ANALISIS HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH MAKAN, POLA … · Topik yang dipilih dalam penelitian yang...
Transcript of ANALISIS HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH MAKAN, POLA … · Topik yang dipilih dalam penelitian yang...
ANALISIS HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH MAKAN,
POLA ASUH KESEHATAN DENGAN KEJADIAN MALARIA
DAN STATUS GIZI BALITA DI KABUPATEN MANOKWARI
PROPINSI PAPUA BARAT
THERRESSE NOFIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Hubungan
antara Pola Asuh Makan, Pola Asuh Kesehatan dengan Kejadian Malaria dan
Status Gizi Balita di Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Therresse Nofianti
NRP I151100031
ABSTRACT
THERRESSE NOFIANTI. Analysis of Association between Feeding Practice,
Parenting Health and Incidence of Malaria with Nutritional Status of Children
Under Five in District of Manokwari of West Papua Province. Supervised by M.
RIZAL M. DAMANIK and SITI MADANIJAH.
The objective of this research was to analyze association of parenting,
parenting health and malaria incidence with nutritional status of children under
five years in Distric of Manokwari of West Papua Province. The design of this
research was cross sectional study with total sample of 100 children under five
years. The results of the research showed that there is a association between
feeding practice, sufficient level of energy, sufficient level of protein, the incidence
of malaria and nutritional status. However, there was no association between
parenting health and nutritional status. There was no association between
feeding practice, sanitary environment with malaria, but there was a association
between health care pattern with the incidence of malaria. Factors that
significantly influence the incidence of malaria was environmental sanitation,
health parenting and child hygiene practices, while the factors that significantly
affect the nutritional status of children under five were energy consumption,
knowledge of mothers about breastfeeding and maternal knowledge about
malaria.
Key words: malaria incidence, nutritional status, feeding practice, under five
years
RINGKASAN
THERRESSE NOFIANTI. Analisis Hubungan Antara Pola Asuh Makan, Pola Asuh Kesehatan dengan Kejadian Malaria dan Status Gizi Balita di Kabupaten
Manokwari Propinsi Papua Barat. Dibimbing oleh M. RIZAL M. DAMANIK dan
SITI MADANIJAH.
Malaria merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari genus plasmodium dan dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, serta malaria secara langsung menyebabkan anemia dan menurunkan produktivitas kerja. (Kemenkes, 2011). Berdasarkan data Riskesdas, Propinsi Papua Barat dan Papua memiliki prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di atas prevalensi nasional yaitu sebesar 9.1% dan 17.4%. Besarnya angka malaria tahun 2009 sampai 2010 di seluruh Indonesia adalah 22.9‰. Kabupaten Manokwari merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Papua Barat. Pada tahun 2010 sekitar 10% anak balita di Kabupaten Manokwari mengalami gizi buruk dari 2 270 balita yang ditimbang di posyandu dan Puskesmas. Pada tahun 2011 jumlah balita yang terjangkit malaria diperkirakan sebanyak 17% atau sekitar 918 balita. Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara pola asuh makan, pola asuh kesehatan dengan kejadian malaria dan status gizi balita di Kabupaten Manokwari.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, dilakukan di 4 Puskesmas yaitu Puskesmas Sanggeng, Wosi, Warmare dan Prafi di Kabupaten Manokwari, Propinsi Papua Barat, berlangsung dari bulan Mei sampai bulan Juli 2012. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara menggunakan kuesioner terhadap ibu balita untuk mendapatkan data karakteristik keluarga, pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria, karakteristik anak balita, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan, riwayat menyusui dan penyapihan, kejadian malaria, dan sanitasi lingkungan. Data konsumsi pangan diperoleh dari recall 2 x 24 jam sedangkan status gizi balita dilakukan dengan cara pengukuran antropometri berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Data dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0. Analisa bivariat Chi-square digunakan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh makan, pola asuh kesehatan, tingkat kecukupan gizi, sanitasi lingkungan dengan kejadian malaria dan status gizi balita. Analisis multivariat regresi logistik dilakukan untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malaria dan status gizi balita.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan karakteristik keluarga diperoleh rata-rata umur ibu adalah 28 tahun, umur ayah 32 tahun, rata-rata jumlah anggota keluarga 4 orang dan rata-rata pendapatan keluarga sebesar Rp1 950 000. Ditinjau dari status pendidikan orangtua, diperoleh bahwa 67% ibu balita berpendidikan rendah (≤SLTP) dan 33% lainnya berpendidikan tinggi (>SLTP). Jika ditinjau dari pendidikan suami, 54% suami berpendidikan rendah (≤SLTP) dan 46% lainnya berpendidikan tinggi (>SLTP). Berdasarkan asal suku, diperoleh bahwa 44% ibu adalah masyarakat asli Papua dan lainnya 56% merupakan masyarakat pendatang. Bila ditinjau dari status pekerjaan orang tua, diperoleh hanya 23% ibu yang bekerja dan 100% ayah bekerja.
Berdasarkan umur anak, diperoleh bahwa sebagian besar (70%) balita berumur 2-3 tahun, rata-rata usia balita adalah tiga tahun, 59% anak balita
berjenis kelamin perempuan dan 41 lainnya berjenis kelamin laki-laki, 13% balita memiliki berat badan lahir rendah (< 2 500 gram) dan 87% balita lainnya memiliki berat badan lahir normal. Rata-rata berat badan lahir balita adalah 2 900 gram.
Berdasarkan pengetahuan ibu tentang ASI, diperoleh 46% ibu memiliki pengetahuan ASI yang kurang baik. Berdasarlkan pola asuh makan, diperoleh bahwa 65% ibu memiliki pola asuh makan yang kurang baik, disebabkan riwayat pemberian ASI dan penyapihan yang kurang baik serta praktek makan yang kurang baik. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin B12 balita masih kurang dari AKG yang dianjurkan.
Berdasarkan pola asuh kesehatan diperoleh diperoleh 57% ibu memiliki pola asuh kesehatan yang kurang baik. Sebagian besar (80%) ibu memiliki praktek kebersihan yang baik, 85% ibu memiliki pola asuh yang baik dalam merawat anak ketika sakit dan 74% ibu belum menerapkan praktek pencegahan malaria yang baik. Pada umumnya ibu balita hanya menerapkan 2-3 praktek pencegahan saja dari tujuh praktek pencegahan malaria yang dianjurkan oleh dinas kesehatan. Hasil penelitian mengenai sanitasi lingkungan menunjukkan bahwa 82% sanitasi lingkungan tempat tinggal responden berada dalam kategori kurang baik.
Ditinjau dari kejadian malaria, diperoleh 69% tingkat kejadian malaria pada balita di Kabupaten Manokwari tinggi, hal ini disebabkan pada saat penelitian dan selama enam bulan terakhir banyak balita yang sakit. Berdasarkan status sakit, 80% balita menderita sakit malaria dimana 42% balita mengalami malaria berat yaitu malaria jenis tropika dan 58% lainnya menderita malaria ringan.
Ditinjau dari status gizi, rata-rata status gizi balita berdasarkan BB/TB adalah normal, namun terdapat 31% balita kurus sementara balita gemuk tidak ditemukan. Selanjutnya berdasarkan TB/U, secara rata-rata status gizi balita adalah normal, namun 21% balita termasuk pendek. Sedangkan berdasarkan BB/U diperoleh 45% balita memiliki status gizi yang tidak normal dan 55% balita lainnya normal. Balita dengan status gizi buruk dan gizi lebih tidak ditemukan dalam penelitian ini.
Hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh makan, tingkat kecukupan energi tingkat kecukupan protein, kejadian malaria dengan status gizi. Namun tidak ada hubungan antara pola asuh kesehatan dengan status gizi. Tidak ada hubungan antara pola asuh makan dengan kejadian malaria, namun terdapat hubungan antara pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan dengan kejadian malaria.
Analisis uji lanjut dengan regresi logistik menunjukkan faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian malaria adalah sanitasi lingkungan, pola asuh kesehatan dan praktek kebersihan anak; sedangkan faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap status gizi anak balita adalah konsumsi energi, pengetahuan ibu tentang ASI, pengetahuan ibu tentang malaria serta kejadian malaria.
Kata kunci : balita, kejadian malaria, pola asuh, status gizi
Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH MAKAN,
POLA ASUH KESEHATAN DENGAN KEJADIAN MALARIA
DAN STATUS GIZI BALITA DI KABUPATEN MANOKWARI
PROPINSI PAPUA BARAT
THERRESSE NOFIANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc
Judul Tesis : Analisis Hubungan antara Pola Asuh Makan, Pola Asuh
Kesehatan dengan Kejadian Malaria dan Status Gizi
Balita di Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat
Nama : Therresse Nofianti
NRP : I 151100031
Disetujui
Komisi Pembimbing
drh. M. Rizal M. Damanik, M.Rep.Sc, PhD Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Gizi Masyarakat
drh. M. Rizal M. Damanik, M.Rep.Sc, PhD Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 17 Desember 2012 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat hidayah dan karuniaNYA sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei-Juli 2012
ini adalah tentang Analisis Hubungan antara Pola Asuh Makan, Pola Asuh
Kesehatan dengan Kejadian Malaria dan Status Gizi Balita di Kabupaten
Manokwari Propinsi Papua Barat.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada drh. M.
Rizal M. Damanik, M.Rep.Sc, PhD dan Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS, selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan motivasi. Di samping itu,
penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ayah, ibu, kakak, adik, dan
seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Ucapan terimakasih juga
Penulis sampaikan kepada suami tercinta Fadli Zainuddin dan anak tersayang
Taufiq Akbar Zainuddin atas semangat, perhatian dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013
Therresse Nofianti
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sorong, Papua Barat pada tanggal 08 November
1980. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara pasangan suami
isteri Bapak Drs. Marlis dan Ibu Agustina Hermiyanti.
Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Manokwari dan pada tahun
yang sama melanjutkan pendidikan di Universitas Cenderawasih (UNCEN) yang
sejak tahun 2001 berubah menjadi Universitas Negeri Papua (UNIPA), Fakultas
Pertanian dan Teknologi Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dengan
minat Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Penulis menyelesaikan studi di
UNIPA pada tahun 2004 dan bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas
Negeri Papua sejak tahun 2005 sampai sekarang. Pada tahun 2010, penulis
melanjutkan kembali pendidikan Strata 2 (S2) pada Sekolah Pascasarjana IPB,
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia dengan
Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Direktorat Pendidikan Tinggi.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xv PENDAHULUAN ................................................................................... 1 Latar Belakang .................................................................................. 1 Perumusan Masalah ......................................................................... 3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 5 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 6 Pola Asuh .......................................................................................... 6 Sanitasi Lingkungan .......................................................................... 13 Status Gizi Anak ................................................................................ 14 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh, Kejadian Malaria dan Status Gizi .................................................................................. 19 Kejadian Malaria ............................................................................... 23 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ......................................... 32 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 34 Hipotesis Penelitian ........................................................................... 34 METODE PENELITIAN ......................................................................... 35 Desain, Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 35 Populasi dan Sampel ........................................................................ 35 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................... 37 Pengolahan dan Analisis Data .......................................................... 38 Definisi Operasional .......................................................................... 47 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 49 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................. 49 Karakteristik Keluarga dan Anak Balita ............................................. 51 Pengetahuan Ibu tentang ASI dan Malaria ........................................ 55 Pola Asuh Makan dan Pola Asuh Kesehatan .................................... 57 Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Gizi Balita ................................... 64 Sanitasi Lingkungan dan Kejadian Malaria ........................................ 68 Status Gizi Balita ............................................................................... 72 Hubungan antar variabel pola Asuh Makan, Tingkat Konsumsi,
Pola Asuh Kesehatan,Kejadian Malaria dengan Status Gizi Balita .... 74 Hubungan Pola Asuh Makan, Pola Asuh Kesehatan, Sanitasi
Lingkungan dengan Kejadian Malaria ............................................... 76 Faktor-Faktor yang berpengaruh terhadap Kejadian malaria dan status gizi ................................................................................... 77
xii
SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 81 Simpulan ........................................................................................... 81 Saran ................................................................................................ 81 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 82 LAMPIRAN ............................................................................................ 88
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Pedoman pemberian makanan yang sehat .......................................... 9
2 Angka kecukupan gizi balita yang dianjurkan menurut AKG 2004 ........ 15
3 Kategori interpretasi status gizi berdasarkan tiga Indeks (BB/U,TB/U, BB/TB standar baku antropometeri WHO-NCHS) ........... 18
4 Cara pengumpulan data primer............................................................ 37
5 Rekapitulasi pengkategorian variabel penelitian .................................. 41
6 Kegiatan penemuan dan pengobatan malaria di Kabupaten Manokwari Tahun 2011 ...................................................... 50
7 Distribusi contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi ................. 51 keluarga ............................................................................................
8 Distribusi balita berdasarkan karakteristik balita di Puskesmas Kabupaten Manokwari ........................................................................ 54
9 Distribusi ibu berdasarkan pengetahuan tentang ASI dan malaria di Puskesmas Kabupaten Manokwari .................................................. 55
10 Distribusi balita berdasarkan pola asuh makan di Puskesmas Kabupaten Manokwari ......................................................................... 58
11 Distribusi contoh berdasarkan pola asuh makan dan karakteristik sosial ekonomi keluarga ...................................................................... 59
12 Distribusi balita berdasarkan pola asuh kesehatan di Puskesmas Kabupaten Manokwari ...................................................................................... 60
13 Distribusi contoh berdasarkan pola asuh kesehatan dan karakteristik sosial ekonomi keluarga ....................................................................... 64
14 Rataan asupan energi dan zat gizi balita per hari di Puskesmas Kabupaten Manokwari ......................................................................... 65
15 Distribusi balita berdasarkan tingkat kecukupan gizi di Puskesmas Kabupaten Manokwari ......................................................................... 67
16 Distribusi balita berdasarkan kejadian malaria di Puskesmas Kabupaten Manokwari ......................................................................... 69
17 Distribusi contoh berdasarkan kejadian malaria dan karakteristik sosial ekonomi keluarga ....................................................................... 71
18 Distribusi balita berdasarkan status gizi di Puskesmas Kabupaten Manokwari ......................................................................... 73
19 Distribusi status gizi berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga dan karakteristik balita .......................................................... 74
20 Hubungan antara pola asuh makan, tingkat konsumsi, pola asuh kesehatan, kejadian malaria dengan status gizi balita .......................... 75
21 Hubungan antara pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan dengan kejadian malaria di Kabupaten Manokwari ........... 77
22 Hasil uji regresi logistik faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malaria dan status gizi balita .................................................. 78
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Peta stratifikasi malaria Tahun 2009 .................................................... 24
2 Peta persebaran API di Kabupaten Manokwari Tahun 2011 ................ 25
3 Kerangka pemikiran hubungan pola asuh makan, pola asuh kesehatan dengan kejadian malaria dan status gizi balita ... 33
4 Skema tahapan pengambilan contoh ................................................... 36
5 Praktek ibu dalam mencegah malaria di Puskesmas Kabupaten
Manokwari ........................................................................................... 62
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil uji regresi logistik faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malaria ................................................................................... 88
2 Hasil uji regresi logistik faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi balita ................................................................................... 89
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masa balita merupakan usia penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan fisik anak. Pada usia ini, anak masih rawan dengan berbagai
gangguan kesehatan, baik jasmani maupun rohani dan jumlahnya dalam
populasi besar. Pada balita, kekurangan gizi dapat mengakibatkan terganggunya
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan spiritual. bahkan gangguan
tersebut dapat bersifat permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki dimana
kekurangan gizi pada saat balita akan berdampak hingga masa remaja dan
dewasa sehingga mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Gizi salah adalah penyebab kematian dan kesakitan dan berhubungan
dengan peningkatan risiko malaria berat. Malaria merupakan penyebab kematian
diantara anak dibawah lima tahun, penyebab berat badan lahir rendah pada bayi
dan kematian ibu. Telah lama diakui bahwa kondisi populasi yang tinggal di
daerah malaria umumnya mengarah ke status gizi buruk dimana kekurangan gizi
merupakan faktor resiko terkena serangan malaria klinis (Gomes & Elisa, 2002).
Penelitian Nurhadimuda (2003) menyebutkan bahwa infeksi malaria
mempengaruhi penurunan status gizi anak balita di Purworejo, sedangkan
penelitian Tarmidzi M (2006) menyebutkan bahwa kejadian malaria tidak
berhubungan dengan status gizi pada balita di Kecamatan Kokap dan Samigaluh
Kabupaten Kulon Progo Propinsi D.I Yogyakarta. Selanjutnya malaria dan
kekurangan gizi penyebab morbiditas dan mortalitas yang tinggi di pedesaan
sub-Sahara Afrika. Ditemukan bahwa anak-anak kekurangan gizi kronis memiliki
risiko lebih tinggi untuk mengalami malaria (Deen, Walraven & Seidlein, 2002).
Jeremiah ZA & Uko EK (2007) juga menyebutkan bahwa anak-anak di bawah
lima tahun di Harcourt Nigeria memiliki tingkat parasit lebih tinggi (36.36%) dan
beresiko mengalami mordibitas dibandingkan dengan kelompok 5-8 tahun
(21.27%) sehingga perlu gizi yang cukup untuk menahan dampak negatif dari
malaria.
Berdasarkan data Riskesdas (2010), prevalensi nasional gizi buruk dan gizi
kurang untuk kategori balita mengalami peningkatan dari tahun 2007 sampai
2010. Hingga tahun 2010 prevalensi gizi buruk dan gizi kurang sebesar 6.5%
dan 8.2%. Propinsi Papua Barat dan Papua memiliki prevalensi gizi buruk dan
2
gizi kurang diatas prevalensi nasional yaitu sebesar 9.1% dan 17.4%. Pada
tahun 2007 persentase BBLR tertinggi adalah Provinsi Papua Barat (23.8%)
sama halnya dengan tahun 2010 (23.8%), persentase BBLR sedikit lebih tinggi
di pedesaan (12.2%) dibanding di perkotaan (10.8%).
Timbulnya gizi kurang tidak hanya karena makanan yang kurang, tetapi
juga karena pola asuh ibu dan penyakit infeksi. Pada keadaan terserang penyakit
infeksi, penderita biasanya berkurang nafsu makannya yang pada akhirnya dapat
menderita kurang gizi. Lemahnya kemampuan ibu dan keluarga untuk
memberikan pola asuh akan berakibat pada kejadian gizi kurang bahkan gizi
buruk pada anak balita.
Anak yang mendapatkan kualitas pengasuhan yang lebih baik besar
kemungkinan akan memiliki angka kesakitan yang rendah dan status gizi yang
relatif lebih baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Anwar
(2000) bahwa pola asuh makan sangat menentukan status gizi anak. Ibu yang
dapat membimbing anak tentang cara makan yang sehat dan bergizi akan
meningkatkan gizi anak. Selanjutnya menurut Widayani S (2000) ada hubungan
yang sangat kuat antara pola asuh dengan status gizi balita. Pola pengasuhan
anak adalah pengasuhan anak dalam pra dan pasca kelahiran, pemberian ASI,
pemberian makanan, dan pengasuhan bermain (Hamzah A, 2000).
Malaria merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh parasit
(protozoa) dari genus plasmodium dan dapat menyebabkan kematian terutama
pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, selain itu malaria
secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas
kerja (Kemenkes, 2011).
Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization menyebutkan
sebanyak 665 ribu orang meninggal disebabkan penyakit malaria pada tahun
2010. Dari jumlah tersebut, sebanyak 86% merupakan anak-anak di bawah lima
tahun (WHO, 2010). Menurut Prabowo A (2002), malaria menyerang penduduk
yang tinggal didaerah endemis atau orang-orang yang bepergian ke daerah yang
angka penularannya tinggi. Selanjutnya Estefania et al, (2009) menyebutkan
bahwa prevalensi parasit malaria lebih tinggi dipedesaan dibandingkan didaerah
perkotaan (P=0.06) didukung oleh penelitian Kirby et al, (2008) bahwa penularan
malaria terbesar terjadi didaerah pedesaan Gambia Sahara Afrika, dimana
masyarakat tidur dalam rumah yang terbuat dari bata dan atap terbuka.
3
Besarnya angka malaria tahun 2009 sampai 2010 di seluruh Indonesia
adalah 22.9‰. Tahun 2011, angka Annual Parasite Insidence di Indonesia
adalah 1.75‰, Papua barat 33,25 permil dan Papua 23.34‰ (Ditjen P2PL,
2012).
Menurut kelompok umur, angka kasus baru malaria terendah adalah pada
kelompok umur <1 tahun (11.6%) sedangkan pada kelompok umur lainnya relatif
sama. Angka kasus baru malaria pada kelompok umur <1 tahun merupakan
indikator terjadinya penularan malaria di dalam rumah atau di sekitar rumah.
Prevalensi malaria klinis di perdesaan dua kali lebih besar dari prevalensi di
perkotaan, dan cenderung tinggi pada responden dengan pendidikan rendah,
kelompok petani/nelayan/buruh dan kelompok dengan tingkat pengeluaran
rumah tangga per kapita rendah (Riskesdas 2010).
Perumusan Masalah
Malaria masih menjadi salah satu penyakit yang mematikan di Provinsi
Papua Barat, sebanyak 15% penyebab kematian di provinsi ini disebabkan oleh
malaria. Trend prevalensi penyakit malaria di provinsi selama tiga tahun terakhir
menunjukkan penurunan namun angkanya masih tetap tinggi. Pada tahun 2008,
dalam 1 000 penduduk terdapat 84 orang yang terjangkit malaria dan tahun 2010
turun menjadi 64 orang. Itu berarti, dari jumlah penduduk 798 600 jiwa, yang
terjangkit malaria mencapai 51 000 orang setiap tahun. Dari jumlah penderita
yang tercatat selama tahun 2010, sebanyak 4678 orang dirawat inap di rumah
sakit dan Puskesmas, serta 61 orang meninggal karena malaria. Jumlah
penderita malaria yang meninggal terbanyak ada di Kabupaten Manokwari dan
Fakfak.
Kabupaten Manokwari merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi
Papua Barat dan terdiri dari 29 kecamatan. Kabupaten Manokwari merupakan
salah satu Kabupaten di Propinsi Papua Barat dimana pada tahun 2010 sekitar
10% anak balita di kabupaten ini mengalami gizi buruk dari 2 270 balita yang
ditimbang di posyandu dan Puskesmas.
Pada tahun 2011 jumlah balita yang terjangkit malaria diperkirakan
sebanyak 17% atau sekitar 918 balita. Diantara anak di bawah lima tahun
(balita) dengan gejala klinis malaria, hanya sekitar 4.4% yang menerima
pengobatan malaria, sementara balita yang menderita malaria umumnya hanya
4
menerima obat untuk mengurangi demam (67.6%) (Riskesdas, 2010). Jika
terpapar malaria, balita berisiko mengalami anemia dan kekurang gizi (Dinkes
Kab. Manokwari, 2010).
Dari 22 Puskesmas yang ada di Kabupaten Manokwari, hanya 16
Puskesmas yang berjalan baik dan Posyandu hanya 80% dari 270 unit yang aktif
(Dinkes Kab Manokwari, 2010).
Pemerintah Papua Barat, telah berupaya melakukan sejumlah program
untuk mengurangi kasus yang terjadi dan mewujudkan target bebas malaria di
Papua Barat pada tahun 2030, diantaranya kerjasama dengan lembaga asing
seperti Global Found maupun UNICEF, pengadaan mikroskop dan rapid test di
seluruh puskesmas baik di perkotaan maupun pedalaman, menganjurkan
kepada penderita agar melakukan tes darah dan mengonsumsi obat yang benar.
Namun prevalensi dan penderita malaria masih tetap tinggi, diduga karena
masyarakat di kabupaten ini terlambat menerima penggunaan obat malaria, pola
asuh ibu, pola hidup masyarakat yang tidak sehat dan kondisi lingkungan yang
berawa dan lembab.
Berdasarkan uraian latar belakang maka peneliti tertarik untuk mengetahui
tentang:
1. Bagaimana hubungan antara pola asuh makan, tingkat konsumsi, pola asuh
kesehatan, kejadian malaria dengan status gizi balita.
2. Bagaimana hubungan antara pola asuh makan, pola asuh kesehatan,
sanitasi lingkungan dengan kejadian malaria.
3. Bagaimana pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik balita,
pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria, pola asuh makan, pola asuh
kesehatan, sanitasi lingkungan terhadap kejadian malaria dan status gizi
balita di Kabupaten Manokwari.
5
Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian untuk menganalisis hubungan antara pola
asuh makan, pola asuh kesehatan dengan kejadian malaria dan status gizi
balita di Kabupaten Manokwari.
b. Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Menganalisis hubungan antara pola asuh makan, tingkat konsumsi, pola
asuh kesehatan, kejadian malaria dengan status gizi balita.
2. Menganalisis hubungan antara pola asuh makan, pola asuh kesehatan,
sanitasi lingkungan dengan kejadian malaria.
