PENELITIAN POLA HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN...
Transcript of PENELITIAN POLA HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN...
PENELITIAN
POLA HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH
KERJA SAMA ANTARA PUSAT STUDI KAJIAN NEGARA
FAkULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
DENGAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA, 2009
i
POLA HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH
ABSTRAK
UUD 1945 telah memberikan dasar-dasar pola hubungan antara Pusat dan Daerah, meliputi desentralisasi teritorial, dengan asas otonomi dan tugas pembantuan, dan memberikan otonomi seluas-luasnya. Namun dengan berbagai peraturan pelaksanaannya, telah mendorong penyeragaman sekaligus sentralisasi tersembunyi melalui undang-undang sektoral. Penelitian ini merupakan kajian bertujuan untuk mengetahui prinsip-prinsip pemikiran yang mendasari pola hubungan antara Pusat dan daerah, dengan pendekatan uraian mengenai dimensi hubungan kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan. Dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, penelitian merupakan penelitian asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal. Pembahasan penelitian ini menunjukkan bahwa terhadap dimensi-dimensi hubungan antara Pusat dan daerah terjadi inkonsistensi, baik dalam perspektif kerangka negara kesatuan, paradigma negara kesejahteraan, demokrastisasi, dan prinsip otonomi yang dimaksudkan dalam Perubahan UUD 1945. Dengan demikian perlu kecermatan lebih lanjut untuk menata kembali harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan sebaga pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945, untuk mengembalikan hakikat otonomi daerah.
ii
The Pattern of Central and Regional/Local Government Relationship
Abstract
The 1945 Constitution has provided the basic principles of the relationship between central and regional/local government, including territorial decentralization, with the principle of autonomy and co-administration, and provides wide-ranging autonomy. But with the various implementing regulations, has encouraged uniformity and centralization hidden through sectoral legislation. This research aims to determine the principles that underlie the pattern of relationship between central and regional/local government, with a description of the dimensional approach of authority, concerning: relations, institutional, financial, and supervision relationship. By using the method of normative juridical approach, the research categorized as research on principles of law, systematic of law, and the level of vertical and horizontal synchronization. This research show that the dimensions of the relationship between central and regional/local government, inconsistencies occurred, both in the perspective of the unitary state framework, the welfare state paradigm, democratization, the principle of autonomy which is intended in The Amended 1945 Constitution. Thus the need to further precision to restructure the harmonization of legislation as the implementation of Article 18 UUD 1945, to restore the nature of regional/local autonomy.
Kata Pengantar
Laporan penelitian yang disajikan ini merupakan hasil kerja sama antara
Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH
Unpad) dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD – RI). Dari
beberapa tema yang ditawarkan, sengaja kami memilih persoalan hubungan
keuangan antara pusat daerah karena dalam konteks negara terdesentralisasi
seperti Indonesia, persoalan tersebut selalu berkembang.
Bagi kalangan juris perkembangan tersebut tampak misalnya dalam hal
perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan daerah
yang sangat dinamis. Bahkan dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-
undangan di bidang ini merupakan peraturan perundang-undangan yang sangat
berkembang pesat, dari mulai Indonesia merdeka hingga saat ini. Perkembangan
peraturan perundang-undang tersebut akan menggambarkan konsep dinamis antara
desentralisasi dan sentralisasi yang seperti “bandul”. Misalnya, sebelum Perubahan
UUD 1945 (khususnya Pasal 18), beberapa undang-undang bercorak desentralistis,
seperti UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, dan beberapa lagi lebih
mencerminkan sifat sentralistis, seperti UU No. 5 Tahun 1974. Hal tersebut sangat
mungkin terjadi hingga saat ini di mana Pasal 18 UUD 1945 telah diubah menjadi 3
pasal pada masa Perubahan Kedua UUD 1945, misalnya antara UU No. 22 Tahun
1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004. UU No. 22 Tahun 1999 dibentuk sebelum
Pasal 18 UUD 1945 berubah namun secara prinsip tidak bertentangan dengan
perubahan Pasal 18 tersebut. Sementara itu, UU No. 32 Tahun 2004 dibentuk
setelah Perubahan Pasal 18 UUD 1945 dan mengubah ketentuan UU No. 22 Tahun
1999, begitu pula UU lainnya di bidang perimbangan keuangan pusat – daerah.
Perkembangan tersebut selalu menarik untuk diteliti, karena format desentralisasi
selalu akan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat.
Namun demikian, memilih tema hubungan pusat – daerah ini cukup beresiko,
khususnya dalam hal kedalaman studi, karena terdapat beberapa dimensi hubungan
pusat – daerah. Kami mengambil resiko tersebut dengan tujuan bahwa penelitian ini
menghasilkan gambaran persoalan hubungan pusat – daerah ini secara umum
(overview). Setidaknya dengan penelitian yang umum ini, diharapkan akan muncul
penelitian – penelitian lanjutan yang lebih spesifik lagi, seperti hubungan
kewenangan pusat – daerah atau dimensi – dimensi lainnya.
iii
Kami sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
pelaksanaan penelitian ini, khususnya kepada DPD – RI yang telah melakukan kerja
sama penelitian ini dengan kami. Kami sadar laporan penelitian ini banyak
kekurangan, sehingga kami sangat membuka diri untuk segala kritik dan saran untuk
perbaikan ke depan. Akhir kata, selama membaca.
Bandung, 2009
Tim Peneliti
iv
v
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Pembagian desentralisasi menurut Van der Pot 10
Bagan 2 Pembagian desentralisasi menurut Irawan Soejito 10
Bagan 3 Pembagian desentralisasi menurut Amrah Muslimin 11
Bagan 4 Pembagian desentralisasi menurut Hans Kelsen 12Bagan 5 Alur Penelitian 15
Bagan 6 Pembagian Urusan Pemerintahan 75
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Ruang lingkup pengawasan
Atas penyelenggaraan pemerintahan daerah
65
Tabel 2 Perbandingan Pengawasan Pusat Terhadap Daerah di Inggris, Perancis dan Belanda
69
Tabel 3
Model-Model Pengawasan dan Pengendalian Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004
118
Tabel 4
Perkembangan Pengaturan Pengawasan 124
Tabel 5 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral Resource)
150
Tabel 6 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade)
151
Tabel 7 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Kehutanan (Forestry)
152
Tabel 8 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Perhubungan
152
Tabel 9 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Kelautan dan Perikanan
153
Tabel 10 Peraturan Daerah Tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Pungutan Lainnya Yang Dibatalkan Oleh Menteri Dalam Negeri Pada Tahun 2007
154
Tabel 11 Hasil Evaluasi Peraturan Daerah di Departemen Dalam Negeri Sampai dengan November 2007
156
Tabel 13 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Wilayah Provinsi Jawa Barat Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral Resource)
157
vii
Tabel 14 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Indramayu Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral Resource))
158
Tabel 15 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Tasikmalaya Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral Resource))
158
Tabel 16 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan(Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade) Wilayah Provinsi Jawa Barat)
158
Tabel 17 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Karawang Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade) )
160
Tabel 18 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kota Cimahi Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan(Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade))
160
Tabel 19 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Kehutanan (Forestry))
161
Tabel 20 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Ciamis Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan(Sektor Kehutanan (Forestry))
161
Tabel 21 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Garut Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Kehutanan (Forestry))
162
Tabel 22 Jumlah Undang-Undang Pembentukan Daerah (Pemekaran Daerah) 2007 – 2008
163
Tabel 23 Skema Pola Hubungan Pengawasan Pusat-Daerah 173
viii
DAFTAR ISI
Abstrak i
Abstract ii
Kata Pengantar iii
Daftar Bagan v
Daftar Tabel vi
Daftar Isi viii
BAB I Pendahuluan
1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penelitian 3
D. Kerangka Pemikiran 4
E. Kegunaan Penelitian 12
F. Metode Penelitian 12
G. Alur Penelitian 14
H. Personalia Penelitian 16
I. Sistematika Penulisan 16
BAB II Prinsip-Prinsip Umum Pola Hubungan Pusat Dan Daerah
18
A. Negara Kesatuan 18
B. Negara Hukum 19
C. Demokrasi 23
1. Demokrasi sebagai instrumen Mekanisme pemerintahan 23
2. Demokrasi sebagai instrumen pengambilan keputusan 25
3. Demokrasi ekonomi 26
D. Kajian Teori Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 29
1. Desentralisasi 29
2. Sistem Rumah Tangga Daerah 36
ix
3. Kelembagaan 43
4. Ruang Lingkup dan Prinsip-Prinsip Desentralisasi Fiskal 47
5. Sumber-Sumber Penerimaan/ Pendapatan Daerah 52
6. Hakikat Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Daerah 58
BAB III Pengaturan Hubungan Antara Pusat dan Daerah
74
A. Hubungan Kewenangan: dari mulai UUD 1945, UU, dan
Pengaturan Sektoral.
74
B. Hubungan Kelembagaan 75
C. Hubungan Keuangan 99
D. Hubungan Pengawasan 112
BAB IV Tinjauan Dimensi-Dimensi Hubungan Antara Pusat dan Daerah A. Pilar-Pilar Penyelenggaraan Pemerintahan 125
B. Dimensi Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah 126
C. Dimensi Hubungan Kelembagaan Pusat dan Daerah 128
D. Dimensi Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 139
E. Dimensi Hubungan Pengawasan Pusat dan Daerah 149
BAB V Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan 182
B. Saran 183
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahannya telah memberikan
landasan konstitusional mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Indonesia. Di antara ketentuan tersebut yaitu: 1) prinsip pengakuan dan
penghormatan negara terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia;1 2) Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan;2 3) prinsip
menjalankan otonomi seluas-luasnya;3 4) prinsip mengakui dan menghormati
pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa;4 5) prinsip badan
perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilu;5 6) prinsip hubungan pusat
dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil;6 7) prinsip
hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah;7 8) prinsip hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang;8 dan 9)
prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa;9
Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari dasar konstitusional tersebut,
satuan pemerintahan di bawah pemerintah pusat yaitu daerah provinsi dan
1 Pasal 18 B ayat (2) 2 Pasal 18 ayat (2) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945. 3 Pasal 18 ayat (5) 4 Pasal 18 B ayat (1) 5 Pasal 18 ayat (3) 6 Pasal 18 A ayat (2) 7 Pasal 18 A ayat (1) 8 Pasal 18 A ayat (2) 9 Pasal 18 B ayat (1)
2
kabupaten/kota memiliki urusan yang bersifat wajib dan pilihan.10 Provinsi
memiliki urusan wajib dan urusan pilihan.11 Selain itu ditetapkan pula
kewenangan pemerintah Pusat menjadi urusan Pemerintahan yang
meliputi:12 a) politik luar negeri; b) pertahanan; c) keamanan; d) yustisi; e)
moneter dan fiskal nasional; dan f) agama. Walaupun dengan ketentuan
pemberlakuan otonomi seluas-luasnya dalam UUD 194513, namun muncul
pula pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 yang
membagi urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah
provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Hubungan-hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
memiliki empat dimensi penting untuk dicermati, yaitu meliputi hubungan
kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan. Pertama,
pembagian kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan
pemerintahan tersebut akan sangat mempengaruhi sejauhmana Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki wewenang untuk menyelenggarakan
urusan-urusan Pemerintahan, karena wilayah kekuasaan Pemerintah Pusat
meliputi Pemerintah Daerah, maka dalam hal ini yang menjadi obyek yang
diurusi adalah sama, namun kewenangannya yang berbeda. Kedua,
pembagian kewenangan ini membawa implikasi kepada hubungan
keuangan, yang diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ketiga,
implikasi terhadap hubungan kelembagaan antara Pusat dan Daerah
mengharuskan kehati-hatian mengenai besaran kelembagaan yang
diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas yang menjadi urusan masing-
masing. Keempat, hubungan pengawasan merupakan konsekuensi yang
muncul dari pemberian kewenangan, agar terjaga keutuhan negara
Kesatuan. Kesemuanya itu, selain diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004
tersebut, juga tersebar pengaturannya dalam berbagai UU sektoral yang
10 Pasal 13 ayat (1) dan (2) dan Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU Nomor 32 Tahun 2004. 11 Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU Nomor 32 Tahun 2004. 12 Pasal 10 ayat 3 UU Nomor 32 Tahun 2004. 13 Pasal 18 ayat (5) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
3
pada kenyataannya masing-masing tidak sama dalam pembagian
kewenangannya.14 Pengaturan yang demikian menunjukkan bahwa tarik
menarik hubungan tersebut kemudian memunculkan apa yang oleh Bagir
Manan disebut dengan spanning15 antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.
Dewan Perwakilan Daerah juga mengidentifikasi adanya kewenangan
yang tumpah tindih antar instansi pemerintahan dan aturan yang berlaku,
baik aturan di tingkat pusat dan/atau peraturan di tingkat daerah.16 Hal
tersebut terutama berhubungan dengan a) otoritas terkait tanggungjawab
pemerintah pusat dan daerah; b) kewenangan yang didelegasikan dan
fungsi-fungsi yang disediakan oleh Departemen kepada daerah; dan c)
kewenangan yang dalam menyusun standar operasional prosedur bagi
daerah dalam menterjemahkan setiap peraturan perundang-undangan yang
ada. 17 Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan suatu kajian
sebagai penelitian payung yang melandasi hubungan antara Pemerintah
Pusat dengan daerah.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini dibagi berdasarkan empat
dimensi hubungan pemerintahan pusat dan daerah, sebagai berikut:
1. Apa dasar-dasar pemikiran yang melandasi terbangunnya pola hubungan
antara pusat dan daerah?
2. Bagaimana pola hubungan pusat dan daerah dari dimensi-dimensi
kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan?
C. Tujuan Penelitian
14 Kerangka Acuan Penelitian Studi Hubungan Pusat Dan Daerah Kerjasama DPD Ri Dengan Perguruan Tinggi Di Daerah, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta 2009, hlm. 6. 15 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 22-23 16 Ibid., hlm. 8. 17 Ibid.
4
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengetahui dasar-dasar pemikiran yang melandasi terbangunnya pola
hubungan antara pusat dan daerah?
2. Mengetahui bagaimana pola hubungan pusat dan daerah dari dimensi-
dimensi kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan?
D. Kerangka Pemikiran
Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum atas dasar
kedaulatan rakyat.
Teori negara kesatuan digunakan untuk membedakan pembagian
kekuasaan secara vetikal dengan negara berbentuk federasi. Dalam hal ini
dikemukakan pemikiran dari CF Strong mengenai negara kesatuan.18
Dikatakan bahwa negara kesatuan adalah negara yang diorganisasi di
bawah satu pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki
berbagai distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan
oleh pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah
itu. Kekuasaan pusat adalah kekuasaan tertinggi di atas seluruh negara
tanpa ada batasan yang ditetapkan hukum yang memberikan kekuasaan
khusus pada bagian-bagiannya. “Unitarisme” dalam pengertian politik
didefinisikan oleh Dicey sebagai “pelaksanaan kebiasaan otoritas legislatif
tertinggi oleh satu kekuasaan pusat”. Sementara itu menurut Apeldoorn,
yang dikutip oleh Tim Penyusun buku “Otonomi atau Federalisme”, suatu
negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh
pemerintah pusat, sementara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari
pemerintah pusat, dan provinsi-provinsi tersebut tidak mempunyai hak
mandiri.19 Dalam negara-negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary
state), ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua
18 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi di Dunia, Nusamedia, Bandung, Cetakan Kedua, 2008, hlm. 87. 19 Tim Penyusun, Otonomi atau Federalisme, Dampaknya Terhadap Perekonomian, Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta, 2000, hlm. 14.
5
kewenangan/urusan pemerintah yakni yang tersentralisasi dan
kewenangan/urusan pemerintah yang didesentralisasikan. 20
Ni’matul Huda mengatakan bahwa desentralisasi adalah strategi
mendemokratisasi sistem politik dan menyelaraskan pencapaian
pembangunan berkelanjutan yang merupakan isu yang selalu ada dalam
praktik administrasi publik.21Demokrasi yang lazim pula disebut dengan
kedaulatan rakyat memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat,
sehingga dalam pelaksanaan tugasnya pemerintah harus berpegang pada
kehendak rakyat.22 Sejalan dengan perputaran waktu, konsep demokrasi
juga mencari bentuk yang sesuai dengan situasi dan kondisi dari masyarakat
modern.23 C.F. Strong mengartikan demokrasi secara beragam24 termasuk
untuk menyebut suatu bentuk pemerintahan atau kondisi suatu masyarakat.
Namun di dunia kontemporer, ketika nasionalisme menjadi dasar bagi
demokrasi politik maka pemerintahan politik yang demokratis menjadi
instrumen kemajuan sosial. Di sinilah letak keterkaitannya dengan demokrasi
politik yang mengisyaratkan pemerintah harus bergantung pada persetujuan
pihak yang diperintah; artinya, ekspresi persetujuan maupun ketidaksetujuan
rakyat sudah harus memiliki sarana penyaluran yang nyata dalam pemilihan
umum, program politik partai, media massa, dan lain-lain. Faktor luas wilayah
dari suatu negara dan besaran jumlah penduduk serta pertambahan
kerumitan masalah kenegaraan merupakan argumen bahwa demokrasi
langsung (direct democracy) tidak mungkin untuk dilaksanakan.25
Berdasarkan kenyataan demikian, muncullah yang dikenal sebagai
demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang pelaksanaan
kedaulatan rakyatnya tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung
20 Nicole Niessen, Municipal Government In Indonesia Policy, law and Practice of Decentralization and Urban Planning, Research School CNWS School of Asian, African, and Amerindian Studies, Universitiet Leiden, The Netheralands, 1999, hlm. 21. 21 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia, Bandung, 2009, hlm. 66. 22 Eddy Purnama, Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 10. 23 Ibid. 24 C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi …, op.cit, hlm. 17. 25 Ibid.
6
melainkan melalui lembaga perwakilan rakyat.26 Dalam rangka mewujudkan
prinsip kedaulatan rakyat, akomodasi seluruh aspirasi rakyat jauh lebih
berguna dari unsur di dalam masyarakat harus terwakili di dalam sistem
perwakilan.27 Rousseau memberi catatan bahwa jika kita menempatkan
istilah ini dalam pemahaman yang kaku, tidak pernah ada demokrasi yang
nyata dan tidak akan pernah ada demokrasi.28 Dalam pemikiran mengenai
bagaimana demokrasi bagi Indonesia, Muhammad Hatta mengingatkan
bahwa masyarakat asli Indonesia mempunyai sifat dasar dalam segala hal
mengenai kepentingan hidup bersama.29 Sifat pertama, yaitu mengambil
keputusan secara mufakat dengan musyawarah, adalah dasar dari
demokrasi politik. Sifat kedua yaitu tolong menolong dan gotong royong
adalah sendi yang bagus untuk menegakkan demokrasi ekonomi.30
Selanjutnya pilar yang lain yang secara konsitusional diakui oleh
Indonesia adalah negara hukum. Neumann yang dikutip oleh Satjipto
Rahardjo mengatakan bahwa perkembangan negara hukum di Inggris
berbeda daripada Eropa daratan, yang tidak netral terhadap politik.31 Di
Inggris, sejak semula doktrin Rule of Law tidak dipisahkan dari doktrin
supremasi parlemen.32 Parlemen berhak untuk melakukan apa saja,
termasuk pada waktu melakukan realisasi rule of law. Menurut Dicey, “… that
the souvereignity of Parliament furthers the rule of the land… prevent those
inroads upon the law of the land which a despotic monarch … might effects
by ordinance or decrees… “33 Selanjutnya dikatakan, “The monopoly of
legislation by Parliament, with the balance between the House of Commons,
the House of Lords, and the king, also strengthens the power of the judges
26 Eddy Purnama, Kedaulatan Rakyat, ..., op.cit. hlm. 11. 27 Ibid., hlm. 284. 28 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), terjemahan Tim Visimedia, Visimedia, Jakarta, 2007, hlm. 113. 29 Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, Segaarsy, Bandung, cetakan kedua, 2009, hlm. 69. 30 Ibid. hlm. 70. 31 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Genta Publishing, cetakan II, Yogyakarta, Mei 2009, hlm. 8 32 Ibid., hlm. 8-9. 33 Ibid., hlm. 9.
7
… and finally, explains the absence od adiministrative law.” Jadi dalam
mengartikan “the rule of law” di Inggris, maka parlemen atau rakyatlah
merupakan instansi tertinggi.
Menurut Julius Stahl yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie34, konsep
Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup
empat elemen penting, yaitu: 1) perlindungan hak asasi manusia; 2)
pembagian kekuasaan; 3) pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan
4) Peradilan tata usaha Negara. Sementara itu A.V. Dicey menguraikan
adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya
dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: 1) Supremacy of Law; 2) Equality
before the law, dan 3) Due Process of Law. Keempat prinsip ‘rechtsstaat’
yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat
digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh
A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman
sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-
prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan
tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman
sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara
demokrasi.35
Negara hukum yang muncul di abad ke-sembilan belas adalah tipe
negara hukum sebagai “penjaga malam” (nachtwakersstaat). Disebut
sebagai penjaga malam, karena dalam tipe tersebut, tindakannya dibatasi
hanya sampaiu kepada penjaga ketertiban dan keamanan.36 Pada
perkembangannya negara tidak dapat lagi bersikap netral dan membiarkan
34 Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”, lihat Jimly Asshidiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, makalah disampaikan dalam acara Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana HukumFakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004,hlm. 1-2, diunduh dari http://www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.Doc., pada 8/24/2009 9:38:03 AM. 35 Ibid. 36 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum …, op.cit., hlm. 26.
8
individu-individu atau masyarakat menyelesaikan sendiri-sendiri problem-
problem tersebut. Satjipto kemudian mengutip dari de Haan et al bahwa
menyerahkan penyelesaian kepada mekanisme pasar sosial akan
menempatkan golongan lapisan bawah (the have not) dalam masyarakat
sebagai pihak yang sangat menderita (“De staat mocht niet langer, door als
neutral toeschouwer op te stellen, de door het industriele kapitalisme
veranderde samenleving ongemoeid laten, maar behoorde zich
daadwerkelijk de belangen van de achtergestelde groepen in die
samenleving aan te trekken. Naast de traditionele overheidstaken vroegen
nieuwe terreinen om ordening en verzorging van staatswege”). Ini
menimbulkan konsep “negara kesejahteraan” (welfare state).
Perubahan tersebut, yaitu campur tangan negara ke dalam masyarakat,
sangat mengubah pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh hukum
administrasi tradisional. Dalam hukum administrasi tradisional, negara hanya
bertindak sesekali dan sebagai pelengkap (incidenteel en aanvullend). Tetapi
sekarang negara harus memasuki aktivitas yang lebih luas, seperti
pembuatan undang-undang dan pembuatan undang-undang semu (pseudo),
perencanaan, perjanjian, dan kepemilikan (eigendom) negara, keterbukaan
dan penggugatan. Menurut William A. Robson, kelahiran konsep negara
kesejahteraan didahului oleh rentetan ide-ide panjang, di antaranya adalah
”liberty, equality, dan fraternity” (revolusi Perancis) dan “The greates
happiness for the greatest number” (Bentham).37
Penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik adalah yang dapat
menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat sampai ke pelosok wilayah
negara, mempertimbangkan pertama, tujuan penyelenggaraan negara, yaitu
kesejahteraan rakyat di satu sisi, dan kedua, jarak yang jauh antara pusat
pemerintahan dengan bagian-bagian daerah yang harus diperintah di sisi
lain. Oleh karena itu menurut Ateng Syafrudin perlu diadakan pembagian
37 Ibid., hlm. 27.
9
kerja secara teritorial di samping pembagian kerja secara fungsional.38
Pembagian-pembagian kerja urusan penyelenggaraan pemerintahan
tersebut yang kemudian mengarah kepada proses desentralisasi.
Bagir Manan menjelaskan desentralisasi dengan menggunakan
pendapat Van Der Pot.39 Menurut pakar Hukum Tata Negara Belanda ini,
desentralisasi dibagi menjadi dua macam, yaitu desentralisasi teritorial dan
desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial menjelma dalam bentuk
badan yang didasarkan pada wilayah (gebeidscorporatis), sedangkan
desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang
didasarkan pada pada tujuan-tujuan tertentu (doelcorporaties). Desentralisasi
teretorial berbentuk otonomi dan tugas pembantuan.
Bagan 1: Pembagian desentralisasi menurut Van der Pot
Pendapat dari Van der Pot ini diikuti antara lain oleh FAM Stroink,
Steenbeek, JM de Meij, dan Belifante. Dengan penggolongan yang sedikit
berbeda, Irawan Soejito membedakan desentralisasi menjadi desentralisasi
teretorial, desentralisasi fungsional, desentralisasi administratif
(dekonsentrasi). Desentralisasi administratif atau dekonsentrasi (ambtelijk
decentralisatie) terjadi apabila “Pemerintah melimpahkan sebagian
kewenangannya kepada alat perlengkapan atau organ Pemerintah sendiri di
daerah, yakni pejabat-pejabat Pemerintah yang ada di daerah, untuk
dilaksanakan.40
38 Ateng Syafrudin, Kapita Selekta Hakikat Otonomi dan Desentralisasi dalam Pembangunan Daerah. Citra Media Hukum. Yogyakarta. 2006, hlm. 72. 39 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit. hlm. 20-21 40 Ibid, hlm 21
10
Bagan 2. Pembagian desentralisasi menurut Irawan Soejito
Irawan Soejito mengatakan bahwa dekonsentrasi merupakan bagian
dari desentralisasi, dan merupakan pelunakan sentralisasi menuju
desentralisasi.
Pakar hukum lainnya, Amrah Muslimin, membedakan desentralisasi
menjadi desentralisasi politik41, desentralisasi fungsional desentralisasi
kebudayaan.42 Pembahasan tentang pemerintahan di daerah tidak akan
lepas dari asas kedaerahan dalam pemerintahan. Menurutnya asas
kedaerahan mengandung dua macam prinsip pemerintahan, yaitu :43
1. Dekonsentrasi, merupakan pelimpahan sebahagian kewenangan
pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang ada di daerah,
2. Desentralisasi, merupakan pelimpahan wewenang kepada badan-badan
dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk
mengurus rumah tangganya sendiri.
41 Desentralisasi politik adalah “pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat yang menimbulkan hak mengurus rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik yang ada di daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu, lihat Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm 5 42 Ibid. 43 Ibid.
11
Bagan 3. Pembagian desentralisasi menurut Amrah Muslimin
Sebagai tambahan mengenai pembagian desentralisasi, dari
Logemann, Colloge aantekemingen, 194744, Ateng Syafrudin
mengemukakan bahwa desentralisasi dalam arti luas terdiri dari:
a. Staatkundige atau Politieke decentralisatie. Isinya adalah kewenangan
membuat peraturan (regelende bevoegheid) dan kewenangan membuat
keputusan atau mengurus (bestuurende bevoegheid).
b. Ambtelijke decentralisatie atau deconsentratie. Lingkup staatkundige
decentralisatie dibagi dua, yaitu:
1) territoriale decentralisatie;
2) fungctionele decentralisatie.
Bentuk dari territoriale decentralisatie adalah autonomie dan medebewind
yang kadang-kadang disebut juga sebagai medebestur, selfgovernment,
zelfbestuur. Pengertian otonomi di sini sama dengan isi dari staatkundige
atau politiche decentralisatie.
tkan bahwa desentralisasi terbagi dalam arti luas dan arti sempit.
Penelitian ini menggunakan pengertian desentralisasi dalam arti sempit.
Pemilihan tersebut diambil sebagaimana yang digunakan oleh Bagir Manan
dalam menggali gagasan-gagasan dasar pola hubungan antara Pusat dan
Daerah dalam Undang-Undang Dasar 1945.45
44 Ateng Syafrudin, Handsout dan Course Material Hukum Pemerintahan Daerah, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Program Studi Hukum Tata negara, hlm. 1. 45 Bagir Manan, Hubungan…., op.cit., hlm. …
12
Dalam kaitan ini Bagir Manan menguraikan mengenai kaitan
desentralisasi, kerakyatan, dan Negara hukum, hubungan Pusat dan Daerah
akan dipengaruhi oleh:46
1) Sampai sejauh manakah desentralisasi diterima sebagai cara terbaik
untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang berkedaulatan rakyat
dengan partisipasi luas dari anggota masyarakat?
2) Sampai sejauh mana desentralisasi dipandang sebagai cara untuk
menjamin dan mewujudkan Negara hukum?
3) Sampai sejauh mana desentralisasi dipandang sebagai cara untuk
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat?
Lebih dari hal tersebut, yang tidak kalah penting untuk dicermati
adalah bahwa pola hubungan antara Pusat dan Daerah tidak dapat terlepas
dalam bingkai Negara Kesatuan. Dengan demikian perlu dicari titik temu
antara keutuhan Negara Kesatuan di satu sisi, dan demokratisasi di sisi lain
sebagai upaya mencapai tujuan bernegara yaitu kesejahteraan rakyat.
E. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para
Anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai tambahan pengetahuan
mengenai hubungan pusat dan daerah.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan langkah-langkah penelitian untuk
memperoleh data atau bahan dan analisis sebagai berikut:
1. Jenis/ Spesifikasi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis. Penelitian ini
menjelaskan dan menganalisa pengaturan beserta asas-asas yang
berkenaan dengan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah yang
berlaku di Indonesia.
2. Metode Pendekatan 46 Bagir Manan, Hubungan Pusat….., op.cit., hlm. 39.
13
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif.
Pendekatan yuridis normatif47 adalah pendekatan dengan melakukan
penelitian secara mendalam terhadap hukum yang berlaku. Di antara
cakupan dari penelitian hukum normatif tersebut, penelitian ini akan
dilakukan terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf
sinkronisasi vertikal dan horisontal.48
3. Teknik Pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
a. Studi Pustaka Penelitian ini dilakukan dengan penelusuran terhadap bahan-bahan
hukum,49 meliputi:
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.50 Bahan
hukum ini meliputi antara lain Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksana, perubahan-
perubahan, dan peraturan yang secara tidak langsung terkait, seperti
peraturan terdahulu;
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer,51 seperti rancangan undang-undang,
hasil-hasil penelitian, atau pendapat para pakar hukum;
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus, dan ensiklopedia.52
b. Penelitian Lapangan 47 Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Menggunakan Teori dan Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum, Monograf, penerbit, kota, dan tahun penerbitan tidak tercantum, hlm. 6. 48 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 14 49 Pedoman Penyelenggaraan Program Pendidikan Sarjana (S1), Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Tahun 2007, hlm. 72. 50 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm. 52. 51 Ibid. 52 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2006, hlm. 31-32.
14
Penelitian lapangan dilakukan untuk mendukung penelitian
kepustakaan dengan cara menyelenggarakan diskusi terfokus (focused
group discussion-FGD).
4. Pengolahan dan Analisis Data Bahan penelitian yang telah diperoleh, selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan analisis kualitatif, yakni dengan menggunakan penafsiran
hukum53 dan selanjutnya dituangkan secara deskriptif yaitu bersifat
menggambarkan masalah.
G. Alur Penelitian
53 Penelitian hukum normatif tidak dapat terlepas dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum, dalam Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993, hlm. 37. Lihat juga Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 152.
15
• Pembentukan
Hubungan Kewenangan
04
n
Pembagian Urusan Pemerintahan
Negara Kesatuan
Demokrasi
to mi
Negara Hukum
Hubungan Pusat
Daerah
ODe
Daerah Hubungan
em
sen
asi
no
Tugasbant n
UU No.32/20dan
pelaksanaanya
Alur Penelitian
Bagan 5.
UU
• Organisasi Perangkat Daerah
Dana Perimbangan Dana Tugas Pembantuan
UU No. 33/2004
Hubungan Keuangan
Kelembagaan
• Pengawasan Pembentukan Perda
• Pengawasan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
Hubungan Pengawasan
UU Sektoral
D 1945
ua Ptral is
16
H. Personalia Penelitian
Ketua : DR. Indra Perwira, S.H., M.H.
Wakil : Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M.
Sekretaris : Inna Junaenah, S.H.
Anggota Prof. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H.,
DR. H. Kuntana Magnar, S.H., M.H.,
DR. Agus Kusnadi,S.H., M.H.,
Miranda Risang Ayu, S.H., LL.M., Ph.D.,
H. Rosjidi Ranggawidjaja, S.H., M.H.
Ali Abdurahman, S.H., M.H.
Tenaga Pendukung : Hernadi Affandi, S.H., LL.M.
Rahayu Prasetianingsih, S.H.
Bilal Dewansyah, S.H.
I. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, kegunaan
penelitian, dan metode penelitian.
Bab II Prinsip-Prinsip Umum Pola Hubungan Pusat Dan Daerah
Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai teori-teori umum yang
mendasari penyelenggaraan pemerintahan daerah yang meliputi prinsip-
prinsip negara Kesatuan, Negara Hukum, demokrasi, dan teori
desentralisasi.
Bab III Deskripsi Hubungan Antara Pusat dan Daerah Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai pengaturan mengenai hubungan
antara Pusat dan Daerah dalam empat dimensi, yaitu hubungan
17
kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan, disertai
permasalahan hubungan antara Pusat dan Daerah pada empat dimensi
tersebut.
Bab IV Tinjauan Dimensi-Dimensi Hubungan Antara Pusat dan Daerah Bab ini berisi analisa terhadap pengaturan dan problematika empat dimensi
pola hubungan antara Pusat dan Daerah dalam perpektif prinsip-prinsip
pemikiran yang mendasarinya.
Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi Dalam Bab ini akan digarisbawahi berbagai telaah terhadap hubungan Pusat
dan daerah melalui kesimpulan, yang akan disertai dengan rekomendasi
sebagai gagasan-gagasan reformasi pola hubungan antara Pusat dan
Daerah di masa yang akan datang.
18
BAB II PRINSIP-PRINSIP UMUM POLA HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Pilar-pilar yang perlu diketengahkan dalam membangun pola
hubungan pusat dan daerah sedikitnya dibentuk dari prinsip negara
kesatuan, kedaulatan rakyat, dan negara hukum. Dengan demikian perlu
dipahami terlebih dahulu mengenai prinsip-prinsip yang terkandung dalam
masing-masing dasar pemikiran tersebut untuk menghantarkan kemunculan
hubungan antara pemerintah pusat dengan satuan pemerintahan yang lebih
rendah.
A. Negara Kesatuan Uraian mengenai konsep negara kesatuan perlu diketengahkan untuk
membedakan pembagian kekuasaan secara vetikal dengan negara
berbentuk federasi. Dalam hal ini dapat dikemukakan pemikiran dari CF
Strong mengenai deskripsi suatu negara kesatuan.54 Dikatakan bahwa
negara kesatuan adalah negara yang diorganisasi di bawah satu
pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki berbagai
distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan oleh
pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah itu.
Kekuasaan pusat adalah kekuasaan tertinggi di atas seluruh negara tanpa
ada batasan yang ditetapkan hukum yang memberikan kekuasaan khusus
pada bagian-bagiannya. “Unitarisme” dalam pengertian politik didefinisikan
dengan baik oleh Dicey sebagai “pelaksanaan kebiasaan otoritas legislatif
tertinggi oleh satu kekuasaan pusat”. Sementara itu menurut Apeldoorn,
yang dikutip oleh Tim Penyusun buku “Otonomi atau Federalisme”, suatu
negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh
pemerintah pusat, sementara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari
pemerintah pusat, dan provinsi-provinsi tersebut tidak mempunyai hak
54 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi di Dunia, Nusamedia, Bandung, Cetakan Kedua, 2008, hlm. 87.
19
mandiri.55 Dalam negara-negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary
state), ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua
kewenangan/urusan pemerintah yakni yang tersentralisasi dan
kewenangan/urusan pemerintah yang didesentralisasikan.56 Dalam negara-
negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary state), ditinjau dari sudut
pembagian kewenangan, terdapat dua kewenangan/urusan pemerintah yakni
yang dipusatkan dan atau dipencarkan.57
Sementara itu setelah negara-negara di dunia mengalami
perkembangan yang sedemikian pesat, wilayah negara menjadi semakin
luas, urusan pemerintahannya menjadi semakin kompleks. Serta warga
negaranya semakin banyak dan heterogen, maka penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat
kepada pejabat-pejabatnya di daerah, untuk melaksanakan urusan-urusan
pemerintahan pusat yang ada di daerah.
B. Negara Hukum Selanjutnya pilar yang lain yang secara konsitusional diakui oleh
Indonesia adalah negara hukum. Neumann (1986) yang dikutip oleh Satjipto
Rahardjo mengatakan bahwa perkembangan negara hukum di Inggris
berbeda daripada Eropa daratan, yang tidak netral terhadap politik.58 Di
Inggris, sejak semula doktrin Rule of Law tidak dipisahkan dari doktrin
supremasi parlemen.59 Parlemen berhak untuk melakukan apa saja,
termasuk pada waktu melakukan realisasi rule of law. Menurut Dicey, “… that
the souvereignity of Parliament furthers the rule of the land… prevent those
inroads upon the law of the land which a despotic monarch … might effects
55 Tim Penyusun, Otonomi atau Federalisme, dampaknya terhadap Perekonomian, Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta, 2000, hlm. 14. 56 Nicole Niessen, Municipal Government In Indonesia Policy, law and Practice of Decentralization and Urban Planning, Research School CNWS School of Asian, African, and Amerindian Studies, Universitiet Leiden, The Netheralands, 1999, hlm. 21. 57 Ibid., lihat pula The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Edisi Kedua. Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 109. 58 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Genta Publishing, cetakan II, Yogyakarta, Mei 2009, hlm. 8. 59 Ibid., hlm. 8-9.
20
by ordinance or decrees… “60 Selanjutnya dikatakan, “The monopoly of
legislation by Parliament, with the balance between the House of Commons,
the House of Lords, and the king, also strengthens the power of the judges
… and finally, explains the absence od adiministrative law.” Jadi dalam
mengartikan “the rule of law” di Inggris, maka parlemen atau rakyatlah
merupakan instansi tertinggi.
Menurut Julius Stahl yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie61, konsep
Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup
empat elemen penting, yaitu: 1) perlindungan hak asasi manusia; 2)
pembagian kekuasaan; 3) pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan
4) Peradilan tata usaha Negara. Sementara itu A.V. Dicey menguraikan
adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya
dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: 1) Supremacy of Law; 2) Equality
before the law, dan 3) Due Process of Law. Keempat prinsip ‘rechtsstaat’
yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat
digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh
A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman
sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-
prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan
tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman
sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara
demokrasi.62
Negara hukum yang muncul di abad ke-sembilan belas adalah tipe
negara hukum sebagai “penjaga malam” (nachtwakersstaat). Disebut
sebagai penjaga malam, karena dalam tipe tersebut, tindakannya dibatasi
hanya sampai kepada penjaga ketertiban dan keamanan.63 Pada
60 Ibid., hlm. 9. 61 Jimly Asshidiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, makalah disampaikan dalam acara Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004, hlm. 1-2, diunduh dari http://www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.Doc. pada 8/24/2009 9:38:03 AM. 62 Ibid. 63 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum …, op.cit., hlm. 26.
21
perkembangannya negara tidak dapat lagi bersikap netral dan membiarkan
individu-individu atau masyarakat menyelesaikan sendiri-sendiri problem-
problem tersebut. Satjipto kemudian mengutip dari de Haan et al (1978)
bahwa menyerahkan penyelesaian kepada mekanisme pasar sosial akan
menempatkan golongan lapisan bawah (the have not) dalam masyarakat
sebagai pihak yang sangat menderita (“De staat mocht niet langer, door als
neutral toeschouwer op te stellen, de door het industriele kapitalisme
veranderde samenleving ongemoeid laten, maar behoorde zich
daadwerkelijk de belangen van de achtergestelde groepen in die
samenleving aan te trekken. Naast de traditionele overheidstaken vroegen
nieuwe terreinen om ordening en verzorging van staatswege”). Ini
menimbulkan konsep “negara kesejahteraan” (welfare state).
Perubahan tersebut, yaitu campur tangan negara ke dalam masyarakat,
sangat mengubah pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh hukum
administrasi tradisional. Dalam hukum administrasi tradisional. Dalam hukum
administrasi tradisional, negara hanya bertindak sesekali dan sebagai
pelengkap (incidenteel en aanvullend). Tetapi sekarang negara harus
memasuki aktivitas yang lebih luas, seperti pembuatan undang-undang dan
pembuatan undang-undang semu (pseudo), perencanaan, perjanjian, dan
kepemilikan (eigendom) negara, keterbukaan dan penggugatan (de Haan,
1978). Menurut William A. Robson, kelahiran konsep negara kesejahteraan
didahului oleh rentetan ide-ide panjang, di antaranya adalah ”liberty, equality,
dan fraternity” (revolusi Perancis) dan “The greates happiness for the
greatest number” (Bentham).64
Kembali kepada pembicaraan mengenai rule of law, Wade yang dikutip
oleh Munir Fuadi65 berpendapat bahwa implikasi dari penerapan konsep
tersebut dalam suatu negara akan mengarahkan para penyelenggara negara
ke dalam prinsip-prinsip dan otoritas sebagaai berikut:
64 Ibid., hlm. 27. 65 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtsstaat), Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 9
22
1. Pelaksanaan konsep rule of law lebih menghendaki adanya suasana
penghormatan kepada “hukum dan ketertiban” (law and order);
2. Penyelenggaraan kewenangan oleh penyelenggaran negara haruslah
selalu sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika ada dispute, badan
yudikatiflah yang yang harus memutuskannya. Mengenai peran badan
peradilan ini, dalam rangka untuk menjaga tertib hukum dengan melihat
konsistensinya terhadap konsitusi, muncul pranata hukum yang disebut
judicial review. Munir Fuady menjelaskan lebih jauh pranata ini sebagai
lembaga khusus untuk melakukan penunjauan ulang, dengan jalan
menerapkan atau menafsirkan ketentuan dan semangat dari konstitusi,
sehingga hasilnya dapat menguatkan atau menyatakan batal, menambah
atau mengurangi terhadap suatu tindakan berbuat atau tidak berbuat dari
aparat pemerintah (eksekutif) atau dari pihak-pihak lainnya (termasuk
parlemen).66
3. Badan-badan politik (terutama parlemen) menentukan rincian mekanisme
rule of law, baik yang bersifat substantif, maupun secara prosedural.
Lebih lanjut mengenai pelaksanaan rule of law dalam
penyelenggaraan pemerintahan, dapat ditambahkan bahwa konsep ini tidak
dapat dipisahkan dengan konsep good governance. Fuady menunjukkan hal
tersebut melalui beberapa faktor utama yang berpengaruh satu sama lain
dalam menerapkan prinsip good governance ke dalam suatu
pemerintahan.67 Pertama, aturan hukum yang baik, yakni seperangkat aturan
terkait warga masyarakat, pemerintah, parlemen, pengadilan, pers,
lingkungan hidup, serta para stakeholders lainnya. Kedua, law enforcement
yang baik, yakni seperangkat mekanisme yang secara langsung mendukung
upaya penegakan aturann hukum. Ketiga, sistem pemerintahan yang efektif,
efisien, jujur, transparan, accountable, dan berwawasan hak asasi manusia.
Keempat, sistem pemerintahan yang dapat menciptakan masyarakat yang
cerdas dan egaliter. Kelima, sistem pemerintahan yang kondusif terhadap
66 Ibid., hlm. 81. 67 Ibid., hlm. 79.
23
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Dengan gambaran tersebut Fuady
hendak menegaskan bahwa pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang
baik harus mengindahkan prinsip-prinsip negara hukum. Demikian juga
sebaliknya bahwa pelaksanaan prinsip negara hukum yang baik harus selalu
memperhatikan dan melaksanakan prinsip good governance.68
C. Demokrasi Istilah demokrasi menurut C.F. Strong diartikan secara beragam.69
Terkadang digunakan untuk menyebut suatu bentuk pemerintahan dan
terkadang dikonotasikan dengan kondisi suatu masyarakat. Namun di dunia
kontemporer, ketika nasionalisme menjadi dasar bagi demokrasi politik maka
pemerintahan politik yang demokratis menjadi instrumen kemajuan sosial. Di
sinilah letak keterkaitannya dengan demokrasi politik yang mengisyaratkan
pemerintah harus bergantung pada persetujuan pihak yang diperintah;
artinya, ekspresi persetujuan maupun ketidaksetujuan rakyat sudah harus
memiliki sarana penyaluran yang nyata dalam pemilihan umum, program
politik partai, media massa, dan lain-lain.
