ANOMALI MPR SEBAGAI PENJELMAAN KEDAULATAN RAKYAT …
Transcript of ANOMALI MPR SEBAGAI PENJELMAAN KEDAULATAN RAKYAT …
i
ANOMALI MPR SEBAGAI PENJELMAAN KEDAULATAN RAKYAT PASKA AMANDEMEN UUD 1945
TESIS
OLEH :
NAMA MHS. : Muhamad Saleh, S.H
NO. POKOK MHS. : 14912089
BKU : HUKUM TATA NEGARA
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2016
ii
iii
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
Kebenaran Teks-teks Ketuhanan tidak mungkin bertentangan dengan akal budi, Keduanya saling menguatkan dan mendukung. Karena keduanya anugrah Tuhan (Ibn, Rusyd/Avyrouz)
Orang yang menyampaikan kebaikan itu lebih baik daripada orang yang diam. Namun orang yang diam lebih baik daripada orang yang menyampaikan kejahatan. Menjaga amanah itu lebih baik daripada mendiamkannya. Namun mendiamkan amanah itu lebih baik daripada berburuk sangka (Abu Dzar al Ghyvari)
Gunakanlah hak berpikir yang ada padamu,bahkan berpikir salah jauh lebih baik daripada tidak berpikir sama sekali (Hyphatia)
Kupersembahkan coretan ini: Kepada orang “merdeka” yang tak sempat menyadari dirinya sebagai budak Kepada para politisi yang tak sempat bertanya pada nurani Kepada penguasa yang tak berkuasa, dan tak sadar kalau kekuasaan telah
meindasnya Kepada kalian yang mencari lilin, sambil membuang cahaya
v
PERNYATAAN ORISINALITAS
Yang bertandatangan di bawah ini :
NAMA MHS. : Muhamad Saleh, S.H
NO. POKOK MHS. : 14912089
BKU : Hukum Tata Negara
Program : Paskasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia
Judul : Anomali MPR Sebagai Penjelmaan Kedaulatan Rakyat Paska Amandemen UUD 1945
Dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi. Dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini, dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dalam kondisi sadar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Yogyakarta, 4 Mei 2016
Penulis
Muhamad Saleh, SH 14912089
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, syukur terpanjat pada Pemilik Ilmu, yang telah menciptakan Kun dan Qolam. Dihadapan kuasaNya, semua mahluk tunduk. Dan dengan Rohman serta RohimNya, Dia tinggikan manusia berilmu di atas manusia tak berilmu. Dalam ketinggian derajatnya itu, semua manusia berilmu dan memahami ilmunya akan tunduk. Mereka tunduk karena malu dihadapan Sang Pemilik Ilmu yang telah mencipta hanya dengan satu kata, Kun. Segala filsafat dan teori menjadi debu dalam kalimat Kun.
Dan dengan kuasa Kun, Dia ciptakan Qolam, membentangkan alam dengan segala rahasianya. Dengan Qolam dia perintahkan manusia untuk memecahkan rahasia alam. Barang siapa bisa memecahkan rahasia alam dengan Qolam, maka akan mengetahui sejati dirinya yang lemah ilmu. Mereka yang mengetahui sejati dirinya, akan mengenal Sang Pencipta Qolam.
Wahai, siapakah manusia berilmu yang lebih menundukkan wajahnya kepada Sang Pencipta Qolam, melebihi sang terkasih dari Sang Maha Kasih? Adakah yang mampu memecahkan rahasia alam sebaik Muhammad, Rasul akhir jaman? Penulis, hanyalah pecahan debu dibanding Muhammad yang semua mahluk beruluk salam. Maka tak pantaslah penulis yang dhoif ini mengaku berilmu, meski telah menyelesaikan coretan tak berarti berjudul “ANOMALI MPR SEBAGAI PENJELMAAN KEDAULATAN RAKYAT PASKA AMANDEMEN UUD 1945.” Dihadapan jubah agung Lelaki Mulia itu, tulisan ini bukanlah prestasi. Berikanlah Syafaatmu wahai kekasih Khadijah, pemilik cinta yang tak akan membiarkan umat yang dungu seperti penulis ini, tersiksa di neraka.
Kepada seluruh guru yang telah memberi ilmu, penulis hanyalah budak yang bodoh, yang memakan dari sisa-sisa makanan sang guru. Dan dengan sisa-sisa makanan itu, terbuka dengan takjub mata penulis atas kemahahebatan ilmu para guru.
Ijinkan penulis memegang tongkatmu wahai guru, Drs. Agus Triyanta, M.A., M.H., Ph.D, karena dengan memegang tongkatmu, penulis merasakan kebahagiaan selama dalam “istana keindahan” Program Paskasarjana Universitas Islam Indonesia.
Ijinkan pula musafir yang tersesat ini menyentuh selendang keagunganmu wahai guru Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum, yang memiliki hati seluas tujuh samudera, dan memiliki ilmu “langit” hingga lapisan ketiga, setelah fakta, teori
vii
dan filsafat. Kepadamu wahai guru, ijinkan kucium jejak telapak kakimu yang melintas di padang pasir ilmu ketatanegaraan.
Ijinkan pula kuketuk dengan khusyuk pintu makrifatmu wahai guru Dr. Saifudin, S.H., M.Hum dan Dr. Drs. Muntoha, SH., M.Ag, serta Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H yang telah menerima penulis yang rapuh dan berdebu ini sebagai tamu. Dihadapan kedalamanan coretanmu, tulisan ini hanyalah satu “koma” yang tak bermakna.
Kepada kekasih-kekasih jiwaku, yang tanpa kalian ada dalam hatiku tak akan ada cahaya dalam diriku. Tak akan bisa kusampaikan kata, meski seluruh air laut menjadi tinta, karena cinta kalian begitu bermakna. Almh Ibunda dan alm ayahanda, yang air mata ini tak pernah berhenti tertumpah mengenangkan jiwa kalian. Kepada jiwa yang selalu menemani kelam malam, yang selalu mengalirkan rindu, Labibah, SE, apakah tulisan yang tak berarti ini dapat aku jadikan kado cintaku? Juga kepada anak panah penulis, Avyrouz, Ghyvari, dan Hyphatia, apakah tulisan yang tak kalian pahami maknanya ini, dapat mengantar kalian menuju sasaran panah?
Kepada Ari Yusuf Amir, yang telah mendorong dan membantu penulis hingga dapat menyelesaikan tulisan ini, biarlah Allah yang menentukan balasan terindahuntukmu. Kepada kalian wahai sahabat-sahabat di Pukapaku, terima kasih untukmu. Karena kalian sudah membuatku tersenyum sepanjang waktu.
Untuk kepala, mata, telinga, lidah, tangan dan kaki, terima kasih karena kalian mau jadi organ tubuhku.
Andai saja, tulisan yang tak bermakna ini, ada huruf-hurufnya yang dapat dijadikan manfaat, maka itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi tisu penghilang keringatku.
Yogyakarta, Mei 2016
Muhamad Saleh, SH
viii
DAFTAR ISI
Judul ................................................................................... Error! Bookmark not defined.
Lembar Persetujuan ........................................................... Error! Bookmark not defined.
Lembar Pengesahan ........................................................... Error! Bookmark not defined.
Motto ................................................................................. Error! Bookmark not defined.
Pernyataan Orisinalitas ...................................................... Error! Bookmark not defined.
Kata Pengantar ................................................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI .......................................................................... Error! Bookmark not defined.
Abstrak ............................................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1. LATAR BELAKANG MASALAH ............................................................................... 1
2. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................ 17
3. TUJUAN PENELITIAN .......................................................................................... 17
4. TINJAUAN PUSATAKA ........................................................................................ 18
A. Negara Ideal .................................................................................................. 18
B. Konstitusi Modern ......................................................................................... 22
5. KERANGKA TEORI .............................................................................................. 27
A. Teori Negara .................................................................................................. 27
1) Plato (429-347 SM) .................................................................................... 29
2) Hegel (1770-1831), Benedictus de Spinoza (1623 - 1677), Adam Muller (1779- 1829) ...................................................................................................... 29
3) Locke (1634 - 1704), Rousseau (1712-1778), Montesquieu (1689-1755) ..... 31
4) Soepomo ................................................................................................... 33
B. Teori Kedaulatan Rakyat ................................................................................ 34
C. Teori Pemisahan Kekuasaan ........................................................................... 35
6. DEFINISI OPERASIONAL...................................................................................... 37
7. METODE PENELITIAN ......................................................................................... 38
A. Obyek Penelitian ............................................................................................ 38
B. Bahan Hukum ................................................................................................ 39
C. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................. 39
ix
D. Metode pendekatan ...................................................................................... 40
E. Metode Analisis Data ..................................................................................... 40
8. KERANGKA TESIS. .............................................................................................. 42
BAB II NEGARA, KEDAULATAN RAKYAT, DAN STAATSIDEE ........................................44
1. TEORI NEGARA .................................................................................................. 46
2. Kedaulatan Rakyat ............................................................................................. 53
A. Rumusan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi ............................................... 59
B. Kedaulatan Rakyat = Keterwakilan Rakyat ...................................................... 60
C. Paham Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi ..................................................... 63
D. Demokrasi Langsung dan Demokrasi Perwakilan ............................................ 64
3. Teori Pemisahan Kekuasaaan............................................................................. 68
A. Kekuasaan Eksekutif ...................................................................................... 73
B. Kekuasaan Legislatif ....................................................................................... 81
4. Staatsidee Indonesia.......................................................................................... 88
BAB III MPR Sebagai Pelaksana Kedaulatan Rakyat .................................................98
1. Kolektivisme Sebagai Staatsidee Indonesia ........................................................ 98
2. MPR Sebagai Penjelmaan Kedaulatan Rakyat................................................... 108
3. MPR dan Kedaulatan Rakyat Menurut UUD 1945 ............................................ 118
4. Tugas Pokok MPR ............................................................................................ 127
BAB IV ANOMALI MPR SEBAGAI PENJELMAAN KEDAULATAN RAKYAT PASKA AMANDEMEN UUD 1945 ............................................................................................129
1. MPR Paska Perubahan UUD ............................................................................. 129
2. Kedaulatan Rakyat dan Lembaga Tertinggi Negara........................................... 132
3. Susunan MPR .................................................................................................. 150
4. Lembaga Negara Dalam UUD ........................................................................... 159
5. Anomali MPR Paska Perubahan ....................................................................... 162
A. Anomali 1: Kedaulatan Rakyat ..................................................................... 163
B. Anomali 2: Kewenangan dan Tugas MPR ...................................................... 169
C. Anomali 3 : Kewenangan Mengubah UUD .................................................... 172
x
BAB V Kesimpulan dan Saran .................................................................................174
1. Kesimpulan ...................................................................................................... 174
A. Staatsidee Indonesia .................................................................................... 174
B. Kedaulatan Rakyat ....................................................................................... 176
C. Sistem Ketatanegaraan ................................................................................ 176
2. Saran ............................................................................................................... 177
xi
Abstrak Paska reformasi 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999
melakukan amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali, dan berlangsung dari tahun 1999-2002. Amandemen yang dilakukan ketika itu didorong oleh keinginan untuk memperbaiki iklim demokrasi, tata kelola pemerintahan, penghormatan terhadap hak asasi manusia, meminimalisir peluang korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan penguatan otonomi daerah.
Alasan melakukan amandemen tersebut didasari oleh pandangan bahwa pemerintah Orde Baru merupakan rezim otoriter, dan otoritarian Orde Baru itu memperoleh pembenaran dari UUD 1945. UUD 1945 dianggap sangat executive heavy, dan memberi peluang pada presiden untuk memegang kekuasaan tertinggi tanpa bisa dikontrol oleh kekuasaan negara yang lain. Karena UUD 1945 dianggap sebagai sumber penyalahgunaan kekuasaan, maka anggota MPR ingin memangkas peluang kembalinya pemerintah yang otoriter dari sumbernya.
Gagasan mengembalikan kekuasaan pada rakyat, tentu saja merupakan gagasan yang penting dan mutlak dilakukan, karena sejatinya kedaulatan berada di tangan rakyat. Namun gagasan besar itu tidak ditopang oleh perencanaan yang memadai , pertimbangan yang matang , dan tidak melihat UUD sebagai satu kesatuan utuh . Dan hasil dari Perubahan UUD dengan tiga kondisi itu menyebabkan perubahan secara mendasar bangunan ketatanegaraan di Indonesia, yaitu mengubah staatsidee kolektivisme menjadi negara berciri individualistik-liberalistik. Dihapuskannya staatsidee Kolektivistik tercermin dari dihilangkannya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan dihapuskannya MPR sebagai lembaga tertinggi negara, pelaksana kedaulatan rakyat.
Secara teoritik ide negara (staatsidee) merupakan kesepakatan atas corak dan cara negara itu seharusnya dipergunakan. Ide negara merupakan sesuatu yang obyektif, dan terdapat pada semua negara. Negara merupakan realisasi dari ide negara (staatsidee). Ide negara merupakan sesuatu yang baik, dapat dijadikan pedoman dalam berusaha mencapai kesempurnaan dalam negara. Ide negara harus riel, yaitu dengan pengertian bahwa ide negara itu harus dapat dilaksanakan. Dan staatsidee merupakan kondisi obyektif suatu negara dan bangsa.
Bangsa Indonesia, yang hingga saat ini masih bercirikan kolektivistik, yang dulu dirumuskan dalam bangunan UUD 1945 sebagai staatsidee Indonesia, telah diubah menjadi individualistik-liberalistik. Spirit individualistik-liberalistik tidak sesuai dengan bangsa Indonesia, dan karena itu dahulu, dalam pembahasan UUD 1945 oleh BPUPKI, ditolak oleh para founding fathers. Karena staatsidee yang digunakan tidak sesuai dengan kondisi obyektif masyarakat Indonesia, maka akan berdampak pada sistem ketatanegaraan. Perubahan sistem ketatanegaraan yang tidak didukung oleh sebuah perencanaan yang jelas dan terpusat, sebagai ciri masyarakat kolektif, hanya akan melahirkan anomali-anomali. Dan dampak paling burung ialah negara akan kehilangan spiritnya, negara akan mengalami kondisi serba tidak menentu.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Paska reformasi 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu
1999 melakukan amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali, dan berlangsung dari
tahun 1999-2002. Amandemen yang dilakukan ketika itu didorong oleh keinginan
untuk memperbaiki iklim demokrasi, tata kelola pemerintahan, penghormatan
terhadap hak asasi manusia, meminimalisir peluang korupsi, kolusi, dan
nepotisme, dan penguatan otonomi daerah.
Alasan melakukan amandemen tersebut didasari oleh pandangan bahwa
pemerintah Orde Baru merupakan rezim otoriter, dan otoritarian Orde Baru itu
memperoleh pembenaran dari UUD 1945. UUD 1945 dianggap sangat executive
heavy, dan memberi peluang pada presiden untuk memegang kekuasaan tertinggi
tanpa bisa dikontrol oleh kekuasaan negara yang lain. Karena UUD 1945
dianggap sebagai sumber penyalahgunaan kekuasaan, maka dengan semangat
reformasi, kehendak mayoritas rakyat yang tercermin dari anggota MPR ingin
memangkas peluang kembalinya pemerintah yang otoriter dari sumbernya.
Pemerintahan otoriter, yang meletakkan kekuasaan pada presiden, dan
ingin selalu melanggengkan kekuasaan, memiliki kecenderungan berperilaku
koruptif, kolutif, dan nepotis. Dan kecenderungan perilaku negatif pemerintah itu
2
mewujud dalam pemerintahan Orde Baru. Semangat anti Orde Baru itulah
menjadi dasar utama kehendak untuk mengamandemen UUD 1945.
Semangat ‘emosional’ anti Orde Baru yang dijadikan dasar pijak untuk
membedah konstitusi, dan dorongan untuk sesegera mungkin melakukan
perubahan UUD, membuat pembahasan amandemen UUD dilakukan secara
terburu-buru, dan bersifat parsial. Pembahasan yang memfokuskan pada pasal
demi pasal dalam melakukan amandemen, merupakan bukti bahwa amandemen
dilakukan secara parsial, disesuaikan dengan suasana kebatinan ketika MPR hasil
Pemilu 1999 bersidang.
Hasil amandemen UUD 1945 yang dilakukan antara tahun 1999 hingga
2002, telah mengubah secara fundamental citanegara Indonesia. Hal itu dapat
dilihat dari :
1) Dihapusnya MPR sebagai lembaga tertinggi negara (pasal 1 ayat 2
UUD 1945), dan menjadikan MPR hanya sebagai lembaga tinggi
negara yang susunan dan kedudukannya diatur oleh UU yang dibuat
oleh DPR (Pasal 2 ayat 1 UUD Perubahan). Padahal keberadaan MPR
merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat, dimana seluruh rakyat yang
bisa digolongkan dalam 3 unsur : unsur politik (partai politik), unsur
kedaerahan dan adat, serta unsur agama dan fungsional/profesi (pasal 2
ayat 1). Sedang menurut UUD Perubahan, MPR terdiri atas anggota
DPR (politik) dan unsur kedaerahan (yang dipilih melalui mekanisme
politik berupa pemilihan langsung).
3
2) Kuatnya kedudukan DPR. Selain sebagai lembaga legeslatif, DPR juga
bisa ikut terlibat dalam urusan eksekutif (pasal 11 ayat 1), juga
menentukan susunan dan kedudukan, serta pengisian jabatan lembaga
tinggi lain : MA (pasal 24 A ayat 3), MK (24 C ayat 3), KY (24 B ayat
3), BPK (Pasal 23 F ayat 1).
3) Penerapan demokrasi liberal dengan model pemilihan langsung (pasal
6 A ayat 1, pasal 19 ayat 1, pasal 22 C ayat 1 pasal 22 E). Rakyat
‘diminta’ memilih wakil-wakilnya yang disodorkan oleh partai politik
(Pasal 23 E ayat 3). Karena itu tidak salah jika dengan model seperti
itu, demokrasi hanya dilaksanakan secara prosedural belaka,
kedaulatan rakyat telah diganti dengan kedaulatan partai politik.
4) Dihapusnya lembaga Dewan Pertimbangan Agung (Bab VI UUD
1945). Gagasan founding fathers tentang Dewan Pertimbangan Agung
adalah untuk menjadi ‘juru damai dan juru nasehat’ lembaga tinggi
negara. Sehingga jika ada ketidakharmonisan antar lembaga tinggi
dapat diselesaikan melalui peran DPA. Namun oleh anggota MPR
yang melakukan amandemen, DPA dianggap tidak memiliki fungsi
dan hanya dijadikan alat kekuasaan Orde Baru.
5) Diadopsinya secara bulat declaration of human right dalam UUD
(Pasal 28 A-J). Padahal para founding fathers Indonesia mengakui hak-
hak individu, namun hak-hak individu itu dalam bingkai kesadaran
sosial. Sedang dalam semangat demokrasi liberal yang menjadi spirit
4
UUD amandemen, hak-hak individu benar-benar diterapkan untuk
kepentingan individu.
Amandemen dengan semangat Anti Orde Baru yang dilakukan secara
terburu-buru dan parsial itu akhirnya berdampak pada ketatanegaraan Indonesia.
Dan hal itu disesalkan oleh banyak pihak, termasuk Prof. Dr. Sofian Effendi.
“Sistem kenegaraan dan model pemerintahan negara yang ditetapkan melalui 4 kali amandemen pada kurun waktu 1999-2002 jelas amat berbeda dari sistem negara dan model pemerintahan negara yang dicita-citakan oleh para pendiri negara. Bahkan, model pemerintahan negara yang berlaku, sistem presidensial, dianggap oleh founding fathers tidak cocok untuk Negara Republik Indonesia yang sedang mereka bentuk karena secara empiris banyak negara baru yang awalnya memilih model pemerintahan tersebut kemudian berganti sistem karena sistem presidensial tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahan yang sangat diperlukan oleh negara-negara yang baru merdeka.1”
Keprihatinan Sofian Effendi didasari oleh pergeseran sistem pemerintahan
Indonesia yang tidak sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia. Penerapan
sistem pemerintahan dan sistem hukum yang tidak sesuai, menurut Robert B.
Seidman bisa membuat negara mengalami keterpurukan dan konflik horizontal
berkepanjangan2.
Robert B Seidman3 setelah melakukan penyelidikan mendalam tentang
sistem hukum common law, khususnya hukum administrasi yang diterapkan di
1 Sofian Efendi, Sistem Pemerintahan Negara Berdasarkan Faham Kekeluargaan dan
Idiologi Negara Pancasila, makalah disampaikan pada Seminar Wawasan Kebangsaan dan Pengamalan Pancasila. https://dunialppkb.wordpress.com/sistem-pemerintahan-negara/.
2 Ann Seidman and Robert B. Seidman, Law-Making, Development and The Rule Of Law, http://media.leidenuniv.nl/legacy/Seidmanforth.pdf.
3 Soetandyo Wignjosoebroto , Hukum Yang Tak Kunjung Tegak : Apa Yang Salah Dengan Kerja Penegakan Hukum Di Negeri Ini? Dalam https://soetandyo.files.wordpress.com/2012/12/hukum-yang-tak-kunjung-tegak.docx. Bandingkan dengan Ann Seidman and Robert B. Seidman, Law-Making, Development and The Rule Of Law, http://media.leidenuniv.nl/legacy/Seidmanforth.pdf.
5
negara-negara Afrika bekas jajahan Inggris, menyimpulkan bahwa penerapan
hukum administrasi Inggris tidak cocok diterapkan di negara-negara Afrika,
karena perbedaan masalah etos Inggris dan etos masyarakat Afrika4. Kesimpulan
penelitian Seidman menyatakan bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan
begitu saja kepada bangsa lain, The Law of Non Transferability of Law. Dan
dampak dari kesalahan penerapan atau pengadopsian hukum tersebut adalah
kegagalan sistem hukum di Afrika.
Sebelum membahas pergeseran sistem tersebut, maka perlu ditelusur
terlebih dahulu, sistem hukum apa yang digagas oleh para founding fathers dan
dirumuskan dalam grundnorm Indonesia, yaitu UUD 1945.
Sebagai negara yang akan merdeka, pada bulan Mei tahun 1945 atas
prakarsa Jepang beberapa tokoh pergerakan Indonesia membentuk Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tugas dan fungsi BPUPKI
ialah merumuskan bangunan negara Indonesia, baik mengenai tujuan negara,
konstitusi yang di dalamnya memuat bentuk negara, sistem pemerintahan,
wilayah, dan hak-hak rakyat.
Para founding fathers yang terhimpun dalam BPUPKI merupakan
representasi dari golongan masyarakat yang ada di Indonesia, dari berbagai suku,
ras, agama, oleh sebab itu BPUPKI dapat disebut bentuk ideal dari masyarakat
madani. Dan sebagai perwujudan masyarakat madani, BPUPKI telah berhasil
4 Bambang Santoso, Relevansi Pemikiran Teori Robert B Seidman tentang ‘The Law of
Non Transferability of the Law’ dengan upaya Pembangunan Hukum Nasional, Jurnal Yustisia, edisi No 70, Januari-April 2007, hlm. 3.
6
membuat karya monumental berupa UUD 1945. Disebut sebagai karya
monumental karena UUD 1945 mencirikan bangunan negara modern yang
bersumber dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Negara Indonesia
menurut UUD 1945 merupakan bentuk yang khas dan unik, tidak mencontoh
negara lain, dan juga mencerminkan kearifan lokal, tidak berdasar pada teori
negara tertentu. Bentuk negara Indonesia adalah khas Indonesia.
Dalam sidang BPUPKI, para founding fathers memiliki kesadaran
bersama untuk membangun Indonesia bersendikan suasana kebatinan bangsa
Indonesia. Suasana kebatinan Indonesia bersumberkan pada kehidupan sehari-hari
bangsa Indonesia, yang tercermin dari persekutuan masyarakat adat. Suasana
kebatinan dimaksud adalah kehidupan masyarakat yang bercirikan kolektivisme.
Spirit kolektivitas itu tercermin jelas dalam sidang-sidang BPUPKI,
terutama ketika membahas citanegara (staatsidee) Indonesia. Secara umum
disebutkan dalam sidang BPUPKI terjadi perdebatan antara Soepomo (dan
Soekarno) di satu sisi, dengan Moh. Hatta (dan Yamin) di sisi lain. Namun bila
dikaji lebih mendalam, dengan bersumber pada satu-satunya risalah sidang yang
dapat ditemui, yaitu Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, yang
dihimpun oleh M. Yamin, perdebatan yang terjadi bukanlah menyangkut
citanegara atau staatsidee, melainkan hanya pada persoalan perlunya negara
menjamin hak-hak individu.
Masalah bentuk dan tujuan negara tidak terjadi perdebatan antara
Soepomo dan Hatta. Justru perdebatan yang terjadi antara kelompok kebangsaan
7
(Hatta, Yamin, Soekarno, Soepomo dalam satu barisan) dengan kelompok Islam
(Ki Bagus Hadi Kusumo, Abdul Kahar Muzzakir, Kyai Masjkur dan beberapa
tokoh Islam lain). Perdebatan tersebut terkait isu dasar negara, Islam atau
nasionalis.
Secara prinsip, para founding fathers menyetujui cita negara Indonesia
tidak bersifat individualistik, tetapi kolektivistik. Kolektivistik itu oleh Soekarno
dan Soepomo disebut Kekeluargaan5. Meski di sisi lain Soepomo dan Soekarno
masih menggunakan istilah-istilah lain. Soekarno lebih senang menyebut
kolektivisme itu dengan istilah Gotong Royong, karena dinilai dinamis6, sedang
Soepomo terkadang menggunakan istilah Integralistik7. Sedang Hatta menyebut
dengan istilah Kekeluargaan dan Negara Pengurus.
Dari buku M. Yamin itu dapat kita baca, bahwa hanya Soepomo yang
secara detail membahas konsep negara yang akan dibangun. Dalam pidato di
sidang BPUPKI, 31 Mei 1945, selain menyebut citanegara individualistik dan
liberal, Soepomo juga menyebut citanegara golongan (sosialisme) dan negara
integralistik8. Dan menurut pandangan Soepomo, juga tercermin dalam pendapat
Soekarno dan Yamin, negara liberal-individual ditolak. Demikian pula halnya
negara golongan.
5 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid pertama,
(Jakarta, tanpa penerbit, 1959) hlm. 302. 6 Ibid, hlm. 79. 7 Ibid, hlm. 113. 8 Ibid, hlm. 110-111.
8
Tidak ada satupun, bila kita merujuk pada buku Yamin, yang
memperdebatkan semangat kolektif yang disampaikan oleh Soepomo, Soekarno,
Hatta dan Yamin. Hal itu menjadi bukti bahwa secara prinsip para founding
fathers menyetujui citanegara integralistik, atau negara kekeluargaan, atau negara
gotong royong.
Mengapa anggota BPUPKI sepakat dengan gagasan Soekarno dan
Soepomo tentang negara berdasarkan kolektivisme? Menurut penulis, karena
kolektivisme dipandang sebagai konsep ketatanegaraan asli Indonesia. Selain itu
kolektivisme dianggap sebagai antitesis semangat individualistik-liberalistik, yang
telah sepakat ditolak.
Untuk lebih memperjelas kesepakatan tentang kolektivisme itu dapat
dilihat dari pokok-pokok pidato Soepomo, Yamin, dan Soekarno, serta pendapat
Hatta dalam sidang BPUPKI.
1) Inti gagasan integralistik Soepomo adalah:
a. Gagasan Negara : Negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun9. Negara tidak lain ialah seluruh masyarakat atau seluruh rakyat Indonesia sebagai persatuan yang teratur dan tersusun. Tidak ada dualisme antara staats dan individu. Individu tidak lain ialah bagian organik dari staat yang mempunyai kedudukan dan kewajiban tersendiri untuk turut menyelenggarakan kemuliaan staat10.
b. Bentuk negara : Persatuan11 c. Sistem pemerintahan: (bukan parlementer) Presidensiil12,
Konstitusional13
9 Ibid, hlm. 113. 10 Ibid, hlm. 114. 11 Ibid, hlm. 117, 303. 12 Ibid, hlm. 119.
9
d. Sistem politik: Musyawarah, Perwakilan14 e. Sistem perekonomian: Sosialisme Negara15 f. Hubungan negara dan rakyat: Persatuan jiwa.
Enam gagasan itu oleh Soepomo secara bersamaan di berbagai
pembahasan disebut integralistik, kekeluargaan, organis, totaliter, yang pada
esensinya merupakan semangat kolektivisme. Apa yang digagas oleh Soepomo itu
sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya tanggal 1
Juni 1945.
2) Pokok-pokok pikiran Soekarno dalam sidang BPUPKI:
a. Gagasan Negara : Kedaulatan di tangan rakyat16. Negara gotong royong, yaitu satu usaha, satu amal, satu pekerjaan dilakukan secara bersama-sama. Amal semua buat semua, negara tanpa diskriminasi kelas17. Negara bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial18
b. Bentuk negara : Persatuan19 c. Sistem pemerintahan : Presidensiil d. Sistem Politik : Mufakat, Perwakilan permusyawaratan20 e. Sistem perekonomian : Gotong royong21 f. Hubungan Negara dan Rakyat : Persatuan perangai yang timbul
karena persatuan nasib22
Dari pendapat Soepomo dan Soekarno yang telah dikutip di atas, tidak ada
perbedaan yang mendasar. Baik Soepomo maupun Soekarno ingin Indonesia yang
akan didirikan itu dibangun atas sendi-sendi baru, tidak terjebak mengikuti negara
individual-liberal. Tapi negara baru yang akan didirikan ialah negara yang
13 Ibid, hlm. 312. 14 Ibid, hlm. 303. 15 Ibid, hlm. 120. 16 Ibid, hlm. 297. 17 Ibid, hlm. 79. 18 Ibid, hlm. 296. 19 Ibid, hlm. 70. 20 Ibid, hlm. 74. 21 Ibid, hlm. 79. 22 Ibid, hlm. 70.
10
berkedaulatan rakyat. Rakyat merupakan satu kesatuan, bukan individu-
perindividu. Sistem politik yang dijalankan pun tidak menggunakan sistem
individual-liberal, kolektivisme dengan prinsip musyawarah mufakat melalui
perwakilan (rakyat). Dalam sistem pemerintahan, Soepomo dan Soekarno
menolak presidensial murni dan juga menolak sistem parlementer karena kedua
sistem tersebut dianggap cerminan negara liberal.
Gagasan Soepomo dan Soekarno itu juga diterima oleh Yamin dan Hatta.
3) Pokok-pokok pikiran M. Yamin :
a. Gagasan Negara : negara sebagai suatu batang tubuh, yang satu-satu sel mengerjakan kewajiban atas permufakatan yang menimbulkan perlainan dan perbedaan kerja, tetapi untuk kesempurnaan seluruh badan23. Persatuan rakyat dalam ikatan sejarah yang dilindungi24. Negara kebangsaan dan berketuhanan25. Kedaulatan rakyat berdasar perikemanusiaan yang universal26.
b. Bentuk negara: Kesatuan atas paham unitaris27 c. Sistem pemerintahan: Presidensiil28 d. Sistem politik: Musyawarah, Perwakilan29 e. Sistem perekonomian: Organis30 f. Hubungan negara dan rakyat: Persatuan karena ikatan sejarah31
4) Pandangan Hatta dalam Sidang BPUPKI :
a. Gagasan Negara : Negara pengurus, dengan dasar gotong royong dan usaha bersama, atau atas dasar collectivisme. Negara wajib
23 Ibid, hlm. 95. Penggunaan istilah “sel” dan “seluruh badan” tampaknya lebih
mendekati teori negara organisnya Spinoza. Yang justru Soepomo sendiri tidak menggunakan istilah itu.
24 Ibid, hlm. 90. 25 Ibid, 26 Ibid, hlm. 94. 27 Ibid, hlm. 100. 28 Ibid, 29 Ibid, hlm. 95-96. 30 Ibid, hlm. 95. 31 Ibid, hlm. 90.
11
menjamin kepada rakyat hak untuk merdeka berpikir32. Kedaulatan rakyat dengan pembatasan kekuasaan negara33.
b. Bentuk negara: Federal. c. Sistem pemerintahan: Presidensiil. d. Sistem politik: Musyawarah, Perwakilan. e. Sistem perekonomian: Koperasi sebagai perwujudan usaha
bersama atas dasar kekeluargaan. f. Hubungan negara dan rakyat: Negara Menjamin kemerdekaan
rakyat untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dan pendapat.
Dari empat pendapat tersebut, ternyata bahwa para founding fathers
sepakat bahwa negara Indonesia yang hendak didirikan ialah negara berdasarkan
kekeluargaan, atau kolektivisme. Tidak ada perbedaan mendasar, kecuali hanya
dalam hal penggunaan istilah, prinsipnya semua sepakat agar Indonesia tidak
menggunakan konsep dari negara lain, tapi asli Indonesia.
Dari pokok-pokok gagasan Soepomo, Soekarno, Yamin, dan Hatta, yang
dibahas oleh seluruh anggota BPUPKI yang berjumlah 67 orang, disepakati
menjadi citanegara Indonesia. Seperti sudah disinggung di atas bahwa
keanggotaan BPUPKI dapat disebut sebagai perwujudan masyarakat madani, hal
itu dapat dilihat betapa dinamis dan kondusifnya perdebatan yang terjadi.
Masyarakat madani yang tercermin di BPUPKI itu kemudian dapat menghasilkan
UUD 1945 yang dapat disebut karya monumental.
Dalam sidang-sidang selanjutnya dilakukan pembahasan Pembukaan dan
Batang Tubuh UUD 1945. Gagasan citanegara kolektivisme semakin terlihat
secara nyata dalam Pembukaan dan Batang Tubuh. Pun begitu, gagasan Hatta dan
32 Ibid, hlm. 300. 33 Ibid, hlm. 299.
12
Yamin tentang hak-hak warga negara tetap diakomodasi. Akomodasi gagasan
Hatta dan Yamin tidak berarti menggantikan citanegara kolektivisme,
kekeluargaan, atau gotong royong. Namun lebih bersifat menyempurnakan. Atau
dengan kata lain : konsep negara integralistik yang menurut Soepomo digagas
Hegel, Spinoza dan Mueller, dijadikan sebagai pijakan teori, namun kemudian
ditambahkan dengan konsep masyarakat adat Indonesia. Organis plus masyarakat
adat inilah yang disebut sebagai kolektivisme, kekeluargaan, gotong royong, baik
oleh Soepomo, Soekarno, Hatta, maupun Yamin. Namun dalam penuangan
gagasan kolektivisme dalam konstitusi, masih disesuaikan lagi dengan
mengadopsi gagasan Hatta, Yamin dan tokoh-tokoh lain.
Dengan konsepsi seperti itu, maka dapat disimpulkan bahwa citanegara
atau staatsidee Indonesia adalah kolektivistik, kekeluargaan, atau gotong royong.
Dalam perjalanannya, istilah gotong royong jarang digunakan. Dalam penjelasan
UUD 194534, citanegara Indonesia disebutkan sebagai:
“Negara” --begitu bunyinya—melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia35.
Istilah yang digunakan ialah “persatuan”. Dalam pidato Soepomo, yang
dimaksud persatuan ialah persatuan lahir dan batin antara pemimpin dan rakyat.
34 Penjelasan, menurut beberapa sumber oleh Soekarno diserahkan pada Soepomo.
Sebenarnya bukan hanya Penjelasan, tapi Soepomo diberi tugas untuk melakukan finalisasi draft UUD 1945.
35 Ibid, hlm. 35
13
Sehingga tidak ada dualisme antara individu dan staat, negara mengatasi semua
golongan yang ada.
Konsepsi persatuan atau dengan istilah lain integral, akan tampak pada
sistem pemerintahan Indonesia. Pokok-pokok pikiran kolektivisme dalam UUD
1945 dapat dilihat:
1) Kedaulatan berada di tangan rakyat, dilaksanakan oleh Majelis
Permusyawaratan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945). Hal ini
merupakan bentuk konkret dari persatuan antara pemimpin dan rakyat.
Majelis sebagai pemegang kedaulatan rakyat memilih presiden,
sebagai mandataris (pasal 6 ayat (2) UUD 1945). Meski presiden
memiliki kekuasaan tertinggi di bawah MPR (Pasal 4 ayat 1, Pasal 5,
Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17 UUD 1945), namun pada hakekatnya
dia harus tunduk pada Majelis. Presiden adalah “petugas” Majelis
dalam menjalankan Garis Besar Haluan Negara (Pasal 3 UUD 1945).
2) Karena negara mengatasi segala golongan yang ada dalam
masyarakat, maka hal itu diwujudkan dalam keanggotaan MPR (Pasal
2 ayat (1) UUD 1945). Secara umum keanggotaan MPR dibagi tiga :
a) Golongan Politik (Anggota DPR)
b) Golongan Fungsional (Utusan Golongan)
c) Golongan Rakyat (Utusan Daerah)
14
Dari ketiga golongan itu, hanya golongan politik yang dipilih melalui
sistem demokrasi kepartaian, bukan demokrasi yang individualistik-
liberalistik.
3) Kekuasaan negara menggunakan sistem Distribution of Power.
Karena hakekatnya MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat, MPR
yang memiliki kekuasaan tertinggi, maka MPR lah yang punya
kewenangan untuk mendistribusikan kekuasaan untuk menjalankan
negara. Oleh MPR kekuasaan didistribusikan :
a) Eksekutif pada Presiden (Pasal 4-15 UUD 1945).
b) Legeslatif pada DPR (Pasal 19-22 UUD 1945).
c) Yudikatif pada Mahkamah Agung (Pasal 24-25 UUD 1945).
d) Konsultatif pada Dewan Pertimbangan Agung (Pasal 16 UUD
1945.
e) Auditif pada Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 23 ayat (5) UUD
1945).
Karena masing-masing pemegang kuasa itu memperoleh kekuasaan dari
MPR, maka diantara mereka tidak bisa saling menjatuhkan seperti di negara
liberalistik-individualistik. Diantara mereka hanya menjalankan fungsi check and
balances. Hal itu sekaligus menyiratkan kuatnya gagasan kolektivisme36.
36 Hadji Muhammad Yamin, “Naskah Persiapan Op.cit, hlm. 38-39.
15
Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan
kedaulatan rakyat, yang menjadi lembaga tertinggi negara37, memiliki kuasa
mendistribusikan kekuasaannya pada lembaga tinggi negara: DPR, Presiden,
Mahkamah Agung, Badan Pemeriksan Keuangan, dan Dewan Pertimbangan
Agung. Keanggotaan MPR tidak didominasi oleh unsur politis, tapi juga unsur
kedaerahan dan unsur golongan. Hal-hal tersebut membuat sistem ketatanegaraan
Indonesia unik, karena berbeda dengan negara lain. Dan keunikan tersebut
disebabkan oleh konstruksi staatsidee kolektivisme dalam UUD 1945.
Dalam perjalanan Indonesia paska perumusan UUD 1945, MPR secara
formal baru diwujudkan paska Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ketika itu Presiden
Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, tentang
Pembentukan MPRS. Tahun 1965 terjadi pemberontakan PKI, dan hal itu
berimbas pada keanggotaan MPRS. Anggota MPRS yang berasal dari PKI atau
terindikasi terlibat gerakan G30S/PKI diberhentikan dari keanggotaan MPRS.
Tahun 1966 MPRS melakukan Sidang Istimewa untuk meminta
pertanggungjawaban Presiden Soekarno. Dalam Sidang Istimewa itu MPRS
menilai Presiden Soekarno telah lalai dalam menjalankan kewajibannya, dan
karena itu diberhentikan sebagai Presiden. Untuk selanjutnya MPRS dan
mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris
dengan TAP MPRS Nomor IX/MPRS/1966.
Pada masa Orde Baru MPR tetap dipertahankan sebagai lembaga tertinggi
negara. Namun dalam prakteknya pemerintah Orde Baru mereduksi peran MPR
37 Ibid, hlm. 38.
16
dengan serangkaian UU atau peraturan lain. Sehingga anggota MPR mayoritas
adalah ‘orang’ nya pemerintah Orde Baru, atau setidaknya harus mendapat restu
dari presiden.