3. Menganalisis pengaruh karakteristik sosial ekonomi keluarga, karakteristik
balita, pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria, pola asuh makan, pola
asuh kesehatan, sanitasi lingkungan terhadap kejadian malaria dan status
gizi balita.
Manfaat Penelitian
a. Manfat Teoritis
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan upaya
pencegahan dan perbaikan status gizi balita dengan kejadian malaria.
Sebagai referensi untuk studi lebih lanjut bagi para peneliti yang tertarik
pada masalah gizi, khususnya bayi dan balita, efek pola asuh ibu dan kejadian
malaria terhadap status gizi.
b. Manfaat Praktis
Memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat khususnya para
orangtua dan pemerintah daerah khususnya Dinas Kesehatan Kabupaten
Manokwari dalam penanggulangan masalah malaria dan status gizi balita.
TINJAUAN PUSTAKA
Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah lima
tahun dan merupakan kelompok usia tersendiri yang menjadi sasaran program
KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di lingkup dinas kesehatan.
Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat
dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh kembang anak
adalah masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan
mempengaruhi dan menentukan perkembangan kemampuan berbahasa,
kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat
dan merupakan landasan perkembangan berikutnya (Supartini Y, 2004)
Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai balita, merupakan salah
satu periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia balita
dimulai dari satu sampai dengan lima tahun, atau bisa digunakan perhitungan
bulan yaitu usia 12-60 bulan. Periode usia ini disebut juga sebagai usia
prasekolah (Wikipedia, 2009).
Pola Asuh
Pola pengasuhan anak berupa sikap perilaku ibu atau pengasuh lain dalam
hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan,
memberikan kasih sayang dan sebagainya (Soekirman, 2000).
Pola pengasuhan anak adalah pengasuhan anak dalam pra dan pasca
kelahiran, pemberian ASI, pemberian makanan, dan pengasuhan bermain
(Hamzah A, 2000). Selanjutnya Engle P (1992) mengatakan bahwa praktek
pengasuhan ditingkat rumah tangga adalah memberikan perawatan kepada anak
dengan pemberian makanan dan kesehatan melalui sumber-sumber yang ada
untuk kelangsungan hidup anak, pertumbuhan dan perkembangan
Pengasuhan anak adalah suatu fungsi penting pada berbagai kelompok
sosial dan kelompok budaya. Fungsi ini meliputi pemenuhan kebutuhan dasar
anak seperti pemberian makanan, mandi, dan menyediakan dan memakaikan
pakaian buat anak, termasuk di dalamnya adalah monitoring kesehatan anak,
menyediakan obat, merawat serta membawanya ke petugas kesehatan
profesional. Tambahan lain adalah diterimanya fungsi hiburan, pendidikan,
7
sosialisasi, penerimaan informasi pandangan serta nilai dari pengasuh mereka
(O'Connel,1994, Sri Dara A, 2008).
Pola Asuh Makan
Jumlah dan kualitas makanan yang dibutuhkan untuk konsumsi anak
penting sekali dipikirkan, direncanakan, dan dilaksanakan oleh ibu atau
pengasuhnya. Pola asuh makan anak akan selalu terkait dengan pemberian
makan yang akhirnya akan memberikan sumbangan terhadap status gizinya.
Riwayat Menyusui
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang baik untuk bayi terutama
pada bulan-bulan pertama dan tetap berguna sampai berumur dua tahun. ASI
mengandung semua zat gizi untuk membangun dan menyediakan energi dalam
susunan yang diperlukan bayi. Selain itu ASI juga mengandung zat kekebalan
yang dibutuhkan bayi untuk menjaga kesehatan tubuhnya agar tidak terganggu
oleh berbagai penyakit termasuk penyakit infeksi.
Pedoman internasional yang menganjurkan pemberian ASI eksklusif
selama 6 bulan pertama didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi
daya tahan hidup bayi, pertumbuhan, dan perkembangannya. ASI memberi
semua energi dan gizi (nutrisi) yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama
hidupnya. Pemberian ASI eksklusif mengurangi tingkat kematian bayi yang
disebabkan berbagai penyakit yang umum menimpa anak-anak seperti diare dan
radang paru, serta mempercepat pemulihan bila sakit dan membantu
menjarangkan kelahiran (Linkages, 2002) namun pemberian ASI eksklusif tidak
menurunkan prevalensi parasit malaria (Victoria et al, 2011)
Menyusui diakui sebagai salah satu cara yang paling hemat biaya dan
efektif biaya untuk menyediakan makanan yang terbaik untuk bayi, mendorong
kekebalan bayi dengan menyediakan perlindungan dari penyakit infeksi dan
mengurangi penyakit diare dan penyakit pernapasan.
Bukti lebih lanjut telah menunjukkan bahwa berhenti menyusui dini
meningkatan tingkat kesakitan dan kematian di antara anak yang lahir dari ibu
yang terinfeksi HIV. Pada bayi yang terpajan dan yang terinfeksi HIV berusia
enam sampai 15 bulan, menyusui secara signifikan menurunkan risiko malaria.
Hal ini diungkapkan dalam sebuah studi prospektif di Tororo, sebuah daerah
8
pedesaan dengan tingkat malaria yang tinggi di wilayah timur laut Uganda.
Namun para peneliti menemukan bahwa ASI tidak melindungi terhadap malaria
pada anak-anak yang tidak terpapar HIV dan terinfeksi HIV dari usia 15-24 bulan.
Profilaksis kotrimoksazol terlihat secara signifikan mengurangi risiko malaria
ketika membandingkan bayi yang tidak terpajan HIV yang tidak menggunakan
kotrimoksazol terhadap bayi yang terpajan atau terinfeksi HIV yang
menggunakan kotrimoksazol (Vora et al, 2010).
Riwayat Penyapihan
Makanan sapihan yang ideal harus mengandung makanan pokok, lauk
pauk, sayur-sayuran, buah-buahan dan minyak atau lemak. Makanan sapihan
baru boleh diberikan setelah bayi disusui atau diantara dua jadwal penyusunan.
Sebab, diawal masa penyapihan, ASI masih merupakan makanan pokok.
Sementara makanan sapihan hanyalah sebagai pelengkap. Kemudian secara
berangsur ASI berubah fungsi sebagai makanan tambahan, sementara makanan
sapihan menjadi santapan utama (Arisman MB, 2004). MP-ASI (Makanan
Pendamping Air Susu Ibu) adalah makanan atau minuman yang mengandung
zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi
kebutuhan gizi selain dari ASI (Depkes RI, 2006).
Makanan anak 0-4 bulan adalah ASI semata. Pada usia 4-6 bulan anak
diberi ASI serta buah 1-2 kali dan makanan lunak 1 kali. Saat berumur 6-9 bulan
anak diberi ASI plus buah 1-2 kali dan makanan lunak 1 kali dan makanan
lembek 2 kali. Umur 9-12 bulan anak tetap diberi ASI, plus buah 1-2 kali dan
makanan lembek 3 kali. Pada anak usia lebih 1 tahun masih tetap diberi ASI plus
buah 1-2 kali, makanan pokok serta lauk pauk 4 kali atau lebih (Depkes, 2000;
Krisnatuti dan Yenrina, 2000).
Prinsip pemberian makanan pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)
berdasarkan WHO dibagi atas dua kategori, yaitu untuk anak yang masih
menyusui dan anak yang sudah tidak menyusui. Berikut kami sajikan ringkasan
prinsip pemberian MP-ASI buat anak yang masih mendapatkan ASI (WHO,
2001).
Departemen Kesehatan RI Tahun 2000 mengeluarkan pedoman
pemberian makanan yang sehat seperti Tabel 1 berikut :
9
Tabel 1 Pedoman pemberian makanan yang sehat
Umur ASI Makanan
lumat Makanan
lembik Makanan
orang dewasa
0 – 4 bulan
4 – 6 bulan
6 – 12 bulan
12 – 24 bulan
24 bulan ke atas
Keterangan :
- Makanan lumat halus adalah makanan yang dihancurkan terbuat dari
tepung dan tampak homogen. Misalnya adalah bubur susu, bubur sumsum,
biskuit ditambah air panas, pepaya saring, pisang saring, dll.
- Makanan lumat adalah makanan yang dihancurkan atau disaring tampak
kurang merata. Misalnya adalah pepaya dihaluskan dengan sendok, pisang
dikerik dengan sendok, nasi tim saring, bubur kacang ijo saring, kentang
pure.
- Makanan lunak adalah makanan yang dimasak dengan banyak air dan
tampak berair. Misalnya adalah bubur nasi, bubur ayam, bubur kacang ijo,
bubur manado.
- Makanan padat adalah makanan lunak yang tidak nampak berair, seperti
lontong, nasi tim, kentang rebus, biskuit.
Praktek Pemberian Makan
Pemberian makanan merupakan bentuk mendidik ketrampilan makan,
membina kebiasaan makan, membina selera terhadap jenis makanan, membina
kemampuan memilih makanan untuk kesehatan dan mendidik perilaku makan
yang baik dan benar sesuai kebudayaan masing-masing. Kekurangan dalam
pemberian makan akan berakibat sebagai masalah kesulitan makan atau
kekurangan nafsu makan yang pada gilirannya akan berdampak negatif pada
kesehatan dan tumbuh kembang nantinya (Waryana, 2010).
Agar tumbuh dengan baik tidak cukup dengan memberinya makan, asal
memilih menu makanan dan asal menyuapi anak nasi. Akan tetapi anak
membutuhkan sikap orangtuanya dalam memberi makan. Semasa bayi, anak
hanya menelan apa saja yang diberikan ibunya. Sekalipun yang ditelannya itu
tidak cukup dan kurang bergizi. Demikian pula sampai anak sudah mulai disapih.
Anak tidak tahu mana makanan terbaik dan mana makanan yang boleh dimakan.
10
Anak masih membutuhkan bimbingan seorang ibu dalam memilih makanan agar
pertumbuhan tidak terganggu. Bentuk perhatian/dukungan ibu terhadap anak
meliputi perhatian ketika makan, mandi dan sakit.
Pola Asuh Kesehatan
Status kesehatan merupakan salah satu aspek pola asuh yang dapat
mempengaruhi status gizi anak kearah membaik. Status kesehatan adalah hal-
hal yang dilakukan untuk menjaga status gizi anak, menjauhkan dan
menghindarkan penyakit serta yang dapat menyebabkan turunnya keadaan
kesehatan anak. Status kesehatan ini meliputi hal pengobatan penyakit pada
anak apabila anak menderita sakit dan tindakan pencegahan terhadap penyakit
sehingga anak tidak sampai terkena suatu penyakit.
Status kesehatan anak dapat ditempuh dengan cara memperhatikan
keadaan gizi anak, kebersihan diri anak dan lingkungan dimana anak berada,
serta upaya ibu dalam hal mencari pengobatan terhadap anak apabila anak
sakit. Jika anak sakit hendaknya ibu membawanya ketempat pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas dan lain-lain (Zeitlin M,
Ghassemi H & Mansour M, 1990).
Balita perlu diperiksakan kesehatannya di bidan atau dokter bila sakit
sebab mereka masih mempunyai risiko yang tinggi untuk terserang penyakit.
Adapun praktik kesehatan yang dilakukan dalam rangka pemeriksaan
pemantaun kesehatannya adalah :
Imunisasi.
Imunisasi adalah memberikan kekebalan pada anak untuk melindunginya
dari pada beberapa penyakit tertentu seperti Hepatitis B, Tuberkolusis,
Tetanus, Polio, Campak. Pemberian imunisasi harus sedini mungkin dan
lengkap
Pemantauan Pertumbuhan Anak
Pemantauan pertumbuhan anak dapat dilakukandengan aktif melakukan
pemeliharaan gizi misalkan dengan datang keposyandu. Dengan aktif
datang keposyandu maka orang tua dapat mengetahui pertumbuhan anak.
11
Praktek Ibu Merawat Anak
Peranan ibu dalam rumah tangga sangat penting terutama dalam
pengelolaan kejadian malaria pada anak. Akses ibu terhadap sumber daya
dalam rumah tangga memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku mereka
dalam mencari pengobatan malaria.
Hasil penelitian Uzochukwu, Onwujekwe BSC, Onwujekwe EO, Onoka CA
dan Ughasoro MD (2008) tentang respon ibu terhadap anak demam di daerah
perkotaan dan pedesaan di Enugu, Nigeria Tenggara menyebutkan bahwa ibu di
daerah perkotaan dan pedesaan menyadari bahwa malaria merupakan
penyebab utama demam pada anak. Meskipun ibu di pedesaan mengenali
demam dan tanda-tanda bahaya yang lebih baik dari pada ibu-ibu di daerah kota
tetapi tanggapan ibu di daerah kota terhadap demam anaknya lebih baik. Ibu di
daerah kota menggunakan obat Klorokuin, ACT, SP dan Parasetamol sebagai
obat utama untuk mengobati demam anaknya dan tersedia di rumah, sementara
ibu-ibu pedesaan lebih cenderung untuk menggunakan obat sisa dari
pengobatan sebelumnya untuk mengobati demam dari ibu kota. Responden
perkotaan juga lebih menggunakan pencegahan dan mencari tindakan lebih
cepat dari ibu pedesaan dan total biaya perawatan juga lebih tinggi di daerah
perkotaan.
Pengasuhan perawatan dasar anak adalah pemenuhan kebutuhan balita
yang dilakukan ibu untuk mengatasi infeksi penyakit.
Perawatan balita dalam keadaan sakit
Kesehatan anak harus mendapat perhatian dari para orang tua yaitu
dengan cara segera membawa anaknya yang sakit ketempat pelayanan
kesehatan yang terdekat (Soetjiningsih, 2002). Masa bayi dan balita
sangat rentan terhadap penyakit seperti flu, diare, malaria atau penyakit
infeksi lainnya. Jika anak sering menderita sakit dapat menghambat atau
mengganggu proses tumbuh kembang anak. Ada beberapa penyebab
seorang anak mudah terserang penyakit adalah :
a) Apabila kecukupan gizi terganggu karena anak sulit makan dan nafsu
makan menurun. Akibatnya daya tahan tubuh menurun sehingga anak
menjadi rentan terhadap penyakit.
12
b) Lingkungan yang kurang mendukung sehingga perlu diciptakan
lingkungan dan perilaku yang sehat.
c) Jika orang tua lalai dalam memperhatikan proses tumbuh kembang
anak oleh karena itu perlu memantau dan menstimulasi tumbuh
kembang bayi dan anak secara teratur sesuai dengan tahapan usianya
dan segera memeriksakan ke dokter jika anak menderita sakit.
Pemanfaatan layanan kesehatan
Pelayanan gizi dan kesehatan untuk anak balita dapat dilaksanakan dengan
pemantauan pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan balita melalui
sarana kesehatan yang baik meliputi posyandu, Puskesmas, program
kesehatan keluarga dan program lainnya. Berbagai lembaga pelayanan
dasar harus terjangkau baik secara fisik maupun ekonomi (sesuai daya beli)
oleh setiap keluarga termasuk mereka yang miskin dan hidup di daerah
terpencil (Soekirman, 2000). Makin dekat jangkauan keluarga terhadap
pelayanan kesehatan yang baik membantu mencegah terjadinya infeksi dan
membantu mengatasi masalah gizi.
Jarak menjadi faktor berpengaruh dalam mencari pola pengobatan demam
dan kejang-kejang di Zambia (Baume C, Helitzer D dan Kachur SP, 2000).
Mereka menemukan bahwa anak yang tinggal dalam 1 waktu perjalanan
satu jam lebih mungkin (79%) dibawa ke pusat kesehatan dibandingkan
dengan mereka yang tinggal lebih dari 1 jam perjalanan (58%).
Praktek Pencegahan Malaria
Hasil penelitian Adhroey et al (2010) menyebutkan bahwa masyarakat
hutan asli dan pedesaan distrik Lipis dari Pahang Malaysia memiliki kesadaran
akan penyakit malaria tetapi sikap dan praktek dalam pencegahan malaria tidak
memadai.
Banyak hal yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan malaria.
diantaranya adalah :
a) Usaha pencegahan terhadap gigitan nyamuk dengan cara : tidur dengan
kelambu, rumah anti nyamuk dengan memakai kawat kasa, pemakaian
obat nyamuk bakar, penyemprotan ruang tidur dengan semprotan
nyamuk dan lain sebagainya. Atau kombinasi keduanya (obat dan
kelambu adalah cara terbaik mencegah gigitan nyamuk malaria)
13
b) Usaha pengobatan pencegahan secara berkala, terutama di daerah-
daerah endemis malaria dengan obat dari Puskesmas, dari toko-toko obat
seperti kina, chloroquine dan sebagainya, atau dengan obat-obat
tradisional.
c) Kebersihan lingkungan terhadap sarang nyamuk, seperti membersihkan
ruang tidur, semak-semak sekitar rumah, air tergenang, kandang-
kandang ternak dan sebagainya.
d) Memperbanyak jumlah ternak seperti sapi, kerbau, kambing, kelinci dan
sebagainya, dengan menempatkan ternak-ternak tersebut diluar rumah
dekat tempat nyamuk bertelur.
e) Memelihara ikan pada air yang tergenang, seperti kolam, sawah dan parit
atau dengan memberi sedikit minyak pada air yang tergenang.
f) Penanaman padi secara serempak atau diselingi dengan tanaman kering
atau pengering sawah secara berkala.
g) Usaha penyemprotan rumah dengan DDT yang diusahakan oleh
pemerintah (Werner D, Thuman C & Maxwell J, 2010).
Sanitasi Lingkungan
Keadaan lingkungan berpengaruh besar terhadap ada tidaknya malaria
disuatu daerah. Adanya danau air payau, genangan air dihutan, pesawahan,
tambak ikan, pembukaan hutan dan pertambangan disuatu daerah akan
meningkatkan timbulnya penyakit malaria karena tempat-tempat tersebut
merupakan tempat perindukan nyamuk malaria (Prabowo A, 2002).
Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang
mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan
sebaginya. (Notoatmodjo, 2003), selanjutnya Widaninggar (2003) menyatakan
kondisi lingkungan anak harus benar-benar diperhatikan agar tidak merusak
kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan rumah dan
lingkungan adalah bangunan rumah, kebutuhan ruang (bermain anak),
pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih, pembuangan sampah/
limbah, kamar mandi dan jamban/ WC dan halaman rumah.
Kebersihan perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang
peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Kebersihan perorangan yang
kurang akan memudahkan terjadinya penyakit-penyakit kulit dan saluran
14
pencernaan seperti diare dan cacingan. Sedangkan kebersihan lingkungan erat
hubungannya dengan penyakit saluran pernafasan, saluran pencernaan, serta
penyakit akibat nyamuk. Oleh karena itu penting membuat lingkungan menjadi
layak untuk tumbuh kembang anak sehingga meningkatkan rasa aman bagi ibu
atau pengasuh anak dalam menyediakan kesempatan bagi anaknya untuk
mengeksplorasi lingkungan.
Kesehatan lingkungan yang kurang baik yang disebabkan oleh air yang
tidak memadai dan sanitasi dapat meningkatkan kemungkinan penyakit menular
dan tidak langsung menyebabkan beberapa jenis malnutrisi (UNICEF, 1990;
Engle P, 1992). Sebuah studi banding di beberapa negara berkembang
menunjukkan bahwa sumber air yang tidak dilindungi dan non-ketersediaan
jamban dikaitkan dengan perawakan anak yang rendah.
Status Gizi Anak
Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh
keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan
tersebut dapat dilihat dari variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi
badan/panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan, dan panjang tungkai
(Gibson RS, 1990). Jika keseimbangan tadi terganggu, misalnya pengeluaran
energi dan protein lebih banyak dibandingkan pemasukan maka akan terjadi
kekurangan energi protein, dan jika berlangsung lama akan timbul masalah yang
dikenal dengan KEP berat atau gizi buruk (Depkes RI, 2000).
Status gizi anak juga lebih sensitif terhadap faktor-faktor seperti makan
atau menyapih praktek, perawatan, dan paparan infeksi pada usia tertentu.
Sebuah indikator kumulatif pertumbuhan retardasi (tinggi badan-banding-usia)
pada anak-anak secara positif dikaitkan dengan usia. Studi lokal dan regional di
Ethiopia juga telah menunjukkan peningkatan gizi buruk dengan meningkatnya
usia anak (Yimer, 2000;. Genebo et al, 1999; Simson dan Lakech, 2000).
Penelitian Nurhadimuda (2003) menyebutkan bahwa infeksi malaria
mempengaruhi penurunan status gizi anak balita di Purworejo sedangkan
penelitian Tarmidzi M (2006) menyebutkan bahwa kejadian malaria tidak
berhubungan dengan status gizi pada balita di Kecamatan Kokap dan Samigaluh
Kabupaten Kulon Progo Propinsi D.I Yogyakarta.
15
Selanjutnya malaria dan kekurangan gizi penyebab morbiditas dan
mortalitas yang tinggi di pedesaan sub-Sahara Afrika. Ditemukan bahwa anak-
anak kekurangan gizi kronis memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami malaria
(Deen, Walraven & Seidlein, 2002). Jeremiah ZA dan Uko EK (2007) juga
menyebutkan bahwa anak-anak di bawah 5 tahun di Harcourt Nigeria memiliki
tingkat parasitaemic lebih tinggi (36.36%) dan berisiko mengalami mordibitas
dibandingkan dengan kelompok 5-8 tahun (21.27%) sehingga perlu gizi yang
cukup untuk menahan dampak negatif dari malaria.
Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat
gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan
secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara
umum pada tingkat setinggi mungkin (Almatsier S, 2003).
Dibawah ini adalah tabel angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan
pada balita (per orang per hari).
Tabel 2 Angka kecukupan gizi balita yang dianjurkan menurut AKG 2004
Kelompok umur Energi
(Kkal)
Protein
(g)
Vitamin A
(RE)
Vitamin B12
(ug)
Vitamin C
(mg)
1-3 tahun 1000 25 400 0.9 40
4-6 tahun 1550 10 450 5 45
Sumber : WKNPG 2004
Penilaian Status Gizi
Untuk menentukan status gizi seseorang atau kelompok populasi dilakukan
dengan interpretasi informasi dari hasil beberapa metode penilaian status gizi
yaitu : penilaian konsumsi makanan, antropometri, laboratorium/ biokimia dan
klinis (Gibson RS, 2005). Diantara beberapa metode tersebut, pengukuran
antropometri adalah relatif paling sederhana dan banyak dilakukan (Soekirman,
2000).
Dalam antropometri dapat dilakukan beberapa macam pengukuran yaitu
pengukuran berat badan (BB), tinggi badan (TB) dan lingkar lengan atas (LILA).
Dari beberapa pengukuran tersebut BB, TB dan LILA sesuai dengan umur
adalah yang paling sering digunakan untuk survei sedangkan untuk perorangan,
16
keluarga, pengukuran BB dan TB atau panjang badan (PB) adalah yang paling
dikenal (Soekirman, 2000).
Melalui pengukuran antropometri, status gizi anak dapat ditentukan
apakah anak tersebut tergolong status gizi baik, kurang atau buruk. Untuk hal
tersebut maka berat badan dan tinggi badan hasil pengukuran dibandingkan
dengan suatu standar internasional yang dikeluarkan oleh WHO. Status gizi tidak
hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai dengan umur secara
sendiri-sendiri, tetapi juga merupakan kombinasi antara ketiganya. Masing-
masing indikator mempunyai makna sendiri-sendiri.
Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat
diukur) karena mudah berubah, namun tidak spesifik karena berat badan selain
dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan. Indikator ini dapat
dengan mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum, sensitif untuk
melihat perubahan status gizi dalam jangka waktu pendek dan dapat mendeteksi
kegemukan.
Indikator TB/U dapat menggambarkan status gizi masa lampau atau
masalah gizi kronis. Seseorang yang pendek kemungkinan keadaan gizi masa
lalu tidak baik. Berbeda dengan berat badan yang dapat diperbaiki dalam waktu
singkat, baik pada anak maupun dewasa, maka tinggi badan pada usia dewasa
tidak dapat lagi dinormalkan. Pada anak balita kemungkinkan untuk mengejar
pertumbuhan tinggi badan optimal masih bisa sedangkan anak usia sekolah
sampai remaja kemungkinan untuk mengejar pertumbuhan tinggi badan masih
bisa tetapi kecil kemungkinan untuk mengejar pertumbuhan optimal.
Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan
bertambahnya umur. Pertambahan TB relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi
dalam waktu singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan TB baru
terlihat dalam waktu yang cukup lama. Indikator ini juga dapat dijadikan indikator
keadaan sosial ekonomi penduduk (Soekirman, 2000).
Indikator BB/TB merupakan pengukuran antropometri yang terbaik karena
dapat menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini atau
masalah gizi akut. Berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, artinya
dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan
tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan yang
normal akan proporsional dengan tinggi badannya. Ini merupakan indikator yang
17
baik untuk menilai status gizi saat ini terutama bila data umur yang akurat sering
sulit diperoleh. Untuk kegiatan identifikasi dan manajemen penanganan bayi dan
anak balita gizi buruk akut, maka WHO & Unicef merekomendasikan
menggunakan indikator BB/TB dengan cut of point < -3 SD.
