sel rambut
organ corti di telinga dalam
atau koklea
Kerusakan pada telinga
bagian luar dan telinga tengah
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
41/72
41
2.3. Kerangka konseptual
2.4. Hipotesis
H1 : Ada hubungan kebisingan terhadap themporary threshold shift
(gangguan auditorial) pada tenaga kerja pengolahan kayu di
Gunungsari.
H0 : Tidak ada hubungan kebisingan terhadap themporary threshold shift
(gangguan auditorial) pada tenaga kerja pengolahan kayu di
Gunungsari.
Variabel Bebas
Kebisingan
Variabel Terikat
Themporary Threshold
Shi t
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
42/72
42
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Rancangan penelitian menggunakan analitik observasional dengan
pendekatan studi cross sectional. Penelitian cross sectional adalah suatu
penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko
dan efek, dengan cara pendekatan, observasional atau pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat (point time apporoach).
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah Gunungsari dengan
mengambil waktu penelitian pada tahun 2013.
3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional3.3.1. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini meliputi :
3.3.1.1.Variabel Bebas : kebisingan, yang didapat dari alat yang
digunakan dalam pengolahan kayu.
3.3.1.2.Variabel Terikat : themporary threshold shift, akibat terlalu
lama terkena paparan dari sumber kebisingan tersebut.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
43/72
43
3.3.2. Definisi Operasional
Kebisingan : Kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki
karena tidak sesuai dengan konteks ruang dan waktu
sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap
kenyamanan dan kesehatan manusia.
Themporary threshold shift : Adanya gangguan konduksi pada
telinga bagian luar dan telinga tengah.
3.4. Subyek Penelitian3.4.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti. Populasi yang digunakan adalah tenaga kerja bagian moulding
pengolahan kayu di wilayah Gunungsari.
3.4.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili
populasinya.
a. Kriteria inklusi
- Semua yang bekerja pada industri pengolahan kayu.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
44/72
44
b.Kriteria eksklusi-
Yang tidak bekerja pada industri pengolahan kayu
- Menderitapermanent threshold shift- Otitis media- Penggunaan obat (tuli ototoksik)- Presbikusis
3.4.3. Sampling
Sampling adalah suatu cara yang ditempuh dengan
pengambilan sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan
obyek penelitian. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini
adalah total sampling. Total sampling adalah teknik pengambilan
sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi. Alasan
mengambil total sampling karena jumlah populasi yang kurang dari
100 seluruh populasi dijadikan sampel penelitian semuanya.
Berdasarkan data yang telah diperoleh pada industri
pengolahan kayu jumlah pekerja yang didapat sebayak 31 orang maka
peneliti menggunakan teknik total sampling.
3.5. Instrument Penelitiana. Sound Level Meter
Digunakan untuk mengukur kebisingan dengan satuan desibel (dB).
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
45/72
45
Sound Level MeterAlat ini dapat mengukur kebisingan antara30-130
dB dan frekuensi 20-20.000 Hz. Alat ini terdiri dari mikrofon, alat
penunjuk elektronik, amplifier dan terdapat tiga skala pengukuran.
b. Garputala
Digunakan untuk menilai ada tidaknya gangguan pendengaran.
c.
Kuesioner
Kuesioner yaitu alat pengumpulan data yang berupa pertanyaan
pertanyaan tertulis untuk memperoleh informasi tentang kebisingan
dan themporary threshold shift.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
46/72
46
3.6.Cara Penelitian (Alur Penelitian)
Industri Pengolahan
Kayu
Adanya Sumber Kebisingan
(Penggunaan Alat Pengolahan Kayu)
Lama Bekerja
Lama Paparan/hari
Intensitas
Subyek Penelitian
TTS
(Themporary Threshold Shift)
PTS
(Permanent Threshold Shift)
Normal
Gangguan
Pendengaran
Analisa Data
Hasil
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
47/72
47
3.7. Analisa Hasil
Analisa data merupakan bagian penting dari suatu penelitian.