Paska reformasi MPR melakukan Sidang MPR yang pada akhirnya,
ternyata, secara sukarela ‘mengebiri’ dirinya sendiri. Hasil amandemen UUD
yang dilakukan tahun 1999-2002 telah mengurangi kekuasaan MPR hingga
kedudukan MPR sama dengan lembaga tinggi. Fungsi MPR hanya melantik dan
memberhentikan presiden, melakukan amandemen UUD. MPR sebagai
representasi kedaulatan rakyat, sudah tidak lagi memiliki kekuasaan untuk
mengatur negara.
Persoalan inilah yang menjadi latar belakang dan daya tarik penulis untuk
melakukan penelitian tentang: Anomali Kedudukan MPR Sebagai Penjelmaan
Kedaulatan Rakyat Paska Amandemen UUD 1945.
17
2. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas, maka dapat diambil suatu permasalahan sebagai
berikut:
1) Bagaimana kedaulatan rakyat dan HAM menurut staatsidee Indonesia?
2) Mengapa terjadi anomali peran dan fungsi MPR paska perubahan
UUD?
3) Bagaimana konsep ideal pelaksanaan kedaulatan rakyat dan HAM
melalui MPR?
3. TUJUAN PENELITIAN 1) Memahami konsep kedaulatan rakyat dan HAM menurut staatsidee
Indonesia
2) Mengetahui terjadinya anomali MPR sebagai pelaksana kedaulatan
rakyat paska perubahan UUD 1945
3) Mencari konsep ideal pelaksanaan kedaulatan rakyat dan HAM dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia
18
4. TINJAUAN PUSATAKA
A. Negara Ideal
Plato (429-347 SM) berpandangan bahwa negara ideal adalah negara
berdasarkan keadilan. Keadilan haruslah memerintah, kebaikan seharusnya
menjelma dalam negara38. Menurut Plato, keadilan dan kebenaran itu bermula dari
cita-cita luhur tentang ketuhanan39. Untuk mewujudkan negara seperti itu
diperlukan kebaikan tertinggi untuk setiap dan semua orang. Dan untuk
mencapainya, maka tiap warga harus dididik jiwanya melalui kegiatan
pendidikan. Hanya warga yang terdidik yang dapat menjalankan negara yang
berpijak pada hukum.40 Dalam konteks kenegaraan, untuk menjalankan negara
dengan prinsip ideal itu diperlukan seorang negarawan sejati. Negarawan sejati
harus berusaha menjalankan pendidikan ke arah kebajikan dan keadilan. Negara
ideal menurut Plato adalah negara aristokrasi41. Negara aristokrasi yang
diidealkan Plato yaitu warga negara yang memiliki kebijaksanaan berkumpul, lalu
merumuskan keadilan sebagai tujuan. Dan keadilan yang dimaksud Plato adalah
kepentingan masyarakat umum42.
Sejalan dengan pemikiran Plato, sesungguhnya Hegel juga menganut
filsafat absolut idealisme. Filsafat Hegel berdasarkan pada pemahaman akal-budi.
Negara itu ada sebagai hasil akal budi, hasil ciptaan absolut ide. Negara
38 J.J. Von Schmid, Ahli-ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, (Jakarta: PT. Pembangunan cetakan keenam, 1998), hlm. 13.
39 Ibid, hlm. 16. 40 Budiono Kusumohamidjojo, SH, Filsafat Hukum, Problematika Ketertiban yang Adil,
(Bandung: CV. Mandar Maju, 2011), hlm. 32-33. 41 J.J. Von Schmid, Ahli-ahli…. Op. Cit…. hlm. 30. 42 Ibid, hlm. 32.
19
merupakan pencapaian tertinggi dari jiwa. Negara adalah aktualitas, perwujudan
dari cita etikal (the actuality of the ethical idea). Negara adalah perwujudan dari
kesadaran universal43. Menurut Mc Iver, pandangan Hegel tersebut dianggap
misterius44. bahkan lebih jauh Hegel menyebut negara sebagai the march of god
on earth45.
Negara sebagai perwujudan absolut ide tersebut, merupakan tempat bagi
manusia untuk menemukan kebebasan sempurna. Hanya bila manusia
memberikan dirinya sepenuhnya pada negara, barulah ia akan menemui
tempatnya dan fungsinya46. Manusia sebagai pribadi harus hidup untuk negara,
bukan negara untuk manusia. Gagasan inilah yang menurut Soepomo sesuai
dengan karakteristik bangsa Indonesia.
Dalam gagasan filsafat jawa tentang hubungan makro kosmos dan mikro
kosmos, dimana mikro kosmos dituntut senantiasa untuk menyelaraskan diri
dengan makro kosmos. Karena hanya dengan menyelaraskan diri dengan makro
kosmos, maka manusia akan memperoleh kedamaian, harmoni. Dalam harmoni
itu manusia akan menyatu dengan Tuhan, manunggaling kawulo lan gusti.
Persatuan untuk mencapai harmoni atau cita-cita ideal itu dapat terjadi apabila
manusia menyelaraskan diri dengan pemimpin, karena pemimpin adalah orang
yang memiliki kebijaksanaan, sebagaimana yang disebut oleh Hegel.
43 Marsilam Simanjuntak, Unsur Hegelian Dalam Pandangan Negara Integralistik,
(skripsi, Fakultas Hukum UI, 1989), hlm. 156. 44 Mc Iver, Jaring-jaring Pemerintahan jilid 2, (Jakarta: Aksara Baru, 1981), hlm. 173. 45 Ibid, 46 Ibid,
20
Dalam sidang BPUPKI, gagasan “integralistik” Hegel yang sudah
disesuaikan dengan kosmologi Jawa diajukan oleh Soepomo sebagai statsidee
Indonesia. Tanggungjawab negara dalam teori “integralistik” bukan hanya untuk
menjamin kepentingan perseorangan atau golongan tertentu, tapi menjamin
kepentingan masyarakat secara keseluruhan sebagai satu kesatuan47. Bagi
Soepomo, dasar negara tidak bisa hanya mengikuti teori dari negara lain, karena
apa yang baik buat suatu negara belum tentu baik bagi negara lain. Oleh sebab itu
Soepomo berpandangan bahwa susunan negara bertalian erat dengan riwayat
hukum dan struktur sosial. Dalam pandangannya, teori “integralistik” sangat
sesuai dengan riwayat hukum dan struktur sosial masyarakat Indonesia.
Menurut kajian Soepomo, sebagai ahli hukum adat, sifat tata negara
Indonesia yang asli sesuai dengan filsafat Hegel. Negara memiliki tujuan untuk
memberikan kebaikan untuk seluruh rakyat. Pemerintah merupakan penjelmaan
orang tua dalam keluarga. Orang tua selalu memikirkan kebaikan anak-anaknya.
Dan karena itu menjadi kewajiban bagi anak-anak untuk tunduk dan patuh pada
orang tua.
Individu dalam negara harus memiliki akal-budi untuk dapat berbakti
kepada negara. Dan pemerintah dengan kebijaksanaan yang dimiliki dapat
memberikan keadilan bagi seluruh individu yang berada dalam negara. Keadilan
komulatif itu tidak untuk orang-perorang atau kelompok tertentu, tapi untuk
47 S. Silalahi, M.A, “Dasar-dasar Indonesia Merdeka Versi Para Pendiri Negara”,
Jakarta, (PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 141.
21
seluruh rakyat. Pemerintahlah yang tahu, mana yang terbaik untuk rakyat.
Individu dan golongan merupakan bagian organik dari susunan negara48.
Gagasan-gagasan ideal seperti disebutkan di atas menjadi diskursus pada
saat Sidang BPUPKI, Mei-Juni 1945 dan Juli 1945. Semangat yang meliputi
anggota BPUPKI ketika itu ialah semangat anti penjajahan. Dan penjajah yang
berasal dari Eropa memiliki sistem politik liberal-individual. Sistem politik
liberal-individual tersebut yang mendorong negara-negara Eropa melakukan
penjajahan, karena hasrat ingin menguasai sumber-sumber ekonomi. Dengan
semangat anti penjajahan itu, maka sangat bisa dipahami jika jiwa UUD 1945
dipenuhi gagasan ideal sebuah negara baru, negara dengan hasrat terlepas dari
belenggu dan karena itu ingin merumuskan sistem yang sama sekali baru.
Menurut Mahfud MD, bahwa konfigurasi politik memengaruhi karakter
hukum49. Maka UUD 1945 yang dihasilkan oleh BPUPKI, jelas dipengaruhi oleh
konfigurasi politik pada masa pra kemerdekaan. Dan menurut C.F.G.Sunaryati
Hartono, politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang
dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang
dikehendaki, dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita
bangsa Indonesia50. Cita-cita ideal bangsa Indonesia, selain terdapat dalam pasal-
pasal Batang Tubuh UUD 1945, juga terutama terformulasikan dalam Pembukaan
UUD 1945.
48 S. Silalahi, M.A, Op.Cit…. hlm. 142. 49 Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum Di Indonesia, edisi revisi,” Jakarta, (PT.
Rajagrafindo Persada, 2009), hlm. 7. 50 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, 1991, hlm. 1.
22
Dalam muatan Pembukaan UUD 1945 itulah ditemukan dokumen sejarah,
cita-cita ideal, sistem ketatanegaraan, dan filosofi negara. Karena Pembukaan
UUD 1945 tidak boleh dihapus, maka dia menjadi norma tertinggi. Dan secara
teoritis, hukum di bawahnya harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan
norma tertinggi tersebut. Batang Tubuh UUD, meski dapat diamandemen, namun
amandemen tersebut harus tetap mengacu pada Pembukaan. Termasuk dalam hal
pemegang kedaulatan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat, sistem pemerintahan,
dan sistem politiknya.
B. Konstitusi Modern
Salah satu ciri negara modern ialah memiliki konstitusi tertulis. Konstitusi
tertulis merupakan pegangan dalam menjalankan negara agar sesuai dengan cita-
citanya, atau sesuai dengan cita-cita kemerdekaan. Konstitusi tertulis yang dapat
dijadikan pedoman atau pegangan, haruslah memenuhi standar dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmu pengetahuan.
Banyak teori konstitusi baik teori positivis Kelsen, Carl Schmitt dengan
teori keputusan politik tertinggi, Hermann Heller yang memandang konstitusi
merupakan hukum dari kekuasaan negara. Juga teori konstitusi yang
dikembangkan Struyken.
Tulisan ini lebih merujuk pada teori konstitusi Struyken. Keterbatasan
referensi atas teori Struyken secara detail, karena memang belum ada yang
diterbitkan terutama dalam bahasa Indonesia, maka pembahasan teori Struyken
23
dalam tulisan ini merujuk pada buku Hukum Tata Negara yang ditulis oleh Prof.
Mr. Djokosutono. Mengapa merujuk pada Djokosutono, karena dalam buku
tersebut Djokosutono membahas secara terinci masalah konstitusi sebagai ilmu.
Karena membahas konstitusi sebagai ilmu, maka kita dapat memperoleh banyak
bahan rujukan, yang dapat dipergunakan untuk menganalisis UUD 1945 dari
sudut pandang konstitusi modern.
Menurut Djokosoetono, gronwet in materiele zin memuat dasar-dasar
mengenai struktur dan fungsi negara51. Mengutip pendapat Struyken, “grondwet is
een wet van grondslagen en grondbeginselen52” (konstitusi adalah hukum dasar
yang memuat prinsip-prinsip).
Karena konstitusi merupakan hukum dasar yang memuat prinsip-prinsip,
maka konstitusi harus memuat tiga unsur utama :
1. Merupakan naskah tertulis
2. Memuat garis-garis besar
3. Merupakan undang-undang yang tertinggi.
Menurut Djokosutono, sebagai undang-undang yang tertinggi, maka
prosedur pembentukan maupun prosedur perubahan konstitusi harus bersifat
istimewa53.
Dan sebagai Undang-undang tertinggi, konstitusi haruslah memuat garis-
garis besar (saja), bukan merupakan kodifikasi. Konstitusi yang memuat garis-
51 Djokosutono, Hukum Tata Negara, cetakan pertama, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 55.
52 Ibid, 53 Ibid, hlm. 161.
24
garis besar, menurut Djokosutono yang merujuk pada pendapat Von Jhering,
harus memenuhi tiga sifat :
1. Hasil filsafat, yaitu isi konstitusi dapat dikembalikan pada beberapa sendi saja
2. Hasil kesenian yaitu kata-katanya sederhana sekali sehingga mudah dimengerti setiap orang
3. Hasil ilmu pengetahuan yaitu di dalamnya tidak terdapat pertentangan-pertentangan54.
Karena konstitusi merupakan hasil filsafat, maka filosofi sebuah negara
dapat dilihat dari konstitusinya. Filosofi yang memuat citanegara (staatsidee)
merupakan dasar dari bangunan negara. Sebagai dasar dari bangunan negara,
maka akan terbaca :
1. Staatsbouw : apakah negara kesatuan atau federasi? 2. Sifat konstitusi : apakah fleksible/supel atau rigid? 3. Legeslatieve : apakah kiesstelsel-nya bersandarkan direct kiesrecht
atau indirect kiesrecht? 4. Executieve : apakah parlementair atau presidentiel? 5. Judicative : apakah bersandarkan “Rule of Law” atau “Administratief
Systeem”?55
Sedang sebagai karya seni, dalam arti merujuk pada kemampuan nalar
bahasa, maka konstitusi harus menggunakan kata yang sederhana dan mudah
dimengerti. Istilah sederhana dan mudah dimengerti tentu bersifat relatif apabila
berkaitan dengan materi atau isi konstitusi, karena dipengaruhi oleh fakor
pendidikan dan faktor-faktor lain. Namun secara formil, sederhana dan mudah
dimengerti dapat diterjemahkan sebagai penggunaan kalimat yang tidak bersusun,
atau kalimat yang berputar-putar, sehingga jelas maknanya. Dan juga
54 Ibid, hlm. 100. 55 Ibid, hlm. 59.
25
menggunakan bahasa yang dimengerti, yaitu bahasa yang dikuasai oleh seluruh
rakyat, atau mayoritas rakyat, dalam konteks UUD 1945, menggunakan bahasa
Indonesia.
Merupakan hasil pengetahuan, dapat dijelaskan sebagai upaya perumusan
konstitusi yang dilakukan dengan teliti dan hati-hati, bersifat logis, sehingga tidak
ada pertentangan antara satu pasal dengan pasal lainnya, tidak ada pertentangan
antara Pembukaan dengan Batang Tubuh, dan sebagainya56.
Merujuk pada teori konstitusi yang dijelaskan oleh Djokosoetono di atas,
maka kita akan melihat apakah UUD 1945 telah memenuhi unsur-unsur konstitusi
modern, dengan segala unsur dan sifatnya.
Secara formal, UUD 1945 merupakan konstitusi tertulis yang dirumuskan
oleh anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Memuat garis-garis besar saja, atau hanya memuat aturan yang dasar
dan prinsip bagi sebuah negara. Dua unsur formal konstitusi modern sudah
dipenuhi oleh UUD 1945.
Sedang unsur yang ketiga, “Merupakan Hukum Tertinggi,” dalam hirarkhi
tertib hukum di Indonesia, menurut Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan
Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978, UUD 1945 bukan merupakan hukum
tertinggi, sebab yang merupakan sumber hukum tertinggi di Indonesia adalah
Pancasila. Prof. Notonagoro pun berpendapat bahwa Pancasila merupakan hukum
56 Dalam bagian ini, maka layak untuk dilakukan kajian lebih lanju tentang UUD hasil
amandemen.
26
tertinggi. Namun Tap tersebut dihapus dan diganti dengan Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000, yang menyebutkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Ketetapan
MPR tersebut ditindaklanjuti dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan diubah lagi dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 :
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini, jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Ketetapan MPR;
3) UU/Perppu; 4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah Provinsi; 6) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam hal perdebatan tersebut, penulis lebih merujuk pada produk hukum
terbaru, yaitu Tap No. III/MPR/2000, UU 12 Tahun 2011, bahwa UUD 1945
merupakan hukum tertinggi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 secara formal
telah memenuhi unsur sebagai konstitusi modern.
Kemudian secara material, konstitusi merupakan hasil filsafat, hasil
kesenian dan hasil pengetahuan, secara umum dapat dilihat bahwa UUD 1945
telah memenuhi unsur-unsur tersebut. Karena dalam UUD 1945 memuat filosofi
masyarakat Indonesia, yang dirumuskan oleh anggota BPUPKI. Dan bila merujuk
27
pada keseluruhan pasal-pasal dalam UUD 1945 pada dasarnya hanya memuat
beberapa sendi saja. Hal ini akan diurai lebih mendalam pada bagian berikutnya.
Bahwa UUD 1945 merupakan hasil kesenian, karena menggunakan
kalimat yang sederhana dan mudah dimengerti, juga terbaca dengan jelas. Dalam
UUD 1945 baik dalam pembukaan maupun pasal-pasalnya, para founding fathers
telah merumuskan konstitusi kita dengan bahasa yang sederhana, tidak mbulet,
sehingga mudah dipahami. Dan dirumuskan dengan bahasa Indonesia. Sedang
mengenai hasil pengetahuan, karena di dalam pasal-pasalnya tidak ditemukan
‘konflik’ atau pertentangan.
5. KERANGKA TEORI
A. Teori Negara
Negara dalam definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah organisasi
dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah, dan di taati
oleh rakyat. Negara, masih menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah
kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi
di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan
politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya57.
Dari definisi tersebut, negara memiliki makna generik sebagai organisasi.
Karena sifat manusia sebagai mahluk sosial, maka berorganisasi menjadi sesuatu
yang inhern ada dalam dirinya. Negara merupakan pergaulan hidup manusia58.
Negara merupakan suatu pergaulan hidup yang berada pada tingkatan yang 57 http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php 58 M. Nasroen, Asal Mula Negara, cetakan pertama, (Jakarta, Beringin, 1957), hlm. 61.
28
tinggi59. Negara, secara tradisional maupun modern, memiliki tiga unsur utama:
mempunyai rakyat tertentu, daerah tertentu, dan pemerintah tertentu60.
Dengan ketiga syarat utama itu akan diketahui ide negara (staatsidee). Dengan
Ide negara akan diketahui pula corak dan cara negara itu seharusnya
dipergunakan61. Ide negara merupakan sesuatu yang obyektif62, dan terdapat pada
semua negara. Negara merupakan realisasi dari ide negara (staatsidee). Ide negara
merupakan sesuatu yang baik, dapat dijadikan pedoman dalam berusaha mencapai
kesempurnaan dalam negara63. Ide negara harus riel, yaitu dengan pengertian
bahwa ide negara itu harus dapat dilaksanakan, direalisasi, dan oleh sebab itu,
tiap-tiap negara yang ada itu adalah realisasi, penjelmaan dari ide negara itu64
Suku merupakan bentuk negara paling tradisional. Memiliki jumlah individu
terbatas yang masih memiliki ikatan darah, cakupan wilayahnya juga hanya
sebatas daya tempuh jalan kaki, dan memiliki tokoh yang seringkali merangkap
sebagai pemimpin politik, pemimpin keagamaan, hakim, dan sekaligus komandan
perang.
Dalam batasan yang tradisional itulah, kemudian memunculkan teori negara.
59 Ibid hlm67 60 ibid 61 Ibid hlm 63 62 ibid 63 Ibid hlm 64 64 Ibid hlm 67
29
1) Plato (429-347 SM)
Plato berpandangan bahwa negara ideal adalah negara berdasarkan
keadilan. Keadilan haruslah memerintah, kebaikan seharusnya
menjelma dalam negara65. Dalam konteks kenegaraan, untuk
menjalankan negara dengan prinsip ideal diperlukan seorang
negarawan sejati. Negarawan sejati harus berusaha menjalankan
pendidikan ke arah kebajikan dan keadilan. Negara ideal menurut Plato
adalah negara aristokrasi66. Negara aristokrasi yang diidealkan Plato
yaitu warga negara yang memiliki kebijaksanaan berkumpul, lalu
merumuskan keadilan sebagai tujuan. Dan keadilan yang dimaksud
Plato adalah kepentingan masyarakat umum67.
2) Hegel (1770-1831), Benedictus de Spinoza (1623 - 1677), Adam Muller (1779- 1829)
Negara sebagai perwujudan absolut ide tersebut, merupakan tempat
bagi manusia untuk menemukan kebebasan sempurna. Hanya bila
manusia memberikan dirinya sepenuhnya pada negara, barulah ia akan
menemui tempatnya dan fungsinya68. Manusia sebagai pribadi harus
hidup untuk negara, bukan negara untuk manusia. Gagasan inilah yang
menurut Soepomo sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia.
65 J.J. Von Schmid, Ahli-ahli Pikir Besar Op.cit hlm. 13. 66 J.J. Von Schmid, Ahli-ahli Pikir Besar Op. Cit hlm. 30. 67 J.J. Von Schmid, Ahli-ahli Pikir Besar Op. Cit hlm. 32.
68 Marsilam Simanjuntak, Unsur Hegelian Dalam Pandangan Negara Integralistik, (skripsi, Fakultas Hukum UI, 1989), hlm. 156
30
Gagasan tersebut sepadan dengan gagasan Benedictus de Spinoza,
yang menyatakan bahwa kebebasan individu menjadi tidak bermakna
apabila berhadapan dengan negara. Hak individu dan kemandirian
individu itu tidak ada lagi dalam negara, lebur dan terserap dalam
negara69. Hanya dalam negara seseorang bisa merealisir kemerdekaan,
dengan menyerahkan hak subyektifitasnya kepada kepentingan
keseluruhan (the interest of the universal) secara sukarela70.
Teori negara yang dikembangkan oleh Frederich W. Hegel, Benedictus
de Spinoza, dan juga Adam Muller, memang tidak secara spesifik
menyebut teori negara yang mereka kembangkan, namun sering
disebut dengan Teori Organis. Teori Organispun pada dasarnya bukan
teori yang tunggal, karena dalam kenyataannya negara organis seperti
dimaksud dalam gagasan-gagasan Hegel, Spinoza dan Muller memiliki
berbagai bentuk sesuai dengan kondisi masing-masing entitas. Jerman
pada masa Hitler, Jepang pada masa Tenno, dan Indonesia pada masa
pra kemerdekaan hingga berlakunya UUD 1945, merupakan negara
yang memiliki ciri-ciri khas sebagai negara organis, namun ketiganya
berbeda secara kenyataan. Organis Jerman lebih pada disatukan
perasaan oleh semangat kesukuan/ras, Jepang oleh kepercayaan, dan
Indonesia oleh sejarah dan budaya.
69 Ibid. hlm 116. 70 Ibid. hlm 177.
31
3) Locke (1634 - 1704), Rousseau (1712-1778), Montesquieu (1689-1755)
Sedang Locke dan Rousseau melihat negara dalam bentuknya
yang sudah jadi, dalam bentuk modern. Negara terbentuk karena ada
kesepakatan antar individu yang berada dalam wilayah negara tersebut
untuk tunduk pada peraturan dan kepemimpinan tertentu. Manusia
sebagai individu yang merdeka, harus bersedia melepaskan sebagian
hak-hak yang ia miliki, dan imbalan atas pelepasan hak itu ialah
perlindungan dari negara. Meski individu sudah melepaskan sebagian
haknya pada negara, namun keberadaan individu tetap diakui.
Dalam hal ini rakyat mempunyai otoritas tertinggi untuk
menetapkan berlaku tidaknya suatu ketentuan hukum dan untuk
menjalankan serta mengawasi pelaksanaan ketentuan hukum itu.
Negara merupakan “government or rule by the people”. Hanya saja,
dalam pengertian modern, pengertian government/rule di sini tidak lagi
bersifat langsung, melainkan telah menjadi pemerintahan tidak
langsung atau perwakilan (refresentative government)71. Refresentative
government ini umumnya dibagi dalam tiga fungsi, baik ala John
Locke maupun sebagaimana Montesqueiu dengan konsep trias
politica-nya.
John Locke72 berpendapat bahwa negara harus dijalankan
dalam buku Second Treatise on Government73 untuk pertama kalinya
71 Ibid, hlm. 41-42. 72 John Locke seorang Ilmuwan Inggris yang dipandang sebagai orang pertama yang
secara sistematis dan konseptual membahas tentang teori pemisahan kekuasaan. Dari perjalanan
32
mengemukakan gagasan pemisahan kekuasaan. Dasarnya adalah,
dicegahnya kekuasaan yang terpusat pada satu tangan. Locke menolak
pendapat bahwa kekuasaan bersifat turun-temurun, karena kekuasaan
akan cenderung berjalan tidak sesuai dengan aspirasi rakyat. Atas
dasar itulah ia memisahkan tiga kekuasaan: legislatif, eksekutif, dan
federatif.
Lima puluh tahun kemudian, atas dasar sistem yang
dikemukakan oleh John Locke itu, Montesquieu74 mencetuskan teori
tentang trias politica75. Teori ini membagi kekuasaan serta
memisahkannya menjadi tiga yaitu: legislatif, eksekutif, yudikatif76.
Teori ini awalnya berkembang di kawasan Eropa dan dunia
Barat pada umumnya. Bahkan dapat dikatakan, hampir seluruh sistem
pemerintahan negara di dunia menerapkan pemisahan kekuasaan
meskipun dengan penyesuaian di masing-masing negara. Teori ini pula
hidupnya, mulai dari Inggris kemudian ke Amerika Serikat dan kembali lagi ke Inggris menunjukkan pengaruh yang besar dalam pemikiran politiknya. Dalam sejarahnya, Amerika adlah bekas jajahan Inggris, sehingga kultur masyarakatnya relatif sama sehingga Locke leluasa menyampaika idenya, khususnya tentang teori pemisahan kekuasaan.
73 Buku ini ditulis di Amerika, namun diterbitkan di Inggris sekembalinya ia ke tanah airnya pada 1690.
74 Nama lengkapnya Charles Louis de Secondant de Montesquieu, seorang ahli Hukum tata Negara Prancis yang menulis buku De I’Espirit des Lois (Semangat Hukum).
75 Banyak ahli hukum tata negara menyebut trias politica sebagai teori, ajaran dan doktrin. Samsul Wahidin misalnya mengklasifikasi trias politica sebagai doktrin. Doktrin (Doctrina) adalah ajaran-ajaran tentang hukum tata negara yang dikembangkan dalam dunia ilmu pengetahuan sebagai hasil dari penyelidikan yang seksama berdasarkan logika formal yang berlaku. Lebih jauh lihat: Samsul Wahidin dalam Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). Hlm. 77.
76 Ia menyatakan, jika kekuasaan eksekutif dan legislatif disatukan dalam satu tangan atau pada satu badan, tidak akan terjadi kemerdekaan. Demikian juga jika kekuasaan yudikatif tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif, kehidupan rakyat akan dikuasai angkara murka, sebab yang mengadili ketika ada pelanggaran hukum adalah juga yang membuat peraturan. Demikian pula jika kekuasaan mengadili digabungkan dengan kekuasaan eksekutif, akan terjadi penindasan dan kekerasan. Oleh karenanya hemat Montesquieu, ketiga kekuasaan itu harus dipisahkan dan tidak terletak pada satu badan, apagi seseorang. Ibid, hlm. 81.
33
yang mempengaruhi pembentukkan negara Amerika Serikat ketika
UUD dirumuskan. Akan tetapi tidak dapat diterapkan secara konsisten.
Pengakuan atas hak-hak individu itu yang membedakan dengan
negara dalam pandangan Karl Marx. Karl Marx lebih modern lagi,
melihat negara sudah terbentuk dengan segala perangkat peraturannya.
Dan negara semacam itu harus dipergunakan untuk kepentingan
seluruh individu. Semua untuk semua. Dalam negara, tidak boleh lagi
ada hak-hak individu. Hak-hak individu dipandang akan merusak
tatanan negara. Karena sesungguhnya negara ada untuk melindungi
kepentingan yang lebih luas.
4) Soepomo
Dalam gagasan filsafat jawa tentang hubungan makro kosmos dan
mikro kosmos, dimana mikro kosmos dituntut senantiasa untuk
menyelaraskan diri dengan makro kosmos. Karena hanya dengan
menyelaraskan diri dengan makro kosmos, maka manusia akan
memperoleh kedamaian, harmoni. Dalam harmoni itu manusia akan
menyatu dengan Tuhan, manunggaling kawulo lan gusti. Persatuan
untuk mencapai harmoni atau cita-cita ideal itu dapat terjadi apabila
manusia menyelaraskan diri dengan pemimpin, karena pemimpin
adalah orang yang memiliki kebijaksanaan, sebagaimana yang disebut
oleh Hegel.
34
B. Teori Kedaulatan Rakyat
Negara dan kedaulatan adalah konsep mengenai organisasi dalam sebuah
masyarakat yang di dalamnya mencakup masalah kedaulatan, kekuasaan dan
pembagian kekuasaan. Dalam menganalisis konsep ini, menurut Jack H. Nagel
ada dua hal penting yang saling berkaitan, yaitu lingkup kekuasaan (scope of
power) dan jangkauan kekuasaan (domain of power). Lingkup kedaulatan
menyangkut soal aktivitas yang tercakup dalam fungsi kedaulatan, sedangkan
jangkauan kedaulatan berkaitan dengan siapa yang menjadi subjek dan pemegang
kedaulatan (sovereign). Gagasan kedaulatan sebagai konsep mengenai kekuasaan
tertinggi meliputi proses pengambilan keputusan dan seberapa besar kekuatan
keputusan-keputusan yang ditetapkan itu, baik ditingkat legislatif maupun
eksekutif. Menyangkut siapa atau apa yang menguasai, maka kedaulatan itu dapat
dipegang oleh seseorang, sekelompok orang, sesuatu badan atau sekelompok
badan yang melakukan legislasi dan administrasi fungsi-fungsi pemerintahan77.
Ciri negara modern secara formil ialah menganut asas kedaulatan rakyat.
Menurut penelitian Amos J. Peaslee tahun 1950, 90 persen negara di dunia
dengan tegas mencantumkan dalam konstitusinya prinsip kedaulatan berada di
tangan rakyat, dan kekuasaan pemerintah bersumber pada kehendak rakyat.
Kedaulatan rakyat merupakan antitesis terhadap gagasan kedaulatan raja,
kedaulatan negara ataupun gagasan kedaulatan lainnya yang memungkinkan
77 Jimly Ashiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya
di Indonesia. Jakarta, Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994, hlm. 9-10.
35
segelintir orang menguasai rakyat banyak (individualis) di bidang politik dan
menguasai sumber-sumber penghidupan di bidang ekonomi78.
Kedaulatan Rakyat (popular sovereignity), meyakini bahwa hakikat
kedaulatan sesungguhnya ada pada rakyat dalam suatu negara. Kehendak rakyat
merupakan satu-satunya sumber kekuasaan bagi setiap pemerintah79.
C. Teori Pemisahan Kekuasaan
John Locke80 (1634 - 1704) lewat buku Second Treatise on Government81
untuk pertama kalinya mengemukakan gagasan pemisahan kekuasaan. Dasarnya
adalah, dicegahnya kekuasaan yang terpusat pada satu tangan. Locke menolak
pendapat bahwa kekuasaan bersifat turun-temurun, karena kekuasaan yang
dijalankan secara turun-temurun cenderung berjalan tidak sesuai dengan aspirasi
rakyat. Atas dasar itulah ia memisahkan tiga kekuasaan:
- Kekuasaan legislatif, yang merupakan kekuasaan pembuat peraturan dan/atau undang-undang;
- Kekuasaan eksekutif, ialah kekuasaan untuk melaksanakan peraturan dan/atau undang-undang, termasuk di dalamnya kekuasaan mengadili;
- Kekuasaan federatif, ialah seluruh kekuasaan yang dimaksudkan untuk menjaga keamanan terutama sekali dalam hubungannya dengan negara lain.
78 Ibid, Hlm. 11-12. 79 Ibid, , hlm. 10-11. Lihat juga Ni’matul Huda, Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Press,
2010. hlm. 175-176. 80 John Locke Ilmuwan Inggris yang dipandang sebagai orang pertama yang secara
sistematis dan konseptual membahas tentang teori pemisahan kekuasaan. Dari perjalanan hidupnya, mulai dari Inggris kemudian ke Amerika Serikat dan kembali lagi ke Inggris menunjukkan pengaruh yang besar dalam pemikiran politiknya. Dalam sejarahnya, Amerika adalah bekas jajahan Inggris, sehingga kultur masyarakatnya relatif sama sehingga Locke leluasa menyampaikan idenya, khususnya tentang teori pemisahan kekuasaan.
81 Buku ini ditulis di Amerika, namun diterbitkan di Inggris sekembalinya ia ke tanah airnya pada 1690.
36
Lima puluh tahun kemudian, atas dasar sistem yang dikemukakan oleh
John Locke itu, Montesqieu82 mencetuskan teori tentang trias politica83. Teori ini
membagi kekuasaan serta memisahkannya menjadi tiga bagian yaitu:
- Kekuasaan legislatif, yang merupakan kekuasaan pembuat undang-undang;
- Kekuasaan eksekutif, sebagai pelaksana undang-undang; - Kekuasaan Yudikatif sebagai lembaga peradilan84.
Teori ini awalnya berkembang di kawasan Eropa dan dunia Barat pada
umumnya. Kemudian hampir seluruh sistem pemerintahan negara di dunia
menerapkan pemisahan kekuasaan meskipun dengan penyesuaian di masing-
masing negara. Teori ini pula yang memengaruhi pembentukkan negara Amerika
Serikat ketika UUD dirumuskan. Akan tetapi tidak dapat diterapkan secara
konsisten. Hal yang sama terjadi di Indonesia. Spirit tias politica secara
substansial adalah memisahkan kekuasaan secara tegas (separation of power)
dengan kedudukan yang sama, tetapi dengan fungsi yang berbeda satu sama lain.
Namun, secara praksis, pelaksanaanya tidak konsisten85.
82 Nama lengkapnya Charles Louis de Secondant de Montesquieu, seorang ahli Hukum
tata Negara Prancis yang menulis buku De I’Espirit des Lois (Semangat Hukum). 83 Banyak ahli hukum tata negara menyebut trias politica sebagai teori, ajaran dan
doktrin. Samsul Wahidin misalnya mengklasifikasi trias politica sebagai doktrin. Doktrin (Doctrina) adalah ajaran-ajaran tentang hukum tata negara yang dikembangkan dalam dunia ilmu pengetahuan sebagai hasil dari penyelidikan yang seksama berdasarkan logika formal yang berlaku. Lebih jauh lihat: Samsul Wahidin dalam Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010. hlm. . 77.
84 Ia menyatakan, jika kekuasaan eksekutif dan legislatif disatukan dalam satu tangan atau pada satu badan, tidak akan terjadi kemerdekaan. Demikian juga jika kekuasaan yudikatif tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif, kehidupan rakyat akan dikuasai angkara murka, sebab yang mengadili ketika ada pelanggaran hukum adalah juga yang membuat peraturan. Demikian pula jika kekuasaan mengadili digabungkan dengan kekuasaan eksekutif, akan terjadi penindasan dan kekerasan. Oelh karenanya menurut Montesquieu, ketiga kekuasaan itu harus dipisahkan dan tidak terletak pada satu badan, apalagi seseorang. Ibid, , hlm. 81.
85 Inkonsistensi secara praksis, terjadi di negara tempat teori ini lahir, juga oleh negara yang kemudian banyak menerapkan prinsip itu dalam sistem ketatanegaraan. Ibid, , hlm. 82.
37
Menurut Miriam Budiarjo, konsep pemisahan kekuasaan (separation of
powers) tidak lagi bisa diterapkan secara tegas, akan tetapi yang dapat dilakukan
adalah pembagian kekuasaan (divition of powers).
6. DEFINISI OPERASIONAL
Penulis ingin menguraikan beberapa definisi yang ada di dalam judul
penelitian antara lain:
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), merupakan lembaga jelmaan
kedaulatan rakyat. Sebagai jelmaan atau representasi kedaulatan rakyat
MPR merupakan lembaga negara tertinggi menurut UUD 1945.
Keberadaan lembaga tertinggi ini menjadi keunikan ketatanegaraan
Indonesia. Prinsip yang digunakan dalam MPR ialah pelaksanaan sila
keempat Pancasila : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
2) UUD 1945 merupakan norma tertinggi yang memuat dasar negara,
cita-cita negara, dan sistem pemerintahan negara. UUD 1945 memuat
3 bagian (sebelum amandemen), yaitu Pembukaan, Batang Tubuh dan
Penjelasan. Namun setelah amandemen hanya memuat Pembukaan dan
Batang Tubuh. UUD sebagai konstitusi menjadi dasar dari negara
Indonesia sebagai negara hukum.
3) Staatsidee atau citanegara, merupakan abstraksi dari cita-cita sebuah
negara yang diinginkan oleh para pembentuknya. Staatsidee yang
38
dikenal di dunia ada tiga yaitu individualistic (liberal), kelas
(komunis), dan organis (kolektif). Staasidee memengaruhi pondasi
sebuah negara, konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan sistem
hukum yang berlaku di suatu negara terpengaruh atau harus sesuai
dengan citanegara dari negara yang bersangkutan
4) Kedaulatan Rakyat dan HAM merupakan hak-hak rakyat sebagai
“pemilik” negara yang harus mendapat jaminan dan perlindungan oleh
negara. Kedaulatan rakyat merupakan hak kolektif yang mengatur
bagaimana rakyat ikut mengatur negara melalui mekanisme
konstitusional. Sedang hak asasi manusia merupakan hak individual
yang melekat pada setiap manusia sejak lahir, dan harus dilindungi
oleh negara. Hak asasi karena bersifat individual, pasti akan
berdampingan, bergesekan, atau bahkan berhadapan dengan hak asasi
orang lain, karena itu negara harus mengatur pelaksanaan hak asasi ini.
7. METODE PENELITIAN
A. Obyek Penelitian Obyek penelitian merupakan sesuatu yang akan diteliti/dikaji sebagaimana
tertuang dalam rumusan masalah yakni:
a) Konstruksi staatsidee Indonesia yang terumuskan dalam UUD
1945
b) Pengaruh staatsidee dalam ketatanegaraan Indonesia, beserta
pembagian kekuasaan yang dianut di Indonesia.
c) Tugas, wewenang, dan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat
dalam konstitusi Indonesia dalam menjalankan kedaulatan rakyat
39
B. Bahan Hukum 1) Bahan Hukum Primer, berupa konstitusi yang berlaku dan
mengikat terhadap permasalahan yang akan diteliti. Adapun
bahan hukum primer yang utama sebagai kajian dalam penulisan
ini adalah UUD 1945, dokumen historis perumusan UUD 1945
yang dilakukan oleh BPUPKI, UUD Perubahan, dan peraturan
Perundangan-undangan yang terkait dengan pokok bahasan.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu berupa bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti
literatur, jurnal, pendapat ahli hukum, media masa, hasil
penelitian terdahulu, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian ini.
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder seperti kamus dan ensiklopedi
maupun sumber hukum lain yang sejenis dan berhubungan dalam
penelitian ini.
C. Teknik Pengumpulan Data 1) Kepustakaan, yakni dilakukan dengan cara mengkaji UUD,
literatur, jurnal, media massa, dan sumber-sumber lain yang
mempunyai relevansi dengan permasalahan penelitian.
2) Studi Dokumentasi, yakni dengan mengkaji berbagai dokumen
resmi institusional yang berupa peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan permasalahan penelitian
40
D. Metode pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara pendekatan yuridis historis, filosofis, dan konseptual. Yuridis historis
yaitu menganalisis permasalahan dengan mendasarkannya pada UUD dan
proses terbentuknya UUD. Filosofis yaitu cara pandang atau paradigma
yang bertujuan untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai
sesuatu yang berada dibalik obyek formalnya. Dengan kata lain,
pendekatan filosofis adalah upaya sadar yang dilakukan untuk
menjelaskan apa dibalik sesuatu yang nampak86. Sedangkan konseptual
yaitu menawarkan sebuah gagasan, dengan melakukan komparasi antara
gagasan dan praktek ketatanegaraan. Antara das sollen dan das sein,
kemudian diajukan konsep idealnya menurut penelitian ini.