Dalam panduan tatalaksana penderita KEP (Depkes, 2000) gizi buruk
diartikan sebagai keadaan kekurangan gizi yang sangat parah yang ditandai
dengan berat badan menurut umur kurang dari 60% median pada baku WHO-
NCHS atau terdapat tanda-tanda klinis seperti marasmus, kwashiorkor dan
marasmik-kwashiorkor.
Agar penentuan klasifikasi dan penyebutan status gizi menjadi seragam
dan tidak berbeda maka Menteri Kesehatan RI mengeluarkan SK Nomor
920/Menkes/SK/VIII/2002 tentang klasifikasi status gizi anak bawah lima tahun.
Dengan keluarnya SK tersebut maka data status gizi yang dihasilkan mudah
dianalisis lebih lanjut baik untuk perbandingan , kecenderungan maupun analisis
hubungan (Depkes, 2002). Menurut SK tersebut penentuan gizi status gizi tidak
lagi menggunakan % terhadap median, melainkan nilai Z-score pada baku WHO-
NCHS.
Status gizi anak adalah keadaan kesehatan anak yang ditentukan oleh
derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan
dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antroppometri (Suhardjo,
1996), dan dikategorikan berdasarkan standar baku WHO-NCHS dengan indeks
BB/U, TB/U dan BB/TB
Indikasi pengukuran dari variabel ini ditentukan oleh :
1. Penimbangan Berat Badan (BB) dan pengukuran Tinggi Badan (TB)
Dilakukan oleh petugas klinik gizi sesuai dengan syarat-syarat penimbangan
berat badan dan pengukuran tinggi badan yang baik dan benar penggunaan
timbangan berat badan dan meteran tinggi badan (mikrotoise)
2. Penentuan umur anak ditentukan sesuai tanggal penimbangan BB dan
Pengukuran TB, kemudian dikurangi dengan tanggal kelahiran yang diambil
dari data identitas anak pada sekolah masing-masing, dengan ketentuan 1
bulan adalah 30 hari dan 1 tahun adalah 12 bulan.
Kriteria objektifnya dinyatakan dalam rata-rata dan jumlah Z score simpang
baku (SSB) induvidu dan kelompok sebagai presen terhadap median baku
18
rujukan (Waterlow et al, dalam Djuamadias, Abunain, 1990). Untuk menghitung
SSB dapat dipakai rumus :
NSBR
NMBRNISRujukanBakuSkor
Dimana : NIS : Nilai Induvidual Subjek
NMBR : Nilai Median Baku Rujukan
NSBR : Nilai Simpang Baku Rujukan
Hasil pengukuran dikategorikan sbb :
1. Untuk BB/U
Gizi Kurang Bila SSB < - 2 SD
Gizi Baik Bila SSB -2 s/d +2 SD
Gizi Lebih Bila SSB > +2 SD
2. TB/U
Pendek Bila SSB < -2 SD
Normal Bila SSB -2 s/d +2 SD
Tinggi Bila SBB > +2 SD
3. BB/TB
Kurus Bila SSB < -2 SD
Normal Bila SSB -2 s/d +2 SD
Gemuk Bila SSB > +2 SD
Status gizi diinterpretasikan berdasarkan tiga indeks antropomteri,
(Depkes, 2004) dan dikategorikan seperti yang ditunjukan pada Tabel 3.
Tabel 3 Kategori interpretasi status gizi berdasarkan tiga indeks (BB/U,TB/U, BB/TB Standar Baku Antropometeri WHO-NCHS)
Indeks yang digunakan Interpretasi
BB/U TB/U BB/TB
Rendah Rendah Normal Normal, dulu kurang gizi
Rendah Tinggi Rendah Sekarang kurang ++
Rendah Normal Rendah Sekarang kurang +
Normal Normal Normal Normal
Normal Tinggi Rendah Sekarang kurang
Normal Rendah Tinggi Sekarang lebih, dulu kurang
Tinggi Tinggi Normal Tinggi, normal
Tinggi Rendah Tinggi Obese
Tinggi Normal Tinggi Sekarang lebih, belum obese
Keterangan : untuk ketiga indeks ( BB/U,TB/U, BB/TB) :
Rendah : < -2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS
Normal : -2 s/d +2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS
Tinggi : >+2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS
Sumber: Depkes RI, 2004
19
Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh, Kejadian Malaria dan Status Gizi
Umur Orangtua
Orangtua, terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan
pengalaman dalam mengasuh anak, sehingga umumnya mereka mengasuh dan
merawat anak didasarkan pada pengalaman orangtua terdahulu. Selain itu,
faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih
memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga
kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih
berumur cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock EB,
1998).
Pendidikan Orangtua
Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari jenis pendidikan yang
dialami atau lamanya mengikuti pendidikan formal atau non formal. Pada
umumnya tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan
perilakunya. Pendidikan akan menentukan besar kecilnya penggunaan
pendapatan keluarga untuk pengadaan pangan sehari-hari (Sayogyo et al,
1994).
Pendidikan sangat berkaitan dengan pekerjaan ibu karena semakin tinggi
pendidikan maka akan semakin baik pekerjaan yang diperoleh. Pekerjaan yang
baik akan menjamin pemenuhan terhadap akses pangan dan kesehatan serta
proses keputusan pada konsumsi. Tingkat pendidikan juga sangat berpengaruh
terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan gizi yang
lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap
informasi dan menerapkan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari khususnya
dalam kesehatan dan gizi.
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam
tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orang tua
dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan
anak yang baik, menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya, dan sebagainya
(Soetjiningsih, 2002). Hasil penelitian Madanijah S (2003) menyebutkan bahwa
terdapat hubungan yang positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi,
kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu dengan pendidikan yang tinggi cenderung
memiliki pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik.
20
Pekerjaan Orangtua
Pekerjaan orang tua turut menentukan kecukupan gizi dalam sebuah
keluarga. Semua ibu yang bekerja di rumah maupun di luar rumah, keduanya
akan tetap meninggalkan anak-anaknya untuk sebagian besar waktu. Pekerjaan
responden sebagai ibu rumah tangga diharapkan dapat lebih banyak memberi
waktu dalam pengasuhan bayinya.
Hasil penelitian Gumala Y (2002), menyatakan ibu yang bekerja di luar
rumah merupakan salah satu penyebab atau risiko yang dapat mengakibatkan
pola asuh ibu yang tidak baik pada anak. Meskipun pekerjaan perempuan dapat
meningkatkan aksesibilitas rumah tangga terhadap pendapatan, tetapi mungkin
juga memiliki efek negatif terhadap status gizi anak-anak, karena mengurangi
waktu ibu untuk perawatan anak.
Pendapatan Keluarga
Kemiskinan faktor penyebab gizi kurang menduduki pertama dalam kondisi
yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian yang serius karena keadaan
ekonomi relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan.
Dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan penghasilan maka
masalah gizi akan diatasi karena mempunyai efek terhadap makanan. Makin
banyak pendapatan yang diperoleh berarti makin baik makanan sumber zat gizi
diperoleh. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh
kembang anak, karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan anak
baik yang primer maupun yang skunder (Soetjiningsih, 1999). Pendapatan
keluarga dihitung dari seluruh pendapatan anggota keluarga baik itu dari
pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan. Pendapatan merupakan faktor
yang paling menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi
sehingga terdapat hubungan erat antara pendapatan dan status gizi. Rendahnya
pendapatan menyebabkan rendahnya daya beli terhadap makanan dan
berkurangnya konsumsi pangan keluarga sehingga akan mempengaruhi
kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al, 1990). Sebuah penelitian di
Malawi oleh Ettling M, McFarland L, Schultz and Chitsulo (1994) menemukan
bahwa pengeluaran untuk pencegahan malaria berkorelasi positif dengan
pendapatan.
21
Jumlah Anggota Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Keluarga dibentuk
dari sekelompok orang yang terikat dan mempunyai hubungan kekerabatan
karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya. Unit keluarga menjadi
hal penting untuk berbagai intervensi seperti penanganan kemiskinan, keluarga
berencana dan lain sebagainya. Keluarga terbagi menjadi dua yaitu keluarga
inti/batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family).
Besarnya jumlah anggota keluarga biasanya digunakan untuk
menggambarkan kesejahteraan keluarga, dimana semakin kecil jumlah anggota
keluarga diasumsikan akan semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Banyaknya
anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo (2003)
mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan
kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang
semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan
menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata.
Pengetahuan ibu
Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui panca indra yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
perabaan. Sebagaian besar perasaan pengetahuan manusia dapat diperoleh
melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007)
Di antara ibu dan pengasuh tinggal di daerah kumuh di Jos, kemampuan
mereka untuk mengenali malaria adalah rendah. Demikianlah pula halnya
kesadaran mereka dan penggunaan Terapi Kombinasi Artemisinin. Peningkatan
tingkat pendidikan dan kekuatan ekonomi mereka dapat meningkatkan
pengetahuan dan praktik pengobatan (Daboer JC, John C, Jamda AM, Chingle
MP & Ogbonna C. 2010).
Kinung'hi et al 2010 menyebutkan bahwa warga di Kabupaten Muleba
Utara Tanzania memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang malaria, namun
pengetahuan ini belum belum sepenuhnya dipraktekkan dalam penggunaan
intervensi malaria yang tersedia
Pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi mempunyai hubungan yang
erat dengan pendidikan. Anak dari ibu dengan latar belakang pendidikan yang
22
tinggi mungkin akan dapat kesempatan untuk hadir dan tumbuh kembang
dengan baik. Membesarkan anak sehat tidak hanya dengan kasih sayang belaka
namun seorang ibu perlu ketrampilan yang baik. Kurangnya pengetahuan
tentang gizi akan kemampuan untuk menerapkan informasi dalam kehidupan
sehari-hari merupakan penyebab kejadian gangguan kurang gizi. Menurut
Suhardjo (1996). Ibu yang mempunyai pengetahuan tentang makanan yang
bergizi, cenderung mempunyai anak dengan status gizi yang baik. Tingkat
pengetahuan gizi ibu akan berpengaruh terhadap sikap perawatan anak serta
dalam perawatan memilih makanan.
Menurut Unicef (1998) gizi kurang pada anak balita disebabkan juga oleh
beberapa faktor yang kemudian diklasifikasikan sebagai penyebab langsung,
penyebab tidak langsung, pokok masalah dan akar masalah.
Gizi kurang secara langsung disebabkan oleh kurangya konsumsi
makanan dan adanya penyakit infeksi. Makin bertambah usia anak maka makin
bertambah pula kebutuhannya. Konsumsi makanan dalam keluarga dipengaruhi
jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dan
kebiasaan makan secara perorangan. Konsumsi juga tergantung pada
pendapatan, agama, adat istiadat, dan pendidikan keluarga yang bersangkutan
(Almatsier S, 2003). Tidak ada hubungan antara KEP dan morbiditas malaria,
tapi anak-anak kekurangan gizi memiliki risiko lebih dari dua kali lipat lebih tinggi
meninggal dibandingkan non-anak kurang gizi (Olaf et al, 2003).
Timbulnya gizi kurang bukan saja karena makanan yang kurang tetapi
juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi
sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita gizi kurang.
Sebaliknya anak yang makan tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya
(imunitas) dapat melemah, sehingga mudah diserang penyakit infeksi, kurang
nafsu makan dan akhirnya mudah terkena gizi kurang (Soekirman, 2000).
Sehingga disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan
infeksi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi.
Hubungan antara kurang gizi dengan penyakit infeksi tergantung dari
besarnya dampak yang ditimbulkan oleh sejumlah infeksi terhadap status gizi itu
sendiri. Beberapa contoh bagaimana infeksi bisa berkontribusi terhadap kurang
gizi seperti infeksi pencernaan dapat menyebabkan diare, HIV/AIDS,
tuberculosis, dan beberapa penyakit infeksi kronis lainnya bisa menyebabkan
23
anemia dan parasit pada usus dapat menyebabkan anemia. Penyakit infeksi
disebabkan oleh kurangnya sanitasi dan bersih, pelayanan kesehatan dasar
yang tidak memadai, dan pola asuh anak yang tidak memadai (Soekirman,
2000).
Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan dikeluarga, pola
pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.
Rendahnya ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak
memadai, kurangnya sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan yang tidak
memadai merupakan tiga faktor yang saling berhubungan. Makin tersedia air
bersih yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga
terhadap pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu
tentang kesehatan, makin kecil resiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi
(Unicef, 1998) Sedangkan penyebab mendasar atau akar masalah gizi di atas
adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam, yang
mempengaruhi ketidak-seimbangan antara asupan makanan dan adanya
penyakit infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita
(Soekirman, 2000).
Kejadian Malaria
Pengertian Malaria
Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (protozoa)
dari genus plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Anoples.
Istilah malaria diambil dari dua kata bahasa Italia, yaitu mal (=buruk) dan area
(=udara) atau udara burukkarena dahulu banyak terdapat didaerah rawa-rawa
yang mengeluarkan bau busuk. Penyakit ini juga mempunyai beberapa nama
lain, seperti demam roma, demam rawa, demam tropik, demam pantai, demam
charges, demam kura, dan paludisme.
Di Indonesia, penyakit ini ditemukan tersebar di seluruh kepulauan.
biasanya, malaria menyerang penduduk yang tinggal di daerah endemis atau
orang-orang yang bepergian ke daerah yang angka penularannya tinggi.
(Prabowo, 2002) menyebutkan bahwa prevalensi parasit malaria lebih tinggi di
pedesaan dibandingkan di daerah perkotaan (Estefanía et al, 2009). Kirby et al,
(2008) penularan malaria terbesar terjadi didaerah pedesaan Gambia Sahara
24
Afrika, dimana masyarakat tidur dalam rumah yang terbuat dari bata dan atap
terbuka.
Daerah endemis malaria dibagi menjadi :
1. Endemis Tinggi (HCI = High Case Incidence) adalah API > 5 per 1.000
penduduk, yang terbagai tiga yaitu HCI I adalah API 5-49, HCI II adalah
API 50-100, HCI III adalah API >100
2. Endemis Sedang (MCI = Moderate Case Incidence) adalah API berkisar
antara 1 – < 5 per 1.000 penduduk
3. Endemis Rendah (LCI = Low Case Incidence) adalah API 0 – 1 per 1.000
penduduk,
4. Non Endemis adalah daerah yang tidak terdapat penularan malaria
(Daerah pembebasan malaria) atau API = 0.
Di Indonesia diperkirakan terdapat 544 470 kasus malaria, dengan
perkiraan kematian akibat malaria adalah 900 orang. Peta stratifikasi malaria di
Indonesia menurut Ditjen P2PL Tahun 2009 disajikan pada Gambar 1 berikut:
Gambar 1 Peta stratifikasi malaria Tahun 2009
Malaria masih menjadi salah satu penyakit yang mematikan di Provinsi
Papua Barat, sebanyak 15% penyebab kematian di provinsi ini disebabkan oleh
malaria. Trend prevalensi penyakit malaria di provinsi selama tiga tahun terakhir
25
menunjukkan penurunan namun angkanya masih tetap tinggi. Pada tahun 2008,
dalam 1.000 penduduk terdapat 84 orang yang terjangkit malaria dan tahun 2010
turun menjadi 64 orang. Itu berarti, dari jumlah penduduk 798 600 jiwa, yang
terjangkit malaria mencapai 51.000 orang setiap tahun.
Dari jumlah penderita yang tercatat selama tahun 2010, sebanyak 4 678
orang dirawat inap di rumah sakit dan Puskesmas, serta 61 orang meninggal
karena malaria. Jumlah penderita malaria yang meninggal terbanyak ada di
Kabupaten Manokwari dan Fakfak. Peta persebaran Annual Parasite Incidence
di Kabupaten Manokwari menurut Dinkes Kabupaten Manokwari Tahun 2011
disajikan pada Gambar 2.
Tdk ada Data < 47 %o 48 – 1330 %o > 134 %o
1. Snopi 7. Membey 2. Mubrani 8. Neney 3. Catobouw 9. Tahota 4. Hink 10. Kebar 5. Taige 11. Testega 6. Didohu 12. Anggi Gida
7. Amberbaken 8. Manokwari Selatan 9. Warmare 10. Minyambouw 11. Dataran Isim 12. Momiwaren 13. Mkw Timur
14. Masni 15. Sidey
16. Manokwari Utara
17. Tanah Rubuh
18. Sururey
19. Manokwari Barat
20. Prafi 21. Anggi 22. Oransbari 23. Ransiki
Gambar 2 Peta persebaran API di Kabupaten Manokwari Tahun 2011
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurhaedah Arif (2008)
terhadap empat lokasi yaitu daerah Amban, Wosi, Sanggeng dan Kota
ditemukan 1 024 ekor nyamuk. Dari jumlah tersebut hanya 115 ekor nyamuk
yang merupakan nyamuk Anopheles Betina sedangkan yang lainnya yaitu
26
nyamuk Anopheles jantan, nyamuk Culex dan Aedes. Nyamuk Anopheles Betina
yang ditemukan terdiri dari 4 spesies yaitu Anopheles bancrofti, Anopheles kochi,
Anopheles farauti dan Anopheles koliensis.
Diagnosis Malaria
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosisi penyakit lainnya
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah
secara mikroskopik atau tes diagnosis cepat (RDT-Rapid Diagnostik Test).
Gejala klinis malaria yang dikenal secara umum adalah Trias Malaria yang
terdiri dari demam, menggigil, dan berkeringat. Beberapa gejala lainnya adalah
sebagai berikut :
a. Sakit kepala
b. Mual
c. Muntah
d. Diare
e. Nyeri Otot/pegal-pegal
Gejala malari berat adalah seperti di bawah ini
a. Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat
b. Keadaan umum yang lemah (tidak bisa duduk/berdiri)
c. Kejang-kejang
d. Panas sangat tinggi
e. Mata atau tubuh kuning
f. Perdarahan hidung, gusi atau saluran pencernaan
g. Nafas cepat dan atau sesak nafas
h. Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum
i. Warna air seni seperti teh tua dan dapat sampai kehitaman
j. Jumlah air seni kurang (oliguria) sampai tidak ada (anuria)
k. Telapak tangan sangat pucat
Pengobatan Malaria
Malaria dapat disembuhkan dengan mendapatkan pengobatan yang
tepat, bila tidak ditangani malaria dapat menyebabkan kematian dalam waktu
singkat (<7 hari), atau dapat menyebabkan kekambuhan karena pengobatan
27
yang tidak tuntas atau meminum obat malaria yang tidak tepat (mendapatkan
obat warung). Sebaiknya malaria berat segera ditangani < dari 24 jam untuk
mencegah terjadinya komplikasi organ tubuh lain yang lebih berat.
Pengobatan malaria dilakukan dengan kondisi sebagai berikut :
a. Penderita Malaria harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan sediaan darah
(mikroskopis atau RDT) untuk memastikan positif atau tidak,
b. Pengobatan menggunakan Artemisinin Based Combination Therapy (ACT)
c. Obat Anti Malaria tersedia di Puskesmas & RS Pemerintah
Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan
membunuh semua stadium parasit yang ada didalam tubuh manusia. Adapun
tujuan pengobatan radikal adalah untuk mendapat kesembuhan klinis dan
parasitologik serta memutuskan rantai penularan. Semua obat anti malaria tidak
boleh diberikan dalam keadaan perut kosong karena bersifat iritasi lambung.
Oleh sebab itu penderita harus makan terlebih dahulu setiap akan minum obat
anti malaria. Malaria dapat diobati secara efektif pada awal perjalanan penyakit,
tetapi penundaan pengobatan dapat berakibat serius atau bahkan fatal. Pilihan
pengobatan tergantung pada spesies malaria, dan kemungkinan resistensi obat
(berdasarkan di mana infeksi diperoleh), usia pasien, status kehamilan, dan
tingkat keparahan infeksi.
Pengobatan ACT terdiri dari :
a. Malaria Falciparum : DHP (3 hari) + Primakuin (1 hari) atau Artesunat-
Amodiakuin (3 Hari) + Primakuin (1 hari)
b. Malaria Vivaks : DHP (3 hari) + Primakuin (14 hari) atau Artesunat-
Amodiakuin (3 Hari) + Primakuin (14 hari)
Dampak Penyakit Malaria
Penyakit malaria menimbulkan anemi atau kekurangan darah pada
penderitanya. Adapun dampak anemi dari penyakit malaria adalah sebagai
berikut :
a. Keguguran dan perdarahan pada ibu hamil serta kelahiran prematur dan
Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
b. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada bayi dan balita
c. Menurunnya prestasi belajar dan olahraga pada pelajar
d. Menurunnya produktivitas kerja dan pendapatan
28
e. Melemahnya daya tahan tubuh yang berakibat mudah sakit dan kematian
Klasifikasi Jenis Malaria
Di Indonesia kasus malaria yang paling banyak ditemukan adalah karena
plasmodium Falciparum (50%) dan plasmodium Vivaks (50%). Plasmodium
ditularkan oleh nyamuk malaria (berbagai spesies Anopheles). Penyebarannya
dipengaruhi tiga komponen yang merupakan segitiga epidemiologi malaria,
yaitu:
a. Host (Pejamu) manusia,
Perilaku berisiko manusia yang sering melakukan kegiatan di luar rumah
pada malam hari, karena nyamuk malaria mengigit pada malam hari.
b. Agent (Penyebab Penyakit) nyamuk,
Infektifitas : jenis dan genetik vektor malaria
Tingkat replikasi : jenis dan iklim
Virulensi : jenis dan tingkat replikasi
c. Environment (Lingkungan).
Kimia/fisik : perubahan iklim (Climate change)
Ekologi vector : densitas, populasi, kompetensi dan genetic vektor
Menurut Harijanto (2000) pembagian jenis-jenis malaria berdasarkan
jenis plasmodiumnya antara lain sebagai berikut :
a) Malaria tropika (Plasmodium falcifarum)
Malaria tropika/ falciparum malaria tropika merupakan bentuk yang paling
berat, ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali,
parasitemia yang banyak dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14
hari. Malaria tropika menyerang semua bentuk eritrosit disebabkan oleh
Plasmodium falciparum. Plasmodium ini berupa ring/ cincin kecil yang
berdiameter 1/3 diameter eritrosit normal dan merupakan satu-satunya
spesies yang memiliki dua kromatin inti (Double Chromatin). Klasifikasi
penyebaran malaria tropika: Plasmodium falcifarum menyerang sel darah
merah seumur hidup. Infeksi Plasmodium falcifarum sering kali
menyebabkan sel darah merah yang mengandung parasit menghasilkan
banyak tonjolan untuk melekat pada lapisan endotel dinding kapiler dengan
29
akibat obstruksi trombosis dan iskemik lokal. Infeksi ini sering kali lebih
berat dari infeksi lainnya dengan angka komplikasi tinggi (Malaria Serebral,
gangguan gastrointestinal, Algid Malaria, dan Black Water Fever).
b) Malaria kwartana (Plasmodium malariae)
Plasmodium malariae mempunyai tropozoit yang serupa dengan
Plasmodium vivax, lebih kecil dan sitoplasmanya lebih kompak/ lebih biru.
Tropozoit matur mempunyai granula coklat tua sampai hitam dan kadang-
kadang mengumpul sampai membentuk pita. Skizon Plasmodium malariae
mempunyai 8-10 merozoit yang tersusun seperti kelopak bunga/rossete.
Bentuk gametosit sangat mirip dengan Plasmodium vivax tetapi lebih kecil.
Ciri-ciri demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam. Gejala lain nyeri
pada kepala dan punggung, mual, pembesaran limpa, dan malaise umum.
Komplikasi yang jarang terjadi namun dapat terjadi seperti sindrom nefrotik
dan komplikasi terhadap ginjal lainnya. Pada pemeriksaan akan di temukan
edema, asites, proteinuria, hipoproteinemia, tanpa uremia dan hipertensi.
c) Malaria ovale (Plasmodium ovale)
Malaria tersiana (Plasmodium ovale) bentuknya mirip Plasmodium
malariae, skizonnya hanya mempunyai 8 merozoit dengan masa pigmen
hitam di tengah. Karakteristik yang dapat di pakai untuk identifikasi adalah
bentuk eritrosit yang terinfeksi Plasmodium ovale biasanya oval atau
ireguler dan fibriated. Malaria ovale merupakan bentuk yang paling ringan
dari semua malaria disebabkan oleh Plasmodium ovale. Masa inkubasi 11-
16 hari, walau pun periode laten sampai empat tahun. Serangan
paroksismal 3-4 hari dan jarang terjadi lebih dari 10 kali walau pun tanpa
terapi dan terjadi pada malam hari.
d) Malaria tersiana (Plasmodium vivax).