Dari penelusuran sementara yang berkaitan dengan demokrasi,
sedikitnya dapat dikemukakan bahwa demokrasi diterapkan dalam dimensi-
dimensi instrumen mekanisme pemerintahan, mekanisme pengambilan
keputusan serta demokrasi ekonomi.
1. Instrumen mekanisme pemerintahan Demokrasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara telah dipraktekan
hampir di setiap negara. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Amos J.
Peaslee pada tahun 1950, dari 83 UUD negara-negara yang
diperbandingkannya terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi
menganut prinsip kedaulatan rakyat (90%).70 Istilah demokrasi71 telah
68 Ibid., hlm. 80. 69 C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi …, op.cit, hlm. 17. 70 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 140. 71 Demokrasi berasal dari kata “demokratia”, “demos” berarti rakyat dan “kratia” berarti pemerintahan.
24
menjadi bahasa umum yang digunakan oleh negara-negara untuk
menunjukan suatu bentuk penyelenggaraan negara yang dianggap ideal.
Paham kedaulatan rakyat sebagai embrio demokrasi, mengantarkan
pengertian demokrasi yaitu, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat.
“Pemerintahan dari rakyat yaitu mereka yang duduk sebagai penyelenggara negara atau pemerintahan harus terdiri dari seluruh rakyat itu sendiri atau yang disetujui dan didukung oleh rakyat. Oleh rakyat maksudnya bahwa penyelenggara negara atau pemerintahan dilakukan sendiri oleh rakyat atau atas nama rakyat yang mewakili sedangkan untuk rakyat maksudnya pemerintahan dijalankan atau berjalan sesuai dengan kehendak rakyat.”72
Dalam perkembangan istilah demokrasi kemudian ada yang disebut
“participatory democracy”. “Participatory democracy” menambahkan kata
“bersama” sehingga dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama
rakyat.73 Dari pengertian tersebut dapat menunjukan demokrasi sebagai
instrumen mekanisme pemerintahan. Dalam hubungannya dengan cita-cita,
demokrasi hanyalah sarana, -bukan tujuan- untuk mencapai persamaan
(equality) secara politik yang mencakup tiga tujuan utama : kebebasan
manusia (secara individu dan kolektif), perkembangan diri manusia dan
perlindungan terhadap nilai (harkat dan martabat) kemanusiaan.74
Demokrasi sebagai instrumen mekanisme pemerintahan, dalam
perkembangannya sulit dilaksanakan jika secara langsung. Faktor luas
wilayah dari suatu negara dan besaran jumlah penduduk serta pertambahan
kerumitan masalah kenegaraan merupakan argumen bahwa demokrasi
langsung (direct democracy) tidak mungkin untuk dilaksanakan.75
Berdasarkan kenyataan demikian, dalam penjelasan Eddy Purnama,
72 I Gde Pantja Astawa,Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, Disertasi, Universitas Padjadjaran Bandung, 1999, hlm 70. 73 Participatory democracy strives to create opportunities for all members of a political group to make meaningful contributions to decision-making, and seeks to broaden the range of people who have access to such opportunities…http://en.wikipedia.org/wiki/Participatory_democracy diunduh tanggal 27 Agustus 2009 74 I Gde Pantja Astawa, Op Cit, hlm. 66. 75 Eddy Purnama, Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 10.
25
muncullah yang dikenal sebagai demokrasi tidak langsung (indirect
democracy), yang pelaksanaan kedaulatan rakyatnya tidak dilaksanakan
oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga perwakilan rakyat.76
Hal semacam ini lazim dinamakan demokrasi perwakilan (representative
democracy). 77 Dalam rangka mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat,
akomodasi seluruh aspirasi rakyat jauh lebih berguna dari unsur di dalam
masyarakat harus terwakili di dalam sistem perwakilan.78 Menurut
International Commision of Jurist, sistem politik demokratis (demokrasi
perwakilan) adalah suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui
wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggungjawab kepada
mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas.79 Demokrasi perwakilan
menjadi alternatif terbaik demi tercapainya Representative Government.80
2. Mekanisme pengambilan keputusan
Ide kedaulatan rakyat yang tercermin dalam demokrasi juga meliputi
proses pengambilan keputusan baik di bidang legislatif maupun di bidang
eksekutif. Rakyat berdaulat terhadap produk hukum mulai dari perencanaan,
penetapan, hingga ke pengawasan. Hal ini diperjelas dalam pengertian-
pengertian demokrasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut :81
Henry B. Majo :
”A democratic political system is one in which public policies are made on majority basis, by representatives subject to effective popular control at
76 Ibid., hlm. 11. 77 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kelima belas, 1993, hlm 61. 78 Eddy Purnama, Kedaulatan ..., op.cit. hlm. 284. 79 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kelima belas, 1993, hlm 61. 80 In Modern democracy, both ideals individual rights and equality pen find their highest fulfillment and justification in the citizen’s right to participation in government, the Government of the People. This, in modern states, means representative government through elected deputies” Wolfgang Friedmann, Legal Theory, Steven Sons, London, 1967, hlm, 419. 81 I Gde Pantja Astawa, Op Cit, hlm. 75.
26
periodic election which are conducted on the pinciple of politcal equality and under condition of political freedom.”
Arthur Lewis
“all who are affected by a decision should have the chanc to participate in making that decision, either directly or through chosen representative,”
CF Strong : “a system of government in which the majority of the rule grown members of political community participate through a method of representation which secures that the government is ultimately responsible for its actions to that majority.”82
Dalam paham kedaulatan rakyat yang berdaulat dari segi politik
bukanlah person rakyat itu sendiri, melainkan proses kehidupan kenegaraan
sebagai keseluruhan.83 Proses kehidupan kenegaraan ini termasuk di
dalamnya adalah proses pengambilan keputusan.
Di Indonesia sendiri, instrumen pengambilan keputusan yang khas
diberlakukan adalah melalui musyawarah mufakat. Yamin berpandangan
bahwa permusyawaratan untuk mencapai mufakat, merupakan perpaduan
antara dua konsepsi yaitu paham permusyawaratan yang bersumber dari
ajaran Islam, sedangkan mufakat bersumber dari tatanan asli Indonesia.84
Musyawarah dilakukan untuk menampung dan memperhatikan semua ide
atau pandangan yang ada dan permufakatan menjadi output dari apa yang
telah dimusyawarahkan. Proses pengambilan keputusan yang demokratis
model Indonesia ini disebutkan dengan jelas dalam sila ke – 4 Pancasila.
Oleh karena itu, demokrasi dapat juga dikatakan sebagai instrumen
pengambilan keputusan.
3. Demokrasi ekonomi
82 CF Strong, Modern Political Constitution, Sidgwick & Jackson Limited, London, 1960, hlm.13 83 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi ..., op.cit. hlm. 148. 84 I Gde Pantja Astawa, Op Cit, hlm.86.
27
Demokrasi sebagai instrumen mekanisme pemerintahan dan
instrumen pengambilan keputusan merupakan penjabaran dari demokrasi
yang bersifat politik. Kekuasaan bidang politik dan ekonomi dapat dibedakan
satu sama lain namun sesungguhnya mempunyai hubungan fungsional yang
erat satu sama lain.85 Demokrasi politik harus menjamin setiap individu agar
memperoleh akses sama dalam setiap kegiatan ekonomi. Demikian yang
pengertian demokrasi dari Bung Karno yang tidak sepakat dengan
demorkrasi ala barat yang liberal dan didasarkan pada kapitalisme.86
Kedaulatan rakyat tidak hanya di bidang politik namun juga di bidang
ekonomi, sehingga negara memegang peranan penting dalam
menyejahterakan rakyatnya. Demokrasi yang demikian ini menurut Bung
Karno adalah Demokrasi sosial yang terdiri dari Demokrasi politik ditambah
dengan Demokrasi ekonomi.
Lebih jelas lagi Hatta berpendapat bahwa kekurangan demokrasi
liberal di Barat adalah karena terlalu dominannya prinsip individualisme,
sehingga politik hanya berlaku secara politik saja.87 Demokrasi asli yang ada
di desa-desa di Indonesia mempunyai tiga sifat yang utama, yang harus
dipakai sebagai sendi Perumahan Indonesia Merdeka”.88 Selengkapnya
Hatta mengatakan bahwa tiga sifat utama tersebut adalah:
Pertama: cita-cita rapat yang hidup dalam sanubari rakyat Indonesia dari zaman dahulu sampai sekarang. Rapat ialah tempat rakyat atau utusan rakyat bermusyawarah dan mufakat tentang segala urusan yang bersangkutan dengan persekutuan hidup dan keperluan bersama. Di sini tampak dasar demokrasi, pemerintahan rakyat.
85 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi ..., op.cit. hlm. 147. 86 “Disemua negeri modern itu adalah “demokrasi”. Tetapi,.disemua negeri modern itu kapitalisme subur dan meradjalela! Disemua negeri itu kaum proletar ditindas hidupnja.Disemua negeri modern itu kini hidup miljunan kaum penganggur, upah dan nasib kaum buruh adalah upah dan nasib kokoro,-disemua negeri modern itu rakjat tidak selamat, bahkan sengsara sesengsara-sengsara nja. Inikah hasilnja “demokrasi” jang dikeramatkan orang?...” Tabloid Fikiran Ra’jat, No. 18 dan 19 (edisi 4 November), tahun 1932. http://www.opensubscriber.com/message/[email protected]/9511217.html diunduh tanggal 27 Agustus 2009. 87 I Gde Pantja Astawa, Op Cit, hlm. 80. 88 Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka, dalam Miriam Budiardjo (ed), Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta, 1980, hlm 42.
28
Kedua: cita-cita massa-protest, yaitu hak rakyat untuk membantah dengan cara umum segala peraturan negeri yang dipandang tidak adil. Hak ini besar artinya terhadap kepada pemerintahan despotisme atau autokrasi yang tersusun di atas pundak desa-demokrasi. Dan demokrasi tidak dapat berlaku, kalau tidak ada hak rakyat untuk mengadakan protes bersama. Dalam hak ini tercantum hak rakyat untuk merdeka bergerak dan merdeka berkumpul.
Ketiga: cita-cita tolong menolong. Sanubari rakyat Indonesia penuh dengan rasa-bersama, kolektiviteit. Di atas sendi yang pertama dan kedua dapat didirikan tiang-tiang politik daripada demokrasi yang sebenarnya: satu pemerintahan negeri yang dilakukan oleh rakyat dengan perantaraan wakil-wakilnya atau Badan-badan Perwakilan. Di atas sendi yang ketiga dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi.89
Walaupun menolak individualisme pada Demokrasi Barat, namun
menurut Hatta asas kolektivisme yang dimaksudkannya bukanlah
kolektivisme yang berdasar sentralisasi (satu pimpinan dari atas), melainkan
desentralisasi yaitu tiap-tiap bagian berhak menentukan nasibnya sendiri,
sepeti sifat hak ulayat atas tanah bukan negeri seumumnya yang berhak
melainkan desa.90
Dalam pemikiran mengenai bagaimana demokrasi bagi Indonesia,
Muhammad Hatta mengingatkan bahwa masyarakat asli Indonesia
mempunyai sifat dasar dalam segala hal mengenai kepentingan hidup
bersama.91 Sifat pertama, yaitu mengambil keputusan secara mufakat
dengan musyawarah, adalah dasar dari demokrasi politik. Sifat kedua yaitu
tolong menolong dan gotong royong adalah sendi yang bagus untuk
menegakkan demokrasi ekonomi.92
Dihubungkan dengan desentralisasi, Ni’matul Huda mengatakannya
sebagai mendemokratisasi sistem politik dan menyelaraskan pencapaian
pembangunan berkelanjutan yang merupakan isu yang selalu ada dalam
praktik administrasi publik.93Demokrasi yang lazim pula disebut dengan
89 Ibid, hlm 42-43. 90 I Gde Pantja Astawa, Op Cit. hlm. 84. 91 Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, Segaarsy, Bandung, cetakan kedua, 2009, hlm. 69. 92 Ibid. hlm. 70. 93 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia, Bandung, 2009, hlm. 66.
29
kedaulatan rakyat memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat,
sehingga dalam pelaksanaan tugasnya pemerintah harus berpegang pada
kehendak rakyat.94 Sejalan dengan perputaran waktu, konsep demokrasi
juga mencari bentuk yang sesuai dengan situasi dan kondisi dari masyarakat
modern.95 Dengan demikian menjadi sejalan dengan apa yang dicatat oleh
Rousseau bahwa jika kita menempatkan istilah ini dalam pemahaman yang
kaku, tidak pernah ada demokrasi yang nyata dan tidak akan pernah ada
demokrasi.96
D. Kajian Teori Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dalam upaya memahami hubungan kewenangan antara pusat dan
daerah akan digunakan dua teori yakni, desentralisasi dan sistem rumah
tangga daerah.
1. Desentralisasi Bagir Manan menjelaskan bahwa secara umum desentralisasi
merupakan ‘bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang
dari suatu organisasi, jabatan, atau pejabat’.97 Lebih lanjut Bagir Manan
berpendapat bahwa desentralisasi bukan merupakan asas penyelenggaraan
pemerintahan daerah, melainkan suatu proses.98 Dalam kaitan dengan
pemerintahan otonom, desentralisasi hanya mencakup pemencaran
kekuasaan di bidang otonomi.99
Koesoemahatmadja menguraikan bahwa desentralisasi terbagi dua,
yaitu ambtelijke decentralisati/deconsentratie (dekonsentrasi) dan
staatkundige decentralisatie (desentralisasi ketatanegaraan).100 Sementara
desentralisasi ketatanegaraan yang merupakan penyerahan kekuasaaan
94 Eddy Purnama, Kedaulatan ..., op.cit. hlm. 10 95 Ibid. 96 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Visimedia, Jakarta, 2007, hlm. 113. 97 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm 10. 98 Ibid., hlm 11. 99 Ibid., hlm 10. 100 RDH Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistim Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1979, hlm.15
30
perundang-undangan dan pemerintahan (regelende en besturende
bevoegheid) kepada daerah otonom, juga terbagi dua yakni, desentralisasi
teritorial (territoriale decentralisatie) dan desentralisasi fungsional
(functionele decentralisatie). Desentralisasi teritorial mencakup autonomie
(otonomi) dan medebewind atau zelfbestuur (tugas pembantuan). Dengan
perkataan lain, baik otonomi maupun tugas pembantuan, keduanya masuk
dalam lingkup desentralisasi.
Van Der Pot, sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan, membagi
desentralisasi menjadi desentralisasi teritorial yang menjelma dalam bentuk
badan yang didasarkan pada wilayah, sedangkan desentralisasi fungsional
menjelma dalam bentuk badan-badan yang didasarkan pada tujuan-tujuan
tertentu.101 Mengenai desentralisasi, Van der Pot mengemukakan, tidak
semua peraturan dan penyelenggaraaan pemerintahan dilakukan dari pusat
(central).102 Pelaksanaan pemerintahan dilakukan baik oleh pusat maupun
berbagai badan otonom. Badan-badan otonom ini dibedakan antara
desentralisasi berdasarkan teritorial (territoriale decentralisatie) dan
desentralisasi fungsional (functionaeele decentralisatie). Bentuk
desentralisasi itu dibedakan antara otonomi dan tugas pembantuan.
Pemikiran di atas memberi pengertian bahwa tugas pembantuan merupakan
salah satu bentuk dari desentralisasi. Menempatkan kedudukan yang sejajar
antar desentralisasi dan tugas pembantuan sebagai asas-asas yang terpisah
merupakan suatu yang keliru. Demikian pula, bahwa desentralisasi adalah
otonomi, tetapi otonomi tidak sama dengan desentralisasi. Otonomi
merupakan salah satu bentuk desentralisasi.
Irawan Soejito, sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan, menjelaskan
penggolongan desentralisasi yang agak berbeda, yang terdiri atas
desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional dan desentralisasi
administratif (dekonsentrasi).103 Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat dua
101 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit. hlm 21. 102 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm 10. 103 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit.
31
pandangan mengenai hubungan antara desentralisasi dan dekonsentrasi.
Pandangan pertama mengatakan bahwa dekonsentrasi sebagai salah satu
bentuk desentralisasi sedangkan pandangan kedua beranggapan bahwa
dekonsentrasi merupakan pelunakan sentralisasi menuju ke arah
desentralisasi.104
Ahli lain yang melakukan penggolongan desentralisasi adalah Amrah
Muslimin. Menurutnya desentralisasi terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu
desentralisasi politik, desentralisasi fungsional dan desentralisasi
kebudayaan.105 Desentralisasi politik adalah “pelimpahan kewenangan dari
Pemerintah Pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah
tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh
rakyat dalam daerah-daerah tertentu”.106 Menurut Bagir Manan pengertian
desentralisasi politik tersebut sama dengan desentralisasi teritorial karena
faktor ‘daerah’ menjadi salah satu unsurnya.107 Mengenai desentralisasi
kebudayaan, Amrah Muslimin mengartikan:
“memberikan hak pada golongan-golongan kecil dalam masyarakat
(minoritas) menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur
pendidikan, agama, dan lain-lain). Dalam kebanyakan Negara
kewenangan ini diberikan pada kedutaan-kedutaan asing demi
pendidikan warga negara masing-masing negara dari keduataan yang
bersangkutan”.108
Terhadap pendapat Amrah Muslimin mengenai desentralisasi
kebudayaan di atas, Bagir Manan berpendapat bahwa desentralisasi pada
prinsipnya merupakan bentuk dari susunan organisasi negara dan
pemberian atau pengakuan hak minoritas untuk mengatur dan mengurus
soal agama dan pendidikan di kalangan mereka sendiri lebih tampak sebagai
perwujudan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia daripada 104 Ibid., hlm 21-22. 105 Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm 5. 106 Ibid. 107 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit., hlm 22. 108 Amrah Muslimin, Aspek..., op.cit., hlm 5-6.
32
sebagai bagian susunan organisasi negara.109 Lebih lanjut dikatakan bahwa
pemberian hak kepada kedutaan juga tidak dapat dikategorikan sebagai
desentralisasi karena kedutaan bukan bagian dari susunan organisasi di
mana kedutaan itu berada.110
Desentralisasi teritorial, khususnya otonomi, berkonsekuensi terhadap
pembiayaan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah oleh
pemerintahan daerah. Seperti dikatakan oleh B.C. Smith bahwa it is obvious
that the exercise of governmental powers at the subnational level entails
expenditure by subnational governments.111 Hal yang sama juga dikatakan
oleh Bagir Manan bahwa hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri
menyiratkan pula makna membelanjai diri sendiri.112 Begitu pula dengan
Pheni Chalid yang berpendapat bahwa desentralisasi kewenangan
pengelolaan pemerintahan berarti beban pembiayaan harus ditanggung
sepenuhnya oleh pemerintahan daerah.113 Artinya, pemerintahan daerah
harus memiliki sumber keuangan sendiri untuk dapat menyelenggarakan
rumah tangganya secara mandiri.
Konsekuensi desentralisasi pada pembiayaan urusan pemerintahan
daerah pada hakikatnya adalah desentralisasi di bidang keuangan atau
desentralisasi fiskal. Bahcrul Elmi mengatakan bahwa desentralisasi fiskal
dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan yang
sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi dan pemanfaatannya
diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat114.
Namun demikian, ada yang mengartikan desentralisasi fiskal lebih
luas dari sekedar pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan. Dalam
perspektif ilmu ekonomi, desentralisasi fiskal diartikan dalam ukuran –
109 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit.. 110 Ibid. 111 B.C. Smith, Decentralization The Territorial Dimension of The State, Gerge Allen Unwin, London, 1985, hlm. 99. 112 Bagir Manan, Hubungan Antara….,op.cit., hlm. 204. 113 Pheni Chalid, Keuangan Daerah, Investasi, dan Desentralisasi, Kemitraan, Jakarta, 2005, hlm vii 114 Bachrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, UI-Press, Jakarta,2002, hlm 26.
33
ukuran keuangan seperti expenditure (pengeluaran/belanja) atau revenue
(penerimaan/pendapatan). Pengertian desentralisasi fiskal yang tidak hanya
pada aspek penerimaan, namun juga pada aspek pengeluaran, berhubungan
dengan adanya kewenangan daerah atas sumber-sumber penerimaan
daerah digunakan untuk membiayai pengeluaran/ belanja sesuai dengan
kewenangan daerah.
Persoalan desentralisasi fiskal terutama dari aspek ekonomi selalu
dikaitkan dengan persoalan efisiensi, misalnya Oates (1993) mengatakan
bahwa peningkatan efisiensi ekonomi merupakan dasar ekonomis dari
desentralisasi.115 Teori keuangan negara melekatkan desentralisasi dalam
rangka mencapai efisiensi pada dua pelaku: konsumen dan produsen.116
Efisiensi dari aspek konsumen didefinisikan sebagai keuntungan yang
didapatkan oleh konsumen dari kebijakan pengeluaran/belanja (negara) yang
sesuai dengan preferensi pembayar pajak. Sementara itu, efisiensi dari
aspek produsen didefinisikan sebagai keuntungan ekstra yang didapatkan
ketika sejumlah pengeluaran yang sama dapat menghasilkan barang dan
jasa dengan kuantitas yang besar atau kualitas yang lebih baik, atau ketika
sejumlah barang dan jasa dapat dihasikan dengan biaya yang lebih
rendah.117
Persoalannya, jika tujuan desentralisasi fiskal adalah hanya efisiensi,
maka hal tersebut dapat dilakukan dengan skema hubungan pusat daerah
yang sentralistik.118 Padahal, sepeti dikatakan oleh Bagir Manan bahwa
115 Francisco Javier Arze del Granado, A Study of The Relationship Between Fiscal Decentralization and The Composition of Public Expenditures, Disertasi, Departement of Economic Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, 2003, hlm. 13. 116 Ibid. 117 Ibid.,hlm. 14. 118 Misalnya, untuk kasus Indonesia dalam fase awal desentralisasi fiskal (2001-masa efektif pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999), dikatakan oleh Joko mengutip pendapat Benyamin Hoesein bahwa “Pola pengaturan hubungan antara Pusat dan Daerah yang semula bersifat sentralistik di masa Orde Baru yang diterjemahkan melalui Undang – Undang No 5 tahun 1974, telah dirubah dalam suatu pola hubungan yang lebih bersifat desentralisasi, dimanifestasikan melalui dasar hukum Undang - Undang No 22 tahun 1999 serta Undang – Undang No 25 tahun 1999. Besaran perubahan yang dikehendaki dalam reformasi tersebut dapat disimak dari pergeseran sejumlah model dan paradigma pemerintahan daerah, dari “structural efficiency model“ yang menekankan efisiensi dan
34
hakikat dari otonomi yang merupakan wujud desentralisasi adalah
kemandirian walaupun bukan suatu bentuk kebebasan sebuah satuan yang
merdeka.119 Otonomi juga berkaitan dengan gagasan demokrasi di mana
masyarakat daerah berhak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerahnya. Seperti dikatakan oleh Moh. Hatta, bahwa:
”Menurut dasar kedaulatan rakyat, hak rakyat untuk menentukan
nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan
juga pada tiap tempat, di kota, di desa, di daerah...jadi, bukan saja
persekutuan yang besar, rakyat semuanya, mempunyai hak untuk
menentukan nasib sendiri melainkan juga tiap-tiap bagian dari negeri
atau bagian dari rakyat yang banyak. Keadaan yang seperti itu penting
sekali, karena keperluan tiap-tiao tempat dalam satu negeri tidak sama,
melainkan berlainan”.120
Dalam konteks desentralisasi fiskal, pendapat di atas sejalan dengan
pendapat Roy Bahl yang mengatakan, bahwa ”as a working definition, fiscal
decentralization as ”the empowerment of people by fiscal empowerment of
their local govenment” (pemberdayaan masyarakat melalui pemberdayaan
fiskal dari pemerintah daerahnya).121 Artinya, efisiensi dalam rangka
peningkatan kesejahteraan rakyat dalam sistem desentralisasi, hanya
memungkinkan jika terdapat kebebasan berotonomi, karena otonomilah
ujung tombak usaha mewujudkan kesejahteraan tersebut.122 Hal ini sejalan
dengan pendapat Bahcrul Elmi, bahwa :
”...salah satu makna dari desentralisasi fiskal dalam bentuk otonomi,
penerimaan otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber penerimaan)
keseragaman pemerintahan lokal dirubah menjadi “local democracy model“ dengan penekanan pada nilai-nilai demokrasi dan keberagaman di dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal”. (cetak tebal oleh Tim Peneliti). Joko Tri Haryanto, “ Potret PAD Dan Relevansinya Terhadap Kemandirian Daerah”, makalah, Jakarta, tanpa tahun, hlm. 1. http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CPAD.pdf. Diunduh pada tanggal 20 Agustus 2009. 119 Bagir Manan, Menyongsong Fajar…., op.cit, hlm. 26. 120 Bagir Manan, Hubungan Antara…., op.cit, hlm. 33. 121 Roy Bahl dalam Jameson Boex, Renata R Simatupang, “Fiscal Decentralisation and Empowerment: Evolving Concepts and Alternative Measures” Journal Compilation Institute of Fiscal Studies Vol. 29, No. 4, Blackwell Publishing Ltd, UK-USA, 2008, hlm. 442. 122 Ibid.
35
kepada daerah-daerah merupakan suatu proses mengintensifkan
peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan.123
Desentralisasi fiskal dapat menjadi salah satu ukuran keberhasilan
otonomi. Pola dan ukuran dalam desentralisasi fiskal akan mencerminkan
derajat otonomi yang dimiliki daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat Bird
(1986), bahwa:
”...a decentralization measure is the autonomy or power of decision making of regional government. In this context, a fiscal decentralization measure should be able to quantify the amount of independent decesion - making power (or discretion) in the provision of public services at different level of government”.124
Dari berbagai pendapat para ahli di atas mengenai desentralisasi,
dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, pengertian desentralisasi yang
agak sempit sebagaimana dikemukakan oleh Van Der Pot yang hanya
mengklasifikasikan desentralisasi menjadi dua jenis yakni desentralisasi
teritorial dan desentralisasi fungsional. Koesoemahatmadja juga termasuk
dalam kategori yang membagi desentralisasi agak sempit karena
menurutnya desentralisasi terbagi atas dekonsentrasi dan desentralisasi
ketatanegaraan. Kedua, pengertian desentralisasi yang lebih luas dari
kategorisasi yang disampaikan oleh Van Der Pot dan Koesoemahatmadja.
Dalam kategori kedua ini dijumpai pembagian desentralisasi yang
disampaikan oleh Amrah Muslimin dan Irawan Soejito. Selain desentralisasi
teritorial dan fungsional, juga terdapat desentralisasi administratif atau
dekonsentrasi. Amrah Muslimin selain membagi kedalam desentralisasi
teritorial dan fungsional juga memasukkan desentralisasi kebudayaan.
Berbeda dengan kedua ahli lainnya, Amrah Muslimin tidak memasukkan
123Ibid.
124 Francisco Javier Arze del Granado, A Study of The Relationship Between Fiscal Decentralization and The Composition of Public Expenditures, Disertasi, Departement of Economic Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, 2003, hlm.`12.
36
dekonsentrasi sebagai salah satu bentuk desentralisasi. Ketiga, pengertian
desentralisasi yang lebih sempit dari yang dijelaskan oleh para ahli di atas
yakni pengertian desentralisasi menurut UU No. 32 Tahun 2004. Pasal 1
angka 7 menyatakan bahwa desentralisasi adalah “penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.
Dengan demikian, terlepas dari perdebatan mengenai apakah suatu
jenis desentralisasi termasuk pengertian desentralisasi atau bukan, berbagai
penggolongan desentralisasi yang disebut-sebut oleh sejumlah ahli tersebut
dapat muncul 1) desentralisasi teritorial, 2) desentralisasi fungsional, 3)
desentralisasi kebudayaan, dan 4) desentralisasi fiskal. Pertama,
desentralisasi teritorial menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada
wilayah. Kedua, desentralisasi Fungsional125 adalah pemberian hak dan
kewenangan pada golongan-golongan mengurus suatu macam atau
golongan kepentingan dalam masyarakat, baik terikat maupun tidak pada
suatu daerah tertentu,seperti mengurus kepentinganirigasi bagi golongan
tani dalam suatu atau beberapa daerah tertentu (waterschap; Subak Bali).
Ketiga, desentralisasi kebudayaan (culturele decentralisatie), yaitu
memberikan hak pada golongan-golongan kecil dalam masyarakat
(minoritas) menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur
pendidikan, agama, dll). Keempat, desentralisasi fiskal berwujud
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
2. Sistem Rumah Tangga Daerah Sistem rumah tangga merupakan tatanan yang berkaitan dengan
cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah.126 Atas dasar
tersebut, daerah akan mempunyai urusan pemerintahan yang didasarkan
125 Amrah Muslimin, Pokok-Pokok…, hlm. 119-120 126 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit., hlm 26.
37
atas penyerahan, pengakuan ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah
tangga daerah. Secara teori, terdapat tiga sistem rumah tangga daerah, yaitu
sistem-sistem rumah tangga formal, material, dan nyata (riil).127
a. Sistem rumah tangga formal Berdasarkan sistem ini, urusan pemerintahan pusat dan daerah tidak
dibagi secara rinci karena sistem ini berpangkal tolak dari asumsi bahwa
secara prinsip tidak terdapat perbedaan antara urusan pusat dan daerah.
Apabila terdapat pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab hanyalah
didasarkan atas pertimbangan daya guna dan hasil guna.128 Secara teoritik,
sistem ini memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya dan satu-satunya
pembatasannya adalah daerah tidak dapat mengatur dan mengurus suatu
urusan yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, misalnya dengan undang-undang atau peraturan daerah yang lebih
tinggi.
Sepintas nampak bahwa otonomi formal akan memungkinkan
pemerintah daerah bertindak lebih leluasa mengatur, mengurus, dan
membela kepentingan daerahnya. Tetapi pelaksanaan otonomi formal
menimbulkan kesulitan-kesulitan, antara lain :
(1) Tidak adanya ketegasan mengenai urusan pemerintahan yang menjadi
urusan rumah tangga daerah, menimbulkan keraguan atau
ketidakpastian untuk mengurus sesuatu urusan pemerintahan. Ada
kekhawatiran bahwa urusan tersebut termasuk atau telah diatur dan
diurus oleh satuan pemerintahan yang lebih tinggi. Begitu banyaknya
peraturan perundang-undangan dari satuan pemerintahan yang lebih
tinggi, dengan kemungkinan telah mengatur sesuatu hal yang bertahun-
tahun yang lang lalu, sehingga tidak diketahui atau dikenal secara pasti.
(2) Suatu urusan pemerintahan yang telah diatur, diurus, dan dijalankan
sebagai urusan rumah tangga daerah tertentu, kemungkinan kemudian
127 Ibid., hlm 26-33. 128 Bagir Manan, ..., op.cit, hlm 26.
38
diatur dan diurus oleh satuan pemerintahan yang lebih tinggi. Keadaan
seperti ini dapat menimbulkan kesulitan bagi daerah yang bersangkutan.
Dengan perubahan itu daerah yang bersangkutran akan kehilangan
berbagai keuntungan yang diperoleh dari urusan tersebut. Juga rakyat
dapat merasakan dirugikan apabila dengan perubahan itu pelayanan
terhadap rakyat menjadi kurang lancar atau terganggu.
(3) Sesuatu urusan pemerintahan oleh daerah tertentu diatur dan diurus
sebagai urusan rumah tangga, tetapi daerah lain tidak berani karena
beranggapan bahwa hal itu termasuk urusan satuan pemerintahan yang
lebih tinggi. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam melayani
anggota masyarakat yang mempunyai kegiatan atau kepentingan lintas
daerah.
(4) Setiap urusan rumah tangga itu terutama yang membebankan kewajiban
harus disertai dengan daya dukung tertentu terutama (sumber)
keuangan. Sumber keuangan itu berada pada pemerintah pusat. Kalau
suatu urusan oleh daerah diurus dan diatur, tidak selalu ada jaminan
akan ada sumber keuangan untuk menjalankan urusan tersebut dengan
sebaik-baiknya.
Secara praktik, terdapat beberapa hambatan untuk mencapai daya
guna dan hasil guna, antara lain hambatan kreativitas daerah, keuangan
daerah serta teknis.129 Kreativitas daerah sangat menentukan karena
daerahlah yang dapat menetapkan ukuran kewajaran untuk mengatur dan
mengurus suatu urusan tertentu. Kecilnya kreativitas daerah akan
menyebabkan daerah hanya menunggu ‘arahan atau petunjuk’ dari satuan
pemerintahan atasnya untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan
pemerintahan. Hambatan lain ditemukan dalam kaitan dengan keuangan
daerah. Meskipun daerah memiliki peluang menyelenggarakan urusan
seluas-luasnya namun tanpa dukungan keuangan yang memadai akan
menyebabkan urusan-urusan tersebut tidak dapat terselenggara dengan
baik. Akhirnya, keberhasilan sistem rumah tangga formal ditentukan sampai
129 Ibid., hlm 27.
39
sejauhmana daerah dapat mengatasi hambatan teknis yang menunjuk pada
tidak mudahnya mengetahui urusan yang belum diselenggarakan oleh pusat
atau pemerintahan daerah tingkat lebih atas.
b. Sistem rumah tangga material Berbeda dengan sistem rumah tangga formal, sistem material ini
bertolak dari asumsi bahwa terdapat perbedaan secara mendasar antara
urusan pusat dan daerah dan dengan demikian urusan pemerintahan dapat
dipilah-pilah dan dapat ditetapkan secara pasti.130 Atau dengan kata lain,
pemilahan urusan pemerintahan didasarkan pada perbedaan kepentingan.131
Di Belanda, sistem ini dikenal juga sebagai ajaran tiga lingkungan atau de
driekriengenleer karena sesuai dengan susunan satuan organisasi
pemerintahan Belanda yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Gemeente.132 Dalam sistem otonomi material atau rumah tangga material,
urusan rumah tangga daerah itu ditentukan dengan pasti. Di luar urusan-
urusan itu, daerah tidak berwenang mengurus dan mengaturnya. Untuk
memungkinkan pelaksanaan otonomi material harus ada prosedur
penyerahan urusan kepada daerah. Penyerahan ini dapat terjadi dengan
beberapa cara :
(1) Urusan-urusan rumah tangga daerah telah diperinci dalam peraturan
perundang-undangan tentang pokok-pokok pemerintahan daerah.
Daerah otonom secara otomatis berhak mengatur dan mengurus
urusan-urusan tersebut;
(2) Urusan-urusan rumah tangga daerah tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan tentang pokok-pokok pmerintahan daerah,
melainkan dalam peraturan perundang-undangan tentang pembentukan
masing-masing daerah otonom. Setiap daerah otonom terbentuk disertai
dengan perincian urusan rumah tangganya;
130 Ibid., hlm 28. 131 Ibid. 132 Ibid.
40
(3) Urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan tentang pokok-pokok pemerintahan daerah, tetapi
penyerahannya kepada suatu daerah otonom tertentu diatur tersendiri.
Selama suatu urusan belum diserahkan secara nyata, maka urusan itu
belum menjadi urusan rumah tangga yang bersangkutan.
Kepastian urusan-urusan rumah tangga dalam rumah tangga material
lebih memudahkan pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya. Biasanya penyerahan urusan itu sekaligus disertai dengan
sumber keuangan dan alat-alat kelengkapan yang diperlukan.
Sistem otonomi material ini juga tidak lepas dari kesulitan-kesulitan
antara lain :
(1) Sangat tidak mudah menentukan dan merinci urusan-urusan yang akan
dijadikan urusan rumah tangga daerah. Lebih-lebih dalam zaman
modern ini. Negara menurut konsep negara kesejahteraan memasuki
hampir pada semua sektor kehidupan. Sukar sekali pada saat ini untuk
menemukan urusan yang berada di luar kompetensi negara atau
pemerintah. Urusan itu begitu luas sehingga tidak mudah untuk
menentukan urusan-urusan diperuntukkan rumah tangga daerah dan
yang tidak. Ciri umum yang lazim dipergunakan adalah urusan-urusan
rumah tangga daerah adalah urusan-urusan yang bersifat lokal yang
membutuhkan penanganan yang mungkin berbeda antara daerah yang
satu dengan yang lain. Penanganan secara seragam urusan semacam
itu tidak efisien dan tidak efektif bahkan mungkin menimbulkan
ketidakadilan. Akan tetapi untuk menentukan ukuran lokal dan tidak lokal
suatu urusan tidaklah mudah.
(2) Sistem otonomi material bersifat rigid, antara lain, tidak mudah
menampung perubahan sifat suatu urusan dari lokal menjadi tidak lokal
atau sebaliknya. Setiap perubahan harus menempuh tatacara tertentu
yaitu menyerahkan atau menarik urusan harus melalui peraturan
perundang-undangan tertentu dan dilakukan dalam suatu peninjauan
kembali secara nasional urusan rumah tangga daerah. Berbeda dengan
otonomi formal, daerah berhak mengatur dan mengurus setiap urusan
41
kecuali hal yang sudah diatur dan diurus atau yang kemudian diatur dan
diurusa oleh satuan pemerintahan yang lebih tinggi.
(3) Kemungkinan urusan-urusan rumah tangga dalam sistem otonomi
material sedemikian sempit atau sedemikian luas yang menimbulkan
kesulitan dalam pelaksanaannya.
Urusan-urusan rumah tangga dalam sistem otonomi material bersifat
seragam, kurang memperhatikan karakteristik, potensi, dan kemampuan
daerah yang mungkin berbeda-beda. Mengenai sistem rumah tangga
material ini, Bagir Manan berpendapat bahwa sistem ini tidak dapat dijadikan
patokan obyektif untuk menciptakan hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah.133 Hal ini dasarkan pada beberapa argumen yang meliputi:
(1) Sistem ini berpangkal tolak dari asumsi yang keliru yaitu anggapan dasar
bahwa urusan pemerintahan dapat dipilah-pilah.134 Memang urusan-
urusan tertentu, misalnya pertahanan keamanan, moneter, luar negeri
menampakkan sifat atau karakter sebagai urusan tertentu yang
dilaksanakan oleh pusat. Namun, urusan-urusan lain banyak juga yang
menampakkan sifat ganda, misalnya urusan pertanian. Bagian urusan
perrtanian dapat saja dilakukan oleh satuan pemrintahan yang berbeda.
Dengan demikian dalam praktek terdapat kesulitan untuk menentukan
secara rinci urusan masing-masing satuan pemerintahan.
(2) Sistem ini tidak memberikan peluang untuk secara cepat menyesuaikan
dengan perubahan-perubahan yang terjadi.135 Suatu urusan
pemerintahan yang semula adalah urusan daerah, karena
perkembangan, dapat beralih menjadi urusan pusat. Misalnya, urusan
persampahan. Karena perkembangan teknologi, sampah tidak lagi
diartikan secara tradisional, melainkan meliputi sampah industri, sampah
nuklir, dan lain-lain. Akibatnya sampah-sampah semacam ini berdampak
pada lingkungan hidup yang berskala lebih luas dimana penangannya
membutuhkan teknologi serta keahlian yang lebih, yang mungkin saja
133 Ibid., hlm 30. 134 Ibid., hlm 29. 135 Ibid.
42
tidak dimiliki oleh daerah. Dalam hal demikian, urusan sampah tersebut
dapat saja beralih menjadi urusan pusat.
(3) Sistem ini terasa lebih mengekang karena terikat pada urusan yang
secara rinci ditetapkan sebagai urusan rumah tangga.136
(4) Sistem ini akan lebih banyak menimbulkan spanning hubungan antara
pusat dan daerah.137
c. Sistem rumah tangga nyata (riil) Disebut ‘nyata’ karena isi rumah tangga daerah didasarkan pada
keadaan dan faktor-faktor yang nyata.138 Bagir Manan mengutip pendapat
Tresna menyatakan bahwa sistem ini merupakan jalan tengah antara sistem
formal dan material dengan pengutamaan pada sistem formal.139 Fungsi
sistem rumah tangga material pada sistem ini ditunjukkan pada adanya
urusan pangkal sehingga sejak awal pendirian suatu daerah telah
mempunyai kepastian urusan rumah tangga daerahnya.140 Sebagai sistem
tengah antara sistem formal dan material, sistem rumah tangga nyata
memiliki beberapa ciri, yakni:141
(1) Adanya urusan pangkal yang ditetapkan pada saat pembentukan daerah
otonom yang memberikan kepastian kepada daerah berkenaan dengan
urusan rumah tangganya.
(2) Selain memiliki urusan-urusan awal yang ditetapkan secara material,
daerh juga dapat mengatur dan mengurus urusan-urusan lain yang
dianggap penting bagi daerah tersebut, sepanjang urusan-urusan itu
belum diatur dan diurus oleh pusat dan daerah tingkat lebih atas.
(3) Otonomi dalam sistem rumah tangga nyata didasarkan pada faktor-
faktor nyata suatu daerah. Dengan demikian, dapat terjadi perbedaan isi
rumah tangga daerah sesuai dengan keadaan masing-masing.
136 Ibid., hlm 31. 137 Ibid. 138 Ibid. hlm 30. 139 Ibid. 140 Ibid. 141 Ibid., hlm 32.
43
Telah dikatakan sebelumnya bahwa sistem rumah tangga merupakan
tatanan yang berkaitan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan
tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat
dan daerah. Dari penjelasan tersebut nampaklah bahwa ajaran ini
memberikan landasan bagi kemunculan dimensi hubungan kewenangan
antara Pusat dan Daerah.
Proses penyelenggaraan pemerintahan dengan desentralisasi
teritorial memunculkan bentuk otonomi dan tugas pembantuan. Tujuan dari
otonomi adalah untuk memunculkan kemandirian daerah dan bukan
kedaulatan.142 Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk
memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri, untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap
masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan
tersebut maka kepada daerah diberikan kewenangan-kewenangan untuk
melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah
tangganya.143 Sementara itu, tugas pembantuan dapat menjadi jembatan
menuju otonomi.144 Otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan
pemerintahan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas pemerintahan.
otonomi adalah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan hanya
tatanan administrasi Negara (administratiefrechtelijk). Sebagai tatanan
ketaanegaraan, otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan
susunan organisasi Negara.145 Dengan demikian kemudian muncullah
dimensi hubungan kelembagaan antara Pusat dan Daerah.
3. Kelembagaan
142 Tim Penyusun, Otonomi atau ..., op.cit. hlm. 14. 143 Ateng Syafrudin, Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 9 144 Ibid. 145 Bagir Manan, Menyongsong ..., op.cit. hlm. 24
44
Sebelum membahas hubungan kelembagaan antara pemerintah
pusat dan daerah terlebih dahulu akan dibahas mengenai apa yang
dimaksud dengan kelembagaan, dan hubungan kelembagaan. Dengan
diperoleh pengertian dan istilah yang tepat diharapkan dapat lebih
mempertegas kajian mengenai hubungan kelembagaan antara pemerintah
pusat dan daerah ini.
a. Makna Kelembagaan Istilah “kelembagaan” merupakan padanan kata “Institution” dalam
bahasa Inggris, yang juga sering dipersamakan dengan istilah organisasi
(organization). Dalam kajian sosiologi, kata kelembagaan lebih memberi
kesan sosial, lebih menghargai budaya lokal dan lebih humanistis,
sedangkan kata organisasi menunjuk kepada suatu social form yang bersifat
formal, sehingga saat ini orang lebih suka menggunakan istilah kelembagaan
dalam kajian sosial daripada istilah organisasi, namun secara umum istilah
kelembagaan dipergunakan dalam kedua istilah organisasi maupun
kelembagaan itu sendiri. 146
Sebagaimana dikutip Syahyuti, Sumner memasukkan aspek struktur
ke dalam pengertian kelembagaan:147
“An institution consist s of a concept (idea, notion, doctrine, interest) and structure. The structure is a framework, or apparatus, or perhaps only a number of functionaries set to-operate in prescribed ways at a certain conjuncture. The structure holds the concepts and furnishes instrumentalis for bringing it into the world of facts and action in a way to serve the interest of men in society”.
Ditinjau dari tujuannya, menurut Hadari Nawawi, organisasi dapat
dirumuska sebagai, “… a system of actions” atau sebagai “sistem kerjasama
sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama.” Dari segi prosesnya
organisasi dapat dirumuskan oleh Herleigh Tecker sebagai, “a process of
combining the work which individual or group have to performs with the
146 Syahyuti, Tinjauan Sosiologis Terhadap Konsep Kelembagaan dan Upaya Membangun Rumusan yang Lebih Operasional, hlm. 1 www.geocities.com/syahyuti/Rumusan_konsep_kelembagaan.pdf 147 Ibid., hlm. 3.