E. Metode Analisis Data Metode analisis data dilakukan dengan metode kualitatif, yakni penelitian
yang menghasilkan data diskriptif-analitis. Dengan kata lain, penyusun tidak
semata-mata bertujuan untuk mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud
dengan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh MPR, akan tetapi lebih jauh
lagi adalah untuk memahami latar belakang dari permasalahan hukum mengapa
MPR memiliki kekuasaan untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
Di samping itu data yang diperoleh akan diuraikan dan disimpulkan
dengan berpijak pada kerangka berfikir deduktif. Dalam proses pencarian,
86 Arifin, HM, Prof.2000.Filsafat Pendidikan Islam, Cet. VI.Jakarta: PT. Bumi Aksara
41
UUD 1945 menjadi rujukan yang pertama dan utama, dokumen sidang
BPUPKI menjadi yang kedua, UUD Perubahan menjadi yang ketiga87.
87 Tim penyusun MKD Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel
Press, 2011, hlm 50
42
8. KERANGKA TESIS.
1) Bab I
Dalam bab 1 ini disajikan ulasan mengenai pendahuluan serta latar
belakang masalah dengan mengangkat beberapa alasan mengapa penulis
tertarik untuk mengambil penelitian ini. Selain itu dalam Bab I akan
dibahas pula mengenai tujuan penelitian, bahan-bahan hukum yang akan
digunakan, serta cara analisis yang digunakan penulis dalam meneliti
permasalahan pada tesis ini.
2) Bab II
Dalam Bab 2 ini penulis menyajikan ulasan mengenai teori-teori
yang akan digunakan dalam penulisan tesis ini, yakni dimulai dari ulasan
tinjauan umum mengenai Negara, kedaulatan rakyat dan staatsidee.
3) Bab III
Dalam Bab 3 merupakan ulasan selanjutnya mengenai konsep
staatsidee Indonesia dalam UUD 1945, penulis menjabarkan teori
staatsidee, serta bentuk-bentuk penerapan staatsidee dalam sistem
ketatanegaraan, dan berbagai teori lain dalam perspsektif hukum tata
negara. Serta staatsidee yang disepakati oleh para founding fathers, dan
terumuskan dalam UUD 1945, dan pengaruhnya terhadap sistem
pemerintahan Indonesia.
4) Bab IV
Bab ini akan memuat pemaparan yang dibagi menjadi 5 (lima) bagian,
bagian pertama akan membahas penerapan staatsidee dalam
43
ketatanegaraan Indonesia sebelum amandemen. Kedua mendeskripsikan
konsep pembagian kekuasaan (distribution of power) di Indonesia. Ketiga
cara rakyat menyerahkan kedaulatannya pada MPR. Keempat, hak-hak
yang dimiliki oleh MPR dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Dan
kelima batasan kekuasaan MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
5) Bab V
Dalam bab V ini, penulis menyajikan ulasan mengenai hasil
kesimpulan serta saran yang menjadi rekomendasi dari penelitian dan
penulisan tesis ini.
44
BAB II
NEGARA, KEDAULATAN RAKYAT, DAN STAATSIDEE
Untuk memulai pembahasan tesis yang berjudul Anomali MPR Sebagai
Penjelmaan Kedaulatan Rakyat Paska Amandemen UUD 1945, maka perlu
dirumuskan terlebih dahulu dasar teoritik dari pengertian-pengertian yang
berkaitan dengan judul tersebut. Rumusan teoritik itu penting sebagai dasar pijak
untuk melihat fenomena yang akan diteliti secara sistematik, sehingga dapat
dimanfaatkan untuk menjelaskan fenomena tersebut. Dalam konteks tesis ini,
fenomena yang akan diteliti ialah anomali MPR pasca Perubahan UUD 1945.
MPR menjadi sebuah anomali dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, bila
dilihat dari peran, fungsi dan kedudukan lembaga tersebut dalam tiga periode
penerapan UUD. Tiga periode dimaksud ialah :
1) Periode paska kemerdekaan hingga jatuhnya pemerintahan Soekarno
pada tahun 1966. Paska kemerdekaan, dengan disahkannya UUD 1945
oleh PPKI, 18 Agustus 1945, MPR belum pernah terbentuk secara utuh
dan sesuai dengan amanah konstitusi. Hal itu terjadi karena situasi dan
kondisi Indonesia yang masih genting, sehingga MPR belum dapat
terbentuk. Kemudian tahun 1959, setelah Presiden Soekarno
membubarkan Konstituante dengan mengeluarkan Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959, Presiden membentuk MPRS/DPRS dan DPAS.
Pembentukan itupun bisa dikatakan belum merupakan bentuk utuh
MPR. Sehingga dapat dikatakan sesungguhnya pada masa Orde Lama,
MPR belum ada.
45
2) Periode kedua merentang jarak selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru,
yang berakhir pada tahun 1998. Setelah Presiden Soeharto berkuasa,
dan menyelenggarakan Pemilihan Umum pertama tahun 1971, MPR
secara de facto dan de jure terbentuk. Karena Pemilu 1971 memilih
anggota MPR dan DPR. Pada masa ini, MPR memiliki kedudukan dan
fungsi sebagai Lembaga Tertinggi Negara.
3) Periode ketiga paska Perubahan UUD 1945, khususnya paska Pemilu
2004, saat UUD telah diubah sebanyak empat kali, dan diterapkan
secara utuh setelah Pemilu 2004. Setelah gerakan reformasi yang
diikuti dengan mundurnya Presiden Soeharto, dilakukan perubahan
UUD sejak tahun 1999-2002. Salah satu poin penting Perubahan UUD
tersebut ialah kedudukan MPR bukan lagi sebagai Lembaga Tertinggi
Negara, melainkan hanya Lembaga Tinggi Negara sejajar dengan
Presiden, DPR, BPK, MA, dan lembaga negara lainnya, dan mulai
berlaku paska Pemilu 2004.
Dalam masa tiga periode tersebut peran, fungsi dan kedudukan MPR
mengalami perbedaan.
Dari tiga periode tersebut, memunculkan persoalan mengenai kedaulatan
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan juga memunculkan persoalan
staatsidee apa yang dianut Indonesia. Untuk mengaji persoalan tersebut, maka
perlu terlebih dahulu memahami dasar-dasar teoritik untuk kemudian melakukan
analisa atas fenomena ketatanegaraan Indonesia.
46
1. TEORI NEGARA
Plato (429-347 SM) memulai pembahasan tentang negara dari konsepsi
kebenaran: kebenaran objektif dan kebenaran relatif. Segala apa yang tampak,
dunia materi, bersifat relatif. Karena itu penelitian tentang materi juga akan
melahirkan kebenaran material yang bersifat relatif. Pandangan satu orang tentang
suatu benda, akan berbeda dengan pandangan orang lain tentang benda yang
sama. Dan negara tidak dapat diserahkan berdasarkan kebenaran relatif tersebut.
Kebenaran obyektif ialah kebenaran yang diperoleh oleh para filosof, yang
melakukan proses penelitian atas bukan benda. Bukan benda, non materi,
merupakan sesuatu yang bersifat obyektif, dan hasil dari penelitian tersebut akan
melahirkan kebijakan. Dan kebijakan, karena tidak berasal dari materi, akan
bersifat obyektif. Kebenaran yang dikemukakan oleh filosof adalah benar, karena
bersumber dari “jiwa absolut.”
Karena itu negara ideal adalah negara berdasarkan keadilan. Keadilan
haruslah memerintah, dan kebaikan seharusnya menjelma dalam negara88. Dan
keadilan yang dimaksud Plato adalah kepentingan masyarakat umum89.
Wilhem Frederich Hegel, terinspirasi dari gagasan Plato tentang negara
ideal, berpandangan bahwa negara merupakan perwujudan akal budi, atau Ruh
Absolut, atau Tuhan. Pandangan Hegel itu bisa dipahami karena filsafat yang ia
bangun memang berdasarkan pada pemahaman akal-budi, atau Ruh Absolut.
Negara itu ada sebagai hasil akal budi, hasil ciptaan absolut ide. Kalimat Hegel
88 J.J. Von Schmid, Ahli-ahli Pikir Besar loc.cit hlm 13. 89 Ibid. hlm 32.
47
yang sangat terkenal, dan pada kemudian hari melahirkan perdebatan kaum
Hegelian ialah, “Yang sesungguhnya ada, yang aktuil, adalah yang rasional.
Sebab yang bisa ada ialah yang rasional. Negara secara inhern adalah rasional90.”
Karena itu negara, yang sudah mencapai “absolute geest”. Di dewa-
dewakan; timbulah teori-teori kedaulatan negara (Staats souvereiniteits theoiry),
semua kekuasaan harus bereda ditangan negara, sebagai perkembangan tertinggi
jiwa sebagai “absolute geest” adalah “redelijk” (reasonable), karena itu
ia“werkelijk” (aktuil dan riil).
Dalam alur perkembangan teori Hegel, Freidman menjelaskan suatu
sistem yang menyeluruh yaitu tentang Idea, dan pertimbangan melalui hukum
dialektika yakni; “Tiga seringkai” tesis-antitesis-sintesis, freidman menjelaskan
alur pemikiran Hegel tetang dialektika yang menghasilkan etika sosial sebagai
sintesis, dari hak abstrak sebagai tesa, dan moralitas sebagai antitesisnya91. Etika
sosial sendiri berkembang pula dengan dialektika yang sebangun, yang terdiri dari
keluarga sebagai tesis, masyarakat sipil (civil society) sebagai anti-tesis dan
negara sebagai sintesisnya. Dalam sistem Hegel yang monistis, yang
menyelesaikan setiap dualisme yang ada dengan sintesis yang “rasional,” maka
ide dari otonomi individu dikombinasikan dengan kekuatan masyarakat,
kepentingan umum, yang lebih besar, sehingga akan berwujud dalam bentuk suatu
negara. Pada tingkat negaralah dualisme individu dengan negara lenyap (individu
terserap ke dalam negara). Dengan demikian Hegel telah memberi jalan keluar,
berupa “jalan ketiga,” dari pertentangan aliran pikiran yang mengutamakan
90 Marsilam Simanjuntak, Unsur Hegelian loc.cit 91 W. Freidmann, Legal Theory, London: Steven&soon, 5th ed) hlm 88-92 dan hlm 164-
176
48
kerbersamaan, keseluruhan masyarakat (seperti Plato) melawan filsafat
individualis dengan doktrin hak asasinya92.
Pandangan “yang rasional” Hegel itu tampaknya sejalan dengan filsafat
Plato tentang kebenaran. Negara merupakan pencapaian tertinggi dari jiwa.
Negara adalah aktualitas, perwujudan dari cita etikal (the actuality of the ethical
idea). Negara adalah perwujudan dari kesadaran universal93. Negara ada bukan
karena kehendak individu namun ada sebagai langkah Tuhan di bumi. Tuhanlah
yang menghendaki negara itu ada. Dan negara dihadirkan oleh Tuhan untuk
mengatur individu, eksistensi individu belum diakui ada, sebelum ia tunduk pada
negara. Konsepsi Hegel ini bisa dipahami, mengingat pandangan dasarnya bahwa
negara merupakan kehendak Tuhan, sehingga individu harus tunduk pada
kehendak Tuhan yang termanifestasikan dalam bentuk negara.
Dengan konsepsi itu, maka negara merupakan tujuan, bukan alat94. Negara
ada bukan untuk mewujudkan kesejahteraan atau memberikan perlindungan pada
individu. Negara terlepas dari kehendak-kehendak individu semacam itu. Justru
individu mempunyai kewajiban utama untuk menjadi anggota negara itu95, bukan
negara yang mengabdi pada rakyat.
Gagasan tersebut sepadan dengan gagasan Benedictus de Spinoza, yang
menyatakan bahwa kebebasan individu menjadi tidak bermakna apabila
berhadapan dengan negara. Hak individu dan kemandirian individu itu tidak ada
92 Marsilam Simanjuntak, skripsi “ Unsur Hegelian dalam Pandangan Negara
Integralistik” Universitas Indonesia Fak.Hukum. 1989, hlm 138. 93 Marsilam Simanjuntak, Op.cit… hlm 156. 94 Ibid. 95 Ibid.
49
lagi dalam negara, lebur dan terserap dalam negara96. Hanya dalam negara
seseorang bisa merealisir kemerdekaan, dengan menyerahkan hak
subyektifitasnya kepada kepentingan keseluruhan (the interest of the universal)
secara sukarela97.
Negara sebagai perwujudan absolut ide tersebut, merupakan tempat bagi
manusia untuk menemukan kebebasan sempurna. Hanya bila manusia
memberikan dirinya sepenuhnya pada negara, barulah ia akan menemui
tempatnya dan fungsinya98. Manusia sebagai pribadi harus hidup untuk negara,
bukan negara untuk manusia.
Pengritik utama Hegel, Mc Iver, menganggap filsafat Hegel tentang
negara sebagai perwujudan absolut ide itu merupakan gagasan yang misterius99.
Mac Iver secara sinis mengatakan pandangan Hegel bahwa negara sebagai
“jalannya Tuhan di atas bumi ini (the march of god on earth)100 merupakan
sakralisasi negara. Sakralisasi tersebut, membawa konsekwensi pada bentuk
kekuasaan negara. Untuk mewujudkan negara sebagai “jalan Tuhan di bumi”
maka negara harus dipimpin oleh seorang penguasa atau raja yang memiliki
kekuasaan absolut, karena ia “perwujudan absolut ide”.
Gagasan Hegel tentang kekuasaan absolut, sering dipandang sebagai
bentuk pemerintahan yang menindas, otoriter. Pandangan ini pula yang
melahirkan gagasan untuk mengubah UUD 1945 pada masa reformasi. Gagasan
96 Ibid. hlm 116. 97 Ibid. hlm 177. 98 Mc Iver, Jaring-jaring Pemerintahan jilid 2, (Jakarta : Aksara Baru, 1981) hlm 173. 99 Ibid, hlm 173. 100 Ibid.
50
mengubah itu dilandasi oleh pandangan bahwa UUD 1945 dengan staatsidee
integralistik yang digagas Soepomo membawa pandangan otoritarian Hegelian.
Teori negara yang dikembangkan oleh Frederich W. Hegel, Benedictus de
Spinoza, dan juga Adam Muller, memang tidak secara spesifik menyebut teori
negara yang mereka kembangkan, namun sering disebut dengan Teori Organis.
Teori Organispun pada dasarnya bukan teori yang tunggal, karena dalam
kenyataannya negara organis seperti dimaksud dalam gagasan-gagasan Hegel,
Spinoza dan Muller memiliki berbagai bentuk sesuai dengan kondisi masing-
masing entitas. Jerman pada masa Hitler, Jepang pada masa Tenno, dan Indonesia
pada masa pra kemerdekaan hingga berlakunya UUD 1945, merupakan negara
yang memiliki ciri-ciri khas sebagai negara organis, namun ketiganya berbeda
secara kenyataan. Organis Jerman lebih pada disatukan perasaan oleh semangat
kesukuan/ras, Jepang oleh kepercayaan, dan Indonesia oleh sejarah dan budaya.
Sedang Locke dan Rousseau melihat negara dalam bentuknya yang sudah
jadi, dalam bentuk modern. Negara terbentuk karena ada kesepakatan antar
individu yang berada dalam wilayah negara tersebut untuk tunduk pada peraturan
dan kepemimpinan tertentu. Manusia sebagai individu yang merdeka, harus
bersedia melepaskan sebagian hak-hak yang ia miliki, dan imbalan atas pelepasan
hak itu ialah perlindungan dari negara. Meski individu sudah melepaskan
sebagian haknya pada negara, namun keberadaan individu tetap diakui.
Dalam hal ini rakyat mempunyai otoritas tertinggi untuk menetapkan
berlaku tidaknya suatu ketentuan hukum dan untuk menjalankan serta mengawasi
pelaksanaan ketentuan hukum itu. Dengan kata lain, rakyat berdaulat baik dalam
51
perencanaan, penetapan, pelaksanaan maupun pengawasan terhadap produk-
produk hukum yang mengatur proses pemerintahan yang berkaitan dengan nasib
dan masa depan mereka sendiri sebagai pemilik negara. Artinya, dalam konsep
demokrasi, pemerintahan negara merupakan “government or rule by the people”.
Hanya saja, dalam pengertian modern, pengertian government/rule di sini tidak
lagi bersifat langsung, melainkan telah menjadi pemerintahan tidak langsung atau
perwakilan (refresentative government)101. Refresentative government ini
umumnya dibagi dalam tiga fungsi, baik ala John Locke maupun sebagaimana
Montesqueiu dengan konsep trias politica-nya.
Kembali pada sejarah awal negara yang berupa entitas berisi individu-
individu. Individu yang bergabung dalam organisasi atau entitas tertentu, semula
bersifat alami, sukarela, karena memang membutuhkan. Namun kemudian muncul
persoalan tentang bagaimana organisasi itu dikelola, siapa yang berhak
mengelola, bagaimana pengelola organisasi itu mendapatkan hak untuk
mengelola, bagaimana hubungan antara organisasi dengan individu dan pengelola
organisasi dengan individu lain, bagaimana jika timbul konflik antara individu
dan organisasi atau pengelola organisasi, siapa yang berhak menangani konflik
tersebut, dan sebagainya. Persoalan-persoalan tersebut kemudian melahirkan
beragam teori tentang negara, tentang kedaulatan, tentang negara hukum, dan
sebagainya.
Negara, baik dalam bentuknya yang tradisional maupun modern,
merupakan sebuah organisasi sosial. Dalam fase tradisional, negara merupakan
101 Ibid, hlm. 41-42.
52
entitas dengan jumlah individu terbatas yang mendiami wilayah yang sempit, dan
tiap individu terikat pertalian darah. Dan semakin modern, maka negara memiliki
jumlah individu yang lebih banyak dan wilayah yang lebih luas, dan masing-
masing individu bukan terikat hanya oleh pertalian darah.
Para penggagas perubahan UUD 1945 cenderung untuk menolak paham
yang otoritarian, dan mengganti dengan sistem negara yang demokratis. Negara
demokratis yang dibayangkan para penggerak perubahan UUD 1945 ialah negara
yang menghargai HAM, pemerintahan yang tidak absolut karena dibatasi oleh
hukum dan juga dibatasi oleh kekuasaan negara yang lain. Pemerintahan
demokratis yang dibayangkan, sama seperti pemerintahan negara individualistik-
liberalistik.
Paham individualistik-liberalistik memandang negara terbentuk karena ada
kontrak sosial. Individu-individu –secara imajiner—membuat kontrak dengan
“negara” –yang imajiner pula. Individu menyerahkan kepada negara sebagian
hak-hak asasinya itu dikelola negara, dan sebagai imbalannya, individu mendapat
perlindungan dan memperoleh kesejahteraan dari negara.
Negara memperoleh kekuasaan dari rakyat. Teori kedaulatan rakyat ini
timbul dari alam pemikiran baru yang memberi tempat pada pikiran manusia
(Renaissance), sebagai antitesis dari kedaulatan Tuhan dan kedaulatan raja102.
102 C. S. T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Cetakan pertama, (Jakarta:
Bina Aksara, 1984). hlm 79.
53
2. Kedaulatan Rakyat
Superanus bahasa Latin yang memiliki makna “yang tertinggi”, kemudian
diterjemahkan menjadi sovereignty (Inggris), souverainete (Perancis), sovranus
(Italia). Kata-kata asing tersebut diturunkan dari kata Latin superanus berarti yang
tertinggi (supreme).103 Semua penerjemahan ke bahasa selain Latin itu memiliki
kesamaan makna dengan Bahasa aslinya : yang tertinggi.
Sementara di Indonesia digunakan kata “Kedaulatan”. Kata kedaulatan
memiliki kata dasar yang berasal dari serapan Bahasa Arab, ad daulah. Dalam
Bahasa Arab, ad daulah bermakna bergilir, beredar, dan berputar. Daulah
Abasiyah bermakna “giliran keluarga Abasiyah.” Kata daulah atau daulat itu
kemudian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai “berkat
kebahagiaan (yang ada pada raja)” sebagai makna klasik dan berfungsi sebagai
kata kerja.
Namun ketika kata daulah/daulat itu diberi awalan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia menerjemahkan secara berbeda, yaitu kekuasaan; pemerintahan (kata
kerja), Berdaulat mempunyai kekuasaan tertinggi atas suatu pemerintahan negara
atau daerah (kata benda), mendaulat: merebut hak (jabatan, kekuasaan) dengan
tidak sah (kata benda), memecat dengan paksa (yang dilakukan oleh orang yang
tidak berhak), kehormatan tertinggi yang dimiliki atau diberikan kepada raja atau
103Ni’matul Huda, Ilmu Negara. op.cit. hlm. 169.
54
pangeran yang beragama Islam. Kedaulatan: kekuasaan tertinggi atas
pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya104.
Tidak jelas betul, apakah pergeseran makna dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia atas kata “daulat” sebagai berkat kebahagiaan, telah mengalami
perluasan makna dengan mencari padanan kata dari bahasa asing lain (selain
Bahasa Arab) sehingga terjemahannya menjadi (dengan konfik : ke-an) kekuasaan
tertinggi atas pemerintahan negara, sama dengan kata superanus.
Masalah semantik ini penulis anggap penting karena menjadi dasar bagi
penulis untuk penggunaan istilah selanjutnya dalam tulisan ini. Nilai penting
kedua agar tidak ada kerancuan dalam penggunaan istilah. Kata ad daulah atau
kemudian di Indonesia menjadi daulat bila diterjemahkan secara harfiah berarti
bergilir kekuasaan. Apabila kita lekatkan kata rakyat, maka berarti bergilir
kekuasaan rakyat atau kekuasaan yang bergilir pada rakyat (demokrasi, equality)
atau biasa diistilahkan dengan Kedaulatan Rakyat. Kemudian ketika kata itu
diserap ke dalam bahasa Melayu menjadi berkat kebahagiaan (yang ada pada
raja), maka kata daulat bermakna raja memiliki kekuasaan mutlak atau biasa
diistilahkan dengan Kedaulatan Raja. Dan apabila diartikan sebagai kekuasaan
tertinggi atas pemerintahan negara, bermakna kedaulatan sangat tergantung pada
sistem apa yang dianut oleh negara tersebut, dengan kata lain tidak memberi
kepastian.
104 http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php
55
Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: Kedaulatan adalah di tangan rakyat
dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Bandingkan dengan UUD Perubahan :
Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. UUD dibuat
oleh MPR. Sementara MPR bukan lagi pelaksana kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat
2 UUD 1945). Jadi siapa yang memiliki kedaulatan?
Bandingkan juga dengan penggunaan kata “kekuasaan tertinggi” pada
Pasal 10 UUD 1945: Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan
Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Apakah kekuasaan tertinggi Presiden
seperti disebut dalam Pasal 10 itu bermakna kedaulatan, sebagaimana arti yang
disebutkan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia? Apabila memiliki kesamaan
makna, artinya Presiden memiliki kedaulatan (kekuasaan tertinggi) atas Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, mengapa dalam memilih pimpinan
ketiga angkatan itu, presiden masih harus meminta persetujuan DPR, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 13 Undang-Undang RI No. 34, 2004, tentang TNI
Secara teoritik kedaulatan adalah konsep mengenai kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara. Dalam menganalisis konsep ini, menurut Jack H. Nagel ada
dua hal penting yang saling berkaitan, yaitu lingkup kekuasaan (scope of power)
dan jangkauan kekuasaan (domain of power). Lingkup kedaulatan menyangkut
soal aktivitas yang tercakup dalam fungsi kedaulatan, sedangkan jangkauan
kedaulatan berkaitan dengan siapa yang menjadi subjek dan pemegang kedaulatan
(sovereign). Gagasan kedaulatan sebagai konsep mengenai kekuasaan tertinggi
meliputi proses pengambilan keputusan dan seberapa besar kekuatan keputusan-
keputusan yang ditetapkan itu, baik ditingkat legislatif maupun eksekutif.
56
Menyangkut siapa atau apa yang menguasai, maka kedaulatan itu dapat dipegang
oleh seseorang, sekelompok orang, sesuatu badan atau sekelompok badan yang
melakukan legislasi dan administrasi fungsi-fungsi pemerintahan105.
Dalam ilmu negara, ada 5 teori atau ajaran mengenai siapa yang berdaulat,
yaitu:
1) Teori Kedaulatan Tuhan, yang menganggap Tuhan sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi dalam negara. Dalam prakteknya, Kedaulatan
Tuhan ini dapat menjelma dalam hukum yang harus dipatuhi oleh
kepala negara atau raja sebagai kepala negara yang mengklaim
wewenang untuk menetapkan hukum atas nama Tuhan. Konsep
kedaulatan Tuhan menurut pandangan Islam yang berdasarkan al-
Qur’an menyatakan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta. Dia
adalah Pemelihara dan Penguasa sejati. Kehendak-Nyalah yang
dominan di kosmos dan sekelilingnya. Dialah kedaulatan sejati harus
berkedudukan sebagai Undang-undang. Di Eropa, teori kedaulatan
Tuhan berkembang pada abad pertengahan, yaitu antara abad ke-5
sampai abad ke-15. Perkembanagn teori ini sejalan dengan
perkembangan agama baru, yakni Kristen, yang kemudian diorganisi
dalam suatu organisasi keagamaan, yaitu gereja yang dikepalai oleh
seorang Paus.
2) Teori Kedaulatan Raja, yang beranggapan bahwa rajalah yang
memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Pandangan ini
105 Jimly Ashiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat ... Op.Cit… Hlm. 9-10.
57
muncul terutama setelah periode sekularisasi negara dan hukum di
Eropa. Menurut ajaran Marsillius, raja adalah wakil Tuhan untuk
melaksanakan kedaulatan atau memegang kedaulatan di dunia. Raja-
raja merasa berkuasa untuk berbuat apa saja menurut kehendaknya
dengan alasan bahwa perbuatannya sudah menjadi kehendak Tuhan.
Raja tidak merasa bertanggung jawab kepada siapapun kecuali kepada
Tuhan. Bahkan raja merasa berkuasa menetapkan kepercayaan atau
agama yang harus dianut oleh rakyat atau warga negaranya. Awalnya
kedaulatan raja diterima, namun pada akhirya lambat laun di tolak
karena sewenang-wenang. Di Eropa keraguan muncul pada tahun
1517, ketika Martin Luther melakukan kritik terhadap gereja. Gereja
menurutnya menjalankan negara untuk memperoleh kekayaan dan
kekuasaan.
3) Kedaulatan Negara, yang merupakan reaksi terhadap kesewenang-
wenangan raja yang muncul bersamaan dengan timbulnya konsep
negara-bangsa dalam pengalaman sejarah Eropa. Masing-masing
kerajaan Eropa melepaskan diri dari ikatan negara dunia yang
diperintah oleh raja yang sekaligus memegang kekuasaan sebagai
Kepala Gereja. Sehingga bisa dikatakan kedaulatan negara adalah
kelanjutan dari kedaulatan raja. Teori ajaran ini menyatakan
kedaulatan tidak ada pada Tuhan seperti yang dikatakan penganut
teori kedaulatan Tuhan (Gods-souvereiniteit), tetapi ada pada negara.
58
4) Kedaulatan Hukum (rechts-souvereiniteit), yang menganggap bahwa
negara sesungguhnya tidaklah memegang kedaulatan. Sumber
kedaulatan tertinggi adalah hukum dan setiap kepala negara harus
tunduk kepada hukum.
5) Kedaulatan Rakyat (popular sovereignity), yang meyakini bahwa
hakikat kedaulatan sesungguhnya ada pada rakyat dalam suatu
negara. Kehendak rakyat merupakan satu-satunya sumber kekuasaan
bagi setiap pemerintah106.
Saat ini, hampir semua negara modern secara formil menganut asas
kedaulatan rakyat. Menurut penelitian Amos J. Peaslee tahun 1950, 90 persen
negara di dunia dengan tegas mencantumkan dalam konstitusinya masing-masing
bahwa kedaulatan itu berada di tangan rakyat, dan kekuasaan pemerintah
bersumber pada kehendak rakyat. Inilah prinsip dasar yang kemudian dikenal
sebagai konsep demokrasi. Secara formal, demokrasi menjadi sesuatu yang
diidealkan di tiap negara, tetapi pengejawantahannya di satu negara dengan
negara lain berbeda-beda. Kedaulatan rakyat merupakan antitesis terhadap
gagasan kedaulatan raja, kedaulatan negara ataupun gagasan kedaulatan lainnya
yang memungkinkan segelintir orang menguasai rakyat banyak (individuals) di
bidang politik dan menguasi sumber-sumber penghidupan di bidang ekonomi107.
106 Ibid, hlm. 10-11. Lihat juga Ni’matul Huda, Ilmu Negara. Op.cit Hlm. 175-176. 107 Ibid, hlm. 11-12.
59
A. Rumusan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi
Ketika berkembang dialog antara tokoh pergerakan menjelang
kemerdekaan dalam sidang BPUPKI108, salah satu pokok pikiran penting yang
digagas pada waktu itu adalah soal kedaulatan rakyat109. Pokok pikiran ini
kemudian disepakati untuk dimuat dalam UUD dengan pernyataan bahwa RI
adalah negara yang berkedaulatan rakyat. Bahkan gagasan ini juga diuraikan lebih
lanjut dalam Penjelasan UUD sebagai pokok pikiran ketiga dari Pembukaan UUD
1945. Gagasan kedaulatan rakyat itu, sebagaimana disebutkan di awal, sebagai
cita kenegaraan mempunyai latar belakang sejarah yang panjang, diskusi dan
perdebatan mengenai kedaulatan rakyat sudah berkembang di kalangan tokoh-
tokoh pergerakan, jauh sebelum rancangan UUD 1945 itu sendiri disiapkan110.
Munculnya gagasan kedaulatan rakyat dalam suasana perjuangan ini
sesungguhnya mendapat dorongan dari semangat anti individualisme, liberalisme
dan kapitalisme. Meskipun terjadi perdebatan dan diskusi yang panjang soal itu,
108 BPUPKI melaksanakan tugasnya dalam dua masa persidangan. Masa sidang pertama dilaksanakan dari tanggal 29 Mei sampai dengan tanggal 1juni 1945 dan masa persidangan kedua dilaksanakan dari tanggal 11 juli samai dengan 17 juli 1945. Tugas utama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah: (1). Menetapkan dasar-dasar Indonesia Merdeka dan (2). Menetapkan Undang-Undang Dasar. S. Silalahi, Dasar-Dasar Indonesia Merdeka op.cit. hlm. 53.
109 Dalam pembukaan (preambule) Undang-undang Dasar 1945 paragraf keempat dinyatakan: “... untuk membentuk suatu Pemerintaha Negara Indoensia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdsarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kedilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.”, Muhammad Yamin. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Jilid pertama (I). 1959. hlm. 27. Lihat juga S. Silalahi, MA., Dasar-Dasar Indonesia Merdeka op.cit.
110 Jimly Ashiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat ... Op.Cit hlm. 27.
60
tetapi semua kelompok dalam pergerakan sepakat bahwa sifat kerakyatan yang
dimaksud dalam demokrasi harus sesuai dengan budaya Indonesia sendiri, yang
tentu saja berbeda dengan Barat yang berlatar belakang filsafat dan budaya
individualisme, liberalisme dan kapitalisme. Menariknya, dengan mengkritik
individualisme, tidak serta merta menjadikan mereka terposisikan dalam
Marxisme yang merupakan antitesis atas individualisme, liberalsime dan
kapitalisme itu. Baik Soekarno, Hatta, Soepomo maupun hampir semua tokoh lain
menghendaki keaslian, yakni kolektivisme111.
Gagasan kolektif itu dipandang sebagai kombinasi kreatif dari berbagai
faham yang mereka kritik, baik gagasan individualisme, liberalsime dan
kapitalisme di satu pihak,maupun komunisme dan fasisme di pihak yang lain.
Faham kolektivisme dianggap sesuai dengan sifat-sifat bangsa Indonesia
sendiri112.
B. Kedaulatan Rakyat = Keterwakilan Rakyat
Seperti disinggung dalam pendahuluan, kedaulatan rakyat sebagai konsep
mengenai kekuasaan tertinggi, dapat dilihat dari segi ruang lingkupnya dan dari
segi jangkauan konsepnya. Ruang lingkup menyangkut aktivitas atau kegiatan apa
saja yang tercakup di dalam fungsi kedaulatan; sedangkan jangkauan kedaulatan
berkaitan dengan siapa yang menjadi ‘subject and sovereign’ dari kedaulatan itu.
111 Ibid, hlm. 30. Lihat juga pandangan Hatta tentang kolektivisme, ibid hlm 300 112 Ibid, hlm. 31.
61
Dalam hubungannya dengan ruang lingkup, kedaulatan meliputi wewenang
pengambilan keputusan, baik di bidang legislasi maupun pelaksanaanya.
Kekuasaan legislatif, yang merupakan kekuasaan pembuat peraturan dan undang-
undang; Kekuasaan eksekutif, ialah kekuasaan untuk melaksanakan peraturan dan
undang-undang, termasuk di dalamnya kekuasaan mengadili; Kekuasaan federatif,
ialah seluruh kekuasaan yang dimaksudkan untuk menjaga keamanan terutama
sekali dalam hubungannya dnegan negara lain.
Dalam konteks Indonesia, Indonesia menganut faham pembagian
kekuasaan. Dalam UUD 1945, pembagian kekuasaan terdiri atas : Eksekutif
(Presiden) Legeslatif (DPR), Yudikatif (MA), ditambah dengan Konsultatif
(DPA), Auditif (BPK) dan Supreme Power (MPR). Sedang pembagian kekuasaan
menurut UUD Perubahan meliputi : Eksekutif (Presiden), Legeslatif (DPR, DPD,
MPR), Yudikatif (MA, MK), Auditif (BPK).
Gagasan tentang trias politica dalam konteks ketatanegaraan Indonesia
sejatinya mengalami dinamika. Pada zaman Demokrsi Terpimpin ada usaha
untuk meninggalkan gagasan trias politica yang secara yuridis tertuang dalam
Undang-undang No. 19 Tahun 1964113. Penolakan itu juga terlihat dengan
duduknya DPRGR dan Ketua MPRS sebagai menteri. Jabatan menteri dalam
struktur ketatanegaraan adalah pembantu presiden yang mengepalai departemen
tertentu. Dengan demikian pembagian kekuasaan itu menjadi kabur. Ketua
113 Pada penjelasannya dinyatakan bahwa trias politica tidak mempunyai tempat sama
sekali dalam Hukum Nasional Indonesia. Presiden/Pemimpin Besar Revolusi harus dapat melakukan campur tangan atau turun tangan dalam pengadilan, yaitu dalam hlm-hlm tertentu ketika hlm itu dinilai, ukuran perlu atau tidaknya tergantung kepada Presiden.
62
Mahkamah Agung juga diletakkan dalam status di bawah Presiden dengan diberi
jabatan menteri. Sehingga, dapat disimpulkan, Indonesia dalam sejarahnya tidak
menerapkan pemisahan kekuasaan, akan tetapi pembagian kekuasaan (divition of
powers/distribution of powers). Trias Politica yang dicetuskan oleh Montesqueiu
adalah pemisahan kekuasaan (separation of powers) secara tegas, baik mengenai
tugas (fungsinya) maupun mengenai alat perlengkapan (organ operasionalnya).
Substansi dari trias politica adalaah pemisahan kekuasaan itu sendiri atas tiga
lembaga (eksekutif, legislatif, yudikatif). Menyebut pembagian kekuasaan tidak
lagi dapat disebut sebagai trias politica.
Jika dicermati dalam UUD 1945, ada lebih dari tiga lembaga yang masing-
masingnya saling berkaitan dan tidak dapat dinilai sebagaimana teori trias
politica. Lembaga-lembaga sebelum diadakan perubahan yaitu: MPR, DPR,
Presiden dan Wakil Presiden dan Menteri-menteri Negara, Dewan Pertimbangan
Agung, Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung dengan Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara114. Masing-masing
mempunyai fungsi yang berbeda seperti yng digariskan dalam teori trias politica.
Dalam sistem negara yang didasarkan pada UUD 1945, puncak dari kekuasaan
ada ditangan MPR.
114 Lihat Lampiran Ketetapan No: XXXIII/MPRS/1966 Tentang Sumber Tertib Hukum
dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia. Di dalamya terdapat skema pembagian kekuasaan negara dengan jalur isntruktif yang digambarkan secara jelas. Di bawahnya ada deretan Lembaga Tinggi Negara.
63
C. Paham Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi
Negara Indonesia juga menganut paham kedaulatan rakyat (democratie).
Pemilik kekuasaan tertinggi yang sesungguhnya dalam negara Indonesia adalah
rakyat. Kekuasaan itu harus disadari berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Bahkan kekuasaan hendaklah diselenggarakan bersama-sama dengan
rakyat. Dalam sistem konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar,
pelaksanaan kedaulatan rakyat disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur
konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional
democracy). Demokrasi tidak boleh hanya dijadikan hiasan bibir dan bahan
retorika belaka. Demokrasi juga bukan hanya menyangkut pelembagaan gagasan-
gagasan luhur tentang kehidupan bernegara yang ideal, melainkan juga
merupakan persoalan tradisi dan budaya politik yang egaliter dalam realitas
pergaulan hidup yang berkeragaman atau plural, dengan saling menghargai
perbedaan satu sama lain. Karena itu, perwujudan demokrasi haruslah diatur
berdasar atas hukum. Perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrumen
hukum, efektivitas dan keteladanan kepemimpinan, dukungan sistem pendidikan
masyarakat, serta basis kesejahteraan sosial ekonomi yang berkembang makin
merata dan berkeadilan115.
Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan hukum
(nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari
mata uang yang sama. Untuk itulah, maka Undang-Undang Dasar Republik
115 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta, Konstitusi
Press, 2005), hlm. 70-71.
64
Indonesia hendaklah menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia itu
adalah Negara Hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan sekaligus
adalah Negara Demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy)
yang tidak terpisahkan satu sama lain. Keduanya juga merupakan perwujudan
nyata dari keyakinan segenap bangsa Indonesia akan prinsip ke-Maha-Kuasaan
Tuhan Yang Maha Esa, yang juga dikonstruksikan sebagai paham kedaulatan
Tuhan116.
Seperti sudah dijelaskan di atas, rakyat adalah unsur dasar yang
melaksanakan pemerintahan di dalam negara. Artinya rakyat memerintah dirinya
sendiri dalam organisasi yang disebut negara. Sistem “serba rakyat” yakni
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (the government from the
people, by the people and for the people) inilah yang secara abstrak dan filosofis
menjadi arti dari istilah demokrasi117.
D. Demokrasi Langsung dan Demokrasi Perwakilan
Unsur dari sebuah negara adalah adanya wilayah, rakyat dan
pemerintahan. Hakekatnya, yang memerintah rakyat di dalam wilayah negara
tersebut adalah rakyat itu sendiri. Rakyat dalam hal ini adalah unsur dasar yang
melaksanakan pemerintah di dalam negara. Artinya rakyat memerintah dirinya
sendiri dalam organisasi yang disebut negara. Sistem “serba rakyat” yakni
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (the government from the
116 Ibid, hlm. 72. 117 Samsul Wahidin, Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 15.
65
people, by the people and for the people) inilah yang secara abstrak dan filosofis
menjadi arti dari istilah demokrasi118.
Di dalam konsepsi negara modern, demokrasi secara langsung tidak
mungkin dilaksanakan. Untuk mendekati kepada pemerintahan rakyat, maka
dilaksanakan suatu sistem yang dikenal sebagai “demokrasi tidak langsung’
(indirect democracy). Dengan demokrasi tidak langsung, meskipun tida seluruh
rakyat memerintah, akan tetapi beberapa orang yang menjadi wakil rakyat
setidak-tidaknya diharapkan dapat dianggap sebagai orang-orang yang dapat
menyuarakan kehendak rakyat. Dalam bahasa politis, aspirasi rakyat, yang
merupakan kehendak atau setidak-tidaknya sebagian dari kehendak itu
direalisasikan sesuai dengan apa yang menjadi kehendak rakyat. Hal inilah yang
secara mendasar melahirkan sistem perwakilan di dalam pemerintahan119.
Kesepakatan yang diberikan oleh rakyat dengan mekansime keterwakilann itu,
sebenarnya adalah unsur esensial yang harus selalu menjadi dasar keputusan yang
harus dibuat oleh para wakil. Mereka harus berpegang kepada mandat yang
diberikan oleh rakyat. Para wakil itu merupakan orang-orang pilihan yang harus
bersikap amanah dalam arti benar-benar menjalankan komitmen yang dibuat
bersama rakyat yang diwakili. Mereka tidak boleh menyelewengkan mandat yang
diberikan oleh rakyat. Wakil harus selalu bertindak untuk dan atas nama rakyat
yang diwakili.
