Askep MH

23
SISTEM INTEGUMENT ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM INTEGUMENT KLIEN DENGAN MORBUS HANSEN Oleh 841 410 091 FITRAH JELITA Kelas B Angkatan 2010

description

Sistem Integumen

Transcript of Askep MH

ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM INTEGUMENT KLIEN DENGAN MORBUS HANSEN

sistem integument

ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM INTEGUMENT KLIEN DENGAN MORBUS HANSEN

Oleh

841 410 091

FITRAH JELITA

Kelas B Angkatan 2010

JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU ILMU KESEHATAN DAN KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

T.A 2013

ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM INTEGUMEN KLIEN DENGAN MORBUS HANSEN

A. KONSEP MEDIS

1. DEFINISI

Penyakit morbus Hansen atau dikenal penyakit kusta atau penyakit lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M.leprae) akan menyerang saraf tepi, selanjutnya akan menyerang kulit mukosa mulut, saluran nafas bagian atas lalu ke organ lain seperti mata, otot, tulang dan testis. Pada kebanyakan orang yg terinfeksi dapat bersifat asimtomatik, namun pada sebagian kecil memperlihatkan gejala gejala.

2. ETIOLOGI

Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae (M.leprae). Mycobacterium Leprae yang ditemukan pertama kali oleh akmuer Hasen di norwegia yang merupakan basil bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1 - 8 mikro (u), lebar 0,2 - 0,5 mikro (u), biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu satu, hidup dalam sel terutama dalam jaringan yang bersuhu dingin.

3. PATOFISIOLOGI

Cara masuk kuman m.leprae kedalam tubuh belum diketahui secara pasti dari penelitian: kuman masuk kedalam tubuh melalui kulit yg lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan sangat tergantung pada imunitas tubuh. Bila basil M. leprae masuk kedalam tubuh, maka tubuh akan beraksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear) untuk memfagositnya Pada tipe LL, makrofag tidak mampu menghancurkan basil sehingga basil dapat bermultipfikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan. Pada kusta tipe TT, kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi makrofag sanggup menghancurkan basil, namun setelah semua basil di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans, bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya.

Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan m.lepra, disamping itu sel schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Sehingga bila terjadi gangguan imunitas tubuh basil dapat bermigrasi dan beraktifitas sehingga akan mengurangi aktivitas regenerasi saraf yang berakibat akan menimbulkan kerusakan saraf yang progresif.

4. KLASIFIKASI

Tujuan klasifikasi yaitu untuk menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi serta untuk perencanaan opersional. Jenis klasifikasi yang umum :

a. Klasifikasi ridley Jopling (1962) untuk penelitian :

1. Tuberkuloid tuberculoid (TT)

2. Boerderline tuberculoid (BT)

3. Boerderline boerderline (BB)

4. Boerderline lepromatous (BL)

5. lepromatosa lepromatosa (LL)

b. Klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988)

1. Pausibasilar (PB) tipe kering termasuk kusta tipe TT dan BT, BTA negative.

Mempunyai 1-5 lesi, hipopigmentasi/eritema, distribusi pada lesi kulit, tidak merata, sensasi hilang dengan jelas dan kerusakan saraf hanya satu cabang saraf.

2. Multibasilar (MB) tipe basah, termasuk kusta tipe BB, BL dan LL, BTA Positif.

Mempunyai lebih dari 5 lesi, distribusi lebih simetris, hilangnya sensasi, kerusakan saraf pada banyak cabang saraf.

5. MANIFESTASI KLINIS

Diagnose dapat ditegakkan jika ada 3 gejala utama :

1. Bercak kulit mati rasa. Bercak hipopigmentasi/eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plakat), mati rasa pada bercak bersifat total/sebagian saja terhadap rasa sentuh, rasa suhu, rasa nyeri.

2. Penebalan saraf tepi dapat disertai rasa nyeri dan kelemahan otot

3. Ditemukannya basil tahan asam pada pemeriksaan laboratorium

6. PEMERIKSAAN FISIK

1. Inspeksi

Lakukan dengan penerangan yang baik observasi adanya makula, nodul, jaringan parut, penebalan pada kulit, alopesia. Klien diminta untuk memejamkan mata, menggerakkan mulut, bersiul, tertawa, untuk mengetahui saraf wajah

2. Palpasi

Kelainan kulit, nodul, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan kaki. Kelainan saraf catat bila ada nyeri tekan dan penebalan saraf, perhatikan jangan klien sampai klien kesakit pada waktu saraf diraba. Cara pemeriksaan saraf :

Bandingkan saraf bagian kanan dan kiri

Membesar atau tidak

Apakah ada berubahan bentuk

Pada perabaan keras atau kenjal

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan Bakterioskopis

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP

2+Bila 1 10 BTA dalam 10 LP

3+Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP

4+Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP

5+Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP

6+Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid.