45
faculties necessary for its execution, so that the duties so performed provide
the best channels for the efficient, systematic, positive, and coordinated
application of effort”. Atau dapat disebut juga sebagai, “… the act or process
of bringing together or arranging the related groups of agency into a working
whole”. 148
Sementara itu ditinjau dari segi strukturnya, menurut Kamus
Administrasi Negara (The Liang Gie), organisasi dapat dirumuskan sebagai
susunan yang terdiri dari satuan-satuan organisasi beserta segenap pejabat,
kekuasaan, tugas, dan hubungan-hubungan satu sama lain dalam rangka
pencapaian tujuan tertentu.149 Dalam kajian ini penulis menggunakan istilah
kelembagaan yang menunjuk kepada susunan kelembagaan yang ada
dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia.
Asas –asas organisasi paling tidak mencakup enam asas, masing-
masing: perumusan tujuan yang jelas; pembagian pekerjaan; pelimpahan
wewenang; koordinasi; rentang kontrol dan kesatuan komando.150 Asas
pembagian pekerjaan merupakan asas yang harus diterapkan dalam
organisasi, termasuk dalam organisasi pemerintahan daerah. Pembagian
kerja penting karena akan memperjelas batas-batas kewenangan, kewajiban,
hak dan tanggung jawab setiap orang dalam suatu organisasi. Dengan
demikian kekacauan, konflik kewenangan/kekuasaan, tumpang tindih
ataupun kecenderungan menghindari tanggung jawab dapat dielakkan.
Pembagian kerja harus diikuti oleh adanya pendelegasian wewenang,
sehingga tanggung jawab pelaksanaan bidang tugas dapat dilakukan
sepenuhnya oleh seseorang. Pelimpahan wewenang berarti penyerahan
sebagian hak yang seharusnya dilakuan oleh seorang pejabat atasan
kepada pejabat bawahan.151
Asas lain yang harus diterapkan dalam setiap organisasi, adalah
koordinasi, koordinasi ini secara prinsip merupakan usaha untuk 148 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah, di Negara Republik Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 232 149 Ibid. 150 Ibid, hlm. 289 151 Ibid
46
menyelaraskan aktivitas antara satuan-satuan organisasi, tugas dan pejabat
dalam organisasi. Adanya koordinasi dimaksudkan untuk kesatuan tindakan
dan guna meramalkan dan mencegah terjadinya krisis. Di samping itu
koordinasi diperlukan guna mencegah terjadinya konflik; dapat memaksa
pejabat untuk bertindak dan berfikir sesuai dengan sasaran dan tujuan
organisasi; mencegah kesimpangsiuran dan duplikasi; serta dapat
mengembangkan prakarsa improvisasi. Koordinasi ini dapat dilakukan
misalnya melalui pertemuan-pertemuan informal antara para pejabat,
pertemuan formal, surat edaran berantai, buku pedoman dan sebagainya.152
b. Hubungan Kelembagaan Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa kelembagaan
dimaksud adalah susunan atau struktur organisasi pemerintahan, menurut
Bagir Manan153, Struktur organisasi pemerintahan daerah menyatakan
bahwa struktur organisasi pemerintahan daerah mengandung dua segi, yaitu
susunan luar (external structure) dan susunan dalam (internal structure).
Susunan luar menunjuk kepada badan-badan pemerintahan (publieklichaam)
tingkat daerah seperti daerah tingkat I dan daerah tingkat II, sedangkan
susunan dalan menunjuk kepada alat kelengkapan (organ) pemerintahan
daerah seperti DPRD dan Kepala Daerah.
Susunan organisasi pemerintahan daerah merupakan salah satu
aspek yang dapat mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, karena dengan dibentuknya satuan pemerintahan di
tingkat daerah tentunya disertai juga dengan penyerahan kewenangan dari
pusat kepada daerah dalam bentuk urusan-urusan pemerintahan untuk
dijalankan oleh pemerintah daerah. Urusan-urusan pemerintahan yang akan
diserahkan kepada pemerintah daerah sebagai konsekuensi pelaksanaan
152 Ibid, hlm. 290-291 153 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit. hlm.191
47
desentralisasi, titik berat pelaksanaannya akan diletakan pada daerah yang
mana?154
Susunan organisasi pemerintahan di daerah akan berpengaruh
terhadap hubungan antara pusat dan daerah. Hal ini dapat dilihat dari peran
dan fungsi masing-masing susunan atau tingkatan dalam penyelenggaraan
otonomi. Artinya peran dan fungsi tersebut dapat ditentukan oleh
pelaksanaan titik berat otonomi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu : (a) faktor sistem rumah tangga daerah; (b) faktor ruang lingkup urusan
pemerintahan; dan (c) faktor sifat dan kualitas urusan.155 Ateng Syafrudin
menjelaskan yang dimaksud dengan “titik berat” otonomi mengandung arti
jumlah atau besarnya tugas, kewajiban, hak dan wewenang serta tnggung
jawab urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah otonomi untuk menjadi isi rumah tangga
daerah.156 Titik berat otonomi daerah ini perlu diletakan pada satuan
pemerintahan yang lebih dekat kepada dan berhubungan langsung dengan
masyarakat, sehingga diharapkan dapat lebih mengerti dan memenuhi
aspirasi-aspirasi masyarakat setempat.157 Tetapi dekatnya jarak antara
satuan pelayanan bukanlah satu-satunya ukuran untuk menentukan
penekanan atau pengutamaan fungsi pada tingkat daerah tertentu. Ada
faktor-faktor lain, seperti kemampuan keuangan, dan manajemen.158
Hubungan pusat dan daerah atas dasar otonomi teritorial merupakan
konsep dalam Negara kesatuan. Satuan otonomi teritorial merupakan suatu
satuan mandiri dalam lingkungan Negara kesatuan yang berhak melakukan
tindakan hukum sebagai subjek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi
pemerintahan (administrasi Negara) yang menjadi urusan rumah tangganya.
Jadi hubungan pusat dan daerah atas dasar otonomi territorial memiliki
kesamaan dengan hubungan pusat dan daerah atas dasar federal yaitu
hubungan antara dua subjek hukum yang masing-masing berdiri sendiri. 154 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan ..., op.cit., hlm. 24 155 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit., hlm. 194-195 156 Ateng Syafrudin, Titik Berat ..., op.cit., hlm. 52 157 Ibid. 158 Bagir Manan, Hubungan …, op.cit. hlm. 197
48
Perbedaannya, dalam otonomi territorial, pada dasarnya seluruh fungsi
kenegaraan dan pemerintahan ada dalam lingkungan pemerintahan pusat
yang kemudian dipencarkan kepada satuan-satuan otonomi.159 Oleh karena
Negara (Pemerintah Pusat) dan daerah itu masing-masing merupakan badan
hukum publik, hubungan antara kedua badan hukum publik itu tidaklah
seperti hubungan hierarkis yang ada, misalnya antara Menteri Dalam Negeri
dengan Gubernur.160
4. Ruang Lingkup dan Prinsip-Prinsip Desentralisasi Fiskal Anwar Shah mengatakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal
mencakup (1) the assignment of services responsibilities (penetapan
tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan), (2) assignment of local
government revenue raising authority (penetapan kewenangan pemerintah
daerah untuk meningkatkan pendapatan), dan (3) design of
intergovernmental transfer system (desain sistem transfer antar susunan
pemerintahan).161
Penetapan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan dibutuhkan
agar tidak terjadi hasil yang tidak efektif ketika ada satu susunan
pemerintahan atau lebih menyediakan pelayanan yang sama atau ketika
satu susunan pemerintahan gagal menyediakan pelayanan dengan harapan,
akan disediakan oleh susunan pemerintahan lainnya.162
Sementara itu, kewenangan untuk meningkatkan pendapatan daerah
untuk membiayai belanja daerah, biasanya diperoleh dengan dua cara, yaitu
pendapatan yang diperoleh oleh daerah sendiri (pendapatan asli- pen) dan
transfer dana dari pemerintahan tingkat yang lain (pinjaman daerah juga
159 Bagir manan, Menyongsong..., op.cit., hlm. 35-36 160 Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Penerbit Bina Aksara, 1984, hlm. 178 161 Anwar Shah, “The Reform of Intergovenmental Fiscal Relation in Developing and Emerging Market Economy”, World Bank Policy and Research Series No.23, The World Bank, Washington DC, 1994, sebagimana dikutip dalam Larry Schroeder, “Fiscal Decentralization in South East Asia”, Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management, Vol. 15 No. 3, PrAcademic Press, 2003, hlm. 388. 162 Ibid.
49
merupakan sumber pendapatan daerah lainnya yang harus dibayar
kemudian dengan pendapatan asli atau transfer dana).163 Masalah yang
umumnya dihadapi adalah kewenangan daerah yang sangat terbatas untuk
dapat meningkatkan pendapatan asli (own revenue), misalnya melalui pajak
daerah atau retribusi.164 Bahkan dengan kewenangan atas jenis-jenis pajak
terbatas, daerah hanya memiliki otonomi dalam menentukan tarif pajak dan
batas yang telah ditentukan (to rate setting within the limit).165 Dalam hal ini,
adanya intergovernental fiscal transfer menjadi mekanisme yang diharapkan
dapat menciptakan horizontal equity (kesamaan horizontal) antara susunan
pemerintahan daerah.166 Hal tersebut (bersama keterbatasan pendapatan
asli daerah), harus menjadi bagian dari desain transfer dana antara tingkatan
pemerintahan.
Desentralisasi fiskal bagaimana pun kebijakannya harus dikaitkan
dengan upaya membangun kemandirian daerah untuk membiayai urusan
pemerintahannya baik dalam hal pendapatan daerah (termasuk alternatif
lainnya) maupun kewenangan untuk membelanjakan pendapatan tersebut.
Dalam hal ini, Shah menegaskan komponen desentralisasi fiskal yang
menjadi ukuran keberhasilan desentralisasi fiskal, yaitu (a) revenue
autonomy and adequacy (otonomi dan kecukupan pendapatan); (b)
expenditure autonomy (otonomi dalam pengeluaran/ belanja) dan; (c)
borrowing privileges (keleluasaan untuk melakukan pinjaman).167 Hal yang
hampir sama juga diungkapkan oleh Era Dabla-Norris mengenai the
measure of autonomy168 (ukuran otonomi) dalam desentralisasi fiskal, yang
mencakup revenue autonomy, expenditure autonomy, transfer dan
163 Ibid. 164 Anwar Shah, “Fiscal Decentralization in Developing and Transition Economies: Progress, Problems, and the Promise” World Bank Policy Research Working Paper 3282, World Bank, Washington, DC USA, April 2004, hlm. 18. 165 Ibid., hlm. 18 – 19. 166 Larry Schroeder, op.cit., hlm. 389. 167 Anwar Shah, Theresa Thompson, “Implementing Decentralized Local Governance: A Treacherous Road with Potholes, Detours and Road Closures”, World Bank Policy Research Working Paper 3353, The World Bank, Washington DC, USA, June 2004, hlm. 8. 168 Era Dabla-Norris, “ The Challenge of Fiscal Decentralisation in Transition Countries”, Comparative Economic Studies, Vol.48, 2006, hlm. 107.
50
subnational borrowing.169 Dalam pendapat Shah, transfer (intergovernmental
fiscal transfer), juga termasuk dalam komponen otonomi dan kecukupan
pendapatan, sementara Norris menekankan transfer dana tersebut
merupakan komponen tersendiri, karena revenue autonomy ditekankan pada
pada pendapatan asli daerah. Ukuran-ukuran tersebut merupakan prinsip
desentralisasi fiskal, karena hal tersebut merupakan kunci keberhasilan dari
desentralisasi fiskal.
Prinsip otonomi dalam pendapatan artinya sejauh mana daerah
memiliki sumber-sumber pendapatan yang merupakan pendapatan asli
daerah. Dalam literatur, otonomi pendapatan secara dominan diukur dari
kewenangan daerah memungut pajak.170 Artinya, ukuran suatu daerah
memiliki otonomi dalam pendapatan adalah seberapa besar kewenangan
untuk memungut pajak daerah atau pungutan lain, termasuk dalam
menentukan tarifnya. Seperti dikatakan oleh Norris bahwa:
On the revenue side, this requires that subnational governments have the authority to own-finance locally provided services at the margin. More complete revenue autonomy requires a minimum of authority to set tax rates and an assignment of at least one significant tax source.171
Sementara itu, prinsip otonomi dalam pengeluaran artinya daerah
memiliki keleluasaan untuk membelanjakan, termasuk menentukan prioritas-
prioritas belanja daerah atas pendapatan daerah yang dimiliki. Dalam hal ini,
prinsip otonomi pengeluaran berkaitan dengan alokasi penerimaan daerah
dalam anggaran belanja daerah. Seperti dikatakan oleh Norris bahwa: ”this
requires subnational budget flexibility to decide – within limits – expenditure
priorities and the choice of both the output mix and techniques of
production”.172
169 Ibid., hlm. 117 – 123. 170 Lihat, Norris, Loc.cit., hlm. 107.; Bagir Manan, Hubungan Antara…,op.cit., hlm. 204.; Bahl dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), Decentralization: Policies in Asian Development, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009, hlm. 3.; Jaime Bonet, “Fiscal decentralization and regional income disparities: evidence from the Colombian experience”, Springer-Verlag Published online: 12 April 2006, hlm. 663. 171 Norris, loc.cit. 172 Ibid.
51
Prinsip transfer dana antar tingkatan pemerintahan (khususnya dari
pusat ke daerah), tercermin dalam dalam dua dimensi.173 Pertama, dimensi
vertical fiscal balance (keseimbangan fiskal secara veritikal/ pusat-daerah), di
mana transfer tersebut untuk mengurangi ketidakseimbangan keuangan
antara pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance). Kedua, dimensi
horrizontal fiscal balance (keseimbangan fiskal horizontal/antar daerah), di
mana transfer tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah
ketidakseimbangan keuangan antar daerah. Kedua-duanya harus
diperhitungankan dalam desain kebijakan transfer dana dari pusat ke
daerah.174
Pemberian sejumlah dana pusat kepada daerah melalui mekanisme
transfer dana, juga disebabkan logika bahwa mahalnya pelayanan (publik)
yang disediakan oleh pemerintahan daerah adalah untuk memenuhi tujuan
(otonomi – pen) yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, bukan hanya
untuk kepentingan daerah, namun juga kepentingan nasional yang lebih
baik.175
Sebagai agen, mau tidak mau (namun sering kali mau) untuk
memenuhi kepentingan nasional, pemerintahan daerah tidak akan dapat
mengharapkan (pendapatan) dari sumber dayanya sendiri.176 Sumber-
sumber pendapatan sendiri (asli) sangat terbatas, karena bergantung pada
pusat.177
Terkait dengan hal di atas, Bagir Manan mengatakan bahwa sesuai
dengan pembawaannya (karakteristiknya), urusan keuangan di mana pun
senantiasa dikategorikan sebagian urusan pusat.178 Daerah hanya boleh
mengatur dan mengurus sepanjang ada penyerahan dari pusat yang diatur
173 Roy Bahl, “Promise and Reality of Fiscal Decentralization”, dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), Decentralization: Policies in Asian Development, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009, hlm. 10. 174 Ibid., hlm. 11. 175 Alan Norton, International Hand Book of Local and Regional Government A Comparatve Analysis of Advanced Democracies, Edward Elgar Limited – Edaward Elgar Publishing Company, England, USA, 1993, hlm. 80. 176 Ibid. 177 Bagir Manan, Hubungan Antara….,op.cit., hlm. 205. 178 Ibid.
52
dalam peraturan perundang-undangan.179 Adanya transfer dana atau
bantuan dari pusat, bermaksud untuk menutupi kemampuan keuangan
daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan.
Prinsip keleluasaan untuk melakukan pinjaman berkaitan dengan hard
budget constraint (pembatasan anggaran secara ketat) di mana
pemerintahan daerah harus menyeimbangkan anggarannya tanpa bantuan
dari pusat pada akhir tahun anggaran.180 Artinya, jika pendapatan daerah
(termasuk transfer/bantuan keuangan dari pusat) yang dialokasikan untuk
pengeluaran/ belanja daerah tidak mencakupi, pemerintahan daerah harus
mendapatkan sumber penerimaan lainnya untuk menutupi kekurangan
anggaran (defisit), tanpa bantuan pemerintah pusat, terutama dengan
melakukan pinjaman.
Prinsip-prinsip tersebut akan terlihat dalam pengaturan sumber-
sumber penerimaan pemerintahan daerah untuk memenuhi belanja daerah.
5. Sumber-Sumber Penerimaan/ Pendapatan Daerah Secara umum, sumber penerimaan/ pendapatan daerah (revenue
sources of local governments) secara umum terdiri dari pendapatan asli
daerah (local own revenue), transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah
(intergovernmental fiscal transfers) dan pinjaman daerah (local borrowing).181
a. Pendapatan Asli Daerah Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa pendapatan asli
daerah selalu dihubungkan dengan kewenangan daerah untuk memungut
pajak (daerah) atau pungutan lainnya seperti retribusi, padahal pendapatan
asli daerah juga dapat berasal dari sumber lain, seperti hasil pengelolaan
perusahaan daerah, namun dengan hasil yang relatif kecil.182
179 Ibid. 180 Roy Bahl, dalam dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), op.cit., hlm. 15. 181 Motohiro Sato, “Summary Report of Seminar B: Local Public Finance, Asian Development Conference 2003: Development and Decentralization in Asia”, dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), Decentralization: Policies in Asian Development, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009, hlm. 396. 182 Lihat Bagir Manan, Hubungan Antara…, op.cit., hlm. 208.
53
Persoalan kewenangan pemungutan pajak, terkait dengan
pembagian kewenangan di sektor pajak antara pemerintah pusat dengan
pemerintahan daerah. Dalam hal ini, Anwar Shah mengintroduksi 4 prinsip
yang harus diperhatikan dalam pembagian kewenangan pemungutan pajak
di semua tingkatan pemerintahan.183
Pertama, pajak dengan objek bergerak dan barang-barang dagang
yang memiliki tingkat efisiensi yang tinggi terhadap pasar domestik harus
menjadi kewenangan pemerintah pusat.184 Kedua, pajak-pajak yang karena
pertimbangan keseragaman secara nasonal dilakukan dengan sistem
redistribusi progresif (pajak progresif), harus menjadi kewenangan
pemerintah pusat.185 Ketiga, pajak harus dipungut pada wilayah yang yang
dapat dilakukan pemantauan dan penilaian yang relevan.186 Hal ini untuk
meminimalisasi biaya administrasi pemungutan, misalnya pajak property
(tanah dan bangunan) lebih baik menjadi kewenangan daerah untuk
meningkatkan nilai jual objek tersebut di pasaran.187 Keempat, untuk
memastikan adanya akuntabilitas, penerimaan dari pajak harus disesuaikan
dengan kebutuhan pengeluaran belanja (daerah).188
Dalam praktek, pengaturan pajak daerah dan pungutan daerah
lainnya sangat beragam. Pemerintahan daerah di negara-negara maju lebih
banyak memberikan kewenangan kepada daerah untuk memungut pajak.189
Sementara itu, di negara – negara berkembang dan negara-negara dalam
fase transisi, pemerintah pusat lebih sedikit menyerahkan kewenangan untuk
memungut pajak kepada daerah.190 Hal tersebut menyebabkan perbedaan
pendapatan daerah dari sektor pajak daerah.191
183 Anwar Shah, “Fiscal Decentralization…,loc.cit., hlm.17. 184 Ibid. 185 Ibid. 186 Ibid. 187 Ibid. 188 Ibid., hlm.17-18. 189 Roy Bahl, “Promise and…..”, op.cit., hlm. 9. 190 Ibid., hlm.10. 191 Bahl mengatakan bahwa kontribusi pajak lokal terhadap total pendapatan sektor pajak secara nasional di negara-negara berkembang dan negara-negara dalam transisi hanya mencapai 10%, sementara di negara-negaa maju mencapai 20%. Ibid.
54
Di Asia, misalnya, Bahl mengatakan bahwa rendahnya pendapatan
daerah dari pajak daerah disebabkan pemerintah pusat tidak rela
melepaskan kewenangan terhadap pajak-pajak yang produktif.192 Di negara-
negara berkembang dan negara dalam masa transisi, pemerintah pusat
memiliki kewenangan pada jenis-jenis pajak tidak langsung, sementara
pemerintahan daerah hanya memiliki sedikit kewenangan terhadap pajak-
pajak yang secara langsung bersumber pada potensi lokal.193 Dalam hal ini,
walaupun kewenangan untuk menggunakan pendapatan dana diberikan
kepada daerah, namun tanpa kewenangan daerah cukup dalam memungut
pajak, menyebabkan daerah tidak dapat membiayai pengeluaran dengan
pendapatan sendiri.194 Hal tersebut menyebabkan pemerintahan daerah
sangat bergantung pada transfer dana dari pusat.195
b. Transfer Dana dari Pusat ke Daerah (Intergovernmental Fiscal
Transfers) Adanya kecenderungan ketergantungan daerah pada transfer dana
dari pemerintah pusat di negara-negara berkembang menimbulkan
pertanyaan apakah pemerintahan daerah masih memiliki otonomi dalam
kebijakan desentralisasi fiskal? Namun demikian, pola transfer dana dari
pusat ke daerah juga dialami di negara-negara maju. Seperti dikatakan oleh
Anwar Shah, pengalaman negara-negara maju menunjukkan bahwa
keberhasilan desentralisasi fiskal tidak bisa tercapai tanpa adanya sebuah
program transfer dana yang didesain dengan baik (well – designed fiscal
transfer program).196 Artinya, baik di negara-negara maju maupun negara-
negara berkembang, sistem transfer atau bantuan keuangan antar tingkatan
192 Dalam hal ini Bahl member pengecualian terhadap Filipina di mana konstribusi sektor pajak daerahnya mencapai 1/3 dari total pendapatan sektor pajak secara nasional. Ibid. 193 Anwar Shah, “Fiscal Decentralization…., loc.cit., hlm. 18. 194 K. Brueckner, “Partial Fiscal Decentralization”, Cesifo Working Paper No. 2137, Category 1: Public Finance, November 2007. Diunduh dari http://www.ssrn.com/abstract=1029581, hlm. 1 195 Ibid. 196 Jaime Bonet, “Fiscal decentralization and regional income disparities: evidence from the Colombian experience”, Springer-Verlag Published online: 12 April 2006, hlm.663.
55
pemerintahan (khususnya dari pusat ke daerah), menjadi salah mekanisme
yang mendukung keberhasilan desentralisasi.
Dari paparan di atas, tercermin bahwa transfer dana/ bantuan
keuangan dari pusat ke daerah akan selalu ada. Menurut Bagir Manan,
usaha-usaha untuk menghapuskan bantuan keuangan bukan cara terbaik
untuk memecahkan masalah keuangan daerah.197 Bagir Manan sendiri lebih
menyetujui agar pemecahan masalah keuangan daerah hendaknya ditujukan
pada upaya agar bantuan –bantuan pusat tidak akan begitu banyak
mengurangi kemandirian daerah untuk mengatur dan mengurus urusan
rumah tangga daerahnya sendiri.198
Adanya bantuan dana (subsidi) dari pusat ke daerah merupakan
bagian dari mekanisme perimbangan keuangan antara pusat daerah yang
merupakan inti dari hubungan keuangan pusat – daerah.199 Seperti dikatakan
oleh Bagir Manan, bahwa:
”perimbangan keuangan tidak sekedar diartikan memperbesar sumber
lumbung keuangan daerah, namun tidak kalah penting mengatur sistem
keuangan daerah seperti subsidi yang tetap menjamin kemandirian,
keleluasaan dan kekuasaan daerah mengatur dan mengurus rumah
tangganya.”200
Dilihat dari derajat otonomi peruntukan dan pemanfaatannya, Bagir
Manan yang mengatakan bahwa bantuan keuangan dari pusat ke daerah,
dapat digolongkan ke dalam tiga kategori utama, yaitu bantuan bebas,
bantuan:201
1. Bantuan bebas
Bantuan yang hanya ditentukan jumlahnya. Peruntukan dan tata cara
penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing daerah.
197 Bagir Manan, Hubungn Antara…, op.cit., hlm. 210. 198 Ibid. 199 Ibid. 200 Ibid., hlm. 42. 201 Ibid.
56
Daerah mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri peruntukan dan
tata cara penggunaannya.
2. Bantuan dengan pembatasan tertentu.
Bantuan yang ditentukan peruntukannya secara umum.
Peruntukannya secara khusus dan cara-cara pemanfaatannya diserahkan
sepenuhnya kepada daerah. Bantuan jenis kedua ini lebih mengikat atau
lebih membatasi kemandirian daerah dibandingkan dengan yang pertama.
3. Bantuan terikat
Bantuan yang ditentukan secara rinci peruntukan dan tata cara
pemanfaatannya. Daerah tidak ada kesempatan untuk menentukan sendiri
peruntukan maupun tata cara pemanfaatannya. Bantuan ini sangat mengikat
daerah. Sementara itu, Roy Bahl mengatakan, jenis transfer dana yang
diberikan, terdiri dari transfer dana yang sifatnya unconditional (tidak
bersyarat), conditional (bersyarat), dan Ad-hoc (tidak tetap).202 Pendapat
Bahl tersebut hampir sama dengan pendapat Bagir Manan. Perbedaannya,
Bagir Manan tidak memasukkan jenis transfer dana (bantuan keuangan)
yang sifatnya Ad-hoc, sementara Bahl tidak membagi varian lain dari
conditional transfer, sebagaimana dilakukan oleh Bagir Manan yang
membaginya menjadi dua kategori, yaitu bantuan dengan pembatasan
tertentu dan bantuan terikat. Namun demikian, kedua pendapat tersebut
saling melengkapi. Dengan demikian, terdapat 4 jenis tranfer dana (bantuan
keuangan) dari pusat ke daerah, yaitu bantuan bebas (unconditional grants),
bantuan dengan pembatasan tertentu, bantuan terikat, dan bantuan yang
sifatnya Ad-Hoc.
Manurut Bahl, unconditional grants (bantuan bebas) dianggap “more
consistent with local autonomy goals of decentralization” (lebih konsisten
dengan tujuan otonomi daerah dalam kerangka desentralisasi).203 Jika
bantuan tersebut berdasarkan pembagian pajak pusat, maka pemerintah
pusat memberikan akses kepada pemerintahan daerah dengan dasar
202Roy Bahl, op.cit., hlm. 11 203 Ibid.
57
perhitungan pajak yang elastis (elastic tax base) yang relative memberikan
kepastian jumlah yang akan diterima.204 Sementara itu, conditional grant
adalah bantuan yang membolehkan pemerintah pusat untuk mengawasi
penggunaan dana tersebut dengan asumi agar daerah menjalankan fungsi
yang memiliki eksternalitas positif dan/ atau distribusi keuntungan.205
Distribusi conditional grant, menurut Bahl dilakukan dengan beberapa cara,
namun yang paling umum digunakan adalah sistem pembayaran yang
didasarkan pada beberapa standar pengeluaran.206 Biasanya pola
conditional grant berhasil mencapai target yang diinginkan. Namun
persoalannya, conditional grant diterapkan dengan pola yang seragam di
seluruh daerah dan tidak memberikan pertimbangan yang cukup terhadap
kondisi daerah.207 Hal tersebut menyebabkan pola pengeluaran (keuangan)
pemerintahan daerah menyimpang dari kecenderungan lokal.208
Sementara itu, transfer dana/ bantuan keuangan yang sifatnya Ad-
Hoc didasarkan pada pertimbangan politis. Hal tersebut menyebabkan pola
bantuan tersebut tidak transparan dan jauh dari ukuran-ukuran objektif.
Bahkan Cina dan Thailand, yang mengalokasikan sebagian bantuan dalam
bentuk ad-hoc, menghadapi persoalan ketidakpastian anggaran di tingkat
daerah.209
c. Pinjaman Daerah
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pinjaman daerah
sangat berkatan dengan penerapan hard budget constraint (pembatasan
anggaran secara ketat) di mana tidak ada bantuan dari pusat pada saat
204 Ibid. 205 Ibid., hlm. 14. 206 Ibid 207 Ibid. 208 Ibid. 209 Ibid.
58
terjadi akhir tahun anggaran. Menurut Davey (1983) ada beberapa alasan
pemerintah daerah melakukan pinjaman dana seperti:210
a. untuk menutup defisit keuangan jangka pendek;
b. untuk membiayai kekurangan belanja rutin dan penghasilan retribusi
dalam anggaran tahunan (annual budget);
c. membiayai pembelian perlengkapan dan mesin-mesin;
d. membiayai investasi yang akan menghasilkan pendapatan;
e. membiayai pembentukan modal jangka panjang (long term capital
development).
Menurut J. Glasson, tujuan utama pemanfaatan dana pinjaman
daerah adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan melakukan
pembangunan yang menerus (sustainable development).211 Hal tersebut
sangat wajar karena dengan penerapan hard budget constraint terbatasnya
kemampuan keuangan daerah, maka terselenggaranya progam-program
daerah tidak hanya bergantung pada pendapatan daerah dan bantuan dari
pusat, namun sangat bergantung pada pinjaman daerah. Oleh karena itu,
seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa keleluasaan bagi daerah untuk
melakukan pinjaman merupakan salah prinsip dari desentralisasi fiskal.
Pengaturan mengenai pinjaman daerah di setiap menunjukkan pola
yang berbeda-beda. Menurut Shah, di negara-negara berkembang di mana
pasar (keuangan) belum terbangun dengan baik untuk kredit jangka panjang
dan kemampuan daerah untuk membayar pinjaman, menyebabkan akses
daerah untuk melakukan pinjaman sangat terbatas.212 Hal tersebut
menyebabkan pengaturan pinjaman daerah lebih menekankan pada
pengawasan pemerintah pusat, sementara bantuan pusat untuk mendorong
daerah melakukan pinjaman sangat jarang menjadi perhatian. Biasanya yang
menjadi ukuran pola pengawasan pusat dalam hal pinjaman daerah adalah 210 Lihat Bachrul Elmi dan Syahrir Ika, “Hutang Sebagai Salah Satu Sumber Pembiayaan Pembangunan Daerah Otonom”, Jurnal Kajian Ekonomi Dan Keuangan, Vol. 6 No. 1, Maret, 2002, hlm. 64. 211 Ibid., hlm. 62. 212 Anwar Shah, “Fiscal Decentralization…., op.cit., hlm. 29
59
apakah daerah berwenang melakukan pinjaman? Jika dibolehkan, apakah
daerah dapat melakukan pinjaman ke luar negeri?
6. Hakikat Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Daerah
a. Pengertian dan Tujuan Pengawasan Istilah “pengawasan” sering dipadankan (equivalent) dengan istilah
“toezicht” (Belanda), “supervision” (Inggris), dan “control” (Belanda dan
Inggris). Pengawasan atau kontrol dapat dilakukan sebelum, sepanjang, dan
sesudah suatu kegiatan dilaksanakan. James H. Donnelly, James L.
Gobson, dan John M. Ivancevich dalam Fundamentals of Management
(1981) menyebut hal itu Preliminary control, concurrent control dan feedback
control. James A. F. Stoner dan Charles Wankel dalam Management (1986)
menyebut ketiga macam kontrol itu Pre-action cotrol, steering control dan
post-action control.213
Pengawasan (toezicht, supervision) merupakan unsur yang tidak
dapat dipisahkan dari kebebasan berotonomi. Antara kebebasan dan
kemandirian berotonomi di satu pihak dan pengawasan di pihak lain,
merupakan dua sisi dari satu mata uang dalam negara kesatuan dengan
sistem otonomi (desentralisasi). Kebebasan dan kemandirian berotonomi
dapat dipandang sebagai pengawasan atau kendali terhadap kecenderungan
sentralisasi yang berlebihan. Sebaliknya pengawasan (toezicht) merupakan
kendali terhadap desentralisasi berlebihan. Tidak ada otonomi tanpa sistem
pengawasan.214
Namun demikian, perlu diketahui, pengertian pengawasan (toezicht,
supervision) adalah suatu bentuk hubungan dengan legal entity yang
mandiri, bukan hubungan internal dari entitas yang sama. Bentuk dan isi
pengawasan dilakukan semata-mata menurut atau berdasarkan ketentuan
213 Taliziduhu Ndraha, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Jilid I, Rineka Cipta, Jakarta 2003, hlm. 197. 214 Bagir Manan, Menyongsong ..., op.cit. hlm.153.
60
undang-undang. Pengawasan tidak berlaku atau tidak diterapkan terhadap
hal yang tidak ditentukan atau berdasarkan undang-undang.215
Dengan demikian, dalam kaitan dengan Undang-Undang tentang
pemerintahan daerah khususnya desentralisasi istilah pengawasan lebih
tepat dipadankan dengan “toezicht” atau “supervision” dan tidak dengan
“control”. Istilah control selain mengandung arti pengawasan, juga
mengandung arti pengendalian, mengarahkan, mengurus atau mengatur.
Pengawasan (toezicht) pada desentralisasi, secara asasi tidak mengandung
makna ikut mengarahkan, apalagi ikut mengurus atau ikut mengatur.
Pengawasan pada desentralisasi dibatasi untuk “menguji” apakah suatu
keputusan suatu satuan pemerintahan otonom (yang lebih rendah)
bertentangan atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau kepentingan umum. Memang perlu disadari
bahwa dalam perkembangan, pengawasan dalam arti toezicht atau
supervision, mengalami perkembangan seperti adanya “petunjuk”,
“pedoman”, “bimbingan”, “penentuan syarat-syarat yang harus diikuti”.
Perkembangan ini menyebabkan pengawasan tidak lagi sekedar “checking”
atau dalam rangka “menjaga keseimbangan”. Pengawasan dalam kualitas
tertentu menjadi semacam “mencampuri” wewenang daerah untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri. Apabila hal semacam ini jika
dibiarkan berjalan tanpa batas, akan besar pengaruhnya pada sifat
“kemandirian” (zelf standigheid) daerah otonom.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pengertian umum dari
beberapa aspek pengawasan kiranya dapat dirumuskan sebagai berikut :
1) Pengawasan sebagai sarana (instrumen) pemeritahan yang lebih atas
tingkatannya untuk memaksakan kehendaknya pada pemerintahan yang
lebih rendah tingkatannya.
2) Pengawasan menunjukkan adanya pengarahan atau pengendalian
(aturan) terhadap tindakan pemerintahan yang lebih rendah tingkatannya
dari pemerintahan yang lebih atas tingkatannya.
215 Taliziduhu Ndraha, Kybernology ..., op.cit., hlm. 197.
61
3) Pengawasan berbeda dengan sarana pengendalian lainnya.
Pengawasan hanya terbatas pada segi pemerintahan yang dilakukan
oleh satuan pemerintahan yang diawasi.
4) Pengawasan menunjukkan bahwa pelaksanaan tugas dan wewenang
satuan pemerintahan yang diawasi tidak boleh bertentangan dengan
hukum dan kepentingan umum.
Mengenai kepentingan umum, Black Law Dictionary, mendefinisikan
Public Interest, yaitu:
a. The general welfare of public that warrants recognation and protection;
b. Something in which the public as a whole has a stake espesially an
interest that justifies governmental regulation216.(Terj. bebas dari
pengertian di atas adalah bahwa kepentingan umum merupakan
kepentingan bagi kesejahteraan umum yang menjamin perlindungan dan
merupakan sesuatu di mana publik secara keseluruhan mempunyai
suatu pancang/landasan terutama suatu yang membenarkan peraturan
yang dibentuk oleh pemerintah).
Adapun menurut Bagir Manan, terdapat beberapa ukuran yang dapat
dipergunakan untuk menentukan kepentingan umum, yakni: Pertama;
dibutuhkan orang banyak. Kedua; setiap orang dapat menikmati dan
memperoleh manfaat, tanpa ada pembatasan karena kondisi invidual
seseorang. Ketiga; harus dalam rangka kesejahteraan umum, baik dalam arti
materiil maupun spiritual217.
b. Penggolongan Pengawasan Pengawasan dapat dibedakan ke dalam berbagai macam, misalnya
pengawasan menurut sifat/bentuk dan tujuannya, pengawasan menurut
216 Bryan A. Garner, Black Law Dictionary, 1999, hlm.1244. 217 Bagir Manan, Menyongsong Fajar….,Op.Cit., hlm.141.
62
ruang lingkupnya dan pengawasan menurut metodenya. Berikut ini
diidentifikasikan berbagai macam pengertian pengawasan tersebut.218
1) Pengawasan Menurut Sifat/Bentuk dan Tujuannya Secara konsepsional, pengawasan menurut sifat/bentuk dan
tujuannya dapat dikelompokan menjadi 2 (dua), yaitu: (1) pengawasan
preventif dan; (2) pengawasan represif atau pengawasan detektif.
a) Pengawasan Preventif Secara umum pengertian pengawasan preventif pada dasarnya
dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam
pelaksanaan kegiatan. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan
daerah, maka pengawasan preventif bertujuan untuk mencegah
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan pemerintahan
daerah. Relevan dengan pembentukan produk hukum di daerah dan
tindakan tertentu organ pemerintahan daerah, menurut Bagir Manan,
pengawasan preventif ini berkaitan dengan wewenang mengesahkan
(goedkeuring).219 Pengawasan preventif ini memiliki tujuan yang menurut
Revrisond Baswir diidentifikasikan sebagai berikut:
a) mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang menyimpang dari dasar
yang telah ditentukan.
b) memberi pedoman bagi terselenggaranya pelaksanaan kegiatan secara
efesien dan efektif;
c) menentukan sasaran dan tujuan yang akan dicapai; dan
d) menentukan kewenangan dan tanggung jawab sebagai instansi
sehubungan dengan tugas yang harus dilaksanakan.
b) Pengawasan Represif atau Pengawasan Detektif Sebagian ahli mempergunakan istilah pengawasan ini dengan istilah
pengawasan represif, sebagian lainnya mempergunakannya dengan istilah
218 Lihat Elektison Somi, Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia (Disertasi), Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2006, hlm. 91-95. 219 Bagir Manan, Menyongsong Fajar .…Op.Cit, hlm. 154
63
pengawasan detektif. Namun demikian, kedua istilah ini pada prinsipnya
dilaksanakan setelah dilakukannya tindakan yaitu dengan membandingkan
antara hal yang telah terjadi dengan hal yang seharusnya terjadi. Berkaitan
dengan pembentukan produk hukum daerah dan tindakan tertentu organ
pemerintah daerah, pengawasan ini menurut Bagir Manan berkaitan dengan
wewenang pembatalan (Verneitiging) atau penangguhan (schorsing).220
Berkaitan dengan berbagai macam bentuk pengawasan, Paulus Effendie Lotulung mengatakan bahwa salah satu permasalahan pokok
dalam studi tentang dasar-dasar hukum Administrasi adalah pelajaran
tentang adanya atau dikenalnya berbagai macam kontrol atau pengawasan
yang dapat dilakukan terhadap Pemerintah. Sebab di dalam melaksanakan
tugasnya atau “mission”nya untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum
dan pelayanan kepentingan umum atau lazim disebut “public service”, maka
terhadap Pemerintah selaku organ administarasi Negara dapat dikenakan
bermacam-macam bentuk kontrol atau pengawasan. Tujuan pokok dari
kontrol ini adalah untuk menghindari terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik
yang disengaja maupun tidak disengaja, sebagai suatu usaha preventif, atau
juga untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu, sebagai
suatu usaha represif. Dalam praktek, adanya kontrol itu sering dilihat sebagai
sarana unutuk mencegah timbulnya segala bentuk penyimpangan tugas
pemerintahan dari apa yang telah digariskan. Memang di sinilah letak inti
atau hakekat dari suatu pengawasan.221
Apabila dibandingkan berbagai macam bentuk kontrol yang ada,
maka dapat dibedakannya dari beberapa segi. Ditinjau dari segi kedudukan
dari badan/organ yang melaksanakan kontrol itu terhadap badan/organ yang
dikontrol, dapatlah dibedakan antara jenis kontrol yang disebut Kontrol Intern
dan Kontrol Ekstern. Suatu Kontrol Intern berarti bahwa pengawasan itu
dilakukan oleh suatu badan yang secara oraganisatoris/ struktural masih
termasuk dalam lingkungan Pemerintah sendiri, misalnya: pengawasan yang
220 Bagir Manan, op.Cit 221 Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 1986, hlm.xv.
64
dilakukan oleh pejabat atasan terhadap bawahannya secara hierarkis,
ataupun pengawasan yang dilakukan oleh tim/ panitia verifikasi yang
dibentuk secara insidentil dan biasanya terdiri dari beberapa orang ahli
dalam bidang-bidang tertentu. Bentuk kontrol-kontrol semacam itu dapat
digolongkan dalan jenis kontrol teknis-administratif atau lazim pula disebut
sebagai suatu bentuk “built-in control”. Sebaliknya, suatu Kontrol Ekstern
adalah pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang
secara organisatoris/struktural berada di luar Pemerintah dalam arti
eksekutif, misalnya: kontrol keuangan yang dilakukan oleh Badan Pengawas
Keuangan (BPK), kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat melalui
pers/masmedia, kontrol politis yang pada umumnya dilakukan oleh lembaga-
lembaga perwakilan rakyat dalam bentuk “hearing” ataupun hak bertanya
para anggotanya. Termasuk pula kontrol ekstern ini adalah kontrol yang
dilakukan secara tidak langsung melalui badan-badan peradilan (judicial
control) dalam hal timbul persengketaan atau perkara dengan pihak
Pemerintah.222
Ditinjau dari segi saat/waktu dilaksanakannya suatu kontrol atau
pengawasan, dapat pula dibedakan dalam 2 jenis kontrol, yaitu apa yang
disebut sebagai Kontrol a-priori ada yang disebut Kontrol a-posteriori.
Dikatakan sebagai Kontrol a-priori adalah bila pengawasan itu dilakukan
sebelum dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan Pemerintah
ataupun peraturan lainnya yang pengeluarannya memang menjadi
wewenang Pemerintah. Dalam hal ini tampak jelas unsur preventif dari
maksud kontrol itu, sebab tujuan utamanya adalah untuk mencegah atau
menghindari terjadinya kekeliruan. Misalnya: pengeluaran suatu yang untuk
berlaku sah dan dilaksanakan, harus terlebih dahulu memperoleh
persetujuan dan pengesahan dari instansi atasan, atau peraturan
pemerintah daerah-daerah tingkat II harus mendapat pengesahan terlebih
dahulu dari pemerintah daerah tingkat I, demikian seterusnya. Sedangkan
sebaliknya, Kontrol a-posteriori adalah jika pengawasan itu baru terjadi
222 Ibid, hlm. xvi
65
sesudah dikeluarkan keputusan/ketetapan Pemerintah atau sesudah
terjadinya tindakan/perbuatan Pemerintah. Dengan kata lain, arti
pengawasan di sini adalah dititikberatkan kepada tujuan yang bersifat
korektif dan memulihkan suatu tindakan yang keliru. Peranan badan
peradilan melalui suatu judicial control adalah selalu bersifat Kontrol a-
posteriori, karena selalu dilakukan sesudah terjadinya sustu perbuatan atau
tindakan.
Di samping kedua macam kriteria pembedaan tersebut di atas, dikenal
pula pembedaan yang ditinjau dari segi sifat kontrol itu terhadap objek yang
diawasi. Dengan kata lain, apakah kontrol itu hanya dimaksudkan untuk
menilai segi-segi atau pertimbangan yang bersifat hukum-nya (segi
legalitas), yaitu segi “rechtmatigheid” dari perbuatan Pemerintah ataukah
juga di samping segi “rechtmatigheid” ini dinilai pula benar-tidak benarnya
perbuatan itu ditinjau dari segi/pertimbangan kemanfaatannya (opportunitas),
yaitu segi “doelmatigheid”. Jadi dibedakanlah antara Kontrol segi hukum
(rechtmatigheidstoetsing) dan Kontrol segi kemanfaatan
(doelmatigheidstoetsing). Misalnya: Kontrol yang dilakukan oleh badan
peradilan (judicial control) pada prinsipnya hanya menitikberatkan pada segi
legalitas, yaitu Kontrol segi hukum, sedangkan suatu kontrol teknis
administratif intern dalam lingkungan Pemerintah sendiri (built-in control)
bersifat selain penilaian legalitas (rechtsmatigsheidtoetsing) juga dan bahkan
lebih menitikberatkan pada segi penilaian kemanfaatan.223
Di lapangan pemerintahan daerah, instrumen pengawasan, baik yang
bersifat preventif maupun yang bersifat represif seringkali digunakan.
