Post on 19-Oct-2020
10
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengantar
Dalam bab ini akan menguraikan teori yang digunakan sebagai landasan
dalam penelitian, kerangka konseptual penelitian, penelitian sebelumnya terkait
dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitan serta pengembangan
hipotesis.
2.2 Teori Keagenan
Teori keagenan dipopulerkan oleh Michael C. Jensen dan William H.
Meckling pada tahun 1967 dimana dasar teori keagenan ini merupakan hubungan
antara pihak yang mendelegasikan wewenang (principal) dan pihak yang
bertanggung jawab atas wewenang tersebut (agent). Teori ini dikembangkan
dengan pendekatan teori akuntansi positif, dimana asumsi dasar yang digunakan
adalah setiap individu dalam melakukan suatu tindakan didasarkan semata-mata
pada kepentingan pribadi. Menurut Jensen dan Meckling (1976), pendelegasian
prinsipal terhadap agen berkaitan dengan pengambilan keputusan. Dalam teori
keagenan, perusahaan memiliki sekumpulan kontrak antara manajer perusahaan
dengan pemegang saham. Prinsipal atau pemilik perusahaan mendelegasikan
tanggung jawab kepada manajemen yang berperan sebagai agen dalam mengelola
perusahaan. Manajer perusahaan yang didelegasikan tersebut memiliki tanggung
jawab dalam mengelola perusahaan dan bertanggung jawab kepada prinsipal
untuk menyediakan laporan keuangan perusahaan.
11
Hubungan keagenan ini memiliki potensi untuk memunculkan suatu
konflik atau masalah antar kedua belah pihak tersebut. Weston dan Copelan
(1997) mendefinisikan konflik keagenan merupakan divergensi kepentingan yang
timbul diantara prinsipal dan agen. Permasalahan tersebut dikarenakan adanya
kepentingan yang saling bertentangan antar keduanya terkait dengan informasi
asimetri. Hubungan baik antara prinsipal dan agen dianggap sukar terjadi karena
masing-masing pihak cenderung untuk berperilaku mementingkan dirinya sendiri
(self-interest). Pemilik perusahaan menginginkan manajer untuk mengelola
perusahaan sebaik-baiknya untuk keuntungan pemilik perusahaan. Disamping itu,
manajer juga memiliki cenderung untuk tidak mengungkapkan seluruh informasi
yang dimiliki kepada para pemilik perusahaan atau stakeholdernya. Kondisi ini
dapat memicu terjadinya informasi asimetris karena pihak manajemen (agent)
memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan pemilik perusahaan
(principal). Dengan menggunakan asumsi bahwa setiap individu dalam bertindak
untuk memaksimalkan kepentingan sendiri, maka manajer dengan informasi
asimetri yang dimilikinya cenderung untuk tidak mengungkapkan informasi yang
tidak diketahui oleh pihak prinsipal (Putri & Nasir, 2006). Informasi asimetris
dapat memberikan celah kepada manajer untuk dapat mempengaruhi angka-angka
akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan.
Terkait dengan asumsi atas sifat dasar manusia, Eisenhardt (1989) telah
mencoba untuk menjelaskan asumsi sifat dasar manusia yang digunakan sebagai
dasar dalam pengembangan teori keagenan yaitu :
12
1. Setiap individu dalam melakukan tindakan atau keputusan dengan tujuan
untuk memaksimalkan kepentingan pribadi (self-interest),
2. Individu memiliki daya pikir yang terbatas mengenai persepsi di masa
yang akan datang (bounded-rationality), dan
3. Individu cenderung untuk menghidari risiko (risk averse).
Berdasarkan dari ketiga asumsi sifat dasar tersebut, manager selaku agen
cenderung untuk bersikap oportunistik dalam memanfaatkan informasi asimetri
yang ada demi memaksimalkan kepentingan pribadinya.
Konflik keagenan terus mengalami perkembangan karena adanya
perbedaan dalam mengendalikan perusahaan. Konflik keagenan antara lain:
1. Konflik antara Pemegang Saham dengan Manajemen.
Konflik yang terjadi antara pemegang saham dengan manajemen terkait
dengan aktivitas pengambilan keputusan pendanaan (financing decision)
dan pengambilan keputusan terkait dengan pengalokasian dana
(allocating decision). Dalam kondisi ini, manajemen cenderung untuk
bertindak atas dasar kepentingan pribadinya atau dengan kata lain sudah
tidak didasarkan pada maksimalisasi nilai dalam pengambilan keputusan
pendanaan (Jensen & Meckling, 1976).
2. Konflik antara Pemegang Saham dengan Kreditur.
Konflik yang terjadi antara pemegang saham dengan kreditur terkait
dengan pelunasan hutang dan bunga pinjaman. Konflik ini biasanya
terjadi pada perusahaan dalam struktur kepemilikan yang terkonsentrasi.
13
Dalam struktur kepemilikan perusahaan terkonsentrasi, maka pemegang
saham memiliki intervensi dalam mengendalikan perusahaan. Dengan
kata lain, pemegang saham sekaligus sebagai manajer perusahaan.
Villalonga dan Amit (2006) menyatakan bahwa pemegang saham
mayoritas dapat memanfaatkan posisi pengendali pada sebuah perusahaan
untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang hal ini dibebankan kepada
pemegang saham minoritas. Konflik keagenan tipe ini cenderung terjadi
pada perusahaan dengan kepemilikan individual atau keluarga (family
ownership). Sehingga hal ini sangat memungkinkan untuk terjadi praktik
ekspropriasi dan monitoring dalam perusahaan tersebut.
3. Konflik antara Pemegang Saham, Manajer dan Kreditur
Dalam lingkungan usaha yang tidak stabil, seringkali perusahaan
mengalami kesulitan keuangan (financial distress). Dalam kondisi
perusahaan yang cenderung untuk mengalami kebangkrutan, manajer
sebaiknya segera membuat keputusan terkait keberlangsungan
perusahaan. Keputusan tersebut misalnya melakukan likuidasi perusahaan
dengan cara menjual segala aset yang dimiliki oleh perusahaan tersebut,
atau dengan melakukan reorganisasi untuk mempertahankan kedudukan
perusahaan. Kondisi yang seperti ini mendorong munculnya konflik yang
melibatkan para pemegang saham dengan manajer atau para kreditur, dan
juga keduanya. Karena terdapat pihak berpendapat bahwa perusahaan
yang sedang berada diambang kebangkrutan akan lebih bernilai jika
14
perusahaan tersebut dilikuidasi daripada perusahaan melakukan
reorganisasi.