Dimana tujuan dari analisa ini adalah agar diperoleh suatu kesimpulan
masalah yang diteliti. Data yang telah terkumpul akan diolah dan
dianalisa dengan menggunakan program komputer. Adapun langkah-
langkah pengolahan data meliputi :
3.7.1. Editing adalah pekerjaan memeriksa validitas data yangmasuk, seperti memeriksa hasil pengukuran kebisingan dan
themporary threshold shift.
3.7.2. Codingadalah suatu kegiatan memberi tanda atau kode tertentuterhadap data yang telah diedit dengan tujuan mempermudah
pembuatan tabel.
3.7.3. Entry adalah kegiatan memasukkan data yang telah didapatkedalam program komputer yang ditetapkan (program
Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Windows
versi 17).
Analisa dalam penelitian ini menggunakan :
a. Analisa Univariat
Analisa ini digunakan untuk mendiskripsikan masing-masing
variabel, baik variabel bebas dan variabel terikat. Adapun yang
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
48/72
48
dianalisa adalah kebisingan yang diukur dengan sound level meter
dan themporary threshold shift dengan menggunakan garputtalla
dan kuesioner.
b. Analisa Bivariat
Analisa yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara
variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent) yaitu
kebisingan dan themporary threshold shift.
Karena rancangan penelitian ini adalah cross sectional, hubungan
antara variabel independentdengan variabel dependentdigunakan
ditampilkan dalam tabel 2x2 dan juga dilakukan perhitungan rasio
prevalens (RP), untuk mengetahui estimasi resiko relatif, dengan
cara membagiprevalens efek pada kelompok dengan faktor resiko,
denganprevalens efek pada kelompok tanpa faktor resiko. Adapun
tampilan tabel 2x2 dan perhitungan rasio prevalens sebagai
berikut:
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
49/72
49
Tabel 3.1. Tabel 2x2 Kebisingan dan Themporary Threshold Shift
Kebisingan
Themporary Threshold Shift
TOTALTTS (+) TTS (-)
Terpapar
Kebisingan
A B AB
Tidak Terpapar
Kebisingan
C D CD
TOTAL AC BD ABCD
RP = A/(A+B) : C/(C+D)
Dalam penelitian ini juga digunakan uji statistik Chi-Square
dengan bantuan komputer untuk mengetahui perbedaan antara
themporary threshold shiftpada tenaga kerja pengolahan kayu yang
terpapar kebisingan dan tidak terpapar kebisingan. Taraf signifikasi
yang digunakan adalah 95 % / taraf kesalahan 0,05 %.
3.8. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah etika
penelitian. Etika penelitian meliputi:
a. Informed consent(lembar persetujuan)Sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti memberikan
informasi tentang tujuan dan manfaat penelitian. Setelah sifat
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
50/72
50
keikutsertaan dalam penelitian. Sampel penelitian yang setuju
berpartisipasi dalam penelitian dimohon untuk menandatangani lembar
persetujuan penelitian.
b.Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan responden dalam penelitian maka
peneliti tidak mencantumkan nama pada lembar penelitian cukup
dengan memberi nomor kode pada masing-masing lembar yang hanya
diketahui oleh peneliti.
c. Confidentiality (kerahasiaan)
Peneliti menyimpan data penelitian pada dokumen pribadi
penelitian dan data-data penelitian dilaporkan dalam bentuk kelompok
bukan sebagai data-data yang mewakili pribadi sampel penelitian
(Sastroasmoro, 1995).
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
51/72
51
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian4.1.1 Karakteristik Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan pada industri pengolahan kayu di
wilayah Gunungsari kabupaten Lombok Barat tahun 2013. Sampel yang
diambil adalah para pekerja pengolahan kayu yang terpapar kebisingan
alat pengolahan kayu tersebut yang berjumlah 31 orang dari 6 industri
pengolahan kayu. Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi dalam
penelitian ini, didapatkan 31 orang responden.