118 Ibid hlm 18 119 Ibid, hlm. 18.
66
Akan tetapi sebagaimana yang terjadi antara rakyat yang diwakili dengan
para wakil yang terdiri dari sebagian kecil dari rakyat tersebut selalu tercipta
jarak, bahkan ada dinding pembatas yang memisahkan para wakil rakyat dengan
rakyat yang diwakili. Akitivitas yang dilakukan oleh para wakil dalam posisi
keterwakilannya, seringkali justru kebalikan dari kehendak rakyat yang
diwakilinya. Sebagian besar penyebabnya adalah mereka melakukan aktivitasnya
berdasarkan kehendak organisasi politik yang mendudukkannya, atau dengan kata
lain, berdasarkan atas kepentingan organisasi politik atau partai politik, bukan
untuk rakyat yang diwakilinya120.
Sedang mengenai bentuk kedaulatan, ada beberapa prinsip:
1) Kedaulatan Negara, merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan
raja yang muncul bersamaan dengan timbulnya konsep negara-bangsa
dalam pengalaman sejarah Eropa. Masing-masing kerajaan Eropa
melepaskan diri dari ikatan negara dunia yang diperintah oleh raja yang
sekaligus memegang kekuasaan sebagai Kepala Gereja. Sehingga bisa
dikatakan kedaulatan negara adalah kelanjutan dari kedaulatan raja.
Teori ajaran ini menyatakan kedaulatan tidak ada pada Tuhan seperti
yang dikatakan penganut teori kedaulatan Tuhan (Gods-souvereiniteit),
tetapi ada pada negara.
2) Kedaulatan Hukum (rechts-souvereiniteit), menganggap bahwa negara
sesungguhnya tidaklah memegang kedaulatan. Sumber kedaulatan
120 Ibid, hlm 18-19.
67
tertinggi adalah hukum dan setiap kepala negara harus tunduk kepada
hukum.
3) Kedaulatan Rakyat (popular sovereignity), yang meyakini bahwa
hakikat kedaulatan sesungguhnya ada pada rakyat dalam suatu negara.
Kehendak rakyat merupakan satu-satunya sumber kekuasaan bagi setiap
pemerintah.
Selain tiga kedaulatan itu ada pula yang menyebut kedaulatan Tuhan dan
kedaulatan Raja. Menurut Jimly Asshiddiqie, Konsep Kedaulatan Tuhan,
Kedaulatan Hukum, dan Kedaulatan Rakyat, berlaku secara simultan dalam
pemikiran bangsa kita tentang kekuasaan. Kekuasaan kenegaraan dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada pokoknya adalah derivate dari
kesadaran kolektif kita mengenai kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan itu diwujudkan dalam paham kedaulatan
hukum dan sekaligus dalam kedaulatan rakyat yang kita terima sebagai dasar-
dasar berpikir sistematik dalam konstruksi UUD negara kita. Prinsip kedaulatan
hukum kita diwujudkan dalam gagasan ‘rechtstaat’ atau ‘the rule of power’ serta
prinsip supremasi hukum yang selalu kita dengung-dengungkan121.
121Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam
UUD 1945. Cetakan Pertama (Yogyakarta: FH UII Press, 2004). hlm. 34.
68
3. Teori Pemisahan Kekuasaaan
Pada prinsipnya, konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara antara
lain merupakan pencatatan (registrasi) pembagian kekuasaan didalam suatu
negara. Pembagian kekuasaan menurut fungsinya menujukkan perbedaan antara
fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang
lebih dikenal sebagai Trias Politika.
Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga
macam kekuasaan: Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat
undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule making function);
kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule
application function); ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas
pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). Trias politika adalah
suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (function) ini sebaiknya tidak
diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan
oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian hak-hak asasi warga negara lebih
terjamin.122
Pertama kali mengenai fungsi-fungsi kekuasaan negara dikenal di Perancis
pada abad ke-XVI, pada umumnya diakui lima yaitu: (i) fungsi diplomacie; (ii)
fungsi defencie; (iii) fungsi financie; (iv) fungsi justicie; dan (v) fungsi policie.123
Oleh John Locke (1632-1704) dalam bukunya Two Treatises on Civil Goverment
122 Miriam Budiardjo, DasarDasar Ilmu Politik. Edisi Revisi,Cetakan Pertama,
Gramedia, Jakarta, 2008, hlm. 281-282. 123 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. (Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 29.
69
(1690) kemudian konsepsi mengenai fungsi kekuasaan negara itu dibaginya
menjadi tiga, yaitu (i) fungsi legislatif; (ii) eksekutif; (iii) fungsi federatif
(hubungan luar negeri), yang masing-masing terpisah satu sama lain. Bagi John
Locke, fungsi peradilan tercakup dalam fungsi eksekutif atau pemerintahan. John
Locke memandang mengadili itu sebagai uittvoering, yaitu termasuk pelaksanaan
undang-undang.124
Pada tahun 1748, Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran
John Locke yang ditulis dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of the Law).
Alasan Montesquieu mengembangkan konsep Trias Politika didasarkan pada sifat
despotis raja-raja Bourbon, ia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan dimana
warga negaranya merasa lebih terjamin haknya. Montesquieu membagi kekuasaan
pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif,
dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah
satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan
(organ) yang menyelenggarakannya. Terutama adanya kebebasan badan yudikatif
yang ditekankan oleh Montesquieu yang mempunyai latar belakang sebagai
hakim, karena disinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak asasi manusia
perlu dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurutnya adalah
kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi
penyelenggaraan undang-undang (diutamakan tindakan politik luar negeri),
124 Miriam Budiardjo, Op.Cit… hlm. 282.
70
sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran
undang-undang.125
Montesquieu mengemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin
jika ketiga fungsi kekuasaan tidak dipegang oleh satu orang atau badan tetapi oleh
ketiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya “kalau kekuasaan
legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu
badan penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan, akan menjadi malapetaka jika
seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan
ataukah dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga kekuasaan tersebut,
yakni kekuasaan membuat undang-undang, menyelenggarakan keputusan-
keputusan umum, dan mengadili persoalan-persoalan antara individu-individu.126
Sementara itu, C. Van Vollenhoven mengembangkan pandangan yang
tersendiri mengenai soal ini. Menurutnya, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu
terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasa diistilahkan dengan
catur praja, yaitu (i) fungsi regeling (pengaturan); (ii) fungsi bestuur
(penyelenggaraan pemerintahan); (iii) fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan (iv)
fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan. Sedangkan
Goodnow mengembangkan ajaran yang biasa diistilahkan dengan di praja, yaitu
(i) policy making function (fungsi pembuatan kebijakan); dan (ii) policy executing
function (fungsi pelaksanaan kebijakan). Namun, pandangan yang paling
berpengaruh di duni adalah seperti yang dikembangkan oleh Montesquieu, yaitu
125 Ibid, 282-283 126 Ibid., hlm. 283
71
adanya tiga cabang kekuasaan negara yang meliputi fungsi legislatif, eksekutif,
dan yudisial.127
Teori pemisahan kekuasaan Montesquieu mengalami perkembangan dan
mendapat kritikan. Pemisahan kegiatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak
dapat dipisahkan secara tajam satu dengan yang lain. Menurut E. Utrecht,
pemisahan mutlak yang dikemukakan oleh Montesquieu mengakibatkan adanya
badan negara yang tidak ditempatkan dibawah pengawasan badan kenegaraan
lainnya. Ketiadaan pengawasan ini mengakibatkan terbukannya kemungkinan
suatu badan kenegaraan melampaui batas kekuasaannya. Jika dilihat dari fungsi
negara pada negara hukum modern, pembagian tiga fungsi kekuasaan negara tidak
dapat diterima secara mutlak, karena badan negara juga dapat diberi lebih dari
satu fungsi128.
Miriam Budiardjo menyatakan pada abad ke-20 dalam negara yang sedang
berkembangan dimana kehidupan ekonomi dan sosial telah menjadi demikian
kompleksnya serta badan eksekutif mengatur hampir semua aspek kehidupan
kehidupan masyarakat, Trias Politika dalam arti “pemisahan kekuasaan” tidak
dapat dipertahankan lagi.129 Selain itu, dewasa ini hampir semua negara modern
mempunyai tujuan untuk kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya (Welfare State).
Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut menjalan fungsi secara tepat,
cepat, dan komprehensif dari semua lembaga negara yang ada. Dengan kata lain
127 Jimly Asshiddiqie Op.Cit..., hlm. 29-30. 128 E.Utrech, Pengantar Hukum Administrasiu Negara Indonesia, Cet. 4, 1960, hlm. 17-
24 129 Miriam Budiardjo, Op. Cit... hlm. 282.
72
persoalan yang dihadapai oleh negara semakin kompleks dan rumit sehingga
penanganannya tidak dapat dimonopoli dan diselesaikan secara otonom oleh
negara tertentu saja, melainkan perlu adanya kerjasama antar lembaga negara
yang ada.130
Dalam perkembangan sejarah, teori dan pemikiran tentang
pengorganisasian kekuasaan dan tentang organisasi negara berkembang sangat
pesat. Menurut Jimly Asshiddiqie, hal ini disebabkan tuntutan keadaan dan
kebutuhan nyata, baik faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah
dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin
kompleks menyebabkan variasi struktur dan fungsi organisasi serta institusi
kenegaraan berkembang dalam banyak ragam dan bentuknya. Negara melakukan
eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) melalui berbagai
bentuk organ pemerintahan yang dinilai lebih efektif dan efisien sehingga
pelayanan umum (public services) dapat benar-benar terjamin. Kelembagaan
tersebut disebut dengan istilah dewan (council), komisi (commission), komite
(committee), badan (board), atau otorita (authority).131
130 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Hubungan Kewenangan DPRD
dan Kepala Daerah), (Jakarta: Alumni, 2006), hlm. 74. 131 Jimly Asshiddiqie Op. Cit... hlm. 1
73
A. Kekuasaan Eksekutif
Istilah eksekutif sering kali digunakan secara sedikit lebih luwes.
Terkadang istilah ini hanya digunakan untuk menyebut kepala para menteri
(Presiden), terkadang mencakup seluruh lembaga pejabat negara, pemerintahan
dan militer. Dalam cakupan yang terakhir, istilah yang dirasa lebih baik adalah
administrasi atau tata usaha pemerintahan. Disini penggunaan kata “Eksekutif”
berarti kepala pemerintahan berikut para menteri-menterinya dalam kabinet, atau
dengan kata lain lembaga negara yang di beri wewenang oleh konstitusi untuk
melaksanakan undang-undang yang telah di setujui lembaga legislatif. Secara
teknis lembaga legislatif yang menginisiatifkan kebijakan, namun dalam praktek
moderen, lembaga eksekutif yang merumuskan sebagian besar kebijakan dan
mengajukannya kepada legislatif untuk disetujui.132
Dalam sistem pemerintahan di Indonesia Lembaga Eksekutif yang di
pimpin oleh Presiden. Kekuasaan Presiden yang luas dapat di golongkan dalam
beberapa jenis kekuasaan .
1.1 Kekuasaan Penyelenggaraan Pemerintahan UUD 1945
Dalam Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa “Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang–undang dasar”. Ditinjau
dari teori pembagian kekuasaan pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif.
132 C.F. STRONG. Op.Cit… hlm. 12.
74
Sebagai kekuasaan eksekutif, penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan
Presiden dapat dibedakan antara kekuasaan penyelenggara pemerintahan yang
bersifat umum dan kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang besifat khusus.
Kekuasaan penyelenggara pemerintahan yang bersifat umum adalah
kekuasaan menyelenggarakan administrasi negara. Penyelenggaraan administrasi
negara meliputi lingkup tugas dan wewenang yang sangat luas, yaitu segala
bentuk kegiatan administrasi negara. Lingkup tugas dan wewenang ini semakin
meluas sejalan dengan makin meluasnya tugas-tugas wewenang negara atau
pemerintahan. Tugas dan wewenang tersebut dapat dikelompokan menjadi
beberapa golongan:
1) Tugas dan wewenang administrasi di bidang keamanan dan ketertiban
umum. Memelihara, menjaga, dan menegakkan keamanan merupakan
tugas yang paling tradisional di setiap pemerintahan. Berkaitan
dengan teori perjanjian tentang asal mula negara (Hobbes, Locke,
Rousseeu) berpangkal dari state of nature yang bagaimanapun selalu
mengandung ancaman bagi keselamatan individu atau kelompok
selama tidak ada negara atau pemerintah yang menjamin keamanan
dan ketertiban.
2) Tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahan
mulai dari surat menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain-lain.
3) Tugas dan wewenang administrasi di bidang negara dibidang
pelayanan umum. Pelayanan umum meliputi penyediaan fasilitas
umum seperti jalan, taman, dan lapangan olahraga. Termasuk di
75
dalamnya adalah pelayanan berupa bantuan-bantuan seperti subsidi
atau bantuan-bantuan lain yang sekaligus mengandung pula fungsi
pengawasan dan ketertiban.
4) Tugas dan wewenang administrasi negara dibidang kesejahteraan
umum. Dalam pembukaan, maupun batang tubuh UUD1945 terdapat
berbagai ktentuan mengenai kewajiban negara atau pemerintah untuk
menyelenggarakan kesejahteraan umum, membangun sebesar
besarnya kemakmuran rakyat yang bersendikan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Pada saat ini salah satu tugas pemerintahan
dibidang kesejahteraan umum adalah penyelenggaraan pembangunan
nasional. Sesuai dengan hakekat kesejahteraan makan pembangunan
nasional meliputi segala bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
1.2 Kekuasaan di Bidang Perundang-undangan
Kekuasan Presiden dibidang perundang-undangan juga luas. Presiden turut
berbagi kekuasaan dengan badan lagislatif dalam pembuatan Undang-undang. Di
samping itu presiden berwenang membuat peraturan perundang-undangan sendiri
baik atas dasar kewenangan mandiri maupun yang didasarkan pada pelimpahan
suatu undang-undang. Kewenangan mandiri dalam hal pembentukan suatu
peraturan perundang undangan ada yang bersifat normal, ada pula yang bersifat
76
tidak normal. Dalam kekuasaan di bidang perundang-undangan, Presiden
mempunyai wewenang sebagai berikut:
1) Kekuasaan Membentuk Undang-Undang
Dalam perubahan kedua UUD 1945 presiden tidak lagi
disebut memegang kekuasaan membentuk undang-undang133. Presiden
hanya dapat mengajukan rancangan undang-undang pada DPR134.
Walaupun demikian, tidak meniadakan prinsip pembentukan undang-
undang dilakukan bersama antara DPR dan Presiden. Dalam
pembentukan undang-undang, ada empat bentuk keikutsertaan
presiden, yaitu:
a) Perancangan
UUD 1945 telah memberikan kewenangan kepada presiden
untuk mengajukan usul rancangan undang-undang kepada DPR.
Untuk melkasanakan wewenang tersebut presiden melalui menteri
atau pimpinan lembaga pemerintahan non departemen menyusun
RUU untuk memperoleh persetujuan DPR.
b) Keikutsertaan dalam pembahasan di DPR
Keikutsertaan Presiden dalam pembahasan RUU di DPR
diwakili menteri. Hal tersebut mencerminkan bahwa undang-
undang adalah produk bersama presiden bersama DPR.
133 Pasal 5 UUD 1945 memberikan kewenangan pada Presiden untuk membentuk UU dengan persetujuan DPR 134 Pasal 5 UUD Perubahan
77
c) Presiden dapat menolak mengesahkan rancangan undang-
undang yang telah disetujui oleh DPR.
Hak ini merupakan hak balance atas hak DPR untuk menolak
mengesahkan rancangan undang-undang yang diajukan oleh
Presiden. Wewenang penolakan presiden tersebut telah
mendapatkan persetujuan DPR berdasarkan pada ketentuan UUD
1945 Pasal 21 sebelum di adakannya amandemen.
d) Pengesahan dan pemuatan dalam Lembaran Negara dan
Tambahan lembaran Negara.
2) Kekuasaan membentuk Peraturan Pemerintah
Dalam UUD 1945 Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa: Presiden
menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-
Undang sebagaimana mestinya”. Presiden menetapkan peraturan
pemerintah hanya untuk melaksanakan undang-undang, jadi peraturan
pemerintah ditetapkan harus berdasarkan perintah dari Undang-
undang atau semata mata berdasarkan pertimbangan Presiden untuk
melaksanakan suatu undang-undang.
3) Kewenangan Menetapkan Keputusan Presiden
Keputusan Presiden dapat dibedakan berdasarkan sumber
kewenangan dan sifat materi muatannya, dari sumber kewenangannya,
keputusan Presiden dapat dibedakan menjadi dua. Pertama keputusan
Presiden yang melekat pada kewenangan Presiden baik dalam rangka
menjalankan administrasi negara yang umum maupun menjalankan
78
administrasi negara yang khusus yang bersumber pada kewenangan
yang bersifat prerogatif. Kedua keputusan Presiden yang bersifat
delegasi untuk melaksanakan UUD, TAP MPR, Undang-undang dan
atau Peraturan Pemerintah.
Dari sifat materi muatannya, keputusan Presiden dapat
dibedakan menjadi keputusan Presiden yang berisi ketetapan dan
keputusan Presiden yang mengatur. keputusan Presiden yang
mengatur dapat dibenarkan sepanjang hal tersebut dalam rangka
penyelenggaraan administrasi negara, tidak boleh mengenai hal-hal
yang bersifat ketatanegaraan.
4) Kewenangan Menetapkan Peraturan Pemerintahan Sebagai
Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Dalam praktek sistem perundang-undangan yang berlaku,
Perpu merupakan jenis perturan perundang-undangan tersendiri.
Secara praktis penggunaan sebagai nama tersendiri dimaksudkan
untuk membedakan dengan Peraturan Pemerintahan yang bukan
sebagai pengganti undang-undang. Secara gramatikal, UUD 1945
tidak bermaksud memberi bentuk sendiri seperti bentuk undang-
undang atau Peraturan Pemerintahan. Menurut ihkwal kegentingan
yang memaksa, hal ini lebih diperkuat dengan ketentuan Pasal 22 ayat
(3) yang menyebutkan “jika tidak mendapatkan persetujuan, maka
Peraturan Pemerintahan tersebut harus di cabut”.
79
1.3 Kekuasaan di Bidang Yustisial
Kekuasan dalam hal ini berkaitan dengan pemberian grasi, amnesti, abolisi
dan rehabilitasi, terhadap hal tersebut ada yang berpendapat bahwa kewenangan
tersebut bukan bentuk suatu kekuasaan yustisial. Pylee membuat catatan kaki
dalam bukunya menyebutkan “Pardoning power is sometimes characterized as a
judicial of the President. This wrong because granting of pardon is a prerogative
of the executive and, as such, an executive power135”. Jadi pemberian grasi adalah
kekuasaan eksekutif, bukan kekuasaan yustisial. Selain itu, ada juga yang
mempergunakan alasan, kekuasaan tersebut dilaksanakan di luar proses yustisial.
Kekuasaan ini dilaksanakan sesudah atau sebelum proses yustisial, bahkan
meniadakan proses yustisial. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa amnesti,
abolisi, dan rehabilitasi bukan suatu bentuk proses yustisial karena tindakan ini
tidak didasarkan pertimbangan hukum, tetapi pada pertimbangan- pertimbangan
yang lainnya di luar hukum seperti pertimbangan politik dan lain sebagainya.
Hanya grasi yang melalui proses yustisial.
Dengan berbagai teori yang membahas hubungan antara rakyat dan wakil
rakyat sebagai pelaksanaan bentuk kedaulatan rakyat yang diurai di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia yang dikehendaki oleh para pendiri
bangsa, dalam hal pelaksanaan kedaulatan rakyat menganut demokrasi langsung
dan demokrasi perwakilan.
Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy)
dilakukan melalui pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat, baik yang berada 135 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (FH UII Press, Yogyakarta 2006), hlm. 162
80
di pusat maupun daerah. Sedang penyaluran kedaulatan secara tidak langsung
yaitu melalui sistem perwakilan. Dalam lembaga perwakilan itu kedaulatan rakyat
diwujudkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Baik demokrasi dengan model langsung maupun perwakilan, secara
substantif memiliki dasar teoritik, dan merupakan pilihan berdasarkan kondisi
sosial, politik tiap negara. Dan Indonesia dengan prinsip masyarakat kolektif
memilih menggunakan dua model: langsung dan perwakilan.
Dari pembicaraan dalam sidang BPUPKI, dapat disimpulkan model
penyaluran kedaulatan rakyat di Indonesia, yang menggunakan cara asli
Indonesia136 yang bersifat kolektif137, dapat dijabarkan:
1) Rakyat memilih wakil untuk melaksanakan kedaulatannya.
2) Wakil rakyat, merupakan cerminan seluruh penduduk, seluruh
golongan, seluruh agama, seluruh daerah Indonesia. Sehingga
komposisi wakil rakyat sebagai pelaksana kedaulatan ialah wakil dari
masyarakat politik, wakil dari masyarakat kedaerahan dan wakil dari
masyarakat menurut golongan.
3) Wakil dari masyarakat politik, menjalankan aspirasi rakyat dalam
bidang politik. Untuk menjalankan tugas itu maka dibentuk partai
politik. Partai politik memiliki garis perjuangan dan ‘ideologi’. Rakyat
yang memiliki ideologi tertentu dan sependapat dengan garis 136 Lihat dalam Muhamad Yamin, op.cit hlm 113 137 Penggunaan istilah kolektif mengacu pada pandangan Soepomo dalam siding BPUPKI, yang menyebut staatsidee Integralistik “sebagai bangsa yang teratur”, Muhamad Yamin, loc.cit. Dan spirit para founding fathers dalam membahas UUD 1945 di BPUPKI/PPKI, menurut penulis, sangat kental dengan ideologi kolektivisme. Soal ini akan dibahas dalam bab selanjutnya.
81
perjuangan partai tersebut akan memilih wakilnya yang berasal dari
partai tersebut.
4) Wakil dari masyarakat kedaerahan, yaitu rakyat memilih orang-orang
yang berasal dari daerah yang sama dengan dirinya. Bisa juga memilih
orang yang memiliki kesamaan adat-istiadat.
5) Sedang wakil dari golongan, ialah rakyat memilih wakilnya dari
orang-orang yang satu golongan baik golongan berdasar agama,
gender, usia, maupun profesi.
6) Dengan komposisi seperti itu, maka permusyawaratan yang dilakukan
bukan hanya dilakukan oleh masyarakat politik, tapi juga masyarakat
yang memiliki kesadaran berdasar kedaerahan dan golongan.
Kesadaran politik, kesadaran kewilayahan, dan kesadaran berdasar
agama, usia, gender dan profesi ini, diyakini akan memiliki
kebijaksanaan atau hikmah untuk bermusyawarah. Karena bila hanya
dari masyarakat politik, dimana ciri dasar politik adalah memiliki
ambisi kekuasaan (politis). Hal itu dianggap tidak bijaksana.
B. Kekuasaan Legislatif
Menurut UUD 1945 sebelum perubahan, DPR merupakan satu dari lima
lembaga tinggi negara selain Presiden, Mahkamah Agung (MA), Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Pertimbangan Agung yang berada di bawah
MPR sebagai lembaga tertinggi negara. secara keanggotaan, sebagaimana pasal 2
82
ayat (1)138, DPR adalah bagian dari keanggotaan MPR sebagai perwujudan prinsip
kedaulatan rakyat bersama utusan golongan dan daerah. Unsur-unsur keanggotaan
MPR ini dimaksudkan sebagai cerminan semangat kolektivisme139 dan
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Unsur anggota DPR mencerminkan prinsip
demokrasi politik (political democracy) sebagai representasi perwakilan politik
(political representation) dalam rangka menyalurkan aspirasi dan kepentingan
seluruh bangsa dan negara, sedangkan utusan golongan mencerminkan prinsip
demokrasi ekonomi (economical democracy) yang menjadi representasi
perwakilan fungsional (functional representation). Sistem perwakilan fungsional
ini dimaksudkan untuk mengatasi dan menutupi kelemahan sistem demokrasi
politik atau sistem perwakilan politik. Jika DPR merupakan representasi dari
kepentingan nasional untuk seluruh negara dan bangsa, Utusan Daerah diadakan
untuk menjamin agar kepentingan-kepentingan daerah tidak terabaikan.
1.1 Susunan, Tugas dan Wewenang DPR menurut UUD 1945
Setiap negara mempunyai sistem perwakilan yang berbeda, ada yang
menganut sistem perwakilan bikameral, yaitu badan yang terbagi dalam dua
kamar seperti di Amerika Serikat dengan Senate dan House of Representative-
nya, Inggris dengan House of Lord dan House of Commonds-nya, dan Philipina
dengan Senat dan House of Assembly-nya. Negara Indonesia mempunyai satu
138 pasal 2 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “MPR terdiri atas anggota-anggota DPR,
ditambah dengan utusan-utusan daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”,
139 Jimly menyebut keanggotaan MPR sebagai kombinasi antara tradisi liberalisme Barat dengan sosialisme timur, baca Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstiualisme...., hlm. 169.
83
badan yang menyelenggarakan kekuasan legislatif yang disebut DPR dan
menggunakan sistem satu kamar. Menurut Dahlan Thaib, dalam pembukaan,
batang tubuh dan Penjelasan UUD 1945 tidak ada indikasi yang menunjukkan
bahwa Indonesia menganut sistem dua kamar, karena itu dalam bpraktek
penyelenggaraannya negara di bawah UUD 1945, sistem yang dipraktekkan
adalah sistem satu kamar (unikameral)140.
Dari sisi keanggotaan, UUD 1945 tidak secara tegas mengatur tentang
pembentukan DPR melalui pemilihan umum atau pengangkatan. Isi pokok UU
No. 2/1985141 mencakup susunan keanggotaan, Pimpinan DPR, Kedudukan
Protokoler, Keuangan, Peratauran Tata Tertib, Rangkap Jabatan dan cara Kerja
DPR terlihat dinamika susunan DPR yang mengalami perubahan dari waktu
kewaktu sesuai dengan konfigurasi politik ketika itu. Lebih jauh, susunan DPR
sebagaimana di atur dalam Pasal 10 No. 2/1985 yaitu:
1) Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya disebut DPR terdiri atas wakil-
wakil dari:
a. Organisasi peserta pemili
b. Golkar dan ABRI.
2) Pengisian anggota DPR dilakukan dengan cara pemilihan umum dan
pengangkatan.
140 Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indoensia, (yogyakarta: Liberty,
1994), hlm 32. 141 Sebelum UU No. 2/1985, susunan DPR diatur dalam UU Pelaksanaan pasal 19 ayat
(1) UUD 1945 dengan UU No. 16/1969, UU No. 5/1975.
84
3) Jumlah anggota DPR ditetapkan sebanyak 500 (lima ratus) orang
terdiri atas 400(empat ratus) orang dipilih dalam pemilu dan 100
(seratus) orang diangkat.
4) Anggota DPR yang diangkat seanyak 100 orang sebagaimana yang
dimaksudkan dalam ayat (3) diambil dari Golongan karya ABRI dan
pengangkatannya ditetapkan oleh Presiden atas usul Panglima ABRI.
Keberadaan DPR dalam ketentuan UUD 1945 diatur dalam pasal 5 ayat
(1)142, pasal 19143, 20144, 21145, 22146, dan 23147. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal
tersebut maka ada beberapa fungsi kekuasaan legislatif, yakni148:
1) Fungsi Pengaturan (legislasi)
Fungsi pertama lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi legislasi
atau pengaturan. Fungsi pengaturan (regelende functie) berkenaan
142 Pasal pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: “Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. 143 Pasal 19 UUD 1945 berbunyi: “ (1) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan
dengan undang-undang. (2) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun”.
144 Pasal 20 UUD 1945 berbunyi: “ (1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”.
145 Pasal 21 UUD 1945 berbunyi:”Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan rancangan undang-undang. (2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disyahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”.
146 Pasal 22 UUD 1945 berbunyi:”(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut”.
147 Pasal 23 UUD 1945 berbunyi:”(1) Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu. (2) Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. (3) Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. (4) Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang. (5) Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
148 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 299-310.
85
dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga
negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi.
Dalam sistem UUD 1945, peraturan inilah yang dinamakan Undang-
undang yang dibentuk oleh DPR atas persetujuan bersama dengan
Presiden. Di Amerika Serikat, Undang-undang itu disebut law atau
legislative act, di Belanda disebut wet, sedangkan di Jerman disebut
gessetz. Untuk menjalankan semua bentuk undang-undang, wet,
gessetz, atau act tersebut, biasanya diperlukan peraturan pelaksanaan,
seperti di Indonesia yaitu dengan Peraturan Pemerintah ataupun Peraturan
Presiden149.
Selain itu, fungsi legislatif menurut Jimly Asshiddiqie juga
menyangkut empat bentuk sebagai berikut150:
a. pembuatan undang-undang (legislative initiation); b. Pembahasan rancangan undang-undang (law making
process); c. Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law
enactment approval); d. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas
perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents).
2) Fungsi Pengawasan (Control)
lembaga perwakilan rakyat diberikan kewenangan untuk
melakukan kontrol dalam tiga hal itu, yaitu:
149 Pasal 5 ayat (2) UUD Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. 150 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 34
86
a. kontrol atas pemerintahan (control of executive),
b. kontrol atas pengeluaran (control of expenditure), dan
c. kontrol atas pemungutan pajak (control of taxation).
Bahkan masih menurut Jimly, secara teoritis, jika dirinci,
fungsi-fungsi kontrol atau pengawasan oleh parlemen sebagai lembaga
perwakilan rakyat dapat pula dibedakan sebagai berikut151:
a. Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy making);
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing);
c. Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja negara (control of budgeting);
d. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja negara (control of budget implementation);
e. Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government performances);
f. Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political appointment of public officials) dalam bentuk persetujuan atau penolakan, atau pun bentuk pemberian pertimbangan oleh DPR.
3) Fungsi Perwakilan (Representasi)
Fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat yang paling
pokok sebenarnya adalah fungsi representasi atau perwakilan itu sendiri.
Lembaga perwakilan tanpa representasi tentulah tidak bermakna sama
sekali. Jimly Asshiddiqie antara pengertian representation in presence
dan representation in ideas. Pengertian pertama bersifat formal, yaitu
keterwakilan yang dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan,
pengertian keterwakilan yang kedua bersifat substantif, yaitu perwakilan
atas dasar aspirasi atau idea. Dalam pengertian yang formal, keterwakilan
151 Ibid hlm 36
87
itu sudah dianggap ada apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang
terpilih sudah duduk di lembaga perwakilan rakyat. Akan tetapi, secara
substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri baru dapat dikatakan tersalur
apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat rakyat yang diwakili
benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi bagian dari
kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang
bersangkutan, atau setidak-tidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-
benar diperjuangkan sehingga mempengaruhi perumusan kebijakan yang
ditetapkan oleh parlemen. Untuk menjamin keterwakilan substantif itu,
prinsip perwakilan dianggap tidak cukup hanya apabila sesuatu pendapat
rakyat sudah disampaikan secara resmi ke lembaga perwakilan rakyat.
perwakilan formal memang dapat dianggap penting, tetapi tetap tidak
mencukupi (it’s necessary, but not sufficient) untuk menjamin
keterwakilan rakyat secara sejati dalam sistem demokrasi perwakilan yang
dikembangkan dalam praktik152.
Dalam rangka pelembagaan fungsi representasi itu, dikenal pula
adanya tiga sistem perwakilan yang dipraktikkan di berbagai negara
demokrasi. Ketiga fungsi itu adalah:
a. Sistem perwakilan politik (political representation);
b. Sistem perwakilan teritorial (territorial atau regional
representation);
c. Sistem perwakilan fungsional (functional representation).
152 Ibid hlm 40
88
Dianutnya ketiga sistem perwakilan politik (political representation),
perwakilan territorial (territorial representation), dan perwakilan fungsional
(functional representation) menentukan bentuk dan struktur pelembagaan
sistim perwakilan itu di setiap negara. Pilihan sistem perwakilan itu selalu
tercermin dalam struktur kelembagaan parlemen yang dianut di suatu negara.
4. Staatsidee Indonesia
Staatsidee atau citanegara, merupakan prinsip dasar bangunan sebuah
negara. Negara seperti apa yang dikehendaki akan dibangun akan dapat dibaca
dari staatsidee yang digunakan. Menurut Soepomo, ada tiga teori tentang
staatsidee, yaitu individualistik-liberalistik, teori kelas, dan teori yang disebutnya
integralistik153.
Integralistik sepertinya merupakan istilah khas Soepomo. Merujuk pada
pendapat tokoh-tokoh pemikir yang disebut Soepomo sebagai peletak dasar teori
integralistik, yaitu Hegel, Spinoza dan Adam Mueller, sesungguhnya ketiganya
tidak secara spesifik menyebut teorinya sebagai teori integralistik. Hanya Adam
Mueller yang menyebut teori Organis. Teori organis berpandangan sebuah elemen
atau semua unsur dalam negara merupakan bagian organis untuk membentuk
kesatuan. Bagian-bagian yang ada merupakan sel pembentuk keseluruhan atau
153 Muhamad Yamin op.cit, hlm 110-111
89
negara. Teori negara organik ini juga digunakan oleh Yamin untuk memperkuat
argumentasinya tentang negara persatuan.
Teori Organis itu sebenarnya lebih banyak dipakai sebagai argumen oleh
para founding fathers dalam sidang BPUPKI. Mereka menghendaki negara
Indonesia yang berdasarkan atas persatuan, kekeluargaan, gotong royong. Negara
dengan dasar peratuan, kekeluargaan, gotong royong itu disebut sebagai ciri khas
masyarakat Indonesia. Kultur masyarakat Indonesia yang berbasis pada
masyarakat adat, hidup dalam suasana kekeluargaan, suasana persatuan dan
gotong royong.
Agar lebih jelas memahami kultur Indonesia yang dijadikan dasar
pembentukan negara Indonesia, kita perlu melihat gagasan utuh dari para
founding fathers, terutama Soepomo. Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat
sesuai pula dengan corak masyarakat Indonesia154.
Setelah kita meninjau dengan ringkas contoh-contoh dari sifat negeri-
negeri lain, maka tadi dengan sepatah dua patah kata kami mengatakan apa yang
tidak sesuai dan apa yang sesuai dengan lembaga social (struktur sosial) dari
masyarakat Indonesia yang asli. Sebagai Tuan-tuan telah mengetahui juga,
struktur sosial Indonesia yang asli tidak lain ialah ciptaan kebudayaan Indonesia,
yaitu buat aliran pikiran atau semangat kebatinan bangsa Indonesia.
Maka semangat kebatinan, struktur kerohanian dari bangsa Indonesia
bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti, yaitu
154 M. Yamin, Op.Cit.. hlm 112.
90
persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan
makrokosmos, antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya. Segala manusia sebagai
seseorang, golongan manusia-manusia dalam suatu masyarakat, dan golongan-
golongan lain dan masyarakat itu, dan tiap-tiap masyarakat dalam pergaulan hidup
di dunia seluruhnya dianggap mempunyai tempat dan kewajiban hidup (darma)
sendiri-sendiri menurut kodrat alam dan segala-galanya ditujukan kepada
keimbangan lahir dan batin. Manusia sebagai seseorang tidak terpisah dari
seseorang lain atau dari dunia luar, golongan-golongan manusia. Malah segala
golongan makhluk, segala sesuatu bercampur-baur dan bersangkut-paut, segala
sesuatu berpengaruh-pengaruhi, dan kehidupan mereka bersangkut paut. Inilah
ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia yang berwujud juga dalam
susunan tata negaranya yang asli155.
Maka terangiah tuan-tuan jang terhormat, bahwa djika kita hendak mendirikan Negara Indonesia jang sesuai dengan keistimewaan sifat dan tjorak masjarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aIiran pikiran (Staatsidee) negara jang integralistik, negara jang bersatu dengan seluruh rakjatnja, jang niengatasi seluruh golongan golongannja dalam lapangaan apapun.
Dalam pengertian ini, menurut teori ini yang sesuai dengan semangat
Indonesia yang asli, negara tidak lain ialah seluruh masyarakat atau seluruh rakyat
Indonesia sebagi persatuan yang teratur dan tersusun. Dalam pengertian ini,
negara tidak bersikap atau bertindak sebagai seseorang yang mahakuasa, yang
terlepas seseorang-seseorang manusia dalam daerahnya dan mempunyai
kepentingan sendiri, terlepas dari kepentingan warga-warga negaranya sebagai
seseorang (paham individualis).
155 Ibid, hlm 113.
91
Tuan-tuan yang terhormat, menurut pengertian ”negara” yang integralistik, sebagai bangsa yang teratur, sebagai persatuan rakyat yang tersusun, maka pada dasarnya tidak akan ada dualisme “staat dan individu”, tidak akan ada pertentangan antara susunan staats dan susunan hukum individu, tidak akan ada dualisme "staat und staatsfreie gesellschaft", tidak akan membutuhkan jaminan grund und freiheitsrechte dari individu contra staat. Oleh karena individu tidak lain adalah suatu bagian organik dari staat. Dan sebaliknya oleh karena staat bukan suatu badan kekuasaan atau raksasa politik yang berdiri di luar lingkungan suasana kemerdekaan seseorang156. Menurut aliran pikiran tentang negara yang saya anggap sesuai dengan semangat Indonesia asli tadi, negara tidak mempersatukan dirinya dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, pun tidak mempersatukan dirinya dengan golongan yang paling kuat (golongan politik atau ekonomi yang paling kuat), akan tetapi mengatasi segala golongan dan segala seseorang mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyat seluruhnya. Tuan-tuan yang terhormat, hendaknya jangan salah paham. Teori negara integralistik atau negara totaliter ini tidak berarti bahwa negara tidak akan memperhatikan adanya golongan-golongan sebagai golongan, atau tidak akan rnernperdulikan manusia sebagai seseorang. Bukan itu rnaksudnya! Aliran pikiran ini mempunyai sifat concrete dan reel, tidak mengabstraheer segala keadaan (seperti sifat teori individualism). Negara akan mengakui dan menghormati adanya golongan-golongan dalam masyarakat yang nyata, akan tetapi setiap orang dan segala golongan akan insaf kepada kedudukannya sebagai bagian organik dan negara seluruhnya, wajib rneneguhkan persatuan dan harmoni antara segala bagian-bagian itu. Walaupun demikian, rakjat Indonésia mesti mendapat dasar negara jang berasal dari pada peradaban kebangsaan Indonesia, orang Timur pulang kepada kebudajaan Timur157. Negara tidak berpusing disekeliling seorang insan, melainkan sama-sama membentuk negara sebagai suatu batang tubuh, jang satu-satu cel mengerdjakan kewadjiban atas permufakatan jang menimbulkan perlainan atau perbedaan kerdja, tetapi untuk kesempurnaan seluruh badan158.
156 Ibid, hlm 114. 157 Ibid, hlm 90. 158 Ibid, hlm 95.
92
Gagasan-gagasan Soepomo, M. Yamin, Soekarno dan M. Hatta, semua
merujuk pada spirit kebudayaan asli Indonesia. Kebudayaan asli Indonesia yang
tercermin dalam masyarakat Indonesia bersifat kolektif.
Dan secara teoritik, kolektivisme merupakan induk dari sosialisme.
Kolektivisme sangat berbeda bahkan menolak totaliterianisme. Sehingga
pandangan bahwa paham atau staatsidee integralistik bersifat totaliter, represif
sangat tidak tepat. Dalam konteks ekonomi-politik dan ketatanegaraan,
kolektivisme diterjemahkan sebagai “rezim perencanaan”159.
Problem manusia dalam paham individuaistik-liberalistik ialah monopoli,
dan dalam madzhab kolektivisme, monopoli harus ditekan melalui kontrol
negara160. Monopoli industri yang dibiarkan, akan melahirkan penindasan dan
penghisapan individu pada individu lain, dan karena itu negara –dalam paham
kolektivisme—harus mengambil alih dengan kekuasaan yang dimilikinya. Negara
harus diberi wewenang untuk menjalankan sistem tujuan-tujuan tersendiri dan
sarana-sarana tersendiri untuk merealisasi tujuan-tujuan bersama mereka
(individu-individu)161. Namun hak atau kebebasan negara untuk menjalankan
sistem tujuan-tujuan dan sarana itu dibatasi oleh sebuah kesepakatan dari
individu-individu tersebut.
