BAB 1 dan 2.docx
-
Upload
mesi-ta-putri -
Category
Documents
-
view
48 -
download
8
description
Transcript of BAB 1 dan 2.docx
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi terhadap Sarcoptes scabei var hominis (Sungkar, 2008). Penyakit ini
terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang terutama terjadi pada daerah-
daerah miskin (Leone, 2007). Prevalensi di seluruh dunia telah di perkirakan
sekitar 300 juta setiap tahun. Skabies dapat terjadi pada semua umur, jenis
kelamin, kelompok etnis, dan tingkatan sosial ekonomi (Katz, 2005).
Prevalensi skabies dibeberapa negara berkembang dilaporkan 6-27%
populasi umum dan insiden tertinggi pada anak usia sekolah dan remaja.
Berdasarkan pengumpulan data Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia
(KSDAI) tahun 2001, dari 9 rumah sakit di 7 kota besar di Indonesia, jumlah
penderita skabies terbanyak adalah Jakarta yaitu 335 kasus di 3 rumah sakit
(Mansyur, 2007).
Data pola penyakit di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menunjukkan
bahwa penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat seperti
demam berdarah, malaria, dan penyakit infeksi lainnya termasuk skabies. Dari
hasil pencatatan dan pengumpulan data di puskesmas propinsi NAD melalui
formulir SP2TP (Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas) yang
dikumpulkan pada tahun 2006 menunjukkan jumlah kunjungan dengan penyakit
skabies sebanyak 5.889 kunjungan (Dinkes NAD, 2006).
Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain
sosio ekonomi yang rendah, hygiene yang buruk, lingkungan yang tidak saniter,
perilaku yang tidak mendukung kesehatan, kepadatan penduduk, hubungan
seksual yang sifatnya promiskuitas, kesalahan diagnosis dan perkembangan
dermatografik dan ekologik, penyakit ini dimasukkan dalam penyakit akibat
hubungan seksual (Handoko, 2007; Ma’rufi, 2005).
1
2
Skabies sebagai salah satu penyakit berbasis lingkungan dan perilaku
merupakan masalah kesehatan yang juga sering ditemukan di pondok pesantren.
Pondok Pesantren dilihat dari segi kondisi lingkungan pondok serta perilaku
kesehatan santri mempunyai resiko yang cukup besar terhadap penularan
penyakit. Menurut berbagai laporan tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi,
yaitu 1 kamar tidur dengan luas 15 m2 dihuni sampai 15 orang. Hal ini belum
memenuhi standar hunian kamar yaitu 3 m2/tempat tidur/orang (Andayani, 2005).
Sikap santri sangat penting peranannya dalam pencegahan skabies di
lingkungan Asrama yang membutuhkan kebersihan perorangan serta perilaku
yang sehat. Sikap yang dimiliki oleh santri diharapkan dapat berpengaruh
terhadap perilaku mereka guna mencegah terjadinya skabies di lingkungan
Pondok tempat mereka tinggal. Tidur bersama, pakaian kotor yang digantung atau
ditumpuk di kamar merupakan salah satu contoh perilaku yang dapat
menimbulkan skabies (Nugraheni, 2008). Kebersihan diri dan lingkungan sangat
bermanfaat untuk diri pribadi dan juga membuat orang lain menjadi sehat.
Karenanya setiap santri wajib ikut ambil bagian dalam usaha pemeliharaan
kebersihan dalam rangka meningkatkan kesehatan diri pribadi dan orang
disekitarnya (Entjang, 2000)
Dampak yang sering muncul pada santri yang menderita skabies antara
lain terganggunya proses belajar dan timbulnya perasaan malu karena pada usia
remaja adanya penyakit ini sangat mempengaruhi penampilan dan juga akan
mempengaruhi penilaian masyarakat tentang pondok pesantren yang kurang
terjaga kebersihannya. Rasa gatal yang ditimbulkannya terutama waktu malam
hari, secara tidak langsung ikut mengganggu kelangsungan hidup terutama
tersitanya waktu untuk istirahat tidur, sehingga kegiatan yang akan dilakukannya
disiang hari juga ikut terganggu. Jika hal ini dibiarkan berlangsung lama, maka
efisiensi dan efektifitas kerja menjadi menurun yang akhirnya mengakibatkan
menurunnya kualitas hidup (Sudirman, 2006).
