Post on 13-Jan-2016
RETORIKA OASE DI PADANG PASIR:
SEBUAH ANALISIS DIRKURSUS
STUDI RETORIKA DALAM BINGKAI HISTORIS
PROPOSAL SKRIPSI
diajukan untuk menempuh ujian sarjanapada Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran
DANIEL RUSYAD HAMDANNY
210110080305
UNIVERSITAS PADJADJARANFAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
BANDUNG 2011
2
DAFTAR ISI
Daftar Isi 2
Pendahuluan 3
Latar Belakang 3
Fokus Penelitian 8
Maksud Penelitian 9
Tujuan Penelitian 10
Kegunaan Penelitian 10
Kerangka Pemikiran 11
Metodelogi 19
Sumber Data 20
Teknik Pengumpulan Data 22
Teknik Analisis Data 23
Keabsahan Data 24
Lokasi dan Waktu Penelitian 27
Daftar Pustaka 28
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Sesungguhnya di balik penjelasan itu terkandung sihir
Muhammad
Jika kau hendak menasehati, bicaralah dengan singkat dan padat. Sungguh
perkataan yang panjang, sebagiannya meniadakan bagian lain (dari benak
pendengarmu)
Abu Bakar
Penelitian mengenai retorika, khususnya retorika pada masa Yunani dan
Romawi, telah banyak dilakukan baik oleh sejarawan maupun sarjana komunikasi. Di
antaranya Prof. Erik Gunderson dari Universitas Berkeley yang pada 2009
menyunting sebuah kompilasi esai ilmiah bertajuk Cambridge Companion to Ancient
Rhetoric. Gunderson, dalam buku tersebut memaparkan kajian elaboratif perihal isu-
isu kompleks retorika di masa Yunani hingga Romawi yang dibedah dengan
pendekatan analisis wacana (discourse analysis).
Sebelum Companion Gunderson terbit, di tahun 2004, James Herrick, Guru
Besar Ilmu komunikasi Universitas Winconsin menulis sebuah karya ilmiah yang
memiliki setting serupa: The History and Theory of Rhetoric. Herrick secara
kronologis merinci karakteristik retorika Yunani, Romawi, Abad Pertengahan, dan
4
retorika kontemporer. Tentu saja sebelum kedua buku itu terbit pun, telah ada ratusan
bahkan ribuan penelitian serupa. Saking banyaknya, mungkin kita sudah akrab
dengan aktor dan atribut yang menjadi ciri khas retorika Yunani dan Romawi.
Sebut saja Homerus dengan Iliad dan Odisius-nya yang konon tergolong karya
sastra tertua yang lestari dan isinya banyak diingat hingga masa kini. Perang Trojan,
meski fiktif, menjadi wacana yang banyak dipersepsi sebagai setting sejarah pra
kejayaan Yunani. Socrates, seorang filsuf yang tak pernah menulis satu buku pun,
namun logika silogisme-nya, yang diperkenalkan oleh murid-muridnya, dikenal
sepanjang masa. Corax, seorang sophist sekaligus pengacara yang pandai bersilat
lidah dan dengan bakatnya itu ia mampu menyelamatkan banyak kliennya dalam
proses pengadilan. Plato dengan bukunya: Gorgias dan Phaedrus, retor yang juga
memiliki sekolah pertama dalam sejarah: Akademi Plato. Aristotles dengan De Arte
Rhetorica –keliru jika kita tak menganggap buku itu sebagai karya ilmiah pertama
dalam kajian retorika. Tiga pendekatan argumentasi yang termasyhur: logos, pathos,
dan ethos, muncul untuk pertama kalinya dalam De Arte karya Aristoteles. Kemudian
Gorgias, sophist sekaligus retor yang mengenalkan konsep propriety yaitu proses
adaptasi wacana ke dalam berbagai variable ekstrinsik retorika. Bicaralah sesuai
dengan kondisi lawan bicara Anda, salah satu prinsip dalam konsep tersebut.
Seluruh tokoh di muka dengan sekelumit atribut dan karya mereka secara
otomatis mengingatkan kita pada retorika Yunani Kuno (Ancient Greek). Lalu di era
Romawi, kita diingatkan pada Cicero dengan De Inventione serta karya
pamungkasnya, Ad Herenium. Dalam karya yang disebut terakhir itulah, pelajar
5
Kajian Retorika diperkenalkan dengan Lima Aturan Retorika (The Five Canons of
Rhetoric) yang sampai detik ini bertahan dan menjadi alat utama dalam membedah
keefektifan sebuah proses retorika. Masih di masa Romawi, Quintilian menjadi ikon
guru retorika yang mengedepankan kaidah estetika.
Penulis merasakan butuhnya pengayaan kembali kajian retorika. Jika setiap
peradaban mampu menampilkan keelokan atau tepatnya kekhasan retorika,
sebagaimana retorika Yunani yang mengedepankan logika- tampak dalam proses
argumentasi- lalu retorika Romawi mengedepankan estetika –dalam penyampaian
pesan. Penulis menemukan sebuah fase dalam sejarah yang belum terpindai ke dalam
kajian retorika, yakni fase akhir Peradaban Sasaniah dan Bizantium di Semenanjung
Arabi menjelang kemunculan Peradaban Islam.