Malaria tersiana (Plasmodium vivax) biasanya menginfeksi eritrosit muda
yang diameternya lebih besar dari eritrosit normal. Bentuknya mirip dengan
plasmodium falcifarum, namun seiring dengan maturasi, tropozoit vivax
berubah menjadi amoeboid. Terdiri dari 12-24 merozoit ovale dan pigmen
kuning tengguli. Gametosit berbentuk oval hampir memenuhi seluruh
eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen kuning. Gejala malaria jenis ini
secara periodik 48 jam dengan gejala klasik trias malariadan
30
mengakibatkan demam berkala 4 hari sekali dengan puncak demam setiap
72 jam. Dari semua jenis malaria dan jenis plasmodium yang menyerang
system tubuh, malaria tropika merupakan malaria yang paling berat
ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemis
yang banyak, dan sering terjadinya komplikasi.
Siklus hidup Plasmodium terbagi menjadi dua, yaitu di dalam tubuh
nyamuk anoples betina dan di dalam tubuh manusia
Dalam tubuh nyamuk
Secara alamiah, hanya nyamuk betina yang memakan darah, nyamuk
jantan tidak sehingga tidak berfungsi sebagai vektor. Apabila nyamuk Anopheles
betina menghisap darah yang mengandung gametosit, gamet jantan dan betina
melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet
kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar lambung
nyamuk, ookinet menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoid yang akan
masuk ke kelenjar liur nyamuk. Sporozoid ini bersifat infektif dan siap ditularkan
ke manusia.
Dalam tubuh manusia
Pada waktu nyamuk anopheles infektif menghisap darah manusia,
sporozoid dikelenjar liur nyamuk masuk kedalam peredaran darah selama kurang
lebih 30 menit. Setelah itu sporozoid masuk kedalam sel hati dan menjadi
tropozoid hat. Kemudian berkembang menjadi scizon hati yang terdiri dari 10 000
– 30 000 merozoid hati (tergantung spesiesnya), siklus ini disebut siklus ekso-
eritrositer yang berlangsung selama ± 2 minggu. Pada P.vivax dan P.ovale,
sebagian tropozoid hati tidak langsung berkembang menjadi scizon, tetapi ada
yang menjadi bentuk dormant yang disebut hipnozoid, hipnozoid ini dapat hidup
didalam hati selama berbulan – bulan bahkan bertahun – tahun dan pada saat
imunitas tubuh turun akan menjadi aktif dan menyebabkan relaps (kambuh).
Merozoid yang berasal dari scizon hati yang pecah akan masuk ke
peredaran darah dan menginfeksi eritrosit (sel darah merah). Di dalam sel darah
merah , parasit tersebut berkembang dari stasium tropozoid sampai scizon (30–
300 merozoid, tergantung spesiesnya), proses perkembangan aseksual ini
disebut Scizogoni, selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (scizon) pecah dan
merozoid yang keluar akan menginfeksi sel darah merah yang lainnya. Siklus ini
31
disebut siklus eritrositer. Setelah 2–3 siklus scizogoni darah, sebagian merozoid
yang menginfeksi sel darah merah akan membentuk stadium seksual (gametosit
jantan dan betina) yang akan masuk ke dalam tubuh nyamuk saat ia menghisap
darah manusia terinfeksi ini.
Penanggulangan Malaria
Berdasarkan komitmen global melalui MDGs dan RBM (Roll Back Malaria),
serta komitmen nasional melalui RPJM, Inpres 3, dan RAD, pemerintah
Indonesia menyusun rencana dalam rangka eliminasi malaria di Indonesia.
Eliminasi malaria secara bertahap sebagai berikut :
a. Eliminasi DKI pada tahun 2010, Bali dan Batam dalam proses untuk
eliminasi;
b. Eliminasi Jawa, NAD, Kepri pada tahun 2015;
c. Eliminasi Sumatera, NTB, Kalimantan, Sulawesi pada tahun 2020; dan
d. Eliminasi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT pada tahun 2030.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan :
a. Diagnosa malaria harus terkonfirmasi mikroskop/uji reaksi cepat (RDT)
STOP Malaria Klinis
b. Pengobatan dengan Artemisinin Based Combination Therapy (ACT) STOP
Klorokuin
c. Pencegahan penularan malaria dengan distribusi kelambu (LLIN)
penyemprotan (IRS), repellent, larvasiding.
d. Memperkuat desa siaga dengan pembentukan Posmaldes
e. Kemitraan melalui Forum Gebrak Malaria
Cara mencegah penyakit malaria menurut Depkes RI,2004:
a. Menghindari gigitan nyamuk
b. Tidur memakai kelambu
c. Memakai obat anti nyamuk
d. Mengolesi badan dengan obat anti nyamuk (repelen)
e. Memasang kawat kasa
f. Menjauhkan kandang ternak dari rumah
g. Jangan berada diluar rumah pada malam hari. Apabila pada malam hari
sebaiknya memakai pakaian yang tertutup (menggunakan lengan panjang)
atau memakai obat anti nyamuk oles.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
Kerangka Pemikiran
Anak balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan
penyakit. Kelompok ini merupakan kelompok umur yang paling menderita akibat
gizi dan jumlahnya dalam populasi besar. Status gizi anak balita sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya pola asuh. Engle P, Menon P
and Haddad L (1997) mengemukakan bahwa pengasuhan biasanya dilakukan
oleh wanita atau ibu.
Pola pengasuhan yang diberikan oleh ibu terhadap anak balita akan sangat
berpengaruh terhadap konsumsi pangan anak balita dan pada akhirnya akan
mempengaruhi status gizi anak balita. Pola pengasuhan yang diberikan ibu dapat
berupa pola asuh makan dan pola asuh kesehatan.
Pola asuh makan balita dapat berupa riwayat pemberian ASI dan
penyapihan, jenis makanan yang diberikan, cara memberikan makan, suasana
saat makan dan siapa yang memberi makan. Sedangkan pola asuh kesehatan
meliputi praktek ibu dalam mencegah malaria dan perawatan anak dalam
keadaan sakit.
Pola asuh kesehatan akan sangat mempengaruhi status kesehatan anak,
karena apabila pola asuh kesehatan yang diberikan kurang baik, maka
kemungkinan konsumsi pangan anak terganggu, akibatnya akan terjadi
penurunan kekebalan tubuh. Keadaan ini menyebabkan anak balita akan cepat
dihinggapi berbagai penyakit, salah satunya penyakit malaria. Pola asuh meliputi
perhatian/ dukungan ibu terhadap anak dalam praktek pemberian makanan
(pemberian makanan pendamping pada anak serta persiapan dan penyimpanan
makanan), rangsangan psikososial, perawatan kesehatan (praktek kebersihan/
hygiene dan sanitasi lingkungan serta perawatan balita dalam keadaan sakit).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh, diantaranya
adalah karakteristik keluarga dan karakteristik anak. Jika pola asuh anak di
dalam keluarga sudah baik maka status gizi akan baik juga. Pengetahuan gizi
dan kesehatan ibu merupakan dasar yang harus dimiliki oleh seorang ibu, karena
pengetahuan gizi dan kesehatan akan berpengaruh terhadap pola pengasuhan
yang akan diterapkan oleh ibu. Status gizi anak balita sangat dipengaruhi
konsumsi pangan. Konsumsi pangan anak dapat dipengaruhi oleh pola asuh
33
yang diterapkan oleh orang dewasa dalam keluarga tersebut, dalam hal ini
biasanya ibu yang memegang peranan penting terhadap konsumsi pangan anak.
Berdasarkan pada kerangka pemikiran tersebut, disusun suatu bagan yang
menggambarkan hubungan antar peubah (Gambar 3).
Keterangan :
: Variabel diteliti : Variabel tidak diteliti : Hubungan yang dianalisis
Gambar 3 Kerangka pemikiran hubungan antara pola asuh makan, pola asuh kesehatan dengan kejadian malaria dan status gizi balita
Program penanggulangan
malaria
Status gizi balita BB/U, TB/U,
BB/TB
Karakteristik orangtua
- Umur - Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan
keluarga - Besar keluarga - Asal suku
Kejadian malaria − Status malaria − Jenis malaria − Frekuensi sakit − Riwayat
penyakit lain
Karakteristik balita
- Umur - jenis kelamin - Berat badan
lahir
Pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria
Pola asuh makan - Riwayat ASI dan
penyapihan - Praktek pemberian
makan
Tingkat kecukupan
- Asupan energi,
protein, Vit A, Vit C
dan Vit B12
- Kebutuhan gizi
Konsumsi pangan
Praktek ibu dalam mencegah malaria
Pola asuh kesehatan
Sanitasi lingkungan
Praktek kebersihan anak
Perawatan anak saat sakit
34
Hipotesis Penelitian
1. Terdapat hubungan antara pola asuh makan, tingkat konsumsi, pola asuh
kesehatan, kejadian malaria dengan status gizi balita
2. Terdapat hubungan antara pola asuh makan, pola asuh kesehatan,
sanitasi lingkungan dengan kejadian malaria
3. Kejadian malaria dan status gizi balita dipengaruhi oleh karakteristik
balita, karakteristik sosial ekonomi keluarga, pengetahuan dan sikap ibu
tentang ASI dan malaria, serta sanitasi lingkungan
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional, yaitu
pengamatan terhadap paparan dan outcome dilakukan dalam satu periode waktu
yang bersamaan. Penelitian ini dilakukan diempat puskesmas yang memiliki
jumlah penderita malaria terbanyak yaitu Puskesmas Sanggeng, Wosi, Warmare
dan Prafi di Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat. Pelaksanaan penelitian
berlangsung dari bulan Mei sampai bulan Juli 2012.
Populasi dan Sampel
Kabupaten Manokwari merupakan wilayah endemik yang terdiri dari 29
kecamatan, 16 puskesmas aktif dan enam puskesmas tidak aktif. Contoh dalam
penelitian ini diambil berdasarkan tahapan berikut :
1. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive tiga kecamatan dari
29 kecamatan berdasarkan jumlah penderita malaria paling banyak dan
dengan pertimbangan aksesibilitas, keterbatasan waktu dan biaya penelitian.
Kecamatan terpilih yaitu Kecamatan Manokwari Barat, Kecamatan Warmare
dan Kecamatan Prafi.
2. Pemilihan dua puskesmas dari Kecamatan Manokwari Barat secara purposif
dan masing-masing satu puskesmas dari Kecamatan Warmare dan Prafi,
sehingga diperoleh empat puskesmas.
3. Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang diperiksa di puskesmas.
Berdasarkan Riskesdas 2010, puskesmas merupakan unit pemeriksaan
malaria yang paling banyak dimanfaatkan (40.4%) sedangkan yang terendah
persentase pemanfaatannya adalah Poskesdes (0.4%).
4. Sampel adalah anak balita dengan kriteria inklusi pada saat penelitian: anak
berumur 2-5 tahun, berdomisili tetap diwilayah kerja puskesmas minimal satu
tahun atau lebih dan ibunya bersedia di wawancarai.
5. Jumlah populasi balita di Kabupaten Manokwari tahun 2011 adalah 5 400
balita dan total balita ditiga kecamatan adalah 672 balita. Besar sampel
minimum yang diambil ditentukan dengan rumus Slovin yaitu rumus
penentuan besar sampel untuk penelitian survei setelah diperoleh kriteria
inklusi (Notoatmodjo, 2007).
36
n =
dimana : N = Populasi yang memenuhi kriteria inklusi
n = Besar Sampel
d2 = Tingkat Kesalahan (0.05)
Dengan perhitungan sebagai berikut :
n =
n =
n = balita
Berdasarkan perhitungan sampel menggunakan rumus di atas, diperoleh
besar sampel minimum sebanyak 100 balita. yang tersebar di empat
puskesmas Kabupaten Manokwari, masing-masing puskesmas diambil 25
sampel dengan metode acak sederhana (simple random sampling). Berikut
skema tahapan pengambilan contoh.
Gambar 4 Skema tahapan pengambilan contoh
29 Kecamatan dengan 11 puskesmas aktif
Purposive Sampling
3 Kecamatan Total balita = 672
Total sampel = Sampel minimum n = 100
2 Puskesmas
Purposive Sampling
Kec. Manokwari Barat
Sanggeng n = 25
Prafi n = 25
Wosi n = 25
Kecamatan Prafi
Simple Random Sampling
Warmare n = 25
Kecamatan Warmare
1 Puskesmas 1 Puskesmas
37
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer meliputi karakteristik keluarga yang mencakup umur orangtua,
pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga, besar keluarga,
asal suku, pengetahuan dan sikap ibu tentang ASI dan malaria, karakteristik
anak balita yang mencakup umur, jenis kelamin, berat badan lahir, pola asuh
makan, pola asuh kesehatan, riwayat menyusui dan penyapihan, kejadian
malaria dan sanitasi lingkungan. Data tersebut dikumpulkan dengan teknik
wawancara menggunakan kuesioner. Data sekunder yang dikumpulkan adalah
data berat badan waktu lahir yang diperoleh dari KMS, catatan puskesmas, data
program penanggulangan malaria dari dinas kesehatan dan data keadaan
wilayah penelitian yang diperoleh dari laporan monografi desa. Tabel 4
merangkum semua variabel dan data primer yang diteliti.
Tabel 4 Cara pengumpulan data primer
No Variabel Data Cara pengumpulan data
1 Karakteristik anak balita
Umur anak Wawancara dengan menggunakan kuesioner dan melihat KMS.
Jenis Kelamin anak Berat badan lahir
2 Karakteristik keluarga
Umur orangtua Wawancara dengan menggunakan kuesioner Pendidikan orangtua
Pekerjaan orangtua Pendapatan keluarga Besar keluarga
3 Pengetahuan ibu Tentang ASI dan Malaria Wawancara dengan menggunakan kuesioner
4 Kejadian malaria Status malaria Wawancara dengan menggunakan kuesioner Frekuensi sakit malaria
Jenis malaria Riwayat penyakit lain
5 Pola asuh makan Riwayat Menyusui dan Penyapihan Praktek memberi makan
Wawancara menggunakan kuesioner dan observasi lapang
6 Konsumsi anak balita
Tingkat kecukupan energi, Protein, vit A, vit C, vit B12
Recall 2x24 jam dan observasi lapang
7 Pola asuh Kesehatan
Praktek kebersihan anak Perawatan anak sakit
Wawancara menggunakan kuesioner dan observasi lapang Praktek ibu dalam mencegah
malaria
8 Sanitasi lingkungan Keadaan tempat tinggal Sumber air bersih, dll
Wawancara menggunakan kuesioner dan observasi lapang
9 Status gizi Balita Indeks BB/U Indeks TB/U Indeks BB/TB
Menimbang BB dengan timbangan seca dan mengukur TB dengan microtoise
38
Pengolahan dan Analisis Data
Tahapan Pengolahan Data
Pemeriksaan data isian pada instrumen penelitian (editing), dilakukan
untuk memastikan bahwa data yang diperoleh sudah lengkap atau belum, Hal ini
dilakukan dengan meneliti tiap lembar jawaban kuesioner hasil wawancara.
Pemberian kode (coding), merupakan kegiatan merubah data kedalam
bentuk angka/bilangan, terutama pada pertanyaan-pertanyaan yang belum
sesuai dengan kode yang ada pada definisi operasional berdasarkan hasil ukur.
Kegiatan dengan tujuan untuk memudahkan pada saat analisis dan juga
mempercepat pada saat memasukan data ke program komputer.
Memasukkan data ke dalam program komputer (entry data), dilakukan
setelah semua lembaran kuesioner terisi penuh dan benar serta sudah dilakukan
pengkodean, selanjutnya data dapat diproses dengan cara memasukan hasil
jawaban yang diperoleh dari wawancara ke dalam program komputer.
Membersihkan data (cleaning), yaitu kegiatan pembersihan data dilakukan
untuk mengecek kembali sebelum dilakukan analisis lebih lanjut. dan pemberian
skor pada data (scoring). Setelah itu data dianalisis menggunakan Microsoft
Excel 2007 dan SPSS versi 16.0.
Data yang tersedia dihitung masing-masing jumlah skornya, agar dapat
dianalisis hal ini disebabkan beberapa variabel penelitian merupakan variabel
data komposit seperti pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria, pola asuh
makan, sanitasi lingkungan dan kejadian malaria.
Pengetahuan ibu tentang ASI diperoleh melalui total skor dari 14
pertanyaan berbentuk multiple choice sedangkan pengetahuan ibu tentang
malaria diperoleh dari 16 pertanyaan. Masing-masing pertanyaan diberi skor 1
untuk jawaban benar dan 0 untuk jawaban salah. Selanjutnya tingkat
pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria dikategorikan dengan menetapkan cut
off point dari skor yang telah dijadikan persen. Kategori untuk tingkat
pengetahuan ibu dibagi dalam dua kategori yaitu baik dan kurang baik.
Pola makan meliputi tiga variabel yaitu praktek pemberian makan balita
yang terdiri dari 18 pertanyaan dan praktek makan anak terdiri dari 15
pertanyaan berbentuk multiple choice. Pola asuh kesehatan meliputi praktek
kebersihan yang terdiri dari 13 pertanyaan, perawatan anak saat sakit yang
39
terdiri dari 10 pertanyaan dan praktek pencegahan malaria yang terdiri dari 23
pertanyaan. Tingkat kejadian malaria terdiri dari 10 pertanyaan berkaitan dengan
status malaria, frekuensi sakit, jenis malaria serta riwayat penyakit lain.
Sedangkan sanitasi lingkungan terdiri dari 12 pertanyaan.
Selanjutnya untuk mempermudah dalam pembahasan, maka masing-
masing praktek ibu dalam variabel pola asuh makan, pola asuh kesehatan,
sanitasi lingkungan dan kejadian malaria dikategorikan ke dalam kriteria baik (≥
70%) dan kurang (< 70%). Pengkategorian tersebut dihitung berdasarkan nilai
maksimum setiap jenis praktek ibu, dengan cara skor praktek ibu dibagi nilai
maksimum praktek ibu dikali 100% (Masithah T, Soekirman dan Drajat M, 2005).
Data konsumsi pangan anak balita diperoleh dari recall terhadap ibu bayi
meliputi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi selama 2 x 24 jam. Pangan
yang dikonsumsi dikonversikan beratnya dalam satuan gram kemudian dihitung
kandungan zat gizinya dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan
(DKBM) melalui program Microsoft Excell. Dari konversi tersebut, diketahui rata-
rata konsumsi zat gizi per individu per hari (Hardinsyah dan Briawan 1994). Zat
gizi yang diukur dalam penelitian ini adalah energi, protein, vitamin A, vitamin C,
dan vitamin B12.
Konversi dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Kgij = {(Bj/ 100) x Gij x (BDDj/ 100)}
Keterangan:
Kgij = Kandungan zat gizi-I dalam bahan makanan-j
Bj = Berat makanan-j yang dikonsumsi (g)
Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 g BDD bahan makanan-j
BDDj = Bagian bahan makanan-j yang dapat dimakan
Gambaran tentang tingkat konsumsi gizi anak balita diperoleh dengan
menggunakan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG) tahun 2004.
Tingkat kecukupan energi dan zat gizi dihitung berdasarkan angka kecukupan
gizi yang dianjurkan menurut umur dan berat badan (Hardinsyah dan Tambunan
2004). Angka kecukupan gizi contoh dihitung dengan rumus sebagai berikut:
AKGI = (Ba/ Bs) x AKG
40
Keterangan:
AKGI = Angka kecukupan zat gizi contoh
Ba = Berat badan aktual sehat (kg)
Bs = Berat badan standar (kg)
AKG = Angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan
Tingkat konsumsi gizi diukur dengan menghitung jumlah konsumsi gizi
(energi, protein, vitamin A, vitamin C, dan vitamin B12) dibagi angka kecukupan
gizi, kemudian dikalikan 100%.
TKGI = (KI/AKGI) x 100%
Keterangan:
TKG = Tingkat kecukupan contoh
Ki = Konsumsi energi, protein, vit A, C dan B12 contoh
AKGi = Angka kecukupan energi, protein, vit A, C dan B12 contoh
Selanjutnya, tingkat kecukupan zat gizi diklasifikasikan menjadi dua kategori
yaitu kurang baik (< 70%) dan baik (≥ 70%).
Status gizi balita ditentukan dengan cara pengukuran antropometri dengan
menggunakan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Pengolahan data status gizi
dilakukan dengan menggunakan Sofware WHO ANTRO 2005. dan status gizi
anak balita diklasifikasikan berdasarkan standar baku WHO-NCHS (Tabel 5).
Penilaian status gizi dilakukan dengan cara perhitungan z-skor dengan rumus
sebagai berikut:
Z-Skor = Nilai Invidual Subjek – Nilai Median Baku Rujukan Nilai
Simpang Baku Rujukan
Tabel 5 merangkum pengkategorian variabel penelitian.
41
Tabel 5 Rekapitulasi pengkategorian variabel penelitian
No Variabel Kategori Jenis data
1. Umur balita (Tahun) 1. 2-3 2. 4-5
Ordinal
2. Jenis Kelamin anak 1. Laki-laki 2. Perempuan
Nominal
3. Berat badan lahir 1. < 2500 (BBLR) 2. ≥ 2500 (normal)
Ordinal
4. Umur orangtua 1. Tua (< 35 thn) 2. Muda (≥ 35 thn)
Ordinal
5. Pendidikan orangtua 1. Tinggi 2. Rendah
Ordinal
6. Pekerjaan orangtua 1. Bekerja 2. Tidak Bekerja
Ordinal
7. Pendapatan keluarga 1. Tinggi (≥ UMR p Prop Papua Barat) 2. Rendah (< UMR Propinsi Papua
Barat)
Ordinal
8. Besar keluarga 1. Besar (>4 orang) 2. Kecil (≤4 orang)
Ordinal
9. Pengetahuan ibu tentang ASI dan Malaria
1. Baik : ≥ 70% 2. Kurang baik : < 70%
Ordinal
10 Kejadian malaria 1. Tinggi : ≥ 70% 2. Rendah : <70%
Ordinal
Status malaria
1. Sakit 2. Tidak sakit
Ordinal
Frekuensi sakit malaria 1. > 2 kali per 6 bulan 2. ≤ 2 kali per 6 bulan
Ordinal
Jenis malaria 1. Berat 2. Ringan
Ordinal
Riwayat penyakit lain 1. Ada , 2. Tidak ada Ordinal
11. Pola asuh makan 1. Baik : ≥ 70% 2. Kurang baik : < 70%
Ordinal
Riwayat Menyusui
Riwayat Penyapihan
Praktek pemberian makan
1. ASI eksklusif : Baik 2. Tidak ASI eksklusiif : Kurang baik
1. ≥ 6 bulan : Baik 2. < 6 bulan : Kurang baik
1. Baik : ≥ 70% 2. Kurang baik : < 70%
Ordinal
Ordinal
Ordinal
42
Tabel Lanjutan
. Konsumsi Zat Gizi energi, protein, Vit A, Vit C dan Vit B12
Tingkat kecukupan 1. Baik : ≥ 70% 2. Kurang baik : < 70%
Ordinal
13. Pola asuh Kesehatan 1. Baik : ≥ 70% 2. Kurang baik : < 70%
Ordinal
Perawatan ketika anak sakit
1. Baik : ≥ 70 % 2. Kurang baik : < 70%
Ordinal
Praktek ibu dalam mencegah malaria
1. Baik : ≥ 70 % 2. Kurang baik : < 70%
Ordinal
a. Penggunaan kelambu berinsektisida
1. Ya 2. Tidak Ordinal
b. Pemasangan kasa nyamuk pada jendela dan ventilasi
1. Ya 2. Tidak
Ordinal
c. Pemakaian obat nyamuk
1. Ya 2. Tidak Ordinal
d. Penggunaan pakaian lengan panjang
1. Ya 2. Tidak
Ordinal
e. Pengobatan pencegahan anti malaria
1. Ya 2. Tidak Ordinal
f. Tradisi /kepercayaan dalam mencegah malaria
1. Ada 2. Tidak ada Ordinal
g. Praktek kebersihan 1. Ya 2. Tidak Ordinal
14. Sanitasi lingkungan
1. Baik : ≥ 70 %
2. Kurang baik : < 70 % Ordinal
15. Status gizi Balita Berdasarkan BB/TB 1. Tdk normal jika Z-score < -2.0 2. Normal jika Z-score ≥ -2.0
Ordinal
Berdasarkan TB/U 1. Pendek (stunting) jika Z-score < -2.0 2. Normal jika Z-score ≥ -2.0
Berdasarkan BB/U 1. Tdk normal jika Z-score < -2.0 2. Normal jika Z-Score ≥ -2.0
Analisa Data
Data yang telah dilakukan pengolahannya dengan benar selanjutnya
dianalisa dengan:
43
a. Analisa univariat
Analisa univariat ini dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi
frekuensi subyek penelitian dan distribusi proporsi kasus menurut masing-
masing variabel independent yang diteliti.
b. Analisa bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel
bebas (independent), yaitu pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi
lingkungan terhadap variabel terikat (dependen), yaitu kejadian malaria dan
status gizi dengan menggunakan fungsi chi-aquare.