2) Ruang Lingkup, Waktu Pelaksanaan, Wujud, dan Jangka Waktu Pelaksanaan Pengawasan
Preventif berasal dari kata preventie yang berarti pencegahan,
sedangkan represif dari kata repressie yang berarti penekanan atau
pengekangan. Antara keduanya terdapat perbedaan baik dalam ruang
223 Ibid, hlm. xvi-xvii
66
lingkup/lingkungan berlakunya, perwujudan maupun jangka waktu
pelaksanaanya.224
Perbedaan-perbedaan itu adalah sebagai berikut:225
a. Ruang lingkup berlakunya Pengawasan preventif hanya dilaksanakan terhadap beberapa
Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah tertentu saja yang
menyangkut kepentingaan-kepentingan besar atau yang mungkin
menimbulkan keresahan-keresahan, kegelisahan-kegelisahan dan
gangguan-gangguan dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan kepentingan
umum, apabila tidak ditetapkan dengan sebaik-baiknya oleh Pemerintah
Daerah. Pengawasan represif dijalankan terhadap semua Peraturan Daerah
dan keputusan Kepala Daerah tanpa kecuali. Jadi pengawasan ini
mempunyai ruang lingkup (scope) yang lebih luas dari pengawasan
preventif. Peraturan-peraturan dan Keputusan-keputusan Kepala Daerah
tertentu yang diawasi secara preventif adalah ketentuan-ketentuan yang
memberikan beban kepada rakyat, yang mengandung perintah, larangan,
keharusan, ancaman pidana, dan yang menyangkut kepentingan rakyat
banyak. Jika digambarkan dalam suatu bagan, ruang lingkup pengawasan
atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 1: RUANG LINGKUP PENGAWASAN
ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH
Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah (baik yang menyangkutan urusan otonomi maupun tugas pembantuan).
Dilakukan oleh aparat pengawas intern, baik Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Pemerintah Daerah itu sendiri. (Inspektorat)
Pengawasan terhadap produk-produk hukum yang ditetapkan oleh pemerintahan daerah ( pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah).
a. Melalui pranata pengujian (material dan formal) ke badan peradilan (MA);
b. Melalui pranata pembatalan (vernietiging) atau berupa penangguhan pemberlakuan
224 Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat Dan Daerah Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990. hlm. 149. 225 Ibid, hlm.149-153
67
(schorsing), oleh Pemerintah Pusat.226
c. Melalui proses/prosedur tertentu, misalnya dalam bentuk “evaluasi” terhadap Raperda dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD, Perubahan APBD dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD, untuk provinsi oleh Mendagri dan untuk kabupaten/kota oleh Gubernur; penetapan pedoman, kriteria, monitoring, dsb.
b. Mengenai waktu pelaksanaanya. Pengawasan preventif dilaksanakan sebelum Peraturan-peraturan dan
Keputusan-keputusan Kepala Daerah tersebut mulai berlaku; jadi sebelum
peraturan-peraturan/keputusan-keputusan tersebut dijalankan. Pengawasan
represif dilakukan sesudah Peraturan-peraturan Daerah dan Keputusan-
keputusan Kepala Daerah berlaku dan dijalankan.
c. Wujud dari masing-masing pengawasan. Pengawasan preventif berujud kewajiban atau keharusan untuk
memperoleh pengesahan lebih dahulu dari pihak pengawas yaitu Menteri
Dalam Negeri bagi Peraturan Daerah /Keputusan-keputusan Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I bagi
Peraturan-peraturan Daerah dan Keputusan-keputusan Kepala Daerah
Tingkat II, sebelum peratuan-peraturan itu mulai berlaku dan dijalankan. Jadi
pengawasan ini di satu pihak merupakan hak pengawasan dari pihak
pengawas dan di lain pihak merupakan kewajiban untuk meminta
226 UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 145 (3) dengan secara eksplisit menetapkan bahwa pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden, sementara dalam praktek pembatalan terhadap perda ditetapakn oleh Menteri Dalam Negeri (dalam bentuk Peraturan Menteri?).
68
pengesahan dari pihak yang diawasi. Apabila pihak pengawas beranggapan
bahwa peraturan-peraturan yang dimintakan pengesahan tersebut
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatnya atau
bertentangan dengan kepentingan umum, maka pengawas menolak untuk
memberikan pengesahan. Penolakan tersebut dengan disertai alasan-
alasannya disampaikan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
Dengan penolakan tersebut, maka peraturan yang dimintakan pengesahan
tersebut tidak dapat berlaku.
Keputusan-keputusan/peraturan-peraturan lain di luar hal-hal yang
tersebut di atas (di luar ketentuan-ketentuan yang memberikan beban
kepada rakyat, perintah, larangan, keharusan, ancaman pidana dan yang
menyangkut kepentingan rakyat banyak), dikenakan pengawasan represif.
Pengawasan represif berupa penundaan/penangguhan atau pembatalan
oleh pihak pengawas terhadap Peraturan-Peraturan Daerah/Keputusan-
keputusan Kepala Daerah yang telah berjalan tersebut. Penundaan atau
pembatalan dilakukan apabila peraturan-peraturan atau keputusan-
keputusan Daerah yang telah dijalankan itu bertentanagan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya atau dengan kepentingan
umum
Apabila sesuatu Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah
yang telah berlaku dengan tanpa pengesahan, diduga atau dianggap
mungkin bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatnya atau dengan kepentingan umum, maka instansi/pejabat
yang berwenang dalam pengawasan represif dapat menunda
keputusan/peraturan tersebut. Penundaan bermaksud untuk menahan buat
sementara waktu berjalannya Keputusan Kepala Daerah/Peraturan Daerah
yang telah berlaku selama masih dalam pertimbangan untuk dibatalkan. Jadi
penundaan adalah langkah awal dari pembatalan. Setelah Keputusan Kepala
Daerah/Peraturan Daerah itu ditunda/ditangguhkan berlakunya, maka pihak
pengawas akan mengadakan peninjauan atau penyelidikan lebih lanjut
apakah memang keputusan tersebut memang perlu dibatalkan ataukah tidak.
69
Keputusan untuk menunda harus disampaikan kepada Daerah beserta
alasan-alasannya.
d. Mengenai jangka waktu pelaksanaan Pengawasan preventif dijalankan dalam jangka waktu
terbatas/tertentu, misalnya 3 bulan. Jadi dalam waktu 3 bulan itu pejabat
yang berwenang untuk memberikan pengesahan harus memberikan
pengesahan yang dimintakan atau menolaknya. Bilamana sesudah jangka
waktu 3 bulan tersebut belum ada pengesahan atau penolakan , maka
menurut ketentuan, Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah itu
dapat diberlakukan. Kalau ditolak maka alasan-alasan penolakan itu
disampaikan kepada Daerah yang bersangkutan. Bilamana Daerah
berkeberatan atas penolakan tersebut, maka Daerah dapat mengajukan
keberatan. Pengawasan represif dilakukan untuk jangka waktu yang tidak
terbatas, yaitu selama sesuatu Peraturan Daerah/Keputusan Kepala Daerah
masih berlaku, sewaktu-waktu dapat ditangguhkan atau dibatalkan.
Pengawasan (toezicht, supervision) merupakan unsur yang tidak
dapat dipisahkan dari kebebasan berotonomi. Antara kebebasan dan
kemandirian berotonomi di satu pihak dan pengawasan di pihak lain,
merupakan dua sisi dari satu mata uang dalam negara kesatuan dengan
sistem otonomi (desentralisasi). Kebebasan dan kemandirian berotonomi
dapat dipandang sebagai pengawasan atau kendali terhadap kecenderungan
sentralisasi yang berlebihan. Sebaliknya pengawasan (toezicht) merupakan
kendali terhadap desentralisasi berlebihan. Tidak ada otonomi tanpa sistem
pengawasan.227
Namun demikian, pengertian pengawasan (toezicht, supervision)
adalah suatu bentuk hubungan dengan sebuah legal entity yang mandiri,
bukan hubungan internal dari entitas yang sama. Bentuk dan isi pengawasan
dilakukan semata-mata menurut atau berdasarkan ketentuan undang-
undang. Hubungan pengawasan hanya dilakukan terhadap hal yang secara
227 Bagir Manan, Menyongsong Fajar...., Op.Cit., hlm.153.
70
tegas ditentukan dalam undang-undang. Pengawasan tidak berlaku atau
tidak diterapkan terhadap hal yang tidak ditentukan atau berdasarkan
undang-undang.228
Ada dua jenis pengawasan baku terhadap satuan pemerintahan
otonom yaitu pengawasan preventif (preventief toezicht) dan pengawasan
represif (repressief toezicht). Pengawasan ini berkaitan dengan produk
hukum daerah dan tindakan tertentu organ pemerintahan daerah.
Pengawasan preventif dikatkan dengan wewenang mengesahkan
(goedkeuring), Pengawasan represif adalah wewenang pembatalan
(vernietiging) atau penangguhan(schorsing).229
c. Objek-Objek Pengawasan Untuk mengetahui objek-objek pengawasan dalam konteks hubungan
pusat dan daerah, dapat didekati melalui perbandingan pengawasan yang
berlaku di Inggris, Perancis, dan Belanda.
Tabel 2: Perbandingan Pengawasan Pusat Terhadap Daerah di Inggris, Perancis
dan Belanda230
NO KATEGORI INGGRIS PERANCIS BELANDA 1 2 3 4 5
a. Pengawasan Legislatif
a. Pengawasan Administratif
a. Pengawasan Preventif
b. Pengawasan Administratif
1.
Jenis/Bentuk Pengawasan
c. Pengawasan Yudisial
b. Pengawasan Yudisial
b. Pengawasan Represif
228 Loc.Cit. 229 Ibid., hlm. 154 230 Sumber : Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, hlm.43-114, dibuat Tabel oleh Agus Kusnadi, Bentuk dan Ruang Lingkup Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Mewujudkan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Yang Demokratis Menurut UUD 1945, Desertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009.
71
a. Parlemen a. Prefect dan Counseil d’Etat
a. Kroon (Mahkota), dan Gedeputeerde Staten
b. Pemerintah Pusat
2.
Subjek Pengawasan
c. Pengadilan
b. Counseil d’Etat, Tribuneux Administratif, Cour des Comptes (Court of Accounts)
b. Kroon (Mahkota), Pembentuk Undang- Undang, Commissaris van de Koning, Gedeputeerde Staten
a. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan undang-undang Parlemen
a. Peraturan/ Kebijakan Commune, Peraturan/ Kebijakan Ekonomi Pemerintah Daerah
a. Keputusan- Keputusan yang harus mendapat pengesahan pemerintahan tingkat atasnya
b. Peraturan, Keputusan dan Kebijakan Daerah
3.
Objek Pengawasan
c. Peraturan dan Keputusan Daerah
b. Keputusan atau tindakan administrasi negara
b. Keputusan yang mempunyai akibat hukum, baik di bidang otonomi maupun tugas perbantuan.
Dari bagan yang ditunjukkan di atas dapat ditarik suatu kelaziman
bahwa objek pengawasan pemerintah pusat terhadap satuan pemerintahan
di bawahnya (atau pengawasan pusat terhadap daerah) adalah terhadap: a)
Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai pelaksanaan undang-
undang nasional; b) Peraturan daerah (bersifat regeling); c) Tindakan
administrasi negara pada pemerintahan daerah (bersifat beschikking dan
72
beleidsregel); dan d) Keputusan yang harus mendapatkan pengesahan dari
satuan pemerintahan di atasnya.
f. Tujuan Pengawasan Relevan dengan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, Raul P. De Guzman dan Artno Pascho231
mengisyaratkan setidaknya ada 5 (lima) alasan mengapa pengawasan itu
menjadi instrumen penting dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintahan di daerah, yakni;
1. To maintain minimun standards in the performance of services by local
authorities;
(Terj.untuk memelihara standar-standar minimum dalam melaksanakan
pelayanan-pelayanan oleh pemerintah daerah);
2. To maintain standards of administration as well as coordinate
administrations between and among various levels of government;
(Terj. Untuk memelihara standar-standar administrasi sebaik koordinasi
administrasi antara dan diantara berbagai macam tingkatan
pemerintahan);
3. To control local expenditures as part of the management and planning of
the national economy;
(Terj. Untuk mengawasi pengeluaran atau belanja daerah sebagai bagian
manajemen dan perencanaan dari perekonomian nasional);
4. To protect the citizens against the abuse of power by local authorities;
(Terj. Untuk melindungi para warga negara dari tindakan sewenang-wenang
dari (pejabat) pemerintah daerah);
5. To Wield and integrated the diverse people into a nation.
(memegang teguh dan menyatukan beraneka ragam rakyat menjadi suatu
bangsa).
231 Ateng Syafrudin, Masalah Hukum dalam Pemerintahan di Daerah, Makalah untuk pendidikan non-gelar anggota DPRD tingkat II se-Jawa Barat di Fakultas ISIP Unpad, 28 Desember 1992, hlm. 7.
73
Ateng Syafrudin232 menyebutkan 3 (tiga) tujuan dari pelaksanaan
pengawasan, berkenaan dengan penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintahan daerah, yakni;
1. untuk menjaga kewibawaan pemerintah daerah dan kepentingannya;
2. untuk menghindari atau mencegah penyalahgunaan wewenang;
3. untuk mencegah kelalaian dalam administrasi yang dapat merugikan
negara atau daerah.
Menurut M.N. Azmy Akhir, agar pelaksanaan pengawasan dapat
dijadikan sebagai suatu alat (instrumen) yang efektif dalam rangka
penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan daerah, maka harus
diperhatikan beberapa kriteria sebagai berikut :
a. Apa yang diawasi (obyek yang perlu diawasi)
b. Mengapa perlu diadakan pengawasan.
c. Dimana dan kapan diadakan pengawasan dan oleh siapa pengawasan
tersebut harus dilakukan.
d. Bagaimana pengawasan tersebut dapat dilakukan;
e. Pengawasan tersebut harus bersifat rasional, fleksibel, terus menerus,
dan fragmatis.233
Kriteria-kriteria di atas penting untuk menjadi pertimbangan dalam
melakukan pengawasan, sehingga tujuan dari kegiatan pengawasan tersebut
dapat tercapai. Menurut H. Bohari, untuk mencapai hal-hal sebagai berikut :
a. Menjaga agar rencana itu dalam realisasinya tetap terarah pada tujuan
yang telah ditentukan;
3) Menjaga agar pelaksanaannya itu dijalankan sesuai dengan peraturan-
peraturan yang telah ditetapkan (peraturan yang berlaku).
4) Menjaga agar tugas itu dijalankan berdaya guna (termasuk pengurusan,
pemeliharaan) sesuai dengan tujuan;
5) Melakukan usaha-usaha untuk mengatasi hambatan, mengendalikan
penyimpangan-penyimpangan, serta akibat-akibatnya.234
232 Ibid. 233 M.N. Azmy Akhir. Masalah Pengurusan Keuangan Negara : Suatu Pengantar Teknis. CV. Dinna. Jakarta. 1986, hlm. 71
74
Paling tidak tujuan pengawasan itu adalah untuk mencegah sedini
mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan,
kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta
pelaksanaan tugas-tugas organisasi.235
234 H. Bohari, Hukum Anggaran Negara. Rajawali Pers. Jakarta. 1995, hlm. 117-118 235 Lembaga Administrasi Negara RI. Op.Cit, hlm. 159
75
BAB III PENGATURAN HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH
A. Hubungan Kewenangan
Perubahan Kedua UUD 1945 yang terjadi pada tahun 2000 mengubah
secara mendasar pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia.
Berdasarkan dasar hukum konstitusional pengaturan pemerintahan daerah
dijumpai dalam Pasal-pasal 18, 18A dan 18B. pemerintahan daerah
diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: pertama,
Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 18 ayat (2) UUD 1945.236 Kedua, Prinsip menjalankan otonomi seluas-
luasnya yang diatur dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945.237 Ketiga, Prinsip
kekhususan dan keragaman daerah sebagai diatur dalam Pasal 18 ayat (1)
UUD 1945.238 Keempat, prinsip mengakui dan menghormati kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagaimana diatur
dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.239 Kelima, prinsip mengakui dan
menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa
sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.240 Keenam,
Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945.241 Ketujuh, prinsip
hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil
sebagaimana terdapat dalam Pasal 18A ayat (2) UUD 1945.242 Saat ini undang-undang penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai
pelaksanaan Pasal 18 ayat (7) didasarkan pada UU No. 32/2004 jo UU No.
236 Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm. 8-9. 237 Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18, UNSIKA, Karawang, 1993, hlm 21, dan Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm 12. 238 Bagir Manan, Menyongsong Fajar ..., op.cit., hlm. 12-13. 239 Ibid., hlm. 13. 240 Ibid., hlm 15-16. 241 Ibid. 242 Ibid., hlm 17.
76
12/2008, UU No. 33/2004 serta berbagai peraturan lain yang relevan. Peraturan
pelaksana yang mengatur hubungan kewenangan antara lain PP No. 38/2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Ketentuan Pasal 10
UU No. 32/2004 itu mengandung pengertian bahwa urusan pemerintahan dapat
dibagi dalam dua kelompok, yaitu urusan pemerintahan yang secara mutlak menjadi urusan pusat dan urusan pemerintahan yang dapat dilaksanakan baik oleh
pemerintah, provinsi, maupun kabupaten/kota (concurrent power).
Bagan 6
Pembagian Urusan Pemerintahan
MM
URUSAN PEMERINTAHAN URUSAN ‘BERSAMA’
(concurrent power) Pusat, Provinsi,
Kabupaten/Kota
Urusan Wajib Antara lain : - kesehatan; - pendidikan; - lingkungan
hidup; - perhubunga
n
Urusan Pilihan Antara lain : - pertanian - kelautan - industri - pariwisata
MUTLAK URUSAN PUSAT - Politik Luar Negeri; - Pertahanan; - Keamanan; - Moneter dan Fiskal
Nasional; - Yustisi; dan - Agama.
B. Hubungan Kelembagaan Hakekat Negara adalah organisasi dan dalam organisasi Negara,
dapat di identifikasi dua macam kelompok organ, yang memiliki perbedaan
yang signifikan. Pertama, adalah organ-organ Negara (staatsorganen);
kedua, adalah organ-organ pemerintahan (regeringsorganen).243 Dalam
Negara kesatuan, organ Negara termaksud hanya dijumpai di ibu kota
Negara (di tingkat pemerintahan nasional). Kedudukan organisasi Negara ini
tidak hierarkis sementara organ pemerintahan terdapat baik di tingkat
243 Bhenyamin Hoessein, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah, dalam Kumpulan Tulisan pasang surut otonomi Daerah, Yayasan Tifa, Jakarta, 2005. hlm. 197.
77
nasional maupun di subnasional. Kedudukan organ-organ pemerintahan
bersifat hierarkis di bawah Presiden (Pemerintah).244
Dengan desentralisasi, terjadi pembentukan dan implementasi
kebijakan yang tersebar diberbagai jenjang pemerintahan subnasional. Asas
ini berfungsi untuk menciptakan keanekaragaman dalam penyelenggaraan
pemerintahan, sesuai dengan kondisi dan potensi masyarakat. Dengan
perkataan lain, desentralisasi berfungsi untuk mengakomodasi
keanekaragaman masyarakat, sehingga terwujud variasi struktur dan politik
untuk menyalurkan aspirasi masyarakat setempat.245
Dalam penjelasan umum UU No. 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah. Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip
tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan
bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk
menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas,
wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan
daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak
selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi
yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya
harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi,
yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.246
UUD 1945 menghendaki susunan pemerintahan, khususnya
pemerintahan tingkat daerah tersusun dalam satu kesatuan struktural dan
244 Ibid., hlm. 197 245 Ibid.,, hlm. 198 246 Penjelasan Umum UU No. 32 Tahun 2004
78
fungsional yang utuh, meskipun tidak dalam susunan hirarkis satu sama
lain.247 Negara (pemerintah Pusat) dan daerah kedua-duanya merupakan
badan hukum publik yang masing-masing mempunyai badan
pemerintahannya sendiri-sendiri dengan hak, kewenangan dan kewajiban
sendiri-sendiri.248
Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah otonom diatur
dengan cara-cara tertentu yang diatur dengan undang-undang. Dalam hal ini
adalah UU No. 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah beserta
peraturan pelaksanaannya.
1. Hubungan dalam pengaturan organisasi perangkat daerah Sebagaimana diketahui bentuk Negara Indonesia tercantum di dalam
Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945, yang penyelenggaraannya melalui ketentuan
Pasal 18 ayat (1). Atas dasar ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa
penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan menggunakan sistem
desentralisasi, dengan demikian terdapat pemencaran kekuasaan dari pusat
kedaerah baik menurut asas otonomi, tugas pembantuan dan dekonsentrasi.
Berdasarkan kenyataan itu, antara pusat dan daerah akan terjadi hubungan
antara lain hubungan kelembagaan, hubungan tersebut dalam praktek
terlihat misalnya pada pengaturan organisasi perangkat daerah dan
pemekaran daerah.249
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
beserta perubahannya, susunan kelembagaan pemerintahan daerah terdiri
dari: 1. Susunan luar dibawah Pemerintah Pusat terdapat Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.250
247 Bagir Manan, Hubungan… hlm. 197 248 Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Penerbit Bina Aksara, 1984, hlm. 182 249 Kuntana Magnar, Bahan diskusi pada Diskusi Terbatas Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 4 Agustus 2009 250 Pasal 3 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004
79
2. Susunan dalam terdiri dari DPRD dan kepala Daerah beserta perangkat
daerah251
a. Perangkat daerah provinsi adalah unsur pembantu kepala daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari
sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga
teknis daerah252
b. Perangkat daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala
daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari
sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis
daerah, kecamatan, dan kelurahan.253
2. Kepala daerah
Pasal 24 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan pada Setiap daerah
dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah, Kepala
daerah untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan
untuk kota disebut walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil
kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten
disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota.
Dalam hal pelantikan terdapat hubungan antara pemerintah dan
pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 111 ayat (1) Gubernur
dan wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden.
(2) Bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota dilantik oleh
Gubernur atas nama Presiden. (4) Tata cara pelantikan dan pengaturan
selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah
Kedudukan dan peranan kepala daerah dengan beragam penyebutan seperti
Gubernur, Bupati/Walikota, telah menunjukan eksistensinya, baik sebagai
pemimpin organisasi pemerintahan yang mengayomi, melindungi dan
melayani masyarakat maupun dalam memimpin organisasi administrasi
pemerintahan. Dalam memutar roda organisasi pemerintahan, pembangunan
251 Pasal 3 Ayat (2)jo. Pasal 19 Ayat (2)UU No. 32 Tahun 2004 252 Pasal 1 angka 7 PP No. 41 Tahun 2007 253 Pasal 1 angka 8 PP No. 41
80
dan pembinaan kemasyarakatan, serta dalam menghadapi konflik, gejolak
dan permasalahan pemerintahan di daerah, kepala daerah secara terus
menerus dihadapkan pada pelbagai tuntutan dan tantangan baik secara
internal maupun eksternal yang harus di respon dan diantisipasi sekaligus
merupakan ujian terhadap kapabilitias dan kompetensi Kepala Daerah.254
3. Hubungan Kepala Daerah dengan Pemerintah Menurut UU No. 32 Tahun 2004
Hubungan organisasi perangkat daerah antara pemerintah dengan
pemerintah daerah terdapat dalam hal melaksanakan tugas dan wewenang kepala
daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban menjalin hubungan kerja
dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah (Pasal 27
Ayat (1)). Kepala Daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah Pasal 27 Ayat (2), pada
Ayat (3) dikatakan Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
Pemerintah dimaksud disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri
untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk
Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Laporan tersebut digunakan
Pemerintah sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan
daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Selain itu, kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan
memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta
menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
masyarakat. Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah
disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan
kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun.
254 J. Kaloh, Kepala Daerah, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003. Hlm. 3
81
Laporan sebagaimana dimaksud digunakan Pemerintah sebagai dasar
melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai bahan
pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 30 ayat (1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan
sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan. Tindak pidana itu
antara lain menurut Pasal 31 ayat (1) tindak pidana korupsi, tindak pidana
terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan Negara. Pada Ayat
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa
melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 34 ayat
(3) menyebutkan apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah diberhentikan
sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan
Pasal 32 ayat (5), Presiden menetapkan penjabat Gubernur atas usul Menteri
Dalam Negeri atau penjabat Bupati/Walikota atas usul Gubernur dengan
pertimbangan DPRD sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
4. Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil
Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan.255 Dalam kedudukannya
tersebut Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.256 Gubernur dalam
kedudukannya sebagai wakil pusat di daerah, memiliki tugas dan
wewenang257 dalam hal a) pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kabupaten/kota; b) koordinasi penyelenggaraan urusan
Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; c) koordinasi pembinaan
dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi
dan kabupaten/kota.
255 Pasal 37 UU No. 32 Tahun 2004 ayat (1) 256 Pasal 37 UU No. 32 Tahun 2004 ayat (2) 257 Pasal 38 Ayat (1)
82
5. DPRD Konsep perwakilan politik lokal terkait dengan sistem pemerintahan
yang dipraktikkan suatu Negara. Konsep perwakilan politik lokal merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi, artinya, keterlibatan
masyarakat secara langsung dan tidak langsung ikut menentukan urusan
urusan rumah tangga daerahnya.258
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa DPRD merupakan
unsur pemerintahan daerah bersama kepala daerah (Pasal 40 UU No. 32
Tahun 2004) dan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah dipilih
melalui pemilihan umum bersamaan dengan pemilihan anggota DPR dan
DPD. Dengan kedudukannya seperti tersebut DPRD memiliki fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan (Pasal 41). Adapun mengenai tugas dan
wewenang DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU 32 Tahun 2004
adalah:
a. membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat
persetujuan bersama;
b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama
dengan kepala daerah;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan
perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan
pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah,
dan kerja sama internasional di daerah;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil
kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi
DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi
DPRD kabupaten/kota;
e. memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil
kepala daerah.
258 BN. Marbun, Perwakilan Politik Lokal dan Eksistensi DPRD dalam Konteks Otonomi Daerah, dalam Kumpulan Tulisan “Pasang Surut Otonomi Daerah”, Institute for Local Development Yayasan TIFA, editor Anhar Gonggong, Jakarta 2005, hlm. 327
83
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah
terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang
dilakukan oleh pemerintah daerah;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah;
i. membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
j. melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
k. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah dan
dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
Pengaturan mengenai DPRD ini selain diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004
juga diatur dalam UU yang mengatur tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD
dan DPRD, yaitu UU No. 23 Tahun 2002 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 39
UU No. 32 Tahun 2004. Meskipun pengaturan tentang susunan, kedudukan serta
fungsi DPRD ini berada dalam satu undang-undang yang sama dengan pengaturan
mengenai susunan, kedudukan dan fungsi DPR RI, bahkan dalam cara
pengisiannyapun sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu,
namun DPRD tidak mempunyai hubungan secara langsung dengan DPR, atau
dengan perkataan lain DPRD bukan merupakan subordinasi dari DPR RI.
Disamping itu DPRD juga sebenarnya merupakan bagian atau unsur kekuasaan
eksekutif pada level pusat karena merupakan bagian dari penyelenggara
pemerintahan daerah. Bahkan dalam hal pembentukan perda, kekuasaan DPRD
baik tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota akan melalui sebuah upaya evaluasi
peraturan pelaksanaannya.
6. Perangkat Daerah
Keberadaan perangkat daerah dijumpai pada Pasal 1 Angka 3 dan
Pasal 120 UU No. 32 Tahun 2004 yang pelaksanaannya melalui PP No. 41
Tahun 2007. Dengan adanya PP tersebut menunjukan adanya hubungan
84
kelembagaan antara pusat dan daerah dalam pengaturan organisasi
perangkat daerah.
Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat
DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Sedang untuk
Kabupaten/Kota ditambah dengan kecamatan dan keluarahan (Pasal 120
UU No. 32 Tahun 2004). Pembentukan organisasi perangkat daerah
ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan berpedoman pada PP
mengenai Susunan, Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Perangkat
Daerah. Setiap perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum,
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 136 Ayat(
4)). Suatu raperda ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling
lama 30 hari sejak disetujui bersama (Pasal 144 Ayat (3)). Dalam hal tidak
ditetapkan Gubernur, Bupati/Walikota dalam jangka waktu tersebut, raperda
itu sah menjadi perda (Ayat 4). Perda yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lebih tinggi,
dapat dibatalkan oleh pemerintah yang ditetapkan dengan Peraturan
Presiden paling lama 60 hari sejak diterimanya perda oleh Pemerintah (Pasal
145 ayat (2), (3)). Paling lama 30 hari setelah pembatalan, Kepala Daerah
harus memberhentikan pelaksanaan perda. Selanjutnya DPRD dengan
Kepala Daerah mencabut perda dimaksud (Ayat (4)). Apabila Provinsi,
Kabupaten/Kota tidak menerima pembatalan tersebut dengan alasan yang
dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah
dapat mengajukan keberatan pada Mahkamah Agung (Ayat (5)). Apabila
keberatan itu dikabulkan sebagian atau seluruhnya putusan Mahkamah
Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Pada penjelasan umum PP No. 41 Tahun 2007 dijelaskan bahwa
Pembinaan dan pengendalian organisasi dalam Peraturan Pemerintah ini
dimaksudkan dalam rangka penerapan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan
simplifikasi antardaerah dan antarsektor, sehingga masing-masing
pemerintah daerah taat asas dan taat norma dalam penataan kelembagaan
perangkat daerah. Dalam ketentuan ini pemerintah dapat membatalkan
85
peraturan daerah tentang perangkat daerah yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan dengan konsekuensi pembatalan hak-hak
keuangan dan kepegawaian serta tindakan administratif lainnya. Dalam
pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah,
pemerintah senantiasa melakukan fasilitasi melalui asistensi, pemberian
arahan, pedoman, bimbingan, supervisi, pelatihan, serta kerja sama,
sehingga sinkronisasi dan simplifikasi dapat tercapai secara optimal dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.259
7. Hubungan dalam pembentukan daerah (pemekaran dan pembubaran
daerah)260 Hubungan kelembagaan lainnya terdapat dalam pembentukan daerah
(pemekaran dan pembubaran daerah). Pasal 18 ayat 1 UUD 1945 menganut
desentralisasi teritorial sehingga akan dibentuk daerah-daerah baik Provinsi,
Kabupaten dan Kota dengan UU. Menurut UU No. 32 Tahun 2004 antara lain
diatur didalam Pasal 4 Ayat (3) dan (4), Pasal 5, Pasal 7 Ayat (1) dan (2)
serta Pasal 8. Pada Pasal 5 Ayat (2) dan (3) jelas nampak adanya hubungan
kelembagaan antara pusat dan daerah dalam pembentukan daerah, yaitu
dalam hal syarat administratif terkait DRPD Kabupaten dan Kota, Bupati dan
Walikota, DPRD Provinsi dan Gubernur dengan Menteri Dalam Negeri.
Demikian pula pada Pasal 7 dan Pasal 8. Sementara pada kelembagaan
pusat, Selain akan terkait dengan DPR dan Presiden (dalam hal ini diwakili
Mendagri), juga terdapat celah bagi peran DPD meskipun sangat terbatas
terlihat pada Pasal 22 D ayat 1,2 dan 3 UUD 1945. Dalam sepuluh tahun terakhir, yaitu sejak dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, telah terjadi
banyak sekali pemekaran daerah provinsi, kabupaten, maupun kota di
Indonesia. Hal itu disebabkan diberikannya peluang yang sangat besar
(untuk terjadinya pemekaran) oleh undang-undang tersebut yang kemudian
259 Penjelasan Umum PP No. 41 Tahun 2007 Tentang SOTK 260 Kuntana Magnar, Bahan Diskusi Terbatas, Pusat Studi HTN
86
dimanfaatkan oleh para politisi atau elit lokal (daerah). Dalam hal ini, banyak
elit daerah yang mengajukan pemekaran daerah dengan dalih sudah
memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Pembentukan
daerah baru juga dilakukan atas nama kepentingan masyarakat, yaitu untuk
meningkatkan kesejahtraan masyarakat, pelayanan masyarakat (publik), dan
daya saing daerah. Sebagai akibatnya, pembentukan daerah baru pun
banyak terjadi seperti cendawan tumbuh di musim hujan.
Adanya fakta banyak daerah baru yang dibentuk, baik provinsi,
kabupaten, maupun kota, adalah salah satu implikasi negatif berlakunya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Sekalipun saat ini undang-undang
tersebut sudah tidak berlaku, kecenderungan untuk melakukan pemekaran
daerah atau pembentukan daerah baru masih saja berlanjut. Di satu sisi,
kecenderungan tersebut dapat diterima dan dipahami sebagai wujud adanya
kedewasaan dan harapan untuk mengurus dan mengembangkan potensi
daerah dan masyarakatnya. Namun di sisi lain, mengundang kecemasan
mengenai keberlanjutan dan kemampuan suatu daerah otonom baru untuk
dapat bertahan mengurus rumah tangganya sendiri.261 Dengan demikian,
pemekaran daerah belum menjadi jaminan atau obat yang mujarab dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik (umum),
dan daya saing daerah sebagaimana yang diharapkan ketika pembentukan
daerah baru. Bahkan sangat mungkin terjadi sebaliknya di mana pemekaran
daerah dapat menjadi penyebab persoalan bagi kehidupan masyarakat di
daerah yang baru dibentuk tersebut.
Namun demikian, kecenderungan membentuk daerah otonom baru
tidak serta-merta berakhir dengan digantinya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Bahkan,
tampaknya paradigma berpikir masyarakat pun tidak berubah dengan
perubahan dasar hukum pemerintahan daerah tersebut. Para politisi lokal
pun tetap beramai-ramai membentuk daerah baru dengan mengedepankan
261 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Wilayah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Pengkajian Penataan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Laporan Penelitian, Bandung, 2002, hlm. 4.
87
alasan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik,
maupun daya saing daerah. Alasan tersebut menjadi senjata yang sangat
ampuh untuk membentuk daerah baru tanpa mempertimbangkan aspek lain,
seperti keadaan sosial-budaya masyarakat, keharmonisan hubungan
pemerintahan, maupun kemampuan daerah, baik dari segi sumberdaya
manusia, sumberdaya keuangan, maupun sumberdaya alamnya.
8. Pengaturan Pemekaran Daerah dalam Peraturan Perundang-undangan
Berbicara tentang pengaturan pemekaran daerah, sebenarnya tidak
ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur hal
tersebut. Pembentukan daerah (baru) dapat ditafsirkan dari bunyi Pasal 18
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) hasil perubahan kedua
pada tanggal 18 Agustus 2000262 yang menyatakan bahwa “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang”. Dari bunyi pasal tersebut dapat diasumsikan
bahwa wilayah Indonesia dibagi baik ke dalam provinsi yang sudah ada atau
dapat dibagi lagi ke dalam provinsi yang baru melalui pemekaran. Demikian
pula untuk provinsi dapat dibagi ke dalam kabupaten dan kota yang sudah
ada maupun dibagi lagi ke dalam kabupaten dan kota yang baru. Berkaitan
dengan hal itu, penjabarannya (akan) diatur lebih lanjut dengan undang-
undang.
Namun demikian, secara faktual pada saat itu sudah terdapat
undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut, yaitu Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian,
sekalipun ketentuan UUD 1945 menyebutkan “akan” diatur lebih lanjut
dengan undang-undang, pada kenyataannya masalah tersebut “sudah”
262 Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta, 2009, hlm. 31.
88
diatur dengan undang-undang yang ada. Bahkan sebenarnya, rumusan
Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 adalah hasil adopsi rumusan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Pasal tersebut berbunyi “Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Propinsi, Daerah
Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom”. Apabila dilihat
rumusannya, sebenarnya rumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 lebih baik daripada rumusan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945.
Berkaitan dengan pemekaran daerah, hal itu diatur dalam Pasal 6
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang berbunyi:
(1) Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah dapat
dihapus dan atau digabung dengan Daerah lain.
(2) Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu Daerah.
(3) Kriteria tentang penghapusan, penggabungan, dan pemekaran
Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Penghapusan, penggabungan dan pemekaran Daerah, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Undang-
undang.
Dari bunyi pasal di atas, pemekaran daerah sangat dimungkinkan
bahkan ketentuannya terkesan sangat longgar, sehingga tidak ada
pembatasan sampai berapa tahap pemekaran itu dapat dilakukan dan
sampai berapa jumlah provinsi, kabupaten, dan kota yang harus ada di
Indonesia. Kenyataan itu juga turut dipermudah dengan proses dan
mekanisme pemekaran yang sangat mudah seperti yang dapat dilihat dalam
penjelasan Pasal 115 ayat (1) yang berkaitan dengan tugas Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah. Adapun mekanisme pembentukan,
penghapusan, penggabungan, dan/atau pemekaran daerah dijelaskan
sebagai berikut:
a. Daerah yang akan dibentuk, dihapus, digabung, dan/atau dimekarkan
diusulkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD kepada
Pemerintah;
b. Pemerintah menugaskan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
89
untuk melakukan penelitian dengan memperhatikan kemampuan
ekonomi, potensi daerah, sosial-budaya, sosial-politik, jumlah
penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain;
c. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyampaikan pertimbangan
untuk penyusunan rancangan undang-undang yang mengatur
pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau pemekaran
Daerah Otonom.
Sebagai pelaksanaan lebih lanjut perintah Pasal 6 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan,
Pembentukan, dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan
Penggabungan Daerah. Dalam BAB IV tentang Kriteria Pemekaran,
Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, terutama dalam Pasal 13
ayat (1) disebutkan bahwa pemekaran daerah dapat dilakukan
berdasarkan kriteria sebagai berikut:
a. kemampuan ekonomi;
b. potensi daerah;
c. sosial budaya;
d. sosial politik;
e. jumlah penduduk;
f. luas daerah;
g. pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi
Daerah.
Selanjutnya, berkaitan dengan prosedur pemekaran daerah
dianggap sama dengan prosedur pembentukan daerah, yaitu:
a. ada kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan;
b. pembentukan Daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah;
c. usul pembentukan Propinsi disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah Propinsi dimaksud, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;
90
d. usul pembentukan Kabupaten/Kota disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota serta persetujuan DPRD Propinsi, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;
e. dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke Daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
f. berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut;
g. para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
h. berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
i. apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang Pembentukan Daerah kepada Presiden;
j. apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat persetujuan.
Selanjutnya, peraturan pemerintah yang berkaitan dengan
persyaratan, pembentukan, dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan
penggabungan daerah diganti seiring dengan digantinya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah. Sama halnya dengan undang-undang
sebelumnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga masih membuka
peluang terjadinya pemekaran daerah. Hal itu dapat dilihat dari bunyi Pasal 2
ayat (1) yang berbunyi ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah”. Oleh karena
itu, tidak mengherankan sampai saat ini proses pemekaran daerah masih
91
dilakukan dan terus berlangsung karena memang undang-undangnya
membuka peluang untuk itu.
Pengaturan tentang pembentukan daerah dan pemekaran daerah
diatur dalam Pasal 4, Pasal 6, dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan undang-undang,
(2) Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah.
(3) Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.
(4) Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
Pasal 5 (1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus
memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. (2) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
provinsi, meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
(3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
(4) Syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
(5) Syarat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
92
Pasal 6
(1) Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah.
(2) Penghapusan dan penggabungan daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(3) Pedoman evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 6 U No. 32 Tahun 2004 menentukan bahwa penghapusan dan
penggabungan daerah otonom, dilakukan setelah melalui proses evaluasi,
terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kepala Daerah
berkewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kepada Pemerintah (pusat). Laporan tersebut disampaikan kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri
Dalam Negari melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota dalam satu tahun.
Selanjutnya laporan dimaksud digunakan pemerintah sebagai dasar
melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah (Pasal 27 Ayat
(2) dan (3) UU 32 Tahun 2004).
Sementara itu dalam Pasal 7 Ayat (1) ditentukan bahwa penghapusan
dan penggabungan daerah beserta akibatnya ditetapkan dengan undang-
undang. Sehubungan dengan itu, dalam pembentukan dan pememkaran
serta penggabungan daerah terkait juga peran dari Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) meskipun sangat terbatas, yaitu DPD dapat menngajukan
kepada DPR rancangan undang-undang (RUU) tentang hal dimaksud,
sedangkan mengenai perubahan batas suatu daerah, perubahan nama
daerah, pemberian nama, serta perubahannya atau pemindahan ibu kota
ditetapkan dengan PP, atas usul dan persetujuan daerah yang bersangkutan
(Ayat (2) dan (3)).
Tata cara pembentukan penghapusan dan penggabungan daerah,
diatur dengan PP (Pasal 8). Dalam ketentuan Pasal 8 tidak ditegaskan
93
bagaimana dengan pemekaran dan perluasan daerah, sebab apabila
merujuk pada Pasal 4 Ayat (3) dikatakan pembentukan daerah dapat berupa:
a. Penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan;
b. Pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih;
c. Pada ketentuan ini tidak ditegaskan bagaimana dengan perluasan
daerah.
Selanjutnya, ketentuan tentang tata cara pembentukan,
penghapusan, dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Adapun peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan,
Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Berkaitan dengan pemekaran
daerah menurut Peraturan Pemerintah tersebut sebenarnya hampir sama
sebagaimana diatur dalam Pasal 2, yaitu:
(1) Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa
daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari
satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.
(2) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
berupa pembentukan daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.
(3) Pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat berupa:
a. Pemekaran dari 1 (satu) provinsi menjadi 2 (dua) provinsi atau
lebih;
b. Penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersanding pada
wilayah provinsi yang berbeda;
c. Penggabungan beberapa provinsi menjadi 1 (satu) provinsi.
(4) Pembentukan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat berupa:
a. Pemekaran dari 1 (satu) kabupaten/kota menjadi 2 (dua)
kabupaten/kota atau lebih;
b. Penggabungan beberapa kecamatan yang bersanding pada
wilayah kabupaten/kota yang berbeda;
94
c. Penggabungan beberapa kabupaten/kota menjadi 1 (satu)
kabupaten/kota.
Salah satu perbedaan penting antara kedua peraturan pemerintah
tersebut adalah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 diatur
tentang batas waktu minimal suatu daerah dapat dimekarkan (lagi) setelah
dimekarkan. Hal ini sangat penting agar suatu daerah dapat menjalankan
roda pemerintahan sebagai daerah yang baru dibentuk. Selengkapnya Pasal
3 berbunyi “Daerah yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (3) huruf a dan ayat (4) huruf a dapat dimekarkan setelah mencapai
batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan 10 (sepuluh) tahun bagi
provinsi dan 7 (tujuh) tahun bagi kabupaten/kota. Hal ini adalah suatu
kemajuan dibandingkan dengan peraturan pemerintah sebelumnya.
Namun demikian, kedua peraturan perundang-undangan di atas
memiliki kesamaan di mana keduanya sangat membuka peluang terjadinya
pemekaran daerah baru. Sebagai akibat dari mudahnya prosedur pemekaran
daerah seperti yang dijelaskan di atas, sampai dengan sekarang (2009) telah
terjadi banyak sekali pemekaran daerah menjadi daerah otonom baru baik
provinsi, kabupaten, maupun kota. Berdasarkan data yang diajukan oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato pengantar Rancangan
Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) 2010 dan Nota Keuangan di depan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) tanggal 3 Agustus 2009 diketahui bahwa sejak tahun 1999
sampai dengan 2009 telah terbentuk 205 daerah baru yang terdiri dari 7
provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Dengan demikian, sampai sekarang
(2009), jumlah daerah otonom di Indonesia menjadi 33 provinsi, 389
kabupaten, dan 96 kota.
Apabila ketentuan Pasal 4 Ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 diteliti,
maka terhadap pengertian pemekaran sebenarnya bukan pemecahan, tetapi
mengandung arti bahwa suatu daerah seharusnya dibesarkan bukan
95
dipacah. Melalui PP No. 129 Tahun 2000 (semasa UU No. 22 Tahun 1999)
dapat diketahui bahwa:
1. Pembentukan daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu
sebagai Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota;
2. Pemekaran daerah adalah pemekaran wewenang dari Pemerintah
kepada Gubernur sebagai wakil pwemerintah dan/atau perangkat pusat di
daerah;
3. Penggabungan daerah adalah pengaturan daerah yang dihapus kepada
daerah lain.