Konflik keagenan tersebut dapat diminimalisasi dengan melakukan
monitoring yang tentunya aktivitas tersebut memerlukan biaya tambahan yang
disebut sebagai biaya keagenan. Biaya keagenan merupakan biaya yang
dikeluarkan prinsipal dalam menentukan kontrak dengan agen guna
mengorganisasikan kepemilikan perusahaan yang bersangkutan dengan tujuan
menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen (Weston & Copeland, 1997).
Biaya keagenan ini muncul karena pihak agen mengambil keputusan yang kurang
tepat dalam sudut pandang prinsipal. Menurut Jensen dan Meckling, biaya
keagenan ini merupakan penjumlahan biaya-biaya antara lain:
1. The monitoring expenditures by the principal: yaitu biaya yang
dikeluarkan oleh prinsipal terkait dengan melakukan pengawasan dan
pengendalian terhadap tindakan agen dalam mengelola perusahaan.
2. The bonding expenditures by the agent: yaitu biaya yang dikeluarkan oleh
agen untuk memberikan jaminan kepada prinsipal bahwa tindakan yang
dilakukan agen tidak merugikan prinsipal.
3. The residual loss: penurunan utilitas baik agen maupun principal yang
terikat dalam hubungan agensi.
Selain dari ketiga kegiatan yang membentuk biaya keagenan tersebut,
masih ada tindakan lain misalnya pengeluaran insentif atau bonus sebagai
kompensasi yang diberikan kepada manajemen atas prestasi yang konsisten dalam
15
memaksimalkan pencapaian nilai perusahaan (Irfan, 2002) dan biaya untuk
kontrak loyalitas (fidelity bond) yaitu kontrak antara perusahaan dengan pihak
ketiga dimana pihak ketiga tersebut setuju untuk membayar kepada perusahaan
apabila manajer bertindak secara tidak jujur sehingga merugikan perusahaan.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa terdapat tida unsur
tambahan yang dilakukan oleh agen dalam membatasi perilaku menyimpangnya,
yaitu:
1) Adanya pasar tenaga manajerial yang dapat meminimalisasi kesempatan
pengelola yang berkinerja buruk dan berperilaku menyimpang dari
keinginan pemegang saham yang dikelolanya.
2) Adanya pasar modal yang dapat menjadi cermin kinerja manajer melalui
harga saham perusahaan.
3) Adanya market fot corporate control yang dapat menghambat tindakan
menguntungkan diri pengelola sendiri dalam hal menghentikan pengelola
dari jabatannya jika perusahaan yang dikelolanya memiliki kinerja rendah
yang memungkinkan pemegang saham baru menggantikannya dengan
pengelola lain setelah diambil alih.
Transaksi pihak berelasi (RPT) merupakan transaksi yang bersifat
opportunis yang dapat memicu terjadinya konflik kepentingan yang konsisten
dengan teori keagenan seperti yang diungkapkan oleh Jensen dan Meckling
(1976). Konflik keagenan yang terjadi antara manajer dengan pemegang saham
yaitu bahwa kecenderungan manajer untuk secara tepat mengelola sumber daya
16
perusahaan untuk kepentingan pribadi, misalnya tambahan peghasilan atau
keuntungan lain. Oleh karena itu, transaksi dengan pihak istimewa menyajikan
potensi pengambilalihan (ekspropriasi) sumber daya perusahaan (Jensen dan
Meckling, 1976).
2.2.1 Struktur Kepemilikan Ultimat Terhadap Ekspropriasi
Terdapat tiga penelitian yang telah dilakukan terkait dengan struktur
kepemilikan yaitu penelitian yang dilakukan oleh Porta, Silanes dan Shleifer
(1999), Claessens, Djankov dan Lang (2000) dan penelitian yang dilakukan oleh
Faccio dan Lang (2002). Ketiga penelitian tersebut menggunakan pisah batas hak
kontrol dalam menguji struktur kepemilikan. Hak kontrol adalah hak suara untuk
dapat ikut serta dalam menentukan kebijkan perusahaan (Porta, et al., 1999). Dari
ketiga penelitian tersebut mengindikasikan struktur kepemilikan terkonsentrasi
hampir terjadi pada seluruh negara di dunia kecuali Amerika Serikat, Inggris dan
Jepang.
Konsentrasi kepemilikan menyebabkan adanya pemegang saham besar
yang mengendalikan perusahaan yang disebut sebagai pemegang saham
pengendali. Pemegang saham pengendali diklasikasifikasikan ke dalam lima
kategori yaitu 1) keluarga, 2) pemerintah, 3) institusi keuangan dengan
kepemilikan luas, 4) perusahaan dengan kepemilikan luas dan 5) pemegang saham
pengendali lainnya (misalnya investor asing) (Claessens, et al., 2000; Faccio &
Lang, 2002; Porta, et al., 1999).
Mekanisme yang pada umumnya dilakukan oleh pemegang saham
pengendali dalam mengendalikan perusahaan lain ada dua, yaitu kepemilikan
17
piramida (pyramidal ownership) dan kepemilikan lintas perusahaan (cross-
holding company). Kepemilikan piramida adalah kepemilikan secara tidak
langsung terhadap suatu perusahaan melalui perusahaan lain, baik melalui
perusahaan publik maupun non-publik. Struktur kepemilikan piramida banyak
dianut oleh negara-negara berkembang (Porta, et al., 1999). Dengan pisah batas
hak kontrol 20%, Porta, et al., (1999) menemukan bahwa struktur kepemilikan
piramida paling tinggi terjadi di Belgia (79%), Israel dan Swedia (53%).
Claessens, et al., (2000) dengan tingkat pisah batas hak kontrol yang sama
mengindikasikan bahwa negara dengan struktur kepemilikan tertinggi adalah
Indonesia (67%) dan Singapura (55%). Kawasan Eropa, struktur kepemilikan
piramida paling tinggi di negara Norwegia (34%) dan Belgia (25%) (Faccio &
Lang, 2002). Lintas kepemilikan adalah kepemilikan pemegang saham pengendali
terhadap dua atau lebih perusahaan yang saling memiliki antara yang satu dengan
yang lainnya. Dengan menggunakan pisah batas hak kontrol 20%, Porta, et al.,
(1999) menyatakan 3% perusahaan publik adalah perusahaan lintas kepemilikan.
Simpulan penelitian Claessens, et al., (2000) dan Faccio dan Lang (2002)
menyatakan 10% perusahaan publik di Asia dan 1% perusahaan publik di Eropa
adalah perusahaan lintas kepemilikan.