Fitur-fitur umum semua sistem kolektivis dapat digambarkan, dalam
sebuah frasa yang senantiasa disukai kaum sosialis semua mazhab, sebagai
159 Frederich A. Hayek, Ancaman Kolektivisme, Freedom Institute-Friederich Naumann
Stiftung, Jakarta, 2011, hlm 42. 160 Ibid, hlm 50. 161 Ibid, hlm 74.
93
pengorganisasian secara sengaja seluruh kerja masyarakat demi suatu tujuan
sosial yang pasti.
Ihwal bahwa masyarakat kita masa kini tidak memiliki arah “sadar” ke
tujuan tunggal semacam itu, ihwal bahwa aktivitas-aktivitasnya dipandu oleh
dorongan dan fantasi individu-individu yang tak bertanggungjawab, selalu
menjadi salah satu keluhan utama para pengkritik sosialisnya.
Dalam banyak hal ini sangat memperjelas persoalan pokoknya. Dan ini
segera mengarahkan kita ke titik munculnya konflik antara kebebasan individu
dan kolektivisme162. Aneka ragam kolektivisme, komunisme, fasisme, dan lain-
lain, masing-masing berbeda dalam hal sifat tujuan dari semua usaha masyarakat
yang ingin mereka jadikan arah. Tetapi semua paham ini berbeda dari liberalisme
dan individualisme dalam hal bahwa paham-paham tersebut ingin mengorganisasi
seluruh masyarakat dan semua sumbernya untuk mencapai suatu tujuan tunggal,
dan dalam hal bahwa paham-paham tersebut menolak untuk mengakui adanya
wilayah-wilayah otonom yang di dalamnya tujuan-tujuan individu adalah
junjungan tertinggi. Pendek kata, paham-paham itu bersifat totalitarian dalam arti
sebenarnya dari kata baru ini, yang telah kita adopsi untuk menggambarkan
berbagai wujud yang tak terduga namun tak dapat dipisahkan dari apa yang dalam
teori kita namakan kolektivisme.
“Tujuan sosial”, atau “tujuan bersama”, yang untuknya masyarakat harus
diorganisasikan, biasanya dideskripsikan secara tersamar sebagai “kemaslahatan
162 Ibid, hlm 69.
94
bersama”, atau “kesejahteraan umum”, atau “kepentingan umum”. Tidak perlu
banyak perenungan untuk melihat bahwa berbagai istilah ini tidak memiliki
makna definitif yang memadai untuk menentukan suatu strategi atau rencana aksi
khusus.
Kesejahteraan dan kebahagiaan jutaan orang tak dapat diukur berdasarkan
satu skala tunggal mengenai kekurangan atau kelebihan. Kesejahteraan
masyarakat, seperti juga kebahagiaan seorang manusia, bergantung pada
bermacam ragam kombinasi faktor yang jumlahnya tak terbatas. lni tidak cukup
diungkapkan hanya sebagai satu tujuan tunggal, melainkan sebagai hierarki dari
berbagai tujuan, sebuah skala luas nilai-nilai yang di dalamnya semua kebutuhan
setiap orang diberi tempat. Mengarahkan semua aktivitas kita berdasarkan hanya
pada satu rencana tunggal mengandaikan bahwa setiap kebutuhan kita diberikan
peringkatnya sesuai dengan urutan nilai-nilai yang harus cukup lengkap yang
memungkinkan bagi sang perencana untuk melakukan pemilihan di antara
berbagai alur perencanaan yang berbeda163.
Kolektivisme tidak memiliki ruang bagi humanitarianisme yang luas
sebagaimana liberalisme, melainkan hanya bagi partikularisme sempit dari
paham-paham totalitarian. Jika “komunitas” atau negara lebih utama daripada
individu, jika komunitas memiliki tujuan-tujuannya sendiri yang terlepas, dan
lebih unggul, dari tujuan-tujuan individu, rnaka hanya individu-individu yang
bekerja demi tujuan-tujuan yang sama dapat dipandang sebagai anggota
komunitas. Suatu konsekuensi tak terelakkan dari pandangan ini adalah bahwa
163 Ibid, hlm 70.
95
seseorang dihormati hanya sebagai anggota kelompok, maksudnya, hanya jika dan
sejauh dia bekerja demi tujuan-tujuan bersama yang diakui, dan bahwa dia
mendapatkan keseluruhan martabatnya hanya dari keanggotaannya ini dan bukan
hanya dari fakta bahwa dia pada hakikatnya seorang manusia. Sesungguhnya,
konsep-konsep kemanusiaan itu sendiri, dan karenanya konsep-konsep semua
bentuk internasionalisme, seluruhnya adalah produk pan-dangan individualis
tentang manusia, dan tak bisa ada tempat bagi konsep-konsep ini di dalam sistem
pemikiran kolektivis164. Mengutip Nietzsche, Tetapi katakanlah kepadaku, wahai,
saudara-saudaraku: jika kemanusiaan masih belum punya tujuan, bukankah
kemanusiaan itu sendiri tidak ada?”
Terlepas dari fakta dasar bahwa komunitas kolektivisme dapat
berkembang hanya sejauh kesatuan maksud dan tujuan para individu ada atau
dapat diciptakan, beberapa faktor penyumbang memperkuat tendensi kolektivisme
untuk menjadi partikularis dan eksklusif diantaranya, salah satu faktor terpenting
adalah bahwa keinginan individu untuk mengidentifikasi diri dengan kelompok
sangat sering merupakan akibat dari perasaan inferior, dan bahwa 'dengan
demikian keinginannya hanya akan dapat dipuaskan jika keanggotaan dalam
kelompok memberi posisi unggul di atas orang luar. Kadang kala, rupanya, fakta
bahwa naluri kekerasan ini, yang si individu tahu harus dia kendalikan di dalam
kelompoknya, tetapi dapat dibiarkan bebas merajalela di dalam aksi kolektif
terhadap orang luar, justru menjadi dorongan lebih jauh untuk memadukan
kepribadiannya dengan kepribadian kelompok. Ada kebenaran mendalam di
164 Ibid, hlm 176.
96
dalam judul buku R. Niebuhr, Moral Man and Immoral Society-betapapun sedikit
yang dapat kita setujui di dalam kesimpulan yang ditariknya dari tesisnya.
Sebagaimana dikatakannya di dalam tulisannya yang lain, sesungguhnya ada
“kecenderungan yang meningkat di antara manusia modern untuk membayangkan
diri mereka bermoral karena mereka telah mendelegasikan tindakanburuk mereka
ke kelompok-kelompok yang makin lama makin besar.” Bertindak demi suatu
kelompok rupanya membebaskan orang dari banyak kendala moral yang
mengontrol perilaku mereka sebagai individu dalam kelompok165.
Sikap yang jelas antagonistik yang kebanyakan perencana ambil terhadap
internasionalisme lebih jauh dijelaskan oleh fakta bahwa, dalam dunia yang ada
sekarang, semua kontak dengan pihak luar yang dilakukan suatu kelompok adalah
kendala bagi usaha mereka merencanakan dengan efektif suatu lingkungan yang
di dalamnya mereka dapat mencoba menjalankan rencana itu. Karena itu bukanlah
kebetulan bahwa, sebagaimana telah ditemukan penyunting salah satu kajian
kolektif yang paling komprehensif mengenai perencanaan dengan perasaan
kecewa, sebagian besar perencana adalah nasionalis militan166.
Tidak adanya aturan formal yang absolut di dalam etika kolektivis tentu
saja tidak berarti bahwa tidak ada kebiasaan individu yang bermanfaat yang
didorong atau kebiasaan lain yang dinafikan oleh suatu komunitas kolektivis.
Malah sebaliknyag komunitas kolektivis akan memberikan perhatian yang jauh
lebih besar pada kebiasaan kehidupan individu ketimbang komunitas individualis.
165 Ibid, hlm 177. 166 Ibid, hlm 178.
97
Untuk menjadi anggota yang berguna dalam masyarakat kolektivis, orang
memerlukan sifat-sifat yang sangat jelas yang harus diperkuat melalui praktik
terus-menerus.
98
BAB III
MPR Sebagai Pelaksana Kedaulatan Rakyat
1. Kolektivisme Sebagai Staatsidee Indonesia
1 Maret 1945, Jepang secara resmi membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai
atau dikenal dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI)167. Ditunjuk 62 orang dari bangsa Indonesia menjadi anggota
BPUPKI, ditambah dengan tujuh orang warga Jepang, perwakilan pemerintah
pendudukan bala tentara Jepang, sebagai anggota istimewa. Ditunjuk pula Dr.
KRT Radjiman Wedyodiningrat, menjadi ketua BPUPKI168, dengan didampingi
dua orang wakil ketua, yaitu Raden Panji Soeroso yang kemudian diganti Prof.
Mr. A.G. Pringgodigdo dan Ichibangase Yosio (orang Jepang)169.
BPUPKI memulai tugasnya dengan mengadakan sidang pertama, pada 29
Mei-1 Juni 1945, di gedung Chuo Sangi In, atau Gedung Volksraad170. Dalam
masa sidang itu dibahas Rancangan UUD, terutama tentang Dasar Negara171.
Menurut penulis, dari agenda tersebut dapat dikatakan bahwa sidang BPUPKI
pertama itu merupakan peletak dasar bangunan negara Indonesia Merdeka. Dan
167 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Serambi, Jakarta, 2005, hlm 423, baca juga Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, “Teori dan Hukum Konstitusi”, Rajawali pers : Depok, 1999 hlm 84 168 ibid 169 Baca juga Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi : 2010, hlm 19 170 Ibid hlm 22 171 Ibid hlm 22-24
99
setelah disahkannya UUD 1945, maka sejak saat itu “Negara Indonesia”
terumuskan secara jelas, riel, tekstual.
Para founding fathers yang terhimpun dalam BPUPKI merupakan tokoh-
tokoh pergerakan nasional Bangsa Indonesia yang mewakili semua daerah, semua
agama, semua etnis yang ada di Indonesia. Dapat disebut anggota BPUPKI
merupakan bentuk ideal dari masyarakat madani, karena keanggotaannya
merupakan representasi dari golongan masyarakat yang ada di Indonesia, dari
berbagai suku, ras, agama. Hal ini perlu ditekankan sebagai bukti bahwa Negara
Indonesia sejak awal didirikannya merupakan negara multi-etnik, multi-kultur,
dan multi-agama. Di sisi lain, Negara Indonesia sejak mula didirikannya
merupakan bentuk kesepakatan seluruh bangsa Indonesia. Sehingga jika di masa
sekarang muncul anggapan bahwa Negara Indonesia cenderung memprioritaskan
kelompok agama tertentu atau etnis tertentu, anggapan tersebut jelas ahistoris.
Meletakkan “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai salah satu dasar, atau
dasar yang utama dari berdirinya Negara Indonesia, disepakati oleh seluruh tokoh
dari berbagai aliran dan kepercayaan172. Sehingga, menurut penulis, wajar jika
Negara Indonesia tidak pernah memberi tempat pada paham yang tidak
berdasarkan pada Tuhan173.
172 Soal perdebatan dalam sidang BPUPKI tentang Dasar Negara dan masalah Ketuhanan, bisa dilihat dalam, Adnan Buyung Nasution, “Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia,” Pustaka Utama Grafiti, Jakarta : 1995, hlm 102-105. Juga dalam M. Yamin, Risalah Sidang , op.cit, hlm. 283. 173 Soekarno, menjabarkan prinsip Ketuhanan itu sebagai : bukan hanya bangsa Indonesia yang bertuhan, tapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri……Dan hendaknya, negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan. Lihat dalam, Alwi Wahyudi, Hukum
100
Presiden Indonesia ialah orang Indonesia Asli, sebagaimana dicantumkan
dalam Pasal 6 ayat 1 UUD 1945, merupakan kesepakatan yang juga disetujui oleh
etnik Arab, etnik China, dan etnik keturunan lain. Maka sangat ahistoris bila
dianggap pasal tersebut diskriminatif, dan kemudian dalam UUD Perubahan, kata
“asli” itu dihilangkan hanya dengan alasan diskriminatif.
Para founding fathers memiliki kesadaran bersama untuk membangun
Indonesia bersendikan suasana kebatinan bangsa Indonesia. Suasana kebatinan
Indonesia bersumberkan pada kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, yang
tercermin dari persekutuan masyarakat adat. Suasana kebatinan dimaksud adalah
kehidupan masyarakat yang bercirikan kolektivisme. Negara Indonesia yang
dirumuskan merupakan bentuk yang khas dan unik, tidak mencontoh negara lain,
melainkan mencerminkan kearifan lokal, dan tidak berdasar pada teori negara
tertentu.
Merujuk pada naskah sidang BPUPKI yang dikumpulkan dalam sebuah
buku oleh M. Yamin, kita dapat melihat bahwa para founding fathers bersepakat
mendirikan Negara Indonesia modern dengan tetap mempertahankan ciri-ciri
masyarakat asli Indonesia. Secara prinsip, para founding fathers menyetujui cita
negara Indonesia tidak bersifat individualistik, tetapi kolektivistik174. Kolektivistik
Tata Negara Indonesia, Dalam Perspektif Pancasila Pasca Reformasi, Pustaka Pelajar : Jogja, 2012, hlm 197
174 Penggunaan istilah kekeluargaan, gotong royong, persatuan, pengurus, dan integralistik yang digunakan oleh para founding fathers, menurut hemat penulis tidak bisa secara harfiah diterjemahkan menggunakan teori sesuai istilah yang digunakan, teori negara persatuan, teori negara pengurus, dsb. Oleh sebab itu penulis menyimpulkan dengan menggunakan istilah “Kolektivisme”, sebagaimana digunakan juga oleh Hatta, untuk hal ini lihat juga pandangan Hatta
101
itu oleh Soekarno dan Soepomo disebut Kekeluargaan175. Meski di sisi lain
Soepomo dan Soekarno masih menggunakan istilah-istilah lain. Soekarno lebih
senang menyebut kolektivisme itu dengan istilah Gotong Royong, karena dinilai
dinamis176, sedang Soepomo terkadang menggunakan istilah Integralistik177.
Sedang Hatta menyebut dengan istilah kekeluargaan dan negara pengurus.
Tidak seorang pun, bila kita merujuk pada buku M. Yamin, anggota
BPUPKI yang memperdebatkan semangat kolektif yang disampaikan oleh
Soepomo, Soekarno, Hatta dan Yamin. Hal itu menjadi bukti bahwa secara prinsip
para founding fathers menyetujui citanegara integralistik, atau negara
kekeluargaan, atau negara gotong royong.
Persetujuan atas staatsidee kolektivisme, menurut penulis, karena
kolektivisme dipandang sebagai konsep ketatanegaraan asli Indonesia.
Kolektivisme dianggap sebagai antitesa dari paham individualistik-liberalistik,
dan paham kelas, yang telah sepakat ditolak.
Kolektivisme, memandang individu178 merupakan bagian dari masyarakat.
Kolektif bermakna satu kesatuan dalam arti sosiologis179. Kolektif bisa berwujud
sebuah bangsa sebagai kumpulan yang berbahasa satu, beradat-istiadat khusus dan
dalam Muhammad Yamin, Naskah Persiapan, op.cit hlm 300. Secara teoritik kolektivisme melahirkan berbagai cabang paham, diantaranya sosialisme.
175 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan op.cit hlm. 302. 176 Ibid, hlm. 79. 177 Ibid, hlm. 113. 178 Lysen, Individu dan Masyarakat, Vorkink-Van Hoeve, Bandung, hlm. . 5. Dalam
buku itu Lysen menyebut Individu berasal dari Bahasa latin, individuum yang artinya yang tak terbagi
179 Ibid, hlm. 16.
102
mempunyai kebiasaan tersendiri180. Sistem kolektivis dapat digambarkan, dalam
sebuah frasa yang senantiasa disukai kaum sosialis semua mazhab, sebagai
pengorganisasian secara sengaja seluruh kerja masyarakat demi suatu tujuan
sosial yang pasti. 181
Perbedaan utama paham kolektivisme dengan liberalisme dan
individualisme ialah “bahwa paham-paham tersebut ingin mengorganisasi seluruh
masyarakat dan semua sumbernya untuk mencapai suatu tujuan tunggal, dan
dalam hal bahwa paham-paham tersebut menolak untuk mengakui adanya
wilayah-wilayah otonom yang di dalamnya tujuan-tujuan individu adalah
junjungan tertinggi182.”
“Tujuan sosial”, atau “tujuan bersama”, yang untuknya masyarakat harus
diorganisasikan, biasanya dideskripsikan secara tersamar sebagai “kemaslahatan
bersama”, atau “kesejahteraan umum”, atau “kepentingan umum”. Tidak perlu
banyak perenungan untuk melihat bahwa berbagai istilah ini tidak memiliki
makna definitif yang memadai untuk menentukan suatu strategi atau rencana aksi
khusus183.
Kolektivisme sebagai “tujuan sosial, tujuan bersama, kesejahteraan
umum” tidak cukup diungkapkan hanya sebagai satu tujuan tunggal, melainkan
180 Ibid, 181 Frederich A. Hayek, Ancaman Kolektivisme, Freedom Institute-Friederich Naumann
Stiftung, Jakarta, 2011, hlm. 69. 182 Ibid, hlm. 70. 183 Ibid,
103
sebagai hierarki dari berbagai tujuan, sebuah skala luas nilai-nilai yang di
dalamnya semua kebutuhan setiap orang diberi tempat184.
Dari definisi kolektivisme tersebut, dapat disimpulkan kolektivisme
merupakan pola sosial di mana antarindividu memiliki ikatan emosional, saling
tergantung dan saling pengaruh-mempengaruhi dengan individu lain. Individu
dalam masyarakat kolektif mendefinisikan diri sebagai bagian dari kelompoknya,
dan tujuan kolektif menjadi prioritas diatas tujuan pribadi.
Paham kolektivisme seperti tersebut di atas, menurut hemat penulis
menjadi spirit seluruh tokoh bangsa yang tergabung dalam BPUPKI. Hal itu
tercermin dari pendapat-pendapat mereka dalam sidang BPUPKI. Soepomo
sebagai seorang ahli hukum adat, menyebut negara tidak lain ialah seluruh
masyarakat atau seluruh rakyat Indonesia sebagai persatuan yang teratur dan
tersusun185. Pendapat Soepomo tersebut secara teoritik merujuk paham
kolektivisme. Sedang M. Yamin menerjemahkannya sebagai persatuan rakyat
dalam ikatan sejarah yang dilindungi186. Sedang Mohammad Hatta, secara
eksplisit menyebut kolektivime, sebagai dasar negara pengurus, dengan dasar
gotong royong dan usaha bersama, atau atas dasar collectivisme187.
184 Ibid, 185 M. Yamin, Risalah Sidang op.cit, hlm. 114 186 Ibid, hlm. 90. 187 Ibid, hlm. 300.
104
Paham kolektivisme juga mengalami perkembangan penafsiran. Oleh
Frederich A. Hayek, kolektivisme kemudian diterjemahkan sebagai “rezim
perencanaan”188. Menurutnya Hayek :
“Perencanaan” menjadi populer terutama karena fakta bahwa setiap orang tentu saja ingin kita menangani problem-problem umum kita serasional mungkin, dan bahwa dalam melakukannya kita menggunakan hikmat dan perkembangan kita sepenuhnya. Dalam pengertian ini, setiap orang yang bukan fatalis total adalah perencana, setiap tindakan politis adalah (atau seharusnya) tindakan perencanaan, dan perbedaan-perbedaan hanya ada diantara perencanaan yang baik dan perencanaan yang buruk, antara perencanaan yang bijak penuh pertimbangan dan perencanaan yang bodoh tanpa pertimbangan189.”
Bahwa manusia selalu ingin mengatasi problemnya dengan cara serasional mungkin. Cara rasional tersebut ialah perencanaan. Dan semua tindakan politik haruslah tindakan perencanaan. Tindakan perencanaan –sebagai cara menyelesaikan problem secara rasional—ialah pemanfaatan yang rasional atas sumber-sumber daya kita memerlukan arah dan organisasi terpusat atas semua kegiatan kita menurut suatu “cetak biru” yang dikonstruksi dengan sadar190.
Problem manusia dalam paham individuaistik-liberalistik ialah monopoli, dan dalam madzhab kolektivisme, monopoli harus ditekan melalui kontrol negara191. Monopoli industri yang dibiarkan, akan melahirkan penindasan dan penghisapan individu pada individu lain, dan karena itu negara –dalam paham kolektivisme—harus mengambil alih dengan kekuasaan yang dimilikinya. Negara harus diberi wewenang untuk menjalankan sistem tujuan-tujuan tersendiri dan sarana-sarana tersendiri untuk merealisasi tujuan-tujuan bersama mereka (individu-individu)192.
Hak atau kebebasan negara untuk menjalankan sistem tujuan-tujuan dan
sarana itu dibatasi oleh sebuah kesepakatan dari individu-individu tersebut.
Kesepakatan individu-individu itu terumuskan dalam sebuah wadah kenegaraan
atau lembaga negara.
188 Ibid, hlm. 42. 189 Ibid, 190 Ibid, hlm. 43. 191 Ibid, hlm. 50. 192 Ibid, hlm. 74.
105
Oleh sebab itu Staats idee kolektivisme yang disepakati oleh para founding
fathers telah menempatkan individu secara keseluruhan (rakyat) sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara.
Dari berbagai teori kolektivisme tersebut di atas, dan gagasan founding
fathers terkait citanegara Indonesia, maka dapat melihat bangunan kenegaraan
Indonesia :
1) Keberadaan MPR sebagai penjelamaan kedaulatan rakyat merupakan
representasi individu untuk menyepakati batas-batas kewenangan
negara (Pasal 1 UUD 1945).
2) Garis Besar Haluan Negara, merupakan cetak biru arah perkembangan
negara yang dibuat oleh representasi individu (rakyat) (Pasal 3 UUD
1945).
3) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama, atas dasar
kekeluargaan, bukan ekonomi liberal (Pasal 33 UUD 1945).
4) MPR sebagai lembaga tertinggi negara, membuat perencanaan untuk
mendistribusikan kekuasaannya pada Presiden, DPR, BPK, MA, DPA
(Pasal 4, 5, 16, 19, 23, 24 UUD 1945).
5) Negara bertanggungjawab terhadap kelompok-kelompok miskin atau
kelompok rentan (Pasal 27, 31, 34 UUD 1945).
6) Negara membuat prencanaan tentang pelaksanaan individu untuk
beribadah (Pasal 29 UUD 1945).
106
Ciri masyarakat kolektif, yang lebih mengedepankan musyawarah juga
tercermin dalam semua proses politik. Dan semua individu memiliki hak dan
kewajiban untuk menyampaikan perencanaan-perencanaannya, baik melalui
lembaga politik maupun lembaga non politik.
Djadi dengan lain perkataan ,”Maje1is Permusjawaratan Rakjat” jalah penjelenggara negara jang tertinggi, maka oléh karana itu harus bersifat pendjelmaan rakjat sendiri, pendjehnaan seluruh rakjat. Dan oléh kareua itu djuga jang dikehendaki oléh pauitia, jalah bahwa Madjelis Permusjawaratan Rakjat itu hendak dibeutuk sedemikian, sehingga betul-betu1 seluruh rakjat mempuujai Wakil disitu.
“Madje1is Permusjawaratan Rakjat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat ditambah dengan utusan-utusan dari daérah-daérah dan golongan-gobngan menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang”.
Djadi dengan pasal ini, dengan ajat ini, panitia berkejakinan, bahwa se1uruh rakjat, seluruh golongan, seluruh daérah-daérah akan mempunjai wakil dalam Madjelis Permusjawaratan Rakjat itu, sehingga madjelis itu mémang dapat dianggap sebagai betul-betu1 pendjehnaan rakjat, jang memegang kedaulatan rakjat193.
Di lembaga politik, komposisi keanggotaan MPR yang terdiri dari tiga
unsur, jelas merupakan bentuk kebijaksanaan untuk mengayomi seluruh warga
negara. Tiga golongan itu ialah golongan politik (berasal dari partai politik yang
duduk di DPR), golongan agama dan fungsional (Utusan Golongan), dan
golongan masyarakat di daerah, masyarakat adat, maupun kelompok minoritas
(Utusan Daerah).
Dengan argumen tersebut, maka terlalu gegabah bila menilai konstruksi
dalam UUD 1945, mengandung paham Integralistik-Soepomo yang dipengaruhi
oleh unsur Hegelian. Penolakan atas anggapan tersebut bisa dilihat dari: 193 M. Yamin, Naskah Persiapan, Op.Cit…. hlm. 308
107
1) Staatsidee yang disepakati bukan integralistik karena secara tekstual
dalam UUD 1945 tidak tertulis paham integralistik, melainkan
kesatuan194 atau kekeluargaan195.
2) Soepomo juga tidak serta merta menerima gagasan Hegelian murni,
namun ia cenderung menggunakan ciri asli masyarakat Indonesia.
Hegel merekomendasikan pemimpin absolut, sedang Soepomo dan
juga anggota BPUPKI yang lain mengutamakan kedaulatan rakyat196.
Kepala pemerintahan yang disebut presiden merupakan mandataris
MPR. Bahkan, Presiden tidak dapat membubarkan parlemen197, jelas
merupakan fakta bahwa UUD 1945 tidak menganut paham Hegelian
yang cenderung otoritarian.
3) Konstruksi negara yang tercermin dalam pasal-pasal UUD 1945
cenderung menggunakan paham kolektivisme, paham perencanaan,
dengan kontrol terpusat dari negara untuk kepentingan masyarakat.
Kontrol negara pun dibatasi dengan kesepakatan oleh individu atau
rakyat. Konsep ini lebih mendekati teori kontrak sosial- John Locke.
4) Dari tiga rumusan di atas, maka benarlah pendapat anggota BPUPKI,
yang menyatakan bahwa Negara Indonesia Merdeka ialah tidak
mengikuti salah satu bentuk negara yang sudah ada, melainkan sesuai
dengan ciri masyarakat Indonesia. Bahwa konstruksi negara Indonesia
194 Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 195 Sebagai sistem perekonomian nasional, Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 196 M. Yamin, Naskah Persiapan, op.cit 197 M. Yamin, Naskah Persiapan, op.cit hlm 39. Rumusan tersebut disebut sebagai Penjelasan UUD 1945, yang dalam amandemen UUD, penjelasan tersebut dihapus
108
mengambil dari berbagai sumber yang baik dan sesuai dengan ciri
masyarakat Indonesia.
2. MPR Sebagai Penjelmaan Kedaulatan Rakyat
Karena sidang BPUPKI itu merupakan sidang pembentukan atau
perumusan negara Indonesia, maka untuk melihat bentuk negara Indonesia harus
merujuk pada pemikiran yang berkembang dalam sidang BPUPKI. Terkait dengan
pembahasan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, maka sidang BPUPKI
telah menyepakati Indonesia adalah negara dengan pemerintahan rakyat
(Republik). Keputusan untuk menentukan bentuk negara Indonesia,–seperti
dilaporkan oleh Dasaad, selaku ketua tim kecil, yang telah melakukan
pemungutan suara, hasilnya 55 suara memilih republik, 6 suara memilih bentuk
kerajaan 6, bentuk lain 2 suara, dan belangko 1 suara198.
Republik, pemerintahan oleh rakyat, menjadi dasar bahwa negara
Indonesia yang akan didirikan mengakui kedaulatan rakyat. Anggota BPUPKI
bersepakat bahwa kedaulatan rakyat merupakan pondasi utama bangsa Indonesia.
Dan bentuk kedaulatan rakyat dalam negara Indonesia, menurut para founding
fathers, harus mencerminkan kehidupan asli bangsa Indonesia, bukan kedaulatan
rakyat berdasarkan teori atau mencontoh negara Barat. Dan bentuk kedaulatan
rakyat yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia itu, dirumuskan secara tepat oleh
BPUPKI.
198M. Yamin Op.cit hlm. 184.
109
Menurut Soepomo, bentuk kedaulatan rakyat Indonesia : “….Negara
tidak lain ialah seluruh masyarakat atau seluruh rakyat Indonesia sebagai
persatuan yang teratur dan tersusun199…negara ialah suatu susunan masyarakat
yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan
erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis200.
Pemikiran ini didasarkan pada prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan
prinsip persatuan dalam negara seluruhnya. Bagi Soepomo, konsep negara seperti
ini cocok dengan alam pikiran ketimuran. Lagi menurutnya, pemikiran ini juga
didasarkan pada struktur sosial masyarakat Indonesia yang asli yang terdapat di
desa-desa di Indonesia. Bagi Soepomo, hal itu tidak lain merupakan ciptaan
kebudayaan Indonesia sendiri201.”
Anggota BPUPKI bersepakat bahwa negara Indonesia mengakui
kedaulatan rakyat, bukan hanya secara formal (melalui pemilihan umum), tapi
juga substansial (pemerintah memiliki kewajiban untuk menyejahterakan rakyat).
Dan paham kedaulatan rakyat Indonesia, seperti dikatakan oleh Soekarno, adalah
rakyat keseluruhan, bukan kedaulatan individu202.
Dari perdebatan di BPUPKI tentang bentuk kedaulatan rakyat itu, maka
terumuskanlah konsep kedaulatan rakyat bercitarasa Indonesia dalam Pasal 1 ayat
2 UUD 1945, “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Dengan rumusan itu, maka
199Ibid, hlm. 114. 200Ibid, hlm. 111. 201Ibid, hlm. 112. 202Ibid, hlm. 297.
110
sesungguhnya Indonesia mengakui kedaulatan berada di tangan rakyat, dan untuk
melaksanakan agar kedaulatan itu benar-benar dilaksanakan, tidak diselewengkan
menjadi kedaulatan satu orang atau sekelompok orang/golongan, maka kedaulatan
itu dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, mengatakan:
“Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara”semua buat semua”,”satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan203……… Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan dan permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.204” Pada bagian lain Soekarno mengatakan,
“….kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ekonomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan social! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya. Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid205.
203M. Yamin, Op.cit hlm. . . 74 204Ibid, 205M. Yamin Op.Cit… hlm. 76-77.
111
Dengan konsepsi seperti itu, maka dapat disimpulkan bahwa citanegara
atau staatsidee Indonesia adalah kolektivistik, kekeluargaan, atau gotong royong.
Dalam perjalanannya, istilah gotong royong jarang digunakan. Dalam penjelasan
UUD 1945206, citanegara Indonesia disebutkan sebagai:
“Negara” --begitu bunyinya—melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia207.
Konstruksi ketatanegaraan Indonesia yang terumuskan dalam UUD 1945,
merupakan gagasan genuine bangsa Indonesia, sehingga tidak memiliki padanan
dengan negara lain. Hal mendasar yang menjadi bingkai Indonesia modern ialah
kekuasaan tertinggi di tangan rakyat.
Mekanisme bagi rakyat untuk melaksanakan kedaulatannya ialah melalui
sebuah majelis yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
1) Kekuasaan negara menggunakan sistem Distribution of Power.
Karena hakekatnya MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat, MPR
yang memiliki kekuasaan tertinggi, maka MPR lah yang punya
kewenangan untuk mendistribusikan kekuasaan untuk menjalankan
negara. Oleh MPR kekuasaan didistribusikan :
a. Eksekutif pada Presiden
b. Legeslatif pada DPR
206 Penjelasan, menurut beberapa sumber oleh Soekarno diserahkan pada Soepomo.
Sebenarnya bukan hanya Penjelasan, tapi Soepomo diberi tugas untuk melakukan finalisasi draft UUD 1945.
207 Ibid, hlm. 35.
112
c. Yudikatif pada Mahkamah Agung
d. Konsultatif pada Dewan Pertimbangan Agung
e. Auditif pada Badan Pemeriksa Keuangan
2) Karena masing-masing pemegang kuasa itu memperoleh kekuasaan
dari MPR, maka diantara mereka tidak bisa saling menjatuhkan seperti
di negara liberalistik-individualistik. Di antara mereka hanya
menjalankan fungsi check and balances. Hal itu sekaligus
menyiratkan kuatnya gagasan kolektivisme.
Anggota MPR seluruhnya dipilih. Namun mekanisme pemilihannya tidak
tunggal, ada tiga sistem pemilihan anggota MPR menurut UUD. Ketiga sistem itu:
1) Dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum anggota DPR.
Dengan sistem kepartaian yang dianut di Indonesia, maka calon
anggota MPR yang berasal dari anggota DPR, diusulkan oleh partai
dan ditawarkan kepada rakyat untuk dipilih. Mereka mewakili
kepentingan ideology partai dari daerah tertentu.
2) Dipilih oleh organisasi profesi dan organisasi keagamaan, atau oleh
kelompok masyarakat yang diakui oleh negara. Mereka mewakili dan
menyuarakan kepentingan kelompok fungsional, kelompok agama,
ataupun kelompok lain yang diakui.
3) Dipilih oleh masyarakat suatu daerah, untuk mewakili dan
menyuarakan kepentingan rakyat di daerah yang diwakili.
113
Tiga mekanisme untuk melaksanakan kedaulatan rakyat itu juga sangat
khas Indonesia. Tiga mekanisme tersebut, bertujuan agar segala lapisan dan segala
golongan masyarakat dapat terwakili. Menurut M. Yamin,
“Kekuasaan yang dipegang oleh permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia diduduki, tidak saja oleh wakil daerah-daerah Indonesia, tetapi juga oleh wakil golongan atau rakyat Indonesia seluruhnya, yang dipilih dengan bebas dan merdeka oleh rakyat dengan suara terbanyak208”
Pertanyaan berikutnya, bagaimana MPR dapat melaksanakan kedaulatan
rakyat? Siapa dan melalui mekanisme seperti apa MPR melaksanakan kedaulatan
rakyat?
Di dalam konsepsi negara modern, demokrasi (dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat) secara langsung tidak mungkin dilaksanakan. Karena itu
dilaksanakan berdasarkan sistem ‘demokrasi tidak langsung’ (indirect
democracy). Dengan demokrasi tidak langsung, meskipun tidak seluruh rakyat
memerintah, akan tetapi beberapa orang menjadi wakil rakyat, setidaknya dapat
dianggap sebagai orang-orang yang dapat menyuarakan kehendak rakyat. Dalam
bahasa politis, aspirasi rakyat, yang merupakan kehendak atau setidak-tidaknya
sebagian dari kehendak itu direalisasikan sesuai dengan apa yang menjadi
kehendaknya. Hal inilah yang secara mendasar melahirkan sistem perwakilan di
dalam pemerintahan209. Kesepakatan yang diberikan oleh rakyat dengan
mekanisme keterwakilan itu, sebenarnya adalah unsur esensial yang selalu
menjadi dasar keputusan yang harus dibuat oleh para wakil. Mereka harus
berpegang kepada mandat yang diberikan oleh rakyat. Para wakil itu merupakan
208 M. Yamin, Naskah Persipan Op.Cit…. hlm. 203. 209Ibid, hlm. 18.
114
orang-orang pilihan yang harus bersikap amanah dalam arti benar-benar
menjalankan komitmen yang dibuat bersama rakyat yang diwakili. Mereka tidak
boleh menyelewengkan mandat yang diberikan oleh rakyat. Wakil harus selalu
bertindak untuk dan atas nama rakyat yang diwakili.
C. Whalke berpendapat ada tiga jenis hubungan antara wakil dan
terwakil210 :
1) Trusoe atau wakil Wakil mempunyai kebebasan yang luas (a free agent role) untuk mempergunakan pertimbangan sendiri dalam rangka pengambilan keputusan di lembaga perwakilan. Wakil menganggap dirinya sebagai wakil dari seluruh rakyat. Oleh karena itu, keputusannya dipandang sebagai refleksi dari kehendak rakyat.
2) Delegate Sevant atau utusan / pesuruh Wakil harus selalu berkonsultasi terlebih dahulu dengan terwakil sebelum mengambil keputusan atau sikap, terutama mengenai masalah-masalah yang prinsipil atau hal-hal yang sifatnya baru. Segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah keterwakilan dimusyawarahkan dan diputuskan dalam perundingan tersebut.
3) Politico atau bebas Wakil tidak harus melakukan perundingan dengan terwakil. Perwakilan bersifat menyeluruh tanpa terkecuali dalam masalah apapun. Wakil dapat bersifat bebas, artinya ‘dapat” bukan berperan sebagai delegate-servant atau tidak bergantung pada keadaan atau masalah yang dihadapi.
Selain tiga teori di atas, Gilbert Abcarian dan George S. Massanaut
menambahkan teori Partisan atau mewakili partai politik, yaitu wakil
menyuarakan pendapat organisasi politik yang mencalonkannya menjadi anggota
badan perwakilan rakyat. Partisan merupakan pendukung partai politik, tetapi
cenderung hanya dimanfaatkan ketika menjaring suara untuk memperoleh
kedudukan. Antara wakil dengan terwakil ada jembatan yaitu organisasi politik.
210 Ibid, hlm. 21-22.
115
Kehendak terwakil justru sering tidak sama dengan kepentingan organisasi politik,
meskipun normatifnya dibahasakan dengan tujuan yang sama.
Lebih jauh, A. Hoogerwerf mengemukakan 5 (lima) model hubungan
antara wakil dan terwakil, khususnya pada dimensi lembaga perwakilan negara.
Model yang pertama, kedua dan ketiga sama seperti yang dikemukakan oleh C.
Whalke dkk, model keempat disebut dengan model kesatuan, yakni seorang wakil
rakyat adalah wakil seluruh rakyat, begitu menjadi seorang wakil, dirinya
mewakili konstituen yang bukan semata pemilih yang menentukan dirinya sebagai
seorang wakil. Model kelima disebut dengan model diversifikasi, yakni seorang
wakil dilihat sebagai wakil dari kelompok teritorial, sosial atau politik tertentu,
atas dasar keterwakilan yang mendudukkan dirinya. Keterwakilan menurut teori
ini bisa didasarkan atas teritorial atau wilayah, kelompok sosial atau keagamaan
tertentu ataupun pada pengelompokan karena afiliasi politik yang secara formal
dibentuk melalui sistem kepartaian dalam administrasi pemerintahan211.
Di sisi yang lain, A.H. Birch mendeskripsikan tentang otoritas para wakil
dalam wilayah keterwakilannya (mandat) itu dalam konsep212:
a) The concept of delegated representation. Menurut konsep ini, seorang wakil adalah agen/perantara atau juru bicara yang bertindak atas nama yang diwakilinya. Menurut pengertian ini, wakil tersebut tidak boleh melampaui otoritas atau kuasa yang diberikan ke padanya. Otoritas yang dilimpahkan kepada wakil adalah kekuasaan sebagaimana pada awal kesepakatannya.
b) The concept of microcosmic representation.
211 Ibid, hlm. 23. 212 Toni Andrianus Pito, Dkk, Mengenal Teori-Teori Politik Dari Sistem Politik Sampai Korupsi, Nuansa : Bandung, 2006, hal. 108-109
116
Konsep ini hanya menunjukkan bahwa sifat-sifat wakil itu mempunyai kesamaan dengan sifat-sifat golongan atau kelas orang-orang tertentu yang diwakilinya. Konsep ini tidak ada hubungannya dengan masalah kuasa atau hal-hal yang harus dilakukannya. Artinya bahwa seorang wakil berada pada posisinya tersebut karena kepentingan tertentu yang bersifat organisatoris. Tidak didasarkan pada keterwakilan yang bersifat substansial.
c) The concept of symbolic representation. Konsep ini hanya menunjukkan bahwa wakil yang bersangkutan melambangkan identitas//kelas orang-orang tertentu yang diwakilinya. Konsep ini juga tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah kuasa atau hal-hal yang dilakukannya. Otoritas keterwakilannya hanya bersifat administratif dan temporer. Misalnya dalam upacara penyambutan seorang tamu negara, di antara penyambut tamu dianggap mewakili semua golongan penduduk yang dipandang berkepentingan dengan kehadiran tamu tersebut. Di dalam dimensi perwakilan politik, ketiga model otoritas perwakilan itu tidak bersifat aplikatif, bagi seorang wakil di bidang politik belum tentu dapat dimasukkan pada ketiga model tersebut. Maka muncul pendapat keempat.
d) The concept of elective representation. Seorang wakil pada dasarnya bertindak merepresentasikan pemilih, padahal secara substantif pemilih tidak pasti secara konkrit menentukan pilihan pada dirinya. Artinya, pilihan yang dijatuhkan bisa bersifat temporer, atau karena alasan tertentu yang sejatinya tidak ada hubungan dengan kehendak yang ingin disalurkan sebagai dasar perwakilan. Otoritas yang menjadi dasar substansi keterwakilan belum menjelaskan mengenai hubungan antara wakil dan mereka yang memilih. Hubungannya bersifat abstrak dan sekedar memenuhi persyaratan administratif dalam politik.