Fungsi chi-square yaitu untuk melihat apakah ada tidaknya hubungan
variabel independen dan dependen dengan menggunakan derajat
kepercayaan 95% (α=0.05). Bila nilai p value <0.05 maka hasil statistik
bermakna, bila p value >0.05 maka hasil perhitungan statistik tidak bermakna.
=
Keterangan :
= statistik Kai-Kuadrat
Σ = Jumlah
O = nilai yang diamati
E = nilai yang diharapkan
Selanjutnya dilakukan perhitungan Odds ratio (OR), nilai OR merupakan
nilai estimasi resiko untuk terjadinya outcome sebagai pengaruh adanya
variabel independen. Perubahan satu unit variabel independen akan
menyebabkan perubahan sebesar nilai OR pada variabel dependen. Estimasi
confidence Interval (CI) OR ditetapkan pada tingkat kepercayaan 95%.
Interpretasi OR adalah sebagai berikut :
OR = 1, artinya tidak ada hubungan
OR < 1, artinya ada efek proteksi/perlindungan
OR > 1, artinya sebagai faktor risiko
44
c. Analisa multivariat
Analisis mutivariat dalam penelitian ini digunakan untuk melihat pengaruh
karakteristik sosial ekonomi keluarga, karakteristik balita, pengetahuan ibu
tentang ASI dan malaria, pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi
lingkungan terhadap kejadian malaria dan status gizi balita dengan
menggunakan metode regresi logistik. Uji tersebut dipilih karena variabel
dependen dan independen merupakan kategori dikotom dengan skala ordinal.
Menurut Agresti dan Finlay (1999), persamaan yang digunakan untuk
melihat pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik balita, pengetahuan ibu
tentang ASI dan malaria, pola asuh makan, tingkat konsumsi, pola asuh
kesehatan dan sanitasi lingkungan terhadap kejadian malaria yaitu:
Y = Log F = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + …. + β21X21
1-F
Keterangan:
Y1,2 = Kejadian malaria
a = Konstanta (intercept)
β1…21 = Koefisien regresi
X1 = Umur orangtua
X2 = Pendidikan orangtua
X3 = Pekerjaan orangtua
X4 = Jumlah anggota keluarga
X5 = Pendapatan keluarga
X6 = Asal suku
X7 = Umur balita
X8 = Jenis kelamin balita
X9 = Berat badan lahir balita
X10 = Pengetahuan ibu tentang ASI dan Malaria
X11 = Riwayat pemberian ASI dan penyapihan
X12 = Praktek makan
X13 = Tingkat kecukupan energi
X14 = Tingkat kecukupan protein
X15 = Tingkat kecukupan vitamin A
X16 = Tingkat kecukupan vitamin C
X17 = Tingkat kecukupan vitamin B12
45
X18 = Praktek kebersihan anak
X19 = Perawatan anak saat sakit
X20 = Praktek pencegahan malaria
X21 = Sanitasi lingkungan
Sedangkan, persamaan untuk melihat pengaruh pengaruh karakteristik
keluarga, karakteristik balita, pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria, pola
asuh makan, tingkat konsumsi, pola asuh kesehatan, kejadian malaria
terhadap status gizi balita adalah sebagai berikut:
Y = Log F = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + …. + β21X21
1-F
Keterangan :
Y1,2 = Status gizi
a = Konstanta (intercept)
β1…21 = Koefisien regresi
X1 = Umur orangtua
X2 = Pendidikan orangtua
X3 = Pekerjaan orangtua
X4 = Jumlah anggota keluarga
X5 = Pendapatan keluarga
X6 = Asal suku
X7 = Umur balita
X8 = Jenis kelamin balita
X9 = Berat badan lahir balita
X10 = Pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria
X11 = Riwayat pemberian ASI dan penyapihan
X12 = Praktek makan
X13 = Tingkat kecukupan energi
X14 = Tingkat kecukupan protein
X15 = Tingkat kecukupan vitamin A
X16 = Tingkat kecukupan vitamin C
X17 = Tingkat kecukupan vitamin B12
X18 = Praktek kebersihan anak
X19 = Perawatan anak saat sakit
46
X20 = Praktek pencegahan malaria
X21 = Kejadian malaria
Definisi Operasional
Anak balita adalah anak laki-laki dan perempuan yang berumur dua sampai lima
tahun yang menjadi sampel dalam penelitian ini
Umur balita adalah selisih tanggal survei dengan tanggal lahir anak balita yang
dinyatakan dalam genap bulan yang didapat melalui wawancara dengan
menggunakan kuesioner.
Umur orangtua adalah jumlah tahun lamanya orangtua hidup yang diperoleh
dari selisih tangal kelahiran dan tanggal wawancara.
Tingkat pendidikan orangtua adalah jenis dan tingkat pendidikan formal yang
terakhir ditempuh orang tua.
Pekerjaan orangtua adalah kondisi orangtua saat ini yang dikategorikan
berdasarakan orangtua yang bekerja (pegawai atau wiraswasta) dan tidak
bekerja (ibu rumah tangga).
Pendapatan keluarga adalah sejumlah uang dan atau barang yang dinilai
dengan uang yang dapat digunakan keluarga selama satu bulan untuk pangan &
non pangan
Pengetahuan ibu adalah kemampuan ibu menjawab dengan benar hal-hal yang
berkaitan dengan ASI dan malaria dan dibuat dalam skala interval berdasarkan
jumlah skor jawaban.
Besar keluarga adalah banyaknya individu yang tinggal bersama satu atap dan
bergantung kepada sumber penghidupan yang sama.
Kejadian malaria adalah balita yang menderita malaria berdasarkan data
registrasi di puskesmas yang berumur 2-5 tahun pada saat penelitian dan dalam
enam bulan terakhir yang meliputi status sakit, frekuensi sakit malaria (berapa
kali sakit), lama sakit (dalam hari) dan riwayat penyakit lain.
Pola asuh anak adalah perlakuan orang tua kepada anak dalam rangka
memenuhi kebutuhan anak, terdiri dari pola asuh makan dan pola asuh
kesehatan.
Pola asuh makan adalah seluruh interaksi subjek dan objek berupa bimbingan,
pengarahan dan pengawasan selama anak makan atau cara dan kebiasaan
orang tua yang terdiri dari riwayat pemberian ASI dan penyapihan serta praktek
pemberian makan.
48
Pola asuh kesehatan adalah praktek pengasuhan yangg diterapkan ibu kepada
anak balita yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, terdiri dari
perawatan anak ketika sakit terkait pemanfaatan layanan kesehatan dan praktek
ibu dalam mencegah malaria.
Praktek pencegahan adalah cara/tindakan ibu untuk merawat dan menjaga
anak supaya bebas dari penyakit serta menjaga lingkungan bersih, perawatan
anak dalam keadaan sakit, praktek pencegahan terhadap malaria.
Perawatan anak dalam keadaan sakit adalah tindakan ibu untuk memberikan
kasih sayang kepada anak untuk membantu dan menjaga selama sakit.
Status gizi adalah hasil masukan gizi dan pemanfaatannya di dalam tubuh
dengan melihat ukuran tubuh dengan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB yang
dinyatakan dengan nilai z-skor.
Tingkat Konsumsi pangan adalah semua asupan zat gizi dari makanan yang
dikonsumsi oleh anak balita baik dirumah maupun diluar rumah termasuk jajanan
selama dua hari sebelumnya yang dikonversikan melalui DKBM dengan metode
recall 2x24 jam melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner.
Tingkat kecukupan gizi (TKG) anak balita adalah total konsumsi zat gizi aktual
dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) sehari anak balita dan
dinyatakan dalam persen dengan metode recall 2 x 24 jam.
Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup
lingkungan perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan
sebagainya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Manokwari adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Papua
Barat, Ibukota kabupaten ini terletak di Kota Manokwari pada 0015’-3025’ Lintang
Selatan dan 132035’-134045’ Bujur Timur, dengan luas wilayah 14 676 km2,
dengan batas-batas :
Utara : Samudera Pasifik
Selatan : Kabupaten Teluk Bintuni
Barat : Kabupaten Sorong Selatan
Timur : Kabupaten Teluk Wondama
Terdiri dari 29 distrik, 9 kelurahan dan 409 kampung. Wilayah mencakup
wilayah laut, dataran dengan topografi wilayah datar, bergelombang hingga
bergunung dengan iklim tropis suhu udara berkisar antara 26.4°C sampai
31.9°C.
Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk
Kabupaten Manokwari adalah 187 591 orang, yang terdiri atas 98 762 laki‐laki
dan 88 829 perempuan. Dari hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010) tersebut
tampak bahwa penyebaran penduduk Kabupaten Manokwari masih bertumpuk di
Distrik Manokwari Barat, yakni sebesar 39.94%, kemudian diikuti oleh Distrik
Prafi sebesar 7.58%, Distrik Masni sebesar 7.19% dan Distrik Manokwari Selatan
sebesar 7.07%, sedangkan distrik‐distrik lainnya hanya dibawah 5%.
Distrik Manokwari Barat, Prafi, Masni dan Manokwari Selatan adalah empat
distrik dengan urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk terbanyak yang
masing‐masing berjumlah 74 924 orang, 14 214 orang, 13 92 orang dan 13 268
orang. Dengan luas wilayah Kabupaten Manokwari sekitar 14 448.50 kilometer
persegi yang didiami oleh 187 591 orang maka rata‐rata tingkat kepadatan
penduduk Kabupaten Manokwari adalah sebanyak 13 orang per kilometer
persegi. Distrik yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Distrik
Manokwari Barat yakni sebanyak 316 orang per kilometer persegi, sedangkan
Distrik yang paling rendah tingkat kepadatan penduduknya adalah Distrik Tahota,
Kebar, Senopi dan Mubrani, yakni hanya sebanyak satu orang per kilometer
persegi.
50
Manokwari merupakan daerah yang memiliki iklim tropis, sehingga sangat
mendukung kelangsungan hidup dari spesies nyamuk terutama Anopheles.
Nyamuk Anopheles tersebar di Manokwari dan menyebabkan penyakit malaria
tersiana dan malaria tropika dengan jumlah penderita yang cukup banyak.
Daerah penelitian memiliki keadaan lingkungan yang berbeda-beda.
Daerah Sanggeng berada di dekat laut sehingga untuk kelangsungan hidup
nyamuk sangat sedikit dimana daerah pantai memiliki suhu yang tinggi dan
kecepatan anginnya juga kuat sehingga mengurangi nyamuk yang ada di tempat
tersebut, namun di daerah ini banyak terdapat saluran air yang tersumbat seperti
halnya selokan yang jarang dibersihkan, serta penduduk dan perumahan yang
padat. Di daerah Wosi terdapat hutan yang banyak memiliki pohon-pohon yang
terlindung, berawa serta saluran air yang tersumbat sehingga menjadi tempat
berkembangbiak nyamuk
Daerah Warmare merupakan daerah dimana terdapat hutan yang banyak
memiliki pohon-pohon, tanaman coklat dan kelapa sawit, semak belukar dan juga
sungai tempat berkembang biak nyamuk. Sama halnya dengan daerah Prafi,
disamping pohon, tanaman sawit, di daerah ini juga terdapat kolam ikan dan
persawahan.
Dinas kesehatan Kabupaten Manokwari selalu mengadakan kegiatan
penemuan dan pengobatan setiap tahun dalam rangka menurunkan angka
kesakitan malaria di Kabupaten Manokwari seperti disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Kegiatan penemuan dan pengobatan malaria usia balita di Kabupaten
Manokwari Tahun 2011
Puskesmas Σ
penduduk Σ
klinis
Metode Diagnosis
Positif Pengobatan
MILK RDT 1-4 Thn 5-9 Thn
ACT L P L P
Sanggeng 38 050 8 942 8 205 - 691 608 272 303 300
Wosi 17 432 5 791 5 713 68 144 139 77 61 1 146
Warmare 10 177 2 136 177 56 27 29 16 21 225
Prafi SP1 14 542 2 374 2 374 - 207 215 166 132 -
Laporan Surveilans Malaria Kabupaten Manokwari Tahun 2011
51
Karakteristik Keluarga dan Anak Balita
Karakterietik Sosial Ekonomi Keluarga
Karakteristik sosial ekonomi keluarga dalam penelitian ini meliputi umur
orangtua, besar keluarga, pendapatan orangtua, asal suku, pendidikan orangtua,
dan pekerjaan orangtua. Distribusi karakteristik sosial ekonomi sosial ekonomi
keluarga disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Distribusi contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga
Peubah Total
n %
Umur ibu Tua (≥ 35 tahun) 10 10.0 Muda (< 35 tahun) 90 90.0
Umur ayah Tua (≥ 35 tahun) 27 27.0 Muda (< 35 tahun) 73 73.0
Besar keluarga Kecil (≤ 4 orang) 59 59.0 Besar (> 4 orang) 41 41.0
Pendapatan keluarga Tinggi (≥ 1 450 000) 73 73.0 Rendah (< 1 450 000) 27 27.0
Asal suku Papua 44 44.0 Non Papua 56 56.0
Pendidikan ibu Rendah 67 67.0 Tinggi 33 33.0
Pendidikan ayah Rendah 54 54.0 Tinggi 46 46.0
Pekerjaan ayah Bekerja 100 100
Pekerjaan ibu Bekerja 23 23.0 Tidak bekerja/IRT 77 77.0
Dalam penelitian ini umur orang tua diklasifikasikan berdasarkan kelompok
umur < 35 tahun dan ≥ 35 tahun. Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar
ibu balita (90%) berumur kurang dari 35 tahun. Rata-rata umur ibu adalah 28
tahun, umur maximum 38 tahun dan minimum 20 tahun. Sedangkan jika ditinjau
52
dari umur ayah, diperoleh bahwa lebih dari 70% ayah berumur kurang dari 35
tahun, rata-rata umur ayah 32 tahun, umur maximum 45 tahun dan umur
minimum 26 tahun.
Besar keluarga dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu keluarga kecil
(≤ 4 orang) dan keluarga besar (> 4 orang). Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh bahwa 59% ibu memiliki jumlah anggota keluarga kurang dari 4 orang,
dan 41% responden lainnya memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari empat
orang. Banyaknya anggota keluarga sangat mempengaruhi konsumsi pangan
dalam keluarga. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga.
Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan
meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan
semakin tidak merata.
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kuantitas dan
kualitas makanan yang dikonsumsi sehingga berhubungan erat dengan status
gizi. Keadaan ekonomi keluarga yang kurang mampu merupakan faktor yang
kurang mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan anak balita. Hal ini
disebabkan tingkat pendapatan keluarga sangat berpengaruh terhadap konsumsi
pangan keluarga. Pada Tabel 7, diketahui bahwa 27% ibu memiliki pendapatan
keluarga dibawah Upah Minimum Regional (UMR) Propinsi Papua Barat yakni
kurang dari Rp1 450 000. Rata-rata pendapatan adalah Rp1 950 000 dengan
pendapatan tertinggi Rp4 700 000 dan terendah Rp300 000.
Tingkat pendidikan dari orang tua juga sangat mempengaruhi pola asuh
dan status gizi, dimana makin tinggi tingkat pendidikan orang tua, makin baik
pula status gizi anaknya, karena orang tua terutama ibu berperan juga dalam
pola asuh (Soekirman, 2000). Tingkat pendidikan orangtua dalam penelitian ini
dibagi menjadi dua kategori yaitu tingkat pendidikan rendah (≤ SLTP) dan
pendidikan tinggi (> SLTP). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 67%
ibu balita berpendidikan rendah, (tidak sekolah, tidak tamat SD dan SLTP) dan
33% lainnya berpendidikan tinggi. Jika ditinjau dari pendidikan suami, 54% suami
berpendidikan rendah dan 46% lainnya berpendidikan tinggi. Semakin tinggi
tingkat pendidikan yang ditempuh maka akan semakin baik sumberdaya
manusianya karena pendidikan merupakan salah satu indikator kualitas
sumberdaya manusia.
53
Berdasarkan asal suku, diketahui bahwa responden dalam penelitian ini
berasal dari suku Jawa, Toraja, Manado, Ambon dan lain sebagainya. Mayoritas
responden di daerah Prafi berasal dari suku Jawa karena daerah ini merupakan
daerah transmigran, sedangkan di Warmare, mayoritas berasal dari suku Arfak.
Asal suku dikelompokan menjadi dua kategori yaitu masyarakat asal Papua yang
merupakan masyarakat asli Papua dan non Papua atau masyarakat pendatang.
Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa secara keseluruhan terdapat 44% ibu yang
merupakan masyarakat asli Papua dan lainnya 56% merupakan masyarakat
pendatang. Hal ini memberi indikasi bahwa balita non asli papua lebih rentan
terkena malaria dibandingkan balita asli papua.
Masyarakat yang tinggal di daerah endemis malaria biasanya mempunyai
imunitas alami sehingga mempunyai pertahanan alamiah (kebal) terhadap infeksi
malaria dan imunitas berperan penting menentukan beratnya infeksi. Kekebalan
pada penyakit malaria dapat didefinisikan sebagai adanya kemampuan tubuh
manusia untuk menghancurkan plasmodium yang masuk atau menghalangi
perkembang biakannya. Hal ini sejalan dengan Anies (2006) yang menyatakan
bahwa bayi di daerah endemik malaria mendapat perlindungan antibodi maternal
yang diperoleh secara transplasental.
Penelitian Karunaweera, Carter R, Grau GE dan Mendis KN (1998) di
Srilanka menemukan bahwa penderita malaria di daerah endemis memiliki
densitas parasit yang lebih rendah daripada yang tidak di daerah endemis. Pada
penduduk di daerah endemis ditemukan parasitemia berat namun asimtomatik,
sebaliknya pasien non-imun dari daerah non-endemis lebih mudah mengalami
malaria berat. Hal ini mungkin dikarenakan pada individu di daerah endemis imun
sudah terbentuk antibody protektif yang dapat membunuh parasit atau
menetralkan toksin parasit.
Bila ditinjau dari status pekerjaan orang tua terdapat 77% ibu tidak bekerja
atau sebagai ibu rumah tangga dan 23% ibu lainnya bekerja diantaranya bekerja
sebagai guru, bidan dan pedagang. Sedangkan jika dilihat dari pekerjaan ayah
diperoleh bahwa seluruh ayah bekerja dengan berbagai jenis pekerjaan. Di
daerah pedesaan seperti prafi kebanyakan suami bekerja sebagai petani sawah
dan petani ikan, sedangkan di daerah Warmare kebanyakan sebagai petani
kakao dan petani kelapa sawit namun bertani bukanlah mata pencaharian utama,
karena mereka juga berkebun dan mencari ikan. Jenis tanaman yang biasa
54
ditanam adalah pisang, ubi-ubian dan sayuran. Sedangkan pekerjaan suami
didaerah perkotaan lebih didominasi sebagai PNS, pedagang, sopir, tukang ojek
dan wirausaha.
Karakteristik Balita
Karakteristik balita dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin dan
berat badan lahir seperti disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Distribusi balita berdasarkan karakteristik balita di Puskesmas Kabupaten Manokwari
Peubah Total
n %
Umur balita (tahun) 2-3 70 70.0 4-5 30 30.0
Jenis kelamin Perempuan 59 59.0 Laki-laki 41 41.0
Berat badan lahir Normal (≥ 2 500 gram) 87 87.0 BBLR (< 2 500 gram) 13 13.0
Tabel 8 menunjukkan bahwa jika dilihat dari pembagian umur, sebagian
besar (70%) balita berumur dua sampai tiga tahun dan sisanya 30% berumur
empat sampai lima tahun. Rata-rata umur balita adalah tiga tahun. Anak-anak
usia ini adalah kelompok terbanyak yang berisiko terhadap malaria hal ini
disebabkan balita belum mampu menjaga dirinya sendiri dari gigitan nyamuk
serta memiliki daya tahan tubuh yang masih belum maksimal. Pertahanan tubuh
terhadap malaria yang diturunkan penting untuk melindungi anak kecil atau bayi
karena sifat khusus eritrosit yang relatif resisten terhadap masuk dan
berkembang biaknya parasit malaria. Depkes (2011) menunjukan bahwa anak-
anak usia dibawah lima tahun lebih rentan terjangkit malaria bahkan angka
kematian mencapai 70% pada anak usia dibawah lima tahun.
Jika ditinjau dari jenis kelamin, maka diketahui bahwa sebagian besar
balita berjenis kelamin perempuan dengan persentase 59% dan 41% lainnya
berjenis kelamin laki-laki. Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin
sebenarnya berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi
keterpaparan kepada gigitan nyamuk.
55
Pertumbuhan dan perkembangan anak balita juga dipengaruhi oleh berat
badan lahir. BBLR adalah salah satu hasil dari ibu hamil yang menderita malaria,
energi kronis dan mempunyai status gizi buruk. BBLR berkaitan dengan tingginya
angka kematian bayi dan balita, juga dapat berdampak serius pada kualitas
generasi mendatang, yaitu akan memperlambat pertumbuhan dan
perkembangan anak, serta berpengaruh pada penurunan kecerdasan (Depkes
RI, 2006).
Berdasarkan data yang diperoleh juga diketahui bahwa 13% balita memiliki
berat badan lahir rendah (< 2 500 gram), dan 87% balita lainnya memiliki berat
badan lahir normal. Rata-rata berat badan lahir balita adalah 2 900 gram. BBLR
sangat berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas janin dan bayi baru lahir,
hambatan pertumbuhan dan perkembangan kognitif, serta penyakit kronis saat
dewasa. Muthayya (2009) menyatakan bahwa BBLR dapat meningkatkan
morbiditas, menyebabkan gangguan perkembangan mental, meningkatkan risiko
penyakit kronis. Bayi yang lahir dengan BBLR akan lebih sulit untuk memiliki
ukuran tubuh normal di kemudian hari sehingga dapat menyebabkan stunting
pada masa remaja.
Pengetahuan Ibu tentang ASI dan Malaria
Pengetahuan (knowladge) merupakan hasil tahu yang diperoleh melalui
proses pengalaman dan proses belajar dalam pendidikan, baik yang bersifat
formal maupun informal (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan yang diteliti disini
adalah pengetahuan ibu tentang ASI dan pengetahuan tentang malaria seperti
disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Distribusi ibu berdasarkan pengetahuan tentang ASI dan malaria di Puskesmas Kabupaten Manokwari
Peubah Total
n %
Pengetahuan tentang ASI Baik (≥ 70%) 54 54.0 Kurang (< 70%) 46 46.0
Pengetahuan tentang malaria Baik (≥ 70%) 57 57.0 Kurang (< 70%) 43 43.0
56
Berdasarkan Tabel 9, diperoleh bahwa 46% ibu memiliki pengetahuan ASI
yang kurang baik. Pengetahuan ibu tentang ASI yang kurang baik disebabkan
karena mereka tidak memiliki pengetahuan tentang kolostrum, kolostrum yang
diproduksi oleh sebagian ibu dianggap sebagai air susu yang kotor dan tidak
langsung diberikan kepada bayi.
Roesli U (2004) menyatakan bahwa kolostrum adalah cairan pelindung
yang kaya akan zat anti infeksi dan berprotein tinggi yang keluar dari hari
pertama sampai hari keempat atau ketujuh setelah melahirkan. Kandungan
kolostrum inilah yang tidak diketahui ibu sehingga banyak ibu dimasa setelah
persalinan tidak memberikan kolostrum kepada bayi baru lahir karena
pengetahuan tentang kandungan kolostrum itu tidak ada. Rendahnya
pengetahuan ibu juga disebabkan mereka tidak mengetahui kapan waktu
pemberian ASI dan penyapihan yang tepat.
Jika ditinjau dari pengetahuan ibu tentang malaria, diketahui bahwa 43%
Ibu balita memiliki pengetahuan malaria yang kurang baik. Pengetahuan ibu
yang kurang baik ini disebabkan mereka tidak memiliki pengetahuan mengenai
jenis nyamuk malaria, tempat perindukan nyamuk, cara mencegah malaria yang
baik dan bagaimana gejala awal penyakit malaria dengan benar. Secara teori
pengetahuan yang baik tentang penularan malaria akan dapat membantu upaya
pencegahan terjadinya penularan malaria dimana masyarakat menjadi mampu
untuk bertindak, mencegah dan mampu melindungi diri dari serangan penyakit
ini.
Tanda dan gejala penyakit malaria yang penting dan harus diketahui oleh
orangtua adalah panas tinggi, menggigil dan sakit kepala. Dari responden yang
mengetahui gejala penyakit malaria, panas dan menggigil merupakan gejala
malaria yang paling banyak diketahui; gejala lain yang juga disebutkan adalah
badan yang kaku, badan kurus, badan sakit, batuk-beringus, sakit tulang
belakang, bibir kering dan muka pucat. Pengetahuan ini diketahui berdasarkan
pengalaman dan penyuluhan dari petugas kesehatan.