Pembentukan daerah itu sendiri harus memenuhi syarat administratif
dan fisik kewilayahan (Pasal 5 Ayat (1)). Syarat administrasi untuk Provinsi
meliputi adanya persetujuan DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/ Walikota
yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi. Persetujuan DPRD Provinsi
induk dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri (Pasal 5 Ayat
(2)) adapun untuk Kabupaten/Kota meliputi adanya persetujuan DPRD
Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan. Persetujuan DPRD
Provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri (Ayat 3).
Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah
yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah social budaya,
social politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan keamanan, dan faktor
lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Sementara
syarat fisik meliputi paling sedikit 5 Kabupaten/Kota untuk pembentukan
Provinsi dan paling sedikit 5 Kecamatan untuk pembentukan Kabupaten, 4
kecamatan untuk Kota, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana
pemerintahan. Sebenarnya yang perlu diperhatikan dalam pembentukan
pemekaran penhapusan dan penggabungan daerah yaitu tujuannya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melalui:
a. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat;
b. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;
c. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;
d. Percepatan pengelolaan potensi daerah;
e. peningkatan keamanan dan ketertiban; dan
96
f. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Untuk itu terlebih dahulu harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. kemampuan ekonomi;
b. potensi daerah;
c. sosial budaya
d. sosial politik;
e. jumlah penduduk;
f. luas daerah;
g. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya ekonomi
daerah.
Di bawah ini disajikan data perkembangan jumlah daerah provinsi di
Indonesia melalui pemekaran daerah sejak 1945-2009.263
Daftar Nama dan Jumlah Provinsi di Indonesia Sejak 1945-2009
1. Pada tahun 1945, pemerintah menetapkan Indonesia dibagi menjadi delapan provinsi, yaitu Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku. Jumlah provinsi: 8.
2. Antara tahun 1946-1949, terdapat berbagai perubahan wilayah Indonesia karena munculnya negara-negara baru dalam wilayah Indonesia. Pada akhir tahun 1949, ketika Belanda mengakui kemerdekaan Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, RIS terdiri atas 16 negara bagian dan 1 Wilayah Federal Batavia. Keenam belas negara bagian itu adalah: Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur, Riau, Negara Sumatera Selatan, Bangka, Belitung, Negara Pasundan, Jawa Tengah, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Daerah Istimewa Borneo Barat, Dayak Besar, Federasi Borneo Timur, Daerah Banjar, Borneo Tenggara, dan Negara Indonesia Timur. Jumlah provinsi: 16.
3. Pada awal tahun 1950, muncul gerakan untuk kembali ke negara kesatuan. Akibatnya tiap-tiap negara bagian mulai menyatukan diri satu per satu dengan Republik Indonesia.
263 Data diolah dari http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php/topic,5619.0.html
97
Awal Agustus 1950, RIS hanya terdiri atas 4 negara bagian, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur, Daerah Istimewa Borneo Barat, dan Negara Indonesia Timur. Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS dinyatakan bubar dan diganti dengan NKRI, dan ketiga negara bagian selain RI dinyatakan bubar dan dimasukkan ke dalam wilayah NKRI. Pada tahun 1950, Yogyakarta dikeluarkan dari Jawa Tengah menjadi provinsi tersendiri dan diberi status Daerah Istimewa, dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun yang sama, Provinsi Sumatera dipecah menjadi tiga provinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Jumlah provinsi: 11.
4. Pada tahun 1953, Provinsi Borneo diganti namanya menjadi Kalimantan. Pada tahun 1956, Provinsi Aceh terbentuk, hasil pemekaran dari Sumatera Utara. Pada akhir tahun 1956, Kalimantan dipecah menjadi tiga provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Jumlah provinsi: 14.
5. Pada tahun 1958, Provinsi Sumatera Tengah dipecah menjadi tiga provinsi, yaitu Sumatera Barat, Riau, dan Jambi. Kemudian Provinsi Sunda Kecil juga dipecah menjadi tiga provinsi, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.Jumlah provinsi: 18.
6. Pada tahun 1959, Provinsi Kalimantan Tengah terbentuk, hasil pemekaran dari Kalimantan Selatan. Pada akhir tahun 1959, Provinsi Aceh diberi status Daerah Istimewa, dengan nama Daerah Istimewa Aceh. Jumlah provinsi: 19.
7. Pada tahun 1960, Provinsi Sulawesi dipecah menjadi dua provinsi, yaitu Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Jumlah provinsi: 20.
8. Pada tahun 1961, Kota Jakarta resmi dikeluarkan dari Jawa Barat dan menjadi provinsi tersendiri dan diberi status Daerah Khusus Ibukota, dengan nama Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Jumlah provinsi: 21.
9. Pada tahun 1963, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerahkan administrasi wilayah Irian Barat kepada Indonesia. Pada tahun 1964, tiga provinsi baru terbentuk, yaitu Lampung (dari Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah (dari Sulawesi Utara), dan Sulawesi Tenggara (dari Sulawesi Selatan). Kemudian, Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya secara resmi ditetapkan sebagai ibukota Republik Indonesia. Jumlah provinsi: 24.
10. Pada tahun 1968, Provinsi Bengkulu terbentuk, hasil pemekaran dari Sumatera Selatan. Jumlah provinsi: 25.
98
11. Pada tahun 1969, setelah diadakan Penentuan Pendapat Rakyat(Pepera), Irian Barat secara resmi menjadi bagian dari NKRI dan menjadi salah satu provinsi di Indonesia. Pada tahun 1973, Provinsi Irian Barat diubah namanya menjadi Irian Jaya. Jumlah provinsi: 26.
12. Pada akhir tahun 1975, Indonesia menguasai wilayah Timor Timur dan pada tahun 1976, Timor Timur dimasukkan ke dalam wilayah NKRI dan menjadi salah satu provinsi di Indonesia. Jumlah provinsi: 27.
13. Pada tahun 1999, diadakan jajak pendapat (referendum) di Timor Timur dan Timor Timur secara resmi keluar dari NKRI. Tetapi, pada akhir tahun 1999, Provinsi Maluku Utara terbentuk, hasil pemekaran dari Provinsi Maluku. Jumlah provinsi: 27.
14. Pada awal tahun 2000, Provinsi Irian Jaya diganti namanya menjadi Papua. Kemudian pada akhir tahun 2000, Provinsi Banten resmi berdiri, dimekarkan dari Jawa Barat. Jumlah provinsi: 28.
15. Pada tahun 2001, dua provinsi baru resmi berdiri, yaitu Kepulauan Bangka Belitung (dari Sumatera Selatan) dan Gorontalo (dari Sulawesi Utara). Pada tahun yang sama, Daerah Istimewa Aceh diganti namanya menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, dan diberi status Otonomi Khusus. Sama halnya dengan NAD, Provinsi Papua juga diberi status Otonomi Khusus.
Jumlah provinsi: 30. 16. Pada tahun 2003, Provinsi Irian Jaya Barat resmi berdiri, hasil
pemekaran dari Provinsi Papua. Pada tahun 2007, Provinsi Irian Jaya Barat diubah namanya menjadi Papua Barat. Jumlah provinsi: 31.
17. Pada tahun 2004, dua provinsi baru resmi berdiri, yaitu Kepulauan Riau (dari Provinsi Riau) dan Sulawesi Barat (dari Sulawesi Selatan). Jumlah provinsi: 33.
Apabila dibandingkan dengan masa awal kemerdekaan, jumlah
provinsi dalam sepuluh tahun terakhir meningkat menjadi lebih dari 400%.
Jumlah tersebut mungkin akan bertambah banyak seiring dengan keinginan
banyak pihak yang masih menginginkan pemekaran daerahnya. Jumlah
tersebut juga belum termasuk kabupaten/kota, kecamatan, atau
kelurahan/desa yang juga mengalami pemekaran. Dengan semakin
bertambahnya jumlah daerah baru tersebut tentu akan membebani
anggaran negara dan semakin mengurangi alokasi untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat karena APBN/APBD akan lebih banyak dialokasikan
99
dan tersedot untuk daerah-daerah baru tersebut. Anggaran tersebut
misalnya untuk alokasi pembangunan infrastruktur baru, gedung baru, gaji
pejabat baru, tunjangan jabatan pejabat baru, pakaian dinas baru,
kendaraan baru, dan sebagainya.
Dengan demikian, tujuan utama untuk membentuk daerah baru dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik juga
menjadi persoalan yang tidak mudah untuk diwujudkan. Pada kenyataannya,
masyarakat tetap saja merasakan tidak adanya peningkatan kesejahteraan
maupun pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah barunya. Bahkan
keadaan yang lebih parah dapat terjadi di daerah baru tersebut
dibandingkan dengan pada waktu masih menginduk kepada daerah
induknya. Hal itu terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
baru belum memiliki pengalaman yang memadai dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat maupun menjalankan roda pemerintahan.
Selain itu, keterbatasan sarana dan prasarana atau infrastruktur juga dapat
menjadi penyebab terbatasnya pelayanan publik sebagaimana mestinya.
Di lain pihak, untuk mengerem terjadinya pemekaran daerah, secara
konseptual dan yuridis formal pemerintah sudah mencoba melakukan upaya
tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008
Tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah tersebut sebagai pelaksanaan perintah Pasal 6 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 untuk mengevaluasi keberadaan
daerah, termasuk daerah baru hasil pemekaran, apakah mampu atau tidak
menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam hal ini, untuk daerah tertentu
yang dianggap tidak mampu dimungkinkan untuk dihapuskan atau
digabungkan dengan daerah lain. Akan tetapi, penghapusan dan
penggabungan daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi
terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Di dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan
alasan pentingnya dilakukan evaluasi terhadap suatu daerah sebagai
berikut:
100
”... Pemerintah berkewajiban mengevaluasi kinerja pemerintahan daerah ... untuk mengetahui keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam memanfaatkan hak yang diperoleh daerah dengan capaian keluaran dan hasil yang telah direncanakan. Tujuan utama dilaksanakannya evaluasi, adalah untuk menilai kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam upaya peningkatan kinerja untuk mendukung pencapaian tujuan penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan prinsip tata kepemerintahan yang baik...”.
Namun tampaknya peraturan pemerintah tersebut belum optimal
dijalankan mengingat sampai saat ini tidak diperoleh data yang terbuka
untuk umum tentang hasil evaluasi yang dilakukan oleh Tim Nasional
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam mengevaluasi
daerah-daerah baru hasil pemekaran. Selain itu, sampai saat ini juga belum
ada data yang menunjukkan bahwa ada daerah tertentu yang sudah
dihapuskan atau digabungkan dengan daerah lainnya karena dianggap tidak
mampu menjalankan otonomi daerah. Padahal, secara faktual banyak sekali
daerah, terutama daerah baru, yang tidak mampu menjalankan
pemerintahannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
ataupun tujuan awal pembentukannya yaitu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan umum, maupun daya saing daerah.
C. Hubungan Keuangan
UU No. 33 Tahun 2004 menitikberatkan pada pengaturan perimbangan
keuangan pusat-daerah. Namun demikian, pengaturan tersebut tidak
terlepas dari pendapatan daerah untuk membiayai urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya. Dalam bagian ini yang akan dibahas adalah
pendapatan daerah, khususnya PAD dan dana perimbangan (tidak
termasuk mengenai dana otonomi khusus yang diberikan kepada Provinsi
Papua dan Aceh), serta pembiayaan berupa pinjaman daerah,
UU No. 33 Tahun 2004, memperbaiki sistem perimbangan keuangan
pusat – daerah yang diatur sebelumnya dalam UU No. 25 Tahun 1999.
Dalam hal jenis dana perimbangan terdapat istilah baru untuk menyebut
101
dana perimbangan yang berasal dari pembagian pajak dan sumber daya
alam. Dalam UU No. 22 Tahun 1999, dana tersebut disebut sebagai Bagian
Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan264. Sementara itu dalam UU No. 33 Tahun 2004,
istilah dana tersebut diubah menjadi dana bagi hasil (DBH). Perubahan
tersebut, tidak hanya sekedar penggantian istilah, namun juga ditambah
dengan perubahan asal dana yang dibagi, yaitu dalam hal jenis pajak265.
Khusus mengenai dana perimbangan lainnya, istilah dan substansinya tetap
dipertahankan dalam UU No. 33 Tahun 2004, yaitu dana alokasi umum
(DAU), dan dana alokasi khusus (DAK), namun berbeda dari segi
formulanya. Mengenai DBH, DAU dan DAK akan dibahas selanjutnya.
Walaupun inti dari hubungan keuangan pusat daerah adalah
perimbangan keuangan, namun hubungan keuangan pusat-daerah juga
berkaitan dengan pembiayaan urusan pusat yang diselenggarakan oleh
pemerintahan daerah dan oleh aparat pusat yang juga unsur pemerintah
daerah. Hal ini disebabkan UU No. 33 Tahun 2004, tidak hanya mengatur
dana perimbangan dalam rangka desentralisasi, melainkan juga dana tugas
pembantuan dan dana dekonsentrasi. Namun demikian, dalam penelitian ini
tidak dibahas mengenai dana tugas pembantuan dan dekonsentrasi karena
memerlukan penelitian tersendiri yang lebih mendetail.
1. Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari pajak daerah, retribusi
daerah; hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan lain-lain
PAD yang sah.266 Walaupun daerah diberikan kewenangan untuk
meningkatkan PAD, namun daerah dilarang menetapkan peraturan daerah
(Perda) tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, dan
menetapkan Perda tentang pendapatan yang menghambat mobilitas
264 Lihat Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No.22 Tahun 1999. 265 Dalam UU No. 33 Tahun 2004, PPh tertentu juga menjadi DBH, sementara dalam UU No. 25 Tahun 2002, PPh tidak dijadikan pajak yang dibagi ke daerah. 266 Pasal 6 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004.
102
penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan
impor/ekspor.267
Dalam UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah merupakan UU yang penting di bidang ini, karena menggantikan UU
sebelumnya yang telah berlaku dalam waktu yang cukup lama (Undang-
Undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan umum Pajak Daerah
dan Undang-Undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum
Retribusi Daerah).
UU No. 18 Tahun 1997 mengatur kewenangan daerah untuk
memungut 3 pajak daerah untuk provinsi, 7 pajak daerah untuk kabupaten/
kota, dan 3 golongan retribusi daerah.268 Dalam PP No. 20 Tahun 1997,
ditentukan 11 jenis dari golongan retribusi jasa umum, 12 jenis untuk
golongan retribusi jasa usaha, dan 6 jenis golongan retribusi perizinan
tertentu.
Setelah berlakunya UU No. 22 Tahun 1999, UU N0.18 Tahun 1997
diubah untuk disesuikan, dan lahirlah perubahan pertama dari UU tersebut
(UU No. 34 Tahun 2000). UU No. 34 Tahun 2000 menambahkan 1 jenis
pajak daerah untuk provinsi dan 1 jenis untuk pajak daerah kabupaten/ kota.
Sementara itu, pengaturan mengenai retribusi daerah diatur dalam PP No.66
Tahun 2001 (menggantikan PP No. 20 Tahun 1997) dan ditentukan 10 jenis
dari golongan jasa retribusi umum, 13 jenis untuk golongan retribusi jasa
usaha, dan 4 jenis golongan retribusi perizinan tertentu yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah.
UU No. 18 Tahun 1997 dan UU No. 34 Tahun 2000 sama-sama
mengatur bahwa selain jenis pajak daerah yang telah ditentukan dapat
ditambahkan jenis pajak daerah lain berdasarkan kriteria yang ditentukan UU
tersebut (sistem terbuka). Perbedaannya, UU No 18 Tahun 1997 mengatur
267 Pasal 7 UU No. 33 Tahun 2004. 268 UU No.18 Tahun 1997 tidak mengatur jenis-jenis retribusi daerah seperti halnya pajak daerah. Jenis-jenis retribusi daerah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1997.
103
bahwa penambahan jenis pajak daerah tersebut ditetapkan dalam PP269,
sementara dalam UU No. 34 Tahun 2000, penambahan tersebut ditetapkan
dengan peraturan daerah.270
Dalam hal retribusi daerah, PP No. 20 Tahun 1997 tidak memberikan
kewenangan kepada daerah untuk menetapkan jenis retribusi lain selain
yang ditetapkan dalam PP tersebut (sistem tertutup). Sementara itu, PP
No.66 Tahun 2001 menentukan bahwa daerah dapat mengatur jenis retribusi
daerah selain yang ditentukan dalam kedua PP tersebut dengan kriteria yang
ditentukan dalam UU No. 34 Tahun 2000 (sistem terbuka). Penambahan
jenis retribusi daerah ditetapkan dalam bentuk Perda.
Perbedaan pengaturan di atas mencerminkan bahwa UU No. 18
Tahun 1997 dan PP No. 20 Tahun 1997 memberikan kewenangan untuk
menambahkan jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah kepada
pemerintah pusat, sementara UU No. 34 Tahun 2000 dan PP No. 66 Tahun
2001, memberikan kewenangan tersebut kepada pemerintahan daerah.
Dengan demikian, ketentuan dalam UU No. 34 Tahun 2000 dan PP No. 66
Tahun 2001, memberikan otonomi yang lebih luas dibandingkan UU No. 18
Tahun 1997 dan PP No. 20 Tahun 1997 dalam menentukan jenis-jenis pajak
daerah dan retribusi daerah.
Menggantikan UU sebelumnya, UU No. 28 Tahun 2009 mulai
diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010.271 Berbeda dengan dengan UU
No. 18 Tahun 1997 dan perubahan pertamanya (UU No. 34 Tahun 2000),
UU No. 28 Tahun 2009, mengatur jenis pajak daerah sistem daftar
tertutup272. Artinya, daerah tidak dapat memungut pajak daerah selain yang
ditentukan dalam UU tersebut.
269 Lihat Pasal 2 ayat (3) UU No. 18 Tahun 1997. 270 Lihat Pasal 2 ayat (4) UU No. 34 Tahun 2000. 271 Lihat Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009. 272 Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Selasa (4/8) mengatakan: ”Sistem yang ditetapkan bersifat daftar tertutup, artinya daerah hanya diperbolehkan memungut pajak dan retribusi sesuai undang-undang ini sehingga tidak ada lagi daerah yang perlu mengubah, mencari, atau berkreasi yang tidak baik dalam arti mencari-cari penghasilan asli daerah,” “Pajak Daerah Dibatasi,
104
UU No. 28 Tahun 2009 juga menambahkan jenis pajak daerah baru,
masing –masing 1 untuk provinsi (pajak rokok) dan 3 untuk kabupaten/ kota
(pajak sarang burung wallet, PBB pedesan dan perkotaan serta BPHTB).273
Sebelumnya, semua PBB, termasuk PBB pedesaan dan perkotaan menjadi
kewenangan pusat, BPHTB. Walaupun tidak semua jenis PBB diberikan
kewenangan kepada daerah, namun hal ini merupakan satu kemajuan dalam
hal kewenangan daerah memungut pajak. Padahal jika dibandingkan dengan
negara-negara asia tenggara lainnya, seperti Filipina, Thailand, Malaysia
PBB atau secara umum dikenal sebagai property tax sudah diberikan
kewenangannya kepada daerah sejak lama.274
Pungutan atas usaha rokok sebelumnya, hanya dikenal pungutan
cukai rokok, sementara dalam UU No. 28 Tahun 2009, selain cukai rokok
yang menjadi kewenangan provinsi, cukai rokok pun tetap diberlakukan dan
tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pajak rokok sebagai pajak
daerah baru ditentukan untuk dipungut instansi pemerintah yang berwenang
memungut cukai bersamaan pungutan cukai rokok.275 Pajak rokok ini baru
berlaku 1 Januari 2014.276
Dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai rokok yang ditetapkan
pemetintah terhadap rokok dan tarif pajak rokok ditentukan sebesar 10% dari
cukai rokok.277 Hasil penerimaan pajak tersebut juga merupakan objek
pembagian antara kabupaten/ kota dan provinsi. Hasil penerimaan pajak
tersebut sebesar 70% dialokasikan untuk kabupaten/kota278, sehingga
provinsi menerima sisanya (30%). Sementara itu, pajak sarang burung walet
Pelayanan kepada Masyarakat Wajib Ditingkatkan”, Kompas, Rabu, 5 Agustus 2009, diakses dari http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/05/04112298/pajak.daerah.dibatasi. 273 Ibid. 274 Filipina memberikan kewenangan kepada daerah untuk memungut the real property tax sejak diundangkannya Local Government Act 1959, sementara Thailand memberikan kewenangan kepada daerah untuk memungut a single property based tax (1999). Malaysia juga memberikan kewenangan yang sama kepada daerah (berupa property tax) sejak diundangkannya Local Government Act 1976 (Act No. 171). Lihat, Larry Schroeder, “Fiscal Decentralization in South East Asia”, Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management, Vol. 15 No. 3, Academic Press, 2003, hlm. 392, 393, 402, 405. 275 Pasal 27 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009. 276 Pasal 181 UU No. 28 Tahun 2009. 277 Lihat Pasal 28 dan Pasal 29 UU No. 28 Tahun 2009. 278 Pasal 94 ayat (1) huruf c UU No. 28 Tahun 2009.
105
merupakan pajak daerah yang dipungut bagi daerah-daerah yang memiliki
sumber daya tersebut dengan tarif maksimal 10 %.279
Selain penambahan jenis pajak baru, UU No. 28 Tahun 2009 juga
mengubah beberapa pengaturan pajak daerah yang sebelumnya telah ada
dalam UU sebelumnya. Pertama, pajak kendaraan bermotor menggunakan
tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya
dengan tarif 2% sampai maksimal 10% di mana ketentuan progresivitasnya
ditentukan oleh Perda provinsi, kepemilikan pertama ditetapkan tariff minimal
1% dan maksimal 2%.280 Kedua, tarif pajak bahan bakar kendaraan
bermotor ditetapkan maksimal 10%281, namun tarif pajak untuk kendaraan
umum dapat ditentukan 50% lebih rendah dari tarif kendaraan pribadi.282 Bila
terjadi kenaikan harga tinggi atas BBM, pemerintah pusat dapat mengubah
besaran tarif Perda melalui Perpres.283 Ketiga, Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang semula merupakan
kewenangan Provinsi, digantikan istilahnya dengan pajak pengambilan dan
pemanfatan air tanah dan air permukaan. Tidak sekedar menggantikan
nomenklatur, UU tersebut juga menentukan bahwa pajak air tanah menjadi
pajak daerah kabupaten/kota, sementara pajak air permukaan menjadi pajak
daerah provinsi,284 dan air permukaan yang hanya di satu kabupaten/kota
berlaku aturan khusus.285 Keempat, ada beberapa jenis pajak daerah yang
sudah ada, basis pajaknya (tax base) diperluas, yaitu, Pajak Kendaraan
Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga
mencakup kendaraan Pemerintah,286 Pajak Hotel diperluas hingga
279 Pasal 75 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009. 280 Pasal 6 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009. 281 Pasal19 ayat(1) UU No. 28 Tahun 2009. 282 Pasal19 ayat(2) UU No. 28 Tahun 2009. 283 Pasal19 ayat(3) UU No. 28 Tahun 2009. 284 Lihat Pasal 2 ayat(1) huruf d, dan Pasal 2 ayat (2) huruf h UU No. 28 Tahun 2009. 285 Hasil penerimaan Pajak Air Permukaan diserahkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen). Lihat Pasal 94 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009. 286 Tarif pajak Kendaraan pemerintah (termasuk TNI/POLRI, dan Pemerintah Daerah) bersama Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, dan kendaraan lain yang ditetapkan dengan
106
mencakup seluruh persewaan di hotel,287 Pajak Restoran diperluas hingga
mencakup pelayanan katering,288 tarif Pajak Hiburan untuk hiburan – hiburan
tertentu dinaikkan hingga mencapai tariff maksimal 75%.289 Kelima, ada
beberapa jenis pajak yang hasil penerimaan ditentukan penggunaannya,
yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (minimal 10% dari hasi penerimaan pajak
ini untuk belanja infrastruktur jalan (pembangunan dan/atau pemeliharaan
jalan) serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum di
daerahnya)290; Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian
kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk
mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh
aparat yang berwenang291; dan Pajak Penerangan Jalan juga sebagian
dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.292
2. Dana Perimbangan a. Dana Bagi Hasil
Komponen DBH dalam UU No. 33 Tahun 2004 terdiri pembagian
beberapa jenis pajak (pusat) dan hasil pengelolaan sumber daya alam. Pajak
pusat yang menjadi sumber DBH dari pajak adalah dari pajak bumi dan
bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.293 Hal tersebut berbeda dengan Bagian
Perda, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% dan paling tinggi sebesar 1%. Lihat Pasal 6 ayat(3) UU No. 28 Tahun 2009. 287 Pengertian hotel menjadi diperluas menjadi: fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata,pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh). Lihat Pasal 1 angka 21 UU No. 28 Tahun 2009. 288 Pengertian restoran dalam Pasal 1 angka 23 UU No. 28 Tahun 2009 juga mencakup jasa boga/katering. 289 Jenis hiburan yang dimaksud yaitu: pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa . Lihat Pasal 45 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009. 290 Lihat Pasal 8 ayat (5) UU No. 28 Tahun 2009. 291 Pasal 31 UU No. 28 Tahun 2009. 292 Pasal 56 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009. 293 Pasal 11 ayat (2) UU No.33 Tahun 2004.
107
Daerah atas pajak dalam UU No. 22 Tahun 1999, yang tidak mencantumkan
PPh sebagai salah satu sumber bagian daerah atas pajak.
DBH dari penerimaan sumber daya alam (DBH-SDA) berasal dari 6
bidang sumber daya alam yang menjadi sumber yaitu: kehutanan,
pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi,
pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.294 Hal ini juga
berbeda dengan bidang –bidang sumber daya alam yang menjadi sumber
Bagian Daerah atas sumber daya alam dalam UU No.22 Tahun 1999 yang
tidak mencantumkan bidang pertambangan panas bumi. Dengan demikian,
jika dibandingkan dengan UU No. 22 Tahun 1999, maka UU No. 33 Tahun
2004 menambah penerimaan pusat atas bidang sumber daya alam yang
dibagi ke daerah.
Dalam DBH pajak ada dua hal yang penting, yaitu: mengenai
prosentase alokasi DBH dari sektor pajak, serta persentase pembagian DBH
antara satuan pemerintahan daerah. Pengaturan persentase perimbangan
alokasi DBH PBB dan BPHTB antara pusat dan daerah adalah 10 % : 90 %
untuk DBH PBB dan 20% : 80 % untuk DBH BPHTB. Sementara itu, 10%
(sepuluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada
seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi
penerimaan PBB tahun anggaran berjalan. Dari persentase 10 % bagian
pusat dengan imbangan di atas maka persentase riil yang dibagi adalah
6,5% untuk seluruh kabupaten/kota yang dibagikan secara merata, dan
3,5% yang dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten dan/kota.
Penerimaan insentif tersebut diberikan kepada kabupaten/ kota yang
realisasi penerimaan PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan pada tahun
anggaran sebelumnya, mencapai/melampaui rencana penerimaan yang
ditetapkan. 295
294 Pasal 11 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004. 295 Lihat Pasal 6 ayat (2) PP No. 55 Tahun 2005.
108
Sementara itu, DBH dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80%
(delapan puluh persen)296, sementara 20% (dua puluh persen) bagian
Pemerintah dari penerimaan BPHTB dibagikan dengan porsi yang sama
besar untuk seluruh kabupaten dan kota.297
Dari pengaturan di atas, walauapun pada awalnya terdapat
perimbangan alokasi DBH antara pusat dan daerah, namun berujung pada
pengalokasian DBH dari penerimaan PBB dan BPHTB 100 % pada daerah.
Dengan demikian, pendapatan negara dari penerimaan PBB dan BPHTB
dibagi habis kepada daerah dengan persentase di atas.
Berbeda dengan DBH dari PBB dan BPHTB yang dibagi habis pada
daerah, alokasi DBH dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib
Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 hanya 20 % yang
menjadi bagian daerah.298 Dengan demikian, 80 % penerimaan PPh di atas
menjadi bagian pusat.
Dari 20 % bagian daerah di atas, dibagi dengan imbangan 60% (enam
puluh persen) untuk kabupaten/kota dan 40% (empat puluh persen) untuk
provinsi. Dengan demikian, provinsi mendapatkan bagian sebesar 8 % dan
kabupaten/ kota di provinsi bersangkutan mendapatkan 12 % dari bagian
daerah.299
Sementara itu, penerimaan 6 bidang SDA yang dibagi dengan daerah
dilakukan dengan memberikan persentase tertentu yang sifatnya tetap.
Untuk penerimaan kehutanan, terdapat dua macam sub bidang penerimaan
yang dibagi yaitu penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH), Provisi
Sumber Daya Hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi. Persentase pembagian
IHPH dan PSDH yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan
adalah 20 % untuk pusat dan 80 % untuk daerah.300 Sementara itu,
penerimaan kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan
296 Lihat Pasal 13 ayat (4) UU No.33 Tahun 2004. 297 Pasal 12 ayat (5) UU No. 33 Tahun 2004. 298 Lihat Pasal 13 ayat (1) UU No, 33 Tahun 2004. 299 Lihat Pasal 8 ayat (2) PP No. 55 Tahun 2005. 300 Lihat Pasal 14 huruf a UU No. 33 Tahun 2004.
109
imbangan sebesar 60% untuk pusat dan 40% untuk daerah,301 untuk
mendanai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.302
Penerimaan pertambangan umum yang dihasilkan dari wilayah
daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh
persen) untuk pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah.303
Sementara itu, persentase pembagian Penerimaan Perikanan yang diterima
secara nasional juga sama (20% : 80%), namun 80 % bagian daerah hanya
diperuntukkan bagi seluruh kabupaten/kota, tidak kepada provinsi.304
Penerimaan Perikanan tersebut terdiri atas Penerimaan Pungutan
Pengusahaan Perikanan; dan Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan305 dan
dibagikan dengan porsi yang sama besar kepada kabupaten/kota di seluruh
Indonesia.306
Penerimaan Pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah
daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan
imbangan:307 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk
Pemerintah; dan 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah.
Sementara itu, penerimaan dari pertambangan gas bumi dibagi
dengan imbangan:308 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk
pemerintah; dan 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk daerah. Bagi
DBH yang berasal dari penerimaan pertambangan minyak bumi dan gas
bumi, UU No. 33 Tahun 2004 mengatur bahwa sebesar 0,5% dialokasikan
untuk menambah anggaran pendidikan dasar.309
301 Lihat Pasal14 huruf b UU No.33 Tahun 2004. 302 Lihat Pasal 16 huruf b UU No. 33 Tahun 2004. 303 Lihat Pasal 14 huruf c UU No.33 Tahun 2004. 304 Lihat Pasal14 huruf d UU No.33 Tahun 2004. 305 Lihat Pasal 18 ayat (1) UU No.33 Tahun 2004. 306 Lihat Pasal 18 ayat (2) UU No.33 Tahun 2004. 307 Lihat Pasal14 huruf e UU No.33 Tahun 2004. 308 Lihat Pasal14 huruf f UU No.33 Tahun 2004. 309 Lihat Pasal 20 ayat (1)
110
Jika ketentuan peruntukkan untuk alokasi pendidikan dasar tersebut
dilanggar, UU No. 33 Tahun 2004 mengatur sanksi administrasi berupa
pemotongan atas penyaluran DBH minyak bumi dan gas bumi.310
Pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang
bersangkutan yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
terdiri atas:311 Setoran Bagian Pemerintah; dan, Iuran tetap dan iuran
produksi. Penerimaan tersebut dibagi dengan imbangan 20% untuk pusat
dan 80% untuk daerah.312 20% DBH tersebut dibagi dengan rincian:313 16%
(enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; 32% (tiga puluh dua
persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan 32% (tiga puluh dua persen)
untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.314
b. Dana Alokasi Umum DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah
duntuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.315 Presentase keseluruhan dana tersebut sekurang-
kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto316 yang ditetapkan
dalam APBN.317 Istilah “sekurang-kurangnya”, berkaitan dengan
kemungkinan bertambahnya presentase DAU jika terdapat kelebihan
penerimaan negara dari minyak bumi dan gas bumi yang ditetapkan dalam
APBN Perubahanyang dialokasikan sebagai DAU tambahan318 berdasarkan
formula DAU atas dasar celah fiskal.319 Jika dibandingkan dengan UU No.
310 Lihat Pasal 25 UU No. 33 Tahun 2004. 311 Lihat Pasal 21 ayat (1) UU No.33 Tahun 2004. 312 Lihat Pasal14 huruf g UU No.33 Tahun 2004. 313 Lihat Pasal 21 ayat (2) UU No.33 Tahun 2004. 314 dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Lihat Pasal 21 ayat (3) UU No.33 Tahun 2004. 315 Pasal 1 angka 21 UU No.33 Tahun 2004. 316 Pendapatan Dalam Negeri Neto adalah Penerimaan Negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan Penerimaan Negara yang dibagihasilkan kepada Daerah. Lihat Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004. 317 Pasal 27 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004. 318 Lihat Pasal 47 ayat (1) PP No. 55 Tahun 2005. 319 Lihat Pasal 47 ayat (2) PP No. 55 Tahun 2005.
111
25 Tahun 1999 yang hanya mengatur jumlah DAU sebesar 25 % dengan
formula yang hampir sama, presentase DAU berdasarkan UU No. 33 Tahun
2004 lebih besar.320
DAU pada dasarnya yang dialokasikan untuk suatu daerah
dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar.321 UU No. 33 Tahun
2004 menentukan bahwa formula menentukan celah fiskal adalah kebutuhan
fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah.322 Sementara itu, alokasi
dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah
(PNSD).323 Dengan demikian, jumlah DAU yang diterima setiap daerah
adalah celah fiskal ditambah alokasi dasar.
Sebagaimana disinggung di atas bahwa, celah fiskal merupakan
kebutuhan fiskal dikurangi kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal yang
merupakan kebutuhan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan
fungsi layanan dasar umum324, diukur secara berturut-turut dengan jumlah
penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), Produk
Domestik Regional Bruto (PDB) per kapita, dan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM).325 Sementara itu, Kapasitas fiskal Daerah merupakan
sumber pendanaan Daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil.326
Dari pengaturan tersebut, terlihat bahwa formula penentuan celah fiskal,
khususnya formula penghitungan kebutuhan fiskal lebih rumit, jika
dibandingkan dengan penghitungan alokasi dasar yang hanya didasarkan
pada gaji PNSD. Apalagi ditentukan juga bahwa proporsi DAU antara daerah
provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan
antara provinsi dan kabupaten/kota.327
320 Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 25 Tahun 1999 diatur bahwa “Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN”. 321 Pasal 27 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004. 322 Pasal 27 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004. 323 Pasal 27 ayat (4) UU No. 33 Tahun 2004. 324 Pasal 28 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004. 325 Pasal 28 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004. 326 Pasal 28 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004. 327 Pasal 29 UU No. 33 Tahun 2004.
112
Besarnya jumlah celah fiskal akan mempengaruhi jumlah alokasi DAU
yang diperoleh suatu daerah. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama
dengan nol menerima DAU sebesar alokasi dasar.328 Sementara itu, daerah
yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil
dari alokasi dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi
nilai celah fiskal.329 Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai
negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima
DAU.330
c. Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan
untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah
dan sesuai dengan prioritas nasional.331 Berbeda dengan dana perimbangan
lainnya, DAK tidak ditentukan berdasarkan presentase tertentu. Besaran
DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN.332 Hal ini disebabkan DAK
dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus sesuai
dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN333 yang merupakan urusan
daerah.334
Daerah penerima DAK juga ditentukan wajib menyediakan Dana
Pendamping sekurang-kurangnya 10% dari alokasi DAK335. Hal ini dapat
dimengerti karena pada dasarnya urusan pemerintahan yang dibiayai DAK
merupakan kewenangan daerah. Namun demikian, daerah dengan
kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping.
3. Pinjaman Daerah
328 Pasal 32 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004. 329 Pasal 32 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004. 330 Pasal 32 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004. 331 Lihat Pasal 1 angka 23 UU No. 33 Tahun 2004. 332 Pasal 38 UU No. 33 Tahun 2004. 333 Pasal 39 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004. 334 Pasal 39 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004. 335 Pasal 41 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004.
113
Salah satu sumber pembiayaan daerah (untuk menutupi defisit
anggaran) yang diandalkan adalah melalui pinjaman daerah. UU No. 33
Tahun 2004 mengatur sejumlah ketentuan mengenai kewenangan
pemerintahan daerah untuk melakukan pinjaman (daerah), termasuk
kewenangan yang tetap dimiliki oleh pusat, dalam 6 batas pinjaman,
prosedur pinjaman, sumber pinjaman, jenis dan jangka waktu pinjaman,
penggunaan pinjaman, persyaratan pinjaman.
Mengenai batas pinjaman, pemerintah pusat menetapkan batas
maksimal kumulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan
perekonomian nasional.336 Batas maksimal kumulatif pinjaman tidak melebihi
60% (enam puluh persen) dari Produk Domestik Bruto tahun
bersangkutan.337 Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal kumulatif
pinjaman Pemerintah Daerah secara keseluruhan selambat-lambatnya bulan
Agustus untuk tahun anggaran berikutnya.338
Namun demikian, yang paling penting dalam hal ini, bahwa daerah
tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri.339 Jika
daerah melakuan pelanggaran terhadap ketentuan, maka akan dikenakan
sanksi administratif berupa penundaan dan/atau pemotongan atas
penyaluran dana perimbangan oleh Menteri Keuangan.340 Hal ini berkaitan
dengan pengaturan mengenai prosedur pinjaman daerah, di mana
pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah yang
dananya berasal dari luar negeri.341 Pinjaman kepada pemerintah daerah
dilakukan melalui perjanjian penerusan pinjaman kepada pemerintah
daerah.342 Perjanjian penerusan pinjaman dilakukan antara Menteri
Keuangan dan Kepala Daerah dan dapat dinyatakan dalam mata uang
336 Pasal 49 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004. 337 Pasal 49 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004. 338 Pasal 49 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004. 339 Pasal 50 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004. 340 Pasal 50 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004. 341 Pasal 56 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004. 342 Pasal 56 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004.
114
Rupiah atau mata uang asing.343 Daerah memang tidak diberikan
kewenangan untuk melakukan pinjaman luar negeri, namun daerah secara
tidak langsung juga dapat melakukan pinjaman luar negeri melalui
penerusan pinjaman oleh pemerintah pusat.
C. Hubungan Pengawasan Pengawasan oleh Pusat terhadap Daerah ternyata secara yuridis-
historis telah dilakukan sejak bangsa Indonesia memulai kehidupan
bernegaranya sebagai bangsa yang merdeka. Undang-Undang Dasar 1945
sebagai konstitusi negara sejak awal telah meletakkan dasar-dasar berpikir
tentang keberadaan pengawasan Pusat terhadap Daerah. Memang,
ketentuan tentang pengawasan Pusat terhadap Daerah menurut UUD 1945
secara normatif-eksplisit tidak diatur di dalam UUD 1945. Akan tetapi
landasan berpikirnya dapat ditelusuri paling dari 2 (dua) hal, yaitu:
1. Pembukaan UUD 1945 (Alinea Keempat); dan Batang Tubuh UUD 1945
Di dalam Pembukaan UUD 1945, landasan berpikir tentang
pengawasan Pusat terhadap Daerah dapat ditelusuri di dalam Alinea
Keempat UUD 1945. Rumusan alinea keempat itu adalah:
”Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
343 Pasal 56 ayat (3) dan (4) UU No. 33 Tahun 2004.
115
/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.”
Untuk mengkaji dasar pemikiran pengawasan Pusat terhadap Daerah
menurut batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu dipilah
materi hukum Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan dilakukan
(Naskah Asli), dan materi hukum Undang-Undang Dasar 1945 setelah
perubahan dilakukan. Ini disebabkan, pasal-pasal yang mengatur tentang
pemerintahan daerah di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam beberapa
ketentuan sudah mengalami perubahan. Untuk itu, kajian tentang dasar
pengawasan Pusat terhadap Daerah dibedakan menjadi 2 (dua) kategori.
Pertama, menurut Batang Tubuh UUD 1945 Sebelum Perubahan.
Terdapat ada 1 (satu) pasal yang memungkinkan untuk dikaji, yaitu Pasal 18.
Pasal 18 UUD 1945 ini dirumuskan sebagai berikut :
“Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa”.
Kedua, menurut Batang Tubuh UUD 1945 Setelah Perubahan. Dasar
pemikiran tentang pengawasan Pusat terhadap Daerah menurut batang
tubuh UUD 1945 setelah perubahan, dapat dikaji dari beberapa pasal dan
ayat. Dikatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.344 Pemerintahan
daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota yang dimaksud tersebut
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan.345 Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ini, kiranya dapat
dikemukakan pertama, bahwa penggunaan istilah “dibagi atas” menurut
Jimly Asshiddiqie, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hubungan antara
344 Pasal 18 ayat (1) Perubahan kedua UUD 1945 345 Pasal 18 ayat (2) Perubahan kedua UUD 1945
116
pemerintah pusat dan daerah bersifat hirarkis dan vertikal. Hal ini dianggap
perlu ditegaskan karena adanya penafsiran yang timbul akibat penerapan
kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang
mengembangkan pola hubungan antara pusat dan daerah serta hubungan
antara daerah yang dipahami bersifat horizontal.346 Kedua, bahwa tiap-tiap
satuan pemerintahan daerah itu oleh UUD 1945 diberi kewenangan untuk
mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan. Ada beberapa ayat yang penting untuk
diidentifikasikan sehubungan dengan dasar pengawasan Pusat terhadap
Daerah. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat.347 Untuk menjalankan urusan yang diberikan itu,
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan,348 yang
susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.349 Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka dapat
ditarik beberapa pengertian bahwa pertama, pemerintahan daerah memiliki
hak untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya dan tugas pembantuan;
kedua, tetapi pelaksanaan otonomi itu dibatasi oleh 2 (dua) hal, yaitu karena
bukan urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan pemerintah pusat dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan
daerahnya diatur oleh undang-undang. Ketiga, peraturan daerah merupakan
merupakan instrumen hukum yang dibentuk oleh pemerintahan daerah
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
Keempat, dengan memahami logika hukum pernyataan pertama dan
kedua,dapat dikemukakan bahwa ternyata secara konstitusional terdapat
pembatasan-pembatasan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah berdasarkan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dan tugas 346 Lihat, Jimly Ashiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH. UI, Jakarta, 2002, hlm. 21 347 Pasal 18 ayat (5) Perubahan kedua UUD 1945 348 Pasal 18 ayat (6) Perubahan kedua UUD 1945 349 Pasal 18 ayat (7) Perubahan kedua UUD 1945
117
pembantuan. Pembatasan-pembatasan tersebut dimaksudkan agar Daerah
tidak mengatur urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan pemerintah pusat. Untuk kepentingan itulah, maka dalam
rangka penegakan ketentuan hukum ini, lembaga ’pengawasan’ Pusat
terhadap Daerah dipandang perlu keberadaannya. Tujuannya tidak lain
adalah dalam rangka mencegah atau menanggulangi terjadinya
penyimpangan-penyimpangan wewenang oleh Daerah berkenaan dengan
implementasi kebijakannya untuk mengatur urusan rumah tangga
Daerahnya.
Selain beberapa ketentuan di atas, yang dapat dicermati adalah
dalam Pasal 18A adalah bahwa tidak tercantum secara eksplisit ketentuan
yang mengatur tentang pengawasan Pusat terhadap Daerah. Akan tetapi,
dengan memahami materi hubungan wewenang antara Pusat dan Daerah,
maka akan dapat diperoleh petunjuk bahwa lembaga ’pengawasan’ ternyata
juga memperoleh dasar pemikiran dalam pasal ini. Hubungan wewenang
antara Pusat dan Daerah dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman masing-masing daerah diatur dengan Undang-undang.
Kekhususan dan keragaman dimaksudkan yang ada pada masing-masing
daerah.350 Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara Pusat dengan Daerah
juga diatur dengan Undang-Undang.351
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai Undang-Undang
organik Pasal 18A UUD 1945, ternyata telah mengatur hubungan wewenang
antara Pusat dan Daerah, termasuk wewenang pembinaan dan pengawasan
Pusat terhadap Daerah dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan
daerah.
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
350 Pasal 18 A ayat (1) Perubahan kedua UUD 1945. 351 Pasal 18 A ayat (2) Perubahan kedua UUD 1945.
118
Pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah pada
dasarnya merupakan kewenangan pemerintah pusat yakni mencakup
beberapa hal.