Struktur kepemilikan ultimat, baik kepemilikan piramida atau lintas
kepemilikan, dapat memicu terjadinya konflik kepentingan antara pemegang
saham pengendali dan pemegang saham minoritas. Pemegang saham pengendali
mampu untuk mengendalikan hak aliran kas, hal ini dapat terjadi karena
pemegang saham pengendali juga turut serta dalam mengendalikan perusahaan
18
secara langsung. Dampaknya adalah pemegang saham pengendali tidak segan
untuk melakukan praktik ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas.
Struktur kepemilikan terkonsentrasi merupakan konsekuensi atas lemahnya
perlindungan terhadap pemegang saham minoritas (Porta, et al., 1999).
Ekspropriasi merupakan suatu proses pemanfaatan hak kontrol untuk
memaksimalkan kesejahteraan suatu individu dengan melakukan distribusi
kekayaan dari pihak lain. Cara yang dapat dilakukan dalam praktik ekspropriasi
misalnya pemegang saham pengendali berusaha untuk memperkaya dirinya
sendiri dengan tidak membayarkan deviden kepada pemegang saham minoritas,
mentransfer keuntungan ke perusahaan lain yang juga berada dibawah kendalinya
(Claessens, Djankov, Fan, & Lang, 1999a) dan juga melakukan transaksi
penjualan dan pembelian dengan pihak berelasi. Terdapat beberapa kebijakan
yang dapat memicu ekspropriasi misalnya kebijakan operasi perusahaan (gaji,
tunjangan yang tinggi, bonus dan kompensasi yang besar, dana pension yang
tinggi dan tidak membagikan deviden), kebijakan kontraktual antar perusahaan
(harga transfer yang lebih murah pada perusahaan sepengendali, penjualan aktiva
yang lebih murah daripada harga pasar kepada perusahaan sepengendali),
kebijakan freezing out (menjual saham perusahaan kepada pihak lain yang masih
terkait dengan pemegang saham pengendali dengan harga dibawah harga pasar).
Claessens, et al., (1999a) melakukan penelitian terhadap perusahaan di
Asia Timur yang rawan terhadap praktik ekspropriasi dengan mengukur dampak
pemisahan hak aliran kas dan hak kontrol. Hasil penelitian menunjukkan hak
aliran kas oleh perusahaan kepemilikan terkonsentrasi lebih tinggi daripada
19
perusahaan dengan kepemilikan tersebar. Hal ini mengindikasikan terjadinya
praktik ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas. Penelitian yang
dilakukan oleh Cheung, Rau & Stouraitis (2006) dan Cheung, Jing, Lu, Rau &
Stouraitis (2009) juga melakukan investigasi terhadap praktik ekspropriasi melalui
transaksi dengan pihak terkait. Cheung, Rau & Stouraitis (2006) menginvestigasi
tipe transaksi antar pihak terkait yang mengindikasikan adanya ekspropriasi
terhadap pemegang saham minoritas pada perusahaan publik di Hongkong.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Cheung, Jing, Lu, Rau & Stouraitis (2009)
menginvestigasi praktik ekspropriasi melalui tunneling pada perusahaan publik di
China. Tunneling merupakan suatu kondisi pada saat perusahaan menerima kas
atau pinjaman dari pihak terkait atau dari pemegang saham pengendali. Misalnya,
jika perusahaan melakukan akuisisi aset, barang atau jasa dari pihak terkait
dengan haga dibawah harga pasar, maka transaksi ini dapat mengindikasikan
tunneling (Cheung, et al., 2009). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
tunneling lebih sering dilakukan oleh perusahaan publik di China disertai dengan
minimalisasi pengungkapan informasi terkait dengan transaksi antar pihak terkait.
Tunneling adalah pengalihan keluar atas aset dan keuntungan dari perusahaan
anak untuk kepentingan perusahaan induk atau sebelaiknya dengan tujuan
memberikan keuntungan bagi pemegang saham pengendali (Johnson, Porta,
Lopez-de-silanes, & Shleifer, 2000). Terdapat dua bentuk tunneling yaitu:
1) Pemegang saham pengendali memindahkan sumber daya perusahaan
untuk kepentingan sendiri melalui transaksi pihak istimewa yang dapat
diatur sedemikian rupa atau dengan self-dealing transaction. Transaksi
20
yang dilakukan dengan self-dealing termasuk dalam tindakan pencurian
atau kecurangan sehingga transaksi tersebut tidak dapat terdeteksi.
Transaksi tersebut dalam bentuk penjualan aset maupun kesepakatan
penjualan misalnya harga transfer yang hanya memberikan manfaat pada
pemegang saham pengendali, meningkatkan kompensasi manajer,
penjaminan hutang, peluang dilakukannya ekspropriasi dan sebagainya.
2) Pemegang saham pengendali dapat meningkatkan porsi sahamnya tanpa
memberikan kontribusi aset apapun bagi perusahaan melalui saham
dilutif, pembatasan terhadap pemegang saham non-pengendali atau
transaksi lain yang dapat merugikan pemegang saham non-pengendali.
2.2.2 Teori Keagenan dan Transaksi Antar Pihak Terkait
Berdasarkan PSAK No.7 (Revisi 2009) mengenai “Pengungkapan Pihak-
Pihak yang memiliki Hubungan Istimewa”, pihak-pihak yang memiliki hubungan
istimewa adalah orang atau entitas yang terkait dengan entitas tertentu dalam
menyiapkan laporan keuangannya (dalam pernyataan ini dirujuk sebagai “entitas
pelapor”). Transaksi yang mempunyai hubungan istimewa adalah suatu
pengalihan sumber daya, jasa arau kewajiban antara entitas pelapor dengan pihak-
pihak yang memiliki hubungan istimewa, terlepas apakah ada harga yang
dibebankan.
Berikut ini contoh situasi transaksi antara pihak yang memiliki hubungan
istimewa dan memerlukan pengungkapan:
a) Pembelian atau penjualan barang (barang jadi atau setengah jadi),
b) Pembelian atau penjualan property dan aset lainnya,
21
c) Menyediakan atau menerima jasa,
d) Sewa,
e) Pengalihan penelitian dan pengembangan,
f) Pengalihan di bawah perjanjian lisensi,
g) Pengalihan di bawah perjanjian pembiayaan (termasuk pinjaman dan
kontribusi ekuitas dalam bentuk tunai arau dalam bentuk natura),
h) Provisi atas jaminan atau agunan,
i) Komitmen untuk berbuat sesuatu jika peristiwa khusus terjadi atau tidak
terjadi dimasa depan, dan
j) Penyelesaian liabilitas atas nama entitas atau pihak yang memiliki
hubungan istimewa.