Hasil penelitian Uzochukwu et al (2008) tentang respon ibu terhadap anak
demam di daerah perkotaan dan pedesaan di Enugu, Nigeria Tenggara
menyebutkan bahwa kedua ibu di daerah perkotaan dan pedesaan menyadari
bahwa malaria merupakan penyebab utama demam pada anak. Meskipun ibu
pedesaan mengenali demam dan tanda-tanda bahaya yang lebih baik dari pada
57
ibu-ibu di daerah kota tetapi tanggapan ibu didaerah kota terhadap demam
anaknya lebih baik. Ibu di daerah kota menggunakan obat klorokuin, ACT dan
parasetamol sebagai obat utama untuk mengobati demam anaknya dan tersedia
dirumah, sementara ibu-ibu pedesaan lebih cenderung untuk menggunakan obat
sisa dari pengobatan sebelumnya untuk mengobati demam. Sementara ibu di
daerah perkotaan juga lebih menggunakan pencegahan dan mencari tindakan
lebih cepat dari ibu pedesaan dan total biaya perawatan juga lebih tinggi di
daerah perkotaan.
Pola Asuh Makan dan Pola Asuh Kesehatan
Pola Asuh Makan
Orang tua sangat berperan dalam menjaga pola makan yang sehat dan
seimbang bagi anak karena biasanya anak akan meniru pola makan yang ada di
keluarga. Dengan mengatur asupan makanannya supaya tetap sehat dan
seimbang, maka kesehatan dan kecerdasan anak akan dapat terjaga untuk
menjamin masa depannya. Ibu atau pengasuh harus yakin bahwa anak balita
sudah mampu untuk makan sendiri dan mengawasi selama anak makan. Pola
asuh makan dalam penelitian ini terdiri dari riwayat pemberian ASI dan
penyapihan serta praktek pemberian makan anak.
Widayani S (2000) menyatakan kebiasaan menyusui bayi merupakan hal
yang baik, akan tetapi ASI bukan satu-satunya sumber untuk memenuhi
kebutuhan makanan bagi anak balita. Pemberian ASI kepada anak balita yang
sudah besar (> 2 tahun) akan dapat memberi dampak yang kurang baik terhadap
anak balita. Disamping ASI sudah tidak sarat zat gizi sehingga tidak lagi dapat
memenuhi kebutuhan gizi anak. Distribusi pola asuh makan anak balita di
Puskesmas Kabupaten Manokwari seperti disajikan pada Tabel 10.
Berdasarkan Tabel 10, diperoleh bahwa 65% ibu memiliki pola asuh makan
yang kurang baik. Pola asuh makan yang kurang baik ini disebabkan riwayat
pemberian ASI yang dan penyapihan kurang baik serta praktek makan yang
kurang baik. Persentase responden dengan riwayat ASI dan penyapihan yang
kurang baik adalah 56% dan 44% ibu memiliki riwayat pemberian ASI dan
penyapihan yang baik. Sebagian ibu tidak memberikan ASI dengan berbagai
alasan, diantaranya adalah ASI tidak keluar, anak tidak mau dan ibu sedang
sakit. Disamping itu beberapa ibu lainnya tidak memberikan ASI eksklusif dan
58
mulai menyapih ketika anak baru berusia empat bulan. Bertentangan dengan
apa yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan yang menganjurkan
pemberian ASI tanpa makanan pendamping hingga bayi berusia 6 bulan (ASI
eksklusif).
Tabel 10 Distribusi balita berdasarkan pola asuh makan di Puskesmas Kabupaten Manokwari
Peubah Total
n %
Pola asuh makan Baik (≥ 70%) 35 35.0 Kurang (< 70%) 65 65.0
1. Riwayat pemberian ASI dan penyapihan Baik (≥ 70%) 44 44.0 Kurang (< 70%) 56 56.0
2. Praktek pemberian makan Baik (≥ 70%) 35 35.0 Kurang (< 70%) 65 65.0
Tabel 10 juga menunjukkan bahwa 65% ibu balita memiliki praktek
pemberian makan yang kurang baik dan 35% ibu memiliki praktek pemberian
makan yang baik. Praktek pemberian makan disini meliputi cara memberi makan,
frekuensi makan, jenis dan ragam makanan serta situasi saat makan. Cara
pemberian makan yang kurang baik diantaranya adalah kebiasaan sarapan pagi
kurang diterapkan padahal menurut Suhardjo (1989) makan pagi sangat penting.
Sejalan dengan pernyataan Khomsan A (2002) yang menyatakan bahwa makan
pagi adalah suatu kegiatan yang penting sebelum melakukan aktivitas fisik.
Pola asuh makan yang kurang baik juga disebabkan para responden
cenderung memaksa anak untuk makan dan tidak bisa menciptakan situasi
makan yang baik saat makan. Disamping itu frekuensi makan anak yang tidak
teratur serta jenis dan ragam makanan yang kurang bervariasi pun menjadi
penyebab kurang baiknya pola asuh makan ibu. Hal ini didukung oleh Anwar
(2009) yang menyatakan bahwa situasi makan dapat berpengaruh terhadap
kebiasaan makan, ada anak yang diberi makan secara teratur setiap hari, makan
pada tempat yang nyaman, dan anak makan dengan tertib. Sebaliknya ada pula
anak yang diberi makan semaunya, sambil jalan-jalan, sambil bermain-main, dan
tergantung kepada pengawasan ibu atau pengasuh. Akibatnya anak akan
terbiasa sulit untuk makan, berhamburan atau akan banyak makanan yang tidak
dihabiskan.
59
Cara mengasuh anak baik asuh makan dan asuh kesehatan antar keluarga
sangat bervariasi, diantaranya dipengaruhi oleh karakteristik keluarga. Secara
rinci distribusi pola asuh makan berdasarkan karakteristik sosial ekonomi
keluarga dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Distribusi contoh berdasarkan pola asuh makan dan karakteristik sosial ekonomi keluarga
Peubah Pola asuh makan Total Baik Kurang baik
n % n % n %
Umur ibu Tua (≥ 35 tahun) 3 30.0 7 70.0 10 100 Muda (< 35 tahun) 32 35.6 58 64.4 90 100
Umur ayah Tua (≥ 35 tahun) 6 22.2 21 77.8 27 100 Muda (< 35 tahun) 29 39.7 44 60.3 73 100
Besar keluarga Kecil (≤ 4 orang) 23 39.0 36 61.0 59 100 Besar (> 4 orang) 12 29.3 29 70.7 41 100
Pendapatan keluarga Tinggi (≥ 1 450 000) 28 38.4 45 61.6 73 100 Rendah (< 1 450 000) 7 25.9 20 74.1 27 100
Asal suku Papua 12 27.3 32 72.7 44 100 Non Papua 23 41.1 33 58.9 56 100
Pendidikan ibu Rendah 20 29.9 47 70.1 67 100 Tinggi 15 45.5 18 54.5 33 100
Pendidikan ayah Rendah 16 29.6 38 70.4 54 100 Tinggi 19 41.3 27 58.7 46 100
Pekerjaan ayah Bekerja 35 35.0 65 65.0 100 100
Pekerjaan ibu Bekerja 10 43.5 13 56.5 23 100 Tidak bekerja/IRT 25 32.5 52 67.5 77 100
Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa berdasarkan karakteristik sosial
ekonomi keluarga, pola asuh makan yang kurang lebih banyak dilakukan oleh
orangtua berumur muda (64.4%), memiliki jumlah anggota keluarga kecil dengan
pendidikan orangtua yang rendah dan ibu tidak memiliki pekerjaan. Namun
berdasarkan analisis chi-square tidak ada hubungan yang signifikan antara
karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan pola asuh makan.
60
Pola Asuh Kesehatan
Pola asuh kesehatan tidak terlepas dari praktek hidup bersih yang
diterapkan oleh ibu. Kebersihan adalah faktor yang besar pengaruhnya terhadap
kesehatan. Pola asuh kesehatan dalam penelitian ini meliputi praktek kebersihan
(higiene) anak, penanganan ketika anak sakit, serta praktek pencegahan malaria
yang diterapkan ibu kepada anak. Distribusi pola asuh kesehatan disajikan pada
Tabel 12.
Tabel 12 Distribusi balita berdasarkan pola asuh kesehatan di Puskesmas Kabupaten Manokwari
Peubah Total
n %
Pola asuh kesehatan Baik (≥ 70%) 43 43.0 Kurang (< 70%) 57 57.0
1. Praktek kebersihan anak Baik (≥ 70%) 80 80.0 Kurang (< 70%) 20 20.0
2. Perawatan anak saat sakit Baik (≥ 70%) 85 85.0 Kurang (< 70%) 15 15.0
3. Praktek pencegahan malaria Baik (≥ 70%) 26 26.0 Kurang (< 70%) 74 74.0
Berdasarkan Tabel 12, diperoleh 57% ibu memiliki pola asuh kesehatan
yang kurang baik dan 43% memiliki pola asuh kesehatan yang baik. Jika ditinjau
dari praktek kebersihan, sebagian besar (80%) ibu memiliki praktek kebersihan
yang baik dan hanya terdapat 20% ibu yang memiliki praktek kebersihan kurang
baik. Praktek kebersihan yang dimaksud disini terdiri dari kebiasaan
mengonsumsi air masak, praktek kebersihan anak, seperti kebiasaan mandi dua
kali sehari, kebiasaan mencuci tangan dengan sabun, kebiasaan menggunting
kuku dua kali seminggu dan sebagainya.
Pola asuh kesehatan yang buruk akan sangat merugikan bagi anak oleh
karena itu kesehatan anak harus mendapat perhatian dari para orang tua, yaitu
dengan cara segera membawa anaknya yang sakit ketempat pelayanan
kesehatan yang terdekat (Soetjiningsih, 1995). Berdasarkan data Riskesdas
2010, cakupan pelayanan kesehatan bayi dipapua barat adalah yang terendah
kedua (42.0%) di Indonesia setelah Papua (32.40%), dimana targetnya adalah
61
84.0%. Disebutkan juga bahwa salah satu upaya pengendalian penyakit malaria
yang paling sering dan masih menjadi andalan adalah pengobatan penderita.
Pengobatan yang efektif ini harus memenuhi tiga kategori, yaitu jenis obat yang
diperoleh adalah ACT, obat tersebut diperoleh penderita maksimum 24 jam
setelah sakit dan dosis obat diperoleh untuk tiga hari dan diminum seluruhnya.
Anak balita sangat membutuhkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh secara
terus-menerus.
Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa 85% ibu memiliki pola asuh yang baik
dalam merawat anak ketika sakit dan hanya 15% ibu dengan praktek perawatan
yang kurang baik. Praktek perawatan anak saat sakit diantaranya adalah
tindakan ibu mengenai gejala malaria, tindakan dalam memanfaatkan layanan
kesehatan serta kepatuhan ibu dalam memberikan obat kepada anaknya.
Berdasarkan hasil wawancara sebagian besar ibu langsung membawa anak
mereka berobat ke sarana pelayanan ke puskesmas, praktek bidan dan
puskesmas pembantu, hal ini disebabkan berbagai alasan, diantaranya adalah
agar anak cepat sembuh, tidak menyediakan obat di rumah dan ingin
mendapatkan pengobatan gratis. Praktek perawatan yang kurang baik
disebabkan mereka tidak segera memeriksakan anaknya ke dokter, cenderung
membiarkan dan baru memeriksakan anak lima hari setelah sakit dan semakin
parah.
Tabel 12 juga menunjukkan mengenai praktek pencegahan malaria,
dimana 74% ibu belum menerapkan praktek pencegahan malaria yang baik dan
26% sudah menerapkan praktek pencegahan yang baik. Praktek pencegahan
malaria sangat penting dilakukan guna menurunkan angka kesakitan malaria.
Pengetahuan mengenai cara pencegahan malaria ini sangat penting mengingat,
program pencegahan malaria dengan menggunakan kelambu pada masyarakat
tidak begitu tepat dilakukan, disamping itu kondisi rumah yang tidak terpasang
kasa nyamuk pada ventilasi menyebabkan nyamuk masuk kedalam ruangan.
Berdasarkan hasil penelitian di daerah pedesaan seperti Warmare dan
Prafi banyak rumah yang tidak menggunakan kasa pada jendela dan ventilasi
dibandingkan di daerah perkotaan seperti Sanggeng dan Wosi sehingga
kebiasaan menggunakan kelambu sangat banyak di pedesaan dibandingkan di
perkotaan. Sedangkan kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk semprot dan
elektrik lebih banyak dilakukan oleh ibu yang berada di perkotaan. Pada
62
dasarnya ibu hanya menerapkan dua sampai tiga praktek pencegahan saja dari
tujuh praktek pencegahan malaria yang dianjurkan oleh dinas kesehatan
setempat, padahal jika semua praktek dilakukan akan semakin efektif upaya
untuk menghindarkan keluarga dari infeksi malaria.
Praktek pencegahan malaria secara rinci disajikan pada Gambar 5 berikut.
Gambar 5 Praktek ibu dalam mencegah malaria di Puskesmas Kabupaten Manokwari
Dari Gambar 5 terlihat bahwa untuk penggunaan kelambu berinsektisida
dan non insektisida cukup banyak dipraktekkan oleh ibu. Penggunaan kelambu
merupakan upaya yang paling efektif mencegah digigit nyamuk pada saat tidur
dibandingkan dengan upaya yang lain, hal ini disebabkan penggunaan kelambu
mengurangi resiko masuknya insektisida ke dalam tubuh manusia melalui
jaringan kulit serta risiko lain dari obat pengusir nyamuk yang dibakar, khususnya
bagi orang yang mempunyai gangguan sistem pernafasan. Berdasarkan
keterangan rata-rata penggunaan kelambu adalah empat tahun dan rata-rata
kelambu dicuci adalah lima bulan sekali. Menurut dinas Kesehatan Kabupaten
Manokwari, penggunaan kelambu berinsektisida akan efektif selama jangka
waktu 3-5 tahun dan dapat dicuci secara teratur tiga bulan sekali.
Dari Gambar 5 juga dapat dilihat bahwa praktek pencegahan yang paling
sedikit dilakukan oleh para responden adalah mengonsumsi obat anti malaria,
hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan ibu tentang pentingnya mengonsumsi
obat pencegahan malaria. Dulu malaria masih diobati dengan klorokuin, namun
38
48
46
22
5
14
65
0 20 40 60 80
Penggunaan kelambu tanpa /berinsektisida
Penggunaan kasa pada jendela/ventilasi
Penggunaan pakaian lengan panjang
Pemakaian obat nyamuk/anti nyamuk
Minum obat anti malaria
Penggunaan obat tradisional
Sanitasi lingkungan
Jumlah Responden
63
setelah ada laporan resistensi maka saat ini telah dikembangkan pengobatan
baru dengan tidak menggunakan obat tunggal saja tetapi dengan kombinasi yaitu
dengan ACT (Artemisinin-based Combination Therapy) dan DHP/ Arterakin
(Dehidroartemisine piperaqui). Kedua jenis obat ini merupakan obat yang
dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan untuk dikonsumsi saat ini.
Teori Green (1980) mengemukakan bahwa kepercayaan atau keyakinan
yang menjadi kebiasaan dalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku
masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian ada tradisi atau kepercayaan dalam
mencegah malaria pada balita, misalnya dengan memandikan anak dengan
menggunakan air yang rebusan daun dari pucuk pohon. Pemanfaatan tradisional
tanaman obat bagi balita sakit malaria dan bagi orang dewasa umumnya adalah
dengan mengonsumsi daun pepaya, daun sambiloto, serta paria untuk
mengurangi gejala malaria. Daun pepaya dan paria biasanya dimanfaatkan
sebagai sayuran, namun tidak sedikit yang memanfaatkan daun pepaya, paria
serta sambiloto untuk kemudian direbus dan diambil sarinya untuk diminum.
Beberapa penelitian tentang pemanfaatan obat telah dilakukan,
diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Suleman S et al (2009) tentang
pemanfaatan tradisional tanaman obat-obatan dalam mengelola malaria pada
penduduk Assendabo Township di Jimma, Etiopia. Diperoleh bahwa sebagian
besar masyarakat Ethiopia menggunakan obat tradisional untuk mengobati
malaria dan penyakit lainnya. Hasil penelitian ini kemudian menjadi dasar untuk
memilih tanaman untuk lebih lanjut farmakologis dan studi fitokimia untuk
mengembangkan baru dan relevan secara lokal anti malaria agen di Ethiopia.
Secara rinci distribusi pola asuh kesehatan berdasarkan karakteristik sosial
ekonomi keluarga dapat dilihat pada Tabel 13.
Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa berdasarkan karakteristik sosial
ekonomi keluarga, pola asuh kesehatan yang kurang baik lebih banyak dilakukan
oleh orangtua berumur muda, memiliki jumlah anggota keluarga kecil, pendidikan
orangtua rendah dan ibu tidak memiliki pekerjaan.
Pola asuh kesehatan yang kurang baik lebih banyak dialami oleh anak
balita umur dua sampai tiga tahun, berjenis kelamin perempuan dan memiliki
berat badan lahir yang normal.
64
Tabel 13 Distribusi contoh berdasarkan pola asuh kesehatan dan karakteristik sosial ekonomi keluarga
Peubah Pola asuh kesehatan
Total Baik Kurang baik
n % n % n %
Umur ibu Tua (≥ 35 tahun) 5 50.0 5 50.0 10 100 Muda (< 35 tahun) 38 42.2 52 57.8 90 100
Umur ayah Tua (≥ 35 tahun) 11 40.7 16 59.3 27 100 Muda (< 35 tahun) 32 43.8 41 56.2 73 100
Besar keluarga Kecil (≤ 4 orang) 24 40.7 35 59.3 59 100 Besar (> 4 orang) 19 46.3 22 53.7 41 100
Pendapatan keluarga Tinggi (≥ 1 450 000) 29 39.7 44 60.3 73 100 Rendah (< 1 450 000) 14 51.9 13 48.1 27 100
Asal suku Papua 18 40.9 26 59.1 44 100 Non Papua 25 44.6 31 55.4 56 100
Pendidikan ibu Rendah 27 40.3 40 59.7 67 100 Tinggi 16 48.5 17 51.5 33 100
Pendidikan ayah Rendah 24 44.4 30 55.6 54 100 Tinggi 19 41.3 27 58.7 46 100
Pekerjaan ayah Bekerja 43 43.0 57 57.0 100 100
Pekerjaan ibu Bekerja 10 43.5 13 56.5 23 100 Tidak bekerja/IRT 33 42.9 44 57.1 77 100
Berdasarkan analisis chi-square tidak ada hubungan yang signifikan antara
karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan pola asuh kesehatan (p>0.05).
Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Gizi Balita
Asupan makan anak balita adalah hal penting yang harus diperhatikan
oleh orang tua karena konsumsi makanan sangat berpengaruh terhadap status
gizi seseorang. Kondisi status gizi baik dapat dicapai bila tubuh memperoleh
cukup zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan terjadinya
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja untuk mencapai
65
tingkat kesehatan optimal. Sedangkan status gizi kurang terjadi bila tubuh
mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi.
Konsumsi merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dengan
pertumbuhan dan perkembangan fisik serta mental anak. Konsumsi pangan anak
balita dikumpulkan dengan metode recall ( 2x24 jam). Recall konsumsi pangan
mencakup jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi anak termasuk makanan
jajanan dan minum susu. Jenis makanan yang dikonsusmsi anak balita masih
belum beragam. Rataan asupan zat gizi balita per hari disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Rataan asupan energi dan zat gizi balita per hari di Puskesmas
Kabupaten Manokwari
Asupan zat gizi (per hari)
AKG yang dianjurkan
Mean Minimum Maximum
Energi (kcal) 1000-1550 887.76 542 1 748.6
Protein (g) 25-39 25.90 15 71.6
Vitamin A (RE)
Vitamin C (mg)
Vitamin B12 (ug)
400-450
40-45
0.9-1.2
198.67
38.32
0.62
122
19.0
0.4
958.3
73.0
2.2
Energi dan protein berfungsi untuk membangun sel-sel yang rusak,
membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon yang berguna dalam
proses metabolisme. Berdasarkan Tabel 14 terlihat bahwa rata-rata asupan
energi balita adalah 887.76 kcal per hari, yang berarti masih kurang dari AKG
energi yang dianjurkan untuk balita yaitu 1 000 kcal sampai 1 550 kcal per hari.
Anak yang asupan proteinnya kurang akan mengalami gangguan terutama
gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu protein pada masa balita
sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan otak. Berdasarkan Tabel
14, rata-rata asupan protein balita adalah 25.90 gr per hari, yang berarti sudah
cukup dari AKG protein yang dianjurkan untuk balita usia satu sampai tiga tahun
yaitu 25 gr per hari, namun masih kurang bagi balita usia empat sampai lima
tahun karena AKG protein yang dianjurkan pada usia ini adalah 39 gr per hari.
Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah
sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Oleh karena itu
harus didapat dari makanan. Almatsier S (2005) mengemukakan bahwa vitamin
termasuk kelompok zat pengatur pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan.
66
Dilihat dari kelarutannya, maka vitamin terbagi menjadi dua yaitu vitamin yang
larut dalam air dan vitamin yang larut dalam lemak. Vitamin yang dilihat dalam
penelitian ini adalah Vitamin A, Vitamin B12 dan Vitamin C.
Vitamin A merupakan salah satu zat gizi mikro mempunyai manfaat yang
sangat penting bagi tubuh manusia, terutama dalam penglihatan manusia.
Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata asupan vitamin A balita adalah 198.67 RE
per hari, masih kurang dari AKG vitamin A yang dianjurkan bagi balita yaitu 400-
450 RE per hari. Ini terjadi terutama karena kebiasaan makan yang jelek dengan
kekurangan konsumsi sayuran, buah yang menjadi sumber provitamin A.
Kekurangan maupun kelebihan dalam asupan vitamin A dapat memunculkan
resiko yang merugikan kesehatan.
Ada bukti yang menyatakan bahwa suplementasi vitamin A dapat
menurunkan morbiditas malaria. Penelitian tersebut dilakukan di Papua New
Guinea pada anak umur 6-60 bulan yang menderita penyakit malaria dengan
memberikan suplementasi vitamin A (60 mg RE setiap 3 bulan). Setelah diikuti
selama satu tahun, vitamin A menurunkan insidens malaria 20% - 50% kecuali
pada level parasit yang tinggi (Azrimaidaliza, 2007). Kemudian ditemukan
bahwa suplementasi vitamin A memberikan efek yang sedikit pada anak umur
dibawah 12 bulan dan efek yang besar pada anak umur 13 sampai 36 bulan.
(Shankar et al, 1999 dalam Semba, 2002).
Untuk mengobati anak yang menderita malaria, selain obat standar untuk
mengobati malarianya sendiri, dokter biasanya memberikan obat penunjang
seperti vitamin B12 dan vitamin C untuk memperkuat fisik balita. Berdasarkan
hasil penelitian rata-rata asupan vitamin C balita adalah 38.32 mg per hari
sedangkan rata-rata AKG vitamin C yang dianjurkan bagi balita 40-45 mg per
hari, berarti masih kurang. Tingkat kecukupan Vitamin C masih di bawah 100%,
hal ini kemungkinan disebabkan para anak balita kurang mengkonsumsi buah-
buahan. Menurut responden, anak mereka jarang mengonsumsi buah-buahan
hal ini disebabkan mereka lebih memilih jajanan dibandingkan buah-buahan.
Pada tabel 14 juga dapat dilihat bahwa rata-rata asupan vitamin B12 anak
balita adalah 0.62 ug, masih kurang karena AKG yang dianjurkan adalah 0.9-1.2
ug per hari. Belum ditemukan jurnal mengenai hubungan antara vitamin B12,
vitamin C dengan infeksi malaria.
67
Konsumsi pangan dipengaruhi oleh kebiasaan makannya, sehingga
kecukupan konsumsi pangan anak-anak perlu mendapat perhatian orangtua.
Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah
sangat rawan terhadap gizi kurang. Mereka mengkonsumsi pangan (energi dan
protein) lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berada
(Khomsan A, 2003). Distribusi tingkat kecukupan gizi balita secara rinci disajikan
pada Tabel 15 berikut.
Tabel 15 Distribusi balita berdasarkan tingkat kecukupan gizi di Puskesmas Kabupaten Manokwari
Peubah Total
n %
Tingkat kecukupan energi
Baik (≥ 70% AKG) 47 47.0 Kurang (< 70% AKG) 53 53.0
Tingkat kecukupan protein Baik (≥ 70% AKG) 58 58.0 Kurang (< 70% AKG) 42 42.0
Tingkat kecukupan vit A Baik (≥ 70% AKG) 7 7.0 Kurang (< 70% AKG) 93 93.0
Tingkat kecukupan vit C Baik (≥ 70% AKG) 13 13.0 Kurang (< 70% AKG) 87 87.0
Tingkat kecukupan vit B12 Baik (≥ 70% AKG) 6 6.0 Kurang (< 70% AKG) 94 94.0
Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa sebagian besar tingkat kecukupan
energi, protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin B12 anak balita masih kurang.