Pertama, pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di
daerah. Pasal 222 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 mengatur bahwa
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara
nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut untuk
kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur.352 Pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan desa dikoordinasikan oleh bupati/walikota.353
Bupati dan walikota dalam pembinaan dan pengawasan tersebutdapat
melimpahkan pada camat.354
Kedua, pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala
daerah. Ketentuan pengawasan oleh Gubernur juga tersirat dalam ketentuan
mengenai penyusunan APBD kabupaten dan kota.355 Dikatakan bahwa
Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui
bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran
APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari
disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Hasil evaluasi disampaikan
oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota paling lama 15 (lima belas) hari
terhitung sejak diterimanya rancangan Perda kabupaten/kota dan rancangan
Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD tersebut. Apabila
Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan
rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sudah
sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi
Perda dan Peraturan Bupati/Walikota. Apabila Gubernur menyatakan hasil
evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan
352 Pasal 222 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 353 Pasal 222 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 354 Pasal 222 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 355 Pasal 186 UU No. 32 Tahun 2004
119
Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD tidak sesuai dengan kepentingan
umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota
bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh
Bupati/Walikota dan DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan
rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota
tentang Penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota,
Gubernur membatalkan Perda dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud
sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya. Gubernur
menyampaikan hasil evaluasi rancangan Perda kabupaten/kota tentang
APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang APBD dan
rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD kepada
Menteri Dalam Negeri.
Berdasarkan Pasal 186 ini, Gubernur memiliki wewenang untuk
melakukan pengawasan terhadap rancangan APBD maupun setelah APBD
tersebut disahkan oleh kabupaten dan kota. Jika pasal dihubungkan dengan
Pasal 222, ternyata Gubernur tidak hanya melakukan koordinasi tapi juga
memiliki wewenang untuk melakukan tindakan hukum terhadap rancangan
Perda APBD dan Perda APBD. Jadi dapat dikatakan, puncaknya adalah
pemberitahuan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri mengenai
tindak lanjut hasil pengawasan. Lebih lanjut dapat dikemukakan mengenai
model-model pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004. Tabel 3
Model-Model Pengawasan dan Pengendalian Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004
NO
UMUM
PREVENTIF
REPRESIF
KETERANGAN
1 Penetapan urusan
pemerintahan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah (Pasal-pasal 10, 11, 12, 13 dan 14).
Ditetapkan oleh UU
2 Penentuan adanya Ditetapkan oleh
120
tugas, wewenang, kewajiban dan larangan bagi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dan DPRD.
UU
3 Pedoman tentang susunan organisasi perangkat daerah dan formasi serta persyaratan jabatan perangkat daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam PP dan berbagai peraturan perundang-undangan
Pasal 128
4 Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada kabupaten/kota perlu berkonsultasi dengan Gubernur
Pasal 130
5 Perpindahan PNS antar kabupaten/kota dalam, antar provinsi, dan dari provinsi/kabupaten/kota perlu memperoleh pertimbangan dari Kepala Badan Kepegawaian Negara
Pasal 131
6 Penetapan formasi PNS dilaksanakan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Pasal 132
7 Pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dikoordinasikan pada tingkat daerah oleh Gubernur
Pasal 135
8 Larangan Perda bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
Pasal 136
9 Tata cara mempersiapkan Raperda diatur
Pasal 140
121
dengan Perpres 10 Perda yang
memuat ancaman pidana dan denda, harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Pasal 143
11 Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 hari setelah ditetapkan
Pasal 145 ayat (1)
12 Pembatalan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dilakukan oleh Presiden (ditetapkan dengan Perpres)
Pasal 145 ayat (2) s/d ayat (7)
13 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), berpedoman pada PP dan perencanaan pembangunan nasiona.
Pasal 150
14 Penetapan Perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah berpedoman pada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lain.
Pasal 158
15 Pedoman penggunaan, supervisi, monitoring dan evaluasi atas dana bagi hasil pajak, dana bagi hasil SDA, DAU dan DAK diatur dalam Permendagri
Pasal 163
16 Belanja daerah harus Pasal 167
122
mempertimbangkan analisis standar belanja, standar harga, tolok ukur kinerja, dan standar pelayanan minimal yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
17 Belanja kepala daerah dan wakil kepala daerah dan belanja pimpinan dan anggota DPRD diatur dalam Perda dengan berpedoman pad PP
Pasal 168
18 Pertimbangan Mendagri dalam melakukan pinjaman yang berasal dari penrusan pinjaman hutang luar negeri dari Menkeu.
Pasal 170
19 Ketentuan mengenai pinjaman daerah dan obligasi daerah diaatur dengan PP
Pasal 171
20 Pengaturan tentang persyaratan pembentukan dana cadangan daerah, pengelolaan dan pertanggungjawabannya ditetapkan dengan PP
Pasal 172
21 Penyertaan modal daerah pada suatu BUMN/swasta, dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Pasal 173
22 Pengendalian defisit anggaran
Pasal 174-175
123
oleh Mendagri 23 Pengelolaan Barang
Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Pasal 178
24 Evaluasi Raperda dan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD, Perubahan APBD dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD, untuk provinsi oleh Mendagri dan untuk kabupaten/kota oleh Gubernur.
Pasal 185 s/d 190
25 Pedoman penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah diatur dalam PP.
Pasal 194
26 Tata cara pelaksanaan kerja sama antar daerah diatur dalam PP
Pasal 195 s/d 197
27 Pedoman pembinaan dan pengawasan yang meliputi standar, norma, prosedur, penghargaan, dan sanksi ditetapkan dalam PP.
Pasal 217 s/d 223.
28 Pemeriksaan oleh BPK terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah
Pasal 221 dan UU tentang BPK
29 Pembentukan dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah diatur dalam Perpres.
Pasal 224
124
3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah diterbitkan
sebagai pedoman pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan daerah.356 PP ini memisahkan antara pembinaan dan
pengawasan dalam Bab yang berbeda, yaitu Bab II dan Bab III. Mengenai
pembinaan dikatakan bahwa Pembinaan atas penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:357 a)
koordinasi pemerintahan antar susunan Pemerintahan; b) pemberian
pedoman dan standar pelaksanaan urusan Pemerintahan; c) pemberian
bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; d)
pendidikan dan pelatihan; dan e) perencanaan, penelitian, pengembangan,
pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan Pemerintahan. Pembinaan
sebagaimana tersebut dilakukan terhadap kepala daerah atau wakil kepala
daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perangkat daerah,
pegawai negeri sipil daerah, dan kepala desa, perangkat desa, dan anggota
badan permusyawaratan desa.358
Pada pengaturan mengenai pengawasan, disebutkan bahwa
pengawasan pelaksanaan urusan Pemerintahan di daerah meliputi:359 a)
pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi; b) pelaksanaan
urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota; dan c) pelaksanaan urusan
pemerintahan desa. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi
tersebut terdiri dari:360 a) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah yang
bersifat wajib; b) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah yang bersifat
pilihan; dan c) pelaksanaan urusan pemerintahan menurut dekonsentrasi
dan tugas pembantuan. Pengawasan terhadap urusan pemerintahan di
356 Konsiderans PP No. 79 Tahun 2008 Tentang Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 357 Pasal 2 ayat (1). 358 Pasal 2 ayat (2). 359 Pasal 20 360 Pasal 21.
125
daerah dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah sesuai
dengan fungsi dan kewenangannya,361 yang dilakukan oleh Inspektorat
Jenderal Departemen, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota.362
Pelaksanan pengawasan tersebut dilakukan oleh pejabat pengawas
pemerintah yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.363
Untuk mengetahui perkembangan sistem pengawasan Pusat terhadap
Daerah dalam pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia dan di
beberapa negara lain, dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini:
361 Pasal 24 ayat (1). 362 Pasal 24 ayat (2). 363 Pasal 24 ayat (3) dan (4).
126
Tabel 4 Perkembangan Pengaturan Pengawasan
No. Periode Sifat/Bentuk Pengawasan
1. UU No. 1 Tahun 1945 Non-Yudisial 2. UU No. 22 Tahun 1948 1. Non-yudisial
2. Represif 3. Preventif
3. UU No. 1 Tahun 1957 1. Preventif 2. Represif
4. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 Represif 5. UU No. 18 Tahun 1965 1. Preventif
2. Represif 3. Umum
6. UU No. 5 Tahun 1974 1. Preventif 2. Represif 3. Umum
7. UU No. 22 Tahun 1999 Represif 8. UU No. 32 Tahun 2004 1. Preventif
2. Represif
127
BAB IV TINJAUAN DIMENSI-DIMENSI HUBUNGAN
ANTARA PUSAT DAN DAERAH
A. Pilar-Pilar Penyelenggaraan Pemerintahan Pengakuan bahwa Indonesia berkomitmen terhadap pilar-pilar negara
kesatuan, kedaulatan rakyat, dan negara hukum telah dituangkan dalam
perubahan ketiga Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.364 Pertama, pilar
negara kesatuan dinyatakan dalam UUD 1945 terdapat dalam Pasal 1 ayat
(1). Disebutkan bahwa bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan,
yang berbentuk Republik. Kedua, pilar kedaulatan rakyat dinyatakan dalam
ayat (2), yaitu bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Ketiga, pilar negara hukum dinyatakan oleh
UUD 1945 dalam Pasal 1 ayat (3), yaitu bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum.
Lebih dari kedaulatan-kedaulatan tersebut, Jimly Asshiddiqie
menjelaskan bahwa Indonesia pun menganut kedaulatan Tuhan dalam
konstitusi. Dari segi internal atau kedaulatan internal, Jimly berpendapat
bahwa UUD 1945 menganut paham kedaulatan yang unik.365 UUD 1945
menggabungkan konsep kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, dan
kedaulatan Tuhan secara sekaligus. … (pasal 1 ayat (2)): kedulatan rakyat,
ayat (3) kedaulatan hukum, pada pokoknya menganut supremasi hukum.
Gagasan kedaulatan Tuhan dianut juga dalam:
1. alinea pertama pembukaan, yang mengatakan “Atas berkat Rahmat Alloh
Yang Maha Kuasa…”
2. Juga, “ kemerdekaan… Negara … berkedaulatan rakyat berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, …”
364 Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 365 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Komputer, Kelompok Gramedia, Jakarta, 2007, hlm. 149, 150.
128
3. Pasal 9 ayat (1) dan (2) menentukan sumpah jabatan presiden … dengan
menyatakan “Demi Alloh”.
4. Pasal 28J ayat (2):
Hanya saja paham kedaulatan Tuhan itu tidak terjelma atau
terwujudkan dalam diri Raja atau Ratu seperti dalam paham teokrasi
(theocracy) yang pernah dipraktikkan dalam sejarah negara-negara Eropa
Masa lalu. Ide kedaulatan Tuhan itu diwujudkan dalam prinsip kebebasan
setiap individu dalam sistem demokrasi dan dicerminkan pula dalam sistem
hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar.
B. Dimensi Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah UUD 1945 telah memberikan dasar-dasar pola hubungan antara
Pusat dan Daerah, meliputi desentralisasi teritorial, dengan asas otonomi
dan tugas pembantuan, dan memberikan otonomi seluas-luasnya. Dengan
pemberian otonomi seluas-luasnya seperti itu, seharusnya sudah
memungkinkan bagi daerah-daerah untuk beragam memiliki urusan.
Walaupun demikian melalui berbagai peraturan pelaksana, dapat terlihat
berbagai ketidakkonsistenan dengan landasan konstitusional ini, pada
dimensi-dimensi hubungan pusat dan daerah. Titinjau dari pola hubungan kewenangan, dari ketentuan Pasal 18 ayat (5)
UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (3) UU No. 32/2004 dapat diambil beberapa hal.
Pertama, kedua ketentuan di atas menggunakan kata ‘kecuali’ (exception) dalam
hal pembagian kewenangan. Kata kecuali dapat diartikan membatasi. Dalam hal ini
membatasi urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat. Jika
ketentuan ini diidentifikasi sebagai rumusan limitatif, maka urusan pemerintah pusat
itu terbatas pada enam urusan ini. Di luar enam urusan ini merupakan urusan
pemerintahan daerah. Pemahaman seperti ini dikenal dengan pendekatan residual.
Residual powernya ada pada pemerintahan daerah sehingga pemerintahan daerah
memiliki otonomi yang luas. Kedua, pelaksanaan pemerintahan daerah yang
berdasarkan otonomi seluas-luasnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Tujuan-tujuan tersebut
sejalan dengan fungsi negara dan pemerintah pada masa modern yang secara
umum dikatakan sebagai negara pelayan (the service state). Apa isi pelayanan itu?
129
Kalau digolongkan terdapat tiga fungsi negara atau pemerintah terhadap rakyat,
yaitu politik, keamanan dan ketertiban (hukum), kemasyarakatan (ekonomi, sosial,
dan lain-lain). Sebagai ujung tombak mewujudkan negara kesejahteraan, tugas
utama pemerintahan daerah di bidang kemasyarakatan adalah yang berkaitan
dengan penyediaan prasarana dan sarana publik (public utilities), pelayanan umum
(public services), dan ketertiban umum yang berkaitan dengan kenyamanan dan
ketenteraman warga.366
Berkaitan dengan daerah istimewa dan otonomi khusus, perkataan ‘khusus’
dalam Pasal 18B UUD 1945 akan memiliki cakupan yang lebih luas karena
dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus (Aceh dan
Papua).367 Untuk Aceh, otonomi khusus berkaitan dengan pelaksanaan syariat
Islam sehingga tidak berbeda dengan status Aceh sebagai daerah istimewa.368
Dengan demikian tidak dapat lagi dijumpai perbedaan mendasar antara ‘khusus’
dan ‘istimewa’ atau dengan kata lain tidak terdapat ‘kriteria baku’ yang dapat
digunakan untuk membedakan kedua istilah tersebut.369 Ketiadaan kriteria baku ini
mengandung resiko-resiko tertentu karena suatu daerah dapat saja menuntut suatu
kekhususan semata-mata didasarkan pada faktor-faktor tertentu.370
Dari persoalan tersebut, jika otonomi dimaknai sebagai sebuah pengakuan
atas keberagaman, maka tidak perlu penyeragaman terlalu banyak baik melalui
rincian pembagian urusan maupun pedoman dan standard. Demikian pula
penjabaran RPJP saat ini cenderung mengubah kepentingan sektor menjadi
kepentingan wilayah. Jika otonomi dijalankan sebagaimana yang dimaksud dalam
Perubahan UUD 1945, maka akan ditemukan bahwa pada setiap daerah memiliki
karakter khusus. Sementara itu pemberian otonomi khusus seperti yang
diberlakukan dalam berbagai UU saat ini lebih merupakan anomali. Berimplikasi
kepada kelembagaan, perangkat di pusat tidak perlu gemuk, kalau urusan-urusan
pemerintahan didesentralisasikan.
366 Bagir Manan, Tugas Sosial Pemerintahan Daerah, Makalah, 2008, hlm. 4. 367 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm 15-16. 368 Ibid., hlm. 16. 369 Ibid. 370 Ibid.
130
Ketidakkonsistenan otonomi kemudian muncul melalui pembagian
kewenangan yang dirinci melalui PP No. 38 tahun 2007, yang mengurangi
keberagaman daerah sebagai bagian dari hakikat otonomi. “penyelundupan”
desentralisasi pun terjadi pula melalui UU sektoral yang menarik urusan yang
sudah didesentralisasikan, menjadi kewenangan pusat, misalnya pada UU
Kehutanan. Inkonsistensi terjadi pula dalam UU Olah raga dan penyuluhan
pertanian yang menghendaki pembentukan semacam lembaga pelaksana di
daerah.
Kekhususan urusan kemudian terjadi dalam pengaturan Pasal 18B
UUD 1945. Perkataan ‘khusus’ tersebut akan memiliki cakupan yang lebih
luas karena dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan
otonomi khusus (Aceh dan Papua).371 Untuk Aceh, otonomi khusus berkaitan
dengan pelaksanaan syariat Islam sehingga tidak berbeda dengan status
Aceh sebagai daerah istimewa.372
C. Dimensi Hubungan Kelembagaan Pusat dan Daerah Pemerintahan daerah merupakan subsistem dari pemerintahan
nasional atau Negara. Efekivitas pemerintahan Negara bergantung kepada
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Keberhasilan
kepemimpinan di daerah menentukan kesuksesan kepemimpinan nasional.
Ketidakmampuan Kepala Daerah dalam menyukseskan pembangunan
daerah berimplikasi pada rendah atau berkurangnya kinerja dan efektivitas
penyelenggaraan pembangunan nasional.373
Paradigma baru Otonomi Daerah harus diterjemahkan oleh Kepala
Daerah sebagai upaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga
serasi dan fokus pada tuntutan kebutuhan masyarakat, karena menurut
James W Fesler, otonomi daerah bukanlah tujuan melainkan suatu
instrument untuk mencapai tujuan. Instrument tersebut haruslah digunakan
secara arif oleh kepala daerah tanpa harus menimbulkan konflik antara pusat
371 Ibid., 15-16. 372 Ibid., 16. 373 J. Kaloh, Kepala Daerah, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003, hlm. 4.
131
dan daerah, atau antar provinsi dan kabupaten/Kota karena jika demikian,
makna otonomi daerah menjadi kabur. Dalam kondisi demikian, kepala
daerah harus waspada terhadap munculnya hubungan antar tingkat
pemerintahan yang bergerang dalam saling ketidakpercayaan, atau suasana
kurang harmonis seperti munculnya egoism masing-masing tanpa menyadari
bahwa fungsi pemerintahan hanya meliputi tiga hal, yaitu pelayanan kepada
masyarakat (public services); membuatkan pedoman/arah atau ketentuan
kepada masyarakat (regulation); dan pemberdayaan (empowerment).374
Pemilihan langsung kepala daerah yang diharapkan dapat
meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam prakteknya tidak terjadi. Proses
penjaringan calon kepala daerah menjadi domain ekslusif partai politik. Klaim
partai politik bahwa jika pencalonan dilakukan hanya melalui partai politik
akan memperkuat kelembagaan partai politik dalam prakteknya juga tidak
menjadi kenyataan. Yang terjadi adalah praktek jual beli “perahu partai
politik” dalam proses pencalonan kepala daerah. Sedangkan masyarakat
dipaksa untuk memilih calon yang telah dipilih oleh parpol tanpa proses
penjaringan yang partisipatif.375
Tuntutan reformasi kelembagaan dicirikan oleh asumsi sebagai
berikut:376
1. Reformasi kelembagaan yang aspiratif dan akseleratif mensyaratkan
adanya kemauan, keberanian, dan komitment politik yang kuat dari
pemerintah daerah;
2. Reformasi kelembagaan mensyaratkan adanya transparansi dan
objektivitas guna menghindari perbuatan KKN dengan cara
mengutamakan orang-orang yang “dekat” dengan pejabat pengambil
374 Ibid, hlm. 16 375 Eko Prasojo, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fisip UI, http://ekoprasojo.com/2008/04/08/konstruksi-ulang-hubungan-pemerintah-pusat-dan-pemerintah-daerah-di-indonesia-antara-sentripetalisme-dan-sentrifugalisme/ 376 Asep Warlan Yusuf, Hubungan Kelembagaan antara Pusat dan Daerah, makalah pada Diskusi Terbatas tentang Hubungan Pusat dan daerah, Pusat Studi Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 4 Agustus 2009
132
keputusan, terutama dalam rangka penataan kepegawaian dalam
kelembagaan yang baru;
3. Reformasi kelembagaan mensyaratkan adanya kepastian dan
perlindungan terhadap upaya pemberdayaan daerah, artinya tidak
dilakukan dengan setengah hati sehingga terjadi tarik ulur antara
kewenangan Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota;
4. Reformasi kelembagaan mensyaratkan adanya penguatan Civil Society
(masyarakat madani) agar sukses, partisipasi serta kontribusi dari dan
oleh mnasyarakat dapat terakomodasi secara maksimal;
5. Reformasi kelembagaan mensyaratkan adanya pengembangan dan
pemberdayaan dalam membangun berbagai aliansi strategis dengan
pihak manapun.
Mekanisme hubungan pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah
dalam kelembagaan (susunan organisasi) menurut Bagir Manan:377
1. Susunan luar; semua satuan pemerintahan tingkat daerah harus tersusun
dalam satu kesatuan susunan integral.
2. Susunan dalam harus mencerminkan dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan Negara.
3. Dalam rangka lebih memperkokoh asas desentralisasi sebagai salah satu
sendi system ketatanegaraan RI, disarankan agar Pemerintah Pusat
mengurangi badan-badan penyelenggara urusan pemerintahan pusat di
daerah. Agar diusahakan sebanyak mungkin pelaksanaan urusan
pemerintahan pusat di daerah dilakukan melalui atau kerjasama dengan
Pemerintah Daerah.378
Konstruksi hubungan tersebut paling tidak memuat pemikiran ulang
mengenai tingkatan pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian
wewenang (atau urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan;
377 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 256 378 Ibid., hlm. 257
133
perimbangan keuangan antar tingkatan pemerintahan; partisipasi daerah
dalam pembuatan keputusan di tingkat nasional; dan intervensi pusat
terhadap daerah.379
Persoalan hubungan pusat dan daerah dalam Negara Kesatuan
dengan sistem desentralisasi lebih luas dari sekedar bertalian dengan cara-
cara penentuan Rumah Tangga daerah, tetapi bersumber pula antara lain
pada cara menyusun dan menyelenggarakan organisasi pemerintahan di
daerah ditinjau dari macam-macam peraturan perundang-undangan
mengenai pemerintahan daerah yang pernah berlaku. Terlihat perbedaan
perwujudan politik otonomi disatu pihak condong kearah desentralisasi,
dipihak lain ke arah sentraliasi. Di samping ada pula yang mengarah pada
gabungan keduanya. Meskipun demikian, segala sesuatunya perlu
ditempatkan dalam hubungan yang serasi. Hubungan pusat dan daerah
dalam sistem otonomi yang bagaimanapun luasnya bukanlah ketentuan
statis tetapi harus merupakan ketentuan yang dinamis pola hubungan itu
harus selalu bergerak seimbang antara ke pusat dan ke daerah yang mampu
menampung kebutuhan masyarakat dan pemerintahan. Dalam hal ini, harus
diperhatikan bergeraknya pola hubungan tersebut tidak sampai menimbulkan
masalah besar khususnya bagi daerah. Dengan diterapkannya otonomi luas
(terutama di Kabupaten dan Kota), akan memperbesar organisasi
pemerintahan daerah, kemungkinan demikian harus diantisipasi dengan
cermat sehingga tidak terjadi susunan organiasi “yang kegemukan” atau
sebaliknya. Begitu pula kemampuan daerah yang satu belum tentu sama
dengan daerah yang lainnya, sehingga harus dimungkinkan adanya
perbedaan susunan organisasi setiap daerah. Bertambah luasnya urusan
Rumah Tangga daerah belum tentu selalu membawa keuntungan bagi
daerah, bahkan sebaliknya dapat menambah beban terlebih-lebih masalah
yang dihadapi bukanlah hanya terletak dalam hubungan antara pusat dan
daerah, tetapi juga hubungan antar daerah itu sendiri.
379 http://ekoprasojo.com/2008/04/08/konstruksi-ulang-hubungan-pemerintah-pusat-dan-pemerintah-daerah-di-indonesia-antara-sentripetalisme-dan-sentrifugalisme/
134
Mengenai kedudukan gubernur, karena ada dua kedudukan sebagai
alat pemerintah pusat, yaitu dalam arti sebagai kepala pemerintahan
daripada pemerintah lokal administratif umum pusat dan sebagai alat
Pemerintah Daerah, yaitu dalam arti sebagai Kepala Pemerintahan dari pada
pemerintah lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri,
dengan sendirinya ia mempunyai dua macam tugas yang berbeda satu
dengan yang lainnya. Perbedaan antara dua macam tugas tersebut tidak
hanya terletak pada macam tugasnya, tapi juga pada cara
penyelenggaraannya dan pertanggungjawabannya.380
Penyelenggaraan dan pertanggungjawaban tugas oleh Gubernur
dalam kedudukannya sebagai alat pemerintah Pusat, tunduk pada prinsip-
prinsip dekonsentrasi, sedangkan dalam kedudukannya sebagai alat
pemerintah daerah tunduk kepada prinsip-prinsip desentralisasi.381 masing-
masing sesuai dengan peraturan yang berlaku saat ini yaitu UU No. 32
Tahun 2004.
Begitu pula berkaitan dengan kelembagaan DPRD. Konsep
perwakilan politik lokal terkait dengan sistem pemerintahan yang dipraktikkan
suatu Negara. Konsep perwakilan politik lokal merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari sistem demokrasi, artinya, keterlibatan masyarakat secara
langsung dan tidak langsung ikut menentukan urusan urusan rumah tangga
daerahnya.382
Meskipun pengaturan tentang susunan, kedudukan serta fungsi
DPRD ini berada dalam satu undang-undang yang sama dengan pengaturan
mengenai susunan, kedudukan dan fungsi DPR RI, bahkan dalam cara
pengisiannyapun sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
pemilu, namun DPRD tidak mempunyai hubungan secara langsung dengan
DPR, atau dengan perkataan lain DPRD bukan merupakan subordinasi dari
380 R. Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hlm. 215. 381 Ibid. 382 BN. Marbun, Perwakilan Politik Lokal dan Eksistensi DPRD dalam Konteks Otonomi Daerah, dalam Kumpulan Tulisan, Pasang Surut Otonomi Daerah, Institute for Local Development dan Yayasan TIFA, editor Anhar Gonggong, Jakarta 2005, hlm. 327
135
DPR RI. Di samping itu DPRD juga sebenarnya merupakan bagian atau
unsur kekuasaan eksekutif pada level pusat karena merupakan bagian dari
penyelenggara pemerintahan daerah. Bahkan dalam hal pembentukan
perda, kekuasaan DPRD baik tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota akan
melalui sebuah upaya evaluasi peraturan pelaksanaannya.
Di atas sudah dijelaskan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir sudah
banyak dibentuk atau dimekarkan suatu daerah, baik provinsi, kabupaten,
atau kota. Terjadinya pemekaran daerah yang meluas hampir di seluruh
wilayah Indonesia sebenarnya diawali dengan peluang yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 disebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten
dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. (Kursif dari Tim
Peneliti).
Di lain pihak, kecenderungan masyarakat untuk membentuk daerah
baru juga didukung oleh lembaga formal baik pada tingkat daerah maupun
pusat. Dalam hal ini, pemerintah daerah induknya, baik
provinsi/kabupaten/kota dan DPRD-nya masing-masing juga menjadi faktor
pendukung terjadinya pemekaran daerah dengan mudahnya memberikan
persetujuan pemekaran daerah yang bersangkutan. Bahkan tidak sedikit di
antara daerah yang memekarkan diri itu diketuai oleh kepala daerah atau
para anggota DPRD-nya. Sebagai balasannnya, banyak di antara mereka
yang kemudian mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang baru tersebut.
Dengan demikian, alasan utama untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan publik, maupun daya saing daerah pun menjadi
tersamar dan yang muncul justru adalah kepentingan elit politik lokal
tersebut.
Demikian pula halnya keterlibatan pemerintah pusat maupun lembaga
negara yang diharapkan akan menjadi penyaring dalam pemekaran daerah
juga tidak berjalan dengan baik. Hal itu dapat dilihat dari mudahnya
pemerintah pusat, melalui Menteri Dalam Negeri, memberikan rekomendasi
136
dalam pembentukan daerah baru. Demikian pula halnya, keterlibatan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) dalam mengajukan rancangan undang-undang
tentang pemekaran daerah sangat memungkinkan dan mendorong terjadinya
pemekaran daerah. Hal itu ternyata menjadi penyebab pemekaran daerah
tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu, peran lembaga formal sangat
penting dalam menyaring dan mengendalikan pemekaran daerah agar
pemekaran daerah itu dapat dikurangi atau dihentikan.
Alasan Majelis Permusyawaratan Rakyat menggunakan istilah
“dibagi” bukan “terdiri atas” adalah untuk menjelaskan bahwa Indonesia
adalah negara kesatuan yang kedaulatan negara berada di tangan Pusat.
Selain itu, hal itu konsisten dengan kesepakatan untuk tetap
mempertahankan bentuk negara kesatuan, di mana jika menggunakan
istilah “terdiri atas” akan lebih menunjukkan susbtansi federalisme karena
istilah itu menunjukkan letak kedaulatan berada di tangan negara-negara
bagian. 383 Secara konseptual dan teoretis, hal itu dapat diterima karena
sangat masuk akal dan berdasar.
Akan tetapi, ternyata dari kata “dibagi” tersebut kemudian
menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam praktik di mana hal itu
diartikan Indonesia akan selalu dibagi ke dalam provinsi, dan provinsi akan
selalu dibagi ke dalam kabupaten atau kota. Penafsiran itu mungkin terlalu
naïf, tetapi faktanya memang seperti itu di mana kemudian pembagian
wilayah atau daerah di Indonesia menjadi sangat dipermudah dalam
undang-undang pelaksanaannya. Hal itu sangat dimungkinkan karena
undang-undang yang berkaitan memang membuka peluang seperti
dijelaskan di atas. Sebagai bukti, hal itu diatur dalam Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menyatakan “Daerah dapat
dimekarkan menjadi lebih dari satu Daerah”. Dari bunyi pasal tersebut
tampak bahwa memang sangat dimungkinkan suatu daerah untuk
dimekarkan bahkan dapat menjadi lebih dari satu daerah (baru).
383 Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit, hlm. 31.
137
Namun, di sisi lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak
membatasi secara tegas sampai berapa banyak jumlah provinsi, kabupaten,
dan kota yang dapat dibentuk di Indonesia. Apabila undang-undang itu
dibaca dalam waktu yang berbeda, maka tampak seperti tidak ada
pembatasan sampai berapa tahap suatu daerah dapat dibagi ke dalam
daerah yang lebih kecil. Artinya, wilayah Indonesia dapat dibagi terus ke
dalam provinsi-provinsi, provinsi dapat dibagi terus ke dalam kabupaten atau
kota, kabupaten atau kota juga dapat dimekarkan terus ke dalam
kecamatan-kecamatan, dan kecamatan pun dapat dipecah lagi ke dalam
kelurahan-kelurahan dan desa-desa. Pasal tersebut sangat memungkinkan
terjadinya pemekaran daerah seperti halnya pemecahan sel yang
berlangsung terus-menerus tanpa ada pembatasan.
Secara formal, kriteria dan prosedur pemekaran daerah yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut sudah cukup baik
selama dijalankan secara ketat dan teruji melalui penelitian dan pengkajian
yang komprehensif. Namun, di sisi lain kriteria dan prosedur tersebut dapat
dianggap terlalu mudah dan terkesan formalistik, sehingga pemenuhannya
lebih banyak ditekankan kepada aspek formalnya semata-mata. Dengan kata
lain, ketentuan tersebut sangat membuka peluang kepada semua daerah
untuk memekarkan diri tanpa melihat kondisi objektif daerah. Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila banyak daerah yang mencoba mengajukan
usulan pemekaran diri sekalipun secara faktual daerahnya tidak memenuhi
persyaratan atau persyaratan formalnya terpenuhi tetapi faktualnya tidak.
Pemenuhan persyaratan yang diajukan dalam pemekaran daerah itu
lebih banyak hanya ditekankan dari segi formal dan prosedur, sementara dari
segi faktual-material banyak yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi
nyata di daerah yang bersangkutan. Bahkan tidak sedikit pula dalam
pemekaran daerah itu dilakukan dengan memaksakan diri padahal situasi
dan kondisi daerah itu sebenarnya belum atau tidak layak dimekarkan.
Dengan kata lain, dalam pemekaran daerah banyak memunculkan data dan
fakta yang berbeda dengan situasi, kondisi, maupun kemampuan daerah
yang bersangkutan. Keadaan itu dimungkinkan terjadi karena adanya
138
kemudahan yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan
dan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mencapai tujuannya.
Hal itu itu menunjukkan sangat longgarnya persyaratan dan prosedur
pemekaran daerah dalam undang-undang, terutama Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 dan peraturan pelaksananya. Sebagai akibatnya, undang-
undang tersebut yang pada awal kehadirannya disambut dengan harapan
yang sangat tinggi agar pelaksanaan otonomi daerah yang sebelumnya
dilaksanakan secara sentralistik berubah menjadi lebih desentralistik justru
dianggap menimbulkan banyak masalah. Hal itu sebagai akibat negatif di
mana daerah diberi kewenangan dan keleluasaan yang sangat luas untuk
mengurus dan mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Pada gilirannya,
pelaksanaan otonomi daerah yang sangat luas tersebut tidak mampu
membawa kesejahteraan bagi masyarakat di daerah.
Dengan demikian, sejarah menunjukkan bahwa pelaksanaan undang-
undang tersebut ternyata tidak berhasil dengan baik, sehingga tujuan
pemberian otonomi daerah seluas-luasnya tidak berjalan sesuai dengan
harapan. Padahal, dengan diberikannya otonomi yang seluas-luasnya
kepada daerah menyebabkan daerah memiliki kekuasaan yang luar biasa
besar dalam menentukan dan mengambil kebijakan menyangkut daerahnya.
Semestinya, hal itu dijadikan peluang untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan publik, maupun daya saing daerah. Namun yang
terjadi justru sebaliknya di mana dengan otonomi yang sangat luas tersebut
menimbulkan banyak ekses negatif, termasuk kebebasan daerah dalam
memekarkan daerahnya menjadi daerah otonom baru. Sebagai akibatnya,
banyak daerah provinsi, kabupaten, atau kota yang sibuk melakukan
pemekaran daerah baru dengan melupakan keberadaannya sebagai
penyelenggara pemerintahan daerah yang memiliki tugas untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan masyarakat, maupun
daya saing daerah.
Akibat lain dari berlakunya undang-undang tersebut, selain banyak
munculnya daerah baru, adalah timbulnya berbagai persoalan yang dihadapi
oleh daerah, seperti adanya kerusakan lingkungan, korupsi, konflik
139
masyarakat, dan sebagainya. Hal itu disebabkan demikian besarnya
kewenangan daerah kabupaten dan kota untuk mengambil kebijakan,
sehingga tidak dapat dikontrol oleh provinsi maupun pusat. Pada akhirnya,
tujuan semula dikeluarkannya undang-undang tersebut tidak berhasil
diwujudkan sesuai dengan harapan pembentuk undang-undang sendiri
maupun masyarakat. Dengan demikian, era otonomi daerah yang sudah
mulai dinikmati oleh daerah kemudian menjadi kehilangan momentum
karena daerah tidak mampu memelihara dan menjaganya.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut
digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Penggantian
tersebut dilakukan untuk mengubah paradigma yang dianut oleh undang-
undang sebelumnya yang terlalu memberikan keleluasan sepenuhnya
kepada daerah tanpa adanya mekanisme kontrol yang proporsional,
termasuk dalam hal pemekaran daerah. Namun demikian, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 juga ternyata masih membuka peluang yang cukup
besar bagi daerah untuk melakukan pemekaran daerah. Hal itu dapat dilihat
dari bunyi Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi ”Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan
daerah”.
Dengan demikian, semangat undang-undang tersebut masih sama
dengan semangat undang-undang sebelumnya yang ”akan selalu membagi”
wilayah atau daerah Indonesia ke dalam bagian yang lebih kecil. Oleh
karena itu, tidak mengherankan dalam kurun waktu 2004 sampai dengan
sekarang (2009) pemekaran daerah juga masih berlangsung. Hal itu
dimungkinkan terjadi dan terus berlangsung karena memang undang-
undangnya membuka peluang untuk itu. Sekalipun banyak pihak yang sudah
menganjurkan upaya pemekaran tersebut dihentikan, hal itu tidak
dilaksanakan oleh banyak daerah. Dengan demikian, ada di antaranya
dalam proses pemekaran tersebut menimbulkan konflik horizontal di antara
masyarakat sendiri atau dengan pemerintah induk (provinsi/kabupaten/ kota)
bahkan dengan pemerintah pusat. Hal itu terjadi karena adanya pihak
140
tertentu yang menginginkan pemekaran dan di lain pihak justru
menentangnya dengan masing-masing alasannya.
Apabila dibandingkan antara kedua ketentuan peraturan perundang-
undangan tersebut, tampaknya tidak terlalu berbeda di mana keduanya
sangat membuka peluang dilakukannya pemekaran daerah. Hal itu
disebabkan persyaratan yang harus dipenuhi tidak ketat, termasuk
posedurnya juga cukup sederhana. Sebagai contoh, tidak adanya syarat
yang mewajibkan persetujuan dari daerah lain dalam pembentukan daerah
baru. Misalnya, apabila akan dibentuk provinsi baru, semua provinsi di
Indonesia harus menyetujui pembentukan provinsi baru tersebut. Hal itu
sangat penting, di samping akan mempengaruhi alokasi anggaran masing-
masing provinsi yang sudah ada, pembentukan daerah baru juga akan
menjadi penyebab berubahnya administrasi kependudukan, kepegawaian,
penghasilan daerah, potensi daerah, dan sebagainya.
Demikian pula halnya dalam pembentukan kabupaten/kota baru harus
mendapatkan persetujuan dari semua kabupaten/kota yang ada dalam
provinsi yang sama. Selain fakto-faktor yang sama dalam pembentukan
provinsi, hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah terjadinya “gangguan”
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Misalnya, akan terjadi
pemungutan retribusi baru oleh kabupaten/kota baru bagi warganya yang
akan melintasi daerah baru tersebut, padahal sebelumnya tidak dipungut
retribusi karena masih merupakan bagian daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan. Apabila sudah berdiri sendiri sebagai kabupaten/kota, daerah
tersebut akan menerapkan ketentuan yang menguntungkan daerahnya
sendiri, tidak peduli apakah “korbannya” adalah tetangganya yang
sebelumnya adalah sesama warga kabupaten/kota sebelum pemekaran
(daerah induk).
Sekalipun dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah
diatur tentang pembatasan waktu berapa lama suatu daerah yang sudah
dimekarkan dapat dimekarkan lagi, baik untuk daerah lama yang sudah
pernah dimekarkan maupun daerah baru yang kemudian akan dimekarkan
lagi, praktiknya hal itu sangat riskan. Alasannya, waktu 10 tahun untuk
141
provinsi dan 7 tahun untuk kabupaten/kota dirasakan kurang karena dalam
waktu sesingkat itu pemerintahannya belum stabil seperti halnya suatu
provinsi atau kabupaten/kota yang sudah lama berdiri. Sebagai contoh,
provinsi Jawa Barat sudah pernah dimekarkan dengan dibentuknya provinsi
Banten pada tahun 2001. Berapa lama sebenarnya kemudian provinsi Jawa
Barat dapat dimekarkan lagi ke dalam provinsi baru? Hal ini sangat penting
untuk memperoleh kejelasan karena sekarang ini sudah muncul
pembentukan provinsi Cirebon dan provinsi Pantai Utara (Pantura).
Demikian pula halnya untuk pembentukan kabupaten/kota baru harus ada
penegasan hal yang sama.
D. Dimensi Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah a. Telaah Terhadap Mekanisme Perimbangan Keuangan
Dilihat dari substansi pengaturannya, UU No. 33 Tahun 2004
memperbaiki ketentuan UU sebelumnya (UU No. 25. Tahun 2000) terkait
dengan jenis –jenis dana perimbangan, persentase yang lebih besar, adanya
dana perimbangan yang peruntukannya di atur (0, 5% DBH sektor Migas
untuk alokasi pendidikan dasar)384 dan sanksinya jika ketentuan tersebut
dilanggar385, serta dalam mekanisme dana perimbangan sebagai instrumen
pengendali pengelolaan keuangan daerah.386 Namun demikian, ada
beberapa hal yang masih menjadi masalah dalam UU tersebut atau jika
dikaitkan dengan UU lainnya.
UU No. 33 Tahun 2004 lebih menekan pada pembagian pendapatan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam konteks tersebut,
penyempurnaan jenis-jenis dana perimbangan, termasuk asal dananya, serta
persentase dana perimbangan menjadi perhatian utama dalam UU tersebut.
384 Lihat Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004. 385 Berupa pemotongan DBH sektor Migas. Pasal 25 UU No. 33 Tahun 2004. 386 Hal tersebut berupa ancaman sanksi penundaan atau pemotongan dana perimbangan jika daerah melanggar larangan melakukan pinjaman luar negeri, kriteria dan batas defisit APBD, kewajiban menyampaikan informasi keuangan daerah sesuai dengan standard akuntansi pemerintah. Lihat Pasal 50 ayat(2), Pasal 83 ayat(4), Pasal 102 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004.
142
Dalam konteks tersebut, UU No. 33 Tahun 2004 lebih menekankan konsep
desentralisasi fiskal pada transfer dana pusat ke daerah. Padahal
desentralisasi fiskal tidak hanya mencakup hal tersebut, tetapi juga menjamin
daerah untuk lebih mandiri mendapatkan sumber-sumber penerimaan
daerah sesuai dengan potensinya. Transfer dana pusat ke daerah
seharusnya ditempatkan sebagai mekanisme penyeimbang dalam hal
mengatasi masalah ketidakseimbangan kemampuan keuangan secara
vertikal dan horizontal (vertical and horizontal fiscal imbalance). 387 Padahal
jika dikaitkan dengan konsep desentralisasi fiskal, maka sangat besarnya
transfer dana dari pusat ke daerah akan menyebabkan ketergantungan
daerah yang tinggi terhadap pusat.388
DAU yang didasarkan pada perhitungan celah fiskal dapat mengatasi
persoalan vertical imbalance antara pusat dengan daerah. Daerah-daerah
miskin dan terpencil mendapatkan keuntungan yang besar dari pola DAU
dalam UU No. 3 Tahun 2004 terutama sejak tahun 2006, yang disebut oleh
Fengler dan Hofman sebagai the second big bang.389 Sementara itu, daerah-
daerah yang memiliki DBH baik dari sektor pajak, dan terutama DBH sumber
daya alam, pasti memiliki DAU lebih kecil sehingga antara daerah-daerah
yang kaya dengan daerah-daerah miskin dan terpencil dapat tercipta
keseimbangan kemampuan keuangan secara horizontal. Namun demikian,
walaupun secara normatif dan perhitungan “di atas kertas” tercipta
keseimbangan baik vertikal maupun horizontal, namun kenyataannya dana-
dana tersebut sebagian besar tidak terserap, seperti di Aceh dan daerah
Indonesia timur, dana-dana perimbangan tersebut lebih banyak berada di
rekening bank,390 atau dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI),391
387 Roh Bahl, dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), loc.cit., hlm. 10 – 11. 388 Lihat pendapat K. Brueckner, loc.cit., hlm. 1. 389 Istilah big bang (decentralization) mengacu pada fenomena desentralisasi berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 (efektif pada tahun 2001) yang mengubah Indonesia dari negara sentralistis menjadi negara terdesentralisasi secara drastis. Lihat Wolfgang Fengler, Bert Hofman, “Managing Indonesia’s Rapid Decentralization: Achievements And Challenges”, dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), op.cit., hlm. 245 – 246. 390 Ibid., hlm. 254. 391 Ibid., hlm. 246.
143
sementara secara kontras, penyerapan PAD lebih mudah dilakukan.
Meminjam istilah Fengler dan Hofman, daerah lebih mudah menyerap “dana
rakyat yang lain”392 (PAD). Fengler dan Hofman sendiri menegaskan
persoalan ke depan yang menjadi tantangan bukanlah bagaimana
menambah transfer dana dari pusat ke daerah – daerah miskin dan terpencil,
tetapi bagaimana mengelola dana-dana transfer tersebut secara efektif.393
Selain menumpuknya dana-dana transfer dari pusat, belanja daerah pun
lebih banyak dikeluarkan untuk membiayai gaji pegawai, dibandingkan
belanja lain yang terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintah,
seperti belanja modal atau infrastruktur.394 Hal-hal di atas menunjukkan
bahwa desentralisasi fiskal Indonesia lebih banyak ditekankan pada otonomi
pengeluaran, walauapun hasilnya tidak efektif. Dengan kata lain, tantangan
desentralisasi Indonesia di kemudian hari tidak hanya ditekankan pada
efektifitas penggunaan sumber-sumber keuangan daerah secara efektif.
Persoalan yang juga signifikan adalah tingkat otonomi dan kecukupan
pendapatan (revenue autonomy and adequacy) untuk mendapatkan PAD.