4.1.2 Gambaran Umum Industri Pengolahan kayu
Peralatan-peralatan yang dipergunakan untuk operasional industri
mempunyai jenis dan spesifikasi tertentu yang sangat menentukan
tingkat kebisingan yang dihasilkan, pengukuran kebisingan yang
dilakukan di lingkungan industri diperlukan untuk mengetahui intensitas
kebisingan.
Perusahaan industri pengolahan kayu sebagian besar berlokasi di
wilayah Gunungsari dan berproduksi lebih dari 5 tahun. Industri tersebut
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
52/72
52
sebagian besar memproduksi olahan kayu berupa kayu balok, kursi,
meja, kusen, daun pintu, berugaq, dll.
Tenaga kerja semuanya berjenis kelamin laki-laki, bekerja 6-7
hari/minggu, 3-8 jam/hari dan istirahat selama 2 jam serta tidak ada
pertukaran kerja, tenaga kerja tidak menggunaan alat perlindungan diri
dan pemeriksaan kesehatan yang seharusnya dilakukan secara berkala
tidak pernah dilakukan. Pada pengukuran diperoleh intensitas
kebisingan pada enam lokasi industri yang berkisar antara 90,3 - 111,9
dB, dengan sifat bising terus menerus dan impulsif berulang.
4.2 Analisa Univariat4.2.1 Kebisingan Tempat Kerja
Pengukuran intensitas kebisingan dilakukan pada saat tenaga kerja
sedang melakukan pekerjaan. Hasil pengukuran intensitas kebisingan
pada sumber bising pengolahan kayu sebagaimana terlampir.
Berdasarkan kebisingan tempat kerjadidapatkan data sebagai berikut :
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
53/72
53
Tabel 4.1. Distribusi Intensitas Kebisingan Tempat Kerja
Industri Alat PengolahanKayu
IntensitasKebisingan
Rata-rata ygkebisingan
Persentase(%)
A Mesin Serut 95,6 dB
99 16,38 %Circle
(pemotongan kayu)
102,4 dB
B Pemecah Kayu 97,2 dB
100,6 16,64 %
Mesin Serut 94,5 dB
Somil 100,8 dB
Lorry 110,4 dB
C Sklener atau Siku 109,4 dB
104,4 17,27 %Mesin Serut 96,1 dB
Somil 107,7 dB
D Mesin Serut 94,6 dB
Circle
(pemotongan kayu)
101,9 dB
95,6 15,81 %
Bor listrik 90,3 dB
E Mesin Serut 92,8 dB100,3 16,6 %
Somil 107,8 dB
F Mesin Serut 93,6 dB
104,6 17,30 %Somil 108,2 dB
Band saw 111,9 dB
Sumber : data primer yang diolah
National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH)
dan Indonesia menetapkan nilai ambang batas (NAB) bising di tempat
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
54/72
54
kerja sebesar 85 dB. Bila NAB ini dilampaui terus menerus dalam waktu
lama maka akan menimbulkan noise induced hearing loss (NIHL).
Gambar 4.1. Diagram Intensitas Kebisingan Pada Industri Pengolahan Kayu
Gambar 4.2. Diagram Persentase Intensitas Kebisingan
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
55/72
55
Berdasarkan tabel 4.1 dan diagram di atas dapat diketahui bahwa
sebesar 16,38% tenaga kerja di industri A terpapar intensitas kebisingan
dan sebesar 16,64% tenaga kerja di industri B terpapar intensitas
kebisingan, sebesar 17,27% tenaga kerja di industri C terpapar intensitas
kebisingan, sebesar 15,81% tenaga kerja di industri D terpapar intensitas
kebisingan dan sebesar 16,6% tenaga kerja di industri E terpapar
intensitas kebisingan serta sebesar 17,30 % tenaga kerja di industri F
terpapar intensitas kebisingan.