Untuk meningkatkan derajat kesehatan santri perlu adanya upaya
meningkatkan pengetahuan para santri tentang kesehatan, khususnya mengenai
penyakit menular seperti skabies sehingga diharapkan ada perubahan perilaku
kebersihan perorangan. Berdasarkan permasalahan yang telah penulis uraikan
3
maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian tentang hubungan perilaku
terhadap kasus skabies pada santri di Yayasan Dayah Daruzzahidin Aceh Besar
Tahun 2010.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, permasalahannya adalah
bagaimana hubungan perilaku terhadap kasus skabies pada santri di Yayasan
Dayah Daruzzahidin Aceh Besar Tahun 2010.
1.3. Tujuan dan Manfaat
1.3.1. a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan perilaku terhadap kasus skabies pada santri
di Yayasan Dayah Daruzzahidin Aceh Besar Tahun 2010.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran perilaku para santri di Yayasan Dayah
Daruzzahidin Aceh Besar Tahun 2010.
2. Untuk mengetahui gambaran kejadian skabies di Yayasan Dayah
Daruzzahidin Aceh Besar Tahun 2010.
1.3.2. Manfaat
a. Bagi Dunia Medis
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berperan terhadap kejadian
skabies sehingga diharapkan para santri ikut berperan aktif dalam
mencegah penularan penyakit skabies.
2. Sebagai bahan yang dapat diangkat dalam penyuluhan kesehatan
bagi komunitas yang menderita skabies agar dapat menurunkan
prevalensi penularan skabies.
b. Bagi Pengelola Pesantren
1. Menjadi acuan dalam membuat suatu aturan yang berkaitan dengan
penularan skabies di lingkungan pesantren.
4
2. Memperbaiki pengelolaan asrama yang lebih memperhatikan
kebersihan lingkungan dan penyediaan fasilitas-fasilitas yang
menunjang kesehatan para santri.
c. Bagi Santri
Mampu menanamkan perilaku tentang kebersihan diri dan lingkungan
sekitar dengan melakukan upaya-upaya pencegahan penularan penyakit
skabies di asrama sehingga terbebas dari penularan penyakit.
d. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan mengenai hal- hal yang berkaitan dengan
infeksi skabies dan cara pencegahan yang tepat.
1.4. Hipotesis
Terdapat hubungan antara perilaku terhadap kasus skabies pada santri di
Yayasan Dayah Daruzzahidin Aceh Besar Tahun 2010.
5
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Skabies
2.1.1. Definisi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi terhadap Sarcoptes scabei var hominis (Sungkar, 2008). Scabies
berasal dari bahasa latin yang berarti keropeng, kudis, dan gatal (Brown, 2005).
Penyakit ini disebut juga the itch, seven year itch, Norwegian itch, gudikan, gatal
agogo, dan penyakit ampera (Maskur, 2000).
2.1.2. Etiologi
Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthopoda, kelas Arachnida, ordo
Ackarina, superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var.
hominis. Terdapat pula jenis Sarcoptes scabei var animalis seperti pada kucing,
anjing, babi, dan kuda yang dapat menular pada manusia namun tidak dapat
berkembang biak dalam tubuh manusia (CDC, 2009; Condoro, 2009).
Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya
cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini transient, berwarna putih kotor,
dan tidak bermata. Ukurannya yang betina berkisar antara 330 – 450 mikron x 250
– 350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200 – 240 mikron x 150 –
200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan
sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan
rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut
dan keempat berakhir dengan alat perekat (Handoko, 2007).
6
Gambar 2.1. Sarcoptes scabiei (Stoffle, 2004)
2.1.3. Siklus Hidup
Sarcoptes scabiei mengalami empat tahap dalam siklus hidupnya: telur,
larva, nimfa dan dewasa. Setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit,
yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam terowongan yang
digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan
dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil
meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50,
Telur berbentuk oval dan panjang 0,10-0,15 mm. Bentuk betina yang telah
dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya, biasanya telur akan menetas dalam
waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat
tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva akan
menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang
kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan
waktu antara 8 – 12 hari (CDC, 2009; Handoko, 2007).