Transaksi antar pihak berelasi adalah transaksi yang dilakukan antara
perusahaan dengan insiders-nya atau afiliasinya (Chhaochharia & Grinstein,
2007). Transaksi antar pihak terkait merupakan salah mekanisme potensial bagi
pihak intern perusahaan untuk melakukan tindakan ekspropriasi terhadap
pemegang saham minoritas melalui pengambilan keputusan secara sepihak (self-
dealing). Transaksi antar pihak terkait (RPT) dapat terjadi dikarenakan adanya
kontrak yang dilakukan antara direktur dengan pemegang saham mayoritas atau
perusahaan lain yang masih dalam hubugan afiliasi. Sehingga pihak tersebut
memiliki pengaruh terhadap transaksi untuk memaksimalkan kekayaan pribadi.
Transaksi antar pihak terkait ini dinilai merugikan pihak pemegang saham
minoritas. Namun tidak semua RPT mengindikasikan praktik ekspropriasi. Bagi
beberapa pihak ada yang berpendapat bahwa RPT merupakan tindakan yang
22
membahayakan pemegang saham minoritas, tetapi bagi pihak tertentu RPT
memberikan beberapa manfaat (Ryngaert & Thomas, 2007).
Transaksi dengan pihak terkait umumnya dilakukan oleh direksi atau
pemegang saham pengendali dengan pihak terkait diantara mereka sendiri dengan
menggunakan wewenangnya dalam mempengaruhi kondisi transaksi agar sesuai
dengan tujuan pribadi. Transaksi seperti ini juga akan memberikan perluang pada
pemegang saham pengendali untuk mengambil alih kekayaan pemegang saham
non-pengendali (tunneling) yang secara langsung mengeskpropriasi pemegang
saham nonpengendali. Transaksi tersebut dilakukan antara lain melalui keputusan
untuk membeli aset diatas harga pasar meskipun tidak ada nilai tambah strategis
bagi operasi perusahaan (E. A. Gordon & Henry, 2005). Dengan demikian,
transaksi antar pihak terkait dapat menyebabkan penyimpangan kegiatan
perusahaan yang menghambat upaya memaksimalkan kesejahteraan pemegang
saham non-pengendali.
Ryngaert & Thomas (2007) mengklasifikasikan transaksi pihak berelasi
menjadi dua berdasarkan waktu pelaksanaanya, yaitu transaksi ex-ante dan
transaksi ex-post. Transaksi ex-ante didefinisikan sebagai transaksi yang terjadi
ketika suatu perusahaan melakukan transaksi dengan pihak terafiliasi sebelum
perusahaan tersebut terdaftar di bursa saham atau dengan kata lain belum menjadi
perusahaan publik atau pihak teafiliasi tersebut belum sah menjadi pihak terkait
perusahaan. Transaksi ex-post adalah transaksi yang dilakukan setelah perusahaan
terdaftar sebagai perusahaan publik dan pihak lain telah sah sebagai pihak terkait
dengan perusahaan. Transaksi ex-post berhubungan negatif terhadap kekayaan
23
pemegang saham dan kinerja perusahaan. Sehingga transasksi ex-post merupakan
transaksi yang cenderung membahayakan bagi pemegang saham minoritas. Baik
transaksi ex-ante maupun ex-post secara signifikan berpengaruh positif terhadap
kesulitan keuangan perusahaan.
Transaksi pihak berelasi dapat menyebabkan penyimpangan kegiatan
perusahaan sehingga dapat menghambat upaya memaksimalkan kesejahteraan
para pemegang saham non-pengendali (Dyanty, Utama, Rossieta, & Veronica,
2012). Transaksi pihak berelasi yang merugikan dapat dipandang sesuai dengan
hipotesis konflik kepentingan yang merupakan salah satu dari konflik dari teori
keagenan (E. A. Gordon & Henry, 2005). Selain itu juga transaksi antar pihak
berelasi memiliki dua hipotesis yang bertolak belakang, yaitu transaksi pihak
berelasi sebagai transaksi oportunis atau sebagai transaksi yang efisien (A. E.
Gordon, Henry, & Palia, 2004). Sebagai transaksi yang oportunis, transaksi yang
dilakukan antar pihak berelasi menyebabkan benturan kepentingan yang konsisten
dengan teori keagenan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Berle dan Means
(1932) dan Jensen dan Meckling (1976). Transaksi pihak berelasi dapat digunakan
sebagai alat untuk mengekspropriasi sumber daya perusahaan. Disisi lain,
transaksi pihak berelasi dipandang sebagai transaksi efisiensi, dimana konsep ini
dikembangkan oleh Coase (1937) dan Williamson (1975) yang menyatakan
bahwa transaksi pihak berelasi tidak merugikan dan bahkan dapat memberikan
manfaat terhadap pemegan saham (Chang & Hong, 2000; Jian & Wong, 2010;
Khanna & Palepu, 2000; Stein, 1997).
24
Feliana (2007) melakukan penelitian terkait dengan pengaruh struktur
kepemilikan perusahan dengan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan
istimewa atau terafiliasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
kepemilikan terkonsentrasi oleh keluarga menurunkan informativitas angka-angka
akuntansi dalam pasar modal. Hal ini mengindikasikan bahwa kendali oleh
keluarga akan menghasilkan informasi untuk kepentingan kalangan yang sangat
terbatas saja, yaitu pihak keluarga pengendali perusahaan. Kemudian besarnya
transaksi pihak berelasi yang diperoleh juga menurunkan informativitas atau
keandalan angka-angka akuntansi. Hasil pengujian dalam penelitian ini
mengindikasikan bahwa transaksi pihak berelasi yang mempengaruhi angka-
angka pada neraca cenderung dianggap sebagai transaksi untuk kepentingan
opportunis bagi pihak-pihak tertentu karena nilai yang ditunjukkan pada neraca
adalah nilai yang belum menghasilkan atau belum dipergunakan. Nilai transaksi
pihak berelasi yang mempengaruhi di laporan laba rugi cenderung dipandang
efisiensi karena transaksi tersebut telah menghasilkan atau telah dipergunakan
dalam operasional perusahaan.