Fase ini penulis anggap kritikal untuk diangkat karena dua alasan. Pertama,
periode ini merupakan fase penerus sekaligus pembuka fase lainnya dalam sejarah:
peralihan abad pertengahan yang dikenal sebagai dark ages menuju masa pencerahan
atau renaissance. Sedangkan retorika tidak begitu populer pada abad pertengahan, tak
pelak retorika pada saat itu dianggap mati suri. Rakhmat (2008:10) menguraikan
kondisi retorika di masa itu bahwa “membicarakan” diganti dengan “menembak”.
Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang
yang pandai berbicara. Kondisi itu memberikan sebuah hipotesis bahwa sempat
terjadi ‘peralihan’ pemain dalam membangun tradisi retorika pada masa tersebut.
Alasan kedua, sebagaimana retorika di masa Yunani dan Romawi, Retorika pada
Periode Kemunculan Islam pun –merujuk pada peralihan fase romawi helenistik
6
yang ditandai dengan runtuhnya peradaban Sasaniah dan Bizantium- memiliki
kekhasan dan keunggulan tertentu yang peneliti percaya dapat memperkaya khazanah
kajian retorika yang telah ada.
Penulis memilih frasa Retorika Oase –dengan sesekali menggunakan istilah
Retorika Muhammad- untuk mempermudah ingatan pembaca ketimbang
menggunakan istilah yang lebih panjang: Retorika di Masa Kemunculan Islam yang
Memperantarai Abad Pertengahan dan Masa Pencerahan. Objek formal dalam studi
ini adalah retorika yang dibawakan oleh pendiri –meskipun penulis lebih
meyakininya sebagai penyambung- sekaligus penyebar ajaran atau agama Islam.
Posisinya sebagai penyebar perdana agama ini relevan untuk merepresentasikan
bagaimana kekhasan Retorika yang dikenalkan atau menjadi ciri khas Islam.
Sebagaimana Aristotle mengakrabkan kita pada retorika Yunani, Cicero pada retorika
romawi, dalam studi ini Muhammad pada retorika Peradaban Islam. Se
Penulis terinspirasi oleh Nancy Worman, Ph.D. yang membedah retorika
Yunani Kuno dengan pendekatan sejarah, lingusitik, dengan bingkai analisis
diskursus dalam esainya yang bertajuk Fighting Words: Status, Stature, and Verbal
Contest. Teori Speech Act dalam membedah Iliod kemudian menguraikan dialog
antar tokoh di dalamnya dengan berbagai nuansa komunikasi yang tentu saja
diimbangi lensa historis Yunani pada abad ke delapan sebelum masehi, Worman
dengan cermat menguraikan retorika yang khas pada masa tersebut.
Penulis juga terilhami oleh Prof. Dr. Abdul Halim Syalabi dari Universitas
Qatar yang menguraikan keunggulan Fann Al-khitabah (Al Bayaan) atau retorika
7
sebelum dan setelah Islam dengan metode komparatif. Meski masih terkesan
simplisistik tetapi Syalabi cukup membuka jalan analisis selanjutnya yang lebih
holistik dan mendalam.
Kajian Retorika Muhammad menurut penulis sangat penting dan relevan
terhadap pengembangan ilmu komunikasi. Muhammad yang menjadi objek sentral
dalam hal ini tidak saja memiliki daya pikat karena diyakini oleh sebagian ummat
manusia-termasuk penulis- sebagai Nabi. Bahkan di luar label kenabian pun,
Muhammad memiliki kualitas potensi kemanusiaan, khususnya kualitas
kepemimpinan yang diakui bukan saja oleh ummat Islam.
Meski klasik, namun isu mengenai penempatan Muhammad sebagai urutan
pertama dalam 100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah oleh Michael H.
Hart yang notabene beragama Yahudi adalah bukti betapa Muhammad adalah figur
yang sangat disegani ummat manusia.
Jika kita menyaratkan keefektifan persuasi sebagai tolok ukur kesuksesan
retorika, penulis berkeyakinan perlunya mengambil sebuah kajian mendalam
bagaimana sosok Muhammad –sebagai hipotesis awal merujuk pada deskripsi
Barnaby Rogerson dalam Biografi Muhammad- yang terlahir dalam suatu masyarakat
tribalistis, penuh persaingan antarklan, dengan karakteristik iliteral, fanatik, dan
pengaruh kekuasaan dua imperium adidaya, mampu menyatukan mereka semua di
bawah naungan yang ia komunikasikan sebagai ajaran Tuhan. Komunikasi macam
apa yang mampu melembutkan karakteristik masyarakat padang pasir yang dikenal
keras. Mengubah fanatisme menjadi keingintahuan akan kebenaran (filsafat).
8
Menyatukan klan yang sekian lama jatuh dalam jurang permusuhan ke dalam
persaudaraan yang tidak terikat darah dan materi.