Infestasi terjadi ketika tungau betina menggali terowongan ke dalam kulit
dan bertelur. Setelah dua atau tiga hari, larva yang muncul akan menggali
terowongan baru, kemudian menjadi dewasa, dan mengulangi siklus ini setiap dua
minggu (Johnston, 2005).
7
Gambar 2.2. Siklus hidup skabies (CDC, 2009)
2.1.4. Patogenesis
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi
juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh
sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kira-kira
sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis
dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat
timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan gatal
yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau (Handoko, 2007).
2.1.5. Cara Penularan
Penyakit skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak
tidak langsung. Secara langsung (kontak kulit dengan kulit) misalnya berjabat
8
tangan, tidur bersama dan hubungan seksual sedangkan kontak tidak langsung
(melalui benda) misalnya melalui handuk, pakaian, sprei, bantal, dan lain-lain.
Penularan biasanya oleh Sarcoptes scabiei betina yang sudah di buahi atau
kadang-kadang oleh bentuk larva (Handoko, 2007).
Bentuk transmisi yang paling dominan adalah kontak langsung kulit
dengan kulit. Transmisi secara seksual juga dapat terjadi meskipun bukan
merupakan akibat utama. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa tungau dapat
menularkan infeksi dengan human immunodeficiency virus (HIV) (Chosidow,
2006). Tungau mampu bertahan selama 2 sampai 3 hari pada permukaan benda
mati, sehingga dapat menularkan melalui perantara seperti pakaian, handuk,
lantai, dan tempat tidur. Seseorang dengan kelainan kulit kronis lebih
memungkinan untuk menularkan tungau kepada orang lain karena sulitnya
mendiagnosa ada tidaknya infestasi skabies pada keadaan seperti itu (Sargent,
1994).
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan
lingkungan, atau di tempat-tempat dengan kepadatan penduduk yang tinggi.
Resiko tertular skabies banyak ditemukan diantara kelompok masyarakat yang
sering berdekatan atau bersentuhan seperti para tahanan dipenjara, penghuni
asrama atau pesantren, penghuni sanatorium, leprosarium, rumah yatim piatu, dan
rumah jompo. Skabies diantara penghuni rumah jompo dapat juga selanjutnya
menulari para staf dan perawat rumah jompo tersebut untuk kemudian menulari
keluarga dan masyarakat ditempat tinggalnya (Agoes, 2009).
2.1.6. Gambaran Klinis.
Seseorang yang terkena infestasi skabies untuk pertama kalinya, biasanya
tidak akan memunculkan gejala sampai dua bulan (2-6 minggu) setelah terkena,
namun dapat menyebar meskipun ia tidak memperlihatkan gejala. Sedangkan
pada orang yang pernah mempunyai riwayat skabies sebelumnya, gejala akan
muncul lebih cepat (1-4 hari) setelah terkena, ini berkaitan dengan respon
kekebalan tubuh yang lebih cepat. Orang yang terkena dapat menularkan infeksi
skabies, walaupun mereka tidak memiliki gejala sekalipun, sampai pengobatan
berhasil dan tungau maupun telur telah hancur (CDC, 2009; Leone, 2007).
9
Reaksi hipersensitivitas dapat bertahan berbulan-bulan bahkan setelah
penderita disembuhkan. Hal ini perlu diberitahukan agar ia tidak meminta
pengobatan padahal sudah sembuh, pengobatan ulang sering kali meningkatkan
terjadinya dermatitis medikamentosa. Hipersensitivitas yang terus berlanjut
setelah pengobatan selesai dapat disebabkan karena masih adanya zat irritant pada
kulit dan baru akan hilang setelah kulit melepaskan lapisan tersebut secara
pergantian alami (Agoes, 2009).
Gejala yang paling umum dari skabies adalah: gatal dan ruam kulit, yang
disebabkan oleh sensitisasi (sejenis reaksi alergi) terhadap protein dan kotoran
parasit. Gatal yang berlebihan terutama pada malam hari merupakan gejala paling
awal dan paling umum terjadi pada infeksi skabies. Gatal dan ruam dapat
mengenai seluruh tubuh atau terbatas ke beberapa bagian seperti: sela-sela jari-
jari, pergelangan tangan, siku, aksila, penis, putting, pinggang, bokong, bahu.