Terdapat beberapa transaksi pihak berelasi yang mengarah pada praktik
ekspropriasi misalnya, akuisisi aset yang dilakukan oleh perusahaan publik dari
pihak terkait, penjualan aset dari perusahaan publik kepada pihak terkait,
penjualan ekuitas oleh perusahaan publik kepada pihak terkait, hubungan
perdagangan antara perusahaan publik dengan pihak terkait (misalnya transaksi
penjualan barang dan jasa), pembayaran kas secara langsung atau penjaminan
hutang oleh perusahaan publik kepada pihak terkait. Selain itu, terdapat transaksi
25
yang tidak mengarah pada praktik ekspropriasi tetapi hanya memberikan
keuntungan bagi perusahaan publik. Transaksi tersebut antara lain penerimaan kas
oleh perusahaan publik (disebut sebagai propping up) dan transaksi yang terjadi
antara perusahaan publik dengan anak perusahaannya. Transaksi yang sekiranya
rasional dan tidak mengarah pada praktik ekspropriasi misalnya pengambilalihan
dimana pihak terkait merupakan perusahaan publik yang membentuk formasi
kerja joint venture (Cheung, et al., 2006).
2.3 Kerangka Konseptual Penelitian
Dalam situasi pasar yang bergejolak seperti saat ini, para pemegang saham
minoritas telah memiliki peran dalam mengawasi segala bentuk kegiatan yang
dilakukan oleh dewan pengendali perusahaan sehingga dapat membantu dalam
mewujudkan efektifitas dan tata kelola perusahaan yang baik. Selain itu, para
pemegang saham minoritas juga turut berperan dalam pengembangan dan
keberlanjutan pasar modal. Tanggung jawab pemegang saham minoritas, selain
melakukan pengawasan terhadap tindakan dewan dalam perusahaan, juga
mengamati kekuataan pemegang saham mayoritas dan mendorong adanya
transparansi, praktik etis dan tata kelola perusahaan yang baik.
Shkolnikov (2006) menyatakan bahwa praktik ekspropriasi pemegang
saham minoritas di Asia memiliki keterkaitan dengan krisis finansial yang terjadi
pada tahun 1997 dan praktik ini cenderung terjadi pada perusahaan dengan
kepemilikan yang terkonsentrasi. Ekspropriasi didefinisikan sebagai sebuah
proses dalam menggunakan kekuatan pengendali yang dimiliki oleh suatu pihak
untuk memaksimalkan kekayaan pribadi dan mendisitribusikan kekayaan yang
26
diperolehnya kepada pihak lain (Claessens, et al., 1999b). Berdasarkan Santiago
dan Brown (2007) eksprospriasi didefinisikan sebagai misalignment kepentingan
antara kelompok pemegang saham atau pemilik yang substansial atas hak aliran
kas, dimana hal ini membawa kedalam suatu kondisi manajer eksternal yang
diisolasi dalam mekanisme pengendalian perusahaan tanpa ada alasan tertentu
(unnecessary qualification).
Praktik ekspropriasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1990an
mengakibatkan krisis finansial yang terjadi di Asia dan adanya keterbatasan
kemampuan dari perusahaan keluarga di Timur Tengah dan Amerika Latin untuk
menarik investasi. Hal ini mensinyalir pentingnya memiliki pemegang saham
minoritas dalam mekanisme pengawasan atas hukum pelanggaran dan dapat
digunakan sebagai “alat jaminan” untuk investor (Shkolnikov, 2006). Santiago
dan Brown (2007) dalam risetnya menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang
menyebabkan para pemegang saham minoritas kecewa berinvestasi di perusahaan
Amerika Latin. Pertama, keluarga pengendali perusahaan enggan untuk
memperdagangkan sahamnya kepada pihak eksternal karena akan berakibat pada
pengeceran kekuasaan (dilution of power). Kedua, lemahnya perundang-undangan
yang ada di Amerika Latin meningkatkan level praktik ekspropriasi terhadap hak
pemegang saham minoritas.
Terdapat beberapa transaksi pihak berelasi yang digunakan dalam
penelitian ini, antara lain: perdagangan aset, hubungan perdagangan dan transaksi
pembayaran kas langsung. Transaksi tersebut penulis kelompokkan menjadi dua
jenis, yaitu: (1) RP Sales yang meliputi kegiatan penjualan barang dan jasa oleh
27
perusahaan ke perusahaan lain yang memiliki hubungan istimewa dan (2) RP
Purchase pembelian barang dan jasa dan pembayaran kas langsung oleh
perusahaan ke perusahaan lain yang memiliki hubungan istimewa. Berikut ini
merupakan pengelompokkan transaksi yang bersifat RP Sales dan RP Purchase
yang digunakan dalam penelitian ini:
RP Sales RP Purchase
Penjualan aset oleh perusahaan publik
dengan pihak terkait.
Pembelian aset dan hubungan
perdagangan (pembelian) oleh
perusahaan publik dengan pihak
terkait.
Hubungan perdagangan (penjualan)
oleh perusahaan publik dengan pihak
terkait
Transaksi pembayaran kas langsung
atau penjaminan oleh perusahaan
publik (grup) dengan pihak terkait
Untuk menginvestigasi lebih lanjut terkait dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi praktik ekspropriasi di Indonesia, maka penulis membuat kerangka
konsep penelitian sebagai berikut:
Gambar 2.1
Rerangka Konsep Penelitian
INS: Konsentrasi
Kepemilikan (X1)
SIZE: Ukuran
Perusahaan (X2)
INDEP_COM: Dewan
Komisaris (X3)
PROF: Profitabilitas (X4)
LVRG: Leverage (X5)
RPS: RP Sales
(Y1)
RPP: RP Purchase
(Y2)
28
2.4 Penelitian Sebelumnya dan Pengembangan Hipotesis
2.4.1 Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan Terhadap Praktik Ekspropriasi
Model konseptual pertama yang dibangun peneliti dalam riset ini adalah
hubungan antara konsentrasi kepemilikan perusahaan terhadap praktik
ekspropriasi yang terjadi di Indonesia. Konsentrasi kepemilikan merupakan
ukuran sejauh mana sebaran kepemilikan dari saham yang terdaftar di bursa
saham. Konsep konsentrasi kepemilikan ini cenderung diperluas untuk
menggambarkan kepemilikan atau kontrol aset perusahaan di kalangan keluarga
(family ownership) atau badan usaha tertentu. Struktur kepemilikan perusahaan
yang menyebar dapat memberikan kekuatan yang signifikan kepada manajer
untuk memaksimalkan kepentingan pribadinya dan bukan untuk kepentingan para
pemegang saham dan hal ini akan memberikan pengaruh pada nilai pemegang
saham yang tidak maksimal (Berle & Means, 1933).