Hal ini disebabkan karena jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi masih
kurang beragam. Makanan dikatakan beraneka ragam adalah apabila setiap
hidangan terdiri dari minimal empat jenis bahan makanan yang terdiri dari bahan
makanan pokok, lauk-pauk, sayuran dan buah-buahan yang bervariasi (Depkes
2000). Berdasarkan hasil penelitian, balita lebih banyak mengkonsumsi pangan
sumber karbohidrat dan protein dibandingkan pangan yang mengandung vitamin
seperti sayur dan buah. Pangan sumber karbohidrat berasal dari nasi dan ubi-
ubian, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan protein lebih banyak bersumber
dari ikan.
68
Sanitasi Lingkungan dan Kejadian Malaria
Sanitasi Lingkungan
Keadaan lingkungan berpengaruh besar terhadap ada tidaknya malaria di
suatu daerah. Sanitasi dalam penelitian merupakan kondisi tempat tinggal ibu
berupa keadaan lantai rumah, ventilasi yang baik, kepemilikan kolam ikan,
sumur, kandang ternak yang dekat dengan rumah, saluran pembuangan limbah,
jamban keluarga yang terletak didalam rumah, tempat pembuangan sampah dan
tempat penampungan air. Adanya danau air payau, genangan air di hutan di
suatu daerah akan meningkatkan kemungkinan timbulnya penyakit malaria
karena tempat-tempat tersebut merupakan tempat perindukan nyamuk malaria.
Rendahnya kesadaran masyarakat akan sanitasi lingkungan dan perumahan
menyebabkan angka kesakitan malaria tinggi di daerah.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa 82% sanitasi lingkungan
tempat tinggal responden berada dalam kategori kurang baik dan hanya terdapat
18% responden dengan sanitasi tempat tinggal yang baik. Di daerah pedesaan
seperti Warmare dan Prafi, sebagian besar ibu memiliki rumah dengan keadaan
lantai rumah tanpa semen, rumah tanpa ventilasi, rumah yang dekat dengan
kandang ternak, letak jamban keluarga diluar rumah serta sumber air untuk
minum dan mandi semua keluarga di pedesaan umumnya berasal dari air sumur,
sungai dan penampuangan air hujan. Demikian halnya dengan ibu di perkotaan,
keadaan rumah yang dekat dengan kandang ternak, saluran pembuangan air
limbah yang terbuka dan tidak lancar, selokan yang tersumbat, serta sumur
tanpa cincin merupakan ciri buruknya sanitasi lingkungan.
Romadon (2001) menyatakan bahwa proporsi penyakit malaria di
Kecamatan Salaman sebesar 50% dimana pencahayaan, ventilasi, jenis rumah,
semak-semak dan perbukitan menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap
kejadian malaria, sedangkan kebersihan rumah, suhu rumah, kelembaban
rumah, genangan air dan persawahan tidak menunjukkan hubungan terhadap
kejadian malaria.
Sementara Kholis E dkk (2010) menunjukkan bahwa pemeliharaan ternak
yang berisiko untuk terinfeksi malaria adalah sebesar 1.10 kali dibandingkan
individu yang tinggal di rumah tangga yang memiliki peternakan yang tidak
berisiko. Pemeliharaan ternak yang berisiko adalah ternak yang tidak mempunyai
69
kandang atau ada kandangnya tetapi dekat dengan rumah. Semakin dekat
dengan rumah, semakin berisiko terjadinya malaria. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian Duarsa A (2007) yang mengemukakan bahwa individu yang memiliki
pemeliharaan ternak berisiko mempunyai prevalence ratio 1.35.
Kejadian Malaria
Manokwari merupakan daerah yang memiliki iklim tropis, sehingga sangat
mendukung kelangsungan hidup dari spesies nyamuk terutama Anopheles.
Nyamuk Anopheles tersebar di Manokwari dan menyebabkan penyakit malaria
tersiana dan malaria tropika dengan jumlah penderita yang cukup banyak. Dalam
penelitian ini kejadian malaria terdiri dari status sakit, jenis malaria, frekuensi
sakit dan riwayat penyakit lain. Distribusi balita berdasarkan kejadian malaria
disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Distribusi balita berdasarkan kejadian malaria di Puskesmas Kabupaten Manokwari
Peubah Total
n %
Kejadian malaria Tinggi 69 69.0 Rendah 31 31.0
1. Status sakit malaria Sakit 82 82.0 Tidak sakit 18 18.0
2. Jenis malaria Berat 42 42.0 Ringan 58 58.0
3. Frekuensi sakit ≤2 kali sebulan 55 55.0 >2 kali sebulan 45 45.0
4. Riwayat penyakit lain
Ada 21 21.0
Tidak ada 79 79.0
Tabel 16 menunjukkan bahwa 69% tingkat kejadian malaria pada balita di
Kabupaten Manokwari tinggi dan hanya 31% yang rendah. Tingginya kejadian
malaria ini disebabkan pada saat penelitian dan selama enam bulan terakhir
banyak balita yang sakit malaria. Berdasarkan status sakit, hanya terdapat 20%
balita yang tidak sakit malaria dan 80% balita lainnya menderita sakit malaria.
Balita yang tidak menderita malaria mengalami sakit flu, diare dan gatal-gatal.
70
Balita penderita malaria yang berobat ke unit pelayanan kesehatan, umumnya
masih diobati secara pengobatan klinis, yaitu pemberian obat anti malaria hanya
berdasarkan gejala klinis saja dan belum diberikan pengobatan radikal atau
pemberian obat anti malaria selain gejala klinis, sedangkan yang lainnya
menggunakan Rapid Test Diagnosis (RTD). Kondisi ini terjadi karena beberapa
faktor, antara lain keterbatasan saran dan prasarana yang dibutuhkan
(mikroskop), minimnya kemampuan/keterampilan petugas (tenaga mikroskopis
malaria) terutama didaerah pedesaan dan tidak memadainya dana operasional
program P2 Malaria (Khususnya di Kab/ Kota dan Puskesmas).
Pengobatan terhadap penderita malaria yang dilaksanakan di Indonesia
ada dua jenis, yaitu pengobatan malaria klinis dan pengobatan radikal.
Pengobatan malaria klinis merupakan pemberian obat anti malaria hanya
berdasarkan gejala klinis saja, sedangkan pengobatan radikal adalah pemberian
obat anti malaria yang berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium. Sampai saat
ini, masih banyak propinsi yang masih melaksanakan pengobatan malaria klinis,
termasuk Propinsi Papua Barat. Berdasarkan kajian dan penelitian yang
dilakukan oleh departemen kesehatan, ternyata pengobatan dengan cara ini
sering menimbulkan terjadinya kegagalan pengobatan bagi penderita malaria
klinis, sebab pengobatan dengan cara ini tidak berdasarkan hasil pemeriksaan
sediaan darah.
Tabel 16 juga menunjukkan bahwa tingginya kejadian malaria disebabkan
jumlah balita yang mengalami malaria berdasarkan jenisnya, baik malaria berat
dan ringan tidak berbeda jauh. Berdasarkan data diperoleh bahwa 42% balita
menderita malaria berat yaitu malaria jenis tropika dan 58% balita lainnya
menderita malaria ringan. Kemudian jika ditinjau dari frekuensi sakit diketahui
bahwa terdapat 45% balita mengalami malaria lebih dari dua kali dalam enam
bulan dan 55% lainnya mengalami malaria kurang dari dua kali dalam enam
bulan. Lama anak balita mengalami sakit infeksi, dapat mempengaruhi tingkat
kecukupan gizi balita tersebut. Hal ini disebabkan pada saat sakit nafsu makan
anak menjadi berkurang sehingga asupan zat gizi yang berasal dari makanan
pun menjadi sedikit serta secara langsung akan mempengaruhi tingkat
kecukupan zat gizi anak tersebut.
Riwayat penyakit lain balita juga menjadi penyebab tingginya kejadian
malaria di Puskesmas Kabupaten Manokwari. Berdasarkan data yang diperoleh
71
sebanyak 21% balita memiliki riwayat penyakit lain seperti asma, tuberkulosis,
diare, batuk dan alergi.
Tabel 17 Distribusi contoh berdasarkan kejadian malaria dan karakteristik sosial ekonomi keluarga
Peubah Kejadian malaria
Total P-value Rendah Tinggi
n % n % n %
Umur ibu Tua (≥ 35 tahun) 3 30.0 7 70.0 10 100 1.000 Muda (< 35 tahun) 28 31.1 62 68.9 90 100
Umur ayah Tua (≥ 35 tahun) 9 33.3 18 66.7 27 100 0.810 Muda (< 35 tahun) 22 30.1 51 69.9 73 100
Besar keluarga Kecil (≤ 4 orang) 21 35.6 38 64.4 59 100 0.276 Besar (> 4 orang) 10 24.4 31 75.6 41 100
Pendapatan keluarga Tinggi (≥ 1 450 000) 17 23.3 56 76.7 73 100 0.008 Rendah(< 145 0000) 14 51.9 13 48.1 27 100
Asal suku Papua 14 31.8 30 68.2 44 100 1.000 Non Papua 17 30.4 39 69.6 56 100
Pendidikan ibu Rendah 24 35.8 43 64.2 67 100 0.171 Tinggi 7 21.2 26 78.8 33 100
Pendidikan ayah Rendah 20 37.0 34 63.0 54 100 0.195 Tinggi 11 23.9 35 76.1 46 100
Pekerjaan ayah Bekerja 31 31.0 69 69.0 100 100 -
Pekerjaan ibu Bekerja 3 13.0 20 87.0 23 100 0.041 Tidak bekerja/IRT 28 36.4 49 63.6 77 100
Umur balita 2-3 tahun 24 34.3 46 65.7 70 100 0.349 4-5 tahun 7 23.3 23 76.7 30 100
Jenis kelamin Perempuan 19 32.2 40 67.8 59 100 0.465 Laki-laki 12 29.3 29 70.7 41 100
Berat badan lahir Normal (≥ 2500 gr) 26 29.9 61 70.1 87 100 0.534 BBLR (< 2500 gr) 5 38.5 8 61.5 13 100
72
Berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga (Tabel 17), tingginya
kejadian malaria lebih banyak dialami oleh balita yang memiliki orangtua dengan
umur muda, memiliki jumlah anggota keluarga kecil, pendidikan orangtua rendah
dan ibu tidak memiliki pekerjaan. Kejadian malaria yang tinggi lebih banyak
dialami oleh anak balita umur dua sampai tiga tahun, berjenis kelamin
perempuan dan memiliki berat badan lahir yang normal.
Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
pendapatan keluarga dengan kejadian malaria (p=0.008). Sebagian besar
pendapatan keluarga yang tinggi berasal dari masyarakat pendatang dimana
berdasarkan hasil penelitian, balita asal pendatang/ non asli Papua lebih rentan
terhadap malaria dibandingkan balita dari suku asli Papua.
Selanjutnya hasil uji chi-square juga menunjukkan bahwa ada hubungan
antara pekerjaan ibu dengan kejadian malaria (p=0.041). Ibu yang tidak bekerja
umumnya berpendidikan rendah dan memiliki pengetahuan yang kurang
mengenai praktek dan pencegahan malaria dibandingkan ibu yang bekerja
sehingga kejadian malaria lebih banyak dialami oleh anak-anak yang berasal dari
ibu yang tidak memiliki pekerjaan. Namun ada juga ibu bekerja yang
mengikutsertakan anaknya ketika bekerja tanpa perlindungan dalam mencegah
gigitan nyamuk, sehingga menjadi salah satu penyebab tingginya kejadian
malaria pada anak yang ibunya bekerja.
Status Gizi Anak Balita
Status gizi balita diukur secara antropometri dilakukan dengan
menimbang berat badan anak. Kemudian dihitung nilai z-skor berdasarkan
indeks BB/TB, TB/U dan BB/U. Distribusi status gizi balita berdasarkan indeks
BB/TB, TB/U dan BB/U disajikan pada Tabel 18.
Berdasarkan BB/TB pada Tabel 18, diperoleh bahwa 31% balita memiliki
status gizi tidak normal (kurus) dan 69% balita normal. Rata-rata status gizi balita
berdasarkan BB/TB adalah normal. Selanjutnya berdasarkan TB/U diperoleh
21% balita pendek dan 79% balita memiliki TB/U yang normal. Rata-rata status
gizi balita menurut TB/U adalah normal.
Tabel 18 juga menunjukkan bahwa berdasarkan BB/U diperoleh 45% balita
memiliki status gizi yang tidak normal dan 55% balita lainnya memiliki BB/U yang
73
normal. Rata-rata status gizi balita menurut BB/U berada dalam kategori tidak
normal. Anak balita dengan status gizi buruk dan gizi lebih tidak ditemukan
dalam penelitian ini.
Tabel 18 Distribusi balita berdasarkan status gizi di Puskesmas Kabupaten Manokwari
Peubah Total
n %
BB/TB Normal 69 69.0 Tidak normal 31 31.0
TB/U Normal 79 79.0 Tidak normal 21 21.0
BB/U Normal 55 55.0 Tidak normal 45 45.0
Dari ketiga indeks yang digunakan dalam penelitian ini yaitu indeks BB/U, TB/U
dan BB/TB, dapat diambil kesimpulan bahwa status gizi anak balita di masa lampau
pada umumnya berada pada kategori normal dan pada saat penelitian berada dalam
keadaan tidak normal, hal ini disebabkan pada saat penelitian balita mengalami sakit
sehingga berpengaruh terhadap nafsu makan yang secara langsung berpengaruh
terhadap berat badan balita.
Selanjutnya distribusi status gizi balita berdasarkan karakteristik sosial
ekonomi keluarga dan karakteristik balita disajikan pada Tabel 19.
Berdasarkan analisis chi-squre diperoleh bahwa ada hubungan antara
karakteristik sosial ekonomi keluarga dan karakteristik balita dengan status gizi
balita dalam penelitian ini yaitu pendapatan keluarga, asal suku, pendidikan ibu
dan pekerjaan ayah dengan status gizi.Namun menurut penelitian yang
dilakukan oleh Masdiarti E (2000) di Kecamatan Hamparan Perak tentang pola
pengasuhan dan status gizi anak balita ditinjau dari karakteristik pekerjaan ibu,
memperlihatkan hasil bahwa anak yang berstatus gizi baik banyak ditemukan
pada ibu bukan pekerja (43,24%) dibandingkan dengan kelompok ibu pekerja
(40,54%) dan ibu yang tidak bekerja mempunyai waktu yang lebih banyak dalam
mengasuh anaknya.
74
Tabel 19 Distribusi status gizi berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga dan karakteristik balita di Kabupaten Manokwari
Peubah
Status gizi BB/TB TB/U BB/U
Normal Tdk Normal Normal Pendek Normal Tdk
Normal n % n % n % n % n % n %
Umur ibu Tua (≥ 35 thn) 6 8.7 4 12.9 9 11.4 1 4.8 6 10.9 4 8.9 Muda(< 35 thn) 63 91.3 27 87.1 70 88.6 20 95.2 49 89.1 41 91.1
Umur ayah Tua (≥ 35 thn) 17 24.6 10 32.3 24 30.4 3 14.3 13 23.6 14 31.1 Muda (< 35 thn) 52 75.4 21 67.7 55 69.6 18 85.7 42 76.4 31 68.9
Besar keluarga Kecil (≤ 4 org) 38 55.1 21 67.7 45 57.0 14 66.7 30 54.5 29 64.4 Besar (> 4 org) 31 44.9 10 32.3 34 43.0 7 33.3 25 45.5 16 35.6
Pendapatan keluarga*
Tinggi (≥ 1450000) 57 82.6 16 51.6 64 81.0 9 42.9 49 89.1 24 53.3 Rendah (< 1450000) 12 17.4 15 48.4 15 19.0 12 57.1 6 10.9 21 46.7
Asal suku*
Papua 30 43.5 14 45.2 30 38.0 14 66.7 21 38.2 23 51.1 Non Papua 39 56.5 17 54.8 49 62.0 7 33.3 34 61.8 22 48.9
Pendidikan ibu*
Rendah 42 60.9 25 80.6 49 62.0 18 85.7 30 54.5 37 82.2 Tinggi 27 39.1 6 19.4 30 38.0 3 14.3 25 45.5 8 17.8
Pendidikan ayah Rendah 37 53.6 17 54.8 40 50.6 14 66.7 24 43.6 30 66.7 Tinggi 32 46.4 14 45.2 39 49.4 7 33.3 31 56.4 15 33.3
Pekerjaan ayah Bekerja 69 100 31 100 79 100 21 100 55 100 45 100
Pekerjaan ibu*
Bekerja 19 27.5 4 12.9 21 26.6 2 9.5 17 30.9 6 13.3 Tdk bekerja 50 72.5 27 87.1 58 73.4 19 90.5 38 69.1 39 86.7
Umur balita 2-3 tahun 49 71.0 21 67.7 57 72.2 13 61.9 39 70.9 31 68.9 4-5 tahun 20 29.0 10 32.3 22 27.8 8 38.1 16 29.1 14 31.1
Jenis kelamin Perempuan 43 62.3 16 51.6 48 60.8 11 52.4 33 60.0 26 57.8 Laki-laki 26 37.7 15 48.4 31 39.2 10 47.6 22 40.0 19 42.2
Berat lahir Normal (≥ 2500 gr) 58 84.1 29 93.5 68 86.1 19 90.5 45 81.8 42 93.3 BBLR (< 2500 gr) 11 15.9 2 6.5 11 13.9 2 9.5 10 18.2 3 6.7
Hubungan antar Variabel Pola Asuh Makan, Tingkat Konsumsi,
Pola Asuh Kesehatan, Kejadian Malaria dengan Status Gizi Balita
Balita masih sangat rawan terhadap berbagai macam penyakit. Hal ini
terjadi karena sistem kekebalan tubuhnya belum benar-benar terbentuk. Oleh
karena itu anak harus diberikan asupan gizi yang cukup guna membantu
membentuk sistem kekebalan tubuh yang kuat, sehingga anak tidak mudah sakit.
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
massa tubuh (tulang, otot dan lemak) dan merupakan indikator yang sangat labil.
75
Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak,
misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau
berkurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi (Supariasa, Bakri dan Fajar
2002).
Pengukuran dengan menggunakan indeks BB/U lebih menggambarkan
status gizi pada saat ini. Pengukuran hubungan pola asuh makan, tingkat
konsumsi, pola asuh kesehatan, kejadian malaria terhadap status gizi balita di
Kabupaten Manokwari dilakukan dengan menggunakan indesk BB/U seperti
disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20 Hubungan antar variabel pola asuh makan, tingkat konsumsi, pola asuh kesehatan, kejadian malaria dengan status gizi balita di Kabupaten Manokwari
Peubah
Status gizi Total
P-value
Normal Tidak normal
n % n % n %
Pola asuh makan Baik (≥70 %) 25 71.4 10 28.6 35 100 0.020
*
Kurang (<70 %) 30 46.2 35 53.8 65 100
Tingkat kecukupan energi
Baik (≥70 % AKG) 34 72.3 13 27.7 47 100 0.001*
Kurang (<70 % AKG) 21 39.6 32 60.4 53 100
Tingkat kecukupan protein
Baik (≥70 % AKG) 38 65.5 20 34.5 58 100 0.015*
Kurang (<70 % AKG) 17 40.5 25 59.5 42 100
Tingkat kecukupan vit A
Baik (≥70 % AKG) 3 42.9 4 57.1 7 100 0.698 Kurang (<70 % AKG) 52 55.9 41 44.1 93 100
Tingkat kecukupan vit C
Baik (≥70 % AKG) 9 69.2 4 30.8 13 100 0.373 Kurang (<70 % AKG) 46 52.9 41 47.1 87 100
Tingkat kecukupan vit B12
Baik (≥70 % AKG) 4 66.7 2 33.3 6 100 0.688 Kurang (<70 % AKG) 51 54.3 43 45.7 94 100
Pola asuh kesehatan
Baik (≥70 %) 27 62.8 16 37.2 43 100 0.224 Kurang (<70 %) 28 49.1 29 50.9 57 100
Kejadian Malaria
Tinggi 8 25.8 23 74.2 31 100 0.001*
Rendah 47 68.1 22 31.9 69 100
*Signifikan p<0.05
Hasil uji chi-square (Tabel 20) menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara pola asuh makan dengan status gizi (p=0.020), terdapat
76
hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan
status gizi (p=0.001), terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
kecukupan protein dengan status gizi (p=0.015). Hal ini didukung oleh penelitian
Fitria A (2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
pola asuh, tingkat konsumsi energi dan protein, status gizi dengan psikomotor
(p<0.05). Namun berdasarkan uji chi-square tidak terdapat hubungan antara
tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C dan vitamin B12 dengan status gizi
(p>0.05), hal ini disebabkan sebagian besar balita memiliki tingkat kecukupan zat
gizi yang kurang.
Tabel 20 juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara pola asuh kesehatan dengan status gizi (p>0.05) dimana
(p=0.224). Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Husen R
(2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan status gizi balita dengan pola
asuh pemberian makan (p=0,000), praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan
(p=0,000), namun tidak ada hubungan antara perawatan anak dalam keadaan
sakit dengan status gizi.
Pada Tabel 20 dapat dilihat bahwa ada hubungan antara kejadian malaria
dengan status gizi balita (p<0.05). Ada beberapa studi yang menunjukkan bahwa
anak yang bergizi baik justru lebih sering mendapat kejang dan malaria
dibandingkan dengan anak yang bergizi buruk. Tetapi anak yang bergizi baik
dapat mengatasi malaria berat dengan lebih cepat dibanding anak yang bergizi
buruk (Gunawan dalam Harijanto, 2000).
Analisis Hubungan antar Variabel Pola Asuh Makan, Pola Asuh
Kesehatan, Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Malaria
Hubungan antar variabel pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi
lingkungan dengan kejadian malaria disajikan pada Tabel 21.
Berdasarkan uji chi-square diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara
pola asuh makan dengan kejadian malaria (p>0.05). Tabel 21 juga menunjukkan
bahwa bahwa tidak ada hubungan antara tingkat kecukupan energi, protein,
vitamin A, vitamin C dan vitamin B12 dengan status malaria (p>0.05). Berbeda
dengan Victoria et al (2011) yang menyatakan bahwa prevalensi malaria tinggi
77
pada anak-anak yang belum menerima suplemen vitamin A dibandingkan
dengan anak yang telah mendapatkan suplemen vitamin A.
Tabel 21 Hubungan antar variabel pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan dengan kejadian malaria di Kabupaten Manokwari
Peubah
Kejadian malaria Total P-value
Tinggi Rendah
n % n % n %
Pola asuh makan
Baik (≥70 %) 30 85.7 5 14.3 35 100 0.591
Kurang (<70 %) 52 80.0 13 20.0 65 100
Pola asuh kesehatan 0.001*
Baik (≥70 %) 29 67.4 14 32.6 43 100 Kurang (<70 %) 53 93.0 4 7.0 57 100
Sanitasi Lingkungan
Baik (≥70 %) 13 72.2 5 27.8 18 100 0.037*
Kurang (<70 %) 69 84.1 13 15.9 82 100
*Signifikan p<0.05
Selanjutnya penelitian Nurhadimuda (2003) menyebutkan bahwa infeksi
malaria mempengaruhi penurunan status gizi anak balita di Purworejo,
sedangkan penelitian Tarmidzi M (2006) menyebutkan bahwa kejadian malaria
tidak berhubungan dengan status gizi pada balita di Kecamatan Kokap dan
Samigaluh Kabupaten Kulon Progo Propinsi D.I Yogyakarta. Selanjutnya malaria
dan kekurangan gizi penyebab morbiditas dan mortalitas yang tinggi di pedesaan
sub-Sahara Afrika. Ditemukan bahwa anak-anak kekurangan gizi kronis memiliki
risiko lebih tinggi untuk mengalami malaria (Deen, Walraven & Seidlein, 2002).
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian Malaria dan
Status Gizi Balita di Kabupaten Manokwari
Berdasarkan hasil analisis chi-square diketahui bahwa variabel yang
berhubungan dengan kejadian malaria adalah pola asuh kesehatan dan sanitasi
lingkungan, sedangkan variabel yang berhubungan dengan status gizi adalah
pola asuh makan (p=0.020), praktek makan (p=0.001), tingkat kecukupan energi
(p=0.001), tingkat kecukupan protein (p=0.015) dan kejadian malaria (p=0.001).