Dari tabel dan uraian di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar
tenaga kerja diindustri E terpapar intensitas kebisingan yang sangat
tinggi setiap harinya.
Gambar 4.3. Diagram Paparan Kebisingan Per Hari
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
56/72
56
Berdasarkan diagram 4.3 di atas dapat diketahui bahwa sebesar
6,45% tenaga kerja terpapar intensitas kebisingan selama 3 jam/hari,
sebesar 3,23% tenaga kerja terpapar intensitas kebisingan selama 4
jam/hari, sebesar 32,26% tenaga kerja terpapar intensitas kebisingan
selama 5 jam/hari, sebesar 12,9% tenaga kerja terpapar intensitas
kebisingan selama 7 jam/hari dan sebesar 45,16% tenaga kerja terpapar
intensitas kebisingan selama 8 jam/hari.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar tenaga
kerja terpapar intensitas kebisingan selama 8 jam/hari yaitu sebesar
45,16%.
Gambar 4.4. Diagram Lama Kerja Responden Di Industri Pengolahan Kayu
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
57/72
57
Berdasarkan diagram di atas dapat diketahui bahwa sebesar
16,13% tenaga kerja yang bekerja di industri pengolahan kayu selama 1-
5 tahun, sebesar 48,39% tenaga kerja yang bekerja di industri
pengolahan kayu selama 6-10 tahun, sebesar 22,58% tenaga kerja yang
bekerja di industri pengolahan kayu selama 11-15 tahun, sebesar 9,68%
tenaga kerja yang bekerja di industri pengolahan kayu selama 16-20
tahun dan sebesar 3,23% tenaga kerja yang bekerja di industri
pengolahan kayu selama 21-25 tahun.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar tenaga
kerja bekerja di industri pengolahan kayu selama 6-10 tahun yaitu
sebesar 48,39%.
4.2.2
Themporary Threshold Shift
Berdasarkan kriteria themporary threshold shift responden/ tenaga
kerja pengolahan kayu didapatkan data sebagai berikut :
Tabel 4.2. Distribusi Tenaga Kerja Pengolahan Kayu Yang Mengalami
Tuli Konduksi (themporary threshold shift)
Tenaga Kerja Persentase (%)
Normal 7 22,6 %
TTS 24 77,4 %
PTS 0 0 %
Total 31 100 %
Sumber : Data primer yang diolah
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
58/72
58
Gambar 4.5. Diagram Distribusi Tenaga Kerja Pengolahan Kayu Yang
Mengalami Themporary Threshold Shift.
Berdasarkan tabel 4.2 dan diagram di atas dapat diketahui bahwa
sebesar 32,30% tenaga kerja yang tidak mengalami gangguan
pendengaran, sebesar 67,70% tenaga kerja mengalami tuli konduksi
(themporary threshold shift) dan sebesar 0% menderita tuli permanen
(permanent threshold shift).
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
59/72
59
4.3 Analisa Bivariat4.3.1
Distribusi kebisingan tempat kerja terhadap themporary threshold
shift
Berdasarkan distribusi kebisingan tempat kerja terhadap themporary
threshold shiftdidapatkan data sebagai berikut :
Tabel 4.3. Distribusi responden kebisingan tempat kerja dengan
themporary threshold shift
TTS
Kebisingan
Normal TTS TOTAL
Kebisingan ringan 3
60%
2
40%
5
100%
Kebisingan sedang 2
50%
2
50%
4
100%
Kebisingan keras 2
9,1%
20
90,9%
22
100%
TOTAL 7
22,59%
24
77,41%
31
100%
Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa tenaga kerja yang terpapar
kebisingan ringan yang tidak memiliki gangguan pendengaran
sebanyak 3 orang (60%) dan themporary threshold shift sebanyak 2
orang (40%). Tenaga kerja yang terpapar kebisingan sedang yang tidak
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
60/72
60
memiliki gangguan pendengaran sebanyak 2 orang (50%) dan
themporary threshold shift sebanyak 2 orang (50%) dan tenaga kerja
yang terpapar kebisingan keras yang tidak memiliki gangguan
pendengaran sebanyak 2 orang (9,1%) dan themporary threshold shift
sebanyak 20 orang (90,9%).