Pada bayi dan anak-anak yang masih sangat muda sering juga terlibat daerah
kepala, wajah, leher, telapak tangan, dan telapak kaki. Terowongan kecil kadang-
kadang terlihat pada kulit, ini disebabkan oleh tungau betina membuat
terowongan tepat di bawah permukaan kulit. Terowongan ini muncul berbentuk
garis lurus berwarna putih ke abu-abuan pada permukaan kulit. Oleh karena
tungau sering sedikit jumlahnya (hanya 10-15 tungau per orang), terowongan ini
mungkin sulit ditemukan (CDC, 2009; Soedarto, 2009).
Lesi kulit primer terdiri dari vesikula, terowongan bawah kulit, dan
nodula. Nodula ini muncul pada bagian kulit yang tertutup pakaian dan kondisi ini
dapat bertahan lama walaupun skabiesnya telah disembuhkan (Natadisastra,
2009). Selain lesi primer, bisa juga di dapatkan kelainan sekunder seperti
ekskroriasi, eksematisasi, dan infeksi bakeri sekunder. Pada beberapa tempat di
dunia adanya infeksi sekunder oleh lesi skabies dengan streptokokus nefrogenik
dikaitkan dengan terjadinya glomerulonefritis sesudah terjadinya infeksi
streptokokus pada kulit (Brown, 2005).
10
Gambar 2.3. Terowongan skabies di sela jari (Sargent, 1994)
Ada 4 tanda kardinal :
1. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena
aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
2. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam sebuah
keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam
sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang
berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan
hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena, walaupun
mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini
bersifat sebagai pembawa (carrier).
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna
putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang
1 cm, pada ujung terowongan ini ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul
infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimarf (pustule, ekskoriasi dan lain-
lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum
korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian
volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita),
umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria) dan perut bagian bawah. Pada
bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan
satu atau lebih stadium hidup tungau ini.
Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal tersebut
(Handoko, 2007).
11
2.1.7. Beberapa Jenis Khusus Skabies
Ada beberapa skabies dengan jenis khusus yang berbeda dengan skabies
yang umum terjadi, yaitu:
a. Skabies usia khusus
Pada scabies infantile (SI), nodul-nodul dan lesi didaerah palmoplantar
merupakan lesi khas yang paling sering ditemukan pada bayi dan anak kecil.
Berbeda dengan skabies pada orang dewasa yang jarang menyerang wajah,
muka dan kulit kepala bayi dapat terkena. Pada skabies manula (SM), jarang
ditemukan lesi kulit yang khas akan tetapi rasa gatal tampak lebih berat
dikeluhkan. Kelainan kulit yang terlihat adalah ekskroriasi yang berat
terutama pada punggung.
b. Skabies krusta norwegia-SKN
SKN dapat terjadi pada pasien dengan penyakit berat atau pasien yang
mengalami imunokompromi. Sesuai dengan namanya, penderita mengalami
lesi berkeropeng yang jika diperiksa, mengandung tungau yang sangat besar.
Reaksi kulit terhadap infeksi serangan ribuan tungau ini adalah dengan
membentuk krusta atau keropeng kulit dan kulit mengalami lichenifikasi.
c. Skabies berat
Penggunaan steroid topical berlebihan untuk mengurangi rasa gatal, atau
penggunaan steroid dapat memperburuk skabiesnya. Pada penderita yang
sedang menjalani pengobatan imunosuppresi dapat juga berubah menjadi
skabies berat atau skabies krusta. Imunosuppresi juga dapat terjadi bukan
akibat sedang menjalani upaya pengobatan melainkan akibat penekanan
jumlah sel T manusia oleh infeksi virus HTLV-1 (Human T-cell lymphotropic
virus 1). Kondisi ini sering diasosiasikan dengan timbulnya SB.
d. Skabies dan dermographisme
Kadangkala skabies dapat menimbulkan manifestasi berupa urtikaria khas
yang disebut dermografisme, yang jika serius sering memerlukan pengobatan
antihistamin kombinasi H1-bloker dan H2-bloker yang bekerja dan khasiatnya
berbeda namun saling memperkuat (Agoes, 2009).