Penulis pernah menjadi pelajar (santriwan) di sebuah pesantren di Jawa Timur
selama enam tahun, penulis cukup akrab dengan ilmu-ilmu bahasa Arab dan kajian
mengenai fann al- khitabah atau balaghah -yang kerap disepadankan dengan termin
retorika. Pengetahuan dasar ini menjadi modal sekunder penulis dalam menganalisis
retorika Muhammad dengan kerangka analisis wacana yang berpijak pada model
Discourse Analysis Van Dijk dan Model Rehetorical Discourse James A Herrick.
1.2. Fokus Penelitian
Penelitian ini berupaya menganalisis retorika nabi yang dibatasi pada wacana
Muhammad menyampaikan tiga kotbahnya, yakni kotbah perdana di Mekkah, kotbah
kecaman terhadap tindakan kolutif, serta kotbah terakhir yang dikenal dengan
khutbatu-l-wada’ atau kotbah perpisahan.
Fokus penelitian berkisar pada daya tarik kotbah, bagaimana Muhammad
membangun argumentasi dalam kotbahnya, proposisi serta penyusunan pesan kotbah,
adaptasi kotbah dengan kondisi audiens, kekuatan kata serta motif historis yang
berkaitan dengan pesan kotbah, dan pendekatan persuasif yang tampak dalam kotbah.
Fenomena historis berupa kognisi sosial dan interaksi partisipan actual dengan segala
atributnya yang menjadi preseden kotbah menjadi konteks dalam membedah kotbah
Muhammad yang berperan sebagai teks.
9
1.3. Maksud Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis wacara
(discourse analysis). Penulis, dengan metode tersebut, berupaya mengeksplorasi
retorika Muhammad –dibatasi pada Kotbah Perdana di Mekkah, Kotbah tentang
Pencurian, dan Kotbah Pamungkas di Madinah- sebagai sebuah wacana yang
ditelusuri dengan tiga pendekatan yaitu:
Penggunaan bahasa (language use)
Proses kognisi sosial (social cognition)
Interaksi partisipan (interaction)
Penggunaan bahasa, dalam penelitian ini, adalah kotbah Muhammad yang
berperan sebagai teks. Sedangkan proses kognisi sosial dan interaksi partisipan
merupakan konteks yang dipengaruhi sekaligus mempengaruhi teks. Sehingga
analisis wacana- merujuk pada definisi Van Dijk- dalam penelitian ini berbicara
mengenai teks di dalam konteks.
Kaitan teks dan konteks diuji dengan mengeksplorasi empat kritik konstruk yang
dikembangkan Gill dan Whedbee sebagai berikut:
Exigence (Isu sasaran)
Audience (Audiens atau pendengar Aktual)
Genre (Sifat atau karakteristik teks)
Rhetor Credibility (Posisi sosial Muhammad di tengah audiens)
10
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini pada akhirnya bertujuan menghadirkan gambaran atau deskripsi
tentang Retorika Muhammad- sebagai suatu teks- yang khas dan aplikatif, disertai
eksplorasi konteks yang melatari sekaligus memengaruhi teks tersebut. Gambaran
yang penulis hadirkan merupakan hasil dari analisis kotbah dengan menjawab lima
pertanyaan sebagai berikut:
A. Bagaimanakah retorika Muhammad direncanakan?
B. Bagaimanakah adaptasi retorika Muhammad terhadap audiens?
C. Bagaimanakah motif manusia (human motives) muncul dalam retorika
Muhammad?
D. Bagaimanakah respon retorika Muhammad terhadap situasi yang melatarinya?
E. Bagaimanakah teknik persuasi dalam retorika Muhammad?
Uraian retorika Muhammad sebagai jawaban dari kelima pertanyaan tersebut
diharapkan dapat menjadi bakal sebuah model Wacana Retorika Muhammad atau
Wacana Retorika Nabi (Prophetic Rhetorical Discourse).
1.5. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu kegunaan teoretis
dan kegunaan praktis.
11
1.5.1. Kegunaan Teoretis
Penelitian mengenai Retorika Muhammad ini diharapkan mampu memperkaya
Ilmu Komunikasi pada umumnya dan Kajian Retorika pada khususnya
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pendorong untuk diadakannya
penelitian-penelitian serupa
1.5.2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangsih bagi para orator (public
speakers) pada umumnya dan para da’i serta muballigh khususnya dalam
mengenalkan kualitas dan karakteristik Retorika Muhammad yang aplikatif.
1.6. Kerangka Pemikiran
1.6.1. Analisis Wacana: Studi Teks di dalam Konteks
Analisis Wacana (Discourse Analysis) merupakan studi teks di dalam konteks. Teks
merupakan penggunaan bahasa dalam segala bentuknya. Pemahaman mengenai teks
terus berkembang sesuai dengan perkembangan komunikasi, baik sebagai kajian ilmu
ataupun fenomena sosial. Sedangkan konteks dalam analisis wacana dapat dipahami
sebagai proses komunikasi keyakinan (communication of belief) yang dipengaruhi
oleh kognisi sosial, dan interaksi yang terjadi pada saat penggunaan bahasa terjadi.