Gambar 4.6. Diagram Pengaruh Kebisingan Tempat Kerja Terhadap
Themporary Threshold Shift
Dari tabel dan uraian di atas diketahui bahwa tenaga kerja yang
terpapar kebisingan ringan sebagian besar memiliki pendengaran yang
baik. Tenaga kerja yang terpapar kebisingan sedang memiliki
pendengaran yang normal dan terganggu sama banyak. Tenaga kerja
yang terpapar kebisingan keras sebagian besar memiliki pendengaran
yang kurang baik.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
61/72
61
Analisa yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara
variabel bebas (independen) dan variabel terikat (dependen) yaitu
kebisingan dan themporary threshold shift, menggunakan tabel 2x2.
Tabel 4.4. Tabel Silang Kebisingan dan Themporary Threshold Shift
Kebisingan
Themporary Threshold
Shift TOTAL
TTS (+) TTS (-)
Terpapar
Kebisingan20 2 22
Tidak Terpapar
Kebisingan4 5 9
TOTAL 24 7 31
RP = A/(A+B) : C/(C+D)
RP = 20/(20+2) : 4/(4+5)
= 20/24 : 4/9
= 2,04
= 2
Dari tabel silang dan perhitungan rasio prevalensi di atas
diperoleh hasil rasio prevalens (RP) sebesar 2 (RP > 1), hal ini
menunjukkan bahwa variabel independen tersebut merupakan faktor
resiko yang mempengaruhi varibel dependen yang dalam hal ini
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
62/72
62
didapatkan bahwa kebisingan merupakan faktor resiko untuk
mempengaruhi themporary threshold shift sebesar 2 kali lipat.
Pengaruh kebisingan terhadap themporary threshold shift hasil
uji statistik menunjukkan bahwa kebisingan berpengaruh terhadap
themporary threshold shift. Hal ini ditunjukkan dari uji melalui uji chi-
square dengan nilai pada data sbb :
Tabel 4.5. Tabel Uji Chi-square
Uji Value Signifikansi (P-Value)
Chi- Square 8.015 0.018
Sumber: Data primer yang diolah
Dari data tersebut di atas diperoleh nilai X2
hitung sebesar 8.015 dengan
nilai signifikansi (P-Value) sebesar 0.018. Berdasarkan hasil yang
telah diperoleh, nilai signifikansi (0.018) < (0,05) sehingga H0
ditolak.
4.4 Pembahasan Penelitian4.4.1 Kebisingan
Kebisingan di pengolahan kayu termasuk jenis kebisingan tetap
(steady noise) dan impulsif yang dihasilkan oleh mesin serut, circle, bor
listrik, skelener, band saw, somil dll. Intensitas kebisingan bagian
pengolahan kayu sebesar 90,3-111,9 dB yang seharusnya diperkenankan
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
63/72
63
oleh tenaga kerja terkena paparan paling lama 1,88 menit per hari.
Namun pada kenyataannya tenaga kerja terpapar selama 3-8 jam per hari
dan diperkuat dengan keengganan tenaga kerja memakai earplug atau
earmuff, maka akan semakin mudah tenaga kerja terkena gangguan
akibat kebisingan. Dampak dari kebisingan tentunya akan mengganggu
pendengaran baik yang bersifat sementara maupun permanen.
Akibat kebisingan terhadap kesehatan yang lain adalah
meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung, selain gangguan
kesehatan kebisingan juga menimbulkan gangguan emosional (Dwi P
Sasongko, dkk., 2000:21). Terhadap daya kerja, kebisingan dapat
mengganggu konsentrasi yang menyebabkan terjadi kesalahan ketika
bekerja sehingga menurunkan prestasi kerja tenaga kerja, selain itu
kebisingan juga dapat meningkatkan kelelahan (Sumamur P.K.,
2009:125).