Walaupun daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak daerah dan
retribusi daerah, namun hal tersebut tidak efektif. Pajak daerah dan retribusi
daerah yang diberikan kewenangannya kepada daerah dalam UU No.18
Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000 sangat terbatas. Pajak daerah dalam
UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000 lebih menekankan pada
keseragaman antar daerah, dalam bentuk kewenangan memungut pajak
tertentu (positive list) yang basis pajaknya/ objeknya telah ditetapkan dalam
undang-undang.395 Walaupun daerah dapat menetapkan jenis pajak daerah
lain berdasarkan kriteria yang ditetapkan UU tersebut, namun sangat sulit
392 Ibid., hlm. 255. 393 Loc.it., hlm. 246. 394 Misalnya pada tahun 2006 APBD Kabupaten/ Kota untuk belanja pegawai termasuk gedung-gedung pemerintah daerah mencapai 32% dari seluruh pengeluaran, yang juga disebabkan karena meningkatnya daerah-daerah baru hasil pemekaran. Sementara itu, belanja infrastruktur yang terkait langsung dengan pelayanan publik hanya mencapai 15%. Lihat World Bank 2007, Spending for Development — Making the Most of Indonesia’s New Opportunities (Public Expenditure Review 2007), Jakarta 2007. www.worldbank.org/id. 395 Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, cetakan kedua, 2007, hlm. 264.
144
ditemukan jenis pajak daerah baru, karena ketatnya kriteria-kriteria
tersebut.396 Praktiknya, hasil pajak daerah dan retribusi daerah tidak
berkontribusi signifikan terhadap PAD, terutama kepada kabupaten/ kota.397
Bahkan hasil yang diperoleh dari pajak dearah dan retribusi daerah lebih
kecil dari pada biaya pemungutannya398 dan sebagian besar akibat dari
pajak daerah dan retribusi daerah tersebut menyebabkan ekonomi berbiaya
tinggi sehingga merusak iklim investasi.399 Hal – hal di atas mencerminkan
masih rendahnya tingkat otonomi pendapatan dari daerah.
Dengan diundangkannya UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah menggantikan UU sebelumnya, terdapat
beberapa perubahan signifikan, salah satunya adalah penambahan pajak
daerah dan retribusi daerah baru. Namun demikian, dengan diterapkannya
sistem penetapan jenis pajak daerah secara tertutup, menimbulkan
pertanyaan, apakah otonomi pendapatan dari daerah semakin menguat atau
semakin melemah?
Salah satu alasan diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009 karena
selama ini penyerahan kewenangan di bidang perpajakan dan retribusi
(daerah) kurang mendukung pelaksanaan otonomi daerah.400 Pemberian
kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan
pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan.401 Dengan
argumentasi demikian, UU No. 28 Tahun 2009 mengatur perluasan basis
pajak dengan menambah pajak daerah dan retribusi daerah yang baru.
Namun demikian, apakah pajak-pajak daerah yang baru dapat menjamin
hasil pungutan pajak daerah yang besar pula dan apakah tersebut dapat
396 Ibid., hlm. 266. 397 Di tingkat kabupaten/ kota kontribusi PAD hanya menyumbang kurang dari 10% terhadap APBD. Tjip Ismail, op.cit.,hlm. 263. 398 Biaya penyelenggaraaan pajak daerah dan retribusi daerah mencapai lebih dari 50% dari hasil yang diterima. Wolfgang Fengler, Bert Hofman, op.cit.,hlm. 255. 399 Ibid., hlm. 256. 400 Penjelasan Umum paragraf 8 UU No. 28 Tahun 2009. 401 Ibid.
145
meningkatkan kemandirian daerah dalam upaya peningkatan PAD secara
tepat?
Dari jenis pajak daerah baru tersebut, hanya pajak rokok yang secara
signifikan memberikan kontribusi terhadap PAD dengan tarif 10% dari cukai
nasional dan sebagian lagi dari pajak hiburan yang dapat mencapai tariff
maksimum 75 % untuk hiburan-hiburan tertentu.402 Namun demikian, khusus
mengenai pajak rokok, terdapat kejanggalan dalam konteks pemungutan.
Walaupun pajak rokok adalah pajak daerah provinsi, namun yang melakukan
pemungutan pajak adalah instansi pemerintah berwenang memungut cukai
bersamaan dengan pemungutan cukai rokok403, yang artinya pemerintah
pusat. Hal ini merupakan mekanisme yang tidak menciptakan kemandirian
daerah untuk melakukan pemungutan pajak daerah. Pajak rokok lebih
tampak seperti dana perimbangan dari konsumsi rokok, karena dipungut oleh
pemerintah pusat lalu disalurkan ke rekening kas umum daerah provinsi
secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.404
Sementara itu, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pedesaan dan
Perkotaan serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan(BPHTB)
sebenarnya bukan pajak baru, karena hal tersebut merupakan pajak pusat
yang seluruh hasilnya dikembalikan kepada daerah sebagai dana bagi
hasil(DBH) dari sektor pajak.405 Sementara itu, Pajak Sarang Burung Walet
dipungut bagi daerah-daerah yang memiliki potensi ini. Artinya, tidak semua
daerah dapat memungut pajak daerah tersebut, karena tidak setiap daerah
memiliki potensi sarang burung walet.
Perluasan objek pajak daerah, misalnya untuk pajak hotel dan
restoran sebenarnya juga bukan hal baru. Beberapa daerah juga telah
402 Hiburan tertentu yang dimaksud adalah Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa. Lihat Pasal 45 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009. 403 Pasal 27 ayat (3) UU No.28 Tahun 2009. 404 Pasal 27 ayat (4) UU No.28 Tahun 2009. 405 Pengaturan persentase perimbangan alokasi DBH PBB dan BPHTB antara pusat dan daerah adalah 10 % : 90 % untuk DBH PBB dan 20% : 80 % untuk DBH BPHTB. 10 % bagian pusat dari PBB dan 20 % bagian pusat dari BPHTB dibagikan seluruhnya kepada daerah dengan formula tertentu. Lihat Pasal 12 ayat (2) dan ayat(5) UU No. 33 Tahun 2004.
146
menetapkan jenis pajak daerah di luar UU No. 34 Tahun 2000, yang
menyerupai perluasan objek pajak tersebut, misalnya pajak rumah kos di
Kabupaten Sumedang. Dengan demikian, perluasan objek pajak tersebut
sebenarnya hanya mengambil dan mengukuhkan secara nasional pajak-
pajak daerah yang sebelum telah dipungut di beberapa daerah.
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang tarifnya ditentukan secara
progresif pun di mulai dari prosentase tariff 1% untuk kepemilikan kendaraan
pribadi yang pertama, walaupun untuk kendaraan kedua dan seterusnya
dapat naikkan secara progresif hingga 10%. Secara sepintas, pajak tersebut
dapat menghasilkan dana yang besar mengingat tingginya pembelian
kendaraan bermotor. Namun demikian, jika mekanisme pengawasan tentang
kepemilikan kendaraan bermotor tidak ditetapkan dengan baik, maka
kemungkinan terjadinya penyelundupan hukum dapat mengakibatkan hasil
pemungutan pajak tersebut tidak signifikan.
Begitu pula dengan pemecahan Pajak Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan menjadi Pajak Air Tanah (kabupaten/ kota) dan Pajak Air
Permukaan (untuk provinsi), pada dasarnya memiliki objek pajak yang tidak
berubah, dengan tarif yang sama dengan UU sebelumnya untuk Pajak Air
Tanah (maksimal 20%406), namun lebih rendah untuk Pajak Air Permukaan
(maksimal 10%).407
Hal – hal di atas menunjukkan bahwa pemberian pajak baru,
penyesuaian tarif pajak daerah tidak dapat dipastikan dapat meningkatkan
PAD. Apalagi jika dikaitkan dengan kemungkinan masalah yang muncul
dalam praktik, misalnya mekanisme pengawasan kepemilikan kendaraan
bermotor pribadi dengan tariff pajak progresif. Jika mekanisme tersebut tidak
dibentuk, maka pelaksanaan pemungutan pajak tersebut, berpotensi
menimbulkan ketidakadilan.408 Berdasarkan hal-hal tersebut, maka otonomi
406 Pasal 70 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009. 407 Pasal 24 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009. 408 UU No. 28 Tahun 2009 tidak mewajibkan mekanisme balik nama jika terjadi peralihan hak atas kepemilikan kendaraan pribadi. Artinya, jika seseorang telah menjual kendaraannya kepada orang lain tanpa melakukan balik nama, maka orang tersebut akan
147
pendapatan yang diharapkan dapat meningkat dengan adanya UU ini, belum
tentu dapat terwujud.
Jika asumsi PAD dari sektor pajak daerah belum dapat ditingkatkan
dengan adanya UU No. 28 Tahun 2009, maka dengan sistem penetapan
jenis pajak yang tertutup, daerah kurang dapat memanfaatkan potensi pajak
daerah lain, selain yang telah ditetapkan secara limitatif dalam UU tersebut.
Pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 berargumen bahwa sistem
tertutup tersebut dilakukan untuk memberikan kepastian hukum bagi
masyarakat.409 Namun demikian, pembentukan UU tersebut tidak melihat
bahwa otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia adalah otonomi seluas-
luasnya di mana urusan pemerintahan daerah sangat luas, mencakup
seluruh urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat.410 Artinya, dibutuhkan biaya yang sangat
besar untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah, sehingga hal
tersebut harus didukung dengan sumber pendapatan yang juga sangat
besar.
Pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 berargumen bahwa dengan
sistem pajak daerah selama ini, banyak daerah yang melanggar kriteria yang
telah ditetapkan untuk menetapkan pajak daerah baru, ditambah dengan
lemahnya pengawasan penetapan Perda Pajak Daerah dan perilaku banyak
daerah yang tidak menyampaikan Perda Pajak Daerah untuk dievaluasi.411
Namun demikian, UU No. 28 Tahun 2009 tetap menerapkan sistem yang
semi terbuka untuk retribusi daerah. Artinya, selain retribusi daerah yang
ditetapkan dalam UU No. 28 Tahun 2009, daerah dapat menetapkan jenis
retribusi daerah lain, berdasarkan kriteria yang ditetapkan.412 Padahal
pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 juga mengakui bahwa penetapan
dikenakan tariff progresif jika akan membeli kendaraan bermotor lagi untuk jenis yang sama, padahal orang tersebut secara de facto hanya memiliki 1 kendaraan pribadi. 409 Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2009. 410 Pasal 18 ayat (5) Perubahan Kedua UUD 1945, menyatakan: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. 411 Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2009. 412 Pasal 150 UU No. 28 Tahun 2009.
148
retribusi daerah yang banyak melanggar kriteria yang telah ditetapkan
disebabkan, hasil penerimaan dari jenis pajak daerah yang ditetapkan, tidak
dapat memenuhi kebutuhan daerah.413 Padahal dengan sistem pajak daerah
yang sifatnya tertutup maka, pelangggaran terhadap kriteria jenis retribusi
daerah lain kemungkinan akan terulang kembali. Hal tersebut menunjukkan
ambiguitas pemikiran para pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 dalam
mendudukkan pajak daerah dan retribusi daerah.
Hal-hal di atas menunjukkan, waluaupun terdapat upaya untuk
menambahkan kewenangan pajak daerah dan retribusi daerah dalam UU
No. 28 Tahun 2009, namun hal tersebut tidak menjamin terciptanya otonomi
dan kecukupan pendapatan bagi daerah. Artinya, jika tujuan meningkatkan
otonomi pendapatan dalam UU ini tidak tercapai, maka daerah akan tetap
bergantung pada dana perimbangan yang diberikan oleh pusat.
b. Telah Terhadap Pinjaman Daerah Pengaturan pinjaman daerah dalam UU No. 33 Tahun 20004 dalam
beberapa hal lebih baik jika dibandingkan dalam UU No. 25 Tahun 1999,
misalnya dalam hal batas kumulatif pinjaman yang lebih ketat, dan sanksi
bagi daerah yang melanggar ketentuan tersebut. Dengan pengaturan yang
lebih ketat, tidak berarti daerah tidak memiliki borrowing previllage yang
terbatas. Batas-batas objektif dalam melakukan pinjaman daerah diperlukan
agar hal tersebut sesuai dengan maksud pinjaman daerah, khususnya untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan melakukan pembangunan yang
menerus (sustainable development).414 Adanya kategorisasi pinjaman
daerah sesuai peruntukkannya dalam UU No. 33 Tahun 2004 merupakan
salah satu cara untuk menempatkan pinjaman daerah sesuai dengan
kebutuhan pinjaman tersebut dilakukan.
Namun demikian, Menurut Shah, di negara-negara berkembang
(termasuk Indonesia) di mana pasar (keuangan) belum terbangun dengan
413 Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2009. 414 Glasson dalam Bachrul Elmi dan Syahrir Ika, loc.cit., hlm. 62.
149
baik untuk kredit jangka panjang dan kemampuan daerah untuk membayar
pinjaman, menyebabkan akses daerah untuk melakukan pinjaman sangat
terbatas.415 Dalam konteks tersebut, maka yang paling mungkin dilakukan di
Indonesia adalah pinjaman jangka pendek dan menengah yang tidak
ditujukan untuk menghasilkan penerimaan. Artinya, pinjaman daerah di
Indonesia hanya berperan untuk mempertahankan struktur APBD agar tetap
berimbang seiring dengan diterapkannya hard budget constraints dalam hal
APBD. Pinjaman daerah di Indonesia belum dapat diberdayakan untuk dapat
menghasilkan penerimaan, walaupun jenis pinjaman tersebut disediakan
(pinjaman jangka panjang untuk pembiayaan investasi).
Belum berkembangnya pasar keuangan di negara-negara
berkembang, seperti lembaga keuangan bank dan non-bank, termasuk di
Indonesia, maka sumber pinjaman daerah sangat terbatas. Otomatis,
sumber pinjaman daerah yang secara signifikan diharapkan oleh daerah
berasal dari pemerintah, karena pinjaman dari masyarakat (obligasi daerah)
dan pinjaman dari pemerintah daerah lain belum banyak diberdayakan.
Namun demikian, pemerintah pusat pun tidak selamanya dapat memberikan
pinjaman kepada daerah, khususnya selain untuk tujuan menutupi defisit,
karena transfer dana pusat ke daerah sudah begitu besar, khususnya dari
DAU. Apalagi dalam UU No. 33 Tahun 2004, daerah dilarang melakukan
pinjaman luar negeri, kecuali berasal dari penerusan pinjaman dari pusat
yang dananya dari pinjaman luar negeri. Artinya sumber dana pinjaman
daerah semakin terbatas.
Dalam kewenangan melakukan pinjaman, daerah tidak dapat
memanfaatkan sumber pinjaman luar negeri secara langsung, namun harus
melalui penerusan pinjaman dari pemerintah pusat.416 Dalam hal pinjaman
dari luar negeri, UU No. 22 Tahun 1999 memberikan mekanisme yang lebih
realistis. Dalam UU No. 22 Tahun 1999, pemerintah daerah dapat melakukan
peminjaman dari sumber dalam negeri dan/atau dari sumber luar negeri
415 Anwar Shah, “Fiscal Decentralization…., loc.cit., hlm. 29 416 Lihat Pasal 50 ayat (1) dan Pasal 56 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004.
150
untuk membiayai kegiatan pemerintahan dengan persetujuan DPRD.417
Pinjaman dari dalam negeri diberitahukan kepada Pemerintah dan
dilaksanakan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.418
Peminjaman dan sumber dana pinjaman yang berasal dari luar negeri, harus
mendapatkan persetujuan pemerintah pusat.419
Walaupun UU No. 22 Tahun 1999 membolehkan daerah melakukan
pinjaman luar negeri, namun pada prinsipnya hal tersebut tidak sepenuhnya
menjadi kewenangan daerah, karena harus mendapatkan persetujuan pusat.
Artinya, prinsip bahwa urusan luar negeri adalah urusan pemerintah pusat
sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, masih tetap
dipertahankan. Namun demikian, walaupun keputusan akhir ada di tangan
pemerintah pusat, dalam mekanisme UU No. 22 Tahun 1999, daerah tetap
dapat melakukan penjajakan potensi pinjaman luar negeri. Artinya,
kebebasan untuk melakukan pinjaman lebih terjamin. Walaupun demikian,
dalam konteks penjajakan pinjaman luar negeri, tidak diatur bagaimana
mekanisme keterlibatan pemerintah pusat, sehingga hal ini menjadi salah
satu kelemahan UU No. 22 Tahun 1999. Kelemahan lainnya, UU No. 22
Tahun 1999 (dan UU No. 25 Tahun 1999), tidak mengatur kriteria pinjaman
yang dananya berasal dari luar negeri. Padahal hal tersebut sangat penting.
Jenis-jenis pinjaman yang diperuntukan untuk menutupi arus kas atau
penyediaan pelayanan publik seharusnya tidak berasal dari pinjaman luar
negeri. Pinjaman luar negeri seharusnya ditentukan hanya berupa pinjaman
jangka panjang yang diperuntukkan untuk membiayai proyek investasi yang
menghasilkan penerimaan.
Dalam UU No. 33 Tahun 2004, daerah tidak memiliki inisiatif untuk
menjajaki pinjaman, padahal unsur esensial dalam melakukan pinjaman
adalah unsur persetujuan dari pemerintah pusat. Artinya, seharusnya daerah
tetap diberikan kewenangan untuk menjajaki potensi pinjaman dari sumber
dana luar negeri. Walaupun demikian, proses penjajakan tersebut sebaiknya
417 Pasal 81 ayat (1) UU No.22 Tahun 1999. 418 Pasal 81 ayat (2) UU No.22 Tahun 1999. 419 Lihat Pasal 81 ayat (3) UU No.22 Tahun 1999
151
juga harus melibatkan pemerintah pusat, karena terkait dengan urusan luar
negeri.
Dengan pengaturan saat ini, adanya keterbatasan pemerintah untuk
memberikan pinjaman kepada daerah, maka pinjaman yang dapat diterima
oleh daerah dari pusat terbatas pada tujuan untuk menutupi kekurangan arus
kas (defisit APBD) atau untuk melakukan penyediaan pelayanan publik yang
tidak menghasilkan penerimaan. Artinya, kemampuan pemerintah pusat
untuk memberikan pinjaman kepada daerah tidak dapat diharapkan untuk
dapat membiayai proyek-proyek investasi besar yang dapat menghasilkan
penerimaan, melainkan hanya untuk menutupi defisit, dan penyediaan
pelayanan publik yang tidak menghasilkan penerimaan.
Pengaturan pinjaman daerah dalam UU No. 33 Tahun 2004, tidak
terlepas dari transfer dana pusat ke daerah yang sangat besar. Artinya,
dengan dana perimbangan yang besar, maka tingkat defisit APBD yang
rendah, walaupun dengan PAD yang kecil. Dengan demikian, maka
diharapkan pinjaman yang dilakukan oleh menjadi tidak besar. Padahal,
dengan besarnya dana perimbangan, khususnya DAU dan DBH, fungsi
pinjaman daerah di kemudian hari tidak ditekankan untuk menutupi defisit
APBD, tetapi adalah untuk melakukan investasi produktif yang dapat dapat
menghasilkan penerimaan.
E. Dimensi Hubungan Pengawasan Pusat dan Daerah Perubahan UUD 1945 secara eksplisit tidak menyebutkan mengenai
pengawasan. Namun pranata ini dapat dilihat sebagai konsekuensi dari
pembagian Negara yang “dibagi atas” daerah-daerah provinsi, dan
kabupaten/kota. Menurut Jimly Asshiddiqie, hal tersebut dimaksudkan untuk
menegaskan bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat
hirarkis dan vertikal. Sebagai pelaksanaan dari Pasal 18, dalam UU No. 32
Tahun 2004 disebutkan berbagai mekanisme pengawasan, di antaranya
152
terhadap peraturan daerah.420 Pasal 222 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004
mengatur bahwa pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan daerah secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam
Negeri. Selanjutnya untuk melaksanakan ketentuan Pasal 223 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan
Pemerintah diterbitkan sebagai pedoman pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah.421 Objek pengawasan lainnya
adalah pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala
daerah, yang salah satunya disiratkan melalui ketentuan pengawasan oleh
Gubernur mengenai penyusunan APBD kabupaten dan kota.422 Selain itu
dalam rangka pengawasan pula, disebutkan bahwa perda yang bertentangan
dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, dapat dibatalkan oleh Presiden (ditetapkan dengan Perpres).423
Persoalan kemudian muncul di antaranya berkaitan dengan apakah
pengaturan pengawasan preventif dan represif terhadap perda ditambah
pengawasan yudisial sudah tepat? Selain itu adalah bahwa pada
kenyataannya setiap perda yang dibatalkan dilaksanakan melalui keputusan
Menteri Dalam Negeri, memunculkan pernyataan legitimasi bentuk instrumen
hukum tersebut.
1. Instrumen Pengawasan Sebagai Fenomena Tarik Ulur Hubungan Pusat-Daerah Untuk mengetahui bahwa dalam praktik pelaksanaan pengawasan dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia pada umumnya dan
di Jawa Barat pada khususnya, di bawah ini diuraikan data sebagai berikut: Tabel 5
420 Lihat, Jimly Ashiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH. UI, Jakarta, 2002, hlm. 21. 421 Konsiderans PP No. 79 Tahun 2008 Tentang Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 422 Pasal 186 UU No. 32 Tahun 2004. 423 Pasal 145 ayat (2) s/d ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004.
153
Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral
(Energy And Mineral Resource)
No Wilayah Jumlah1 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 0
2 Provinsi Sumatera Utara 7
3 Provinsi Bengkulu 2
4 Provinsi Jambi 3
5 Provinsi Riau 1
6 Provinsi Sumatera Barat 0
7 Provinsi Sumatera Selatan 3
8 Provinsi Lampung 3
9 Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung 0
10 Provinsi Kepulauan Riau 1
11 Provinsi Banten 0
12 Provinsi Jawa Barat 3
13 Provinsi DKI Jakarta 0
14 Provinsi Jawa Tengah 1
15 Provinsi Jawa Timur 0
16 Provinsi D.I.Yogyakarta 0
17 Provinsi Bali 1
Tabel 6 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry
And Trade)
No Wilayah Jumlah1 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 0
2 Provinsi Sumatera Utara 7
3 Provinsi Bengkulu 2
4 Provinsi Jambi 0
5 Provinsi Riau 3
154
6 Provinsi Sumatera Barat 3
7 Provinsi Sumatera Selatan 3
8 Provinsi Lampung 3
9 Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung 0
10 Provinsi Kepulauan Riau 1
11 Provinsi Banten 0
12 Provinsi Jawa Barat 2
13 Provinsi DKI Jakarta 0
14 Provinsi Jawa Tengah 5
15 Provinsi Jawa Timur 2
16 Provinsi D.I.Yogyakarta 1
17 Provinsi Bali 0
Tabel 7 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Kehutanan (Forestry)
No Wilayah Jumlah1 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 0
2 Provinsi Sumatera Utara 3
3 Provinsi Bengkulu 1
4 Provinsi Jambi 4
5 Provinsi Riau 1
6 Provinsi Sumatera Barat 4
7 Provinsi Sumatera Selatan 2
8 Provinsi Lampung 0
9 Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung 0
10 Provinsi Kepulauan Riau 0
11 Provinsi Banten 1
12 Provinsi Jawa Barat 3
13 Provinsi DKI Jakarta 0
155
14 Provinsi Jawa Tengah 4
15 Provinsi Jawa Timur 4
16 Provinsi D.I.Yogyakarta 0
17 Provinsi Bali 1
Tabel 8 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Perhubungan
No Wilayah Jumlah1 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 1
2 Provinsi Sumatera Utara 4
3 Provinsi Bengkulu 0
4 Provinsi Jambi 5
5 Provinsi Riau 9
6 Provinsi Sumatera Barat 2
7 Provinsi Sumatera Selatan 2
8 Provinsi Lampung 6
9 Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung 1
10 Provinsi Kepulauan Riau 0
11 Provinsi Banten 3
12 Provinsi Jawa Barat 9
13 Provinsi DKI Jakarta 0
14 Provinsi Jawa Tengah 6
15 Provinsi Jawa Timur 10
16 Provinsi D.I.Yogyakarta 0
17 Provinsi Bali 0
Tabel 9 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Kelautan dan Perikanan
No Wilayah Jumlah1 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 0
156
2 Provinsi Sumatera Utara 4
3 Provinsi Bengkulu 0
4 Provinsi Jambi 3
5 Provinsi Riau 1
6 Provinsi Sumatera Barat 0
7 Provinsi Sumatera Selatan 0
8 Provinsi Lampung 1
9 Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung 2
10 Provinsi Kepulauan Riau 0
11 Provinsi Banten 1
12 Provinsi Jawa Barat 0
13 Provinsi DKI Jakarta 0
14 Provinsi Jawa Tengah 0
15 Provinsi Jawa Timur 0
16 Provinsi D.I.Yogyakarta 0
17 Provinsi Bali 1
Tabel 10 Peraturan Daerah Tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan
Pungutan Lainnya Yang Dibatalkan Oleh Menteri Dalam Negeri Pada Tahun 2007
NO Peraturan Daerah Rekomendasi
Surat Teguran Mendagri
SK Mendagri
1 Provinsi Sumatera UtaraNO 5 TAHUN 2003tentang Retribusi Pengawasan Dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan Dan Holtikultura
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.1 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
2 Kab.Muko-muko NO 34 Tahun 2004tentang Retribusi Surat Izin Usaha Perdagangan (siup) Dan Retribusi Tanda Daftar Perusahaan (tdp)
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.10 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
3 Kab.Muko-muko NO 11 Tahun 2005tentang Retribusi Izin Tempat Usaha Dalam Kabupaten Mukomuko
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.11 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
4 Kab.Muaraenim NO 7 Tahun 2005tentang Surat Izin Usaha
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.12 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
157
Perdagangan (siup) 5 Kab.Sintang
NO 7 TAHUN 2002tentang Retribusi Pendirian Dan Pengelolaan Badan Hukum Koperasi
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.13 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
6 Kab.Nunukan NO 6 Tahun 2005tentang Retribusi Izin Tempat Usaha
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.14 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
7 Kab.Nunukan NO 8 Tahun 2005tentang Retribusi Pelayanan Penerbitan Surat-surat, Surat Keterangan Kecakapan (skk) Dan Surat Izin Berlayar (sib)
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.15 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
8 Kab.Hulu Sungai SelatanNO 11 Tahun 2001tentang Retribusi Dana Pembangunan Daerah Kerja Bagian Sisa Hasil Usaha Koperasi
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.16 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
9 Kota TangerangNO 12 Tahun 2000tentang Retribusi Ijin Undang-undang Gangguan (ho)
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.17 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
10 kab.Bandung NO 24 Tahun 2001tentang Retribusi Pelayanan Perizinan Penyelenggaraan Koperasi
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.18 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
11 Kab.Tasikmalaya NO 4 Tahun 2003tentang Retribusi Pelayanan Bidang Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.19 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
12 Kab.Deliserdang NO 25 TAHUN 1998tentang Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.2 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
13 Kab.Karawang NO 23 TAHUN 2001tentang Retribusi Pelayanan Bidang Koperasi, Pengusaha Kecil Dan Menengah
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.20 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
14 Kab.Sukabumi NO 12 TAHUN 2002tentang Tanda Daftar Industri DanIzin Usaha Industri
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.21 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
15 Kab.Magelang NO 11 Tahun 2005tentang Retribusi Izin Usaha
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.22 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
158
Pariwisata 16 Kab.Magelang
NO 15 Tahun 2005tentang Retribusi Perizinan Ketenagakerjaan
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.23 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
17 Kab.Bantul NO 10 Tahun 2002tentang Pengesahan Akta Pendirian, Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar Dan Pembubaran Koperasi Di Kabupaten Bantul
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.24 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
18 Kab.Bantul NO 13 Tahun 2005tentang Retribusi Izin Usaha Bengkel Perawatan Kendaraan Bermotor
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.25 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
19 Kab.Banyuwangi NO 46 Tahun 2002tentang Retribusi Izin Perkoperasian
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.26 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
20 Kab.Madiun NO 12 Tahun 2005tentang Perubahan Atas Perda Kabupaten Madiun Nomor 16 Tahun 2002 Tentang Retribusi Penggunaan Jalan Kabupaten
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.27 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
21 Kab.Jembrana NO 10 TAHUN 2002tentang Retribusi Izin Usaha Industri Dan Perdagangan
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.28 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
22 Kab.Sumbawa BaratNO 8 Tahun 2005tentang Retribusi Izin Usaha Perdagangan Dan Industri
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.29 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
23 Kab.Dairi NO 14 Tahun 2000tentang Pengesahan Akta Pendirian Dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.3 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
24 Kab.Sumbawa BaratNO 10 Tahun 2005tentang Retribusi Tanda Daftar Gudang
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.30 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
25 Kab.Pangkajene KepulauanNO 11 TAHUN 2001tentang Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.31 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
26 Provinsi Sulawesi Tenggara S-093/MK.10/2006 - Kepmendagri NO.32
159
NO 6 Tahun 2002tentang Pengesahan Akta Pendirian, Perubahan Anggaran Dasar Dan Pembubaran Koperasi
Tgl. 23-06-2005 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
27 Kota JayapuraNO 5 Tahun 2005tentang Retribusi Penumpang Kapal Laut Dan Pesawat Udara
S-093/MK.10/2006Tgl. 23-06-2005
- Kepmendagri NO.33 TAHUN 2007Tgl. 29-01-2007
Tabel 11
Hasil Evaluasi Peraturan Daerah di Departemen Dalam Negeri Sampai dengan November 2007
Diterima Hasil Evaluasi Dalam Proses Batal Revisi Layak
Daerah
Perda
Raperda Perda Raperda Perda Raperda Perda Raperda
Perda
Raperda Provinsi 495 32 121 3 2 17 298 12 74 0
Kab 6.836 883 651 93 101 361 3.503 324 2.581 105 Kota 2.303 181 191 11 45 90 1.275 55 792 25 Total 9.634 1.096 963 107 148 468 5.076 391 3.447 130
Sumber: Situs Kementerian Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Januari 2008
Tabel 12
Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri Dari Tahun 2002 s.d. 2006424
No Sektor Jumlah
1 Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral Resource) 32
2 Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade) 77
3 Kehutanan (Forestry) 50
4 Perhubungan 83
5 Kelautan dan Perikanan 37
6 Perkebunan (Plantation) 13
7 Pertanian 19
8 Sumbangan Pihak Ketiga (Donation From Third Party) 21
9 Ketenagakerjaan (Labor Force) 54
10 Kimpraswil dan Pekerjaan Umum (Public Work And Housing) 9
11 Lain-Lain 189
424 Sumber: bakd.depdagri.go.id/www.google.com, tanggal 20 Pebruari 2008
160
12 Pendidikan 1
13 Kesehatan 0
14 Pariwisata 3
15 Lingkungan Hidup 14
16 Koperasi 4
17 Peternakan 52
18 Pertanian dan Perikanan 1
Tabel 13 Rekap Pembatalan Perda Tentang
Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Wilayah Provinsi Jawa Barat Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Energi
Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral Resource) No. Kabupaten Jumlah 1 kab.Bandung 0
2 Kab.Bekasi 0
3 Kab.Bogor 0
4 Kab.Ciamis 0
5 Kab.Cianjur 0
6 Kab.Cirebon 0
7 Kab.Garut 0
8 Kab.Indramayu 2
9 Kab.Karawang 0
10 Kab.Kuningan 0
11 Kab.Majalengka 0
12 Kab.Purwakarta 0
13 Kab.Subang 0
14 Kab.Sukabumi 0
15 Kab.Sumedang 0
16 Kab.Tasikmalaya 1
17 Kota Bandung 0
18 Kota Banjar 0
19 Kota Bekasi 0
20 Kota Bogor 0
161
21 Kota Cimahi 0
22 Kota Cirebon 0
23 Kota Depok 0
24 Kota Sukabumi 0
25 Kota Tasikmalaya 0
Tabel 14 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Indramayu Wilayah Provinsi
Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral
Resource)) No Status Nomor Tanggal Tentang Jenis 1 Batal 25
TAHUN 2002
00-00-2002
PERDA KAB.INDRAMAYU NOMOR 25 TAHUN 2002 TENTANG PAJAK PENGELOLAAN MINYAK DAN GAS BUMI
Pajak
2 Batal 05 TAHUN 2002
00-00-2002
KETENAGALISTRIKAN Retribusi Jasa Umum
Tabel 15 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Tasikmalaya Wilayah Provinsi
Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral
Resource)) No Status Nomor Tanggal Tentang Jenis 1 Batal 13 TAHUN
2004 00-00-2004
PERDA KAB. TASIKMALAYA NOMOR 13 TAHUN 2004 TENTANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Retribusi Jasa Usaha
Tabel 16
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan
(Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade) Wilayah Provinsi Jawa Barat)
No Kabupaten Jumlah1 Kab.Bandung 0
2 Kab.Bekasi 0
3 Kab.Bogor 0
162
4 Kab.Ciamis 0
5 Kab.Cianjur 0
6 Kab.Cirebon 0
7 Kab.Garut 0
8 Kab.Indramayu 0
9 Kab.Karawang 1
10 Kab.Kuningan 0
11 Kab.Majalengka 0
12 Kab.Purwakarta 0
13 Kab.Subang 0
14 Kab.Sukabumi 0
15 Kab.Sumedang 0
16 Kab.Tasikmalaya 0
17 Kota Bandung 0
18 Kota Banjar 0
19 Kota Bekasi 0
20 Kota Bogor 0
21 Kota Cimahi 1
22 Kota Cirebon 0
23 Kota Depok 0
24 Kota Sukabumi 0
25 Kota Tasikmalaya 0
Tabel 17 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Karawang Wilayah Provinsi
Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade) )
No Status Nomor Tanggal Tentang Jenis 1 Batal 11 TAHUN
2001 00-00-2001
RETRIBUSI TERA DAN TERA ALAT UKUR
Retribusi Jasa Umum
Tabel 18
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kota Cimahi Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan
(Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade))
163
No Status Nomor Tanggal Tentang Jenis 1 Batal 26
TAHUN 2003
00-00-2003
PERDA KOTA CIMAHI NOMOR 26 TAHUN 2003 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PELAYANAN PEMBERIAN IJIN USAHA INDUSTRI
Retribusi Jasa Umum
Tabel 19
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan
(Sektor Kehutanan (Forestry))
No Kabupaten Jumlah1 kab.Bandung 0
2 Kab.Bekasi 0
3 Kab.Bogor 0
4 Kab.Ciamis 1
5 Kab.Cianjur 0
6 Kab.Cirebon 0
7 Kab.Garut 1
8 Kab.Indramayu 0
9 Kab.Karawang 0
10 Kab.Kuningan 1
11 Kab.Majalengka 0
12 Kab.Purwakarta 0
13 Kab.Subang 0
14 Kab.Sukabumi 0
15 Kab.Sumedang 0
16 Kab.Tasikmalaya 0
17 Kota Bandung 0
18 Kota Banjar 0
19 Kota Bekasi 0
20 Kota Bogor 0
21 Kota Cimahi 0
22 Kota Cirebon 0
23 Kota Depok 0
164
24 Kota Sukabumi 0
25 Kota Tasikmalaya 0
Tabel 20 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Ciamis Provinsi Jawa Barat
Yang Dibatalkan (Sektor Kehutanan (Forestry))
No Status Nomor Tanggal Tentang Jenis 1 Batal 10
TAHUN 2001
00-00-2001
RETRIBUSI PELAYANAN TATA USAHA HASIL HUTAN MILIK
Retribusi Jasa Usaha
Tabel 21 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Garut Provinsi Jawa Barat
Yang Dibatalkan (Sektor Kehutanan (Forestry))
No Status Nomor Tanggal Tentang Jenis 1 Batal 09 TAHUN
2001 00-00-2001
RETRIBUSI PELAYANAN IZIN PENGELOLA KAYU MILIK
Retribusi Jasa Usaha
Dari data yang diuraikan sebagaimana tersebut di muka
dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
Pertama; bahwa bentuk pengawasan yang berjalan dalam praktik adalah
bentuk pengawasan preventif (pengesahan) dan bentuk pengawasan
represif (pembatalan atau penangguhan), serta tidak ada pelaksanaan
bentuk pengawasan umum.
Kedua; pengawasan Pusat terhadap daerah telah berlangsung efektif dan
bermanfaat bagi pemerintahan daerah agar pemerintahannya tidak
menyimpang dari tujuan penyelenggaran otonomi daerah, terutama
kebijaksaan yang telah ditetapkan Daerah tidak bertentangan dengan
kebijaksanaan nasional (Pusat) dan/atau bertentangan dengan kepentingan
umum.
Lebih dari itu persoalan muncul terkait dengan instrumen penetapan
pembatalan suatu Perda. Sejumlah tabel di atas menunjukkan bahwa dalam
praktik, pembatalan perda selalu ditetapkan dengan keputusan Menteri
165
dalam negeri (kepmendagri). Sementara itu di lain pihak, telah ada
pengaturan bahwa Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan
oleh Pemerintah425 dan Keputusan pembatalan Perda tersebut ditetapkan
dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak
diterimanya Perda.426 Terhadap persoalan ini, perlu pembahasan di bagian
lain, terkait dengan legitimasi Kepmendagri sebagai instrumen penetapan
suatu perda.
Persoalan lain muncul menyangkut fenomena pemekaran daerah.
Perjalanan pemekaran daerah yang dapat terlihat pada tahun 2007 dan 2008
dapat dipetakan sebagai berikut:
Tabel 22 Jumlah Undang-Undang Pembentukan Daerah (Pemekaran
Daerah) 2007 – 2008 No Tahun
Pembentukan Undang-Undang
UU Pembentukan Daerah/Pemekaran
UU Non Pemekaran
Jumlah
1. 2007 21 UU, dikecualikan terhadap Undang-Undang Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
24 50
2. 2008 30 26 56
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa dalam dua tahun (2007-dan
2008) pembentukan daerah-daerah baru mengalami kenaikan yang pesat.
Artinya bahwa terutama dalam dua tahun tersebut, hampir setengah dari
produk legislasi DPR merupakan undang-undang pemekaran daerah.
425 Pasal 145 ayat (2). 426 Pasal 145 ayat (3).
166
Pada tahun 2007 keluar persyaratan baru terhadap pemekaran yang
dipandang lebih ketat.427 Di dalamnya diatur bahwa pemberian status daerah
baru didahului dengan evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi
daerah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.428 PP
tersebut mengatur pula mengenai kemungkinan pencabutan status daerah
jika dinilai tidak mampu.429 Pertanyaan pun muncul dari sebagian kalangan
mengenai dapatkah aturan baru itu memperlambat atau bahkan
menghentikan lajunya usulan pemekaran yang semakin marak.430 Satu sisi
dinilai bahwa PP tersebut menetapkan syarat yang lebih ketat, di sisi lain,
ternyata pada tahun 2008, pembentukan daerah-daerah baru terjadi bahkan
melebihi 50 persen jumlah produk undang-undang.
Persoalan-persoalan di atas sedikitnya memunculkan tantangan
mengenai bagaimana pembinaan dan pengawasan dapat menyeimbangkan
tarik ulur antara hubungan pusat dan daerah. Pengaturan yang berlaku
sebagai rangkaian pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah
tidak final unuk diarahkan menengahi spanning yang senantiasa
memungkinkan muncul dalam hubungan pusat dan daerah.
2. Telaah terhadap Pengawasan Peraturan Daerah Berbicara negara kesatuan, dikatakan oleh CF strong, the supreme
legislative power by one central power. Hanya satu kekuasaan legislatif, yaitu
di tangan pemerintah pusat. Oleh sebab itu di dalam negara kesatuan
kedudukan pemerintah pusat lebih tinggi daripada pemerintah daerah.
Dengan kata lain, ada satu sistem hukum yang harus diikuti sampai ke
427 SB, Memperlambat Laju Pemekaran Daerah, Harian KOMPAS, Rabu, 16 Januari 2008, dalam Publikasi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), http://kppod.org/ind/index.php?option=com_content&task=view&id=329&Itemid=2 , pada 8/12/2009 2:01:32 PM
428 Pasal `22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah 429 Bab IV dan Bab V Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007. 430 SB, Memperlambat …, Op.cit..
167
daerah-daerah otonom. Hanya satu sistem hukum, yaitu yang dibuat oleh
kekuasaan legislatif tertinggi. Inilah yang mendasari harus ada pengawasan
pusat terhadap daerah. Pada intinya adalah apakah daerah tidak
menyimpang terhadap sistem perundang-undangan. Agar tidak
menyimpang dari peraturan perundang-undangan secara nasional. Maka
harus ada pengawasan pusat terhadap daerah. Ini mempertegas bahwa
yang diawasi adalah peraturan perundang-undangan. Yang lebih jelas lagi
adalah dalam perundang-undangan adalah perda dan peraturan kepala
daerah. Ini kaitannya dengan teori negara hukum, kegara kesatuan, dan
demokratisasi. Untuk mensejahterakan rakyat, pemerintah menyerahkan
sebagian urusan kepada daerah dalam rangka mencapai tujuan itu.
Bentuk dan lingkup pengawasan oleh Pemerintah Pusat terhadap
Daerah berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan tentang
pemerintahan daerah, ternyata berbeda-beda, baik bentuk maupun lingkup
pengawasannya. Dengan demikian, berdasarkan sejarah perkembangan
pengawasan Pusat terhadap Daerah menurut UUD 1945, dalam
implementasinya diatur dan dijabarkan berbeda-beda oleh berbagai
undang-undang. Bentuk maupun ruang lingkupnya terus berkembang
dinamis mengikuti perkembangan kehidupan sosial politik yang ada pada
kurun waktu yang berbeda.
Berdasarkan perkembangan pengawasan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang pernah diatur dalam peraturan perundang-
undangan sampai sekarang terdapat 3 (tiga) bentuk yakni pengawasan
preventif, pengawasan represif dan pengawasan umum. Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 mengatur 2 (dua) bentuk pengawasan yakni
pengawasan preventif dan pengawasan represif. Sedangkan undang-undang
sebelumnya, yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 1974 mengatur 3 (tiga)
bentuk pengawasan yakni pengawasan umum, pengawasan preventif, dan
pengawasan represif dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 hanya
mengatur pengawasan represif saja.
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, pengawasan preventif
dilaksanakan melalui tindakan pengesahan terhadap peraturan daerah
168
bidang tertentu yakni Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Rencana Umum Tata Ruang Daerah.
Jadi, sebuah peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah terlebih dahulu harus
dilakukan evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Peraturan Daerah
Provinsi dan oleh Gubernur terhadap Peraturan Daerah Kabupaten dan
Kota. Apabila hasil evaluasi tersebut, ternyata rancangan Peraturan Daerah
yang telah disetujui bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
dan/atau kepentingan umum, maka daerah yang bersangkutan harus
melakukan revisi agar tidak bertentangan dengan perundangan yang lebih
tinggi dan/atau kepentingan umum. Setelah melalui proses tersebut, maka
Peraturan Daerah dapat diberlakukan oleh Daerah. Dengan adanya
pengawasan preventif, peraturan daerah tidak serta merta berlaku, namun
terlebih dahulu dilakukan evaluasi oleh pemerintah pusat dan/atau
pemerintah provinsi.
Pada masa berlaku Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, ternyata pengawasan preventif ditiadakan. Hal
tersebut sebagaimana dikatakan oleh Bagir Manan, UU No. 22 Tahun 1999
mengambil jalan politik baru yaitu meniadakan pengawasan preventif dalam
pembentukan peraturan daerah. Peraturan daerah akan serta merta berlaku
karena tidak memerlukan pengesahan. Yang ada adalah pengawasan
represif yaitu wewenang membatalkan atau penundaan.431 Terhadap
pengawasan preventif ini, menurut Bagir Manan,432 terdapat segi positif dan
negatifnya. Positifnya, pengawasan preventif dapat menjadi daya kendali
atau belenggu terhadap inisiatif daerah. Melalui pengawasan preventif,
daerah “dipaksa” selalu tunduk pada kemauan pihak yang berwenang
memberi pengesahan. Segi negatifnya, tidak ada unsur pencegahan
terhadap kekeliruan, kecerobohan, atau kesalahan suatu peraturan daerah.
431 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,…, Op., Cit., hlm. 154. 432 Ibid.
169
Pengawasan represif, sebagaimana dikemukakan di atas adalah
wewenang untuk membatalkan atau penundaan berlakunya peraturan
daerah. Jadi pengawasan represif dilakukan setelah suatu peraturan daerah
mempunyai akibat hukum, baik dalam rangka desentralisasi maupun tugas
pembantuan. Pelaksanaan pengawasan preventif berada pada posisi “lebih
awal” dari pengawasan represif. Daya campur tangan terhadap daerah juga
menjadi lebih besar. Pengawasan preventif mengandung “prasyarat” agar
peraturan daerah atau yang mengandung sifat tertentu dapat dijalankan.