12
Analisis Wacana, sebagai sebuah studi, memiliki prinsip-prinsip sebagaimana studi
lainnya. Van Dijk (1997:29) secara elaboratif merinci prinsip tersebut ke dalam dua
belas butir sebagai berikut:
Naturally Occuring Text and Talk. Analisis wacana mensyaratkan adanya
pembicaraan atau teks yang terjadi apa adanya. Data atau objek yang dianalisis
harus benar-benar murni tanpa melalui perubahan-perubahan terlebih dahulu.
Context. Wacana merupakan dianalisis dan dikaji sebagai bagian konstitutif dari
konteks lokal, global, sosial, dan kultural. Pembicaraan dan teks dalam berbagai
cara memberikan isyarat relevansi kontekstual, dan sebab itu struktur-struktur
konteks perlu diobservasi dan dianalisis secara mendetail.
Discourse as Talk. Pembicaraan kerap kali dianggap sebagai dasar atau bentuk
wacana primordial. Pada dasarnya, wacana tidak dibatasi pada teks atau
pembicaraan tertentu, wacana bisa dalam bentuk pembicaraan formal maupun
informal.
Discourse as Social Practice of Members. Baik wacana tertulis (written
discourse) maupun wacana terucap (spoken discourse) merupakan bentuk-bentuk
dari praktik sosial dalam konteks sosio-kultural. Pengguna bahasa yang terlibat
dalam wacana bukan sekadar pribadi- individu, melainkan juga anggota
kelompok, institusi, atau budaya yang bervariasi.
Member’s Category. Hal ini lumrah dalam analisis percakapan, untuk tidak
‘memaksakan’ gagasan atau kategori yang dibentuk sebelumnya, peneliti dituntut
13
untuk menghargai cara anggota sosial mengintepretasi diri mereka, dan cara
mereka mengkategori sifat atau karakteristik dunia sosial dan reaksi mereka
atasnya, termasuk atas wacana.
Sequentiality. Penyelesaian wacana bersifat linear dan sekuensial, dalam
menciptakan dan memahami baik pembicaraan maupun naskah. Sifat pertama
berlaku dalam setiap tingkat, unit-unit struktural (kalimat, proposisi, dan
tindakan) harus dijelaskan atau diintepretasikan secara relatif pada unit
sebelumnya. Relativitas diskursif juga melibatkan fungsionalitas, yakni elemen
selanjutnya memiliki fungsi-fungsi khusus pada elemen sebelumnya. Prinsip ini
juga berimplikasi bahwa pengguna bahasa saling memengaruhi baik secara
mental dan interaksional.
Constructivity. Di samping bersifat sekuensial, wacana juga bersifat konstruktif
dalam arti bahwa unit-unit konstitutif wacana dapat, secara fungsional,
digunakan, dipahami, atau dianalisis sebagai elemen dari bagian yang lebih besar,
karenanya mampu menciptakan struktur hierarki.
Levels and Dimension. Analis wacana cenderung mengiris, secara teoretis,
menjadi beberapa lapis, dimensi, atau tingkatan- tingkatan, dan pada saat yang
sama juga menghubungkan level-level tersebut. Lapisan, dimensi, atau tingkatan
tersebut merepresentasikan tipe-tipe fenomena yang berbeda dan terlibat dalam
wacana, seperti suara, bentuk pesan, makna, dan tindak. Pengguna bahasa di lain
14
pihak mengatur level-level atau dimensi wacana secara strategis dalam waktu
yang bersamaan.
Meaning and Function. Baik para pengguna bahasa maupun analis, keduanya
(bekerja dengan) makna: dalam pemahaman dan analisis mereka, mereka
mengajukan pertanyaan seperti ‘Apa yang ia maksudkan di sini?’ atau
“Bagaimana hal ini masuk akal atau wajar dalam konteks tersebut?’ sebagaimana
terjadi pada kasus atau prinsip lainnya, prinsip ini juga memiliki implikasi
fungsional atau implikasi eksplanatori: ‘Mengapa hal itu disebutkan di sini?’
Rules. Bahasa, komunikasi, sebagaimana wacana, seluruhnya diasumsikan
memiliki aturan atau berwujud mengikuti kaidah (to be rule governed).
Pembicaraan (Talk) dan Teks dianalisis sebagai manifestasi atau hubungan
daripada aturan-aturan grammar, tekstual, komunikatif, atau aturan interaksi yang
menjadi konsesnsus sosial. Pada saat yang bersamaan, bagaimanapun, kajian
wacana actual berfokus pada bagaimana aturan dilanggar, diabaikanm satau
diubah, dan apa fungsi diskursif atau fungsi sosial dalam kaitannya dengan
pelanggaran yang tampak.