Tenaga kerja bekerja dalam satu lokasi dimana mesin-mesin
yang digunakan untuk pengolahan kayu tersebut tidak di sekat antara
masing-masing mesin sehingga intensitas kebisingan di tempat tenaga
kerja tidak hanya berasal dari satu mesin saja, melainkan beberapa buah
mesin yang dihidupkan secara bersama-sama. Selain kebisingan antara
mesin-mesin yang dihidupkan secara bersamaan, beberapa industri
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
64/72
64
pengolahan kayu ini tidak dibatasi oleh tembok pembatas industri
dengan perumahan warga sehingga warga sekitar tidak terlindung dari
adanya bahaya dari frekuensi yang ditimbulkan dari mesin-mesin
tersebut, sehingga dapat mengganggu dari aktifitas maupun dampak
yang ditimbulkan dari perindustrian tersebut.
Intensitas kebisingan dari berbagai mesin yang dihidupkan pada
setiap industri pengolahan kayu adalah melebihi nilai ambang batas
yang telah ditetapkan yaitu lebih dari 85 dB dan intensitas kebisingan di
tempat kerja industri pengolahan kayu wilayah Gunungsari yaitu
intensitas kebisingan tertinggi 111,9 dB dan terendah 90,3 dB.
Sumber suara kebisingan di industri pengolahan kayu berasal
dari penggunaan mesin dalam proses produksi dengan intensitas
kebisingan yang beragam. Intensitas sumber bising terendah 90,3 dB
dari mesin bor listrik dan intensitas tertinggi 111,9 dB dari mesin band
saw Dari hasil perhitungan kebisingan di tempat tenaga kerja didapatkan
intensitas kebisingan bagian moulding sebesar 90,3 111,9 dB.
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor
KEP.51/MEN/1999 Nilai Ambang Batas untuk waktu pemajanan per
hari 8 jam atau 40 jam seminggu yaitu 85 dB, sehingga intensitas
kebisingan melebihi ambang batas yang telah ditetapkan.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
65/72
65
Suara di tempat kerja berubah menjadi salah satu bahaya kerja
(occupational hazard) saat keberadaannya dirasakan mengganggu atau
tidak diinginkan secara fisik maupun psikis (Sihar Tigor Benjamin
Tambunan, 2005:6). Selain dapat merusak pendengaran, kebisingan juga
mengurangi kenyamanan dalam bekerja, mengganggu komunikasi,
mengurangi konsentrasi (A.M. Sugeng Budiono, dkk, dkk, 2003:33).
Lingkungan kerja yang melebihi ambang batas dan untuk
menghindari dampak yang ditimbulkan, sesuai dengan undang-undang
ketenagakerjaan perusahaan berusaha memberi perlindungan dengan
pemberian alat pelindung diri seperti earplug, masker dan sarung
tangan. Namun pada kenyataannya di lapangan dijumpai tenaga kerja
tidak menggunakannya karena alasan kurang nyaman dan mengganggu
dalam bekerja.
Kebisingan yang terjadi dapat dikendalikan agar tingkat
kebisingan tersebut sampai batas nilai yang diijinkan. Pengendalian
kebisingan dilakukan pada sumber suara, pada media perantara
kebisingan dan pengendalian kebisingan pada manusia (Dwi P
Sasongko, dkk., 2000:54). Pengendalian pada sumber suara dilakukan
untuk mereduksi tingkat kebisingan dengan memasang selubung akustik
dari bahan peredam getaran yang bersifat menyerap intensitas
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
66/72
66
kebisingan sehingga intensitasnya akan berkurang. Pengendalian pada
media rambatan dilakukan dengan cara membuat hambatan-hambatan
untuk memantulkan gelombang suara, penyerapan kebisingan serta
pembungkusan mesin untuk membatasi penyebaran kebisingan.