Dengan berbagai teori yang membahas hubungan antara rakyat dan wakil
rakyat sebagai pelaksanaan bentuk kedaulatan rakyat yang diurai di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia yang dikehendaki oleh para pendiri
bangsa, dalam hal pelaksanaan kedaulatan rakyat menganut demokrasi langsung
dan demokrasi perwakilan.
Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy)
dilakukan melalui pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat, baik yang berada
di pusat maupun daerah. Sedang penyaluran kedaulatan secara tidak langsung
117
yaitu melalui sistem perwakilan. Dalam lembaga perwakilan itu kedaulatan rakyat
diwujudkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Baik demokrasi dengan model langsung maupun perwakilan, secara
substantif memiliki dasar teoritik, dan merupakan pilihan berdasarkan kondisi
sosial, politik tiap negara. Dan Indonesia dengan prinsip masyarakat kolektif
memilih menggunakan dua model: langsung dan perwakilan.
Dari pembicaraan dalam sidang BPUPKI, dapat disimpulkan model
penyaluran kedaulatan rakyat di Indonesia, yang menggunakan cara asli Indonesia
yang bersifat kolektif213, dapat dijabarkan:
1) Rakyat memilih wakil untuk melaksanakan kedaulatannya
2) Wakil rakyat, merupakan cerminan seluruh penduduk, seluruh
golongan, seluruh agama, seluruh daerah Indonesia. Sehingga
komposisi wakil rakyat sebagai pelaksana kedaulatan ialah wakil dari
masyarakat politik, wakil dari masyarakat kedaerahan dan wakil dari
masyarakat menurut golongan.
3) Wakil dari masyarakat politik, menjalankan aspirasi rakyat dalam
bidang politik. Untuk menjalankan tugas itu maka dibentuk partai
politik. Partai politik memiliki garis perjuangan dan ‘ideologi’. Rakyat
yang memiliki ideology tertentu dan sependapat dengan garis
perjuangan partai tersebut akan memilih wakilnya yang berasal dari
partai tersebut.
213 M. Yamin, Naskah Persipan Op.Cit…. hlm. 308-309
118
4) Wakil dari masyarakat kedaerahan, yaitu rakyat memilih orang-orang
yang berasal dari daerah yang sama dengan dirinya. Bisa juga memilih
orang yang memiliki kesamaan adat-istiadat.
5) Sedang wakil dari golongan, ialah rakyat memilih wakilnya dari
orang-orang yang satu golongan baik golongan berdasar agama,
gender, usia, maupun profesi.
6) Dengan komposisi seperti itu, maka permusyawaratan yang dilakukan
bukan hanya dilakukan oleh masyarakat politik, tapi juga masyarakat
yang memiliki kesadaran berdasar kedaerahan dan golongan.
Kesadaran politik, kesadaran kewilayahan, dan kesadaran berdasar
agama, usia, gender dan profesi ini, diyakini akan memiliki
kebijaksanaan atau hikmah untuk bermusyawarah. Karena bila hanya
dari masyarakat politik, dimana ciri dasar politik adalah memiliki
ambisi kekuasaan (politis). Hal itu dianggap tidak bijaksana.
3. MPR dan Kedaulatan Rakyat Menurut UUD 1945
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh
MPR.” Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Seperti
sudah disinggung di bagian sebelumnya, bahwa kedaulatan rakyat menurut
gagasan para Founding fathers memiliki ciri-ciri:
1) Kedaulatan bagi seluruh rakyat, bukan kedaulatan individu
119
2) Kedaulatan rakyat dilaksanakan secara langsung (pemilihan umum) dan
oleh wakil-wakil rakyat (perwakilan)
3) Bahwa wakil-wakil rakyat terdiri atas unsur politik, kedaerahan, dan
golongan,
4) Para wakil rakyat tersebut, dalam menjalankan amanat rakyat harus
melakukan permusyawaratan, dengan mengedepankan kebijaksanaan
untuk kesejahteraan rakyat, bukan mengedepankan kepentingan
golongan/partai, bukan pula untuk kepentingan orang seorang atau
kelompok.
Empat prinsip itu kemudian dirumuskan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1)
Negara Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik (rakyat sebagai
pemegang kekuasaan). Dan kekuasaan rakyat itu merupakan bentuk kedaulatan.
Oleh sebab itu, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kedaulatan di tangan
rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Para founding fathers memberi harapan besar kepada MPR sebagai
penyelenggara negara, sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan
rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat melaksanakan sepenuhnya kedaulatan
rakyat. Kata sepenuhnya ini menempatkan MPR sebagai lembaga negara yang
mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas, atau menurut rumusan dari penjelasan
UUD 1945, “Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi”.
Dengan demikian maka ketentuan kekuasaan negara yang tertinggi berada di
120
tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Supremacy of people’s consultative
assembly214.
Secara filosofis, MPR diberi kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan
kedaulatan rakyat, karena pada hakekatnya MPR adalah rakyat. MPR terdiri atas
seluruh rakyat Indonesia, mewakili seluruh daerah, seluruh golongan, dan seluruh
aspirasi politik yang berkembang di masyarakat.
Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa dalam keberadaan Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdapat elemen-elemen konsepsi kenegaraan yang
bersifat kombinatif antara tradisi liberalisme dengan sosialisme. Unsur-unsur
keanggotaan MPR juga menggambarkan adanya semangat kombinasi ini, yaitu
terdiri dari anggota DPR (politik), ditambah utusan golongan, dan utusan daerah,
sehingga keseluruhan anggota MPR itu benar-benar diharapkan mencerminkan
dan dianggap benar-benar menjadi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Unsur
anggota DPR mencerminkan prinsip demokrasi politik (Political democracy)
dengan prosedur perwakilan politik (political representation) dalam rangka
menyalurkan aspirasi dan kepentingan seluruh bangsa dan negara, sedangkan
Utusan Golongan mencerminkan Demokrasi ekonomi (economi democracy) yang
didasarkan pada prosedur perwakilan fungsional. Sistem perwakilan fungsional
itu dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan sistem demokrasi politik. Sementara
itu, jika anggota DPR berorientasi nasional untuk kepentingan seluruh bangsa dan
negara, maka Utusan Daerah diadakan untuk menjamin agar kepentingan daerah
214 Dahlan Thaib, Pancasila Yuridis Ketatanegaraan, AMP YKPN, cetakan kedua, 1991,
Yogyakarta, hlm. 84.
121
tidak terabaikan hanya karena orientasi untuk mengutamakan kepentingan
nasional. Dengan demikian keberadaan para anggota Majelis ini benar-benar
mencerminkan seluruh lapisan dan golongan rakyat, sehingga tepat diberi
kedudukan yang tertinggi (Supreme)215.
Muhammad Yamin yang– dalam sidang BPUPKI-- pertama kali menyebut
perkataan majelis. Pada pidato tanggal 29 Mei 1945, Yamin menyebut: Pusat
Parlemen Balai Perwakilan, yang terbagi atas Majelis dan Balai Perwakilan
rakyat. Kemudian dalam pidatonya tanggal 11 juli 1945, Yamin menguraikan:
“Kemudian di hadapan Kepala Negara dan Wakil Kepala Negara itu
adalah Majelis Permusyawaratan untuk seluruh rakyat Indonesia, yaitu yang
menjadi kekuasaan setinggi-tingginya di dalam republik. Kekuasaan yang
dipegang oleh Permusyawaratan oleh seluruh rakyat Indonesia diduduki, tidak
saja oleh wakil daerah-daerah Indonesia, tetapi semata-mata pula oleh wakil
golongan atau rakyat Indonesia seluruhnya, yang dipilih dengan bebas dan
merdeka oleh rakyat dengan suara terbanyak. Majelis Permusyawaratan juga
boleh meliputi segala anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kepada Majelis
Presiden bertanggung jawab. Jadi ada dua syaratnya, yaitu wakil daerah dan wakil
golongan langsung dari pada rakyat Indonesia.” Selanjutnya disebut pula oleh
Yamin: Demikian pula dalam Majelis duduk wakil golongan-golongan rakyat216.
Dalam konteks global, MPR lembaga yang unik karena merupakan
lembaga perwakilan yang kedudukannya di atas parlemen (DPR). Biasanya
215Ibid, hlm. 169. 216M. Yamin, Op.Cit…. hlm. 232-233
122
parlemen dianggap sebagai satu-satunya wadah yang mencakup wakil-wakil yang
dipilih dalam suatu pemilihan umum.217
MPR adalah pemegang kekuasaan negara tertinggi atau Pemegang
kedaulatan rakyat. Sebagai pemegang kekuasaan negara tertinggi, MPR
membawahi lembaga-lembaga negara yang lain218.
Salah satu pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945
yaitu: “Negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dalam
permusyawaratan perwakilan”. Pokok pikiran tersebut sejalan dengan sila ke-IV
Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”. Selanjutnya dijabarkan dalam pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 yang berbunyi: “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat219.
Menurut teori Ilmu hukum Tata Negara, supremasi suatu negara
mengandung dua prinsip penting220:
a. Badan berdaulat itu mempunyai “legal power”, kekuasaan berdasarkan hukum untuk menetapkan segala sesuatu yang telah ditegaskan oleh konstitusi.
b. Di samping itu tidak ada sesuatu otorita tandingan (no rival authority) baik perseorangan atau badan yang mempunyai kekuasaan untuk melanggar atau menyampingkan sesuatu yang telah di diputuskan oleh badan berdaulat itu.
217 Ni’ Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada,
cetakan ke-9, 2014, Yogyakarta, hlm. 160. 218Ibid, hlm. 161. 219 Dahlan Thaib, Pancasila … Op.Cit… hlm. 84. 220Ibid, hlm. 84.
123
Dua prinsip itu memperluas kekuasaan dari badan yang tertinggi terhadap
hal-hal yang walaupun secara tegas tidak/belum diatur dalam konstitusi, tetapi
dapat ditetapkan sendiri oleh badan berdaulat itu seperti halnya dengan ketetapan-
ketetapan atau keputusan-keputusan221.
Rumusan “Kedaulatan di tangan rakyat” menunjukkan bahwa kedudukan
dari rakyatlah yang paling menonjol, paling top dan paling sentral. Namun karena
seluruh rakyat Indonesia tidaklah mungkin berkumpul seluruhnya di suatu saat
dan pada suatu tempat untuk bermusyawarah mengenai kenegaraan/pemerintah,
maka kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu dilakukan sepenuhnya oleh
MPR. Oleh karena itu MPR harus menjamin sepenuhnya pelaksanaan kedaulatan
tersebut.222
Sebagai lembaga tertinggi negara, dan sebagai penjelmaan sekaligus
pelaksana kedaulatan rakyat, MPR dapat membagi-bagikan sebagian
kekuasaannya secara operasional kepada lembaga-lembaga tinggi negara di
bawahnya (Distribution of Power). Namun tidak berarti bahwa setelah
pendelegasian kekuasaannya kepada lembaga-lembaga negara lainnya MPR tidak
mempunyai kekuasaan lagi. Bagaimanapun kekuasaan itu tetap ada; hal ini dapat
dibuktikan bahwa MPR masih mengadakan sidang-sidangnya223. MPR juga
melakukan pengawasan pada pemegang kekuasaan, karena MPR dapat meminta
221 Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, LIBERTY, Cetakan
Pertama, 1994, Yogyakarta. hlm. 15. 222Ibid, hlm. 16. 223Ibid, hlm. 20.
124
pertanggungjawaban presiden, dan dapat memberhentikan presiden bila dinilai
melanggar UUD.
Oleh M. Yamin224MPR dinilai sebagai lembaga yang ideal, karena ada tiga
hal dasar dalam permusyawaratan:
a. Karena dengan dasar musyawarat itu manusia memperhalus perjuangan dan bekerja di atas jalan Ketuhanan dengan membuka pikiran dalam permusyawaratan sesama manusia.
b. Oleh Permusyawaratan, maka negara tidaklah dipikul oleh seseorang manusia atau pikiran yang berputar dalam otak sebuah kepala, melainkan dipangku oleh segala golongan, sehingga negara tidak berpusing disekeliling seorang insan, melainkan sama-sama membentuk negara sebagai suatu batang tubuh, yang satu-satu sel mengerjakan kewajiban atas permufakatan yang menimbulkan perlainan atau perbedaan kerja, tetapi untuk kesempurnaan seluruh badan.
c. Permusyawaratan mengecilkan atau menghilangkan kekhilafan pendirian atau kelakuan orang-seorang, permusyawaratan membawa negara kepada tindakan yang betul dan menghilangkan segala kesesatan225.
Sedangkan Soepomo juga jelas menyebutkan, “supaya pimpinan negara
terutama Kepala Negara terus-menerus bersatu jiwa dengan rakyat, dalam susunan
pemerintahan Negara Indonesia, harus dibentuk sistem badan permusyawaratan.
Kepala negara akan terus bergaulan dengan badan permusyawaratan supaya
senantiasa mengetahui dan merasakan rasa keadilan rakyat dan cita-cita
rakyat”226.
Rumusan tersebut akhirnya berwujud pada terbentuknya Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam UUD 1945.
224Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid Pertama, 1959. Jakarta. hlm.
94-95. 225M. Yamin, Op.Cit…. hlm. 95. 226Muhammad Yamin, Naskah Persiapan … Op.Cit…. hlm. 119.
125
Sistem ini lahir dari pemikiran asli bangsa Indonesia yang bercirikan gotong
royong, kekeluargaan, dan kolektivisme, yang menolak paham individualistik
karena tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia.
Individualisme liberal, bermula dari premis bahwa kebebasan individu
merupakan nilai utama yang harus dilindungi oleh pemerintah. Dikemukakan juga
bahwa hak kepemilikan pribadi harus dilindungi oleh negara. Pandangan ini
dikembangkan menjadi teori Demokrasi Politik, yang mengharuskan negara
menjamin kebebasan sipil dan hak-hak politik secara sama bagi setiap orang227.
Pandangan kaum individualistik liberal ini telah dikritik, konsepsinya
tentang manusia sebagai individu yang asosial dan egois, yang motivasi utamanya
dalam bertindak adalah pemenuhan kepentingan sendiri. Pandangan ini dituduh
sebagai tidak memperhatikan kooperasi sosial atau kepentingan umum dari semua
individu, kecuali mungkin hanya memandangnya sebagai agregasi kepentingan
pribadi tiap-tiap individu dan oleh karenanya hanya sebagai alat untuk
memuaskan kepentingan-kepentingan pribadi tersebut. Individualisme liberal
gagal menangkap sifat sosial kegiatan manusia atau bahkan melegitimasi model-
model prilaku yang antisosial dan keakuan-sesuatu yang dapat diterima oleh
moral.228
Secara prinsip, demokrasi liberal-individual ditolak, maka para founding
fathers merumuskan demokrasi kolektivisme dalam Undang-Undang Dasar
227Carol C. Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali. Tiara Wacana, cetakan pertama. 1993.
Yogyakarta. hlm. 4. 228 Ibid, hlm. 4.
126
(UUD) 1945. Rumusan tersebut menghasilkan enam lembaga negara, yaitu
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Presiden, Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dari enam lembaga negara tersebut, hanya
MPR saja yang bersifat khas Indonesia. DPR dapat dikaitkan dengan sejarah
Volksraad (Dewan Rakyat), Presiden tak lain adalah pengganti lembaga
Gouvernuur General, MA berkaitan dengan Landraad dan Raad van Justitie di
Hindia Belanda, serta Hogeraad yang ada di negeri Belanda. BPK berasal dari
Raad van Rekenkamer, dan DPA berasal dari Raad van Nederlandshce Indie yang
ada di Batavia atau Raad van State di negeri Belanda.
Pada waktu disusun, para perumus UUD 1945, bersepakat bahwa UUD
1945 memang tidak didasarkan atas teori trias politica yang memisahkan secara
tegas antar tiga cabang kekuasaan. Logika yang dibangun dalam hubungan ini
adalah UUD 1945, memang tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan yang
bersifat horizontal, melainkan teori pembagian kekuasaan yang bersifat vertical.
Maksudnya ialah bahwa sistem kekuasaan atau kedaulatan rakyat yang dianut
bangsa Indonesia pertama-tama diwujudkan secara penuh oleh MPR sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Dari majelis yang terhormat inilah
kekuasaan rakyat dibagi-bagikan ke dalam fungsi-fungsi lembaga Presiden
(pemerintah) yang merupakan pihak eksekutif dan lembaga DPR sebagai
127
pengendali atau pengawas. Sedangkan fungsi legislatif dibagikan secara seimbang
antara Presiden dan DPR.229
Ketika pertama kali didirikan pada tahun 1945, struktur parlemen negara
kita diidealkan berkamar tunggal (unicameral) tetapi dengan variasi yang
dikaitkan dengan teori kedaulatan rakyat yang dibayangkan dapat diorganisasikan
secara total ke dalam suatu organ bernama MPR. MPR sebagai pelaku
sepenuhnya kedaulatan rakyat, sehingga diidealkan menjadi lembaga tertinggi
dalam bangunan organisasi negara230. DPR ditentukan sejajar/sederajat dengan
kedudukan Presiden sebagai penyelenggara negara tertinggi di bawah MPR.
Dengan sistem pemerintahan campuran.
Lembaga legislatif dalam teori trias politica adalah kekuasaan untuk
membentuk undang-undang. Dalam konteks keindonesiaan, siapakah pembuat
UU itu? Bila merunut pada pembahasan BPUPKI, kekuasaan yang diberi hak
membuat UU adalah MPR disebut Ketetapan (TAP) MPR, DPR dan pemerintah
dalam bentuk UU.
4. Tugas Pokok MPR
Sebagai penjelmaan rakyat, MPR memiliki fungsi sebagai pelaksana
kedaulatan rakyat. Seperti yang diungkapkan oleh Ferrazi, kewenangan sebagai
hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi
229 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan … Op.cit…. hlm. 217. 230Ibid, hlm. 157.
128
pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan pengawasan
(supervisi) atau suatu urusan tertentu231.
1) MPR memiliki fungsi pengaturan dan standarisasi, yaitu membuat dan menetapkan aturan yang mengikat seluruh rakyat Indonesia. Bentuknya berupa UUD dan Ketetapan MPR. Termasuk dalam fungsi ini adalah mendistribusikan kewenangannya pada lembaga negara di bawah MPR: Presiden, DPR, DPA, MA, BPK. Lembaga tinggi negara itu berkewajiban mengikuti aturan UUD dan TAP MPR. Khusus kepada DPR, lembaga itu memiliki kewajiban untuk membuat undang-undang untuk menerjemahkan TAP MPR. Sedang TAP MPR sendiri merupakan penerjemahan dari pasal-pasal UUD.
2) Fungsi pengurusan yaitu MPR memiliki kewajiban agar negara benar-benar menjalankan fungsinya untuk mencapai cita-cita negara, yaitu kesejahteraan masyarakat. Fungsi mengawal negara untuk kesejahteraan rakyat itu dalam UUD dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang akan dijalankan oleh pemerintah.
3) Fungsi pengawasan dilakukan dengan jalan meminta pertanggungjawaban presiden, dan memberhentikan presiden bila presiden melakukan pelanggaran UUD. Fungsi pengawasan juga dapat dilakukan atas produk-produk hukum di bawah UUD dan TAP MPR. Apabila DPR tidak menjalankan fungsi membuat UU sebagai penerjemahan TAP MPR, atau UU yang dibuat menyalahi TAP MPR dan UUD, maka MPR menjalankan fungsi pengawasannya dengan melakukan yudisial review. Karena hanya organ pembuatlah yang mengetahui dengan sahih produk yang di buatnya.
Dengan penjelasan teoritik tersebut, maka para founding fathers
merumuskan tugas MPR:
1) Membuat dan menetapkan UUD (fungsi pengaturan)
2) Membuat GBHN.
3) Memilih dan Memberhentikan Presiden (distribution of power).
4) Merupakan tugas yang secara otomatis muncul karena tiga
kewenangan yang diberikan di atas, ialah kewenangan membuat
Ketetapan MPR/ TAP MPR.
231Ganjong, Pemerintahan Daerah … Op.cit, hlm. 93.
129
BAB IV
ANOMALI MPR SEBAGAI PENJELMAAN KEDAULATAN RAKYAT PASKA AMANDEMEN UUD 1945
1. MPR Paska Perubahan UUD
MPR hasil Pemilu 1999, seolah mendapat beban berat untuk melaksanakan
amanat reformasi, salah satu diantaranya ialah mengubah UUD 1945. Karena
UUD 1945 “dituduh” menjadi biang keladi permasalah bangsa Indonesia selama
kekuasaan Orde Baru. Oleh sebab itu, semua pasal dalam UUD 1945 yang dinilai
memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan harus diubah. Mengubah seluruh
pasal yang dinilai memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan itu menjadi spirit
utama perubahan UUD 1945.
Spirit tersebut tampak dalam sidang-sidang pembahasan Perubahan UUD
1945, baik pada saat sidang komisi, sidang di Panitia Ad Hoc (PAH), maupun
Sidang Paripurna MPR232. Karena argumen untuk membatasi kekuasaan lebih
dominan maka yang menjadi fokus pembahasan anggota MPR, termasuk mereka
yang duduk di dalam Panitia Ad Hoc, ialah membatasi kekuasaan eksekutif.
Pembatasan kekuasaan eksekutif ini berkaca dari pemerintahan Orde Baru,
Presiden dinilai telah berlaku otoriter dan hegemonik. Kekuasaan pemerintah
Orde Baru yang otoritarian itu tidak boleh lagi terjadi di Indonesia paska
reformasi. Otoritarian Orde Baru yang paling terlihat ialah dengan melakukan
232 Soal perdebatan ini bisa dibaca dalam Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi : 2010.
130
konsolidasi kekuasaan melalui lembaga-lembaga negara. Seluruh lembaga
tertinggi maupun tinggi negara dikonsolidasi oleh Pemerintah Orde Baru untuk
melanggengkan kekuasaannya.
Pemerintah Orde Baru memang mendasarkan semua tindakannya untuk
mengkonsolidasi kekuasaan dengan menggunakan UUD 1945 dan Penjelasannya.
Dan hal itu yang menurut anggota MPR RI hasil Pemilu 1999, harus diubah.
Sistem otoritarian, dominasi eksekutif atas organ-organ negara, harus diganti
dengan sistem yang lebih demokratis. Kekuasaan negara harus dikembalikan pada
pemiliknya yang asli: rakyat.
Gagasan mengembalikan kekuasaan pada rakyat, tentu saja merupakan
gagasan yang penting dan mutlak dilakukan, karena sejatinya kedaulatan berada
di tangan rakyat. Namun gagasan besar itu tidak ditopang oleh perencanaan yang
memadai233, pertimbangan yang matang234, dan tidak melihat UUD sebagai satu
kesatuan utuh235. Dan hasil dari Perubahan UUD dengan tiga kondisi itu
menyebabkan perubahan secara mendasar bangunan ketatanegaraan di
Indonesia236, dan pada akhirnya menimbulkan anomali.
Perubahan mendasar yang dilakukan ialah, pertama, MPR tidak lagi
berfungsi sebagai 'supreme body' yang memiliki kewenangan tertinggi dan
233 Hanya setahun setelah Reformasi, dengan diadakannya Pemilu 1999 dan terbentuk
MPR baru, langsung diadakan agenda Perubahan UUD. Dengan urutan waktu tersebut, dapat dipahami bila MPR tidak memiliki perencanaan yang memadai untuk melaksanakan agenda Perubahan UUD.
234 Pertimbangan yang dominan hanyalah mengakhiri pembenaran kekuasaan otoriter dengan UUD 1945. UUD 1945 sekali lagi, “dituduh” menjustifikasi kekuasaan yang otoriter, dank arena itu harus dipangkas pasal-pasal dalam UUD 1945 yang memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan.
235 Perubahan UUD 1945 oleh MPR dilakukan secara parsial 236 Perubahan bangunan mendasar itu tidak dilakukan berdasarkan kajian yang
komprehensif atas bentuk negara maupun cita negara Indonesia.
131
pelaksana kedaulatan rakyat, melainkan hanya menjadi lembaga negara, setara
dengan lembaga negara lain. Bahkan dalam UUD Perubahan pun sebenarnya
tidak disebut secara definitif MPR sebagai lembaga dengan tugas apa, tidak
seperti DPR yang disebut sebagai lembaga legislatif, Pemerintah sebagai lembaga
eksekutif, dan MA sebagai pemegang kekuasaan yudikatif, Kedua, susunan
keanggotaan MPR diubah dengan menghapuskan Utusan Golongan yang
mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional representation) dari
unsur keanggotaan MPR. Ketiga, diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan
(separation of power) secara tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif. Dengan
perubahan ini berarti UUD 1945 tidak lagi menganut “Sistem MPR” berdasarkan
prinsip 'supremasi parlemen' dan sistem pembagian kekuasaan (distribution of
power) oleh lembaga tertinggi MPR ke lembaga-lembaga negara di bawahnya.
Keempat, dengan diadopsinya prinsip pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dalam satu paket secara langsung oleh rakyat dalam Pasal 6A ayat (1) Perubahan
Ketiga UUD 1945, maka konsep dan sistem pertanggungjawaban Presiden tidak
lagi dilakukan oleh MPR, tetapi langsung oleh rakyat.237 Dan kelima,
dihilangkannya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai konsekwensi
hilangnya kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
237Ni’ matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia edisi revisi, Rajagrafindo Persada,
cetakan ke-9, 2014, Yogyakarta, hlm 171.
132
2. Kedaulatan Rakyat dan Lembaga Tertinggi Negara
UUD 1945 dengan staatsidee kolektivisme mengakui kedaulatan negara
berada di tangan rakyat. Dan kedaulatan rakyat itu dilakukan oleh MPR. Pasal 1
ayat (2) “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.” Pasal tersebut menjelaskan kedudukan MPR sebagai
lembaga yang melakukan kedaulatan rakyat.
Definisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara tidak ditemui dalam
Batang Tubuh UUD 1945, melainkan dijelaskan dalam Penjelasan UUD 1945.
Dalam penjelasan Pasal 1 dikatakan :“Menetapkan bentuk Negara Kesatuan dan
Republik. Mengandung isi pokok pikiran kedaulatan rakyat.
Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah penyelenggara negara yang
tertinggi. Majelis ini dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang
kedaulatan negara”
Karena MPR melakukan sepenuhnya kedaulatan rakyat, maka tidak ada
lembaga negara lain yang lebih tinggi dari lembaga yang diberi tugas untuk
melakukan kedaulatan rakyat. Dan karena itu MPR menjadi lembaga tertinggi
negara.
Dengan kedudukan seperti itu, MPR menjadi supreme body, yang diberi
tugas dan wewenang untuk menetapkan UUD dan GBHN (Pasal 3 UUD 1945),
memilih presiden dan wakil presiden (Pasal 6 UUD 1945), mengubah UUD (Pasal
37 UUD 1945).
Karena tugas dan kewenangannya yang sangat besar dan menentukan bagi
negara, maka keanggotaan MPR diisi oleh wakil dari seluruh rakyat, seluruh
133
golongan, seluruh daerah sehingga dengan komposisi keanggotaan seperti itu
maka MPR dapat menjadi benar-benar penjelmaan rakyat. Dan itulah susunan
negara Indonesia yang sesuai dengan corak masyarakat Indonesia yang asli.
Sebuah negara dengan susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis238. Pemikiran ini didasarkan pada prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara seluruhnya. Konsep negara seperti ini cocok dengan alam pikiran ketimuran. Pemikiran ini juga didasarkan pada struktur sosial masyarakat Indonesia yang asli yang terdapat di desa-desa di Indonesia. Bagi Soepomo, hal itu tidak lain merupakan ciptaan kebudayaan Indonesia sendiri239.” Gagasan founding fathers seperti tercermin pada pendapat Soepomo itu,
mengandung staatsidee kolektivisme seperti sudah disinggung dalam bab
sebelumnya. Namun gagasan itu tidak dijadikan rujukan oleh anggota MPR hasil
Pemilu 1999 saat melakukan perubahan UUD. Oleh sebab itu MPR mengubah
rumusan Pasal 1 ayat (2) itu dengan rumusan “Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Rumusan tersebut secara
substansial telah mengubah staatsidee kolektivisme Indonesia.
Rumusan di atas telah mengubah negara Indonesia dari “Sistem MPR”
kepada sistem kedaulatan rakyat yang diatur melalui UUD 1945. UUD I945 lah
yang menjadi dasar dan rujukan utama dalam menjalankan kedaulatan rakyat.
UUD I945 yang menentukan bagian-bagian mana dari kedaulatan rakyat yang
diserahkan pelaksanaannya kepada badan/ lembaga yang keberadaan, wewenang,
tugas, dan fungsinya ditentukan oleh UUD 1945 itu serta bagian mana yang
238Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI); Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI); 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998), hlm. 111.
239Ibid, hlm. 112
134
langsung dilaksanakan oleh rakyat. Artinya tidak diserahkan kepada badan/
lembaga mana pun, melainkan langsung dilaksanakan oleh rakyat itu sendiri
melalui pemilu.240
Dalam rumusan perubahan itu, konstitusi telah secara bersama-sama
meletakkan kedaulatan rakyat bersama dengan kedaulatan hukum. Namun bila
dicermati lebih seksama, sesungguhnya kedaulatan rakyat telah diberi pagar
berupa UUD. Kedaulatan rakyat tidak dapat dilakukan sepenuhnya sesuai dengan
kehendak rakyat. Kedaulatan rakyat harus sesuai dengan UUD, dan UUD dibuat
oleh MPR yang anggotanya 560 orang (2/3) berasal dari DPR, dan 132 orang dari
DPD. Atau dengan kata lain, MPR didominasi oleh kekuatan partai politik.
Dengan demikian, bisa saja dikatakan kedaulatan rakyat telah “dipaksa” diganti
oleh kedaulatan partai politik. Sesungguhnya, dengan perubahan tersebut,
kedaulatan rakyat yang sebelumnya dilakukan oleh lembaga tertinggi negara,
diturunkan derajatnya, menjadi berada di tangan lembaga tinggi negara.
Pembahasan perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD yang dilakukan Panitia Ad
Hoc III (PAH III) pada Oktober, 1999 memang berlangsung alot. Namun alotnya
pembahasan itu bukan mengenai substansi kedaulatan rakyat, melainkan masalah
teknis dan redaksional. Sebagian besar fraksi di MPR memang sudah memiliki
pandangan yang sama untuk memangkas kedudukan MPR sebagai lembaga
tertinggi negara. Anggota MPR menilai kedudukan MPR sebagai lembaga
tertinggi negara sama saja dengan mengambil alih hak rakyat, seperti disampaikan
oleh Gregorius Seto Harianto, F-PDKB.
240 Ni’matul Huda, Op.Cit…. hlm.. 173.
135
Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa (F-PDKB ) melalui juru bicaranya,
Gregorius Seto Harianto, menyatakan :
“…..Yang berikutnya dalam rangka penguatan MPR, saya kira kita juga harus berani menyatakan bahwa di dalam satu negara demokrasi mestinya kan kedaulatan rakyat yang utama terwujud melalui pemilihan umum. Jadi MPR tidak boleh mengambil alih kekuasaan rakyat melalui Pemilu. Karena itu saya ingin supaya kita juga berani mengubah interpretasi yang ada di dalam penjelasan bahwa Majelis itu memegang kekuasaan yang tidak terbatas. Menurut saya MPR pun harus dibatasi dan batasnya adalah hasil pemilihan umum karena di sanalah rakyat mewujudkan kedaulatannya. Konsekuen dengan itu tentunya kita akan melihat kepada Pasal 6 Ayat (2). Bahwa yang dimaksud Presiden, Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak itu berdasarkan hasil pemilihan umum. 241.
Terhadap usulan-usulan yang menghendaki perubahan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara, yang oleh Dr. Roeslan Abdulgani dianggap sebagai
anomali242, Harun Kamil dalam pengantar Rapat Panitia Ad Hoc III, 7 Oktober
1999 mempertanyakan sistem apa yang akan dianut Negara Indonesia. Harun
Kamil, mempertanyakan keberadaan MPR dikaitkan dengan prinsip trias politica.
“…Sebagai pengantar, kalau boleh ada ahli tata negara, boleh mengoreksi saya, bahwa yang kita pertanyakan ini sistem Undang-Undang Dasar 1945 ini apakah murni trias politika dengan plus mengingat bahwa MPR adalah merupakan penjelmaan tertingggi daripada kedaulatan rakyat. Sebetulnya dengan MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dia mendistribusikan kewenangannya terhadap tiga, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Nah, yang berjalan selama ini terjadi semacam kurang pemisahan yang jelas sehingga Presiden pemegang eksekutif boleh bikin Undang-Undang243.”
Sebagai pakar yang didengar pendapatnya dalam sidang PAH III MPR,
Prof. Dahlan Ranuwihardjo memberikan pendapat yang sangat jernih:
241 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi, “NaskahKomprehensif… op.cit. hlm. 66.
242 Ibid, hlm. 135. 243 Ibid, hlm. 57.
136
“Kemudian saya ingin bicara khusus tentang MPR, sebab saya merasa, nasib MPR ini kok jadi rada merana, begitu ya. Sampai Pak Roeslan menyebut sebagai anomali. Masak begitu sih. Mohon maaf lho Pak, ini bulan puasa kok saya berani-beraninya mendebat Pak Roeslan. Ini lho baru sekarang ini. Terus terang saja. Pak Roeslan ini guru saya, ya nggak? Sebetulnya ide pikiran dasar dari MPR itu adalah, kaitannya dengan kedaulatan rakyat yang ditransformasi menjadi kedaulatan negara dan kedaulatan negara itu diemban, dilaksanakan sehari-hari oleh tiga kekuasaan negara menurut teori trias politica, yaitu badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sampai sekarang, yang sudah diadakan pengaturannya walaupun tidak lengkap tapi sudah berjalan, MPR itu mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi terhadap Presiden, karena Presiden tidak bisa diberhentikan oleh DPR, yaitu dengan jalan diadakannya Sidang Istimewa, menurut pengaturan yang tidak diatur dalam pasal-pasal batang tubuh, tetapi diatur dalam Penjelasan. Ini memang uniknya Indonesia ini. Padahal Penjelasan ini hanya dibikin oleh seorang, yaitu Pak Soepomo, tidak sempat disahkan oleh sesuatu sidang, karena itu, apa namanya, diadakan setelah sidang tanggal 18 Agustus itu selesai, tapi Pak Soepomo nggak sempat-sempat menyelesaikan, waktu selesai sudah muncul Badan Pekerja KNIP yang mempunyai kekuasaan legislatif. Nanti di belakang ingin saya singgung. Jadi, kembali ke MPR. Jadi, MPR itu ide dasarnya adalah, dia mempunyai wewenang, jadi, terhadap tiga badan kekuasaan. Terhadap eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jadi, umpamanya pembicaraan mengenai judicial review, itu rekan-rekan dari Kadin memandang Mahkamah Agung itulah yang mempunyai wewenang judicial review. Ini tidak tepat, karena sama-sama merupakan lembaga yang derajatnya sama yaitu sama-sama lembaga tinggi. Rupanya dia mau meniru Amerika. tapi Amerika itu lain. Amerika itu memberi kekuasaan judicial review kepada Mahkamah Agung. Mengapa? Karena latar belakangnya itu adalah supaya kepentingan-kepentingan dari kelas menengah itu bisa terjamin terhadap kemungkinan Senate atau House of Representative itu mengambil keputusan-keputusan yang bisa merubuhkan kedudukan kelas menengah di Amerika. Jadi Mahkamah Agung Amerika itu merupakan ballware, merupakan benteng pertahanan dari kelas menengah. Amerika memang negara kelas menengah, didirikan oleh kelas menengah. Jadi, beda dengan Indonesia. Jadi, sebetulnya yang mempunyai wewenang judicial review itu ya MPR. Dalam pelaksanaannya bisa dilakukan oleh suatu panitia khusus dari MPR yang meninjau suatu undang-undang, kemudian apa keputusan dari panitia khusus dari MPR itu, kemudian disahkan oleh sidang pleno dari MPR. Kalau meniru cara kontinental seperti umpamanya di Belanda itu judicial review itu tidak ada, karena mereka memakai ketentuan de wet is onschenbaar, undang-undang tidak boleh diganggu, digugat. Jadi,
137
caranya untuk mengubah suatu undang-undang yang dirasakan merugikan rakyat itu adalah menunggu pemilu yang akan datang. Jadi, partai yang menyetujui suatu undang-undang yang dianggap keliru itu nanti akan dikalahkan dalam pemilu yang akan datang. Dan parlemen baru bisa membatalkan ini. Tapi ini kan menunggu 4 tahun. Jadi sebetulnya Indonesia lebih praktis. Apalagi sekarang sudah disepakati sidang-sidang umum MPR itu setahun sekali. Jadi, dalam waktu kurang dari satu tahun suatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar itu bisa dibatalkan oleh Sidang Umum MPR. Lalu sekarang terhadap yudikatif, dimana wewenang dari MPR? Kalau MPR mesti membatalkan keputusannya dari Mahkamah Agung, itu nanti bisa bertumpuk pekerjaan dari MPR, apalagi Mahkamah Agung itu sudah mempunyai juga instansi PK yang bisa meninjau kembali suatu keputusan dari Mahkamah Agung. Yang dinilai oleh MPR adalah perilaku dari hakim-hakim Agungnya. Jadi, dinilai keputusannya, keputusannya sudah tidak membawa akibat kepada yustisiabel, kepada orang yang mohon keadilan. Karena itu PK itu sudah merupakan keputusan final, tapi Hakim Agungnya dinilai, yang nilai itu siapa? MPR. Jadi jangan mentang-mentang Hakim Agung itu dipilih seumur hidup atau sekarang dibatasi pada usia 70 atau 75 tahun, lalu dia bisa saja mengambil keputusan bahkan yang bertentangan dengan hukum, wah tidak ada sanksinya. Sanksinya itu di tangan MPR. Inikan kasihan MPR yang sebetulnya unik Indonesia dan di seluruh dunia tidak ada, hanya Indonesia. Kok menerima nasib seperti begini, ada yang berpikir tidak diperlukan. Perlu, MPR itu perlu sekali. Dan ini merupakan keunikan Indonesia yang khas, hanya maaf-maaf kurang dipahami oleh rakyat Indonesia sendiri, terutama oleh para ahli-ahli hukum sendiri244.
Apa yang disampaikan Prof. Dahlan Ranuwihardjo itu sejalan dengan
gagasan founding fathers di sidang BPUPKI. Pengakuan bahwa keberadaan
lembaga MPR merupakan asli Indonesia, dan kedudukannya sebagai lembaga
permusyawaratan untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
Pendapat Prof. Dahlan Ranuwihardjo, mendapat dukungan dari pakar lain,
Prof. Dr. Ismail Suny, S.H.,M.Cl., dan Prof. Dr. Sri Soemantri M., S.H. Tentang
MPR, Prof. Sri Soemantri Martosuwignyo memberikan penjelasan baik dari segi
keanggotaan, persidangan maupun wewenangnya.