Penelitian terkait dengan konsentrasi kepemilikan pertama kali dilakukan
oleh La-Porta, Silanes dan Shleifer (1999). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
La-Porta et al. (1999) menunjukkan adanya suatu gambaran yang berbeda terkait
dengan struktur kepemilikan perusahaan modern yang dilakukan oleh Berle dan
Means pada tahun 1933. Berle dan Means menginvestigasi perusahaan yang
berada di United States dimana sebagian besar kepemilikan perusahaan di negara
GRW: Pertumbuhan
Perusahaan (X6)
AFL: Dummy-Perusahaan
Berafiliasi (X7)
29
tersebut tersebar, sedangkan di luar United States, terutama pada negara yang
memiliki perlindungan terhadap pemegang saham masih lemah, kepemilikan
perusahaan cenderung terkonsentrasi.
Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh La-Porta (1999),
Faccio dan Lang (2002) menunjukkan bahwa dari 13 negara di kawasan Eropa
Barat, hanya perusahaan di Inggris dan Finlandia yang memiliki struktur
kepemilikan tersebar. Kepemilikan perusahaan di Eropa Kontinental sudah
terkonsentrasi (family controlled). Terkait dengan struktur kepemilikan
perusahaan publik di Eropa, hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim,
Kitsabunnarat-Chatjuthamard dan Nofsinger (2007) menunjukkan bahwa semakin
tinggi perlindungan negara terhadap pemegang saham maka semakin sedikit
perusahaan dengan struktur kepemilikan terkonsentrasi dan memiliki lebih banyak
dewan direksi independen. Sama halnya dengan negara di Asia Timur, dimana
negara yang memiliki tingkat perlindungan terhadap pemegang saham yang lebih
tinggi, maka struktur kepemilikan perusahaan cenderung untuk menyebar,
misalnya Jepang.
Terdapat penelitian lain yang dilakukan oleh Santiago dan Brown (2007)
dalam menginvestigasi 97 perusahaan di Amerika Latin (Chili, Brazil dan
Meksiko) mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat kepemilikan
terkonsentrasi maka semakin besar pula potensi praktik ekspropriasi atas hak
pemegang saham minoritas. Selain itu penelitian lain dilakukan oleh Berkman,
Cole dan Fu (2009) pada perusahaan publik di China mengindikasikan bahwa
kepemilikan terkonsentrasi memiliki potensi untuk melakukan praktik
30
ekspropriasi atas hak pemegang saham minoritas. Bagaimanapun, hal ini juga
dikuatkan oleh Claessens, et al. (1999b) bahwa belum ditemukannya bukti terkait
praktik ekspropriasi pada perusahaan publik dengan struktur kepemilikan tersebar.
Berdasarkan review literatur penelitian terkait tentang hubungan
konsentrasi kepemilikan dengan praktik ekspropriasi di Indonesia melalui
transaksi antar pihak istimewa atau berelasi, maka hipotesis yang dapat penulis
susun adalah
H1a: Konsentrasi kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap
transaksi RP Sales pada perusahaan publik di Indonesia.
H1b: Konsentrasi kepemilikian institusional berpengaruh positif terhadap
transaksi RP Purchase pada perusahaan publik di Indonesia.
2.4.2 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Praktik Ekspropriasi
Ukuran perusahaan memiliki pengaruh yang berbeda terhadap praktik
ekspropriasi yang terjadi pada perusahaan publik. Dalam hal ini ukuran
perusahaan dilihat dari total aset yang dimiliki oleh perusahaan, yang dapat
digunakan untuk kegiatan operasi perusahaan. Jika sebuah perusahaan memiliki
total aset yang besar, maka pihak manajemen cenderung lebih leluasa dalam
menggunakan aset perusahaan tersebut.
Penelitian mengenai pengaruh ukuran perusahaan terhadap praktik
ekspropriasi telah diteliti oleh Berkman, et al. (2009) dimana dalam hasil
penelitian tersebut menemukan bahwa semakin kecil perusahaan maka semakin
kecil pula dilakukan praktik ekspropriasi. Hal ini konsisten dengan hipotesis
31
bahwa semakin besar ukuran perusahaan maka semakin tinggi peluang untuk
dilakukannya praktik ekspropriasi. Sesuai dengan sudut pandang teoritis yang
dinyatakan oleh Ahmed dan Courtis (1999) bahwa ukuran perusahaan diharapkan
berpengaruh positif dengan tingkat ekspropriasi. Dari beberapa penelitian terkait
dengan pengaruh ukuran perusahaan terhadap praktik ekspropriasi, maka hipotesis
yang dapat dirumuskan oleh peneliti adalah
H2a: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap transaksi RP Sales
pada perusahaan publik di Indonesia.
H2b: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap RP Purchase pada
perusahaan publik di Indonesia.
2.4.3 Pengaruh Dewan Komisaris Terhadap Praktik Ekspropriasi
Dari sudut pandang pemegang saham minoritas, mereka membutuhkan
dewan komisaris yang tidak memiliki keterkaitan langsung (independen) dengan
perusahaan untuk menjamin kepentingannya. Para pemegang saham minoritas
menaruh kepercayaan terhadap dewan komisaris independen yang berperan
sebagai lawan dari dewan komisaris yang memiliki keterikatan dengan
manajemen perusahaan (dependen). Sehingga dewan komisaris bebas diharapkan
dapat memberikan penilaian yang lebih objektif pada saat melakukan
pengawasan, memberikan kompensasi dan dalam hal memperkerjakan manajer.
Secara teoritis, semakin besar persentase dewan bebas maka semakin bagus tata
kelola perusahaan dan semakin kecil tingkat ekspropriasi yang terjadi pada
perusahaan (Kim, et al., 2007).
32
Penelitian yang dilakukan oleh Jaggi, Leung dan Gul (2009) terkait
pengaruh dewan komisaris terhadap manajemen laba menemukan bahwa ada
pengaruh antara dewan komisaris independen dan jumlah dewan komisaris secara
keseluruhan. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin kecil persentase dewan
komisaris independen maka tidak adanya pengawasan yang efektif yang dapat
membatasi praktik manajemen laba. Jika dikaitkan dengan ekspropriasi, maka
semakin kecil persentase dewan komisaris independen, tingkat ekspropriasi
semakin tinggi.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Santiago dan Brown (2007) yang
dilakukan di Amerika Latin menemukan tidak ada hubungan antara dewan
komisaris dan praktik ekspropriasi. Hal ini dapat terjadi disebabkan adanya
perbedaan karakteristik dewan komisaris yang berpengaruh secara tidak langsung
terhadap praktik ekspropriasi. Praktik ekspropriasi terhadap pemegang saham
minoritas dapat terjadi jika tata kelola dalam suatu perusahaan kurang efektif.
Efektivitas tata kelola perusahaan dipengaruhi oleh komposisi dewan komisaris,
apalagi pada perusahaan di Asia yang pada umumnya berbentuk grup bisnis.