Pengendalian selain dilakukan pada sumber dan media kebisingan, juga
pada manusia dengan cara penggunaan alat pelindung diri (Sihar Tigor
Benjamin Tambunan, 2005:95).
Dari hasil pengamatan yang diperoleh dari lapangan tenaga kerja
mendapat waktu istirahat dua jam setelah bekerja selama 3-8 jam,
diharapkan dengan waktu istirahat yang diberikan dapat memberikan
istirahat terhadap telinga dari intensitas kebisingan yang didengar pada
saat bekerja agar dapat kembali normal.
4.4.2 Themporary Threshold ShiftThemporary threshold shift dapat diukur dengan beberapa
metode salah satunya adalah pengukuran menggunakan garputala.
Garputala adalah alat yang digunakan sebagai tes untuk mengevaluasi
fungsi pendengaran individu secara kualitatif dengan menggunakan alat
berupa seperangkat garputala frekuensi rendah sampai tinggi 128 Hz -
2048 Hz. Untuk mengetahui tenaga kerja mengalami gangguan
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
67/72
67
pendengaran dilakukan pemeriksaan berupa tes pelana dan
menggunakan garputalla dengan frekuensi 512 Hz .
Jumlah tenaga kerja di enam industri pengolahan kayu sejumlah
31 orang, dimana 7 tenaga kerja yang tidak mengalami gangguan
pendengaran, sebesar 24 tenaga kerja mengalami tuli konduksi
(themporary threshold shift) dan tidak ada yang menderita tuli
permanent (permanent threshold shift).
Faktor-faktor seperti lama paparan kebisingan yang didengar
tenaga kerja, lama tenaga kerja bekerja pada industri pengolahan kayu,
penggunaan alat pengolahan kayu secara terus-menerus, tidak adanya
penggunaan alat perlindungan telinga mempunyai peran besar dalam
mempengaruhi terjadinya themporary threshold shift.
4.4.3 Hubungan Antara Kebisingan DenganThemporary Threshold Shift
Pengaruh kebisingan terhadap themporary threshold shift hasil
uji statistik menunjukkan bahwa kebisingan berpengaruh terhadap
themporary threshold shift. Hal ini ditunjukkan dari uji melalui uji chi-
square.
Berdasarkan hasil uji chi-square pada tabel 4.5 diperoleh nilai
signifikansi atauP value sebesar 0,018 yang lebih kecil dari alpha 0,05
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
68/72
68
( = 5%), sehingga H0 ditolak dan diperoleh juga nilai X2
hitung sebesar
8.015 dengan nilai signifikansi (Asymp. Sig. (2-sided)) sebesar 0.018.
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, terlihat bahwa nilai X2
hitung
(8.015) > X2
tabel (5.991) serta nilai signifikansi (0.018) < (0,05)
sehingga H0 ditolak.
Data lama kerja tenaga kerja pengolahan kayu lebih dari 5 tahun
bahkan ada yang lebih dari 20 tahun maka dapat dimungkinkan bahwa
tenaga kerja pengolahan kayu telah mengalami penurunan fungsi
pendengaran sehingga suara yang sangat bising dianggap biasa
dikarenakan sudah terbiasa dengan penurunan tersebut. Hal ini dapat
diperkuat oleh ketidakdisiplinan tenaga kerja dalam menggunakan APT
sehingga mempercepat terjadinya penurunan ambang dengar tersebut
ditambah lagi seluruh tenaga kerja juga bekerja selama kurang lebih 3-8
jam per hari dengan waktu istirahat 2 jam. Waktu istirahat digunakan
tenaga kerja untuk istirahat, makan, minum dan istirahat shalat.
4.4.4 Keterbatasan Penelitian
1. Dalam pelaksanaan penelitian terdapat beberapa hambatan.Hambatan adalah pada saat pengukuran kebisingan tidak semua
mesin dioperasikan sehingga kebisingan diukur hanya pada mesin
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
69/72
69
yang dioperasikan. Oleh karena itu kebisingan bagian pengolahan
kayu pada waktu penelitian belum mewakili keadaan sebenarnya.