244 Ibid, hlm. 136-139
138
“Dari mana para pendiri negara itu mendapatkan gagasan untuk diciptakannya Majelis Permusyawaratan Rakyat. Nah, dari sini saya mencoba menelusuri di hadapan Ibu-ibu dan bapak-bapak ini ada bagan pembahasan rancangan Undang-Undang Dasar di badan penyelidik. Saya mencoba pada waktu saya bertugas di Istana Bogor ini saya siapkan. Jadi ketika badan penyelidik sudah sampai kepada taraf untuk merumuskan materi muatan Undang-Undang Dasar, Ketua Radjiman Widyodiningrat telah membentuk sebuah panitia. Ada tiga panitia. Yang pertama, panitia pembelaan tanah air, yang kedua panitia perancang Undang-Undang Dasar, yang ketiga panitia keuangan dan ekonomi. Panitia perancang Undang-Undang Dasar itu diketuai oleh Ir. Soekarno. Di dalam pembahasan berikutnya Panitia Perancang Undang-Undang Dasar itu kemudian dibagi dua, yang pertama dinamakan panitia kecil perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai Mr. Soepomo, dan kedua panitia declaration of human right yang diketuai oleh Mr. Achmad Subardjo. Kita semuanya mengetahui bahwa Prof. Mr. Soepomo itu adalah pakar hukum adat dan oleh karena itu kita dapat menelusuri pikiran-pikiran yang terkandung di dalam Undang-Undang Dasar itu, kemungkinan besar tidak dapat dilepaskan dari pikiran-pikiran beliau tentang hukum adat. Mungkin ini yang menjadi sebab mengapa kemudian muncul Majelis Permusyawaratan Rakyat dimana di dalam majelis itu semua potensi di dalam masyarakat Indonesia itu duduk di dalamnya. Di dalam Undang-Undang Dasar itu terlihat di dalam susunan majelis itu, yaitu terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Dan kepada majelis ini diberi atau menurut Undang-Undang Dasar Pasal 1 Ayat (1) atau Pasal 1 Ayat (2); yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Jadi kedaulatan kekuasaan tertinggi yang ada pada rakyat, itu dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dan memang di dalam Undang-Undang Dasar itu tidak dikatakan secara eksplisit, berapa kali majelis itu harus bersidang dalam waktu lima waktu. Mungkin pikiran para pendiri negara itu adalah karena jumlah anggota majelis itu cukup besar. Nah ini mungkin yang menyebabkan kemudian sedikit-dikitnya bersidang sekali dalam lima tahun. Nah, ini tergantung dari tafsiran yang diberikan kepada ketentuan tersebut. Masalah berikutnya yang saya kira juga perlu, kalau Majelis Permusyawaratan Rakyat itu dinyatakan sebagai lembaga yang mempunyai kedudukan paling tinggi di dalam negara tentunya timbul suatu pertanyaan; bagaimana menjabarkan Undang-Undang Dasar itu di dalam kehidupan sehari-hari, sebab oleh para pendiri negara kepada Majelis itu, ini seperti tertuang di dalam Undang-Undang Dasar itu, hanya diberi empat macam kekuasaan: 1. Menetapkan Undang-Undang Dasar 2. Mengubah Undang-Undang Dasar 3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan
139
4. Menetapkan garis-garis besar haluan negara. Ini yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar. Ada empat macam kekuasaan, dan kalau menggunakan istilah yang dipergunakan oleh MPR dalam salah satu ketetapannya itu dibedakan antara tugas dan wewenang. Tugas majelis itu ada tiga, sedangkan wewenang hanya satu yaitu untuk mengubah Undang-Undang Dasar. Di sini adalah kekuasaan mendasar yang diberikan kepada majelis245.”
Demikian juga dengan Ismail Suny, dalam pengantarnya menyampaikan
tentang asal muasal MPR, sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
“Jadi, tadi Pak Soemantri menyebut, dari mana itu datangnya MPR? Saya di dalam disertasi saya tahun 1963 menyebut dan mengutip pendapat Yamin, bahwa ada badan yang mencakup Presiden, Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung, BPK, dan terhimpun di dalam badan yang lebih tinggi yaitu kita namakan badan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu mencontoh konstitusi yang tidak pernah berlaku, tapi yang dibuat oleh Kuomintang. Nah, jadi di situ ada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dan juga tidak aneh itu. Di negara Eropa di samping dipakai parlemen, dewan perwakilan rakyat dan ada yang memakai dewan atau majelis nasional. Prof. Soepomo, guru besar saya di Universitas Indonesia, dia menyebut sewaktu dia memberi ceramah dulu mengenai Utusan Golongan, menguraikan di depan dewan nasional suatu buku yang akhirnya saya punya buku itu, Election and Representation, jadi pemilihan dan perwakilan. Jadi, di sana digambarkan bahwa negara-negara yang melaksanakan sistem parlementer, sebelum perang dunia kedua, menganggap bahwa perwakilan politik saja yang dihasilkan oleh pemilihan umum, itu atau memang dianggap mereka tidak mewakili seluruh kepentingan rakyat, karena itu timbul dalam penelitian delapan Negara di Eropa dimuat di dalam buku Election and Representation itu, keinginan untuk juga diwakili golongan-golongan yang ada di masyarakat tidak berdasarkan politik tetapi berdasarkan golongan. Nah, yang kemudian kita lihat prateknya di Itali. Jadi, ada perwakilan golongan sebagai koreksi terhadap perwakilan politik246. ...MPR itu dia mempunyai seperti Undang-Undang Dasar menyebut kekuasaan yang tertinggi di tangan dia. Jadi, konsep supremacy of parlement di Inggris itu dilaksanakan oleh MPR kita. Jadi, karena itu saya menyatakan selain apa-apa yang disebutkan tadi menjadi tugas MPR itu,
245 Ibid, hlm. 140-141. 246 Ibid, hlm. 141-142.
140
kalau sudah ditetapkan oleh MPR tidak ada satu badan lain di negara ini yang mengatakan itu tidak sah. Jadi yang MPR itu walaupun tidak disebut itu kekuasaan tetapi itu jatuh kepada MPR. Tak ada badan lain bisa membuat keputusan setinggi itu kecuali MPR. Jadi, mengenai penamaan itu ya kalau saudara Padmo menyebutnya itu sistem MPR.247.
Di luar pendapat Prof. Dahlan Ranuwihardjo, Prof. Sri Soemantri, dan
Prof. Ismail Sunny, banyak pendapat pakar dan mayoritas anggota MPR yang
ingin men-down grade MPR, dengan dasar pemikiran pelaksanaan kedaulatan
rakyat ditentukan oleh UUD 1945. Artinya UUD 1945 yang menentukan bagian
mana dari kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya diserahkan kepada badan
/lembaga yang keberadaan, wewenang, tugas, dan fungsinya ditentukan oleh UUD
1945 itu, serta bagian mana yang langsung dilaksanakan oleh rakyat. Dengan kata
lain, pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak diserahkan kepada badan/lembaga mana
pun, tetapi langsung dilaksanakan oleh rakyat itu sendiri melalaui pemilu248.
Kehendak mengurangi atau bahkan menghapus MPR sudah tampak pada
14 Desember 1999 saat dilaksanakan Rapat PAH I BP MPR ke-8. Saat itu
Harjono dari F-PDI Perjuangan berpendapat perlunya meninjau ulang pengertian
kedaulatan rakyat karena kedaulatan rakyat sudah dimulai ketika rakyat
melaksanakan pemilihan umum. Oleh karena itu, kata “sepenuhnya oleh MPR”
harus diubah. Berikut ini kutipan pendapat Harjono :
“Kami berpikir bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi sebagaimana yang lama, sepenuhnya oleh MPR, karena di dalam praktik memang kedaulatan sudah dimulai pada saat kita melaksanakan pemilu. Oleh karena itu, kalau sepenuhnya dilaksanakan oleh MPR, melupakan keadaaan nyata bahwa
247 Ibid, hlm. 143. 248Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Permasyaratan; Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Edisi Revisi. Cetakan ke-11. hlm. 66.
141
kedaulatan rakyat sudah mulai dilaksanakan pada saat dilaksanakan Pemilu. Oleh karena itu, kata sepenuhnya oleh MPR ini kita ubah249.
Pendapat Harjono itu sejalan dengan pendapat Prof. Bagir Manan dan
Philipus M. Hadjon. Bahkan Prof. Bagir Manan dan Philipus M. Hadjon
menyampaikan pendapat tentang kemungkinan tidak diperlukannya lagi MPR
apabila Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat250. Pendapat Prof. Bagir
Manan itu disampaikan pada Rapat PAH I BP MPR ke-9, 16 Desember 1999.
“Kalau nanti Presiden itu sudah dipilih langsung, maka itu sudah tidak ada persoalan lagi. Bahkan kalau Presiden itu dipilih langsung, kemungkinan MPR itu tidak diperlukan. Mengapa tidak diperlukan? Karena kalau Presiden dipilih langsung kan tidak bertanggungjawab kepada MPR. Jadi... kemudian karena dipilih langsung, GBHN... tidak perlu GBHN, kata Presiden GBHN saya dari rakyat langsung. Jadi, kemungkinan hal-hal seperti itu bisa terjadi, karena itu saya itu termasuk orang yang ketika membahas mengenai amedemen Undang-Undang Dasar saya bagi dua, ada hal yang mendesak251.
Sedang Philipus M. Hadjon mengemukakan pendapat tentang eksistensi
MPR sebagai berikut:
Ada beberapa hal yang menarik, kesatu, pertama kalau saya secara fundamental sebetulnya dengan saya mohon maaf kepada anggota Dewan yang terhormat, ini berpikir murni hukum tata negara. Saya katakan eksistensi MPR kita, kalau didekati secara fungsional sebetulnya kita akan pertanyakan, apakah kita membutuhkan suatu lembaga yang namanya MPR, atau apa? Kalau kita kaji dari teori-teori ketatanegaraan sebetulnya lembaga seperti MPR itu, dulu barangkali bisa kita cari pendasarannya pada teori elit. Sekarang dengan perkembangan, kecerdasan bangsa yang sekian itu, sebetulnya itu tadi, iya toh, fungsi-fungsi yang harusnya ditangani oleh MPR itu, sudah bisa dilakukan oleh rakyat. Misalnya pemilihan Presiden dan sebagainya. Sehingga dengan di situ kita pertanyakan, apakah masih dibutuhkan suatu fungsi yang ditangani
249 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi…. Op.cit… hlm. 284-
285. 250 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi…. Op.cit… hlm. 153. 251 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi…. Op.cit….
142
khusus oleh MPR? Ini barangkali suatu hal yang mendasar sekali untuk didiskusikan252.”
Prof. Roeslan Abdulgani dalam kapasitasnya sebagai pakar, di sidang
MPR mengatakan:
“Oleh karena itu, saya berpikir, apakah tidak baik MPR itu dihapuskan saja. Artinya, MPR sebagai penentu memilih Presiden, itu supaya tidak lagi mempunyai hak-hak itu. Sehingga dengan demikian apalagi ada juga tentara di situ, di dalam MPR itu maka saya kira MPR itu tidak bisa dianggap mencerminkan kedaulatan rakyat berdasarkan pemilu. Oleh karena itu, saya harap masukan saya ini bukan harga mati, tapi hanya satu pemikiran untuk ini. Oleh karena itu, Saudara-Saudara, saya kemudian mengemukakan yaitu bahwa prioritas daripada amendemen yang kita pikirkan ini, yang saya juga baca tadi di tengah jalan, yaitu hasil dari ini maka saya melihat bahwa saudara-saudara ini sudah mempunyai satu rumusan yang buat saya cocok dengan apa yang dipikirkan di Lemhannas pada waktu itu. Yaitu supaya ini kita kembali kepada satu evenweicht antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Inilah yang sebetulnya katakanlah trias politika yang Montesquieu253.”
Sedang anggota Tim Ahli, Jimly Asshiddiqie memberikan penjelasan
mengenai latar belakang pemikiran rumusan kedaulatan, yakni bagaimana
memasukkan nomokrasi dan demokrasi :
“Kemudian mengenai negara kedaulatan rakyat itu tadi. Jadi kedaulatan rakyat berdasar atas hukum. Jadi pada akhirnya diskusi berkenaan dengan kedaulatan ya, apa sesungguhnya yang berdaulat dalam setiap negara itu? Siapa sih pemegang kedaulatan kekuasaan tertinggi itu? Perdebatannya adalah apakah rakyat, apa hukum? Nah ini persis perdebatan filosofi, filsafat hukum antara demokrasi atau nomokrasi. Nah ketemunya adalah di dalam konsep yang dua tadi, yang satu demokratis secara rechsstaat, yang satu lagi contitutional democracy. Yang kalau kita gabung inginnya dua-duanya itu dianut di dalam Undang-Undang Dasar kita. Dan memang kalau kita baca, pelajari perdebatan sejak tahun 1930-an memang dua-duanya itu dianut oleh the founding
252 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi…. Op.cit… hlm. 152-
153. 253 Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Op.cit…
hlm. 513.
143
fathers. Itu sebabnya ada istilah sistem konstitusional, yang tadi dijelaskan di dalam rumusan yang dibuat oleh Supomo itu, sistem konstitusional untuk menggambarkan ada constitutional democracy. Nah ketika kita harus memperbaiki rumusan mengenai MPR, adanya MPR itu, kenapa kita tidak masukkan di dalamnya? Jadi kita rumuskan di sini, “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar,”. Begitu kira-kira. Jadi jalan pikirannya antara nomokrasi dan demokrasi kita, apa namanya itu, kita jadikan dia sebagai dua sisi dari mata uang yang sama, kira-kira begitu. Jadi negara hukum itu harus demokratis, sebaliknya negara demokrasi itu kalau mau lengkap ya berdasar atas hukum, kira-kira begitu254.
Pada 17 Mei 2000 dilakukan Rapat PAH I BP MPR ke-32 dengan agenda
Mendengarkan Usulan Fraksi Mengenai Perubahan Bab I UUD 1945 F-PDI
Perjuangan melalui juru bicaranya, Harjono mengemukakan usulan yang terkait
dengan konsep kedaulatan rakyat dan kedudukan MPR sebagai berikut.
“…maka apa yang kita pahami sampai saat sekarang bahwa MPR adalah merupakan lembaga tertinggi negara, maka hal itu akan kita tinggalkan. Karena kedaulatan tidak lagi dilaksanakan dan diurut secara linear, tetapi kedaulatan didistribusikan tidak hanya ke MPR tetapi juga lembaga-lembaga negara yang lain. Contohnya pada saat kita membuat perjanjian internasional yang dilakukan oleh Presiden bersama DPR. Sebetulnya Presiden dengan DPR sudah melaksanakan juga kedaulatan atas negara, yaitu pada saat melakukan penandatanganan persetujuan dengan negara lain. Jadi maksudnya lembaga tinggi negara. Tertinggi negara tidak kena lagi, kemudian kedaulatan itu di distribusikan kepada lembaga negara yang lain255. Oleh karena itu untuk menampung hal-hal seperti itulah, kami jelaskan bahwa kedaulatan rakyat adalah kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar ini. Satu persoalan yang harus kita pertimbangkan adalah dengan kita pilihnya sistem Undang-Undang Dasar, maka kita sudah secara otomatis menganut adanya faham konstitualisme, faham konstitualisme adalah satu faham yang membatasi kewenangan-wenangan itu, ini yang juga ter-implaid dalam pengertian bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar. Jadi dengan cara ini sebetulnya kami berpendapat bahwa tidak akan ada lagi penyebutan bahwa tentang lembaga tertinggi negara, tapi
254 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi… Op.Cit… hlm. 356 255 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi… Op.cit… hlm. 192
144
terdistribusikan dalam fungsi-fungsi dan di dalam konfigurasi fungsi-fungsi itulah kita akan berbicara tentang distribution sekaligus checks and balances. Ini yang kami pikirkan pada saat merumuskan Pasal 1 Ayat (3)256
Dan usulan perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD yang semula Kedaulatan di
tangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
menjadi Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar disahkan dalam Rapat Paripurna ST MPR 2001 Ke-7 (Lanjutan 1),
9 November 2001. Hanya Fraksi Partai Amanah Nasional (F-PAN) dan Fraksi
Kesatuan Kebangsaan (F-KKI), serta Fraksi Utusan Golongan (F-UG) yang ingin
tetap mempertahankan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Sementara
Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDIP, Fraksi PDU, Fraksi PKB, Fraksi PPP, Fraksi
PBB, Fraksi PDKB, Fraksi TNI/Polri dan Fraksi Utusan Daerah lebih menyetujui
opsi Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.
Argumentasi ketiga fraksi tersebut dapat dilihat:
Soedijarto dari F-UG menjelaskan:
“Underlining semua ini karena kami ingin tetap ingin MPR lembaga tertinggi negara. Yang suasana kawan-kawan tidak lagi lembaga tertinggi negara. Ini kan prinsipil dan ini jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat itu merupakan satu perwujudan rakyat yang memegang kekuasaan tertinggi negara, memegang kedaulatan negara. Misalkan bagi kami, di samping DPR, DPD itu rapat utusan golongan mula-mula kan ada TNI. Itu masih ada Utusan Golongan. Jadi kan berbeda Pak, sedangkan you sebagai orang partai menganggap ndak apa-apa dua saja. itu hanya versamtung saja, hanya assamble tapi bukan satu powerfull body. Jadi kan prinsipil bedanya, karena anda ragu-ragu, karena mecah-mecah itu kalau tidak ragu, tidak akan dipecah MPR itu. Kita tetap lembaga tertinggi negara. Nah, ini supaya ini jadi bagian
256 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi… Op.cit… hlm. 201
145
masyarakat supaya masyarakat tahu bahwa di dalam pertemuan kita ini ada yang ingin deviet dari jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Betul, karena ini yang dikatakan concern political parties257.”
F.X. Sumitro dari F-KKI menyatakan bahwa alternatif rumusan perubahan
mengenai penyelenggara kedaulatan dan susuan MPR telah keluar dari koridor
pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945.
“......bentuk dari pada negara kita adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik, kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya, jangan dikurangi sepenuhnya itu. Karena apa? MPR adalah penjelmaan daripada rakyat, oleh karena itu MPR dibentuk anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan maksudnya supaya seluruh rakyat itu diwakili termasuk golongan-golongan yang mempunyai kepentingan itu, dan MPR adalah penyelenggara negara tertinggi tidak ada lain. Oleh karena itu saya tetap berpegang pada rumusan yang diberikan oleh the founding fathers berikut penjelasannya penuh. Ya kan? Sehingga menurut saya rumusan yang ada di sini apakah alternatif 1, apakah alternatif 2, menurut hemat kami adalah keluar daripada koridor pokok-pokok pikiran dan undang…, apa itu? Dari Pembukaan258.
Sedang Abdullah Ali dari F-Reformasi menyampaikan pendapat lebih
memilih alternatif rumusan penyelenggara kedaulatan adalah MPR.
Kemudian saya ingin membahas Pasal 3 itu yaitu Kedaulatan. Ada dua alternatif itu. Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh MPR, yang satu. Dan kedua adalah kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh undang-undang. Menurut hemat saya rakyat ini mempunyai kedaulatan tertinggi di negara demokrasi dan inilah yang kita tuju, jadi kemudian kedaulatan rakyat yang tertinggi ini dilaksanakan oleh MPR. MPR kerjanya membuat Undang-Undang Dasar dan kemudian juga memiliki kedaulatan artinya melaksanakan kedaulatan rakyat dan kemudian lalu memantau apakah kedaulatan rakyat itu dilaksanakan, mengevaluasi apakah Undang-Undang Dasar itu dilaksanakan, sedangkan di dalam Undang-Undang Dasar itu juga ada GBHN. GBHN itu adalah juga perlu dievaluasi, diperbaiki, dipantau.
257 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi… Op.cit… hlm. 362. 258 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi… Op.cit… hlm. 435.
146
Jadi, dengan demikian maka jelas bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh MPR oleh karenanya saya juga turut memilih alternatif satu daripada Ayat (3) Pasal 1 dari pada bentuk dan kedaulatan negara ini259.
Selain dari sikap ketiga fraksi tersebut, Prof. Abdul Kadir Besar dari
Universitas Pancasila, menyatakan perubahan MPR sebagai pelaku kedaulatan,
telah membuat MPR kehilangan dasar eksistensi konstitusionalnya.
“...Bahwa karena baru rancangan perubahan keempat ini diundang. UBK juga mempersoalkan perubahan ketiga. Berhubungan dengan itu Universitas Pancasila sama dalam hal ini dengan UBK, lebih utama mempersoalkan perubahan tiga, terutama dengan Pasal 1 Ayat (2), sebab itu mendasar sekali dan berpengaruh pada rancangan perubahan keempat. Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 asli menyatakan bahwa: “Kedaulatan rakyat ada di tangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Dengan itu, MPR mendapatkan dasar eksistensi Konstitusional. Perubahan ketiga menyatakan bahwa: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar”. Jadi, pelakunya tetap rakyat. Dengan itu, MPR kehilangan dasar eksistensi konstitusional. Jadi, secara strict juridie, Pak, 17 Agustus ya, strict juridie konstitusional ketatanegaraan, dengan mohon maaf, MPR sesungguhnya sudah tidak eksis lagi hari ini sejak perubahan ketiga ditetapkan… Jadi, lembaga negara itu senantiasa punya dasar eksistensi Konstitusionalnya. Lalu, perubahan Pasal 1 Ayat (2) itu tadi, perubahan ketiga yang pelaku kedaulatan tetap rakyat dan kedaulatan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar, itu menghapus MPR sebagai subjek hukum pelaku kedaulatan sehingga dengan demikian MPR hapus. Lalu, kalau kita berpikir strict juridie, saya sebetulnya tidak bisa membicarakan soal rancangan perubahan keempat. Tetapi kalau saya berbuat itu, saya kira tidak sopan. Jadi, “andaikata MPR masih ada” maka perubahan keempat itu ada beberapa pendapat, sebagai berikut. Teori andai-andai itu dipakai oleh Descartes pada waktu dia mencari the first premise to think cogito ergo sum, dilakukan oleh John Lock pada waktu dia akan mendapatkan atas dasar apa negara didirikan dan apa tujuan didirikan dengan teori kontrak sosialnya itu. Teori andai-andaian. Jadi, akademik juga. Teori pengandaian itu, asal argumennya kena.
259 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi… Op.cit… hlm. 436.
147
Perubahan ketiga Pasal 1 tadi ya: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar”. Tadi sudah saya jelaskan panjang lebar. Akibat hukum ini secara verbal dulu, bukan secara yuridis dulu. Akibat hukum dari perubahan ketiga Pasal 1 Ayat (2) ini adalah satu, MPR see to exist, berhenti eksistensinya. Dua, rancangan pembukaan keempat, mengenai adanya DPD yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (1), baik Alternatif 1, menjadi tidak memiliki dasar eksistensi Konstitusional260.”
Perubahan rumusan yang secara fundamental mengubah staatsidee
Indonesia itu, menimbulkan reaksi keras dari berbagai elemen bangsa Indonesia,
seperti Gerakan Nurani Parlemen, Forum Kajian Ilmiah Konstitusi, sekelompok
purnawirawan ABRI, dan akademisi yang menentang rumusan tersebut. Mereka
menilai perubahan itu telah mengubah dasar “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” dan meniadakan
eksistensi MPR sebagai lembaga tertinggi negara sebagai pemegang kedaulatan
rakyat. Akan tetapi, pandangan tersebut ditolak oleh sebagian kelompok yang
lain, eksistensi MPR tidak akan hilang, tetapi berubah fungsi sebagai forum dan
bukan sebagai lembaga. Karena sebagai forum. MPR tidak perlu lembaga, tetapi
hanya merupakan sidang gabungan (joint session) antara DPR dan DPD261.
Karena perubahan Pasal1 ayat (2) dilakukan tanpa kajian mendalam guna
menilai pengaruh perubahan tersebut pada keseluruhan Batang Tubuh UUD 1945,
ternyata telah mendegradasi kewenangan MPR yang kala itu sedang melakukan
sidang-sidang untuk melakukan perubahan UUD. Ironis, hanya beberapa bulan
setelah disahkan, perubahan itu langsung mendapat reaksi dari anggota MPR.
260 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi… Op.cit… hlm. 517-
518. 261Ibid, hlm. 172.
148
Menurut anggota MPR Lintas Fraksi, perubahan Pasal 1 ayat (2) telah menghapus
kewenangan MPR.
Syahrul Azmir Matondang dari F-PDIP dalam Rapat Paripurna Sidang
Tahunan MPR Ketiga, 2 Agustus 2002, menyampaikan interupsi atas nama
sejumlah anggota MPR lintas fraksi dan mengemukakan bahwa MPR tidak lagi
memiliki wewenang melakukan Perubahan UUD 1945, karena telah diubahnya
Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945262. Pada kesempatan itu Syahrul Azmir Matondang
membacakan Sikap Politik yang isinya :
“Sikap politik anggota MPR RI lintas fraksi. Kami para anggota MPR RI dari lintas fraksi terpanggil dan menyadari dengan sepenuhnya tanggung jawab sejarah dan tanggung jawab moral berdasar sumpah jabatan untuk mempertahankan dan melaksanakan ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dengan ini menyatakan sikap politik sebagai berikut. Amandemen Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yakni Undang-Undang Dasar baru, Pasal 1 Ayat (2) berbunyi, “Kedaulatan di tangan rakyat dan di laksanakan menurut Undang-Undang Dasar,” berlaku serta-merta sejak 9 November 2001. Tidak lagi berbunyi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” sebagaimana bunyi Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang asli. Oleh karena itu, kekuasaan negara tertinggi sudah tidak lagi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kedaulatan rakyat juga sudah tidak lagi dipegang oleh suatu badan bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat, pasca-Amandemen Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, tercabut kewenangan konstitusionalnya untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Amendemen Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 hasil PAH I pada hakikatnya telah mengganti Undang-Undang Dasar 1945 dengan Undang-Undang Dasar baru. Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945 hanya untuk mengubah dan tidak mengganti Undang-Undang Dasar 1945 dengan Undang-Undang Dasar baru sedangkan Aturan Peralihan Pasal 2 Undang-Undang Dasar 1945 hanya berlaku einmalig dan Rancangan Aturan Peralihan tidak dapat
262 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi… Op.cit… hlm. 572.
149
memulihkan kedudukan konstitusional MPR pasca-amandemen III yang berlaku serta-merta. Dengan demikian, Sidang Tahunan MPR Agustus 2002 tidak memiliki dasar konstitusional untuk bersidang, meminta dan/atau menerima laporan kemajuan progress report dari Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan, kecuali amendemen atau Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 dicabut dan/atau dibatalkan. Dan, apabila Sidang Tahunan MPR pasca-amandemen Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 bulan Agustus 2002 dipaksakan, segala putusannya tidak mengikat seluruh rakyat Indonesia263.”
Gugatan kembali dilontarkan saat Rapat Komisi A Sidang Tahunan MPR
Kesatu, 4 Agustus 2002. Saat itu Amin Aryoso dari F-PDIP meminta klarifikasi
mengenai hubungan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 3 UUD 1945.
“Jadi, di sini yang dimaksud adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945 yang asli, yaitu Pasal 1 ayat (2). Jadi bukan sesudah diamendemen. Kemudian Pasal 2 menyatakan “Majelis adalah penjelamaan seluruh rakyat Indonesia dan merupakan Lembaga Tertinggi Negara pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat”. Hasil Amendemen Ketiga, MPR kita ini sudah bukan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, lagi juga tidak merupakan Lembaga Tertinggi Negara lagi, bukan pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Tetapi prakteknya kemarin, itu MPR sudah memanggil Presiden. Dalam hubungan seperti itu, kalau Pasal 2 itu sudah diberlakukan, tapi tidak bisa diberlakukan untuk berkelanjutan. Karena kalau itu prinsip dilakukan berkelanjutan, maka tidak ada kepastian hukum, ini prinsip hukum juga. Kedua, hubungan Pasal 1 Ayat (2) dengan Pasal 3, itu bukannya tidak ada, itu ada. Karena Pasal 1 Ayat (2) itu berarti kedaulatan itu tidak di tangan MPR lagi, di lain pihak Pasal 3 memberikan kewenangan-kewenangan kepada MPR untuk menetapkan Undang-Undang Dasar dan merubah Undang Undang Dasar, pertanyaannya kedaulatannya dari mana?264”
263 Ibid, hlm, 572-573, 264 Ibid, hlm. 580-581.
150
3. Susunan MPR
Hingga kini, perwujudan sistem perwakilan di Indonesia dalam bentuk
MPR memberikan kesan Indonesia menganut sistem unikameral berciri
bikameral. Ciri bikameral tak cukup tampak karena kamar lain tidak memiliki
fungsi tersendiri dan tidak melembaga. Watak unikameral ini makin menonjol
saat 60 persen keanggotaan MPR diisi DPR (500 orang), sehingga MPR kini
hanya “DPR luas.” Maka, pendapat “unikameral berciri bicameral” (atau
campuran keduanya) tak cukup meyakinkan untuk menjelaskan watak parlemen
Indonesia. Banyak pihak lantas menggunakan istilah “sistem MPR” bagi sistem
perwakilan di Indonesia.265
Rumusan baru ini disebut merupakan penjabaran langsung paham
kedaulatan rakyat yang secara tegas dinyatakan pada Pembukaan UUD 1945
alinea IV. Akan tetapi, dalam rumusan sebelumnya di mana kedaulatan rakyat
dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. justru telah mereduksi paham kedaulatan
rakyat itu menjadi paham kedaulatan negara, suatu paham yang hanya lazim
dianut di negara-negara yang masih menerapkan paham totalitarian dan/atau
otoritarian266.
Gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara
secara konseptual ingin menegaskan, MPR bukan satu-satunya lembaga yang
melaksanakan kedaulatan rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas-tugas
politik negara dan pemerintahan (tidak termasuk kekuasaan kehakiman) adalah
265Ni’ Matul Huda, Hukum Tata Op.cit… hlm.. 172. 266 Ni’ Matul Huda, Hukum Tata … , Op.cit, hlm.. 172.
151
pelaksana kedaulatan rakyat dan harus tunduk dan bertanggung jawab kepada
rakyat.267
Perubahan susunan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD, seolah mengarah
pada pembentukan sistem dua kamar (bikameral). Akan tetapi, dari susunan yang
menyebutkan terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD, tidak tergambar konsep
dua kamar. Dalam susunan dua kamar, bukan anggota yang menjadi unsur, tetapi
badannya itu DPR dan DPD. Contohnya, Congress Amerika Serikat yang terdiri
dari Senate dan House of Representative. Kalau anggota yang menjadi unsur,
MPR adalah badan yang berdiri sendiri di luar DPR dan DPD.268
Salah satu konsekuensi gagasan dua kamar (terdiri dari DPR dan DPD),
perlu nama bagi badan perwakilan yang mencerminkan dua unsur perwakilan
tersebut, seperti Congress sebagai nama badan perwakilan yang terdiri dari Senate
dan House of Representatives. Nama yang digagaskan untuk badan perwakilan
dua kamar di Indonesia adalah tetap menggunakan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR). Sebagai konsekuensi penggunaan nama MPR sebagai nama sistem
dua kamar, MPR tidak lagi menjadi suatu lingkungan jabatan (lingkungan kerja
tetap tersendiri) yang memiliki lingkungan wewenang sendiri. Wewenang MPR
(baru) melekat pada wewenang DPR dan DPD, atau seperti dalam UUD Amerika
Serikat dan lain-lain negara dengan sistem dua kamar. Yang ditentukan adalah
wewenang Congress, Parliament, Staten General yang pelaksanaannya dilakukan
oleh kamar-kamar perwakilannya269.
267 Ibid hlm.. 163.
268 Ni’ matul huda, Hukum Tata Negara Indonesia op.cit, hlm. 168 269 Ibid, hlm.. 169.
152
Pada hakikatnya, MPR memang tetap dapat disebut sebagai suatu institusi,
meskipun tidak lagi bersifat tertinggi. Sebagai perbandingan kedudukan parlemen
Amerika Serikat dan parlemen kerajaan Belanda juga demikian. Hasil konstitusi
Amerika disebutkan: “All legislative power herein wasted in the congress; consist
of the House of Representatives’ and the Senate.” Dalam konstitusi Belanda juga
dinyatakan bahwa kekuasaan legislatif berada di ‘Staten General’ yang terdiri atas
‘De Eerste Kamer dan de Twede Kamer’. Karena itu dalam kerangka pemikiran
UUD 1945 beserta perubahannya, kurang lebih dapat dirumuskan bahwa pada
prinsipnya: kekuasaan legislative berada pada MPR yang terdiri atas DPR dan
DPD.”270
Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan baru dalam UUD 1945, tidak
tampak perwujudan gagasan sistem dua kamar. Kalau dalam UUD asli hanya ada
dua badan perwakilan tingkat pusat yang terpisah, sekarang justru menjadi tiga
badan perwakilan. Pertama, walaupun ada perubahan, MPR tetap merupakan
lingkungan jabatan sendiri. MPR memiliki wewenang sendiri (original) di luar
wewenang DPR dan DPD. Kedua, sepintas lalu, DPD merupakan lingkungan
jabatan yang mandiri, dan memiliki lingkungan wewenang sendiri. Ketiga, DPD
bukan badan legislatif penuh. DPD hanya berwenang mengajukan dan membahas
rancangan undang-undang di bidang tertentu saja yang disebut secara enumeratif
dalam UUD. Terhadap hal-hal lain, pembentukan undang-undang hanya ada pada
DPR dan Pemerintah. Dengan demikian rumusan baru UUD tidak mencerminkan
gagasan mengikutsertakan daerah dalam penyelenggaraan seluruh praktik dan
270 Ibid, hlm.. 42.
153
pengelolaan negara. Sesuatu yang ganjil ditinjau dari konsep dua kamar. Dengan
adanya kewenangan yang demikian itu, maka dapat dipahami bahwa MPR itu
adalah lembaga yang berdiri sendiri di samping DPR dan DPD. Dengan demikian,
UUD 1945 memperkenalkan sistem parlemen trikameral atau trikameralisme.271
Perubahan-perubahan mendasar dalam kerangka struktur parlemen
Indonesia terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut. Pertama, susunan
keanggotaan MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan
Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional
representation) dari unsur keanggotaan MPR. Kedua, bersamaan dengan
perubahan yang bersifat struktural tersebut, fungsi MPR juga mengalami
perubahan mendasar. Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai 'supreme body' yang
memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan karena itu kewenangannya
pun mengalami perubahan-perubahan mendasar. Ketiga, diadopsinya prinsip
pemisahan kekuasaan (separation of power) secara tegas antara fungsi legislatif
dan eksekutif dalam perubahan UUD 1945. Dengan perubahan ini berarti UUD
1945 tidak lagi menganut sistem MPR berdasarkan prinsip 'supremasi parlemen'
dan sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh lembaga tertinggi
MPR ke lembaga-lembaga negara di bawahnya. Keempat, dengan diadopsinya
prinsip pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung
oleh rakyat dalam Pasal 6A ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, maka konsep
271 Ibid, hlm.. 170
154
dan sistem pertanggungjawaban Presiden tidak lagi dilakukan oleh MPR, tetapi
langsung oleh rakyat.272
Perubahan mendasar terjadi pada Pasal 1 ayat (2) yang sebelumnya
berbunyi “Kedaulatan di tangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat,” berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Perubahan yang sangat
mendasar terhadap Pasal 1 ayat (2) telah menimbulkan reaksi keras dari Gerakan
Nurani Parlemen, Forum Kajian Ilmiah Konstitusi, sekelompok purnawirawan
ABRI, dan akademisi yang menentang rumusan itu. Mereka menilai perubahan itu
telah mengubah dasar “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan,” dan meniadakan eksistensi MPR sebagai
lembaga tertinggi negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Akan tetapi,
pandangan tersebut ditolak oleh sebagian kelompok yang lain, eksistensi MPR
tidak akan hilang, tetapi berubah fungsi sebagai forum dan bukan sebagai
lembaga. Karena sebagai forum. MPR tidak perlu lembaga, tetapi hanya
merupakan sidang gabungan (joint session) antara DPR dan DPD.273
Susunan MPR pun mengalami perubahan. Sebelum diubah, Pasal 2 ayat (1)
UUD 1945 berbunyi sebagai berikut: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri
atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan
dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan
dengan undang-undang.” Ketentuan tersebut secara jelas menyatakan bahwa
anggota MPR terdiri dari anggota DPR, ditambah (diperluas) dengan “utusan-
272Ibid, hlm.. 171. 273Ibid, hlm.. 172.
155
utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.” Perluasan keanggotaan MPR
tersebut dimaksudkan agar perwakilan tidak hanya terdiri dari unsur politik (DPR)
tetapi juga unsur-unsur fungsional (golongan), dan daerah. Hal ini dimaksudkan
supaya seluruh rakyat, golongan, dan daerah akan mempunyai wakil dalam
Majelis sehingga Majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan
rakyat.274
Setelah diubah berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang
dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-
undang.”275
Pembahasan perubahan UUD 1945 dalam Sidang Tahunan MPR tahun
2002 berlangsung alot. Pada pengambilan putusan terhadap materi rancangan
perubahan UUD 1945 terjadi satu kali pemungutan suara (voting) terhadap
rumusan Pasal 2 ayat (1) mengenai susunan keanggotaan MPR. Usul perubahan
Pasal 2 ayat (1) terdiri dari dua alternatif:276
---Alternatif 1 “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum, ditambah dengan utusan golongan yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya diatur oleh undang-undang." ---Alternatif 2
274 Ibid, hlm. 164. 275 Ibid, hlm. 164. 276 Ibid, hlm. 164.
156
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” Setelah dilakukan pemungutan suara (voting), 475 anggota MPR memilih alternatif 2, sedangkan 122 anggota MPR memilih alternatif 1, dan 3 anggota MPR memilih abstain. Dengan demikian, alternatif 2 disahkan sebagai Pasal 2 ayat (I) UUD 1945.277 Perubahan Pasal 2 ayat (1) menghapuskan unsur utusan golongan dan mengubah utusan daerah menjadi DPD. Penghapusan golongan menurut Bagir Manan, lebih didorong oleh pertimbangan pragmatik daripada konseptual. Pertama, tidak mudah menentukan golongan yang diwakili. Kedua, cara pengisiannya mudah menimbulkan kolusi politik antara golongan yang diangkat dengan yang mengangkat. Perubahan sistem utusan daerah dimaksudkan agar lebih demokratik dan meningkatkan keikutsertaan daerah dalam penyelenggaraan sehari-hari praktik negara dan pemerintahan, di samping sebagai forum memperjuangkan kepentingan daerah.278
Harus diakui bahwa di masa Orde Baru, pengertian Utusan Golongan
tersebut pernah juga disalah gunakan dengan dikembangkannya pengertian
golongan ke dalam tiga jalur ‘ABG’. Jalur A adalah Angkatan Bersenjata, jalur B
untuk Birokrasi Pegawai Negeri, dan jalur G untuk sebutan Golongan Karya.
Dengan demikian, setelah pengertiannya telah diperluas sehingga mencakup
semua pengertian golongan, makna Utusan Golongan itu dipersempit lagi hanya
untuk kepentingan rezim Orde Baru di bawah di bawah kepemimpinan Presiden
Soeharto dalam mengkonsolidasikan dan memobilisasikan dukungan politik
melalui instrument Golongan Karya untuk terus menerus menguasai panggung
politik nasional.279
277 Ibid, hlm. 165. 278 Ibid, hlm. 165. 279 Jimly Asshiddiqie, Format … Op.Cit, hlm. 46.
157
Yang sangat vokal menyuarakan pandangan agar Utusan Golongan tidak
dihapus atau dihilangkan hak konstitusionalnya dari keanggotaan MPR, juga
hanya dari kalangan Utusan Golongan itu sendiri. Nampak sekali gambaran
seakan-akan semua orang cenderung hanya memperjuangkan aspirasi dan
kepentingannya sendiri-sendiri. Bahkan ada pula anggota MPR yang secara
pragmatis berpendapat bahwa untuk menyelesaikan persoalan Utusan Golongan
ini mudah saja, yaitu melalui mekanisme voting atau pemungutan suara. Nasib
Utusan Golongan setelah diadakan voting tentu akan dihapuskan dari ketentuan
UUD. Pendapatan ini memang sederhana, akan tetapi, jika keberadaan Utusan
Golongan ditiadakan sama sekali, maka pemikiran asli yang dikembangkan oleh
‘the founding fathers’ berkenaan dengan prinsip perwakilan fungsional (functional
representative) sama sekali dihilangkan dari jalan pikiran konstitusionalisme
Indonesia.280
Dapat dikatakan sekarang, kedaulatan rakyat sebagai suatu prinsip di dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia tidak lagi dijalankan oleh MPR.
Melalui perubahan ketiga, MPR berkedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga
negara lain.