Strategies. Selain aturan, pengguna bahasa juga mengetahui dan mempraktikan
strategi-strategi expedient mental (pendekatan persuasive terapetik, pen.) dan
interaksional dalam pemahaman serta penyelesaian wacana secara efektif dan
dalam merealisasikan tujuan-tujuan komunikatif atau sosial. Relevansi strategi ini
dapat dianalogikan dengan permainan catur: pemain catur membutuhkan
15
pengetahuan mengenai peraturan permainan untuk memainkan permainan
tersebut pada giliran pertama, lalu ia perlu menggunakan taktik, gambit, dan
pergerakan yang andal dalam strategi secara keseluruhan untuk bertahan atau
menang.
Social Cognition. Prinsip ini kurang dikenal, tetapi memiliki relevansi yang tak
kurang penting dalam analisis wacana, yakni peranan kognisi fundamental: proses
dan representasi mental dalam menciptakan dan memahami teks dan pembicaraan
(talk). Hanya sedikit saja dari aspek-aspek wacana yang didiskusikan di muka
(makna, koherensi, aksi atau tindak, dan sebagainya) yang dapat dipahami dan
dijelaskan dengan baik, tanpa mendalami jalan berpikir (the mind) dari pengguna
bahasa. Di samping ingatan pribadi dan pengalaman terhadap sebuah kejadian
(models), representasi sosio-kultural yang sama-sama dimiliki secara consensus
(pengetahuan, sikap, ideologi, norma, dan nilai) dari pengguna bahasa sebagai
anggota kelompok juga memainkan peranan yang mendasar dalam wacana, sama
halnya dalam deskripsi dan eksplanasi. Kognisi, diyakini dalam berbagai jalan
dan cara, sebagai penghubung (interface) antara wacana dan masyarakat
(discourse and society)
1.6.2. Kajian Retorika dalam Analisis Wacana
Retorika, cetus Aristoteles dalam De Arte Rhetorica., tidak memiliki cakupan atau
kajian pokok khusus tersendiri, karena ia ditemukan dimana-mana. Ricard Mckeon
16
(Booth, 2004:4) mengulangi ungkapan Aristotles tersebut, dalam bukunya Rhetoric:
Essay on Invention and Discovery, bahwa retorika adalah seni yang universal dan
arsitektonik. Kemana pun kita pergi, kita selalu menemukan retorika. Apapun yang
kita lakukan, pasti mengandung retorika. Termenung pun, misalnya, merupakan
kegiatan retorika. Itulah alasan Mckeon menganggap retorika universal.
Arsitektonik berarti menawarkan sebuah struktur yang kemudian digunakan
secara lintas disiplin keilmuwan. Retorika pada dasarnya menjawab bagaimana kita
mengelola bahasa (sintaksis) dan mempergunakannya (pragmatis) secara efektif.
Retorika juga menjawab bagaimana mengelola logika berpikir secara sistematis.
“Retorika”, menurut Corbett (1990:5) adalah “seni wacana yang bertujuan
untuk meningkatkan kecakapan seorang pembicara atau penulis yang berupaya untuk
memberi informasi, membujuk, atau memotivasi pendengar tertentu dalam situasi-
situasi tertentu”. Definisi tersebut sangat akrab dengan teori-teori komunikasi yang
memandang komunikasi secara pasif dan berlangsung secara linear.
Definisi retorika yang lebih sempit dikemukakan oleh Cicero, Seorang Orator
Ulung pada masa Romawi, dalam karyanya Ad Herenium, “Retorika adalah seni
besar yang terdiri dari lima seni kecil: inventio, dispositio, elocutio, memoria, dan
pronunciatio. Ia merupakan pidato yang didisain untuk membujuk rayu (to
persuade).” Retorika dalam definisi tak lain merupakan teknik persuasi, bahkan
penulis lebih memilih untuk menyebutnya manajemen pesan.
Meski sangat sederhana, definisi Cicero terhadap retorika sangat powerful,
terbukti bahwa sampai saat ini pembahasan mengenai retorika, khususnya yang
17
berkaitan dengan pragmatics, tak lepas dari lima seni kecil yang diungkapkan
olehnya. Bahkan Ancient Rhetorics for Contemporary Students menjadikan lima seni
kecil sebagai bab besar dengan uraian hampir lima ratus lembar.
Wayne Booth dalam Rhetoric of RHETORIC mendefinisikan retorika sebagai
“cakupan seni yang menyeluruh, tidak hanya persuasi tetapi juga dalam menciptakan
atau mengurangi kesalahpahaman” Jika kita cermati definisi Booth dengan merekam
pernyataan-pernyataan yang mendahului definisi tersebut dalam buku Rhetoric of
RHETORIC, kesan yang timbul adalah sebuah upaya untuk mengembalikan retorika
pada sifat kenetralannya.
Retorika tidak seperti apa yang John Locke (Herrick 2004:1) yakini sebagai alat
untuk menyusupkan ide-ide yang salah, menyesatkan pengadilan, dan sebagai tipuan
yang benar-benar nyata. Retorika juga tidak semulia pemahaman Santa Agustinus:
“Retorika adalah seni menyampaikan (pesan) dengan jelas, secara indah (ketika
dibutuhkan), secara persuasif, dan penuh dengan kebenaran-kebenaran yang dapat
diketahui oleh akal secara cermat” Retorika, merujuk pada definisi Booth, adalah
netral. Ia bisa menjadi alat untuk menciptakan sekaligus membelokkan pemahaman
manusia akan sesuatu.