IM= Jumlah solidx 100 %

Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.

b. Pemeriksaan Histopatologis

Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur tersebut.

Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

c. Pemeriksaan Serologis

Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.

d. Pemeriksaan Lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis.

Reaksi Mitsuda bernilai :

0Papul berdiameter 3 mm atau kurang

+ 1 Papul berdiameter 4 6 mm

+ 2Papul berdiameter 7 10 mm

+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi

8. PENGOBATAN

Jenis-jenis obat kusta :

Obat primer : dapsone, clofasimin, rifampisin, etionamide, prothionamide

Obat sekunder: INH, streptomycine

Dosis menurut rekomendasi WHO :

a. Kusta Paubacillary (tipe I, BT, TT)

1. Dapsone : 1 x 100 mg tiap hari

2. Rifampisin : 1 x 600 mg tiap bulan

Pengobatan harus diberikan 6 bulan berturut-turut atau 6 dosis dalam 9 bulan dan diawasi selam 2 tahun

b. Kusta Multibacillary (tipe BB, BL, LL)

Dapsone : 1 x 100 mg tiap bulan

Rifampisin : 1 x 600 mg tiap hari

Clofazimine : 1 x 300 mg tiap bulan (hari pertama) kemudian dilajutkan dengan 1 x 50 mg/hari

Pengobatan 24 bulan berturut-turut dan diawasi 5 tahun

9. KOMPLIKASI

Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi kronik sekunderdapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.

10. PROGNOSIS

Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi komplikasi.

KONSEP KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

a. Biodata

umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda.pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan.karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lema

b. Riwayat Penyakit Sekarang

biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh

c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu

pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.

d. Riwayat Kesehatan Keluarga

morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.

e. Riwayat Psikososial

klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.

f. Pola Aktivitas Sehari-Hari

aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan.klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan

g. Pemeriksaan Fisik

keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe i, reaksi ringan, berat tipe ii morbus hansen. lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.

sistem penglihatan. adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. pada morbus hansen tipe ii reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.

sistem pernafasan. klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.

1. sistem persarafan:

kerusakan fungsi sensorik

kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.

kerusakan fungsi motorik

kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).

kerusakan fungsi otonom

terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.

2. sistem muskuloskeletal.

adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

3. sistem integumen

terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi

2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan

3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik

4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh

3. RENCANA INTERVENSI KEPERAWATAN

NO

DIAGNOSA KEPERAWATAN

TUJUAN / KRITERIA HASIL

INTERVENSI

RASIONAL

1

Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh.

Kriteria :

1. Menunjukkan regenerasi jaringan

2. Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi

1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka

2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi

3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar

4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam

5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan

1. Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.

2. menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.

3. Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.

4. Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi

5. Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan

2

Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur hilang

Kriteria :

1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang dan berangsur-angsur hilang

1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri

2. Observasi tanda-tanda vital

3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi

4. Atur posisi senyaman mungkin

5. Kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi

1. Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.

2. Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien

3. Dapat mengurangi rasa nyeri

4. Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri

5. Menghilangkan rasa nyeri

3

Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan.

Kriteria :

1. Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari

2. Kekuatan otot penuh

1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman

2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit

3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif

4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istiraha

5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan

1. Meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas

2. Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas

3. Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi

4. Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas

5. Menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan

4

Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri meningkat.

Kriteria :

1. Pasien menyatakan penerimaan situasi diri

2. Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif

1. Kaji makna perubahan pada pasien

2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri.

3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang salah

4. Berikan penguatan positif

5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat

1. Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optima

2. Penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan

3. Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realita

4. Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif

5. Meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien

DAFTAR PUSTAKA

Depkes, 1998,Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII, Depkes Jakarta

Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta.

Juall, Lynda,Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II,EGC. Jakarta, 1995

Simposium Penyakit Kusta, FKUA Surabaya

Marrilyn, Doenges,Rencana Asuhan Keperawatan, EGC. Jakarta

Page | 16