MPR tidak lagi dapat menetapkan GBHN, serta memilih dan mengangkat
Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan UUD 1945
menganut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh
rakyat, dimana mereka (para calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki
280 Ibid, hlm. 48.
158
program yang ditawarkan secara langsung kepada rakyat). Berkaitan dengan itu,
MPR hanya berwenang melantik Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih.
Kedudukan dan tugas MPR ini diatur dalam UU no. 22 tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Menurut ketentuan Pasal
10 UU No. 22 tahun 2003, MPR merupakan lembaga yang berkedudukan sebagai
lembaga negara. Atas pengaturan demikian ini, tuntaslah keberadaan MPR yang
semula sebagai lembaga tertinggi menjadi lembaga negara saja.
Dalam implementasinya, pelaksanaan pemilihan langsung sebagai bentuk
penggunaan hak kedaulatan rakyat bisa juga diberikan oleh undang-undang yang
bersumber pada UUD 1945 seperti yang telah berlaku untuk pemilihan anggota
Dewan Perwakilan Daerah dam pemilihan kepala daerah. Itu mungkin juga
berlaku untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD. Jadi, penggunaan hak memilih
secara langsung bukan hanya yang ditentukan secara eksplisit di dalam UUD,
tetapi dapat dimuat dalam undang-undang yang bersumber dari konsep UUD.281
Karena utusan politik (DPR) mempunyai lebih banyak komposisi
keanggotaan dalam MPR dibandingkan dengan DPD sebagai utusan daerah. Maka
kekuasaan MPR lebih condong terhadap keputusan-keputusan yang bersifat
politik, sehingga tidak menghasilkan keputusan yang benar.
Melihat perkembangan ketatanegaraan dewasa ini juga kita mengetahui
bahwa DPR mempunyai kekuasaan yang lebih (legislative heavy) yang lebih
condong ke parlementer, dari pada Presiden. Padahal ciri dari reformasi adalah
presidensial. Oleh sebab itu legislative heavy yang dimiliki DPR menimbulkan
281Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan … Op.cit…. hlm. 66.
159
kekacauan ketatanegaraan. Konflik ketatanegaraan juga banyak dipicu oleh tari-
menarik kekuatan politik di DPR.
4. Lembaga Negara Dalam UUD
Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologi memiliki istilah
tunggal dan seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, untuk menyebutkan lembaga
negara digunakan istilah political institution sedangkan dalam terminologi bahasa
Belanda terdapat istilah staat organen. Sementara itu, bahasa Indonesia
menggunakan lembaga negara, badan negara, atau organ negara.282
Menurut kamus Hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh
Adiwinata dkk, kata organ diartikan sebagai berikut:283
Organ adalah perlengkapan. Alat perlengkapan adalah orang atau majelis yang terdiri dari orang-orang yang berdasarkan undang-undang atau anggaran dasar wewenang yang mengemukakan dan merealisasikan kehendak badan hukum … selanjutnya negara dan badan pemerintahan rendah mempunyai alat perlengkapan. Mulai dari raja (Presiden) sampai pada pegawai yang rendah, para pejabat itu dapat dianggap sebagai alat-alat perlengkapan. Akan tetapi, perkataan ini lebih banyak dipakai untuk badan pemerintahan tinggi dan dewan pemerintahan yang mempunyai wewenang yang diwakilkan secara teratur dan pasti.
Oleh karena itu, istilah lembaga negara, organ negara, badan negara, dan
alat perlengkapan negara seringkali dipertukarkan satu sama lain. Akan tetapi,
satu sama lain sebenarnya dapat dan memang perlu dibedakan, sehingga tidak
membingungkan. Untuk memahami secara tepat, maka tidak ada jalan lain kecuali
282Ni’matul Huda, Lembaga … Op.cit... hlm. 76. 283Ibid. hlm. 76.
160
mengetahui persis apa yang dimaksud dan apa kewenangan dan fungsi yang
dikaitkan dengan organisasi atau badan yang bersangkutan.284
Menurut Natabaya, penyusun UUD 1945 sebelum perubahan cenderung
konsisten menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ
negara. Untuk maksud yang sama, Konstitusi RIS tahun 1949 tidak menggunakan
istilah kecuali alat perlengkapan negara. Sedangkan UUD 1945 setelah perubahan
keempat, melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa reformasi dengan tidak
konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ negara, dan badan
negara.285
Hans Kelsen menyebutkan, siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang
ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya, organ
negara itu tidak selalu berbentuk organic. Di samping organ yang berbentuk
organic, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula
disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (norm
creating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norma applying).286
Lebih lanjut Kelsen mengatakan, parlemen yang menetapkan undang-
undang pidana, dan warga negara yang memilih parlemen merupakan organ-organ
negara, termasuk hakim yang menghukum si penjahat serta individu yang
sesungguhnya melaksanakan hukuman tersebut. Menurut pengertian ini, organ
adalah individu yang menjalankan fungsi tertentu.287
284Ibid. Hlm. 76. 285Ibid. Hlm. 77. 286Ibid. hlm. 77. 287Ibid. hlm. 77.
161
Ada konsep lain yang lebih sempit, yakni konsep material. Menurut konsep
ini, seseorang disebut sebagai organ negara jika dia secara pribadi menempati
kedudukan hukum tertentu. Ciri-ciri penting organ negara dalam arti sempit ini
bahwa (i) organ itu dipilih atau diangkat untuk menduduki jabatan atau fungsi
tertentu; (ii) fungsi itu dijalankan sebagai profesi utama atau bahkan secara
hukum bersifat eksklusif; dan (iii) ia berhak mendapatkan gaji dari negara.288
Dalam ketentuan UUD 1945 hasil amandemen sama sekali tidak terdapat
ketentuan hukum yang mengatur tentang definisi ‘lembaga negara’ sehingga
banyak ahli hukum Indonesia yang melakukan “ijtihad” sendiri-sendiri dalam
mendefinisikan dan mengklasifikasikan konsep lembaga negara. Satu-satunya
‘petunjuk’ yang diberikan UUD 1945 setelah amandemen adalah berdasarkan
Pasal 24C ayat (1) yang menyebut salah satu kewenangan dari MK adalah untuk
mengadili dan memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.289
Sri Soemantri menafsirkan lembaga negara berdasarkan hasil amandemen
terdiri dari BPK, DPR, MPR, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK, dan KY (8
lembaga negara). Pemikiran ini dibagi menjadi tiga fungsi, pertama, dalam bidang
perundang-undangan, kedua, berkaitan dengan pengawasan, ketiga, berkaitan
dengan pengangkatan hakim agung.290
Menurut Jimly Asshiddiqie, lembaga-lembaga negara dalam arti sempit
yang dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara itu menurut UUD 1945 ada
288Ibid. hlm. 78. 289Ibid. hlm. 81. 290Ibid. hlm. 81.
162
tujuh institusi, yakni Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA,
dan BPK.291
Lembaga negara yang diatur dalam dan dibentuk oleh UUD merupakan
organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan organ UU,
sementara yang hanya dibentuk karena keputusan Presiden tentunya lebih rendah
lagi tingkatannya dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di
dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan
berdasarkan Peraturan daerah tentu lebih rendah lagi tingkatannya.292
Untuk meminimalisir kekacauan akibat dirubahnya sistem ketatanegaraan
Indonesia yang mengadopsi sistem barat, maka perlu adanya wacana untuk
mengembalikan sistem ketatanegaraan Indonesia kepada UUD yang awal, yang
mencirikan memenuhi unsur Karya seni, karya Filsafat, dan karya Pengetahuan.
Atau setidak-tidaknya menerima gagasan yang lebih baik dari amandemen yang
lalu.
5. Anomali MPR Paska Perubahan
Setelah melakukan pembahasan tentang MPR baik sebelum Perubahan
maupun setelah Perubahan, maka pada bagian ini akan kita analisis susunan,
kedudukan, dan wewenang MPR. Dalam bagian ini penulis hanya menggunakan
UUD 1945 dan UUD Perubahan sebagai referensi utama, dikomparasikan dengan
UU No 17 tahun 2014 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
291Ibid. hlm. 82. 292Ibid. hlm. 84.
163
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, atau biasa disebut UU MD3.
A. Anomali 1: Kedaulatan Rakyat
MPR hasil Pemilu 1999, seolah mendapat beban berat untuk melaksanakan
amanat reformasi, salah satu diantaranya ialah mengubah UUD 1945. Karena
UUD 1945 “dituduh” menjadi biang keladi permasalah bangsa Indonesia selama
kekuasaan Orde Baru. Oleh sebab itu, semua pasal dalam UUD 1945 yang dinilai
memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan harus diubah. Mengubah seluruh
pasal yang dinilai memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan menjadi spirit
utama perubahan UUD 1945.
Spirit tersebut tampak dalam sidang-sidang pembahasan Perubahan UUD
1945, baik pada saat sidang komisi, sidang di Panitia Ad Hoc (PAH), maupun
Sidang Paripurna MPR293. Karena argumen untuk membatasi kekuasaan lebih
dominan maka yang menjadi fokus pembahasan anggota MPR, termasuk mereka
yang duduk di dalam Panitia Ad Hoc III, ialah membatasi kekuasaan eksekutif.
Selama pemerintahan Orde Baru, Presiden dinilai telah berlaku otoriter
dan hegemonik. Kekuasaan pemerintah Orde Baru yang otoritarian itu tidak boleh
lagi terjadi pada Indonesia paska reformasi. Otoritarian Orde Baru yang paling
terlihat ialah dengan melakukan konsolidasi kekuasaan melalui lembaga-lembaga
negara. Seluruh lembaga tertinggi maupun tinggi negara dikonsolidasi oleh
Pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaannya. 293 Soal perdebatan ini bisa dibaca dalam NaskahKomprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Edisi Revisi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi : 2010
164
Pemerintah Orde Baru memang mendasarkan semua tindakannya untuk
mengkonsolidasi kekuasaan pada UUD 1945 dan Penjelasannya. Dan hal itu yang
menurut anggota MPR RI hasil Pemilu 1999, harus diubah. Sistem otoritarian
harus diganti dengan sistem yang lebih demokratis. Kekuasaan negara harus
dikembalikan pada pemiliknya yang asli : rakyat.
Kekuasaan yang harus dikembalikan pada rakyat, membutuhkan sebuah
mekanisme, agar rakyat dapat secara langsung menggunakan hak-haknya. Tidak
boleh ada lembaga yang “mengklaim” mewakili kedaulatan rakyat. Agar rakyat
dapat menjalankan kedaulatannya tanpa melalui “perantara” maka yang harus
dilakukan ialah rakyat diberi kuasa untuk memilih atau mendudukkan orang
dalam pemerintahan. Oleh sebab itu sejak awal pembahasan perubahan UUD
1945, hampir semua anggota MPR, kecuali utusan ABRI, telah sepakat untuk
mengadakan pemilihan presiden secara langsung.
Jika presiden sudah dipilih langsung, maka fungsi MPR sebagai pelaksana
kedaulatan rakyat, dan yang menjalankan tugas memilih presiden/wakil presiden,
menjadi tidak ada. Karena fungsi itu tidak ada, maka lembaga MPR harus juga
tidak ada, atau minimal “diberdayakan” dengan menghilangkan fungsinya sebagai
pelaksana kedaulatan rakyat.
Pembahasan soal fungsi MPR sebagai lembaga pelaksana kedaulatan
rakyat dan karena itu menjadi lembaga tertinggi negara, sebenarnya tidak terlalu
alot, karena frame berpikir anggota MPR sudah sejalan. Perdebatan yang terjadi
hanya masalah teknis dan redaksional.
165
Dorongan menjadikan negara Indonesia menjadi negara demokratis
dengan menyerahkan hak rakyat kepada rakyat melalui mekanisme pemilihan
umum, telah mengubah secara fundamental staatsidee Indonesia. Staatsidee
kolektivisme, kekeluargaan, persatuan, negara pengurus, dan istilah lain yang
digunakan para founding fathers saat membentuk negara ini, tidak pernah dikaji
atau dijadikan sebagai bahan melakukan perubahan UUD 1945.
Perubahan UUD secara parsial menjadi penyebab diabaikannya staatsidee
negara. Praktis tidak ada pembahasan konseptual tentang staatsidee negara dalam
pembahasan perubahan UUD 1945 oleh MPR RI paska reformasi. Pengabaian
pembahasan staatsidee, telah membuat beberapa pasal dalam UUD 1945
mengalami distorsi, dan juga tumpang tindih. Pada gilirannya hal itu memicu
konflik kewenangan lembaga negara, seperti terlihat dalam sengketa antara DPR
dan DPD terkait UU MD 3 (UU No 17 tahun 2014). Juga sengketa antara KPK
dan Kepolisian, sengketa antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung,
Sengketa antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi, dan
sebagainya.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kedaulatan di tangan rakyat
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Menurut pasal
tersebut, MPR merupakan representasi kedaulatan rakyat yang fungsinya ialah
melakukan sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan karena itu MPR berkedudukan
sebagai lembaga tertinggi dalam negara. Kedaulatan rakyat yang dilakukan
sepenuhnya oleh MPR itu kemudian didistribusikan kepada lembaga tinggi
negara: Presiden (eksekutif), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-legeslatif),
166
Mahkamah Agung (MA-yudikatif), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-auditif),
dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA-konsultatif).
Tabel 1
Karena MPR merupakan lembaga tertinggi negara, pelaksana kedaulatan
rakyat, maka dia memiliki hak untuk memilih dan memberhentikan presiden.
Kepresidenan merupakan lembaga eksekutif yang kedudukannya di bawah MPR
dan bertanggungjawab pada MPR. Presiden mempunyai kedudukan yang setara
dengan DPR, MA, BPK, dan DPA.
Pasal tersebut, dengan pertimbangan kekuasaan rakyat harus dikembalikan
pada rakyat sebagaimana telah diurai dalam bagian sebelumnya, kemudian
diubah, sehingga berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.” Kedaulatan Rakyat yang semula diterjemahkan
sebagai “kekuasaan” yang kemudian dijalankan oleh MPR, diubah menjadi
“peraturan” yaitu UUD.
MPR
BPK DPR Presiden MA DPA
167
Karena kedaulatan rakyat dijalankan oleh sebuah peraturan, seharusnya,
rakyat memiliki akses untuk melakukan peninjauan atas peraturan tersebut. Dan
bila konsisten hal itu dijalankan, maka mekanisme pelaksanaan kedaulatan rakyat
bisa dilakukan dengan model referendum. Namun, hak rakyat untuk mengakses
peraturan yang ingin dibuatnya tidak diberikan pada rakyat, melainkan pada MPR,
Pasal 37 ayat (1) “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan
menetapkan UndangUndang Dasar.”
Pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk mengubah UUD, menjadi anomali
pertama dari kekuasaan MPR. Bila semula dalam pembahasan perubahan UUD,
dinyatakan MPR bukan sebagai lembaga pelaksana atau yang melakukan
kedaulatan rakyat, namun dalam hal hak rakyat untuk menentukan konstitusi,
kedaulatan itu tetap diberikan pada MPR. Rakyat tidak diberi kekuasaan secara
langsung untuk mengubah UUD melalui referendum atau penentuan pendapat
rakyat, tapi dilakukan oleh MPR.
Perbedaan mendasar dari pelaksanaan kedaulatan rakyat di bidang
konstitusi ini ialah, menurut UUD 1945 hak rakyat untuk menentukan konstitusi
dilaksanakan oleh lembaga yang kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara
dan pelaksana kedaulatan rakyat, namun menurut UUD Perubahan, hak itu
dilaksanakan oleh lembaga yang kedudukannya lebih rendah, yaitu lembaga tinggi
negara, yang tidak memiliki hak untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
Hal itu dapat disimpulkan bahwa, menurut hemat penulis, kedaulatan
rakyat dalam UUD Perubahan telah diturunkan kedudukannya. Rakyat tidak lagi
memiliki “kemewahan” diwakili oleh lembaga tertinggi, melainkan dilakukan
168
oleh lembaga negara yang memiliki kedudukan setara dengan lembaga negara
lainnya.
Di sisi lain, pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam bidang keterwakilan
rakyat, juga telah direduksi menjadi keterwakilan partai politik. MPR menurut
UUD Perubahan, terdiri atas anggota DPR294 dan DPD, dengan perbandingan
jumlah anggota DPD “hanya” tidak lebih dari 1/3295 jumlah anggota DPR. Dengan
perbandingan itu, maka yang dominan ialah partai politik.
Karena partai politik dominan, maka menjadi kewenangan partai politik
juga untuk mengusulkan sekaligus melakukan pembahasan (melalui kader partai
yang menjadi anggota DPR) UUD. Juga membuat UU, menentukan pejabat
negara. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat telah digantikan oleh kedaulatan
partai politik.
Hal itu sangat berbeda dengan makna kedaulatan rakyat yang tercantum
dalam UUD 1945. UUD 1945 menempatkan kedaulatan rakyat pada partai politik
dan seluruh golongan, seluruh perwakilan rakyat di daerah, dengan keberadaan
institusi Utusan Golongan dan Utusan Daerah, dalam susunan keanggotaan MPR.
Rumusan tersebut sejalan dengan staatsidee yang dianut Indonesia, yaitu
kolektivisme atau kekeluargaan. Seluruh lapisan masyarakat, seluruh golongan
dapat berkontribusi dalam seluruh aspek kenegaraan.
294 Pasal 2 UUD Perubahan 295 Pasal 252 UU No. 17/2014
169
B. Anomali 2: Kewenangan dan Tugas MPR
Anomali berikutnya ialah kewenangan dan tugas MPR sebagai lembaga
tinggi negara, seperti terrumuskan dalam Pasal3 UU No 17/2014 jo UU No
42/2014. Sebagai lembaga tinggi, MPR berkedudukan sama dengan lembaga
tinggi negara lainnya : DPR, Presiden, BPK, MK, MA, KY. Seperti sudah
disinggung dalam angka 1, karena kedudukan MPR sama atau sejajar dengan
lembaga tinggi negara296 lainnya, maka hal ini menimbulkan beberapa persoalan
baru, bila dikaitkan dengan pasal-pasal dalam UUD Perubahan:
1) Memberhentikan presiden
Pasal 3 UUD Perubahan memberi tiga keistimewaan pada MPR
sebagai lembaga negara297, yaitu:
i. Mengubah dan menetapkan UUD298
ii. Melantik presiden/wakil presiden299
iii. Memberhentikan presiden/wakil presiden300
Dalam bagian ini akan dibahas soal melantik dan memberhentikan
presiden/wakil presiden. Logikanya, secara organisatoris yang berhak
mengangkat dan memberhentikan seseorang dari jabatannya ialah
lembaga yang berada atau memiliki kekuasaan lebih tinggi. Camat
dipilih oleh walikota, kepala cabang sebuah perusahaan diangkat oleh
pimpinan tertinggi di perusahaan tersebut, dan sebagainya.
Dalam UUD 1945 presiden dipilih oleh MPR301 sebagai lembaga
yang memiliki kedudukan tertinggi. Karena dipilih oleh MPR, maka
296 UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 297 Dalam perdebatan di sidang-sidang MPR untuk membahas perubahan UUD 1945 itu
disebutkan sebagai wewenang dan tugas MPR, dan kemudian dituangkan dalam UU No. 17/2014 298 Pasal 3 ayat (1) UUD Perubahan 299 Pasal 3 ayat (2) UUD Perubahan 300 Pasal 3 ayat (3) UUD Perubahan 301 Pasal 6 ayat (2) UUD 1945
170
presiden/wakil presiden juga dapat diberhentikan oleh MPR. Tampak
jelas sekali struktur kenegaraan dari proses pemilihan dan
pemberhentian presiden/wakil presiden tersebut.
Namun dalam UUD Perubahan, presiden/wakil presiden dilantik
dan diberhentikan302 oleh lembaga yang memiliki derajat setara. Meski
hal itu diatur dalam UUD, namun secara hirarkhi menjadi anomali.
2) Keputusan/Ketetapan MPR Dapat Digugat
Pasal 24C ayat (1) UUD Perubahan: Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
Menjadi pertanyaan, apakah keputusan dan/atau ketetapan MPR
secara formal (bukan material) dapat diajukan gugatan ke Mahkamah
Konstitusi, apabila ada lembaga tinggi negara lainnya merasa
keputusan/ketetapan MPR itu menimbulkan masalah? Misalkan,
dapatkah DPR menggugat keputusan/ketetapan MPR yang karena
presiden dan wakil presiden berhalangan tetap, maka MPR memilih
presiden dan wakil presiden (Pasal8 UUD Perubahan). Presiden dan
wakil presiden yang sudah dipilih, ternyata kemudian digugat oleh
lembaga tinggi negara lain. Apakah kasus tersebut dapat diajukan ke
Mahkamah Konstitusi dengan menggunakan dasar Pasal24C ayat 1
UUD Perubahan.
Dapatkah Dewan Perwakilan Daerah, yang memandang hak-
haknya dibatasi, atau komposisinya tidak sebanding dengan Dewan
Perwakilan Rakyat, kemudian menggugat keputusan MPR yang
302 Setelah melalui proses sebagaimana diatur dalam pasal 7A dan 7B UUD Perubahan
171
menetapkan UUD Perubahan? Bukankah keputusan MPR itu layak
disebut sebagai sengketa antar lembaga negara?
Apabila hal itu diajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, apakah
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan? Karena secara material
yang digugat ialah UUD yang domainnya berada di MPR bukan di
Mahkamah Konstitusi. Namun secara formal hal itu merupakan konflik
kewenangan antarlembaga negara.
3) Kewenangan MPR
Dalam hal kewenangan dan tugas MPR anomali yang sangat
mencolok ialah terjadinya perbedaan yang sangat tajam antara
kewenangannya (mengubah dan menetapkan UUD, melantik dan
memberhentikan presiden), dengan tugasnya yang hanya bersifat
seremonial dan kehumasan.
Pasal 5 UU 17/2014 menjelaskan tugas MPR :
a. memasyarakatkan ketetapan MPR;
b. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
c. mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya;
dan
d. menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Berbeda dengan tugas MPR menurut UUD 1945, dimana masih
diberi kewenangan untuk membuat dan menetapkan Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN), sehingga MPR selalu bekerja menyerap
aspirasi rakyat (pemegang kedaulatan), mengkaji, dan
memformulasikannya dalam GBHN. Di samping itu, MPR juga
bertugas untuk mengawasi jalannya pemerintahan, karena presiden
172
dapat diberhentikan oleh MPR bila dinilai melanggar UUD 1945 dan
GBHN303.
Tugas MPR sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 UU 17/2014
huruf a, b, dan c, sebenarnya bisa dilakukan oleh badan-badan
eksekutif, tidak perlu dilakukan oleh lembaga negara.
C. Anomali 3 : Kewenangan Mengubah UUD
Anomali berikutnya ialah kewenangan sekaligus tugas MPR untuk
mengubah dan menetapkan UUD. Kewenangan untuk mengubah dan menetapkan
UUD diatur dalam Pasal 3 ayat (1) “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang
mengubah dan menetapkan Undang Undang Dasar.” Tata cara melakukan
perubahan UUD diatur lebih terinci dalam Pasal37 UUD Perubahan. Kemudian,
dalam Aturan Tambahan Pasal II disebutkan : “Dengan ditetapkannya perubahan
Undang Undang Dasar ini, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal pasal.”
Dari ketentuan Pasal3 ayat (1), Pasal 37, dan Aturan Tambahan Pasal II,
jelas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan UUD ialah terdiri atas
Pembukaan dan pasal-pasal (atau sering disebut sebagai batang tubuh). Esensi
dari Aturan Tambahan Pasal II itu ialah membuat Penjelasan UUD 1945 yang
semula oleh Orde Baru ditetapkan sebagai satu kesatuan dengan Pembukaan dan
Batang Tubuh, menjadi tidak berlaku. Penjelasan UUD 1945 dihilangkan, dan
tidak memiliki kekuatan hukum.
303 Penjelasan UUD 1945
173
Namun pemahaman konstitusi tersebut telah dimaknai berbeda, atau
bahkan bisa disebut dilanggar oleh UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Pasal 24 UU 17/2014 itu
justeru memangkas dan membatasi kewenangan MPR dalam mengubah dan
menetapkan UUD (Pembukaan dan Batang Tubuh).
“Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota MPR tidak dapat
mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia304.”
Secara hirarkhi, UU memiliki kedudukan lebih rendah daripada UUD.
Bahwa dalam UU No. 17/2014 itu telah berlawanan dengan Pasal 3, Pasal 37, dan
terutama Aturan Peralihan Pasal II UUD Perubahan.
Masalah Pembukaan UUD merupakan persoalan yang serius bagi bangsa
Indonesia. Bahkan ada yang berpendapat, mengubah Pembukaan akan berdampak
buruk yaitu disintegrasi bangsa. Namun mengapa justru para penggagas
perubahan UUD 1945 memberi peluang pada MPR untuk mengubah Pembukaan?
Apabila ada usul dari anggota, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 37
UUD Perubahan, menghendaki perubahan Pembukaan UUD, argumentasi apakah
yang dapat digunakan oleh MPR untuk menolak usulan tersebut? Apakah akan
berargumentasi dengan UU No. 17/2014?
174
BAB V
Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Membandingkan Susunan, Kedudukan, dan Kewenangan MPR menurut UUD
1945 dan UUD Perubahan, maka penulis berkesimpulan ada perubahan secara
mendasar bila dilihat dari staatsidee Indonesia. Perubahan staatsidee itu pada
akhirnya mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia, juga mengubah bentuk dan
pelaksanaan kedaulatan rakyat.
A. Staatsidee Indonesia Perumusan UUD 1945 oleh BPUPKI dan PPKI, secara jelas menyatakan
bahwa staatsidee Indonesia ialah Kekeluargaan, Integralistik, atau
dengan istilah lain : Kolektivisme. Kolektivisme yang dirumuskan oleh
founding fathers ialah kolektivisme yang berbasis pada akar budaya
bangsa Indonesia yang terus bertahan. Hingga saat ini, ciri kolektivisme
itu masih tetap dipertahankan di desa-desa, seperti tercermin dalam
tradisi gotong royong, kerja bakti dan sebagainya. Kolektivisme,
merujuk teori Frederich A. Hayek, merupakan “rejim” perencanaan
terpusat. Oleh sebab itu sistem ketatanegaraan Indonesia menurut UUD
1945, memiliki sistem yang khas. Kekhasan itu terutama terletak pada
keberadaan MPR sebagai penjelmaan rakyat, pelaksana kedaulatan
rakyat. MPR merupakan Lembaga Tertingi Negara, yang
mendistribusikan kewenangannya pada Lembaga-lembaga Tinggi
175
Negara. MPR bisa disebut sebagai orang pusat untuk merumuskan
perencanaan. Rumusan perencanaan tersebut, diformulasikan dalam
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), sebagai rujukan bagi
Lembaga-lembaga Tinggi Negara.
Paska amandemen UUD (1999-2002), staatsidee kolektivisme tidak lagi
digunakan, dengan alasan hak rakyat harus dikembalikan pada rakyat.
Rakyat yang dimaksud ialah individu-individu warga negara. Oleh sebab
itu, UUD Perubahan lebih bersifat individualistic. Paham individualistic
yang dahulu sangat ditentang oleh para founding fathers, dapat dilihat
pada bentuk-bentuk pelaksanaan demokrasi, dimana digunakan
demokrasi langsung, one man one vote. Demokrasi langsung itu
dipandang sebagai bentuk kedaulatan rakyat, sehingga tidak perlu lagi
diwakilkan kepada MPR sebagai pelaksana kedauatan rakyat. Oleh
sebab itu MPR tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara, melainkan
hanya Lembaga Tinggi Negara, setara dengan Presiden, DPR, DPD,
BPK, MA, KY, dan MK. Karena perencanaan terpusat tidak lagi
diterapkan, maka kewenangan MPR merumuskan GBHN juga
dihilangkan, dan arah negara diserahkan pada presiden yang terpilih
melalui pemilihan langsung. Selain itu, hak-hak rakyat untuk terlibat
dalam urusan kenegaraan, telah diambil alih oleh partai politik, karena
peserta Pemilu untuk duduk di DPR dan MPR berasal partai politik.
Meskipun DPD secara konstitusional merupakan individu non partai,
176
namun dalam pelaksanaannya anggota DPD berasal atau berafiliasi
dengan partai politik.
B. Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan rakyat menurut UUD 1945, dilaksanakan oleh MPR. Dan
susunan MPR terdiri atas tiga golongan rakyat : golongan politik (partai
politik melalui DPR), golongan fungsional (Utusan Golongan), dan
golongan masyarakat adat/kedaerahan (Utusan Daerah).
Dalam UUD Perubahan, Utusan Golongan dihilangkan, sehingga
susunan MPR terdiri atas Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat. Dalam kenyataannya, anggota DPD selalu berasal
atau berafiliasi dengan partai politik. Dengan kondisi itu, sesungguhnya
partai politik merupakan pelaksana kedaulatan rakyat. Dalam beberapa
kasus, partai politik sering dianggap sebagai “harta milik”
orang/keluarga tertentu. Dan partai politik memiliki masalah-masalah
internal, sehingga terpecah. Dari dua hal tentang partai politik itu, tentu
sangat mengkhawatirkan jika kedaulatan rakyat diserahkan hanya pada
golongan/keluarga/kelompok tertentu.
C. Sistem Ketatanegaraan
Akibat point satu dan dua di atas, berdampak pada sistem ketatanegaraan
Indonesia. Terjadinya overlapping pelaksanaan kekuasaan/kewenangan,
misalnya kedudukan MPR yang di satu sisi memiliki kewenangan
177
“super” yaitu melakukan amandemen UUD, di sisi lain pelaksanaan
kewenangannya diatur oleh lembaga lain yaitu DPR. Contoh lain ialah
kewenangan DPR terlibat menentukan jabatan-jabatan pada lembaga-
lembaga tinggi negara. Kekuasaan presiden sebagai panglima tertinggi
Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan kepolisian,
namun dalam pelaksanaannya kekuasaan tertinggi itu dibatasi oleh
keterlibatan DPR.
2. Saran Berdasarkan pemaparan dan analisis yang penulis lakukan, maka untuk
memperbaiki sistem ketatanegaraan Indonesia perlu dilakukan
perubahan/amandemen UUD. Dalam perubahan tersebut harus benar-benar
dipikirkan secara mendasar staatsidee Indonesia. Staatsidee tersebut memiliki
fungsi sebagai ruh dalam menjalankan negara. Tanpa staatsidee, maka negara
akan berjalan tanpa pedoman.
Dalam konteks perumusan staatsidee dan amandemen/perubahan UUD itu,
penulis ingin memberikan saran :
1) Staatsidee kolektivisme yang dirumuskan oleh para founding father
dan tercermin dalam Pembukaan UUD perlu ditegaskan kembali.
Esensi dari kolektivisme ialah paham perencanaan.
2) Dalam hal kedaulatan, sebaiknya kedaulatan rakyat tetap diberikan
pada rakyat tanpa dikurangi atau digantikan oleh partai politik,
sebagaimana kondisi saat ini.
3) Dalam kaitan dengan saran kedua tersebut, penulis menyarankan agar
susunan, kedudukan, kewenangan dan tugas MPR dikembalikan
178
sebagaimana diatur dalam UUD 1945. MPR tetap sebagai lembaga
tertinggi negara, pelaksana kedaulatan rakyat. Demikian pula dengan
susunan MPR yang terdiri dari representasi politik (Partai
Politik/DPR), representasi kewilayahan (Utusan Daerah), dan
representasi golongan fungsional (Utusan Golongan).
4) Pengalaman traumatik penyimpangan UUD 1945 yang dilakukan oleh
Orde Lama maupun Orde Baru, dapat diperbaiki dengan memperbaiki
pasal-pasal yang dinilai memberi peluang otoritarianisme, tanpa
mengubah bangunan ketatanegaraan Indonesia sebagaimana
dirumuskan oleh UUD 1945.
179
Daftar Pustaka
Buku-buku:
Ann Seidman and Robert B. Seidman, Law-Making, Development and The Rule
Of Law, http://media.leidenuniv.nl/legacy/Seidmanforth.pdf
Artidjo Alkostar, (ed), Identitas Hukum Nasional, Yogyakarta: Fakultas Hukum
UII, 1997.
Bambang Santoso, Relevansi Pemikiran Teori Robert B Seidman tentang ‘The
Law of Non Transferability of the Law’ dengan upaya Pembangunan
Hukum Nasional, Jurnal Yustisia, edisi No 70, Januari-April 2007.
Bambang Santoso, Relevansi Pemikiran Teori Robert B Seidman tentang ‘The
Law of Non Transferability of the Law’ dengan upaya Pembangunan
Hukum Nasional, Jurnal Yustisia, edisi No 70, Januari-April 2007.
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum, Problematika Ketertiban yang Adil,
Bandung: CV. Mandar Maju, 2011.
C. S. T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Cetakan pertama,
Jakarta: Bina Aksara, 1984.
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, 1991.
Carol C. Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali. Tiara Wacana, cetakan pertama.
Yogyakarta, 1993.
CF Strong, “Konstitusi-konstitusi Politik Modern, Studi Perbandingan Tentang
Sejarah dan Bentuk Negara,” Bandung: Nusa Media, 2015.
Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta:
Liberty, 1994.
--------------, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, “Teori dan Hukum Konstitusi”,
Depok: Rajawali pers, 1999.
------------------, Pancasila Yuridis Ketatanegaraan, AMP YKPN, cetakan kedua,
Yogyakarta, 1991.
180
David M. Trubek, Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study of Law
and Development, The Yale Law Journal, Volume 82, Number 1,
November 1972.
Djokosutono, Hukum Tata Negara, cetakan pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982.
E.Utrech, Pengantar Hukum Administrasiu Negara Indonesia, Cet. 4, 1960.
Frederich A. Hayek, Ancaman Kolektivisme, Freedom Institute-Friederich
Naumann Stiftung, Jakarta, 2011.
Hadji Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid
pertama, Jakarta, tanpa penerbit Wahidin, Samsul, 2010, Konseptualisasi
dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1959.
Hamdan Zoelva, “Fenomena Perda Syariat Islam Di Daerah,”
http://www.tokohindonesia.com/publikasi/article/322-opini/4227-
fenomena-perda-syariat-islam-di-daerah.
HM Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. VI. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000.
J.J. Von Schmid, Ahli-ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, Jakarta: PT.
Pembangunan, 1998.
Jhr. Dr. J.J. Von Schmid, Ahli-ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum,
Jakarta: PT. Pembangunan cetakan keenam, 1998.
Jimly Ashiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaanya di Indonesia. Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994.
--------------, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam
UUD 1945. Cetakan pertama, Yogyakarta: FH UII Press, 2004.
--------------, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya
Di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan Antara Individualisme Dan
Kolektivisme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik Dan Demokrasi
Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi,1945-1980-an, Disertasi Pada
Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1993.
---------------, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press,
2005.
181
---------------, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Hubungan Kewenangan
DPRD dan Kepala Daerah), Jakarta: Alumni, 2006.
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial, Bandung: Nusa
Media, 2013.
Lysen, Individu dan Masyarakat, Vorkink-Van Hoeve, Bandung.
Marcus Colchester, Sophie Chao (ed), Beragam Jalur Menuju Keadilan
Pluralisme Hukum Dan Hak-hak Masyarakat Adat Di Asia Tenggara,
Jakarta: Epistema Institute, 2002.
Marsilam Simanjuntak, Unsur Hegelian Dalam Pandangan Negara Integralistik,
Skripsi, Jakarta: Fakultas Hukum UI, 1989.
Mc Iver, Jaring-jaring Pemerintahan jilid 2, (Jakarta, Aksara Baru
Kusumohamidjojo, Budiono, 2011, Filsafat Hukum, Problematika
Ketertiban yang Adil, Bandung: CV. Mandar Maju, 1981.
Michiel Otto, Sharia Incorporated A Comparative Overview of the Legal Systems
of Twelve Muslim Countries in Past and Present, Leiden: Leiden
University Press, 2010.
Miriam Budiardjo, DasarDasar Ilmu Politik. Edisi Revisi, Cetakan Pertama,
Gramedia, Jakarta, 2008.
Moh Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen
Konstitusi, Depok: Rajawali pers, 2013.
---------------, Politik Hukum Di Indonesia, edisi revisi, Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2009.
Mr. Djokosutono, Hukum Tata Negara, cetakan pertama, Jakarta, Ghlm. ia
Indonesia, 1982.
Mr. Hadji Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,
jilid pertama, Jakarta, tanpa penerbit, 1959.
Ni’matul Huda, “Hukum Tata Negara Indonesia,” Depok: Rajawali Pers, 2014.
---------------, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, Cetakan ke-9,
Yogyakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.
182
----------------, Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, cetakan ketujuh,
Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1978.
R Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, cetakan kesembilan, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1977.
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta : Serambi, 2005
S. Silalahi, “Dasar-dasar Indonesia Merdeka Versi Para Pendiri Negara”,
Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Samsul Wahidin, Dalam Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
---------------, Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Yang Tak Kunjung Tegak : Apa Yang Salah
Dengan Kerja Penegakan Hukum Di Negeri Ini? Dalam
https://soetandyo.files.wordpress.com/2012/12/hukum-yang-tak-kunjung-
tegak.docx.
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Yang Tak Kunjung Tegak : Apa Yang Salah
Dengan Kerja Penegakan Hukum Di Negeri Ini? Dalam
https://soetandyo.files.wordpress.com/2012/12/hukum-yang-tak-kunjung-
tegak.docx. 2012.
Sofian Efendi, Sistem Pemerintahan Negara Berdasarkan Faham Kekeluargaan
dan Idiologi Negara Pancasila, makalah disampaikan pada Seminar
Wawasan Kebangsaan dan Pengamalan Pancasila.
https://dunialppkb.wordpress.com/sistem-pemerintahan-negara/
Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia, Pemikiran dan Pandangan,
Bandung: Rosda, 2014.
Tim penyusun MKD Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Press, 2011.
W. Freidmann, Legal Theory, London: Steven&soon, 5th ed).
Wahyudi, Alwi Hukum Tata Negara Indonesia, Dalam Perspektif Pancasila Pasca
Reformasi, Jogja : Pustaka Pelajar, 2012
183
Peraturan Perundang-Undangan:
Lampiran Ketetapan No: XXXIII/MPRS/1966 Tentang Sumber Tertib Hukum
dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia. Di dalamya terdapat
skema pembagian kekuasaan negara dengan jalur isntruktif yang
digambarkan secara jelas. Di bawahnya ada deretan Lembaga Tinggi
Negara.
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan,
1999-2002, EDISI REVISI
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan,
1999-2002, EDISI REVISISekretariat Jenderal dan Kepaniteraan,
Mahkamah Konstitusi: 2010.
Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Jilid pertama (I). 1959.
Pasal 19 UUD 1945 berbunyi: “ (1) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat
ditetapkan dengan undang-undang. (2) Dewan Perwakilan Rakyat
bersidang sedikitnya sekali dalam setahun”.
Pasal2 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “MPR terdiri atas anggota-anggota DPR,
ditambah dengan utusan-utusan daerah dan golongan-golongan, menurut
aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”,
Pasal 20 UUD 1945 berbunyi: “ (1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Jika sesuatu rancangan
undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,
maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat masa itu”.
Pasal 21 UUD 1945 berbunyi:”Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat
berhak memajukan rancangan undang-undang. (2) Jika rancangan itu,
meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disyahkan oleh
184
Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”.
Pasal 22 UUD 1945 berbunyi:”(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-
undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (3) Jika tidak
mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut”.
Pasal 23 UUD 1945 berbunyi:”(1) Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan
tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat
tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah
menjalankan anggaran tahun yang lalu. (2) Segala pajak untuk keperluan
negara berdasarkan undang-undang. (3) Macam dan harga mata uang
ditetapkan dengan undang-undang. (4) Hal keuangan negara selanjutnya
diatur dengan undang-undang. (5) Untuk memeriksa tanggung jawab
tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan,
yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan
itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: “Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI); Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI); 28 Mei
1945 – 22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia,
1998.
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI); Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI); 28 Mei
1945 – 22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia,
1998.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi, “Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan,
1999-2002,” Buku ketiga jilid 1 Edisi Revisi: 2010.
185
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi: 2010
Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Permasyaratan; Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Edisi Revisi. Cetakan ke-11.
UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah
UU No. 2/1985, susunan DPR diatur dalam UU Pelaksanaan Pasal19 ayat (1)
UUD 1945 dengan UU No. 16/1969, UU