Dengan adanya fenomena ini, peneliti dapat merumuskan hipotesis terkait dengan
pengaruh dewan direksi terhadap praktik ekspropriasi sebagai berikut:
H3a: Dewan Komisaris Independen berpengaruh negatif terhadap transaksi
RP Sales pada perusahaan publik di Indonesia.
H3b: Dewan Komisaris Independen berpengaruh negatif terhadap transaksi
RP Purchase pada perusahaan publik di Indonesia.
33
2.4.4 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Praktik Ekspropriasi
Rasio profitabilitas merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur
kemampuan para eksekutif perusahaan dalam menciptakan keuntungan, baik
dalam bentuk laba perusahaan maupun dalam nilai ekonomis atas penjualan, aset
bersih perusahaan maupun modal sendiri (shareholder equity) (Raharjaputra,
2009). Profitabilitas yang tinggi mencerminkan kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi para pemegang saham. Selain itu,
tingkat profitabilitas yang tinggi juga disinyalir akan menarik minat investor
untuk menanamkan modalnya pada perusahaan. Tingkat profitabilitas dapat
menunjukkan seberapa baik pengelolaan manajemen perusahaan, sehingga
semakin tinggi tingkat profitabilitas suatu perusahaan maka diharapkan akan
semakin kecil praktik ekspropriasi yang terjadi pada perusahaan (Berkman, et al.,
2009). Hasil riset yang dilakukan oleh Berkman, et al. (2009) adalah perusahaan
dengan tingkat profitabilitas dan pertumbuhan yang tinggi cenderung untuk
terhindar dari praktik ekspropriasi.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Mustafa, Latif dan Taliyang (2011)
pada perusahaan yang terdaftar di bursa efek Malaysia menyatakan bahwa
perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang rendah justru cenderung melakukan
praktik ekspropriasi. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat proftabilitas
perusahaan maka memberikan manfaat kepada perusahaan untuk mengurangi
potensi dilakukannya ekspropriasi hak pemegang saham minoritas di Malaysia.
Dari beberapa penelitian tersebut mengantarkan penulis untuk dapat merumuskan
hipotesis sebagai berikut:
34
H4a: Tingkat profitabilitas berpengaruh negatif terhadap transaksi RP Sales
pada perusahaan publik di Indonesia.
H4b: Tingkat profitabilitas berpengaruh negatif terhadap transaksi RP
Purchase pada perusahaan publik di Indonesia.
2.4.5 Pengaruh Leverage Terhadap Praktik Ekspropriasi
Salah satu faktor penting yang termasuk dalam unsur pendanaan adalah
hutang (leverage). Hutang memiliki keterkaitan dengan solvabilitas perusahaan,
dimana solvabilitas merupakan indikator untuk melihat sejauh mana aLeveset
perusahaan dibiayai oleh hutang dibandingkan dengan modal sendiri (Weston
Copeland 1992). Leverage dapat diartikan sebagai indikator yang menunjukkan
tingkat risiko yang melekat pada suatu perusahaan. Artinya semakin tinggi tingkat
hutang suatu perusahaan maka semakin tinggi tingkat risiko investasinya.
Semakin tinggi tingkat hutang suatu perusahaan maka hal ini mengindikasikan
bahwa perusahaan tersebut tidak mampu untuk melakukan pelunasan hutang
karena total hutang lebih besar daripada total aset yang dimiliki oleh perusahaan
tersebut (Horne 1997).
Faccio, Lang & Young (2007) meregresikan hutang yang terdapat dalam
indeks perusahaan untuk mendeteksi praktik ekspropriasi oleh pemegang saham
pengendali dimana rasio yang digunakan adalah rasio hak kepemilikan (O)
terhadap hak kontrol (C) dan indeks atas hak kreditur. Pada perusahaan yang
dapat mengakses pinjaman dengan pihak terkait (Related Party Loan), semakin
rendah rasio O/C akan meningkatkan hutang pada saat lemahnya perlingdungan
terhadap kreditur, namun akan menurunkan hutang pada saat perlindungan
35
kreditur kuat. Semakin tinggi rasio hutang maka akan memberikan kendali sumber
daya yang lebih besar kepada pemegang saham pengendali untuk diambil alih
(expropriate). Hutang dapat digunakan untuk membatasi praktik ekspropriasi di
perusahaan dengan struktur kepemilikan tersebar sebagaimana di Amerika, namun
hutang juga dapat memfasilitasi praktik ekspropriasi pada perusahaan dengan
struktur kepemilikan piramida sebagaimana perusahaan yang berada di wilayah
Eropa dan Asia. Hasil temuannya adalah terdapat dua kelompok yang merupakan
pihak yang dirugikan atas hutang yaitu pemegang saham bank dan pemilik
deposito, dan pemegang saham minoritas dari perusahaan berhutang (indebted
company). Pada saat perlindungan kreditur lemah, maka pemegang saham
pengendali cenderung akan mengalokasikan modal ke tempat yang memberikan
tingkat pengembalian privat yang tinggi dibandingkan dengan alokasi ke tempat
yang memberikan manfaat sosial.
Bunkanwanicha, Gupta & Rokhim (2008) melakukan penelitian terkait
dengan hubungan antara hutang dan tata kelola perusahaan pada negara
berkembang dengan menggunakan data perusahaan yang terdaftar di Thailand dan
Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara
struktur hutang dengan tata kelola perusahaan. Beliau menemukan bahwa semakin
tinggi tata kelola perusahaan dengan indikator entrenchment effect yang kecil,
cenderung memiliki tingkat hutang yang lebih tinggi. Dengan demikian, penelitian
tersebut mengindikasikan bahwa perusahaan dengan tingkat leverage yang lebih
tinggi maka akan semakin memiliki kesempatan yang kecil untuk melakukan
praktik ekspropriasi. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang diungkapkan oleh
36
Jensen (1986) bahwa perusahaan yang tidak mampu untuk membayar deviden
dikarenakan memiliki tingkat hutang yang tinggi cenderung memiliki tingkat
ekspropriasi pemegang saham minoritas yang lebih kecil. Dari adanya beberapa
penelitian yang telah dilakukan terkait dengan tingkat hutang dengan praktik
ekspropriasi, maka hipotesis yang dapat disusun oleh penulis adalah
H5a: Tingkat leverage berpengaruh negatif terhadap transaksi RP Sales
pada perusahaan publik di Indonesia.
H5b: Tingkat leverage berpengaruh negatif terhadap transaksi RP Purchase
pada perusahaan publik di Indonesia.