Universalitas objek kajian retorika menjadikan penelitian tentang retorika
menjadi sangat kaya. Dewasa ini, penelitian mengenai retorika dilakukan dengan
memadukan analisis objek kajian ditinjau secara multi-perspektif. The Gendered
Pulpit Mountford misalnya, merupakan hasil studi retorika dan feminisme mengenai
kondisi kotbah keagamaan di Amerika Serikat. Rhetoric of the Americas merupakan
18
studi retorika dan sejarah pembentukan bangsa Amerika. Dan penelitian retorika yang
menjadi concern dalam proposal ini adalah kajian retorika dan sejarah yang
menawarkan sebuah metode aplikatif, diantaranya Ancient Rhetoric for
Contemporary Students Sharon Crowley.
Definisi retorika yang paling sesuai dengan kerangka pemikiran dalam
penelitian ini adalah apa yang disampaikan James A. Herrick sebagai studi sistematis
dan praktik ekspresi simbolik yang efektif dan menyengaja. Efektif, jelas Herrick
berarti mencapai tujuan atau maksud dari pengguna symbol, baik berupa bujukan
(persuaion), kejelasan (clarity), keindahan (beauty), atau pemahaman bersama
(mutual understanding). Seni retorika dapat membuat penggunaan symbol lebih
persuasif, lebih indah, diingat, kuat, cerdas, jelas, dan secara umum lebih mendorong.
Dengan karakteristik tersebut, retorika merupakan seni mempergunakan symbol
secara efektif.
Penyajian seni retorika secara sistematis, gambaran mengenai elemen-elemen
retorika (junctions) yang saling berpapasan, serta penjelasan tentang bagaimana
retorika mencapai tujuan-tujuannya secara kolektif, jelas Herrick dipahami sebagai
teori retorika. Kemudian, wacana (discourse) yang diciptakan (crafted) sesuai dengan
prinsip-prinsip seni retorika, yang oleh sebab itu menjadi produk dari seni ini dinamai
wacana retorika (rhetorical discourse) atau Herrick menyebutnya sekadar retorika.
Wacana retorika, masih merujuk pada pemahaman James A, Herrick, memiliki
lima karakterstik yang membedakannya dari tipe komunikasi lainnya. Karakteristik
tersebut adalah sebagai berikut:
19
1. Retorika direncanakan
2. Retorika diadaptasikan dengan audiens
3. Retorika menampilkan motif-motif manusia
4. Retorika bersifat responsive terhadap situasi
5. Retorika berupaya mempersuasi
1.7. Metodelogi
1.7.1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis
wacana (discourse analysis). Meski fokus penelitian menitik beratkan pada pesan
retoris Nabi Muhammad dalam tiga kotbahnya yang masyhur di Mekkah dan
Madinah, bukan berarti kerangka yang paling sesuai adalah tradisi semiotika. Karena
Semiotika, sebagaimana dijelaskan oleh Littlejohn (2008:105), meski membantu
dalam memahami pesan dan makna pesan, tetapi tidak terlalu memperhatikan situasi
sosial dan cultural pada saat suatu pidato atau kotbah disampaikan. Sedangkan
penelitian ini mencoba menganalisis teks –language use, yaitu tiga kotbah
Muhammad- melalui konteks –yaitu proses kognisi sosial dan interaksi partisipan
yang menjadi latar belakang teks yang saling mempengaruhi. Karena itu Discourse
Analysis lebih tepat digunakan sebagai kerangka acuan penelitian ini.
Menurut Jorgensen dan Phillips (2002:1) bahwa analisis diskursus adalah upaya
untuk menganalisis cara-cara tertentu dalam membicarakan dan memahami dunia
(atau suatu aspek dari dunia).
20
Analisis Diskursus merupakan metode yang erat kaitannya dengan penggunaan
bahasa (pragmatics). Karena kedekatannya itu, Nancy Wood (2006:11) memahami
diskursus sebagai bahasa dan konteks (pada saat bahasa itu dipergunakan). Analisis
Diskursus merupakan sebuah metode terbuka dan tidak terikat. Terbuka dalam arti
metode ini digunakan lintas disiplin ilmu sosial. Dan tidak terikat oleh framework
atau bingkai teori-teori tertentu.
Metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis yang didapatkan melalui studi kepustakaan. Dalam
penelitian kualitatif, peneliti sebagai subjek penelitian merupakan hal yang tak
terpisahkan dari objek penelitian yang ditelitinya. Peneliti menganalisis berbagai
literatur yang relevan sebelum akhirnya member intepretasi dan kesimpulan.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat intepretif (menggunakan
penafsiran) yang melibatkan banyak metode dalam menelaah masalah penelitiannya.
(Mulyana: 2007:5).