Pembatasan terhadap pengawasan preventif lebih ketat dibanding
pengawasan represif. Salah satu pembatasan adalah dengan cara mengatur
atau menentukan secara pasti jenis atau macam peraturan daerah yang
memerlukan pengesahan.
Memahami pengaturan dan praktik pengawasan dalam rangka
penyelenggaran pemerintahan daerah yang berjalan selama ini, bentuk
pengawasan yang seyogyanya dikembangkan atau diterapkan dalam
Undang-undang yang mengatur pemerintahan ke depan adalah bentuk
pengawasan preventif dan pengawasan represif. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dapat dikatakan sudah sangat tepat mengatur pengawasan
preventif dan pengawasan represif ini, karena telah diatur dengan jelas dan
rinci ruang lingkup dari kedua bentuk pengawasan tersebut serta ditentukan
dengan tegas batas-batas ruang lingkupnya sehingga diharapkan dapat
dicegah tindakan Pemerintah atau Gubernur sebagai wakil Pemerintah di
daerah untuk bertindak sewenang-wenang atau melampaui kewenangan.
Selain itu, sejalan dengan pelaksanaan pengawasan represif, yang berupa
pembatalan terhadap produk-produk hukum daerah, ternyata Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 demi terwujudnya pemerintahan daerah yang
demokratis telah memberi saluran hukum ‘judicial review’ kepada Daerah
yang keberatan produk-produk hukumnya telah dibatalkan, yakni dengan
cara mengajukan perkara pembatalan ini ke lembaga yudisial, dalam hal ini
Mahkamah Agung.
Dengan pengaturan atau peran lembaga Yudisial (Mahkamah Agung)
dalam rangka pengawasan (represif) Pusat terhadap Daerah, terlihat bahwa
170
lingkup pengawasan Pemerintah terhadap penyelenggaraan pemerintahan
daerah hanya sebatas pengawasan dalam bidang administrasi
pemerintahan atau administrasi negara. Selain itu peran tersebut tidak dalam
kerangka memberikan keputusan-keputusan yang bersifat hukum (yudisial).
Dalam hal pengawasan oleh Pemerintah Pusat terhadap Daerah, apabila
adanya kejanggalan-kejanggalan atau dugaan penyimpangan dalam materi
hukum produk-produk hukum Daerah, maka Pemerintah Pusat dapat
memberikan evaluasi serta rekomendasi-rekomendasi yang diperlukan untuk
pembenahan.
Selanjutnya, apabila pembatalan oleh Pemerintah Pusat tidak dapat
diterima, Daerah dapat mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung,
kemudian atas dasar putusan yudisial dari Mahkamah Agung tersebut,
Pemerintah Pusat apabila memenangkan sengketa melalui Mendagri sesuai
dengan wewenangnya dapat mengintruksikan kepada Daerah yang
bersangkutan untuk segera mencabut dan mengubahnya. Atas dasar
wewenang pengawasan yang diberikan kepadanya, Pemerintah Pusat juga
dapat menerapkan sanksi administratif kepada Daerah yang sengaja atau
lalai melaksanakan perintah untuk mencabut dan mengubah peraturan
daerah yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung itu.
Berdasarkan gagasan sebagaimana tersebut di atas, maka paling
tidak dalam praktik penyelenggaran daerah, keberadaan pengawasan dilihat
dari mekanisme yang diatur di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 itu dapat
menghindari 2 (dua) hal yang kontra produktif. Pertama, terhindar adanya
intervensi lembaga Pemerintah (badan eksekutif) terhadap fungsi yudisial
pengadilan. Kedua, terhindar timbulnya dominasi eksekutif atas
pemerintahan daerah (Kepala Daerah dan DPRD) yang telah menetapkan
produk-produk hukum secara demokratis.
Di antara penggolongan pengawasan pemerintah pusat terhadap
pemerintah daerah, yang dipandang tepat yaitu preventif, represif
(administrative), yang dilengkapi dengan pengawasan yudisial. Apabila
berkebaratan perdanya dibatalkan, dapat mengajukan ke mahkamah agung.
Itu yang tidak dapat berjalan dalam praktik. Dengan demikian telah
171
terlaksana pengawasan secara demokratis. Pada intinya bahwa pengaturan
tentang pengawasan saat ini menuju kepada yang ideal. Apakah control
sama dengan review? Dapat dikatakan ya, karena yang dikontrol adalah
peraturan perundang-undangan, dalam hal ini perda atau peraturan kepala
daerah. Berbeda dengan legislative review, yaitu dilakukan oleh DPR/DPRD.
Berbicara pengawasan dari pusat dan daerah hanya dua macam, represif
dan preventif. tapi UU No. 32 Tahun 2004 nampaknya sejalan dengan
otonomi seluas-luasnya daerah diberikan kesempatan untuk banding.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa persoalan
mengenai apakah pengaturan pengawasan preventif dan represif terhadap
perda, ditambah pengawasan yudisial sudah tepat, terdapat beberapa hal
yang dapat dikemukakan. Pertama, Selama ini yang diverifikasi adalah lebih
kepada legislative drafting, bukan karena semata-mata bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi dan kepentingan umum. Dengan demikian
apakah cocok pengawasan preventif terhadap empat hal tertentu?
Nampaknya pengawasan secara represif untuk semua bidang cenderung
lebih baik. Hal tersebut terkait dengan agenda-agenda pembangunan daerah
yang membutuhkan proses yang lebih efisien. Biarkan setiap norma menjadi
sah sampai ditentukan lain. Kedua, di sisi lain dapat dipandang bahwa
bentuk pengawasan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 ini sudah
mendekati bentuk yang ideal. Letak kedaulatan rakyat dalam pola hubungan
pengawasan antara pusat-daerah dalam UU ini adalah pemberian ruang bagi
pemerintah daerah untuk menyampaikan keberatan kepada Mahkamah
Agung atas pembatalan perda.
3. Telaah Terhadap Bentuk-Bentuk/ Lingkup dan Objek Pengawasan
Telah diuraikan bahwa dari beberapa jenis objek pengawasan, yang
berlaku saat ini dalam UU No. 32 Tahun 2004, pengawasan terhadap
peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. setelah berbagai sisi positif
dan negatif yang timbul dari pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999, dalam UU
No. 32 Tahun 2004 dimunculkan kembali pengawasan preventif dan represif.
172
Namun, khusus yang berkenaan dengan pranata pengawasan preventif
terhadap perda, UU ini hanya membatasi substansinya pada Perda tentang
APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan lingkungan hidup, dengan
mekanisme evaluasi dan pengesahannya. Sementara itu pengawasan
represif ditujukan terhadap semua perda, tanpa kecuali.
Berkaitan dengan hal tersebut I Gde Pantja Astawa memberikan
penegasan bahwa baik pengawasan preventif maupun pengawasan represif,
mempunyai objek ataupun mengenai hal yang sama.433 Pertama, saat
pelaksanaannya. Artinya, pengawasan preventif dilakukan sebelum Perda
diberlakukan, sedangkan pengawasan represif harus memperhitungkan
akibat hukum yang telah timbul selama Perda tersebut masih berlaku.
Kedua, akibat hukumnya. Karena Perda belum berlaku, penolakan
pengesahan belum menyentuh akibat hukum yang timbul dari Perda
tersebut. Sebaliknya, pengawasan represif harus memperhitungkan akibat
hukum yang telah timbul selama Perda tersebut berlaku.
Dalam konteks agar pengawasan tidak menjadi terlampau longgar
dan tidak pula terlampau ketat, perlu diketahui bahwa pengertian
pengawasan adalah suatu bentuk hubungan dengan sebuah legal entity
yang mandiri, bukan hubungan internal dari entitas yang sama.434 Maka dari
itu bentuk dan isi pengawasan dilakukan semata-mata menurut berdasarkan
ketentuan Undang-Undang. Gde Pantja menegaskan kembali bahwa
pengawasan tidak berlaku ataupun tidak diterapkan terhadap hal-hal yang
tidak ditentukan atau berdasarkan undang-undang.435 Maka dari itu salah
satu bentuk pengawasan yang menurut tim peneliti harus dihindari dan tidak
diatur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah bentuk/jenis
pengawasan yang disebut pengawasan umum, sebagaimana pada masa lalu
diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Pengawasan umum
sangat luas ruang lingkupnya sehingga betul-betul dapat mematikan atau
433 I Gde Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, Alumni, bandung, 2009, hlm. 322-323. 434 Ibid., hlm. 322. 435 Ibid.
173
membelenggu prakarsa atau inisiatif Daerah dalam mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah sehingga tidak sejalan dengan upaya mewujudkan
pemerintahan daerah yang demokratis. Jadi sudah dapat terlihat bahwa
pengaturan pengawasan saat ini lebih mengarah ke demokratis.
4. Telaah Terhadap Instrumen Penetapan Pembatalan Perda
Keberadaan pengawasan sebagai konsekuensi dari keberadaan
hubungan hirarkis. Dalam Undang-Undang menyatakan bahwa yang diawasi
adalah peraturan perundang-undangan yang bernama perda dan perat
kepala daerah.436 Maka dari itu, judicial control sama dengan judicial review.
Peraturan daerah yang berlaku sebagai undang-undang bagi daerah,
proses penyusunan maupun implementasinya perlu dimonitor secara terus
menerus untuk memberikan jaminan kepada publik bahwa semua ketentuan
yang diatur dalam perda tersebut sudah mengikuti norma-norma/kaidah-
kaidah yang berlaku yaitu memenuhi persyaratan sebagai peraturan yang
baik. Kegiatan monitoring tersebut pada dasarnya adalah merupakan bagian
dari kegiatan pengawasan yang harus dilakukan oleh suatu
lembaga/institusi tertentu yang pada lazimnya mempunyai kedudukan lebih
tinggi dan mempunyai kewenangan untuk melakukan penilaian untuk
memastikan bahwa segala ketentuan yang tercantum di dalam peraturan
daerah dimaksud adalah sesuai dengan ketentuan-ketentuan maupun
prinsip-prinsip yang harus diikuti berkaitan dengan pengenaan suatu
pungutan.
Sebagai konsekuensi bahwa peraturan daerah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka pencabutannya pun
hanya dapat dilakukan dengan peraturan yang lebih tinggi atau sederajat.
Dalam rangka pengawasan, merupakan konsekuensi logis jika suatu
peraturan daerah dapat dibatalkan atau dicabut hanya dengan peraturan
yang lebih tinggi. Hal tersebut sesuai dengan urutan peraturan perundang-
436 Pengawasan lainnya yang dilakukan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan daerah adalah pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah, lihat Pasal 218 ayat (1) huruf a.
174
undangan yang ditetapkan dalam UU No. 10 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.437 Ketentuan Undang-undang bahwa
perda dapat dibatalkan oleh bentuk peraturan presiden dapat dinilai tepat.
Pasal 145 ayat (3) sudah memberikan atribusi kewenangan438 kepada
Presiden untuk dapat membatalkan suatu perda. Begitu pula dikuatkan
bahwa Dalam rangka pengawasan, Peraturan Daerah di yang mengatur
pajak dan retribusi daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 15
(lima belas) hari setelah ditetapkan.439 Dalam hal Peraturan Daerah tersebut
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, Pemerintah dapat membatalkan Peraturan
Daerah dimaksud,440 Namun ternyata Presiden pun memberikan delegasi
kepada Menteri Dalam Negeri untuk dapat membatalkan Perda, melalui PP
No. 79 Tahun 2008. Dalam Pasal 37 ayat (1) dikatakan bahwa Peraturan
Daerah dan Peraturan Kepala Daerah disampaikan kepada Pemerintah
paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan. Pemerintah melakukan
pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.
Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Menteri. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
437 Pasal 7 ayat (1) mengatur bahwa Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.
Ditambahkan dalam ayat (2) bahwa Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
438 kompetensi/kewenangan administrasi negara (pejabat TUN) berdasarkan suatu perundang-undangan formal, lihat Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hl. 10. 439 Pasal 25A ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah. 440 Pasal 25A ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000.
175
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden
berdasarkan usulan Menteri. Peraturan Kepala Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum,
Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dapat dibatalkan dengan Peraturan Menteri. Sementara itu PasaI 38
menambahkan bahwa Peraturan Presiden tentang pembatalan Peraturan
Daerah ditetapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak Peraturan
Daerah diterima oleh Pemerintah. Peraturan Menteri tentang pembatalan
Peraturan Kepala Daerah ditetapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari
setelah Peraturan Kepala Daerah diterima oleh Menteri.
Dari ketentuan tersebut dapat dikemukakan bahwa:
1. Kedua Pasal yang memberikan kemungkinan kepada Menteri untuk
membatalkan suatu perda, dalam rangka pengawasan, tidak menunjuk
secara spesifik menteri apa/bertanggungjawab di bidang apa, untuk
menetapkan pembatalan perda. Baru ditemukan dalam rangka
pengawasan terhadap PP yang mengatur pajak dan Retribusi daerah,
dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri;
2. Kedua Pasal tersebut tidak memberikan kriteria mengenai kapan suatu
pembatalan perda ditetapkan oleh peraturan presiden dan kapan
dibatalkan oleh menteri;
3. Kedua Pasal tersebut hanya menyebutkan nama instrumen berupa
peraturan Menteri, bukan keputusan menteri sebagai instrument
pembatalan perda yang memungkinkan didelegasikan oleh Presiden.
Dengan demikian, antara ketentuan-ketentuan yang berlaku terkait
dengan pembatalan perda, terdapat suatu ketidakharmonisan antara
peraturan secara vertikal, yaitu antara UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 10
Tahun 2004, dengan PP No. 79 Tahun 2005. Melihat bahwa pada praktik
menunjukkan ketentuan dalam PP No. 79 Tahun 2005 yang terlaksanakan,
maka ketetuan dalam kedua UU di atasnya seolah-olah menjadi tidak hidup.
Dengan demikian, sepanjang kedua UU tersebut, terutama UU No. 32 Tahun
2004, yang spesifik pertentangannya, belum dicabut, maka ketentuan yang
176
terkait di dalamnya masih harus ditaati. Kecuali jika praktik menghendaki
lain, maka perlu dilakukan suatu perubahan terhadap UU No. 10 Tahun
2004, yang diarahkan untuk memberi kemungkinan tempat bagi peraturan
setingkat menteri, sebagai representasi pemerintah, ke dalam urutan
peraturan perundang-undangan.
Dilihat dari paradigma kerangka Negara Kesatuan, demokratisasi dan
negara hukum, pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan
kepala daerah yang berlaku saat ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
Tabel 23
Skema Pola Hubungan Pengawasan Pusat-Daerah
NEGARA KESATUAN
Pemberian otonomi daerah bukan untuk mengarahkan kepada pembagian kedaulatan, melainkan hanya satu Kedaulatan, yaitu dalam kerangka negara kesatuan. Pengawasan menjadi instrumen pemerintah pusat untuk menjamin bahwa penyelenggaraan pemerintahan dapat terlaksana sesuai perencanaan.
NEGARA HUKUM DAN KESEJAHTERAAN
Pengawasan baik secara preventif dan represif dilaksanakan untuk menjamin supremasi hukum, agar peraturan perundang-undangan di tingkat satuan pemerintahan yang lebih rendah, sesuai dengan peraturan nasional (satuan pemerintahan pusat).
Jaminan HAM yang menjadi salah satu ciri negara hukum menjadi bagian dari kewajiban negara hingga oleh satuan pemerintahan yang lebih rendah.
Pembagian kekuasaan: tidak saja pembagaian secara horizontal (eksekutif, legislative, dan yudikatif), tetapi juga secara vertikal (satuan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah).
Semua diarahkan bahwa negara menghantarkan kepada pencapaian kesejahteraan rakyat.
DEMOKRATISASI Terdapat pengawasan hukum dengan judicial review, bahwa jika suatu perda dibatalkan dan pemda berkeberatan terhadap pembatalan tersebut, pemda dapat mengajukan judicial review instrumenn
177
pembatalan tersebut ke Mahkamah Agung.
Kedaulatan negara tidak untuk menjadikan negara menentukan
segalanya (totaliterisme), melainkan harus dengan keseimbangan legitimasi
etis dan sosial (normatif-moral).441 Letak kedaulatan negara dalam hubungan
pengawasan adalah pada pengawasan secara preventif dan represif
terhadap ranperda dan perda. Di sinilah mengapa kedaulatan negara
dengan kedaulatan rakyat dapat saling tarik menarik, dapat pula saling
menyeimbangkan. Kedaulatan rakyat tidak boleh tidak terbatas, melainkan
melalui perwakilan dan keterbukaan (publicity) pemerintah (daerah). 442 Letak
kedaulatan rakyat dalam pola hubungan pengawasan antara pusat-daerah
adalah pemberian ruang bagi pemerintah daerah untuk menyampaikan
keberatan kepada Mahkamah Agung atas pembatalan perda.
Persoalan kedua, terdapat suatu ketidakharmonisan antara peraturan
secara vertikal, yaitu antara UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 10 Tahun
2004, dengan PP No. 79 Tahun 2005. Melihat bahwa pada praktik
menunjukkan pembatalan perda selalu dengan Kepmendagri, maka ketetuan
dalam kedua UU di atasnya seolah-olah menjadi tidak hidup. Dalam PP No.
79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan itu sendiri, pada pasal
37 dan Pasal 38 dapat dikemukakan bahwa:
4. Kedua Pasal yang memberikan kemungkinan kepada Menteri untuk
membatalkan suatu perda, dalam rangka pengawasan, tidak menunjuk
secara spesifik menteri apa/bertanggungjawab di bidang apa, untuk
menetapkan pembatalan perda. Baru ditemukan dalam rangka
pengawasan terhadap PP lain, yaitu mengatur pajak dan Retribusi
daerah, dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri;
441 Frans Magnis-Soeseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm. 177-179. 442 Ibid., hlm. 290-291.
178
5. Kedua Pasal tersebut tidak memberikan kriteria mengenai kapan suatu
pembatalan perda ditetapkan oleh peraturan presiden dan kapan
dibatalkan oleh menteri;
6. Kedua Pasal tersebut hanya menyebutkan nama instrumen berupa
peraturan Menteri, bukan keputusan menteri sebagai instrumen
pembatalan perda yang memungkinkan didelegasikan oleh Presiden.
Dengan demikian, sepanjang kedua UU tersebut, terutama UU No.
32 Tahun 2004, yang spesifik pertentangannya, belum dicabut, maka
ketentuan yang terkait di dalamnya masih harus ditaati.
Masih dalam rangka pengawasan yang tidak dapat dilepaskan dari
pembinaan, jika akan dikeluarkan semacam pedoman dan standard dalam
rangka pembinaan kepada daerah, hendaknya unsur ini tidak perlu terlalu
banyak. Semakin banyak pedoman dan standard cenderung menjadikan
semakin mendorong keseragaman. hal inilah yang seharusnya dihindari
karena bertentangan dengan otonomi itu sendiri. Yang perlu lebih didorong
dari unsur pembinaan ini adalah berupa koordinasi dan fasilitasi.
Berdasarkan rumusan alinea keempat Undang-Undang dasar 1945,
jelas bahwa konsep bernegara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah memiliki tujuan yang arahnya
untuk memajukan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia,443 atau meminjam
konsep Lemaire negara menjalankan fungsi berstuurszorg. Konsep
bernegara yang demikian ini secara teoretikal dianut oleh negara-negara
hukum modern menjelang akhir abad ke XIX, atau awal abad ke XX. Dasar pemikiran keberadaan pengawasan Pusat terhadap Daerah sangat
terkait dengan konsepsi Negara Kesatuan yang dianut di dalam Pasal 1 ayat (1)
UUD 1945. Adanya pengawasan Pusat terhadap Daerah adalah sebagai
443 Otje Salman dan Anton F. Susanto menyatakan, apabila dilihat secara bulat atau holistik (satu kesatuan), yaitu dengan melihat dasar pikiran dalam sila Pertama, Ketiga, dan Kelima, maka keseimbangan (balande) merupakan subtansi pokok yang terkandung didalamnya (maksudnya alinea keempat-penulis). Kesimbangan yang dijelaskan dalam silanya adalah, kesimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat serta kepentingan penguasa, yang dituntun oleh Sila Ketuhanan. Lihat, Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 159.
179
konsekuensi Pemerintah NKRI mempunyai tanggung jawab utama untuk tetap
menjamin tercapainya tujuan nasional yang tercantum di dalam Alinea Keempat
Pembukaan UUD 1945. Di Indonesia pada prinsipnya pengawasan merupakan
konsekuensi dari Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi. Adanya
pembagian kekuasaan secara vertikal antara Pusat dan Daerah sebagaimana diatur
Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyebabkan adanya pengawasan Pusat terhadap
Daerah atau dengan lain perkataan adanya penyerahan urusan pemerintahan dari
Pusat kepada Daerah mengakibatkan Pusat mempunyai tugas dan wewenang
untuk melakukan pengawasan, dengan tujuan agar Daerah terhindar dari
penyimpangan-penyimpangan terhadap peraturan-perundang-undangan yang lebih
tinggi dan kepentingan umum sehingga Daerah dalam menjalankan
pemerintahannya senantiasa sejalan dengan tujuan penyelenggaraan otonomi
daerah.
Dengan demikian pengawasan Pusat terhadap Daerah, apakah itu
berupa pengawasan preventif atau represif (berupa pembatalan atau
penangguhan) suatu produk hukum Daerah, apabila ditelusuri dari
Pembukaan UUD 1945, menemukan dasarnya dari konsep Negara
Kesejahteraan sebagaimana telah dirumuskan di dalam alinea keempat UUD
1945. Tindakan atau keputusan pembatalan suatu Perda yang dilakukan
oleh Pemerintah Pusat misalnya, harus dianggap sah menurut hukum
(praduga rechtmatig) sampai ada pembuktian sebaliknya secara hukum.
Oleh karena itu, sejak berlakunya Undang-Undang Pemerintahan Daerah
Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, terdapat
ketentuan yang memberikan kemungkinan untuk menguji tindakan atau
keputusan pembatalan suatu Perda melalui apa yang disebut dengan
pranata ’keberatan’: Daerah-Daerah yang merasa keberatan atas
pembatalan peraturan-peraturan daerahnya dapat mengajukan keberatan
kepada Mahkamah Agung. Maka, Mahkamah Agung sebagai institusi
yudisial kemudian menguji keputusan pembatalan itu.
Bagir Manan, yang dalam desertasinya membahas sampai Undang-Undang
No. 5 tahun 1974, namun tidak mengomentari apakah bentuk pengawasan
harus seperti apa. Bagaimanapun dalam No. 5 tahun 1974, yang tidak
180
dibahas dalam desertasinya itu, menunjukkan bahwa terdiri dari pengawasan
umum, represif, dan preventif. Setelah berlaku UU No. 22 tahun 1999, ada
pendapat Bagir Manan, bahwa yang diatur dalam UU 22 Tahun 1999 dengan
menghapus pengawasan preventif, Bagir Manan setuju hanya satu.
Pengawasan yang bagaimana yang tidak membelenggu kemandirian
daerah? Walaupun diawasi tapi daerah masih ada keleluasaaan. Dengan
pengawasan yudisial, pengawasan menghindari pembelengguan daerah.
Ruang lingkup pengawasan terhadap daerah dibatasi pada peraturan daerah
dan peraturan kepala daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis
pengawasan yang dipandang tepat yaitu preventif, represif (administrative),
yang dilengkapi dengan pengawasan yudisial. Apabila suatu daerah
berkeberatan perdanya dibatalkan, dapat mengajukan ke Mahkamah Agung.
Itu yang tidak dapat berjalan dalam praktik. Dengan demikian telah
terlaksana pengawasan secara demokratis. Itu pendapat kita yang intinya
bahwa pengaturan tentang pengawasan saat ini menuju kepada yang ideal.
Pengawasan senantiasa diperlukan sebagai pranata bagi pemerintah
pusat atau satuan pemerintahan yang lebih tinggi tingkatannya untuk
mengendalikan, mempengaruhi, bahkan memaksakan kehendaknya kepada
satuan pemerintahan yang lebih rendah. Alasan utama yang dikemukakan
Gde Pantja444 adalah supaya desentralisasi dengan pemberian otonomi
daerah tidak bergeser menjadi semacam kemerdekaan, walaupun hanya
sekadar untuk urusan pemerintahan tertentu. Tanpa mengesampingkan arti
penting pengawasan, tidak dikehendaki suatu pengawasan yang tidak punya
batasan ruang lingkup.445 Pengawasan demikian tidak sama artinya dengan
pengawasan terhadap segala hal. Pengawasan yang disebut terakhir
menghendaki dibutuhkan sebagai instrument untuk mencapai hakikat
pengawasan, yaitu segala upaya untuk mengetahui bahwa segala hal yang
direncanakan terlaksana. Maka dari itu, pengawasan yang baik adalah
444 I Gde Pantja Astawa, Problematika …., op.cit., hlm. 321. 445 Pengawasan seperti ini mirip dengan jenis pengawasan umum yang diatur pada masa UU No. 5 Tahun 1974.
181
pengawasan terhadap segala hal dengan pembatasan ruang lingkup dan
bentuk, yang ditetapkan dalam undang-undang.
Bentuk pengawasan Pusat terhadap Daerah yang seyogyanya
dikembangkan dan diterapkan dalam undang-undang yang mengatur
pemerintahan daerah adalah bentuk pengawasan preventif dan represif
(pengawasan administratif) dan dilengkapi pengawasan yudisial.
Kemuncullan kembali pengawasan preventif sebagaimana diatur oleh
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak menyebabkan membelenggu
kemandirian Daerah karena pengawasan preventif telah ditentukan batas-
batas ruang lingkupnya serta di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004, pengawasan administratif (preventif dan represif) dilengkapi dengan
pengawasan yudisial. Ditetapkannya tentang bentuk dan ruang lingkup
pengawasan di dalam suatu undang-undang merupakan perwujudan dari
pemerintahan daerah yang demokratis. Dengan demikian, walaupun terdapat
pengawasan, Daerah tetap mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri atau tetap mempunyai kemandirian. Melihat dari paradigma yang cukup mendasar, Ateng Syafrudin446
berpendapat bahwa terdapat benang merah yang sampai sekarang menjadi
persoalan. Tapi banyak pemikiran-pemikiran di balik pembentukan UU ini,
dipengaruhi dari negeri Belanda. Padahal orang Belanda sendiri berpendapat
bahwa ternyata cara membagai otonomi itu bersumber dari kedaulatan negara,
bukan kedaulatan rakyat. Paradigma ini tidak diketahui umum, sedangkan kita
berpijak pada kedaulatan rakyat. Tidak heran pada tahun 1974 ada suatu
pandangan bahwa otonomi adalah hak prerogatif. Ateng Stafrudin membantah
bahwa itu adalah tugas konstitusional presiden. Itu bersumber dari abad
pertengahan, bahwa hak prerogatif dimulai dari ampunan dosa-dosa, hak
menentukan nilai mata uang, ketiga, berhak memilih kepercayaan sendiri siapa
yang mewakilinya. Ada juga batas-batasnya, melahirkan hak placet: hak penguasa
yang lebih tinggi untuk tidak setuju terhadap gagasan dari satuan pemerintahan di
bawahnya. Hal tersebut ditujukan dalam rangka membina dan memelihara
446 Ateng Syafrudin, disampaikan dalam acara Focused Group Discussion (Fgd) Tentang “Hubungan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah”, diselenggarakan atas kerja sama antara Dewan Perwakilan Daerah RI dan Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 4 Agustus 2009.
182
bawahannya. Pemerintah pusat punya hak placet, tapi hrs dijelaskan supaya tidak
menimbulkan konflik. Sekarang pemda baru berindikator pada IPM. Yang lainnya
harus ada. Apakah kalau sudah membangun gedung-gedung menjadi sudah
berhasil? Sering orang hanya mengukur secara materil. Terhadap kedaulatan
negara yang menjadi paradigma dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah ini,
dapat dikemukakan pendapat Hans Kelsen mengenai kedaulatan.447 Kedaulatan
dikatakan sebagai karakteristik definitif dari kekuasaan tertentu: satu negara, satu
teritorial, satu rakyat, dan satu kekuasaan.448 Kekuasaan negara mesti berupa
validitas dan efektifitas tata hukum, jika kedaulatan dipandang sebagai satu kualitas
dari kekuasaan ini.449 Sebab kedaulatan hanya dapat sebagai kualitas dari suatu
tata normatif sebagai suatu kekuasaan yang merupakan sumber kewajiban-
kewajiban dan hak-hak.450 Dengan demikian kedaulatan negara dalam hal ini
ditempatkan terutama dalam kepentingan untuk menjamin kesatuan hukum dari
satuan pemerintahan pusat sampai dengan satuan pemerintahan yang paling
rendah.
Dalam ketentuan yang berlaku saat ini, kedaulatan negara untuk menjamin
kesatuan hukum atau dengan kata lain untuk menjaga harmonisasi peraturan
perundang-undangan tersebut salah satunya dilaksanakan melalui mekanisme
pengawasan terhadap peraturan daerah. Mengenai praktik bahwa semua
pembatalan sebagai salah satu bentuk pengawasan selalu ditetapkan dengan
kepmendagri, menurut ilmu perundang-undangan, sudah tepat ketentuan bahwa
perda dibatalkan oleh perpres, yaitu mengacu kepada UU No. 10 Tahun 2004.
Namun ketentuan ini tidak berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan itu tidak
dapat dilaksanakan (tidak sesuai dengan asas feasible). Walaupun demikian,
sepanjang suatu peraturan belum diubah atau dicabut, maka ketentuan yang masih
berlaku seharusnya diataati.
Konsep dalam UU yang berlaku saat ini selalu mengaitkan
pengawasan dengan pembinaan dan koordinasi. Walaupun begitu masih
perlu suatu pengujian konsep itu, betulkah bahwa setiap penyelengggaraan
447 Hans Kelsen (alih Bahasa: Somardi), Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, Rimdi Press, 1995, hlm. 255. 448 Ibid. 449 Ibid. 450 Ibid.
183
pemerintahan, masalah pengawasan mutlak terkait satu sama lain dengan
koordinasi dan pembinaan, dan tidak dapat terpisah sendiri-sendiri.
Pembinaan pun dalam rangka pengawasan, bahwa dalam sistem negara
hukum harus berjalan. Pengawasan tidak dapat terpisahkan dari
pembinaan. Penetapan pedoman standard dalam rangka pembinaan tidak
boleh terlalu rinci agar keberagaman setiap daerah tetap terjaga. Dengan
demikian kreatifitas daerah tidak terkekang dengan upaya penyeragaman
sebagai dampak dari penetapan pedoman standard. Bentuk evaluasi dalam
rangka pembinaan dan pengawasan perlu dikembangkan, terutama terkait
dengan pemekaran daerah. Penetapan pemekaran daerah yang sudah
marak dan mendominasi produk legislatif beberapa tahun terakhir perlu
ditindaklanjuti dengan mekanisme evaluasi. Tidak hanya cukup sebelum
pemberian status daerah baru, evaluasi dibutuhkan juga setelah pemberian
status daerah baru. Ke depan dapat dikembangkan bahwa sebagai tahapan
menuju pemberian status daerah baru dilakukan terlebih dahulu pemberian
semacam status administratif, seperti yang pernah berlaku pada masa UU
nomor 5 Tahun 1975. Perbedaan yang harus dikembangkan terletak pada
tindak lanjut setelah pemberian status administratif, apakah menjadi kota
atau menjadi kabupaten baru. Pada intinya yang menjadi penting adalah
bagaimana suatu daerah telah terlatih dan terbina terlebih dahulu untuk
menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan sebelum mendapatkan status
daerah yang baru dibentuk. Hal tersebut untuk melihat apakah sebetulnya
daerah-daerah yang dimekarkan (terutama yang berbentuk provinsi) mampu
memenuhi segala syarat kemandirian, dan terutama dapat menjaga
keutuhan Negara Kesatuan, demokratisasi, dan negara hukum dan
kesejahteraan.**
184
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan singkat di atas, dapat dikemukakan beberapa
hal berkaitan dengan prinsip-prinsip pemikiran dan dimensi-dimensi pola
hubungan antara pusat dan daerah.
Pertama, Prinsip-Prinsip Pemikiran Pola Hubungan Antara Pusat Dan Daerah
Prinsip-prinsip ini dapat didekati dari paradigma negara kesatuan,
negara hukum (dengan paradigm negara kesejahteraan), demokratisasi,
yang dilaksanakan dengan cara desentralisasi. Dengan paradigma negara
kesejahteraan, satuan pemerintahan yang terendah adalah ujung tombak
dari upaya menghantarkan kesejahteraan rakyat. Kecenderungan tarik
menarik kekuasaan yang didesentralisasikan tersebut dipengaruhi oleh
sistem rumah tangga seperti apa yang dianut.
Kedua, dimensi-dimensi pola hubungan antara pusat dan daerah UUD 1945 telah memberikan dasar-dasar pola hubungan antara
Pusat dan Daerah, meliputi desentralisasi teritorial, dengan asas otonomi
dan tugas pembantuan, dan memberikan otonomi seluas-luasnya. Dengan
pemberian otonomi seluas-luasnya seperti itu, seharusnya sudah
memungkinkan bagi daerah-daerah untuk beragam memiliki urusan. Dalam
implementasinya, dasar-dasar pola hubungan pusat dijabarkan lebih lanjut
melalui berbagai peraturan pelaksana. Melalui PP No. 38 Tahun 2007, yang
lebih tampak adalah bahwa yang rumah tangga yang dianut adalah rumah
tangga materiil. Dengan konstruksi demikian seperti itu, prinsip otonomi
seluas-luasnya menjadi tidak tampak. Hal tersebut menjadikan setiap daerah
cenderung menjadi seragam. Padahal fungsi otonomi sendiri adalah
keberagaman. Keberadaaan otonomi khusus justru merupakan anomali dari
pemberian otonomi seluas-luasnya. Dengan pemberian berbagai urusan
pemerintahan yang didesentralisasikan, cenderung terjadi
185
ketidakkonsistenan dengan begitu gemuknya kelembagaan di Pusat,
sehingga menyerupai piramida terbalik. Setiap pembentukan kelembagaan di
daerah belum sepenuhnya berdasarkan kebutuhan urusan yang riil dan
kemampuan SDM serta keuangan daerah. Ketentuan yang berlaku sekarang
untuk mengoptimalkan kemampuan daerah masih bergantung kepada
perimbangan keuangan, belum memungkinkan optimalisasi kerja sama
daerah, terutama untuk melakukan pinjaman luar negeri. Upaya
kebergantungan daerah terhadap pusat muncul lagi melalui pranata
pengawasan yang tidak berimbang dengan upaya fasilitasi dan koordinasi
oleh Pusat. Hal tersebut ditambah pula dengan persoalan instrumen hukum
pembatalan perda yang menurut atribusi UU No. 32 Tahun 2004 dilakukan
oleh perpres, namun praktiknya selalu dengan kepmendagri yang
nampaknya lebih memenuhi asas feasible (dapat dilaksanakan) suatu
peraturan. Dengan seperti itu menjadikan atribusi kewenangan dalam UU
tersebut tidak hidup.
B. Saran Dari berbagai telaah mengenai asas, teori, pengaturan, serta
persoalan pola hubungan antara pusat dan daerah, mencerminkan perlunya
upaya untuk mengkaji kembali berbagai peraturan perundang-undangan
yang belum harmonis dengan UUD 1945. Pengkajian yang lebih mendalam
perlu ditindaklanjuti untuk mengembalikan makna otonomi dalam bingkai
negara kesatuan, sebagai upaya untuk menegakkan supremasi hukum,
menghantarkan kepada kesejahteraan rakyat, dan demokratisasi.**
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2006.
Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986.
_______, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986.
Anhar Gonggong (ed), Kumpulan Tulisan Pasang Surut Otonomi Daerah, Institute for Local Development dan Yayasan TIFA, editor Jakarta 2005.
Ateng Syafrudin, Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1990.
_______, Kapita Selekta Hakikat Otonomi dan Desentralisasi dalam Pembangunan Daerah. Citra Media Hukum. Yogyakarta. 2006.
Bachrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, UI-Press, Jakarta, 2002.
Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18, UNSIKA, Karawang, 1993.
_______, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.
_______, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001.
Bhenyamin Hoessein, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah, dalam Kumpulan Tulisan pasang surut otonomi Daerah, Yayasan Tifa, Jakarta, 2005.
Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004.
Eddy Purnama, Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, Bandung, 2007.
Francisco Javier Arze del Granado, A Study of The Relationship Between Fiscal Decentralization and The Composition of Public Expenditures, Disertasi, Departement of Economic Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, 2003.
Frans Magnis-Soeseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.
H. Bohari, Hukum Anggaran Negara. Rajawali Pers. Jakarta. 1995.
I Gde Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, Alumni, bandung, 2009.
Ichimura, Shinichi; Bahl, Roy (eds), Decentralization: Policies in Asian Development, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009.
Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Penerbit Bina Aksara, 1984.
J. Kaloh, Kepala Daerah, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003.
Jimly Ashiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH. UI, Jakarta, 2002.
_______, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
_______, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Komputer, Kelompok Gramedia, Jakarta, 2007.
Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah, di Negara Republik Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Kelsen, Hans, (alih Bahasa: Somardi), Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, Rimdi Press, 1995.
Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Menggunakan Teori dan Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum, Monograf, penerbit, kota, dan tahun penerbitan tidak tercantum.
M.N. Azmy Akhir. Masalah Pengurusan Keuangan Negara : Suatu Pengantar Teknis. CV. Dinna. Jakarta. 1986.
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kelima belas, 1993.
Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka, dalam Miriam Budiardjo (ed), Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta, 1980.
_______, Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, Segaarsy, Bandung, cetakan kedua, 2009.
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtsstaat), Refika Aditama, Bandung, 2009.
Niessen, Nicole, Municipal Government In Indonesia Policy, law and Practice of Decentralization and Urban Planning, Research School CNWS School of Asian, African, and Amerindian Studies, Universitiet Leiden, The Netheralands, 1999.
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia, Bandung, 2009.
Norton, Alan, International Hand Book of Local and Regional Government A Comparatve Analysis of Advanced Democracies, Edward Elgar Limited – Edaward Elgar Publishing Company, England, USA, 1993.
Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005.
Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 1986.
Pheni Chalid, Keuangan Daerah, Investasi, dan Desentralisasi, Kemitraan, Jakarta, 2005.
R. Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Penerbit Alumni, Bandung, 1982.
RDH Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistim Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1979.
Rousseau, Jean Jacques, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Visimedia, Jakarta, 2007.
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Genta Publishing, cetakan II, Yogyakarta.
Smith, B.C., Decentralization The Territorial Dimension of The State, Gerge Allen Unwin, London, 1985.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Strong, CF, Modern Political Constitution, Sidgwick & Jackson Limited, London, 1960.
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993.
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung, 2006.
Taliziduhu Ndraha, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Jilid I, Rineka Cipta, Jakarta 2003.
Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, cetakan kedua, 2007.
The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Edisi Kedua. Liberty, Yogyakarta, 1995.
Wolfgang Friedmann, Legal Theory, Steven Sons, London, 1967.
DESERTASI/TESIS/LAPORAN PENELITIAN/MAKALAH/JURNAL
Agus Kusnadi, Bentuk dan Ruang Lingkup Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Mewujudkan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Yang Demokratis Menurut UUD 1945, Desertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009.
Anwar Shah, “Fiscal Decentralization in Developing and Transition Economies: Progress, Problems, and the Promise” World Bank Policy Research Working Paper 3282, World Bank, Washington, DC USA, April 2004.
_______, Theresa Thompson, “Implementing Decentralized Local Governance: A Treacherous Road with Potholes, Detours and Road Closures”, World Bank Policy Research Working Paper 3353, The World Bank, Washington DC, USA, June 2004.
Asep Warlan Yusuf, Hubungan Kelembagaan antara Pusat dan Daerah, makalah pada Diskusi Terbatas tentang Hubungan Pusat dan daerah, Pusat Studi Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 4 Agustus 2009
Ateng Syafrudin, Masalah Hukum dalam Pemerintahan di Daerah, Makalah untuk pendidikan non-gelar anggota DPRD tingkat II se-Jawa Barat di Fakultas ISIP Unpad, 28 Desember 1992.
_______, disampaikan dalam acara Focused Group Discussion (Fgd) Tentang “Hubungan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah”, diselenggarakan atas kerja sama antara Dewan Perwakilan Daerah RI dan Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 4 Agustus 2009.
_______, Handsout dan Course Material Hukum Pemerintahan Daerah, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Program Studi Hukum Tata negara, 2009.
Bachrul Elmi dan Syahrir Ika, “Hutang Sebagai Salah Satu Sumber Pembiayaan Pembangunan Daerah Otonom”, Jurnal Kajian Ekonomi Dan Keuangan, Vol. 6 No. 1, Maret, 2002.
Bagir Manan, Tugas Sosial Pemerintahan Daerah, Makalah, 2008.
Bahl dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), Decentralization: Policies in Asian Development, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009, hlm. 3.; Jaime Bonet, “Fiscal decentralization and regional income disparities: evidence from the Colombian experience”, Springer-Verlag Published online: 12 April 2006.
Bonet, Jaime, “Fiscal decentralization and regional income disparities: evidence from the Colombian experience”, Springer-Verlag Published online: 12 April 2006.
Elektison Somi, Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia (Disertasi), Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2006.
Era Dabla-Norris, “The Challenge of Fiscal Decentralisation in Transition Countries”, Comparative Economic Studies, Vol.48, 2006.
I Gde Pantja Astawa,Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, Disertasi, Universitas Padjadjaran Bandung, 1999.
Jameson Boex, Renata R Simatupang, “Fiscal Decentralisation and Empowerment: Evolving Concepts and Alternative Measures” Journal Compilation Institute of Fiscal Studies Vol. 29, No. 4, Blackwell Publishing Ltd, UK-USA, 2008.
Kerangka Acuan Penelitian Studi Hubungan Pusat Dan Daerah Kerjasama DPD RI Dengan Perguruan Tinggi Di Daerah, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta 2009.
Kuntana Magnar, Bahan diskusi pada Diskusi Terbatas Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 4 Agustus 2009
Larry Schroeder, Fiscal Decentralization in South East Asia, Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management, Vol. 15 No. 3, Academic Press, 2003.
Pedoman Penyelenggaraan Program Pendidikan Sarjana (S1), Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Tahun 2007.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Wilayah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Pengkajian Penataan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Laporan Penelitian, Bandung, 2002.
Schroeder, Larry, “Fiscal Decentralization in South East Asia”, Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management, Vol. 15 No. 3, Academic Press, 2003.
Tim Penyusun, Otonomi atau Federalisme, dampaknya terhadap Perekonomian, Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta, 2000.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor No.18 Tahun 1997 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor No. 25 Tahun 1999 Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor No.33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Undang-Undang Nomor No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1997 Tentang Retribusi Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2008 Tentang Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Sumber Internet
http://www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.Doc.
http://www.opensubscriber.com/message/[email protected]/9511217.html
www.geocities.com/syahyuti/Rumusan_konsep_kelembagaan.pdf
http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/05/04112298/pajak.daerah.dibatasi.
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/08/08/91036/20/2/RUU-Pajak-dan-Retribusi-Daerah-Disahkan-Jadi-UU
http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/05/04112298/pajak.daerah.dibatasi.
http://www.detikfinance.com/read/2009/08/18/103708/1184734/4/15-poin-uu-pokok-pajak-daerah-dan-retribusi-daerah
www.worldbank.org/id.
http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CPAD.pdf.
www.bakd.depdagri.go.id/
www.google.com
http://kppod.org/ind/index.php?option=com_content&task=view&id=329&Itemid=2
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/08/08/91036/20/2/RUU-Pajak-dan-Retribusi-Daerah-Disahkan-Jadi-UU
http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php/topic,5619.0.html
http://ekoprasojo.com/2008/04/08/konstruksi-ulang-hubungan-pemerintah-pusat-dan-pemerintah-daerah-di-indonesia-antara-sentripetalisme-dan-sentrifugalisme/
http://en.wikipedia.org/wiki/Participatory_democracy
http://ekoprasojo.com/2008/04/08/konstruksi-ulang-hubungan-pemerintah-pusat-dan-pemerintah-daerah-di-indonesia-antara-sentripetalisme-dan-sentrifugalisme/
http://www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.Doc.
http://www.ssrn.com/abstract=1029581