12
2.1.8. Diagnosis
Diagnosis skabies dapat di tegakkan terutama berdasarkan riwayat dan
pemeriksaan pasien, begitu juga riwayat keluarga dan kontak dengan penderita.
manifestasi klasik dari skabies berupa gatal hebat dan memburuk pada malam
hari. terowongan dan nodul (umumnya di daerah genital dan aksila) merupakan
gejala spesifik untuk skabies walaupun tidak selalu ada. Lesi sekunder
nonspesifik, berupa ekskroriasi, eksematisasi dan impetiginisasi, dapat terjadi di
bagian tubuh mana saja (Chosidow, 2006).
Jika memungkinkan, diagnosis skabies harus dikonfirmasikan dengan
mengidentifikasi tungau, telur atau kotoran (skibala). Namun seseorang masih
memungkinkan terkena infestasi skabies, walaupun tungau, telur, atau kotoran
tidak dapat ditemukan. Seseorang yang terserang kurang dari 10-15 tungau dapat
terlihat dalam keadaan sehat (CDC, 2009). Beberapa cara yang tepat dipakai
untuk menemukan tungau, telur atau terowongan yaitu:
a. Kerokan kulit
Papul atau terowongan yang baru di bentuk dan utuh ditetesi minyak mineral,
kemudian di kerok dengan skalpel steril untuk mengangkat atap papul atau
terowongan. Hasil kerokan di letakkan di gelas objek dan di tutup dengan kaca
penutup, kemudian di amati di bawah mikroskop.
b. Mengambil tungau dengan jarum.
Jarum di tusukkan pada terowongan di bagian yang gelap dan digerakkan
tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat di angkat keluar.
c. Kuretase terowongan (kuret dermal)
Dilakukan secara superficial mengikuti sumbu panjang, terowongan atau
puncak papul. Hasil kuret di letakkan pada gelas objek dan di tetesi minyak
mineral lalu diperiksa dengan mikroskop.
d. Sweb kulit
Kulit dibersihkan dengan eter lalu dilekatkan selotip dan di angkat dengan
cepat, Selotip dilekatkan pada gelas objek kemudian di periksa di bawah
mikroskop.
13
e. Burrow ink test
Papul skabies dilapisi tinta cina dengan menggunakan pena lalu dibiarkan
selama 20-30 menit kemudian dihapus dengan alcohol. Tes di nyatakan positif
bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa
garis zigzag.
f. Uji tetrasiklin
Tetrasiklin dioleskan pada daerah yang dicurigai ada terowongan, kemudian
dibersihkan dan diperiksa dengan lampu wood. Tetrasiklin dalam terowongan
akan menunjukkan flouresensi.
g. Epidermal shave biopsy
Papul atau terowongan yang dicurigai diangkat dengan ibu jari dan telunjuk
lalu diiris dengan skalpel, biopsi dilakukan sangat superficial sehingga
pendarahan tidak terjadi.
Berdasarkan cara pemeriksaan diatas, kerokan kulit merupakan cara yang
paling mudah dilakukan dan memberikan hasil yang paling memuaskan. Namun
dalam beberapa pemeriksaan tersebut, tungau sering sulit ditemukan karena
tungau yang menginfestasi penderita hanya sedikit (Ginanjar, 2006). Penyebabnya
adalah jumlah telur yang menetas hanya 10%, selain itu garukan dapat
mengeluarkan tungau secara mekanik dan jika terjadi infeksi sekunder maka pus
yang terbentuk dapat membunuh tungau karena pus bersifat akarisida
(Sungkar ,2008).
Agar pemeriksaan laboratorium memberikan hasil yang baik maka faktor-
faktor yang harus diperhatikan adalah:
1. Papul yang baik untuk dikerok adalah papul yang baru di bentuk
2. Pemeriksaan jangan dilakukan pada lesi ekskoriasi dan lesi dengan infeksi
sekunder
3. Kerokan kulit harus superfisial dan tidak boleh berdarah
4. Jangan mengerok dari satu lesi tetapi dari beberapa lesi. Tungau paling
sering ditemukan pada sela jari tangan sehingga perhatian terutama
diberikan pada daerah tersebut.
5. Sebelum mengerok, teteskan minyak mineral pada scalpel dan pada lesi
yang akan dikerok (Sungkar, 2008).