1.7.2. Sumber Data
Sumber data utama yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah literatur
mengenai retorika dalam kotbah Nabi Muhammad –edisi asli dan bukan saduran atau
terjemahan- dan buku-buku sejarah sebagai data utama yang mendukung eksplorasi
konteks: kognisi sosial dan interaksi partisipan dalam kotbah. Buku mengenai
21
psikologi dan bahasa menjadi pemerkaya dalam analisis pada bagian-bagian tertentu,
khususnya dalam sub bagian sintaksis dan semantik dalam penelitian.
Berikut adalah literatur utama sebagai sumber data dalam penelitian ini:
• Al-Kamil karya Ibnu Atsir
• As-Shahih Al-Bukhari karya Imam Bukhari
• As-Shahih Al-Muslim karya Imam Muslim
• Al Khitabah Wa I’daadul Khatiib karya Dr. Abdul Jalil Syalabi
• Madinatul Balaghah karya Syaikh Musa Zanjani
• Al-Tarikh at Tabari karya Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir At-Tabari
• Jawahiru-l-Balaghah karya Ahmad Al Hasyimi
• Arabic Rhetoric: A Pragmatic Analysis karya Hussein A Raof
• Muhammad: His Life Based on the Earliest Source karya Martin Lings
• The Arabs: A History karya Eugeune Rogan
• The History and Theory of Rhetoric James A Herry
• Discourse As Structure And Process karya Teun A Van Dijk
• Society and Discourse karya Teun A. Van Dijk
• Discourse and Social Psychology karya Potter dan Wetherell
• Understanding Muhammad: A Psychobiography karya Ali Sina
• The Rhetoric of Power in Late Antiquity: Religion, Politics in
Byzantium, Europe, and the Early Islamic World suntingan Robert M.
Frakes, Elizabeth D. Digeser, dan Justin Stephen
22
1.7.3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini hampir sepenuhnya dikerjakan dengan teknik telaah atau studi
kepustakaan. Adapun teknik lainnya hanya merupakan pelengkap atau membantu
teknik utama saja dalam memastikan validitas serta reliabilitas data saja.
Studi kepustakaan, sebagai teknik utama dalam penelitian ini, penulis
membaca banyak buku, majalah, diktat, atau jurnal untuk mendukung
penelitian. Literatur yang menjadi rujukan bertemakan:
a. Retorika dan analisis wacana
b. Sintaksis, semantic, dan pragmatik
c. Sejarah, khususnya sejarah Arab pada masa kehadiran Islam
d. Hadits
e. Biografi Muhammad atau Sirah Nabawiyyah
f. Ilmu Bahasa Arab, khususnya mengenai Fann Al-Khitabah
Teknik pelengkap dalam penelitian adalah sebagai berikut:
Wawancara, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa teoretisi dan
praktisi retorika, ahli sejarah Islam dan timur tengah serta ahli bahasa arab.
Dokumentasi, mempelajari arsip-arsip dan berbagai film dokumenter tentang
Muhammad dan Sejarah Islam di Jazirah Arab
23
1.7.4. Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini bersifat induktif
atau Bottom-Up Approach. Bottom-up approach (Woods, 2006:12) merupakan upaya
untuk memulai analisis suatu wacana yang dimulai dengan analisis terhadap pola
komunikasi verbal dan noverbal yang digunakan dalam wacana.
Lalu analis, dalam hal ini, mencari suatu bukti dan motif-motif tertentu yang
menyebabkan wacana tersebut dikonstruksi. Penggunaan kata yang langka, pemilihan
kalimat dan atau frase, pengulangan-pengulangan, komposisi pesan, penekanan, dan
lain sebagainya.
Seiddel dalam Moleong (2007: 248) analisis data kualitatif prosesnya berjalan
sebagai berikut:
• Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan demikian hal itu
diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.
• Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan,
membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya.
• Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna,
mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat
temuan-temuan umum.
1.7.5. Keabsahan Data
Secara umum validitas adalah kebenaran dan kejujuran sebuah deskripsi, kesimpulan
penjelasan, tafsiran, dan segala jenis laporan (Alwasilah, 2002: 169). Suatu temuan
24
atau data dalam penelitian kualitatif dapat dinyatakan valid apabila tidak ada
perbedaan antara yang dilaporkan dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek
penelitian.
Validitas membuktikan bahwa yang diamati sesuai dengan realita yang
sesungguhnya terjadi serta membuktikan penjelasan yang diberikan sesuai dengan
yang sebenarnya terjadi pula. Patut diketahui bahwa kebenaran realitas data menurut
penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal, tetapi jamak dan tergantung pada
konstruksi manusia, dibentuk dalam diri seorang sebagai hasil proses mental tiap
individu dengan berbagai latar belakangnya.
Validitas internal merupakan ukuran tentang kebenaran data yang diperoleh
dengan instrumen yakni apakah instrumen itu dilakukan dengan sungguh-sungguh
mengukur variabel yang sebenarnya (Nasution, 1992: 105). Validitas internal pada
penelitian kualitatif menggambarkan konsep yang ada pada penelitian dan konsep
yang ada pada partisipan. Validitas internal mengusahakan tercapainya aspek
kebenaran hasil penelitian sehingga dapat dipercaya. Data-data yang diperoleh harus
diakui atau diterima kebenarannya oleh sumber informasi dan data-data tersebut
harus dibenarkan oleh sumber atau informan lainnya. Ukuran kebenaran pada
penelitian kualitatif disebut kredibilitas.