2.4.6 Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan Terhadap Praktik Ekspropriasi
Pertumbuhan perusahaan merupakan sebuah indikator yang menunjukkan
bahwa perusahaan tersebut mampu untuk meningkatkan ukuran perusahaan.
Terdapat beberapa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan perusahaan
antara lain faktor ukuran perusahaan, produktifitas perusahaan dan biaya input
(Nugroho, 2008). Faktor umur dan lokasi perusahaan tidak terlalu berpengaruh
secara signifikan terhadap pertumbuhan perusahaan. Indikator yang dapat
digunakan untuk mendeteksi pertumbuhan perusahaan dapat ditunjukkan melalui
pertumbuhan penjualan, pertumbuhan laba operasi perusahaan, pertumbuhan laba
bersih dan pertumbuhan modal sendiri. Pertumbuhan perusahaan dapat memicu
adanya konflik keagenan terkait dengan pembuatan keputusan pendanaan. Suatu
perusahaan dengan tingkat pertumbuhan tinggi cenderung membutuhkan dana
yang besar yang diperoleh dari eksternal perusahaan dan melakukan pembuatan
37
keputusan terkait dengan dana yang diperoleh untuk diinvestasikan (Rajan &
Zingales, 1998).
Durnev, Errunza dan Molchanov (2009) melakukan penelitian terkait
dengan pengaruh transparansi perusahaan terhadap efisiensi investasi perusahaan
dan pertumbuhan perusahaan dalam kondisi perlindungan hak properti. Dalam
penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pada negara yang memiliki tingkat
perlindungan property yang lemah maka transparansi dan pertumbuhan akan
cenderung lemah. Dengan adanya transparansi dan pertumbuhan yang lemah
maka hal ini akan memberikan kesempatan kepada para pemegang saham
pengendali untuk melakukan praktik ekspropriasi. Fenomena tersebut diperkuat
oleh penelitan yang dilakukan oleh Berkman, et al., (2009) yang mengindikasikan
bahwa kesempatan pemegang saham pengendali untuk melakukan praktik
ekspropriasi cenderung lebih besar pada perusahaan yang memiliki tingkat
pertumbuhan yang lebih lemah. Selain itu juga tunneling mengindikasikan dapat
mengurangi pertumbuhan aset dimana hal tersebut akan berpengaruh pada
kesempatan pertumbuhan suatu perusahaan.
Pertumbuhan perusahaan diharapkan dapat mengurangi konflik keagenan
yang timbul antara pemegang saham pengendali dengan pemegang saham
minoritas. Dengan kata lain, pertumbuhan perusahaan diharapkan dapat
mengurangi terjadinya praktik ekspropriasi yang dilakukan oleh pemegang saham
pengendali terhadap pemegang saham minoritas. Pertumbuhan perusahaan yang
cenderung lemah dikarakteristikkan oleh tingkat pengendali kepemilikan dewan
yang lebih tinggi dan tingkat pengungkapan voluntair yang lebih rendah.
38
Singkatnya, perusahaan dengan tingkat pertumbuhan tinggi didominasi
oleh pemegang saham minoritas (outside stakeholder) sedangkan perusahaan
dengan tingkat pertumbuhan yang rendah didominasi oleh pemegang saham
pengendali (Akhtaruddin & Hossain, 2008). Dari berbagai penelitian tersebut
diatas, maka penulis dapat menyusun hipotesis sebagai berikut
H6a: Pertumbuhan perusahaan berpengaruh negatif terhadap transaksi RP
Sales pada perusahaan publik di Indonesia.
H6b: Pertumbuhan perusahaan berpengaruh negatif terhadap transaksi RP
Purchase pada perusahaan publik di Indonesia.
2.4.7 Pengaruh Afiliasi Perusahaan Terhadap Praktik Ekspropriasi
Perusahaan afiliasi (affiliated company) adalah perusahaan yang secara
efektif dikendalikan oleh perusahaan lain, atau tergabung dengan perusahaan atau
beberapa perusahaan lain karena kepentingan atau kepemilikan atau pengurus
yang sama. Dalam melaksanakan proses bisnisnya, tidak jarang perusahaan
melakukan transaksi afiliasi. Transaksi afiliasi adalah transaksi yang dilakukan
oleh perusahaan atau perusahaan terkendali dari perusahaan atau afiliasi dari
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau pemegang saham utama
perusahaan. Transaksi afiliasi dapat memicu benturan kepentingan (conflict of
interest) dan transaksi seperti ini berpotensi untuk merugikan pemegang saham,
terutama pemegang saham minoritas. Hal ini dapat disebabkan karena
pengelolaan perusahaan dilakukan secara tidak benar dan perusahaan tersebut
tidak menerapkan tata kelola yang baik. Tata kelola perusahaan juga dipengaruhi
39
oleh latar belakang perusahaan itu sendiri. Perusahaan yang berlatar belakang dari
perusahaan keluarga yang belum memisahkan fungsi pengelolaan dan
kepemilikan perusahaan membuat para pemegang saham tidak dapat
menggunakan haknya dengan benar sehingga membuat potensi tindakan yang
mengandung konflik kepentingan semakin besar, terutama transaksi afiliasi.
Khusus mengenai transaksi afiliasi, penerapan tata kelola perusahaan
bertujuan dan bermanfaat untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan
para pemegang saham sebagai pihak yang dirugikan apabila dalam transaksi
tersebut mengandung benturan kepentingan yang dapat merugikan pemegang
saham. Transaksi afiliasi yang tidak dikelola dengan baik, akan memicu terjadinya
praktik ekspropriasi yang dilakukan oleh pemegang saham mayoritas terhadap
pemegang saham minoritas. Perlindungan kepentingan pemegang saham
(minoritas) terhadap benturan kepentingan dalam transaksi afiliasi salah satunya
dengan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik. Dengan adanya tata kelola
perusahaan yang baik, maka kerugian yang diakibatkan oleh adanya benturan
kepentingan dalam suatu transaksi afiliasi dapat dihindarkan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa transaksi afiliasi dapat
dikendalikan dengan penerapan tata kelola perusahaan yang baik guna mencegah
benturan kepentingan antara pemegang saham mayoritas dan minoritas. Sehingga
hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini terkait dengan hubungan
afiliasi dengan praktik ekspropriasi sebagai berikut
H7a: Afiliasi perusahaan berpengaruh negatif terhadap transaksi RP Sales
pada perusahan publik di Indonesia.
40
H7b: Afiliasi perusahaan berpengaruh negatif terhadap transaksi RP
Purchase pada perusahaan publik di Indonesia.