Ditinjau dari karakteristik balita, karakteristik orangtua, pengetahuan ibu
dan sanitasi lingkungan, diperoleh bahwa variabel yang berhubungan dengan
kejadian malaria adalah praktek kebersihan (p=0.046), selanjutnya variabel yang
78
berhubungan dengan status gizi adalah pendidikan ibu (p=0.005), pendidikan
ayah (p=0.027), pekerjaan ibu (p=0.055), pendapatan keluarga (p=0.000),
pengetahuan ibu tentang ASI dan malaria (0.000). Hal ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Saifuddin (2004) di Kabupaten Bireuen yang
menunjukkan bahwa kejadian malaria sebagian besar terjadi pada kelompok
umur 15–49 tahun (36.4%), menyerang lebih banyak laki-laki (56.8%), dan
terbanyak berpendidikan rendah (97%) serta terdapat hubungan yang bermakna
antara jenis kelamin dan pendidikan ibu dengan kejadian malaria.
Analisis regresi logistik dilakukan untuk mengetahui variabel yang paling
berpengaruh terhadap kejadian malaria dan status gizi balita, hasil analisis
disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22 Hasil uji regresi logistik faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malaria dan status gizi balita
Peubah Sig. OR 95%CI
Kejadian malaria
Sanitasi lingkungan 0.084 0.256 0.055 1.203
Pola asuh kesehatan 0.002* 0.156 0.047 0.519
Praktek kebersihan 0.002* 0.052 0.008 0.347
Status gizi
Pendidikan ibu 0.065 4.662 0.908 5.939
Pendidikan ayah 0.508 1.603 0.397 6.470
Pekerjaan ibu 0.124 4.286 0.672 7.355
Pendapatan keluarga 0.091 0.263 0.056 1.239
Pola asuh makan 0.942 1.058 0.229 4.883
Praktek makan 0.367 0.491 0.105 2.300
Konsumsi energi 0.048* 0.264 0.071 0.986
Konsumsi protein 0.190 0.405 0.105 1.565
Pengetahuan tentang ASI 0.026* 0.208 0.052 0.831
Pengetahuan tentang malaria 0.002* 0.115 0.029 0.456
Kejadian malaria
0.007* 0.039 0.004 0.405
Constant 0.022 15.961 *
Signifikan p<0.05
Pada Tabel 22 dapat dilihat bahwa berdasarkan analisis regresi logistik,
faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian malaria adalah pola
79
asuh kesehatan dengan nilai OR sebesar 0.156 (95% CI : 0.074-0.519), dimana
pola asuh kesehatan merupakan faktor pencegah tingginya kejadian malaria
pada anak balita. Hal ini berarti bahwa anak balita yang dengan latar belakang
pola asuh kesehatan yang baik dapat menghindarkan dirinya untuk sakit malaria
0.156 kali dibandingkan balita dengan pola asuh kesehatan yang kurang baik.
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap kejadian malaria adalah
praktek kebersihan anak, nilai OR praktek kebersihan anak sebesar 0.052 (95%
CI: 0.008-0.347) dimana praktek kebersihan anak merupakan faktor pencegah
tingginya kejadian malaria balita. Hal ini berarti bahwa balita dengan praktek
kebersihan anak yang baik berpeluang 0.052 kali lebih kecil mengalami sakit
malaria dibandingkan balita dengan praktek kebersihan yang kurang baik.
Pada Tabel 22, faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap status
gizi anak balita adalah konsumsi energi, pengetahuan ibu tentang ASI,
pengetahuan ibu tentang malaria dan kejadian malaria. Nilai OR konsumsi energi
sebesar 0.264 (95% CI : 0.071-0.986), dimana konsumsi energi merupakan
faktor pencegah status gizi balita yang kurang. Hal ini berarti bahwa anak balita
dengan tingkat konsumsi yang baik berpeluang 0.264 kali lebih kecil memiliki
status gizi kurang dibandingkan anak balita dengan konsumsi energi yang
kurang baik. Hamidah N (2006) menyatakan bahwa ada hubungan antara pola
asuh gizi dengan status gizi, ada hubungan kejadian infeksi dengan status gizi,
tidak ada hubungan tingkat konsumsi energi dengan status gizi dan ada
hubungan tingkat konsumsi protein dengan status.
Nilai OR untuk pengetahuan ibu tentang ASI sebesar 0.208 (95% CI :
0.052-0.831), dimana pengetahuan ibu tentang ASI merupakan faktor pencegah
status gizi anak yang kurang baik. Hal ini berarti ibu dengan pengetahuan ASI
yang baik berpeluang 0.208 kali lebih kecil memiliki balita dengan status gizi
yang kurang dibandingkan dengan ibu dengan pengetahuan ASI yang kurang.
Namun menurut Victoria et al (2011) pemberian ASI eksklusif tidak menurunkan
prevalensi malaria parasitemia. Pengetahuan merupakan salah satu faktor risiko
yang berhubungan terhadap kejadian malaria (Loka Litbang P2B2).
Sama halnya dengan pengetahuan ibu tentang malaria dimana diperoleh
nilai OR sebesar 0,115 (95% CI : 0.029-0.456), dimana pengetahuan ibu tentang
malaria merupakan faktor pencegah status gizi balita yang kurang baik. Hal ini
berarti bahwa ibu dengan pengetahuan malaria yang baik berpeluang lebih kecil
80
memiliki anak dengan status gizi kurang dibandingkan ibu yang memiliki
pengetahuan malaria yang kurang baik. Penelitian Kinung'hi et al (2010)
menyebutkan bahwa warga di Kabupaten Muleba Utara Tanzania memiliki
tingkat pengetahuan yang tinggi tentang malaria, namun pengetahuan ini belum
sepenuhnya dipraktekkan dalam penggunaan intervensi malaria yang tersedia.
Selanjutnya hasil penelitian Adhroey (2010) menyebutkan bahwa masyarakat
hutan asli dan pedesaan Distrik Lipis dari Pahang Malaysia memiliki kesadaran
akan penyakit malaria tetapi sikap dan praktek dalam pencegahan malaria tidak
memadai.
Faktor yang juga secara signifikan berpengaruh terhadap status gizi adalah
kejadian malaria dimana berdasarkan analisis regresi logistik diperoleh nilai OR
kejadian malaria sebesar 0.039 (95% CI : 0.004-0.405), dimana kejadian malaria
merupakan faktor pencegah status gizi balita yang kurang baik. Hal ini berarti
bahwa balita dengan kejadian malaria yang rendah berpeluang 0.113 lebih kecil
memiliki status gizi kurang dibandingkan balita dengan kejadian malaria tinggi.
Penelitian Olaf et al ( 2003) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara KEP
dan morbiditas malaria, tapi anak-anak kekurangan gizi memiliki risiko lebih dari
dua kali lipat lebih tinggi meninggal dibandingkan non-anak kurang gizi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka diperoleh kesimpulan penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara pola asuh makan, tingkat kecukupan energi,
tingkat kecukupan protein, kejadian malaria dengan status gizi. Namun tidak
ada hubungan antara pola asuh kesehatan dengan status gizi.
2. Tidak ada hubungan antara pola asuh makan dengan kejadian malaria
namun terdapat hubungan antara pola asuh kesehatan, sanitasi lingkungan
dengan kejadian malaria.
3. Faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian malaria adalah
sanitasi lingkungan, pola asuh kesehatan dan praktek kebersihan anak;
sedangkan faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap status gizi
anak balita adalah konsumsi energi, pengetahuan ibu tentang ASI,
pengetahuan ibu tentang malaria dan kejadian malaria.
Saran
1. Disarankan kepada masyarakat, khususnya para ibu untuk memperhatikan
menu makan anak. Masyarakat perlu menerapkan 7 praktek pencegahan
malaria yang disarankan oleh dinas kesehatan, perlu memperhatikan
kebersihan penggunaan kelambu, mengingat rata-rata kelambu dicuci
adalah 5 bulan sekali. Disamping itu disarankan untuk mengkonsumsi obat
anti malaria, menjaga kebersihan lingkungan serta memiliki kepatuhan
dalam minum obat.
2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah utama status gizi adalah
adalah rendahnya tingkat konsumsi energi dan zat gizi serta kurangnya
keragaman konsumsi pangan anak balita. Hal ini juga disebabkan kurangnya
pemahaman ibu tentang pola asuh makan yang baik, oleh karena itu perlu
adanya peningkatan materi penyuluhan atau konseling mengenai pentingnya
menu beragam, bergizi dan seimbang bagi ibu serta bagaimana cara praktek
makan yang benar.
3. Dinas kesehatan perlu meningkatkan promosi kepada masyarakat tentang
pentingnya praktek pencegahan malaria mengingat hanya 2-3 praktek saja
yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Adhroey AL et al. 2010. Opportunities and Obstacles to The Elimination of
Malaria From Peninsular Malaysia: Knowledge, Attitudes And Practices on
Malaria Among Aboriginal and Rural Communities. Malaria Journal, 9:137
Agresti A dan Finlay B. 1999. Statistical Methods for The Social Sciences; 3rd ed.
New Jersey: Prentice Hall.
Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pusaka Utama. Jakarta
Almatsier S. 2005. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Jakarta ; Gramedia Pustaka Utama.
Amadou BD et al. 2001. Home Care of Malaria-Infected Children of Less Than 5
Years Of Age in a Rural Area of The Republic of Guinea. Bull World Health
Organ Vol.79 No.1 Genebra.
Anies. 2006. Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular. Jakarta : PT. Elex.
Media Komputindo. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Anwar. 2000. Pelaksanaan Program Pemberian Makanan Tambahan Anak
Sekolah Kepada Siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Kendari. Universitas
Sumatra Utara. Medan.
Arisman MB. 2004. Gizi Daur dalam Kehidupan, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta; hal.40-48.
Azrimaidaliza. 2007. Vitamin A, Imunitas dan Kaitannya dengan Penyakit Infeksi.
[Tesis] Universitas Diponegoro. Semarang.
Baume C, Helitzer D and Kachur SP. 2000. Patterns of Care for Childhood
Malaria in Zambia. Social Science and Medicine 51: 1419-1503.
Budi TP. 2000. Mengasuh dan Perkembangan Balita. Oriza Yogyakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Papua Barat dalam Angka 2010. Papua
Barat.
Daboer JC, John C, Jamda AM, Chingle MP, Ogbonna C. 2010. Knowledge and
Treatment Practices of Malaria Among Mothers and Caregivers of Children
in An Urban Slum in Jos, Nigeria. Niger J Med. Apr-Jun;19(2):184-7.
Deen JL, Walraven GEL, Seidlein L.Von. 2002. Increased Risk for Malaria in
Chronically Malnourished Children Under 5 Years of Age in Rural Gambia. J
Trop Pediatr 48 (2): 78-83.
[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2000. Pedoman Pemberian Makanan
Pendamping ASI (MP-ASI). Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. Direktorat
Bina Gizi, Jakarta.
_________. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta
_________. 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu
Ibu (MP-ASI) Lokal. Bhakti Husada
83
_________. 2008. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.
Bhakti Husada. Jakarta.
_________. 2011. Profil Data Kesehatan Indonesia. Bhakti Husada. Jakarta
[Dinkes] Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari. 2010. Laporan Kesehatan
Kabupaten Manokwari.
Ditjen P2PL. 2009. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.
Depkes RI.
Ditjen P2PL. 2012. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.
Depkes RI
Djumadias dan Abunain. 1990. Aplikasi Antropometri sebagai Alat Ukur Status
Gizi. Puslitbang Gizi Bogor
Duarsa A. 2007. Pengaruh Perpaduan Berbagai Determinan di Tingkat Individu dan Determinan di Tingkat Ekologi Agregat terhadap Kejadian Infeksi Malaria di Kabupaten Lampung Selatan. [Disertasi] Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.
Engel P. 1992. Care and Child Nutrition. Theme Paper for the International
Conference (ICN), Unicef, New York.
Engle P, Menon P and Haddad L. 1997. Care and Nutrition. New York. Hill
Estefanía et al. 2009. Nutritional And Socio-Economic Factors Associated With
Plasmodium Falciparum Infection In Children From Equatorial Guinea:
Results From A Nationally Representative Survey. Malaria Journal, 8:225.
Ettling M, McFarland L, Schultz and Chitsulo. 1994. Economic impact of malaria
in Malawian households. Tropical Medicine and Parasitology 45: 74-79.
Fawole OI and Onadeko MO, 2001. Knowledge and Home Management of
Malaria Fever by Mothers and Care Givers of Under Five Children. West Afr
J Med 20:152-157
Fitria A. 2008. Hubungan Pola Asuh, Status Gizi, Tingkat Konsumsi Energi dan
Protein dengan Psikomotor Anak Usia 24-30 Bulan di kelurahan Sidorejo
Kecamatan Kedungtuban Kabupaten Blora. [Skripsi] Universitas Diponegoro.
Semarang
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Oxford University press,
hal.37-40.
Green LW. 1980. Perencanaan Pendidikan Kesehatan Pendekatan Diagnostik. Pengembangan FKM-UI. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Gunawan S. 2000. Epidemiologi Malaria dalam Harijanto P.N. Malaria:
Epidemiologi Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta,
EGK
Gumala Y. 2002. Perbedaan Tingkat Konsumsi Energi, Protein dan Status Gizi
Balita Menurut Peran Ibu di Kabupaten Gianyar. [Tesis] Universitas Gadjah
Mada. Yogjakarta.
84
Gomez A and Elisa D. 2009. Malaria Treatment in Severe Malnutrition in Angola.
this Field Article Outlines the Results of a Preliminary Study Carried Out by
ACH in Angola, which Showed Poor Response Rates to Standard TFC
Protocols for Managing Malaria.
Hamidah N. 2006. Hubungan Pola Asuh Gizi, Kejadian Infeksi, Tingkat Konsumsi
Energi dan Protein dengan Status Gizi Pada Bayi Usia 0-12 Bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas III Mranggen Kabupaten Demak. [Skripsi]
Universitas Diponegoro
Hamzah A. 2000. Pola Asuh Anak pada Etnik Jawa Migran dan Etnik Mandar.
[Disertasi] Universitas Airlangga. Surabaya.
Hanum M. 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi dan Imunisasi Dasar Pada
Balita. Yogyakarta : Nuha Medika.
Hardiansyah dan Tambunan V. 2004. WNPG VIII. Ketahanan Pangan dan Gizi di
Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Angka Kecukupan Energi, Protein,
Lemak dan Serat Makanan. Prosiding. Jakarta. p .325
Harijanto PN. 2000. Gejala Klinis Malaria. Jakarta
Hurlock EB. 1997. Perkembangan Anak. Edisi 6 Jilid 2. MM. Tjandrasa
Penerjemah. Jakarta. Erlangga.
__________. 1998. Children language acquasition. Journal of social psychology
& personality. Volume. 09. Num. 23. November. Washington DC: American
Psychological Association.
Husen R. 2008. Hubungan Pola Asuh Anak dengan Status Gizi Balita Umur 24-59 Bulan di Wilayah Terkena Tsunami Kabupaten Pidie Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. [Tesis] Universitas Sumatra Utara. Medan
Jeremiah ZA and Uko EK. 2007. Childhood Asymptomatic Malaria and Nutritional
Status Among Port Harcourt Children. East African Journal of Public Health.
Volume 4 Number 2, October.
Karunaweera, Carter R, Grau GE and Mendis KN. 1998. Demonstration of anti-
disease immunity to P.vivax malaria in Sri Lanka using a quatitative method
to assess clinical disease. American Journal of Tropical Medicine & Hygiene,
58(2): 204-210.
Kholis E, Budhi S, Artha D, Rifqatussa’adah. 2010. Hubungan Faktor Risiko Individu dan Lingkungan Rumah dengan Malaria di Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung Indonesia 2010. Program Studi Ilmu Lingkungan. [Tesis] Universitas Indonesia
Khomsan A. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
[Kemenkes] Kementrian Kesehatan RI. 2011. Epidemiologi Malaria di Indonesia.
Buletin Malaria. Bhakti Husada. ISSN 2088. Triwulan I. Jakarta.
Kirby et al. 2008. Risk Factors For House-Entry by Malaria Vectors in a Rural
Town and Satellite Villages in the Gambia. Malar J, 7. p. 2. ISSN 1475-2875
85
Kinung'hi et al. 2010. Knowledge, Attitudes and Practices about Malaria Among
Communities: Comparing Epidemic and Non-Epidemic Prone Communities
of Muleba District, North-Western Tanzania. BMC Public Health. 10:395
Krisnatuti dan Yenrina. 2000. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Puspa,
Jakarta
Loka Litbang P2B2.2009. Dinamika Penularan Malaria di Kabupaten Biak
Numfor.
Linkages. 2002. Pemberian ASI Eksklusif atau ASI Saja : Satu-Satunya Sumber
Cairan yang Dibutuhkan Bayi Usia Dini
Madanijah S. 2003. Model Pendidikan GI-PSI Sehat Bagi Ibu Serta Dampaknya
terhadap Pendidikan Ibu, Lingkungan Pembelajaran, Konsumsi Pangan dan
Status Gizi Anak Usia Dini. [Disertasi] Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Masdiarti E. 2000. Gambaran Status Gizi Anak Balita Ditinjau dari Pola
Pengasuh pada Ibu Pekerja dan Bukan Pekerja. [Skripsi] Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Masithah T, Soekirman dan Drajat M. 2005. Hubungan Pola Asuh Makan dan
Kesehatan dengan Status Gizi Anak Batita di Desa Mulya Harja. Media Gizi
dan keluarga. Volume 29 (2):29-39.
Muthayya S. 2009. Maternal Nutrition & Low Birth Weight: What is Really
Important?. Indian J of Med Resc; 130(5); 600-608.
Notoatmodjo. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
__________. 2007. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Nurhadimuda. 2003. Hubungan Infeksi Malaria dengan Status Gizi Balita di
Daerah Endemis Malaria Kabupaten Purworejo. [Tesis] Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta.
Nurhaedah A. 2008. Plasmodium yang Dominan dalam Nyamuk Anopheles
Betina (Anopheles Sp) pada Beberapa Tempat di Distrik Manokwari Barat.
[Skripsi] Universitas Negeri Papua.
Olaf et al. 2003. The Association Between Protein–Energy Malnutrition, Malaria
Morbidity and All-Cause Mortality in West African Children. Tropical Medicine
and International Health. Volume 8 no 6 pp 507–511 june.
Orimadegun AE, Amodu OK, Olumese PE and Omotade OO. 2008. Early Home
Treatment of Childhood Fevers with Ineffective Antimalarials is Deleterious in
The Outcome of Severe Malaria. Biomed Central Research. Malaria Journal,
7:143.
Osero JS, Otieno MF and Orago AS. 2006. Mothers' Knowledge on Malaria and
Vector Management Strategies in Nyamira District, Kenya. East Afr Med J.
Sep;83(9):507-14. Department Of Health Sciences, Kenyatta University.
Prabowo A. 2002. Malaria, Mencegah Dan Mengatasinya. Puspa Swara. Jakarta.
86
[Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Riyadi H, Retnaningsih, Martianto D, dan Kustiyah L. 1990. Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Usia Penyapihan di Kecamatan Bogor Timur dan kecamatan Ciomas. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Romadon. 2001. Hubungan Beberapa Faktor Lingkungan Dengan Kejadian Malaria Di Kecamatan Salaman Kabupaten Magelang. [Skripsi] Universitas Diponegoro. Medan.
Safari. 2010. Knowledge, Attitudes and Practices about Malaria Among
Communities: Comparing Epidemic and Non-Epidemic Prone Communities
of Muleba District, North-Western Tanzania. BMC Public Health, 10:395
Sayogyo, Goenardi S, Rusli, Harjadi, M. Khumaidi. 1994. Menuju Gizi Baik yang
Merata di Pedesaan dan di Kota. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Semba, Richard D. 2002. Vitamin A, Infection and Immune Function dalam
Nutrition and Immune Function. USA. CABI Publising.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat
Dirjen Dikti, Depdiknas, Jakarta.
Soetjiningsih. 1999. Tumbuh Kembang Anak. EGC. Penerbit Buku Kedokteran
__________. 2002, Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, Jakarta. CV. Agung
Seto.
Sri Dara A. 2008. Pengaruh Program Pendampingan Gizi terhadap Pola Asuh,
Kejadian Infeksi dan Status Gizi Balita Kurang Energi Protein. [Tesis]
Universitas Diponegoro. Semarang.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor. Pusat Antar Universitas (IPB).
___________. 1996. Gizi dan Pangan. Kanisius. Yogyakarta
___________. 2003. Berbagai Cara Pendidikan gizi. Bogor. Bumi Aksara.
Suleman S, Mekonnen Z, Tilahun G and Chatterjee S. 2009. Utilization of
Traditional Anti Malarial Ethnophytotherapeutic Remedies Among
Assendabo Inhabitants in (South-West) Ethiopia. Traditional Anti malarial
Treatment in Ethiopia Current Drug Therapy, Vol. 4, No. 2
Supariasa, Bakri dan Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Supartini Y. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta : EGC
Tarmidzi M. 2006. Hubungan antara Kejadian Malaria dengan Status Gizi Balita
di Kecamatan Kokap dan Samigaluh Kabupaten Kulon Progo Propinsi D.I.
Yogyakarta. [Tesis] Universitas Gajah Mada.
Taruna I. 2011. Penyakit Malaria dapat Dicegah dengan Vaksinasi. University of
California, School of Medicine, Irvine, CA, USA
Terati. 2010. Studi Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gizi Anak Balita di
Propinsi Sumatera Selatan. [Tesis] Institut Pertanian Bogor.
87
Roesli U. 2004. ASI Eksklusif. Edisi II. Jakarta : Trubus Agrundaya
UNICEF. 1998. The State of The World’s Children 1998. Oxford: Oxford
University Press
Uzochukwu BSC, Onwujekwe EO, Onoka CA and Ughasoro MD. 2008. Rural-
Urban Differences In Maternal Responses to Childhood Fever in South East
Nigeria. PLoS ONE Volume 3 Issue 3 e1788
Victoria et al. 2011. Malaria Parasitaemia among Infants and Its Association with
Breastfeeding Peer Counselling and Vitamin A Supplementation: A
Secondary Analysis of a Cluster Randomized Trial. PLoS ONE
www.plosone.org 1 July 2011, Volume 6, Issue 7
Vora N, et al. 2010. Breastfeeding and The Risk of Malaria In Children Born to
HIV-Infected and Uninfected Mothers In Rural Uganda. J Acquir. Immune
Defic Syndr, Advance Online Publication, July 28
Waryana. 2010. Gizi Reproduksi. Yogyakarta : Pustaka Rihama
WHO. 2010. World Malaria Report.
Wibowo A. 2006. Pola Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak pada masyarakat
pendatang. J. Of Pub Helth Ind:3(1):15-18.
Widaninggar, 2003. Pola Hidup Sehat dan Segar. Depdiknas Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani, Jakarta
Werner D, Thuman C & Maxwell J. 2010. Where There is no Doctor. Penerbit Andi. Yayasan Essentia Medica
WHO, 2001. Â Guiding Principles for Complementary Feeding of the Breastfed Child.
Widayani S. 2000. Pola Asuh dan Status Gizi Anak Balita pada Rumah Tangga Petani di Sepanjang Sungai Cihideung, Sub-Das Cisadane Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [Tesis] Institut Pertanian Bogor.
Wikipedia. 2009. Ciri Khas Perkembangan Balita. Http://id.wikipedia.org/wiki/ Balita diakses tanggal 4 juni 2010 jam 19.00 wib
Zeitlin M, Ghassemi H and Mansour M. 1990. Positive Deviance in Child
Nutrition. United Nation University : Tokyo.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil uji regresi logistik faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malaria
1. Y = Kejadian Malaria
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R
Square Nagelkerke R
Square
1 60.714a .285 .467
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95.0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Sanitasi Lingkungan -1.361 .788 2.979 1 .084 .256 .055 1.203
Status Gizi 2.894 1.005 8.292 1 .004 18.065 2.520 129.500
Pola asuh kesehatan -1.856 .612 9.189 1 .002 .156 .047 .519
Praktek kebersihan -2.964 .972 9.300 1 .002 .052 .008 .347
Constant 2.829 .714 15.683 1 .000 16.934
89
Lampiran 2 Hasil uji regresi logistik faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi balita
2. Y = Status Gizi
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R
Square Nagelkerke R
Square
1 76.258a .459 .614
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95.0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Pendidikan ibu 1.539 .835 3.401 1 .065 4.662 .908 23.939
Pendidikan ayah .472 .712 .439 1 .508 1.603 .397 6.470
Pekerjaan ibu 1.455 .946 2.368 1 .124 4.286 .672 27.355
Pendapatan keluarga -1.334 .790 2.852 1 .091 .263 .056 1.239
Pola asuh makan .057 .780 .005 1 .942 1.058 .229 4.883
Praktek makan -.711 .788 .815 1 .367 .491 .105 2.300
Konsumsi energi -1.331 0.672 3.925 1 .048 .264 .071 0.986
Konsumsi protein -.904 .690 1.718 1 .190 .405 .105 1.565
Pengetahuan ASI -1.569 .706 4.934 1 .026 .208 .052 .831
Pengetahuan malaria -2.163 .703 9.457 1 .002 .115 .029 .456
Status malaria -3.243 1.193 7.388 1 .007 .039 .004 .405
Constant 2.770 1.210 5.243 1 .022 15.961