14
2.1.9 Pengobatan
Merupakan suatu hal yang penting untuk menerangkan kepada penderita
dengan sejelas-jelasnya tentang bagaimana cara menggunakan obat-obatan yang
digunakan, dan lebih baik lagi jika disertai penjelasan tertulis. Semua anggota
keluarga dan orang-orang yang secara fisik berhubungan erat dengan pasien,
hendaknya secara simultan di obati juga, obat-obat topical hendaknya di oleskan
mulai dari leher sampai jari kaki dan diingatkan pasien untuk tidak membasuh
tangannya sesudah melakukan pengobatan (Brown, 2005).
Obat-obat yang bisa di pakai:
Malation 0,5%: obat dalam bentuk cairan ini di sukai karena mengiritasi
kulit yang mengalami ekskroriasi atau aksema,bilas sesudah 24 jam.
Krim parametrin 5% : bilas sesudah 8-12 jam
Emulsi benzyl benzoat : pengobatan dilakukan tiga kali dalam 24 jam.pada
sore hari pertama oleskan emulsi mulai dari leher sampai jari kaki. Biarkan
mengering, lakukan pengolesan lapisan kedua, pagi berikutnya oleskan
lapis yang ketiga, dan kemudian bilas benzyl benzoate pada sore hari
kedua. Pengobatan dengan cara ini sudah cukup, sehingga pasien harus di
beri penerangan bahwa pemakaian beerulang akan menimbulkan
dermatitis karena terjadi iritasi (Brown, 2005).
Salap 2.4 (2% salicylic acid + 4% sulfur presipitatum) dan sabun sulfur
10%, bekerja lambat, tanpa efek samping.
2.2. Perilaku
Perilaku dari pandangan biologis adalah suatu kegiatan dan aktivitas
organisme yang bersangkutan. Skinner (1983) seorang ahli psikologi
mengemukakan bahwa perilaku adalah merupakan respon atau reaksi seseorang
terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Selanjutnya teori skinner menjelaskan
ada dua jenis respons, yaitu:
a. Respondent respons atau refleksif, yakni respons yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang di sebut eleciting stimuli,
karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. Misalnya makanan
15
lezat akan menimbulkan nafsu makan, cahaya terang akan menimbulkan
reaksi mata tertutup, dan sebagainya. Responden respon juga mencakup
perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah akan menimbulkan
rasa sedih, mendengar berita suka atau gembira, akan menimbulkan rasa
suka cita
b. Operant respon atau instrumental respon, yakni respon yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan yang lain,
perangsang yang terakhir ini disebut reinforcing stimuli atau reinforce
karena berfungsi untuk memperkuat respons. Misalnya seorang petugas
kesehatan melakukan tugasnya dengan baik adalah respon terhadap gaji
yang cukup, misalnya (stimulus). Kemudian karena kerja baik tersebut,
menjadi stimulus untuk memperoleh promosi pekerjaan (Notoatmodjo,
2005).
2.2.1. Perilaku Kesehatan
Menurut Ensiklopedi Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan
reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru
terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang
disebut rangsangan. Dengan demikian, maka suatu rangsangan tertentu akan
menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu (Notoatmodjo, 2003).
Robert Kwik menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan
suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak
sama dengan sikap. Sikap hanya suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda
untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap hanyalah sebagian
dari perilaku manusia. di dalam proses pembentukan dan atau perubahan perilaku
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu
itu sendiri, faktor tersebut antara lain: susunan saraf pusat, persepsi, motivasi,
proses belajar, lingkungan dan sebagainya. Susunan saraf pusat memegang
peranan penting dalam perilaku manusia dalam perilaku manusia, karena
merupakan sebuah bentuk perpindahan dari rangsangan yang masuk menjadi
perbuatan atau tindakan. Perpindahan ini dilakukan susunan saraf pusat dengan
unit-unit dasarnya yang disebut neuron, neuron memindahkan energi-energi di
16
dalam impuls-impuls syaraf pusat dengan unit-unit dasarnya yang disebut neuron.
Neuron-neuron memindahkan energi-energi didalam impuls-impuls syaraf.