2. Keterbatasan waktu karena penelitian dilakukan pada waktu kerja,pekerja yang sedang bekerja dan pengukuran juga dilakukan setelah
bekerja menggunakan alat-alat pengolahan kayu tersebut.
3. Ketelitian dan kejujuran dari tenaga kerja dalam mengisi kuesionersehingga tidak menutup kemungkinan adanya jawaban yang tidak
mewakili keadaan sebenarnya dan hal ini dapat mempengaruhi dari
hasil penelitian.
4. Penelitian yang dilakukan sedikit mengganggu karna dilakukan padawaktu kerja.
5. Data kesehatan sebelum bekerja dan selama bekerja tidak adasehingga tidak adanya kejelasan riwayat penyakit tenaga kerja
tersebut.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
70/72
70
BAB V
PENUTUP
5.1.Simpulan1. Dari hasil pengukuran kebisingan pada industri pengolahan kayu sebagian
besar tenaga kerja mengalami gangguan pendengaran sementara (themporary
threshold shift).
2. Dari hasil pengukuran kebisingan pada industri pengolahan kayu sebagiantenaga kerja tidak mengalami gangguan pendengaran sementara (themporary
threshold shift) yaitu sebesar 22,6%.
3. Dari hasil pengukuran kebisingan pada industri pengolahan kayu sebagianbesar tenaga kerja mengalami gangguan pendengaran sementara (themporary
threshold shift) yaitu sebesar 77,4%.
4. Dari hasil pengukuran kebisingan pada industri pengolahan kayu tidakterdapat tenaga kerja yang mengalami gangguan pendengaran menetap
(permanent threshold shift)
5. Sebagian besar tenaga kerja di industri terpapar intensitas kebisingan yangsangat tinggi setiap harinya yaitu melebihi NAB (85 dB) dan sebagian besar
tenaga kerja terpapar intensitas kebisingan selama 8 jam/hari yaitu sebesar
45,16% serta sebagian besar tenaga kerja di industri pengolahan kayu bekerja
selama 6-10 tahun yaitu sebesar 48,39%.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
71/72
71
6. Didapatkan nilai X2hitung sebesar 8.015 dengan nilai signifikansi (Asymp. Sig.(2-sided)) sebesar 0.018. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, terlihat
bahwa nilai X2
hitung (8.015) > X2
tabel (5.991) serta nilai signifikansi (0.018) 1),yang dalam hal ini berarti kebisingan merupakan faktor resiko yang
menyebabkan terjadinya themporary threshold shift.
-
7/28/2019 BAB I-5 ready ok
72/72
5.2.Saran
1. Bagi perusahaan atau industri hendaknya memberikan pelatihan danpenyuluhan kepada tenaga kerja tentang gangguan kesehatan akibat bising
agar selama bekerja selalu memakai alat pelindung telinga (earplug, earmuff)
maupun alat pelindung lainnya.
2. Diadakan pemeriksaan kesehatan secara berkala pada tenaga kerja khususnyadiadakan pemeriksaan audiometri agar kesehatan tenaga kerja terjamin
dengan baik.
3. Diharapkan bagi pihak industri untuk memperbaiki pola kerja misalnyaseperti pergantian shift teratur dan tidak melebihi paparan yang harus
didengar setiap harinya yaitu sesuai dengan KEPMENAKER No.Kep-51
MEN/1999 yaitu dalam pekerjaan sehari-hari waktu tidak melebihi 8 jam
sehari atau 40 jam seminggu sehingga gangguan pendengaran menjadi
minimal.
4. Hasil pengukuran tingkat kebisingan pabrik perlu dievaluasi setiap tahununtuk melihat perkembangan dan perubahan yang terjadi dan dapat
mengendalikan tingkat kebisingan yang sangat tinggi.