Peneliti akan melakukan triangulasi sumber, waktu dan teknik sebagai teknik
uji kredibilitas data. Adapun pengertian dari ketiga teknik tersebut menurut Sugiyono,
bahwa triangulasi sumber adalah cara mengecek data yang telah diperoleh melalui
25
beberapa sumber, sedangkan triangulasi waktu adalah cara penguji kredibilitas data
dengan melakukan pengecekan dalam waktu atau situasi yang berbeda.
Triangulasi teknik adalah cara pengujian kredibilitas data dengan menggunakan
teknik yang berbeda, adapun teknik yang digunakan adalah wawancara mendalam,
observasi, dan dokumentasi. Hal terkahir yang dilakukan dalam menguji kredibilitas
data adalah member check, peneliti melakukan proses pengecekan data kepada
pemberi data. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh para pemberi data berarti
data tersebut valid, sehingga semakin kredibel.
Validitas eksternal pada penelitian kuantitatif berkenaan dengan derajat akurasi
apakah hasil penelitian dapat digeneralisasikan atau diterapkan pada populasi di mana
sampel tersebut diambil. Validitas eksternal dalam penelitian kualitatif menggunakan
istilah transferability atau keteralihan. Nilai transfer ini berkenaan dengan pertanyaan,
sampai mana hasil penelitian dapat diterapkan atau digunakan dalam situasi lain.
Moleong (2007: 324) mengatakan:
Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara
konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan hal tersebut seorang
peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian empiris tentang
kesamaan konteks. Maka peneliti dalam membuat laporannya harus
memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya. Dengan
demikian pembaca menjadi jelas atas hasil penelitian tersebut, sehingga dapat
memutuskan dapat atau tidaknya untuk mengaplikasikan hasil penelitian
tersebut di tempat lain.
26
Moleong sendiri mengungkapkan, usaha membangun keteralihan dalam
penelitian kualitatif jelas sangat berbeda dengan nonkualitatif dengan validitas
eksternalnya. Hal itu dilakukan dengan cara uraian rinci (thick description) dalam
penelitian kualitatif. Teknik ini menuntut peneliti agar melaporkan hasil penelitiannya
sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin yang
menggambarkan konteks tempat penelitian dilaksanakan. Jelas laporan itu harus
mengacu pada fokus penelitian. Uraiannya harus mengungkapkan secara khusus
sekali segala sesuatu yang dibutuhkan oleh pembaca agar ia dapat memahami
temuan-temuan yang diperoleh.
Reliabilitas menunjukkan adanya konsistensi, yaitu memberikan kesamaan
hasil sehingga dapat dipercaya. Istilah reliabilitas tidak digunakan dalam penelitian
kualitatif, melainkan dependability. Pengujian dependability dilakukan dengan cara
melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Caranya dilakukan oleh
auditor yang independen, atau pembimbing untuk mengaudit keseluruhan aktivitas
peneliti dalam melakukan penelitian. Bagaimana peneliti mulai menentukan
masalah/fokus, memasuki lapangan, menentukan sumber data, melakukan analisis
data, sampai membuat kesimpulan data, melakukan uji keabsahsan data, sampai
membuat kesimpulan harus dapat ditunjukkan oleh peneliti. Jika peneliti tidak
mempunyai dan tak dapat menunjukkan “jejak aktivitas lapangannya”, maka
dependabilitas penelitiannya patut diragukan (Sanafiah Faisal dalam Sugiyono, 2007:
131).
27
1.7.6. Lokasi dan Waktu Penelitian
1.7.6.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini bersifat on-the-table-research atau penelitian-di-atas-meja. Proses
penelitian dapat berlangsung dimana saja dengan syarat ketersediaan sumber data dan
alat atau kebutuhan teknis penelitian. Wawancara dengan ahli, dilaksanakan di tempat
dan pada kesempatan yang sesuai dengan kesiapan narasumber.
1.7.6.2. Waktu Penelitian
Penelitian memakan waktu sekurangnya tiga bulan. Dimulai pada bulan Desember
2011 dan berakhir pada bulan Februari 2012.
28
1.8. Daftar Pustaka
Dijk, Teun A.Van. 1997. Discourse As Structure And Process. Sage Publication, Inc.London.
Dijk, Teun A.Van. 2009. Society and Discourse. Cambridge University Press. New York.
Griffin, Em. 2012. A First Look At Communication Theory. McGraw Hill Companies, Inc. New York
Herrick, James. A. 2006. The History and Theory of Rhetorics. Sage Publication. London
Littlejohn. Stephen W.; Karen A. Foss. 2009. Encyclopedia of Communication Theory. Sage Publication, Inc. Thousand Oaks