Impuls-impuls syaraf indra pendengaran, penglihatan, pembauan, penngecapan,
perabaan disalurkan dari tempat terjadinya rangsangan melalui impuls-impuls
syaraf kesusunan susunan saraf pusat (Notoatmodjo, 2003).
Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui
melalui persepsi. Persepsi adalah sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui
pancaindra. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda, meskipun
mengamati terhadap objek yang sama. Perilaku dibentuk melalui suatu proses dan
berlangsung dalam interaksimanuia dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi dua, yakni faktor intern
dan ektern (Notoatmodjo, 2003).
Faktor intern mencakup: pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi,
motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar.
Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik
seperti: iklim, manusia, social-ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Becker (1979) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan sebagai berikut:
a. Perilaku kesehatan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau
kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan
perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan sebagainya
b. Perilaku sakit yaitu segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang individu yang merasa sakit, untuk merasakan dan mengenal
keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk disini juga kemampuan
atau pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab
penyakit, serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut.
c. Perilaku peran sakit yaitu segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan
oleh individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan. Perilaku
ini disamping berpengaruh terhadap kesehatan/kesakitannya sendiri, juga
berpengaruh terhadap orang lain, terutama kepada anak-anak yang belum
17
mempunyai kesadaran dan tanggung jawab terhadap kesehatannya
(Notoatmodjo, 2003).
2.3. Pesantren
Pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan Islam, dikatakan pesantren
apabila terdiri dari unsur-unsur kyai/ustadz yang mendidik dan mengajar,
santri yang belajar, terdapat mesjid dan juga pondok atau asrama tempat para
santri tinggal. Asrama adalah rumah pemondokan yang ditempati oleh para
santri, pegawai dan sebagainya yang digunakan sebagai tempat tinggal,
beristirahat dan bergaul sesama teman (Muchtarom, 1994).
2.3.1. Prinsip-Prinsip Sistem Pendidikan di Pesantren
Sesuai dengan tujuan pendidikan dan pendekatan holistic yang digunakan,
serta fungsinya yang komfrehensif sebagai lembaga pendidikan, sosial dan
penyiaran agama. Prinsip-prinsip sistem pendidikan pesantren antara lain :
o Kesederhanaan
Pesantren menekankan pentingnya penampilan sederhana sebagai salah satu
nilai luhur pesantren dan menjadi pedoman perilaku sehari-hari bagi seluruh
warga pesantren, kesederhanaan di sini bukan dalam arti berkurang-kurangan
atau berlebih-lebihan, tetapi dalam arti wajar.
o Kolektivitas
Pesantren menekankan pentingnya kebersamaan lebih tinggi dari pada
individualisme. Dalam dunia pesantren berlaku pendapat bahwa “dalam hal
hak orang mendahulukan hak orang lain, tetapi dalam hal kewajiban orang
harus mendahulukan kewajiban diri sendiri sebelum orang lain. Sementara itu,
kondisi fisik pesantren yang sederhana seperti kamar tidur yang sempit kira-
kira berukuran 2×2 m di tempati oleh 2 atau 3 santri. Pada umumnya kamar
hanya untuk menyimpan barang-barang, sedangkan mereka banyak tidur di
mesjid atau di tempat lain pada bangunan yang ada. Adanya dapur umum
tempat santri memasak, ruang makan umum, tempat mandi umum dan
sebagainya mendorong mereka saling menolong mengatasi berbagai
18
kebutuhan bersama, terutama kebutuhan belanja jika mereka mengalami
keterlambatan kiriman bekal dari rumah.
o Mengatur kegiatan bersama
Para santri mengatur hampir semua kegiatan proses belajar mengajar terutama
berkenaan dengan kegiatan-kegiatan kokurikuler, dari sejak pembentukan
organisasi santri, penyusunan program-programnya, sampai pelaksanaan dan
pengembangannya. Sepanjang kegiatan mereka tidak menyimpang dari akidah
syariah agama, dan tata tertib pesantren, mereka tetap bebas berfikir dan
bertindak.
o Mandiri
Sejak awal santri sudah dilatih mandiri, mereka mengatur dan bertanggung
jawab atas keperluannya sendiri, seperti memasak, mencuci pakaian,
merencanakan belajar, mengatur uang belanja dan sebagainya (Muchtarom,
1994).